ANALISIS STRUKTUR PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH, 2004 2008

(1)

ANALISIS STRUKTUR PERTUMBUHAN EKONOMI DAN

KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR DAERAH

DI PROVINSI JAWA TENGAH, 2004-2008

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk

Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas

Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

OLEH:

RENDI HANGGA KUSUMA

NIM.F0107079

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA


(2)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul:

 

ANALISIS STRUKTUR PERTUMBUHAN EKONOMI DAN

KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR DAERAH

DI PROVINSI JAWA TENGAH, 2004-2008

 

     

     

Surakarta, 21 Januari 2011

Disetujui

dan

diterima

oleh

Pembimbing

Drs.

Kresno

Saroso

Pribadi,

Msi


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan diterima baik oleh tim penguji Skripsi Fakultas Ekonomi

Universitas Sebelas Maret guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi

syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan

Surakarta,

Maret

2011

Tim Penguji Skripsi

1. Drs. Hari Murti, M.Si

` (

)

NIP 19561214 198403 1 001

Ketua

2. Dwi Prasetyani, SE, M.Si

NIP 19770217 200312 2 003

3. Drs. Kresno Sarosa Pribadi, M.Si

(

)

NIP 19560118 198601 1 001

Anggota


(4)

commit to user

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“Analisis Struktur Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah di

Propinsi Jawa Tengah Tahun 2004-2008”

Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk memenuihi salah satu syarat dalam

menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Selama menyusun skripsi ini penulis tidak lepas dari beberapa pihak. Maka dari itu

dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

1.

Bapak, Prof. Dr. Bambang Sutopo, M.Com, Ak selaku Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2.

Bapak Drs. Kresno Saroso Pribadi, Msi selaku dosen pembimbing yang dengan

sabar telah membimbing penulis. Terima kasih atas saran, kritik dan perhatiannya

selama penulis menyelesaikan skripsi. Semoga menjadi ilmu yang sangat

bermanfaat.

3.

Bapak Drs. Sutanto, Msi selaku dosen pembimbing akademik yang telah

memberikan dorongan dan pengarahan selama studi kepada penulis serta memberi

kesempatan untuk diskusi kepada penulis.

4.

Bapak dan ibu dosen pengampu yang telah memberikan ilmunya selama penulis

menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta .

5.

Kedua orang tua penulis Bapak Harmanto, S.Pd dan Ibu Istamar Setyawati, S.Pd,

terima kasih yang tak terhingga atas segala kasih sayang dan do’anya yang tiada

terputus pada ananda. Alhamdulillah sehingga ananda mampu menyelesaikan

kuliah. Semoga ALLAH SWT meridhoi niat ananda untuk membalas semua kasih

sayang serta do’a bapak dan ibu.

6.

Teman-teman jurusan Ekonomi Pembangunan angkatan 2007 yang telah menjadi

rekan yang menyenangkan selama penulis menuntut ilmu di FE UNS. Ari, Thithut,

Andry, Ebi, Andhika, Johan, Faisal, Eko, Galih, Ben, Eliza, Desta, Anien, Nana,

Lia, Vina, Yeyen dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.


(5)

commit to user

10.

Pihak-pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu

penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.

Akhirnya, segala kekurangan, kesalahan dan ketidaksempurnaan skripsi ini adalah

tanggung jawab penulis. Namun apabila kebenaran dalam skripsi semata hanya keridhoan

ALLAH SWT sang maha sempurna. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Amin.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Surakarta, 2011

Rendi

Hangga

Kusuma


(6)

commit to user

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

ABSTRAK ... xii

BAB I PENDAHULUHAN ... 1

A.

Latar Belakang Masalah ... 1

B.

Perumusan Masalah ... 6

C.

Tujuan Penelitian ... 8

D.

Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A.

Tinjauan Puataka ... 8

1.

Produk Domestik Regional Bruto ... 9

2.

Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi ... 11

3.

Perubahan Struktur Ekonomi ... 17

4.

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Regional ... 18

5.

Tinjauan Beberapa Studi Terdahulu ... 26

B.

Kerangka Pemikiran Teoritis ... 30

1.

Teori Pertumbuhan ... 30

2.

..

Teori Basis Ekonomi ……… 32

3.

Teori Ketimpangan ... 32


(7)

commit to user

B.

Jenis dan Sumber Data ... 38

C.

Metode Pengumpulan Data ... 39

D.

Metode Analisis ... 39

1.

Analisis Laju Pertumbuhan ... 39

2.

..

Analisis Location Quotient (LQ) ……….. 40

3.

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Tipologi Klassen ... 40

4.

Analisis Ketimpangan Regional ... 42

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 45

A.

Gambaran Umum ... 45

1.

Kondisi Geografis dan Luas Wilayah ... 45

2.

Demografis di Kabupaten/Kota di Propinsi Jateng ... 47

B.

Analisis Data ... 47

1.

Analisis Laju Pertumbuhan Ekonomi ... 47

2.

Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita ... 49

3.

Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten di Jateng ... 50

4.

..

Analisis LQ ………. 53

5.

Analisis Tipologi Klassen ... 55

6.

Analisis Ketimpangan Pendapatan ... 56

C.

Interpretasi Hasil ... 59

1.

Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Perkapita ... 59

2.

..

Analisis Location Quotient (LQ) ……….. 60

3.

..

Analisis Tipologi Klassen ……… 63

4.

Analisis Ketimpangan ... 64

BAB V PENUTUP ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(8)

commit to user

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

 

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

 

FAKULTAS EKONOMI

 

Jl.lr. Sutami No.36 A Kentingan Surakarta 57126 Telp (0271) 647481 Fax. (0271) 638143

 

SURAT PERNYATAAN SKRIPSI

 

 

Yang bertanda tangan di bawah ini mahasiswa Fakuitas Ekonomi Universitas Sebelas Maret:

 

Nama

 

NIM.

 

Jurusan

 

Tempat/Tgl. Lahir

 

Alamat

 

Rendi Hangga Kusuma

 

F0107079

 

Ekonomi Pembangunan

 

Blora, 8 April 1989

 

Ds. Tamanrejo RT 03/01, Kec. Tunjungan, Kab. Blora

 

Pembimbing

Judul skripsi

 

Drs. Kresno Saroso Pribadi, Msi

 

Analisis Struktur Pertumbuhan Ekonomi Dan Ketimpangan

Pendapatan Antar Daerah Di Provinsi Jawa Tengah, 2004 - 2008

   

 

Dengan ini menyatakan bahwa:

 

1. Skripsi yang saya buat merupakan hasil karya murni saya sendiri

2. Apabila ternyata dikemudian hari, bahwa skripsi ini merupakan hasil jiplakan / salinan /

saduran karya orang lain, maka saya bersedia menerima sangsi:

a. Sebelum dinyatakan lulus, bersedia menyusun skripsi ulang dan diuji kembali

 

b. Setelah dinyatakan lulus, penjabutan gelar dan penarikan Ijazah kesarjanaannya

 


(9)

commit to user


(10)

commit to user

ABSTRAK

RENDI HANGGA KUSUMA NIM.F0107079

ANALISIS STRUKTUR PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR DAERAH

DI PROVINSI JAWA TENGAH, 2004-2008

Pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah secara keseluruhan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 hingga 2008, pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah sekitar 5%, sedangkan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah masih banyak yang berada dibawah 5%. Perbedaan pertumbuhan ekonomi tiap daerah di Propinsi Jawa Tengah mengindikasikan adanya ketimpangan pendapatan. Ketimpangan pendapatan antar daerah dapat menyebabkan permasalahan pembangunan dan ketidakstabilan perekonomian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis besarnya ketimpangan antar daerah dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah berdasarkan laju pertumbuhan dan pendapatan perkapitanya/kontribusinya. Metode analisis yang digunakan adalah analisis pertumbuhan ekonomi, tipologi klassen, indeks Williamson dan indeks Entropi Theil.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa, masih banyak daerah di Propinsi Jawa Tengah yang tergolong dalam daerah relatif tertinggal, tercatat sebanyak 16 kabupaten termasuk daerah relatif tertinggal. Ketimpangan pendapatan antar daerah di Propinsi Jawa Tengah tahun 2004-2008 tegolong tinggi (> 0,5) dan mengalami kecenderungan menurun.

Berdasarkan temuan tersebut saran yang dapat disampaikan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota adalah menerapkan kebijakan pembangunan yang memprioritaskan pada daerah-daerah yang masih relatif tertinggal tanpa mengabaikan daerah-daerah yang sudah maju dan tumbuh pesat. Pembangunan sektor-sektor potensial yang telah menjadi sektor basis di masing-masing daerah supaya mempercepat laju pertumbuhan ekonominya, terutama pada sektor pertanian dengan agribisnis dan sektor industri dengan agroindustri sehingga menciptakan keterkaitan antar sektoral.


(11)

commit to user

ii  Abstract

RENDI HANGGA KUSUMA NIM.F0107079

STRUCTURE OF ANALYSIS OF ECONOMIC GROWTH AND THE INCOME INEQUALITY IN THE PROVINCE OF JAVA

INTER-REGIONAL OF CENTRAL, 2004-2008

Economic growth in the province of Central Java as a whole continues to increase. In 2004 and 2008, growth in the province of Central Java, about 5%, while that economic growth in the districts of the province of Central Java, there are still many who are less than 5%. The difference of economic growth in every region in the province of Central Java indicate income inequality. interregional income inequality can lead to problems of development and economic instability. This study aims to analyze the amount of inequality between regions and districts of economic development in the province of Central Java, based on the rate of growth and per capita income / contribution. The analytical method used is the analysis of economic growth, the typology Klassen, Williamson index and the Entropy Theil index.

The results of this study explains that there are still many areas in the province of Java Central, belonging to the areas relatively disadvantaged, had 16 districts and the area stayed behind. The inequality of income between the regions of the province of Central Java for the period 2004-2008 is high (> 0.5) and experiencing a downward trend.

