Permasalahan Kesehatan Lingkungan di Ind (2)

PERMASALAHAN KESEHATAN LINGKUNGAN MAKALAH

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Dasar-dasar Kesehatan Lingkungan yang dibina oleh Drs. Solichin, ST. M.Kes dan Septa Katmawati, S.Gz, M.Kes

Oleh:

Ahmad Alharis (130612607885) Rahma Ismayanti

(130612607891) Salsabilla A. Putri

(130612607899)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

Oktober 2014

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semenjak umat manusia menghuni planet bumi ini, sebenarnya manusia sudah seringkali menghadapi masalah-masalah kesehatan serta bahaya kematian yang disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan hidup yang ada di sekeliling mereka seperti benda mati, mahkluk hidup, adat istiadat, kebiasaan, dan lain-lain (Budiman, 2007). Dalam suatu wilayah, kondisi lingkungan merupakan determinan utama dan terpenting bagi derajat kesehatan masyarakat. Pencemaran lingkungan akibat perkembangan teknologi dan pembangunan juga mempengaruhi ragam dan kualitas pencemarnya, dari masalah sanitasi dasar, pembuangan limbah rumah tangga, sampah domestik, dan penyediaan air bersih, bergeser ke berbagai pencemaran partikel debu, bahan dan buangan kimia, sampai radiasi dan gelombang elektro magnetik (FKM UI, 2013).

Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan sendiri. Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimal pula (Notoatmodjo, 2011). Masalah lingkungan hidup di Indonesia saat ini yaitu penebangan hutan secara liar/pembalakan hutan, polusi air dari limbah industri dan pertambangan, polusi udara di daerah perkotaan, asap dan kabut dari kebakaran hutan, kebakaran hutan permanen/tidak dapat dipadamkan, perambahan suaka alam/suaka margasatwa, perburuan liar, perdagangan dan pembasmian hewan liar yang dilindungi, penghancuran terumbu karang, pembuangan sampah tanpa pemisahan/pengolahan, dan masih banyak lagi.

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud dengan kesehatan lingkungan?

b. Bagaimana permasalahan kesehatan lingkungan?

c. Apa saja permasalahan kesehatan lingkungan?

d. Faktor apa saja yang menyebabkan permasalahan kesehatan lingkungan?

e. Bagaimana upaya untuk mengatasi permasalahan kesehatan lingkungan?

1.3 Tujuan

a. Mengetahui definisi dari kesehatan lingkugan

b. Mengetahui permasalahan kesehatan lingkungan yang terjadi

c. Mengetahui macam-macam permasalahan kesehatan lingkungan

d. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan permasalahan kesehatan lingkungan

e. Mengetahui upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan kesehatan lingkungan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kesehatan Lingkungan

Menurut Notoatmodjo (1996), kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Undang-undang RI No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyebutkan bahwa kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air dan udara, pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi dan kebisingan, pengendalian faktor penyakit, dan penyehatan atau pengamanan lainnya.

Moeller (1992), menyatakan “In it broadsense, environmental health is the segment of public health that is concerned with assessing, understanding, and controlling the impacts of people on their environment and the impacts of the environment in them.” Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kesehatan lingkungan merupakan bagian dari kesehatan masyarakat yang memberi perhatian pada penilaian, pemahaman, dan pengendalian dampak manusia pada lingkungan dan dampak lingkungan pada manusia.

2.2Permasalahan Kesehatan Lingkungan di Indonesia

Ilmu kesehatan lingkungan adalah ilmu multidisipliner yang mempelajari dinamika hubungan interaktif antara sekelompok umat manusia atau masyarakat dengan berbagai perubahan komponen lingkungan hidup manusia yang diduga dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat dan mempelajari upaya untuk penanggulangan dan pencegahannya. Pencemaran lingkungan merupakan permasalahan kesehatan yang paling umum. Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam lingkungan atau berubahnya tatanan lingkungan akibat kegiatan manusia atau akibat proses alam sehingga kualitas lingkungan menurun sampai ke Ilmu kesehatan lingkungan adalah ilmu multidisipliner yang mempelajari dinamika hubungan interaktif antara sekelompok umat manusia atau masyarakat dengan berbagai perubahan komponen lingkungan hidup manusia yang diduga dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat dan mempelajari upaya untuk penanggulangan dan pencegahannya. Pencemaran lingkungan merupakan permasalahan kesehatan yang paling umum. Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam lingkungan atau berubahnya tatanan lingkungan akibat kegiatan manusia atau akibat proses alam sehingga kualitas lingkungan menurun sampai ke

