MODUL PENDIDIKAN LINGKUNGAN SOSBUD DAN TEKNOLOGI FINAL

(1)

MODUL

PENDIDIKAN LINGKUNGAN

SOSIAL BUDAYA DAN TEKNOLOGI

Oleh:

Drs. Suparlan, M.Ed

SKS: 2 (dua) Semester: II (kedua)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS UTAMA JAGAKARSA

Jalan Letjen TB Simatupang Nomor 152

Tanjung Barat, Jakarta Selatan 12530

Telepon: (021) 7890965, 7829919, 78831838, 7890634

Fax: (021) 7890966


(2)

Kata Sambutan

Ibarat sebuah negara, kita menyadari sepenuhnya bahwa Universitas Tama Jagakarsa termasuk adalah universitas yang masih sedang berkembang. Oleh karena itu, masih banyak hal yang harus dilakukan untuk universitas ini. Salah satu di antaranya adalah meningkatkan kemampuan dosen yang dapat menghasilkan produk ilmiah berupa tulisan yang dimuat di berbagai media massa, atau bahkan diterbitkan dalam bentuk modul atau pun buku ilmiah.

Upaya Drs. Suparlan, M.Ed untuk menulis dan menerbitkan modul untuk mata kuliah yang diampunya patut mendapatkan sambutan kita semua. Sebagai dosen yang mengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, yang mahasiswanya banyak yang berasal dari para guru dan calon guru yang sedang mengajar di sekolahnya, kami menyadari bahwa penyusunan modul menjadi satu keniscayaan. Mengapa? Karena modul menjadi sumber belajar yang sangat diperlukan. Sambil melaksanakan tugas mengajar, para mahasiswa dapat belajar secara mandiri dengan membaca modul ini. Apalagi, selain materi kuliah yang telah dirinci dalam 16 (enam belas) kali pertemuan dalam satu semester, di dalam modul ini juga disertai pula dengan tes yang harus dikerjakan oleh mahasiswa. Tes ini disusun pula untuk setiap kali pertemuan sebagai ter formatif yang harus dijawab oleh mahasiswa, dan kemudian didiskusikan dalam pertemuan berikut sebagai appersepsi di awal perkuliahan berikutnya. Selain itu, modul ini diharapkan juga dapat menjadi media promosi bagi calon mahasiswa yang akan mengikuti kuliah di universitas ini. Semakin banyak warga masyarakat yang akan memasuki universitas ini, semakin besarlah nama baik universitas ini. Dengan demikian, secara bertahap universitas ini diharapkan akan mengganti label dari universitas yang sedang berkembang menjadi universitas dapat berdiri sejajar dengan universitas-universitas yang maju di negeri tercinta ini.

Kami berharap rintisan penulisan modul bagi mahasiswa ini segera dapat diikuti oleh para dosen lain di seluruh universitas yang kita cintai ini. Amin.

Jakarta, 20 Mei 2009 Rektor,


(3)

Daftar Isi

1. Pendahuluan...3

2. Kompetensi...4

3. Tujuan Pembelajaran...4

4. Kegiatan Pembelajaran...4

4.1. Rincian Materi Pembelajaran...4

4.2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran dan Contoh...5

4.3. Tes Formatif Untuk Masing-masing Pertemuan...27

4.4. Umpan Balik...33

5. Referensi...34

6. Lampiran...34

6.1. Lampiran 1: Pendidikan Terbaik Di Dunia...34

6.2. Lampiran 2: Artikel “Bangsa Jepang Yang Luar Biasa”...36

6.3. Lampiran 3: Artikel Pilihan 3 Artikel Anak Tiri Bernama bernama Pendidikan 41 6.4. Lampiran 4: Artikel Pilihan 4...42


(4)

1.

Pendahuluan

Education is not a preparation for life, education is life itself. Pendidikan bukanlah persiapan untuk kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Demikian John Dewey menegaskan pemikirannya tentang pendidikan. Dengan demikian, umur pendidikan sama dengan keberadaan manusia di muka bumi ini.

Ketika Adam diciptakan oleh Tuhan, bersama itu pulalah proses pendidikan telah berlangsung, sebagai suatu sistem yang dibangun oleh Allah SWT. Adam diajari untuk dapat menyebutkan nama-nama yang ada di bumi, tempat kehidupan Adam dan keturunannya. Dengan demikian, yang dimaksud pendidikan sebenarnya memang dengan makna kehidupan itu sendiri.

Tidak demikianlah halnya dengan malaikat dan iblis. Adam dapat menyebutkan nama-nama, sementara malaikat dan iblis tidak dapat menyebutkan nama-nama itu. Mengapa? Karena hanya manusialah yang telah memperoleh pendidikan, langsung dari Allah SWT. Itulah proses pendidikan yang dilakukan oleh manusia untuk pertama kalinya. Proses itu kemudian dikembangkan sendiri oleh manusia, karena manusia memiliki otak, faktot penentu kelebihan manusia dibandingkan dengan mahluk lain yang sama-sama diciptakan Allah SWT.

Untuk menjadi manusia yang sempurna, manusia tidak boleh tidak memang harus belajar, atau harus memperoleh pendidikan. Manusia merupakan mahluk yang dapat diajar dan dapat mengajar. Animat educandum dan animal educancus. Manudia mahluk pembelajar, mahluk yang dapat dididik dan dapat mendidik. Untuk menjadi manusia saja, manusia memang tidak boleh berhenti belajar.

Apalagi untuk menjadi guru yang akan mengajar. Untuk dapat melaksanakan tugas profesionalnya dengan baik, calon guru harus memiliki empat standar kompetensi guru, yaitu (1) kompetensi pedagogis, (2) kompetensi kepribadan, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi profesional. Kompetensi pedagogis adalah kompetensi guru yang terkait dengan penguasaan materi tentang teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, termasuk di dalamnya penguasaan materi tentang ilmu pendidikan. Siapa yang berhenti belajar, artinya ia telah mati. Mata kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi ini akan diajarkan kepada mahasiswa agar mahasiswa dapat menjadi bekal pengetahuan bagi para calon guru tentang berbagai aspek yang terkait dengan konsep dan dasar-dasar ilmu-ilmu pendidikan dalam konteks kehidupan manusia.

Mata kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi yang akan Anda pelajari ini mencakup: (1) kondisi lingkungan sosial budaya dan teknologi dalam kehidupan masyarakat, dan (2) hubungan dan pengaruh timbal balik antara pendidikan dan kondisi sosial budaya dan teknologi itu sendiri. Kedua aspek tersebut akan menjadi materi utama yang akan dibahas dalam mata kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi.


(5)

2.

Kompetensi

Setelah mengikuti kegiatan perkuliahan dalam mata kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi ini, diharapkan mahasiswa dapat memiliki

kompetensi sebagai berikut:

2.1. Memahami hakikat manusia dalam kehidupannya;

2.2. Memahami hakikat pendidikan dalam kehidupan manusia; 2.3. Memahami hubungan antara pendidikan dan kebudayaan; 2.4. Memahami pendidikan sebagai suatu sistem;

2.5. Memahami hak azasi manusia dalam memperoleh pendidikan; 2.6. Memahami pilar-pilar pendidikan;

2.7. Memahami teori nativisme; 2.8. Memahami teori empirisme; 2.9. Memahami teori konvergensi;

2.10. Memahami kondisi sosial budaya dan teknologi sebagai lingkungan pendidikan;

2.11.Memahami nilai-nilai sosial budaya dalam masyarakat; 2.12. Memahami teknologi sebagai salah satu faset kebudayaan.

3.

Tujuan Pembelajaran

3.1. Menjelaskan makna pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia; 3.2. Menjelaskan makna pendidikan sebagai proses kehidupan manusia; 3.3. Menjelaskan hubungan antara pendidikan dengan kebudayaan; 3.4. Menjelaskan pendidikan sebagai suatu sistem;

3.5. Menjelaskan hak azasi manusia untuk memperoleh pendidikan; 3.6. Menjelaskan pilar-pilar pendidikan;

3.7. Menyebutkan tiga teori pendidikan;

3.8. Menjelaskan tokoh, pengertian, dan implikasi dari ketiga teori pendidikan; 3.9. Menyebutkan norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya dalam masyarakat; 3.10. Menjelaskan pengaruh norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya dalam

masyarakat terhadap proses pendidikan;

3.11.Menjelaskan teknologi sebagai faset kebudayaan.

4.

Kegiatan Pembelajaran

4.1. Rincian Materi Pembelajaran

Mata kuliah ini disampaikan kepada mahasiswa dalam 16 kali pertemuan dengan rindian materi pembelajaran, termasuk dua kali pertemuan untuk Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS) sebagai berikut:

Pertemuan Materi pembelajaran

I Informasi Mata Kuliah dan Kontrak Perkuliahan II Hakikat Manusia dan Kehidupannya


(6)

IV Pendidikan dan Kebudayaan V Pendidikan Sebagai Suatu Sistem VI Hak Azasi Memperoleh Pendidikan VII Pilar-pilar Pendidikan

VIII UTS

IX Teori Pendidikan: Nativisme

X Teori Pendidikan: Empirisme

XII Teori Pendidikan: Konvergensi

XII Lingkungan Pendidikan

XIII Nilai-nilai Sosial Budaya XIV Kebudayaan dan Teknologi XV Kritik Terhadap Pendidikan

XVI UAS dan Tugas Mandiri

4.2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran dan Contoh

Pertemuan I: Informasi Mata Kuliah dan Kontrak Perkuliahan

Dalam pertemuan pertama ini mahasiswa akan menerima fotokopi silabus mata kuliah, agar secara dini mahasiswa dapat mengetahui apa saja yang akan dipelajari selama satu semester. Bahkan akan lebih baik jika mahasiswa menerima modul yang dapat dipelajari secara mandiri. Bagi mahasiswa tugas belajar, sebagai misal, mudul akan menjadi bahan ajar yang akan sangat membantu mahasiswa untuk dapat menguasai kompetensi yang diharapkan.

Di samping itu, mahasiswa diminta untuk paling tidak memiliki satu buku referensi yang ada di dalam modul atau silabus mata kuliah. Mahasiswa harus melaporkan dan menunjukkan buku referensi apa yang dimiliki.

Pertamuan pertama ini dilakukan dengan cara dialog. Kemudian antara dosen dan mahasiswa dapat melakukan kontrak perkuliahan, misalnya tingkat kehadiran mahasiswa 80%, kurang dari 80% mahasiswa tidak dapat mengikuti UTS dan UAS, dan sebagainya.

Pertemuan II: Hakikat Manusia dan Kehidupannya

Tuhan Yang Maha Esa adalah maha pencipta (khalik). Manusia adalah salah satu ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (makhluk). Manusia adalah mahluk yang tertinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk lainnya. Ketinggian derajat tersebut ditentukan oleh tingkat ketakwaannya kepada sang khalik-Nya, karena Khalik-Nya telah memberikan otak kepada manusia. Namun manusia dapat menjadi serendah-rendahnya derajat tersebut jika manusia tidak menggunakan akal dengan sebaik-baiknya.

