PERUBAHAN KEPEMILIKAN PERUSAHAAN GULA MANGKUNEGARAN TAHUN 1946-1952

OLEH : WAHYUNINGSIH K4406045 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

PERUBAHAN KEPEMILIKAN PERUSAHAAN GULA MANGKUNEGARAN

TAHUN 1946-1952

OLEH : WAHYUNINGSIH K4406045

Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan

gelar sarjana pendidikan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Djono, M.Pd Drs. Hermanu Yubagyo, M.Pd NIP. 19630702 199003 1 005 NIP. 19560303 198603 1 001

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada Hari : Tanggal :

Tim Penguji Skripsi Nama Terang Tanda Tangan Ketua : Dra. Sri Wahyuni, M.Pd 1....................... Sekretaris : Dra. Sutiyah, M.Pd 2...................... Anggota I : Drs. Djono, M.Pd 3........................ Anggota II : Drs. Hermanu Yubagyo, M.Pd 4......................

Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,

Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd NIP.19600727 198702 1 001

ABSTRAK

Wahyuningsih. PERUBAHAN KEPEMILIKAN PERUSAHAAN GULA

MANGKUNEGARAN TAHUN 1946-1952. Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Maret 2010.

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) latar belakang berdirinya perusahaan gula Mangkunegaran, (2) proses perubahan status kepemilikan dari perusahaan gula Mangkunegaran pasca Kemerdekaan Republik Indonesia, (3) pengaruh pengambilalihan perusahaan gula Mangkunegran terhadap perubahan ekonomi “praja” dan pegawai perusahaan gula Mangkunegaran.

Sejalan dengan tujuan di atas, maka penelitian ini menggunakan metode historis. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau, kemudian merekonstruksikan berdasarkan data yang diperoleh sehingga dapat menghasilkan historiografi. Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer maupun sumber data sekunder. Sumber data berupa arsip-arsip tentang perusahaan gula Mangkunegaran dan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan proses pengambilalihan perusahaan gula yang diantaranya meliputi; PP No. 16/ S.D tahun 1946, PP. No. 3 dan 4 tahun 1946, dan PP. No. 9

tahun 1947. Sumber tertulis sekunder berupa buku-buku yang mempunyai relevansi dengan masalah penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka dan wawancara. Studi pustaka yaitu memperoleh data dengan cara membaca literatur, surat kabar, dokumen atau arsip yang tersimpan dalam perpustakan. Wawancara ditujukan kepada para abdi dalem Mangkunegaran dan pegawai perusahaan gula Mangkunegaran.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) Berdirinya perusahaan gula Mangkunegaran terjadi setelah diterapkannya Undang-Undang Agraria tahun 1870-an untuk berkembangnya usaha penanaman tebu. Selain itu didukung oleh adanya kondisi geografis yang baik dan adanya usaha KPAA Mangkunegara IV untuk mendirikan perusahaan gula Colomadu dan perusahaan gula Tasikmadu, (2) Proses perubahan status kepemilikan dari perusahaan gula Mangkunegaran pasca kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan melalui kebijakan pengambilalihan perusahaan-perusahaan perkebunan

Mangkunegaran oleh pemerintah, dan (3) Pengambilalihan perusahaan gula Mangkunegaran berpengaruh besar pada aspek ekonomi “praja”. Pengaruh lainnya terhadap kehidupan ekonomi pegawai perusahaan gula Mangkunegaran, yang ditandai dengan adanya perubahan harga sewa tanah yang naik dan adanya perubahan pegawai Belanda ke dalam tenaga kerja dari golongan bumiputera.

Dari kesimpulan di atas maka muncul implikasi, yaitu: (1) Perubahan status kepemilikan perusahaan perkebunan merupakan bagian dari adanya perubahan sosial dalam sistem perkebunan yang terjadi karena kebijakan ekonomi pemerintah RI pasca kemerdekaan. Hal ini berdasarkan UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3, (2) Perubahan status kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran (Tasikmadu dan Colomadu) yang berlangsung tahun 1946-1952 membawa pengaruh yang besar terhadap Mangkunegaran terutama dalam aspek ekonomi. Di sisi lain adanya perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran membawa dampak yang positif bagi pegawai perusahaan gula bumiputera untuk menggantikan posisi para pegawai Belanda.

ABSTRACT

Wahyuningsih. THE OWNERSHIP CHANGING OF MANGKUNEGARAN’ S SUGAR FACTORY IN 1946-1952. Skripsi, Surakarta: Faculty of Education and

Teachers Training, Sebelas Maret University, March 2010.

The aims of this research are to describe: (1) the background of the building of Mangkunegaran’ s sugar factory, (2) the changing process of ownership status

Mangkunegaran’ s sugar factory post Indonesia Independence Day, (3) the influece of take over Mangkunegaran’ s sugar factory to the economic life of “praja” and staffs

sugar factory. Along with the aims, this research to use historical method. Historical method is the process of testing and analyzing critically of the record and inheritance of the past and reconstructed to historiography. The source of data used primary and secondary data is archives of Mangkunegaran sugar factory and the regulation related to the taking over of the sugar factory; PP No. 16/S.D 1946, PP. No. 3 and 4 1946, PP. No. 9 1947. The secondary data source is the books that relevance with the problem of the research. The technique of collecting data is literary study and interview. The literary study is review of literatures, newspapers, documents or archives. Interview was done to the internal staffs of Mangkunegaran and the staffs

that worked to Mangkunegaran’ s sugar factory. Based on the result of the research was conclude that: (1) The building of

Mangkunegaran’ s sugar factory was happened after the implementation of the growth of plantation and Agrarische Wet 1870’ s , besides supported by geographical

condition and efforts of KPAA Mangkunegara IV to built Colomadu and Tasikmadu sugar factory, (2) The changing process of ownership status Mangkunegaran’ s sugar

factory post RI independence day was marked by taking over the farming factory of Mangkunegaran by the Government, (3) The taking over of Mangkunegaran’ s sugar

factory was influence very important to the economic life of “praja” and staffs sugar factory, it can be seen the changing of land rent price is increasing and the alteration of Dutch workers to the internal worker.

