Uji toksisitas infusa daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar kreatinin dan gambaran histologis ginjal pada tikus secara subkronis

(1)

i

UJI TOKSISITAS INFUSA DAUN SIRSAK (Annona muricata L.) TERHADAP KADAR KREATININ DAN GAMBARAN HISTOLOGIS GINJAL PADA

TIKUS SECARA SUBKRONIS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Christiana Lambang Kristanti NIM : 098114041

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv

Halaman Persembahan

TUHAN MEMILIKI RANCANGAN TERINDAH DALAM SETIAP LANGKAH HIDUPKU DAN AKU PERCAYA ITU

“Kalau kamu punya keyakinan, keinginan, cita-cita, mimpi, dan harapan, kamu taruh „disini‟ (sambil meletakkan telunjuk di depan kening). Kamu taruh „disini‟... jangan

menempel di kening... Biarkan dia...

menggantung... mengambang... 5 cm...

di depan kening kamu...

Jadi, dia tidak akan pernah lepas dari mata kamu. Kamu bawa dia setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu bisa. Dan... sehabis itu yang kamu perlu... cuma... Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, mata yang

akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan

bekerja lebih keras dari biasanya,

serta mulut yang akan selalu berdoa...”

(Donny Dhirgantoro – 5 cm)

“ E U G G I ...

...BONDO SING ORA ISO ENTEK - E I I G I W ”

(Bapak)

Aku persembahkan karya ku ini untuk:

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria,

Papa dan mama ku tercinta beserta kakak

Almamaterku tercinta Universitas Sanata Dharma


(5)

v


(6)

vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Christiana Lambang Kristanti Nomor mahasiswa : 098114041

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

UJI TOKSISITAS INFUSA DAUN SIRSAK (Annona muricata L.) TERHADAP KADAR KREATININ DAN GAMBARAN HISTOLOGIS GINJAL PADA TIKUS SECARA SUBKRONIS

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama saya tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 5 Februari 2013 Yang menyatakan


(7)

vii

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala perlindungan dan berkat yang telah diberikan sehingga skripsi berjudul “Uji Toksisitas Infusa Daun Sirsak (Annona muricata L.) Terhadap Kadar Kreatinin

dan Gambaran Histologis Ginjal pada Tikus secara Subkronis” yang disusun

untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Farmasi (S.Farm.) dapat dikerjakan dengan baik dan lancar.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai pihak. Kesempatan ini penulis pergunakan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah mengijinkan penulis menjalankan pembelajaran selama masa studi.

2. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing, mendampingi dan memberikan saran selama pembuatan skripsi ini.

3. Ibu Rini Dwiastuti, S.Farm., Apt., M.Sc., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis selama masa studi di Universitas Sanata Dharma.

4. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran selama penyusunan skripsi.

5. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran selama penyusunan skripsi.


(8)

viii

6. Pak Heru, Pak Parjiman, Mas Kayat, Dokter Ari, Pak Ratijo, dan Pak Wagiran selaku Staff Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah membantu penulis dalam pengerjaan penelitian di laboratorium.

7. Segenap dosen dan karyawan atas ilmu yang diberikan.

8. Keluargaku tercinta, Bapak Heribertus Sedyo Budi Utomo, Mama Elisabeth Sulastri, Mbak Lucia Citra Puspita dan Mas Christian Benardo Kandou yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dan semangat kepada penulis.

9. Keluarga besar Hardjo Dikromo dan Yoso Sentono yang telah mendukung dan memberikan doa kepada penulis.

10. Wandul, Berthul, Herul, Raras, Yansen, dan Danny sebagai sahabat yang selalu memberikan semangat, kebersamaan, dan doa kepada penulis selama ini.

11. Raras, Suster Imelda, Meita, Dita, Niken, dan Galuh sebagai rekan kerja yang telah menyediakan waktu untuk memberikan saran dan kritik baik dalam hal penyusunan skripsi maupun hal-hal lainnya serta bekerja bersama di laboratorium.

12. Dhimas Bayu Kinasih yang selalu mendukung penulis dalam suka dan duka dalam pembuatan skripsi ini.

13. Teman-teman FKK dan FST 2009 yang selalu mengisi hari-hari dan memberikan semangat penulis dalam pembuatan skripsi ini.

14. Teman-teman penghuni kost „Wisma Goreti‟ yang selalu memberikan dukungan kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini.


(9)

ix

15. Seluruh teman, baik di Fakultas Farmasi maupun teman-teman lain atas dukungannya.

16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan sehingga penulis berharap kritik dan saran dari semua pihak. Akhir kata, penulis berharap semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama di bidang ilmu Farmasi.


(10)

x

DAFTAR ISI

halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN PENULIS ... v

LEMBAR PERNYATAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

INTISARI ... xx

ABSTRACT... ... xxi

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan ... 3

2. Keaslian penelitian ... 4

3. Manfaat penelitian ... 6

B. Tujuan Penelitian ... 7

1. Tujuan umum ... 7

2. Tujuan khusus ... 7

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 8

A. Obat Tradisional ... 8

B. Tanaman Sirsak... 9

1. Sistematika ... 9


(11)

xi

3. Morfologi daun sirsak ... 10

4. Kandungan kimia ... 10

5. Khasiat dan kegunaan ... 11

C. Simplisia ... 12

D. Infusa ... 13

E. Ginjal ... 14

1. Struktur anatomi ginjal ... 14

2. Fisiologi ginjal ... 22

F. Pemeriksaan Kreatinin ... 27

1. Metabolisme kreatinin ... 27

2. Faktor yang mempengaruhi kadar kreatinin darah ... 27

3. Metode pemeriksaan kreatinin ... 28

G. Kerusakan Ginjal ... 29

1. Penyakit yang mengenai glomerulus... 31

2. Penyakit yang mengenai tubulus dan interstisium ... 31

3. Penyakit yang mengenai pembuluh darah ... 35

H. Uji Toksisitas Subkronis ... 35

I. Uji Reversibilitas ... 39

J. Keterangan Empiris... 39

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 40

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 40

1. Variabel utama ... 40

2. Variabel pengacau ... 40

3. Definisi operasional... 40

C. Bahan dan Alat Penelitian ... 42

1. Bahan penelitian ... 42

2. Alat penelitian ... 43


(12)

xii

1. Determinasi tanaman sirsak ... 43

2. Pengumpuan bahan ... 44

3. Pembuatan simplisia daun sirsak ... 44

4. Penetapan kadar air dalam daun sirsak... 44

5. Pembuatan infusa daun sirsak ... 45

6. Penetapan dosis infusa daun sirsak ... 45

7. Uji toksisitas ... 46

a. Penyiapan hewan uji... 46

b. Pengelompokan hewan uji ... 46

c. Prosedur pelaksanaan ... 47

8. Pembuatan preparat histologis ... 48

9. Pengamatan efek toksik ... 48

a. Pemeriksaan kreatinin ... 48

b. Pemeriksaan histologis ginjal ... 48

c. Uji reversibilitas ... 48

d. Pengamatan berat badan, asupan makan dan minum tikus . 49 E. Analisis dan Evaluasi Hasil ... 49

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51

A. Determinasi Tanaman Sirsak ... 51

B. Pembuatan Simplisia ... 53

C. Penetapan Kadar Air ... 53

D. Penetapan Dosis Infusa ... 53

E. Uji Toksisitas Subkronis ... 54

1. Pemeriksaan kadar kreatinin dalam darah ... 55

2. Pemeriksaan histologis ginjal ... 63

F. Uji Reversibilitas ... 72

G. Perubahan Berat Badan Tikus ... 74

H. Asupan Makan Tikus ... 77


(13)

xiii

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... . 81

DAFTAR PUSTAKA ... 82

LAMPIRAN ... 87


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

halaman Tabel I. Kadar kreatinin darah tikus jantan pada awal sebelum

pemberian dan setelah pemberian infusa daun sirsak

selama 30 hari secara oral ... 57 Tabel II. Kadar kreatinin darah tikus betina pada awal sebelum

pemberian dan setelah pemberian infusa daun sirsak

selama 30 hari secara oral ... 59 Tabel III. Uji Scheffe kreatinin dalam darah pada tikus jantan pada

hari ke-31 ... 60 Tabel IV. Uji Scheffe kreatinin dalam darah pada tikus betina pada

hari ke-31 ... 62 Tabel V. Hasil pemeriksaan histologis ginjal pada tikus jantan ... 64 Tabel VI. Hasil pemeriksaan histologis ginjal pada tikus jantan ... 67 Tabel VII. Purata berat badan ± SEM tikus jantan akibat pemberian

infusa daun sirsak ... 76 Tabel VIII. Purata berat badan ± SEM tikus betina akibat pemberian


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 1. Struktur ginjal ... 15

Gambar 2. Struktur nefron ... 16

Gambar 3. Struktur glomerulus dan kapiler glomerular ... 17

Gambar 4. Korpuskular ginjal secara mikroskopik ... 18

Gambar 5. Mikrograf elektron pembesaran lemah glomerulus ginjal .. 19

Gambar 6. Tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distal secara mikroskopik ... 20

Gambar 7. Duktus koligens secara mikroskopik ... 20

Gambar 8. Fungsi utama pada bagian-bagian nefron ... 22

Gambar 9. Mekanisme pembentukan urin melalui proses filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi ... 26

Gambar 10. Gambaran mikroskopik ginjal normal... 30

Gambar 11. Mekanisme cedera tubulointerstisium kronik pada glomerulonefritis ... 33

Gambar 12. Gambaran mikroskopik interstitial nephritis kronik ... 34

Gambar 13. Diagram batang rata-rata kadar kreatinin dalam darah tikus jantan ... 61

Gambar 14. Diagram batang rata-rata kadar kreatinin dalam darah tikus betina ... 63

Gambar 15. Fotomikroskopik ginjal tikus jantan kontrol akuades yang normal atau tidak adanya kerusakan ... 65

Gambar 16. Fotomikroskopik ginjal tikus jantan kelompok perlakuan infusa daun sirsak 108 mg/kgBB dan 301 mg/kgBB yang mengalami perubahan gambaran histologis secara struktural yaitu infiltrasi limfosit di daerah interstisium ... 65


