Uji toksisitas subkronis infusa daun sirsak ( Annona muricata L.) kajian terhadap sistem hematologi pada tikus jantan dan betina

(1)

UJI TOKSISITAS SUBKRONIS INFUSA DAUN SIRSAK

(Annona muricata L.): KAJIAN TERHADAP SISTEM HEMATOLOGI

PADA TIKUS JANTAN DAN BETINA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Imelda Maria Korbafo NIM : 098114012

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

UJI TOKSISITAS SUBKRONIS INFUSA DAUN SIRSAK (Annona muricata L.): KAJIAN TERHADAP SISTEM HEMATOLOGI

PADA TIKUS JANTAN DAN BETINA

Skripsi yang diajukan oleh: Imelda Maria Korbafo

NIM: 098114012

Telah disetujui oleh:

Pembimbing:

Phebe Hendra M. Si., Ph.D., Apt. Tanggal 23 Mei 2013


(3)

iii


(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Ketakutan kita terdalam adalah bukan karena kita tidak cakap. Ketakutan kita terdalam adalah kekuatan kita dalam mengukur. Kita bertanya pada diri kita sendiri: siapa aku sehingga aku cerdas, hebat, berbakat dan menakjubkan?

Sebenarnya, Siapa sebenarnya dirimu? Kita dilahirkan untuk membuat manifestasi kemuliaan Tuhan dalam diri kita. Dan begitu kita biarkan cahaya kita menyala. Kita tanpa sadar berikan orang lain kesempatan untuk lakukan hal yang sama.

(Kutipan dari Film “Akeelah and the Bee”) Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal

(Kitab Yeremia 31:3b)

Kupersembahkan karya ini kepada:

Hati Kudus Yesus dan Hati Kudus Maria atas cinta kekal yang senantiasa menyertai peziarahan saya

Persaudaraan konggregasi Franciscanae Filiae Sanctissimae Cordis Jesus et Mariae (FCJM) atas dukungan doa, kepercayaan serta kesempatan pada saya untuk mengembangkan diri

Bapak, mama dan adik-adik yang mendoakan dan mengasihiku Para sahabat yang Tuhan hadiahkan bagi saya


(5)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam naskah ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yogyakarta, 20 Mei 2013 Penulis


(6)

vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan dibawah ini saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Imelda Maria Korbafo

NIM : 098114012

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

”Uji Toksisitas Subkronis Infusa Daun Sirsak (Annona muricata L.): Kajian

Terhadap Sistem Hematologi Pada Tikus Jantan dan Betina”

Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 23 Mei 2013 Yang menyatakan


(7)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur pada Tuhan Yesus dan Bunda Maria atas berkat dan kasih setia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Uji Toksisitas Subkronis Infusa Daun Sirsak (Annona Muricata L.): Kajian

Terhadap Sistem Hematologi Pada Tikus Jantan dan Betina” sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Farmasi (S.Farm) pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Dalam rasa syukur ini pula, penulis mengucapkan terima kasih berlimpah kepada semua pihak yang dengan ketulusan hatinya berkenan membimbing dan menyemangati penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dekan Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

2. Ibu Phebe Hendra M. Si., Ph.D.,Apt., selaku Dosen Pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang bermanfaat hingga terselesainya skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. C. J. Soegihardjo, Apt., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan, perhatian, kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.

4. Bapak Ipang Djunarko, M. Sc.,Apt, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan bimbingan, arahan, kritik dan saran yang bermanfaat demi penyempurnaan skripsi ini.


(8)

viii

5. Para karyawan dan laboran Farmakologi-Toksikologi (Mas Kayat, Mas Parjiman dan Mas Heru) dan laboran-laboran lainnya, yang telah banyak membantu selama penelitian ini.

6. Persaudaraan Kongregasi FCJM dan Dewan Pimpinan Provinsi Indonesia yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu, dukungan doa. 7. Teman-teman angkatan 2009 khususnya kelas A, spesial teman-teman tim

Annona muricata L. (Veronica Dita Ayuningtyas, Niken Ambar Sayekti,

Apriliawati Galuh, Christiana Lambang Kristanti, Elisabeth Raras Pramudita, Meita Eryanti) yang baik hatinya memberikan senyum ceria dan semangat kebersamaan. Semangat jiwa muda yang pantang menyerah dalam menggapai cita dan mimpi masing-masing diberkati oleh Yang Maha Kuasa.

8. Semua pihak yang terlibat, yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini sangat diharapkan. Akhir kata, semoga penelitian ini dapat menjadi sumbangan kecil bagi ilmu kefarmasian.

Yogyakarta, 20 Mei 2013 Penulis


(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xx

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiv

INTISARI ... xxvi

ABSTRACT ... xxvii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah ... 4

2. Keaslian penelitian ... 5


(10)

x

B. Tujuan Penelitian ... 6

1. Tujuan umum ... 6

2. Tujuan khusus ... 6

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 7

A. Tanaman Sirsak (Annona muricata L.) ... 7

1. Daerah asal dan penyebaran ... 7

2. Nama daerah ... 7

3. Jenis tanaman sirsak di Indonesia ... 8

4. Sistematika ... 9

5. Morfologi ... 9

6. Kandungan kimia ... 11

7. Khasiat dan kegunaan ... 12

8. Efek samping ... 13

B. Sediaan Infusa ... 14

1. Pengertian infusa ... 14

2. Pembuatan infusa ... 14

C. Sistem Hematologi ... 15

D. Jenis-Jenis Sel Darah ... 15

1. Sel darah merah (eritrosit) ... 15

2. Sel darah putih (leukosit) ... 17


(11)

xi

E. Cairan Plasma Darah ... 21

F. Pemeriksaan Terhadap Sistem Hematologi (Hitung Darah Lengkap) ... 22

1. Tes sel darah merah ... 23

2. Tes sel darah putih ... 25

3. Pemeriksaan trombosit ... 26

G. Toksisitas ... 26

1. Definisi toksikologi ... 27

2. Asas umum toksikologi ... 28

3. Mekanisme, wujud, dan sifat efek toksik racun ... 28

4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi ketoksikan racun ... 29

5. Uji ketoksikan ... 30

H. Toksisitas Subkronis ... 30

I. Darah Sebagai Target Efek Toksik ... 32

J. Keterangan Empiris ... 33

BAB III. METODE PENELITIAN... 34

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 34

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 34

1. Variabel penelitian ... 34

2. Definisi Operasional ... 35

C. Alat dan Bahan Penelitian ... 36

1. Alat penelitian ... 36


(12)

xii

D. Tata Cara Penelitian ... 38

1. Determinasi daun sirsak... 38

2. Pengumpulan bahan uji daun sirsak ... 38

3. Pembuatan simplisia serbuk daun sirsak ... 39

4. Penetapan kadar air daun sirsak... 39

5. Penetapan dosis infusa daun sirsak ... 39

6. Pembuatan infusa daun sirsak... 41

7. Penyiapan hewan uji ... 41

8. Prosedur pelaksanaan penelitian ... 41

9. Pengamatan ... 42

E. Analisis dan Evaluasi Hasil Penelitian ... 42

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Hasil Determinasi Tanaman ... 44

B. Penetapan Kadar Air Daun Sirsak ... 45

C. Hasil Uji Toksisitas Subkronik Infusa Daun Sirsak Terhadap Sistem Hematologi Tikus Jantan dan Betina... 46

1. Hasil pemeriksaan sistem hematologi pada tikus jantan ... 48

2. Hasil pemeriksaan kadar hematologi secara lengkap pada tikus betina ... 80

D. Pengamatan Perubahan Berat Badan Tikus Jantan dan Betina Akibat Perlakuan Infusa Daun Sirsak ... 108


(13)

xiii

E. Pengamatan Terhadap Jumlah Konsumsi Makan Akibat Perlakuan

Infusa Daun Sirsak ... 111

F. Pengamatan Terhadap Jumlah Konsumsi Minum Akibat Perlakuan Infusa Daun Sirsak ... 113

G. Rangkuman Pembahasan ... 115

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 124

A. Kesimpulan ... 124

B. Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 125

LAMPIRAN ... 128


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

hemoglobin tikus jantan tiap kelompok disajikan dalam bentuk Mean±SEM ... 51 Tabel II. Hasil uji Scheffe kadar hemoglobin tikus jantan setelah pemberian infusa

daun sirsak selama 30 hari ... 52 Tabel III. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

eritrosit darah tikus jantan tiap kelompok disajikan dalam bentuk Mean±SEM ... 53 Tabel IV. Hasil uji Scheffe kadar eritrosit setelah pemberian infusa daun sirsak

selama 30 hari ... 54 Tabel V. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

hematokrit tikus jantan tiap kelompok disajikan dalam bentuk mean±SEM ... 55 Tabel VI. Hasil uji Scheffe kadar hematokrit setelah pemberian infusa daun sirsak

selama 30 hari ... 56 Tabel VII. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

leukosit darah tikus jantan tiap kelompok disajikan dalam bentuk Mean±SEM ... 57 Tabel VIII. Hasil uji Scheffe kadar leukosit tikus jantan setelah pemberian infusa


(15)

xv

Tabel IX. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

MCV darah tikus jantan tiap kelompok dalam bentuk Mean±SEM ... 60 Tabel X. Hasil uji Scheffe kadar MCV setelah pemberian infusa daun sirsak

selama 30 hari ... 60 Tabel XI. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

MCH darah tikus jantan tiap kelompok disajikan dalam bentuk Mean±SEM ... 61 Tabel XII. Hasil uji Scheffe kadar MCH setelah pemberian infusa daun sirsak

selama 30 hari ... 62 Tabel XIII. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

MCHC darah tikus jantan tiap kelompok disajikan dalam bentuk Mean±SEM ... 64 Tabel XIV. Hasil uji Scheffe kadar MCHC setelah pemberian infusa daun sirsak

selama 30 hari ... 64 Tabel XV. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

RDW darah tikus jantan tiap kelompok disajikan dalam benttuk Mean±SEM ... 66 Tabel XVI. Hasil uji Scheffe kadar RDW setelah pemberian infusa daun sirsak

selama 30 hari ... 67 Tabel XVII. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

trombosit (PLT) darah tikus jantan tiap kelompok disajikan dalam bentuk Mean±SEM ... 69


(16)

xvi

Tabel XVIII. Hasil uji Scheffe kadar trombosit (PLT) setelah pemberian infusa

daun sirsak selama 30 hari ... 69 Tabel XIX. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

limfosit darah tikus jantan tiap kelompok disajikan dalam bentuk Mean ± SEM ... 71 Tabel XX. Hasil uji Scheffe kadar limfosit setelah pemberian infusa daun sirsak

selama 30 hari ... 72 Tabel XXI. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

monosit tikus jantan tiap kelompok disajikan dalam bentuk Mean±SEM ... 73 Tabel XXII. Hasil uji Scheffe kadar monoosit setelah pemberian infusa daun

sirsak selama 30 hari ... 74 Tabel XXIII. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

neutrofil darah tikus jantan tiap kelompok... 76 Tabel XXIV. Hasil uji Mann-Whitney kadar neutrofil setelah pemberian infusa

daun sirsak selama 30 hari ... 76 Tabel XXV. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

eosinofil darah tikus jantan tiap kelompok disajikan dalam bentuk Mean ± SEM ... 77 Tabel XXVI. Hasil uji Mann-Whitney kadar eosinofil tikus jantan setelah


