Kondisi Kerja Karyawan Perempuan Perkebu

KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi)

Oleh: PUTY SIYAMITRI I34051393 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

ABSTRACT

This research tells about the work condition of the woman employees and its correlation to family welfare in PTPN VI Kebun Kayu Aro. Overall the work condition of employees in PTPN VI Kebun Kayu Aro described as good enough, but there is the difference of work condition because of sex difference. Education doesn’t employees work condition in the company. Unlike the long term of work and age. The family welfare can be seen from the health, education of member of the family, family consumsion pattern, and the employee’s houses. The amount childern in the family doesn’t have correlation the family welfare. The suggestion of this research are apply gender socialization in order to abolish gender stereotyp, improve communication between company and employees, and motivate the children of employees to persue their education to higher level.

Keywords: work condition, gender, welfare

RINGKASAN

PUTY SIYAMITRI. I34051393. Kondisi Kerja Karyawan Perempuan Perkebunan dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga. Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. (Di bawah bimbingan WINATI WIGNA).

Perkebunan cukup besar peranannya dalam perekonomian nasional dan dalam penyerapan tenaga kerja. Gambaran positif itu berbeda dengan kondisi kerja buruh perkebunan. Buruh tidak berdaya meskipun telah ada peraturan tentang tenaga kerja, hubungan antara perusahaan dengan buruh perkebunan sering tidak harmonis, pembagian kerja dan pengupahan di perkebunan tidak mengalami banyak perubahan. Lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah perempuan, namun kondisi ketertinggalan perempuan menggambarkan adanya ketidakadilan gender di Indonesia (Soemartoyo, 2002 dalam Hastuti, 2003). Kebijakan pembangunan di Indonesia yang menjamin hak dasar pekerja dan tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam prakteknya mengalami hambatan. Jenis kelamin merupakan prinsip pembeda utama yang menentukan kondisi kerja karyawan di perkebunan. Oleh karena itulah, penelitian mengenai kondisi kerja dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga buruh atau selanjutnya akan disebut karyawan perkebunan ini menjadi suatu hal yang penting dan menarik untuk dikaji dan dibuktikan.

Adapun tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui dan menganalisis kondisi kerja karyawan (golongan karir, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di perkebunan, (2) mengetahui dan menganalisis faktor yang mempengaruhi kondisi kerja karyawan di perkebunan, dan (3) mengetahui dan menganalisis pengaruh kondisi kerja terhadap kesejahteraan keluarga karyawan di perkebunan. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode survei yang didukung dengan data kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi yang ditentukan secara purposive. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2009.

Kondisi kerja karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro secara umum digambarkan sudah cukup baik. Akan tetapi terdapat perbedaan kondisi kerja karyawan karena perbedaan jenis kelamin. Karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro sebagian besar telah menempati golongan karir yang tinggi, namun karyawan laki-laki lebih banyak berada pada golongan karir yang lebih tinggi dibandingkan karyawan perempuan. Pendapatan di PTPN VI Kebun Kayu Aro ditentukan berdasarkan golongan karir dan premi. Ternyata karyawan laki-laki lebih banyak mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan perempuan sebab karyawan laki-laki mempunyai golongan karir yang lebih tinggi dan mendapat premi yang lebih besar. Karyawan laki-laki mendapatkan jaminan yang lebih banyak dibandingkan karyawan perempuan karena adanya kebijakan perusahaan yang menganggap bahwa laki-laki adalah kepala keluarga yang menopang kehidupan keluarganya.

Pendidikan pada kasus di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro tidak berhubungan terhadap kondisi kerja sebab pendidikan karyawan Pendidikan pada kasus di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro tidak berhubungan terhadap kondisi kerja sebab pendidikan karyawan

Secara umum kondisi kerja tidak berhubungan dengan kesejahteraan keluarga, namun ada variable kondisi kerja yang memiliki hubungan dengan kesejahteraan keluarga yaitu golongan karir dengan kesehatan keluarga, pendapatan dengan pendidikan, jaminan keluarga dengan kesehatan, pola konsumsi, dan perumahan. Tidak adanya hubungan antara kondisi kerja dengan kesejahteraan disebabkan faktor lain yang berhubungan dengan kesejahteraan keluarga karyawan yaitu pendapatan keluarga karyawan di luar pendapatan karyawan yang bersumber dari perusahaan dan sumbangan atau subsidi yang diperoleh keluarga karyawan yang tidak bersumber dari perusahaan..

K esehatan keluarga karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro sudah baik, dilihat dari status kesehatan yang baik karena perusahaan menyediakan sarana

pengobatan yaitu Rumah Sakit Kayu Aro (RSKA), namun kesehatan keluarga karyawan perempuan masih lebih rendah dibandingkan keluarga karyawan laki- laki karena untuk karyawan laki-laki RSKA dapat diakses oleh dirinya, istri dan anak-anaknya, sementara untuk karyawan perempuan hanya untuk dirinya sendiri. Taraf gizi keluarga karyawan laki-laki dan keluarga karyawan perempuan sudah baik karena makan lebih dari 2 kali dalam satu hari dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh keluarga karyawan sudah mencukupi kebutuhan gizi.

Keluarga karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro belum sepenuhnya berhasil menyekolahkan anak mereka. Kurang baiknya tingkat pendidikan keluarga karyawan disebabkan kurangnya biaya dan tidak adanya kemauan anak untuk melanjutkan sekolah. Hal tersebut bukan salah perusahaan perkebunan, tetapi karena rendahnya pendidikan orang tua yang rendah tidak mampu memberi motivasi kepada anaknya dan tidak terdapat contoh orang yang berpendidikan yang berhasil di kalangan mereka.

