PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MENGGUNAKAN METODE ROLE PLAYING PADA SISWA KELAS V SDN WONOSARI 4 GUNUNGKIDUL.

(1)

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA

MENGGUNAKAN METODE ROLE PLAYING

PADA SISWA KELAS V SDN WONOSARI 4 GUNUNGKIDUL

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Anggara Wisnu Putra

NIM 11108241076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

“Berbicara yang baik dan benar itu bukan bakat, tetapi berdasarkan latihan terus menerus”


(6)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Orang tua tercinta yang senantiasa mendoakan, memberikan dukungan dan kasih sayangnya dengan tulus.


(7)

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA

MENGGUNAKAN METODE ROLE PLAYING

PADA SISWA KELAS V SDN WONOSARI 4 GUNUNGKIDUL

Oleh

Anggara Wisnu Putra NIM 11108241076

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan proses pembelajaran berbicara dan meningkatkan keterampilan berbicara menggunakan metode role playing pada siswa kelas V SDN Wonosari 4.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan model Kemmis dan McTaggart. Peneliti berkolaborasi dengan guru kelas V SDN Wonosari 4 sebagai pelaksana tindakan. Subjek penelitian ini adalah guru kelas dan siswa kelas V SDN Wonosari 4 yang berjumlah 19 siswa dengan objek penelitian keterampilan berbicara siswa. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah tes dan observasi. Data hasil penelitian ini dianalisis dengan teknik deskriptif kualitatif untuk menganalisis hasil observasi, dan teknik deskriptif kuantitatif untuk menganalisis hasil penilaian keterampilan berbicara.

Pembelajaran keterampilan berbicara menggunakan metode role playing dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas V SDN Wonosari 4. Proses peningkatan keterampilan berbicara ditunjukkan dengan hasil observasi aktivitas guru yang mampu menerapkan langkah-langkah role playing dengan baik dan aktivitas siswa yang semakin tertib mengikuti kegiatan pembelajaran.

Peningkatan hasil proses pembelajaran keterampilan berbicara dilihat dari peningkatan hasil tes keterampilan berbicara siswa. Peningkatan yang terjadi yaitu, (1) rata-rata nilai pratindakan siswa sebesar 58,21 dengan persentase ketuntasan 10,52%, (2) rata-rata nilai evaluasi keterampilan berbicara siklus I sebesar 71,42 dengan persentase ketuntasan 42,10%, (3) rata-rata nilai evaluasi keterampilan berbicara siklus II sebesar 78,36 dengan persentase ketuntasan 89,47%. Pembelajaran keterampilan berbicara menggunakan metode role playing pada siklus II persentase keberhasilannya sudah mencapai >80% sehingga proses pembelajaran menggunakan metode role playing dinyatakan berhasil.


(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Peningkatan Keterampilan Berbicara menggunakan Metode Role Playing pada Siswa Kelas V SDN Wonosari 4 Gunungkidul” dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terwujud tanpa bantuan, dorongan dan bimbingan segenap pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah menfasilitasi dan memberikan kesempatan penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar yang telah memberikan arahan dalam pengambilan tugas akhir skripsi ini.

3. Dosen pembimbing skripsi I, Dr. Enny Zubaidah, M.Pd, yang dengan sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Dosen pembimbing skripsi II, Septia Sugiarsih, M.Pd, yang dengan sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Kepala Sekolah SDN Wonosari 4 yang telah memberika ijin dan menyediakan waktu serta tempat untuk penelitian.

6. Guru kelas V SDN Wonosari 4 yang telah bersedia menjadi kolaborator dalam kegiatan penelitian.

7. Siswa kelas V SDN Wonosari 4 Gunungkidul yang telah bersedia menjadi subjek dalam pelaksanaan penelitian.


(9)

8. Sahabat-sahabat saya yang telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Semua pihak yang telah membantu, memberikan doa dan masukan, dukungan, serta memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah swt memberikan balasan atas kebaikan yang telah diberikan. Demikianlah skripsi ini saya buat semoga bermanfaat bagi para pembaca.

Yogyakarta, Maret 2016


(10)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Perumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 7

G. Definisi Operasional Variabel ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakikat Keterampilan Berbicara ... 9

1. Pengertian Keterampilan Berbicara ... 9

2. Tujuan Berbicara ... 11

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berbicara ... 12

B. Jenis-Jenis Kegiatan Berbicara ... 18

C. Metode Role Playing ... 19


(11)

2. Pengertian Role Playing ... 21

3. Manfaat Role Playing ... 23

4. Langkah-Langkah Role Playing ... 25

D. Penerapan Role Playing dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara ... 26

E. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar ... 28

F. Penilaian Keterampilan Berbicara di Sekolah Dasar ... 32

G. Kerangka Pikir... 34

H. Hipotesis Tindakan ... 35

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 36

B. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian ... 36

2. Objek Penelitian ... 37

C. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian ... 37

2. Waktu Penelitian... 37

D. Prosedur Penelitian ... 37

E. Teknik Pengumpulan Data ... 41

F. Instrumen Penelitian ... 42

G. Teknik Analisis Data ... 43

H. Kriteria Keberhasilan ... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 46

1. Deskripsi Hasil Pengamatan Awal ... 46

2. Pelaksanaan Tindakan Siklus I ... 48

3. Pelaksanaan Tindakan Siklus II ... 64

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 80

C. Keterbatasan Penelitian ... 103

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 104


(12)

B. Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 106


(13)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1. Kisi-Kisi Penilaian Keterampilan Berbicara ... 34

Tabel 2. Kriteria Penguasaan Keterampilan Berbicara ... 45

Tabel 3. Sampel Nilai Keterampilan Berbicara Pratindakan ... 47

Tabel 4. Peningkatan Nilai Keterampilan Berbicara Siklus I ... 59

Tabel 5. Sampel peningkatan nilai keterampilan berbicara siswa siklus I ... 60

Tabel 6. Persentase Penguasaan Keterampilan Berbicara Siklus I ... 61

Tabel 7. Refleksi Pembelajaran Keterampilan Berbicara Siklus I ... 63

Tabel 8. Perencanaan Tindakan Siklus II ... 64

Tabel 9. Peningkatan Nilai Keterampilan Berbicara Siklus II ... 75

Tabel 10. Sampel Peningkatan nilai keterampilan berbicara siswa siklus II ... 76

Tabel 11. Persentase Penguasaan Keterampilan Berbicara Siklus II ... 77


(14)

DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 1. Skema Alur Kerangka Pikir ... 35 Gambar 2. Desain Penelitian Menurut Kemmis dan Taggart ... 38 Gambar 3. Diagram Perbandingan Nilai Rata-Rata dan Persentase

Ketuntasan Nilai Keterampilan Berbicara Siswa Siklus I ... 60 Gambar 4. Diagram Perbandingan Nilai Rata-Rata dan Persentase


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1. Kisi-Kisi Tes Keterampilan Berbicara ... 110

Lampiran 2. Lembar Observasi Kegiatan Guru ... 111

Lampiran 3. Lembar Observasi Kegiatan Siswa ... 112

Lampiran 4. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 113

Lampiran 5. Materi Pembelajaran ... 124

Lampiran 6. Naskah Dialog ... 127

Lampiran 7. Hasil Tes Keterampilan Berbicara Pratindakan ... 130

Lampiran 8. Hasil Tes Keterampilan Berbicara Pertemuan 2 siklus I ... 131

Lampiran 9. Hasil Tes Keterampilan Berbicara Pertemuan 3 Siklus I ... 132

Lampiran 10. Hasil Tes Keterampilan Berbicara Pertemuan 2 Siklus II ... 133

Lampiran 11. Hasil Tes Keterampilan Berbicara Pertemuan 3 Siklus II ... 134

Lampiran 12. Hasil Observasi Aktivitas Siswa Pertemuan 1 Siklus I ... 135

Lampiran 13. Hasil Observasi Aktivitas Siswa Pertemuan 2 Siklus I ... 136

Lampiran 14. Hasil Observasi Aktivitas Siswa Pertemuan 3 Siklus I ... 137

Lampiran 15. Hasil Observasi Aktivitas Siswa Pertemuan 1 Siklus II ... 138

Lampiran 16. Hasil Observasi Aktivitas Siswa Pertemuan 2 Siklus II ... 139

Lampiran 17. Hasil Observasi Aktivitas Siswa Pertemuan 3 Siklus II ... 140

Lampiran 18. Hasil Observasi Aktivitas Guru Pertemuan 1 Siklus I ... 141

Lampiran 19. Hasil Observasi Aktivitas Guru Pertemuan 2 Siklus I ... 142

Lampiran 20. Hasil Observasi Aktivitas Guru Pertemuan 3 Siklus I ... 143

Lampiran 21. Hasil Observasi Aktivitas Guru Pertemuan 1 Siklus II ... 144

Lampiran 22. Hasil Observasi Aktivitas Guru Pertemuan 2 Siklus II ... 145

Lampiran 23. Hasil Observasi Aktivitas Guru Pertemuan 3 Siklus II ... 146

Lampiran 24. Transkrip Berbicara Siswa ... 147

Lampiran 25. Dokumentasi Kegiatan Pembelajaran ... 148


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan aspek yang penting bagi manusia untuk memenuhi tuntutannya sebagai makhluk sosial dimana mereka membutuhkannya untuk berinteraksi dengan manusia lain. Interaksi antar manusia akan terjadi dengan baik secara lisan atau tertulis apabila manusia memiliki keterampilan berbahasa yang baik pula. Keterampilan berbahasa akan membuat manusia lebih mudah untuk memahami dan menyampaikan suatu informasi.

Pentingnya fungsi bahasa dalam kehidupan menuntut anak harus menguasai keterampilan berbahasa. Henry Guntur Tarigan (2008: 1) mengemukakan bahwa keterampilan berbahasa mempunyai empat aspek, yaitu menyimak (listening skills), berbicara (speaking skills), membaca (reading skills), dan menulis (writing skills). Salah satu aspek keterampilan berbahasa yang wajib dikuasai siswa adalah berbicara, karena keterampilan berbicara menunjang keterampilan lainnya.

Keterampilan berbicara penting bagi siswa baik di dalam proses pembelajaran di sekolah maupun di lingkngan masyrakat. Keterampilan berbahasa di sekolah dasar harus dikuasai siswa, karena keterampilan tersebut mempunyai fungsi sebagai alat untuk berkomunikasi di dalam proses pembelajaran. Di luar sekolah, siswa juga akan berinteraksi dengan masyarakat yang lebih luas dari lingkungan sekolahnya. Dengan menguasai keterampilan berbicara, seseorang mampu berkomunikasi secara lisan dengan baik dan benar di lingkungan masyarakat.


