PENGARUH LOKASI USAHA DAN JAM KERJA TERH

PENGARUH LOKASI USAHA DAN JAM KERJA TERHADAP PENDAPATAN USAHA PEKERJA SEKTOR INFORMAL (Studi Kasus Pada Pedagang Kaki Lima di Peron Stasiun Kereta Api JABODETABEK)

Oleh:

ABDUL ROZAK NIM : 104082002600

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M

PENGARUH LOKASI USAHA DAN JAM KERJA TERHADAP PENDAPATAN USAHA PEKERJA SEKTOR INFORMAL

(Studi Kasus Pada Pedagang Kaki Lima di Peron Stasiun Kereta Api JABODETABEK)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi Dan Ilmu Sosial Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Meraih Gelar Sarjana Ekonomi

Oleh ABDUL ROZAK NIM: 104082002600

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Abdul Hamid, MS Amilin, S.E, Ak, M.Si NIP. 131 474 891 NIP. 150 370 232

JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M

Pada Tanggal Delapan Belas Mei Tahun Dua Ribu Sembilan, telah dilakukan Ujian Komprehensif atas nama ABDUL ROZAK NIM 104082002600 dengan judul Skripsi

“PENGARUH LOKASI USAHA DAN JAM KERJA TERHADAP

PENDAPATAN USAHA PEKERJA SEKTOR INFORMAL (Studi Kasus Pada Pedagang Kaki Lima di Peron Stasiun Kereta Api JABODETABEK)”. Memperhatikan penampilan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 18 Mei 2009

Tim Penguji Ujian Komprehensif

Afif Sulfa, S.E, Ak, M.Si Yessi Fitri, S.E, Ak, M.Si

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Abdul Hamid, MS

Penguji Ahli

Hari ini Tanggal Dua Puluh Lima Juni Tahun Dua Ribu Sembilan, telah dilakukan Ujian Sidang Skripsi atas nama ABDUL ROZAK NIM 104082002600 dengan judul Skripsi “PENGARUH LOKASI USAHA DAN JAM KERJA TERHADAP PENDAPATAN USAHA PEKERJA SEKTOR INFORMAL (Studi Kasus Pada Pedagang Kaki Lima di Peron Stasiun Kereta Api JABODETABEK)”. Memperhatikan penampilan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 25 Juni 2009

Tim Penguji Ujian Sidang Skripsi

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Abdul Hamid, MS Amilin, S.E, Ak, M.Si

Penguji Ahli

Yessi Fitri, S.E, Ak, M.Si

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama

: Abdul Rozak

2. Tempat & Tgl. Lahir : Jakarta, 7 September 1983

3. Agama

: Islam

4. Alamat Domisili : Jalan Buaran III Rt. 005/015 Jakarta Timur

5. Telepon : 085959541829 / 02196630367

II. PENDIDIKAN

1. SD

: SD Negeri 07 Pagi

2. SMP

: SLTP Negeri 265

3. SMA

: SMU Negeri 37

4. S1 : Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta

III. PENGALAMAN ORGANISASI

1. Rohis SMU Negeri 37

IV. LATAR BELAKANG KELUARGA

1. Ayah

: A.K. Hamdan (Alm)

2. Tempat & Tgl. Lahir

: Jakarta, 9 Juli 1937

3. Alamat : Jalan Buaran III Jakarta Timur

5. Ibu

: Suhanah

6. Tempat & Tgl. Lahir : Jakarta, 10 Februari 1942

7. Alamat : Jalan Buaran III Jakarta Timur

8. Telepon

9. Anak Ke dari : 11 dari 11 bersaudara

INFLUENCE EFFORT LOCATION AND WORK HOUR TO EFFORT INCOME WORKER SECTOR INFORMAL

(Study case to retail seller on the peron train station JABODETABEK)

ABSTRACT

The purpose of this research is to analyze the influence of effort location work hour the level income, the sample used in this research are 70 correspondences to retail seller on the peron train station Jabodetabek. The method of statistic using mode regresion double linear. The method of sampling using convenience sampling ( the data is taken based on ease). The data is collected by questionnaires which is taken from 70 correspondences who are willing to fill the question.

The data quality test which is used in this research is validity test using pearson correlation, the reliability test using cronbach alpha and the hypothesis test using determinant coefficient (R 2 ), F test and t test. The result of this research showed that effort location and work hour effects toward income with significantly value 0,000.

Keyword: Effort Location, Work Hour, Income

PENGARUH LOKASI USAHA DAN JAM KERJA TERHADAP PENDAPATAN USAHA PEKERJA SEKTOR INFORMAL

(Studi Kasus Pada Pedagang Kaki Lima di Peron Stasiun Kereta Api JABODETABEK)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh lokasi usaha dan jam kerja terhadap pendapatan usaha sektor informal (Studi kasus pada pedagang kaki lima di peron stasiun JABODETABEK). Metode statistik yang digunakan adalah model regresi linier berganda. Metode penentuan sampel yang digunakan adalah convenience sampling (Pengambilan data berdasarkan kemudahan). Pengambilan data dari kuesioner, yang mana kuesioner tersebut diisi oleh 70 responden yang mengisi pertanyaan.

Uji kualitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji validitas dengan menggunakan pearson correlation, dan uji reliabilitas menggunakan cronbach alpha

serta uji hipotesis dengan menggunakan koefisien determinasi (R 2 ), uji F, dan uji t. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa variabel lokasi usaha dan jam kerja secara

simultan berpengaruh terhadap pendapatan dengan nilai signifikansi sebesar 0,000.

Kata Kunci: Lokasi Usaha, Jam Kerja dan Pendapatan

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah senantiasa peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul:

“Pengaruh Lokasi Usaha Dan Jam Kerja Terhadap Pendapatan Usaha Pekerja

Sektor Informal (Studi Kasus Pada Pedagang Kaki Lima di Peron Stasiun Kereta Api JABODETABEK)”. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah memberikan cahaya benderang dalam perkembangan Islam.

Peneliti menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati peneliti ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Orang tua yang telah memberikan dorongan moril dan materi serta doa, nasehat dan kasih sayangnya dengan segala jerih payah tanpa mengenal lelah.