(17)

xvii

Tabel XXVII. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

hemoglobin tikus betina tiap kelompok perlakuan disajikan dalam bentuk Mean±SEM ... 81 Tabel XXVIII. Hasil uji Scheffe kadar hemoglobin tikus betina setelah pemberian

infusa daun sirsak selama 30 hari... 81 Tabel XXIX. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

eritosit (RBC) tikus betina tiap kelompok disajikan dalam bentuk Mean±SEM ... 85 Tabel XXX. Hasil uji Scheffe kadar eritrosit (RBC) tikus betina setelah pemberian

infusa daun sirsak selama 30 hari ... 85 Tabel XXXI. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

hematokrit (HCT) tikus betina tiap kelompok perlakuan disajikan dlm bentuk Mean±SEM ... 87 Tabel XXXII. Hasil uji Scheffe kadar hematokrit (HCT) tikus betina setelah

pemberian infusa daun sirsak selama 30 hari ... 87 Tabel XXXIII. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

leukosit (WBC) tikus betina tiap kelompok ... 89 Tabel XXXIV. Hasil uji Scheffe kadar leukosit (WBC) tikus betina setelah

pemberian infusa daun sirsak selama 30 hari ... 90 Tabel XXXV. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

MCV tikus betina tiap kelompok disajikan dalam bentuk Mean±SEM ... 91


(18)

xviii

Tabel XXXVI. Hasil uji Scheffe kadar MCV tikus betina setelah pemberian infusa

daun sirsak selama 30 hari ... 92 Tabel XXXVII. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p

kadar MCH tikus betina tiap kelompok disajikan dalam bentuk Mean ± SEM ... 93 Tabel XXXVIII. Hasil uji Scheffe kadar MCH tikus betina setelah pemberian

infusa daun sirsak selama 30 hari ... 94 Tabel XXXIX. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

MCHC tikus betina tiap kelompok disajikan dalam bentuk Mean ± SEM ... 95 Tabel XL. Hasil uji Scheffe kadar MCHC tikus betina setelah pemberian infusa

daun sirsak selama 30 hari ... 96 Tabel XLI. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

RDW tikus betina tiap kelompok disajikan dalam bentuk Mean ± SEM ... 97 Tabel XLII. Hasil uji Scheffe kadar RDW tikus betina setelah pemberian infusa

daun sirsak selama 30 hari ... 98 Tabel XLIII. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

Trombosit (PLT) tikus betina tiap kelompok ... 99 Tabel XLIV. Hasil uji Scheffe kadar trombosit (PLT) tikus betina setelah

pemberian infusa daun sirsak selama 30 hari ... 100 Tabel XLV. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar


(19)

xix

Tabel XLVI. Hasil uji Scheffe kadar limfosit tikus betina setelah pemberian infusa

daun sirsak selama 30 hari ... 102 Tabel XLVII. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

neutrofil tikus betina tiap kelompok disajikan dalam bentuk Mean ± SEM ... 103 Tabel XLVIII. Hasil uji Scheffe kadar neutrofil tikus betina setelah pemberian

infusa daun sirsak selama 30 hari ... 104 Tabel XLIX. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

monosit tikus betina tiap kelompok disajikan dalam bentuk Mean±SEM ... 105 Tabel L. Hasil uji Mann-Whitney kadar monosit tikus betina setelah pemberian

infusa daun sirsak selama 30 hari ... 105 Tabel LI. Nilai pre dan post pemberian infusa daun sirsak serta nilai p kadar

eosinofil darah tikus betina tiap kelompok disajikan dalam bentuk Mean ± SEM ... 106 Tabel LII. Hasil uji Mann-Whitney kadar eosinofil tikus betina setelah pemberian

infusa daun sirsak selama 30 hari... 107 Tabel LIII. Purata berat badan±SEM tikus jantan hari ke-0, ke-7, ke-14, ke-21,

dan ke-28 akibat perlakuan infusa daun sirsak dan kontrol aquadest ... 108 Tabel LIV. Purata berat badan±SEM Tikus Betina hari ke-0, ke-7, ke-14, ke-21,

dan ke-28 akibat pemejanan dan infusa daun sirsak dan kontrol aquadest ... 109


(20)

xx

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Diagram batang rata-rata±SEM pengaruh pemberian infusa daun sirsak terhadap kadar hemoglobin tikus jantan antar kelompok perlakuan ... 51 Gambar 2. Diagram batang rata-rata±SEM pengaruh pemberian infusa daun sirsak

terhadap kadar eritrosit tikus jantan antar kelompok perlakuan ... 54 Gambar 3. Diagram batang rata-rata ± SEMpengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar hematokrit tikus jantan antar kelompok perlakuan ... 56 Gambar 4. Diagram batang rata-rata±SEM pengaruh pemberian infusa daun sirsak

terhadap kadar leukosit tikus jantan antar kelompok perlakuan ... 58 Gambar 5. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar MCV tikus jantan antar kelompok perlakuan .. 60 Gambar 6. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar MCH tikus jantan antar kelompok perlakuan .. 62 Gambar 7. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar MCHC tikus jantan antar kelompok perlakuan 64 Gambar 8. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar RDW tikus jantan antar kelompok perlakuan .. 67 Gambar 9. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar trombosit (PLT) tikus jantan antar kelompok perlakuan ... 69


(21)

xxi

Gambar 10. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun sirsak terhadap kadar limfosit tikus jantan antar kelompok perlakuan 71 Gambar 11. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar monosit tikus jantan antar kelompok perlakuan74 Gambar 12. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar neutrofil tikus jantan antar kelompok perlakuan ... 76 Gambar 13. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar eosinofil tikus jantan antar kelompok perlakuan ... 77 Gambar 14. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar hemoglobin tikus betina antar kelompok perlakuan ... 81 Gambar 15. Diagram batang rata-rata±SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar eritrosit tikus betina antar kelompok perlakuan 85 Gambar 16. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar hematokrit (HCT) tikus betina antar kelompok perlakuan ... 87 Gambar 17. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar leukosit (WBC) tikus betina antar kelompok perlakuan ... 89 Gambar 18. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun


(22)

xxii

Gambar 19. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun sirsak terhadap kadar MCH tikus betina antar kelompok perlakuan .. 94 Gambar 20. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar MCHC tikus betina antar kelompok perlakuan 96 Gambar 21. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar RDW tikus betina antar kelompok perlakuan .. 98 Gambar 22. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar trombosit (PLT) tikus betina antar kelompok perlakuan ... 100 Gambar 23. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar limfosit tikus betina antar kelompok perlakuan ... 102 Gambar 24. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar neutrofil tikus betina antar kelompok perlakuan ... 103 Gambar 25. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar monosit tikus betina antar kelompok perlakuan ... 105 Gambar 26. Diagram batang rata-rata ± SEM pengaruh pemberian infusa daun

sirsak terhadap kadar eosinofil tikus betina antar kelompok perlakuan ... 106 Gambar 27. Grafik perubahan berat badan tikus jantan selama pemberian infusa


(23)

xxiii

Gambar 28. Grafik perubahan berat badan tikus betina selama pemberian infusa daun sirsak hari ke-0 sampai hari ke-28 pada sesuai kelompok dosis ... 110 Gambar 29. Grafik jumlah asupan makan tikus jantan akibat perlakuan infusa

daun sirsak selama 30 hari ... 112 Gambar 30. Grafik jumlah asupan makan tikus betina akibat perlakuan infusa

daun sirsak selama 30 hari ... 112 Gambar 31. Grafik jumlah asupan minum tikus jantan akibat perlakuan infusa

daun sirsak ... 114 Gambar 32. Grafik jumlah asupan minum tikus betina akibat perlakuan infusa


(24)

xxiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Surat Pengesahan Determinasi ... 128 Lampiran 2. Hasil kunci determinasi tanaman sirsak (Annona muricata L.) ... 129

Lampiran 3. Gambar tanaman sirsak dan daun sirsak... 129 Lampiran 4. Foto serbuk kering simplisia daun sirsak dan infusa daun sirsak ... 130 Lampiran 5. Gambar rangkaian alat destilator (destilasi toluen) ... 130 Lampiran 6. Surat keterangan Ethical Clearence ... 131

Lampiran 7. Perhitungan bobot tetap daun sirsak ... 132 Lampiran 8. Perhitungan rendemen daun sirsak ... 132 Lampiran 9. Perhitungan kadar air dalam daun sirsak ... 132 Lampiran 10. Perhitungan penetapan peringkat dosis infusa daun sirsak pada tiap

kelompok perlakuan ... 132 Lampiran 11. Uji Normalitas Sistem Hematologi Tikus Jantan Sesudah Perlakuan

Infusa Daun Sirsak Selama 30 Hari ... 134 Lampiran 12. Uji Normalitas Sistem Hematologi Tikus Betina Sesudah Perlakuan

Infusa Daun Sirsak Selama 30 Hari ... 134 Lampiran 13. Uji T-Test Kadar Eritrosit (RBC) Tikus Jantan... 135 Lampiran 14. Uji statistik one way Anova kadar eritrosit (RBC) tikus jantan ... 136

Oneway 136

Lampiran 15. Uji T-Test Kadar Eritrosit (RBC) Tikus Betina ... 137 Lampiran 16. Uji statistik One Way Anova kadar eritrosit (RBC) tikus betina .. 138


(25)

xxv

Lampiran 17. Uji Paired T-Test Kadar Eosinofil Tikus jantan ... 140 Lampiran 18. Analisis statistik dengan uji Kruskal-Wallis kadar eosinofil tikus

jantan ... 141 Lampiran 19. Uji statistik menggunakan uji Mann-Whitney pada kadar eosinofil

tikus jantan ... 142 Lampiran 20. Uji Paired T-Test Kadar Eosinofil Tikus Betina ... 151

Lampiran 21. Analisis statistik dengan uji Kruskal-Wallis kadar eosinofil tikus

betina ... 151 Lampiran 22. Uji statistik menggunakan uji Mann-Whitney pada kadar eosinofil


(26)

xxvi

INTISARI

Makin maraknya penggunaan daun sirsak di masyarakat sebagai obat terutama untuk pengobatan kanker, menjadikan masyarakat mengkonsumsi daun sirsak dalam jangka panjang. Namun belum diketahui secara ilmiah tentang keamanan daun sirsak bila dikonsumsi dalam jangka waktu panjang. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wujud efek toksik infusa daun sirsak pada sistem hematologi secara subkronis.