From the above conclusion, there are implication which can be stated as: (1) The status changing of the ownership of farming factory is a part of the social changing in the farming system that had happened because of Indonesian Republics government policy in post independence day. This is based to the UUD 1945 chapter

33 verse 2 and 3, (2) the status changing of sugar factory that last in 1946-1952 gave large influence especially in economic aspects. In the other side, this gave positive influence to the staffs of the sugar factory to replace the Dutch staffs.

MOTTO

”Pabrik iki openono, senajan ora nyugihi, nanging nguripi, kinaryo papan pangupo jiwone kawulo dasih” (Pabrik ini peliharalah, meskipun tidak membuat kaya, tapi

menghidupi, memberikan perlindungan, menjadi jiwa rakyat kecil )

(Mangkunegoro IV)

Bila kita belajar sejarah hanya sebatas hafalan dan nilai bagus saja, maka tidak akan ada gunanya, tetapi bila kita ditanamkan rasa cinta kepada tanah air, maka makna belajar sejarah akan mempengaruhi seluruh karya kita karena berkarya bukan sekedar dengan pikiran, tetapi dengan rasa yang menciptakan keunikan dan kreatifitas.

(Wahyu Sanjaya)

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada: v Ayah dan Ibuku tercinta, terima kasih atas

do’a dan dukungannya, v Adikku Wuri Indri Astuti tersayang,

v My True Love, v Mr. Mitshubishi S. terima kasih atas

dukungan dan motivasinya, v Sahabat-sahabatku Bunda Herlina, Siti,

Nining, Ima, Aris dan teman sejarah ’06, v Keluarga besar Program Pendidikan Sejarah,

v Teman-temanku di Lembaga Pendidikan SA v My Bos dan teman di PT Uniflex Hyundai

International Industrial Estate Cikarang, v Almamaterku.

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Banyak hambatan yang penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akirnya kesulitan- kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui atas permohonan skripsi ini.

3. Ketua Program Pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. Djono, M.Pd selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Drs. Hermanu Yubagyo, M.Pd selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu tercinta yang telah memberikan do’a dan segala dukungan.

7. K.R.T Soemarso Pontjosoetjitro dan segenap karyawan perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran atas dukungan dan kemudahan dalam penelitian ini.

8. Ir. H. Soeroto H.S atas dukungan dan kemudahan dalam penelitian ini.

9. Pihak PTPN IX yang telah berkenan memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan penelitian di PG.Tasikmadu-Colomadu, dan Museum Gula Jawa Tengah di PG.Gondang Baru Klaten.

10. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna penyempurnaan skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

Surakarta, Januari 2010 Penulis

BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan……………............................................................... 78

B. Implikasi……............................................................................... 80

C. Saran…..……............................................................................... 81

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 83 LAMPIRAN .....................................................................................................

87

DAFTAR ISTILAH

Singkatan

BHM : Bewindvoeder over Het Mangkoenegorosche (penguasa Mangkunegaran) BPPGN : Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara DMKM : Dana Milik Kekayaan Mangkunegaran (Fonds van Eigendomman van het

Mangkoenegorosche Rijk’s ) GG : Gouverner General (Gurbenur Jenderal) HMH : Hoofd van Mangkoenegoroshe Huis (Kepala trah Mangkunegaran) K.P.A.A : Kanjeng Pangeran Aryo Adipati MN : Mangkunegaran (nama praja) NIS : Netherlands Indishe Strootraam (Perkeretapian Swasta Hindia Belanda) PNP : Perusahaan Nasional Perkebunan (Lands Landbouw Bedrijven) PNS : Perusahaan Nasional Surakarta PP : Peraturan Pemerintah PPN : Perusahaan Perkebunan Negara PPRI : Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia SHS : Superior High Sugar ( Gula kelas nomer satu atau tertinggi) SS : Staats-Spoorwegen (Kereta Api Milik Pemerintah Belanda) SKK : Saibai Kigyo Kanrikodan (Badan Perusahaan Perkebunan) VOC : Vereenigde Oost Indische Compagnie (Persekutuan Dagang/ Perusahaan

Hindia Timur Belanda).

Glosari (Arti Istilah)

Absolute

: mutlak

Acte van verband

: perjanjian yang mengikat

Administratur : pengurus administrasi, manajer utama dari pabrik gula. Afdeling

: wilayah administrasi Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia yang berada di bawah Karesidenan Algemene begroting

: anggaran umum

Apanage : tanah lungguh yang diberikan kepada para bangsawan dan

pejabat kerajaan sebagai gaji.

Beslit

: surat keputusan

Bahu

: ukuran luas sama dengan ¾ hektar

Bekel : petani penghubung antara pemilik atau penguasa tanah

dengan petani penggarap

Cikar

: andong.

Comissie van Beheer : Komisi Pengawas Dubbel besture

: pemerintahan ganda

Erfpacht

: sewa tanah secara turun-temurun

Eigendomman

: kekayaan milik pribadi: dana milik

Employe

: pegawai kantor

Gratificatte

: gratifikasi; penggolongan kerja.

Gurbernemen : Pemerintah Kolonial Belanda (setingkat Provinsi) Gunseikan

: Kepala Pemerintahan Militer Jepang.

Hofd Suiker (HS)

: gula murni

Instalasi Carbonatie : pemasangan karbonasi Jung 2 : satuan luas sekitar 4 bahu atau 28,386 m

Kapitalisme : sistem (paham) yang modalnya bersumber dari modal pribadi/ perusahaan swasta dengan ciri persaingan pasar bebas. Kuli kenceng

: petani penggarap dengan pengusaan tanah minimal seluas 0,5 : petani penggarap dengan pengusaan tanah minimal seluas 0,5

: korps tentara milik kerajaan (praja) Mangkunegaran. Matschappij

: perkumpulan dagang perseroan

Praja Kejawen

: kerajaan Jawa; wilayah kerajaan Jawa

Priayi

: kerabat atau keluarga raja; bangsawan

Reorganisasi

: pengorganisasian kembali; pembaharuan.