(16)

xvi

Gambar 17. Fotomikroskopik ginjal tikus betina kelompok perlakuan infusa daun sirsak 108 mg/kgBB yang normal atau tidak

adanya kerusakan ... 68 Gambar 18. Fotomikroskopik ginjal tikus betina kelompok kontrol

akuades yang mengalami perubahan gambaran histologis secara struktural yaitu infiltrasi limfosit di daerah

interstisium ... 68 Gambar 19. Fotomikroskopik ginjal tikus jantan hasil uji

reversibilitas kelompok perlakuan infusa daun sirsak 301

mg/kgBB yang normal atau tidak adanya kerusakan ... 73 Gambar 20. Fotomikroskopik ginjal tikus betina hasil uji

reversibilitas kelompok kontrol akuades dan perlakuan infusa daun sirsak 108 mg/kgBB yang mengalami perubahan gambaran histologis secara struktural yaitu

infiltrasi limfosit di daerah interstisium ... 73 Gambar 21. Grafik perubahan berat badan tikus jantan selama

pemberian infusa daun sirsak pada hari ke-0 sampai ke-28 77 Gambar 22. Grafik perubahan berat badan tikus betina selama

pemberian infusa daun sirsak pada hari ke-0 sampai ke-28 77 Gambar 23. Grafik asupan makan tikus jantan selama pemberian

infusa daun sirsak pada hari ke-0 sampai ke-28 ... 78 Gambar 24. Grafik asupan makan tikus betina selama pemberian

infusa daun sirsak pada hari ke-0 sampai ke-28 ... 79 Gambar 25. Grafik asupan minum tikus jantan selama pemberian


(17)

xvii

Gambar 26. Grafik asupan minum tikus betina selama pemberian


(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

Lampiran 1. Foto tanaman sirsak dan daun sirsak ... 88

Lampiran 2. Hasil determinasi tanaman sirsak ... 88

Lampiran 3. Foto infusa daun sirsak ... 88

Lampiran 4. Surat pengesahan determinasi ... 89

Lampiran 5. Surat Ethics Committee Approval ... 90

Lampiran 6. Perhitungan berat halus serbuk dan rendemen ... 91

Lampiran 7. Perhitungan kadar air daun sirsak... 91

Lampiran 8. Perhitungan dosis infusa daun sirsak ... 91

Lampiran 9. Perhitungan konversi dosis infusa daun sirsak dari tikus ke manusia ... 92

Lampiran 10. Analisis statistik kadar kreatinin tikus jantan sebelum pemberian infusa daun sirsak ... 93

Lampiran 11. Data statistik kadar kreatinin tikus betina sebelum pemberian infusa daun sirsak ... 95

Lampiran 12. Data statistik kadar kreatinin tikus jantan setelah pemberian infusa daun sirsak ... 98

Lampiran 13. Data statistik kadar kreatinin tikus betina setelah pemberian infusa daun sirsak ... 100

Lampiran 14. Data statistik Paired T test kreatinin pre dan post pada tikus jantan ... 103

Lampiran 15. Data statistik Paired T test kreatinin pre dan post pada tikus betina ... 104

Lampiran 16. Analisis statistik berat badan tikus jantan ... 105

Lampiran 17. Analisis statistik berat badan tikus betina ... 107

Lampiran 18. Data rata-rata asupan makan tikus jantan selama 30 hari ... 111


(19)

xix

Lampiran 19. Data rata-rata asupan makan tikus betina selama

30 hari ... 112 Lampiran 20. Data rata-rata asupan minum tikus jantan selama

30 hari ... 113 Lampiran 21. Data rata-rata asupan minum tikus betina selama

30 hari ... 114 Lampiran 22. Surat pengesahan hasil histologis ... 115 Lampiran 23. Gambar fotomikroskopik ginjal tikus jantan setelah

pemberian infusa daun sirsak selama 30 hari

(perbesaran 100 dan 400) ... 117 Lampiran 24. Gambar fotomikroskopik ginjal tikus betina setelah

pemberian infusa daun sirsak selama 30 hari

(perbesaran 100 dan 400) ... 119 Lampiran 25. Gambar fotomikroskopik ginjal tikus jantan selama

uji reversibilitas (perbesaran 100 dan 400) ... 120 Lampiran 26. Gambar fotomikroskopik ginjal tikus betina selama


(20)

xx

INTISARI

Bukti empiris penggunaan daun sirsak sudah banyak dilaporkan, namun bukti ilmiah tentang ketoksikan penggunaannya belum banyak dilaporkan khususnya risiko penggunaan jangka panjang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wujud efek toksik infusa daun sirsak terhadap kadar kreatinin dan histologis ginjal secara subkronis.

Penelitian menggunakan metode eksperimental murni dengan rancangan penelitian acak lengkap pola searah. Subjek uji berupa tikus putih galur Sprague Da wley, umur 2-3 bulan, berat badan 150-250 gram. Lima puluh ekor tikus dibagi 5 kelompok (1 kontrol, 4 perlakuan), setiap kelompok terdiri 5 jantan dan 5 betina. Dosis infusa daun sirsak yaitu 108; 180; 301; 503 mg/kgBB dan kontrol aquadest 8333 mg/kgBB, selama 30 hari. Dilakukan pemeriksaan kreatinin (hari ke-0 dan 31), histologis ginjal (hari ke-31), uji reversibilitas selama 14 hari, serta pengamatan berat badan, asupan makan dan minum setiap harinya. Analisis menggunakan Anova pola satu arah dan dilanjutkan uji Scheffe.

Hasil menunjukkan bahwa keempat dosis infusa daun sirsak menghasilkan nilai berbeda tidak bermakna antara kadar kreatinin sebelum dan sesudah perlakuan, gambaran ginjal yang relatif normal, dan tidak terjadi kerusakan ginjal selama uji reversibilitas. Disimpulkan bahwa pemberian infusa daun sirsak tidak meningkatan kadar kreatinin darah dan efek toksik pada ginjal, tidak ada hubungan kekerabatan antara dosis dengan spektrum efek toksik.


(21)

xxi

ABSTRACT

Empirical evidence using soursop leaves are widely reported, but the scientific facts as the result for its toxicity has not been widely reported particularly the risk of long-term use. This study is aimed to determine the toxic effects infusa form of soursop leaf to creatinine levels and renal histology with subchronically.

This study purely using randomized experimental design, complete with its unidirectional pattern. The test subjects for these studies are strained Sprague Dawley rats, aged 2-3 months, and 150-250 grams for its weight. Fifty rats were divided into 5 groups (1 control group and 4 treatment groups), each group consisted of 5 male and 5 female. For the dose infusa of soursop leaves are 108; 180; 301; 503 mg/kg and distilled water control 8333 mg/kg, for 30 days. The rats examination for its creatinine (day 0 and 31), renal histology (day 31), reversibility testing around 14 days, and the observations its of body weight, food intake and water for each day. Analysis using of the one-way Anova and Scheffe test.

The results showed that all four doses infusa soursop leaf yield values do not differ significantly among creatinine levels before and after treatment, the kidney picture is relatively normal, and not occur kidney damage during reversibility testing. It was concluded that the administration infusa soursop leaves no increase of blood creatinine levels and toxic effects on the kidneys, there is no relationship among these dose spectrum of toxic effects.


(22)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 003/Menkes/Per/I/2010 Pasal 1, obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Menteri Kesehatan RI, 2010).

Atas dasar pengetahuan tradisional masyarakat secara turun-temurun dan didukung oleh berbagai penelitian tentang khasiat tanaman sirsak, kini pengobat tradisional di Indonesia bahkan sebagian dokter telah meresepkan tanaman sirsak untuk mengatasi beberapa penyakit (Mardiana dan Ratnasari, 2011). Bagian dari tanaman sirsak yang paling sering digunakan sebagai obat tradisional adalah daunnya. Daun sirsak telah digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai obat tradisional untuk mengobati berbagai penyakit seperti abses, asma, batuk, diabetes, diuretik, demam, influensa, hipertensi, gangguan pencernaan, infeksi, cacingan, gangguan hati, malaria, reumatik, kurap, kejang, dan terutama penyakit kanker (Mardiana dan Ratnasari, 2011).

Penelitian ilmiah daun sirsak yang telah dilaporkan yaitu estrak air daun sirsak mempunyai potensi ketoksikan akut pada mencit dengan letal dosis tengah


(23)

semu lebih dari 5000 mg/kgBB secara oral. Penelitian ini juga menunjukkan pemberian ekstrak air daun sirsak dosis 100, 1000, dan 2500 mg/kgBB selama 14 hari pada tikus menyebabkan hipoglikemik pada dosis 1000 mg/kgBB dan hipolipidemik pada dosis 100 mg/kgBB, sedangkan pada dosis 2500 mg/kgBB dapat menyebabkan gagal ginjal dan efek toksik pada fungsi rahim (Arthur, Woode, Terlabi, and Larbie, 2011). Penelitian ekstrak air daun sirsak ini belum dilakukan uji reversibilitas.

Penelitian ilmiah lainnya antara lain ekstrak air daun sirsak dosis 50 mg/kgBB dan 400 mg/kgBB memiliki potensi menurunkan bilirubin sehingga efektif untuk penyakit hiperbilirubinemia atau penyakit kuning (Arthur, Woode, Terlabi, and Larbie, 2012); ekstrak air daun sirsak juga memberikan efek hipoglikemik dan efek antioksidan dalam melindung sel β pankreas pada tikus jantan dan betina terinduksi streptozotocin dengan dosis 75 mg/kgBB (Adewole and Martins, 2006).

Ginjal merupakan organ ekskresi yang sangat penting dan vital. Ginjal melakukan fungsi vital sebagai pengatur komposisi dan volume kimia darah dengan mengekskresikan solut dan air secara selektif yang dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi, dan sekresi tubulus (Price and Wilson, 1985). Sebagai bagian dari sistem urin, ginjal berfungsi menyaring kotoran dari darah dan membuangnya bersama dengan air dalam bentuk urin.

Sebagian besar produk sisa buangan yang dikeluarkan melalui urin diantaranya kreatinin. Kreatinin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatin otot dan kreatin fosfat (protein), disintese dalam hati, ditemukan dalam otot rangka dan darah, yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir konstan, dan


(24)

diekskresikan dalam urine (Lu, 1995). Kreatinin adalah suatu metabolit kreatin dan diekskresi seluruhnya dalam urin melalui filtrasi glomerulus. Meningkatnya kadar kreatinin dalam darah merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal (Lu, 1995).

Daun sirsak memiliki khasiat sebagai antikanker yang pada umumnya digunakan masyarakat dalam jangka panjang yaitu secara rutin selama 1 bulan hingga hitungan tahun. Bukti empiris tentang penggunaan daun sirsak sudah banyak dilaporkan, namun bukti ilmiah tentang ketoksikan penggunaannya belum banyak dilaporkan khususnya risiko penggunaan pada jangka panjang. Sejauh ini pula belum ditemukan adanya penelitian mengenai toksilogi dari daun sirsak yang secara khusus bersifat khas memberikan efek terhadap ginjal, melainkan memberikan efek dalam spektrum yang luas.

