ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR NON MIGAS INDONESIA KE JEPANG TAHUN 1986-2008

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR NON MIGAS INDONESIA KE JEPANG TAHUN 1986-2008 SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Disusun Oleh: FITRIA TISNA KUMALASARI

F.1106031

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini aku persembahkan kepada :

1. Ayah (Alm.) dan Ibu tersayang dan terkasih

2. Kakak dan adikku

3. Semua sahabat

4. Almamaterku

HALAMAN MOTTO

Syukur adalah jalan yang mutlak untuk mendatangkan lebih banyak kebaikan dalam hidup anda.

(Marci Shimoff)

Tolong menolonglah kamu dalam hal kebajikan dan bertaqwa, serta jangan tolong

menolong dalam hal dosa dan kejahatan.

(QS. Al Maidah : 2)

Semua impian kita dapat menjadi nyata, jika kita memiliki keberanian untuk mengejarnya.

(Walt Disney)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan sk ripsi ini dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Non Migas Indonesia ke Jepang Tahun 1986-2008 ”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna mencapai gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini banyak sekali kendala yang penulis hadapi. Namun berkat arahan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu dengan kerendahan hati dan ketulusan yang mendalam penulis manghaturkan terima kasih kepada :

1. Dwi Prasetyani, SE, M.Si, selaku pembimbing yang dengan arif dan bijak telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing dan memberikan masukan yang berarti dalam penyusunan skripsi ini.

2. Prof. Dr. M.Com, Ak. Bambang Sutopo, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Drs. Kresno Sarosa Pribadi, M.Si selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Wahyu Agung Setyo, SE, M.Si terima kasih atas pinjaman referensi –referensi dan bantuan data-datanya yang diberikan.

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta staff dan karyawan yang telah memberikan ilmu, bimbingan, arahan dan pelayanan kepada penulis.

6. Kedua orang tua dan keluarga besar yang senantiasa selalu mendoakan, memberi dorongan dan bimbingan kepada penulis.

7. Teman-teman Ekonomi Pembangunan angkatan 2006 Non Reguler dan semua sahabatku terimakasih atas segala bantuan dan dukungannya.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu baik secara langsung maupun tidak atas bantuannya kepada penulis hingga terselesaikannya penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan- kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai bahan perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Surakarta, Juni 2010

Penulis

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK

ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

iii HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI

iv HALAMAN PERSEMBAHAN

v HALAMAN MOTTO

vi KATA PENGANTAR

vii DAFTRA ISI

ix DAFTRA TABEL

xi DAFTAR GAMBAR

xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……………………………………….. 1

B. Perumusan Masalah …………………………………………… 6

C. Tujuan Penelitian………………………………………………. 6

D. Manfaat Penelitian……………………………………………... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori………………………………………………… 8 . Teori Permintaan dan Penawaran …………….....………….. 8 1

2 Perkembanagan Teori Perdagangan Internasional …………... 10

2. Manfaat Perdagangan Internasional………………………… 25

3. Ekspor N on Migas…………………………………………... 27

4. Hambatan dalam Perdagangan Internasional……………….. 28

5. Definisi dan Ruang Lingkup Ekspor………………………... 32

B. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Ekspor……………………. 35

C. Penelit ian Terdahulu…………………………………………… 45

D. Kerangka Pemikiran…………………………………………… 48

E. Hipotesis………………………………………………………... 49

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian……………………………………... 50

B. Jenis dan Su mber Data…………………………………………. 50

C. Definisi Variabel Operasional………………………………….. 50

D. Metode Pengumpulan Data…………………………………….. 52

E. Metode Analisis Data………………………………………….. 52 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskri psi Data Variabel………………………………………... 61

B. Analisis Data dan Pembahasan………………………………… 70

70 Ekspor Non Migas Indonesia………………………………..

1. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap

2. Pembahasan Hasi l…………………………………………… 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan…………………………………………………….. 82

B. Saran…………………………………………………………… 84 DAFTAR PUSTAKA

86 LAMPIRAN

77

4.9 Uji Hetero skedastisitas .................................................................

78

4.10 Uji Autokorelasi.............................................................................

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Daerah Kritis Ujit………..………………………………………. 54 Gambar 3.2 Daerah Kritis Uji F……………………………………………… 56 Gambar 3.3 Daerah Ho Diterima dan Ditolak Uji Autokorelasi (Durbin- W atson)………………………………………………………………………. 59

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR NON MIGAS INDONESIA KE JEPANG TAHUN 1986-2008 ABSTRAK

Fitria Tisna Kumalasari F1106031

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh impor, inflasi, kurs dan pendapatan perkapita negara tujuan yaitu Jepang terhadap ekspor non migas Indonesia. penelitian ini merupakan penelitian studi pustaka dengan menggunakan data time series tahun 1989 sampai 2008. Metode analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda guna dapat mengukur arah dan besaran pengaruh beberapa variabel bebas (independent variabel) terhadap perkembangan ekspor non migas Indonesia (dependent variabel). Pengolahan data data dilakukan dengan program Econometric Views (E-Views) versi 4.0.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) impor berpengaruh positif dan signifikan, setiap peningkatan 1% impor akan meningkatkan ekspor non migas Indonesia ke jepang sebesar 0,322065%; (2) inflasi berpengaruh negative, setiap kenaikan 1% inflasi akan menurunkan ekspor non migas ke jepang sebesar 0,088218%; (3) kurs berpengaruh positif dan signifikan, setiap peningkatan 1% kurs akan meningkatkan ekspor non migas Indonesia ke jepang sebesar 3,029065%; (4) pendapatan perkapita Jepang berpengaruh positif dan signifikan, setiap peningkatan 1% pendapatan perkapita jepang akan meningkatkan ekspor non migas Indonesia ke jepang sebesar 3,439601%.

Berdasarkan temuan – temuan tersebut maka diajukan saran - saran. Bagi pemerintah, hendaknya menjaga kestabilan inflasi. Dan untuk pelaku bisnis hendaknya menjaga daya saing produk agar dapat bersaing dengan negara lain.

Kata kunci: ekspor non migas, impor, kurs, inflasi, pendapatan perkapita Jepang.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan suatu negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, artinya bahwa negara tersebut melakukan transaksi ekonomi dengan pihak luar negeri atau yang sering disebut dengan perdagangan internasional yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan serta memenuhi kebutuhan dalam negeri. Perdagangan internasional terjadi karena adanya perbedaan selera atau pola konsumsi antar negara, dan timbulnya perdagangan internasional terutama sekali karena suatu negara bisa menghasilkan barang tertentu secara lebih efisien daripada negara lain (Boediono, 1993).

