Laporan: Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK | PWYP Indonesia Batubara Ind

(1)

PENATAAN IZIN BATUBARA

DALAM KOORDINASI


(2)

(3)

Tim Penyusun

Agung Budiono

Rizky Ananda WSR

Penyunting

Maryati Abdullah

Penataan Izin Batubara

dalam Koordinasi


(4)

Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK LAPORAN

ISBN: 987-602-50032-1-9 Tim Penyusun

Agung Budiono

Rizky Ananda Wulan Sapta Rini Editor

Maryati Abdullah Desain & Layout Agus Wiyono

Laporan ini disusun dan diterbitkan oleh Publish What You Pay Indonesia [Yayasan Transparansi Sumber Daya Ekstraktif ] bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Diperbolehkan untuk mengutip isi laporan dengan mengikuti kaidah pengutipan yang berlaku.

Edisi I, 2017

Publish What You Pay Indonesia

Jl. Tebet Timur Dalam VIII K No. 12, Tebet, Jakarta 12820, Telp : +6221 - 29069727 Email : sekretariat@pwyp-indonesia.org | Website : www.pwyp-indonesia.org Fanpage : Publish What You Pay Indonesia | Twitter : @pwyp_indonesia


(5)

I

ndonesia adalah produsen batubara terbesar kelima di dunia setelah China, Amerika Serikat, India dan Australia. Sebelum tahun 2015, Indonesia merupakan eksportir batubara terbesar di dunia dengan rata-rata produksi yang tercatat di tahun 2012-2015 mencapai lebih dari 400 juta ton per tahun. Sedangkan sumberdaya batubara Indonesia saat ini mencapai 99,2 miliar ton dengan cadangan terbukti mencapai 13,3 miliar ton, yang mayoritas tersebar di wilayah Sumatera, Kalimantan dan sebagian Papua.

Jika diasumsikan rata-rata produksi per tahunnya tetap (461 juta ton/tahun) dan tidak ada penambahan data cadangan terbukti, maka batubara di Indonesia diperkirakan akan habis dalam kurun waktu 29 tahun mendatang, atau tepatnya hingga tahun 2046. Dari sisi manfaat bagi perekonomian, kontribusi batubara masih sangat minim, hanya berkontribusi rata-rata 2,5% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional pada kurun waktu 2010-2015 (BPS, 2016). Dari total produksi yang ada, rata-rata hanya 15-25% yang digunakan di dalam negeri (terutama untuk pembangkit listrik), sementara sebagian besar lainnya diekspor.

Sejarah produksi batubara Indonesia diawali pada periode booming pertama di tahun 1989-1999 (dengan kenaikan produksi mencapai 30% per tahun), kemudian dilanjutkan dengan booming kedua antara tahun 2009 hingga 2013/2014 terutama yang didukung oleh desentralisasi kewenangan pemberian izin kepada pemerintah daerah. Kondisi booming

tersebut ternyata menyisakan problem carut marutnya tata kelola batubara yang semakin kompleks, mulai dari proses penerbitan izin yang tidak sesuai prosedur sehingga muncul masalah tumpang tindih izin dan atau berada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung (secara terbuka); lemahnya pengawasan dan penerapan good mining practices

telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hingga meninggalkan bekas lubang yang menelan korban jiwa; lemahnya pengawasan produksi dan pengapalan, hingga tidak jarang adanya terpaan isu ekspor yang merugikan keuangan negara; serta masih rendahnya kepatuhan kewajiban iskal pelaku usaha kepada negara seperti adanya tunggakan PNBP, rendahnya rasio pajak pertambangan, hingga minimnya pengalokasian dana jaminan reklamasi dan pasca-tambang.

Laporan ini menyajikan potret masalah dan capaian dari penataan sektor batubara yang ditemukan dan disupervisi oleh KPK dalam program koordinasi dan supervisi (Korsup) sektor pertambangan yang digawangi oleh Divisi Litbang – Deputi Pencegahan KPK. Korsup Minerba yang merupakan bagian dari Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-PSDA) ini merupakan bagian dari trigger mechanism KPK untuk mencegah adanya tindak pidana korupsi dan kerugian negara, serta mendorong perbaikan tata kelola yang lebih baik di sektor


(6)

pertambangan. Secara garis besar laporan ini meliputi ulasan temuan di sektor batubara dari aspek administrasi dan kewilayahan. Laporan ini disajikan bersama data dan analisis temuan, tindak lanjut dan capaian, serta rekomendasi-rekomendasi dalam proses penertiban dan penataan yang dilakukan oleh Korsup KPK bersama dengan Kementerian ESDM dan instansi terkait seperti Pemda, pelaku usaha, dan elemen penegak hukum maupun unsur organisasi masyarakat sipil.

Terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada tim penyusun dan segenap pihak yang membantu dan mendukung penerbitan laporan ini: Agung Budiono dan Rizky Ananda yang merupakan tim peneliti sektor batubara dari Publish What You Pay Indonesia; Bapak Dian Patria dan Mbak Epa Kartika serta tim Korsup Minerba lainnya di Kedeputian Pencegahan KPK; Mas Agus yang membantu proses lay out, serta pihak-pihak terkait lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu di sini. Akhir kata, kami sangat terbuka atas masukan, saran dan kritik dari pembaca dan berbagi pihak, bagi kesempurnaan dan manfaat dari laporan ini bagi perbaikan tata kelola pertambangan dan sumberdaya alam di Indonesia.

Jakarta, 2 Mei 2017

Maryati Abdullah

Koordinator Nasional


(7)

Ringkasan Eksekutif

L

aporan hadir untuk merangkum perjalanan reformasi tata kelola pertambangan

batubara yang diinisiasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Kordinasi dan Superivisi Sektor Mineral dan Batubara (Korsup Minerba) yang dimulai sejak 2014 hingga 2017. Laporan ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan terhadap aspek penertiban izin khususnya untuk skema Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara sekaligus capaiannya. Terdapat sejumlah temuan penting dari laporan ini yang bertujuan untuk mengurai benang kusut tata kelola minerba sejak tahun 1999-2009. Berikut adalah sejumlah temuan penting yang disarikan dalam laporan ini.

Booming perizinan minerba terjadi akibat tidak sinkronnya kebijakan pada masa

transisi peralihan dari era sentralisme menuju otonomi daerah (desentralisasi). Hal itu mengakibatkan angka perizinan yang tidak terkontrol. Akibatnya jumlah izin meningkat tajam dari hanya 750 izin di 2001 menjadi sekitar 10 ribu lebih di 2010, di mana sebanyak 40% diantaranya adalah IUP batubara dengan total luasan mencapai 16,2 juta hektar (Ditjen Minerba, 2013). Sedangkan luasan untuk rezim izin PKP2B luasannya sekitar 1,95 juta hektar (Ditjen Planologi, 2014).

Upaya pemerintah pusat menghimpun data IUP tambang pasca-booming izin guna disesuaikan dengan rezim UU Nomor 4/2009 Minerba, salah satunya dilakukan melalui mekanisme rekonsiliasi di tahun 2011 dengan mengkategorikan izin menjadi Clean and Clear (CnC) dan non-Clean and Clear (non-CnC). Namun, proses yang tidak berjalan dengan baik mengkibatkan rekonsiliasi juga belum berhasil menghimpun data yang valid. Penolakan oleh sejumlah daerah terjadi karena terdapat anggapan bahwa payung hukum dalam menentukan CnC dan non-CnC belum jelas.

Korsup Minerba mendorong proses penertiban perizinan yang diarahkan pada pencabutan/pengakhiran izin yang berstatus non-CnC. Korsup juga mempelopori dilakukanya veriikasi (overlay) antara izin tambang dengan kawasan hutan, sehingga penertiban izin juga diarahkan pada pencabutan atau penciutan izin yang berada di kawasan hutan konservasi, dan hutan lindung yang tidak beroperasi secara bawah tanah (underground mining) --mandat UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan.

Korsup Minerba KPK merekomendasikan adanya payung hukum terkait penertiban izin yang ditindaklanjuti dengan hadirnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 43/2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penertiban IUP di penghujung tahun 2015 dan menjadi acuan terhadap proses penataan IUP hingga 2017


(8)

Sejak 2014 hingga April 2017, tercatat sebanyak 776 izin tambang batubara dicabut/ diakhirkan oleh Kepala Daerah yang berwenang, (Bupati dan Gubernur), diketahui izin yang dicabut mayoritas yang berstatus non-CnC dan masih dalam tahapan eksplorasi. Luasan IUP batubara yang dicabut dan diakhirkan mencapai sekitar 3,56 juta hektar. Sehingga total luas IUP batubara setelah adanya Korsup Minerba KPK mencapai sekitar 12,6 juta hektar (berdasarkan data per-30 Januari 2017).

IUP Batubara yang tersisa hingga April 2017 mencapai 2966 IUP, di mana sebanyak 52% atau 1561 IUP diketahui telah habis masa berlakunya pada Desember 2016. Untuk sisanya, yakni sebanyak 1405 IUP, SK izinnya masih aktif, namun sebanyak 217 izin masih berstatus IUP non-CnC. Pemerintah daerah harus segera menindaklanjuti penertiban izin-izin tersebut.

Untuk penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan, 102 ribu hektar konsesi batubara jenis PKP2B terdapat di hutan konservasi. Sementara yang berada di hutan lindung mencapai 123,8 ribu hektar. Sedangkan untuk konsesi jenis IUP, terdapat 194,8 ribu hektar di kawasan hutan konservasi dan 519,8 ribu hektar di kawasa hutan lindung. Sehingga, izin/konsesi batubara yang masih ada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung luasannya hampir mencapai 940,4 ribu hektar atau 15 % dari seluruh luasan konsesi minerba di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.

Secara kewilayahan, sebaran konsesi batubara yang berada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung di seluruh Indonesia sebagian besar berada di wilayah Papua, Kalimantan Timur, Papua Barat, dan Aceh.


(9)

Daftar Isi

Kata Pengantar ... v

Ringkasan Eksekutif ... vii

Daftar Isi ... ix

Daftar Tabel ... x

Daftar Gambar ... x

Daftar Singkatan ... xi

A. PENDAHULUAN ... 1

1. Potret Tata Kelola Perizinan Batubara ... 1

2. Ihwal Sengkarut Perizinan ... 2

3. Moratorium Izin Tambang ... 3

4. Rekonsiliasi IUP dan Status Clean and Clear dan Non-Clean and Clear ... 4

5. UpdateBatubara Indonesia ... 5

6. Cadangan dan Sumberdaya Batubara Indonesia ... 6

7. Periodisasi Perkembangan Batubara Indonesia ... 7

B. KOORDINASI DAN SUPERVISI MINERBA KPK SEKTOR BATUBARA ... 11

1. Latar Belakang dan Cakupan Korsup Minerba KPK ... 11

2. Temuan, Tindak Lanjut dan Capaian Korsup ... 12

3. Aspek Administrasi dan Kewilayahan ... 13

a. Tumpang Tindih Antar-Konsesi/Izin ... 13

b. Masa Berlaku IUP Berakhir ... 15

c. Konsesi/Izin di Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung ... 15

d. IUP Non-Clean and Clear ... 19

e. Tindak Lanjut dan Capaian Penataan ... 23

4. Anomali Peningkatan Luasan Konsesi/Izin di Hutan Konservasi dan Hutan Lindung ... 27

C. REKOMENDASI ... 29

D. DAFTAR PUSTAKA ... 30


(10)

Daftar Tabel

Tabel 1. Rekapitulasi IUP Batubara CnC dan Non-CnC Se- Indonesia, 2014 & 2017 Tabel 2. Tumpang Tindih IUP dengan PKP2B (2014)