Pola konsumsi keluarga karyawan pada umumnya lebih banyak pada konsumsi makanan daripada konsumsi non makanan karena mereka lebih mengutamakan kebutuhan pokok makanan daripada kebutuhan lainnya. Perumahan karyawan laki-laki dan karyawan perempuan telah baik yang dapat dilihat dari keadaan infastruktur rumah yang sudah baik walaupun sebagian kecil keluarga karyawan perempuan masih memiliki keadaan infastruktur rumah yang kurang baik.

Saran dari penelitian ini yaitu: 1) melakukan sosialisasi gender agar tercipta kondisi kerja yang sama dan lebih baik di perusahaan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga, 2) meningkatkan komunikasi antara perusahaan dengan karyawan tentang hak dan kewajiban serta peraturan yang berlaku di perusahaan, 3) membangkitkan motivasi anak-anak karyawan untuk mau meneruskan sekolahnya dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi dengan memberikan penyuluhan kepada karyawan dan anak-anaknya tentang pentingnya pendidikan.

KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi)

Oleh: PUTY SIYAMITRI I34051393

Skripsi Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komuikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Judul : Kondisi Kerja Karyawan Perempuan Perkebunan dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga (Kasus Pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi)

Nama Mahasiswa : Puty Siyamitri Nomor Mahasiswa : I34051393 Major

: Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dra. Winati Wigna, MDS NIP. 131284835

Mengetahui, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Ketua

Dr.Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001

Tanggal Kelulusan:

PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN

HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (KASUS PADA PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO, KECAMATAN KAYU ARO, KABUPATEN KERINCI, PROPINSI JAMBI)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Agustus 2009

Puty Siyamitri I34051393

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Puty Siyamitri yang dilahirkan di Pemalang pada tanggal

18 Mei 1987. Penulis adalah anak ketiga dari pasangan suami isteri Muslim Latief dan Nirmala. Pendidikan pertama yang ditempuh penulis adalah di Taman Kanak-Kanak Aisyiah Sungai Penuh pada tahun 1992-1993. Pada tingkat sekolah dasar penulis bersekolah di SD Pertiwi Sungai Penuh pada tahun 1993-1999, kemudian melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 1 Sungai Penuh pada tahun 1999-2002 dan SMA Negeri 2 Sungai penuh pada tahun 2002-2005.

Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB), dan setelah melewati satu tahun di TPB (Tahap Persiapan Bersama), penulis berhasil masuk pada mayor Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di Fakultas Ekologi Manusia yang merupakan pilihan pertama penulis dalam pemilihan mayor di IPB. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis mengikuti organisasi yaitu Himpunan Mahasiswa Jambi (HIMAJA) dan Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (Himasiera), dan mengikuti beberapa kepanitiaan. Penulis juga pernah menjadi Asisten Mata Kuliah Sosiologi Umum dan Ilmu Penyuluhan.

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Dzat yang senantiasa memberikan karunia dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kondisi Kerja Karyawan Perempuan Perkebunan dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga (Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi)”. Skripsi ini merupakan syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini menjelaskan kondisi kerja karyawan yang bekerja di PT Perkebunan Nusantara VI Kebun Kayu Aro. Kondisi kerja yang dilihat yaitu golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga yang diterima oleh karyawan dari perusahaan tempat mereka bekerja. Skripsi ini juga melihat faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi kerja tersebut. Kemudian skripsi ini juga membahas mengenai hubungan kondisi kerja karyawan perkebunan dengan kesejahteraan keluarga yaitu mengenai kesehatan keluarga, pendidikan keluarga, pola konsumsi keluarga, dan perumahan keluarga karyawan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada:

1. Ibu Dra. Winati Wigna, MDS selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik atas segala bantuan, bimbingan dan arahan serta kesabarannya dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku dosen penguji utama yang telah meluangkan waktu dan memberi kritikan serta saran untuk perbaikan skripsi ini.

3. Ibu Ir. Anna Fatchiya, selaku penguji dari Departemen Sains KPM yang telah banyak mengoreksi kesalahan dalam penulisan skripsi ini.

4. Mama dan Almarhum Papa tercinta, Mbak Endah dan Mbak Dian tersayang yang menjadi pemicu semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas doanya.

5. Seluruh responden karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro, atas kerjasamanya selama penelitian

6. Bapak Uyung dan keluarga yang membantu dalam proses penelitian di PTPN VI Kebun Kayu Aro, terima kasih atas bantuannya.

7. Sahabatku, Mas Wisnu, Kokoy, Nits, Taye, Ema, Lusi, Liza, Egi, Mbak Tul dan teman-teman kosan SQ yang telah memberikan motivasi, perhatian, bantuan, serta kesabarannya dalam mendengarkan cerita, kebahagiaan, keluh kesah selama ini. Terima kasih atas doa dan waktunya untuk menemani dalam penulisan skripsi ini.

8. Serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang

membacanya dan penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Bogor, Agustus 2009 Penulis

85

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN .................................................

8.1 Kesimpulan ............................................................................... 85

8.2 Saran ......................................................................................... 87

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................

89 LAMPIRAN................................................................................................. 92

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Rincian Metode Pengumpulan Data .....................................................

2. Jumlah Luas Lahan Berdasarkan Sertifikat HGU No 2 tanggal 8 Mei 2002, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009.........................

3. Jumlah Tenaga kerja Berdasarkan Lokasi Kerja, Golongan Karir, dan Tanggungan.........................................................

4. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ..........................

5. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Golongan Karir dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ..........................

6. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ..........................

7. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ..........................

8. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Keluarga dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ..........................

9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ..........................................................

10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan umur, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ..........................................................

11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Lama Berkerja, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ..........................................................

12. Hasil Pengujian Hubungan Kondisi Kerja dengan Kesejahteraan Keluarga Karyawan PTPN VI Kebun Kayu aro ...........

13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Status Kesehatan dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 .................

Halaman

14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Taraf Gizi dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 .................

76

15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 .................

77

16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pola Konsumsi dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 .................

79

17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perumahan dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 .................

82

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

93

1. Hasil Pengujian Chi-Squere ..................................................................

95

2. Hasil Pengujian Rank Spearman...........................................................

97

3. Peta PT Perkebunan Nusantara VI Kebun Kayu Aro ...........................

4. Dokumentasi ......................................................................................... 98

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sektor pertanian merupakan sektor yang dapat diandalkan dalam perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan tingginya sumbangan devisa yang dihasilkan dan paling banyak menyerap tenaga kerja. Devisa yang dihasilkan oleh sektor ini pada tahun 2003 adalah sekitar 16,6 persen (BPS, 2003). Berdasarkan lapangan buruhannya, dari 95,5 juta penduduk yang bekerja, sekitar 43,67 persen dari mereka bekerja di sektor pertanian. Sektor lain yang cukup besar peranannya dalam penyerapan tenaga kerja diantaranya sektor perdagangan sebanyak 20,13 persen, industri sebanyak 12,46 persen, dan jasa sebanyak 11,90 persen (BPS, 2007a).

Secara nasional, jumlah angkatan kerja terus bertambah dengan struktur penyerapan tenaga kerja menurut sektor yang tidak mengalami banyak perubahan. Berdasarkan data BPS, pada Februari 2005 sektor pertanian menyerap 44,04 persen tenaga kerja, pada Februari 2006 naik menjadi 44,46 persen, kemudian menurun lagi menjadi 43,67 persen pada Februari 2007 (BPS, 2007b).

Krisis ekonomi di Indonesia sejak Juli 1997 telah melumpuhkan sebagian besar perekonomian Indonesia. Terjadi peningkatan angka kemiskinan pada semua sektor akibat krisis tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa semua sektor menerima dampak negatif dari krisis yang terjadi. Menurut data Susenas 1996 dan 1999 (dalam Kristina 2004), angka kemiskinan tertinggi yang secara konsisten terjadi pada sektor pertanian justru mengalami penurunan. Hal ini karena buruh di berbagai sektor beralih ke pertanian.

Salah satu sub sektor yang cukup besar peranannya dalam pertanian adalah sub sektor perkebunan. Hal ini terlihat dari sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) sub sektor perkebunan pada tahun 2004 telah mencapai 16,2 persen dari total PDB sektor pertanian. Selain itu volume ekspor komoditas perkebunan juga terus meningkat mencapai 47 persen dari total ekspor komoditas pertanian pada tahun yang sama (BPS, 2005).

Sub sektor perkebunan menunjukkan ketangguhannya dalam menghadapi krisis ekonomi. Hal ini karena hasil dari sub sektor perkebunan mengalami peningkatan harga sebagai dampak dari perbedaan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Sejak pertengahan tahun 1970-an pertumbuhan sektor perkebunan terus dipicu melalui berbagai kebijakan baik produksi, investasi, ekspor, dan berbagai kebijakan lainnya. Hal ini dilakukan karena dengan sumberdaya domestik yang dikandungnya, sektor perkebunan ini dinilai memiliki keunggulan komparatif di pasar domestik dan internasional. (Suprihartini et all.,1996 dalam Anggraeni, 2003).

Di samping peranannya dalam perekonomian nasional, peran sub sektor perkebunan dalam penyerapan tenaga kerja nasional juga cukup besar. Pada tahun 2004 sekitar 18,6 juta tenaga kerja nasional diserap oleh sub sektor ini (BPS, 2005).

Gambaran positif peran perkebunan itu berbeda dengan kondisi kerja buruh perkebunan. Golongan buruh tidak berdaya meskipun telah ada peraturan tentang tenaga kerja, namun peraturan ini ternyata lebih melindungi dan menjamin kepentingan pengusaha akan penyediaan tenaga kerja daripada kepentingan kaum buruh (Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991). Seharusnya Gambaran positif peran perkebunan itu berbeda dengan kondisi kerja buruh perkebunan. Golongan buruh tidak berdaya meskipun telah ada peraturan tentang tenaga kerja, namun peraturan ini ternyata lebih melindungi dan menjamin kepentingan pengusaha akan penyediaan tenaga kerja daripada kepentingan kaum buruh (Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991). Seharusnya

Kenyataan lain yaitu hubungan antara perusahaan dengan buruh perkebunan tidak harmonis padahal kehidupan buruh sangat tergantung pada perusahaan, dalam arti buruh tidak dapat keluar dari perusahaan walau buruh diupah rendah dengan jaminan kerja yang kurang baik. Masalah lain adalah pembagian kerja dan pengupahan yang tidak mengalami banyak perubahan. Dalam gambaran Kartodirjo dan Djoko Suryo (1991), kondisi buruh perkebunan serba berat, secara fisik dieksploitasi, menerima upah minimal, sehingga taraf hidupnya sangat rendah.

Lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah perempuan, namun kondisi ketertinggalan perempuan menggambarkan adanya ketidakadilan gender di Indonesia (Soemartoyo, 2002 dalam Hastuti, 2003). Hal ini dapat dilihat dari Gender–related Development Index (GDI) yang berada pada peringkat ke 88 pada tahun 1995, kemudian menurun ke peringkat 90 pada tahun 1998 dari 174 negara dan menurun lagi menjadi 92 dari 146 negara pada tahun 1999. Di dalam peringkat dunia indeks tersebut masih lebih rendah dari negara-negara ASEAN, dan dengan adanya berbagai krisis di Indonesia indeks-indeks tersebut peringkatnya akan semakin menurun.

Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan bahwa setiap tenaga kerja memiliki Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan bahwa setiap tenaga kerja memiliki

Peluang perempuan di bidang ekonomi untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan masih terkendala oleh berbagai faktor. Jenis kelamin merupakan prinsip pembeda utama dalam pembagian kerja di perkebunan. Pekerja dibedakan berdasarkan pekerjaan untuk laki-laki dan pekerjaan untuk perempuan (Grijns 1987, Oktaviani 1995, Tetiani 2005). Perempuan diposisikan pada pekerjaan yang dianggap mudah, tidak perlu keterampilan sehingga boleh diupah rendah, serta ada pandangan penghasilan perempuan sebagai penghasilan tambahan dalam keluarga.

Ketidakadilan gender berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga tercermin dari adanya diskriminasi dalam hal jaminan sosial. Buruh perempuan tidak mendapatkan fasilitas kesehatan dan dana pensiun bagi anak-anaknya sedangkan untuk buruh laki-laki akan mendapatkan fasilitas kesehatan untuk dirinya dan juga berlaku bagi anggota keluarganya yaitu seorang istri dan 2 anak. Kesehatan anak-anak dianggap menjadi tanggung jawab laki-laki. Begitu pula soal tabungan untuk masa depan anak-anak (Oktaviani, 1995).

Nasib buruh perempuan yang berstatus harian lebih memprihatinkan lagi. Mereka sama sekali tidak mendapat fasilitas kesehatan, dana pensiun dan hak cuti haid serta melahirkan. Tekanan ekonomi akibat rendahnya pendapatan sering membuat perempuan tetap bekerja dan tidak menggunakan hak cuti haid. Mereka Nasib buruh perempuan yang berstatus harian lebih memprihatinkan lagi. Mereka sama sekali tidak mendapat fasilitas kesehatan, dana pensiun dan hak cuti haid serta melahirkan. Tekanan ekonomi akibat rendahnya pendapatan sering membuat perempuan tetap bekerja dan tidak menggunakan hak cuti haid. Mereka

Permasalahan ke depan adalah dapatkah sektor perkebunan tetap menjadi tumpuan bagi tenaga kerja Indonesia. Oleh karena itulah, penelitian mengenai kondisi kerja dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga buruh atau selanjutnya akan disebut karyawan perkebunan ini menjadi suatu hal yang penting dan menarik untuk dikaji dan dibuktikan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas ada beberapa masalah yang menjadi titik perhatian dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana kondisi kerja karyawan perempuan (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di perkebunan?

2. Apa saja faktor yang berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perempuan di perkebunan?

3. Sejauhmana hubungan kondisi kerja terhadap kesejahteraan keluarga karyawan perempuan di perkebunan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui dan menganalisis kondisi kerja karyawan perempuan (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di perkebunan.

2. Mengetahui dan menganalisis faktor yang berhubungan dengan kondisi kerja karyawan di perkebunan.

3. Mengetahui dan menganalisis hubungan kondisi kerja terhadap kesejahteraan keluarga karyawan di perkebunan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang bermanfaat khususnya bagi:

1. Peneliti, merupakan sarana untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh dengan melihat fenomena praktis yang terjadi dan mengaitkanya dengan teori yang telah diperoleh.

2. Kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi untuk penulisan atau penelitian selanjutnya mengenai kondisi kerja karyawan perkebunan.

3. Instansi terkait, tulisan ini diharapkan dapat menjadi pendorong agar memperhatikan karyawan perkebunan dan dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan tindakan terkait dengan ketenagakerjaan.

II. PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Konsep Gender

Konsep gender dibuat oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari, dan disosialisasikan. Pembedaan ini sangat penting karena seringkali disamaratakannya ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah dengan ciri-ciri manusia yang bersifat non kodrat (gender) yang sebenarnya bisa berubah dan atau diubah.

Fakih (1996) menyatakan gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural, namun untuk memahami konsep gender harus dibedakan dengan konsep seks atau jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan pensifatan dan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jajakala (kala menjing), dan produsen sperma, sedangkan rahim saluran untuk melahirkan, sel telur, vagina, dan alat untuk menyusui dimiliki oleh perempuan. Secara biologis, alat tersebut melekat pada manusia, tidak bisa dipertukarkan, secara permanen tidak berubah, dan merupakan suatu kodrat (ketentuan Tuhan).

Konsep gender sendiri adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang merupakan kategori sosial atau pencirian sosial (feminitas dan maskulinitas) yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural tercermin dalam perilaku, kepribadian, sikap, keyakinan, penampilan, pekerjaan, Konsep gender sendiri adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang merupakan kategori sosial atau pencirian sosial (feminitas dan maskulinitas) yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural tercermin dalam perilaku, kepribadian, sikap, keyakinan, penampilan, pekerjaan,

Pemahaman dan pembedaan gender sangat diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. (Fakih, 1996). Hal ini juga diperlukan dalam melakukan kajian untuk memahami persoalan-persoalan gender yang terjadi dalam masyarakat, karena terkait dengan perbedaan gender (gender differences) dan pembedaan gender (gender inequalities). Di samping itu dengan memisahkan perbedaan seks dengan gender akan memudahkan dalam menganalisis realita kehidupan dan dinamika perubahan relasi laki-laki dan perempuan.

Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat di mana manusia beraktivitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara pandang, sehingga seringkali hal tersebut merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaiamana permanen dan abadinya ciri biologis yang dimiliki perempuan dan laki-laki.

2.2 Ketidakadilan Gender

Perbedaan gender (gender differences) terbentuk karena beberapa hal yaitu dibentuk dan disosialisasikan oleh keluarga, diperkuat dan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Sampai akhirnya perbedaan gender dianggap sebagai ketentuan Tuhan, dipahami sebagai kodrat laki-laki maupun kodrat perempuan, yang tidak bisa dirubah (Fakih, 1996).

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan pembedaan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi persoalan adalah perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender, baik bagi laki-laki dan terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan gender (gender inequalities) adalah pemberian perlakuan yang berbeda kepada laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, sebagian besar kasus ketidakadilan gender menimpa perempuan. Itulah sebabnya masalah-masalah yang berkaitan dengan gender sering diidentikkan dengan masalah perempuan (de Vries, 2006).

Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. (Fakih, 1996). Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung yang berupa perlakuan maupun sikap yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun dalam berbagai struktur yang ada di masyarakat.

de Vries (2006) menjelaskan bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang sering terjadi pada perempuan yaitu: pertama, subordinasi yang merupakan pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, dalam hal ini adalah perempuan. Pandangan bahwa perempuan itu emosional mengakibatkan mereka kurang diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan; kedua, pelabelan

negatif (stereotype) yaitu pembentukan citra buruk perempuan yang menempatkan perempuan pada posisi tidak berdaya dalam masyarakat; ketiga, marginalisasi sebagai akibat langsung dari subordinasi perempuan serta melekatnya label-label buruk pada diri perempuan, perempuan tidak memiliki akses dan kontrol yang sama terhadap laki-laki dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi. Lebih jauhnya, hal ini akan berimplikasi pada termarginalisasinya kebutuhan dan kepentingan perempuan; keempat, beban kerja berlebih sehingga perempuan selalu diindikasikan dengan pekerjaan domestik. Pada kalangan keluarga miskin, beban ganda terjadi dimana kaum perempuan harus bekerja di sektor domestik dan produktif. Kelima, kekerasan yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang dalam hal ini dilakukan terhadap perempuan.

Hal serupa juga dikemukakan oleh Fakih (1996), akan tetapi terdapat perbedaan urutan dari bentuk ketidakadilan gender tersebut yaitu:

1. Marjinalisasi (pemiskinan) perempuan. Proses marjinalisasi yang menyebabkan kemiskinan banyak terjadi dalam

masyarakat di negara berkembang. Perempuan dipinggirkan dan tersingkir dari program pembangunan karena hanya memfokuskan pada laki-laki saja. Di samping itu perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umunya dikerjakan oleh laki-laki.

2. Subordinasi Pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap

lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Subordinasi sering terjadi di rumah tangga.

3. Pandangan Stereotipe Pelabelan atau penandaan (stereotype) yang seringkali bersifat negatif secara

umum selalu melahirkan ketidakadilan. Misalnya pelabelan perempuan sebagai ‘ibu rumah tangga’ membatasi gerak perempuan untuk ikut aktif dalam kegiatan politik, bisnis maupun birokrasi. Sementara label laki-laki sebagai ‘pencari nafkah’ mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap ‘sambilan’ sehingga kurang dihargai.

4. Kekerasan (violence). Kekerasan yang merupakan terjemahan dari violence adalah suatu serangan

terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut kekerasan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman, dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan terusik batinnya.

5. Beban Kerja Sebagai suatu bentuk ketidakadilan gender adalah beban kerja menjadi

panjang yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin yaitu perempuan ataupun laki-laki. Hasil observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik.

Menurut Fakih (1996) bahwa manifestasi ketidakadilan gender dalam bentuk-bentuk seperti di atas dapat terjadi di berbagai tingkatan. Di tingkat negara, tempat kerja, organisasi maupun dunia pendidikan, dalam adat istiadat,

dalam kultur suku-suku atau dalam tafsiran keagamaan bahkan dalam lingkungan rumah tangga. Manifestasi ketidakadilan gender ini telah mengakar di dalam keyakinan dan menjadi ideologi pada masing-masing orang (kaum perempuan maupun kaum laki-laki), keluarga hingga tingkat negara yang bersifat global, sehingga ketidakadilan gender menjadi hal yang paling sulit untuk diubah.

Selanjutnya sebagai maniefestasi lain dari ketidakadilan gender adalah domestikasi dan pengiburumahtanggaan (housewifization). Menurut Saptari (1997) mengutip dari literatur “Perempuan dalam Pembangunan” domestikasi adalah suatu proses pembatasan ruang gerak perempuan ke arena domestik. Dalam menjelaskan konsep domestikasi, Saptari mengacu kepada Barbara Rogers dengan karyanya yang terkenal “The Domestication of Women“ yang menurutnya cukup menggambarkan proses domestikasi.

Menurut Rogers (1980) dalam Saptari (1997), bersamaan dengan terkucilnya perempuan dari kerja upahan dan dari jalur lain dalam ekonomi uang, ideologi tentang ‘kodrat’ domestik mereka didukung dengan kuat, melalui pengajaran ketrampilan domestik gaya Barat dan melalui ajaran moral tentang tempat mereka di rumah.