Sereh : jenis hama yang menyerang tanaman tebu. Sinder

: pengawas perkebunan tebu.

Superitenden : pimpinan administrasi yang mengatur suatu badan usaha milik

seseorang atau badan

Swapraja : pemerintahan yang berdiri sendiri (kerajaan) Togyo Rengokai

: Persatuan Perusahaan Gula (masa Jepang). Tripple Effect

: akibat yang berlibat tiga

Wachtgelder : pegawai yang dibebas-tugaskan dan menerima tunjangan. Zelfbestuurgelen

: peraturan pemerintah Mangkunegaran

Mangkunegaran

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Nama-nama Perusahaan Gula di Surakarta Perdistrik tahun 1863 Tabel 2. Ikhtisar tentang para apanage dari anggota kraton tahun 1871 Tabel 3. Produksi gula Pabrik Colomadu 1884-1889 Tabel 4. Produksi pabrik gula Tasikmadu 1884-1889 Tabel 5. Luas lahan tanaman tebu dan banyaknya tebu hasil pembelian dari pabrik

gula Tasikmadu 1911-1917 Tabel 6. Luas Lahan Tebu Colomadu tahun 1904 Tabel 7. Keuntungan pabrik gula Mangkunegaran tahun 1899-1917 Tabel 8. Luas lahan tanaman tebu pabrik gula Mangkunegaran pasca krisis

ekonomi dunia 1930-an Tabel 9. Produksi Gula PG. Tasikmadu masa pendudukan Jepang Tabel 10. Perusahaan gula Mangkunegaran tahun 1945/1946 Tabel 11. Pengeluaran P.G Tasikmadu dan P.G Colomadu tahun 1945 Tabel 12. Nilaian pengeluaran tahun tebang 1946/ 1947 di PG. Tasikmadu Tabel 13. Mangkunegaransche Eigendommenfonds yang dikuasai PPRI tahun 1947 Tabel 14. Daftar Gaji Pegawai P.G. Colo Madu Bulan Maret 1947 Tabel 15. Jabatan Perusahaan Gula sebelum kemerdekaan RI (1930-an) Tabel 16. Jabatan di PG. Tasikmadu berdasarkan Gratifikasi tahun 1942-1952

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Surakarta dan Jogyakarta merupakan bagian dari wilayah Jawa Tengah yang di sebut sebagai Vorstenlanden, yang berarti ”tanah raja-raja” atau ”daerah kerajaan Jawa”. Vorstenlanden merupakan daerah otonom yang tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, dengan pemerintahan yang dibagi dalam dua karesidenan yakni karesidenan Surakarta dan Jogyakarta. Karesidenan Surakarta dibagi dalam dua wilayah yaitu Kasunanan Surakarta milik Susuhunan (Yang Disanjung) dan Mangkunegaran merupakan wilayah Adipati Mangkunegoro (Ribaan Negara). Kedua penguasa ini mempunyai istana di Surakarta (Larson, 1900 :1).

Mangkunegaran mengacu pada dua konsep, yakni unit pemerintahan dan wilayah. Sebagai unit pemerintahan, yang dimaksud dengan Mangkunegaran adalah sebutan bagi sebuah praja atau kerajaan kecil atau kadipaten besar yang didirikan oleh Raden Mas Said yang kemudian bergelar Mangkuneggara I setelah perjanjian Salatiga 1757. Sebagai unit wilayah, Mangkunegaran terdiri dari kota praja dan daerah diluarnya yang sebagian besar terdiri dari daerah pedesaan. Kota praja merupakan pusat pemerintahan yang berlokasi di Kota Surakarta bagian utara. Daerah pedesaan berlokasi di selatan Kota Surakarta yang sekarang menjadi Kabupaten Wonogiri dan sebagian lainnya di sebelah timur kota Surakarta yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Karanganyar (Wasino, 2008 : 11).

Daerah Mangkunegaran merupakan bagian dari wilayah Vorstenlanden yang mengalami proses kapitalisasi, yakni dengan masuknya modal (capital) pengusaha Belanda untuk usaha perkebunan yang menghasilkan keuntungan besar. Kondisi ini ditandai dengan berkembangnya berbagai perusahaan perkebunan, misalnya perkebunan kopi, gula, teh, indigo, dan kina (H.R.Soetono, 2000 : 2). Penanaman berbagai jenis tanaman perdagangan ini baru terjadi sejak diterapkannya Sistem

Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Jawa tahun 1830-an. Sistem Tanam Paksa sebagai kebijakan ekonomi kolonial Belanda di Jawa abad ke 19 ini tidak berlaku di daerah Vorstenlanden , karena telah berlakunya sistem apanage (tanah lungguh) di wilayah Vosrtenlanden, khususnya di daerah Mangkunegaran.

Perkebunan tebu mulai berkembang di Jawa pada pertengahan abad XIX yang meliputi daerah kerajaan Yogyakarta dan Surakarta. Pada tahun 1859 sudah berkembang perusahaan perkebunan swasta Barat untuk penanaman tebu di kedua kerajaan, khususnya di Surakarta. Pengusaha Eropa mendukung berkembangnya perusahaan perkebunan tebu dengan menanamkan modalnya ke daerah itu untuk menghasilkan keuntungan yang besar. Hal ini ditandai dengan adanya 44 perusahaan yang bergerak dalam bidang penanaman tebu dari total 138 perusahaan Eropa di Solo pada tahun 1862, sedangkan pada tahun 1863 di Surakarta terdapat sedikitnya 46 pabrik gula. Dengan demikian 31% perusahaan Eropa di Surakarta bergerak dalam usaha perkebunan tebu (Vincent.J.H.Houbben, 2002 : hal 585-587).