Tabel 3. Kerangka ‘Go’ dan ‘No Go Zone’ Kawasan Hutan bagi Kegiatan Industri Ekstraktif Tabel 4. Konsesi Pertambangan Minerba di Kawasan Hutan & Area Penggunaan Lain Tabel 5. Masalah dan Tindak Lanjut dalam Evaluasi CnC Sektor Batubara

Tabel 6. Kategori Masalah Administrasi dan Kewilayahan dalam Rekomendasi CnC yang Diajukan oleh Pemda

Tabel 7. Pola Umum Temuan dan Tindak Lanjut/Rencana Aksi

Tabel 8. Rekap Jumlah IUP Batubara yang Dicabut/Diakhirkan (Status April 2017) Tabel 9. Perbandingan Luas Kawasan Konsesi/Izin Batubara di Hutan Konservasi & Hutan

Lindung Tahun 2016 (dalam Hektar)

Daftar Gambar

Gambar 1. Volume Produksi Batubara: Ekspor VS Domestik (dalam Juta Ton) Gambar 2. Sumberdaya dan Cadangan Batubara Indonesia (dalam Juta Ton) Gambar 3. Periodisasi Perkembangan Batubara di Indonesia

Gambar 4. Perjalanan Proses Korsup Minerba 2014-sekarang Gambar 5. IUP Batubara dan Status Berakhirnya SK Izin

Gambar 6. Luas Konsesi Batubara di Hutan Konservasi dan Hutan Lindung Tahun 2014 (dalam Hektar)

Gambar 7. Sebaran Konsesi /Izin Batubara (IUP & PKP2B) di Hutan Konservasi (2014) Gambar 8. Sebaran Konsesi /Izin Batubara (IUP & PKP2B) di Hutan Lindung (2014) Gambar 9. Alur Perkembangan Permen 43/2015

Gambar 10. Perkembangan Jumlah IUP Batubara Non-CnC

Gambar 11. Luasan Konsesi /Izin Batubara di Kawasan Hutan Konservasi pada Tahun 2014 & 2017 (dalam Hektar)

Gambar 12. Luasan Konsesi /Izin Batubara di Kawasan Hutan Lindung pada Tahun 2014 & 2017 (dalam Hektar)


(11)

Daftar Singkatan

AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan APBI : Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APL : Area Penggunaan Lain

BARESKRIM : Badan Reserse Kriminal BKF : Badan Kebijakan Fiskal

BKPM : Badan Koordinasi Penanaman Modal BIG : Badan Informasi dan Geospasial

BPKP : Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan BPS : Badan Pusat Statistik

BUMN : Badan Umum Milik Negara CnC : Clean and Clear

DBB : Dinas Batu Bara

DHPB : Dana Hasil Penjualan Batubara DIRJEN : Direktur Jenderal

DITJEN : Direktorat Jenderal

EBTKE : Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi ESDM : Energi dan Sumber Daya Mineral

GN-PSDA : Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam IUP : Izin Usaha Pertambangan

JAMDATUN : Jaksa Agung Muda Perdana dan Tata Usaha Negara JAMINTEL : Jaksa Agung Muda Intelijen

KALTARA : Kalimantan Utara KALTIM : Kalimantan Timur

KLHK : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KP : Kuasa Pertambangan

KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi PDB : Produk Domestik Bruto MINERBA : Mineral dan Batubara NPWP : Nomor Pokok Wajib Pajak PERMEN : Peraturan Menteri PHT : Penjualan Hasil Tambang


(12)

PLTU : Pembangkit Listrik Tenaga Uap PMA : Penanaman Modal Asing PMDN : Penanaman Modal Dalam Negeri PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak POLRI : Kepolisian Republik Indonesia PP : Peraturan Pemerintah PWYP : Publish What You Pay

RKAB : Rencana Kerja dan Anggaran Belanja

SE : Surat Edaran

SIE : Surat Izin Ekspor

SK : Surat Keputusan

SPE : Surat Perjanjian Ekspor

UKL/UPL : Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup/Upaya Pemantauan Lingkungan

UU : Undang Undang

WIUP : Wilayah Izin Usaha Pertambangan WP : Wilayah Pertambangan


(13)

(14)

Sumber: asgardprojectsolutions.iles.wordpress.com

Mayoritas batubara Indonesia masih untuk

memenuhi pasar ekspor, sementara tata kelola

perizinan dan industri di dalam negeri masih

menyisakan problem yang critical.


(15)

A. Pendahuluan

1. Potret Tata Kelola Perizinan Batubara

Industri batubara merupakan salah satu penopang perekonomian nasional dan beberapa daerah di Indonesia. Kendati demikian, sebagai komoditas yang memanfatkan banyak lahan (land use), batubara belum berkontribusi optimal kepada kesejahteraan rakyat. Kondisi tersebut disebabkan oleh celah kebijakan yang berimbas pada kebocoran penerimaan negara sepanjang rantai nilai batubara. Salah satu rantai nilai batubara yang penting untuk disorot adalah sektor hulu, yaitu pada aspek perizinan. Celah kebijakan banyak dimanfaatkan oleh pelaku rente sehingga membuat penerbitan izin batubara tidak terkendali. Kondisi tersebut terjadi pada rentang tahun 1999-2012

Pemberian izin penggunaan lahan pada daerah kaya sumber daya alam kerap dikaitkan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Hal ini dapat dilihat dari adanya kecenderungan eskalasi pemberian Kuasa Pertambangan (KP)-istilah perizinan di rezim UU 11/1967-yang saat ini telah berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP), berdasarkan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. Izin yang diberikan kepala daerah kepada pelaku usaha diduga banyak disertai dengan ada imbal jasa (kickback) dalam bentuk suap atau gratiikasi. Kondisi tersebut diperparah dari rantai pengawasan yang tidak ketat oleh penyelenggara negara. Karena itu, booming izin pertambangan yang tidak disertai pengawasan yang tepat memicu dampak sosial dan lingkungan serta kerugian negara dari penerimaan.

Pemberian izin yang tidak terkendali berimbas pada permasalahan tata kelola pertambangan batubara di rantai proses bisnis lainnya, antara lain:

• Terbitnya ribuan izin pertambangan (mineral dan batubara) tanpa melalui proses uji tuntas (due diligence) atas kewajiban dan kepatuhan yang memadai sehingga meninggalkan sejumlah permasalahan seperti tumpang tindih izin baik sesama komoditas dan komoditas lain, maupun tumpang tindih dengan kawasan hutan konservasi dan hutan lindung; keberadaan perusahaan yang diragukan seperti alamat yang tidak jelas, kecukupan modal yang dipertanyakan, serta status IUP Eksplorasi dan Operasi Produksi yang dikeluarkan tanpa adanya komitmen pengalokasian dana reklamasi dan pasca-tambang.

• Lemahnya pengawasan, seperti minimnya jumlah dan lemahnya fungsi inspektur tambang dan tidak adanya penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di sektor Minerba; praktik pertambangan yang tidak sesuai prosedur praktek pertambangan yang baik memunculkan dampak lingkungan seperti dampak buruk bagi lingkungan dan adanya sisa lubang bekas tambang yang ditinggalkan tanpa reklamasi;

• Pengawasan produksi dan penjualan serta pengawasan aliran penerimaan negara yang tidak ketat, memunculkan indikasi adanya ekspor ilegal, produksi yang tidak sejalan dengan rencana kerja (RKAB).


(16)

Hasil kajian KPK di sektor batubara pada tahun 2011 yang mengungkap berbagai permasalahan di pertambangan batubara mendorong KPK untuk melakukan Koordinasi dan Supervisi (Korsup), khususnya di sektor Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Sejumlah temuan pada kajian tersebut melahirkan beberapa rekomendasi tindak lanjut, diantaranya:

• Perlunya dilakukan perbaikan regulasi, misalnya berupa Peraturan Menteri (Permen); • Perlunya dilakukan penguatan kelembagaan;

• Perlu adanya perbaikan ketatalaksanaan perizinan;

• Perlunya dibangun database minerba, salah satunya melalui Minerba One Map Indonesia (MOMI);

• Pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban pemda dan pelaku usaha; • Mendorong penetapan batas wilayah pertambangan;

• Membenahi IUP melalui proses Clean and Clear (CNC); dan

• Perlu adanya pelatihan inspektur tambang untuk menguatkan pengawasan.

Korsup juga merupakan salah satu mandat yang dimiliki KPK sesuai dengan tugas dan kewenangan KPK pada pasal 14 UU No 30/2002 tentang KPK yaitu,

• Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah.

• Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi.

• Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.

Selain itu, isu batubara merupakan bagian dari rencana strategi KPK 2011-2015 yang salah satunya berfokus pada perbaikan sektor strategis terkait kepentingan nasional (national interest) meliputi ketahanan energi dan lingkungan (migas, pertambangan dan kehutanan) serta penerimaan negara (pajak, bea dan cukai, serta PNBP). Korsup Minerba juga lahir sebagai

trigger mechanism yang dijalankan KPK untuk melakukan pencegahan korupsi di sektor-sektor tertentu melalui koordinasi dan supervisi dengan kementerian/lembaga terkait

2. Ihwal Sengkarut Perizinan

Jika ditarik mundur, sengkarut tata kelola tambang minerba yang memicu booming

perizinan tambang terjadi pasca-ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75/2001 tentang Penyerahan Kewenangan Pertambangan kepada Pemerintah Daerah yang merupakan turunan UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). PP Nomor 75/2001 itu mulanya dimaksudkan sebagai jembatan perantara antara UU Nomor 11/1967 tentang Pertambangan dengan UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Konsekuensi lahirnya PP Nomor 75/2001 tersebut secara umum memberikan kewenangan pengelolaan sektor pertambangan secara utuh kepada Pemda di tingkat Kabupaten/Kota, sehingga memicu ketidaksinkronan dengan UU Nomor 11/1967 tentang Pertambangan.


(17)

Berdasarkan data pada tahun 2001, izin tambang yang tercatat oleh pemerintah pusat diketahui hanya sebanyak 750-an izin, namun dengan peralihan kewenangan pemberian izin di era desentralisasi, angka izin minerba berkembang secara tidak terkontrol menjadi 8.000-an lebih di tahun 2008 (Tri Haryati, 2013). Angka tersebut melonjak lebih signiikan lagi menjadi 10.900-an lebih di tahun rentang 2010 hingga 2014. Dari angka tersebut 40% diantaranya adalah IUP batubara dengan total luasan mencapai mencapai 16,2 juta hektar (Ditjen Minerba, 2013). Sedangkan luasan untuk rezim izin PKP2B luasanya sekitar 1,95 juta hektar (Ditjen Planologi, 2014).

Kelahiran UU Nomor 4/2009 tentang Minerba menjadi titik balik baru dalam tata kelola pertambangan. UU Minerba diharapkan mampu menyelesaikan sejumlah masalah dari regulasi pertambangan sebelumnya dan menyesuaikan dengan semangat desentralisasi. UU Minerba telah mengakhiri skema/model kontrak/perjanjian dan beralih ke bentuk IUP yang terdiri atas IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. UU ini memandatkan pada seluruh KP yang ada untuk dikonversi menjadi IUP.

3. Moratorium Izin Tambang

Pasca-diterbitkannya UU Minerba Nomor 4/2009, Direktur Jenderal (Dirjen) Minerba meresponnya dengan menerbitkan dua Surat Edaran (SE) untuk dilakukannya moratorium penerbitan IUP baru, yakni:

1. SE Nomor 03/2009 tertanggal 30 Januari 2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksanaan UU Nomor 4/2009. SE ini ditujukan kepada seluruh gubernur dan bupati/walikota agar menghentikan sementara penerbitan IUP baru sampai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (Poin 2 Surat Edaran);

2. SE Nomor 08/2012 tentang Penghentian Sementara Penerbitan IUP Baru Sampai Ditetapkannya Wilayah Pertambangan (WP). Surat Edaran yang menegaskan soal moratorium ini diterbitkan tiga tahun dari SE Nomor 03/2009 tepatnya pada tanggal 6 Maret 2012 dan ditujukan kepada gubernur dan bupati/walikota di seluruh Indonesia. Dengan terbitnya SE itu, maka gubernur dan bupati/walikota seluruh Indonesia diminta untuk menghentikan penerbitan IUP baru sampai ditetapkannya WP.