Penelitian menggunakan metode eksprimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Subjek uji yang digunakan adalah tikus putih galur

Sprague Dawley umur 2-3 bulan, kisaran berat badan 150-250 gram. Sebanyak 50

ekor tikus dibagi secara acak menjadi 5 kelompok, yaitu empat kelompok perlakuan dan satu kelompok kontrol, setiap kelompok terdiri dari 5 jantan dan 5 betina. Kelompok perlakuan diberikan infusa daun sirsak dengan dosis 108; 180; 301; 503 mg/kgBB dan kontrol aquadest 8333 mg/kgBB, selama 30 hari. Dilakukan pemeriksaan sistem hematologi pada hari ke-0 dan hari ke-31 dan pengamatan terhadap berat badan, asupan makan dan minum setiap harinya. Analisis menggunakan One wayAnova dan uji scheffe (distribusi data normal), uji Kruskal Wallis dan Mann-Whitney (distribusi data tidak normal).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian infusa daun sirsak selama 30 hari tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap perubahan sistem hematologi dan tidak ditemukan adanya hubungan kekerabatan antara dosis dengan spektrum efek toksik.

Kata kunci: Annona muricata L., daun sirsak, infusa, sistem hematologi,


(27)

xxvii

ABSTRACT

Increasing usage of Annona muricata L. leaves by people as medicine

especially for cancer treatment makes people consume it for long period. But, it has not been examined scientifically for its safety when it is being consumed for long period. So, this study is intended to identify subchronic effect of soursop leaves infusion toxicity upon hematology system.

This study uses pure experimental method with complete direct current random plan pattern. Subject research is white Sprague-Dawley rat, 2-3 months of age, 150-250 gram in weight. Fifty rats are divided into 5 groups randomly, four treatment-groups and one control-group. Every group consists of 5 female and 5 male. Treatment groups are given soursop leaves infusion with 108; 180; 301; 503 mg/kg body weight dose and water (aquadest) for control group for 30 days. Examination on hematology system is done on 0th and 31th day and weight

observation, meal, and drink examinations are done daily. The analysis uses one way Anova and Scheffe test (normal data distribution), Kruskal Wallis test, and Mann-Whitney (abnormal data distribution).

The research result shows that soursop leaves infusion treatment for 30 days does not give significant change on hematology system and no relationship is found between the dosage and toxic effect spectrum.

Key words: Annona muricata L. soursop leaves infusa, hematology system,


(28)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan tanaman obat-obatan. Hal ini didukung oleh kondisi alam yang subur sehingga tanaman mudah tumbuh dengan baik di berbagai daerah di Indonesia. Penggunaan tanaman sebagai obat tradisional makin marak dimasyarakat khususnya masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Selain itu dengan adanya isu back to nature di

dunia barat yang kembali mengakui tradisi pengobatan timur khususnya Asia yakni pengobatan menggunakan tanaman sebagai obat atau pengobatan menggunakan bahan alam menyebabkan meluasnya penggunaan tanaman-tanaman yang berkhasiat obat.

Obat tradisional merupakan obat jadi atau ramuan bahan alam yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik atau campuran bahan-bahan tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Depkes RI, 2003). Salah satu dari tanaman yang berkhasiat obat adalah tanaman sirsak. Secara khusus, daun sirsak akhir-akhir ini digunakan sebagai obat tradisional yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Air rebusan daun sirsak/infusa daun sirsak yang dikonsumsi di masyarakat sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit atau untuk mencegah penyakit dapat memberikan efek farmakologis misalnya sebagai antikanker, antiplasmodik,


(29)

antidiare, antidiabetes, dan memiliki efek hepatoprotektif (Arthur, Woode, Terlabi dan Larbie 2011).

Pengetahuan masyarakat tentang obat tradisional dapat mencegah, menyembuhkan, memulihkan kesehatan dan meningkatkan kesehatan menjadikan masyarakat mengkonsumsi obat tradisional tersebut secara terus-menerus. Padahal tidak menutup kemungkinan bahwa penggunaan terus-menerus dari obat tradisional tersebut dapat menyebabkan toksisitas.

Telah dilakukan penelitian mengenai kegunaan dan kandungan kimia daun sirsak oleh Mc. Laughin, Liau, dan Alali, (1999) terutama sebagai antikanker karena mengandung senyawa acetogenins. Kebiasaan masyarakat

mengkonsumsi air rebusan daun sirsak dalam jangka waktu yang lama tanpa pengetahuan mengenai dosis yang benar. Belum banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar dosis yang aman jika daun sirsak dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama.

Sistem hematologi/darah merupakan salah satu organ penting dalam tubuh makhluk hidup. Peranan darah dalam tubuh adalah sebagai berikut: sebagai pengangkut/pengedar sari makanan, pengedar hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar endokrin yang dilakukan oleh plasma darah, sebagai penyedia bahan pelindung terhadap serangan kuman/mikroorganisme dilakukan oleh sel darah putih, sebagai pengangkut oksigen ke seluruh tubuh yang dilakukan oleh sel-sel darah merah, menutupi luka yang dilakukan oleh keping-keping darah dan menjaga kestabilan suhu tubuh (Pearce, 2009). Sistem hematologi/darah yang demikian penting peranannya dalam tubuh, apabila terpapar senyawa-senyawa


(30)

yang dikonsumsi dalam dosis besar yang menyebabkan ketoksikan sistem hematologi/darah maka akan sangat mempengaruhi fungsi dan peranannya tersebut.

Pengaruh efek toksik dari senyawa-senyawa dapat berupa perubahan kadar sistem hematologi/darah baik peningkatan maupun penurunan kadar yang tidak sesuai dengan range normal. Sebagai contoh, salah satu komponen darah yakni leukosit. Leukosit berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Jika terjadi peningkatan leukosit (leukositosis) menyebabkan inflamasi/radang akut. Peningkatan leukosit yang sangat tinggi dapat djumpai pada penderita kanker post

operasi. Jika terjadi penurunan jumlah leukosit (leukopenia) sistem kekebalan tubuh berkurang untuk melawan kuman penyakit. Leukopenia biasanya disebabkan oleh infeksi virus, leukemia atau disebabkan oleh konsumsi obat antimetabolit, antibiotik, kemoterapi, dan antikonvulsan. (Depkes RI, 2011).

Penelitian Arthur et al, (2011) telah melaporkan mengenai uji toksisitas

akut dan subkronis ekstrak air daun sirsak (Annona muricata Linn.) yang

diberikan pada mencit selama 14 hari. Hasil penelitian ini menunjukkan terjadi peningkatan limfosit seiring dengan peningkatan dosis namun perubahan tersebut tidak signifikan baik pada jumlah limfosit maupun jumlah White Blood Cell

(WBC).

Penggunaan air rebusan daun sirsak dalam jangka panjang sebagai anti kanker pada masyarakat membutuhkan informasi ketoksikan jangka panjang. Oleh karena itu, perlu adanya uji toksisitas secara subkronik selama 30 hari pada sistem hematologi/darah tikus yang mencakup nilai hemoglobin, eritrosit,


(31)

hematokrit, RDW (red blood cell distribution width), MCV (mean corpuscular volum), MCH (mean corpuscular hemoglobin), MCHC (mean corpuscular hemoglobin concentration), trombosit (PLT), leukosit, limfosit, eosinofil,

monosit, neutrofil, basofil, LED jam I dan LED jam II.

Adapun perubahan sistem hematologi merupakan perubahan/kekacauan biokimia yang merupakan salah satu wujud efek toksik. Wujud efek toksik berupa perubahan biokimia ini, dapat menyebabkan peningkatan atau pengurangan aktivitas pada sistem hematologi. Perubahan/kekacauan biokimiawi biasanya merupakan salah satu tahap awal menuju perubahan/kekacauan struktural akibat efek toksik (Donatus, 2001).

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi masyarakat luas agar dapat mengetahui efek toksik yang dapat ditimbulkan pada sistem hematologi/darah akibat konsumsi infusa daun sirsak secara berulang dalam jangka waktu yang lama dengan mengevaluasi perubahan kadar pada sistem hematologi/ darah.

1. Perumusan masalah

a. Seberapa besar wujud efek toksik yang dapat ditimbulkan infusa daun sirsak berupa perubahan/kekacauan biokimia sistem hematologi tikus jantan dan betina yang dievaluasi dari perubahan kadar sistem hematologi?

b. Apakah terdapat hubungan kekerabatan antara dosis infusa daun sirsak yang diberikan secara subkronik dengan perubahan kadar sistem hematologi pada tikus jantan dan betina?


(32)

2. Keaslian penelitian

Penelitian-penelitian yang telah dipublikasikan tentang penggunaan sirsak adalah sebagai berikut:

a. Sirsak (Annona muricata L.): Hematologi Darah dan Biokimia Serum pada

Tikus Sprague Dawley (Syahida, Maskat, Suri, Mamot, and Hadijah, 2012).

Penelitian ini dilakukan secara in vivo, yang dilakukan selama 28 hari pada dosis bertingkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daging buah

Annona muricata L. tidak menimbulkan efek negatif terhadap sistem

hematologi meskipun terdapat adanya peningkatan secara signifikan secara statistik (p<0,05) pada platelet. Hasil uji biokimia serum menunjukkan bahwa ekstrak Annona muricata L. tidak menimbulkan gagal hati dan ginjal. Total antioxidant status (TAS) menunjukkan peningkatan signifikan seiring

peningkatan dosis. Namun, peningkatan ini masih dalam batas normal.

Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian dilakukan dengan menggunakan bahan uji ekstrak daging buah sirsak sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan bahan uji berupa infusa daun sirsak.

b. Uji toksisitas akut dan subkronik ekstrak air Annona muricata Linn. terhadap

hewan (Arthur et al., 2011). Penelitian ini dilakukan hanya dalam waktu 14

hari. Hasil penelitian ini menunjukkan terjadi peningkatan limfosit seiring dengan peningkatan dosis namun perubahan tersebut tidak signifikan baik pada jumlah limfosit maupun jumlah WBC (white blood cell).

Menurut penulis, penelitian selama 14 hari belum dapat menggambarkan potensi ketoksikan infusa daun sirsak karena konsumsi infusa daun sirsak


(33)

dimasyarakat dalam jangka waktu lama lebih dari 14 hari. Dan berdasarkan penelusuran, sejauh penulis ketahui belum dilakukan penelitian uji toksisitas subkronis infusa daun sirsak (Annona muricata L.): kajian terhadap sistem

hematologi pada tikus jantan dan betina selama 30 hari.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis. Memberikan informasi mengenai toksisitas subkronis infusa daun sirsak terhadap sistem hematologi.

b. Manfaat praktis. Memberikan informasi pada masyarakat luas, mengenai keamanan infusa daun sirsak yang dikonsumsi dalam jangka waktu lama tentang wujud efek toksik berupa perubahan/kekacauan biokimia terhadap sistem hematologi yang dievaluasi dari perubahan kadar sistem hematologi dan menilai hubungan efek toksik dan dosis.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan ada tidaknya efek toksik infusa daun sirsak yang diberikan secara subkronik.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengungkapkan wujud efek toksik infusa daun sirsak berupa perubahan/kekacauan biokimia terhadap sistem hematologi yang dievaluasi dari perubahan kadar sistem hematologi.

b. Untuk mengungkapkan kekerabatan dosis infusa daun sirsak yang diberikan secara subkronik terhadap perubahan sistem hematologi.