(17)

Berbicara merupakan aktivitas yang sulit karena berbicara tidak sekedar mengeluarkan kata dan bunyi-bunyi, melainkan penyusunan gagasan yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pendengar atau penyimak (Mulgrave dalam Henry Guntur Tarigan, 2008: 16). Beberapa komponen yang harus dikuasai agar dapat berbicara dengan baik diantaranya kosakata, tata bahasa, lafal, pemahaman, dan kefasihan dimana komponen tersebut tidak bisa didapat siswa tanpa belajar dan berlatih.

Setiap orang memiliki kemampuan untuk berbicara tetapi tidak semua orang memiliki keterampilan berbicara yang baik dan benar. Pembelajaran keterampilan berbicara sangat penting dalam mengembangkan kemampuan siswa untuk berbicara baik di dalam maupun di luar kelas. Menurut Piaget (C. Asri Budiningsih, 2002: 38) siswa usia sekolah dasar yaitu berumur 8 sampai 12 tahun masih berada pada tahap operasional konkret. Pada tahap ini anak belum dapat berpikir secara abstrak. Siswa berpikir atas dasar pengalaman konkret atau nyata, sehingga diperlukan kegiatan yang nyata agar siswa mudah memahami konsep yang diajarkan. Untuk itu pembelajaran yang dilakukan haruslah mengedepankan keaktifan siswa.

Berdasarkan hasil observasi di kelas V SDN Wonosari 4, terlihat bahwa siswa masih ragu ketika diminta untuk menyampaikan pendapat, mereka masih merasa malu saat menjawab pertanyaan atau bercerita di depan teman-temannya. Kondisi ini mungkin terjadi karena siswa kurang menguasai topik pembicaraan dan menyebabkan tidak fokus pada hal-hal yang ingin diucapkan. Rendahnya keterampilan berbicara siswa tersebut salah satunya dapat dipengaruhi oleh metode yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran


(18)

keterampilan berbicara di SDN Wonosari 4 yaitu metode ceramah. Metode ceramah cenderung membuat siswa menjadi pasif di dalam kelas sehingga siswa kurang mendapat kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan menjadikan pembelajaran hanya berjalan satu arah yaitu dari guru kepada siswa, dimana siswa hanya sebagai penerima ilmu dan guru sebagai sumber belajar. Siswa yang pasif dalam kegiatan pembelajaran bahkan asik bermain dengan temannya saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Selain itu dengan kurang bervariasinya metode pembelajaran yang digunakan membuat siswa kurang termotivasi dan bosan saat mengikuti kegiatan pembelajaran.

Penyelenggaraan proses pembelajaran yang kurang mendukung siswa untuk berlatih berbicara di kelas menjadikan siswa tidak mampu berbicara dengan baik. Dalam kegiatan pembelajaran guru masih mengedepankan hasil dan materi yang diujikan daripada proses pembelajaran. Guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjadikan pembelajaran yang menyenangkan sehingga membuat siswa menjadi pasif dan kurang bersemangat dalam pembelajaran. Guru kelas juga mengungkapkan bahwa praktik kegiatan berbicara memerlukan waktu yang lama.

Berdasarkan pada hasil observasi pembelajaran bahasa Indonesia dan wawancara dengan guru kelas V SDN Wonosari 4 dapat diidentifikasi beberapa faktor yang melatarbelakangi masalah rendahnya keterampilan berbicara pada siswa diantaranya: (1) siswa kurang termotivasi dalam mengikuti pembelajaran keterampilan berbicara, sehingga siswa jarang memperhatikan dan mengikuti pembelajaran dengan baik, (2) siswa merasa takut, ragu-ragu, dan tidak percaya diri saat mengemukakan pendapat di


(19)

dalam kelas. Hal ini membuat siswa tidak berani bertanya kepada guru saat ada materi yang belum dimengerti, dan dengan tidak adanya pertanyaan dari siswa, guru menganggap materi ini sudah bisa dikuasai oleh siswa, (3) kurangnya kesempatan yang dimiliki siswa untuk melatih keterampilan berbicara. Karena tidak terbiasa berbicara di dalam kelas, ketepatan penggunaan bahasa siswa masih kurang serta kurang mampu menyusun kata-kata yang runtut, dan (4) proses pembelajaran yang berlangsung masih menggunakan metode yang konvensional sehingga mengurangi minat siswa dalam belajar.

Inovasi dalam kegiatan pembelajaran perlu dilakukan agar siswa tidak bosan dengan kegiatan belajarnya di sekolah, serta keterampilan berbicara siswa dapat ditingkatkan. Keterampilan seperti ini hanya dapat diperoleh dengan praktik dan banyak berlatih. Keterampilan berbicara lebih mudah dikembangkan apabila siswa memperoleh kesempatan untuk mengkomunikasikan sesuatu secara alami kepada orang lain, dalam kesempatan-kesempatan yang bersifat informal. Ross dan Roe (Ahmad

Rofi’uddin dan Darmiyati Zuchdi, 1999: 19) mengemukakan

Kegiatan-kegiatan untuk melatih keterampilan berbicara itu antara lain menyajikan informasi, berpartisipasi dalam diskusi, dan berbicara untuk menghibur atau menyajikan pertunjukan. Upaya meningkatkan keterampilan berbicara di sekolah dasar dapat dilakukan dengan penerapan sebuah metode pembelajaran. Djago Tarigan (1990: 445) mengemukakan bahwa role playing atau bermain peran adalah suatu cara penguasaan bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa terhadap suatu tokoh tertentu. Sejalan dengan pendapat Piaget (C. Asri Budiningsih, 2002:38), metode role


(20)

playing akan memberikan pengalaman kepada siswa dengan terlibat langsung memainkan peran tertentu seperti yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Melalui kegiatan ini siswa akan berlatih berbicara di depan teman-temannya, yang akan menumbuhkan rasa percaya diri siswa ketika berbicara didepan umum, melatih kemampuan mengekspresikan ide dan berkomunikasi dengan orang lain.

Metode role playing cocok diterapkan pada kegiatan pembelajaran siswa sekolah dasar. Karakteristik siswa kelas V SD Negeri Wonosari 4 yang gemar bermain akan mendukung kelancaran kegiatan role playing. Siswa akan merasakan susasana belajar yang menyenangkan, sehingga akan terhindar dari rasa bosan. Selain itu metode role playing menuntut siswa bekerja dalam sebuah kelompok. Kerja kelompok dapat menolong siswa-siswa mengembangkan sikap sosial yang positif, memberikan penguatan keterampilan bahasa yang spesifik, dan membantu guru menyelenggarakan

pembelajaran yang sebaik mungkin (Ahmad Rofi’uddin dan Darmiyati Zuchdi,

1999: 10).

Penerapan metode role playing dalam pembelajaran keterampilan berbicara pada siswa kelas V SD Negeri Wonosari 4 dapat meningkatkan potensi yang dimiliki siswa, diantaranya rasa percaya diri, emosional, intelektual, dan sosial. Sehingga kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan akan terasah. Selain itu, siswa akan terlatih untuk mengungkapkan gagasannya secara cerdas dan kreatif.

Oleh karena pentingnya keterampilan berbicara bagi siswa, maka perlu adanya pembelajaran dengan penerapan metode role playing. Dengan


(21)

demikian, diadakan penelitian dengan judul “Peningkatan Keterampilan Berbicara menggunakan Metode Role Playing pada Siswa Kelas V SD N Wonosari 4”. Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan keterampilan berbicara siswa kelas V SD N Wonosari 4 dapat meningkat.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, terdapat beberapa masalah terkait dengan proses belajar mengajar yang mempengaruhi hasil belajar siswa, yang diidentifikasikan sebagai berikut.

1. Pembelajaran keterampilan berbicara belum maksimal karena pembelajaran difokuskan pada materi ujian.

2. Siswa tidak percaya diri saat mengemukakan pendapat di dalam kelas. 3. Siswa kurang mendapat kesempatan untuk mengungkapkan pendapat

dengan penggunaan metode ceramah.

4. Keterampilan berbicara siswa masih rendah, rata-rata nilai keterampilan berbicara siswa 58,26.

5. Tidak ada variasi metode pembelajaran yang digunakan guru, sehingga siswa kurang termotivasi dalam pembelajaran.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifkasi masalah di atas, penelitian ini dibatasi pada identifikasi masalah nomor tiga, yaitu keterampilan berbicara siswa kelas V SDN Wonosari 4 yang masih rendah.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas, rumusan masalahnya dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimanakah proses


(22)

peningkatan pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V SD N Wonosari 4 menggunakan metode role playing? (2) bagaimanakah peningkatan keterampilan berbicara siswa kelas V SDN Wonosari 4 menggunakan metode role playing?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: (1) meningkatkan proses pembelajaran keterampilan berbicara menggunakan metode role playing pada siswa kelas V SD N Wonosari 4, dan (2) meningkatkan keterampilan berbicara menggunakan metode role playing pada siswa kelas V SDN Wonosari 4.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan manfaat kepada berbagai pihak yakni guru, siswa, peneliti, dan lembaga pendidikan sebagai berikut.

a. Bagi guru, penelitian ini memberikan alternatif pilihan metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkat prestasi siswa. Khususnya pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dalam meningkatkan keterampilan berbicara.

b. Bagi siswa, penelitian ini memberikan motivasi pada siswa untuk berlatih meningkatkan keterampilan berbicara.

c. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menjadi acuan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran jika kelak menjadi guru.

d. Bagi lembaga (sekolah dasar), penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan untuk meningkatkan kualitas


(23)

pembelajaran, khususnya dalam mengembangkan keterampilan berbicara siswa.

G. Definisi Operasional Variabel

1. Keterampilan berbicara merupakan kecakapan seseorang dalam mengucapkan kata untuk menyampaikan ide, gagasan, atau pikiran kepada orang lain melalui bahasa lisan yang tepat dengan memperhatikan aspek kebahasaan dan nonkebahasaan. Aspek kebahasaan meliputi tekanan, ucapan, nada dan irama, kosa kata/ ungkapan atau diksi, dan struktur kalimat. Sedangkan faktor nonkebahasaan meliputi kelancaran, penguasaan materi, keberanian, keramahan dan sikap.

2. Metode pembelajaran role playing merupakan suatu metode pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif yang memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk berbicara dengan memerankan tokoh tertentu berdasarkan naskah dialog yang telah dibuat. Dengan metode role playing siswa akan dibagi dalam kelompok-kelompok kecil untuk memainkan sebuah drama singkat. Setiap kelompok tampil secara bergantian. Kelompok yang tidak mendapat giliran tampil akan memberikan tanggapan kepada kelompok yang mendapat giliran tampil. Evaluasi diadakan untuk membahas kekurangan penampilan setiap kelompok agar pada penampilan berikutnya lebih baik.


(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Keterampilan Berbicara

1. Pengertian Keterampilan Berbicara

Berbicara merupakan salah satu aktivitas manusia dalam berinteraksi dengan manusia lain. Henry Guntur Tarigan (2008: 15) berpendapat bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, dan menyampaikan pikiran, gagasan, serta perasaan. Senada dengan pendapat tersebut, Saleh Abbas (2006: 83) mengungkapkan berbicara secara umum dapat diartikan sebagai suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, gagasan, atau isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut mudah dipahami oleh orang lain. Nurbiana Dhieni (2008: 3) menambahkan bahwa berbicara bukanlah sekedar pengucapan kata atau bunyi, tetapi merupakan suatu alat untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan atau mengkomunikasikan pikiran, ide, maupun perasaan.