2. Abang dan kakak-kakakku yang telah banyak berjasa memberikan dorongan moril dan materi serta doa, nasehat dan kasih sayangnya.

3. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dosen Pembimbing I yang setia membimbing saya dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Amilin, S.E, M.Si, A.k. selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi selama ini.

5. Seluruh staff pengajar dan karyawan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan kepada penulis.

6. Tika yang telah setia membantu baik materiil maupun moril serta doanya dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Teman-teman akuntansi A angkatan 2004 yang telah memberikan bantuan dan semangatnya dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Terima kasih untuk sahabat dekatku sanusi, dayat, dan untuk keponakan-keponakan aku yang lucu-lucu dan manis yang telah memberikan semangat, dorongan serta doanya dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga Allah SWT memberikan semua kebaikan kepada pihak yang telah disebutkan atau yang tidak saya sebutkan atas bantuannya kepada penulis. Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis mempersembahkan skripsi ini kepada semua pihak yang berkepentingan, dengan harapan skripsi ini dapat bermanfaat, amiin.

Jakarta, Februari 2009

Abdul Rozak

1. Uji Normalitas ……………………………………………. 49

2. Uji Multikolinearitas ……………………………............... 50

3. Uji Heteroskedastisitas …………………………………… 50

E. Hasil Uji Hipotesa ………………………………………….. 52

1. Uji Koefisien Determinasi ………………………………. 52

2. Uji Signifikansi Parameter Individual ( Uji t)…………… 53

3. Uji Signifikansi Parameter Simultan ( Uji F) …………. .. 54

F. Pembahasan Hasil Pengujian Hipotesis ……………………. 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………………………………………………….. 58

B. Saran………………………………………………………… 58

DAFTAR PUSTAKA .............................................................. .. 60

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fenomena sektor informal terutama pedagang kaki lima tidak pernah luput dari aktivitas penduduk kota Jakarta. Tidak asing dalam aktivitas sehari-hari, penduduk kota Jakarta bersentuhan dengan pedagang kaki lima. Seorang karyawan berangkat dengan menggunakan bus yang di dalamnya hadir para pedagang- pedagang asongan yang menawarkan barang dagangannya. Pada jam makan siang, ia pergi makan ke warung makan di sekitar kantor. Saat pulang kerja sambil menunggu bus ia membeli minuman ringan pada pedagang kaki lima di halte bus sambil menikmati rokok. Sampai di terminal atau stasiun, sambil menunggu bus atau kereta mereka masih sempat menikmati rokok dan makanan kecil yang dijual oleh pedagang sekitar.

Tidak hanya itu, mereka juga masih meluangkan waktu melihat-lihat beraneka barang dagangan yang dijajakan oleh pedagang-pedagang lainnya seperti koran dan majalah, kaset, serta berbagai barang lainnya. Begitu pun pada malam hari banyak pedagang kaki lima yang berkeliling berjualan dengan alat gerobak atau lainnya seperti tukang bakso, nasi goreng, dan lain-lain. Kenyataan ini memperlihatkan bagaimana dalam aktivitas sehari-hari pedagang kaki lima bersentuhan dengan kita. Sekitar terminal, stasiun kereta api, pasar, halte, trotoar dan badan jalan, tempat hiburan, kampus, perkantoran dan tempat-tempat keramaian lainnya adalah lokasi usaha yang tepat untuk para pedagang kaki lima.

Di daerah Rawasari Jakarta Pusat, pedagang keramik dan pedagang kaki lima lainnya kehilangan tempat untuk berjualan karena adanya penggusuran oleh Di daerah Rawasari Jakarta Pusat, pedagang keramik dan pedagang kaki lima lainnya kehilangan tempat untuk berjualan karena adanya penggusuran oleh

Sementara itu, Walikota Jakarta Pusat Muhayat menyatakan, kios keramik, rotan, dan pemukiman warga di kawasan Rawasari pasti akan ditertibkan (Kompas,

31 Januari 2008). Dalam laporan Akhir Pengkajian Ekonomi Mikro Kota Depok yang diselenggarakan oleh kerjasama antara Laboratorium Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Depok menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang kaki lima menolak untuk direlokasi dengan alasan lokasi yang ditempati sekarang menguntungkan dan apabila ada tawaran relokasi mereka akan memilih lokasi usaha sekitar pasar, terminal dan stasiun serta di pinggir jalan yang ramai (Kerjasama antara Laboratorium Studi Manajemen FEUI dengan Bappeda kota Depok, 2001:31). Untuk itulah lokasi-lokasi yang dianggap strategis adalah tempat- tempat umum yang dilalui orang, dimana mereka merupakan calon pembeli.

Adanya berbagai bentuk perlawanan terhadap penertiban dan penolakan untuk direlokasi, mengindikasikan bahwa lokasi usaha tersebut dinilai mampu menyerap barang dagangannya. Volume penjualan yang lebih tinggi disuatu daerah tertentu memberikan indikasi bahwa daerah tersebut lebih strategis. Tingginya volume penjualan barang dagangan berarti telah memupuk keuntungan yang dapat Adanya berbagai bentuk perlawanan terhadap penertiban dan penolakan untuk direlokasi, mengindikasikan bahwa lokasi usaha tersebut dinilai mampu menyerap barang dagangannya. Volume penjualan yang lebih tinggi disuatu daerah tertentu memberikan indikasi bahwa daerah tersebut lebih strategis. Tingginya volume penjualan barang dagangan berarti telah memupuk keuntungan yang dapat

Di Jakarta, jam kerja pedagang kaki lima pada umumnya dari jam 06.00 hingga jam 18.00. Namun, sebagian kecil dari mereka terdapat juga yang berkerja sampai larut malam (Rusli, 1992:93). Bahkan ada juga pedagang kaki lima yang menjual barang dagangannya selama 24 jam penuh. Mereka itu adalah pedagang warung langsam yang beroperasi di sekitar jalan Margonda Depok (Kerjasama Laboratorium Studi Manajemen FEUI dengan Bappeda Kota Depok, 2001:32).