(34)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tanaman Sirsak (Annona muricata L.)

1. Daerah asal dan penyebaran

Tanaman sirsak merupakan tanaman tahunan yang dapat tumbuh dan berbuah sepanjang tahun. Tanaman sirsak ini diperkirakan berasal dari Karibia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Tanaman sirsak kemudian menyebar hampir ke seluruh benua (Muktiani, 2011).

Di Indonesia, tanaman sirsak tumbuh baik pada dataran rendah beriklim kering maupun daerah beriklim basah pada ketinggian 1000 meter dari permukaan laut. Tanaman sirsak yang terdapat di Indonesia didatangkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19. Oleh karena itu, sebutan atau nama lain yang dari tanaman sirsak di Indonesia dikenal dengan nangka belanda atau durian belanda (Muktiani, 2011).

2. Nama daerah

Nama sirsak di Indonesia berasal dari bahasa Belanda zuurzak yang

berarti ”kantung asam” (Rahima, 2011). Penyebaran tanaman sirsak yang begitu meluas di Indonesia menjadikan sirsak disebutkan dalam berbagai bahasa daerah. Di beberapa daerah di Indonesia, sirsak dikenal dengan beberapa nama yang berbeda yaitu: nangka sebrang/nangka landa (Jawa), jambu landa (Lampung), deureuyan belanda (Aceh), durian betawi (Minangkabau), srikaya jawa (Bali), nangka buris (Madura), nangka walanda/sirsak (Sunda), durio ulondro (Nias) (Rukmana dan Yuniarsih, 2001 ).


(35)

3. Jenis tanaman sirsak di Indonesia

Ada 4 jenis sirsak yang dikenal di Indonesia yang memiliki rasa yang berbeda yakni: sirsak Ratu, sirsak biasa, sirsak Bali, sirsak Mandalika. Jenis sirsak Ratu dikembangkan di pelabuhan Ratu, Sukabumi (Jawa Barat), sehingga akhirnya dikenal sebagai sirsak Ratu. Buah sirsak Ratu memiliki rasa yang manis. Pada jenis sirsak biasa bercita rasa masam manis dan memiliki kemiripan tampilan seperti sirsak Ratu. Ciri khas (spesifikasi) sirsak Ratu adalah buahnya berukuran kecil sampai besar, berkulit licin dan berduri, dengan daging buah bertepung. Perubahan warna kulit buah sirsak Ratu dari stadium mentah ke stadium matang (masak) berlangsung lambat (Rukmana dan Yuniarsih, 2001 ).

Selanjutnya sirsak Bali dikenal dengan nama sirsak gundul karena berkulit licin, tidak berduri dan memiliki rasa masam manis. Karakteristik sirsak Bali buahnya berukuran kecil dengan berat per buah berkisar antara 200-300 gram. Stadium matang ditandai dengan kulit buah yang berwarna coklat kekuning-kuningan. Sirsak Bali berasal dari Bali. Laju pertumbuhan sirsak Bali lebih cepat dibandingkan dengan jenis sirsak lainnya (Rukmana dan Yuniarsih, 2001 ).

Sirsak biasa memiliki tampilan yang mirip dengan sirsak Ratu. Buah sirsak jenis ini berukuran kecil sampai besar, berkulit licin dan berduri, dengan daging buah yang tidak bertepung, berkadar air tinggi, dan berasa asam manis. Proses matangnya buah sirsak biasa berlangsung cepat (Rukmana dan Yuniarsih, 2001 ).


(36)

Sirsak Mandalika memiliki karakteristik amat mirip dengan sirsak Ratu atau sirsak biasa berasa manis namun berbeda dalam hal jarak duri-duri kulit buah yang jarang dan berbiji banyak (Rukmana dan Yuniarsih, 2001).

4. Sistematika

Sistematika tanaman sirsak (Annona muricata L.) sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (tanaman)

Subkingdom : Tracheobionta (tanaman berpembuluh) Superdivisio : Spermatohyta (menghasilkan biji) Divisio : Magnoliophyta (tanaman berbunga)

Kelas : Magnoliopsida/Dicotyledonae (berkeping dua) Subkelas : Magnoliidae

Ordo : Magnoliales Family : Annonaceae Genus : Annona

Species : Annona muricata L.

(Plantamor, 2008).

5. Morfologi

Pemerian daun sirsak secara makroskopik pada daun sirsak berupa daun tunggal, warna kehijauan sampai hijau kecoklatan, helaian daun seperti kulit, bentuk bundar panjang, lanset atau bundar telur terbalik, panjang helaian daun 6 cm sampai 18 cm, lebar 2 cm sampai 6 cm. Ujung daun meruncing pendek, pangkal daun runcing, tepi rata; panjang tangkai daun lebih kurang 0,7 cm,


(37)

permukaan licin agak mengkilat, tulang daun menyirip, ibu tulang daun menonjol pada permukaan bawah (Depkes RI, 1995).

Pemerian daun sirsak secara mikroskopik meliputi: penampang melintang melalui tulang daun tampak sel epidermis atas bentuk empat persegi panjang dengan dinding bergelombang, kutikula tebal; sel epidermis bawah lebih kecil dari pada atas, bentuk tidak beraturan dengan dinding bergelombang, terdapat stomata, rambut penutup bentuk lurus, terdiri dari 2 sel sampai 3 sel, ujung tumpul (Depkes RI, 1995).

Serbuk daun sirsak berwarna kehijauan. Fragmen pengenalnya adalah epidermis atas bentuknya tidak beraturan, dinding bergelombang terdapat stomata tipe anomositik, rambut penutup panjang, dinding tebal, lumen tebal, fragmen pembuluh kayu dengan penebalan tangga, sel batu bundar, fragmen mesofil dengan palisade; mesofil dengan sel sekresi bentuk bundar dinding tebal; fragmen parenkim bernokhtah (Depkes RI, 1995).

Bunga tanaman sirsak termasuk bunga tunggal (flos simplex). Dalam satu

bunga terdapat banyak putik. Bunga berukuran besar, dengan mahkota berjumlah 6 dan sepalum yang terdiri atas 2 lingkaran. Tiga daun mahkota lingkar luar lebih tebal dan besar sedangkan tiga daun mahkota lingkar dalam berukuran lebih kecil. Bunga berwarna kuning keputih-putihan (Muktiani, 2011).

Buah tanaman sirsak termasuk buah sejati yaitu buah yang berasal dari satu buah dengan banyak bakal buah tetapi membentuk satu buah. Buah sirsak memiliki duri sisik yang halus. Apabila buah sudah tua, daging buah berwarna putih, lembek, dan berserat dengan banyak biji berwarna coklat kehitaman.


(38)

Bentuk buah bagian ujung agak membulat dengan diameter ± 5 cm, diameter bagian tengah ± 7 cm, serta panjang buah ± 17 cm. Kerapatan duri maksimal 4 cm (diukur pada bagian buah yang durinya paling jarang). Buah yang sudah tua/matang berwarna hijau agak kekuningan dan mengkilap (Muktiani, 2011).

Biji berwarna coklat kehitaman, keras, berujung tumpul, permukaan halus mengkilat dengan ukuran panjang kira-kira 16,8 mm dan lebar 9,6 mm. Batang tanaman sirsak berkayu keras dengan arah cabang tidak menentu. Ketinggian batang mencapai 8-10 meter dengan diameter batang 10-30 cm. Akar tanaman sirsak dapat menembus tanah hingga kedalaman 2 meter, memiliki akar samping yang banyak dan kuat (Muktiani, 2011).

6. Kandungan kimia

Pada kulit batang mengandung senyawa tanin, fitosterol, Ca-oksalat,

muricine dan alkaloid. Biji sirsak mengandung reticuline, solamin, anomuricin, anomurine. Buah sirsak yang kaya serat mengandung karbohidrat. Salah satu jenis

karbohidrat yang terkandung dalam buah sirsak adalah gula pereduksi (glukosa dan fruktosa) dengan kadar 81,9-93,6 persen dari kandungan gula total (Muktiani, 2011).

Pada buah sirsak terdapat pula aroma asam yang berasal dari asam organik non volatil terutama asam malat, asam sitrat, dan asam isositrat. Pada buah sirsak segar dapat ditemukan minyak atsiri yang mengandung monoterpen dan seskuiterpen seperti calarene, α-caryophyllene, 1,8-cineole, linalool, R-terpineol, linalyl propionate (Bicas, Molina, Dionisio, Baros, Wagner, and Marostico,


(39)

Melalui analisis kualitatif fitokimia pada serbuk daun sirsak, Pathak, Saraswathy, Vora dan Savai (2010), telah melaporkan bahwa daun sirsak mengandung metabolit sekunder berupa steroid, tannin dan glikosida jantung. Penelitian lain yang dilakukan oleh Mc Laughin et al. pada tahun 1999, daun

sirsak mengandung acetogenins yang merupakan kumpulan senyawa aktif seperti muricatosin A, muricatosin B, annomuricin E, muricapentocin, annopentocin A, annopentocin B, dan annopentocin C.

7. Khasiat dan kegunaan

Semua bagian tanaman sirsak mempunyai khasiat dan kegunaan, mulai dari kulit kayu, akar, daun, daging buah, hingga bijinya. Buah sirsak merupakan sumber vitamin dan mineral dengan rasa yang menyegarkan. Buah sirsak yang kaya serat dapat bermanfaat untuk melancarkan pencernaan (antisembelit), meningkatkan nafsu makan, anti-skorbut (kekurangan vitamin C) (Rukmana, 2001).

Di negara Brazil, bunga sirsak digunakan untuk mengobati penyakit saluran pernapasan (bronchitis). Kombinasi bunga, daun dan akar dapat menyembuhkan sakit di dada. Kulit batang yang direbus dapat memperbaiki kerja jantung, mengobati hipertensi sedangkan biji sirsak bermanfaat untuk mengatasi masuk angin dan dapat digunakan sebagai pestisida nabati (Muktiani, 2011). .

Dalam The Journal of Natural Product (1999), mengungkapkan riset

terhadap daun sirsak yang berguna sebagai antikanker. Dalam uji in vitro oleh Mc.


(40)

kanker paru-paru, sel kanker payudara, sel kanker usus, sel kanker ginjal, sel kanker prostat dan sel kanker pankreas (Mc Laughin et al., 1999).