Sebagai salah satu negara berkembang dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, masalah kesehatan lingkungan di Indonesia menjadi sangat kompleks terutama di kota-kota besar. Hal tersebut disebabkan oleh, antara lain:

1. Urbanisasi penduduk Di Indonesia, terjadi perpindahan penduduk dalam jumlah besar dari desa ke kota. Lahan pertanian yang semakin berkurang terutama di pulau Jawa dan terbatasnya lapangan pekerjaan mengakibatkan penduduk desa berbondong-bondong datang ke kota besar mencari pekerjaan sebagai pekerja kasar seperti pembantu rumah tangga, kuli bangunan dan pelabuhan, pemulung bahkan menjadi pengemis dan pengamen jalanan yang secara tidak langsung membawa dampak sosial dan dampak kesehatan lingkungan, seperti munculnya pemukiman kumuh dimana- mana.

2. Tempat pembuangan sampah Di hampir setiap tempat di Indonesia, sistem pembuangan sampah dilakukan secara dumping tanpa ada pengelolaan lebih lanjut. Sistem pembuangan semacam itu selain memerlukan lahan yang cukup luas juga menyebabkan pencemaran pada udara, tanah, dan air selain lahannya juga juga dapat menjadi tempat berkembangbiaknya agen dan vector penyakit menular.

3. Penyediaan sarana air bersih Berdasarkan survei yang pernah dilakukan, hanya sekitar 60 % penduduk Indonesia mendapatkan air bersih dari PDAM, terutama untuk penduduk perkotaan, selebihnya mempergunakan sumur atau sumber air lain. Bila datang musim kemarau, krisis air dapat terjadi dan penyakit gastroenteritis mulai muncul dimana-mana.

4. Pencemaran udara Tingkat pencemaran udara di Indonesia sudah melebihi ambang batas normal terutama di kota-kota besar akibat gas buangan kendaraan bermotor. Selain itu, hampir setiap tahun asap tebal meliputi wilayah nusantara bahkan sampai ke negara tetangga akibat pembakaran hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan.

5. Pembuangan limbah industri dan rumah tangga Hampir semua limbah cair baik yang berasal dari rumah tangga dan industri dibuang langsung dan bercampur menjadi satu ke badan sungai atau laut, ditambah lagi dengan kebiasaan penduduk melakukan kegiatan MCK dibantaran sungai. Akibatnya, kualitas air sungai menurun dan apabila digunakan untuk air baku memerlukan biaya yang tinggi.

6. Bencana alam/pengungsian Gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, atau banjir yang sering terjadi di Indonesia mengakibatkan penduduk mengungsi yang tentunya menambah banyak permasalahan kesehatan lingkungan.

7. Perencanaan tata kota dan kebijakan pemerintah Perencanaan tata kota dan kebijakan pemerintah seringkali menimbulkan masalah baru bagi kesehatan lingkungan. Contoh, pemberian izin tempat pemukiman, gudung atau tempat industry baru tanpa didahului dengan studi kelayakan yang berwawasan lingkungan dapat menyebabkan terjadinya banjir, pencemaran udara, air, dan tanah serta masalah sosial lain.