Pertumbuhan penduduk kota yang tinggi secara otomatis memerlukan penambahan berbagai sarana dan prasarana. Penambahan sarana transportasi umum secara langsung membuka peluang untuk perluasan jalan, rel, terminal, dan stasiun. Perluasan tersebut membawa peluang bahwa konsumen mereka juga akan meningkat. Peningkatan ini akan membawa perubahan tingkat strategisnya stasiun sebagai lokasi usaha pedagang kaki lima. Logika tersebut persis ditunjukkan oleh fenomena usaha kaki lima di peron stasiun kereta api dan sekitarnya. Hal itu ditandai dengan adanya sarana usaha yang setengah permanen. Bangunan– bangunan permanen memang belum ada tetapi sarana usaha seperti meja dan kursi duduk memberikan gambaran bahwa peron stasiun merupakan salah satu lokasi yang mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan usaha pedagang kaki lima.

Dari uraian tersebut sepintas dapat dijelaskan hubungan antara berbagai masalah usaha kaki lima, terutama arti peron stasiun kereta api sebagai lokasi usaha yang mampu memberikan pendapatan bagi pedagang kaki lima. Sebagai pedagang kecil, memaksimalkan waktu yang ada untuk berjualan merupakan usaha Dari uraian tersebut sepintas dapat dijelaskan hubungan antara berbagai masalah usaha kaki lima, terutama arti peron stasiun kereta api sebagai lokasi usaha yang mampu memberikan pendapatan bagi pedagang kaki lima. Sebagai pedagang kecil, memaksimalkan waktu yang ada untuk berjualan merupakan usaha

1. Lokasi usaha sebagai variabel bebas

2. Jam kerja sebagai variabel bebas

3. Pendapatan usaha sebagai variabel terikat Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wulan Ratna (2000), variabel jam kerja mempunyai pengaruh yang positif terhadap laba. Dari sudut pandang itulah pokok masalah tersebut menjadi awal penyusunan penelitian yang hendak saya lakukan dengan mengambil judul: “Pengaruh Lokasi Usaha dan Jam Kerja

Terhadap Pendapatan Usaha Pekerja Sektor Informal (Pedagang Kaki Lima) di

peron Stasiun Kereta Api JABODETABEK”.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Masalah yang diteliti selanjutnya dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah lokasi usaha berpengaruh terhadap pendapatan usaha pedagang kaki lima di peron Stasiun Kereta Api JABODETABEK?

2. Apakah jam kerja berpengaruh terhadap pendapatan usaha pedagang kaki lima di peron Stasiun Kereta Api JABODETABEK?

3. Apakah lokasi usaha dan jam kerja berpengaruh secara simultan terhadap pendapatan usaha pedagang kaki lima di peron Stasiun Kereta Api JABODETABEK?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui pengaruh lokasi usaha terhadap pendapatan usaha pedagang kaki lima di peron Stasiun Kereta Api JABODETABEK.

2. Untuk mengetahui pengaruh jam kerja terhadap pendapatan usaha pedagang kaki lima di peron Stasiun Kereta Api JABODETABEK.

3. Untuk mengetahui pengaruh lokasi usaha dan jam kerja secara simultan terhadap pendapatan usaha pedagang kaki lima di peron Stasiun Kereta Api JABODETABEK.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi Pedagang Kaki Lima Pedagang kaki lima mendapatkan input mengenai pengaruh lokasi usaha dan jam kerja terhadap tingkat pendapatan dalam menjalankan usaha.

2. Bagi Pihak Manajemen Stasiun Kereta Api Pemerintah dalam hal ini pihak manajemen stasiun kereta api mendapat masukan untuk dijadikan pertimbangan dalam menata usaha pedagang kaki lima di wilayah kerjanya.

3. Bagi Pemerintah Pemerintah dalam hal ini dapat mengeluarkan kebijakan dengan menyediakan tempat yang khusus bagi para pedagang kaki lima untuk berjualan barang dagangannya agar tidak terjadi penggusuran kembali pedagang kaki lima yang terjadi selama ini, sehingga para pedagang dapat lebih bebas berjualan untuk memperoleh pendapatan yang maksimal.

4. Para Pengguna Jasa Pedagang Kaki Lima

Dapat menggunakan jasa pedagang kaki lima dengan mudah dan murah. Selain itu juga mudah dijangkau lokasinya oleh konsumen.

5. Penulis Dapat menyadari adanya hubungan yang penting antara aktivitas berjualan pedagang kaki lima yang maksimal dengan konsumen dan pendapatan yang diperoleh oleh pedagang kaki lima.

BAB II KERANGKA TEORITIS

A. Tinjauan Pustaka

1. Sektor Informal

Dalam pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang sering didapati istilah sistem ekonomi dualistik. Dalam konteks sejarah, sistem ekonomi dualistik berakar pada strategi pembangunan ekonomi di Eropa dan Amerika Utara. Laju industrialisasi di kota-kota pasca revolusi industri membawa akibat terciptanya kesempatan kerja baru dan penemuan teknologi dibidang pertanian di pusat-pusat kota. Kota dijadikan pusat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dengan demikian, kota-kota di negara berkembang membutuhkan banyak sumber daya manusia dari berbagai disiplin keahlian yang sesuai dengan prinsip-prinsip produksi kota (Rusli, 1992:10).

Melihat keberhasilan negara-negara industri tersebut, negara-negara baru merdeka di Asia, Afrika, dan Amerika Latin merupakan proses pembangunan yang dipusatkan di kota dengan mengambil model yang di terapkan di Eropa Barat dan Amerika Utara. Kota dijadikan sebagai pusat perkembangan ekonomi yang akan menyerap tenaga kerja berlebih dari pedesaan. Pemusatan ini secara cepat menyerap arus urbanisasi dari desa ke kota hingga mengakibatkan ketidakseimbangan antara jumlah tenaga kerja dengan kesempatan kerja yang tersedia di kota. Ketimpangan tersebut kemudian melahirkan gejala dualistis dalam ekonomi.

Untuk pertama kali, gejala dualisme ekonomi perkotaan di negara Untuk pertama kali, gejala dualisme ekonomi perkotaan di negara

Kesimpulan dari penelitian Geerzt tersebut ternyata juga dibuktikan oleh hasil penelitian beberapa sosiolog perkotaan. Kegagalan ekonomi firma untuk menyerap seluruh tenaga kerja di perkotaan, oleh Hozelitz seorang sosiolog Amerika disebutnya sebagai buah dari “Urbanisasi tanpa Industrialisasi” (Rusli, 1992:7), sedangkan Sethuraman (1981) menyebutnya sebagai manifestasi dari adanya ketimpangan antara jumlah lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah tenaga kerja yang tidak dapat diserap seluruhnya oleh lapangan kerja formal di perkotaan.