Adanya keterkaitan dan ketergantungan serta persaingan global menyebabkan kehidupan dalam suatu negara terpengaruh oleh ekonomi internasional (Hamdy Hadi, 2004). Dengan kata lain dalam era global dan perdagangan bebas saat ini dapat dikatakan tidak ada lagi negara-negara yang “autarki”, yaitu negara yang hidup terisolasi tanpa mempunyai hubungan ekonomi, keuangan maupun perdagangan internasional (ekspor dan impor).

Ekspor merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat penting dan strategis. Peningkatan ekspor diharapkan mampu meningkatkan pendapatan, tenaga kerja dan devisa untuk negara.

Peningkatan ekspor merupakan kegiatan utama untuk menghasilkan devisa untuk membiayai pembangunan di sektor riil maupun non riil.

Ekspor Indonesia pada awalnya didominasi oleh produk-produk minyak dan gas bumi (migas). Sejak tahun 1974 sampai tahun 1986 pembiayaan ekonomi Indonesia banyak tergantung dari penerimaan minyak dan gas bumi. Keadaan yang demikaian menyebabkan perekonomian Indonesia sangat peka terhadap perubahan harga migas di pasar Internasional.

Pergeseran ekspor Indonesia terjadi sejak tahun 1989, dengan kontribusi ekspor non migas lebih besar. Hal ini di sebabkan karena tahun 1982 harga minyak turun hingga 50 persen sehingga pendapatan negara dari sektor ekspor migas menurun. Ini memicu pemerintah mencari alternatif sebagai pengganti ekspor migas yang terus merosot. Salah satunya adalah mengembangkan dan meningkatkan ekspor non migas (Lestiyono, 2007). Pada tabel 1.1 akan memperlihatkan neraca perdagangan Indonesia pada tahun 2005-2007.

Tabel 1.1 Neraca Perdagangan Indonesia tahun 2005-2007 (juta US$) S Tahun

2005

2006 2007

u Ekspor

2. non migas

e 1. migas

16.030

16.165 18.836

2. non migas

53.431

57.703 66.094

Sumber: Bank Indonesia

Peran perdagangan internasional Indonesia sangat besar. Hal ini terlihat pada tabel 1.1 dimana neraca perdagangan Indonesia dari tahun

2005-2007 mengalami surplus. Pada tahun 2005 ekspor Indonesia sebesar 86.995 juta US$ sedangkan impornya 69.462 juta US$ dapat disimpulkan Indonesia memperoleh surplus sebesar 17.533 juta US$. Pada tahun 2006 ekspor Indonesia sebesar 103.528 juta US$ sedangkan impornya sebesar 73.868 juta US$ dapat disimpulkan Indonesia memperoleh surplus sebesar 29.660 juta US$. Pada tahun 2007 ekspor Indonesia sebesar 118.014 juta US$ sedangkan impornya sebesar 84.930 juta US$ dapat disimpulkan Indonesia memperoleh surplus sebesar 33.084 juta US$. Pada neraca perdagangan Indonesia tahun 2005-2007 ekspor non migas Indonesia slalu mengalami kenaikan hal ini terbukti pada tahun 2005 sebesar 66.753 juta US$ dan pada tahun 2007 telah mencapai 93.142 juta US$. Ekspor non migas masih mendominasi dari nilai total ekspor dalam neraca perdagangan.

Dengan semakin bertambahnya nilai dan ragam komoditi non migas yang dapat di ekspor, di harapkan perekonomian Indonesia tidak lagi tergantung terhadap harga satu komoditi yaitu migas saja. Sehingga pembangunan secara keseluruhan dapat berjalan dengan baik. Komoditi- komoditi non migas yang cukup potensial untuk di ekspor dapat dikelompokan menjadi komoditi primer dan komoditi bukan primer. Komoditi primer merupakan hasil dari sektor pertanian dan sektor pertambangan. Sedangkan sektor sektor bukan primer berasal dari sektor industri. Berikut ini pada tabel 1.2 akan menjelaskan perkembangan nilai Dengan semakin bertambahnya nilai dan ragam komoditi non migas yang dapat di ekspor, di harapkan perekonomian Indonesia tidak lagi tergantung terhadap harga satu komoditi yaitu migas saja. Sehingga pembangunan secara keseluruhan dapat berjalan dengan baik. Komoditi- komoditi non migas yang cukup potensial untuk di ekspor dapat dikelompokan menjadi komoditi primer dan komoditi bukan primer. Komoditi primer merupakan hasil dari sektor pertanian dan sektor pertambangan. Sedangkan sektor sektor bukan primer berasal dari sektor industri. Berikut ini pada tabel 1.2 akan menjelaskan perkembangan nilai

Tabel 1.2 Perkembangan Nilai Ekspor Non Migas Indonesia Tahun 1996-2008 (juta US$)

Non Migas Rata-rata (%) Tahun Ekspor Impor

1998 40,975.5 24,683.2 -2.02 1999 38,873.2 20,322.2 -5.13

2000 47,757.4 27,495.3 22.85 2001 43,684.6 25,490.3 -8.53 2002 45,046.1 24,763.1 3.12 2003 47,406.8 24,939.8 5.24 2004 55,939.3 34,792.5 18.00 2005 66,428.4 40,243.2 18.75 2006 79,578.7 42,102.6 19.80 2007 92,012.3 52,540.6 15.62 2008 107,894.1 98,644.4 17.26

Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia, BPS (telah diolah)