2.3 Illegal Logging, Illegal Mining, dan Illegal Fishing

2.3.1 Illegal Logging (Penebangan Liar)

2.3.1.1 Pengertian ilegal logging Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan cukup luas. Hampir 90 persenhutan di dunia dimiliki secara kolektif dimiliki oleh Indonesia dan 44 negaralain. Bahkan, negeri ini juga disebut sebagai paru-paru dunia.Hutan-hutan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia,meskipun luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas

daratan di permukaan bumi. Kekayaan hayatinya mencapai 11 persen spesies tumbuhan yang terdapatdi permukaan bumi. Selain itu, terdapat 10 persen spesies mamalia dari total binatang mamalia bumi, dan 16 persen spesies burung di dunia.Selain itu, Pemerintah juga pernah mengklaim, sampai dengan tahun 2005,Indonesia memiliki kawasan hutan 126,8 juta hektare dengan berbagaipembagian fungsi. Yaitu, fungsi konservasi (23,2 juta hektare), kawasan lindung(32,4 juta hektare), hutan produksi terbatas (21,6 juta hektare), hutan produksi (35,6 juta hektare), dan hutan produksi konversi (14,0 juta hektare).Sayangnya aset negara tersebut dirusak oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab melalui aksi pembalakan liar.Pembalakan liar atau istilah dalam bahasa inggrisnya illegal logging adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat.Illegal Logging menurut UU No 41/1999 tentang Kehutanan adalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh setiap orang/kelompok orang atau badanhukum dalam bidang kehutanan dan perdagangan hasil hutan berupa; menebang atau memungut hasil hutan kayu (HHK) dari kawasan hutan tanpaizin, menerima atau membeli HHK yang diduga dipungut secara tidak sah, serta mengangkut atau memiliki HHK yang tidak dilengkapi Surat Keterangan SahnyaSelama sepuluh tahun terakhir, laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai duajuta hektar per tahun. Penebangan liar (illegal loging) adalah penyebab terbesar kerusakan hutan.

Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dantidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 jutahektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti inidipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dantidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 jutahektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti inidipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah

2.3.1.2 Faktor- faktor penyebab illegal logging Adapun faktor penyebab pembalakan liar adalah pembalakan untukmendapatkan kayu dan alih fungsi lahan untuk kegunaan lain, sepertiperkebunan, pertanian dan pemukiman. Seiring berjalannya waktupertambahan penduduk dari hari ke hari semakin pesat sehingga menyebabkantekanan kebutuhan akan tempat tinggal, pohon-pohon ditebang untuk dijadikan tempat tinggal atau pun lahan pertanian.

Faktor lainnya yaitu faktor kemiskinan dan faktor lapangan kerja. Umumnya halini terjadi kepada masyarakat yang berdomisili dekat ataupun di dalam hutan.Ditengah sulitnya persaingan di dunia kerja dan himpitan akan ekonomi,masyarakat mau tidak mau berprofesi sebagai pembalak liar dan dari sinimasyarakat dapat menopang kehidupannya. Hal inilah yang terkadang sukadimanfaatkan oleh cukong-cukong untuk mengeksploitasi hasil hutan tanpa adaperizinan dari pihak yang berwenang. Padahal apabila dilihat upah tersebutsangatlah tidak seberapa dibandingkan dengan akibat yang akan dirasakannantinya.

Selain itu juga tentang aspek kinerja aparatur di lapangan, kelestarian hutanmerupakan tanggung jawab bersama. Salah satu caranya yaitu dengan dibentuksuatu aparatur yang tugasnya bukan hanya menjaga namun juga mengawasi tindakan penyalahgunaan fungsi hutan. Namun pada kenyataan kinerja aparatur.

Di lapangan ini masih belum berjalan dengan baik dikarenakan tidakseimbangnya jumlah personil aparatur pengawas dengan jumlah luas hutan diIndonesia sehingga Di lapangan ini masih belum berjalan dengan baik dikarenakan tidakseimbangnya jumlah personil aparatur pengawas dengan jumlah luas hutan diIndonesia sehingga

Perkembangan teknologi yang pesat sehingga kemampuan orang untuk mengeksploitasi hutan khususnya untuk illegal logging semasa mudah dilakukan. Dengan semakin berkembangnya teknologi untuk menebang pohondiperlukan waktu yang tidak lama, karena alat-alatnya semakin canggih.Kayu masih menjadi primadona Pendapatan Asli Daerah. Produksi komersialmencakup produksi kayu dan olahannya, produksi sawit, serta perkebunan lain.