Namun manusia akan menjadi manusia seutuhnya jika ia hidup dan diasuh oleh manusia dengan cara manusia. Contoh: cerita Kama dan Kamala, tentang mahluk manusia serigala. Ceritanya begini. Ada anak kembar yang baru dilahirkan di


(7)

negeri antah berantah. Kedua bayi ini dibuang ke hutan, karena orangtuanya merasa malu kepada masyarakat, lantaran bayi itu telah lahir dari hubungan zinah. Kedua bayi itu dipelihara oleh serigala. Maka jadilah anak serigala. Dengan instinknya, serigala memelihara kedua bayi itu, dan jadilah keduanya menjadi manusia serigala.

Manusia dapat disebut sebagai mahluk pembelajar. Dengan otaknya, manusia menyesuaikan dan mengembangkan peradaban manusia sesuai dengan

perkembangan zaman. Hasil karya manusia selalu berubah dan berkembang dari zaman ke zaman. Bedakan sarang burung dan rumah manusia. Sarang burung tidak mengalami perubahan. Bandingkan antara tangga rumah panggung di Kalimantan dengan eskalator atau lift di gedung bertingkat di kota-kota besar.

Manusia sama sekali berbeda dengan binatang dalam kehidupannya. Manusia dapat dan harus dididik karena memiliki akal. Sedang binatang hidup karena instinknya. Oleh karena itu jika manusia dapat dan harus dididik, maka binatang tidak dapat dididik. Manusia hanya dapat dilatih dengan instink tersebut.

Pertemuan III: Hakikat Pendidikan dan Kehidupan Manusia

Materi yang akan dibahas dalam pertemuan ini adalah tentang apa sesungguhnya yang dimaksud dengan pendidikan itu, baik dari segi etimologis maupun

terminologis.

Dari segi etimologis (asal usul kata), pedagogy or paedagogy is the art or science of being a teacher. The term generally refers to strategies of instruction, or a style of instruction (wikipedia.com). Pendidikan adalah seni atau ilmu tentang bagimana menjadi seorang guru. Istilah itu pada umumnya merujuk pada beberapa strategi pengajaran atau gaya mengajar. Secara etimologis paedagogy berasal dari akar kata Bahasa Latin “pais” artinya anak, dan “gogos” artinya membimbing. Dengan demikian, pendidikan artinya membimbing anak. Paedagogy dalam Bahasa Inggris dikenal dengan “education” yang juga berasal dari akan kata Bahasa Latim

“educare” yang artinya membawa keluar yang tersimpan di dalam jiwa anak, untuk dituntun agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya.

Untuk memberikan wawasan tentang hakikat pendidikan, berikut ini disebutkan beberapa definisi pendidikan dari beberapa ahli dalam tabel berikut.

Tabel III.1: Beberapa Definisi Pendidikan

No. Ahli Pendidikan Definisi Pendidikan

1 Brubacher Education should thought os as the process of man’s reciprocal adjustment to nature, to his fellows, and to the ultimates nature of the cosmos. Pendidikan haru dipikirkan sebagai proses penyesuaian timbal balik antara manusia dengan alam, dengan manusia lain, dan dengan semesta alam.


(8)

2 M.J. Langeveld Mendidik adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju ke arah kedewasaan dalam arti dapat bertanggung jawab atas segala tindakannya menurut pilihannya sendiri.

3 Hoogveld Mendidik adalah membantu anak supaya anak itu kelak cakap menyelesaikan tugas hidupnya atas tanggungan sendiri

4 Sis Heyster Mendidikadalah membantu manusia dalam

pertumbuhannya agar ia kelas mendapat kebahagiaan batin yang sedalam-dalamnya yang dapat tercapai olehnya dengan tidak mengganggu orang lain 5 John Dewey Pendidikan adalah proses pembentukan

kecakapan-kecakapan yang fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. 6 Ki Hajar

Dewantara Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak-anak, agar mereka dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alamnya dan masyarakatnya.

7. D. Marimba Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya

kepribadian yang utama. 8 Sumantri

Brojonogoro

Pendidikan adalah memberi tuntutan kepada manusia yang belum dewasa untuk menyiapkan agar dapat memenuhi sendiri tugas hidupnya atau dengan secara singkat pendidikan adalah tuntunan kepada

pertumbuhnan manusia mulai lahir sampai

tercapainya kedewasaan, dalam arti jasmaniah dan rohaniah.

9 M. Noor Syam Pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, cipta, karsa, rasa dan budi nurani) dan jasmani (penginderaan serta keterampilan-keterampilan).

10 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses


(9)

Pendidikan Nasional

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Sumber: Madyo Ekosusilo, 1987: 13 – 15.

Selain definisi tersbut, cobalah berusaha untuk memahami pandangan John Dewey tentang pendidikan dalam tulisannya sebagai berikut: “In sum, I believe that the individual who is to be educated is a social individual and that society is an organic union of individuals. If we eliminate the social factor from the child we are left only with an abstraction; if we eliminate the individual factor from society, we are left only with an inert and lifeless mass. Education, therefore, must begin with a psychological insight into the child's capacities, interests, and habits. It must be controlled at every point by reference to these same considerations. These powers, interests, and habits must be continually interpreted--we must know what they mean. They must be translated into terms of their social equivalents--into terms of what they are capable of in the way of social service”.

Menurut John Dewey, pendidikan merupakan proses sosial. Individu yang akan memperoleh pendidikan --- mulai sejak bayi yang dilahirkan --- berada dalam kehidupan sosial yang tidak dapat dipisahkan dengan individu tersebut. Individu tersebut disebut sebagai ”social individual” atau individu yang dalam kehidupan sosial. Sedang masyarakat adalah satu kesatuan organik dari individual-individual. Jika akan memisahkan faktor sosial dari individu, maka yang tertinggal adalah hanyalah sebuah abstraksi. Sebaliknya, jika akan memisahkan faktor indovidu dari masyarakat, maka yang tersisa adalah masyarakat tanpa kehidupan.

Kehidupan pada hakikatnya sebagai proses pendidikan yang sebenarnya (the true educational process). Education is not preparation for life; education is life itself. Pendidikan bukanlah persiapan untuk kehidupan; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Demikian John Dewey berpesan kepada kita.

Proses pendidikan telah membentuk manusia secara individual. Proses pendidikan pulalah yang telah membentuk manusia sebagai komunitas, atau bahkan sebagai bangsa dan negara. Kita dapat belajar dari sejarah kehidupan suatu bangsa,

katakanlah bangsa Jepang, yang melatarbelakangi bagaimana bangsa Jepang telah mendidik bangsanya menjadi negara dan bangsa yang maju di dunia. Ketika Jepang mengalami kehancuran karena kalah dalam Perang Dunia II, kaisar Jepang menanyakan ”berapa guru yang masih tersisa”. Beliau tidak menanyakan berapa tentara yang masih ada. Bukan pula kekayaan alam yang masih ada. Tetapi dengan guru yang masih tersisa, bangsa Jepang mulai membangun bangsanya. Ternyata, kemajuan suatu bangsa tidak ditentukan oleh melimpahnya kekayaan alamnya, tetapi oleh kegigihan bangsa itu dalam perjuangan hidupnya.

Kehidupan manusia sejak penciptaan yang pertama sampai dengan saat ini dapat diklasifikasikan dalam empat zaman atau era:


(10)

1. Food Gathering 2. Green Revolution 3. Industrial Revolution 4. Teknologi Informasi

Dalam era food gathering, manusia hidup dalam pola mengumpulkan bahan makanan yang tersedia di alam. Kehidupannya masih nomaden atau berpindah-pindah dari daerah yang satu ke daerah yang lain, susuai dengan kondisi bahan makanan yang tersedia. Mereka hidup dalam gua-gua. Di samping mengumpulkan bahan makanan, mereka juga hidup dengan berburu.

Dalam era green revolution, manusia sudah hidup menetap (sedenter) dan telah dapat membuka lahan untuk menghasilkan bahan makanan. Bahkan merka juga telah membuka hutan untuk dikonversi menjadi sawah dan perkebunan untuk dapat menghasilkan bahan makanan yang dibutuhkan. Ketika tanahnya sudah tidak subur lagi untuk dapat menghasilkan bahan makanan, manusia juga telah berhasil dalam melakukan program intensifikasi pertanian.

Dalam era industrial revolution, manusia telah menemukan berbagai mesin. Sistem produksi tidak lagi dikerjakan dengan tangan atau memanfaatkan hewan, tetapi telah menggunakan mesin. Berkat penggunaan mesin tersebut lahirlah jenis pekerjaan yang dikenal dengan industri, yakni usaha untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi. Tingkat produktitas menjadi melimpah (over production), dan oleh karena itu memerlukan perluasan pasar. Pada era inilah lahir usaha negara produsen untuk menjual barangnya ke negara lain. Mula-mula mereka mengadakan perdagangan dengan negara-negara itu. Lama-kelamaan muncul gagasan untuk menguasai daerah tersebut sebagai daerah jajahan. Maka lahirlah masa imperalisme, dengan membawa slogan 3 G’s, yaitu (1) gold, (2) glory, dan (3) gospel. Gold dimaknai sebagai kekayaan, glory dimaknai sebagai kejayaan, dan gospel dimaknai sebagai penyebaran agama dan keyakinan.

Sejarah kehidupan manusia harus dapat menjadi bahan pelajaran bagi manusia. Panggung sejarah manusia menunjukkan bahwa kehidupan manusia saat ini merupakan gambaran dari usaha untuk menjadikan dirinya sebagai mahluk yang tertinggi derajatnya agar manusia dapat menjadi khalifah di dunia ini.

Manusia memang unik. Manusia yang berhasil karena tempaan kesulitan hidupnya. Tempaan hidup dapat berupa pengalaman, bahkan berupa cobaan hidup yang menderanya. Mereka yang tahan terhadap tempaan hidup ini akhirnya akan membentuk diri manusia yang sesungguhnya. Ada beberapa contoh bahwa kehidupan sebagai proses pendidikan. Bacalah biografi beberapa orang penting. Misalnya ”who’s who”, biografi para presiden, biografi para tokoh, biografi pada penemu, dan sebagainya. Tuliskan kembali apa yang telah Anda baca. Silahkan membuka lampiran 1: power point tentang refleksi dan tindakan.


(11)

Pendidikan adalah pembudayaan. Demikian Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Tonny D. Widiastono, Pendidikan Manusia

Indonesia, 2004: (52 – 87) menjelaskan tentang hubungan antara pendidikan dan kebudayaan. Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses transformasi budaya. Pendidikan merupakan proses pewarisan budaya, dan sekaligus pengembangan budaya. Jika kebudayaan diartikan sebagai produk masyarakat, maka pendidikan adalah prosesnya. Jika kebudayaan sebagai“that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society” atau kebudayaan merupakan satu keseluruhan yang kompleks, termasuk di dalamnya pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, seni, teknologi, dan banyak kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki manusia sebagai warga masyarakat, maka pendidikan adalah keseluruhan proses yang kompleks untuk menghasilkan semua itu. Proses apa yang membentuk pengetahuan dalam masyarakat? Prose situ adalah

pendidikan. Proses apa yang membentuk kepercayaan dalam masyarakat? Sudah tentu masyarakat pula yang membangunnya. Demikian seni, moral, hukum, kebiasaan, dan kemampuan lain dalam masyarakat. Semuanya merupakan produk dari satu proses yang dinamakan pendidikan. Singkat kata, “education enables people and societies to be what they can be” Pendidikan menjadikan manusia dan masyarakat mampu menghasilkan apa yang dapat mereka inginkan. Demikian Bill Richardson menjelaskan peran pendidikan dalam melahirkan kemampuan tertentu dalam masyarakat.