Haryadi dan Zamzani (2000: 56) mengungkapkan bahwa berbicara merupakan kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial (homo homine socius) agar mereka dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Semakin banyak berlatih berbicara, semakin dikuasai keterampilan berbicara itu. Oleh karena itu keterampilan berbicara perlu dilatihkan kepada anak sejak dini, supaya anak dapat mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata sehingga mampu mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan ide, pikiran, gagasan, atau isi hati kepada orang lain.


(25)

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa berbicara merupakan kemampuan manusia mengucapkan bunyi-bunyi, artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan dan menyampaikan maksud (ide, pikiran, gagasan, atau isi hati) seseorang kepada orang lain sehingga lawan bicara dapat memahami tujuan dari kegiatan berbicara tersebut. Berbicara merupakan suatu proses komunikasi yang terjadi antara pembicara dan pendengar. Komunikasi akan berjalan dengan lancar apabila pembicara dan pendengar mampu bekerjasama dengan baik. Karena itu baik pembicara maupun pendengar perlu untuk menguasai keterampilan berbicara yang baik.

Supartinah (2013: 307) berpendapat bahwa keterampilan berbicara merupakan kegiatan berkomunikasi yang bersifat aktif dan produktif, yang bertujuan untuk menyampaikan gagasan, ide, dan perasaan melalui bahasa lisan, baik satu maupun dua arah. Senada dengan pendapat tersebut, Iskandarwassid (2009: 241) berpendapat bahwa keterampilan berbicara merupakan keterampilan memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan kepada orang lain.

Djago Tarigan (1998: 145) berpendapat bahwa keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang mekanistis. Semakin banyak berlatih berbicara, semakin dikuasai keterampilan berbicara itu. Tidak ada orang yang dapat langsung terampil berbicara tanpa melalui proses latihan berbicara.


(26)

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara merupakan kemampuan untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan ide, gagasan, atau isi hati kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan yang dapat dipahami oleh orang lain. Melatih keterampilan berbicara dapat dilakukan anak dengan bantuan dari orang dewasa melalui percakapan. Dengan bercakap-cakap, anak akan menemukan pengalaman dan meningkatkan pengetahuannya dan mengembangkan bahasanya.

2. Tujuan Berbicara

Kegiatan yang dilakukan manusia setiap hari selalu mempunyai tujuan, begitu juga dengan kegiatan berbicara. Tujuan utama dari kegiatan berbicara adalah untuk berkomunikasi. Henry Guntur Tarigan (2008: 17) mengungkapkan bahwa berbicara memiliki 3 tujuan umum, yaitu: (1) memberitahukan dan melaporkan (to inform); (2) menjamu atau menghibur (to entertain); (3) membujuk, mengajak, mendesak, dan meyakinkan (to persuade).

Iskandarwassid (2009: 242) menambahkan tujuan keterampilan berbicara mencakup, (a) kemudahan berbicara, (b) kejelasan, (c) bertanggungjawab, (d) membentuk pendengaran kritis, dan (e) membentuk kebiasaan. Berlatih berbicara terus menerus akan membentuk sebuah kebiasaan yang akan mengasah keterampilan seseorang dalam berbicara. dengan keterampilan yang dimiliki, pembicaraan seseorang dapat dimengerti oleh pendengar dengan jelas, sehingga pendengar dapat meyakini apa yang telah disampaikan oleh pembicara tersebut.


(27)

Berdasarkan tujuan berbicara yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi, yang berarti untuk mendapatkan respon atau tanggapan dari lawan bicara. Selain itu berbicara secara umum bertujuan untuk (a) menyampaikan suatu informasi kepada orang lain, (b) meyakinkan atau mempengaruhi penerima informasi, (c) untuk menghendaki reaksi pendengar atau penerima informasi, serta (d) untuk menghibur pendengar.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Berbicara

Seorang pembicara yang baik harus memberikan kesan bahwa ia menguasai bahan pembicaraannya dan berbicara dengan tepat dan jelas. Ahmad Rofi’udin dan Darmiyati Zuchdi (1998/1999: 244) berpendapat bahwa berbicara dipengaruhi oleh aspek kebahasaan dan nonkebahasaan. Aspek kebahasaan meliputi: (1) tekanan, (2) ucapan, (3) nada dan irama, (4) kosa kata/ ungkapan/ diksi, dan (5) struktur kalimat yang digunakan. Sedangkan aspek nonkebahasaan meliputi (1) kelancaran, (2) pengungkapan materi wicara (pemahaman materi), (3) keberanian, (4) keramahan, dan (5) sikap.

Senada dengan pendapat tersebut, Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. (dalam Nurbiana, 2008: 36) menjelaskan ada dua faktor yang harus diperhatikan untuk dapat berbicara secara efektif dan efisien, yaitu faktor kebahasaan dan nonkebahasan. Faktor kebahasaan merupakan aspek-aspek yang berkaitan dengan masalah kebahasaan yang harus dipenuhi seorang saat menjadi seorang pembicara. Aspek-aspek faktor kebahasaan, meliputi:


(28)

a. Ketepatan pengucapan

Seorang pembicara harus terbiasa mengucapkan bunyi-bunyi bahasa dengan tepat. Sebab pengucapan bunyi yang kurang tepat akan mengalihkan perhatian, menimbulkan kebosanan, kurang menarik atau kurang menyenangkan bagi pendengar. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa dianggap kurang tepat apabila terlalu jauh dari ragam bahasa lisan, sehingga terlalu menarik perhatian atau mengganggu komunikasi. Pembicara juga harus pandai menempatkan penggunaan sisipan bahasa asing atau daerah secara tepat dalam suatu pembicaraan.

b. Penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai

Penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang tepat akan menjadi sebuah daya tarik dalam berbicara, bahkan bisa menjadi faktor penentu dalam berkomunikasi. Dengan menempatkan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai pembicaraan dengan masalah yang kurang menarik akan menjadi lebih menarik. Sebaliknya, seorang pembicara walaupun menyampaikan masalah yang menarik tetapi dengan ekspresi datar akan membuat pendengar merasa jenuh dan efektifitas komunikasi menjadi berkurang.

c. Pilihan kata (diksi)

Kata-kata yang digunakan oleh pembicara hendaknya tepat, jelas, dan bervariasi. Hal ini bertujuan agar pendengar mudah mengerti maksud yang disampaikan oleh pembicara. Pembicara sebaiknya memilih kata-kata yang diketahui masyarakat luas dengan variasi kata-kata yang banyak agar tidak monoton. Pendengar akan lebih tertarik jika pembicara


(29)

berbicara dalam bahasa yang dikuasainya. Oleh karena itu, pilihan kata yang tepat dan disesuaikan dengan pokok pembicaraan merupakan kunci keberhasilan pembicaraan.

d. Ketepatan sasaran pembicaraan

Ketepatan sasaran pembicaraan berhubungan dengan penggunaan kalimat yang efektif dalam berkomunikasi. Kalimat yang efektif memiliki empat ciri, yaitu keutuhan, perpautan, pemusatan perhatian, dan kehematan.

Sementara itu, faktor nonkebahasaan yaitu aspek-aspek yang menentukan keberhasilan seorang pembicara yang tidak ada kaitannya dengan masalah bahasa. Aspek-aspek faktor nonkebahasaan, meliputi: a. Sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku

Seorang pembicara yang baik harus memiliki kemampuan untuk mengatur koordinasi tubuhnya. Hal ini bertujuan agar sikap dari tubuh seorang pembicara mampu mendukung keberhasilan pembicaraan. Sikap tubuh yang ditunjukkan antara lain wajar, dengan tidak menunjukkan sikap berlebihan seperti terlalu banyak berkedip dan menggunakan gerakan tangan yang tidak penting.

Penguasaan materi yang baik akan membantu dalam mengurangi kegugupan. Namun sikap ini memang memerlukan latihan agar terbiasa, sehingga rasa gugup akan hilang dan timbul sikap tenang dan wajar. Sikap tenang dapat terlihat dari embawaan pembicara yang tidak terlihat grogi, tidak terlihat takut, dan sebagainya.


(30)

b. Pandangan harus diarahkan ke lawan bicara

Ketika berbicara di depan umum hendaknya seorang pembicara mengarahkan pandangannya kepada lawan bicara. Selain untuk menghormati lawan bicara hal ini dilakukan untuk mengetahui reaksi lawan bicara terhadap pembicaraan yang disampaikan, sehingga pembicara dapat memposisikan diri agar dapat menguasai situasi dengan baik.

c. Kesediaan menghargai pendapat orang lain

Seorang pembicara hendaknya mempunyai sikap terbuka dalam menyampaikan isi pembicaraan, yaitu dapat menerima pendapat orang lain, bersedia menerima kritik, dan bersedia mengubah pendapatnya jika pendapat tersebut tidak benar. Namun pembicara juga jangan mengikuti pendapat orang lain begitu saja dan mengubah pendiriannya, tetapi harus tetap mempertahankan pendapatnya apabila pendapat tersebut benar-benar diyakini kebenar-benarannya.

Ketika menyampaikan gagasan, seorang pembicara tidak boleh menganggap gagasannya yang paling benar. Jika hal itu terjadi, lawan bicara yang berbeda pendapat akan semakin tidak dapat menerima gagasan pembicara.

d. Gerak-gerik dan mimik yang tepat

Keberhasilan tujuan pembicaraan juga dipengaruhi oleh gerak-gerik dan mimik seorang pembicara. Hal-hal yang penting selain mendapatkan penekanan biasanya dibantu dengan gerakan tangan dan mimik. Hal itu akan lebih membuat komunikasi semakin hidup dan tidak kaku. Namun


(31)

penggunaan mimik haruslah tepat, sebagai contoh saat membicarakan kebahagiaan maka ekspresi wajah dan gerak tubuh juga harus menunjukkan kegembiraan. Berbeda jika mengungkapkan kepanikan, maka mimik yang seharusnya ditunjukkan adalah muka yang bingung, takut, gugup, dan sebagainya.

e. Kenyaringan suara

Kenyaringan suara berhubungan dengan situasi tempat dan jumlah pendengar. Situasi tempat berhubungan dengan dimana pembicaraan tersebut dilakukan, apakah di tempat tertutup atau di ruang terbuka. Jumlah pendengar mempengaruhi pengaturan volume suara seorang pembicara. Semakin banyak pendengar maka semakin keras pula suara pembicara agar mampu menguasai situasi. Berbeda halnya saat jumlah pendengar sedikit, pembicara tidak perlu berbicara dengan keras atau berteriak.

f. Kelancaran

Kelancaran yang dimaksud adalah penggunaan kalimat lisan yang tidak terlalu cepat dalam pengucapan, tidak terputus-putus, dan jarak antar kata tetap atau ajek. Kelancaran dalam berbicara juga dipengaruhi oleh kemampuan vokal pembicara yang tepat tanpa ada sisipan bunyi /e/, /anu/, /em/, dan sebagainya. Pembicara yang terlalu cepat dalam berbicara akan menyulitkan pendengar menangkap pokok pembicaraan. g. Relevansi atau penalaran

Setiap materi pembicaraan harus memiliki hubungan antarkalimat yang saling mendukung dan tidak bisa dipisahkan. Gagasan demi


(32)

gagasan harus berhubungan dan tersusun runtut. Proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan harus logis dan relevan. Relevansi ini berkaitan dengan ketepatan isi pembicaraan dengan topik yang sedang dibicarakan. Relevansi juga berkaitan dengan mendukung atau tidaknya penggunaan kalimat-kalimat tersebut dalam konteks pembicaraan.

h. Penguasaan topik

Menguasai topik pembicaraan sangat penting bagi seorang pembicara. Dengan menguasai topik, seorang pembicara akan terlihat lebih meyakinkan dalam menyampaikan isi pembicaraannya, sehingga mampu mempengaruhi atau menarik minat pendengar. Oleh karena itu penguasaan topik yang baik mampu menumbuhkan keberanian dan kelancaran yang mendukung keberhasilan pembicaraan.