2.3.1.3 Dampak dari ilegal logging Kerusakan lingkungan dapat terjadi di mana-mana termasuk di Indonesia, salah satu masalah kerusakan lingkungan lingkungan yaitu Illegal logging. Illegallogging pun kian hari kian marak terjadi, Penelitian Greenpeace mencatattingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun,yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutananmenunjukan angka Rp.

83 milyar perhari sebagai kerugian finansial penebangan liar. Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilaiharganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyarsetiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilaikeanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan.

Illegal logging berdampak kepada gangguan/kerusakan pada berbagai ekosistemyang menyebabkan komponen- komponen yang menyusun ekosistem,yaitukeanekaragaman jenis

menjadi terganggu. Akibatnyaterjadilah kepunahan pada berbagai varietas hayati tersebut.Dampak lainnya adalah bencana banjir. Pohon-pohon ditebangi hinggajumlahnya semakin hari semakin berkurang menyebabkan hutan tidak mampulagi menyerap air hujan yang turun dalam jumlah yang besar,sehingga air tidakdapat meresap ke dalam tanah sehingga bisa menyebabkan banjir,seperti yangterjadi belum lama ini bencana banjir bandang di Wasior.

Masyarakat tetap hidup miskin dan menjadi korban atas kecurangan perilaku cukong-cukong yang pada akhirnya merekalah yang menikmati sebagian besarhasil usaha masyarakat. Inilah yang menimbulkan ketidakadilan sosial dalammasyarakat.Semakin berkurangnya jumlah cadangan sumber air tanah atau mata air didaerah hutan. Karena jumlah pohon-pohonnya semakin berkurang padahalpohon berfungsi sebagai penyerap air. Hal ini mengakibatkan timbulnya kekeringan, masyarakat kesulitan untuk mendapatkanair bersih untuk irigasi.

Semakin berkurangnya lapisan tanah subur. Lapisan ini hanyut terbawa karenatidak adanya penahan tanah apabila hujan,disinilah fungsi pohon sebenarnya.Dampak yang paling kompleks dari adanya Illegal Logging ini adalah globalwarming yang sekarang sedang mengancam dunia. Global warming terjadi oleh efek rumah kaca dan kurangnya daerah resapan CO2 seperti hutan sehinggamenyebabkan suhu bumi menjadi naik dan mengakibatkan kenaikan volume air.

2.3.1.4 Solusi untuk mengatasi ilegal logging

1. Reboisasi atau penanaman hutan yang gundul

2. Menerapkan system tebang pilih dalam menebang pohon

3. Manipulasi lingkungan serta pengendalian hama dan penyakit juga Bisa dilakukukan untuk memulihkanhutan kembali di Indonesia.

4. Penanaman hutan secara intensif menjadi pilihan terbaik karena bisadiprediksi. Sehingga, kebutuhan kayu bisa diperhitungkan tanpa harus merusak Habitat hutan alam yang baik

5. Menerapkan sanksi yang berat bagi mereka yang melanggar

ketentuanmengenai pengelolaan hutan. Misalkan dengan upaya pengawasan danpenindakan yang dilakukan di TKP (tempat kejadian perkara), yaitu di lokasikawasan hutan dimana tempat dilakukannya penembangan kayu secara illegal. Mengingat kawasan hutan yang ada cukup luas dan tidak sebanding denganjumlah aparat yang ada, sehingga upaya ini sulit dapat diandalkan, kecualimenjalin kerjasama dengan masyarakat setempat. Ini pun akan mendapat kesulitan jika anggota masyarakat itu justru mendapatkan keuntungan aterial dari illegal logging.

6. Upaya lain yang juga dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan pos-pos tempat penarikan retribusi yang banyak terdapat di pinggir-pinggir jalanluar kota. Petugas pos retribusi hanya melakukan pekerjaan menarik uang daritruk yang membawa kayu, hanya sekedar itu. Seharusnya di samping melakukan penarikan uang retribusi

melakukan pengecekan terhadapdokumen yang melegalkan pengangkutan kayu. Dengan tindakan pengecekanseperti ini, secara psikologis diharapkan dapat dijadikan sebagai upaya shocktherapy bagi para sopir truk dan pemodal. Selain dari itu, juga

juga sekaligus juga sekaligus

7. Upaya ketiga adalah menelusuri terminal/tujuan akhir dari pengangkutankayu illegal, dan biasanya tujuan itu adalah perusahaan atau industri yangmembutuhkan bahan baku dari kayu.

dirasa cukup efektif untukmenanggulangi perbuatan-perbuatan illegal logging. Perusahaan atau industry seperti ini dapat dituding telah melakukan “penadahan”.Perbuatanmenampung terhadap kayu-kayu illegal oleh perusahaan yang dalam bahasahukum konvensional KUHP disebut sebagai penadahan tersebut, dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi (corporate crime).