Untuk mewariskan budaya tersebut, proses pendidikan dilakukan melalui tiga proses yang saling kait mengait yang tidak terpisahkan, yaitu: (1) pembiasaan (habit formation), (2) pengajaran dan pembelajaran (teaching and learning process), dan (3) peneladanan (role model). Dengan demikian pengertian

pendidikan jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian pengejaran. Pendidikan adalah pembudayaan. Dengan kata lain, pendidikan adalah proses pembentukan, pelestarian, dan pengembangan budaya dalam masyarakat. Pendidikan adalah proses yang dirancang dan dilaksanakan agar masyarakat dapat menghasilkan produk beruba budaya.

Immanuel Kant menyebutkan bahwa manusia merupakan animal educancum dan animal educandus, mahluk yang dapat dididik dan dapat mendidik. Oleh karena itu, maka sama sekali tidak benar jika ada pernyataan yang menyatakan bahwa “anak itu tidak dapat dididik”. Tidak! Proses dan metode yang digunakanlah yang kemungkan tidak tepat digunakan. Justru anak manusia akan menjadi manusia jika melalui proses pendidikan, oleh manusia, dan dengan cara yang manusiawi, melalui ketiga proses tersebut. Pemaknaan pendidikan ini menolak penyempitan makna pendidikan sebagai peyekolahan, atau juga pendidikan sebagai pengajaran. Proses pendidikan adalah proses kehidupan itu sendiri. Manusia terlibat dalam keseluruhan proses pendidikan, baik yang dilakukan terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri (Fuad Hassan, 2004: 53). Dalam pengertian inilah maka UNESCO (United Nation for Educational, Scientific, and Cultural Organization) menyatakan bahwa pendidikan berlangsung sepanjang hayat (lifelong education). Konsep ini persis sama dengan konsep “belajar sepanjang hayat” atau “tholabul ilmi faridhotun alal muslimin walmuslimat” atau “menuntut ilmu kewajiban bagi muslimin dan muslimat”. Konsep ini juga persis sama bahwa “pendidikan


(12)

berlangsung sejak lahir (bahkan ketika masih dalam kandungan) sampai ke liang lahat” (from the cradle to the grave).

Pendidikan sebagai proses pembentukan kebiasaan terutama terjadi dalam pendidikan keluarga. Keluarga adalam lembaga pendidikan utama dan pertama. Namun demikian, pembentukan kebiasaan juga dapat dikembangkan secara sistematis di lingkungan sekolah. Dalam model sekolah berasrama, peserta didik akan dituntut untuk mengikuti pola-pola perilaku yang akan dibentuk oleh lembaga pendidikan itu. Tetapi perlu disadari bahwa pola-pola pembiasaan yang terjadi dalam keluarga akan lebih kuat dibandingkan pola-pola yang dibentuk di luar pendidikan keluarga. Ada pepatah yang mengingatkan bahwa “pendidikan di waktu kecil ibarat mengukir di atas batu, pendidikan di waktu besar ibarat mengukir di atas air”. Artinya, proses pembentukan kebiasaan di waktu kecil akan sudah dilakukan, tetapi hasilnya juga akan sudah diubah. Sementara pembentukan kebiasaan di waktu besar akan lebih mudah dibentuk tetapi akan lebih mudah pula berubah. Cobalah baca berbagai artikel pilihan yang terlampir dalam modul ini. Proses pengajaran dan pembelajaran sebagian besar berlangsung dalam jalur pendidikan formal atau dalam lembaga pendidikan sekolah. Proses ini memang lebih bersifat formal, dalam arti dengan menggunakan pola-pola yang sudah tersistem, baik dari aspek struktur persekolahannya, kurikulum, pendidik, tenaga kependidikan, media, metode, dan alat peraga atau alat bantu pembelajaran yang digunakan, serta sarana dan prasarana pendidikan yang diperlukan.

Manusia adalah pengemban budaya (culture bearer), dan manusia yang hidup dalam tatanan masyarakatnya akan mewariskan kebudayaannya tersebut kepada keturunannya. Proses pendidikan tidak lain merupakan proses transformasi budaya, yakni proses untuk mewariskan kebudayaan kepada generasi muda.

Pengertian pendidikan jauh lebih luas dari pengertian pengajaran. Proses

pendidikan bukan hanya sebagai pengalihan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik (transfer of knowledge and skills) tetapi juga pengalihan nilai-nilai sosial dan budaya (transmission of social and culture values and norms). Untuk memperdalam pemahaman Anda tentang hal ini, cobalah buat tabel yang

membedakan antara keduanya. Baca buku referensi, dan cari materi yang terkait dengan perbedaan pendidikan dan pengajaran.

Pertemuan V: Pendidikan Sebagai Suatu Sistem

Tuhan Yang Maha Esa menciptakan jagad raya dan seisinya sebagai suatu sistem. Sistem Tata Surya diciptakan sebagai suatu sistem. Ada matahari, ada planet-planet dengan bulan-bulannya. Salah satu planet tersebut adalah bumi dan bulan yang selalu menyinari bumi di malam hari. Di dalam dan permukaan bumi terdapat mahluk hidup, termasuk di dalamnya adalah manusia.

Manusia juga sebagai suatu sistem karena dibangun dari berbagai unsur yang saling kait mengait tidak dapat dipisahkan. Dalam kehidupannya, manusia membangun sistem sosial, ekonomi, politik, ideologi, dan sebagainya, termasuk


(13)

pendidikan. Kehidupan sosial manusia juga sebagai suatu sistem. Kehidupan ekonomi juga sebagai suatu sistem. Kehidupan politik, budaya, ideologi, dan semua aspek kehidupan manusia tercipta sebagai suatu sistem.

Dari kacamata kehidupan manusia sebagai sistem, aspek-aspek kehidupan manusia itu menjadi susbsistemnya. Subsistem sebagai entitas dapat menjadi suatu sistem, karena dia dibangun dari komponen-komponen yang saling kait-mengait. Sampai ke suatu subsistem yang terkecil sekalipun ia dapat menjadi sistem tersendiri sebagai suatu entitas. Katakanlah misalnya, mikroorganisme sebagai suatu sistem, pembelajaran sebagai suatu sistem, penilaian sebagai suatu sistem, dan seterusnya. Dengan demikian, apa yang terdapat dalam jagat raya ini merupakan suatu sistem. Termasuk di dalamnya pendidikan di suatu negara, atau pendidikan nasional. Pasal 1 butir 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan pengertian pendidikan nasional sebagai suatu sistem sebagai berikut:

“Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional”.

Pendidikan juga sebagai sistem, yang terdiri dari berbagai komponen yang saling kait mengait tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan sebagai suatu sistem dapat digambarkan sebagai berikut.

Sumber: EFA Global Monitoring Report 2005, UNESCO, hal. 36.

Enabling inputs

Teaching and learning materials Physical infrastructur and facilities Human resources: teachers, principles,

inspectors, supervisors, administrators School governance

Outcomes

Literacy, numeracy and life skills

Creative and emotional skills Values Social benefits Learner Characteristics Aptitude Perseverance School readiness Prior knowledge Barriers to learning

Teaching and learning Learning time Teaching methods

Assessment, feedback, incentives Class size

Context

o Economic and labour market conditions in the community

o Educational knowledge and support infrastructure

o Public resources available

o Philosophical standpoint of teacher and learner

o Peer effects

o National standards

o Public expectation

o Labour market demands

o Socio-cultural and rreligious factors

for education

o Competitiveness of the o

Parental support

o Time available for o

Globalization

o (Aid strategies) teaching profession on the labour market

Schooling and homework

o National governance and management strategies


(14)

Berdasarkan bagan tersebut, mutu pendidikan menyangkut banyak variabel, dimensi, dan komponen yang saling kait-mengait dan pengaruh-mempengaruhi. Peserta Didik (learners). Peserta didik memiliki karakteristik yang amat beragam dari satu tempat ke tempat lain, sesuai dengan kondisi alam, sosial-ekonomi-budaya pendukungnya. Secara spesifik, karakteristik yang mempengaruhi mutu pendidikan antara lain adalah (a) kondisi sosial ekonomi keluarga, (b) kondisi sosial-budaya keluarga, (c) keterpencilan peserta didik karena faktor geografis, (d) kemampuan peserta didik dari aspek akademis dan nonakademisnya, dan (e) karakteristik lain yang menyangkut gender, disabilitas, ras dan etnisitas, dan sebagainya.

Dengan alasan mutu pendidikan, banyak sekolah yang menerapkan tes masuk yang ketat sebagai alat untuk menyeleksi peserta didik yang akan diterima di

sekolahnya. Ada dua karakteristik yang pada ujungnya digunakan untuk menilai mereka. Pertama, kemampuan akademis peserta didik untuk jenjang pendidikan menengah. Misalnya sekolah menerapkan peringkat hasil ujian akhir untuk

menerima siswa baru. Kedua, selain itu sekolah juga melihat kemampuan orang tua siswa secara sosial ekonominya.

Sekolah yang telah sangat selektif dalam penerimaan siswa baru sebenarnya telah berbuat terlalu egois, karena berfikir dan bertindak hanya untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya sendiri. Dengan seleksi seperti itu, maka sesungguhnya sekolah memang akan menjadi sangat dimudahkan dalam

melaksanakan proses belajar mengajar di sekolahnya. Karena peserta didik yang masuk di sekolah itu memang peserta didik pilihan. Sebaliknya, sekolah yang menerima sisanya atau siswa dengan syarat yang lebih rendah, sekolah harus bekerja lebih keras untuk meningkatkan mutu pendidikannya. Mengingat kondisi seperti itu, sekolah yang bermutu pada hakikatnya yang menerima siswa dalam kategori kemampuan yang rendah, tetapi dapat meningkatkan mutunya setara atau lebih baik dari sekolah yang telah mengadakan seleksi dengan kategori lebih tinggi tersebut.

Masukan (input). Yang termasuk dalam kategori atau dimensi ini adalah sumber daya manusia (human resources): kepala sekolah, pendidik atau guru, pengawas sekolah, pegawai Dinas Pendidikan, pegawai tata usaha sekolah, penjaga sekolah, pengembang kurikulum, teknisi sumber belajar, dan sebagainya. Dimensi kedua adalah sumber daya material (material resources) seperti buku pelajaran

(textbooks), bahan ajar (learning materials), ruang kelas (classrooms),

perpustakaan (library), fasilitas sekolah (school facilities). Dimensi lainnya adalah lingkungan sekolah, antara lain adalah kepedulian pemerintah dan pemerintah daerah, keterlibatan orangtua dan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan.