Istilah domestikasi sering dipakai secara bergantian dengan pengertian housewifization atau pengiburumahtanggaan. Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Maria Mies. Pengiburumahtanggaan menurut Mies (1986) yang dikutip oleh Saptari (1997) merupakan proses pendefinisian sosial perempuan sebagai ibu rumah tangga terlepas dari apakah mereka memang ibu rumah tangga atau bukan. Menurut Saptari sendiri, definisi ini berimplikasi

kepada timbulnya anggapan perempuan yang tergantung secara ekonomis kepada laki-laki dengan kata lain mereka mempunyai suami yang menafkahi mereka.

2.3 Pembagian Kerja Gender

Menurut Saptari (1997) dalam masyarakat kita pekerjaan yang dilakukan perempuan seringkali tidak tampak. Selain itu perempuan cenderung terlibat dalam pekerjaan yang tidak membawa upah atau tidak dilakukan di luar rumah. Moore (1988) dalam Saptari (1997) mengemukakan definisi tentang kerja sering kali tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang, tetapi juga menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta penilaian sosial yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut Dalam situasi seperti ini bisa dipahami mengapa kerja perempuan sering kali tidak tampak (invisible) karena dalam masyarakat kita keterlibatan perempuan sering kali berada dalam pekerjaan yang tidak membawa upah atau tidak dilakukan di luar rumah.

Sebenarnya terdapat dua bias kultural dalam masyarakat kita yang menyebabkan timbulnya pengertian sekaligus pembedaan terhadap kerja upahan (produktif) dan bukan upahan (tidak produktif). Pertama, uang sebagai ukuran bernilai tidaknya suatu kegiatan. Kedua, kecenderungan masyarakat melakukan dikotomi tajam terhadap semua gejala yang ada.

Dari berbagai dikotomi yang pernah ada dalam litetarur studi perempuan (produksi/reproduksi, domestik/bukan domestik, upahan/bukan upahan), menurut Saptari (1997) sampai saat ini belum ada yang memberikan batasan jelas mengenai hakikat kerja. Menurutnya hal ini dikarenakan dalam kehidupan sehari- hari sulit untuk membuat pemisahan yang tajam. Oleh karena itu dalam melihat

suatu pekerjaan yang terpenting adalah bukan batasannya melainkan hubungan sosial atau hubungan kerja yang berbeda dan kondisi sosial yang mempengaruhi kerja yang dilakukan seseorang.

Menurut Moser (1986), kerja produktif dipakai untuk menunjukkan kerja baik secara aktual maupun potensial, yang memiliki nilai tukar, mencakup kerja di sektor formal dan informal, termasuk di dalamnya bekerja pada perusahaan keluarga. Sedang kerja reproduktif juga merupakan kerja produktif, tetapi karena nilai produksi yang dihasilkan tidak berupah, maka kerja reproduktif dikategorikan sebagai kerja produktif tidak langsung. Bila dibedakan kerja menurut ruang lingkupnya, Moser (1986) memberi arti domestik untuk pekerjaan yang dilakukan dalam rumah tangga. sedangkan publik merupakan ruang lingkup kerja di luar rumah.

2.4 Perkebunan di Indonesia

Pada sektor perkebunan, sejak zaman tanam paksa, interaksi antara buruh perkebunan dan masyarakat petani dengan pengusaha dan negara mengalirkan sejarah kekalahan buruh kebun. Kekalahan buruh perkebunan terjadi akibat penguasaan lahan dan sistem pengelolaan tenaga kerja (pengupahan, penerapan teknologi, dan sistem manajemen) yang mengeksploitasi petani. Pada masa kolonial digambarkan bahwa para kuli perkebunan yang dikelola W. F Kissing yang ada di Sumatera Selatan tidak dapat mencapai tingkat upah biasa karena kewajiban-kewajiban yang ditetapkan pada mereka terlalu besar (Houben, 2003 dalam Wijaya, 2005).

Mengkaji kekalahan petani dan para kuli buruh kebun, disimpulkan bahwa kehidupan dan budaya petani Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir telah dihancurkan oleh faktor-faktor eksternal seperti kebijakan internasional tentang liberalisasi perdagangan yang berhubungan dengan pertanian dimana berbagai kebijakan tersebut membuat para petani mengahadapi persoalan peminggiran ekonomi, dominasi politik serta berbagai kekerasan terhadap budaya mereka (Fakih, 2001 dalam Wijaya, 2005).

Menurut Maliki (1999) dalam Wijaya (2005), modernisasi pertanian yang memunculkan keberhasilan Indonesia memperoleh pengakuan FAO di tahun 1984 ternyata tidak mengubah bergaining position para petani secara ekonomi maupun politik dan ironisnya petani diposisikan sebagai komunitas statik, tertinggal, dan tidak siap menerima inovasi. Bahayanya, persoalan petani yang semakin terpinggirkan tidak pernah dianggap serius oleh pemerintah.

Menurut Kartodirdjo dan Djoko Suryo (1991), sebagai sistem perekonomian baru, perkebunan di Indonesia didifusikan oleh pemerintah kolonial Belanda tanpa dasar persiapan budaya agar pihak penjajah mendapat nilai tambah dari perkembangan ekonomi wilayah negara jajahan melalui pola produksi perkebunan komersial di tanah jajahan yang berdampak pada perubahan kehidupan masayarakat jajahan.