Menurut BPS (Biro Pusat Statistik) angka pengangguran Februari 2008 menurun dibandingkan Februari dan Agustus 2007. Problem pengangguran terselamatkan oleh sektor informal yang lebih bisa menyerap tenaga kerja. Meskipun jadi penyelamat, sektor informal dinilai kurang berkualitas dalam perspektif penyerapan tenaga kerja (Kompas, 16 Mei 2008).

Selain sektor informal mampu memberikan kontribusi pada penyerapan tenaga kerja dan pendapatan, sektor informal juga mampu menciptakan surplus meskipun di bawah iklim usaha yang tidak kondusif. Sebagai konsekuensi, Selain sektor informal mampu memberikan kontribusi pada penyerapan tenaga kerja dan pendapatan, sektor informal juga mampu menciptakan surplus meskipun di bawah iklim usaha yang tidak kondusif. Sebagai konsekuensi,

Menurut Thoha (2000), pemerintah harus mempunyai visi dalam membangun sektor informal, yaitu mewujudkan pengusaha menengah yang kuat dan dominan jumlahnya dalam struktur usaha nasional serta meningkatkan jumlah pengusaha kecil modern yang berdaya saing tinggi. Gejala yang tidak sehat dalam sektor informal yaitu tenaga kerja yang tidak terjamin tingkat upah dan kesejahteraannya, sehingga tidak dapat bersaing dengan yang lain (Levenson dan Maloney, 1998). Menurut Hastuti (2005), banyak pekerja sektor informal khususnya pekerja perempuan yang bekerja sebagai buruh lepas/pekerja keluarga tanpa memperoleh upah atau dengan upah yang rendah, dan tidak memperoleh perlindungan hukum dan kesejahteraan.

2. Pengertian Sektor Informal

Kota yang semakin maju akan membuka ruang bagi pelaku sektor informal untuk memasuki dan memenuhi sudut-sudut kota tersebut. Keberadaan mereka biasanya tersebar di pusat-pusat keramaian dan kegiatan ekonomi yang memberikan peluang permintaan terhadap produk/jasa yang mereka tawarkan (Yustika, 2000).

Gejala-gejala yang muncul dihampir seluruh negara-negara berkembang tersebut diteliti lebih lanjut oleh Keith Hart dengan melakukan penelitian di Ghana pada tahun 1973 dalam Sethuraman (1981) yang untuk pertama kalinya memakai perkataan sektor informal. Kemudian oleh S.V. Sethuraman (1981) Gejala-gejala yang muncul dihampir seluruh negara-negara berkembang tersebut diteliti lebih lanjut oleh Keith Hart dengan melakukan penelitian di Ghana pada tahun 1973 dalam Sethuraman (1981) yang untuk pertama kalinya memakai perkataan sektor informal. Kemudian oleh S.V. Sethuraman (1981)

Sethuraman (1981) mendefinisikan sektor informal sebagai: “Usaha-usaha kecil yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang-barang,

dimasuki oleh penduduk perkotaan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan dari pada memperoleh keuntungan”.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 2007 tentang ketertiban umum pada bab VI pasal 25 ayat 2, menyatakan: “Setiap orang/badan dilarang berdagang, berusaha dibagian jalan/trotoar,

halte, jembatan penyeberangan orang dan tempat-tempat untuk kepentingan umum lainnya diluar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1”.

Menurut International Labour Organization (ILO) (2000) dalam Widodo (2006), kriteria yang sering dipakai untuk membedakan sektor formal dan informal adalah apakah ada atau tidak bantuan/proteksi dari pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, sektor informal dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Sektor yang tidak menerima bantuan ekonomi dari pemerintah.

2. Sektor yang belum menggunakan bantuan ekonomi dari pemerintah meskipun bantuan itu ada.

3. Sektor yang telah menerima bantuan ekonomi dari pemerintah tetapi bantuan tersebut belum dapat menjadikan unit-unit usaha di sektor informal.

Menurut Wirosardjono (1998), sektor informal memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut:

1. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaannya.

2. Tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang diterapkan oleh pemerintah.

3. Modal, peralatan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian.

4. Umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggalnya.

5. Tidak mempunyai keterikatan (linkages) dengan usaha lain yang besar.

6. Umumnya dilakukan dengan dan melayani golongan masyarakat yang berpendapatan menengah ke bawah.

7. Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan tenaga kerja.

8. Umumnya tiap-tiap satuan usaha mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama.

9. Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan, dan lain sebagainya. Seperti disebut di atas, sektor informal memiliki lingkup yang sangat luas antara satu negara dengan negara lainnya dan juga memiliki karakteristik spesifiknya sendiri-sendiri. Definisi sektor informal akan sangat dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan yang ada antara satu negara dengan negara lain. Menurut Hidayat (1978), di Indonesia penelitian sektor informal mengidentifikasikan ciri pokok sebagai berikut:

1. Kegiatan usaha tidak terorganisasikan secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor informal.

2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha.

3. Pola kegiatan usaha tidak teratur baik dalam arti lokasi maupun jam kerja.

4. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini.

5. Unit usaha mudah keluar masuk dari satu sub sektor dan ke lain sub sektor.

6. Teknologi yang dipergunakan relatif sederhana.

7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil.

8. Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja.

9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan “One-man-enterprices” dan kalau mengerjakan buruh berasal dari keluarga.

10. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi.

11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan masyarakat kota/desa yang berpenghasilan rendah dan juga yang berpenghasilan menengah.