Maka dari itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh daun sirsak terhadap kadar kreatinin dan gambaran histologis ginjal pada tikus sebagai hewan uji secara subkronis selama 30 hari dan dilakukan uji reversibilitas pada hari ke-15 setelah 30 hari pemberian infusa daun sirsak. Penelitian uji subkronis yang akan dilakukan ini merupakan penelitian payung, namun dalam hal ini akan difokuskan pada kadar kreatinin dan gambaran histologis ginjal tikus.

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, timbul beberapa masalah yang akan diteliti sebagai berikut:


(25)

a. seberapa besar spektrum efek toksik sediaan uji terhadap kadar kreatinin dalam darah dan organ ginjal yang dilihat dari histologis ginjal?

b. apakah terdapat hubungan kekerabatan antara dosis infusa daun sirsak dengan efek toksisitas subkronis pada kadar kreatinin dan organ ginjal? c. apakah terjadi keterbalikan (reversibilitas) spektrum efek toksik?

2. Keaslian penelitian

Penelitian yang telah dipublikasikan adalah sebagai berikut:

1. Toksisitas Akut dan Subkronis Estrak Air Annona muricata Linn. terhadap Hewan (Arthur, et al., 2011).

Ekstrak air daun sirsak mempunyai potensi ketoksikan akut pada mencit dengan LD50 diperkirakan lebih dari 5000 mg/kgBB (oral). Uji toksisitas subkronis selama 14 hari pada tikus menyebabkan hipoglikemik pada dosis 1000 mg/kgBB dan hipolipidemik pada dosis 100 mg/kgBB, sedangkan pada dosis 2500 mg/kgBB dapat menyebabkan gagal ginjal dan efek toksik pada fungsi rahim.

2. Perubahan Morfologi dan Efek Hipoglikemik dari Ekstrak Daun Annona muricata Linn. (Annonaceae) pada sel β pankreas dari Induksi Streptozotocin-Tikus Diabetes (Adewole and Martins, 2006).

Ekstrak air A. Muricata memberikan efek hipoglikemik dan efek antioksidan dalam melindung sel β pankreas, sehingga disimpulkan bahwa daun sirsak efektif untuk pengobatan penyakit diabetes melitus.


(26)

3. Perlindungan Efek Ekstrak Air Daun Annona muricata Linn. (Annonaceae) pada Profil Lipid Serum dan Stres oksidatif dalam Hepatosit dari Pengobatan Streptozotocin Tikus Diabetes (Adewole and Ojowole, 2009).

Pengobatan streptozotocin (STZ) berhubungan dengan stres oksidatif pada jaringan hati dan penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak air daun Annona muricata memiliki aktivitas antioksidan yang mampu menghambat dan/atau mencegah kerusakan oksidatif hati yang dihasilkan dari pengobatan STZ. 4. Antikanker Payudara dari Pengaruh Ekstrak Daun Annona muricata pada Sel

T47D (Rachmani, Suhesti, Widiastuti, and Aditiyono, 2012).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol dari daun sirsak memiliki aktivitas sitotoksik dengan nilai IC50 yaitu 17,149 mg/mL. Hasil dari empat fraksi yang diperoleh dengan cara fraksinasi di mana fraksi F3 adalah fraksi yang memiliki aktivitas sitotoksik terbaik dengan nilai IC50 30,112 mg/mL. Hasil uji apoptosis menunjukkan bahwa fraksi F3 mampu menginduksi apoptosis sel.

5. Sirsak (Annona muricata L.): Hematologi Darah dan Biokimia Serum pada Tikus Sprague Da wley (Syahida, Maskat, Suri, Mamot, and Hadijah, 2012). Uji in vivo yang dilakukan selama 28 hari pada dosis bertingkat menunjukkan hasil bahwa ekstrak daging buah Annona muricata L. tidak menimbulkan efek negatif terhadap hematologi darah meskipun tercatat adanya peningkatan signifikan secara statistik (p < 0,05) pada tingkat platelet. Hasil dari uji biokimia serum menunjukkan bahwa ekstrak ini tidak


(27)

menimbulkan gagal hati dan ginjal. Total a ntioxidant status (TAS) meningkat secara signifikan sebagai dosis meningkat. Namun peningkatan itu masih dalam batas normal.

Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian ini menguji ekstrak daging buah sirsak, sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan bahan uji berupa infusa daun sirsak.

Berdasarkan hasil penelusuran pustaka yang telah dilakukan, penelitian uji toksisitas infusa daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar kreatinin dan gambaran histologis ginjal pada tikus secara subkronis selama 30 hari belum pernah dilakukan.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu kefarmasian, ilmu kedokteran, dan pengetahuan tentang obat-obat tradisional, khususnya daun tanaman sirsak.

b. Manfaat praktis. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang wujud efek toksik subkronis pada kadar kreatinin dan gambaran histologis ginjal akibat pemberian infusa daun sirsak.


(28)

B.Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wujud efek toksik subkronis terhadap kadar kreatinin dan gambaran histologis ginjal akibat pemakaian infusa daun sirsak.

2. Tujuan khusus

Tujuan khusus penelitian ini ialah untuk:

a. mengungkapkan spektrum efek toksik sediaan uji terhadap kadar kreatinin dalam darah dan organ ginjal yang dinilai dari histologis ginjal.

b. mengungkapkan kekerabatan antara dosis dengan spektrum efek toksik. mengevaluasi keterbalikan (reversibilitas) spektrum efek toksik yang terjadi.


(29)

8

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Obat Tradisional

Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat berdasar pada pengalaman dan ketrampilan yang secara turun temurun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Oktora, 2006).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 003/Menkes/Per/I/2010 Pasal 1, obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Menteri Kesehatan RI, 2010).

WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional dalam pemeliharaan kesehatanmasyarakat, pencegahan danpengobatan penyakit, terutamauntuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. WHO juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan, khasiat, dan kualitasdari obat tradisional (WHO, 2008).

Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern. Efek samping obat


(30)

tradisional relatif kecil jika digunakan secara tepat antara lain kebenaran bahan, ketepatan dosis, ketepatan waktu penggunaan, ketepatan cara penggunaan, ketepatan telaah informasi, tanpa penyalahgunaan, dan ketepatan pemilihan obat untuk indikasi tertentu (Oktora, 2006).

B. Tanaman Sirsak

1. Sistematika

Sistematika dari tanaman sirsak menurut Tjitrosoepomo (1989) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Sub divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledonae Anak kelas : Dialypetalae Ordo : Polycarpicae Famili : Annonaceae

Genus : Annona

Spesies : Annona muricata L.

2. Habitat

Sirsak dapat tumbuh pada semua jenis tanah dengan derajat keasaman (pH) antara 5-7. Jadi, tanah yang sesuai adalah tanah yang agak asam sampai agak alkalis. Di Indonesia tanaman sirsak menyebar dan tumbuh baik mulai dari daratan


(31)

rendah beriklim kering sampai daerah basah dengan ketinggian 1000 m dari permukaan laut. Suhu udara yang sesuai untuk tanaman sirsak adalah 22-320C. Curah hujan yang dibutuhkan tanaman sirsak antara 1500-3000 mm/tahun (Sunarjono, 2005).

3. Morfologi daun sirsak

Dilihat secara makroskopik, daun sirsak termasuk daun tunggal dan berwarna kehijauan sampai hijau kecoklatan. Helaian daun seperti kulit, berbentuk bundar panjang, lanset atau bundar telur terbalik. Helaian daun mempunyai panjang 6 cm sampai 18 cm dan lebar 2 cm sampai 6 cm. Ujung daun meruncing pendek, pangkal daun runcing, dan tepi rata. Panjang tangkai daun yaitu lebih kurang 0,7 cm. Permukaan licin agak mengkilat, tulang daun menyirip dan ibu tulang daun menonjol pada permukaan bawah. Daun berbau agak keras dan rasa agak kelat (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995 d).

4. Kandungan kimia

Daun sirsak mengandung saponin, tanin terkondensasi, glikosida dan flavonoid, serta mengandung adanya zat kelompok acetogenins (Arthur, et al., 2011). Acetogenins dari Annona merupakan kelas penting dari produk alami yang memiliki berbagai macam sifat biologis seperti sitotoksik, antitumoral, antiparasit, insektisida, dan aktivitas imunosupresif (Gleye, Laurens, Hocquemiller, Figadere, and Cave, 1996).

Acetogenin bekerja menghambat mitochondrial complex I pada rantai transpot elektron sehingga mengendalikan mitokondria sel yang overacting, bila


(32)

mitokondria normal maka pertumbuhan sel kanker dapat terkendali. Mekanisme kerjanya acetogenin masuk ke dalam sel kanker dan menempel pada inner membrane of mitochondria, lalu merusak produksi ATP di dalam mitokondria. Akibat kekurangan ATP sebagai sumber energi, akhirnya sel kanker menjadi lemah dan mati (Villo, 2008). Salah satu senyawa acetogenin dari daun sirsak adalah annonacin, di mana senyawa tersebut mampu menyebabkan neurotoksisitas (Potts, Luzzio, Smith, Hetman, Champy, and Litfan, 2011).

Menurut penelitian analisis fitokimia oleh Prachi (2010), ekstrak air daun sirsak mengandung metabolit sekunder seperti karbohidrat, steroid, tanin, dan glikosida kardiak. Daun sirsak juga mengandung alkaloid dan minyak atisiri (Winarni, 2002).

5. Khasiat dan kegunaan

Daun sirsak secara tradisional dapat dimanfaatkan untuk mengobati abses, arthritis, asthenia, asma, bronkitis, kolik, batuk, diabetes, diuretik, disentri, demam, gangguan empedu, influensa, jantung, hipertensi, gangguan pencernaan, infeksi, cacingan, gangguan hati, malaria, reumatik, kurap, kejang, tumor, dan borok. Pada tahun 1976, The National Cancer Institute meneliti khasiat sirsak sebagai antitumor dan antikanker. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa daun sirsak mampu menyerang dan menghancurkan sel-sel kanker (Mardiana dan Ratnasari, 2011).

Penelitian yang dilakukan Zeng, Wu, Oberlies, McLaughlin, dan Sastrodihadjo (1996), menyatakan bahwa cis-a nnonacin, salah satu senyawa


(33)

acetogenins dalam daun sirsak bersifat selektif mematikan sel-sel kanker usus besar dan memiliki kekuatan 10.000 kali lebih besar dibandingkan dengan adriamycin (obat kemoterapi). Hasil penelitian Wu, Gu, Zeng, Zhao, Zhang, dan McLaughlin (1995) menunjukkan senyawa annonaceous acetogenins selektif sebagai agen sitotoksik terhadap sel tumor paru-paru pada manusia.