Daun sirsak mengandung minyak esensial dengan efek parasitisidal, anti-diare, rheumatological dan anti-neuralgik. Infusa air matang daun memiliki sifat

anti-plasmodik, membantu mengobati diabetes dan gangguan lambung, penyakit kuning dan digunakan dalam mengobati aliments ginjal. Daunnya juga memiliki sifat hepatoprotektif terhadap kerusakan yang diinduksi oleh karbontetraklorida dan acetaminophen (Arthur et al., 2011).

Acetogenins menghambat proses mitosis sel kanker dengan menghambat

pembentukan adenosin trifospat (ATP) dengan cara menempel pada reseptor

dinding sel dan merusak ATP di dinding mitokondria yang dapat menyebabkan produksi energi dalam sel kanker terhenti, dengan demikian sel kanker mengalami kematian (Mc Laughin et al., 1999).

8. Efek samping

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa konsumsi sirsak ditoleransi dengan baik namun konsumsi dosis tinggi sirsak dapat menyebabkan gangguan pencernaan, hipotensi, disfungsi saraf yang menyebabkan gangguan neurologis, dan myeloneuropathy dari saraf optik. Selain itu, dilaporkan

bahwa sirsak menunjukkan aktivitas stimulan rahim dalam studi hewan (tikus) oleh karena itu tidak boleh digunakan selama kehamilan (Rain tree, 2012).

Efek samping pada gastrointestinal dilaporkan bahwa dengan pemberian dosis tunggal yang tinggi bisa menyebabkan mual atau muntah. Dalam studi epidemiologi, terdapat hubungan yang kuat konsumsi secara teratur buah sirsak


(41)

atau teh yang terbuat dari berbagai jenis daun sirsak, dapat menimbulkan peningkatan parkinson atipikal. Berdasarkan penelitian terhadap tikus, neurotoksin yang terdapat dalam sirsak meliputi alkaloid, acetogenins (termasuk

annonacin), dan senyawa isoquinolone. Dalam studi ini, konsentrasi tinggi annonacin melintasi penghalang darah-otak dan memasuki parenkim otak,

penurunan adenosin trifosfat (ATP) tingkat otak dan merusak ganglia basal dan inti batang otak. Konsumsi sirsak dapat mempotensiasi obat depresan antihipertensi dan jantung (Rain tree, 2012).

B. Sediaan Infusa 1. Pengertian infusa

Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 900 C selama 15 menit. Infusa dapat

diminum panas atau dingin (BPOM RI, 2010).

2. Pembuatan infusa

Pembuatan infusa merupakan cara yang paling sederhana untuk membuat sediaan herbal dari bahan lunak misalnya daun dan bunga. Pembuatan infusa dapat dilakukan dengan cara mencampur simplisia derajat halus yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya, kemudian memanaskannya diatas penangas air selama 15 terhitung mulai suhu mencapai 900C sambil sesekali diaduk-aduk.

Serkai selagi panas melalui kain flannel, menambahkan air panas secukupnya pada ampas hingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki. Infusa simplisia yang mengandung minyak atsiri diserkai setelah dingin. Infusa simplisia yang mengandung lendir tidak boleh diperas (BPOM RI, 2010).


(42)

C. Sistem Hematologi

Hematologi adalah ilmu yang mempelajari tentang sel-sel darah dan faktor-faktor yang memengaruhi fungsinya (WHO, 2003). Darah merupakan jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yakni sel-sel darah dan plasma darah. Darah terdapat didalam pembuluh darah. Sel-sel darah ini tersuspensi didalam plasma darah. Sel-sel darah terdiri dari tiga komponen penting yakni eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih) dan trombosit (butir pembeku). Plasma darah tersusun dari air (91%), protein (8 %), mineral (0,9%), bahan organik (0,1%), hormon, enzim, antigen, gas oksigen dan karbondioksida (Pearce, 2009).

Peranan darah amat penting yakni untuk pengangkutan sari-sari makanan dan pasokan oksigen, membantu mempertahankan suhu tubuh, mengangkut hormon-hormon dan melawan infeksi. Sel-sel otak secara khusus membutuhkan pasokan oksigen yang konstan, jika pasokan oksigen terhenti maka akan menimbulkan kematian pada sel-sel otak dalam waktu yang singkat. Jenis-jenis sel darah yang bertanggung jawab untuk transportasi oksigen dan karbondioksida adalah platelet, limfosit, sel darah putih, dan sel darah merah (Ganong, 2008).

D. Jenis-Jenis Sel Darah 1. Sel darah merah (eritrosit)

Sel darah merah (eritrosit) berupa cakram kecil bikonkaf, tidak berinti, dan berbentuk cekung pada kedua sisinya. Dalam setiap milimeter kubik darah terdapat 5 juta sel darah. Apabila eritrosit dilihat satu persatu warnanya kuning


(43)

pucat, tetapi bila dalam jumlah banyak akan kelihatan berwarna merah (Pearce, 2009).

Ukuran eritrosit ± 7-8 µm dan konsentrasi normalnya sekitar 4-5 x 1012

per liter (4-5 x 106 per mm3) darah. Produksi sel darah merah (eritrosit) terdapat

didalam sumsum tulang merah, limpa dan hati. Eritrosit mengandung hemoglobin yang mengikat dan mengangkut oksigen dari paru-paru ke berbagai jaringan dan kemudian mengangkut karbondioksida dari jaringan ke paru-paru untuk dieksresikan (WHO, 2003).

Umur sel darah merah normal adalah 120 hari, hal ini berarti bahwa setiap hari terjadi pergantian kurang dari 1% populasi sel darah merah (200 milyar sel atau 2 juta per detik). Umur sel darah merah yang sangat singkat terjadi pada keaadaan anemia hemolitik, pada keadaan ini sumsum tulang berupaya memproduksi jumlah sel darah muda ke dalam sirkulasi untuk mencapai keadaan homeostasisnya (Murray, Granner, and Rodwell, 2006).

Hemoglobin merupakan pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah merah vertebrata yaitu suatu protein dengan dengan berat molekul 64.450. Hemoglobin berbentuk molekul bulat dan terdiri atas empat subunit. Tiap-tiap sub unit mengandung satu gugus heme yang terkonyugasi suatu polipeptida. Heme adalah suatu derivat porfirin yang mengandung besi. Polipeptida-polipeptida yang terkonyugasi pada heme secara kolektif disebut sebagai globin dari molekul hemoglobin (Ganong, 2008).

Pada hemoglobin manusia dewasa normal (hemoglobin A), terdapat dua jenis polipeptida dinamakan rantai α dan masing-masing masing-masing


(44)

mengandung 141 residu asam amino dan rantai β yang masing masing mengandung 146 residu asam amino. Jadi, hemoglobin A diberi kode α2β2 . Tidak semua hemoglobin didalam darah orang dewasa normal berupa hemoglobin A. Ada derivat hemoglobin A dalam jumlah kecil yang terkait erat dengan hemoglobin A dan merupakan hemoglobin terglikasi. Salah satunya adalah hemoglobin A1c (HbA1c) yang mempunyai satu glukosa yang menempel pada

valin terminal di setiap rantai β. Hemoglobin ini sangat menarik karena jumlahnya dalam darah meningkat pada diabetes melitus yang tidak terkontrol (Ganong, 2008).

Hemoglobin memiliki afinitas terhadap oksigen dan dengan oksigen membentuk oksihemoglobin didalam sel darah merah. Dengan cara tersebut, maka oksigen dapat dibawa dari paru-paru ke seluruh jaringan. Jumlah hemoglobin dalam dalam darah normal kira-kira 15 gram tiap 100 ml darah (Pearce, 2009).

2. Sel darah putih (leukosit)

Sel darah putih (leukosit) berupa sel bulat berinti dengan sitoplasma yang granuler. Ukurannya sekitar 9-20 µm. Pada pemeriksaan mikroskopik leukosit dapat dengan mudah dibedakan dengan eritrosit karena leukosit memiliki inti (WHO, 2003).

Pada keadaan normal, darah manusia mengandung 4.000-11.000 sel darah putih per mikroliter. Dari jumlah ini, jenis sel terbanyak adalah granulosit (polimorfonukleus, PMN) (Ganong, 2009).

Sel darah putih (leukosit) dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yakni kelompok fagosit dan imunosit. Granulosit yang mencakup tiga jenis sel


(45)

yakni sel netrofil (polimorfonuklear), eosinofil dan basofil beserta monosit membentuk kelompok fagosit (Hoffbrand, Pettit, and Moss, 2005).

Sel netrofil memiliki inti padat khas yang terdiri atas dua sampai lima lobus dan sitoplasma yang pucat, dengan garis batas yang tidak beraturan mengandung banyak granula merah muda-biru (azurofilik) atau warna kelabu-biru. Prekursor netrofil secara normal tidak tampak dalam darah tepi normal tetapi tedapat dalam sumsum tulang. Prekursor paling awal dapat dikenali adalah mieloblas (Hoffbrand et al, 2005).

Waktu paruh rata-rata sel netrofil dalam sirkulasi adalah 6 jam. Untuk dapat mempertahankan kadar normal dalam peredaran darah diperlukan pembentukkan lebih dari 100 miliar neurofil per hari (Ganong, 2008). Neutrofil dalam pewarnaan berwarna ungu/netral karena dapat menyerap pewarna asam maupun basa, sehingga tampaknya berwarna ungu (Pearce, 2009).

Monosit biasanya berukuran lebih besar dari leukosit darah tepi lainnya dan mempunyai inti sentral atau berlekuk dengan kromatin yang menggumpal. Sitoplasmanya yang banyak berwarna biru dan mengandung banyak vakuol halus. Prekursor monosit dalam sumsum tulang (monoblas dan promonosit) (Hoffbrand

et al, 2005).

Eosinofil mirip dengan netrofil, kecuali granula sitoplasmanya lebih kasar, lebih berwarna merah tua, dan jarang dijumpai lebih dari tiga lobus inti. Sel eosinofil memasuki eksudat inflamatorik dan berperan khusus dalam respons alergi, pertahanan terhadap parasit dan pembuangan fibrin yang terbentuk selama inflamasi (Hoffbrand et al, 2005).


(46)

Eosinofil memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang singkat, dan ditarik ke permukaan endotel oleh selektin berikatan dengan integrin yang melekatkan sel ini ke dinding pembuluh serta masuk ke jaringan melalui diapedesis. Eosinofil akan mengeluarkan berbagai protein, sitokin dan kemokin yang menimbulkan peradangan dan mampu membunuh organisme yang masuk kedalam tubuh (Ganong, 2008).

Basofil jarang ditemukan dalam darah tepi normal. Sel ini mempunyai granula sitoplasma yang gelap menutupi inti serta mengandung heparin dan histamin (Hoffbrand et al, 2005). Basofil menyerap pewarna basa dan pada

pengamatan berwarna biru. Peranan basofil memasuki jaringan dan membebaskan beberapa protein dan sitokin. Jumlahnya lebih sedikit dibanding sel leukosit lainnya (Pearce, 2009).