Kedua SE tersebut merupakan pedoman bagi Dinas Pertambangan Provinsi dan Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia untuk melaksanakan moratorium (penghentian sementara) IUP. Bagi kepala daerah yang melanggar akan ada sanksi tegas yang dijatuhkan, bahkan dapat dipidana. Sedangkan bagi perusahaan yang melanggar maka semua izin usahanya akan dicabut oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Menurut Sawitri (2013), sayangnya moratorium dalam praktik di beberapa daerah kerap “diakali” dengan tanggal permohonan izin tambang yang dibuat mundur (backdate), seolah-olah permohonan IUP diajukan sebelum tahun 2009. Hal ini bertujuan agar permohonan izin tambang dapat diproses segera tanpa harus melalui lelang1.

1 Konirmasi juga kembali dilakukan kepada Tim SDA KPK yang mengemukakan indikasi backdate izin terjadi di sejumlah daerah.


(18)

Indikasi kuat adanya backdate dari SK penerbitan IUP ini tampak dari adanya peningkatan jumlah izin tambang yang terindentiikasi di tingkat pusat, dari hanya 8.000-an izin di akhir 2008 menjadi sekitar 10.900-an di akhir 2011, sehingga ada IUP yang diduga lahir pada rentang 2009-2011, yang jumlahnya mencapai 2900-an izin lebih.

4. Rekonsiliasi IUP dan Status Clean and Clear dan Non-Clean and Clear

Minimnya validitas data dan banyaknya permasalahan turunan akibat lonjakan perizinan di era desentralisasi membuat Kementerian ESDM melalui Ditjen Minerba berinisiatif mengadakan rekonsiliasi nasional data IUP pada 3-6 Mei 2011. Rekonsiliasi itu yang bertujuan untuk mendapatkan data pasti dalam proses penataan IUP yang diterbitkan Pemda seluruh Indonesia.

Untuk menyaring keberadaan tambang tersebut, maka dilakukan identiikasi melalui penetapan status CnC dan non-CnC yang diharapkan untuk mendapatkan data IUP nasional, sekaligus untuk mempercepat proses penyesuaian KP menjadi IUP sebagaimana diamanatkan oleh PP Nomor 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Pada momen rekonsiliasi, pemerintah daerah (Bupati/Walikota/Gubernur) menyerahkan seluruh IUP yang diterbitkan beserta kelengkapan seluruh dokumen pendukungnya antara lain: kelengkapan administrasi seperti Surat Keputusan (SK) penerbitan IUP yang masih berlaku beserta lampiran peta dan koordinat, dokumen yang menunjukkan tidak terjadi tumpang tindih antar izin dan komoditas, dokumen terkait kewajiban keuangan, serta persetujuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Berdasarkan veriikasi dan klasiikasi tersebut, IUP dikelompokkan menjadi IUP CnC dan IUP non-CnC. Data yang dihimpun oleh pemerintah dalam proses rekonsiliasi IUP nasional itu digunakan untuk melakukan penataan KP/IUP, khususnya terhadap KP/IUP yang diterbitkan oleh Pemda.

Secara umum, IUP CnC adalah IUP yang proses penerbitannya telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak memiliki permasalahan administrasi dan tumpang tindih kewilayahan dan komoditas. Sebaliknya, IUP Non-CnC merupakan IUP yang memiliki permasalahan dalam proses penerbitannya dan/atau memiliki permasalahan tumpang tindih kewilayahan.

Selanjutnya bagi IUP yang telah menyandang status CnC, dapat ditingkatkan untuk mendapatkan sertiikat CnC dengan catatan selain tidak bermasalah secara administrasi dan tumpang tindih kewilayahan, IUP tersebut juga telah memenuhi seluruh kewajiban inansial (baik pajak dan non-pajak), memenuhi kewajiban persyaratan teknis seperti laporan akhir eksplorasi, laporan studi kelayakan dan laporan lingkungan seperti AMDAL, UKL/UPL (Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan), serta rencana reklamasi dan pasca tambang beserta persetujuannya.

Upaya rekonsiliasi ini bukan tanpa hambatan dan perdebatan. Banyak kabupaten/kota dan provinsi yang tidak juga patuh untuk menyampaikan datanya, lantaran dianggap proses rekonsiliasi ini tidak memiliki payung hukum yang jelas. Selain itu, pemerintah daerah juga ada


(19)

yang menyalahkan pemerintah pusat akibat tidak dilaksanakannya tugas pokok dan fungsi pemerintah pusat dalam mekanisme pengawasan.

Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah melalui sejumlah regulasi mulai mempersyaratkan CnC dalam pemberian layanan perizinan, termasuk perizinan angkut jual, surat izin ekspor (SIE), surat persetujuan ekspor (SPE), dan perubahan investasi.

Kebijakan penataan IUP terus berjalan seiring dengan terbitnya UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menarik kewengan bupati/walikota sebagai pemberi izin kepada gubernur. Selain itu, terbit juga Permen ESDM Nomor 43/2015 Tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan IUP yang memperkuat mekanisme evaluasi dan penertiban izin, dan khususnya melalui mekanisme audit CnC. Permen 43/2015 lahir setelah Korsup KPK merekomendasikan pentingnya payung hukum dalam penataan perizinan.

5. Update Batubara Indonesia

Indonesia merupakan negara produsen batubara urutan kelima dunia setelah China, Amerika Serikat, India dan Australia (BP Statistical Review, 2016). Produksi batubara Indonesia sepanjang 2012-2015 rata-rata mencapai lebih dari 400 juta ton setiap tahun. Kendati demikian, Indonesia merupakan eksportir batubara terbesar di dunia sebelum disalip Australia pada tahun 2015. Sekitar 75%-85% dari volume produksi batubara Indonesia diekspor, sedangkan sisanya digunakan untuk kebutuhan domestik dengan peruntukan utama sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Namun, kontribusi batubara terhadap produk domestik bruto (PDB) masih sangat minim, rata-rata hanya berada di kisaran 2,5% sepanjang 2010-2015 dari kisaran 4-5% PDB pertambangan secara umum pada periode yang sama (BPS, 2016).

Gambar 1.

Volume Produksi Batubara: Ekspor VS Domestik (dalam juta ton)

Sumber: Laporan Kinerja Ditjen Minerba (2015-2016), Kementerian ESDM & APBI (2016) 2005

Ekspor

Produksi Batubara Domestik

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

154 194 217 240 254 275 353 412 474 458 461 434 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 103 142 163

191 198 210

287 345 402 382 366 343.5

51 52 54 49 56 65 66 67 72 76


(20)

Berdasarkan data runut waktu, lonjakan produksi batubara mulai mengalami peningkatan pada rentang tahun 1989 hingga 1999. Volume produksi batubara pada kurun waktu tersebut meningkat dari 4,43 juta ton menjadi 80,89 juta ton dengan tingkat pertumbuhan yang sangat signiikan, tiap tahunnya hampir mencapai 30%. Selanjutnya, angka volume produksi batubara Indonesia terus tumbuh hingga menyentuh rekor tertingginya di angka 400-an juta ton pada tahun 2012 hingga dua tahun setelahnya. Pada tahun 2015 dan 2016 angka produksi mengalami penurunan sebagai konsekuensi dari turunnya harga batubara dunia dan antisipasi yang dilakukan China untuk mengerem laju penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di negaranya. Industri tambang batubara kembali bergeliat di penghujung 2016 yang ditunjukkan dengan peningkatan harga batubara dunia dan Harga Batubara Acuan (HBA) yang cukup signiikan.

Dalam kerangka kebijakan energi nasional, komoditas batubara juga mendapatkan perhatian khusus melalui Peraturan Presiden No 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Terdapat sejumlah rencana aksi kegiatan yang dimandatkan oleh Perpres terkait batubara kepada Kementerian ESDM untuk ditindaklanjuti menjadi kebijakan nasional yang tentunya akan berdampak pada industri batubara. Poin-poin penting yang berkaitan sektor batubara antara lain:

• Mengendalikan produksi batubara maksimal sebesar 400 juta ton mulai tahun 2019. • Mengurangi porsi ekspor batubara secara bertahap dan menghentikan ekspor

batubara paling lambat tahun 2046, dalam rangka memprioritaskan kebutuhan dalam negeri.

• Menghentikan ekspor batubara pada saat kebutuhan dalam negeri mencapai 400 juta ton.

• Memanfaatkan batubara sebagai andalan untuk menyeimbangkan pasokan energi primer sebesar minimal 30% pada tahun 2025 dan minimal 25% pada tahun 2050, dengan menggunakan teknologi bersih.

• Moratorium pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) batubara di hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan area penggunaan lain.

6. Cadangan dan Sumberdaya Batubara Indonesia

Berdasarkan data Badan Geologi tahun 2016, Indonesia memiliki sumberdaya batubara mencapai 99,2 miliar ton dengan cadangan terbukti mencapai 13,3 miliar ton dari seluruh jenis izin pertambangan batubara yang sedang berjalan. Cadangan terbukti tersebut dikontribusikan oleh Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sebesar 41,3 %, IUP Penanaman Modal Asing (PMA) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar 11%, dan IUP Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar 47,7%. Dengan asumsi laju produksi batubara tetap seperti tahun 2015 (461 juta ton/tahun) dan data cadangan terbukti tetap seperti sekarang (13,3 miliar ton), maka cadangan terbukti batubara di Indonesia diperkirakan akan habis dalam kurun waktu 28,85 tahun mendatang, tepatnya di tahun 2046.


(21)

Secara kewilayahan, mayoritas sumberdaya dan cadangan batubara di Indonesia terkonsentrasi di dua pulau besar, yaitu Sumatera (50%) dan Kalimantan (49,5%), sisanya tersebar di pulau-pulau lain seperti Papua. Saat ini, lokasi eksploitasi batubara sebagian besar berada di wilayah Kalimantan (93%) dan selebihnya (7%) di wilayah Sumatera. Sementara dari sisi kualitas, batubara Indonesia terdiri atas kualitas menengah (63%), kualitas rendah (29%), kualitas tinggi (5%), dan kualitas sangat tinggi (3%).

Gambar 2.

Sumberdaya dan Cadangan Batubara Indonesia (dalam Juta Ton)

Sumber: Badan Geologi, 2016

7. Periodisasi Perkembangan Batubara Indonesia

Sejarah pertambangan batubara di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, namun saat itu volumenya belum begitu besar. Dalam klasiikasi Lacurelli (2010), setidaknya terdapat tiga fase dalam perkembangan batubara di Indonesia hingga periode tahun 2009, terutama apabila dihubungkan dengan pertumbuhan volume produksi. Periodisasi oleh Lucarelli ini dikembangkan lebih lanjut oleh laporan ini dengan menambahkan satu periode yakni periode penyesuaian dan penataan (2010 – sekarang). Periodisasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Periode Perkembangan (Formative Period), 1967-1998. Pada periode ini lahir dua

regulasi kunci atas dibukanya investasi sektor batubara di Indonesia, yaitu UU Nomor 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU Pertambangan Nomor 11/1967 yang membuka pintu bagi investasi asing di sektor pertambangan mineral dan batubara. Pada periode ini lahir berbagai bentuk konsesi batubara dalam bentuk KP.