Gagasan tersebut dipertegas oleh Mulgrave (dalam Henry Guntur Tarigan, 2008: 16) dengan memberikan batasan mengenai penunjang keterampilan berbicara, antara lain: 1) pemahaman pembicara terhadap penyimak dan bahan pembicaraan, 2) sikap yang tenang dan dan mudah menyesuaikan diri, 3) kewaspadaan dan antusiasme pembicara. Sementara itu Henry Guntur Tarigan (2008: 5) menuturkan bahwa kemampuan berbahasa lisan mencakup ujaran yang jelas dan lancar, kosakata yang luas dan beraneka ragam, penggunaan kalimat yang tepat, dan kemampuan untuk mengikuti dan menelusuri perkembangan urutan suatu cerita atau menghubungkan kejadian-kejadian dalam urutan yang wajar dan logis.

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi pembelajaran keterampilan berbicara adalah faktor kebahasaan


(33)

dan nonkebahasaan serta kemampuan pembicara dalam menempatkan diri pada suatu situasi. Faktor-faktor keterampilan berbicara tersebut dapat dikondisikan oleh guru dalam memilih metode pembelajaran yang tepat untuk memaksimalkan pembelajaran.

B.Jenis-Jenis Kegiatan Berbicara

Kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara yang sering dilakukan di dalam kelas adalah dengan meminta salah satu siswa untuk berdiri di depan kelas untuk berbicara, misalnya untuk bercerita, menjawab pertanyaan, dan berpidato, sedangkan siswa yang lain diminta untuk mendengarkan. Siswa yang mendapat giliran merasa tertekan karena harus menguasai bahan, selain itu terkadang guru memberikan kritikan-kritikan kepada siswa. Hal ini akan menjadikan kegiatan pembelajaran menjadi kurang menarik. Siswa pun menjadi kurang terikat dengan kegiatan pembelajaran kecuali ketika mereka mendapatkan giliran.

Haryadi dan Zamzani (2000: 61) berpendapat agar keterampilan berbicara dapat dikuasai dengan baik oleh siswa, pembelajaran dapat dilakukan dengan beberapa kegiatan diantaranya; bercerita, berdialog, berpidato/berceramah dan berdiskusi. Sedangkan Ross dan Roe (Ahmad Rofi’uddin dan Darmiyati Zuchdi, 1999: 19) berpendapat bahwa kegiatan-kegiatan untuk melatih keterampilan berbicara siswa antara lain menyajikan informasi, berpartisipasi dalam diskusi, dan berbicara untuk menghibur atau menyajikan pertunjukan.

Kegiatan berbicara yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdialog. Berdialog adalah kegiatan berbicara dua arah, maksudnya adanya saling


(34)

berbicara, tanya jawab, dan menanggapi lawan bicara (Haryadi dan Zamzani, 2000: 64). Berkaitan dengan kegiatan role playing berdialog dapat diartikan sebagai percakapan yang terjadi antar pelaku dalam sebuah drama.

Kegiatan berdialog akan berjalan dengan lancar apabila adanya sikap saling memperhatikan antar partisipannya. Selain itu sopan santun harus diperhatikan dalam berbicara agar tidak menyinggung lawan bicara, seperti penggunaan bahasa yang sopan dan menunjukkan sikap dan ekspresi yang sesuai dengan bahan pembicaraan.

Siswa sekolah dasar sangat perlu berlatih berdialog. Tujuan dari hal ini adalah agar mereka dapat bergaul ditengah masyarakat dengan baik. Bahasa dalam dialog biasanya pendek-pendek. Namun isi dari dialog tersebut dapat dipahami dengan ekspresi dan mimik yang mendukung. Role playing erat kaitannya dengan kegiatan berdialog. Melalui role playing siswa akan belajar mengembangkan kosa kata, sikap berdialog yang baik, dan menyampaikan isi pembicaraan dengan ekspresi yang tepat.

C. Metode Role Playing 1. Pengertian Metode

Slameto (2003: 65) berpendapat bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui di dalam mengajar, yaitu menyajikan bahan pelajaran oleh orang kepada orang lain agar orang lain tersebut bisa menerimanya. Senada dengan pendapat tersebut Hastuti (Suhartono, 2005: 160) menyebutkan bahwa metode adalah penentuan bahan, penentuan urutan bahan, cara-cara penyajian, yang semuanya itu dilandasi pada satu sistem tertentu untuk mencapai tujuan tertentu pula.


(35)

Menurut Darmiyati Zuchdi dan Budiasih (1996: 30) metode pembelajaran adalah rencana pembelajaran yang akan diajarkan, serta kemungkinan pengadaan remidi dan bagaimana pengembangannya. Metode mencakup pemilihan dan penentuan bahan ajar, penyusunan serta kemungkinan pengadaan remedi dan pengembangan bahan ajar tersebut. Sedangkan Nana Sudjana (2002: 76) berpendapat bahwa metode pembelajaran adalah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah cara yang dilakukan oleh seorang guru untuk meleksanakan sebuah kegiatan pembelajaran, dari menentukan bahan ajar, membuat rancangan kegiatan, hingga melakukan evaluasi dari kegiatan pembelajaran. Kemampuan seorang pengajar sangat dibutuhkan untuk memilih metode pembelajaran yang akan digunakan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Apabila penguasaan dan pengetahuan guru terbatas mengenai cara mengajar, tentu metode pembelajaran yang digunakan akan sama, tidak berkembang, dan tanpa variasi. Pembelajaran yang demikian akan membuat siswa bosan dan sulit untuk menyerap ilmu.

Metode dalam rangkaian sistem pembelajaran memegang peranan yang penting. Keberhasilan kegiatan pembelajaran sangat tergantung pada cara guru menggunakan suatu metode pembelajaran. Wina Sanjaya (2008: 141-161) mengemukakan beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan yaitu: (1) ceramah diartikan sebagai cara menyajikan pelajaran


(36)

melalui penjelasan secara lisan kepada siswa, (2) diskusi adalah metode yang menghadapkan siswa pada suatu permasalahan. Diskusi bersifat bertukar pengalaman untuk memecahkan suatu permasalahan dan menentukan keputusan secara bersama-sama, (3) demonstrasi yaitu cara penyajian pelajaran dengan memperagakan dan menunjukkan kepada siswa tentang proses, situasi atau benda tertentu, baik sebenarnya atau hanya sekedar tiruan, (4) simulasi merupakan cara penyajian pelajaran menggunakan situasi tiruan untuk memahami konsep, prinsip, atau keterampilan tertentu. Simulasi terdiri dari beberapa jenis, diantaranya; sosiodrama, psiko drama dan role playing.

2. Pengertian Role Playing

Hamzah B. Uno (2007: 25-26) mengatakan bahwa role playing adalah metode pembelajaran yang bertujuan untuk membantu siswa menemukan makna (jati diri) di dunia sosial dan memecahkan dilema atau masalah dengan kelompok. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa melalui bermain peran siswa dapat merasakan berbagai macam peran yang ada di masyarakat, memikirkan perilaku dirinya dan orang lain dalam kegiatan tersebut. Sedangkan menurut Husein Achmad (Hidayati, 2002: 91) role playing adalah salah satu bentuk permainan pendidikan yang dipakai untuk menjelaskan peranan, sikap, tingkah laku, nilai, dengan tujuan menghayati perasaan, sudut pandang, dan cara berpikir orang lain.

Joyce Bruce (2011: 328) mengatakan bahwa role playing merupakan metode pembelajaran yang berasal dari dimensi pendidikan individu maupun sosial. Metode ini akan menuntun siswa menemukan makna pribadi


(37)

dalam dunia sosial mereka dan membantu memecahkan dilema pribadi dengan bantuan kelompok sosial. Selain itu, metode pembelajaran ini akan memudahkan individu untuk bekerjasama dalam menganalisis keadaan sosial, khususnya masalah antar manusia.

Senada dengan pendapat tersebut, Mulyani Sumantri (1999: 65-66) menyatakan bahwa dalam metode role playing siswa mengkaji masalah-masalah hubungan manusia dengan memerankan situasi-situasi masalah-masalah, kemudian mendiskusikannya. Siswa dapat mengkaji dan menjelajah perasaan, sikap, nilai, dan strategi pemecahan masalah. Pada dimensi sosial, metode ini memungkinkan individu untuk bekerjasama menganalisis situasi sosial, terutama masalah interpersonal.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa role playing adalah metode pembelajaran dimana siswa menganalisis sikap dan perilaku sebuah peran, kemudian memainkan peran tersebut di dalam situasi tertentu yang telah dibuat, sehingga siswa terlibat aktif di dalam kegiatan pembelajaran .

Esensi dari kegiatan role playing adalah keterlibatan siswa sebagai partisipan dan pengamat dalam situasi atau masalah nyata dan keinginan untuk mengatasinya. Pemahaman atas keterlibatan ini menyajikan contoh kehidupan perilaku manusia yang merupakan contoh bagi siswa untuk menjajaki perasaannya, menambah pengetahuan tentang sikap, nilai-nilai dan persepsinya, mengembangkan keterampilan dan sikapnya dalam memecahkan masalah, dan mengkaji pelajaran dengan berbagai cara.