Based on these suggestions conclusions that can be delivered to reduce inequality in income between the districts is the implementation of development policies which give priority to the areas which are still relatively behind without neglecting the areas that have already been developed and grown rapidly. Development of the potential sectors that have become industry base in each region in order to accelerate the pace of economic growth, particularly in the agricultural sector, agro-industry and agro-industrial sector through the creation of cross-sectoral linkages.

keywords : income, inequality, of economic growth

   


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam pelaksanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan sasaran utama bagi negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi selam satu periode tertentu tidak terlepas dari perkembangan masing-masing sektor atau subsektor yang ikut membentuk nilai tambah perekonomian suatu daerah. Produk domestik regional bruto (PDRB) sebagai suatu indikator yang mempunyai peran penting dalam mengukur keberhasilan pembangunan yang telah dicapai dan juga dapat dijadikan sebagai suatu ukuran untuk menentukan arah pembangunan suatu daerah di masa yang akan datang.

Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat sebagai wujud peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil dan merata dan kebijaksanaan pembangunan dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan cara memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada. Namun hasil pembangunan kadang belum dirasakan merata dan masih terdapat kesenjangan antar daerah

Pembangunan ekonomi di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan


(13)

masyarakatnya mengelola sumber-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi didalam wilayah tersebut (Lincolin Arsyad, 1999). Akan tetapi kondisi daerah di Indonesia yang secara geografis dan sumberdaya alam yang berbeda, menimbulkan daerah yang lebih makmur dan lebih maju dibandingkan daerah yang lainnya. Oleh karena itu kebijakan pembangunan dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan cara memanfaatkan potensi dan sumberdaya yang ada dan berbeda-beda bagi masing-masing daerah. Proses tersebut dilakukan agar pembangunan dapat dirasakan secara lebih merata. Untuk itu perhatian pemerintah harus tertuju pada semua daerah tanpa ada perlakuan khusus pada daerah tertentu saja. Namun hasil pembangunan terkadang masih dirasakan belum merata dan masih terdapat kesenjangan antar daerah.

Indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah bisa dilihat laju pertumbuhan ekonominya. Oleh sebab itu, setiap daerah selalu menetapkan target laju pertumbuhan yang tinggi didalam perencanaan dan tujuan pembangunan daerahnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi. Karena penduduk bertambah terus, maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahunnya. Hal ini dapat terpenuhi lewat peningkatan output secara agregat baik barang maupun jasa atau Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya.


(14)

Sebagai provinsi yang memiliki jumlah penduduk yang banyak, maka Jawa Tengah dituntut untuk mandiri, sehingga perlu mengembangkan potensi-potensi yang ada. Pengembangan potensi-potensi sumber daya alam (SDA), dan sumber daya manusia (SDM) diharapkan mampu mengatasi isu-isu ekonomi yang saat ini sedang berkembang.

Pembangunan ekonomi hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka diperlukan pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan distribusi pendapatan yang lebih merata. Pada tabel 1.1 dapat dilihat laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah menurut PDRB 2004-2007. Jawa Tengah terletak diantara propinsi besar lainnya yang ada di pulau Jawa, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur yang sebenarnya memiliki potensi sumber daya alam dan sumberdaya manusia yang relative tidak jauh berbeda. Akan tetapi berdasarkan tabel 1.1 dapat dilihat bahwa perbandingan laju pertumbuhan PDRB Propinsi Jawa Tengah dengan propinsi lainnya dari tahun ke tahun nilai PDRBnya jauh lebih rendah dibandingkan DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur. Perbedaan inilah yang menyebabkan Pemerintah terus berupaya mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah.


(15)

Tabel 1.1 Laju Pertumbuhan Produk Domestik Bruto ADHK 2000 meurut Provinsi (persen), 2004-2007

NO Prop. Di P.

Jawa

PDRB

2004 2005 2006 2007

1 DKI Jakarta 5,65 6,01 5,95 6,44

2 Jawa Barat 4,77 5,60 6,02 6,41

3 Jawa Tengah 5,13 5,35 5,33 5,59

4 DI Yogyakarta 5,12 4,73 3,70 4,31

5 Jawa Timur 5,83 5,84 5,80 6,11

6 Banten 5,63 5,88 5,57 6,04

JAWA 5,40 5,75 5,78 6,17

Sumber: PDRB BPS Provinsi Jawa Tengah

Pertumbuhan ekonomi yang kian membaik masih meninggalkan permasalahan yang harus dihadapi. Salah satu realitas pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pembangunan adalah terciptanya kesenjangan/disparitas pembangunan antar daerah atau antar kabupaten/kota. Hal tersebut salah satunya didorong oleh persebaran sumber daya, baik SDM maupun SDAyang tidak merata, selain itu, keterbatasan tenaga kerja, barang modal dan teknologi sebagai pendukung kehidupan, khususnya juumlah orang bekerja, belanja modal pemerintah dan pendidikan berimplikasi munculnya wilayah yang tertinggal.

Keberhasilan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah sangat berkaitan dengan pengelolaan sumber daya yang dimiliki daerah. Oleh karena itu prioritas pembangunan daerah harus sesuai dengan prioritas yang dimilikinya, sehingga akan terlihat peranan dari sektor-sektor potensial terhadap pertumbuhan perekonomian daerah, sebagaimana yang diperlihatkan pada perkembangan PDRB dan sektor-sektornya.


(16)

Pola pertumbuhan ekonomi dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah berdasarkan Tipologi Klassen (Widodo, 2008) dapat diklasifikasikan menjadi daerah pertumbuhan cepat (rapid growth region), daerah maju tapi tertekan (retarded region), daerah sedang bertumbuh (growing region) dan daerah relatif tertinggal (relativelybackward region).

Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, kesenjangan atau ketimpangan antardaerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri. Perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antardaerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga akan mengakibatkan peningkatan ketimpangan antar daerah. Tujuan utama dari usaha pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula menghapus dan mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran. Kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat akan memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (M.P.Todaro, 2000).

Ketimpangan distribusi pendapatan dan pertumbuhan ekonomi merupakan masalah yang dihadapi dalam proses pembangunan. Kajian pertumbuhan ekonomi dan tingkat pemerataan pembangunan ekonomi antar daerah di provinsi Jawa Tengah dilihat melalui PDRB dan pendapatan perkapitanya. PDRB merupakan indicator untuk mengukur perkembangan


(17)

ekonomi daerah. Dengan demikian dapat dicermati laju pertumbuhan ekonominya. Sedangkan pendapatan perkapita merupakan hasil bagi PDRB dengan jumlah penduduk yang dijadikan sebagai ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Ketimpangan dalam pembangunan ekonomi bukan hanya terjadi antar provinsi di Indonesia, melainkan juga terjadi antar kabupaten/kota itu sendiri dalam satu provinsi. Begitu juga ketimpangan yang terjadi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang cukup besar, hal ini dapat dilihat dari nilai PDRB kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

Tabel 1.2

PDRB ADHK 2000 menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008, Tanpa Migas (juta rupiah)

NO  Kabupaten/Kota PDRB  NO  Kabupaten/Kota  PDRB 

1  Kab. Cilacap 11.689.092,90 19  Kab. Kudus 11.659.252,20

2  Kab. Banyumas 4.172.781,99 20  Kab. Jepara 3.889.988,85 3  Kab. Purbalingga 2.257.392,77 21  Kab. Demak 2.787.524,02 4  Kab. Banjarnegara 2.619.989,61 22  Kab. Semarang 5.079.003,74 5  Kab. Kebumen 2.716.236,74 23  Kab. Temanggung 2.219.155,63 6  Kab. Purworejo 2.737.087,13 24  Kab. Kendal 4.806.891,86 7  Kab. Wonosobo 1.741.148,31 25  Kab. Batang 2.169.854,55 8  Kab. Magelang 3.761.388,59 26  Kab. Pekalongan 2.970.146,74

9  Kab. Boyolali 3.899.372,86 27  Kab. Pemalang 3.142.808,70

10  Kab. Klaten 4.567.200,96 28  Kab. Tegal 3.286.263,44

11  Kab. Sukoharjo 4.540.751,53 29  Kab. Brebes 4.998.528,19 12  Kab. Wonogiri 2.770.435,78 30  Kota. Magelang 993.863,81 13  Kab. Karanganyar 4.921.454,71 31  Kota. Surakarta 4.549.342,95 14  Kab. Sragen 2.729.450,32 32  Kota. Salatiga 832.154,88 15  Kab. Grobogan 2.948.793,80 33  Kota. Semarang 19.156.814,30 16  Kab. Blora 1.913.763,35 34  Kota. Pekalongan 1.887.853,70

17  Kab. Rembang 2.093.412,59 35  Kota. Tegal 1.166.587,87

18  Kab. Pati 4.162.082,37     


(18)

Dalam Tabel1.2, dapat dilihat bahwa PDRB kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah mempunyai perbedaan yang signifikan. Nilai PDRB Kab. Cilacap, Kab. Kudus, dan Kota Semarang jauh diatas rata-rata dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Sedangkan PDRB Kota Salatiga adalah yang terkecil di Propinsi Jawa Tengah. Besarnya PDRB kabupaten yang lainnya dapat dilihat pada tabel. Berdasarkan hal tersebut kemungkinan terjadi ketimpangan pendapatan antar kabupaten / kota di Propinsi Jawa Tengah. Dari uraian tersebut terlihat perbedaan PDRB antar kabupaten / kota di propinsi jawa tengah. Hal ini merupakan indikator adanya ketidakmerataan yang menyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas antar kabupaten / kota di propinsi Jawa Tengah.

Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah?

2. Bagaimana pola pertumbuhan ekonomi serta klasifikasi di kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah menurut Tipologi Klassen?

3. Berapa besar tingkat ketimpangan regional antar kabupaten dan antar wilayah di kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah berdasarkan Indeks Williamson dan Indeks Ketimpangan Entropi Theil ?


(19)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian sekripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah.

2. Untuk mengetahui pola pertumbuhan ekonomi serta klasifikasi di kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah menurut Tipologi Klassen.

3. Untuk mengetahui tingkat ketimpangan regional antar kabupaten dan antar wilayah di kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah berdasarkan Indeks Williamson dan Indeks Ketimpangan Entropi Theil.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Pemerintah

Sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau pihak-pihak terkait untuk dipertimbangkan dalam pengambil keputusan dan perencanaan pembangunan daerah.