Pada konteks penggunaan tenaga kerja, diterapkan model spesialisasi yang menciptakan keterpisahan antara perkebunan dengan masyarakat sekitarnya (petani) yang menggunakan sistem kerja pra-spesialisasi. Keadaan tersebut berdampak perkebunan menjadi kantong-kantong industri (enclave industri). Ini bisa dipahami dengan mengamati keadaan industri perkebunan yang komersil di

tengah masyarakat Indonesia yang berciri subsistensi, kondisi perkebunan yang berteknologi modern dengan keadaan masyarakat yang masih berteknologi tradisional. Padahal industrialisasi dan prosesnya dalam pengusahaan perkebunan membutuhkan kesiapan sosial budaya dari masyarakat untuk menerima, mendukung, dan melestarikan keadaan fisik industri perkebunan di tengah masyarakat petani (Soetrisno, 1983 dalam Tetiani, 2005 )

Masyarakat perkebunan memiliki sistem stratifikasi sosial yang kaku dan sangat dipengaruhi oleh birokrasi pemerintahan yang sering turut campur tangan. Terjadi perbedaan yang jelas antara administratur dan karyawan perkebunan dengan buruh perkebunan, yang mana golongan staf dan karyawan tak hanya tinggal dalam rumah dan lingkungan yang bagus tetapi mereka juga bergaya hidup mewah, sedangkan buruh hidup dengan penuh kesederhanaan (Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991)

2.5 Kondisi Kerja Buruh Perkebunan

Jenis kelamin merupakan prinsip pembeda utama dalam pembagian kerja di perkebunan. Pekerja dibedakan berdasarkan pekerja untuk laki-laki dan pekerjaan untuk perempuan (Grijns 1987, Oktaviani 1995, Tetiani 2005). Selain itu sistem penggolongan tenaga kerja dalam sistem organisatoris perusahaan perkebunan juga ditentukan oleh tingkat pendidikan dan keahlian (Oktaviani, 1995). Tetiani (2005), menyatakan bahwa di dalam kebun juga dikembangkan hierarki dan segregasi kerja berbasis ras yang dipandang sebagai penerjemahan nilai partiarkal, fenomena promosi kerja sampai kepada jabatan tinggi (staf) berdasarkan lama waktu kerja.

Di perkebunan Sumatera Utara, sebaran umur karyawan pemanen yang berada pada kelompok tua dan kelompok muda mempunyai jumlah yang sama yaitu sebanyak 17 orang dengan persentase 27 persen. Pada kelompok umur dewasa sebanyak 29 orang dengan persentase 46 persen. Sebaran umur pada kelompok dewasa lebih besar karena tergolong usia produktif dan memiliki tenaga yang kuat untuk melakukan pemanenan.

Pembentukan stratifikasi sosial yang ada dalam komunitas perkebunan ini sangat dipengaruhi oleh sistem penggolongan tenaga kerja dalam sistem organisatoris perusahaan. Penggolongan itu berdasarkan pada pembedaan posisi dan kedudukan seseorang di dalam perusahaan yang ditentukan oleh tingkat pendidikan dan disesuaikan dengan keahlian. Untuk itu seseorang yang bersangkutan mendapat upah serta fasilitas-fasilitas yang berbeda antara masing- masing golongan (Kristina, 2004).

Oktaviani (1995) menyatakan bahwa dalam perkebunan di Sumatera Selatan pekerjaan laki-laki lebih berat daripada perempuan misalnya membuka hutan yang masih banyak ditumbuhi pohon besar, membuat saluran irigasi, membuang tangkai buah kelapa sawit yang sudah tua sedangkan perempuan hanya sekedar menyiangi lahan yang sudah digarap, melakukan pembibitan, penanaman, mengasuh anak, atau membantu pekerjaan rumah di kediaman pegawai staf.

Pekerjaan produktif perempuan dalam perkebunan di Sumatera Utara sangat kecil (Lubis, 1989). Pada tahap pembibitan dalam budidaya karet, perempuan hanya bekerja pada 5 jenis pekerjaan dari 14 jenis pekerjaan. Pada tahap permulaan tanaman baru, perempuan hanya turut bekerja pada 6 jenis

pekerjaan dari 22 jenis pekerjaan. Ketika melakukan penanaman ulang, perempuan hanya melakukan 8 jenis pekerjaan dari 19 jenis pekerjaan. Pada tahap penyadapan, peraturan hanya mengijinkan perempuan bekerja menyadap.

Pada kasus di perkebunan teh Selasari, Jawa Barat (Grijns 1987), hampir semua pekerjaan memetik dilakukan oleh perempuan (93% dari semua perempuan dan 59% dari semua pekerja). Sejumlah kecil perempuan melakukan pekerjaan tidak tetap seperti mengepak teh untuk pelelangan di luar negeri, menyiram tanaman-tanaman muda, mencuci cangkir untuk mencicipi teh, atau bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada pegawai staf yang dibayar oleh perusahaan. Terdapat satu tempat yang seluruh pekerjanya selalu perempuan yaitu bagian sortasi dalam pabrik.

Kasus di perkebunan kakao Blitar (Wijaya 2005) menunjukkan bahwa buruh kebun dibagi menjadi tujuh kelompok kerja yang sebagian besar berstatus sebagai karyawan tetap golongan IA. Empat kelompok lainnya terdiri atas para kuli yang berstatus sebagai karyawan lepas, kelompok kuli jambret, kelompok kuli petik, dan pecah buah diupah berdasarkan kerja borongan.

Menurut Masithoh (2005), terdapat pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Laki-laki bekerja di kebun atau menjadi tukang ojek, sedangkan perempuan bekerja di kebun sebagai buruh petik, membantu suami di kebun, atau berdagang kebutuhan sehari-hari. Tanggung jawab untuk mencari nafkah dibebankan pada laki-laki sebagai kepala rumahtangga. Untuk lapisan atas, perempuan lebih banyak melakukan pekerjaan domestik saja.