(38)

3. Manfaat Role Playing

Role playing merupakan suatu metode pembelajaran yang bertujuan untuk membantu siswa menemukan makna diri di dunia sosial serta memecahkan dilema dengan bantuan kelompok. Menurut Hamzah B. Uno (2011: 26) kegiatan role playing ini bermanfaat bagi siswa dengan memberikan contoh kehidupan nyata manusia, diantaranya sebagai sarana bagi siswa untuk (1) menggali perasaannya, (2) memperoleh inspirasi dan pemahaman yang berpengaruh terhadap sikap, nilai, dan persepsinya, (3) mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah, dan (4) mendalami mata pelajaran dengan berbagai macam cara. Manfaat ini akan dirasakan saat siswa terjun ke masyarakat kelak karena ia akan mendapatkan diri dalam suatu situasi dimana begitu banyak peran terjadi.

Sedangkan Oemar Hamalik (2004: 214) berpendapat bahwa role playing mempunyai beberapa manfaat saat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran yaitu: (1) siswa dapat mengekspresikan perasaan dan pendapat tanpa ada kekhawatiran mendapat sanksi, (2) siswa dapat mengurangi dan mendiskusikan isu-isu yang bersifat manusiawi dan pribadi tanpa ada kecemasan, dan (3) role playing memungkinkan siswa mengidentifikasi situasi-situasi dunia nyata dengan ide-ide orang lain.

Manfaat role playing menurut Shaftel (Hidayati, 2002: 92) yaitu sebagai berikut.

a. Agar menghayati sesuatu kejadian atau hal yang sebenarnya dalam realitas hidup.


(39)

b. Agar memahami apa yang menjadi sebab dari sesuatu serta bagaimana akibatnya.

c. Untuk mempertajam indera dan rasa siswa terhadap sesuatu. d. Sebagai penyaluran/ pelapasan ketegangan perasaan-perasaan. e. Sebagai alat mendiagnosa keadaan kemampuan siswa.

f. Pembentukan konsep secara mandiri.

Senada dengan pendapat Shaftel, Nana Sudjana (2004: 85) menyebutkan manfaat dari metode role playing adalah (1) agar siswa dapat menghayati dan menghargai perasaan orang lain, (2) dapat belajar bagaimana membagi tanggung jawab, (3) dapat belajar bagaimana mengambil keputusan dalam situasi kelompok secara spontan, dan (4) merangsang kelas untuk berpikir dan memecahkan masalah.

Berdasarkan pendapat tersebut, manfaat yang dapat diperoleh melalui penelitian ini diantaranya memberikan pengalaman kepada siswa tentang bagaimana menghadapi dan mengambil keputusan dalam suatu situasi. Selain itu siswa dapat menghargai perasaan dan pendapat orang lain. Manfaat lain dari metode pembelajaran role playing adalah (1) role playing dapat memberikan semacam hidden practice dimana siswa tanpa disadari menggunakan ungkapan-ungkapan baku terhadap materi yang sedang dipelajari, (2) role playing melibatkan siswa dalam kelompok-kelompok, sehingga cocok apabila diterapkan dalam kelas besar, dan (3) melalui role playing siswa akan mendapatkan kesenangan karena pada dasarnya adalah permainan. Sehingga menarik antusias siswa untuk berkonsentrasi selama kegiatan pembelajaran.


(40)

4. Langkah-Langkah Role Playing

Pelaksanaan pembelajaran menggunakan metode role playing, perlu mempertimbangkan langkah-langkahnya agar didapat hasil yang maksimal. Menurut Oemar Hamalik (2004: 215-217) langkah-langkah dalam kegiatan role playing meliputi, (1) guru memiliki situasi, (2) melakukan pemanasan atau latihan, (3) guru menjelaskan karakter tokoh yang akan diperankan, (4) Guru membagi peran serta menentukan kelompok pengamat dan spekulator, (5) melakukan permainan, (6) melakukan evaluasi, dan (7) guru membuat laporan untuk perbaikan permainan selanjutnya.

Roestiyah (2008: 91) menyebutkan ada sembilan langkah role playing, yaitu:

a. guru menjelaskan metode pembelajaran ini, kemudian memilih beberapa siswa untuk memainkan peran. Masing-masing siswa akan mencari pemecahan masalah sesuai perannya.

b. guru harus memilih masalah yang faktual sehingga menarik minat anak.

c. agar siswa memahami peristiwanya, maka guru harus bisa menjelaskan sambil mengatur waktu adegan.

d. jika ada kesediaan untuk berperan dari siswa, harap ditanggapi tetapi guru harus mempertimbangkan apakah ia tepat untuk perannya. e. berikan penjelasan kepada pemeran agar mereka tahu tugas

perannya, menguasai masalahnya pandai bermimik maupun berdialog.


(41)

f. apabila siswa belum terbiasa, guru perlu membantu siswa dalam menimbulkan kalimat pertama dalam dialog.

g. lakukan diskusi setelah kegiatan selesai, sehingga siswa lain dapat mengomentari kegiatan yang telah berlangsung.

h. lakukan tanya jawab sebagai tindak lanjut dari kegiatan diskusi. Shaftel (Mulyani Sumantri, 1999: 67-68) menyarankan sembilan langkah role playing yaitu: (1) membangkitkan semangat kelompok, (2) memilih partisipan/ peserta, (3) menyusun tahap-tahap peran, (4) menyiapkan pengamat, (5) pelaksanaan kegiatan, (6) diskusi dan evaluasi, (7) Pemeranan ulang, (8) diskusi dan evaluasi tahap dua, dan (9) membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas mengenai langkah-langkah pelaksanaan metode role playing, maka peneliti mengambil langkah-langkah role playing menurut pendapat Shaftel.

D.Penerapan Role Playing dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara

Metode role playing menyajikan sebuah pembelajaran dengan bermain peran. Dalam kegiatannya, siswa memerankan tokoh-tokoh tertentu sehingga siswa akan tertarik untuk mengikuti suatu pembelajaran. Di dalam sebuah kelompok kecil, siswa akan berdiskusi menentukan peran yang akan dimainkan oleh masing-masing siswa. Siswa diberikan kebebasan dalam mengembangkan teks dialog berdasarkan kerangka yang diberikan oleh peneliti.

Langkah-langkah pembelajaran keterampilan berbicara menggunakan metode role playing dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.


(42)

1. Guru memotivasi siswa dengan memberikan apersepsi dalam rangka menarik perhatian, mempersiapkan mental dan fisik siswa dalam mempelajari materi baru (membangkitkan semangat kelompok).

2. Siswa memperhatikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dalam pembelajaran.

3. Siswa memperhatikan penjelasan guru mengenai materi dan metode pembelajaran role playing.

4. Siswa menerima naskah role playing kemudian mempelajari bersama kelompoknya.

5. Siswa mendengarkan penjelasan guru tentang karakter masing-masing tokoh.

6. Siswa bersama guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil, setiap kelompok beranggotakan 3 siswa (memilih partisipan/ peserta). 7. Siswa bersama kelompoknya membagi peran masing-masing (menyusun

tahap-tahap peran).

8. Siswa bersama kelompoknya berlatih memainkan peran sesuai dengan dialognya (menyusun tahap-tahap peran).

9. Siswa memerankan masing-masing peran dengan kelompoknya. Sementara siswa yang lain menjadi penyimak siswa yang melakukan bermain peran (pelaksanaan kegiatan dan menyiapkan pengamat).

10.Siswa dan guru melakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan dengan menganalisis masing-masing peran (diskusi dan evaluasi).


(43)

11.Siswa memerankan kembali masing-masing peran dengan kelompoknya sesuai dengan evaluasi yang telah dilakukan sebelumnya (Pemeranan ulang).

12.Siswa dan guru melakukan evaluasi kembali (diskusi dan evaluasi tahap dua).

13.Siswa dan guru bersama-sama menarik kesimpulan tentang materi yang dipelajari (membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan).

14.Siswa dan guru bersama-sama menghubungkan situasi yang ada di dalam permainan dengan kehidupan di dunia nyata (membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan).

E.Karakteristik Siswa Sekolah Dasar

Usia sekolah dasar (sekitar 6-12 tahun) merupakan tahap perkembangan penting bahkan fundamental bagi kesuksesan perkembangan selanjutnya (Mulyani Sumantri, 1999: 12). Untuk itu, guru harus mengutamakan kepentingan siswanya dalam kegiatan pembelajaran. Untuk itu pemahaman terhadap karakteristik siswa sangat diperlukan. Guru harus bisa memahami siswanya satu persatu. Dengan memahami siswanya, seorang guru dapat memberikan pendidikan yang tepat untuk setiap siswanya.

Menurut Basset, Jacka, dan Logan (Mulyani Sumantri, 1999:12) karakteristik siswa usia sekolah dasar diantaranya:

1. mereka secara alamiah memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan tertarik akan dunia sekitar yang mengelilingi diri sendiri,


(44)

3. mereka suka mengatur dirinya untuk menangani berbagai hal, mengeksplorasi suatu situasi dan mencobakan usaha-usaha baru,

4. mereka biasanya tergetar perasaannya dan terdorong untuk berprestasi sebagaimana mereka tidak suka mengalami ketidakpuasan dan menolak kegagalan-kegagalan,

5. mereka belajar secara efektif ketika mereka merasa puas dengan situasi yang terjadi, dan

6. mereka belajar dengan cara bekerja, mengobservasi, berinisiatif, dan mengajar anak-anak lainnya.

Piaget (C. Asri Budiningsih, 2002: 38) menyebutkan bahwa siswa usia sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret (7-11 tahun). Siswa pada tahap operasional konkret belum dapat berpikir secara abstrak. Mereka berpikir atas dasar pengalaman konkret atau nyata. Kemampuan untuk berpikir secara abstrak harus didahului dengan kemampuan berpikir secara konkret.

Menurut pendapat Piaget tersebut, anak-anak usia sekolah dasar kelas V belum bisa untuk berpikir secara abstrak, untuk itu diperlukan kegiatan yang nyata agar anak mudah dalam mengolah ilmu. Masa usia skolah dasar juga merupakan masa dimana anak-anak senang bermain. Melalui kegiatan bermain tersebut, kreativitas anak akan terasah. Sehingga, kegiatan bermain juga diperlukan dalam kegiatan pembelajaran.

Rita Eka Izzati (2008: 104-117) mengungkapkan bahwa terdapat enam tahap perkembangan anak, yaitu perkembangan fisik, kognitif, bahasa, moral, emosi, dan sosial.


(45)

1. Perkembangan fisik

Perkembangan fisik pada masa ini lebih cepat, anak akan mengalami perkembangan tinggi, berat, dan kekuatan tubuh dengan pesat. Perkembangan ini menunjang anak untuk belajar berbagai keterampilan yang mereka perlukan dalam kehidupan. Pada masa ini kegiatan fisik sangat diperlukan untuk anak karena energi yang tertumpik pada anak perlu penyaluran.

2. Perkembangan kognitif

Perkembangan kognitif pada masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan dan fungsi berpikir. Piaget menerangkan bahwa masa anak-anak berada pada tahap operasional konkret, yang berarti mereka mampu berpikir logis terhadap objek yang konkret.