2. Bagi Pembaca

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya bagi para pembaca yang tertarik untuk meneliti hal yang sama.

   


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Untuk menghitung angka PDRB ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu:

a. Pendekatan Produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun).

b. Pendekatan Pengeluaran, PDRB adalah semua komponen permintaan akhir seperti: (a) pengeluaran konsumsi rumahtangga dan lembaga nirlaba, (b) konsumsi pemerintah, (c) pembentukan modal tetap domestik bruto, (d) perubahan stok, dan (e) ekspor neto, dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun).

c. Pendekatan Pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu.

PDRB ADHB digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi. PDRB ADHB menunjukkan pendapatan yang memungkinkan dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah serta menggambarkan nilai


(21)

tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun.

PDRB ADHK digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun, untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan/setiap sektor dari tahun ke tahun. Data PDRB ADHK lebih menggambarkan perkembangan produksi riil barang dan jasa yang dihasilkan oleh kegiatan ekonomi daerah tersebut.

PDRB ADHB menurut sektor menunjukkan peranan sektor ekonomi dalam suatu daerah, sektor-sektor yang mempunyai peranan besar menunjukkan basis perekonomian suatu daerah. Dengan demikian PDRB secara agregatif menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan/balas jasa terhadap faktor produksi yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi di daerah tersebut.

Pendapatan regional atas dasar harga berlaku adalah pendapatan regional yang di dalamnya terdapat unsure inflasi. Apabila unsur inflasi ditiadakan, maka merupakan pendapatn regional atas dasar harga konstan.

Pendapatan atas harga berlaku juga bisa diartikan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun) dihitung atas dasar harga-harga yang berlaku pada tahun tersebut. Sedangkan pendapatn atas dasar harga konstan juga bisa diartikan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun) dihitung atas dasra harga yang berlaku pada tahun tertentu sebagai tahun dasar.


(22)

2. Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya (Sukirno, 2004).

Todaro (2006), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus-menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar.

Menurut Todaro (2006), ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi yaitu:

a. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia.

b. Pertumbuhan penduduk yang pada tahun-tahun berikutnya akan memperbanyak jumlah angkatan kerja.


(23)

Sukirno (2004), menerangkan beberapa faktor penting yang dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi.

a. Tanah dan kekayaan alam lainnya. Kekayaan alam suatu negara meliputi luas dan kesuburan tanah, keadaan iklim dan cuaca, jumlah dan jenis hutan dan hasil laut, serta jumlah dan jenis kekayaan barang tambang yang terdapat.

b. Jumlah dan mutu dari penduduk dan tenaga kerja. Penduduk yang bertambah dari waktu ke waktu dapat menjadi pendorong maupun penghambat perkembangan ekonomi.

c. Barang-barang modal dan tingkat teknologi. Barang-barang modal yang bertambah dan teknologi yang modern memegang peranan penting dalam mewujudkan kemajuan ekonomi.

d. Sistem ekonomi dan sikap masyarakat.

Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi merupakan suatu konsep yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat (Djojohadikusumo, 1994: 1). Dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi diukur dengan meningkatnya hasil produksi dan pendapatan masyarakat. Sedangkan pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai proses transformasi dalam arti perubahan struktural yaitu perubahan landasan kegiatan ekonomi dalam bentuk susunan ekonomi masyarakat (Djojohadikusumo, 1994: 2). Sehingga dapat dikatakan bahwa pembangunan ekonomi mencakup berbagai macam perubahan yang meliputi perubahan pada komposisi produksi , perubahan pada pola


(24)

penggunaan sumber daya produksi diantara sektor-sektor kegiatan ekonomi, perubahan pada pola pembagian kekayaan dan pendapatan serta perubahan pada kerangka kelembagaan dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh.

Dari pengertian mengenai pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di atas dapat diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan ekonomi. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu target yang penting yang harus dicapai dalam proses pembangunan ekonomi. Hasil dari pembangunan ekonomi adalah semakin meluasnya kesempatan kerja yang bersifat produktif bagi masyarakat. Hal ini akan meningkatkan pendapatan secara nyata dan meningkatkan pola konsumsi masyarakat secara kuantitatif maupun kualitatif. Dengan adanya pembangunan ekonomi ini dapat mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat.

Masalah pembangunan telah ditegaskan (Dudley Seers dalam Todaro, 2000: 19) bahwa pembangunan suatu negara harus mampu mengatasi 3 (tiga) persoalan mendasar yaitu masalah kemiskinan, tingkat pengangguran dan penanggulangan ketimpangan pendapatan. Sehingga Todaro (2000: 20) dalam bukunya mendefinisikan bahwa pembangunan merupakan suatu proses multidimensi yang mencerminkan perubahan struktur masyarakat secara keseluruhan baik itu struktur social, sikap masyarakat dan kelembagaan nasional. Perubahan-perubahan tersebut bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan memberantas kemiskinan. Sehingga


(25)

diharapkan terwujudnya kondisi kehidupan yang lebih baik secara material maupun sepiritual.

Pembagunan ekonomi juga didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu negara meningkat dalam jangka panjang Arsyad (1992: 14). Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa pembangunan ekonomi mempunyai 3 (tiga) sifat penting yaitu:

a. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi secara terus-menerus.

b. Pembangunan ekonomi merupakan usaha untuk menaikkan pendapatan perkapita, dan

c. Pembangunan ekonomi merupakan kenaikan pendapatan perkapita yang berlangsung terus-menerus dalam jangka panjang.

Pengertian pembangunan ekonomi itu sendiri berbeda dengan pertumbuhan ekonomi . Para ekonom mengartikan istilah pembangunan ekonomi sebagai (Arsyad, 1992: 15) :

a. Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat yaitu tingkat pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product) dan GNP (Gross National Product) pada suatu tahun tertentu adalah melebihi tingkat pertumbuhan penduduk. Yang dimaksud dengan GDP ada;ah pendapatan nasional yang berasal dari warga negara asli dan warga negara asing yang berada di suatu negara tersebut. Sedangkan GNP adalah pendapatan nasional yang berasal dari warga negara asli baik yang berada di dalam negara tersebut maupun berada di negara lain.


(26)

b. Perkembangan GDP (Gross Domestic Product) dan GNP (Gross National Product) yang terjadi dalam suatu Negara dibarengi oleh perombakan dan moderenisasi struktur ekonominya.

Sedangkan pertumbuhan ekonomi diartikan para ekonom sebagai kenaikan GDP (Gross Domestic Product) dan GNP (Gross National Product) tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak.

Di setiap negara terutama di negara berkembang, pembangunan merupakan hal pokok yang harus dilakukan guna meningkatkan kesejahteraan rakyatanya. Oleh karena itu untuk memahami pembnguanan secara hakiki harus ada kemampuan dasar yang menjadi konsep dan pedoman. Menurut Todaro (2000: 21) ada 3 (tiga) komponen dasar sebagai pedoman memahami pembangunan negara yaitu:

a. Kecukupan, yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Kebutuhan-kebutuhan dasar itu meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan, dan keamanan.

b. Jati diri, yaitu menjadi manusia seutuhnya dengan cara mendorong diri sendiri untuk maju, menghargai diri sendiri, merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu.

c. Kebebasan, yaitu kemampuan berdiri sendiri serta tidak terjebak dalam pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan ini.


(27)

Dengan adanya komponen dasar pembangunan negara tersebut diharapkan suatu negara mempunyai tujuan pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Seperti dikemukakan Todaro (2000: 24) ada 3 (tiga) tujuan dalam pembangunan yaitu:

a. Peningkatan ketersediaan dan perluasan distribusi barang-barang kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan keamanan.

b. Peningkatan standar hidup meliputi peningkatan pendapatan, lapangan kerja, kualitas pendidikan, perhatian atas nilai-nilai cultural dan kemanusiaan serta peningkatan jati diri pribadi dan bangsa.

c. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu dan bangsa serta keseluruhan dengan menghilangkan sikap menghamba dan ketergantungan terhadap bangsa lain dan terhadap hal-hal yang merendahkan martabat manusia.

Untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah dapat digunakan tipologi Klassen sebagai alat analisis. Sjafrizal (1997: 27-38) menjelaskan bahwa dengan menggunakan alat analisis ini dapat diperoleh empat klasifikasi pertumbuhan masing-masing daerah yaitu daerah pertumbuhan cepat (rapid growth region), daerah tertekan (retarded region), daerah sedang bertumbuh (growing region) dan daerah relatif tertinggal (relatively backward region).


(28)

3. Perubahan Struktur Ekonomi

Menurut Kuznet dalam Todaro (2006) perubahan struktur ekonomi atau transformasi struktural ditandai dengan adanya perubahan persentase sumbangan berbagai sektor-sektor dalam pembangunan ekonomi, yang disebabkan intensitas kegiatan manusia dan perubahan teknologi. Perubahan struktur yang fundamental harus meliputi transformasi ekonomi bersamaan dengan transformasi sosial.

Salah satu Teori Perubahan Struktur Perekonomian dikembangkan oleh Chenery dan Taylor (1975) dalam Sukirno, memperlihatkan corak perubahan struktur ekonomi menggunakan data di berbagai Negara dalam kurun waktu tertentu. Dalam analisisnya yang terpenting adalah bahwa dalam proses perubahan struktur perekonomian ada hubungan antara besarnya pendapatan per kapita dengan presentase sumbangan berbagai sektor ekonomi pada produksi nasional. Dengan demikian analisis tersebut dapat digunakan untuk membuat ramalan mengenai peranan berbagai sektor pada berbagai tingkat pembangunan ekonomi, dan selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan dalam menentukan sumber-sumber daya ke berbagai sektor ekonomi (Sukirno, 1995).

Pemahaman tentang perubahan struktur perekonomian memerlukan pemahaman konsep-konsep sektor primer, sekunder dan tersier serta perbedaannya. Perubahan struktur yang terjadi dapat meliputi proses perubahan ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi kuat.


(29)

4. Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Regional

Sjafrizal (2008) Ketimpangan pembangunan ekonomi regional merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan ekonomi juga menjadi berbeda. Oleh sebab itulah, tidak mengherankan bilamana pada setiap negara/daerah biasanya terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang.