Semua kategori masukan, baik sumber daya manusia maupun sumber daya material, sesungguhnya akan menjadi sekedar penunjang, karena tanpa dikelola dengan baik (school-level governance), semua masukan itu akan sia-sia. Guru yang telah dilatih berkali-kali, para pegawai tata usaha yang juga telah diikutkan


(15)

dikirim dari pusat, dan sebagainya, hanya akan bermakna besar untuk

meningkatkan mutu pendidikan jika dikelola dengan kepemimpinan yang kuat, dengan manajemen yang transparan dan akuntabel. Dengan kata lain, dimensi masukan instrumental (instrumental input) dan masukan lingkungan

(environmental input) akan tergantung pada dimensi yang lain, yakni dimensi proses.

Proses (processes). Dimensi yang dimaksud di sini adalah proses penyelenggaraan pendidikan, terutama adalah proses belajar mengajar di dalam kelas. Dimensi ini meliputi: (a) waktu yang benar-benar digunakan dalam proses pembelajaran (time on task), (b) metode mengajar yang digunakan, (c) media yang dipakai, (d) penilaian yang digunakan untuk menilai proses pembelajaran, dan (e) besarnya siswa dalam setiap kelas (class size).

Konteks (context). Dimensi ini sesungguhnya lebih banyak berasal dari masukan instrumental, yang berasal dari faktor-faktor ekstern sekolah. Masuk dalam dimensi ini misalnya adalah (a) kondisi ekonomi masyarakat, (b) faktor sosial-budaya dan keagamaan, (c) infrastruktur dan sumber daya yang tersedia dalam masyarakat, (d) persaingan profesi guru dalam bursa tenaga kerja, (e) tata kelola pemerintahan, dan strategi manajemen pemerintahan, (f) semangat dan nilai-nilai filosofi yang dianut guru dan siswa, (g) efek dari pertemanan sebaya, (h) dukungan orangtua siwa dan masyarakat, (h) standar nasional yang ditetapkan, (i) harapan masyarakat, (j) permintaan pasar tenaga kerja, dan (k) globalisasi.

Hasil pendidikan (outcomes). Hasil pendidikan terkait dengan tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan. Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan filosofi pendidikan yang telah ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945. Hasil pendidikan harus diukur dari tujuan tersebut, yang bukan hanya kecerdasan intelektual semata-mata, tetapi kecerdasan komprehensif. Dalam hal ini, hasil pendidikan terutama meliputi kemampuan baca-tulis-hitung (literacy, numeracy) dan kecakapan hidup (life skills) untuk jenjang pendidikan dasar. Selain itu, pada jenjang pendidikan menengah, yang hasil pendidikan adalah kemampuan

akademis, sikap, nilai-nilai, kecerdasan emosional, sosial, dan seni, serta kesiapan untuk terjun dalam pasar kerja amat diperlukan pada semua jenis dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan menengah kejuruan.

Pertemuan VI: Hak Azasi Manusia Untuk Memperoleh Pendidikan

Hak azasi manusia merupakan hak yang melekat pada setiap individu manusia. Hak azasi itu meliputi hak azasi dalam berbagai bidang, politik, ekonomi, budaya, dan sosial, termasuk di dalamnya adalah hak azasi dalam bidang pendidikan.

”Everyone has the right to education ... Education shall be directed to the full development of human personality and to strengthening of respect for human rights and fundamental freedoms. It shall promote understanding, tolerance and friendship among all nations, racial or religious groups, and shall further the activities of the United Nations for the maintenance of peace” (art. 26 – Universal Declaration of Human Rights)


(16)

Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan diarahkan menuju pengembangan personalitas kemanusiaan secara penuh dan memperkuat penghargaan terhadap kebebasan fundamental dan hak azasi manusia. Pendidikan juga harus meningkatkan pemahaman, toleransi dan persahabatan antara semua bangsa, kelompok agama dan ras, dan mendorong berbagai kegiatan PBB untuk memelihara perdamaian (Pasal 26 Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia).

Berdasarkan Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia tersebut, setiap orang, baik laki-laki maupun wanita, harus memiliki akses untuk memperoleh pendidikan. Oleh karena itu, dalam pendidikan tidak boleh terjadi adanya bias gender. Dengan kata lain pemerataan pendidikan dasar yang bermutu merupakan hak azasi setiap orang. Tidak boleh ada diskriminasi untuk memperoleh mutu layanan pendidikan bagi semua warga negara.

Di dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi Pemerintah Indoensia berdasarkan Keppres Nomor 26 Tahun 1990, ada empat hak anak yang harus diberikan kepada anak, yaitu:

1. Hak untuk bertahan hidup (right for survival); 2. Hak perlindungan (right for protection);

3. Hak berpartisipasi (right for participation); dan 4. Hak tumbuh kembang (right for development)

Dalam dokumen tentang visi, misi, dan program yang harus diserahkan sebagai calon presiden dan wakil presiden tahun 2004 – 2009, Susilo Bambang Yudoyono dan M. Jusuf Kalla menyebutkan sepuluh hak dasar rakyat yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Hak rakyat untuk memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; 2. Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum;

3. Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman;

4. Hak rakyat untuk memiliki akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau;

5. Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; 6. Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; 7. Hak rakyat untuk memperoleh keadilan;

8. Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam politik dan perubahan; 9. Hak rakyat untuk berinovasi; dan

10. Hak rakyat untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Agar hak-hak dasar rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan, Susilo Bambang Yudoyono dan M. Jusuf Kalla mengajukan beberapa agenda dan program peningkatan akses rakyat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas, yaitu:


(17)

2. Memberikan akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat terjangkau oleh layanan pendidikan, seperti

masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, masyarakat di daerah-daerah konflik, ataupun masyarakat penyandang cacat;

3. Meningkatkan penyediaan pendidikan keterampilan dan kewirausahaan ataupun pendidikan nonformal yang bermutu;

4. Meningkatkan penyediaan dan pemerataan sarana-sarana pendidikan dan tenaga pendidik;

5. Meningkatkan kompetensi dan profesionalisme tenaga pendidik; 6. Meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik agar lebih mampu

mengembangkan kompetensinya;

7. Menyempurnakan manajemen pendidikan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses perbaikan mutu pendidikan;

8. Meningkatkan kualitas kurikulum dan pelaksanaannya yang bertujuan membentuk karakter dan kecakapan hidup, sehingga peserta didik mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan secara kreatif dan menjadi manusia produktif.

Pertemuan VII: Pilar-pilar Pendidikan

UNESCO (United Nation for Educational, Scientific, and Cultural Organization) mengingatkan tentang Empat Pilar Pendidikan, yaitu:

1. Learning to know; 2. Learning to do; 3. Learning to be, dan

4. Learning how to live together.

Empat pilar pendidikan tersebut memberikan indikasi bahwa hasil pendidikan dewasa ini diarahkan untuk dapat menghasilkan manusia yang memiliki ciri-ciri manusia paripurna sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.

Pertama, learning to know. Dalam pilar ini, belajar dimaknai sebagai upaya hanya sebatas untuk mengetahui. Belajar ini termasuk dalam kategori sebagai belajar pada tingkat yang rendah, yakni belajar yang lebih menekankan pada ranah kognitif.

Kedua, learning to do. Dalam pilar ini, belajar dimaknai sebagai upaya untuk membuat peserta didik bukan hanya mengetahui, tetapi lebih kepada dapat melakukan atau mengerjakan kegiatan tertentu. Fokus pembelajaran dalam pilar ini lebih memfokuskan pada ranah psikomotorik.

Ketiga, learning to be. Dalam pilar ketiga ini, belajar dimaknai sebagai upaya untuk menjadikan peserta didik sebagai dirinya sendiri. Belajar dalam konteks ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi peserta didik, sesuai dengan minat dan bakatnya atau tipe-tipe kecerdasannya (types of intelligence). Howard Gardner menyebutkan ada delapan tipe kecerdasan, yang biasa disingkat SLIM n BIL atau:


(18)

1. spatial atau keruangan; 2. language atau bahasa;

3. interpersonal atau hubungan social; 4. music atau musik;

5. naturalist atau cinta alam;

6. bodily kinesthetics atau olah raga atau gerak badan, 7. intrapersonal atau melihat diri sendiri, dan

8. logical mathematics atau logis matematis.

Keempat, learning how to live together. Pilar keempat ini memaknai belajar sebagai upaya agar peserta didik dapat hidup bersama dengan sesamanya secara damai. Dikaitkan dengan tipe-tipe kecerdasan, maka pilar keempat ini berupaya untuk menjadikan peserta didik memiliki kecerdasan sosial (social intelligence). Peringatan UNESCO yang sangat merdu ini menyadarkan kita bahwa proses belajar mengajar di dalam kelas bukan hanya diperlukan agar peserta didik dapat memperoleh pengetahuan sebanyak-banyaknya semata-mata, tetapi harus lebih banyak memperoleh pengalaman, diberikan kesempatan agar pada akhirnya dapat melakukan atau mengerjakan sendiri. Dengan proses seperti itu, peserta didik dapat menjadi dirinya sendiri sesuai dengan potensi bakat dan minat yang mereka miliki. Di samping itu, yang tidak kalah penting adalah agar peserta didik mampu untuk dapat hidup bersama dalam masyarakat yang semakin majemuk.

Peringatan UNESCO tersebut juga memberikan penegasan bahwa proses belajar mengajar tidak hanya mementingkan hasil nya --- apalagi hanya dalam bidang akademis ---, tetapi justru yang lebih penting adalah prosesnya.

Pertemuan VIII: UTS

Dalam pertemuan V ini, mahasiswa akan menjawab menjawab soal-soal berikut. Bentuk True-False (B/S)

1. Education is preparation for life; education is not a life itself. Demikian John Dewey menjelaskan makna pendidikan dalam kehidupan kita (B/S)

2. Manusia adalah mahluk pembelajar (B/S)

3. Manusia dapat dididik dan dapat mendidik (B/S)

4. Manusia lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan setan, karena setan dibuat dari api, sedang manusia hanya dibuat dari tanah (B/S)

5. Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), kualitas pendidikan terbaik di dunia adalah negara Amerika Serikat (B/S) 6. Orientasi pendidikan kita dewasa ini masih menitikberatkan pada hasil

daripada prosesnya (B/S)

7. Pendidikan antara lain dapat diupayakan melalui habit formation (B/S) 8. Pendidikan berlangsung sepanjang hayat, mulai dari buaian sampai ke liang

lahat (B/S)

9. Pendidikan dapat diupayakan melalui role model (B/S)


(19)

11. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang berlangsung pada lembaga pendidikan sekolah (B/S)

12. Pendidikan informal merupakan pendidikan yang berlangsung dalam lembaga kursus atau yang berlangsung dalam masyarakat (B/S)

13. Jalur pendidikan meliputi pendidikan formal, nonformal, dan informal (B/S) 14. Jenjang pendidikan meliputi SD, SMP, SMA (B/S)

15. Jenis pendidikan meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (B/S)

16. Satuan pendidikan meliputi pendidikan umum, pendidikan kejuruan, dan pendidikan kedinasan (B/S)

17. Pendidikan merupakan proses transmission of social and cultural values and norms (B/S)

18. Pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang berlangsung dalam keluarga (B/S)

19. Pendidikan sama dengan pengajaran (B/S)

20. Pengajaran merupakan proses transfer of knowledge and skills (B/S) 21. Pengertian pengajaran jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian

pendidikan (B/S)

22. Pendidikan informal dikenal dengan pendidikan sekolah (B/S) 23. Pendidikan merupakan proses transformasi budaya (B/S) 24. Makna pengajaran jauh lebih luas dari makna pendidikan (B/S) 25. Kebudayaan adalah produk masyarakat (B/S)

Bentuk Short Essay Test atau Uraian Singkat

1. Sebut dan jelaskan empat pilar pendidikan menurut UNESCO. 2. Sebut dan jelaslah empat era sejarah peradaban manusia. Pertemuan IX: Teori Pendidikan: Nativisme

Telah cukup banyak dibicarakan hal-ihwal tentang pendidikan, baik kaitannya dengan hekikat kehidupan manusia, maupun kaitannya dengan kebudayaan sebagai produk dari proses pendidikan.