Sel darah putih (leukosit) berperan penting dalam sistem pertahanan tubuh (sistem imun). Granulosit dan monosit mempunyai peranan dalam perlindungan tubuh terhadap mikroorganisme dengan cara memakan bakteri-bakteri yang masuk ke peredaran darah, kemampuan memakan organisme asing oleh granulosit dan monosit ini dinamakan fagositosis. Dengan kekuatan gerakan amuboid pada granulosit dan monosit dapat bergerak bebas masuk keluar pembuluh darah untuk mengepung daerah yang terkena infeksi atau cedera, menangkap organisme hidup dan menghancurkannya, menyingkirkan kotoran-kotoran. Secara khusus, pada granulosit memiliki enzim yang dapat memecah protein yang memungkinkan merusak jaringan hidup, menghancurkan dan


(47)

membuangnya. Dengan cara demikian, jaringan yang sakit atau terluka dapat diperbaiki (Pearce, 2009).

Limfosit dihasilkan dari jaringan sistem retikuloendotelial dan kelenjar limfe. Bentuknya ada yang besar dan kecil, jumlahnya sekitar 20-25 % (Ganong, 2009). Limfosit merupakan sel yang kompeten secara imunologik dan membantu fagosit dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi dan invasi asing lain. Limfosit terdiri dari dua jenis yakni sel B dan T. Pada manusia, sel B berasal dari sel induk sumsum tulang dan pada sel T awalnya berasal dari sel induk sumsum tulang tetapi bermigrasi ke timus tempat berdiferensiasi menjadi sel T matur (Hoffbrand et al, 2005).

3. Trombosit

Trombosit dihasilkan dalam sumsum tulang melalui fragmentasi sitoplasma megakariosit. Pengatur utama produksi trombosit adalah trombopoietin yang dihasilkan oleh ginjal dan hati. Lama hidup trombosit yang normal sekitar 7-10 hari ( Hoffbrand et al, 2005).

Trombosit adalah fragmen megakariosit yang ditemukan pada darah tepi dan berperan dalam proses pembekuan darah. Ukuran trombosit sekitar 2-5 µm. Pada orang dewasa jumlah normal trombosit adalah 150-300 x 109 trombosit per

liter darah (WHO, 2003). Trombosit merupakan elemen terkecil dalam pembuluh darah, teraktivasi setelah kontak dengan permukaan dinding endotelia (Depkes RI, 2011).


(48)

E. Cairan Plasma Darah

Plasma darah adalah cairan berwarna kuning yang dalam reaksi bersifat sedikit alkali. Komposisi plasma dan bahan-bahan yang terkandung didalam plasma adalah sebagai berikut: air, protein (albumin, fibrinogen, protrombin, globulin), mineral (natrium klorida, natrium bikarbonat, garam dari kalsium, fosfor, magnesium dan besi), bahan organik (asam urat, kreatinin, lemak, glukosa, urea, kolestrol, asam amino), gas (oksigen, karbondioksida), hormon, enzim, antigen (Pearce, 2009).

Hampir 90% plasma terdiri atas air. Volume plasma normal adalah sekitar 5% dari berat badan. Plasma menggumpal bila didiamkan dan tetap berwujud cair jika ditambahkan antikoagulan. Bila darah lengkap dibiarkan menggumpal dan gumpalanya diambil, maka sisa cairannya disebut serum. Pada dasarnya plasma dan serum memiliki komposisi yang sama namun ada beberapa kandungan protein yang tidak ada pada serum. Perbedaan plasma dan serum yakni, pada serum tidak terdapat fibrinogen dan pada plasma masih ada fibrinogen (Ganong, 2008).

Fungsi plasma darah adalah sebagai medium/pengantara untuk penyaluran makanan, mineral, lemak, glukosa, dan asam amino ke jaringan dan medium untuk mengangkut bahan buangan misalnya urea, asam urat (Pearce, 2009).

Salah satu protein plasma adalah albumin. Albumin dalam keadaan normal terdapat 3-5 gram albumin dalam tiap 100 ml darah. Albumin berperan pada tekanan osmostik yang mempertahankan volume darah, menyediakan protein


(49)

untuk jaringan. Protein plasma yang lain lagi adalah globulin, fibrinogen dan protrombin. Globulin merupakan antibodi yang melindungi tubuh. Fibrinogen berperan dalam koagulasi/pembekuan darah. Protrombin, sebagai prekursor terbentuknya trombin dalam mekanisme pembekuan darah (Pearce, 2009).

F. Pemeriksaan Terhadap Sistem Hematologi (Hitung Darah Lengkap)

Hasil pemeriksaan laboratorium merupakan informasi yang berharga untuk membedakan diagnosis, mengkonfirmasi diagnosis, menilai status klinik pasien, mengevaluasi efektivitas terapi dan munculnya reaksi obat yang tidak diinginkan (Depkes RI, 2011).

Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium oleh apoteker bertujuan untuk:

a. Menilai kesesuaian terapi (contoh: indikasi obat, ketepatan pemilihan obat, kontraindikasi obat, penyesuaian dosis obat, risiko interaksi obat),

b. Menilai efektivitas terapi (contoh: efektivitas pemberian kalium diketahui melalui kadar kalium dalam darah, efektifitas allopurinol di ketahui dari menurunnya kadar asam urat),

c. Mendeteksi dan mencegah reaksi obat yang tidak dikehendaki (contoh: penurunan dosis siprofloksasin hingga 50% pada kondisi klirens kreatinin <30mL/menit),

d. Menilai kepatuhan penggunaan obat (contoh: kepatuhan pasien dalam menggunakan obat antidiabetik oral diketahui dari nilai HbA1c, kepatuhan penggunaan statin diketahui dari kadar kolesterol darah), dan


(50)

e. Mencegah interpretasi yang salah terhadap hasil pemeriksaan (Depkes RI, 2011).

Hasil pemeriksaan laboratorium dapat dinyatakan sebagai angka kuantitatif, kualitatif atau semikuantitatif. Hasil kuantitatif berupa angka pasti atau rentang nilai. Hasil kualitatif dinyatakan sebagai nilai positif atau negatif tanpa menyebutkan derajat positif atau negatifnya. Hasil semikuantitatif adalah hasil kualitatif yang menyebutkan derajat positif atau negatif tanpa menyebutkan angka pasti (contoh: 1+, 2+, 3+) (Depkes RI, 2011).

Tes labotratorium yang paling umum dilakukan adalah hitung darah lengkap (HDL). Tes ini dilakukan untuk memeriksa jenis sel dalam darah termasuk sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit (The Aids InfoNet, 2012).

1. Tes sel darah merah

Sel darah merah yang disebut juga sebagai eritrosit berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru ke seluruh jaringan tubuh. Fungsi ini dapat dapat diukur melalui beberapa macam tes yaitu:

a. Hitung sel darah merah b. Tes hemoglobin

c. Tes hematokrit

Pada hitung sel darah merah (Red Blood Cell count/RBC) berguna untuk

menghitung jumlah total sel darah merah. Tes hemoglobin untuk mengetahui jumlah protein hemoglobin dalam sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen dari paru ke seluruh jaringan tubuh. Tes hematokrit (Hct) untuk


(51)

mengukur presentase sel darah merah dalam seluruh volume darah. Eritrosit, hemoglobin dan hematokrit yang sangat rendah menunjukkan adanya anemia (The Aids InfoNet, 2012).

Hitung sel darah merah dapat dilakukan dengan menghitung/mengukur MCV, RDW, MCH, dan MCHC. Red Blood Cell Distribution Width (RDW)

mengukur kisaran ukuran sel darah merah. Hasil tes ini dapat membantu mendiagnosis jenis anemia dan kekurangan beberapa vitamin (The Aids InfoNet, 2012)

Mean Corpuscular Volume (MCV) adalah indeks untuk menentukan

ukuran sel darah merah. Rentang normal MCV antara 80-100 fl bermanfaat untuk menggolongkan anemia kedalam anemia mikrositik (MCV <80 fl), normositik

(MCV=80-100 fl), atau makrositik (MCV>100 fl) (Waterbury, 1998).

Implikasi klinik MCV dapat berupa penurunan maupun peningkatan MCV yang signifikan dari range normal. Penurunan nilai MCV terlihat pada pasien anemia kekurangan besi, anemia pernisiosa dan talasemia, disebut juga anemia mikrositik. Peningkatan nilai MCV terlihat pada penyakit hati, alcoholism, terapi antimetabolik, kekurangan folat/vitamin B12, dan terapi valproat, disebut juga anemia makrositik. Pada anemia sel sabit, nilai MCV diragukan karena bentuk eritrosit yang abnormal. Perhitungan/ rumus MCV adalah sebagai berikut: MCV (femtoliter) = 10 x Hct (%) : Eritrosit (106 sel/μL) ( Depkes RI, 2011).

Indeks Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) adalah nilai yang


(52)

darah merah. MCH dapat digunakan untuk mendiagnosa anemia ( Depkes RI, 2011).

Implikasi Klinik MCH dapat berupa peningkatan atau penurunan MCH yang ekstrim dari batas nilai normal. Peningkatan MCH mengindikasikan anemia makrositik sedangkan penurunan MCH mengindikasikan anemia mikrositik. Perhitungan : MCH (picogram/sel) = hemoglobin/sel darah merah (Depkes RI, 2011).

Indeks Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)

merupakan indeks untuk mengukur konsentrasi Hb rata-rata dalam sel darah merah. Perhitungan MCHC tergantung pada Hb dan Hct. Rumus perhitungan MCHC adalah: MCHC = hemoglobin/hematokrit dan nilai normal MCHC adalah: 32 – 36 g/dL (Depkes RI, 2011).

Implikasi Klinik dari MCHC adalah adanya penurunan MCHC pada pasien kekurangan besi, anemia mikrositik, anemia karena piridoksin, talasemia dan anemia hipokromik dan peningkatan MCHC pada sferositosis, bukan anemia pernisiosa (Depkes RI, 2011).

2. Tes sel darah putih

Sel darah putih (disebut juga leukosit) membantu melawan infeksi dalam tubuh. Hitung Sel Darah Putih (White Blood Cell Count/WBC) adalah jumlah

total leukosit. Leukosit tinggi (hitung sel darah putih yang tinggi) umumnya berarti tubuh sedang melawan infeksi. Leukosit rendah artinya ada masalah dengan sumsum tulang biasanya berupa penurunan proliferasi sumsum tulang, produksi sumsum tulang yang tidak efektif. Leukosit rendah disebut leukopenia


(53)

atau sitopenia, berarti tubuh kurang mampu melawan infeksi. Hitung Jenis (differential) menghitung lima jenis sel darah putih: limfosit, monosit, neutrofil,

eosinofil, basofil (Waterbury, 1998).

Persentase masing-masing hitung jenis leukosit (limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil, basofil) dikalikan leukosit untuk mendapatkan jumlah absolut. Perhitungannya adalah jumlah absolut = total sel darah putih x persen diferensial masing-masing tipe sel. Misalnya, dengan limfosit 30% dan leukosit 10.000, limfosit mutlak adalah 30% dari 10.000 = 3000 (Waterbury, 1998).