Pada tabel 1.2 diatas dapat digambarkan bahwa angka ekspor Indonesia pada tahun 1996 ke 1997 mengalami kenaikan namun pada tahun-tahun berikutnya angka ekspor tersebut mulai berfluktuasi. Hal itu dapat dilihat pada rata-rata pertumbuhan ekspor. Rata-rata pertumbuhan ekspor pada tahun 1998 yaitu -8.6% sedangkan pada tahun 2000 rata-rata pertumbuhan telah mencapai 27.66% tetapi pada tahun 2001 turun menjadi -9.34%. Pada tahun 1998 akibat krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 ekspor migas turun drastis yang semula 11.622,5 juta US$ pada tahun 1998 turun drastis menjadi 7.872,1 juta US$. Sedangkan untuk ekspor non migas pertumbuhannya tetap stabil yaitu pada tahun 1997 sebesar 41.821 juta US$ dan pada tahun 1998 sebesar 40.975,5 juta US$ bahkan pada beberapa tahun terakhir ini ekspor non migas mengalami Pada tabel 1.2 diatas dapat digambarkan bahwa angka ekspor Indonesia pada tahun 1996 ke 1997 mengalami kenaikan namun pada tahun-tahun berikutnya angka ekspor tersebut mulai berfluktuasi. Hal itu dapat dilihat pada rata-rata pertumbuhan ekspor. Rata-rata pertumbuhan ekspor pada tahun 1998 yaitu -8.6% sedangkan pada tahun 2000 rata-rata pertumbuhan telah mencapai 27.66% tetapi pada tahun 2001 turun menjadi -9.34%. Pada tahun 1998 akibat krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 ekspor migas turun drastis yang semula 11.622,5 juta US$ pada tahun 1998 turun drastis menjadi 7.872,1 juta US$. Sedangkan untuk ekspor non migas pertumbuhannya tetap stabil yaitu pada tahun 1997 sebesar 41.821 juta US$ dan pada tahun 1998 sebesar 40.975,5 juta US$ bahkan pada beberapa tahun terakhir ini ekspor non migas mengalami

Tujuan ekspor non migas Indonesia menurut negara tujuan adalah negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Singapura dan beberapa negara-negara Erpoa lainnya. Tabel 1.3 menunjukkan nilai ekspor ke Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura pada tahun 2005-2008.

Tabel 1.3 Nilai Ekspor ke Jepang, Amerika Serikat, Singapura pada Tahun 2004-2008 (juta US$).

rata- Amerika rata- rata- Tahun Jepang rata (%) Serikat rata (%) Singapura rata (%)

2005 9,561.80 - 9,507.90 - 7,068.60 - 2006 12,198.60 27.5764 10,682.50 12.35394 7,824.20 10.68953 2007 13,092.80 7.330349 11,311.30 5.886263 8,990.40 14.90504 2008 13,795.50 5.367072 12,531.00 10.78302 10,104.60 12.39322

Sumber: Departemen Perdagangan, diolah.

Pada tabel 1.3 di atas dapat dilihat bahwa Jepang memiliki kontribusi yang paling besar di bandingkan dengan Amerika Serikat dan Singapura. Pada tabel 1.3 dapat di lihat bahwa nilai ekspor ke Jepang yang semula pada tahun 2005 sebesar 9. 561 juta US$ menjadi 13.795,50 juta US$ dengan rata-rata pertumbuhan 27,6% pada tahun 2006. Amerika Serikat menduduki peringkat ke dua sebagai negara tujuan utama ekspor dengan nilai ekspor pada tahun 2005 sebesar 9.507,90 juta US$ dan pada tahun 2008 sebasar 12.531,00 juta US$. Sedangkan nilai ekspor ke Singapura pada tahun 2005 sebesar 7.068, juta US$ dan pada tahun 2008 mencapai 10.104,60 juta US$. Jepang, Amerika Serikat, dan Singapura Pada tabel 1.3 di atas dapat dilihat bahwa Jepang memiliki kontribusi yang paling besar di bandingkan dengan Amerika Serikat dan Singapura. Pada tabel 1.3 dapat di lihat bahwa nilai ekspor ke Jepang yang semula pada tahun 2005 sebesar 9. 561 juta US$ menjadi 13.795,50 juta US$ dengan rata-rata pertumbuhan 27,6% pada tahun 2006. Amerika Serikat menduduki peringkat ke dua sebagai negara tujuan utama ekspor dengan nilai ekspor pada tahun 2005 sebesar 9.507,90 juta US$ dan pada tahun 2008 sebasar 12.531,00 juta US$. Sedangkan nilai ekspor ke Singapura pada tahun 2005 sebesar 7.068, juta US$ dan pada tahun 2008 mencapai 10.104,60 juta US$. Jepang, Amerika Serikat, dan Singapura

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penelitian ini

berjudul “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR NON MIGAS INDONESIA KE JEPANG TAHUN 1986

SAMPAI 2008”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh impor, kurs, inflasi, dan pendapatan per kapita Jepang terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang?

2. Faktor apakah yang paling dominan mempengaruhi ekspor non migas Indonesia ke Jepang?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaruh impor, kurs, inflasi, pendapatan per kapita Jepang terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang.

2. Mengetahui faktor apa yang dominan terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang.

D. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi kegunaan penelitian ini adalah:

1. Menambah pengetahuan tentang ekspor non migas di Indonesia.

2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang tertarik dengan permasalahan ekspor non migas Indonesia.

3. Sebagai masukan untuk instansi terkait.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Teori Permintaan dan Penawaran

Berdasarkan anggapan-anggapan tertentu, perdagangan antar negara dapat juga dipandang dari segi permintaan dan penawaran. Tegasnya perdagangan

internasional terjadi karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran. Perbedaan penawaran disebabkan oleh perbedaan kualitas dan kuantitas faktor- faktor produksi negara yang satu dengan yang lain. Perbedaan permintaan dapat disebabkan perbedaan pendapatan dan kesukaan(cita rasa, preferensi)

Approach ini menggunakan beberapa angapan, yaitu sebagai berikut:

1. Pasar dengan persaingan sempurna

2. Tidak ada ongkos pengangkutan.

3. Tingkat teknologi tertentu.

4. Tidak ada perpindahanj kapital

5. Increasing cost of production.

Grafik 1 Timbulnya Perdagangan Internasional

Barang x

Barang y

Keterangan: Sebelum terjadi perdagangan, maka harga barang x negara A adalah P 1 dan harga barang x di negara B adalah P 2. P 2 >P 1 jadi jelas bahwa dalam situasi itu negara B tidak dapat menjual barang x-nya di bawah P 2 . Bila antara negara A dan B terjadi perdagangan, maka negara B akan mengimpor produksi itu konstan, maka negara A akan berspesialisasi saja salam barang x. Selanjutnya bila ongkos produksi barang x itu bertambah atau meningkat (increasing cost of production). maka harga barang x itupun akan meningkat. Apa yang terjadi di negara B adalah jumah produksi dalam negeri akan berkurang, sebab sebagaian dari barang x itu dapat dipenuhi dengan mengimpor dari negara A, sehingga harga di negara B juga akan menurun (Sobri, .