Berdasarkan trend dalam distribusi pendapatan, ketimpangan pendapatan ini bisa dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok yaitu (Mudrajad Kuncoro, 2000: 118-124) :

a. Ketimpangan Kota dan Desa

Ketimpangan kota dan desa yaitu ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat di kota dan di desa.

b. Ketimpangan Regional

Ketimpangan regional yaitu ketimpangan distribusi pendapatan antar wilayah atau daerah.

c. Ketimpangan Interpersonal

Ketimpangan interpersonal yaitu ketimpangan distribusi pendapatan masing-masing individu (personal).


(30)

d. Ketimpangan Antar Kelompok Sosial Ekonomi

Ketimpangan antar kelompok sosial ekonomi yaitu ketimpangan distribusi pendapatan dilihat dari tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikannya maka semakin besar penghasilan yang diperoleh.

Ada beberapa indikator yang bisa digunakan dalam menganalisis ketimpangan pembangunan daerah yaitu (Tambunan, 2001: 180-190): a. Distribusi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB)

Distribusi PDRB antar daerah (antar kabupaten dan kota atau antar propinsi ) bisa menganalisis ketimpangan ekonomi dengan menggunakan Indeks Williamson dan Indeks Entropi Theil.

b. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Perkapita

Penegeluaran konsumsi rumah tangga perrkapita juga merupakan salah satu alat ukur untuk melihat perbedaan tingkat pembangunan ekonomi. Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pendapatan perkapita di suatu derah maka semakin tinggi pengeluaran konsumsi perkapitanya. Tapi ada asumsi yang harus dipenuhi yaitu pertama, saving behavior dari masyarakat tidak berubah (rasio tabungan terhadap PDRB tetap tidak berubah) dan kedua, pangsa kredit didalam pengeluaran konsumsi rumah tangga juga harus konstan. Apabila kedua asumsi tersebut tidak terpenuhi maka tinggi rendahnya pengeluaran konsumsi rumah tangga tidak mencerminkan tinggi rendahnya tingkat pendapatan perkapita di daerah tersebut.


(31)

c. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI) juga bisa digunakan sebagai salah satu indikator sosial untuk mengukur tingkat ketimpangan pembangunan antar daerah. Secara hipotesis dapat dikatakan semakin baik pembangunan di suatu wilayah maka semakin tinggi IPM daerah tersebut.

IPM ini diukur berdasarkan 3 (tiga) tujuan atau produk pembangunan. Ketiga alat ukur itu yaitu : 1). Panjang usia yang diukur dengan tingkat harapan hidup. 2). Pengetahuan yang diukur dengan rata-rata tertimbang dari jumlah orang dewasa yang dapat membaca (diberi bobot dua pertiga) dan rata-rata tingkat sekolah (diberi bobot sepertiga). Dan 3). Penghasilan yang diukur dengan pendapatan perkapita riil yang telah disesuaikan. Nilai IPM dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : 1). Negara dengan pembangunan manusia rendah, nilai IPM berkisar antara 0,0 hingga 0,50. 2). Negara dengan pembangunan manusia yang menengah, nilai IPM-nya berkisar antara 0,51 hingga 0,79. Dan 3). Negara dengan pembangunan manusia yang tinggi, nilai IPM-nya berkisar antara 0,8 hingga 1,0 (Mudrajad Kuncoro, 2000: 27).


(32)

d. Kontribusi Sektoral Terhadap PDRB

Kontribusi sektoral dalam pembentukan PDRB juga dapat melihat perbedaan tingkat pembangunan daerah. Secara hipotesis dapat dirumuskan bahwa semakin besar peranan sektor ekonomi yang memiliki nilai tambah tinggi seperti industri manufaktur terhadap pertumbuhan PDRB maka semakin tinggi pula pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.

e. Struktur Fiskal

Struktur fiskal juga bisa digunakan untuk melihat ketimpangan ekonomi regional. Secara teori, daerah yang tingkat pembangunannya tinggi biasanya dilihat dari tingkat pendapatan riil perkapita yang tinggi dan penerimaan pemerintah daerah (Pendapatan Asli Daerah) yang juga tinggi. Sehingga semakin besar kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap penerimaan pemerintah daerah maka struktur fiskal daerah tersebut semakin naik.

f. Tingkat Kemiskinan

Presentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan juga dapat digunakan sebagai indikator mengenai ketimpangan ekonomi regional. Ada korelasi positif antara kepadatan penduduk dengan tingkat kemiskinan, dimana semakin tinggi jumlah penduduk per atau per hektar maka semakin sempit ladang untuk bertani atau membangun pabrik, yang berarti semakin kecil kesempatan kerja dan sumber pendapatan sehingga semakin besar presentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Menurut (Mudrajad Kuncoro,


(33)

2000: 103) penentuan garis kemiskinan didasarkan pada konsumsi yang terdiri dari dua elemen, yaitu : 1). Pengeluaran yang diperlukan untuk membeli standar gizi minimum dan kebutuhan mendasar lainnya dan 2). Jumlah kebutuhan lain yang sangat bervariasi yang mencerminkan biaya partisipasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Kemudian faktor-faktor penyebab utama terjadinya ketimpangan ekonomi antar daerah di Indonesia adalah sebagai berikut (Tambunan, 2001: 190):

a. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Ketimpangan pembangunan antar daerah dapat terjadi apabila terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu. Karena daerah yang konsentrasi ekonominya tinggi maka pertumbuhan ekonominya cenderung pesat. Sedangkan daerah yang tingkat konsentrasi ekonominya rendah maka tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonominya cenderung rendah. Salah satu faktor yang membuat suatu daerah mempunyai tingkat konsentrasi tinggi adalah adanya industri manufaktur. Dibandingkan sektor-sektor lainnya, industri manufaktur merupakan sektor ekonomi yang potensial sangat produktif, dilihat dari sumbangannya terhadap pembentukan PDB atau PDRB. Sektor industri manufaktur yang berkembang baik di suatu wilayah secara alamiah akan memberikan efek positif terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi di sektor-sektor lain di wilayah tersebut


(34)

baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan asumsi tidak ada distorsi-distorsi terhadap economic linkages antar sektor.

b. Alokasi Investasi

Ketimpangan pembangunan antar daerah juga bisa terjadi karena adanya perbedaan distribusi investasi langsung antar daerah, baik itu Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi dari Harrod-Domar yang menerangkan bahwa ada korelasi positif antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi, dapat dikatakan apabila suatu daerah kekurangan investasi maka pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah tersebut akan rendah karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur.

c. Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah Antar Daerah.

Ketimpangan pembangunan antar daerah juga bisa terjadi karena kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal antar daerah. Hubungan antara mobilitas faktor produksi dan perbedaan tingkat pembangunan atau pertumbuhan antar daerah dapat dijelaskan dengan pendekatan analisis mekanisme pasar output dan pasar input, yaitu perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antar daerah akan membuat perbedaan tingkat pendapatan perkapita. Tapi apabila perpindahan faktor produksi antar daerah tidak ada hambatan maka pembangunan ekonomi yang optimal antar daerah akan tercapai dan semua daerah akan lebih baik.


(35)

d. Perbedaan Sumber Daya Alam

Ketimpangan antar daerah juga bisa terjadi karena perbedaan sumber daya alam. Dasar pemikiran ‘klasik’ mengatakan bahwa pembangunan ekonomi di daerah yang kaya sumber daya alam akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan di daerah yang miskin sumber daya alam. Pada tingkat tertentu , anggapan ini bisa dibenarkan, tapi pada tahap selanjutnya harus diperlukan faktor-faktor lain agar bisa berkembang terus. Faktor-faktor-faktor itu antara lain penguasaan teknologi dan peningkatan sumber daya manusia. Dengan memiliki kedua faktor tersebut suatu negara bisa lebih maju dan makmur meskipun miskin sumber daya alam. Hal ini ditunjukkan oleh negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura.

e. Perbedaan Kondisi Demografis Antar Wilayah

Ketimpangan pembngunan antar daerah juga bisa terjadi karena adanya perbedaan kondisi demografis antar daerah yaitu, dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat, dan etos kerja. Faktor-faktor ini mempengaruhi tingkat pembangunan ekonomi melalui sisi permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar merupakan potensi bagi pertumbuhan pasar sekaligus sebagai pendorong bagi pertumbbuhan kegiatan ekonomi. Dari sisi


(36)

penawaran, jumlah penduduk yang besar denga pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin yang tinggi dan etos kerja yang tinggi merupakan asset penting bagi produksi.

f. Kurang Lancarnya Perdagangan Antar Daerah

Ketimpangan pembangunan antar daerah juga bisa terjadi karena kurang lancarnya perdagangan antar daerah. Tidak lancarnya perdagangan antar daerah ini biasanya disebabkan oleh keterbatasan transportasi dan komunikasi. Sedangkan barang yang diperdagangkan antar daerah meliputi barang jadi, barang modal, input perantara, bahan baku serta material-material lainnya untuk produksi barang dan jasa. Sehingga dengan tidak lancarnya arus barang dan jasa antar daerah tersebut akan mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu daerah dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Dari sisis permintaan, kelangkaan akan barang dan jasa untuk konsumen akan mempengaruhi permintaan pasar terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi lokal yang sifatnya komplementer dengan barang dan jasa tersebut. Misalnya: pembelian motir yang diimpor dari daerah lain akan mempengaruhi jumlah permintaan terhadap helm yang diproduksi lokal. Sedangkan sisi penawaran, sulitnya mendapatkan barang modal, input perantara, bahan baku atau material lainnya dapat menyebabkan kelumpuhan kegiatan ekonomi di suatu daerah.


(37)

Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Dengan adanya pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap masalah ketimpangan regional. Ketimpangan dalam pembagian pendapatan adalah ketimpangan dalam perkembangan ekonomi antar berbagai daerah pada suatu wilayah yang akan menyebabkan pula ketimpangan tingkat pendapatan perkapita antar daerah. Untuk menghitung ketimpangan regional digunakan indeks Ketimpangan Williamson dan Indeks Ketimpangan Entropi Theil (Kuncoro , 2004).