Upaya

ini

2.3.2 Illegal Mining (Penambangan Liar) Illegal mining adalah istilah lain dari pertambangan ilegal atau pertambangan tanpa izin (PETI) atau pertambangan liar atau tindak pidana pertambangan. Illegal Mining adalah semua aktivitas pertambangan yang tidak taat hukum dapat dikategorikan sebagai illegal mining. Jadi legal dan ilegal tidak hanya dikategorikan pada ada tidak adanya izin, karena yang berizin pun berpotensi melakukan illegal mining dalam bentuk lain yang dikriminalisasi dalam UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Illegal mining tidak hanya terbatas pada pelanggaran regulasi Peraturan pertambangan saja, tetapi juga pelanggaran terhadap regulasi lain yang terkait pertambangan, seperti regulasi kehutanan dan lingkungan hidup. Pertambangan yang melakukan aktivitasnya di areal hutan larangan, seperti hutan lindung atau aktivitasnya merusak lingkungan juga merupakan illegal mining. Dalam Petunjuk Lapangan (Juklap) penanganan tindak pidana pertambangan (illegal mining) POLRI bahkan disebutkan bahwa illegal mining meliputi pula Illegal mining tidak hanya terbatas pada pelanggaran regulasi Peraturan pertambangan saja, tetapi juga pelanggaran terhadap regulasi lain yang terkait pertambangan, seperti regulasi kehutanan dan lingkungan hidup. Pertambangan yang melakukan aktivitasnya di areal hutan larangan, seperti hutan lindung atau aktivitasnya merusak lingkungan juga merupakan illegal mining. Dalam Petunjuk Lapangan (Juklap) penanganan tindak pidana pertambangan (illegal mining) POLRI bahkan disebutkan bahwa illegal mining meliputi pula

Berdasarkan berbagai regulasi di atas, baik UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara maupun UU lain yang terkait, jenis-jenis illegal mining dapat dikategorikan dalam 7 (tujuh) kelompok, diantaranya adalah:

1. Pertama, melakukan usaha pertambangan tanpa izin (PETI). Ancaman sanksi pidananya sangat berat, yakni penjara paling lama

10 tahun dan denda 10 milyar.

2. Kedua, memberikan laporan palsu usaha pertambangan. Misalnya PT. A pemegang IUP menghasilkan timah 1000 MT, tetapi yang dilaporkan hanya 500 MT. Ancaman sanksi pidananya sama beratnya dengan PETI yang pertama tadi.

3. Ketiga, melakukan eksplorasi tanpa izin dipidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda maksimal 200 juta. Kemudian pemilik Izin Usaha Perusahaan (IUP) eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi diancam penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal 10 milyar.

4. Keempat, kegiatan menampung, memanfaatkan, mengolah, pemurnian, pengangkutan, penjualan yang bukan dari pemegang IUP/IUPK diancam pidana penjara maksimal 10 tahun dan dengan denda maksimal 10 milyar. Jenis kejahatan ini berpotensi terjadinya mining laundering.

kegiatan usaha pertambangan berizin juga dapat diancam dengan pidana kurungan maksimal 1 tahun atau denda maksimal 100 juta.

5. Kelima,

upaya

merintangi/mengganggu

6. Keenam, penyalahgunaan kewenangan pejabat pemberi izin, yang ancamannya maksimal 2 tahun penjara dan denda 200 juta. Terakhir, setiap usaha pertambangan yang melanggar perundang-undangan lain, seperti UU Kehutanan, Lingkungan Hidup, Perkebunan, dan lain-lain yang sanksinya diancam dalam ketentuan pidananya.