3. Pemeriksaan trombosit

Pemeriksaan/uji fungsi trombosit berguna untuk mengukur aktivitas agregasi/pembekuan trombosit (Hoffbrand, 2005). Peningkatan trombosit (trombositosis) berhubungan dengan kanker, polisitemia vera, sirosis, dan rheumatoid artritis. Penurunan trombosit (trombositopenia) berhubungan dengan anemia hemolotik, anemia aplastik, anemia pernisiosa, leukemia dan multiple myeloma. Obat-obatan seperti heparin, kinin, asam valproat, antineoplastik, penisilin dapt menyebabkan trombositopenia (Depkes RI, 2011).

G. Toksisitas

Toksisitas merupakan kualitas/kemampuan suatu senyawa dalam menimbulkan racun/kerusakan pada organ-organ makhluk hidup. Untuk mengetahui kemampuan dan karakteristik suatu senyawa toksik selama pemejanan maupun setelah pemejanan, perlu dilakukan uji toksisitas. Uji


(54)

toksisitas memberikan informasi tentang bahaya kesehatan akibat paparan senyawa/bahan tertentu pada tubuh (Dandan, 2012).

Manusia biasanya terpejan banyak jenis bahan alami maupun bahan sintesis. Pada keadaan tertentu, pajanan ini berefek buruk bagi kesehatan, yang mungkin menyebabkan kematian atau hanya menimbulkan perubahan biologik saja. Keracunan terjadi ketika ada pemejanan senyawa toksik pada tubuh mahkluk hidup. Setelah pemejanan senyawa toksik akan mengalami proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi. Pemejanan senyawa toksik ini akan terabsorbsi dari tempat pemejanan, kemudian racun/metabolitnya akan mengalami distribusi ke tempat sel sasaran/reseptor tertentu. Di tempat aksi inilah kemudian terjadi interaksi antara senyawa toksik/metabolitnya dengan komponen penyusun sel sasaran atau dengan resptor. Semua efek toksik ini terjadi karena interaksi biokimiawi antara senyawa toksik/metabolit toksik dengan struktur reseptor tertentu dalam tubuh (Lu, 1995).

Ketoksikan suatu senyawa ditentukan oleh keberadaan (kadar dan lama tinggal) senyawa toksik atau metabolitnya ditempat aksi dan keefektifan interaksinya (mekanisme aksi). Hal ini tergantung pada kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup (Donatus, 2001).

1. Definisi toksikologi

Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan kimia terhadap mahkluk hidup dan sistem biologik lainnya. Ilmu ini juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan


(55)

kekerapan efek yang ditimbulkan oleh xenobiotika sehubungan dengan pemejanannya. (Lu, 1995).

2. Asas umum toksikologi

Asas umum toksikologi meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup. Kondisi pemejanan merupakan semua faktor yang menentukan keberadaan racun ditempat aksi tertentu dalam tubuh, yang berkaitan dengan pemejanannya pada diri makhluk hidup. Kondisi pemejanan meliputi jenis, jalur, lama kekerapan dan saat takaran pemejanan racun. Ada dua jenis pemejanan yakni pemejanan akut dan pemejanan kronis. Jenis pemejanan ini berkaitan erat dengan lama dan kekerapan pemejanan yang merupakan batas kurun waktu pemejanan terhadap makhluk hidup. Lama dan kekerapan pemejanan dapat mempengaruhi wujud dan ketoksikan racun (Donatus, 2001).

Kondisi mahkluk hidup adalah keadaan fisologi serta patologi makhluk hidup yang dapat mempengaruhi ketersediaan racun di sel sasaran dan keefektifan antaraksi antara keduanya (keadaan fisiologi dan patologi makhluk hidup). Keadaan fisilogi mencakup berat badan, umur, jenis kelamin, kehamilan, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan alir darah, status gizi, genetika, irama siskardian dan diurnal, sedangkan keadaan patologi meliputi keadaan penyakit yang dialami makhluk hidup (Donatus, 2001).

3. Mekanisme, wujud, dan sifat efek toksik racun

Mekanisme aksi toksik racun dapat digolongkan menjadi tiga bagian yakni berdasarkan sifat dan tempat kejadian (fenomena patologi), berdasarkan sifat antaraksi racun (toksidinamik) dan tempat aksinya dan berdasarkan resiko


(56)

penumpukan racun dalam gudang penyimpanan tubuh. Respons efek toksik merupakan sesuatu proses dimana sel, jaringan, dan organ menanggapi adanya luka dan kerusakan dalam diri komponen-komponen tubuhnya (Donatus, 2001)..

Wujud efek toksik adalah hasil akhir dari respons toksik. Pada dasarnya wujud efek toksik sesuatu racun dapat berupa perubahan atau kekacauan biokimia, fungsional dan struktural. Ketiga wujud efek toksik ini memiliki sifat yang khas yakni terbalikkan dan tak terbalikkan. Respon biokimiawi dan fungsional bersifat timbal balik atau terbalikkan sedangkan respon struktural terbalikan atau tak terbalikan (Donatus, 2001).

4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi ketoksikan racun

Pada dasarnya, aneka ragam faktor yang dapat mempengaruhi ketoksikan racun dapat digolongkan menjadi dua, yakni faktor yang bersal dari racun (faktor intrinsik racun) dan faktor yang berasal dari makhluk hidupnya (faktor intrinsik makhluk hidup).

Racun merupakan zat kimia. Karena itu ketoksikan racun tak lepas dari sifat fisika dan sifat kimia bawaan racun tersebut. Faktor intrinsik racun meliputi faktor kimia, kondisi pemejanan, pengolahan, pengawetan, pengentalan, dan pengepakkan. Bergantung pada sifat dan berbagai proses yang dapat mempengaruhi sifat racun maka berbagai faktor tersebut dapat mempengaruhi keefektifan translokasi atau antaraksi racun dengan tempat aksinya.

Faktor intrinsik makhluk hidup merupakan kondisi fisiologi (berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kapasitas fungsional cadangan, penyimpanan racun, kecepatan alir darah, status gizi, jenis kelamin,


(57)

kehamilan, genetika, irama siskardian, irama diurnal) dan kondisi patologi pada makhluk hidup (penyakit) (Donatus, 2001).

5. Uji ketoksikan

Uji ketoksikan dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu uji ketoksikan khas dan uji ketoksikan tak khas. Uji ketoksikan tak khas merupakan uji ketoksikan yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Uji ketoksikan tak khas meliputi uji ketoksikan akut, subkronis, dan kronis. Uji ketoksikan khas sendiri merupakan uji yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas suatu senyawa pada aneka jenis ragam hewan uji. Yang termasuk pada golongan ini adalah uji potensiasi, uji kekarsinogetikan, kemutagenikan, keteratogenikkan, reproduksi, kulit dan mata, dan perilaku (Donatus, 2001).

H. Toksisitas Subkronis

Uji ketoksikan subkronis (biasanya disebut juga uji ketoksikan subakut). Uji ketoksikan ini merupakan uji ketoksikan sesuatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang lebih tiga bulan (Donatus 2001). Meskipun demikian beberapa peneliti menggunakan jangka waktu yang lebih pendek, misalnya pemberian zat selama 14 hari dan 28 hari (Lu, 1995).

Uji ketoksikan subkronis dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dan mengungkapkan spektrum efek toksik senyawa yang diuji dan untuk


(58)

memperlihatkan apakah spektrum efek toksik senyawa uji tersebut berkaitan denagn takaran dosis (Donatus, 2001).

Takaran dosis yang diberikan pada hewan uji terdiri dari beberapa peringkat dosis. Setiap kelompok perlakuan harus menerima dosis toksik yang dapat membunuh beberapa hewan uji atau yang memperlihatkan gejala- gejala toksik yang nyata. Sedangkan kelompok lainnya harus menerima takaran dosis yang sama sekali tidak menimbulkan efek atau gejala toksik. Takaran dosis senyawa ini, diberikan sekali sehari selama kurun waktu uji ketoksikan subkronis berlangsung, melalui jalur pemberian sesuai dengan yang biasanya digunakan oleh manusia (Donatus, 2001).

Pengamatan dan pemeriksaan yang dilakukan dalam uji ketoksikan subkronis meliputi:

1. Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak 7 hari sekali

2. Asupan makan untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan diukur paling tidak 7 hari sekali

3. Gejala-gejala klinis umum yang diamati setiap hari

4. Pemeriksaan hematologi paling tidak diperiksa dua kali, pada awal dan pada akhir uji coba

5. Pemeriksaaan kimia darah, diperiksa pada awal dan pada akhir uji coba 6. Analisis urin paling tidak sekali

7. Pemeriksaan histopatologi pada akhir uji coba (Donatus, 2001).

Hasil uji ketoksikan subkronis akan memberikan informasi yang bermanfaat tentang efek toksik utama senyawa uji dan organ-organ sasaran yang


(59)

dipengaruhinya. Selain itu, dapat juga memberikan informasi tentang perkembangan efek toksik yang lambat berkaitan dengan takaran dosis yang tidak teramati pada uji ketoksikan akut, kekerabatan antar kadar senyawa dalam darah dan jaringan terhadap perkembangan luka toksik dan keterbalikan (reversibilitas) efek toksik. Selanjutnya hasil yang diperoleh dari uji ketoksikan subkronis dapat digunakan untuk merancang uji ketoksikan kronis (Donatus, 2001).

I. Darah Sebagai Target Efek Toksik

Ada banyak zat yang dapat mengganggu fungsi eritrosit misalnya karbonmonooksida (CO), timbal (Pb), nitrit, nitrat, amin aromatis,dan senyawa klorat dapat mengoksidasi besi yang ada pada hemoglobin, yang kemuadian membentuk methemoglobin. Arsen, metilen blue, naftalen, fenilhidrazin dan primaquin dapat mengikat membran eritrosit dan dapat mendenaturasi hemoglobin (Priyanto, 2009).

Platelet berperan dalam pembekuan darah, hal ini terjadi bila kehilangan darah akibat cedera. Beberapa zat dapat mengganggu proses pembekuan darah misalnya obat-obatan anti kanker yang mendepresi sum-sum tulang belakang sehingga menghambat produksi platelet, warfarin mencegah pembentukkan fibrin dan asam salisilat mengurangi agregasi trombosit (Priyanto,2009).

Sel darah putih (leukosit) berperan dalam fagositosis terhadap sel-sel mikroorganisme patogen. Fungsi lain dari leukosit yakni melakukan respon imun, inflamasi nyeri dan panas. Benzene dan kloramfenikol dapat menyebabkan


(60)

proliferasi leukosit berlebihan akibatnya fungsi leukosit menjadi terganggu (Priyanto, 2009).

J. Keterangan Empiris

Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian infusa daun sirsak secara subkronis pada sistem hematologi tikus jantan dan betina.