5. Tinjauan Beberapa Studi Terdahulu

Penelitian mengenai ketimpangan pendapatan untuk tingkat nasional pernah dilakukan oleh Uppal dan Handoko (1986) dalam Hendra (2004) dengan menggunakan formulasi Williamsons (CVw) untuk tahun 1976-1980. Uppal dan Handoko mengukur ketimpangan pendapatan di Indonesia dengan menggunakan PDRB di luar sektor pertambangan. Mereka menyimpulkan bahwa terdapat tendensi menurunnya tingkat ketimpangan pendapatan, pola pertumbuhan yang belum mengarah pada perbaikan ketimpangan dan faktor yang cenderung menurunkan


(38)

ketimpangan dan faktor yang cenderung dapat menurunkan ketimpangan adalah anggaran belanja pemerintah pusat dan bantuan terhadap propinsi.

Ardani (1996;1992) Dalam penelitiannya, Ardani telah menganalisis ketimpangan pendapatan dan konsumsi antar daerah dengan menggunakan indeks Williamson dari tahun 1968 hingga 1993 dan tahun 1983 hingga 1993. Kesimpulannya mendukung hipotesis Williamson (1950) bahwa pada tahap awal pembangunan ekonomi terdapat kesenjagan kemakmuran antar daerah, namun semakin maju pembangunan ekonomi ketimpangan semakin menyempit (Kuncoro, 2000: 119).

Syafrizal (1997) melakukan penelitian tentang pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan regional wilayah Indonesia bagian barat dengan menggunakan alat analisis Indeks Williamson. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum angka ketimpangan regional untuk wilayah Indonesia bagian barat ternyata lebih rendah dibandingkan dengan angka ketimpangan untuk Indonesia secara keseluruhan. Hal ini mengindikasikan pemerataan pembangunan antar wilayah di Indonesia bagian barat secara relatif lebih baik dibandingkan dengan kondisi rata-rata di seluruh Indonesia.

Sutarno & Mudrajat Kuncoro (2003) melakukan penelitian tentang Pertumbuhan Ekonomi Dan Ketimpangan Antar Kecamatan Di Kabupaten Banyumas, 1993-2000. Alat analisis yang digunakan adalah Indeks Williamson dan Indeks Ketimpangan Entropi Theil. Dari penelitian ini menunjukkan terjadi peningkatan ketimpangan, baik dianalisis dengan Indeks Williamson maupun Indeks Ketimpangan Entropi Theil.


(39)

Ketimpangan ini terjadi salah satunya diakibatkan konsentrasi aktivitas ekonomi secara spasial.

Hendra (2004) melakukan penelitian tentang peranan sektor pertanian dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah di Propinsi Lampung. Dengan menggunakan Indeks Williamson, Hendra menganalisis ketimpangan daerah Lampung pada tahun 1995-2001. Untuk melihat peranan sektor pertanian, dia membandingkan besarnya ketimpangan pendapatan daerah dengan dan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketimpangan semakin meningkat jika sektor pertanian dikeluarkan dari perhitungan. Hendra juga melakukan analisis korelasi, sehingga didapat hubungan negatif yang kuat antara kontribusi pertanian dan Indeks Ketimpangan, yang berarti peningkatan produktivitas pertanian akan menurunkan ketimpangan pendapatan yang terjadi.

Wuled Basuki Yuwono (2004) Dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi (Studi Kasus Di Kota Surakarta)”, telah disimpulkan bahwa pada tahun 1993 sektor pertambangan dan penggalian terkonsentrasi di kecamatan Banjarsari. Sedangkan pada tahun 2002, tidak satupun sektor usaha yang terkonsentrasi pada salah satu kecamatan. Pertumbuhan dengan pola mengutup ditunjukkan oleh sektor industri, listrik, bangunan, perdagangan dan angkutan. Sedangkan sektor yang tumbuh dengan pola menyebar adalah sektor pertanian, pertambangan, keuangan dan jasa. Pada periode yang sama, tidak ada satu sektor usaha


(40)

pun yang tersepesialisasi pada salah satu kecamatan. Hasil perhitungan indeks Williamson menunjukkan bahwa kota Surkarta selam tahun 1991-2002 berada pada tingkat ketimpangan yang rendah akan tetapi cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan dari analisis regresi memperlihatkan bahwa pada taraf 5% pertumbuhan ekonomi daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks Williamson kota Surakarta, rasio pengeluaran pembangunan terhadap pengeluaran pemerintah derah berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan. Dan kontribusi sektor pajak terhadap pendapatan asli daerah memiliki pengaruh positif dan signifikan (Yuwono, 2004).

Budiantoro Hartono (2008) melakukan penelitian ketimpangan pembangunan ekonomi di provinsi Jawa Tengah. Metode analisis yang digunakan adalah Indeks Williamson dengan alat ukur pendapatan perkapita. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah di Provinsi Jawa Tengah yang dihitung dengan menggunakan indeks Williamson selama periode 1981- 2005 menunjukkan ketimpangan semakin melebar.

Refa Wisha (2009) melakukan penelitian tentang ketimpangan pendapatan antar pulau di Indonesia dengan menggunakan formulasi Williamson. Hasil yang diperolehnya menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan antar pulau yang terjadi di Indonesia terbagi dalam enam pulau tergolong dalam taraf ketimpangan yang rendah dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,210 sampai 0,261, yang berarti masih berada di bawah 0,35 sebagai batas taraf ketimpangan rendah. Kemudian untuk


(41)

ketimpangan pendapatan yang terjadi di dalam setiap pulau yang terdiri dari propinsi-propinsi berada pada taraf ketimpangan yang tinggi untuk Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Maluku dan Irian yaitu antara 0,521 sampai 0,996, pada Pulau Sulawesi taraf ketimpangannya rendah yaitu antara 0,050-0,109, sedangkan untuk Pulau Bali taraf ketimpangannya sedang yaitu antara 0,379-0,498.

B. Kerangka Pemikirin Teoritis

1. Teori Pertumbuhan

Menurut pandangan ekonom klasik, Adam Smith, David Ricardo, Thomas Robert Malthus dan John Straurt Mill, maupun ekonom neo klasik, Robert Solow dan Trevor Swan, mengemukakan bahwa pada dasarnya ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu (1) jumlah penduduk, (2) jumlah stok barang modal, (3) luas tanah dan kekayaan alam, dan (4) tingkat teknologi yang digunakan (Sukirno, 1985: 275). Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa sebelumnya.

Model pertumbuhan Rostow didasarkan pada pengalaman pembangunan yang telah dialami oleh negara-negara maju terutama di Eropa. Dengan mengamati proses pembangunan di negara-negara Eropa dari mulai abad pertengahan hingga abad modern, maka kemudian Rostow memformulasikan pola pembangunan yang ada menjadi tahap-tahap evolusi dari suatu pembangunan yang dilakukan oleh negara tersebut.


(42)

Rostow membagi proses pembangunan ekonomi suatu negara menjadi lima (5) tahap yaitu: (1) Tahap perekonomian tradisional; (2) Tahap prakondisi tinggal landas; (3) Tahap tinggal landas; (4) Tahap menuju kedewasaan; (5) Tahap konsumsi massa tinggi.

Menurut teori Rostow, negara-negara maju seluruhnya telah melampaui tahapan “tinggal landas menuju pertumbuhan ekonomi berkesinambungan yang berlangsung secara otomatis”. Sedangkan negara-negara yang sedang berkembang atau apalagi yang masih terbelakang, pada umumnya masih berada dalam tahapan masyarakat tradisional atau tahapan kedua, yakni tahapan penyusunan kerangka dasar tinggal landas. Tidak lama lagi, hanya tinggal merumuskan serangkaian aturan pembangunan untuk tinggal landas, mereka akan segera bergerak menuju ke proses pertumbuhan ekonomi yang pesat dan berkesinambungan.

Menurut Boediono (1985: 1) pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Penekanan pada proses karena proses mengandung unsur dinamis. Para teoritisi ilmu ekonomi pembangunan masa kini, masih terus menyempurnakan makna, hakikat dan konsep pertumbuhan ekonomi, Para teoritisi tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dengan pertambahan PDB dan PDRB saja, tetapi juga diberi bobot yang bersifat immaterial seperti kenikmatan, kepuasan dan kebahagiaan dengan rasa aman dan tentram yang dirasakan masyarakat luas (Arsyad, 1999: 141).


(43)

2. Teori Basis Ekonomi.

Merupakan teori yang menjelaskan perubahan-perubahan regional, dengan menekankan hubungan antar sektor-sektor yang terdapat dalam perekonomian regional. Yang paling sederhana adalah teori basis ekonomi, konsep dasar ekonomi membagi perekonomian regional menjadi 2 sektor , yaitu : sektor basis dan sektor non basis (Tarigan, 2005).

a. Sektor Basis adalah sektor-sektor yang mengekspor barang dan jasa ke tempat diluar perbatasan perekonomian masyarakat atau memasarkan barang dan jasa kepada orang yang datang dari luar batas perekonomian masyarakat bersangkutan.

b. Sektor bukan basis adalah sektor-sektor yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh orang-orang dalam batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian kegiatan basis mempunyai peran penting sebagai penggerak utama.

3. Teori Ketimpangan

Model neoklasik beranggapan bahwa mobilitas faktor produksi, baik modal maupun tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan adalah kurang lancar, akibatnya modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan cenderung melebar. Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin


(44)

lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan pembangunan regional akan berkurang.

Dalam hipotesis neoklasik ketimpangan pembangunan pada permulaan proses cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Dengan kata lain ketimpangan pada negara berkembang relatif lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut relatif lebih rendah.

Ketimpangan pada negara sedang berkembang relative lebih tinggi karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih baik sedangkan daerah-daerah yang masih terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Oleh sebab itulah, pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat didaerah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan.

Penelitian tentang hipotesis neoklasik dilakukan oleh Jefrey G. Williamson pada tahun 1966 melalui suatu studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa hipotesis neoklasik ternyata terbukti benar secara empirik. Fakta empirik ini menunjukkan bahwa


(45)

peningkatan ketimpangan pembangunan yang terjadi di negara-negara sedang berkembang sebenarnya bukanlah karena kesalahan pemerintah atau masyarakatnya, tetapi hal tersebut terjadi secara natural diseluruh negara. Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang dapat digunakan mengidentifikasi adanya ketimpangan adalah indeks williamson.