60.000,00

50.000,00

40.000,00

30.000,00

20.000,00

10.000,00

-Tereka Tertunjuk Terukur Total Terkira Terbukti Total PKP2B 14.748,90 13.892,26 15.168,58 43.808,75 4.815,72 5.475,57 10.291,29 IUP PMA DAN BUMN 1.635,40 2.187,17 1.777,07 5.599,64 1.966,87 1.463,93 3.430,80 IUP PMDN 15.816,77 14.271,91 19.779,23 49.867,91 12.389,50 6.329,02 18.718,52


(22)

b. Periode Lepas Landas(Take-of period), 1989-1999. Secara umum periode ini adalah titik balik dari industri batubara, di mana terjadi pertumbuhan produksi signiikan dalam 10 tahun lebih dari 2000% dari hanya 4,43 juta ton di tahun 1989 menjadi 80,89 juta ton di tahun 1999. Pada periode ini ditandai oleh masuknya investasi di sektor batubara dari pemodal asing dengan hadirnya PKP2B Generasi I sebanyak 10, yang lahir pada rentang tahun 1981–1989. Selanjutnya, PKP2B Generasi II sebanyak 18, yang lahir pada tahun 1994-1996 dan PKP2B Generasi III sebanyak 113, pada periode 1997-2000.

c. Periode Otonomi Daerah (The localization period), 2000-2009. Proses transisi

pasca-kejatuhan rezim Suharto mengubah arah pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah yang terjadi secara masif sehingga memicu sengkarut kewenangan perizinan yang berakibat pada tidak terkendalinya izin-izin tambang yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. Otonomi daerah ditafsirkan sebagai kewenangan mutlak untuk membagi-bagi izin tambang sampai tidak ada izin tambang yang tersisa lagi untuk bisa diberikan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Pada periode 2001–2009 sektor pertambangan dapat dikatakan mengalami

chaos, dimana dalam periode tersebut sektor pertambangan batubara berkembang

hampir tanpa pengawasan baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi. Bahkan muncul adagium, otonomi ditafsirkan tergantung pada kearifan para Bupati dan DPRDnya.

d. Periode Penyesuaian dan Penataan, 2010-Sekarang. Periode ini ditandai dengan

adanya penyesuaian/penyelarasan dan penataan kembali otonomi daerah yang berimplikasi pada sektor pertambangan. Dari sisi regulasi, periode ini ditandai dengan lahirnya UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan lima tahun kemudian lahir UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengalihkan kewenangan perizinan ke provinsi, berbeda dari UU Pemda sebelumnya Nomor 32/2004 yang memberikan kewenangan pada Bupati/Walikota. Pada periode ini, KP disesuaikan menjadi IUP sesuai dengan UU Minerba, sedangkan PKP2B pada akhirnya akan diarahkan menjadi IUP Khusus melalui renegosiasi untuk melakukan amandemen, yang hingga kini prosesnya masih belum selesai seluruhnya. Pada periode ini terdapat proses evaluasi dan semacam audit izin melalui kebijakan pemberian status dan sertiikat CnC sebagai upaya untuk melakukan penataan pertambangan. Penertiban yang cukup progresif juga dilakukan melalui dukungan KPK dalam mekanisme Korsup yang secara formal dimulai sejak tahun 2014. Korsup ini melibatkan kerja sama dengan Kementerian/Lembaga sektoral dan penegak hukum terkait, serta peran aktif Pemerintah Daerah baik tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi di seluruh Indonesia. Periode ini juga ditandai dengan ditariknya kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam memberikan IUP dan pengawasan pertambangan ke pemerintah provinsi melalui UU Nomor 23/2014.


(23)

Gambar 3.

Periodisasi Perkembangan Batubara di Indonesia

Sumber: Lucarelli (2010) dan PWYP Indonesia (2017)

Periode Penyesuaian dan

Penataan 2010-sekarang Periode Otonomi

(The Localization Period) 2000-2009 Periode Lepas

Landas (Take-of Period)

1989-1999 Periode

Perkembangan (Formative Period)


(24)

Sumber: ft.com

KPK bersama Kementerian ESDM dan Pemerintah

Daerah, berkolaborasi dengan organisasi masyarakat

sipil dan NGOs menginisiasi upaya penertiban dan

penataan sektor batubara melalui Koordinasi dan

Supervisi sektor Minerba dalam Gerakan Nasional

Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA).


(25)

B. Koordinasi dan Supervisi

Minerba KPK Sektor Batubara

1. Latar Belakang dan Cakupan Korsup Minerba KPK

Korsup Minerba merupakan bagian dari Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-PSDA) yang dinisiasi KPK awal tahun 2014, diawali dengan kick-of meeting antara KPK dan jajaran Kementerian/Lembaga dan Penegak Hukum terkait yang dihadiri oleh kepala-kepala daerah di bulan Februari 2014. Pada awalnya, wilayah cakupan Korsup Minerba terbatas di 12 provinsi dengan izin pertambangan minerba terbanyak di Indonesia2. Namun, setelah

diadakan pertemuan puncak pada akhir 2014, cakupan wilayah Korsup bertambah 19 provinsi lainnya, 3 sehingga total menjadi 31+1 Provinsi (ditambah Kalimantan Utara yang merupakan

pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur). Total cakupannya mencapai 162 Kabupaten/Kota penghasil Minerba terlibat dalam Korsup ini. Terdapat lima (5) sasaran utama yang harus dilakukan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam Korsup Minerba, antara lain:

• Pelaksanaan Penataan IUP

• Pelaksanaan Kewajiban keuangan pelaku IUP

• Pelaksanaan pengawasn produksi dan penjualan minerba • Pelaksanaan kewajiban pengolahan dan pemurnian • Pelaksanaan kewajiban pengelolaan lingkungan

Pelaksanaan Korsup Minerba ini meliputi studi awal sebagai baseline, rapat koordinasi, penyusunan rencana aksi bersama instansi terkait, serta melakukan monitoring, koordinasi, dan supervisi capaian rencana aksi yang telah disusun oleh berbagai instansi terkait. Hingga sekarang, Korsup Minerba masih berlangsung, dan sejak Februari 2016 bertansformasi menjadi bagian dari Korsup Energi dengan perluasan cakupan sektor yang meliputi Migas, Kelistrikan, serta Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Gambar 4 adalah lini masa dari perjalanan Korsup Minerba hingga Korsup Energi KPK.

2 12 Provinsi: Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara

3 19 Provinsi: Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, Papua dan Papua Barat


(26)

Gambar 4.

Perjalanan Proses Korsup Minerba 2014-sekarang

Sumber: Korsup Minerba KPK

2. Temuan, Tindak Lanjut dan Capaian Korsup

Pola umum permasalahan perizinan pertambangan batubara secara umum meliputi aspek administratif seperti kelengkapan syarat izin, alamat perusahaan yang tidak jelas, tumpang tindih perizinan, problem tata ruang dan kewilayahan, kewajiban inansial, serta ketidakpatuhan ketentuan reklamasi dan pasca-tambang. Persoalan administrasi dan kewilayahan sebagian besar disebabkan oleh kelemahan dan ketidaksinkronan database antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Di bawah ini adalah tabel perizinan batubara saat pertama kali Korsup Minerba dilakukan pada 2014 dan tiga tahun setelahnya. Secara umum, dapat terlihat kinerja Korsup Minerba, yakni terjadinya penurunan jumlah IUP Batubara pasca-adanya Korsup Minerba.

Tabel 1.

Rekapitulasi IUP Batubara CnC dan Non-CnC Se- Indonesia, 2014 & 2017

 

Status

IUP Batubara (Desember 2014) IUP Batubara (April 2017)

Eksplorasi Operasi Produksi

(OP) Eksplorasi

Operasi Produksi (OP)

CNC 1.391 1.028 899 1.300

Non-CNC 991 382 535 236

Sub Total 2.382 1.410 1.434 1.536

TOTAL 3.792 2.970

Sumber: Ditjen Minerba, 2014 & 2017

Jan-Feb 2014

Kick of meeting Korsup Minerba di

KPK

Agu-Des 2015

Pelaksanaan Monev Korsup di 19

Provinsi

Feb-Jul 2014

Kick of Korsup Minerba di 12

Provinsi

31 Okt 2015

Keputusan dan Rekomendasi Final

Tindak Lanjut Korsup Minerba di

32 Provinsi

Agu-Nov 2014

Monev Korsup Minerba di 12

Provinsi Feb 2016-sekarang Korsup Energi: Minerba, Migas, Kelistrikan dan EBTKE Jan-Jul 2015 Kick of Pelaksanaan Korsup Minerba di


(27)

3. Aspek Administrasi dan Kewilayahan

a. Tumpang Tindih Antar Konsesi/Izin

Basis data yang lemah menyebabkan banyak terjadinya tumpang tindih antar izin/konsesi serta lambatnya tindak lanjut dari pengakhiran dan pencabutan izin-izin yang telah berakhir atau habis masa berlakunya. Hal tersebut juga dikarenakan lemahnya koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sehingga IUP yang dikeluarkan oleh Pemda ternyata masih masuk dalam wilayah izin yang dikelola oleh pusat seperti KK/ PKP2B. Berikut adalah dua contoh model kasus yang saling tumpang tindih antar izin:

Tumpang Tindih IUP dengan PKP2B

Berdasarkan temuan Korsup KPK tahun 2014, tumpang tindih IUP dengan PKP2B jumlahnya mencapai 50-an izin, sebagian besar berada di wilayah Kalimantan dan sebagian kecil di Sumatera Selatan. Hal itu terutama terjadi pada saat terjadi konversi dari KK menjadi IUP, dimana wilayah/area IUP yang diterbitkan oleh Pemda tersebut ternyata masih menjadi area PKP2B.

Tabel 2.

Tumpang Tindih IUP dengan PKP2B (2014)

NO PKP2B Lokasi Penerbit IUP

(Prov/Kab/Kota)

Jumlah IUP

1 Tanjung Alam Jaya Banjar Banjar (1 IUP) 1

2 Ekasatya Yanatama Tanah Bumbu Kotabaru (2 IUP) 2

3 Kadya Caraka Mulia Banjar Banjar (1 IUP) 1

4 Trubando Coal Mining Kutai Barat Barito Utara (1 IUP) 1 5 Borneo Indobara Tanah Bumbu SK Menteri (1

kk:Pelsart)

1 6 Bharinto Ekatama Barito Utara & Kutai Barat Kutai barat (1 IUP) 1 7 Asmin Bara Bronang Kapuas dan Murungraya Kapuas (7 IUP) 7 8 Antang Gunung

Meratus

Hulu sungai selatan, Hulu sungai tengah, Banjar, Taipin

Hulu Sungai (1 IUP) 1

9 Suprabari Mapindo Mineral

Barito Utara Barito Utara (1 IUP) 1 10 Interex Sacra Raya Pasir dan Tabalong Tabalong (1 IUP) 1 11 Bangun Banua Persada

Kalimantan

Banjar dan Tapin Tapin (1 IUP) 1

12 Intitirta Primasakti Sarolangun, Batanghari, Musi Banyuasin

Batanghari (4 IUP) Sarolangun (6 IUP)

10 13 Firman Ketaun Perkasa Kutai barat Kutai Barat (2 IUP) 2


(28)

14 Nusantara Termal Coal Bungo Bungo (1 IUP) 1 15 Singlurus Pratama Kutai Kartanegara; Kota

Balikpapan; Penajam Paser Utara

Penajam Paser Utara (1 IUP)

1

16 Arutmin Indonesia Tanah Bumbu; Tanah Laut; Kotabaru

Tanah Bumbu (8 IUP) Kotabaru (3 IUP)

11 17 Multi Tambangjaya

Utama

Barito Selatan; Bario Utara; Barito Timur

Barito Timur (3 IUP) 3 18 Perkasa Inakakerta Kutai Timur Kutai Timur (2 IUP) 2

19 Juloi Coal Murungraya Murungraya (1 IUP) 1

20 Kalimantan Energi Lestari

Kotabaru SK Menteri (1KK: Pelsart)

1

Jumlah 50

Sumber: Bahan Paparan Dirjen Minerba, Jakarta, 27 Agustus 2014

Tumpang Tindih Antar IUP

Antar IUP juga mengalami tumpang tindih. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh permasalahan batas wilayah, dimana belum adanya penetapan batas wilayah dari suatu kabupaten/kota maupun provinsi. Kasus Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara di bawah ini menggambarkan kondisi tersebut (Ditjen Minerba, 2016).