(1)

151

Lampiran 20. Uji

Paired T-Test

Kadar Eosinofil Tikus Betina

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 Dosis_1_pre 1.0000 5 .00000 .00000

Dosis_1_post 2.8000 5 3.11448 1.39284

Pair 2 dosis_2_pre 1.2000 5 .83666 .37417

Dosis_2_post 1.0000 5 .00000 .00000

Pair 3 dosis_3_pre 1.2000 5 .44721 .20000

dosis_3_post 1.2000 5 .83666 .37417

Pair 4 dosis_4_pre 2.0000 5 1.73205 .77460

dosis_4_post 2.2000 5 2.16795 .96954

Pair 5 kontrol_pre 1.2000 5 .44721 .20000

kontrol_post 1.2000 5 1.09545 .48990

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 Dosis_1_pre & Dosis_1_post 5 . .

Pair 2 dosis_2_pre & Dosis_2_post 5 . .

Pair 3 dosis_3_pre & dosis_3_post 5 .535 .353

Pair 4 dosis_4_pre & dosis_4_post 5 .932 .021

Pair 5 kontrol_pre & kontrol_post 5 -.102 .870

Lampiran 21. Analisis statistik dengan uji

Kruskal-Wallis

kadar eosinofil tikus betina

NPar Tests

Kruskal-Wallis Test

Ranks

Perlakuan dosis N Mean Rank Eosinofil sesudah perlakuan Dosis I (0,018 mg/gBB) 5 15.90

Dosis II (0,180 mg/gBB) 5 10.50 Dosis III ( 0,301 mg/gBB) 5 12.40 Dosis IV (0,503 mg/gBB) 5 15.00

kontrol aquadest (8,333 mg/gBB)

5 11.20

Paired Samples Test

Paired Differences

t df Sig. (2-tailed) Mean Deviation Std. Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Pair 1 Dosis_1_pre -

Dosis_1_post -1.80000 3.11448 1.39284 -5.66714 2.06714 -1.292 4 .266 Pair 2 dosis_2_pre -

Dosis_2_post .20000 .83666 .37417 -.83885 1.23885 .535 4 .621 Pair 3 dosis_3_pre - dosis_3_post .00000 .70711 .31623 -.87799 .87799 .000 4 1.000 Pair 4 dosis_4_pre - dosis_4_post -.20000 .83666 .37417 -1.23885 .83885 -.535 4 .621 Pair 5 kontrol_pre - kontrol_post .00000 1.22474 .54772 -1.52072 1.52072 .000 4 1.000


(2)

Ranks

Perlakuan dosis N Mean Rank Eosinofil sesudah perlakuan Dosis I (0,018 mg/gBB) 5 15.90

Dosis II (0,180 mg/gBB) 5 10.50 Dosis III ( 0,301 mg/gBB) 5 12.40 Dosis IV (0,503 mg/gBB) 5 15.00

kontrol aquadest (8,333 mg/gBB)

5 11.20 Total 25

Test Statistics

a,b

Eosinofil sesudah perlakuan Chi-square 2.508 Df 4 Asymp. Sig. .643

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable:

Perlakuan dosis

Lampiran 22. Uji statistik menggunakan uji Mann-Whitney pada kadar eosinofil tikus

betina

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

Perlakuan dosis

N Mean Rank Sum of Ranks Eosinofil sesudah perlakuan Dosis I (0,018 mg/gBB) 5 6.30 31.50

kontrol aquadest (8,333

mg/gBB) 5 4.70 23.50 Total 10

Test Statisticsb

Eosinofil sesudah perlakuan Mann-Whitney U 8.500

Wilcoxon W 23.500 Z -.868 Asymp. Sig. (2-tailed) .386 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .421a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan dosis Ranks

Perlakuan dosis N Mean Rank Sum of Ranks Eosinofil sesudah perlakuan Dosis II (0,180 mg/gBB) 5 5.50 27.50

kontrol aquadest (8,333

mg/gBB) 5 5.50 27.50 Total 10


(3)

Test Statisticsb

Eosinofil sesudah perlakuan Mann-Whitney U 12.500

Wilcoxon W 27.500 Z .000 Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan dosis

Lanjutan Lampiran 22. Uji statitstik menggunakan uji Mann-Whitney pada kadar eosinofil

tikus betina

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

Perlakuan dosis N Mean Rank Sum of Ranks Eosinofil sesudah perlakuan Dosis III ( 0,301 mg/gBB) 5 5.70 28.50

kontrol aquadest (8,333

mg/gBB) 5 5.30 26.50 Total 10

Test Statisticsb

Eosinofil sesudah perlakuan Mann-Whitney U 11.500

Wilcoxon W 26.500 Z -.224 Asymp. Sig. (2-tailed) .822 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .841a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan dosis

Ranks

Perlakuan dosis N Mean Rank Sum of Ranks Eosinofil sesudah perlakuan Dosis IV (0,503 mg/gBB) 5 6.30 31.50

kontrol aquadest (8,333

mg/gBB) 5 4.70 23.50 Total 10

Test Statisticsb

Eosinofil sesudah perlakuan Mann-Whitney U 8.500

Wilcoxon W 23.500 Z -.941 Asymp. Sig. (2-tailed) .347 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .421a

a. Not corrected for ties.


(4)

Lanjutan Lampiran 22. Uji statitstik menggunakan uji Mann-Whitney pada kadar eosinofil

tikus betina

Ranks

Perlakuan dosis

N Mean Rank Sum of Ranks Eosinofil sesudah perlakuan Dosis I (0,018 mg/gBB) 5 6.50 32.50

Dosis II (0,180 mg/gBB) 5 4.50 22.50 Total 10

Test Statisticsb

Eosinofil sesudah perlakuan Mann-Whitney U 7.500

Wilcoxon W 22.500 Z -1.177 Asymp. Sig. (2-tailed) .239 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .310a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan dosis Ranks

Perlakuan dosis

N Mean Rank Sum of Ranks Eosinofil sesudah perlakuan Dosis I (0,018 mg/gBB) 5 6.30 31.50

Dosis III ( 0,301 mg/gBB) 5 4.70 23.50 Total 10

Test Statisticsb

Eosinofil sesudah perlakuan

Mann-Whitney U 8.500

Wilcoxon W 23.500

Z -.859

Asymp. Sig. (2-tailed) .390

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .421a a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan dosis

Lanjutan Lampiran 22. Uji statitstik menggunakan uji Mann-Whitney pada kadar eosinofil

tikus betina

Ranks

Perlakuan dosis

N Mean Rank Sum of Ranks Eosinofil sesudah perlakuan Dosis I (0,018 mg/gBB) 5 5.80 29.00

Dosis IV (0,503 mg/gBB) 5 5.20 26.00 Total 10

Test Statisticsb

Eosinofil sesudah perlakuan Mann-Whitney U 11.000

Wilcoxon W 26.000 Z -.324 Asymp. Sig. (2-tailed) .746 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .841a


(5)

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan dosis Ranks

Perlakuan dosis N Mean Rank Sum of Ranks Eosinofil sesudah perlakuan Dosis II (0,180 mg/gBB) 5 5.00 25.00

Dosis III ( 0,301 mg/gBB) 5 6.00 30.00 Total 10

Test Statisticsb

Eosinofil sesudah perlakuan Mann-Whitney U 10.000

Wilcoxon W 25.000 Z -.645 Asymp. Sig. (2-tailed) .519 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .690a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan dosis

Lanjutan Lampiran 22. Uji statitstik menggunakan uji Mann-Whitney pada kadar eosinofil

betina

Ranks

Perlakuan dosis N Mean Rank Sum of Ranks Eosinofil sesudah perlakuan Dosis II (0,180 mg/gBB) 5 4.50 22.50

Dosis IV (0,503 mg/gBB) 5 6.50 32.50 Total 10

Test Statisticsb

Eosinofil sesudah perlakuan Mann-Whitney U 7.500

Wilcoxon W 22.500 Z -1.491 Asymp. Sig. (2-tailed) .136 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .310a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan dosis Ranks

Perlakuan dosis

N Mean Rank Sum of Ranks Eosinofil sesudah perlakuan Dosis III ( 0,301 mg/gBB) 5 5.00 25.00

Dosis IV (0,503 mg/gBB) 5 6.00 30.00 Total 10

Test Statisticsb

Eosinofil sesudah perlakuan Mann-Whitney U 10.000

Wilcoxon W 25.000 Z -.565 Asymp. Sig. (2-tailed) .572 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .690a

a. Not corrected for ties.


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Imelda Maria Korbafo dilahirkan di Banoco (Timor Leste), 26 Maret

1986 dari pasangan Yulius Elu Korbafo dan Gracinda Cofi. Anak sulung

dari lima bersaudari ini mengawali pendidikan formalnya di SDN 13

Makelab (1991-1997), kemudian melanjutkan ke SLTP Katolik Santo

Mikhael, Padiae (1997-1999), karena kerusuhan Timor Leste ia pindah ke

SLTP Kristen Kefamenanu (1999-2000) dan menamatkan jenjang SLTP

disana. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 2 Kefamenanu- NTT

(2000-2003).

Atas rahmat panggilan Tuhan, ia memulai hidup membiara dalam kongregasi FCJM, di

Sumatera Utara pada tahun 2003 dan mengikrarkan kaul perdana pada tahun 2007.

Selanjutnya pada tahun 2009, kongregasi FCJM mempercayakan tugas padanya untuk

melanjutkan pendidikan ke Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Selama menempuh masa perkuliahan, penulis juga aktif dalam kegiatan-kegiatan

kepanitiaan baik dalam fakultas maupun luar fakultas. Penulis pernah menjadi anggota seksi

dana dan usaha untuk kegiatan pelepasan wisuda Sarjana Farmasi (November 2010) dan pada

tahun berikutnya menjadi koordinator seksi dana dan usaha untuk kegiatan yang sama yakni

pelepasan wisuda Sarjana Farmasi (Oktober 2011), menjadi bendahara dalam Forum

Biarawan/Biarawati Kevikepan Yogyakarta (2011-2012). Pernah menjadi anggota tim dalam

kegiatan pengabdian masyarakat bersama dosen dengan judul kegiatan ”Pelatihan dan

penyuluhan

Home Schooling Herbal Medicine

” pada Juli - Desember 2012, di Gadingan,

Argomulyo, Cangkringan Sleman DIY, ”Pelatihan dan penyuluhan

Home Schooling Herbal

Medicine

” pada September - Desember 2012, di Ngrangkah, Umbulhardjo, Cangkringan

Sleman DIY. Penulis pernah menjadi anggota pemenang Program Kreativitas Mahasiswa

bidang Pengabdian Masyarakat tahun 2012 dengan judul ” Pemberdayaan Penjual Jamu

Gendong Dukuh Watu Desa Argomulyo Kabupaten Bantul dalam Pengolahan Simplisia

Empon-Empon Dengan Metode PAIKEM”.

Penulis juga pernah menjadi asisten dosen pada praktikum mata kuliah Komunikasi Farmasi

pada tahun ajaran 2012/2013.