Pada saat manusia mengalami tahap perkembangan, baik secara fisik maupun rohaninya dalam proses pendidikan, muncullah pertanyaan mendasar tentang faktor yang paling berpengaruh terhadap perkembangan itu. Apakah faktor bakat dan kemampuan diri manusia itu sendiri, atau faktor dari luar diri manusia, ataukah kedua faktor itu secara bersama-sama. Dari faktor yang pertama timbullah teori yang disebut sebagai teori nativisme. Nativisme berasal dari kata ”nativus” artinya pembawaan.

Teori nativisme dikenal juga dikenal dengan teori naturalisme atau teori pesimisme. Teori ini berpendapat bahwa manusia itu mengalami

pertumbuhkembangan bukan karena faktor pendidikan dan intervensi lain di luar manusia itu, melainkan ditentukan oleh bakat dan pembawaannya. Teori ini

berpendapat bahwa upaya pendidikan itu tidak ada gunanya dan tidak ada hasilnya. Bahkan menurut teori ini pendidikan itu upaya itu justru akan dapat merusak perkembangan anak. Pertumbuhkembangan anak tidak perlu diintervensi dengan


(20)

upaya pendidikan, agar pertumbuhkembangan anak terjadi secara wajar, alamiah, sesuai dengan kodratnya.

Teori ini dipelopori oleh Schopenhauer, nama lengkapnya Arthur Schopenhauer (February 22, 1788 – September 21, 1860), seorang ahli filsafat bangsa Jerman. Dalam salah satu tulisannya Schopenhauer menjelaskan bahwa kebanyakan pembelajaran adalah bersifat superfisial.

Of human knowledge as a whole and in every branch of it, by far the largest part exists nowhere but on paper -- I mean, in books, that paper memory of mankind. Only a small part of it is at any given period really active in the minds of

particular persons. This is due, in the main, to the brevity and uncertainty of life; but it also comes from the fact that men are lazy and bent on pleasure. Every generation attains, on its hasty passage through existence, just so much of human knowledge as it needs, and then soon disappears. Most men of learning are very superficial. Then follows a new generation, full of hope, but ignorant, and with everything to learn from the beginning. It seizes, in its turn, just so much as it can grasp or find useful on its brief journey and then too goes its way. How badly it would fare with human knowledge if it were not for the art of writing and printing! This it is that makes libraries the only sure and lasting memory of the human race, for its individual members have all of them but a very limited and imperfect one. Hence most men of learning as are loth to have their knowledge examined as merchants to lay bare their books.

Pandangan Schopenhauer didukung oleh Prof. Heymans dan sejalan pula dengan pandangan J.J. Rousseau, penganut teori naturalisme.

Jean-Jacques Rousseau, (June 28, 1712 – July 2, 1778), lahir di Geneva, Switzerland, seorang ahli filsafat politik.

Schopenhauer (Wikipedia.com)

J.J. Rousseau (Wikippedia.com)


(21)

Rousseau set out his views on education in Émile, a semi-fictitious work detailing the growth of a young boy of that name, presided over by Rousseau himself. He brings him up in the countryside, where, he believes, humans are most naturally suited, rather than in a city, where we only learn bad habits, both physical and intellectual. The aim of education, Rousseau says, is to learn how to live

righteously. This is accomplished by following a guardian who can guide his pupil through various contrived learning experiences.

The growth of a child is divided into three sections, first to the age of about 12, when calculating and complex thinking is not possible, and children, according to his deepest conviction, live like animals. Second, from 12 to about 16, when reason starts to develop, and finally from the age of 16 onwards, when the child develops into an adult. During this stage, the young adult should learn a skill, such as carpentry. This trade is offered because it requires creativity and thought, but would not compromise one's morals. It is at this age that Emile finds a young woman to complement him.

The book is based on Rousseau's ideals of healthy living. The boy must work out how to follow his social instincts and be protected from the vices of urban individualism and self-consciousness.

Rousseau's account of the education of Emile is, however, not an account of education of a gender-neutral "child." The education he proposes for Sophie, the young woman Emile is destined to marry, is importantly different to that of Emile. Sophie (as a representative of ideal womanhood) is educated to be governed (by her husband) while Emile (as a representative of the ideal man) is educated to be self-governing. This is not an accidental feature of Rousseau's educational and political philosophy; it is essential to his account of the distinction between private, personal relations and the public world of political relations. The private sphere as Rousseau imagines it depends on the (naturalized) subordination of women in order for both it and the public political sphere (upon which it depends) to function as Rousseau imagines it could and should.

The education proposed in Émile has been criticized for being impractical, and the topic itself (the education of children) has led the text to be ignored by many studying Rousseau’s more “political” works. However, of particular interest to anyone interested in Rousseau’s intentions in Émile is a letter he wrote to his friend Cramer on October 13, 1764. In the letter, Rousseau answers the criticism of impracticability: “You say quite correctly that it is impossible to produce an Emile. But I cannot believe that you take the book that carries this name for a true treatise on education. It is rather a philosophical work on this principle advanced by the author in other writings that man is naturally good”.

Pertemuan X: Teori Pendidikan: Empirisme

Teori empirisme berlawanan dengan teori nativisme. Teori empirisme dikenal juga sebagai teori optimisme. Teori ini juga dikenal sebagai teori tabula rasa, yang menyatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan sebagai kertas putih. Dalam


(22)

perjalanan kehidupannya, kertas putih itu akan akan ”dipenuhi dengan lukisan” dari semua pengalam dan pengaruh dari luar yang akan mempengaruhi

pertumbuhkembangan manusia. Dengan demikian, teori empirisme berpandangan bahwa pertumbuhkembangan manusia ditentukan oleh faktor pengalaman yang diperoleh melalui pendidikan.

Tokoh yang mendukung teori empirisme antara lain adalah John Locke dan David Hume. Dalam hal ini, David Hume amat dikenal dengan teori tabula rasa. Teori ini memperoleh dukungan dari teori stimulus-respon atau teori behaviorisme yang dipelopori oleh Pavlov (Rusia) dan Watson (Amerika Serikat). Teori ini

mengabaikan sama sekali aspek bakat dan pembawaan yang dimiliki peserta didik, potensi kecerdasan peserta didik.

Teori ini menyarankan kepada pemerintah dan masyarakat agar menyediakan lingkungan belajar yang kondusif untuk peserta didik. Penyediaan fasilitas belajar yang lengkap dan memadai akan memberikan sebanyak mungkin pengalaman belajar peserta didik.

Pertemuan XI: Teori Pendidikan: Konvergensi

Kedua teori tersebut kemudian digabungkan menjadi satu kesatuan, yang kemudian dikenal dengan teori konvergensi.

Penggagas teori ini antara lain adalah William Stern.Teori ini berpendapat bahwa selain manusia itu memang telah dibekali potensi dasar berupa bakat dan

kemampuan, tetapi bakat dan kemampuan itu akan dipengaruhi oleh ruang (space) dan waktu (time). Dalam hal ini, William Stern percaya bahwa sejak lahir manusia telah memiliki potensi. Jika potensi ini diibaratkan dengan bibit unggul, maka bibit unggul itu akan akan tumbuh secara optimal jika bibit unggul itu ditanam di tempat persemaian yang subur, dan memperoleh rawatan secara intensif. Teori ini

meyakini bahwa bakat dan pembawaan yang bagus akan berkembang secara optimal apabila diberikan rangsangan faktor dari luar berupa pemberian pengalaman belajar melalui proses pendidikan, pelatihan, dan pembimbingan. Teori “dasar” dan “ajar” menurut Ki Hajar Dewantara pada hakikatnya sama dengan teori konvergensi. Makna dasar tidak lain adalah bakat dan kemampuan. Sementara ajar pada hakikatnya adalah proses mempengaruhi peserta didik, baik dari lingkungan maupun proses pembelajaran dan pengajaran di lembaga

pendidikan, baik pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Proses pendidikan menurut teori ini

Pertemuan XII: Lingkungan Pendidikan

Lingkungan pendidikan dikenal juga sebagai miliu pendidikan. Dalam teori empirisme, miliu pendidikan dipercaya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan proses pendidikan. Sementara teori nativisme menafikan pengaruh lingkungan pendidikan, karena bakat dan pembawaan peserta didik dinilai mempunyai pengaruh lebih dominan terhadap proses pertumbuhkembangan manusia. Bagaimana pun juga, teori konvergensi sangat mengakui pengaruh bakat


(23)

dan pembawaan seseorang. Namun bukan satu-satunya. Pengaruh bakat dan kemampuan akan bertemu denga pengaruh dari lingkungan belajar, intervensi berupa pendidikan, pelatiha, pembimbingan. Pendek kata pertumuhkembangan manusia dipengaruhi secara bersama-sama antara keduanya, yakni bakat dan pembawaan serta pengaruh lingkungan pendidikan.

Lingkungan pendidikan antara lain berupa: (1) keadaan alam, misalnya pinggir pantai, daerah pedalaman, pegunungan; (2) kondisi sosial ekonomi masyarakat, misanya keadaan sosial ekonomi yang rendah, mata pencaharian penduduk dalam bidang pertanian, perkebunan, industri, perdagangan, jasa, dan sebagainya.

Lingkungan pendidikan pada hakikatnya dapat menjadi sumber pembelajaran. Teori pembelajaran konstruktivisme mengajarkan kepada kita bahwa peserta didik harus dapat membangun pemahaman sendiri tentang konsep yang diambil dari sumber-sumber pembelajaran yang berasal dari lingkungan sekitar siswa. Proses pendidikan seharusnya dapat menjadi agen pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, misalnya dalam pengembangan sosial ekonomi masyarakat agar warga masyarakatnya lebih hemat, gemar menabung, memiliki jiwa demokratis, dan menghormati hak azasi manusia, cinta damai dan menjunjung nilai-nilai kebersamaan, menanamkan semangat kerja keras, semangat antikorupsi, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Pertemuan XIII: Nilai-nilai Sosial Budaya

Di dunia ini terdapat negara yang maju, di samping negara yang miskin.

Pertanyaan mendasar yang muncul kemudian adalah faktor apa yang menyebabkan negara itu telah berkembang menjadi negara yang maju, sementara yang lain tidak? Apakah karena faktor (1) umur negara itu, (2) sumber daya alamnya, atau (3) faktor rasnya.