Kalimantan Timur

Terdapat permasalahan batas wilayah antara IUP batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara dengan IUP batubara di Kabupaten Kutai Timur. Sejumlah upaya untuk menengahi persoalan tersebut telah dilakukan sebelumnya, yaitu dengan adanya kesepakatan Tim Penegasan Batas Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Tim Penegasan Batas Daerah Kabupaten Kutai Timur yang mana kesepakatan tersebut dituangkan dalam Berita Acara Kesepakatan Batas tanggal 3 Desember 2010, dan Surat Penegasan Batas Gubernur Kalimantan Timur No. 136/9187/BPPWK-C/X/2012 tanggal 31 Oktober 2012 (Dirjen Minerba). Sebagai upaya tindak lanjut penyelesaiaanya, Kementerian ESDM membentuk Tim Kordinasi yang terdiri dari Ditjen Minerba, Jamdatun Kejaksaan Agung, Jamintel Kejaksaan Agung, Bareskrim POLRI dan BPKP. Tim ini merekomendasikan: “Dalam hal belum ditetapkannya batas administratif Kab. Kutai Kartanegara dan Kab. Kutai Timur, permohonan CnC PT. XXX dapat diproses mengacu pada batas indikatif wilayah yang dikeluarkan oleh Badan Informasi dan Geospasial (BIG)”

Kalimantan Utara

Tumpang tindih IUP terjadi akibat belum adanya penetapan batas wilayah administratif deinitif antara Kabupaten Tana Tidung dengan Kabupaten Nunukan. Penyelesaiannya mengikuti penyelesaian kasus tumpang tindih batas administrasi IUP di Provinsi Kalimantan Timur sesuai kesepakatan Tim Koordinasi Penyelesaian permasalahan IUP yang dibentuk


(29)

oleh Kementerian ESDM. Selanjutnya Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara) melalui surat tanggal 3 Mei 2016 kepada Menteri ESDM, meminta penerbitan Sertiikat CnC PT. XXX sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Surat Dirjen Minerba ke Gubernur Kalimantan Utara pada bulan Juni 2016 menyampaikan bahwa Penetapan CnC PT. XXX akan dilakukan setelah Gubernur Kaltara memproses penciutan wilayah yang tumpang tindih; menerbitkan SK penciutan; dan menyampaikan hasil penyelesaian tumpang tindih WIUP. Namun, berdasarkan laporan Kementerian ESDM ke KPK per 15 September 2016, SK penyelesaian tumpang tindih belum juga diterbitkan oleh Gubenur Kaltara.

b. Masa Berlaku IUP Berakhir

Korsup Minerba juga telah merekomendasikan untuk mendapatkan data perizinan yang lengkap, termasuk mengenai periode perizinan yang telah berakhir masa berlakunya. Dari total 8.524 IUP di sektor Minerba yang tersisa di awal April 2017, terdapat 2.996 IUP Batubara. Dari jumlah itu, 1.561 IUP diantaranya telah habis masa berlakunya, sedangkan sisanya 1.405 IUP masih aktif. Dari SK yang aktif, 217 IUP diantaranya berstatus Non-CnC dan 1.188 diantaranya berstatus CnC. Sedangkan dari IUP yang SK nya habis, 1.007 IUP diantaranya CnC dan 554 diantaranya Non-CnC. Gambar 5 mengilustrasikan IUP batubara dan status berakhirnya SK Izin per April 2017.

Gambar 5.

IUP Batubara dan Status Berakhirnya SK Izin

Sumber: Ditjen Minerba Kementerian ESDM, April 2017

c. Konsesi/ Izin di Kawasan Hutan Konservasi dan Hutan Lindung

Salah satu temuan penting dari Korsup Minerba adalah banyaknya izin pertambangan batubara yang berada di kawasan hutan yang tidak boleh dilakukan kegiatan pertambangan (no go zone), yakni hutan konservasi dan hutan lindung (secara penambangan terbuka). Hal ini terungkap dalam rapat koordinasi bersama Ditjen Minerba, Kementerian ESDM dan Ditjen Planologi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada awal tahun 2014.

2.966 IUP Batubara

SK Aktif 1.405 IUP SK Habis

1.561 IUP 554 IUP Non-CnC

217 IUP Non-CnC 1.007

IUP C&C

1188 IUP CnC


(30)

Berdasarkan ketentuan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, aktivitas pertambangan di kawasan hutan tidak boleh dilakukan di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UU Kehutanan, dapat dilakukan dengan ketentuan: (1) Jika dalam kawasan hutan produksi, dapat dilakukan dengan pola pertambangan terbuka (open pit); dan atau dengan pola penambangan bawah tanah (underground); sedangkan (2) Jika dalam kawasan hutan lindung, hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola underground, dengan ketentuan dilarang mengakibatkan turunnya permukaan tanah, berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen, dan terjadinya kerusakan akuifer air tanah (lapisan bawah tanah yang mengandung air dan dapat mengalirkan air). Tabel 3 menggambarkan kerangka ‘Go’ dan ‘No Go Zone’ bagi kegiatan industri ekstraktif di kawasan hutan.

Pada era pemerintahan Presiden Megawati, dikeluarkan Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan yang memberikan penetapan kepada 13 izin atau perjanjian di bidang pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya UU Nomor 41/1999. Dari ke-13 izin tambang itu, hanya satu yang komoditasnya batubara yaitu milik PT Interex Sacra Raya.

Tabel 3.

Kerangka ‘Go’ dan ‘No Go Zone’ Kawasan Hutan bagi Kegiatan Industri Ekstraktif

(Berdasarkan Ketentuan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan)

Jenis Hutan Konsesi Tambang Konsesi

Kelapa Sawit Konsesi Kawasan Kehutanan Konsensi Penebangan Hutan Hutan Konservasi

No Go No Go No Go No Go

Hutan Lindung

No Go (diizinkan apabila

melakukan penambangan bawah tanah)

No Go No Go No Go

Hutan Produksi

Go (dengan persetujuan Kementerian KLHK berupa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan)

No Go No Go Go

Sumber: Radjawali, 2014,

Konsesi Minerba di Hutan Konservasi dan Hutan Lindung

Hasil temuan Korsup tahun 2014 mencatat, jumlah seluruh izin tambang baik mineral maupun batubara yang berada di kawasan hutan hampir mencapai sekitar 26 juta hektar, dimana 6,3 juta hektar di antaranya berada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Tabel 3 menguraikan konsesi pertambangan mineral dan batubara di kawasan hutan dan area penggunaan lain (APL).


(31)

Tabel 4.

Izin/Konsesi Pertambangan Minerba di Kawasan Hutan & Area Penggunaan Lain

Kategori Konsesi Hutan Konservasi (A) Hutan Lindung (B) Hutan Produksi (C) Kawasan Hutan (D=A+B+C) Area Peng-gunaan Lain (E) Grand Total (D+E)          

IUP 1,160,181 3,922,584 17,909,481 22,992,246 11,735,091 34,727,338

Operasi Produksi

18,819 173,196 2,022,352 2,214,367 2,232,884 4,447,250 C&C 10,852 75,068 1,612,090 1,698,010 1,730,613 3,428,623 Non-C&C 7,967 98,128 410,262 516,357 502,271 1,018,627 Survei/

Explorasi

1,141,363 3,749,388 15,887,130 20,777,880 9,498,814 30,276,694 C&C 119,499 1,380,574 8,057,850 9,557,924 5,125,754 14,683,678 Non-C&C 1,021,863 2,368,814 7,829,279 11,219,956 4,373,060 15,593,016

       

KK 110,219 890,541 837,558 1,838,318 372,380 2,210,698

Operasi Produksi

10,166 236,046 285,484 531,696 151,654 683,350 Survei/

Explorasi

100,053 654,496 552,075 1,306,624 220,725 1,527,348

       

PKP2B 101,998 123,752 927,171 1,152,921 803,274 1,956,194

Operasi Produksi

10,074 16,695 539,780 566,549 698,355 1,264,904 Survei/

Explorasi

91,924 107,056 387,390 586,370 104,919 691,290

Grand Total 1,372,398 4,936,878 19,674,211 25,983,486 12,910,744 38,894,231

Sumber: Ditjen Planologi, KLHK, Diolah (2014)

Konsesi/Izin Batubara di Hutan Konservasi dan Hutan Lindung

Sedangkan konsesi batubara jenis PKP2B mencapai 1,2 juta hektar, dimana 102 ribu hektarnya di hutan konservasi, dan 123,8 ribu hektar di hutan lindung. Sedangkan konsesi jenis IUP, terdapat 194,8 ribu hektar di kawasan hutan konservasi dan 519,8 ribu hektar di kawasa hutan lindung. Dengan demikian, konsesi/izin batubara di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung total hampir mencapai 940,4 ribu hektar atau 15 % dari seluruh luasan konsesi minerba di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Gambar 6 merupakan komposisi luasan masing-masing konsesi IUP dan PKP2B di hutan konservasi dan hutan lindung.


(32)

Gambar 6.

Luas Konsesi Batubara di Hutan Konservasi dan Hutan Lindung Tahun 2014 (dalam Ha)

Sumber: Ditjen Planologi, KLHK, Diolah (2014)

Berdasarkan proses diskusi dan pembahasan-pembahasan yang diikuti oleh PWYP Indonesia dalam Korsup Minerba, dapat dianalisa bahwa keberadaan konsesi/izin batubara di Hutan Konservasi dan Hutan Lindung tersebut antara lain disebabkan oleh:

a. Lemahnya database pertambangan, terutama yang berkaitan dengan informasi peta wilayah dan titik koordinat. Di mana, peta wilayah hutan konservasi dan hutan lindung yang bisa jadi tidak dimiliki oleh Pemda/Kementerian terkait, dimiliki namun tidak update, atau data tersebut tidak sinkron dengan data yang ada di Kementerian ESDM dan KLHK,

b. Izin yang seharusnya telah berakhir namun belum dicabut, atau sudah dicabut namun databasenya tidak sama antara Pemda dan Kementerian di tingkat pusat seperti ESDM dan KLHK,

c. Pada saat mengajukan izin, para pemegang konsesi tidak mengurus Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) ke KLHK, atau IPPKH belum disetujui/belum keluar namun WIUP dan IUP telah dikeluarkan oleh Pemda/Kementerian Teknis terkait.

d. Adanya potensi modus korupsi, misalnya berupa suap atau kick back dalam proses alih fungsi lahan atau perolehan izin, sehingga meski di wilayah hutan konservasi, izin tetap saja dikeluarkan.

60.000,00

50.000,00

40.000,00

30.000,00

20.000,00

10.000,00

-IUP PKP2B

Hutan Lindung 5.198.825,14 123.751,78

Hutan Konservasi 194.795,38 101.998


(33)

Secara kewilayahan, sebaran konsesi batubara yang berada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung di seluruh Indonesia sebagian besar berada di wilayah Papua, Kalimantan Timur, Papua Barat, Kalimantan dan Aceh. Gambar 7 dan 8 merupakan komposisi sebaran wilayah konsesi batubara di hutan konservasi dan hutan lindung tersebut pada awal pelaksanaan korsup di tahun 2014.