Proses kesamaan tingkat dua macam harga ini akan berlangsung terus, sehingga jumlah yang diekspor dari negara A yaitu B 1, B 4 , sedang jumlah yang diimpor dari negara A oleh negara B adalah K 1. K 4 , dan harga kesetimbangannya adalah OP. Bila peranan ongkos angkutan diperhatikan, maka harga di kedua negara itu tidak sama tingginya. Perbedaannya sebesar ongkos angkut itu sendiri. Bila P 3. P 4 ongkos, maka volume perdagangan antara A dan B akan berkurang. Ekspor dari negara A sebesar B 2. B 3 , dan impor negara B sebesar K 3. K 2 . Jadi, ongkos- ongkos angkut akan menyebabkan perbedaan harga dan volume perdagangan menjadi kecil.

2. Pekembangan Teori Perdagangan

Perdaganngan internasional dapat didefinisikan sebagai perdagangan antar negara atau lintas negara yang mencakup ekspor dan impor. Perdagangan internasional terjadi karena setiap negara tidak memenuhi semua kebutuhan dari hasil produksi dalam negaranya sendiri sehingga diperlukan transaksi perdagangan. Hal ini terjadi karena setiap negara dengan mitra dagangnya mempunyai beberapa perbedaan, diantaranya perbedaan kandungan sumberdaya alam, modal, sumberdaya manusia, teknologi, konfigurasi geografis, struktur ekonomi dan lain sebagainya. Dari perbedaan tersebut di atas, maka atas dasar saling menguntungkan, terjadilah proses pertukaran, yang dalam skala luas dikenal sebagai perdagangan internasional (Halwani, 2003).

Karena setiap negara berbeda dengan negara lainnya di tinjau dari sumberdaya alamnya, iklimnya, letak geografinya, penduduk, keahliannya, tenaga Karena setiap negara berbeda dengan negara lainnya di tinjau dari sumberdaya alamnya, iklimnya, letak geografinya, penduduk, keahliannya, tenaga

Pada dasarnya, perdagangan internasional bisa terjadi apabila kedua belah pihak memperoleh manfaat atau keuntungan dalam perdagangan tersebut. perdagangna internasional menciptakan keuntungan dengan memberikan peluang pada setiap negara untuk mengkspor barang-barang yang faktor produksinya langka atau mahaljika diproduksi daklam negari.

Evolusi teori perdagangan internasional dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) Teori Pra Klasik: Merkantilisme, 2) teori Klasik: Adam smith, David Ricardo, 3) Teori Modern: teori H- O, 4) Alternative Theory: M Porter, R D’Aveni dll. Penjabaran masing-masing teori perdaganngan internasional adalah sebagai berikut:

2.1 Teori Merkantilisme (David Hume)

Menurut paham merkantilisme, tiap negara yang berkeinginan untuk maju harus melakukan perdagangan dengan negara lain. Sumber kekayaan negara akan diperoleh melalui surplus perdagangan di luar negeri yang akan diterima dalam bentuk logam mulia.

Aliran merkantilisme yang tumbuh dan berkembang pada abad XVI-XVIII di Eropa Barat, sebagai lokomotif utama yang di pacu melalui Aliran merkantilisme yang tumbuh dan berkembang pada abad XVI-XVIII di Eropa Barat, sebagai lokomotif utama yang di pacu melalui

1. Suatu negara akan kaya atau makmur dan kuat bila ekspor lebih besar daripada impor.

2. Surplus yang di peroleh dari selisih (X-M) atau ekspor netto yang positif tersebut ditunjukkan dengan semakin banyaknya logam mulia (sebagai alat pembayaran/uang) yang dimiliki Negara.

3. Logam mulia yang melimpah digunakan oleh negara/raja untuk memperluas perdagangan di luar negeri dengan kolonisasi.

(Hamdy Hadi: 2004)

Merkantilisme menitikberatkan pada 2 kebijakan penting yaitu:

1. Kebijakan merkantilisme dalam usaha untuk memperoleh monopoli perdagangan, monopoli perdagangan tersebut dapat diperoleh dengan memiliki armada perdagangan atau armada perang yang kuat.

2. Kebijakan lanjutan adalah usaha untuk memperoleh daerah-daerah jajahan yang dilakukan melalui ekspansi perdagangan dan penaklukan atau penundukan daerah-daerah baru di Amerika, Afrika, dan Asia. Daerah atau negara jajahan ini dijadikan sebagai sumber bahan baku dan sekaligus pasar, sekaligus sebagai sumber langsung logam mulia. Negara jajahan menjadi sangat tergantung pada negara penjajah. (Lia Amalia: 2007)

Kritik David Hume terhadap merkantilisme adalah sebagai berikut: kekayaan atau kemakmuran suatu negara yang diukur dari banyaknya logam mulia tidak sepenuhnya benar. Maka jika logam mulia banyak berarti jumlah uang beredar banyak. Jika jumlah uang beredar banyak sedangkan produksi tetap atau tidak berubah maka akan terjadi inflasi atau kenaikan harga. Inflasi akan menaikan harga barang-barang eksporsehingga kuantitas ekspor menurun. Sementara harga barang impor akan lebih besar dari ekspor terjadi deficit yang menyebabkan logam mulia yang dimiliki akan berkurang.

Kebijakan merkantilisme pada saat ini masih dijalankan oleh banyak negara (termasuk negara-negara maju), yaitu kebijakan proteksi untukmelindungi dan mendorong ekonomi dan industri dalam negara dengan banyak menggunakan hambatan non-tarif seperti: penerapan syarat-syarat dan sertifikasi tertentu, ketentuan teknis, peraturan kesehatan/karantina, dikaitkan dengan isu-isu lingkungan hidu, hak asasi manusia dan lain-lain (Hamdy Hadi: 2004)