Menurut hasil penelitian di Brazil pada tahun 2010 menyebutkan bahwa ekstrak etanol daun sirsak memiliki aktivitas anti-inflamasi pada hewan percobaan (Zuhud, 2011). Selain itu, menurut Hasrat, Bruyne, De Backer, Vauquelin, dan Vlietinck (1997), terdapat efek antidepresi pada daun sirsak disebabkan oleh 3 senyawa alkaloid yang berupa annonaine, nornuciferine dan asimilobine yang diujikan kepada tikus. Alkaloid tersebut mampu menghambat pengambilan serotonin di otak. Ekstrak air daun sirsak juga memiliki potensi menurunkan bilirubin sehingga efektif untuk penyakit hiperbilirubinemia atau penyakit kuning (Arthur, et al, 2012).

C. Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel dengan cara tertentu dipisahkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimiawi


(34)

murni. Simplisia hewani ialah simplisia yang berupa bahan utuh bagian hewan atau zat-zat yang berguna, yang dihasilkan oleh hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan (mineral) ialah simplisia yang berupa bahan pelikan (mineral) yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni (Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995 c).

Simplisia nabati atau simplisia hewani harus dihindarkan dari serangga atau cemaran atau mikroba dengan pemberian bahan atau penggunaan cara yang sesuai, sehingga tidak meninggalkan sisa yang membahayakan kesehatan (Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995 c).

D. Infusa

Salah satu metode penyarian adalah infusa. Bahan yang digunakan dalam infusa berasal dari bahan yang lunak (simplisia daun dan bunga) (Suranto, 2004). Pembuatan sediaan dalam bentuk infusa merupakan cara yang sederhana dan mudah dilakukan serta untuk menyari kandungan zat aktif yang larut dalam air. Infusa adalah sediaan yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 900C selama 15 menit (Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1986 a).

Pembuatan infusa dilakukan dengan cara simplisia yang telah dihaluskan sesuai derajat kehalusan yang telah ditetapkan dimasukkan dalam air secukupnya. Kemudian dipanaskan di atas penangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu


(35)

mencapai 900C sambil berkali-kali diaduk, diserkai selagi panas melalui kain flanel, menambahkan air panas secukupnya melalui ampas sehingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki. Jika infusa simplisia yang mengandung minyak atsiri harus diserkai setelah dingin (Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1986 a). Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kapang. Oleh sebab itu sari yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1986 a).

E. Ginjal

Ginjal adalah sepasang organ bersimpai yang terletak di area retroperitoneum (McPhee and Ganong, 2010). Secara lebih rinci, struktur anatomi dan fungsi fisiologi dari ginjal dijelaskan sebagai berikut:

1. Struktur anatomi ginjal

Ginjal berbentuk menyerupai kacang. Ginjal kanan dikelilingi oleh hati, kolon, dan duodenum sehingga letaknya lebih rendah dari yang kiri. Sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas, jejenum, dan kolon. Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrus tipis dan mengkilat yang disebut kapsula ginjal dan di luar terdapat jaringan lemak perirenal (Setiadi, 2007).

Ginjal manusia dewasa memiliki berat sekitar 150 g. Secara histologis ginjal terdiri dari unsur utama yaitu glomerulus, tubulus dan interstitium, dan pembuluh darah (Kumar, Abbas, and Fausto, 2010).


(36)

Gambar 1. Struktur ginjal (Huether and McCance, 2008)

Secara anatomis (gambar 1), ginjal terdiri dari korteks dan medula. Di dalam korteks terdapat berjuta nefron sedangkan di dalam medula banyak terdapat duktus ginjal (Setiadi, 2007). Medula terdiri dari banyak piramid ginjal yang apeksnya disebut papillae, dan masing-masing berhubungan dengan sebuah calyx. Korteks memiliki ketebalan 1,2 sampai 1,5 cm. Jaringan korteks meluas ke ruang di antara piramid yang berdekatan sebagai kolumna renalis bertin (Kumar, et al., 2010).

Satuan anatomis fungsi ginjal adalah nefron, suatu struktur yang terdiri atas berkas kapiler yang dinamai glomerulus (tempat darah yang disaring) dan tubulus ginjal (tempat air dan garam dalam filtrat diserap kembali) (McPhee and Ganong, 2010). Nefron merupakan satuan fungsional ginjal, dimana ginjal mengandung kira-kira 1,3 juta nefron dan tiap nefron dapat membentuk urin sendiri. Selama 24 jam dapat menyaring 170 liter darah (Setiadi, 2007).


(37)

Gambar 2. Struktur nefron

(McPhee, Lingappa, Ganong, dan Lange, 1995)

Setiap nefron terdiri dari Bowman’s capsule, yang mengitari rumbai kapiler glomerulus, proximal tubule, loop of Henle, dan distal tubule, yang kemudian mengosongkan diri ke collecting duct (gambar 2) (Price and Wilson, 1985). Bagian dari nefron tersebut, akan dijelaskan masing-masing yaitu sebagai berikut: a. Korpuskular ginjal. Korpuskular ginjal terdiri dari kapsula Bowman dan rumbai

kapiler glomerulus (Price and Wilson, 1985). Glomerulus adalah masa kapiler yang berbentuk bola yang terdapat sepanjang arteriol. Fungsinya untuk filtrasi air dan zat terlarut dalam darah (Lesson, 1996). Sedangkan kapsula bowman merupakan suatu pelebaran nefron yang dibatasi oleh epitel yang menyelubungi glomerulus untuk mengumpulkan zat terlarut yang difiltrasi oleh glomerulus (Lesson, 1996; Sherwood, 2006).


(38)

Gambar 3. Struktur glomerulus dan kapiler glomerular (Huether and McCance, 2008)

Glomerulus terdiri atas arteriol aferen dan eferen serta dibungkus oleh suatu epitel yang membentuk suatu lapisan yang berhubungan dengan lapisan yang membentuk simpai Bowman dan tubulus ginjal (McPhee and Ganong, 2010). Aparatus jukstaglomerulus terletak dekat glomerulus di tempat masuknya arteriol aferen. Aparatus jukstaglomerulus merupakan tempat utama produksi renin di ginjal (Kumar, et al., 2010).

Terdapat dua lapisan epitel yang membungkus glomerulus yaitu sel lapisan epitel parietal dan viseral (McPhee and Ganong, 2010). Epitel viseral (podocytes) bergabung ke dalam dan menjadi bagian intrinsik dinding kapiler, yang dipisahkan dari dinding endotel oleh sebuah membran basal (basement membrane), dan secara struktural merupakan kompleks sel yang memiliki tonjolan-tonjolan menyerupai jari kaki (foot processes) (Kumar, et al., 2010). Membran basal ini terletak di antara sel epitel dan kapiler. Sedangkan epitel


(39)

parietal terletak pada kapsul Bowman, bentuknya gepeng, dan membentuk bagian terluar dari kapsula (Price and Wilson, 1985).

Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari rumbai kapiler. Sel-sel endotel, membran basal, dan sel epitel viseral merupakan tiga lapisan yang membentuk membran filtrasi glomerulus. Fungsi dari membran filtrasi glomerulus adalah ultrafiltrasi darah (Price and Wilson, 1985).

Sel-sel mesangial adalah sel-sel endotel yang membentuk suatu jalinan kontinu antara lengkung-lengkung kapiler glomerulus dan berfungsi sebagai jalinan penyokong (Price and Wilson, 1985). Ruang antara kapiler-kapiler di glomerulus disebut mesangium (McPhee and Ganong, 2010).

Dinding kapiler glomerulus adalah membran penyaring dan terdiri dari struktur-struktur yang secara mikroskopik dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Korpuskular ginjal secara mikroskopik (SIU School of Medicine, 2005)


(40)

Gambar 5. Mikrograf elektron pembesaran lemah glomerulus ginjal. CL, lumen kapiler; MES, mesangium; END, endotel; EP, sel epitel viseral dengan foot processes (tonjolan kaki)

(Kumar, et al., 2010)

b. Tubulus kontortus proksimal. Cairan yang difiltrasi akan mengalir ke tubulus kontortus proksimal. Letak tubulus ini di dalam korteks ginjal, panjangnya 14 mm dengan diameter 50-60 nm (gambar 6). Bentuknya berkelok-kelok dan berakhir sebagai saluran yang lurus yang berjalan kearah medula, yaitu ansa henle (Lesson, 1996).

c. Ansa henle. Ansa henle merupakan nefron pendek yang memiliki segmen yang tipis yang membentuk lengkung tajam berbentuk huruf U. Bagian pa rs desendens dari ansa henle terbentang dari korteks ke bagian medula, sedangkan pars asendens berjalan kembali dari medula ke arah korteks ginjal (Lesson, 1996).

d. Tubulus distal. Setelah melewati ansa henle, maka akan berlanjut ke bagian nefron tubulus distal. Pada gambar 6, tubulus kontortus distal lebih pendek dari


(41)

tubulus proksimal. Bagian tubulus distal ini berkelok-kelok di bagian korteks dan berakhir di duktus koligens (Lesson, 1996; Sherwood, 2006).

Gambar 6. Tubulus kontortus proksimal (p) dan tubulus kontortus distal (d) secara mikroskopik

(SIU School of Medicine, 2005)

e. Duktus koligens. Duktus koligens merupakan saluran pengumpul yang akan menerima cairan dan zat terlarut dari tubulus distal (gambar 7). Duktus koligens berjalan dari dalam berkas medula menuju ke medula. Setiap duktus pengumpul yang berjalan ke arah medula akan mengosongkan urin yang telah terbentuk ke dalam pelvis ginjal (Sherwood, 2006).

Gambar 7. Duktus koligens (cd) secara mikroskopik (SIU School of Medicine, 2005)

Di korteks normal, rongga interstisium tersusun rapat, ditempati oleh kapiler peritubulus berpori dan sejumlah kecil sel mirip fibroblas (Kumar, et al., 2010).


(42)

Ginjal kaya akan pembuluh darah, dan meskipun kedua ginjal hanya membentuk 0,5% dari berat tubuh total, tetapi keduanya menerima sekitar 25% curah jantung. Korteks adalah bagian ginjal yang paling kaya pembuluh darah, menerima 90% dari total aliran darah ginjal. Arteri renalis bercabang menjadi bagian anterior dan posterior di hilum (Kumar, et al., 2010). Pembuluh darah utama pada ginjal adalah sebagai berikut:

a. Renal arteries. Terletak sebagai cabang kelima dari aorta abdominal, membagi menjadi cabang-cabang anterior dan posterior pada hilus ginjal, dan kemudian membagi lagi menjadi arteri lobus.

b. Interlobar arteries. Pembuluh ini mengalirkan darah ke ginjal dari arteri aferen glomerular.

c. Arcuate arteries. Cabang arteri interlobar yang terletak di cortical medullary junctions.

d. Glomerular capillaries. Berfungsi membawa darah menuju peritubular capillaries.

e. Peritubular capillaries. Berfungsi untuk mengelilingi atau membelit tubulus proksimal, tubulus distal, dan lengkung Henle.

f. Vasa recta. Jaringan kapiler yang membentuk loop dan mengikuti lengkung Henle, dan berfungsi menyuplai darah menuju medula.

g. Renal veins. Mengikuti jalan arteri dan memiliki nama yang sama dengan arteri, dan akhirnya membuang darah ke inferior vena cava (Huether and McCance, 2008).