Gambar 7.

Sebaran Konsesi/Izin Batubara (IUP & PKP2B) di Hutan Konservasi (2014)

Sumber: Korsup Minerba, diolah dari Surat Edaran KLHK kepada Pemda, 2014 Gambar 8.

Sebaran Konsesi/Izin Batubara (IUP & PKP2B) di Hutan Lindung (2014)

Sumber: Korsup Minerba, diolah dari Surat Edaran KLHK kepada Pemda, 2014 33%

60%

Papua

Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Bengkulu Papua Barat Lainnya

2014

Papua Papua Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Aceh

Lainnya

14%

14%

18%

37% 2014


(34)

d. IUP Non-Clean and Clear

Penertiban IUP dalam Korsup Minerba sejak awal telah seiring dan sejalan dengan proses Clean and Clear yang tengah berlangsung. Sebagai tindak lanjut dalam mempercepat penertiban IUP dan khususnya melalui mekanisme CnC, pada awal tahun 2016 Menteri ESDM menerbitkan Permen Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi dan Penertiban IUP Sektor Minerba oleh Pemerintah Daerah. Permen ini mencakup evaluasi dalam aspek administrasi, kewilayahan, teknik, lingkungan dan aspek inansial. Di bawah ini adalah alur mekanisme Permen No 43/2015 sejak disahkan hingga masa berlakunya berakhir di Januari 2017.

Gambar 9.

Alur Perkembangan Permen 43/2015

Sumber: Ditjen Minerba, 2017

Terdapat sejumlah isu yang menjadi perhatian khusus atas pelaksanaan Permen ESDM 43/2015, diantaranya:

1. Rekomendasi yang disampaikan oleh Gubernur tidak memenuhi ketentuan Permen 43 Tahun 2015

2. Rekomendasi yang masih belum lengkap/salah

3. Sebagian besar surat rekomendasi C&C diterbitkan oleh Kepala Dinas bukan Gubernur (kecuali Kalbar, Sulteng, dan Jambi)

30 Des 2015

5 Jan 2016

12 Mei 2016

... Mei 2016

2 Okt 2016

2 Jan 2017 Surat Edaran Dirjen

Minerba No. 01.E/30/ DJB/2016 Perihal Pelaksanaan Evaluasi Penerbitan IUP Mineral

dan Batubara

Ditjen Minerba akan mengumumkan IUP Non CNC bagi IUP yang tidak direkomendasikan oleh Gubernur pada

tanggal ...Mei 2016 Permen ESDM Nomor

43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Dokumen Izin Usaha Pertambangan Mineral

dan Batubara

Batas waktu penyerahan rekomendasi IUP

Clear and Clean dari Gubernur kepada Direktur Jenderal adalah 90 hari kerja sejak terbitnya Permen ESDM 43/2015 (paling lambat tanggal 12 Mei 2016) apabila telah dilakukan serah

terima dokumen IUP dari Bupati kepada gubernur sebelum penandatanganan Permen

ESDM 43 Tahun 2015

Hasil Evaluasi Gubernur yang sudah disampaikan kepada pusat meliputi:

1. Rekomendasi IUP status C&C (sudah dievaluasi administrasi dan kewilayahan)

2. Rekomendasi sertiikat C&C (sudah dievaluasi administrasi, kewilayahan, teknis dan lingkungan serta sudah lunas PNBP)

3. Laporan Pemberian Sanksi Administrasi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban inansial, teknis dan lingkungan 4. Laporan pencabutan IUP

Terhadap IUP yang direkomendasikan CNC oleh Gubernur, tapi masih memiliki permasalahan tumpang tindih (aspek kewilayahan) tidak akan diumumkan CNC dan penyelesaiannya akan dilakukan oleh Ditjen Minerba bersama-sama dengan Tim Penyelesaian IUP Non CNC Tim Penyelesaian IUP Non CNC merupakan Tim lintas kementerian yang beranggotakan stakeholder termasuk KPK, yang bertugas melakukan penyelesaian IUP Non CNC bersama dengan pemerintah provinsi

Batas waktu penyerahan rekomendasi IUP

Clear and Clean dari Gubernur setelah Permen ESDM 43 Tahun 2015 diundangkan adalah 90 hari sejak dilakukan serah terima dokumen IUP dari bupati kepada gubernur paling lambat 2 Oktober 2016 s/d 2 Januarai 2017 (sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014)


(35)

4. Beberapa provinsi ada yang belum menyerahkan kembali hasil evaluasi terhadap IUP sesuai batas waktu Pasal 25 Permen ESDM 43 Tahun 2015 (12 Mei 2016) seperti Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Sulawesi Barat, Jawa Tengah.

5. Banyak Bupati/Walikota yang belum menyerahkan dokumen perizinan ke provinsi Untuk melihat tren dari capaian penertiban izin batubara yang dilakukan oleh Korsup dapat dilihat pada gambar berikut. Secara umum

Gambar 10.

Perkembangan Jumlah IUP Batubara Non-CnC

Sumber: PWYP Indonesia, 2017 (Diolah dari Paparan Korsup Minerba KPK)

Masalah dalam Pengajuan Rekomendasi CnC

Beberapa permasalahan yang menjadi kendala dalam proses evaluasi CnC, terutama berkaitan dengan rekomendasi status CnC yang diajukan oleh Pemda serta gambaran tindak lanjut yang diambil oleh Ditjen Minerba dipaparkan pada pada Tabel 5 di bawah ini.

2014 2015 2016 2017 1600

1400 1200 1050 800 600 400 200 0

C&C Non C&C C&C Non C&C


(36)

Tabel 5.

Masalah dan Tindak Lanjut dalam Evaluasi CnC sektor Batubara

No Masalah Tindak Lanjut Minerba

1. Sesuai evaluasi yang dilakukan oleh Dirjen Minerba, surat penyataan dan/ atau rekomendasi IUP CnC yang disampaikan Pemprov tidak memenuhi ketentuan Permen 43/2015

• Ditjen Mineral dan Batubara tetap melakukan evaluasi aspek kewilayahan dan administrasi.

• Ditjen Minerba telah menyurati ke Pemprov untuk perbaikan

2. Rekomendasi yang masih belum lengkap/salah dan/atau rekomendasi ulang yang melewati batas 12 Mei 2016

Batas waktu sesuaikan dengan UU 23 tahun 2014 yaitu Oktober 2016

3. Ada beberapa Gubernur yang sampai dengan saat ini belum menyelesaikan permasalahan tumpang tindih IUP batas administrasi dimana batas administrasi masih indikatif.

Ditjen Minerba sudah menyampaikan surat kepada Gubernur bahwa proses CnC dapat diproses setelah Gubernur menyelesaikan tumpang tindih dan menerbitkan SK penciutan

Sumber: Dirjen Minerba dalam Rapat Korsup Minerba (2016)

Tabel 6 menyajikan rekapitulasi secara detail kategori masalah dari rekomendasi CnC yang disampaikan Pemerintah Daerah (Status Per 15 September 2016), terutama dalam aspek administrasi dan kewilayahan yang mengacu pada pelaksanaan Permen 43/2015.

Tabel 6.

Penertiban IUP Batubara: Kategori Masalah Administrasi dan Kewilayahan dalam Rekomendasi CnC Yang Diajukan oleh Pemda

No KATEGORI ASPEK PERMASALAHAN JUMLAH IUP

A KATEGORI ASPEK ADMINISTRASI

1 Sesuai Ketentuan Peraturan 97

2

Pengajuan permohonan perpanjangan/peningkatan KP atau IUP setelah masa berlaku KP atau IUP berakhir

18 3 IUP terbit sebelum WP dan/atau dispensasi /IUP terbit setelah UU

No. 4/2009

8

4 Melebihi batas waktu 10

5 Format tidak sesuai SE Dirjen 01.e/30/DJB/2016 0

6 Rekomendasi tidak lengkap 50

7 IUP baru, tidak perlu CnC


(37)

9 Sudah CnC 34 10 Kronologis SK tidak lengkap

11 KP eksploitasi/IUP OP bukan peningkatan dari KP/IUP eksplorasi 5*)

12 Tidak ada SK 68

13 Tidak ada pencadangan wilayah 101**)

14 SK habis masa berlaku 93

TOTAL 485

*Proses CnC tetap dilakukan apabila IUP memiliki persetujuan FS dan Lingkungan ** Proses CnC tetap dilakukan apabila IUP tidak memiliki pencadangan wilayah selama WIUP tidak tumpang tindih

B KATEGORI ASPEK KEWILAYAHAN

1 Sesuai Ketentuan 79

2 Masuk WPN 1

3 Belum Cek Wilayah 93

4 Perluasan/Pergeseran 2

5 Sudah CnC 34

6 SK habis masa berlaku 34

7 Tumpang tindih sama komoditas 26

8 Blok tidak tegak lurus 0

9 Tidak perlu CnC 0

10 Koordinat salah 2

11 Pencadangan pada KK/PKP2B/IUP/KP 0

12 IUP dicabut 0

TOTAL 271


(38)

e. Tindak Lanjut dan Capaian Penataan

Sebagai tindak lanjut dari hasil temuan Korsup mengenai persoalan izin/konsesi batubara, KPK bersama Kementerian/Lembaga dan Pemda melakukan koordinasi untuk menyusun rencana aksi yang disertai dengan pembagian peran dan kesepakatan kerangka. KPK berperan dalam melakukan supervisi atas pelaksanaan rencana aksi tersebut, serta memantau sampai sejauh mana capaian-capaiannya. Klasiikasi pola umum temuan dan rencana aksi yang disepakati dalam Korsup digambarkan pada Tabel 7.

Tabel 7.

Pola Umum Temuan dan Tindak Lanjut/Rencana Aksi

No Pola Umum Temuan Tindak Lanjut/Rencana Aksi

1. Terdapat IUP status CnC di Kementerian ESDM namun tidak tercatat di Pemda (Kabupaten dan Provinsi)

Bupati/Walikota diminta untuk menyampaikan Surat Keterangan ke Dirjen

Minerba-Kementerian ESDM, ditembuskan ke KPK 2. Terdapat IUP yang diterbitkan

Pemda tidak tercatat di Kementerian ESDM, namun direkomendasikan untuk CnC ke Provinsi

Pemerintah Provinsi dan Dirjen Minerba diminta untuk memastikan keabsahan dokumen dari kemungkinan adanya IUP yang di back date, agar ditelusuri dan dilakukan langkah-langkah hukum

3. Terdapat IUP yang sudah berakhir masa berlakunya, namun belum dicabut/diakhiri.

Gubernur/Bupati/Walikota diminta untuk segera menagih semua kewajibannya dan segera dibuatkan Surat Keputusan (SK) Pengakhiran/ Pencabutan IUP

4. Terdapat IUP yang berada di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi

Gubernur/Bupati/Walikota diminta untuk mengirimkan surat pemberitahuan penciutan/ pemberhentian sementara dan meminta perusahaan untuk mengurus perizinan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)

5. Terdapat IUP dengan alamat yang tidak valid/tidak jelas.

Gubernur/Bupati/Walikota diminta untuk memastikan kembali seluruh alamat IUP di daerahnya masing-masing

6. Terdapat IUP yang telah dicabut, namun termasuk IUP yang tidak terdaftar di Kementerian ESDM.

Gubernur/Bupati/Walikota diminta untuk segera berkoordinasi dengan Dirjen Minerba agar segera dikeluarkan dari database IUP di Kementerian ESDM


(39)

Pengakhiran/Pencabutan IUP Non-CNC dan Tumpang Tindih

Terhadap IUP yang berakhir masa berlakunya, dan yang tidak memenuhi persyaratan dan tidak berstatus CnC sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan, maka dilakukan pengakhiran dan pencabutan IUP tersebut, baik oleh Pemerintah Daerah maupun oleh Pemerintah Pusat. Penertiban IUP Non-CnC ini diperkuat oleh terbitnya Permen Nomor 43/2015 yang memandatkan dilakukannya evaluasi dan penertiban oleh Pemerintah Daerah. Pelaksanaan Permen tersebut didukung oleh langkah-langkah tindak lanjut untuk mempercepat prosesnya, diantaranya melalui penerbitan Surat Edaran Dirjen Minerba Nomor 01.E/30/DJB/2016 tanggal 5 Januari 2016 yang menjelaskan Permen ESDM Nomor 43/2015.