Pengklasifikasian lebih lanjut dilakukan oleh BPS (Biro Pusat Statistik) dalam Wulan (2000) dengan merangkum berbagai definisi sektor informal. Tiga macam pendekatan diambil dalam kajian tersebut, yaitu:

1. Pendekatan dari ciri-ciri sektor informal, didekati dengan melihat:

a. Lokasi tempat usaha: tetap atau tidak tetap

b. Bangunan tempat berusaha: teratur atau tidak

c. Jam kerja tempat berusaha: teratur atau tidak

d. Sifat kegiatan: terus menerus atau tidak

e. Jumlah tenaga kerja dan statusnya

2. Pendekatan dari status pekerjaan, didekati melalui:

a. Pengusaha tanpa bantuan orang lain

b. Pengusaha yang hanya dibantu anggota rumah tangga atau buruh tetap

c. Pekerja keluarga

d. Buruh pertanian

3. Pendekatan dari konsep standar labour force yang diperluas adalah pekerja yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Pekerja keluarga bekerja kurang dari sepertiga jam kerja normal, tidak mencari pekerjaan lain atau tidak mau bekerja secara formal

b. Menganggur secara penuh

c. Bekerja tidak penuh

d. Bila bekerja secara penuh maka usahanya bersifat berusaha sendiri atau berusaha dengan bantuan anggota rumah tangga atau buruh tidak tetap

Berbagai pendapat yang telah dijelaskan memberikan indikasi betapa kompleks bagian-bagiannya. Problema definisi merupakan tantangan bagi dunia akademis untuk mendefinisikan secara komprehensif. Ciri-ciri sektor informal adalah suatu alat bantu untuk memahami lebih lanjut dari berbagai definisi yang ada.

Sektor informal merupakan mata pencaharian atau sumber ekonomi yang menghidupi jutaan penduduk Indonesia. Pelakunya merupakan tenaga kerja sekaligus pengusaha yang tergolong warga negara menengah ke bawah dalam berbagai hal seperti: dalam segi pendidikan, keahlian dan keterampilan, organisasi dan manajemen dan lain sebagainya. Tidak hanya serba terbatas, kebijakan formal seperti kredit perbankan dan pembinaan pemerintah pun jauh darinya.

3. Pedagang Kaki Lima

Pedagang kaki lima merupakan salah satu bentuk usaha sektor informal di perkotaan. Jumlahnya sangat besar dan seringkali lebih mendominasi dibanding jenis usaha sektor informal lainnya. Secara “etimologi” atau bahasa, pedagang biasa diartikan sebagai jenis pekerjaan beli dan jual. Pedagang adalah orang yang bekerja dengan cara membeli barang dan kemudian menjualnya kembali dengan mengambil keuntungan dari barang yang dijualnya kembali. Kaki lima diartikan sebagai lokasi berdagang yang tidak permanen atau tetap. Dengan demikian, pedagang kaki lima dapat diartikan sebagai pedagang yang tidak memiliki lokasi usaha yang permanen atau tetap.

Lain dengan tinjauan hukum, pendefinisian secara ilmiah mengenai pedagang kaki lima seringkali membutuhkan bantuan dengan cara pengidentifikasian sejumlah ciri atau karakteristiknya. Kesulitan memberikan definisi secara tepat ini dinyatakan oleh Ray Bromley (1978) dalam Rusli (1992) dengan menyatakan:

“Pedagang kaki lima terletak pada tapal batas penelitian yang tidak di definisikan secara tepat, antara penelitian kesempatan kerja dan patologi sosial dan ciri pokoknya, mobilitas, ketidakmampuan, serta kemiskinan dan tingkat pendidikan relatif rendah dari kebanyakan pelakunya sangat mempersulit penelitian” .

Kemudian Carunia Mulya Firdaus (1995) dalam Wulan (2000:19) memberikan ciri-ciri pedagang kaki lima sebagai: “kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik, modal dan perputaran usaha

relatif kecil, pola kegiatan usaha tidak teratur baik dalam arti lokasi ataupun jam kerja, tidak mempunyai ijin usaha, sumber dana atau modal berasal dari tabungan sendiri, tenaga kerja dari keluarga, barang dagangannya biasa dikonsumsikan oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah”.

Hubungan pedagang kaki lima dengan penyedia barang dagangannya (distributor) terdiri dari dua hubungan. Pertama, hubungan dengan usaha formal Hubungan pedagang kaki lima dengan penyedia barang dagangannya (distributor) terdiri dari dua hubungan. Pertama, hubungan dengan usaha formal

Hubungan pedagang kaki lima dengan pembelinya bersifat komersil. Tingkat pendapatan pedagang kaki lima sepenuhnya ditentukan oleh kemampuan untuk menarik pembeli. Usaha memperoleh kenaikan pendapatan ini seringkali diikuti penentuan lokasi usaha yang strategis dan jam kerja yang tinggi.

Dilihat dari sebab timbulnya, pedagang kaki lima merupakan suatu jenis pekerjaan yang timbul dari suatu situasi kesempatan kerja yang tidak seimbang. Jumlah lapangan kerja formal tidak lagi mampu menyerap tenaga kerja yang berlebih. Ketatnya persaingan untuk mendapatkan kerja membawa orang-orang yang tidak mendapatkan kesempatan kerja di sektor formal untuk berusaha mendapatkan penghasilan dengan cara berusaha sendiri. Jenis-jenis usaha yang bisa dimasuki oleh mereka adalah jenis-jenis pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian khusus, dengan sedikit modal dan sebagian besar dari mereka adalah para migran dari desa ke kota (Rusli, 1992:32).

Terhadap keberadaan pedagang kaki lima perkotaan, terdapat dua pendapat yang saling bertentangan. Pandangan pertama menyatakan bahwa pedagang kaki Terhadap keberadaan pedagang kaki lima perkotaan, terdapat dua pendapat yang saling bertentangan. Pandangan pertama menyatakan bahwa pedagang kaki

Di negara-negara sedang berkembang, besarnya jumlah pedagang kaki lima menjadi perhatian pemerintah daerah setempat untuk menata keberadaan usaha kaki lima. Kebijakan ini biasanya bersifat sangat rinci, dari hak-hak pedagang kaki lima sampai kewajibannya. Dengan kebijakan tersebut diharapkan agar pedagang kaki lima tersebut tidak terus menjadi pedagang kaki lima. Dasar kewirausahaan yang telah ada diharapkan dapat berkembang lebih lanjut menjadi unit usaha yang lebih formal. Pergantian status hukum badan usaha dari informal menjadi formal akan memperbesar jumlah wajib pajak yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak.