2.3.3 Illegal Fishing (Penangkapan Liar)

2.3.3.1 Pengertian Pengertian Illegal Fishing secara harfiah yaitu dari bahasa Inggris. Dalam The Contemporary English Indonesian Dictionary, ”illegal” artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum. “Fish” artinya ikan atau daging ikan dan ”fishing” artinya penangkapan ikan sebagai mata pencaharian atau tempat menangkap ikan. Berdasarkan pengertian secara harfiah tersebut dapat dikatakan bahwa ”illegal fishing” menurut bahasa berarti menangkap ikan atau kegiatan perikanan yang dilakukan secara tidak sah. Menurut Divera Wicaksono sebagaimana dikutip Lambok Silalahi bahwa illegal fishing adalah memakai Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) palsu, tidak dilengkapi dengan SIPI, isi dokumen izin tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap ikan dengan jenis dan ukuran yang dilarang .

Penegakan hukum adalah merupakan usaha atau kegiatan negara berdasarkan kedaulatan negara atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, baik aturan hukum nasional itu sendiri maupun aturan hukum internasional dapat diindahkan oleh setiap orang dan atau badan-badan hukum, bahkan negara-negara lain untuk memenuhi kepentingannya namun tidak sampai mengganggu kepentingan pihak lain.

Penegakan hukum dalam pengertian yustisial diartikan sebagai suatu proses peradilan yang terdiri dari kegiatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan hakim, hal ini bertujuan untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Berdasarkan pengertian yustisial maka yang dimaksud dengan penegakan hukum di laut ialah suatu proses kegiatan dalam penyelesaian suatu perkara yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran Penegakan hukum dalam pengertian yustisial diartikan sebagai suatu proses peradilan yang terdiri dari kegiatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan hakim, hal ini bertujuan untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Berdasarkan pengertian yustisial maka yang dimaksud dengan penegakan hukum di laut ialah suatu proses kegiatan dalam penyelesaian suatu perkara yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran

Delik/ tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar undang-undang pidana, dank arena itu bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan diperairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkannya.

Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP.

Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut.

2.3.3.2 Penegakan hukum IUU Fishing dalam Unclos 1982 Dalam hal penegakan hokum, termasuk penegakan hukum bagi pelaku IUU Fishing, UNCLOS 1982 secara garis besar membedakan wilayah laut dua kategori, yaitu wilayah laut di bawah kedaulatan dan wilayah laut dimana suatu negara memiliki yurisdiksi. Kawasan laut yang tunduk dibawah kedaulatan suatu negara pantai/kepulauan adalah perairan pedalaman dan laut teritorial atau perairan kepulauan dan laut teritorial. Sedangkan kawasan laut dimana suatu negara pantai/kepulauan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi adalah ZEE dan Landas Kontinen.

Wilayah ZEE mempunyai status hukum yang sui generis (unik/berbeda). Keunikan tersebut terletak pada eksistensi hak dan kewajiban negara pantai dan negara lain atas ZEE. Berbeda dengan di laut teritorial, dimana negara pantai mempunyai kedaulatan, di ZEE negara pantai hanya mempunyai hak berdaulat. Hak berdaulat tersebut terbatas pada eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan baik sumber daya hayati maupun non-hayati.

Di dalam UNCLOS 1982 disebutkan hak dan yurisdiksi negara pantai di ZEE meliputi: (1) eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan (hayati-non hayati); (2) membuat dan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan; (3) pembangunan pulau buatan dan instalasi permanen lainnya; (4) mengadakan penelitian ilmiah kelautan; dan (5) perlindungan lingkungan laut. Sedangkan kewajiban negara pantai ZEE meliputi: (1) menghormati eksistensi hak dan kewajiban negara lain atas wilayah ZEE; (2) menentukan maximum allowable catch untuk sumber daya hayati dalam hal ini perikanan; dan (3) dalam hal negara pantai tidak mampu memanen keseluruhan allowable catch, memberikan akses kepada negara lain atas surplus allowable catch melalui perjanjian sebelumnya untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan terutama sumber daya perikanan dengan tujuan konservasi.