Selanjutnya, Dirjen Minerba melakukan rapat kerja dengan Kepala Dinas ESDM Provinsi Se-Indonesia (2 Februari 2016); serta dilakukan inventarisasi IUP Non-CNC yang masuk ke Ditjen Minerba yang akan diselesaikan oleh Gubernur. Tabel 8 merupakan rekapitulasi jumlah IUP Batubara yang status izinnya telah dicabut/ diakhirkan. Sejak pertama kali dilaksanakan tahun 2014, Korsup Minerba total telah melakukan pengakhiran/pencabutan IUP Batubara sejumlah 776 IUP. Sedangkan, angka luasan IUP batubara yang dicabut dan diakhirkan mencapai sekitar 3,56 juta hektar. Sehingga total luas IUP batubara saat ini mencapai sekitar 12,6 juta hektar (berdasarkan data per-30 Januari 2017)4.

Tabel 8.

Rekap jumlah IUP Batubara yang Dicabut/Diakhirkan (Status April 2017)

No Provinsi Jumlah IUP No Provinsi Jumlah IUP

1 NAD 11 18 Nusa Tenggara Barat 0

2 Sumatera Utara 2 19 Nusa Tenggara Timur 1

3 Sumatera Barat 0 20 Kalimantan Barat 57

4 Riau 31 21 Kalimantan Tengah 135

5 Jambi 131 22 Kalimantan Selatan 42

6 Sumatera Selatan 135 23 Kalimantan Timur 60

7 Bengkulu 45 24 Kalimantan Utara 32

8 Lampung 8 25 Sulawesi Utara 0

9 Bangka Belitung 0 26 Sulawesi Tengah 0

10 Kep.Riau 0 27 Sulawesi Selatan 3


(40)

11 DKI Jakarta 0 28 Sulawesi Tenggara 15

12 Jawa Barat 0 29 Gorontalo 0

13 Jawa Tengah 0 30 Sulawesi Barat 7

14 DI Yogyakarta 0 31 Maluku 0

15 Jawa Timur 0 32 Maluku Utara 4

16 Banten 0 33 Papua 4

17 Bali 0 34 Papua Barat 53

JUMLAH 776

Sumber: Kementerian ESDM, PFG PWYP Indonesia, April 2017

Penertiban IUP di Kawasan Hutan Konservasi/Hutan Lindung

Untuk melaksanakan dan menegakkan ketentuan regulasi sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 38 UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, Korsup Minerba melalui kerjasama dengan Kementerian terkait (KLHK dan ESDM) bersama Pemerintah Daerah menyepakati adanya rencana aksi dimana Gubernur/Bupati/ Walikota diminta untuk: (a) mengirimkan surat pemberitahuan penciutan bagi konsesi yang berada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung; (b) Melakukan pemberhentian sementara dan meminta perusahaan untuk mengurus perizinan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk izin-izin yang belum memiliki IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan). Capaian dari penertiban IUP untuk kasus ini dapat dilihat pada gambar 11 dan 12 dari laporan ini, yang memaparkan perbedaan luasan konsesi dan jumlah izin di hutan konservasi dan hutan lindung selama tahun 2014 hingga akhir tahun 2016. Secara umum terlihat adanya capaian positif, yang terindikasi dari jumlah IUP dan PKP2B serta luasan konsesi di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung yang semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa evaluasi dan pencabutan IUP menjadi instrumen yang efektif untuk menyelesaikan permasalahan tumpang tindih wilayah pertambangan batubara di hutan konservasi dan hutan lindung.


(41)

Gambar 11.

Luasan Konsesi/Izin Batubara di Kawasan Hutan Konservasi pada Tahun 2014 & 2016 (dalam hektar)

Sumber: PWYP Indonesia, Diolah dari Data Ditjen Planologi, KLHK dan Ditjen Minerba, Kementerian ESDM, 2017

Gambar 12.

Luasan Konsesi/Izin Batubara di Kawasan Hutan Lindung pada Tahun 2014 & 2016 (dalam hektar)

Sumber: PWYP Indonesia, Diolah dari Data Ditjen Planologi, KLHK dan Ditjen Minerba, Kementerian ESDM, 2017


(42)

4. Anomali Peningkatan Luasan Konsesi di Hutan Konservasi/Lindung

Dari capaian penertiban konsesi di kawasan hutan konservasi/lindung, terdapat kondisi anomali di sejumlah provinsi, yakni Provinsi Papua Barat dan Jambi untuk hutan konservasi dan Provinsi Papua, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan untuk hutan lindung. Di mana justru terjadi peningkatan luasan dan/atau jumlah izin batubara yang berada di kawasan hutan lindung atau konservasi setelah pelaksanaan Korsup di tahun 2016.

Tabel 9.

Perbandingan Luas Kawasan Konsesi/Izin Batubara di Hutan Konservasi & Hutan Lindung Tahun 2016 (dalam Hektar)

No Provinsi 2014 2016 Gap Keterangan

1 Papua Barat 2.775,4 3.950,1 1.174,7 Hutan Konservasi

2 Jambi 0 2.115,6 2.115,6 Hutan Konservasi

3 Papua 240.019,4 292.725,1 52.705,7 Hutan Lindung

4 Kalimantan Barat 18.414,8 30.733,4 12.318,6 Hutan Lindung 5 Sumatera Selatan 3.412,0 8.910,9 5.499,0 Hutan Lindung Sumber: PWYP Indonesia, Diolah dari data Ditjen Planologi, KLHK, 2017


(43)

Peningkatan luasan tumpang tindih izin tambang batubara di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi dimungkinkan jika ada perubahan luasan kawasan hutan yang diatur melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pasalnya, kawasan hutan di lima provinsi di atas tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu 2014 hingga tahun 2017, jika mengacu pada SK yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan. Lemahnya dokumentasi data perizinan ditengarai menjadi salah satu alasan dibalik ‘anomali’ di atas. Besar kemungkinan pendataan di tahun 2014 tidak dilakukan secara menyeluruh, sehingga jumlah izin tambang di tahun 2017 mengalami peningkatan. Di samping itu, progress data luasan tumpang tindih di tahun 2017 yang didapatkan dari Ditjen Minerba, Kementerian ESDM juga perlu dikonirmasi ulang. Hal ini dikarenakan penciutan lahan dilakukan oleh pemerintah Provinsi dan pemerintah Provinsi belum tentu menembuskan informasi tersebut ke Kementerian ESDM. Sebagai contoh, kasus Provinsi Sumatera Selatan, yang mana Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Selatan mengaku telah melakukan penciutan terhadap seluruh IUP yang berada di kawasan

hutan lindung maupun konservasi. Namun, justru luasan konsesi bertambah setelah tahun 2017. Temuan ini sekaligus memperkuat lemahnya koordinasi antara pemerintah provinsi dan pusat, utamanya terkait dengan sinkronisasi data.

Kendati demikian, evaluasi dan pencabutan IUP secara umum dapat ditempatkan sebagai instrumen yang efektif untuk menyelesaikan permasalahan tumpang tindih wilayah pertambangan batubara di hutan konservasi dan hutan lindung. Meski perlu dicermati mekanisme rehabilitasi lingkungan terhadap hutan konservasi maupun lindung yang menjadi bekas wilayah pertambangan tersebut, mengingat keduanya memiliki peran vital dalam mengembalikan fungsi hutan konservasi dan lindung tersebut dalam rangka menjaga keseimbangan lingkungan. Sumber: Pixabay

Gambar 13.


(44)

C. Rekomendasi

1. Segera mempercepat tindak lanjut penertiban bagi konsesi batubara yang masih

bermasalah, baik secara administratif, kewilayahan, permasalahan pengajuan PMA,

berakhir masa berlakunya, berstatus Non-Clear and Clean, serta konsesi yang berada di hutan konservasi dan hutan lindung. Pemerintah harus bersikap tegas dan konsisten melakukan pencabutan/pengakhiran, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Izin yang telah dicabut dikembalikan kepada Wilayah Pencadangan Negara (WPN) untuk dibuat regulasinya.

2. Membangun dan mengembangkan sistem database perizinan pertambangan

yang singkron dan terintegrasi antara Pusat-Daerah. Database tersebut berisikan

informasi konsesi izin/kontrak pertambangan terupdate di seluruh Indonesia, yang menjadi platform database bersama dan dijadikan acuan dalam pengambilan kebijakan dan keputusan terkait perizinan/kontrak batubara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Platform yang terintegrasi ini senantiasa diupdate, direkonsiliasi, dan diveriikasi setiap waktu dan secara berkala, sehingga informasi di dalamnya selalu valid dan update.

3. Mempercepat penyelesaian platform satu peta di Kementerian ESDM (ESDM One

Map) yang bertujuan untuk melakukan singkronisasi data peta koordinat konsesi izin/

kontrak yang telah ada, mendukung monitoring kegiatan pertambangan dan analisa kinerja berbasis spasial di sektor ESDM, serta mencegah adanya kesalahan (spasial) serupa seperti persoalan tumpang tindih di masa mendatang.

4. Mempercepat pengembangan sistem penerimaan negara secara online dan

terintegrasi dengan database dan layanan lainnya seperti database perusahaan,

data spasial, data rencana produksi dan anggaran (RKAB), ijin ekspor terbatas (ET), data surveyor, maupun kesyahbandaran dan bea cukai serta Indonesia National Single Window (INSW). Sistem tersebut satu sama lain saling terhubung, saling mensyaratkan, serta terpadu dan menjadi acuan dalam melakukan monitoring dan pengawasan kepatuhan kewajiban iskal pelaku usaha.

5. Mendorong pengembangan analisis kepemilikan sesungguhnya (beneicial

ownership) dari pelaku usaha batubara, serta mengembangkan sanski berupa

sistem black list bagi perusahaan yang terindikasi tidak patuh dan melakukan

pelanggaran. Upaya ini bisa ditempuh dengan melakukan koordinasi secara intens antara

Ditjen Minerba-ESDM dengan Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM terkait legal register perusahaan batubara.


(45)

D. Daftar Pustaka

Abdullah, Maryati dan Jensi Sartin. (2015). Tata Kelola, Penerimaan Negara, dan Dana Bagi Hasil Sektor Kehutanan. Jakarta: Publish What You Pay Indonesia.

BP. (2016). Statistical Review of World Energy 2016. BP.

ESDM, Ditjen Minerba. (2016). Bahan Presentasi FGD: Tata Kelola Pengusahaan Pertambangan Batubara di Indonesia. Jakarta: Kementerian ESDM.

ESDM, Ditjen Minerba. (2016). Bahan Presentasi Korsup: Tindak Lanjut Korsup Sektor ESDM Dalam Pengelolaan PengusahaanPertambangan Batubara. Jakarta: Kementerian ESDM.

Hayati, Tri. (2013). Analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan tentang minerba

di kawasan hutan lindung. Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI.

Litbang KPK. (2014). Bahan Presentasi: Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.

Lucarelli, B. (2010). The history and the future of Indonesia’s coal industry. Working Paper, 93. Stanford: Program on Energy and Sustainable Development.