Ternyata, masyarakat negara yang maju memiliki nilai-nilai sosial budaya yang dijunjung tinggi dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu adalah sebagai berikut.

1. Etika, sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari 2. Kejujuran dan integritas

3. Bertanggung jawab

4. Hormat pada aturan & hukum masyarakat 5. Hormat pada hak orang/warga lain

6. Cinta pada pekerjaan

7. Berusaha keras untuk menabung & investasi 8. Mau bekerja keras

9. Tepat waktu

Setiap daerah atau tempat memiliki nilai-nilai social budaya yang berbeda-beda. Penduduk suku terasing, sebagai contoh, ternyata telah memiliki nilai-nilai social budaya yang cukup akrab dengan alam. Suku Kubu di Sumatera, konon dikenal


(24)

memiliki nilai-nilai social budaya yang sangat bermanfaat untuk melindungi alam dari kerusakan oleh tangan-tangan manusia.

Negara Kesatuan Republik Indonsia (NKRI) dikenal menjadi negara nasional (national state) yang memiliki lebih dari 200-an suku bangsa dengan bahasa daerahnya masing-masing. Di Kabupaten Ende, Provinsi Nusatenggara Timur, sebagai contoh, terdapat dua suku bangsa, yakni suku bangsa Ende dan suku bangsa Lao, dengan bahasa daerahnya yang berbeda. Ja’o ata Ende (saya orang Ende) adalah kalimat dalam Bahasa Ende.

Di daerah suku Minang, sebagai contoh yang lain, dikenal dengan nilai-nilai sosial yang masih kuat dipegang oleh masyarakat suku ini, yakni “hidup bersandi sarak, sarak bersandi kitabullah” atau hidup bersendi hukum sarak, sarak bersendi

kitabullah. Masih banyak nilai-nilai sosial budaya yang perlu digali kembali untuk dinilai mana-mana yang masih selaras dengan perkembangan zaman. Untuk ini peran generasi muda perlu dibangkitkan untuk mampu memberikan penilaian terhadap nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu.

Pancasila dikenal sebagai kristalisasi butir-butir nilai sosial budaya, ideologi dan politik Bangsa Indonesia. Dalam sejarah diriwayatkan bahwa butir-butir nilai Pancasila itu telah digali dari nilai-nilai yang terdapat dalam bumi pertiwi kita sendiri. Ketika Bung Karno dibuang ke Ende oleh Belanda, konon Bung Karno menyempatkan untuk melakukan perenungan tentang nilai-nilai Pancasila itu di bawah pohon Sukun. Saat ini tempat itu dinilai sebagai situs sejarah yang masih dipelihara oleh rakyat Ende.

Pertemuan XIV: Kebudayaan dan Teknologi

Menurut Koentjaraningrat, teknologi merupakan salah satu faset dari 7 (tujuh) faset kebudayaan. Dalam pertemuan ini akan dibicarakan tentang pengertian, wujud, dan faset kebudayaan atau ranah kebudayaan.

Budaya atau kebudayaan berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan atau dihasilkan dari budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Bahasa Latin colere, yang artinya mengolah atau mengerjakan. Dalam hal ini kebudayaan diartikan sebagai usaha mengolah tanah atau bertani. Culture sering diterjemahkan dengan "kultur" dalam bahasa Indonesia (www.id.wikipedia.org). Misalnya monokultur artinya pertanian dengan satu macam jenis tanaman. Sebaliknya, polikultur artinya pertanian dengan beberapa macam tanaman,

Para ahli antropologi telah melahirkan beberapa definisi kebudayaan, antara lain sebagai berikut:

E. B. Tylor (1871) mendefinisikan kebudayaan sebagai “that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”. Dengan kata lain kebudayaan merupakan satu keseluruhan yang kompleks, termasuk di dalamnya pengetahuan,


(25)

kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan banyak kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki manusia sebagai warga masyarakat.

E Adamson Hoebel, dalam bukunya An Anthropology: The Study of Man, menyatakan bahwa:

“The integrated system of learned behavior pattern which are

characteristic of the members of a society and which are not the result of biological inheritance ….culture is not noninstinctive … [culture] is wholly the result of social invention and is transmitted and maintatined solely through community communication and learning”.

Upacara kedewasaan dari suku WaYao di Malawi, Afrika Sumber: www.id.wikpedia.org

Foto


(26)

anak-Kebudayaan sangat erat kaitanyya dengan masyarakat (society). anak-Kebudayaan adalah produk dari masyarakat. Masyarakat telah melahirkan kebudayaannya sendiri, yang unik, yang berbeda dari kebudayaan yang telah dihasilkan kelompok masyarakat lain. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun yang telah dilahirkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sedang Andreas Eppink menjelaskan bahwa kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, yang meliputi tata nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, yang merupakan keseluruhan kristaliasasi intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas utama suatu masyarakat (www.id.wipedia.org).

Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, setiap masyarakat akan melahirkan satu ciri kebudayaan yang unik, yang berbeda dengan kebudayaan yang lahir dari masyarakat di daerh yang lain. Keunikan tersebut menjadi karakteristik

kebudayaan tertentu, dan menjadi esensi pembeda dengan kebudayaan lannya Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:

Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu: 1. alat-alat teknologi;

2. sistem ekonomi; 3. keluarga; dan 4. kekuasaan politik.

Sementara Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi: 1. sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota

masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya; 2. organisasi ekonomi;


(27)

3. alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama), dan

4. organisasi kekuatan (politik).

Sementara Koentjoroningrat menyebutkan adanya 7 (tujuh) unsur kebudayaan, atau yang disebut sebagai faset-faset kebudayaan atau “mata bajak” kebudayaan, yakni: 1. sistem kepercayaan;

2. sistem kekerabatan dan organisasi sosial; 3. sistem mata pencarian hidup;

4. bahasa;

5. sistem ilmu pengetahuan; 6. kesenian, dan

7. peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi) Pertemuan XV: Kritik Terhadap Pendidikan

Sejarah telah mengubah dunia demikian cepat. Pendidikan sebagai satu pranata sosial telah berubah menjadi sistem persekolahaan yang dinilai semakin terlepas dari akar-akar nilai sosial budaya dalam masyarakat. Beberapa kritik terhadap sistem persekolahan dapat dicatat sebagai berikut;

1. Penyempitan arti pendidikan menjadi persekolahan. Ivan Illich memberikan kritik dalam bukunya bertajuk ”Dschooling society’. Tokoh pendidikan luar sekolah ini memberikan kritik bahwa sekolah telah berubah menjadi dogma-dogma keagamaan, sebagaimana kutbah yang diberikan di tempat-tempat ibadah.

2. Terkait dengan itu, bahkan muncul kritik bahwa sekolah telah menjadi semacam ”penjara” bagi anak-anak. Anak-anak merasa kehilangan masa untuk dapat bersenang-senangnya sebagai anak-anak. Sekolah tidak lagi sebagai masa untuk bersenang-senang sebagaimana makna awal yang sebenarnya pada arti kata sekolah, yakni ”escole” yang artinya ”the age of leasure”.

3. Kritik paling populer dewasa ini adalah soal liberalisasi pendidikan. Pendidikan hanya dapat dinikmati oleh orang-orang kaya yang banyak duitnya. Sekolah yang berkualitas tinggi biayanya menjulang langit. Sekolah seperti itu didirikan oleh para korporat atau milyuner. Bahkan sekolah asing telah bebas dibuka di negara yang masih sedang berkembang. Itulah sebabnya terjadilah proses marginalisasi (peminggiran) anak-anak dari keluarga yang tidak mampu. Anak-anak dari keluarga tidak mampu menjadi pengemis di jalan-jalan raya, pengamen, pemulung, dan bahkan pekerja anak yang diperas tenaganya oleh pemilik modal di suatu industri.

4. Koran Sindo tanggal 20 Mei 2008 telah memuat suara mahasiswa dengan tajuk ”Anak Tiri Bernama Pendidikan” yang ditulis oleh Lavinda, seorang mahasiswi jurnalistik Fikom Unpad. Sungguh, satu tulisan yang seharusnya dapat mengetuk nurani para pemimpin di tanah air. Tulisan ini sebenarnya sejalan dengan tulisan Sayidiman Suryohadiprojo, mantan Gubernur

Lemhanas, yang menyatakan bahwa masalah mendasar pendidikan di negeri ini adalah (1) rendahnya komitmen para pemimpin terhadap pendidikan, (2)


(28)

rendahnya anggaran pendidikan. Mahasiswa ini mengingatkan kita semua tentang kata-kata bijak dari Bapak Pendidikan Bangsa Vietnam, Ho Chi Minh, yang menyatakan bahwa ”No teacher, no education. No education, no

economic and social development”. Tidak ada guru, tidak ada pendidikan. Tidak ada pendidikan, tidak ada pembangunan ekonomi dan sosial.

5. Masih banyak kritik terhadap pendidikan yang sebenarnya dapat ditulis dalam modul ini, khususnya terhadap pendidikan di tanah air tercinta. Sebagai mahasiswa, diharapkan dapat lebih berfikir kritis terhadap semua permasalahan yang dihadapi dalam masyarakat, termasuk masalah

pendidikan. Cobalah Anda mengamati kondisi pendidikan di masyarakat, dan tuangkanlah dalam sebuah tulisan. Cobalah mengirimkan tulisan Anda ke media massa.

Pertemuan XVI: UAS dan Tugas Mandiri Tugas Mandiri:

1. Berikan komentar singkat terhadap beberapa quotations berikut:

a. Education is seen as a way to empower people, improve their quality of life and increase their capacity to participate in the decision-making processes leading to social, cultural and economic policies (UNESCO) b. Education is too important to be left only to government (US Secretary of

Education)

c. Education should allow children to reach their fullest potential in terms of cognitive, emotional and creative capacities (EFA Global Monitoring Report 2005, hal 30)

2. Cari dari internet atau dari buku yang Anda baca, miminal lima quotations tentang pendidikan dan kehidupan manusia dan kemudian tulis komentar Anda minimal dalam satu halaman kertas berukuran A4.

3. Tulis sebuah artikel pendidikan bertajuk bebas berupa karangan sendiri, dengan tema yang sesuai dengan materi mata kuliah ini.

4. Carilah artikel tentang pendidikan dari www.google.com, minimal tiga artikel, berilah komentar masing-masing setengah halaman ukuran A4.

5. Lakukan wawancara kecil dengan seorang guru. Tanyakan kesan dan pesan guru kepada Anda. Tulislah minimal dalam 1 (satu) halaman A4.

6. Buatlah kliping tentang artikel dari surat kabar, minimal 2 (dua) artikel, dan komentari dalam satu halaman.

Pilihlah salah satu dari beberapa alternatif tugas tersebut. Nilai tugas mandiri ini mempunyai bobot 1, dan akan digabung nilai-nilai dari tes formatif (bobot 2) dan nilai UAS (bobot 3) untuk menentukan nilai akhir semester Anda. Lakukan tugas tersebut dengan penuh tanggung jawab.

4.3.

Tes Formatif Untuk Masing-masing Pertemuan

Tes Formatif Pertemuan II: Hakikat Manusia dan Kehidupannya Tes formatif dalam bentuk esai.