(43)

2. Fisiologi ginjal

Ginjal melakukan fungsi vital sebagai tempat ekskresi zat yang tidak terpakai serta pengatur komposisi dan volume kimia darah dengan mensekskresikan solut dan air secara selektif yang dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi, dan sekresi tubulus (Price and Wilson, 1985). Kemampuan ginjal untuk mengatur komposisi cairan ekstraseluler merupakan fungsi per satuan waktu yang diatur oleh epitel tubulus (Silbernagyl and Lang, 2007).

Gambar 8. Fungsi utama pada bagian-bagian nefron (Huether and McCance, 2008)

Untuk zat yang tidak disekresi oleh tubulus, pengaturan volumenya berhubungan dengan laju filtrasi glomerulus (LFG). Seluruh zat yang larut dalam filtrasi glomerulus dapat direabsorpsi atau disekresi oleh tubulus (Silbernagyl and Lang, 2007).


(44)

Pada gambar 8 menjelaskan fungsi-fungsi utama pada setiap bagian nefron secara sistematis, untuk penjelasan secara rinci mengenai fungsi fisiologi ginjal adalah sebagai berikut:

a. Filtrasi glomerulus. Cairan yang difiltrasikan melalui glomerulus ke dalam kapsula Bowman disebut filtrat glomerulus. Sel-sel endotel, membran basal, dan lapisan epitel viseral merupakan tiga lapisan yang membentuk membran filtrasi glomerulus. Pada filtrat harus melewati membran tersebut sehingga baru dapat dialirkan ke kapsula Bowman (Setiadi, 2007).

Komposisi cairan filtrat glomerulus mempunyai komposisi yang hampir sama dengan cairan yang terserap masuk dari ujung arteri kedalam cairan interstisium. Tidak mengandung eritrosit dan hanya mengandung 0,03% protein di dalam plasma. Elektrolit dan komposisi solut lain dari filtrat glomerulus juga ditemukan pada cairan interstisium (Setiadi, 2007).

Jumlah filtrat glomerulus yang dibentuk setiap menit dalam semua nefron kedua ginjal disebut laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerula r Filtration Rate). GFR ditentukan oleh tiga faktor yaitu keseimbangan tekanan-tekanan yang bekerja pada dinding kapiler (tekanan hidrostatik kapiler glomeruli dan tekanan onkotik kapsul Bowman mendorong terjadinya filtrasi sedangkan tekanan onkotik kapiler glomeruli dan tekanan hidrostatik kapsul Bowman menghambatnya), kecepatan aliran darah ke ginjal (renal blood flow = RBF) atau kecepatan aliran plasma melalui glomeruli (glomerular plasma flow =


(45)

GPF) dan permeabilitas serta luas permukaan kapiler yang berfungsi (Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010).

Penentuan nilai GFR dapat dihitung dengan menggunakan rumus. Rumus Cockcroft dan Gault merupakan rumus umum yang biasa digunakan dengan mempertimbangkan umur, berat badan, dan nilai kreatinin plasma (Pcr) (Huether and McCance, 2008).

GFR (mL/min) = 140− � ( �)

� � 72 x 0,85 (wanita)

Selain itu, The National Kidney Foundation merekomendasikan perhitungan GFR dengan rumus Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) yaitu:

GFR (mL/min) = 186 x Pcr-1,154 x umur-0,203 x (0,742 pada wanita; 1,210 pada pria) (Huether and McCance, 2008).

Pada keadaan normal, banyaknya GFR sekitar 120 mL/menit. Urin dalam bentuk awal tersebut merupakan ultrafiltrat plasma kecuali sejumlah kecil protein yang dapat diabaikan dan yang kemudian akan direabsorpsi di tubuli (Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010).

b. Transport tubular. Di tubuli proksimal terjadi reabsorpsi 2/3 dari ultrafiltrat glomeruli secara isoosmotik. Akibat susunan anatomik nefron yang amat khusus maka di glomeruli tekanan hidrostatik lebih besar daripada tekanan onkotik sedangkan pada kapiler peritubular di tubulus proksimal sebaliknya


(46)

yaitu tekanan hidrostatik lebih kecil daripada tekanan onkotik (Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010).

Selain air dan Na+, direabsorpsi juga sebagian besar HCO3- (bikarbonat), asam amino dan glukosa. Sebaliknya kadar Cl- di dalam tubulus meningkat. Pada bagian menurun ansa Henle terjadi pengeluaran air secara pasif sehingga urin menjadi hipertonik. Pada bagian naik ansa Henle tidak permeabel untuk air sedangkan NaCl keluar. Urin yang sampai ke tubulus distal bersifat hipoosmotik, terjadi reabsorpsi Na+ secara aktif. Aldosteron berperan menahan natrium serta air dan sebaliknya melepaskan kalium. Hormon antidiuretik (ADH) berperan mereabsorpsi air pada bagian akhir tubulus distal dan saluran pengumpul (collecting duct) sehingga urin yang hipotonik dapat menjadi hipertonik (lihat Gambar 9) (Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010).

Selain ADH, ada juga hormon aldosteron yang berperan dalam membantu merangsang reabsorpsi natrium dalam tubulus distal dan duktus koligen. ADH bersama dengan aldosteron bergungsi untuk mengendalikan tekanan darah. Pada ginjal, dikenal sistem renin-angiotensin. Pengeluaran renin dari ginjal akan mengakibatkan perubahan angiotensinogen (suatu glikoprotein yang dibuat dalam hati) menjadi angiotensin I. Angiotensin I kemudian dirubah menjadi angiotensin II oleh converting enzyme yang ditemukan di dalam kapiler paru-paru. Angiotensin II meningkatkan tekanan darah dengan menyebabkan vasokonstriksi arteriol perifer dan merangsang sekresi aldosteron. Peningkatan kadar aldosteron akan merangsang reabsorpsi natrium


(47)

dalam tubulus distal dan duktus koligen. Peningkatan reabsorpsi natrium akan mengakibatkan peningkatan reabsorpsi air dan dengan demikian volume plasma meningkat. Peningkatan volume plasma ini ikut berperan dalam peningkatan tekanan darah yang seterusnya akan mengurangi iskemia ginjal (Price and Wilson, 1985).

Gambar 9. Mekanisme pembentukan urin melalui proses filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi

(Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010)

Urin yang dikeluarkan mengandung air dengan ureum, kreatinin, fosfat dan sulfat hasil proses katabolisme. Juga terdapat asam urat, K+, dan H+ hasil penukaran dengan Na+ atas pengaruh aldosteron di tubulus distal. Protein dalam keadaan normal diekskresi dalam jumlah sedikit. Glukosa yang difiltrasi akan direabsorpsi di tubulus proksimal, tetapi dengan makin tinggi kadarnya dalam filtrat glomeruli maka makin banyak pula glukosa yang dikeluarkan bersama urin. Terdapat pula eritrosit, leukosit, dan kristal metabolit serta sel-sel epitel (Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010).


(48)

F. Pemeriksaan Kreatinin

Kreatinin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatin otot dan kreatin fosfat (protein), yang disintesis dalam hati, ditemukan dalam otot rangka dan darah, dan diekskresikan dalam urine. Meningkatnya kadar kreatinin dalam darah merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal (Lu, 1995).

1. Metabolisme kreatinin

Kreatinin berasal dari pemecahan kreatinifosfat otot. Kreatinin adalah produk akhir dari metabolisme kreatin. Kreatin sebagian besar ditemukan di otot rangka, tempat zat ini terlibat dalam penyimpanan energi sebagai kreatin fosfat. Dalam sintesis ATP dari ADP, kreatin fosfat diubah menjadi kreatin dengan katalasi enzim kreatin kinase. Reaksi ini berlanjut seiring dengan pemakaian energi sehingga dihasilkan kreatin fosfat. Dalam prosesnya, sejumlah kecil kreatin diubah secara ireversibel menjadi kreatinin, yang dikeluarkan dari sirkulasi oleh ginjal. Jumlah kreatinin yang dihasilkan setara dengan massa otot rangka yang dimiikinya (Sacher and Richard, 2004).

2. Fakor yang mempengaruhi kadar kreatinin darah

Kreatinin umumnya dianggap tidak dipengaruhi oleh asupan protein namun sebenarnya ada pengaruh diet terutama protein tetapi tidak sebesar pengaruhnya terhadap kadar ureum. Kreatinin terutama dipengaruhi oleh massa otot. Karena itu kadar kreatinin darah lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, meningkatnya pada atlit dengan massa otot banyak, dan juga pada kelainan pemecahan otot (rhabdomiolisis). Sebaliknya kadar kreatinin menurun pada usia


(49)

(orang usia lanjut) yang massa ototnya berkurang (Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010).

3. Metode pemeriksaan kreatinin

Macam pemeriksaan kreatinin darah adalah:

a. Jaffe Reaction. Dasar dari metode ini adalah kreatinin dalam suasana alkalis dengan asam pikrat membentuk senyawa kuning jingga. Alat yang digunakan photometer.

b. Kinetik. Dasar metodenya relatif sama hanya dalam pengukuran dibutuhkan sekali pembacaan. Alat yang digunakan autoanalyzer.

c. Enzimatik. Dasar metode ini adalah dengan adanya substrat dalam sampel bereaksi dengan enzim membentuk senyawa enzim substrat dengan menggunakan alat photometer.

Meskipun sejumlah kecil disekresi, tes kliren kreatinin merupakan suatu tes untuk memperkirakan GFR dalam klinik. Untuk melakukan tes kliren kreatinin, cukup mengumpulkan contoh urin atau darah selama 24 jam (Price and Wilson, 1985).

Dalam keadaan normal, produksi kreatinin secara kasar sama dengan ekskresi kreatinin, sehingga kadar kreatinin serum konstan. Pada seorang penderita dengan filtrasi glomerulus yang menurun, kreatinin serum akan terakumulasi sesuai dengan derajat hilangnya filtrasi glomerulus pada ginjal. Konsentrasi kreatinin serum sering digunakan untuk menentukan klirens kreatinin, yang merupakan cara


(50)

pemantauan fungsi ginjal yang cepat dan sesuai. Secara farmakokinetik, klirens kreatinin dapat ditakrifkan sebagai laju ekskresi kreatinin melalui urin atau kreatinin serum. Klirens kreatinin secara klinik dinyatakan dalam mL/menit dan konsentrasi kreatinin serum dalam mg% (Shargel and Yu, 1988). Persamaan berikut digunakan untuk menghitung klirens kreatinin dalam mL/menit:

CLcr = (Ucr × V) / (Scr × t)

Di mana Ucr = urine creatinine concentration, V = urine volume, Scr = serum creatinine concentration, dan t = duration of the urine collection (Dipiro, Yee, Matzke, Wells, and Posey, 2008).