4. Lokasi Usaha

Lokasi usaha bisa didefinisikan sebagai komposisi dari berbagai peluang, kemudahan dan fasilitas dari suatu tempat untuk melakukan usaha. Menurut Usman (1998:153) menilai bahwa penentuan lokasi usaha sangat penting bagi sebuah perusahaan baru yang akan memulai operasi maupun ketika perusahaan itu telah berjalan dan berkembang. Penentuan lokasi usaha yang tepat akan Lokasi usaha bisa didefinisikan sebagai komposisi dari berbagai peluang, kemudahan dan fasilitas dari suatu tempat untuk melakukan usaha. Menurut Usman (1998:153) menilai bahwa penentuan lokasi usaha sangat penting bagi sebuah perusahaan baru yang akan memulai operasi maupun ketika perusahaan itu telah berjalan dan berkembang. Penentuan lokasi usaha yang tepat akan

Berdasarkan jenis lokasi usaha, Heizer dan Render (1996) membaginya menjadi lokasi usaha manufaktur dan lokasi usaha jasa/retail/sektor profesional. Untuk usaha manufaktur pertimbangan utama dalam menentukan lokasi usaha adalah meminimalkan biaya, sedangkan lokasi usaha jasa/retail/sektor profesional memfokuskan pada memaksimalkan pendapatan.

Pedagang kaki lima umumnya menyukai tempat-tempat dimana orang sering mengunjungi atau melewatinya untuk dijadikan sebagai lokasi usaha dengan harapan terdapat banyak orang yang akan membeli. Tempat-tempat tersebut merupakan lokasi usaha yang sangat strategis bagi usaha kaki lima. Menurut Simamora (2005) ada tiga syarat keberhasilan eceran, yaitu lokasi, lokasi, dan lokasi. Dikatakan begitu karena memang lokasi memegang peranan paling penting dalam eceran. Menurutnya lagi, beberapa faktor perlu diperhatikan dalam memilih lokasi, yaitu:

1. Tingginya populasi pasar sasaran. Ini ditandai oleh banyaknya orang yang lewat pada suatu tempat atau yang bermukim serta berkantor disuatu lokasi.

2. Akses pada lokasi. Kemudahan mencapai dan keluar dari lokasi sangat menentukan jumlah pengunjung. Akses tidak tergantung pada jarak.

3. Titik-titik stress. Secara psikologi terdapat titik-titik stress pada setiap lokasi. Orang lebih santai setelah melalui lampu lalu lintas atau daerah macet, sehingga ditempat seperti itulah lokasi eceran menjadi lebih baik.

4. Peruntukan suatu area atau jalur. Janganlah mendirikan toko onderdil disuatu tempat yang sekitarnya merupakan toko-toko sepatu dan pakaian.

Pembeli umumnya lebih menyukai tempat yang pilihan tokonya banyak disuatu tempat.

5. Kondisi sosial dan lingkungan daerah sekitar. Sebuah supermarket mini terkenal terancam tergusur dari sebuah perumahan karena toko-toko usaha keluarga keberatan dengan kehadiran supermarket mini tersebut.

4.1. Jenis Lokasi

Menurut Simamora (2005), lokasi usaha dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

1. Gerai tunggal Gerai tunggal merupakan toko yang keberadaannya sendiri tanpa terdapat toko lain yang berada didekatnya. Keuntungan dari toko atau gerai tunggal adalah ketiadaan pesaing, biaya sewa akan lebih rendah, serta dalam menetapkan harga akan lebih leluasa karena ketiadaan pesaing, serta lokasi pada suatu jalan bisa leluasa dipilih. Sedang kelemahannya adalah sulit menarik pembeli pada awal operasi toko sehingga biaya operasional ditanggung sendiri.

2. Pertokoan Pertokoan yang terdapat di kota-kota di Indonesia merupakan hasil dari perkembangan proses alami, yaitu deretan toko yang berdiri tanpa adanya suatu perencanaan yang dalam jangka waktu panjang akhirnya membentuk area pertokoan dengan sendirinya.

3. Central Business District (CBD)

CBD diperkenalkan mulai tahun 1990-an oleh para investor dan developer yang merujuk pada area perkantoran yang nantinya berdiri gerai-gerai ritel yang wilayahnya sangat menguntungkan.

4. Pusat Belanja Pusat belanja di Indonesia terdiri atas dua macam, yaitu: mall/plaza serta trade center. Pusat belanja terdiri dari suatu bangunan komersial yang dimiliki/dikelola oleh satu manajemen.

4.2. Memilih Letak/Tempat

Menurut Ma’ruf

beberapa faktor dalam mempertimbangkan pilihan letak atau tempat gerai yang akan didirikan, yaitu:

terdapat

a. Lalu lintas pejalan kaki

b. Ramainya kendaraan yang melintas

c. Terdapat banyak berbagai macam gerai

Dalam memilih lokasi usaha, faktor-faktor yang mempengaruhi biaya, kecepatan, waktu dan kemudahan sarana yang diperlukan dan sesuai dengan peraturan pemerintah seringkali menjadi pertimbangan. Menurut Usman (1998) lokasi usaha yang tepat akan menentukan:

1. Keunggulan pelayanan dan service terhadap pelanggan

2. Menghemat biaya dan akan menurunkan harga jual

3. Mempunyai keunggulan dalam persaingan

4. Mudah dalam mendapatkan suplay barang secara continue

5. Mudah dalam memperluas areal bila memerlukan perluasan Lebih mendetail, Usman (1998) merinci faktor-faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam mengevaluasi lokasi usaha, yaitu:

1. Ukuran populasi dan karakteristiknya yang meliputi:

a. Total ukuran dan pendapatan

b. Distribusi umur

c. Tingkat pendidikan rata-rata

d. Persentase human yang dimiliki penduduk

e. Total pendapatan yang dihabiskan

f. Pendapatan perkapita yang dihabiskan

g. Distribusi pekerjaan

h. Trend

2. Kemampuan pengendalian tenaga

a. Manajemen

b. Pelatihan manajemen

c. Administrasi

3. Kedekatan sumber suplay

a. Biaya pengiriman

b. Batas waktu

c. Jumlah produsen dan pedagang besar

d. Kemampuan pengendalian dan reabilitas produk line

4. Basis ekonomi

a. Industri yang dominan

b. Proyeksi pertumbuhan

c. Kebebasan dari fluktuasi (naik turunnya) ekonomi dan musiman c. Kebebasan dari fluktuasi (naik turunnya) ekonomi dan musiman