(29)

1. Manusia sebagai mahluk yang tertinggi derajatnya. Jelaskan dengan beberapa contoh yang membuktikan pernyataan tersebut.

2. Jelaskan perbedaan manusia dengan binatang!

3. Dapatkah binatang itu dididik? Jelaskan pendapat Anda. 4. Apa yang dapat dipetik dari cerita Kama dan Kamala.

5. Apa yang dimaksud manusia disebut sebagai mahluk pembelajar!

Tes Formatif Pertemuan III: Hakikat Pendidikan dan Kehidupan Manusia 1. Jelaskan pengertian pendidikan atau pedagogi secara etimologis.

2. Jelaskan pengertian pendidikan menurut UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

3. Jelaskan pendapat Dewey yang menyatakan pendidikan adalah proses sosial, proses kehidupan!

4. Jelaskan apa pernyataan Kaisar Jepang ketika mendapati negaranya hancur lebur karena bom nuklir dalam Perang Dunia II.

5. Panggung sejarah umat manusia ini telah melalui empat fase. Sebutkan dan jelaskan.

Tes Formatif Pertemuan IV: Pendidikan dan Kebudayaan

1. Fuad Hassan menulis bahwa pendidikan adalah pembudayaan. Coba jelaskan apa maksudnya.

2. Sebut dan jelaskan tiga proses pendidikan dalam kehidupan manusia. 3. Apakah yang dimaksud lifelong education. Jelaskan kaitannya dengan

pandangan Agama Islam tentang pendidikan.

4. Apakah yang dimaksud animal educandum dan animal educandus. Siapakah yang menyakatan demikian?

5. Pendidikan bukankah semata-mata sebagai ”transfer of knowledge” tetapi lebih sebagai “transmission of social and culture values and norms”. Jelaskan maknanya.

Tes Formatif Pertemuan V: Pendidikan Sebagai Suatu Sistem

1. Tuhan telah menciptakan jagat raya ini sebagai suatu sistem. Jelaskan dengan kalimat Anda sendiri!

2. Jelaskan pengertian sistem pendidikan nasional menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

3. Sebutkan dan sedikit jelaskan komponen utama dalam sistem pendidikan nasional.

4. Sebutkan komponen apa yang paling penting! Jelaskan alasan Anda. 5. Komponen apa saja yang menurut Anda masih kurang mendapatkan

perhatian? Jelaskan.

Tes Formatif Pertemuan VI: Hak Azasi Manusia Untuk Memperoleh Pendidikan


(30)

1. Terjemahkan dokumen PBB tentang hak azasi manusia dalam bidang pendidikan sebagai berikut.

”Everyone has the right to education ... Education shall be directed to the full development of human personality and to strengthening of respect for human rights and fundamental freedoms. It shall promote understanding, tolerance and friendship among all nations, racial or religious groups, and shall further the activities of the United Nations for the maintenance of peace” (art. 26 – Universal Declaration of Human Rights)

2. Sebutkan empat hak anak yang harus diberikan kepada anak menurut Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dalam Keppres Nomor 26 Tahun 1990!

Tes Formatif Pertemuan VII: Pilar-pilar Pendidikan

1. Sebut dan jelaskan empat pilar pendidikan menurut UNESCO!

2. Sebutkan delapan tipe kecerdasan ganda menurut Howard Gardner. Coba renungkan diri Anda. Kecerdasan apakah yang sesungguhnya Anda miliki? Tes Formatif Pertemuan VIII: UTS (Tes II)

1. Manusia dapat dididik dan dapat mendidik. Binatang demikian juga (B/S) 2. Manusia sebagai mahluk pembelajar (B/S)

3. Manusia harus dididik oleh manusia dan dengan cara manusia (B/S)

4. Istilah pedagogi sama dengan pendidikan dalam Bahasa Indonesia, dan sama dengan education dalam Bahasa Inggris (B/S)

5. Selaki waktu, pendidikan atas manusia dapat dilakukan dengan cara pemaksaan (B/S)

6. Kaisar Jepang sangat menghargai keberadaan guru untuk membangun bangsa Jepang di masa depan (B/S)

7. Pendidikan merupakan proses sosial, proses kehidupan itu sendiri. Demikian pendapat Kant (B/S)

8. Pendidikan harus diberikan kepada anak sesuai dengan zamannya. Demikian pandangan Nabi Muhammad SAW (B/S)

9. Secara keseluruhan, dunia dewasa ini kita berada pada era food gathering (B/S)

10. Ungkapan gold, glory, dan gospel lahir pada era industrial revolution (B/S) 11. Secara etimologis berasal dari kata ”paes” yang artinya membimbing, dan

”gogos” yang berarti anak (B/S)

12. Pendidikan adalah pembudayaan. Demikian menurut Fuad Hassan (B/S) 13. Lifelong education artinya pendidikan anak usia dini (B/S)

14. Pendidikan semata-mata hanya dapat diartikan sebagai pemindahan ilmu pengetahuan dan teknologi (B/S)

15. Pendidikan merupakan transmission of social dan culture values and norms (B/S).

16. Sesungguhnya semua ciptaan ini dalam bentuk sistem (B/S). 17. Pendidikan diciptakan sebagai suatu sistem (B/S)


(31)

19. Proses pendidikan hanya dapat terjadi di gedung sekolah yang lengkap fasilitas pendidikannya (B/S)

20. Semua manusia memiliki hak hidup (B/S)

21. Pelaksanaan hak-hak azasi mansuia dapat melanggar hak azasi orang lain (B/S)

22. Memperoleh pendidikan merupakan salah satu hak azasi menusia (B/S) 23. Learning to know artinya pembelajaran untuk memperoleh pengetahuan (B/S) 24. Learning to live together pembelajaran untuk memupuk diri menjadi dirinya

sendiri (B/S)

25. Learning to do artinya pembelajaran agar siswa bukan hanya mengetahui teori, tetapi juga dapat memiliki kecakapan tertentu (B/S)

26. Kecerdasan bodily kinesthetics perlu dikembangkan untuk memupuk bakat olah raga (B/S)

27. Kecerdasan interpersonal diperlukan bagi mereka yang ingin menjadi diplomat atau menjadi pedagang besar (B/S)

28. Kecerdasan language perlu dikembangkan bagi mereka yang akan meniti karir sebagai wartawan atau penulis buku (B/S)

29. Kecerdasan music perlu dikembangkan bagi mereka yang akan menjadi olahragawan (B/S)

30. Kecerdasan logical mathematics perlu dikembangkan bagi mereka yang akan menekuni karir sebagai ilmuwan (B/S).

Tes Formatif Pertemuan IX: Teori Pendidikan: Nativisme

1. Jelaskan pandangan teori nativisme tentang pertumbuhkembangan manusia dalam kehidupannya.

2. Sebutkan beberapa tokoh yang menganut teori nativisme dan bagaimana pendapatnya.

3. Teori nativisme dikenal juga dengan teori pesimisme. Mengapa demikian? 4. Bagaimana pendapat Anda terhadap teori nativisme tersebut. Berikan

beberapa alasannya.

Tes Formatif Pertemuan X: Teori Pendidikan: Empirisme

1. Jelaskan pandangan teori empirisme tentang pertumbuhkembangan manusia dalah kehidupannya.

2. Sebutkan beberapa tokoh penganut teori empirisme dan bagaimana pendapatnya.

3. Teori empirisme dikenal juga dengan teori optimisme. Mengapa demikian? 4. Apa yang dimaksud dengan teori tabula rasa.

5. Bagaimana pendapat Anda tentang teori empirisme. Jelaskan beberapa alasannya.

Tes Formatif Pertemuan XI: Teori Pendidikan: Konvergensi

1. Jelaskan pandangan teori konvergensi tentang pertumbuhkembangan manusia dalam kehidupannya.

2. Siapakah tokoh-tokoh penganut teori konvergensi.


(32)

4. Bagaimana pendapat Anda tentang teori konvergensi. Jelaskan.

5. Isilah tabel berikut untuk membedakan secara sekilas tentang tiga teori pendidikan.

Aspek pembeda Nativisme Emipirisme Konvergensi

Penemu, atau tokoh penganut teori pendidikan Inti teorinya

Implikasi terhadap proses pendidikan yang

diselenggarakan

Tes Formatif Pertemuan XII: Lingkungan Pendidikan 1. Apakah yang dimaksud miliu pendidikan.

2. Sebutkan yang miliu pendidikan yang Anda ketahui. Jelaskan.

3. Daerah yang terpencil dewasa ini telah mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah. Apa nasib anak-anak yang berasal dari daerah terpencil seperti itu?

4. Mengapa pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang SMP Satu Atap (Satap). Apa yang melatarbelakangi kebijakan tersebut?

5. Lembaga pendidikan seharusnya dapat menjadi agen (pelaku) pemberdayaan masyarakat. Bukan malah sebaliknya. Jelaskan.

Tes Formatif Pertemuan XIII: Nilai-nilai Sosial Budaya

1. Setiap masyarakat tertentu memiliki nilai-nilai sosial budaya masing-masing yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyangnya hingga saat ini. Berikan contoh nilai-nilai sosial budaya yang ada di daerah Anda.

2. Berikan contoh bahwa umur negara, sumber daya alam, dan ras yang tinggal di negara tersebut tidak dapat menjadi faktor yang signifikan yang

mempengaruhi kemajuan negara tersebut. Berikan beberapa contoh sebagai argumentasi.

3. Apakah yang dimaksud “n ach”? Jelaskan.

4. Sebutkan beberapa nilai sosial budaya dan teknologi yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan suatu negara.

Tes Formatif Pertemuan XIV: Kebudayaan dan Teknologi 1. Jelaskan pengertian etimologis kebudayaan!


(33)

2. Bedakan antara monokultur dengan polikultur!

3. Jelaskan definisi kebudayaan menurut E.B. Tylor (1981). Sebutkan unsur-unsur definisinya.

4. Sebutkan empat komponen kebudayaan menurut Melville J. Herskovits. 5. Sebutkan tujuh mata bajak kebudayaan menurut Koentjoroningrat. Jelaskan

masing-masing faset kebudayaan tersebut.

Tes Formatif Pertemuan XV: Kritik Terhadap Pendidikan

1. Apakah yang dimaksud ”deschooling society” menurut Ivan Illich. 2. Istilah sekolah berasal dari akar kata ”escole”. Apakah yang dimaksud

”escole” tersebut?

6. ”No teacher, no education. No education, no economic and social development”. Apakah artinya? Siapakah yang menyatakan? Tes UAS (Pertemuan XVI)

Tes tertulis dalam bentuk Benas Salah

1. Seperti manusia, binatang dapat dididik (B/S).

2. Biografi seorang tokoh dapat menjadi pembelajaran bagi kehidupan kita (B/S).

3. Cerita Kama dan Kamala menunjukkan bahwa untuk menjadi manusia seutuhnya manusia harus dididik oleh manusia dan dengan cara manusia (B/S).

4. Dari teori nativisme dan teori konvergensi lahirlah teori empirisme (B/S). 5. Education enables people and societies to be what they can be. Pendidikan

membuat manusia dan masyarakat menjadi apa yang mereka inginkan. Demikian pendapat Bill Richardson (B/S).