2.2 Teori Keunggulan Mutlak/ Absolute Advantage (Adam Smith)

Menurut teori Keunggulan Mutlak yakni perdagangan internasional akan terjadi jika setiap negara mampu memproduksi barang tertentu secara lebih efisien daripada negara lain melalui spesialisasi dan pembagian kerja. Keunggulan mutlak bisa diperoleh karena adanya perbedaan dalam kepemilikan factor produksi antara lain sumber daya alam, tenaga kerja, modal, teknologi dan entrepreneurship.setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan (gain from trade) karena melakukan spesialisasi Menurut teori Keunggulan Mutlak yakni perdagangan internasional akan terjadi jika setiap negara mampu memproduksi barang tertentu secara lebih efisien daripada negara lain melalui spesialisasi dan pembagian kerja. Keunggulan mutlak bisa diperoleh karena adanya perbedaan dalam kepemilikan factor produksi antara lain sumber daya alam, tenaga kerja, modal, teknologi dan entrepreneurship.setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan (gain from trade) karena melakukan spesialisasi

Dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa suatu negara akan melakukan spesialisasi terhadap ekspor suatu jenis barang tertentu, dimana negara tersebut memiliki keunggulan mutlak dan tidak memproduksi atau malakukan impor jenis barang dimana negara lain yang memproduksi barang sejenis. Atau denagn kata lain, suatu negara akan mengekspor (mengimpor) suatu jenis barang. Jika negara tersebut tidak dapat memproduksi secara lebih efisien atau lebih murah dibandingkan dengan negara lain. Sehingga teori ini menekankan bahwa efisiensi dalam penggunaan input, misalnya tenaga kerja, dalam proses produksi sangat menentukan keunggulan atau daya saing.

Sebagai contoh di dunia nyata ada dua negara yaitu Indonesia (INA) dan Amerika Serikat (AS) kedua negara tersebut sama-sama memproduksi dua jenis barang, yakni barang (A) kain dengan harga Pa dan barang B (komputer) dengan harga Pb tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang digunakan untuk memproduksi dua jenis barang tersebut (kain dan komputer)

Tabel 2.1 Ilustrasi Keunggulan Absolut dari Adam Smith Kemungkinan Produksi

DTDN Negara

A (Kain)

B (Komputer)

0,50 2,00 Sumber: Tulus Tambunan, 2001

50 100

Seperti yang ditunjukan pada tabel 2.1, Indonesia dapat memproduksi maksimum 90 unit kain (A) per satu orang tenaga kerja dan atau memproduksi maksimum 60 unit komputer (B) per satu orang tenaga kerja. Rasio ini menunjukan bahwa Indonesia lebih baik dalam memproduksi A dibandingkan B. Tingkat produktivitas atau efisiensi dalam penggunaan input (tenaga kerja) di industri A lebih tinggi dibanding industri B. Jika tidak ad aperdagangan internasional, dua barang tersebut dapat diperdagangkan dipasar domestikdengan perbandingan sebagai berikut: 1,5A untuk 1B atau 2/3B untuk 1A. Artinya biaya alternatif (opportunity cost) untuk membuat 1B maka mengorbankan 1,5A. Dalam harga relatif dapat ditulis: (Pb/Pa) INA = 1,5. Misalnya, Pb = 100 maka Pa = 66,6. Perbandingan ini disebut dasar tukar dalam negeri (DTDN). Jadi di Indonesia, B mempunyai harga jual yang lebih tinggi, karena memproduksi B lebih mahal daripada memproduksi A. Sebaliknya di AS, A mempunyai harga jual lebih tinggi disbanding B, karena biaya produksi A lebih mahal daripada biaya produksi B. Di pasar domestik AS, dasar tukar dalam negeri adalah: 0,5A untuk 1B atau 2B untuk 1A. Dalam harga relatif dapat ditulis: (Pb/Pa)AS = 0,5. perbedaan rasio harga (biaya produksi) tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan absolute atas Amerika Serikat dalam memproduksi kain (A), sebaliknya AS memiliki keunggulan absolut atas Indonesia dalam memproduksi computer (B).

Terjadinya perdagangan internasional menyebabkan gains from trade masing-masing negara sebagai berikut: a) Indonesia memperoleh Terjadinya perdagangan internasional menyebabkan gains from trade masing-masing negara sebagai berikut: a) Indonesia memperoleh

Dari contoh tersebut diperoleh bahwa (Pb/Pa) AS  (Pb/Pa) INA, atau (Pb) INA  (Pb) AS dan (Pa) INA  (Pa) AS. Perbedaan harga tersebut merupakan syarat terjadinya perdangan internasional. Jika hara dari jenis barang yang sama tidak berbeda antarnegara, maka tidak ada alasan untuk melakukan perdagangan internasional, atau masing-masing negara tidak akan menikmati manfaat perdagangan internasional (Tulus Tambunan,2001).

2.3 Teori Keunggulan Komparatif/ Comparative Adventage (David Ricardo)

Menurut David Ricardo, sekalipun sebuah negara memiliki keunggulan mutlak pada beberapa barang, tetapi selama negara yang lebih lemah memiliki keunggulan komparatif pada produksi salah satu barang, maka perdagangan tetap bisa terjadi. Teori david Ricardo yang juga dikenal dengan teori cost comparative advantage (labor efficiency) ini menyatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relative lebih efisien serta mengimpor barang jika negara tersebut berproduksi relative kurang atau tidak efisien.

Sebagai contoh, berdasarkan efisiensi tenaga kerja di Indonesia untuk memproduksi 1 unit A. Seorang pekerja hanya membutuhkan 1 hari kerja dan untuk memproduksi 1 unit B diperlukan 2 hari kerja. Di AS untuk memproduksi 1 unit A dan 1 unit B masing-masing diperlukan waktu 4 dan 3 hari kerja. Atau berdasarkan produktivitas tenaga kerja, di INA 1 hari kerja dapat menghasilkan1A dan 1/2B, dan di AS 1 hari kerja dapat menghasilkan 1/4A dan 1/3B. Seperti dapat dilihat pada tabel 2.2, DTDN di INA adalah 2A untuk 1B atau 0,5B untuk 1A, atau (Pb/Pa)INA = 2, sedangkan DTDN di AS adalah (Pb/Pa)AS = 3/4. Jadi di INA mempunyi harga jual lebih tinggi ddan di AS yang mempunyai harga jual lebih tinggi adalah A.