Menurut Oktaviani (1995), perusahaan menetapkan sistem pengupahan berdasarkan keahlian, kecakapan, dan tanggung jawab seorang pekerja, serta

menurut kemampuan perusahaan yang disesuaikan dengan ketentuan berlaku tentang upah minimum. Buruh adalah lapisan terbawah dan terbanyak dalam ketenagakerjaan. Buruh ini dibedakan berdasarkan pekerja laki-laki dan perempuan yang diterapkan langsung dalam pembagian jenis pekerjaan. Pekerjaan perempuan dinilai pihak perusahaan lebih ringan maka dibayar lebih murah daripada pekerja laki-laki

Klasifikasi tenaga kerja di perkebunan didasarkan pada status gaji yaitu bulanan dan harian (Grijns 1987). Pimpinan merupakan golongan terpisah. Mandor, teknisi dan pegawai administrasi mendapat gaji tetap yang dibayar bulanan ditambah bayaran kerja lembur dan bonus produksi. Buruh harian dibayar menurut jumlah hari bekerja selama sebulan lalu atau menurut sistem borongan. Buruh tetap mempunyai hak untuk libur satu hari dalam seminggu dengan tetap dibayar. Terdapat satu tempat yang seluruh pekerjanya selalu perempuan yaitu bagian sortasi dalam pabrik. Bagian ini dimandori oleh seorang perempuan dengan gaji bulanan. Hanya sebagian kecil perempuan yang bekerja sebagai mandor dan semuanya di kebun dan dibayar harian, berbeda dengan mandor laki- laki yang kebanyakan dibayar bulanan. Untuk yang telah bekerja selama enam tahun mendapat dua belas hari cuti tiap tahunnya, setelah bekerja selama dua puluh lima tahun ada yang mendapat pensiun atau pesangon, dan mendapat pelayanan sosial dari perkebunan. Pada kasus tertentu pekerja harian lepas juga dapat menikmati fasilitas tersebut (Grijns 1987, Oktaviani 1995).

Menurut Oktaviani (1995), pekerja perkebunan dibedakan lagi menjadi 2 kelompok yaitu: 1) Pekerja harian tetap yang diangkat menjadi pekerja tetap setelah lewat masa percobaan selama 3 bulan, dan berhak menerima upah dan

fasilitas seperti rumah, kesehatan, THR. Upah ditetapkan berdasarkan hari kerja dan akan dibayar tiap akhir bulan ditambah dengan tunjangan lain seperti beras. 2) Pekerja harian lepas adalah pekerja yang belum diangkat menjadi pekerja tetap sehingga tidak diberikan fasilitas. Penetapan upah dibayar berdasarkan prestasi kerja yang dicapai dan diukur dengan volume kerja yang dihasilkan. Pekerja ini biasanya juga dikenal dengan sebutan pekerja borongan.

Pada kasus di Blitar (Wijaya 2005), Pekerja yang berstatus karyawan harian lepas menerima upah sesuai upah minimum rata-rata harian di Blitar. Upah yang dirasakan amat kecil adalah upah borongan yang diterima oleh kuli petik. Kuli pecah cuil buah menerima upah dua kali lipat. Melihat upah yang diterima kondisi para kuli petik lebih memprihatinkan daripada kuli lain. Menurut Daulay (2006), pada sistem pengupahan perusahaan perkebunan, upah buruh masih rendah, belum memakai standar upah minimum rata-rata.

2.6 Kesejahteraan

Menurut Sawidak (1985) dalam Munir (2008), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya.

Menurut Wattimena (2009), tingkat kesejahteraan mengacu kepada keadaan komunitas atau masyarakat luas. Kesejahteraan adalah kondisi agregat

dari kepuasan individu-individu. Meskipun tidak ada suatu batasan substansi yang tegas tentang kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup pangan, pendidikan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan, dan sebagainya.

Penggunaan output ekonomi perkapita atau pendapatan rumah tangga dipandang kurang relevan dalam mengukur kesejahteraan masyarakat karena hanya memperhatikan faktor ekonomi saja. Maka diperlukan penggunaan indikator lain yang lebih komprehensif. Oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, saat ini Indeks Pembangunan Manusia sebagai penilaian yang bersifat komposit atas perkembangan konsumsi, kesehatan, dan pendidikan masyarakat digunakan secara luas untuk mengukur perkembangan kesejahteraan masyarakat (Wattimena, 2009).

Kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya (Suharto, 2006).

Taraf kesejahteraan rakyat masyarakat indonesia secara umum mengalami peningkatan yang berarti dari waktu ke waktu. Peningkatan ini terjadi dalam konteks demografis, yaitu walaupun jumlah penduduk masih terus bertambah tetapi kecepatan bertambahnya terus berkurang sebagai akibat turunnya angka kelahiran. Peningkatan taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antara lain

ditunjukkan oleh dua indikator yang berdampak pada bidang kesehatan dan pendidikan, yaitu meningkatnya angka harapan hidup dan rata-rata lama sekolah (BPS, 2006).

Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat (visible) melalui aspek tertentu. Oleh karena itu, kesejahteraan rakyat dapat diamati dari berbagai aspek yang spesifik. Tidak semua permasalahan kesejahteraan dapat diamati dan diukur (BPS, 2006). Diperlukan berbagai bidang disiplin ilmu di samping melakukan penelitian atau melalui pengamatan empirik berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku secara umum dan spesifik (BPS, 1995 dalam Munir, 2008).

Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS (2006), sebagai berikut:

1. Kependudukan Masalah kependudukan yang antara lain meliputi jumlah, komposisi, dan