6. Education for all (EFA) artinya pendidikan untuk semua anak usia sekolah (B/S).

7. Education is a preparation for life; education is not a life itself. Demikian John Dewey berpesan kepada kita (B/S)

8. Faset kebudayaan yang paling mudah diubah adalah teknologi (B/S) 9. Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia (B/S). 10. Keluarga adalah sebagai ”madrasatul ula” (B/S).

11. Keluarga broken home dapat menjadi miliu pendidikan yang negatif terhadap pendidikan anak. Demikian implikasi dari teori empirisme (B/S).

12. Kerja keras dan menghargai waktu merupakan beberapa nilai sosial budaya masyarakat yang maju (B/S).

13. Korupsi menjadi musuh besar pembangunan suatu negara (B/S).

14. Lingkungan pendidikan pada hakikatnya dapat menjadi sumber pembelajaran (B/S)

15. Manusia adalah mahluk pembelajar (B/S)

16. Manusia adalah pengemban budaya (culture bearer) dan sekaligus sebagai pewaris kebudayaan (B/S)


(34)

17. Manusia dapat dididik dan dilatih. Binatang dapat dilatih saja (B/S). 18. Manusia dapat dididik dan mendidik (B/S)

19. Manusia lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan setan, karena setan dibuat dari api, sedang manusia dibuat dari tanah (B/S)

20. Manusia merupakan animal educancum dan animal educandus (B/S). 21. Manusia sebagai mahluk pembelajar (B/S)

22. Manusia sebagai mahluk yang tertinggi derajatnya (B/S).

23. Manusia sebagai mahluk yang unik. Meski kembar sekalipun keduanya pasti akan berbeda (B/S)

24. Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), kualitas pendidikan terbaik di dunia adalah Negara Jepang (B/S)

25. Miliu atau lingkungan pendidikan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan. Itulah inti teori nativisme (B/S).

26. Nilai sosial budaya masyarakat di negara yang maju pada umumnya tidak tepat waktu (B/S)

27. Nilai-nilai sosial budaya dan pendidikan menjadi faktor kunci apakah yang paling berpengaruh terhadap maju mundurnya suatu negara (B/S).

28. Pendidikan antara lain dapat diupayakan melalui habit formation (B/S) 29. Pendidikan berlangsung pada usia sekolah (B/S).

30. Pendidikan berlangsung sepanjang hayat, mulai dari buaian sampai ke liang lahat (B/S)

31. Pendidikan dapat diupayakan melalui role model (B/S)

32. Pendidikan dapat diupayakan melalui teaching and learning process (B/S) 33. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang berlangsung pada lembaga

pendidikan sekolah (B/S)

34. Pendidikan informal merupakan pendidikan yang berlangsung dalam lembaga kursus atau yang berlangsung dalam masyarakat (B/S)

35. Pendidikan meliputi pendidikan formal, nonformal, dan informal (B/S) 36. Pendidikan merupakan proses transmission of social and cultural values and

norms (B/S)

37. Pendidikan merupakan transmisi budaya dalam masyarakat (B/S). 38. Pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang berlangsung dalam

keluarga (B/S)

39. Pendidikan sama dengan pengajaran (B/S)

40. Pengajaran merupakan proses transfer of knowledge and skills (B/S) 41. Pengertian pengajaran jauh lebih luas dari pengertian pendidikan (B/S). 42. Pengertian pengajaran jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian

pendidikan (B/S).

43. Penyediaan fasilitas belajar yang lengkap untuk memberikan sebanyak mungkin pengalaman belajar peserta didik merupakan kebijakan pendidikan yang dilandasi oleh teori nativisme (B/S).

44. Peran utama pendidikan adalah menemukan potensi dasar peserta didik untuk kemudian dikembangkan melalui proses pendidikan (B/S).

45. Potensi otak manusia terkait erat dengan kelahiran kebudayaan dari suatu masyarakat (B/S).

46. Proses pendidikan dilaksanakan melalui upaya habit formation, teaching and learning process, dan role model (B/S).

47. Proses pendidikan seharusnya dapat menjadi agen pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (B/S).


(35)

48. Reading habit sebagian besar masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan dengan masyarakat Jepang (B/S).

49. Sistem kepercayaan masyarakat merupakan faset kebudayaan yang paling sulit diubah (B/S).

50. Teori ”dasar” dan ”ajar” dari bapak pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara sebenarnya sama dengan teori nativisme (B/S).

4.4. Umpan Balik

1. Tugas mandiri dan tes yang akan dinilai adalah: (A) tugas mandiri, (B) tes formatif, (C) UTS (ujian tengah semester), dan (D) UAS (ujian akhir semester).

2. Bobot A = 1, B = 2, C = 3, dan D = 4

3. Nilai Akhir Semester adalah (AX1) + (BX2) + (CX3) + (DX4) : 4. 4. Dengan skala 4, nilai tersebut dapat dipadankan sebagai berikut:

Baik Sekali = 80 – 100

Baik = 70 – 79

Sedang = 60 – 69 Kurang = < 60

5.

Referensi

Abdul Latif. 2007. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: Refika Aditama.

Madyo Ekosusilo, dkk. 1987. Dasar-dasar Pendidikan. Semarang: Effhar Publishing.

Nurani Soyomukti. Pendidikan Berperspektif Globalisasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, dari Konsepsi Ke Implentasi. Yogyakarta: Hikayat Publishing

Suparlan. 2005. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat Publishing. Widiastono, Tonny D. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku

Kompas.

6.

Lampiran

6.1. Lampiran 1: Pendidikan Terbaik Di Dunia

PENDIDIKAN TERBAIK DI DUNIA

Oleh : Andri Aji Saputro Sumber: cefb@yahoogroup.com

Tahukah Anda negara mana yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia? Kalau Anda tidak tahu tidak mengapa, karena memang banyak orang yang tidak tahu bahwa peringkat pertama kualitas pendidikan adalah Finlandia.


(36)

Kualitas pendidikan di negara dengan ibukota Helsinki, dimana perjanjian damai dengan GAM dirundingkan, ini memang begitu luar biasa sehingga membuat iri semua guru di seluruh dunia.

Peringkat pertama dunia ini diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survey internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tes tersebut dikenal dengan nama PISA mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca, dan juga Matematika. Hebatnya, Finlandia bukan hanya unggul secara akademis tapi juga menunjukkan unggul dalam pendidikan anak-anak lemah mental. Ringkasnya, Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas. Lantas apa kuncinya sehingga Finlandia menjadi top momor 1 dunia? Dalam masalah anggaran pendidikan Finlandia memang sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara di Eropa tapi masih kalah dengan beberapa negara lainnya.

Finlandia tidaklah mengenjot siswanya dengan menambah jam-jam belajar, memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir siswa dengan berbagai tes. Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun, dan jam sekolah mereka justru lebih sedikit, yaitu hanya 30 jam perminggu. Bandingkan dengan Korea, ranking kedua setelah Finnlandia, yang siswanya menghabiskan 50 jam perminggu.

Lalu apa dong kuncinya? Ternyata kuncinya memang terletak pada kualitas gurunya. Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan kualitas terbaik dengan

pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah terlalu fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima, lebih ketat persaingainnya ketimbang masuk ke fakultas bergengsi lainnya seperti fakultas hukum dan kedokteran!

Bandingkan dengan Indonesia yang guru-gurunya dipasok oleh siswa dengan kualitas seadanya dan dididik oleh perguruan tinggi dengan kualitas seadanya pula. Dengan kualitas mahasiswa yang baik dan pendidikan dan pelatihan guru yang berkualitas tinggi tak salah jika kemudian mereka dapat menjadi guru-guru dengan kualitas yang tinggi pula. Dengan kompetensi tersebut mereka bebas untuk menggunakan metode kelas apapun yang mereka suka, dengan kurikulum yang mereka rancang sendiri, dan buku teks yang mereka pilih sendiri. Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa

merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, mereka justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajar siswa untuk lolos ujian, ungkap seorang guru di Finlandia. Padahal banyak aspek dalam pendidikan yang tidak bisa diukur dengan ujian. Pada usia 18 th siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi.

Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK! Ini membantu siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka sendiri, kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia. Dan kalau mereka bertanggungjawab mereka akan


(1)

ARTICLE V-The School and Social Progress

I believe that education is the fundamental method of social progress and reform.

I believe that all reforms which rest simply upon the enactment of law, or the threatening of certain penalties, or upon changes in mechanical or outward arrangements, are transitory and futile. I believe that education is a regulation of the process of coming to share in the social consciousness; and that the adjustment of individual activity on the basis of this social consciousness is the only sure method of social reconstruction.

I believe that this conception has due regard for both the individualistic and socialistic ideals. It is duly individual because it recognizes the formation of a certain character as the only genuine basis of right living. It is socialistic because it recognizes that this right character is not to be formed by merely individual precept, example, or exhortation, but rather by the influence of a certain form of institutional or community life upon the individual, and that the social organism through the school, as its organ, may determine ethical results.

I believe that in the ideal school we have the reconciliation of the individualistic and the institutional ideals.

I believe that the community's duty to education is, therefore, its paramount moral duty. By law and punishment, by social agitation and discussion, society can regulate and form itself in a more or less haphazard and chance way. But through education society can formulate its own purposes, can organize its own means and resources, and thus shape itself with definiteness and economy in the direction in which it wishes to move.

I believe that when society once recognizes the possibilities in this direction, and the obligations which these possibilities impose, it is impossible to conceive of the resources of time, attention, and money which will be put at the disposal of the educator.

I believe that it is the business of every one interested in education to insist upon the school as the primary and most effective interest of social progress and reform in order that society may be awakened to realize what the school stands for, and aroused to the necessity of endowing the educator with sufficient equipment properly to perform his task.

I believe that education thus conceived marks the most perfect and intimate union of science and art conceivable in human experience.

I believe that the art of thus giving shape to human powers and adapting them to social service, is the supreme art; one calling into its service the best of artists; that no insight, sympathy, tact, executive power, is too great for such service.

I believe that with the growth of psychological service, giving added insight into individual structure and laws of growth; and with growth of social science, adding to our knowledge of the right organization of individuals, all scientific resources can be utilized for the purposes of education.

I believe that when science and art thus join hands the most commanding motive for human action will be reached; the most genuine springs of human conduct aroused and the best service that human nature is capable of guaranteed.


(2)

I believe, finally, that the teacher is engaged, not simply in the training of individuals, but in the formation of the proper social life.

I believe that every teacher should realize the dignity of his calling; that he is a social servant set apart for the maintenance of proper social order and the securing of the right social growth.

I believe that in this way the teacher always is the prophet of the true God and the usherer in of the true kingdom of God.

How to cite this piece: Dewey, John (1897) 'My pedagogic creed', The School Journal, Volume LIV, Number 3 (January 16, 1897), pages 77-80. Also available in the informal education archives, http://www.infed.org/archives/e-texts/e-dew-pc.htm.

This article is available elsewhere under a GNU Free Documentation Licence. As a result

it has been reproduced here on the understanding that it is not subject to any copyright

restrictions, and that it is, and will remain, in the public domain.

6.5. Lampiran 5: Power Point


(3)

(4)

(5)

(6)