Menurut Huether dan McCance (2008), nilai normal dari pla sma creatinine concentration adalah 0,7-1,2 mg/dL. Konsentrasi kreatinin plasma ini akan memiliki nilai yang stabil ketika nilai GFR juga stabil, karena laju produksi kreatinin sama besar dengan hasil metabolisme otot. Nilai normal kreatinin dalam darah pada tes fungsi ginjal yang normal pada manusia adalah sebesar 0,6-1,5 mg/dL (laki-laki) dan 0,6-1,1 mg/dL (perempuan). Sedangkan nilai rata-rata kadar kreatinin normal pada tikus strain Sprague-Da wley adalah 0,860 mg/dL (jantan) dan 0,713 mg/dL (betina) (Derelanko and Hollinger, 2002).

G. Kerusakan Ginjal

Fungsi utama dari ginjal adalah organ eliminasi penting bagi tubuh. Meskipun terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kerentanan ginjal terhadap efek toksik, tetapi tingginya aliran curah jantung dan peningkatan konsentrasi produk


(51)

ekskresi karena adanya reabsorpsi air dari cairan tubuler merupakan faktor terpenting. Akibatnya, beberapa obat atau zat kimia yang beredar dalam sirkulasi sistemik akan dibawa ke ginjal dalam kadar yang cukup tinggi. Sebagai akibatnya akan terjadi proses perubahan struktur dari ginjal itu sendiri, terutama di tubulus ginjal karena disinilah terjadi proses reabsorpsi dan eksresi dari zat- zat toksik tersebut (Manggarwati, 2010).

Gambaran kondisi ginjal normal dapat dilihat secara mikroskopik (gambar 10).

Gambar 10. Gambaran mikroskopik ginjal normal (diwarnai dengan haematoxylin dan eosin). (A) Korteks ginjal, 1: renal corpuscle; 2: proximal convoluted tubules; 3: distal convoluted tubules; 4: Bowman's capsulae space. (B) Medula ginjal, 1: thick ascending limb of the loop of Henle; 2: interstitial connective tissue

(Gunin, 2000)

Penyakit ginjal sangat kompleks sama seperti strukturnya, tetapi untuk memahaminya bisa dipermudah dengan membagi penyakit ginjal berdasarkan empat komponen morfologik dasar ginjal yaitu glomerulus, pembuluh darah, tubulus, dan interstisium. Sebagian besar penyakit glomerulus disebabkan oleh proses imunologik,


(52)

sedangkan penyakit pada tubulus dan interstisium sering disebabkan oleh bahan toksik atau infeksi (Kumar, et al., 2010).

1. Penyakit yang mengenai glomerulus

Penyakit glomerulus dapat digolongkan lebih lanjut berdasarkan gambaran klinis. Sebagian penyakit bermanifestasi sebagai proteinuria berat tetapi tanpa tanda reaksi peradangan selular (penyakit nefrotik), sementara yang lain memperlihatkan proteinuria dengan derajat bervariasi yang disertai oleh adanya sel darah merah dan putih di urin (penyakit nefritik) (McPhee and Ganong, 2010).

Penyakit nefrotik biasanya memperlihatkan pengendapan kompleks imun tepat di atau di bawah sel epitel, sering dengan perubahan morfologis foot process. Sedangkan penyakit nefritik memperlihatkan pengendapan kompleks imun di lokasi subendotel atau di membran basal glomerulus atau mesangium (McPhee and Ganong, 2010).

2. Penyakit yang mengenai tubulus dan interstisium

Sebagian besar cidera tubulus juga melibatkan interstisium. Interstisium adalah ruang antar tubulus. Adanya kerusakan dalam tubulus ginjal akibat zat nefrotoksik dilihat dengan adanya penyempitan tubulus kontortus proksimal, nekrosis sel epitel tubulus kontortus proksimal, atau adanya hyaline cast di tubulus distal (Manggarwati, 2010).

Salah satu penyakit yang mengenai tubulus dan interstisium adalah nefritis tubulointerstisium (reaksi peradangan di tubulus dan interstisium). Nefritis


(53)

tubulointerstisium dapat bersifat akut atau kronis. Nefritis tubulointerstisium akut memperlihatkan secara histologiss ditandai dengan edema interstisial, sering kali disertai infiltrasi leukositik di interstisum dan tubulus, dan nekrosis tubulus fokal. Nekrosis adalah pembengkakan sel yang kemudian mengalami lisis. Sel yang nekrotik terlihat membesar dan lebih asidofik (merah) daripada sel normal. Nekrosis melibatkan kematian sekelompok sel dan terlihat adanya respon peradangan. Pada nefritis tubulointerstisium kronik, terjadi infiltrasi terutama oleh leukosit menonukleus, fibrosis interstisium, dan atrofi tubulus luas. Gambaran morfologik yang membedakan bentuk akut dan kronik pada nefritis tubulointerstisium adalah edema dan (jika ada) eosinofil dan neutrofil pada bentuk akut, dan fibrosis serta atrofi tubulus pada bentuk kronik (Kumar, et al., 2010).

Mekanisme utama dalam nefritis tubulointerstitial akut adalah reaksi hipersensitivitas terhadap obat seperti penisilin, anti-inflammatory drugs (NSAIDs), dan obat sulfa. Mekanisme lain adalah cedera selular akut yang disebabkan oleh infeksi, virus atau bakteri, sering dikaitkan dengan obstruksi atau refluks. Ginjal sangat tahan terhadap kerusakan struktural karena infeksi bakteri, dan dengan tidak adanya obstruksi, kerusakan dari infeksi bakteri dalam parenkim ginjal sangat mungkin terjadi (Alper, 2011).

Cedera yang bermanifestasi sebagai kerusakan tubulus dan inflamasi interstisium, salah satunya disebabkan oleh fibrosis tubulointerstisium. Banyak faktor yang dapat menyebabkan cedera tubulointerstisium, termasuk iskemia


(54)

segmen-segmen tubulus di sebelah hilir glomerulus sklerotik, dan berkurang dan hilangnya pasokan darah kapieler peritubulus. Berdasarkan penelitian pada hewan secara in vitro, proteinuria diduga menyebabkan cedera langsung dan mengaktifkan sel tubulus. Sebaliknya, sel tubulus aktif akan mengekspresikan molekul-molekul adhesi dan dan mengeluarkan sitokin proinflamasi, kemokin dan faktor pertumbuhan yang berperan dalam fibrosis interstisium (Kumar, et al., 2010).

Gambar 11. Mekanisme cedera tubulointerstisium kronik pada glomerulonefritis. ET-1, endotelin-1, PAI-1, plasminogen activator inhibitor-1; TIMP-1, tissue inhibitor of metaloproteinases.

(Kumar, et al., 2010).

Dilihat pada gambar 11, berbagai komponen filtrat kaya protein dan sitokin yang berasal dari leukosit, menyebabkan aktivasi sel tubular dan sekresi sitokin, faktor pertumbuhan, dan mediator lainnya. Seluruhnya bersama produk-produk makrofag, menyebabkan inflamasi interstisium dan fibrosis (Kumara, et al., 2010).

Nefritis interstitial sama halnya dengan nefritis tubulointerstisium yaitu peradangan pada daerah interstisium yang disebabkan oleh reaksi alergi obat,


(55)

penyakit autoimun, infeksi atau infiltrasi penyakit lainnya. Dalam nefritis interstitial akut, kerusakan tubular menyebabkan disfungsi tubular ginjal, dengan atau tanpa gagal ginjal. Terlepas dari tingkat keparahan kerusakan epitel tubular, disfungsi ginjal ini umumnya reversibel (Kumara, et al., 2010) (Kumara, et al., 2010).. Menurut Wulandari (2010), nefritis intersitial ini secara morfologi ditandai dengan sitoplasma yang keruh, pembengkakan sel-sel tubulus proksimal sehingga lumennya menyempit bahkan menghilang. Nefritis interstitial merupakan jejas tubular yang manifestasi awalnya berupa edema tubulus proksimal dimana sel-sel epitel tubulus proksimal dan intertisium membengkak dengan sitoplasma yang granuler karena terjadi pergeseran air ekstraseluler ke intrasel. Pergeseran cairan ini terjadi karena toksin menyebabkan perubahan muatan listrik permukaan sel epitel tubulus, transport ion aktif dan asam organik, dan kemampuan mengkonsentrasikan dari ginjal yang akhirnya mengakibatkan tubulus rusak (Wijaya dan Miranti, 2005).

Gambar 12. Gambaran mikroskopik nefritis interstitial kronik (diwarnai dengan hematoxylin dan eosin, perbesaran 600x).


(56)

Pada gambar 12 menjelaskan nefritis interstitial kronik di mana tubulus muncul menyusut dan atrofi (ditunjukkan oleh panah), dan dipisahkan oleh fibrosis interstisial yang luas (ditunjukkan oleh panah) (Perazella and Markowitz, 2010).

Interstisium korteks yang melebar dikatakan abnormal. Pelebaran ini dapat disebabkan oleh edema atau infiltrasi oleh sel radang akut, seperti pada penyakit interstisium akut, atau mungkin juga oleh akumulasi sel radang kronik dan jaringan fibrosa, serta pada penyakit interstisium kronik. Jumlah proteoglikan di jaringan interstisium medula meningkat seiring usia dan adanya iskemia (Kumar, et al., 2010).

3. Penyakit yang mengenai pembuluh darah

Hampir semua penyakit ginjal melibatkan pembuluh darahnya secara sekunder. Salah satu contoh penyakitnya adalah nefrosklerosis jinak yaitu istilah yang digunakan untuk patologi ginjal akibat sklerosis arteriol dan arteri kecil ginjal. Efek yang terjadi adalah iskemia fokal parenkim yang disuplai oleh pembuluh yang dindingnya menebal dan lumennya menyempit (Kumar, et al., 2010).

H. Uji Toksisitas Subkronis

Uji ketoksikan subkronis ialah uji ketoksikan sesuatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga bulan. Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik senyawa uji,


(57)

serta untuk memperlihatkan apakah spektrum efek toksik itu berkaitan dengan takaran dosis (Donatus, 2001).

Pengamatan dan pemerikasaan yang dilakukan dari uji ketoksikan subkronis meliputi:

1. Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak tujuh hari sekali.

2. Masukan makanan untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan yang diukur paling tidak tujuh hari sekali.