Tabel 2.2 Ilustrasi Tingkat Efisiensi Tenaga Kerja David Ricardo Produksi: jumlah jam kerja per

Negara

satu unit

Biaya Relatif

INA 1(A) INA = 1

{1 (A)/1(B) INA =1/2} AS

1(B) INA= 2

1 (A) AS = 4

1(B) AS = 3

{1(A)/1(B) AS = 4/3}

Sumber; Tulus Tambunan, 2001

Tabel 2.3 Ilustrasi Tingkat Produktivitas tenaga Kerja David Ricardo

Produksi: jumlah jam kerja per Negara

satu unit

DTDN

INA 1'(A) INA = 1 1('B) INA= 1/2 (Pb/Pa) INA = 2 AS

1'(A) AS = 1/4

1('B) AS = 1/3

(Pb/Pa) AS = 3/4

Sumber; Tulus Tambunan, 2001

Dari contoh pada tabel 2.2 dan 2.3, dengan teori keunggulan absolut dari Adam Smith, perdagangan antara INA dan AS tidak dapat terjadi Dari contoh pada tabel 2.2 dan 2.3, dengan teori keunggulan absolut dari Adam Smith, perdagangan antara INA dan AS tidak dapat terjadi

Namun David Ricardo menyatakan bahwa perdagangan tetap dapat terjadi dengan penjelasan sebagai berikut: berdasarkan tingkat efisiensi tenaga kerja dalam memproduksi A dan B masing-masing negara, selanjutnya dicari untuk barang yang mana Indonesia (atau AS) lebih unggul terhadap Amerika Serikat (atau INA), dalam arti tingkat efisiensi tenaga kerjanya paling tinggi. Hasil perhitungan efisiensi tenaga kerja relatif dapat dilihat pada tabel 2.4:

Tabel 2.4 Perhitungan Efisiensi Tenaga Kerja Relatif

Produksi: jumlah jam kerja per satu unit Negara

INA 1(A) INA/1(A) AS = 1/4 1(B) INA/ 1(B) AS = 2/3 AS

1(A) AS/1(A) INA = 4 1(B) AS/1(B) INA = 3/2 Sumber; Tulus Tambunan, 2001

Dari tabel 2.4 tersebut terlihat bahwa tingkat efisiensi tenaga kerja di Indonesia lebih besar bila dibandingkan dengan AS dalam memproduksi 1 unit A daripada produksi 1 unit B; [1 (A) INA/1(A) AS < 1(B) INA/1(B) AS]. Hal ini berarti Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam produksi A. Sebaliknya, tenaga kerja AS lebih efisien dibandingkan tenaga kerja INA dalam memproduksi 1 unit B daripada memproduksi unit A [1(A) AS/1(A) INA > 1(B) AS/1(B) INA]. Hal tersebut berarti AS memiliki keunggulan komparatif dalam produksi B. Berdasarkan perbandingan tersebut, Indonesia dan Amerika Serikat masing-masing akan melakukan spesialisasi produksi dan ekspor barang A dan B.

Jadi dapat disimpulkan, bahwa meskipun Indonesia memiliki keunggulan absolut dibandingkan Amerika Serikat untuk barang A(kain) dan barang B(komputer), perdagangan internasional tetap bisa terjadi dan saling menguntungkan keduanya melalui spesialisasi di masing-masing negara jika terdapat perbedaan dalam tingkat efisiensi tenaga kerja (cost comparative advantage ) dan atau produktivitas tenaga kerja (production comnparative advantage ).

2.4 Teori Hecksher-Ohlin/ H-O

Teori Hecksher dan Ohlin (H-O) disebut juga teori proporsi faktor (factor propotion) atau teori ketersediaan factor (factor endowment). Dasar pemikiran teori ini adalah perdagangan internasional, misalnya antara Indonesia dan Amerika Serikat terjadi karena opportunity cost antara kedua negara tersebut berbeda. Perbedaan biaya alternative tersebut dikarenakan adanya perbedaan dalam jumlah faktor produksi. Jadi karena factor endowment yang berbeda, maka sesuai hukum pasar harga faktor produksi tersebut juga berbeda antara Indonesia dan Amerika.

Jadi menurut teori H-O, suatu negara akan berspesialisasi dalam produksi dan ekspor barang-barang yang impor utamanya relative sangat banyak di negara tersebut, serta impor barang yang input utamanya tidak dimiliki oleh negara tersebut (jumlahnya terbatas). Dalam kasus Indonesia, negara tersebut akan ekspor produk-produk yang padat karya (tetapi dalam kategori unskilled workers) atau padat bahan-bahan baku yang berlimpah di Jadi menurut teori H-O, suatu negara akan berspesialisasi dalam produksi dan ekspor barang-barang yang impor utamanya relative sangat banyak di negara tersebut, serta impor barang yang input utamanya tidak dimiliki oleh negara tersebut (jumlahnya terbatas). Dalam kasus Indonesia, negara tersebut akan ekspor produk-produk yang padat karya (tetapi dalam kategori unskilled workers) atau padat bahan-bahan baku yang berlimpah di

Muatan teori H-O yang utama adalah:

1. Dalam perdagangan Internasional yang melandasi keunggulan komperatif adalah bahwa setiap negara memiliki hadiah alam dari Tuhan yang berbeda- beda baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga faktor-factor produksi tersebut akan memiliki distribusi yang tidak merata secara proporsional.

2. Perbedaan kepemilikan faktor produksi oleh setiap negara akan mendorong pemakaian faktor produksi dalam kombinasi yang memiliki intensitas yang berlainan. Setiap negara akan mengekspor barang yang memiliki intensitas faktor produksi melimpah.

Menurut model Neoklasik ini, perdagangan Internasional tidak bersumber pada perbedaan tingkat produktivitas atau perkembangan teknologi antar negara,melainkan pada perbedaan kelimpahan atau kekayaan faktor produksi. Negara yang memiliki banyak tenaga kerja akan berspesialisasi pada produksi yang bersifat padat karya terutama komoditi primer, serta mengimpor produk yang menggunakan faktor produksi yang langka di negaranya seperti produk manufaktur yang bersifat padat modal

Teori ini mendorong negara berkembang untuk memfokuskan pengembangan aneka komoditi primer sebagai andalan ekspor yang nantinya akan ditukarkan dengan produk manufaktur. Sehingga, negara berkembang akan lebih berpeluang dalam mengembangkan perekonomiannya serta memperoleh keuntungan maksimal dari hubungan perdagangan Internasional.

Dalam rumusan model kelimpahan faktor, suatu negara diasumsikan pada awalnya akan beroperasi pada suatu titik tertentu dimana kurva batas kemungkinan produksi sangat ditentukan oleh kondisi permintaan domestik.