4. Kerangka Teori

Pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah masih meninggalkan masalah yang sama dihadapi oleh beberapa provinsi lain, di Indonesia. Masalah yang timbul adalah ketimpangan antar kabupaten/kota. Hal ini disebabkan karena perbedaan kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan. Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi terhadap kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Untuk lebih jelas tentang kerangka pikir sehingga dapat memberikan jawaban sementara terhadap masalah yang akan diteliti, maka disajikan diagram alur kerangka pemikiran operasional pada gambar 2.1.


(46)

 

 

         

         

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Pembangunan Ekonomi

Provinsi Jawa Tengah

Peningkatan

•Pertumbuhan ekonomi

•Pendapatan perkapita

•Struktur perekonomian

Terjadi Ketimpangan Faktor pertumbuhan seperti SDM, teknologi dan modal tidak merata

di setiap kabupaten/kota 

Strategi Pembangunan di Provinsi Jawa Tengah

Identifikasi Ketimpangan di Provinsi Jawa Tengah dan Klasifikasi Daerah:

•Daerah cepat maju dan cepat tumbuh

•Daerah maju tapi tertekan

•Daerah berkembang cepat

•Daerah relative tertinggal  


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional.

1. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB)

PDRB merupakan jumlah nilai tambah (value added ) yang timbul dari semua unit produksi di dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Dinyatakan absolut dalam rupiah per tahun (BPS propinsi Jawa Tengah). Untuk menghindari adanya fluktuasi kenaikan harga / inflasi. PDRB yang dipakai adalah PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000, sehingga perkembangan aggregate terjadi dari tahun ke tahun merupakan perkembangan produksi riil.

2. PDRB per kapita.

PDRB per kapita merupakan hasil bagi antara pendapatan regional suatu daerah dengan jumlah penduduk pada daerah tersebut. Dalam hal ini seharusnya jumlah penduduk yang dipakai adalah jumlah penduduk pertengahan tahun, akan tetapi dalam penelitian ini digunakan data penduduk sesuai dengan yang di peroleh dari kantor BPS.

3. Laju Pertumbuhan Ekonomi

Laju pertumbuhan ekonomi adalah hasil bagi dari selisih antara PDRB per tahun tertentu dan PDRB pada tahun sebelumnya dengan PDRB pada tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan ekonomi dapat diukur dengan indicator perkembangan PDRB dari tahun ke tahun dan dinyatakan


(48)

dalam persen. Dalam hal ini PDRB yang digunakan adalah PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000.

4. Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk yang dimaksud adalah keseluruhan penduduk yang tinggal di Propinsi Jawa Tengah yang tersebar dalam 35 kabupaten / kota selama tahun 2004 hingga 2008.

5. Struktur Ekonomi

Perubahan struktur ekonomi menitikberatkan pembahasan pada mekanisme transformasi ekonomi yang dialami oleh negara sedang berkembang, yang semula lebih bersifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern, dan sangat didominasi oleh sektor industri dan jasa (Todaro, 1991: 68).

Struktur ekonomi dalam penelitian ini merupakan komposisi/kontribusi dari kegiatan produksi secara sektoral menurut lapangan usaha yang mengacu pada klasifikasi yang telah dibuat oleh BPS.

6. Ketimpangan Pendapatan

Ketimpangan Pendapatan adalah ketidakmerataan dalam pendistribusian pendapatan kepada kelompok masyarakat di suatu daerah yang didasarkan kepada perhitungan Indeks Ketimpangan Williamson dan Indeks Entropi Theil.

Ketimpangan regional dalam pembangunan dapat ditengarai antara lain dengan menelaah perbedaan mencolok dalam aspek-aspek seperti


(49)

penyerapan tenaga kerja, alokasi dana perbankan, investasi dan pertumbuhan (Dumairy, 1996:59).

7. Daerah

Daerah dalam penelitian ini mengacu pada pendekatan kebijaksanaan yang lebih mendasar pada administrasi pemerintahan, sehingga suatu daerah merupakan kesatuan administrasi atau politik pemerintahan.

B. Jenis dan Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini seluruhnya adalah data sekunder untuk periode tahun 2004-2008. Data yang digunakan adalah : 1. PDRB Propinsi Jawa Tengah ADHK periode tahun 2004-2008.

2. PDRB Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah ADHK periode tahun 2004-2008.

3. PDRB Perkapita Propinsi Jawa Tengah ADHK periode tahun 2004-2008 4. PDRB Perkapita Kabupaten / Kota di Propinsi Jawa Tengah ADHK

periode 2004-2008.

5. Jumlah Penduduk Propinsi Jawa Tengah Tahun 2004-2008

6. Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah tahun 2004- 2008

Adapun data yang diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari BPS Propinsi Jawa Tengah.


(50)

C. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data yang diambil dari pihak lain atau merupakan data yang diolah dari pihak kedua. Karena data yang digunakan adalah data sekunder, maka tidak dilakukan pengumpulan data primer sehingga tidak diperlukan teknik sampling atau kuesioner. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi dengan menggunakan data yang berkaitan dengan objek penelitian yang didapatkan dari kantor statistik maupun melalui literature-literatur lainnya yang sesuai dengan penelitian ini.

D. Metode Analisis

Metode yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Analisis Laju Pertumbuhan .

Formula yang digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi adalah:

Pertumbuhan Ekonomi =

…………

(3.1)

Keterangan:

= Produk Domestik Regional Bruto pada tahun t = Produk Domestik Regional Bruto pada tahun t-1


(51)

2. Analisis Location Quotient (LQ)

Teknik analisa LQ merupakan salah satu cara permulaan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah dalam sektor kegiatan tertentu. Rumusnya :

LQ = atau ………. (3.2)

Sumber : Tarigan, 2005

Keterangan : LQ = Besarnya Location Quotient

Si = Nilai tambah sektor di tingkat Kabupaten i

S = PDRB di Kabupaten i

Ni = Nilai tambah sektor di tingkat Propinsi N = PDRB di tingkat Propinsi.

3. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Tipologi Klassen

Analisis yang digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah adalah Analisis Tipologi Klassen/Daerah (H. Aswandi dan Mudrajat Kuncoro, 2002). Kritera yang digunakan terdiri dari empat:

a. Kuadaran I (pertama) yakni daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high income and high growth) adalah daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan Provinsi Jawa Tengah.

b. Kuadran II (kedua) yakni daerah maju tapi tertekan (high income but low growth) adalah daerah yang memiliki pendapatan per kapita lebih


(52)

tinggi, tetapi tingkat pertumbuhannya lebih rendah dibandingkan dengan Provinsi Jawa Tengah.

c. Kuadaran III (ketiga) yakni daerah berkembang cepat (high growth but low income) adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat pendapatan per kapita lebih rendah dibandingkan dengan Provinsi Jawa Tengah.

d. Kuadaran IV (keempat) adalah daerah relatif tertinggal (low growth and low income) adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih rendah dibandingkan dengan Provinsi Jawa Tengah.

Daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita rendah dibandingkan rata-rata daerah di wilayah referensi. Tabel 1 dibawah ini menunjukkan klasifikasi wilayah menurut Tipilogi Klassen.

Tabel 3.1 Klasifikasi Wilayah Menurut Tipologi Klassen

r y yi > y yi < y

ri > r Wilayah Maju dan Tumbuh Cepat

Wilayah yang Sedang Tumbuh ri < r Wilayah Maju tetapi

Tertekan


(53)

Keteranngan :

ri = Laju Pertumbuhan Ekonomi PDRB Wilayah i yi = PDRB per kapita Wilayah i

r = Laju Pertumbuhan PDRB Wilayah Referensi y = PDRB per kapita Wilayah referensi

4. Analisi Ketimpangan Regional

a. Indeks Ketimpangan Williamson (Syafrizal, 1997) yakni analisis yang digunakan sebagai indeks ketimpangan regional (regional inequality) dengan rumusan sebagai berikut:

IW = ……….(3.3)

Dimana ;

IW = Indeks Ketimpangan Williamson Yi = PDRB per kapita di Kabupaten/Kota i Y = PDRB per kapita provinsi Jawa Tengah fi = Jumlah Penduduk di Kabupaten i

n = Jumlah Penduduk di provinsi Jawa Tengah

Dengan indikator bahwa apabila angka indeks ketimpangan Williamson semakin mendekati nol maka menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil dan bila angka indeks menunjukkan semakin jauh dari nol maka menunjukkan ketimpangan yang makin melebar.


(54)

b. Indeks Entropi Theil

Merupakan aplikasi konsep teori informasi dalam mengukur ketimpangan dan konsentrasi industri yang menawarkan tentang pendapatan regional per kapita dan kesenjangan pendapatan.

Menurut Kuncoro (2001: 87), konsep entropi Theil dari distribusi pada dasarnya merupakan aplikasi konsep teori informasi dalam mengukur ketimpangan ekonomi dan konsentrasi industri. Studi empiris yang dilakukan Theil dengan menggunakan indeks entropi menawarkan pandangan yang tajam mengenai pendapatan regional per kapita dan kesenjangan pendapatan, kesenjangan internasional dan distribusi produk domestik bruto dunia.

Adapun rumusan dari indeks entropi Theil adalah sebagai berikut (Kuncoro, 2004) :

Indeks Entropy Theil :

T = Oi Oj ………(3.4)

Dikomposisi indeks Entropi Theil :

T = Oi …………(3.5)

Total Theil = Theil Within + Theil Between

Ti = Oj ………...(3.6)

Sumber : Kuncoro, 2004


(55)

= Total pendapatan di kabupaten i, grup j Y = Total pendapatan untuk propinsi ( O O )

= Rata-rata pendapatan di propinsi I, grup j

Y = Pendapatan perkapita untuk Propinsi Jawa Tengah

Indeks ketimpangan entropi Theil memungkinkan untuk membuat perbandingan selama waktu tertentu. Indeks ketimpangan entropi Theil juga dapat menyediakan secara rinci dalam sub unit geografis yang lebih kecil, yang pertama akan berguna untuk menganalisis kecenderungan konsentrasi geografis selama periode tertentu; sedang yang kedua juga penting ketika kita mengkaji gambaran yang lebih rinci mengenai kesenjangan/ketimpangan spasial. Sebagai contoh kesenjangan/ketimpangan antardaerah dalam suatu negara dan antar sub unit daerah dalam suatu kawasan (Kuncoro, 2001: 87).