3. Gejala kronis umum yang diamati setiap hari.

4. Pemeriksaan hematologi paling tidak diperiksa dua kali pada awal dan akhir uji coba.

5. Pemeriksaan kimia darah paling tidak dua kali pada awal dan akhir uji coba. 6. Analisis urin paling tidak sekali.

7. Pemeriksaan histopatologi organ pada akhir uji coba (Loomis, 1978).

Hasil uji ketoksikan subkronis akan memberikan informasi yang bermanfaat tentang efek utama senyawa uji dan organ sasaran yang dipengaruhinya. Selain itu juga dapat diperoleh info tentang perkembangan efek toksik yang lambat berkaitan dengan takaran yang tidak teramati pada uji ketoksikan akut. Kekerabatan antar kadar senyawa pada darah dan jaringan terhadap perkembangan luka toksik dan keterbalikan efek toksik (Donatus, 2001).

Tujuan utama dari uji ini adalah untuk mengungkapkan dosis tertinggi yang diberikan tanpa memberikan efek merugikan serta untuk mengetahui pengaruh senyawa kimia terhadap tubuh dalam pemberian berulang. Sasaran uji ini adalah


(58)

hispatologi organ (organ-organ yang terkena efek toksik), gejala-gejala toksik, wujud efek toksik (kekacauan biokimia, fungsional, dan struktural) serta sifat efek toksik (Eatau and Klaassen, 2001).

Jenis wujud toksik digolongkan berdasarkan perubahan biokimia, fungsional, dan struktural. Jenis wujud efek toksik berdasarkan perubahan biokimia berkaitan dengan respons dan perubahan atau kekacauan biokimia terhadap luka sel, akibat antaraksi antara racun dan tempat aksi yang terbalikan. Antaraksi yang terbalikan yang dimaksud adalah reaksi yang terjadi antara molekul racun dan tempat aksi yang khas, seperti reseptor-reseptor neurotransmitter, tempat aktif enzim, dan lain sebagainya. Jenis wujud efek toksik berdasarkan perubahan fungsional berkaitan dengan antaraksi racun yang terbalikan dengan reseptor atau tempat aktif enzim, sehingga mempengaruhi fungsi homeostatis tertentu. Sedangkan pada jenis efek toksik berdasarkan perubahan struktural diantaranya perlemakan (degenarasi melemak), nekrosis, karsinogenesis, mutagenesis, dan teratogenesis (Donatus, 2001).

Ketoksikan racun dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu meliputi faktor yang berasal dari racun pangan (faktor intrinsik racun) dan yang berasal dari makhluk hidupnya (faktor intrinsik makhluk hidup). Faktor intrinsik racun ialah faktor kimia fisika, kondisi pemejanan, pengolahan, pengawetan, pengentalan, dan pengepakan racun. Yang termasuk dalam kondisi pemejanan yaitu antara lain:

a. Jenis pemejanan. Ada dua jenis pemejanan yaitu akut dan kronis. Ketoksikan akut berlaku bagi peristiwa keracunan yang terjadi segera setelah pemejanan racun,


(59)

sedangkan ketoksikan kronis berlaku bagi peristiwa keracunan yang terjadi setelah beberapa hari, minggu, bulan atau tahun pemejanan berulang dengan racun.

b. Jalur pemejanan. Hal ini berkaitan dengan keefektifan absorpsi racun tertentu, semakin efektif absorpsi racun, berarti semakin cepat dan besar kadar racun yang berada di sirkulasi sistemik, yang tersedia untuk didistribusikan ke tempat aksi. c. Lama dan kekerapan pemejanan. Senyawa yang dipejankan hanya sekali (jenis

pemejanan akut) selama satu kurun waktu tertentu, mungkin akan menimbulkan efek toksik yang berbeda dengan yang ditimbulkan oleh pemejanan berulang (jenis pemejanan kronis). Efek toksik akibat pemejanan yang kronis terjadi bila racun menumpuk di dalam tubuh, yakni ketika kecepatan absorpsi melebihi kecepatan eliminasinya.

d. Saat dan takaran pemejanan. Ketersediaan zat toksik atau metabolitnya di tempat aksi tertentu di dalam tubuh dan kerentanan makluk hidup terhadap ketoksikan zat toksik tertentu (Donatus, 2001).

Faktor intrinsik makluk hidup yaitu keadaan fisiologi dan patologi. Termasuk dalam keadaan fisiologi meliputi berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan alir darah, status gizi, kehamilan, jenis kelamin, irama sirkadian, irama diurnal, kapasitas fungsional cadangan, penyimpanan racun dalam makhluk hidup, genetika, serta toleransi dan resistensi, sedangkan keadaan patologi meliputi penyakit saluran cerna, kardiovaskular, ginjal, dan hati (Donatus, 2001).


(60)

I. Uji Reversibilitas

Sifat efek toksik suatu obat terbagi menjadi dua yaitu terbalikkan (reversible) dan tak terbalikkan (irreversible). Efek toksik disebut berpulih (reversible) jika efek itu dapat hilang dengan sendirinya. Sebaliknya, efek nirpulih (irreversible) akan menetap atau justru bertambah parah setelah pajanan toksikan dihentikan (Lu, 1995).

Efek toksikan dapat berpulih bila tubuh terpajan pada kadar yang rendah atau untuk waktu yang singkat. Sementara, efek nirpulih dapat dihasilkan pada pajanan dengan kadar yang lebih tinggi atau waktu yang lama (Lu, 1995).

J. Keterangan Empiris

Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif untuk mendapatkan bukti adanya efek toksisitas subkronis dari infusa daun sirsak (Annona muricata L.) pada ginjal dan kadar kreatinin tikus putih jantan dan betina.


(61)

40

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian toksisitas subkronis infusa daun sirsak terhadap kadar kreatinin dalam darah dan ginjal tikus termasuk penelitian eksperimental murni dengan menggunakan rancangan penelitian acak lengkap pola searah.

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel utama

Variabel utama penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan tergantung. a. Variabel bebas: dosis infusa daun sirsak.

b. Variabel tergantung: kadar kreatinin dalam darah dan kerusakan struktur anatomi ginjal dilihat dari gambaran histologis ginjal tikus.

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali: galur, jenis kelamin, umur, berat badan tikus.

b. Variabel pengacau tak terkendali: keadaan patologi tikus.

3. Definisi operasional

a. Daun sirsak yang dipilih memiliki ciri-ciri antara lain daun yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua, segar, sehat, tumbuh jauh dari jalan


(62)

raya, terhindar dari pestisida, serta tidak terkena penyakit (tidak terkena gigitan serangga dan tidak ditumbuhi jamur).

b. Dosis infusa daun sirsak adalah sejumlah volume infusa daun sirsak (mL) yang setara dengan sejumlah (miligram) serbuk daun sirsak tiap satuan kilogram (kg) berat badan subyek uji yang bersangkutan.

c. Kadar kreatinin dalam darah adalah jumlah kreatinin (mg) dalam tiap satu desiliter (dL) darah subjek uji.

d. Kerusakan struktur anatomi ginjal dilihat dari gambaran histologis ginjal tikus yaitu ditandai dengan ditemukannya infiltrasi sel radang, fibrosa, cacat seluler seperti nekrosis sel-sel epitel pada glomerulus, tubulus dan interstisium, serta pembengkakan sel-sel tubulus proksimal sehingga lumennya menyempit bahkan menghilang.

e. Subjek uji dalam penelitian ini berupa tikus putih galur Sprague Da wley, berkelamin jantan dan betina, berumur 2-3 bulan, berat badan 150-250 gram, dan memiliki keadaan fisik berstatus sehat.

f. Keadaan patologi tikus yang dimaksud adalah meskipun keadaan fisik berstatus sehat, belum dapat menjamin keadaan ginjal secara rinci juga berstatus sehat.


(63)

C. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan penelitian

a. Subjek uji yang digunakan yaitu tikus putih galur Sprague Da wley jantan dan betina, umur 2-3 bulan, berat badan 150-250 gram, diperoleh dari Laboratorium Hayati Imono, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

b. Bahan uji yang digunakan untuk perlakuan yaitu daun sirsak yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua, segar, sehat, tumbuh jauh dari jalan raya, terhindar dari pestisida, dan tidak terkena penyakit (tidak terkena gigitan serangga dan tidak ditumbuhi jamur), serta diperoleh dari wilayah Jl. Kaliurang, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan Mei-Juni 2012.

c. Bahan larutan untuk destilasi dalam penetapan kadar air adalah toluen. d. Bahan untuk pembuatan preparat histologis ginjal adalah larutan

fisiologis NaCl dan formalin 10%.

e. Bahan untuk kontrol yaitu akuades yang diperoleh oleh Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

f. Makanan yang diberikan pada tikus jantan dan betina selama 45 hari yaitu AD II.

g. Minuman yang diberikan pada tikus jantan dan betina selama 45 hari yaitu RO (Reverse Osmosis).


(64)

2. Alat penelitian

a. Oven b. Blender c. Ayakan d. Timbangan e. Waterbath f. Panci infusa g. Termometer h. Kain flanel

i. Seperangkat alat (Pyrex) antara lain: bea ker glass, labu ukur, gelas ukur, pengaduk, dan cawan petri

j. Destilator

k. Jarum suntik per oral dan spuit injeksi l. Seperangkat alat bedah

m.Flakon n. Pinset

o. Kandang tikus (kandang biasa dan metabolic cage).

D. Tata Cara Penelitian

1. Determinasi tanaman sirsak

Determinasi tanaman sirsak dilakukan dengan cara mencocokkan ciri-ciri yang dipunyai tanaman sirsak dengan buku acuan menurut Steenis (1992).


(65)

2. Pengumpulan bahan

Bahan uji yang digunakan adalah daun sirsak yang diperoleh di wilayah Jl. Kaliurang, Yogyakarta pada bulan Mei-Juni 2012. Daun sirsak yang dipetik berasal dari tanaman sirsak yang yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua, segar, sehat, tumbuh jauh dari jalan raya, terhindar dari pestisida, sera tidak terkena penyakit (tidak terkena gigitan serangga dan tidak ditumbuhi jamur). Daun yang terkumpul dicuci dengan air mengalir dalam waktu yang cepat.

3. Pembuatan simplisia daun sirsak

Daun sirsak dicuci dengan air bersih, kemudian dipotong-potong dan dipanaskan sampai kering dalam oven dengan suhu 500C selama 72 jam. Irisan daun sirsak yang telah kering dimasukkan ke dalam blender untuk dijadikan serbuk, kemudian diayak dengan ayakan nomor 40. Selanjutnya dihitung berat serbuk halusnya dan rendemen dalam %.