2.5 Competitive Advantage of Nation

Menurut M Porter, dalam era persaingan global saat ini, suatu negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki 4 faktor penentu yaitu:

1. Factor Conditions Faktor conditions adalah sumber daya yang memiliki oleh suatu negara yang terdiri atas lima kategori berikut ini:

a. Human resources (SDM)

b. Physical resources (SDA)

c. Knowledge resources (IPTEK)

d. Capital resources (permodalan) / (SDC)

e. Infrastructure resources (SDI)

2. Demand Condition Permintaan merupakan salah satu faktor penting sebagai penentu keunggulan daya saing atau competitive advantage suatu bangsa/perusahaan produk atau jasa yang dihasilkannya. Adapun yang dimaksud dengan demand conditions tersebut terdiri atas:

a. Composition of home demand

b. Size and pattern of growth of hoine demand b. Size and pattern of growth of hoine demand

d. Trend of International demand

3. Related and Supporting Industry Untuk menjaga dan memelihara kelangsungan keunggulan daya saing, maka perlu selalu dijaga keberadaan industri pemasok industri terkait, terutama dalam menjaga dan memelihara value chain.

4. Firm Strategy, Structure and rivalry Strategi perusahaan, stuktur organisasi dan modal perusahaan, serta

kondisi persaingan di dalam negari merupakan faktor-faktor yang akan menentukan dan mempengaruhi competitive advantage perusahaan. Rivalry yang berat di dalam negeri biasanya justru akan lebih mendorong perusahaan untuk melakukan pengembangan produk dan teknologi, peningkatan produktivitas, efisiensi dan efektifitas, serta peningkatan kualitas produk dan pelayanan.

Selain keempat faktor penentu dalam tingkat persaingan Internasional tersebut, keunggulan komparatif nasional juga dipengaruhi oleh faktor kebetulan (penemuan baru, perubahan kurs, konflik keamanan) dan tindakan-tindakan atau kebijakan pemerintah. Faktor luar lainnya yang penting dan sangat menentukan secara eksternal adalah faktor sumber daya manusia yang dibagi menjadi dua yaitu, system pemerintah (government) dan terdapatnya akses dan kesmpatan dalam melakukan suatu hal yaitu, perubahan (Hamdi Hadi : 2004).

2.6 Hyper Competitive (Richard D’Aveni)

Proses liberalisasi perdagangan dunia, baik secara regional maupun internasional yang berlangsung hingga saat ini telah menyebabkan persaingan global yang semakin ketat, bahkan menuju hyper competitive. Hal ini dibuktikan antara lain oleh adanya persaingan dan ancaman dari korea, Taiwan, Singapura dan negara lainnya. Persaingan dan ancaman tersebut dihadapi oleh industri elektronik dan otomotif Jepang, AS dan Eropa yang selama ini menguasai pasar dunia. Selain itu, persaingan yang sangat ketat juga terjadi di antara sesama negara yang sedang berkembang, khususnya untuk produk-produk industri ringan seperti tekstil dan produk tekstil, sepatu, agro industri, dan lain-lain.

Kondisi persaingan global yang hyper competitive tersebut memaksa setiap negara/perusahaan untuk menemukan suatu strategi yang tepat. Strategi yang tepat tersebut berupa perencanaan dan kegiatan operasional terpadu yang mengkaitkan lingkungan eksternal dan internal, sehingga dapat mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang denagn disertai keberhasilan dalam mempertahankan atau meningkatkan sustainable real income secara efekif dan efisien. Strategi ini dikenal atau disebut sebagai Sustainable Competitive Advantage atau SCA yaitu keunggulan daya saing berkelanjutan (terus menerus). Akan tetapi, menurut Richard D’Aveni (1994), pada situasi hyper competitive tidak ada lagi perusahaan atau negara yang dapat memiliki keunggulan daya saing berkelanjutan.

Sehubungan dengan pendapat Richard D’Aveni ini perlu dikemukakan beberapa catatan (Hamdi Hady: 2004) sebagai berikut:

Pada situasi hyper competitive, keunggulan daya saing suatu perusahaan atau negara tetap didasarkan kepada keunggulan kompetitif dinamis, walaupun dengan periode/jangka waktu yang relatif pendek. Beberapa catatan penting dari teori ini adalah: (1) Pengertian SCA atau keunggulan daya saing berkelanjutan harus diartikan sebagai keunggulan yang diperoleh karena invention dan innovation secara terus menerus, sehingga tetap unggul dari pesaing; (2) invention dan innovation diperoleh dari hasil research dan development, baik yang bersifat scientific maupun applied; (3) Sustainable competitive advantage ini relatif lebih tepat dan paling menguntungkan untuk dilakukan dalam sektor agro industri karena sumber atau resource base-nya dapat diperbaharui atau renewable. Sustainable competitive advantage, yang diperoleh melalui invention dan innovation

Dengan demikian, selama suatu negara masih memiliki sustainable competitive advantage , maka negara tersebut akan dapat terus mengekspor produknya, dan tentunya akan lebih baik untuk mengimpor produk lain.

2.7 Competitive Liberalization

Keinginan masing-masing negara untuk dapat bekerja secara produktif, efisien dan efektif agar dapat bersaing di pasar global pada dekade terakhir ini telah mendorong terjadinya competitive liberazation terutama di kawasan Asia Pasifik. Khususnya di bidang perdagangan dan investasi.

Competitive liberazation atau persaingan liberalisasi ini dilakukan karena masing-masing negara berusaha untuk membuat situasi dan kondisi Competitive liberazation atau persaingan liberalisasi ini dilakukan karena masing-masing negara berusaha untuk membuat situasi dan kondisi

Persaingan liberalisasi yang dilakukan oleh masing-masing negara yang didasarkan pada comparative advantage dinamis dan atau competitive advantage menurut diagram diamond Porter’s akan menyebabkan suatu negara dapat mengekspor atau lebih baik mengimpor dan mengekspor produk tertentu. Sebaliknya, negara lain lebih baik mengimpor dan mengekspor p- roduk tertentu, sehingga akan terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan bagi masing-masing negara.

3. Manfaat Perdagangan Internasional

Perdagangan dalam istilah ekonomi, diartikan sebagai proses tukar menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak.