UNCLOS 1982 tidak mengatur tentang IUU Fishing. Wacana tentang illegal fishing muncul bersama-sama dalam kerangka IUU (Illegal, Unreporterd and Unregulated) fishing practices pada saat diselenggarakannya forum CCAMLR (Commision for Conservation of Artarctic Marine Living Resources) pada 27 Oktober – 7 Nopember 1997. IUU Fishing dapat dikategorikan dalam tiga kelompok:

1. Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE suatu negara, atau tidak memiliki ijin dari negara tersebut;

2. Unregulated fishing yaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut; dan

3. Unreported fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya.

Praktek IUU Fishing terjadi baik di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan maupun di ZEE. Dilakukan oleh kapal berbendera negara pantai yang bersangkutan itu sendiri maupun oleh kapal berbendera asing. Walaupun tidak mengatur IUU Fishing, tapi berkaitan dengan penegakan hukum di laut, UNCLOS 1982 mengatur secara umum, baik di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan dan ZEE suatu negara.

2.3.3.3 Penegakan hukum di laut yang tunduk di bawah kedaulatan Jika pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi di laut teritorial atau perairan pedalaman atau perairan kepulauan suatu negara, maka sesuai dengan kedaulatan yang diberikan oleh Pasal 2 UNCLOS 1982, negara pantai dapat memberlakukan semua peraturan hukumnya bahkan hukum pidananya terhadap kapal tersebut. Asalkan pelanggaran tersebut membawa dampak bagi negara pantai atau menganggu keamanan negara pantai sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 (1) UNCLOS 1982. Akan tetapi jika unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 27 (1) UNCLOS 1982 ini tidak terpenuhi, maka negara pantai tidak dapat menerapkan yurisdiksi pidananya terhadap kapal tersebut. Luasnya kewenangan Negara pantai untuk menegakan hukumnya bagi kapal asing yang melanggar hukum di laut territorial, perairan 2.3.3.3 Penegakan hukum di laut yang tunduk di bawah kedaulatan Jika pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi di laut teritorial atau perairan pedalaman atau perairan kepulauan suatu negara, maka sesuai dengan kedaulatan yang diberikan oleh Pasal 2 UNCLOS 1982, negara pantai dapat memberlakukan semua peraturan hukumnya bahkan hukum pidananya terhadap kapal tersebut. Asalkan pelanggaran tersebut membawa dampak bagi negara pantai atau menganggu keamanan negara pantai sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 (1) UNCLOS 1982. Akan tetapi jika unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 27 (1) UNCLOS 1982 ini tidak terpenuhi, maka negara pantai tidak dapat menerapkan yurisdiksi pidananya terhadap kapal tersebut. Luasnya kewenangan Negara pantai untuk menegakan hukumnya bagi kapal asing yang melanggar hukum di laut territorial, perairan

2.3.3.4 Penegakan hukum di ZEE Pasal 27 (5) UNCLOS 1982 selanjutnya merujuk kepada Bab IX (Pelestarian dan Perlindungan Lingkungan Laut) dan Bab.V tentang ZEE. Dalam hal pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai yang berkaitan dengan eksplorasi, eksploitasi, konsevasi dan pengelolaan sumber daya perikanan Negara pantai dapat melakukan tindakan penegakan hukum. Bertalian dengan penegakan hukum negara pantai di ZEE diatur dalam pasal 73 UNCLOS 1982 yang menentukan:

a. Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati di zona ekonomi ekskluisf mengambil tindakan sedemikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses pengadilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.

b. Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya.

c. Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebalik-nya antara negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya.

d. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai harus segera memeberitahu kepada negara bendera, d. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai harus segera memeberitahu kepada negara bendera,

Jadi berdasarkan Pasal 73 UNCLOS 1982, jika kapal asing tidak mematuhi peraturan perundang-undangan perikanan negara pantai di ZEE, negara pantai dapat menaiki, memeriksa, menangkap dan melakukan proses pengadilan atas kapal tersebut dan memberitahu negara bendera kapal. Akan tetapi kapal dan awak kapal yang ditangkap tersebut harus segera dilepaskan dengan reasonable bond (uang jaminan yang layak) yang diberikan kepada negara pantai. Hukuman yang dijatuhkan tidak boleh dalam bentuk hukuman badan yaitu penjara.