Sawitri, Dian Eka Rahayu. (2013). Kebijakan Clean and Clear Dalam Menata Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Tesis). Fakultas Hukum, Program Pasca-Sarjana, Kekhususan Tata Negara, Universitas Indonesia.

Schernikau, Lars. (2016). Economics of the International Coal Trade Why Coal Continues to Power the World. 2nd Edition. Cham. Springer

____________, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berikut penjelasannya, Lembaran Negara RI.

____________, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan berikut penjelasannya, Lembaran Negara RI

____________, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Lembaran Negara RI.


(46)

E. Lampiran

Lampiran-1: Rekap IUP Batubara di Indonesia (Status April 2017)

PROVINSI (1)

JUMLAH IUP CnC

(2)

NON CnC (3)

TOTAL (4)

PUSAT 4 1 5

ACEH 9 1 10

SUMATERA UTARA 2 0 2

SUMATERA BARAT 58 9 67

RIAU 31 1 32

JAMBI 146 30 176

SUMATERA SELATAN 133 0 133

BENGKULU 33 6 39

LAMPUNG 4 0 4

BANGKA BELITUNG 0 0 0

KEP. RIAU 0 0 0

DKI JAKARTA 0 0 0

JAWA BARAT 1 1 2

JAWA TENGAH 0 0 0

DI. YOGYAKARTA 0 0 0

JAWA TIMUR 0 0 0

BANTEN 5 0 5

BALI 0 0 0

NTB 0 0 0

NTT 1 0 1

KALIMANTAN BARAT 18 17 35

KALIMANTAN TENGAH 323 122 445


(47)

KALIMANTAN TIMUR 882 261 1143

KALIMANTAN UTARA 72 2 74

SULAWESI UTARA 0 0 0

SULAWESI TENGAH 3 0 3

SULAWESI SELATAN 7 14 21

SULAWESI TENGGARA 46 4 50

GORONTALO 0 0 0

SULAWESI BARAT 6 2 8

MALUKU 3 2 5

MALUKU UTARA 1 3 4

PAPUA 27 27 54

PAPUA BARAT 7 14 21


(48)

Publish What You Pay (PWYP) Indonesia merupakan koalisi masyarakat sipil untuk

transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya ekstrakif migas, pertambangan, kehutanan dan sumber daya alam lainnya. PWYP Indonesia terailiasi dalam kampanye global Publish What You Pay. Berdiri sejak tahun 2007, dan terdatar sebagai badan hukum Indonesia sejak tahun 2012 dengan nama Yayasan Transparansi Sumberdaya Ekstrakif. Akivitas PWYP Indonesia di sepanjang rantai nilai sumberdaya

ekstrakif berfokus pada transparansi dan akuntabilitas fase sebelum kontrak dan operasi pertambangan (publish why you pay and how you extract); fase produksi

dan menghasilkan pendapatan negara (publish what you pay); fase pemanfaatan

pendapatan ekstrakif untuk kesejahteraan dan pembangunan berkelanjutan (publish what you earn and how you spend).

Website: www.pwyp-indonesia.org Email: sekretariat@pwyp-indonesia.org

Facebook Fanpage: Publish What You Pay Indonesia Twiter: @PWYP_Indonesia


(1)

Peningkatan luasan tumpang tindih izin tambang batubara di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi dimungkinkan jika ada perubahan luasan kawasan hutan yang diatur melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pasalnya, kawasan hutan di lima provinsi di atas tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu 2014 hingga tahun 2017, jika mengacu pada SK yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan. Lemahnya dokumentasi data perizinan ditengarai menjadi salah satu alasan dibalik ‘anomali’ di atas. Besar kemungkinan pendataan di tahun 2014 tidak dilakukan secara menyeluruh, sehingga jumlah izin tambang di tahun 2017 mengalami peningkatan. Di samping itu, progress data luasan tumpang tindih di tahun 2017 yang didapatkan dari Ditjen Minerba, Kementerian ESDM juga perlu dikonirmasi ulang. Hal ini dikarenakan penciutan lahan dilakukan oleh pemerintah Provinsi dan pemerintah Provinsi belum tentu menembuskan informasi tersebut ke Kementerian ESDM. Sebagai contoh, kasus Provinsi Sumatera Selatan, yang mana Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera

hutan lindung maupun konservasi. Namun, justru luasan konsesi bertambah setelah tahun 2017. Temuan ini sekaligus memperkuat lemahnya koordinasi antara pemerintah provinsi dan pusat, utamanya terkait dengan sinkronisasi data.

Kendati demikian, evaluasi dan pencabutan IUP secara umum dapat ditempatkan sebagai instrumen yang efektif untuk menyelesaikan permasalahan tumpang tindih wilayah pertambangan batubara di hutan konservasi dan hutan lindung. Meski perlu dicermati mekanisme rehabilitasi lingkungan terhadap hutan konservasi maupun lindung yang menjadi bekas wilayah pertambangan tersebut, mengingat keduanya memiliki peran vital dalam mengembalikan fungsi hutan konservasi dan lindung tersebut dalam rangka menjaga keseimbangan lingkungan. Sumber: Pixabay

Gambar 13.


(2)

30

C. Rekomendasi

1. Segera mempercepat tindak lanjut penertiban bagi konsesi batubara yang masih bermasalah, baik secara administratif, kewilayahan, permasalahan pengajuan PMA, berakhir masa berlakunya, berstatus Non-Clear and Clean, serta konsesi yang berada di hutan konservasi dan hutan lindung. Pemerintah harus bersikap tegas dan konsisten melakukan pencabutan/pengakhiran, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Izin yang telah dicabut dikembalikan kepada Wilayah Pencadangan Negara (WPN) untuk dibuat regulasinya.

2. Membangun dan mengembangkan sistem database perizinan pertambangan yang singkron dan terintegrasi antara Pusat-Daerah. Database tersebut berisikan informasi konsesi izin/kontrak pertambangan terupdate di seluruh Indonesia, yang menjadi platform database bersama dan dijadikan acuan dalam pengambilan kebijakan dan keputusan terkait perizinan/kontrak batubara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Platform yang terintegrasi ini senantiasa diupdate, direkonsiliasi, dan diveriikasi setiap waktu dan secara berkala, sehingga informasi di dalamnya selalu valid dan update. 3. Mempercepat penyelesaian platform satu peta di Kementerian ESDM (ESDM One

Map) yang bertujuan untuk melakukan singkronisasi data peta koordinat konsesi izin/ kontrak yang telah ada, mendukung monitoring kegiatan pertambangan dan analisa kinerja berbasis spasial di sektor ESDM, serta mencegah adanya kesalahan (spasial) serupa seperti persoalan tumpang tindih di masa mendatang.

4. Mempercepat pengembangan sistem penerimaan negara secara online dan terintegrasi dengan database dan layanan lainnya seperti database perusahaan, data spasial, data rencana produksi dan anggaran (RKAB), ijin ekspor terbatas (ET), data surveyor, maupun kesyahbandaran dan bea cukai serta Indonesia National Single Window (INSW). Sistem tersebut satu sama lain saling terhubung, saling mensyaratkan, serta terpadu dan menjadi acuan dalam melakukan monitoring dan pengawasan kepatuhan kewajiban iskal pelaku usaha.

5. Mendorong pengembangan analisis kepemilikan sesungguhnya (beneicial ownership) dari pelaku usaha batubara, serta mengembangkan sanski berupa sistem black list bagi perusahaan yang terindikasi tidak patuh dan melakukan pelanggaran. Upaya ini bisa ditempuh dengan melakukan koordinasi secara intens antara Ditjen Minerba-ESDM dengan Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM terkait legal register perusahaan batubara.


(3)

D. Daftar Pustaka

Abdullah, Maryati dan Jensi Sartin. (2015). Tata Kelola, Penerimaan Negara, dan Dana Bagi Hasil Sektor Kehutanan. Jakarta: Publish What You Pay Indonesia.

BP. (2016). Statistical Review of World Energy 2016. BP.

ESDM, Ditjen Minerba. (2016). Bahan Presentasi FGD: Tata Kelola Pengusahaan Pertambangan Batubara di Indonesia. Jakarta: Kementerian ESDM.

ESDM, Ditjen Minerba. (2016). Bahan Presentasi Korsup: Tindak Lanjut Korsup Sektor ESDM Dalam Pengelolaan PengusahaanPertambangan Batubara. Jakarta: Kementerian ESDM. Hayati, Tri. (2013). Analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan tentang minerba

di kawasan hutan lindung. Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI.

Litbang KPK. (2014). Bahan Presentasi: Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.

Lucarelli, B. (2010). The history and the future of Indonesia’s coal industry. Working Paper, 93. Stanford: Program on Energy and Sustainable Development.

Sawitri, Dian Eka Rahayu. (2013). Kebijakan Clean and Clear Dalam Menata Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Tesis). Fakultas Hukum, Program Pasca-Sarjana, Kekhususan Tata Negara, Universitas Indonesia.

Schernikau, Lars. (2016). Economics of the International Coal Trade Why Coal Continues to Power the World. 2nd Edition. Cham. Springer

____________, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berikut penjelasannya, Lembaran Negara RI.

____________, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan berikut penjelasannya, Lembaran Negara RI

____________, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Lembaran Negara RI.


(4)

32

E. Lampiran

Lampiran-1: Rekap IUP Batubara di Indonesia (Status April 2017)

PROVINSI (1)

JUMLAH IUP CnC

(2)

NON CnC (3)

TOTAL (4)

PUSAT 4 1 5

ACEH 9 1 10

SUMATERA UTARA 2 0 2

SUMATERA BARAT 58 9 67

RIAU 31 1 32

JAMBI 146 30 176

SUMATERA SELATAN 133 0 133

BENGKULU 33 6 39

LAMPUNG 4 0 4

BANGKA BELITUNG 0 0 0

KEP. RIAU 0 0 0

DKI JAKARTA 0 0 0

JAWA BARAT 1 1 2

JAWA TENGAH 0 0 0

DI. YOGYAKARTA 0 0 0

JAWA TIMUR 0 0 0

BANTEN 5 0 5

BALI 0 0 0

NTB 0 0 0

NTT 1 0 1

KALIMANTAN BARAT 18 17 35

KALIMANTAN TENGAH 323 122 445


(5)

KALIMANTAN TIMUR 882 261 1143

KALIMANTAN UTARA 72 2 74

SULAWESI UTARA 0 0 0

SULAWESI TENGAH 3 0 3

SULAWESI SELATAN 7 14 21

SULAWESI TENGGARA 46 4 50

GORONTALO 0 0 0

SULAWESI BARAT 6 2 8

MALUKU 3 2 5

MALUKU UTARA 1 3 4

PAPUA 27 27 54

PAPUA BARAT 7 14 21


(6)

Publish What You Pay (PWYP) Indonesia merupakan koalisi masyarakat sipil untuk

transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya ekstrakif migas, pertambangan, kehutanan dan sumber daya alam lainnya. PWYP Indonesia terailiasi dalam kampanye global Publish What You Pay. Berdiri sejak tahun 2007, dan terdatar sebagai badan hukum Indonesia sejak tahun 2012 dengan nama Yayasan Transparansi Sumberdaya Ekstrakif. Akivitas PWYP Indonesia di sepanjang rantai nilai sumberdaya

ekstrakif berfokus pada transparansi dan akuntabilitas fase sebelum kontrak dan operasi pertambangan (publish why you pay and how you extract); fase produksi

dan menghasilkan pendapatan negara (publish what you pay); fase pemanfaatan

pendapatan ekstrakif untuk kesejahteraan dan pembangunan berkelanjutan (publish what you earn and how you spend).

Website: www.pwyp-indonesia.org Email: sekretariat@pwyp-indonesia.org

Facebook Fanpage: Publish What You Pay Indonesia Twiter: @PWYP_Indonesia