Penggunaan istilah kehendak sukarela tersebut memiliki implikasi yang sangat mendasar yaitu perdagangan akan terjadi hanya apabila paling tidak ada satu pihak yang memperoleh keuntungan atau manfaat dan tidak ada pihak lain yang merasa dirugikan. Atau akan timbul karena salah satu pihak atau kedua belah pihak melihat adanya manfaat atau keuntungan tambahan yang bisa diperoleh sebagai hasil dari proses perdagangan tersebut. Hal tersebut tidak saja berlaku dalam perdagangan lingkup daerah dan nasional saja. Tetapi juga berlaku pada perdagangan internasional, yang tidak hanya melihat orang per orang atau kelompok per kelompok dalam satu daerah saja, tetapi sudah semakin meluas hingga melibatkan penduduk dari suatu negara dengan penduduk dari negara lain (Boediono: 1994).

Tujuan dilakukannya perdagangan internasional salah satunya adalah untuk mengatasi hambatan ekonomi yang banyak terjadi pada negara- negara di dunia. Terutama dalam upaya meningkatkan pendapatan dan memperluas kesempatan kerja. Untuk negara yang sedang berkembang, perdagangan internasional sangatlah membantu dalam mengatasi masalah kemiskinan

dan menurunkan angka ketergantungan, khususnya ketergantungan akan sumber dana bagi pembangunan, dengan cara dihasilkannya devisa bagi negara tersebut (Djojohadikusumo, 1985).

Tumbuhnya kegiatan perdagangan internasional suatu negara akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di negara yang bersangkutan. Dan apabila suatu negara mengalami mengalami pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, maka akan meningkatkan pendapatan nasionalnya. Perdagangan internasionaljuga dapat memperluas pasar bagi barang-barang produksi domestik, yang bila diteruskan akan membawa implikasi pada perluasan lapangan kerja di dalam negeri dan transfer of technology.

Suatu negara yang melakukan perdagangan internasional dapat mengadakan realokasi sumberdaya yang dimilikinya secara lebih efisien, sehingga dapat memproduksi output pada tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan negara lainnya. Ini berdampak pada peningkatan jumlah barang yang akan diproduksi dan dikonsumsi oleh penduduk, sehingga kesejahteraan negara tersebut dapat meningkat. Dengan kata lain, adanya kegiatan perdaganagan internasional dapat memberi sumbangan yang sangat penting dalam mempertinggi dan menambah efisiensi kegiatan ekonomi suatu Suatu negara yang melakukan perdagangan internasional dapat mengadakan realokasi sumberdaya yang dimilikinya secara lebih efisien, sehingga dapat memproduksi output pada tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan negara lainnya. Ini berdampak pada peningkatan jumlah barang yang akan diproduksi dan dikonsumsi oleh penduduk, sehingga kesejahteraan negara tersebut dapat meningkat. Dengan kata lain, adanya kegiatan perdaganagan internasional dapat memberi sumbangan yang sangat penting dalam mempertinggi dan menambah efisiensi kegiatan ekonomi suatu

4. Ekspor Non Migas

Pengertian ekspor non migas adalah ekspor produk-produk diluar minyak dan gas bumi yang terdiri produk-produk sektor pertanian, industri (manufaktur), pertambangan dan lainnya, seperti barang-barang seni (Departemen Perdagangan RI, 2001).

Komoditi ekspor non migas dikelompokkan menjadi komoditi primer dan non primer. Komoditi primer merupakan hasil dari sektor- sektor pertanian dan pertambangan, sedangkan komoditi non primer berasal dari sektor industri dan lainnya (BPS, 2000).

Kinerja ekspor non migas yang didominasi oleh produk-produk manufaktur mengindikasikan bahwa proses industrialisasi disuatu negara berjalan baik. Suatu negara dikatakan berhasil dalam strategi pengembangan ekspor non migas khususnya ekspor manufaktur jika pertumbuhan ekspor rata-rata per tahun tinggi dan komposisinya tidak lagi didominasi oleh barang- barang sederhana (barang baku/barang setengah jadi), melainkan sebagaian besar sudah berupa produk-produk dengan nilai tambah dari hasil proses pengolahan yang efisien dan maju sehingga berdaya saing internasional (Tulus Tambunan, 2001).

5. Hambatan dalam Perdagangan Internasional

Beberapa hambatan dalam perdagangan internasional antara lain:

a. Tarif/ Bea Masuk

Tarif adalah pembebanan pajak atau custom duties terhadap barang-barang yang melewati suatu negara (Nopirin; 1995). Ditinjau dari mekanisme perhitungannya, ada beberapa jenis tarif yakni:

1) Tarif Ad Valorem (ad valorem tariff) Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka presentase tertentu dari nilai-nilai barang-barang yang di impor (misal: suatu negara memungut tarif 25% atas nilai atau harga dari setiap unit mobil yang diimpor)

2) Tarif Spesifik (specific tariff) Tarif spesifik adalah tarif yang dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor (misalnya; pungutan US$ 3 untuk setiap bahrel minyak).

3) Tarif Campuran (compound tariff) Tarif campuran adalah gabungan dari kedua tari ad valorem dari tarif spesifik. Disamping mgenakan pungutan dalam jumlah tertentu, tarif campuran juga memungut sekian persen lagi.

b. Kuota Kuota merupakan bentuk hambatan perdagangan non tarif yang paling penting. Kuota adalah pembatasan secara langsung terhadap jumlah impor atau ekspor (Nopirin; 1995). Kuota bisa serupa pembatasan kuantitas pasokan. Sedangkan kuota impor yang didefinisikan sebagai pembatasan b. Kuota Kuota merupakan bentuk hambatan perdagangan non tarif yang paling penting. Kuota adalah pembatasan secara langsung terhadap jumlah impor atau ekspor (Nopirin; 1995). Kuota bisa serupa pembatasan kuantitas pasokan. Sedangkan kuota impor yang didefinisikan sebagai pembatasan

a) Absolute atau unilateral kuota adalah kuota yang besar/kecilnya ditentukan sendiri sendiri oleh suatu negara tanpa persetujuan dengan negara lain. Kuota semacam ini sering menimbulkan tindakan balasan oleh negara lain.

b) Negotiated atau bilateral kuota adalah kuota yang besar/kecilnya

ditentukan berdasarkan perjanjian antara 2 negara atau lebih.

c) Tarif kuota adalah gabungan antara tarif dan kuota. Untuk sejumlah tertentu barang yang diizinkan masuk (impor) dengan tarif tertentu, tambahan impor masih diizinkan tetapi dikenakan tarif yang lebih tinggi.