Sistem Tanam Paksa berakhir secara resmi tahun 1870-an dan digantikan dengan sistem ”Politik Pintu Terbuka”, sehingga banyak pengusaha Belanda yang menanamkan modalnya di Jawa untuk usaha perkebunan tebu. Pelaku usaha bergeser dari pemerintah kolonial ke pengusaha swasta. Modal yang ditanamkan oleh pengusaha Belanda diinvestasikan dalam jumlah yang besar untuk usaha perkebunan tebu di Jawa, misalnya di daerah Mangkunegaran (Wasino, 2008 : 2). Dengan demikian, perusahaan perkebunan menjadi berkembang luas di Mangkunegaran pada masa”Politik Pintu Terbuka” setelah tahun 1870-an, karena pemerintah kolonial Belanda memberi kesempatan kepada pihak swasta dalam kebebasan untuk mendirikan usaha khususnya di bidang perkebunan tebu.

Perkebunan Mangkunegaran yang terkenal mulai dibuka, bahkan membawa pengaruh yang besar terutama bagi keuangan kerajaan (kemudian negara). Sistem Tanam Paksa di tanah-tanah pemerintah yang terjadi pada masa itu telah mendatangkan banyak laba, sedangkan kebijakan sistem sewa tanah lungguh yang Perkebunan Mangkunegaran yang terkenal mulai dibuka, bahkan membawa pengaruh yang besar terutama bagi keuangan kerajaan (kemudian negara). Sistem Tanam Paksa di tanah-tanah pemerintah yang terjadi pada masa itu telah mendatangkan banyak laba, sedangkan kebijakan sistem sewa tanah lungguh yang

Pada masa Mangkunegoro VII (1916-1944) dilakukan pemisahan keuangan praja dengan keuangan perusahaan. Perusahaan yang khususnya dalam industri gula, ketika itu berada di bawah suatu badan dengan nama Fonds van Eigendommen van het Mangkoenegorosche Rijk’s (Dana Milik Praja Mangkunegaran). Badan ini berada di bawah pengelolaan Comissie van Beheer Fonds van Eigendommen van het Mangkoenegorosche Rijk’s (Komisi Pengelola Dana Milik Praja Magkunegaran). Komisi terdiri dari kepala trah Mangkunegaran sebagai ketua komisi, superitenden (pimpinan administrasi yang mengatur suatu badan usaha) yang berasal dari bangsa Eropa atas persetujuan gurbenur jenderal, dan pegawai pamong praja Belanda yang ditunjuk residen. Kegiatan sehari-hari dari komisi ini dikelola oleh superitenden (Wasino, 2008: 78). Keadaan berubah saat pengelolaan perusahaan gula Mangkunegaran ini akhirnya beralih ke tangan pemerintah sebagai akibat perubahan sosial politik pasca kemerdekaan.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia sebagai tanda revolusi nasional yang total dengan meliputi seluruh wilayah Indonesia, khususnya di daerah Surakarta. Berhubung dengan kekacauan sebagai akibat dari berakhirnya pemerintahan Jepang dan di keluarkannya proklamasi itu, telah menunjukkan bahwa pemerintahan swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran tidak berdaya menghadapi dan mengatasi segala kesulitan. Mengenai status Swapraja

Kasunanan dan Mangkunegaran diatur dalam Peraturan Pemerintah 15 Juli 1946 No.16 untuk di jadikan sebagai satu karesidenan Surakarta (Arsip No. 464 MN, hal 4). Selain pengaturan sruktur kewilayahan itu pemerintah juga berusaha memulihkan perekonomian negara, sebagai contohnya adalah masalah ekonomi yang menyangkut perusahaan perkebunan.

Perekonomian pasca berakhirnya pendudukan Jepang dalam kondisi kacau dan tidak menentu, sehingga bangsa Indonesia sebagai bangsa yang telah merdeka harus membangun dan memulihkan perekonomian nasional. Langkah yang diambil pemerintah setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, yakni dengan menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 dan membentuk struktur pemerintahan. Pengakuan kemerdekaan akhirnya diperoleh bangsa Indonesia, tetapi tidak berarti perjuangan telah selesai dan berbagai masalah telah diselesaikan, terutama masalah yang menyangkut bidang ekonomi. Sejumlah persoalan kesehjateraan, perbaikan keadaan dan penciptaan struktur ekonomi nasional merupakan permasalahan negara yang penting untuk segera diatasi dan dipulihkan bagi kepentingan nasional (Leireza,R.Z.dkk.1996 : 92-95). Pemerintah menerapkan perekonomian yang sesuai dengan kepentingan rakyat atau hajat hidup orang banyak. Pemikiran membangun suatu perekonomian nasional muncul kembali dan menempati agenda utama kabinet pemerintahan, dengan mendasarkan pada :

pasal 33 UUD 1945 ayat 2)” Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak di kuasai oleh negara, 3) Bumi, air dan kekayaaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”

Pemerintah berhak atas pengelolaaan kekayaaan negara yang menguasai kepentingan rakyat secara umum. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam membangun perekonomian pasca kemerdekaan, salah satunya melalui kebijakan dalam mendirikan Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia dengan berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1947. Badan Pemerintah tersebut menguasai Pemerintah berhak atas pengelolaaan kekayaaan negara yang menguasai kepentingan rakyat secara umum. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam membangun perekonomian pasca kemerdekaan, salah satunya melalui kebijakan dalam mendirikan Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia dengan berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1947. Badan Pemerintah tersebut menguasai

Perlu di ketahui bahwa kajian ini tidak akan mengupas secara menyeluruh setiap perusahaan perkebunan yang dikelola oleh pemerintah dalam Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia tersebut, melainkan akan dibatasi pada salah satu saja yakni perusahaan yang dimiliki Mangkunegaran, khususnya perusahaan gula. Hal ini terkait dengan suatu pandangan bahwa kajian yang dilakukan hanya bersifat mikro atau spesifik secara terbatas. Dengan demikian, diharapkan melalui kajian mikro itu akan dapat mengungkapkan dimensi perusahaan gula Mangkunegaran, khususnya pada masa terjadinya perubahan kepemilikan perusahaan gula tersebut dari pengelolaan Mangkunegaran yang beralih di bawah pengelolaan pemerintah RI.