4. Penetapan kadar air dalam daun sirsak

Penetapan kadar air dalam daun sirsak dengan cara destilasi toluen berdasarkan Depkes (1995). Penetapan kadar air dalam daun sirsak dibuat dengan menimbang 50 gram serbuk daun sirsak kemudian dimasukkan ke dalam labu kering. Sebanyak 200 mL toluena ke dalam labu, kemudian dihubungkan pada alat. Labu dipanaskan selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, disuling dengan kecepatan 2 tetes tiap detik hingga sebagian air tersuling, kecepatan penyulingan dinaikkan hingga 4 tetes per detik. Setelah semua air tersuling, bagian dalam pendingin dicuci dengan toluen. Penyulingan dilanjutkan selama 5


(66)

menit. Tabung penerima pendingin dibiarkan hingga suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, dibaca volume airnya dan dihitung kadar air dalam %.

5. Pembuatan infusa daun sirsak

Infusa daun sirsak dibuat dengan menimbang 9 g serbuk daun sirsak kemudian dimasukkan dalam panci infusa, dituangi akuades sebanyak 150 mL. Serbuk yang telah ditambah akuades dipanaskan dan diukur suhunya. Setelah mencapai 900C, waktu pemanasan selama 15 menit. Selanjutnya disaring selagi panas melalui kain flanel dan filtratnya ditampung pada beaker glass yaitu didapatkan voleme infusa ± 135 mL. Ditambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infusa 150 mL.

6. Penetapan dosis infusa daun sirsak

Peringkat dosis berdasarkan pengobatan pada masyarakat sehari-hari yaitu kurang lebih 10 lembar daun. Dosis pada perlakuan ini adalah 2 g/70 kgBB manusia. Konversi manusia (70 kg ke tikus 200 g) = 0,018.

Dosis untuk 200 g tikus = 0,018 x 2 g = 0,036 g/200 gBB tikus Dosis untuk 1 g tikus = 1000

200 x 0,036 = 0,18 mg/gBB tikus

= 180 mg/kgBB tikus

Kemudian dilakukan orientasi konsentrasi tertinggi dari infusa daun sirsak untuk ditetapkan sebagai dosis tertinggi. Konsentrasi tertinggi yang didapat yaitu 6 g/100 mL.


(67)

Untuk perhitungan dosis tertinggi yaitu:

D = �� = 6 g/100 mL x 2,5 mL : 300 g = 0,5 mg/gBB tikus = 500 mg/kgBB tikus

Faktor pengali = � � ��� = 0,5 mg /g BB tikus

0,18 mg /g BB tikus = 1,67

Kemudian dibuat peringkat dosis berikut ini : Dosis I = 108 mg/kgBB tikus

Dosis II = 180 mg/kgBB tikus Dosis III = 301 mg/kgBB tikus Dosis IV = 503 mg/kgBB tikus.

Dosis akuades untuk kelompok kontrol adalah

D = �� = 1 g/mL x 2,5 mL : 300 g = 8333 mg/kgBB tikus

7. Uji toksisitas

a. Penyiapan hewan uji. Hewan uji yang digunakan terdiri dari satu jenis hewan uji tikus putih jantan dan betina, galur Sprague Da wley, sehat, dewasa, umur 2-3 bulan, berat badan 150-250 gram, berjumlah 50 ekor (25 jantan dan 25 betina), dan kemudian ditempatkan pada kandang.

b. Pengelompokan hewan uji. Sejumlah hewan uji yang terpilih diadaptasikan di laboratorium selama tiga hari. Pada penelitian ini, digunakan lima kelompok perlakuan. Lima puluh ekor tikus dibagi menjadi lima kelompok secara acak, masing-masing kelompok uji terdiri dari sepuluh ekor tikus


(68)

(lima jantan dan lima betina). Pembagian peringkat dosis dengan faktor pengalian tetap dengan rincian pengelompokan sebagai berikut:

Kelompok I : diberi akuades 8333 mg/kgBB tikus

Kelompok II : diberi sediaan uji infusa daun sirsak 108 mg/kgBB tikus Kelompok III : diberi sediaan uji infusa daun sirsak 180 mg/kgBB tikus Kelompok IV : diberi sediaan uji infusa daun sirsak 301 mg/kgBB tikus Kelompok V : diberi sediaan uji infusa daun sirsak 503 mg/kgBB tikus. c. Prosedur pelaksanaan. Sediaan uji berupa infusa daun sirsak diberikan pada

hewan uji sesuai dengan dosis pemberian dengan kekerapan pemberian sekali sehari selama 30 hari pada tikus jantan dan betina dengan tetap diberi makan dan minum. Pada hari ke-0 dan 31, semua tikus diambil darahnya untuk mengukur kadar kreatinin. Pada hari ke-31, 5 tikus (3 jantan dan 2 betina) dari masing-masing kelompok diambil secara acak, dikorbankan untuk diambil ginjalnya, dimasukkan ke dalam formalin 10% untuk dibuat preparat histologisnya, dan kemudian diamati penampakan mikroskopisnya. Sementara setiap anggota kelompok pada tikus yang masih hidup (2 jantan dan 3 betina) tetap dipelihara tanpa perlakuan pemberian infusa daun sirsak selama 14 hari. Pada hari ke-15, sisa hewan uji tersebut dikorbankan untuk diambil ginjalnya dan dimasukkan ke dalam formalin 10% untuk dibuat preparat histologis, kemudian diamati penampakan mikroskopisnya.


(69)

8. Pembuatan preparat histologis

Ginjal tikus dipotong-potong setebal 3 mm–5 mm dengan menggunakan pisau skalpel, kemudian dimasukkan ke dalam formalin 10%. Selanjutnya dilakukan pembuatan preparat histologis di Laboratorium Patologi Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

9. Pengamatan efek toksik

Pengamatan terhadap hewan uji yang diberi infusa daun sirsak (Annona muricata L.) dilakukan selama 30 hari. Pengamatan yang dilakukan meliputi: a. Pemeriksaan kreatinin. Pada awal masa uji (hari ke-0) dan akhir masa uji

(hari ke-31) diambil cuplikan darah melalui sinus orbitalis mata hewan uji untuk pemeriksaan kreatinin. Darah yang keluar selanjutnya ditampung dalam tabung eppendorf. Darah kemudian disentrifugasi untuk diambil serum darahnya. Serum darah inilah yang digunakan untuk pemeriksaan kreatinin. Pengambilan darah hewan uji dilakukan di Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi Univertas Sanata Dharma dan pemeriksaan kreatinin dilakukan di Parahita Medical Lab.

b. Pemeriksaan histologis ginjal. Pemeriksaan histologis dilakukan di Laboratorium Patologi Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hasil pemeriksaan dibuat fotomikroskopik sebagai data kualitatif.

c. Uji reversibilitas. Dilakukan pada hari ke-15 setelah pemberian infusa daun sirsak dihentikan pada sebagian hewan uji yang tersisa. Pada masa ini,


(70)

semua hewan uji yang digunakan tidak mendapat perlakuan infusa daun sirsak maupun kontrol. Pada masa reversibilitas, jika kerusakan struktural hewan uji tidak kembali pada kondisi normal, maka perubahan bersifat tak terbalikkan. Jika perubahan secara struktural kembali menjadi kondisi normal maka perubahan bersifat terbalikkan. Hasil pemeriksaan dibuat fotomikroskopik sebagai data kualitatif. Pemeriksaan histologis pada uji ini dilakukan di Laboratorium Patologi Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

d. Pengamatan berat badan, asupan makan dan minum tikus. Pengamatan berat badan tikus dilakukan setiap minggu serta asupan makan dan minum tikus dilakukan setiap harinya.

E. Analisis dan Evaluasi Hasil

a. Data pemeriksaan kadar kreatinin dievaluasi secara statistik menggunakan Anova pola satu arah dengan taraf kepercayaan 95% dan dilanjutkan dengan uji Scheffe untuk melihat perbedaan tiap kelompok.

b. Pemeriksaan preparat histologis dilakukan secara kualitatif deskriptif dengan membandingkan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan untuk mengetahui spektrum efek toksik sediaan uji terhadap organ ginjal yang terkena, dan juga untuk mengetahui hubungan kekerabatan dosis dan spektrum efek toksik.


(71)

c. Data uji reversibilitas dianalisis secara kualitatif berdasarkan perubahan morfologi yang terjadi pada kelompok tikus yang diberhentikan dari pemberian infusa daun sirsak dibandingkan dengan kelompok tanpa berhenti.

d. Data berat badan tikus setiap minggu dihitung purata kenaikan berat badannya dan dianalisis secara statistik dengan analisis General Linear Model Multivariate.

e. Data asupan makan dan minum dihitung purata harian tiap kelompok perlakuan dan kontrol tanpa dianalisis statistik karena hanya ingin melihat pola makan dan minum tikus.


(1)

Dosis 503 mg/kgBB

B45

Kontrol akuades

BK4 (Nefritis interstitialis)

Lampiran 25. Gambar fotomikroskopik ginjal tikus jantan selama uji reversibilitas (perbesaran 100 dan 400)

Kelompok Perbesaran 100 Perbesaran 400

Dosis 108 mg/kgBB


(2)

Dosis 180 mg/kgBB

J22

Dosis 301 mg/kgBB

J33

Dosis 503 mg/kgBB

J42

Kontrol akuades


(3)

Lampiran 26. Gambar fotomikroskopik ginjal tikus betina selama uji reversibilitas (perbesaran 100 dan 400)

Kelompok Perbesaran 100 Perbesaran 400

Dosis 108 mg/kgBB

B13 (Nefritis interstitialis)

Dosis 180 mg/kgBB

B22

Dosis 301 mg/kgBB


(4)

Dosis 503 mg/kgBB

B41

Kontrol akuades


(5)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi berjudul “Uji Toksisitas Infusa Daun Sirsak (Annona muricata L.) Terhadap Kadar Kreatinin dan Gambaran Histologis Ginjal pada Tikus secara Subkronis” ini memiliki nama lengkap Christiana Lambang Kristanti. Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 25 Juli 1991 sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah TK Mutiara 17 Agustus (1996-1997), SD Mutiara 17 Agustus (1997-2003), SMP Mutiara 17 Agustus (2003-2006), SMA KORPRI Bekasi (2006-2009), kemudian tahun 2009 penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta. Selama kuliah penulis aktif dalam beberapa kegiatan dan organisasi antara lain sebagai anggota Unit Kegiatan Fakultas Bidang Olahraga Voli (2010-2012), panitia Pelepasan Wisuda Fakultas Farmasi sebagai seksi konsumsi (2010), panitia Hari Anti Tembakau sebagai seksi dana dan usaha (2011), dan sebagai ketua kelompok dalam Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat yang lolos didanai oleh DIKTI (2012). Selain itu penulis juga pernah mendapatkan penghargaan Mahasiswa Berprestasi Tahun 2012.


(6)