5. Situasi faktor kompetisi

a. Jumlah dan ukuran-ukuran pesaing yang ada

b. Evaluasi kelebihan dan kelemahan semua pesaing-pesaingnya

c. Ramalan jangka pendek dan jangka panjang

6. Kemampuan penyediaan lokasi toko

a. Jumlah dan jenis lokasi

b. Akses transportasi

c. Kesempatan pemilikan kontrak sewa

d. Pembatasan pemilikan areal

e. Biaya-biaya

7. Diregulasi

a. Pajak

b. Perijinan

c. Operasional

d. Upah minimum

e. Penetapan areal

5. Jam Kerja

Philip M. Hauser dalam Rusli (1992) membagi tenaga kerja menjadi dua kategori, kurang dimanfaatkan dan cukup dimanfaatkan. Tenaga kerja kurang dimanfaatkan ini dirinci oleh Hauser menjadi empat kategori: (1) kurang dimanfaatkan ditinjau dari pendapatan yang diterima, (2) kurang dimanfaatkan Philip M. Hauser dalam Rusli (1992) membagi tenaga kerja menjadi dua kategori, kurang dimanfaatkan dan cukup dimanfaatkan. Tenaga kerja kurang dimanfaatkan ini dirinci oleh Hauser menjadi empat kategori: (1) kurang dimanfaatkan ditinjau dari pendapatan yang diterima, (2) kurang dimanfaatkan

Berdasar pengkategorian Hauser pedagang kaki lima termasuk dalam tenaga kerja yang kurang dimanfaatkan ditinjau dari jumlah jam kerja dan pendapatan yang diterima. Rentang waktu kerja pedagang kaki lima lebih panjang daripada rentang waktu kerja didalam entitas ekonomi secara formal yang dihitung selama kurang lebih 40 jam perminggu. Pedagang kaki lima sebagian besar tidak memiliki waktu libur secara teratur dan waktu kerja setiap hari dan sepanjang tahun, kecuali sakit atau ada keperluan yang tidak dapat ditinggal (Rusli, 1992:96-97). Sedangkan berdasarkan pendapatan yang diterima, antara pedagang yang satu dengan pedagang yang lain terdapat variasi jumlah pendapatan yang diterima.

Jam kerja merupakan jumlah waktu yang dipergunakan untuk aktivitas kerja. Aktivitas kerja yang dimaksudkan adalah kerja yang mendatangkan uang. Quizon (1978) dalam Wulan (2000) membedakan pemanfaatan waktu atas: (a) waktu untuk kegiatan rumah tangga, (b) waktu untuk kegiatan mencari nafkah baik yang dilakukan didalam maupun luar rumah, (c) waktu untuk istirahat, (d) waktu untuk kegiatan lainnya.

Lamanya jam kerja juga merupakan variabel yang turut mempengaruhi tinggi rendahnya laba yang akan diperoleh. Menurut Rusli (1992), jam kerja pedagang kaki lima lebih lama dan berlangsung sepanjang hari. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan pendapatannya, sehingga bekerja sebagai pedagang kaki lima adalah pekerjaan utama dan bukan sebagai pekerjaan sampingan. Sedangkan Hasil Studi Ekonomi Mikro Kota Depok (2001) Lamanya jam kerja juga merupakan variabel yang turut mempengaruhi tinggi rendahnya laba yang akan diperoleh. Menurut Rusli (1992), jam kerja pedagang kaki lima lebih lama dan berlangsung sepanjang hari. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan pendapatannya, sehingga bekerja sebagai pedagang kaki lima adalah pekerjaan utama dan bukan sebagai pekerjaan sampingan. Sedangkan Hasil Studi Ekonomi Mikro Kota Depok (2001)

6. Pendapatan

Menurut Prihadi (2007), pendapatan merupakan penerimaan yang dihasilkan dari kegiatan usaha. Pendapatan ini akan menjadi laba apabila telah dapat menutupi pengeluaran-pengeluaran dalam rangka menjalankan operasi usahanya atau dengan kata lain laba diperoleh apabila pendapatan yang dihasilkan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Menurut Gade (2005), dalam teori akuntansinya yang disesuaikan dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), bahwa pendapatan diakui pada:

1. Direalisasi/dapat direalisasi Pendapatan direalisasi pada saat barang dan jasa dipertukarkan untuk kas dan piutang. Pendapatan dapat direalisasi bila aktiva yang diterima segera dapat dikonversikan pada jumlah kas/klaim atas kas yang diketahui.

2. Dihasilkan Pendapatan dihasilkan bila kesatuan itu sebagian besar telah menyelesaikan apa yang seharusnya dilakukan agar berhak atas manfaat yang diberikan dari pendapatan, yakni bila proses mencari laba telah selesai.

Pendapatan yang masih harus diterima (Accrual Receivable) adalah pendapatan yang telah menjadi hak perusahaan tetapi belum diterima Pendapatan yang masih harus diterima (Accrual Receivable) adalah pendapatan yang telah menjadi hak perusahaan tetapi belum diterima

1. Pendapatan dari penjualan produk diakui pada tanggal penjualan yang biasanya diinterpretasikan tanggal pengirim kepada pelanggan.

2. Pendapatan dari jasa yang diberikan diakui ketika jasa-jasa telah dilaksanakan dan dapat ditagih.

3. Pendapatan dari memberi kemungkinan bagi pihak lain untuk menggunakan aktiva perusahaan seperti bunga, sewa, dan royalti diakui pada saat berlakunya waktu/ketika aktiva digunakan.

Berikut ini beberapa teori tentang pengakuan pendapatan:

1. Pendapatan diakui dengan dua metode, yaitu metode persentase penyelesaian dan metode cicilan. Pendapatan diakui dengan persentase penyelesaian, dimana pendapatan akan diakui selama proses produksi berlangsung yang dihitung berdasarkan tingkat penyelesaian pekerjaan yang sedang dilaksanakan. Pengakuan pendapatan dengan metode cicilan adalah metode pengakuan pendapatan dimana pengakuan laba kotor yang direvaluasi dihitung berdasarkan hasil penerimaan kas dikalikan dengan persentase laba kotor. (Wibowo dan Arif, 2006).