3. Perkembangan bahasa

Perkembangan bahasa pada masa ini ditandai dengan banyaknya perbendaharaan kata yang dimiliki anak dan dapat menerapkan kata-kata tersebut dengan tepat. Anak belajar untuk menggunakan tata bahasa yang baik dalam berkomunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Perkembangan bahasa pada masa ini adalah anak belajar untuk berkomunikasi dengan baik.

4. Perkembangan moral

Perkembangan moral pada tahap ini ditandai dengan kemampuan anak memahami aturan, norma, dan etika yang berlaku di masyarakat. Anak sudah mampu memahami dan menunjukkan kesesuaian dengan ilai dan norma di masyarakat. Pandangan tentang benar dan salah yang


(46)

ditanamkan oleh orang tua mulai memudar. Pandangan mereka mengenai konsep benar dan salah dipengaruhi oleh pandangan situasi yang mengikutinya.

5. Perkembangan emosi

Perkembangan emosi anak sangat dipengaruhi oleh pergaulannya. Dalam pergaulannya anak belajar untuk mengungkapkan emosi yang dirasakan dengan cara yang tepat dan mengendalikan emosi yang kurang baik. Ciri-ciri emosi pada anak yaitu:

a. emosi yang dirasakan oleh anak-anak hanya berlangsung sebentar. b. emosi anak kuat, misalnya saat anak marah ia akan terlihat marah

sekali.

c. emosi anak mudah berubah, misalnya saat anak menangis dalam waktu yang singkat ia sudah bisa tertawa.

d. emosi anak nampak berulang-ulang, misalnya sering menangis, sering marah, dan sebagainya.

e. respon emosi anak berbeda-beda, misalnya pada sebuah situasi yang sama ada anak yang takut, tertawa, menangis, dan sebagainya.

f. emosi anak dapat dilihat dari tingkah lakunya.

g. emosi anak mengalami perubahan kekuatannya, misalnya di dalam kelas ada siswa yang malu-malu dalam mengungkapkan pendapatnya, tetapi lama kelamaan ia menjadi berani.

h. ungkapan emosi anak berubah-ubah, misalnya saat menginginkan mainan, jika tidak diberikan anak akan marah, namun setelah diberikan anak akan merasa senang.


(47)

6. Perkembangan sosial

Perkembangan sosial anak dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungan di sekitarnya. Anak mulai memahami diri dan perubahan dalam perkembangan gender dan moral.

F. Penilaian Keterampilan Berbicara di Sekolah Dasar

Kegiatan penilaian memiliki peran penting dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Penilaian dalam pembelajaran bertujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa sudah sesuai dengan tujuan atau tidak. Oleh karena itu, penyusunan alat yang digunakan dalam kegiatan penilaian harus didasarkan pada tujuan yang telah ditetapkan agar dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan.

Pembelajaran keterampilan berbicara bahasa Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam kegiatan berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk itu diperlukan alat penilaian yang dapat mengungkap keterampilan berbicara siswa dengan baik, sehingga diharapkan alat penilaian tersebut dapat menilai komponen-komponen dalam keterampilan berbicara siswa.

Nurgiyanto (Suprawoto Sunardjo, 2009) aspek yang digunakan dalam penilaian berbicara adalah skala penilaian yang digunakan 0-10. Aspek tersebut meliputi:

(1) keakuratan informasi, (2) hubungan antarformasi, (3) ketepatan struktur dan kosa kata, (4) kelancaran, (5) kewajaran, dan (6) gaya pengucapan. Untuk masing-masing butir penilaian tidak harus selalu sama bobotnya, bergantung pada apa yang menjadi fokus penilaian pada saat itu. Yang penting, jumlah semua bobot penilaian 10 atau 100 sehingga mempermudah mendapatkan nilai akhir, yaitu (jumlah nilai x bobot) : 10 atau 100. Misalnya: butir 1, keakuratan informasi berbobot


(48)

20, butir 2, hubungan antarinformasi berbobot 15, butir 3, ketepatan struktur berbobot 20, butir 4, kelancaran berbobot 15, butir 5, kewajaran urutan wacana berbobot 15, butir 6, gaya pengucapan berbobot 15.

Ahmad Rofi’udin dan Darmiyati Zuchdi (1998/1999: 244) menyarankan

penilaian terhadap keterampilan berbicara berdasarkan aspek kebahasaan dan nonkebahasaan. Senada dengan Ahmad Rofi’udin dan Darmiyati Zuchdi, Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S (1991:86-93) berpendapat bahwa penilaian keterampilan berbicara didasarkan pada faktor penunjang keefektifan yaitu faktor kebahasaan dan non kebahasaan. Selain itu, dijelaskan pula garis besar pelaksanaan penilaian keterampilan berbicara sebagai berikut.

1. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk melakukan kegiatan berbicara secara individual atau kelompok dalam waktu tertentu. 2. Guru menentukan faktor-faktor yang dinilai dan diamati.

3. Siswa yang tidak mendapatkan giliran berbicara diberikan tugas mengamati berdasarkan pedoman penilaian.

4. Guru dan siswa aktif mengamati kegiatan siswa yang sedang berbicara.

5. Selesai berbicara para pengamat mengemukakan komentarnya. Guru juga aktif memberikan komentar atau masukan untuk melakukan pembenahan kesalahan siswa.

Penilaian pada penelitian ini mengacu pada pendapat Ahmad Rofi’udin dan Darmiyati Zuchdi tersebut dijabarkan pada kisi-kisi sebagai berikut.


(49)

Tabel 1. Kisi-Kisi Penilaian Keterampilan Berbicara

No Aspek yang dinilai Skor

maksimal

A. Kebahasaan

1. Tekanan 10

2. Ucapan 8

3. Nada dan Irama 10

4. Kosa kata/ungkapan atau diksi 10 5. Struktur kalimat yang digunakan 10

B. Nonkebahasaan

1. Kelancaran 10

2. Penguasaan materi 18

3. Keberanian 10

4. Keramahan 8

5. Sikap 6

Skor maksimal 100

(Modifikasi dari peneliti berdasarkan pendapat Ahmad Rofi’udin dan Darmiyati Zuchdi, 1998/1999: 244)

G.Kerangka Pikir

Berbicara merupakan suatu kegiatan penyampaian pesan dengan bahasa lisan sebagai media untuk mengekspresikan, menyatakan, dan menyampaikan pikiran, gagasan, serta perasaan. Berbicara di dalam kelas menjadi hal yang sulit untuk anak-anak, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kurangnya rasa percaya diri siswa dan kurang berlatih keterampilan berbahasa. Keterampilan berbicara tidak bisa didapatkan dengan hanya membaca atau mendengarkan penjelasan guru, namun perlu adanya latihan secara terus menerus agar kemampuannya meningkat.

Metode pembelajaran role playing memberikan kesempatan yang lebih luas kepada siswa untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Melalui kegiatan ini siswa akan berlatih berbicara di depan teman-temannya, yang akan menumbuhkan rasa percaya diri siswa ketika berbicara di depan umum, melatih kemampuan mengekspresikan ide dan berkomunikasi dengan orang


(50)

lain. Selain itu siswa juga akan dijauhkan dari rasa bosan dengan kegiatan yang menarik ini, sehingga ilmu yang diserap akan semakin banyak.

Gambar 1. Skema Alur Kerangka Pikir

H. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Penggunaan metode role playing dapat meningkatkan proses pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V SDN Wonosari 4.

2. Penggunaan metode role playing dapat meningkatkan hasil proses pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V SDN Wonosari 4.

Pelaksanaan Tindakan

Kondisi Awal

Kondisi Akhir

1. Siswa kurang aktif dan partisipatif dalam pembelajaran

2. Keterampilan berbicara siswa rendah

1. Tindakan penelitian: Pembelajaran keterampilan berbicara menggunakan metode role playing

1. Siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran

2. Keterampilan berbicara siswa meningkat


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilakukan secara kolaboratif. Penelitian tindakan kelas kolaboratif merupakan penelitian yang melibatkan beberapa pihak yaitu guru dan peneliti secara bersama-sama melakukan penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan praktik pembelajaran (Kasihani Kasbolah, 1998: 123). Burns (dalam Wina Sanjaya, 2011: 25) berpendapat bahwa penelitian tindakan kelas adalah penerapan berbagai fakta yang ditemukan untuk memecahkan masalah dalam situasi sosial untuk meningkatkan kualitas tindakan yang dilakukan dengan melibatkan kolaborasi dan kerjasama para peneliti dan praktisi.

Kerjasama antara peneliti dan guru kelas sangat penting untuk memperoleh hasil yang optimal. Tindakan dalam penelitian ini berupa penerapan metode role playing dengan tujuan meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V SD N Wonosari 4.

B. Subjek dan Objek Penelitian

1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah kelas V SD N Wonosari 4 yaitu 19 siswa yang terdiri dari 8 siswa laki-laki dan 11 siswa perempuan, dan 1 guru kelas. Subjek penelitian ini dipilih berdasarkan permasalahan yang ada di kelas V SD N Wonosari 4 Gunungkidul, yaitu tentang rendahnya keterampilan berbicara siswa kelas V. Hal ini diketahui peneliti dari


(52)

wawancara dengan guru kelas dan diperkuat dengan pengamatan terhadap kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia yang berlangsung di kelas V. 2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah keterampilan berbicara siswa kelas V SDN Wonosari 4 melalui metode role playing pada pembelajaran Bahasa Indonesia.

C. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini bertempat di SDN Wonosari 4 yang terletak di Desa Ledoksari, Kecamatan Kepek, Kabupaten Gunungkidul. Peneliti mengambil lokasi ini karena keterampilan berbicara siswa kelas V SDN Wonosari 4 masih rendah dan diperlukannya sebuah metode pembelajaran yang mempermudah siswa mengeluarkan ide dan gagasan secara lisan. Oleh karena itu, dipilih role playing sebagai metode pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V SDN Wonosari 4.

2. Waktu Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah pada semester I tahun pelajaran 2015/2016 pada bulan Oktober dan November 2015.

D. Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan model yang dikemukakan oleh Kemmis dan McTaggart. Untuk lebih jelasnya, berikut ini bentuk desain penelitian yang dikemukakan Kemmis dan McTaggart (Hamzah B.Uno, dkk, 2011: 87).


(53)

Siklus I : 1. Perencanaan I.

2. Tindakan dan Observasi I. 3. Refleksi I.

Siklus II : 1. Perencanaan II.

2. Tindakan dan observasi II 3. Refleksi II.

Gambar 2. Desain Penelitian menurut Kemmis dan McTaggart

Model yang dikemukakan oleh Kemmis dan McTaggart pada hakikatnya berupa perangkat-perangkat atau untaian-untaian dengan satu perangkat terdiri dari empat komponen, yaitu perencanaan, tindaan, pengamatan, dan refleksi. Keempat komponen yang berupa untaian tersebut dapat dipandang sebagai satu siklus. Oleh karena itu satu siklus pada kesempatan ini adalah suatu putaran kegiatan yang terdiri dari empat komponen tersebut.