Perusahaan gula Mangkunegaran telah diambil alih pemerintah, yakni pabrik gula Colomadu dan pabrik gula Tasikmadu untuk di kelola oleh Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI). Pada masa pemerintahan Mangkunegara

VIII tepatnya tahun 1952, perusahaan gula Mangkunegaran yang sebelumnya di kelola oleh Dana Milik Mangkunegaran telah dinasionalisasi oleh pemerintah Republik Indonesia (Tempo, 12 September 1987: hal 29). Pengelolaan perusahaan gula Mangkunegaran yang diambilalih oleh pemerintah pada awalnya dikelola oleh BPPGN (Badan Pengelola Perusahaan Gula Negara) dan PNS (Perusahaan Nasional Surakarta), kemudian dilebur ke dalam PPRI (Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia).

Pengelolaaan perusahaan gula Mangkunegaran sebelumnya dikelola oleh Dana Milik Mangkunegaran, setelah adanya kebijakan pemerintah beralih ke dalam pengelolaan pemerintah pusat melalui Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia. Status kepemilikan perusahaan gula juga berubah, yang awalnya milik praja Mangkunegaran kemudian menjadi milik pemerintah pusat (nasional). Keputusan Pengelolaaan perusahaan gula Mangkunegaran sebelumnya dikelola oleh Dana Milik Mangkunegaran, setelah adanya kebijakan pemerintah beralih ke dalam pengelolaan pemerintah pusat melalui Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia. Status kepemilikan perusahaan gula juga berubah, yang awalnya milik praja Mangkunegaran kemudian menjadi milik pemerintah pusat (nasional). Keputusan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti secara lebih mendalam serta mengangkatnya dalam sebuah skripsi yang berjudul

PERUSAHAAN GULA MANGKUNEGARAN TAHUN 1946-1952”

”PERUBAHAN

KEPEMILIKAN

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah ini berguna untuk mempermudah dalam melaksanakan penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain :

1. Mengapa KPAA Mangkunegoro IV mendirikan perusahaan gula ?

2. Bagaimana proses perubahan status kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ?

3. Bagaimana pengaruh pengambilalihan perusahaan gula terhadap perubahan kehidupan ekonomi ”praja” dan pegawai perusahaan gula Mangkunegaran?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan jawaban atas masalah yang telah di rumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan :

1. Latar Belakang KPAA Mangkunegoro IV mendirikan perusahaan gula.

2. Proses perubahan status kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

3. Pengaruh pengambilalihan perusahaan gula terhadap perubahan kehidupan ekonomi ”praja” dan pegawai perusahaan gula Mangkunegaran.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan adalah manfaat penelitian secara teoritis dan manfaat penelitian secara praktis.

1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat untuk :

a. Menambah pengetahuan dan wawasan ilmiah tentang kebijakan ekonomi pemerintah pasca kemerdekaan, khususnya tentang perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran tahun 1946-1952.

b. Menambah khasanah pustaka dan kajian mengenai industri perusahaan gula Mangkunegaran, khususnya pada saat dinasionalisasi tahun 1946-1952.

c. Bahan masukan kepada pembaca untuk digunakan sebagai wacana dan sumber data dalam bidang sejarah, khususnya sejarah lokal.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

a. Menambah khasanah penelitian pada Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

b. Menambah kajian penelitian sejarah lokal di Surakarta mengenai industri perusahaan gula Mangkunegaran pasca kemerdekaan.

c. Dapat memberikan informasi tentang proses perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran tahun 1946-1952 yang berpengaruh bagi kehidupan ekonomi ”praja” dan pegawai perusahaan.

BAB II KAJIAN TEORITIK

A. Tinjauan Pustaka

1.Perubahan Sosial dalam Sistem Perkebunan

a. Sistem Perkebunan

Sistem perkebunan di Indonesia diperkenalkan lewat kolonialisme Barat, dalam hal ini kolonialisme Belanda. Sejarah perkembangan perkebunan sebagai ekonomi yang menonjol sangat ditentukan oleh politik kolonial yang dijalankan pemerintah Belanda (Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991:22). Perkebunan pada awal perkembangannya hadir sebagai sistem perekonomian baru yang semula belum dikenal, yaitu sistem perekonomian pertanian komersial yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial. Sistem perkebunan pemerintah kolonial atau yang didirikan oleh pengusaha Belanda pada dasarnya merupakan sistem perkebunan Eropa. Pada masa pra-kolonial di Indonesia, struktur ekonomi tradisional usaha kebun merupakan usaha tambahan atau pelengkap kegiatan kehidupan pertanian pokok yang menghasilkan bahan pangan.

Sistem perkebunan merupakan bagian dari sistem perekonomian pertanian yang bersifat komersial dan kapitalistik untuk komoditi ekspor di pasaran dunia. Sistem perkebunan sebagai bagian dari kegiatan sektor perekonomian modern, berbeda dari sistem pertanian tradisional masyarakat agraris yang masih subsisten dan pra-kapitalistik (pra-industrial), bentuk usaha kecil, tidak padat modal, penggunaan lahan terbatas, sumber tenaga kerja berpusat pada anggota keluarga dan kurang berorientasi pada kebutuhan pasar. Selanjutnya Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo (1991: 4) mengemukakan bahwa:

Sistem perkebunan diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian berskala besar dan kompleks, bersifat padat modal (capital intensive), penggunaan areal pertanahan luas, organisasi tenaga kerja upahan (wage labour), struktur hubungan kerja yang rapi, dan penggunaan teknologi modern, spesialisasi, sistem administrasi dan birokrasi, serta penanaman tanaman komersial (comersial crops) yang ditujukan untuk komoditi ekspor di pasaran dunia.

Menurut William J.O. Malley (1988: 198), ”Perkebunan sebagai suatu komponen yang terdiri atas tanah, pekerja, modal, teknologi, organisasi dan skala tujuan”. Lebih lanjut J.O’ Malley menyebutkan bahwa:

Di dalam sistem perkebunan, semua faktor ini mungkin saja berbeda-beda, baik sepanjang masa maupun pada kurun waktu tertentu. Lahan perkebunan misalnya, dapat disewa selama jangka waktu panjang dari pemerintah, dari kesatuan-kesatuan pemerintah lokal yang mandiri, atau dari pihak lain yang berhak atas lahan tersebut.