Dengan indikator bahwa apabila semakin besar nilai indeks entropi Theil maka semakin besar ketimpangan yang terjadi sebaliknya apabila semakin kecil nilai indeks maka semakin merata terjadinya pembangunan.

       


(56)

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum

1. Kondisi Geografis dan Luas Wilayah

Jawa Tengah adalahsebuah propinsi di Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa. Propinsi itu berbatasan dengan Propinsi Jawa Barat di sebelah barat. Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan. Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah Utara. Luas wilayahnya 32.548 , atau sekitar 25,04% dari luas pulau Jawa. Propinsi Jawa Tengah juga meliputi Pulau Nusa Kambangan di sebelah selatan (dekat dengan perbatasan Jawa Barat), serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa. Jarak terjauh dari barat ke timur adalah 263 km dan utara ke selatan 226 km (tidak termasuk P. Karimun Jawa).

Secara administratif, Propinsi Jawa Tengah terbagi dalam 29 Kabupaten dan 6 kota. Administratif pemerintahan kabupaten dan kota ini terdiri atas 565 kecamatan, 764 kelurahan dan 7.804 desa. Kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang memiliki wilayah terluas adalah Kabupaten Cilacap yaitu sebesar 2.138,51 , sedangkan kabupaten dengan luas wilayah terkecil adalah Kabupaten Kudus sebesar 425,17 . Kota yang memiliki luas wilayah terbesar yaitu Kota Semarang sebesar 373,67 dan Kota Magelang dengan luas 18,12 merupakan daerah yang memiliki wilayah terkecil di Propinsi Jawa Tengah.


(57)

Jumlah Penduduk per Kabupaten di Jawa Tengah tahun 2004-2008

NO  NAMA KOTA/KAB  2004  2005  2006  2007  2008 

1  Kab. Cilacap   1,654,971  1,674,210  1,621,664  1,623,176  1,626,795  2  Kab. Banyumas  1,514,105  1,531,737  1,490,665  1,495,981  1,503,262  3  Kab. Purbalingga   854,924  863,478  816,720  821,870  828,125  4  Kab. Banjarnegara  891,964  903,919  859,668  864,148  869,777  5  Kab. Kebumen   1,200,724  1,208,486  1,203,230  1,208,716  1,215,801  6  Kab. Purworejo   709,878  712,003  717,439  719,396  722,293  7  Kab. Wonosobo   769,138  779,919  752,136  754,447  757,746  8  Kab. Magelang  1,154,862  1,169,638  1,153,234  1,161,278  1,170,894  9  Kab. Boyolali   931,950  941,624  928,164  932,698  938,469  10  Kab. Klaten   1,127,747  1,139,218  1,126,165  1,128,852  1,133,012  11  Kab. Sukoharjo   820,685  838,149  813,657  819,621  826,699  12  Kab. Wonogiri   1,007,435  1,010,456  978,808  980,132  982,730  13  Kab. Karanganyar   820,432  834,265  799,595  805,462  812,423  14  Kab. Sragen  863,046  868,036  856,296  857,844  860,509  15  Kab. Grobogan   1,314,280  1,334,380  1,318,286  1,326,414  1,336,322  16  Kab. Blora   832,723  840,729  829,745  831,909  835,160  17  Kab. Rembang   582,111  588,320  570,870  572,879  575,640  18  Kab. Pati   1,197,856  1,213,664  1,165,159  1,167,621  1,171,605  19  Kab. Kudus   745,848  759,267  764,563  774,838  786,269  20  Kab. Jepara   1,053,116  1,077,586  1,058,064  1,073,631  1,090,839  21  Kab. Demak   1,044,978  1,071,487  1,017,884  1,025,388  1,034,286  22  Kab. Semarang  885,500  894,018  890,898  900,420  911,223  23  Kab. Temanggung   704,820  717,486  694,949  700,845  707,707  24  Kab. Kendal   887,091  897,560  925,620  938,115  952,011  25  Kab. Batang   701,277  712,542  676,152  678,909  682,561  26  Kab. Pekalongan   842,122  858,650  837,906  844,228  851,700  27  Kab. Pemalang   1,339,112  1,371,943  1,344,597  1,358,952  1,375,240  28  Kab. Tegal   1,446,284  1,471,043  1,406,796  1,410,290  1,415,625  29  Kab. Brebes   1,784,094  1,814,274  1,765,564  1,775,939  1,788,687  30  Kota Magelang   123,576  130,732  129,952  132,177  134,615  31  Kota Surakarta   505,153  534,540  512,898  517,557  522,935  32  Kota Salatiga   164,979  175,967  171,248  174,699  178,451  33  Kota Semarang   1,406,233  1,435,800  1,468,292  1,488,645  1,511,236  34  Kota Pekalongan   273,633  284,112  271,808  273,342  275,241  35  Kota Tegal   240,784  249,612  239,038  239,860  240,502 

   TOTAL  32,397,431  32,908,850  32,177,730 32,380,279  32,626,390


(58)

2. Demografis di Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah

Jumlah Penduduk Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2008 adalah 32. 626.390 jiwa. Kabupaten yang memiliki jumlah penduduk paling besar selama kurun waktu pengamatan tahun 2004 sampai 2008 adalah Kabupaten Brebes sebesar 1.788.687 jiwa sedangkan Kabupaten Rembang adalah yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit sebesar 575.640 jiwa. Untuk wilyah perkotaan, jumlah penduduk yang paling banyak adalah Kota Semarang sebesar 1.511.236 jiwa, sedangkan Kota Magelang merupakan kota yang paling sedikit jumlah penduduknya sebesar 134.615 jiwa.

B. Analisis Data

1. Analisis Laju Pertumbuhan Ekonomi

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indicator yang mempengaruhi keberhasilan pembangunan suatu daerah. Kenaikan atau penurunan PDRB menunjukkan bahwa daerah tersebut mengalami peningkatan atau penurunan kegiatan ekonomi dan pembangunan. Sedangkan pertumbuhan ekonomi merupakan pertumbuhan yang terbagi dalam beberapa sektor ekonomi, yang secara tidak langsung menjadi salah satu indikator penting untuk melihat keberhasilan pembangunan di suatu daerah pada masa yang akan datang. Besarnya laju pertumbuhan ekonomi dan laju pertumbuhan setiap sektor ekonomi di Propinsi Jawa Tengah tahun 2004-2008 dapat dilihat pada tabel 4.2.


(59)

Tabel 4.2

Laju Pertumbuhan Ekonomi Propinsi Jawa Tengah Tahun 2004-2008

SEKTOR 2004 2005 2006 2007 2008

Pertanian 5,33 4,61 3,60 2,78 5.09

Pertambangan & Penggalian 2,73 9,28 15,41 6,23 3.83 Industri Pengolahan 6,41 4,80 4,52 5,56 4.50 Listrik, Gas & Air Bersih 8,65 10,78 6,49 6,72 4.76

Bangunan 7,84 6,88 6,10 7,21 6.54

Perdagangan, Hotel & Resto 2,45 6,05 5,85 6,54 5.10 Pengangkutan & Transportasi 4,67 7,34 6,63 8,07 7.52 Keuangan,Persw,& Jasa Perush. 3,78 5,00 6,55 6,81 7.81

Jasa- Jasa 5,58 4,75 7,89 6,71 7.66

PDRB 5,13 5,35 5,33 5,59 5,46

Sumber : Propinsi Jawa Tengah Dalam Angka 2009, BPS

Pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah dari tahun 2004-2008 terjadi fluktuasi. Pertumbuhan yang terendah pada tahun 2004 sebesar 5,13 persen, naik menjadi 5,35 persen di tahun 2005 dan turun 0,02 persen menjadi 5,33 pada tahun 2006. Pertumbuhan tertinggi yaitu pada tahun 2007 sebesar 5,59 persen dan turun 0,13 persen menjadi 5,46 pada tahun 2008.


(60)

2. Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita Propinsi Jawa Tengah tahun 2004-2008

Salah satu alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk suatu daerah adalah PDRB perkapita, dimana semakin besar PDRB perkapita suatu daerah bisa diartikan semakin baik tingkat kesejahteraan masyarakat, begitu pula sebaliknya. PDRB perkapita merupakan total PDRB dibagi dengan jumlah penduduk yang ada di Propinsi Jawa Tengah.

Tabel 4.3

PDRB Perkapita dan Pertumbuhan PDRB Perkapita Di Propinsi Jawa Tengah ADHK 2000 Tahun 2004-2008

Tahun PDRB Perkapita Pertumbuhan

2004 4,286,497.00 4,53 2005 4,488,098.62 4,70 2006 4,689,985.08 4,49 2007 4,913,801.20 4,77 2008 5,142,780.73 4,65

Rata-rata 4,704,232.53 4,63

Sumber : Jateng Dalam Angka tahun 2004-2008

PDRB perkapita Propinsi Jawa Tengah selama tahun 2004-2008 terus mengalami pertumbuhan yang positif, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 4,63 persen setiap tahunnya. Pertumbuhan PDRB perkapita di Propinsi Jawa Tengah tertinggi adalah 4,77 persen pada tahun 2007. Hal ini masih dapat dikatakan rendah jika melihat potensi yang dimiliki hampir di setiap kabupaten / kota.


(61)

3. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2004-2008

PDRB Propinsi Jawa Tengah dapat diketahui juga dengan melihat kontibusi dari beberapa kabupaten / kota di dalamnya. Semakin besar PDRB kabupaten / kota maka semakin besar pula PDRB Propinsi Jawa Tengah. Laju pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari PDRB tiap tahunnya akan menentukan besarnya kontribusi yang di berikan. Besarnya laju pertumbuhan tiap kabupaten/kota di Jawa Tengah dapat dilihat dari tabel 4.4.