2. Untuk kontrak konstruksi jangka panjang peristiwa-peristiwa penting dalam proses menghasilkan pendapatan adalah perkembangan dari penyelesaian kontrak tersebut. (Kieso, Weygant, Kimmel, 2008).

3. Pendapatan seharusnya diakui dalam periode akuntansi yang sama saat pendapatan dihasilkan. Mungkin bukan dalam periode dimana kas atas pendapatan tersebut diterima. (Weygant, Kieso, Kimmel, 2008).

4. Prinsip pengakuan pendapatan mengharuskan pendapatan dicatat pada periode akuntansi saat pendapatan itu dihasilkan. Pada perusahaan jasa pendapatan dianggap dihasilkan pada saat jasa dilakukan. (Weygant dan Kieso, 2007).

5. Pendapatan berasal dari penjualan barang dan penyerahan jasa serta diukur dengan pembebanan yang dikenakan kepada pelanggan, klien/penyewa untuk barang yang disediakan bagi mereka. (Belkaoui, 2006).

6. Pengakuan pendapatan dapat terjadi dalam siklus operasi, (Belkaoui, 2006):

1. Waktu penjualan

2. Penyelesaian Produksi

3. Penerimaan pembayaran setelah penjualan

7. Pendapatan diukur dalam hal ini dari produk atau jasa yang dipertukarkan dalam transaksi wajar. Nilai ini mewakili ekuivalen kas bersih/nilai sekarang terdiskonto atas uang yang diterima/akan diterima dalam pertukaran produk atau jasa yang ditransfer oleh perusahaan kepada pelanggannya. (Belkaoui, 2006).

Khusus untuk jasa perbankan, menurut Hasibuan (2004:100) pendapatan itu bersumber dari:

1. Bunga kredit yang disalurkan oleh bank

2. Ongkos-ongkos lalu lintas pembayaran

3. Penjualan buku cek, bilyet giro, setoran dan bilyet deposito

4. Safe deposits box

5. Komisi dan provisi

6. Call money market Menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK) tahun 2007, pendapatan diartikan sebagai: “Arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal

perusahaan selama suatu periode bila arus masuk tersebut mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal”.

B. Kerangka Pemikiran

Gambar berikut ini menunjukan kerangka pemikiran yang dibuat dalam model penelitian mengenai pengaruh lokasi usaha dan jam kerja terhadap pendapatan.

Lokasi Usaha

Pendapatan

Jam Kerja

C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian kerangka teori dan konsep diatas, dikemukakan hipotesis penelitian, yaitu: Ha 1 : Lokasi usaha berpengaruh terhadap pendapatan pedagang kaki lima di peron Stasiun Kereta Api JABODETABEK. Ha 2 : Jam kerja berpengaruh terhadap pendapatan pedagang kaki lima di peron Stasiun Kereta Api JABODETABEK. Ha 3 : Lokasi usaha dan jam kerja secara simultan berpengaruh terhadap pendapatan pedagang kaki lima di peron Stasiun Kereta Api JABODETABEK.

BAB III METODE PENELITIAN

B. Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini, lokasi penelitian adalah Stasiun Kereta Api JABODETABEK (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Responden penelitian ini adalah para pedagang kaki lima di peron Stasiun JABODETABEK. Penelitian ini merupakan penelitian yang menguji hubungan kausalitas. Dalam hubungan kausalitas (sebab-akibat) terdapat variabel yang mempengaruhi atau variabel bebas (independent) yaitu lokasi usaha dan jam kerja, sedangkan variabel yang dipengaruhi atau variabel terikatnya (dependent) adalah pendapatan.

B. Metode Penentuan Sampel

Metode sampling yang akan digunakan adalah Convenience Sampling dan Quota Sampling. Metode Convenience Sampling memilih sampel dari elemen populasi (orang atau kejadian) yang datanya mudah diperoleh peneliti. Elemen populasi yang dipilih sebagai subyek sampel adalah tidak terbatas sehingga peneliti memiliki kebebasan untuk memilih sampel yang paling cepat dan murah, sedangkan metode Quota Sampling adalah pemilihan sampel secara tidak acak dapat dilakukan berdasarkan kuota (jumlah tertinggi) untuk setiap kategori dalam suatu populasi target. Tujuan metode pemilihan sampel secara tidak acak berdasarkan kuota umumnya untuk menaikkan tingkat representatif sampel penelitian (Nur Indriantoro dan Supomo, 1999:130-131). Pengambilan Metode sampling yang akan digunakan adalah Convenience Sampling dan Quota Sampling. Metode Convenience Sampling memilih sampel dari elemen populasi (orang atau kejadian) yang datanya mudah diperoleh peneliti. Elemen populasi yang dipilih sebagai subyek sampel adalah tidak terbatas sehingga peneliti memiliki kebebasan untuk memilih sampel yang paling cepat dan murah, sedangkan metode Quota Sampling adalah pemilihan sampel secara tidak acak dapat dilakukan berdasarkan kuota (jumlah tertinggi) untuk setiap kategori dalam suatu populasi target. Tujuan metode pemilihan sampel secara tidak acak berdasarkan kuota umumnya untuk menaikkan tingkat representatif sampel penelitian (Nur Indriantoro dan Supomo, 1999:130-131). Pengambilan

Dari hasil survei yang peneliti lakukan di masing-masing stasiun, jumlah pedagang kaki lima yang diteliti berada di lokasi Stasiun Jatinegara Jakarta Timur berjumlah 15 pedagang, yang terdiri dari pedagang minuman, makanan dan rokok, di Stasiun Bogor berjumlah 15 pedagang, di Stasiun Depok berjumlah 15 pedagang, di Stasiun Bekasi berjumlah 15 pedagang, di Stasiun Tangerang berjumlah 10 pedagang.

C. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah data primer yang dikumpulkan melalui metode survei dengan menggunakan kuesioner ataupun wawancara dengan pedagang kaki lima, serta pengamatan langsung ke lapangan dengan para pedagang kaki lima di Stasiun Kereta Api JABODETABEK (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi).

D. Metode Analisis Data

a. Uji Kualitas Data

1. Uji Validitas