Sistem perkebunan mempunyai dua sisi yang berbeda, di satu pihak bagaimana perkebunan itu mengelola manajemen perkebunan agar memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, sedangkan di sisi lain dominasi perkebunan mendesak perekonomian tradisional yang merupakan penunjang kehidupan petani. Efisiensi manajemen merupakan kunci keberhasilan perkebunan menyangkut perluasan areal, produksi dan eksport (Suhartono, 1995: 61). Dengan demikian, sistem perkebunan masa Belanda bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang Sistem perkebunan mempunyai dua sisi yang berbeda, di satu pihak bagaimana perkebunan itu mengelola manajemen perkebunan agar memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, sedangkan di sisi lain dominasi perkebunan mendesak perekonomian tradisional yang merupakan penunjang kehidupan petani. Efisiensi manajemen merupakan kunci keberhasilan perkebunan menyangkut perluasan areal, produksi dan eksport (Suhartono, 1995: 61). Dengan demikian, sistem perkebunan masa Belanda bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang

Sistem perkebunan Belanda dengan sifatnya yang komersial dan kapitalistik ini, salah satunya terlihat dalam perusahaan perkebunan tebu milik praja Mangkunegaran. H.R Soetono (2002: 2) menjelaskan bahwa:

Daerah Mangkunegaran merupakan bagian dari wilayah Vorstenlanden yang mengalami proses kapitalisasi, yakni dengan masuknya modal (capital) pengusaha Belanda untuk usaha perkebunan yang menghasilkan keuntungan besar. Kondisi ini ditandai dengan berkembangnya berbagai perusahaan perkebunan, misalnya perkebunan kopi, gula, teh, indigo, dan kina

Penanaman berbagai jenis tanaman perdagangan ini berlangsung sejak diterapkannya Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Jawa tahun 1830-an. Sistem Tanam Paksa sebagai kebijakan ekonomi kolonial Belanda di Jawa abad ke-19 ini tidak berlaku di daerah Vorstenlanden, karena telah berlakunya sistem apanage (tanah lungguh), khususnya di daerah Mangkunegaran. Sistem Tanam Paksa berakhir secara resmi tahun 1870-an dan digantikan dengan sistem ”Politik Pintu Terbuka”, sehingga banyak pengusaha Belanda yang menanamkan modalnya di Jawa untuk usaha perkebunan tebu. Pelaku usaha bergeser dari pemerintah kolonial ke pengusaha swasta. Modal yang ditanamkan oleh pengusaha Belanda diinvestasikan dalam jumlah yang besar untuk usaha perkebunan tebu di Jawa, khususnya daerah Mangkunegaran (Wasino, 2008: 2).

Perubahan sistem ekonomi Belanda dari Sistem Tanam Paksa ke arah ”Politik Pintu Terbuka” menyebabkan masuknya modal swasta Belanda untuk usaha perkebunan di Mangkunegaran pada pertengahan abad XIX. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh KPAA Mangkunegara IV untuk membangun industri gula Mangkunegaran, yakni pabrik gula di Colomadu (1861) dan pabrik gula di Tasikmadu (1871) untuk memperoleh keuntungan yang besar. Industri gula Mangkunegaran disebut sebagai Kapitalisme Priayi, karena pemilik dan pelaku usaha berasal dari kalangan aristokrat. Dalam sistem produksi dan manajemen perusahaan Perubahan sistem ekonomi Belanda dari Sistem Tanam Paksa ke arah ”Politik Pintu Terbuka” menyebabkan masuknya modal swasta Belanda untuk usaha perkebunan di Mangkunegaran pada pertengahan abad XIX. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh KPAA Mangkunegara IV untuk membangun industri gula Mangkunegaran, yakni pabrik gula di Colomadu (1861) dan pabrik gula di Tasikmadu (1871) untuk memperoleh keuntungan yang besar. Industri gula Mangkunegaran disebut sebagai Kapitalisme Priayi, karena pemilik dan pelaku usaha berasal dari kalangan aristokrat. Dalam sistem produksi dan manajemen perusahaan

Sistem perkebunan yang semula bersifat kapitalistik untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya mengalami perubahan setelah kemerdekaan bangsa Indonesia. Alasannya, pemerintah berusaha memisahkan perkebunan swasta Barat dengan perkebunan pemerintah. Langkah yang ditempuh pemerintah dengan mengeluarkan PP. No. 9 tahun 1947 tentang PPRI, salah satunya mengenai pengelolaan perusahaan perkebunan Mangkunegaran

b. Perusahaan Perkebunan

Perusahaan adalah sebuah organisasi atau lembaga yang mengubah keahlian dan material (sumber ekonomi) menjadi barang atau jasa untuk memuaskan kebutuhan para pembeli, serta diharapkan akan memperoleh laba bagi para pemilik usaha tersebut (Irawan dan Basu Swastha, 1992: 5). Heidirachman yang dikutip oleh Lestariningsih dan Suryatmojo (1996: 2) memberikan definisi perusahaan adalah suatu lembaga yang diorganisasi dan dijalankan untuk masyarakat dengan motif mendapatkan keuntungan.