Tabel 4.4

PDRB, PDRB Per Kapita dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota

Di Jawa Tengah Tahun 2008 Berdasarkan Harga Konstan tahun 2000 (%) 

KAB  Perkapita  PDRB  Pertumbuhan 

  KAB  Perkapita  PDRB  Pertumbuhan 

Kab. Cilacap   6320982.00  11689092.90  4.92  Kab. Kudus   15499120.70  11659252.20  3.71  Kab. Banyumas  2597457.99  4172781.99  5.41  Kab. Jepara   3593357.40  3889988.85  4.49  Kab. Purbalingga   2490446.18  2257392.77  5.30  Kab. Demak   2632966.38  2787524.02  4.11  Kab. Banjarnegara  2839921.00  2619989.61  4.98  Kab. Semarang  5555752.60  5079003.74  4.26  Kab. Kebumen   2153977.83  2716236.74  5.61  Kab. Temanggung  3092494.84  2219155.63  3.54  Kab. Purworejo   3748408.40  2737087.13  5.62  Kab. Kendal   5193084.80  4806891.86  3.92  Kab. Wonosobo   2213858.36  1741148.31  3.69  Kab. Batang   3092494.84  2169854.55  3.67  Kab. Magelang  3125241.40  3761388.59  4.99  Kab. Pekalongan   3194345.03  2970146.74  4.78  Kab. Boyolali   4103859.40  3899372.86  4.04  Kab. Pemalang   2247674.07  3142808.70  4.99  Kab. Klaten   3483573.28  4567200.96  3.93  Kab. Tegal   2159322.01  3286263.44  5.32  Kab. Sukoharjo   5391240.80  4540751.53  4.84  Kab. Brebes   2851115.80  4998528.19  4.81  Kab. Wonogiri   2388132.77  2770435.78  4.27  Kota Magelang   8025295.00  993863.81  5.05  Kab. Karanganyar   5702493.40  4921454.71  5.75  Kota Surakarta   8740829.40  4549342.95  5.69  Kab. Sragen  3109090.40  2729450.32  5.69  Kota Salatiga   4632377.80  832154.88  4.98  Kab. Grobogan   2092830.03  2948793.80  5.33  Kota Semarang  13000760.90  19156814.30  5.59  Kab. Blora   2211343.40  1913763.35  5.62  Kota Pekalongan   6975893.80  1887853.70  3.73  Kab. Rembang   3458049.60  2093412.59  4.67  Kota Tegal   4692117.40  1166587.87  5.15  Kab. Pati   3262520.80  4162082.37  4.94 


(62)

Pertumbuhan ekonomi tertinggi pada tahun 2008 adalah Kabupaten Karanganyar dan Kota Surakarta masing- masing sebesar 5,69 persen dengan PDRB perkapita Kabupaten Karanganyar sebesar Rp 5.702.493,40 dan Kota Surakarta sebesar Rp 8.740.829,40. Sedangkan pertumbuhan ekonomi terendah adalah Kabupaten Temanggung sebesar 3,54 persen. PDRB perkapita tertinggi adalah di Kabupaten Kudus yaitu sebesar Rp 15..499.120,70. PDRB perkapita tanpa migas tiap kabupaten / kota di Propinsi Jawa Tengah berbeda-beda. Sedangkan PDRB perkapita terendah adalah Kabupaten Grobogan sebesar Rp 2.092.830,03. Hal ini dikarenakan di Kabupaten Kudus kegiatan ekonominya banyak terdapat di sektor industri, dimana memiliki tingkat upah yang lebih tinggi daripada sektor pertanian, sedangkan di Kabupaten Grobogan kegiatan ekonominya masih bertumpu pada sektor pertanian.

Laju pertumbuhan PDRB perkapita di tiap kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah dari 2004-2008 tertinggi setiap tahunnya berbeda-beda. Tahun 2004 pertumbuhan tertinggi adalah Kabupaten Kudus sebesar 7,90 persen. Tahun 2005 tertinggi adalah Kota Pekalongan sebesar 6,77 persen. Tahun 2006 adalah Kota Surakarta sebesar 9,83 persen merupakan yang tertinggi selama masa pengamatan di tahun 2004 hingga 2008. Tahun 2007 adalah Kabupaten Purworejo sebesar 5,78 persen. Sedangkan pertumbuhan PDRB perkapita yang terendah adalah di Kabupaten Semarang pada tahun 2004 yang mengalami penurunan sebesar -3,76 persen. Berdasarkan rata-rata pertumbuhan PDRB perkapita dari tahun 2004 hingga 2008 yang tertinggi adalah Kabupaten Sragen sebesar 4,73


(1)

commit to user

relatif rendah dibandingkan dengan kabupaten / kota yang lainnya, sehingga di masa yang akan datang harus terus dikembangkan agar diperoleh pendapatan perkapita yang tidak relatif rendah.

d. Kuadran IV : Kabupaten / Kota yang relatif tertinggal

Kabupaten/kota yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah Kabupaten Banyumas, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Pemalang. Kabupaten / kota di Propinsi Jawa Tengah masih banyak yang berada di kuadran IV dimana daerah tersebut merupakan daerah yang relatif tertinggal pembangunannya dibandingkan dengan daerah yang lainnya. Berdasrkan hasil analisis tersebut menandakan masih rendahnya pertumbuhan ekonomi serta tingginya ketimpangan pembangunan antar kabupaten / kota di Propinsi Jawa Tengah.

4. Analisis Ketimpangan

Besar kecilnya ketimpangan PDRB perkapita antar kabupaten/kota memberikan gambaran tentang perkembangan pembangunan di kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah. Untuk memberikan gambaran yang lebih baik tentang kondisi dan perkembangan pembangunan daerah di wilayah Propinsi Jawa Tengah akan dibahas seberapa besar tingkat


(2)

disparitas pendapatan yang dilihat dari PDRB perkapita antar kabupaten/kota kemudian dianalisis menggunakan indeks ketimpangan Williamson dan Indeks Entropi Theil.

Tabel 4.11

Indeks Williamson Dan Indeks Entropi Theil Propinsi Jawa Tengah tahun 2004-2008

Tahun Indeks Williamson Indeks Entropi

2004 0.6332 0.5916

2005 0.6065 0.5801

2006 0.6215 0.6129

2007 0.6168 0.5752

2008 0.6139 0.6449

Rata-rata 0.6184 0.6009

Sumber : Data BPS Propinsi Jawa Tengah, diolah.

Tabel 4.11 menunjukkan angka ketimpangan PDRB perkapita antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah selama periode tahun 2004-2008 yaitu indeks Williamson sebesar 0,6184 dan indeks Entropi Theil sebesar 0,6009. Angka ini menunjukkan bahwa di Propinsi Jawa Tengah distribusi pendapatannya relatif tidak merata, dengan kata lain mengalami ketimpangan/disparitas pendapatan yang tinggi karena lebih besar dari batas 0,5.

Ketimpangan antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah dari tahun 2004-2008 ada kecenderungan menurun, pada tahun 2004 nilai


(3)

commit to user

Theil untuk mengetahui besarnya ketimpangan, dari hasil analisis indeks Entropi Theil menunjukkan hasil yang fluktuatif dimana pada tahun 2004 sebesar 0,5916 kemudian turun menjadi 0,5801 pada tahun 2005 selanjutnya meningkat menjadi 0,6449 pada tahun 2008.

Ketimpangan antar kabupaten/kota yang terjadi di Propinsi Jawa Tengah selama periode tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 yang di ukur menurut Indeks Williamson ada kecenderungan menurun tersebut dikarenakan adanya konsentrasi aktivitas ekonomi pada sektor tertentu yang menjadi sektor unggulan Propinsi Jawa Tengah.

               


(4)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Hasil penelitian yang telah dilakukan dengan beberapa olah data menggunakan beberapa alat analisis menyimpulkan bahwa kondisi perekonomian di kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah tahun 2004-2008 sebagai berikut :

1. Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah selama periode penelitian antara

periode 2004-2008 mengalami fluktuasi menyesuaikan situasi perekonomian yang sedang terjadi. Laju pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah rata-rata 5,43 persen setiap tahun, jumlah tersebut masih bisa ditingkatkan lagi karena banyak potensi yang dimiliki oleh Jawa Tengah yang belum dikelola dengan maksimal.

2. Pengklasifikasian kabupaten/kota berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita di Propinsi Jawa Tengah memakai alat analisis Tipologi Klassen dengan pendekatan wilayah ternyata menunjukkan banyak kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah selama tahun 2004-2008 yang merupakan daerah relatif tertinggal (termasuk dalam kuadran IV). Sebanyak 16 kabupaten pada kuadran ini merupakan daerah yang relative tertinggal yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Grobogan,


(5)

commit to user

Demak, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Pemalang.

3. Ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah dianalisis menggunkan indeks ketimpangan Williamson dan Indeks Theil. Hasilnya yaitu bahwa ketimpanga/disparitas pendapatan antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah selama tahun 2004-2008 tergolong tinggi,karena berada diatas ambang batas 0,5. Indeks Theil dan indeks Williamson yang menunjukkan adanya disparitas pendapatan antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa tengah tersebut belum menunjukkan kecenderungan menurun karena masih tergolong tinggi.

B. Saran

1. Dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik diperlukan

kebijakan pemerintah daerah yang berkaitan dengan pengembangan teknologi, peningkatan sumber daya manusia, dan peningkatan pendapatan.

2. Untuk daerah relative tertinggal berdasarkan analisis Tipologi Klassen, diperlukan kebijakan atau campur tangan pemerintah antara lain dengan mengadakan peningkatan, perluasan dan pemeliharaan sarana dan prasarana ekonomi dengan mempertimbangkan dan memperlihatkan daerah-daerah yang relative tertinggal dengan sasaran menyerasikan pertumbuhan antar daerah.


(6)

3. Diperlukan adanya program yang memadai dalam menjalankan kebijakan seperti prioritas pembangunan daerah terutama sarana dan prasarana ekonomi untuk kabupaten/kota yang tertinggal agar dapat mengurangi tingkat ketimpangan.