Gambar di atas tampak bahwa di dalamnya terdiri dari dua perangkat komponen yang dapat dikatakan sebagai dua siklus. Namun untuk pelaksanaan yang sesungguhnya, jumlah siklus sangat bergantung kepada permasalahan yang perlu diselesaikan.

Setiap siklus terdiri dari empat perangkat komponen yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Berikut penjelasan dari masing-masing kegiatan. 1 4 4 2 2 1 0 ▼ ◄ ► ▼ ► ◄ ▲3 ▲3


(54)

1. Perencanan

Pada tahap perencanaan, dilakukan pengamatan pembelajaran di kelas V SDN Wonosari 4. Dari hasil pengamatan selama pembelajaran bahasa Indonesia, diperoleh suatu permasalahan yaitu keterampilan berbicara siswa masih rendah, dimana siswa tidak terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran dan tampak ragu-ragu dalam menyampaikan pendapat. Dari masalah tersebut, maka peneliti dalam tahap perencanaan ini dapat membuat sebuah perencanaan yaitu:

a. menentukan materi pelajaran Bahasa Indonesia, yaitu kepahlawanan. b. merancang instrumen sebagai pedoman penilaian dan observasi

pelaksanaan pembelajaran.

c. merancang langkah-langkah pembelajaran Bahasa Indonesia berupa rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). RPP siklus I tersaji pada lampiran 4.

d. melatih guru menggunakan metode role playing dalam kegiatan pembelajaran.

2. Pelaksanaan Tindakan

Pada tahap ini guru menyampaikan materi pembelajaran sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang telah dibuat. Langkah-langkah yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran menggunakan metode role playing adalah sebagai berikut.

a. Siswa bersama guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil, setiap kelompok beranggotakan 3 siswa.


(55)

c. Siswa mendengarkan penjelasan guru tentang materi pembelajaran. d. Siswa menentukan peran masing-masing dengan bimbingan guru. e. Siswa berlatih memainkan peran dengan bimbingan guru.

f. Salah satu kelompok melakukan kegiatan role playing, sementara siswa lain berperan sebagai penyimak.

g. Siswa dan guru berdiskusi mengevaluasi kegiatan role playing yang dilakukan.

h. Siswa memerankan kembali peran masing-masing sesuai dengan perbaikan yang telah dilakukan.

i. Siswa dan guru kembali berdiskusi dan mengevaluasi kegiatan role playing yang dilakukan.

3. Observasi

Observasi dilakukan selama kegiatan pembelajaran menggunakan metode role playing berlangsung. Observasi dilakukan dengan menggunakan lembar observasi yang telah disusun dengan tujuan untuk mengamati pembelajaran, aktivitas guru dan siswa, serta situasi dan kondisi selama pembelajaran berlangsung. Selain itu pada tahap ini juga dilakukan observasi terhadap semua proses tindakan, hasil tindakan, dan kendala-kendala yang terjadi selama kegiatan berlangsung.

4. Refleksi

Pada tahap ini peneliti mencermati dan menganalisis data yang diperoleh selama observasi meliputi kendala-kendala, kondisi awal, kondisi akhir, keberhasilan yang dicapai dan tindakan yang sudah atau


(56)

belum dilaksanakan guna menyusun tindakan-tindakan perbaikan yang akan digunakan pada siklus selanjutnya untuk melakukan penyempurnaan jika belum mencapai indikator keberhasilan yang diinginkan.

E. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 265) teknik pengumpulan data merupakan suatu usaha sadar untuk mengumpulkan data yang dilakukan secara sistematis, dengan prosedur terstandar. Pengumpulan data bisa dilakukan melalui tes, angket, observasi, wawancara, skala bertingkat, ataupun dokumentasi. Pada penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah tes dan observasi.

1. Tes

Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 193) tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Tes yang digunakan adalah tes unjuk kerja untuk mengukur keterampilan berbicara siswa kelas V SDN Wonosari 4.

2. Observasi

Observasi meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu obyek dengan seluruh alat indra (Suharsimi Arikunto, 2010: 199). Kegiatan observasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap. Observasi merupakan pengamatan


(57)

langsung, dalam artian penelitian observasi dapat dilakukan dengan tes, kuesioner, rekaman gambar, dan rekaman suara.

Pelaksanaan kegiatan observasi bersamaan dengan proses pembelajaran. Melalui kegiatan observasi peneliti akan memiliki catatan tentang gambaran kejadian konkret di lapangan, yang nantinya dapat membantu peneliti dalam mengetahui tingkat ketercapaian sasaran pembelajaran. Hal yang perlu dicatat dalam kegiatan observasi antara lain proses tindakan, pengaruh tindakan, situasi saat dilakukan tindakan, dan kendala yang dihadapi. Observasi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan lembar observasi yang dilakukan untuk mengamati aktivitas guru dan siswa dalam mengikuti pembelajaran keterampilan berbicara.

3. Dokumentasi

Dokumen ditujukan untuk memperoleh data langsung dari tempat penelitian (Sudaryono, 2013: 41). Dokumentasi digunakan untuk memperkuat data yang diperoleh selama observasi dan memberikan gambaran secara konkret mengenai keterampilan proses siswa selama proses pembelajaran. Dalam penelitian ini, dokumen yang digunakan adalah video kegiatan siswa saat menampilkan drama.

F. Instrumen Penelitian

Suharsimi Arikunto (2010: 265) berpendapat bahwa instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih


(58)

cermat, lengkap dan sistematis. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua instrumen yaitu:

1. Tes keterampilan berbicara

Tes keterampilan berbicara dilakukan dengan mengamati siswa saat sedang melakukan kegiatan role playing. Penilaian keterampilan berbicara mencakup aspek-aspek kebahasaan dan nonkebahasaan yang dikemukakan oleh Ahmad Rofi’udin dan Darmiyati Zuchdi.

(Lembar tes dan hasil tes tersaji pada lampiran 7 sampai 11) 2. Lembar Observasi

Lembar observasi digunakan sebagai pedoman saat melakukan pengamatan untuk memperoleh data yang diinginkan. Lembar observasi yang digunakan dalam penelitian ini berupa lembar observasi guru dan siswa. Lembar observasi guru dan siswa digunakan untuk mencatat aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. (Lembar Observasi dan hasil observasi tersaji pada lampiran 12

sampai 23)

G. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis data kualitatif digunakan untuk menganalisis hasil observasi lapangan baik dari guru maupun siswa yang dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung. Sedangkan analisis data secara deskriptif kuantitatif dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menghitung rerata hasil tes keterampilan berbicara siswa guna memperoleh


(59)

data peningkatan keterampilan berbicara siswa. Data yang diperoleh dihitung dengan langkah sebagai berikut.

1. Menghitung nilai rata-rata (mean) keterampilan berbicara pada pra siklus, siklus I, dan siklus II. Rumus untuk menghitung rata-rata (mean) adalah sebagai berikut.

2.

Keterangan:

X = Nilai rata-rata(mean) ∑x = Jumlah nilai seluruh siswa N = Jumlah siswa

(Suharsimi Arikunto, 2007: 284-285)

3. Menghitung persentase siswa yang telah mencapai nilai rata-rata yang telah ditentukan. Persentase dapat diperoleh dengan rumus:

� = � �ℎ � � � ����� � �� � � − � � �ℎ � ℎ � � × %

Keterangan:

P = angka persentase

4. Nilai rata-rata (mean) dan angka presentase ketuntasan yang diperoleh dibandingkan dari sebelum tindakan dan sesudah tindakan untuk mengetahui apakah sudah diperoleh peningkatan setelah diadakan tindakan.

Data yang telah terkumpul selanjutnya akan dikelompokkan sesuai dengan kriteria keterampilan berbicara. Menurut Burhan Nurgiyantoro (2010:


(60)

253) penentuan kriteria dikelompokkan menjadi empat rentang nilai sebagai berikut.

Tabel 2. Kriteria Penguasaan Keterampilan Berbicara Interval presentase

tingkat penguasaan

Nilai ubahan skala empat

Keterangan

1-4 A-D

86-100 4 A Baik Sekali

76-85 3 B Baik

56-74 2 C Cukup

10-55 1 D Kurang

H. Kriteria Keberhasilan

Keberhasilan proses mengajar dapat mencapai kriteria baik atau minimal 60% - 75% siswa yang menguasai bahan ajar dan 75% atau lebih yang mengikuti proses belajar mengajar mencapai taraf keberhasilan minimal, optimal, atau bahkan maksimal (Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 2002: 122). Dalam penelitian ini indikator keberhasilan yang digunakan adalah proses pembelajaran dan hasil pembelajaran keterampilan berbicara. Proses pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V SD N Wonosari 4 dikatakan berhasil apabila siswa menjadi lebih aktif dalam proses pembelajaran, diantaranya tidak ragu dalam mengemukakan pendapat dan aktif dalam bertanya di dalam kelas. Sedangkan pembelajaran keterampilan berbicara dikatakan berhasil apabila siswa telah mencapai nilai rata-rata 75 dan apabila 80% siswa telah menguasai keterampilan berbicara.


(61)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Penelitian

1. Deskripsi Hasil Pengamatan Awal

Langkah awal yang dilakukan peneliti yaitu mengamati pembelajaran Bahasa Indonesia yang terkait dengan keterampilan berbicara siswa kelas V SDN Wonosari 4 Gunungkidul. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan guru kelas, metode yang digunakan selama proses pembelajaran berlangsung menggunakan metode ceramah. Berbicara dalam kegiatan pembelajaran dianggap hal yang sulit untuk siswa kelas V. Hal ini dapat dilihat selama kegiatan pembelajaran berlangsung, sebagian besar siswa cenderung tidak aktif. Keaktifan siswa yang dimaksud adalah aktif mengajukan pertanyaan, pendapat, dan menjawab pertanyaan. Siswa cenderung diam saat guru mengajukan pertanyaan atau diminta mengemukakan pendapat, bahkan ada siswa yang asik bermain sendiri dan tidak memperhatikan pertanyaan yang diberikan oleh guru. Guru juga mengungkapkan bahwa praktik kegiatan berbicara memerlukan waktu yang lama apabila diterapkan dalam kegiatan pembelajaran.

Rendahnya keterampilan berbicara siswa kelas V SDN Wonosari 4 juga dapat dilihat dari tabel contoh nilai kegiatan berbicara yang diperoleh dari kegiatan berbicara sebelum dilakukan tindakan berikut ini.


(62)

Tabel 3. Sampel Nilai Keterampilan Berbicara Pratindakan

Nama Nilai Keterangan

LIN 30 Terendah

NIS 56 Sedang

NIL 77 Tertinggi

Nilai terendah yang diperoleh siswa adalah 30. Pembicaraan yang diungkapkan oleh siswa LIN sulit untuk dipahami, karena volume suaranya yang hampir tidak bisa didengar. Siswa NIS memperoleh nilai 56 dalam kategori sedang. Volume suara siswa NIS kurang keras, selain itu belum ada penempatan nada dan irama maupun tekanan dalam berbicara. Siswa NIL memperoleh nilai tertinggi sebesar 77. Siswa NIL sudah berbicara cukup lancar dan volume suaranya cukup keras.