Faisal Affif (1994: 1) menjelaskan tentang perusahaan dilihat dari sudut pandang ekonomi diartikan sebagai suatu komunikasi alat-alat produksi dengan tujuan untuk mewujudkan sebagian dari pemuas kebutuhan masyarakat. Hal ini disebut sebagai satuan teknis-ekonomis karena menyangkut sekumpulan alat-alat produksi material (dapat diamati secara fisik), dan disebut ekonomi karena kombinasi tersebut terjadi secara rasional (dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomis). Dengan istilah lain, perusahaan dalam arti ekonomis dapat diartikan sebagai suatu organisasi dengan segala usaha untuk mencapai suatu tujuan yang diusahakan agar Faisal Affif (1994: 1) menjelaskan tentang perusahaan dilihat dari sudut pandang ekonomi diartikan sebagai suatu komunikasi alat-alat produksi dengan tujuan untuk mewujudkan sebagian dari pemuas kebutuhan masyarakat. Hal ini disebut sebagai satuan teknis-ekonomis karena menyangkut sekumpulan alat-alat produksi material (dapat diamati secara fisik), dan disebut ekonomi karena kombinasi tersebut terjadi secara rasional (dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomis). Dengan istilah lain, perusahaan dalam arti ekonomis dapat diartikan sebagai suatu organisasi dengan segala usaha untuk mencapai suatu tujuan yang diusahakan agar

Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan perusahaan adalah suatu organisasi yang mengolah sumber ekonomi menjadi barang dan jasa untuk memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh laba atau keuntungan yang sebesar-besarnya dari proses produksi yang dilakukan

Masalah pemilihan bentuk jenis perusahaan harus ditetapkan pada saat perusahaan akan didirikan atau awal menjalakan usahanya itu. Pemilihan jenis perusahaan tentunya berdasarkan pertimbangan dan tujuan yang akan dicapai. Pertimbangan suatu bentuk perusahaan juga tergantung pada kepemilikan modal. Dalam hal ini bentuk perusahaan atau badan usaha ditinjau dari kepemilikan modalnya, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: (1) Perusahaan atau badan usaha swasta, (2) Perusahaan atau badan usaha milik negara, (3) Perusahaan atau badan usaha milik koperasi. Dari ketiga golongan tersebut terdiri dari berbagai jenis perusahaan, yakni :

1) Perusahaan Perseorangan Usaha ini dimiliki, dikelola dan dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab penuh terhadap semua resiko dan aktifitas perusahaan. Modal perusahaan berasal dari modal (dana) milik pribadi.

2) Firma (Fa) Firma merupakan persekutuan dua orang atau lebih dengan nama bersama untuk menjalankan usaha, dimana tanggung jawab masing-masing anggota firma tidak terbatas, sedangkan yang akan diperoleh dari usaha tersebut akan dibagi bersama- sama, jika menderita kerugian juga akan dipikul bersama dari para penanam modal usaha. Dengan demikian modal Firma berasal dari beberapa penanam modal.

3) Perseroan Komanditer (CV)

Berdasarkan pasal 19 KUHD yang dimaksud dengan perseroan komanditer adalah suatu bentuk perjanjian kerjasama untuk berusaha bersama antara orang- orang yang bersedia memimpin, mengatur perusahaan serta bertanggungjawab penuh dengan kekayaan pribadinya, dengan orang yang memberikan pinjaman, tetapi tidak bersedia memimpin dan bertanggungjawab terbatas pada kekayaan yang dikutsertakan dalam perusahaan itu.

4) Perseroan Terbatas (PT) Perseroan terbatas adalah suatu persekutuan untuk menjalankan perusahaan yang mempunyaim modal usaha yang terbagi atas beberapa saham, diantara setiap sekutu turut mengambil bagian sebanyak satu atau lebih saham. Kekayaan perusahaan terpisah dari kekayaan pribadi setiap pemegang saham.

5) Perseroan Terbatas Negara (Persero) Perseroan sebelumnya adalah perusahaan negara. Terjadi perseroan karena perusahaan negara mengadakan penambahan modal yang ditawarkan pada pihak swasta untuk mengivestasikan modalnya.Dangan demikian dalam perseroan ada kesempatan bagi pihak swasta menanamkan modalnya.

6) Perusahaan Negara Umum (Perum) Tujuan dari Perum adalah mencari keuntungan, tetapi kesehjateraan masyarakat tidak boleh diabaikan. Dalam Impres RI No.17 28 Desember 1967 menyatakan bahwa kegiatan yang utama dalam Perum terutama ditujukan untuk melayani kepentingan umum menyangkut jasa-jasa yang vital (utama).

7) Perusahaan Negara Jawatan (Perjan) Kegiatan utama Perjan ditujukan terutama untuk pelayanan kepada masyarakat atau untuk kesehjateraan umum dengan memperhatikan segi efisiensinya. Perjan bisa memiliki fasilitas negara, sebab merupakan bagian dari Departemen Jenderal. Seluruh karyawannya berstatus pegawai negeri.

8) Perusahaan Daerah

Perusahaan daerah adalah perusahaan yang modalnya atau sahamnya dimiliki oleh pemerintah daerah, dimana kekayaan perusahaan dsipisahkan dari kekayaan negara. Tujuan dari perusahaan daerah ini adalah mencari keuntungan yang nantinya akan dipergunakan untuk membangun daerah.

9) Koperasi Koperasi merupakan suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan yang memberikan kebebasan masuk dan keluar sebagai anggota dengan bekerjasama secara kekeluargaan (kegotongroyongan), menjalankan usaha untuk mempertinggi kesehjateraan jasmani dari para anggotanya (Lestariningsih dan Suryatmojo, 1996: 7-16).

Setelah diuraikan mengenai perusahaan, maka perlu diuraikan mengenai perkebunan. Apabila mendengar kata perkebunan, maka imajinasi yang akan muncul dalam pikiran adalah suatu penanaman yang dilakukan dengan banyak tanaman dan bermacam-macam jenis. Secara specifik istilah perkebunan akan diuraikan lebih lanjut yang kemudian akan diambil suatu kesimpulan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 458), bahwa perkebunan berhubungan dengan hal berkebun, perusahaan yang mengusahakan kebun-kebun, dan tanah-tanah yang dijadikan kebun. Selanjutnya menurut Peter Salimdan Yenny Salim (1991: 680), Perkebunan berhubungan dengan ’hal yang berkenaan dengan kebun’ dan ’perusahaan kebun’. Dari dua pendapat diatas memiliki kesamaan pendapat bahwa perkebunan adalah sesuatu yang berhubungan dengan tanah, kebun dan perusahaan yang mengusahakannya. Pada konteks ini, perkebunan diartikan sebagai perusahaan yang mengusahakan kebun-kebun.