Nilai rata-rata sebesar 58,26 belum mencapai target nilai yang diinginkan, yaitu sebesar 75. Presentase ketuntasan siswa baru mencapai 10,52% dari target pencapaian 80%. Jadi masih tersisa 69,48% siswa yang harus tuntas untuk mencapai target tersebut.

Berdasarkan hasil observasi kondisi awal serta nilai keterampilan berbicara siswa, peneliti melakukan perbaikan dengan menyusun kegiatan pembelajaran yang diharapkan mampu meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V SDN Wonosari 4. Peningkatan yang diharapkan yaitu siswa memperoleh nilai rata-rata yang telah ditetapkan yaitu 75. Selain itu 80% siswa kelas V dapat mencapai nilai rata-rata yang telah ditetapkan dan dapat dikatakan tuntas. Untuk itu diperlukan metode pembelajaran yang dapat menumbuhkan sikap aktif siswa di dalam kegiatan pembelajaran, khususnya untuk menumbuhkan motivasi siswa dalam mengembangkan keterampilan berbicaranya.


(63)

2. Pelaksanaan Tindakan Siklus I

Pelaksanaan siklus I terdiri atas empat tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, (tindakan), pengamatan (observasi), dan refleksi. Keempat tahapan tersebut dipaparkan sebagai berikut.

a. Perencanaan Tindakan Siklus I

Pada tahap perencanaan ini guru dan peneliti mempersiapkan kegiatan yang akan dilaksanakan pada siklus I. Persiapan yang dilakukan adalah sebagai berikut.

1) Guru dan peneliti menentukan indikator yang akan dilaksanakan dalam proses pembelajaran yaitu membaca teks dialog drama dengan lancar, memerankan tokoh drama dengan lafal, intonasi, dan ekspresi dengan tepat, serta mengungkapkan pikiran secara lisan.

2) Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan dilaksanakan untuk tiga pertemuan dengan tema pembelajaran kepahlawanan. Selain itu guru dan peneliti mempersiapkan teks dialog yang akan digunakan dalam kegiatan role playing yang berjudul “Sang Maestro Rudi Hartono”, menyiapkan alat bantu (nomor dada) untuk mempermudah peneliti mengobservasi dan memberikan penilaian terhadap siswa.

3) Melatih guru melaksanakan kegiatan pembelajaran menggunakan metode role playing.

4) Menyiapkan lembar observasi dan lembar penilaian mengenai keterampilan berbicara yang mencakup aspek kebahasaan dan nonkebahasaan.


(64)

Tindakan pada siklus I dilaksanakan selama 3 kali pertemuan yang terbagi ke dalam 6 jam pelajaran. Setiap pertemuan terdiri dari 2 jam pelajaran yang berlangsung selama 70 menit (2x35 menit).

b. Pelaksanaan Tindakan Siklus I 1) Pertemuan 1

Pertemuan pertama pada siklus I ini dilaksanakan pada hari Kamis, 29 Oktober 2015 pukul 09.40 – 10.50 yang dideskripsikan sebagai berikut.

a) Kegiatan Awal

Setelah bel masuk istirahat berbunyi, siswa kelas V masuk ke dalam kelas. Guru selanjutnya mengkondisikan siswa agar siap menerima pelajarankemudian melakukan apersepsi dengan bertanya kepada siswa, “adakah diantara kalian yang tahu Rudi Hartono?”, Siswa menjawab, “tidak tahu pak” . Guru kemudian menceritakan bahwa Rudi Hartono adalah pahlawan bulutangkis Indonesia karena prestasinya menjuarai kejuaraan All England. Selanjutnya guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai pada pertemuan pertama yaitu, setelah membaca teks dialog drama siswa mampu memahami peran masing-masing tokoh, sehingga siswa dapat memerankan tokoh tersebut dengan baik.

b) Kegiatan Inti

Guru menjelaskan metode role playing kepada siswa. Guru menjelaskan rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam kegiatan role playing yaitu, membentuk kelompok, mempelajari naskah


(65)

dialog, memahami materi pembelajaran tentang konsep kegiatan role playing, membagi peran dalam kelompok, berlatih memainkan peran, melaksanakan pemeranan, dan melakukan evaluasi setiap pemeranan. Kemudian guru membagi kelas menjadi tujuh kelompok dengan dua sampai tiga anggota setiap kelompoknya. Pembagian kelompok dilakukan dengan cara berhitung satu sampai tujuh dimulai dari barisan siswa yang berada di depan meja guru. Siswa yang menyebutkan nomor satu berkumpul menjadi satu kelompok, siswa yang menyebutkan nomor dua juga berkumpul menjadi satu kelompok, dan seterusnya hingga siswa yang menyebutkan nomor tujuh.

Guru memberikan naskah dialog kepada siswa setelah siswa berkumpul bersama kelompoknya. Siswa diminta untuk membaca naskah, kemudian guru membimbing setiap kelompok untuk memahami karakter masing-masing tokoh dengan mengunjungi setiap kelompok dan bertanya, “bagaimana karakter masing-masing tokoh dalam teks tersebut?”. Setelah mampu memahami karakter dari tokoh tersebut, siswa diminta berdiskusi dengan kelompoknya untuk membagi peran masing-masing. Siswa diminta untuk berlatih memerankan peran bersama kelompoknya. Guru membimbing setiap kelompok secara bergantian, mengarahkan siswa dalam menempatkan tekanan dan nada dan irama dalam setiap kalimat. Setelah kegiatan berlatih dirasa cukup, guru mengajak siswa untuk berdiskusi menyimpulkan materi dengan bertanya kepada siswa,


(66)

“hari ini kita sudah belajar tentang apa saja?”, siswa menjawab, “bermain role playing”, “langkah-langkah bermain role playing pak”. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya terkait kegiatan role playing.

c) Kegiatan Akhir

Untuk menutup pembelajaran pada pertemuan ke-1 siklus I, guru melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang berlangsung. Guru menyampaikan kekurangan dalam pembelajaran pertama, seperti adanya perdebatan dari siswa tentang pembagian kelompok dan kurang tertibnya siswa dalam kegiatan pembelajaran. Kemudian memberikan motivasi kepada siswa agar rajin berlatih kegiatan role playing.

2) Pertemuan 2

Pertemuan kedua pada siklus I ini dilaksanakan pada hari Jumat, 30 Oktober 2015 pukul 08.00 – 09.10 yang dideskripsikan sebagai berikut. a) Kegiatan Awal

Kegiatan diawali dengan salah satu siswa memimpin berdoa. Guru selanjutnya bertanya kepada siswa, “apa saja yang telah kita pelajari pada pertemuan sebelumnya?”. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai pada pertemuan kedua yaitu, memerankan tokoh drama dengan lafal, intonasi, dan ekspresi dengan tepat dan mengungkapkan pikiran secara lisan.


(67)

b) Kegiatan Inti

Siswa diberikan nomor dada sesuai dengan nomor presensi agar peneliti lebih mudah dalam melakukan observasi. Siswa dan guru mengatur setting kelas agar siswa leluasa dalam kegiatan. Meja dan kursi diatur lebih mundur kebelakang, sehingga bagian depan kelas memiliki cukup ruang untuk kegiatan role playing. Guru menjelaskan aspek kebahasaan dan nonkebahasaan yang menjadi fokus dalam penilaian role playing yaitu, tekanan, ucapan, nada dan irama, kosa kata, struktur kalimat, kelancaran, penguasaan materi, keberanian, keramahan, dan sikap agar siswa mampu menyesuaikan penampilannya dengan aspek yang akan dinilai.

Salah satu perwakilan kelompok diminta untuk membacakan naskah role playing. Guru menanyakan kepada siswa, “ada yang ingin maju pertama?”. Satu persatu kelompok secara suka rela maju ke depan kelas untuk memerankan dialog. Kelompok yang belum dan yang sudah mendapat giliran memainkan peran mengamati kelompok yang tampil. Kelompok yang menjadi pengamat memberikan tanggapan dan masukan tentang penampilan kelompok yang mendapat giliran memainkan peran. Guru mengarahkan komentar yang diberikan siswa sebagai bahan evaluasi kelompok yang mendapatkan komentar. Siswa dan guru berdiskusi tentang kekurangan dan kelebihan setiap kelompok dalam memainkan peran agar setiap kelompok dapat memperbaiki penampilannya


(1)

148

Dokumentasi Kegiatan

Gambar 1. Guru menjelaskan materi Gambar 2. Guru membimbing siswa kegiatan role playing. memahami naskah role playing.

Gambar 3. Siswa berdiskusi menentukan Gambar 4. Siswa berlatih role playing

peran masing-masing. bersama Kelompoknya.

Gambar 5. Siswa tampil memainkan Gambar 6. Siswa tampil memainkan


(2)

149

SURAT KETERANGAN

PENELITIAN


(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERMAIN DRAMA MENGGUNAKAN METODE ROLE PLAYING DENGAN MULTIMEDIA PADA SISWA KELAS V SDN PURWOYOSO 06 SEMARANG

2 41 317

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA RAGAM KRAMA INGGIL MELALUI METODE ROLE PLAYING SISWA KELAS IVB SDN TAMBAKAJI 01 SEMARANG

0 6 203

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA BAHASA JAWA RAGAM KRAMA LUGU MELALUI METODE ROLE PLAYING PADA SISWA KELAS IIA SDN KARANGAYU 02 SEMARANG

1 19 188

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA DENGAN MENGGUNAKAN METODE ROLE PLAYING PADA SISWA KELAS V SDN PANDAK I SIDOHARJO SRAGEN TAHUN AJARAN 2010 2011

0 8 125

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI PENERAPAN STRATEGI ROLE PLAYING PADA SISWA Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Penerapan Strategi Role Playing Pada Siswa Kelas V SD Negeri Kebonharjo Klaten Tahun Ajaran 2012/2013.

0 1 16

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI PENERAPAN STRATEGI ROLE PLAYING PADA SISWA Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Penerapan Strategi Role Playing Pada Siswa Kelas V SD Negeri Kebonharjo Klaten Tahun Ajaran 2012/2013.

0 0 12

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA MELALUI METODE BERMAIN PERAN (ROLE PLAYING) PADA SISWA KELAS V SD NEGERI CITRASARI.

0 2 39

(ABSTRAK) PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA BAHASA JAWA RAGAM KRAMA LUGU MELALUI METODE ROLE PLAYING PADA SISWA KELAS IIA SDN KARANGAYU 02 SEMARANG.

0 0 2

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA DALAM DRAMA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF ROLE PLAYING PADA SISWA KELAS V SDN 6 TERBAN KUDUS SKRIPSI

0 0 19

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA MENGGUNAKAN METODE ROLE PLAYING DI KELAS IV SD

0 0 10