Dalam keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/kpts/OT.210/10/97, tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, dikatakan bahwa usaha perkebunan sebagai usaha untuk melakukan usaha budidaya dan atau usaha industri perkebunan dalam bentuk perkebunan rakyat yang diusahakan oleh perseoranagn di atas tanah hak milik atau hak guna dan perusahaan perkebunan yang dilakukan di atas lahan hak guna Dalam keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/kpts/OT.210/10/97, tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, dikatakan bahwa usaha perkebunan sebagai usaha untuk melakukan usaha budidaya dan atau usaha industri perkebunan dalam bentuk perkebunan rakyat yang diusahakan oleh perseoranagn di atas tanah hak milik atau hak guna dan perusahaan perkebunan yang dilakukan di atas lahan hak guna

Menurut William J.O Malley (1988: 198 ), “Perkebunan sebagai suatu komponen yang terdiri atas tanah, pekerja, modal, teknologi, skala, organisasi dan tujuan”. Dalam pengelolaan suatu perkebunan, terdapat berbagai unsur yang terlibat. Menurut Yayasan Agoekonomi (1983: 31), dalam suatu perkebunan terdapat unsur pemerintah, swasta dan rakyat yang bekerja sama dalam mengolah perkebunan untuk menghasilkan suatu hasil yang sama dan untuk memenuhi kebutuhan bersama.

Dari pendapat di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perkebunan adalah suatu sistem kerja dalam suatu kegiatan pertanian dimana terdiri dari berbagai komponen, yaitu pemerintah, swasta, rakyat, tanah, pekerja, modal, teknologi, organisasi dan tujuan yang saling berhubungan dan berinteraksi satu dengan yang lain guna mencapai suatu tujuan atau hasil bersama.

Perusahaan perkebunan yang dimaksud dalam kajian ini adalah perusahaan gula Mangkunegaran. Perusahaan ini diprakarsai dan di bangun oleh KPAA Mangkunegara IV, yakni pabrik gula Colomadu dan pabrik gula Tasikmadu. Kajian mengenai perusahaan gula Mangkunegaran ini difokuskan pada masalah perubahan kepemilikan perusahaan gula dari milik Mangkunegaran menjadi milik pemerintah setelah Proklamasi Kemerdekaan RI.

c. Macam-macam Perkebunan

Pada masa kolonial, diwilayah nusantara khususnya Jawa, banyak dibuka perkebunan-perkebunan oleh para pengusaha swasta Barat, terutama dari Belanda. Hal ini merupakan akibat dari dikeluarkannnya Undang-undang Agraria (Agarisch Wet ) pada tahun 1870. Menurut Sartono Kartodidjo dan Djoko Suryo (1991: 80) lebih lanjut mengatakan bahwa:

Undang-undang ini berisi ketentuan-ketentuan tentang tataguna tanah antara lain: (1) Tanah milik rakyat tidak dapat diperjualbelikan kepada non- pribumi, (2) Disamping itu tanah domain pemerintah sampai seluas 10 bau Undang-undang ini berisi ketentuan-ketentuan tentang tataguna tanah antara lain: (1) Tanah milik rakyat tidak dapat diperjualbelikan kepada non- pribumi, (2) Disamping itu tanah domain pemerintah sampai seluas 10 bau

Dengan diberlakukannya Undang-undang Agraria, satu alat produksi pokok ialah tanah telah diliberalisasikan, maka terbuka kesempatan seluas-luasnya untuk membuka perusahaan perkebunan. Macam-macam perkebunan yang dibuka di Jawa masa pemerintahan kolonial Belanda menurut William J.O Malley (1988) diantaranya adalah :

1. Perkebunan tebu yang menghasilkan gula sebagai komoditi yang sangat laku di pasaran dunia. Industri gula merupakan industri yang menguntungkan, terkemuka dan dalam beberapa segi merupakan industri teladan bahkan membantu terjadinya boom-ekspor dari tanam paksa mulai tahun 1830-an.

2. Perkebunan kopi yang dihasilkan berupa kopi sebagai barang dagangan yang menguntungkan pada Sistem Tanam Paksa. Kopi ditanam para petani bumiputera di Jawa atas paksaaan pemerintah Hindia-Belanda. Penanaman tersebar dari Banten, Karawang, Priangan, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Probolinggo, Banyuwangi dan Madiun.

3. Perkebunan Nila yang merupakan hasil tanaman yang sangat penting pada permulaaan masa Sistem Tanam Paksa, namun dalam perkembangannya, nila tidak begitu disukai oleh para pengusaha perkebunan Barat sehingga dihentikan penanamannnya.

Sektor Perkebunan merupakan tulang punggung perekonomian Belanda, sejak masa VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) sampai politik Etis di awal abad XX. Pada abad XIX perkebunan diusahakan secara besar-besaran oleh Belanda. Selama Sistem Tanam Paksa (1830-1870) pengelolaan perkebunan dilakukan menurut model VOC secara konservatif dengan sedikit perbedaan. Pada masa VOC pengelolaan perkebunan melalui aparat birokrasi tradisional pribumi. Selanjutnya Sektor Perkebunan merupakan tulang punggung perekonomian Belanda, sejak masa VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) sampai politik Etis di awal abad XX. Pada abad XIX perkebunan diusahakan secara besar-besaran oleh Belanda. Selama Sistem Tanam Paksa (1830-1870) pengelolaan perkebunan dilakukan menurut model VOC secara konservatif dengan sedikit perbedaan. Pada masa VOC pengelolaan perkebunan melalui aparat birokrasi tradisional pribumi. Selanjutnya

Permulaan abad XX mulailah korporasi-korporasi perseroan terbatas yang memiliki modal lebih besar dari Eropa (Belanda) yang ingin menguasai tanah-tanah perkebunan swasta yang telah ada. Korporasi-korporasi ini antara lain Nederlanches Handel Maatschapaij (NHM) yang sebenarnya telah berdiri sejak 1824, dan Handels Vereeningen Amsterdam (HVA) yang telah berdiri tahun 1878. Kedua korporasi besar ini berhasil memiliki puluhan perusahaan gula, beberapa perusahaan tembakau, teh, kopi, sisal dan sebagainya (Geertz, 1983: 89).