2.3.3.5 Penegakkan Hukum IUU Fishing di Indonesia

Penegakan hukum terhadap tindak pidana di Indonesia dilakukan melalui proses peradilan pidana sebagaimana ditegaskan dalam Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ( Kitab Undang - Undang Hukum Pidana ) dimana setiap bentuk tindak pidana yang terjadi ditangani melalui tahapan Pre Ajudikasi, Ajudikasi dan Post Ajudikasi.

Pre Ajudikasi: Pada tahapan ini Lembaga atau Instansi penegak hukum yang telibat secara langsung yaitu penyidik (Polisi, Angkatan Laut dan Penyidik PNS) serta Jaksa (Kejaksaan). Penegak hukum melakukan suatu tindakan berdasarkan informasi maupun laporan mengenai adanya suatu tindak pidana Illegal Fishing namun tidak jarang pula adanya tindakan langsung oleh Kepolisian maupun Angkatan Laut atas temuan dari Intelegen mereka sendiri, seperti sering dilakukannya Gelar Patroli Keamanan Laut oleh kedua lembaga tersebut. Namun demikian hasil dari Gelar Patroli Keamanan Laut tersebut selanjutnya yang akan diproses pada tahapan berikutnya, tidak akan berjalan atau dilakukan secara optimal tanpa adanya koordinasi yang utuh dan menyeluruh dari Pre Ajudikasi: Pada tahapan ini Lembaga atau Instansi penegak hukum yang telibat secara langsung yaitu penyidik (Polisi, Angkatan Laut dan Penyidik PNS) serta Jaksa (Kejaksaan). Penegak hukum melakukan suatu tindakan berdasarkan informasi maupun laporan mengenai adanya suatu tindak pidana Illegal Fishing namun tidak jarang pula adanya tindakan langsung oleh Kepolisian maupun Angkatan Laut atas temuan dari Intelegen mereka sendiri, seperti sering dilakukannya Gelar Patroli Keamanan Laut oleh kedua lembaga tersebut. Namun demikian hasil dari Gelar Patroli Keamanan Laut tersebut selanjutnya yang akan diproses pada tahapan berikutnya, tidak akan berjalan atau dilakukan secara optimal tanpa adanya koordinasi yang utuh dan menyeluruh dari

Berbagai upaya lain juga telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pengamanan laut, tetapi masih dipandang belum memadai dalam menjawab tantangan keamanan laut yang ada. Sampai pada akhirnya pemerintah merasa perlu melakukan upaya-upaya koordinasi berbagai pihak dalam upaya pengamanan laut Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah di bawah pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono adalah dengan melakukan revitalisasi Badan Koordinasi Keamanan Laut yang sudah ada sebelumnya untuk diatur kembali melalui instrument Peraturan Presiden.

Adanya perubahan tata pemerintahan dan perkembangan lingkungan strategis saat ini perlu penataan kembali Bakorkamla untuk meningkatkan koordinasi antar institusi/instansi pemerintah di bidang keamanan laut. Pada tahun 2003, melalui Kep. Menkopolkam, Nomor Kep.05/Menko/Polkam/2/2003, dibentuk Kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut. Akhirnya pada tanggal 29 Desember 2005, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang menjadi dasar hukum organisasi tersebut.

Untuk menciptakan kondisi keamanan wilayah yang kondusif, Lantamal I melaksanakan operasi kamla terbatas dengan Alutsista KAL/Patkamla yang tergelar dijajaran, dalam rangka penegakan kedaulatan dan hukum serta melindungi sumber sumber daya alam untuk kepentingan nasional maupun daerah.

Pelaksanaan tugas pokok Lantamal I Belawan tentu mengacu pada tugas pokok TNI Angkatan Laut yang Pelaksanaan tugas pokok Lantamal I Belawan tentu mengacu pada tugas pokok TNI Angkatan Laut yang

a. Melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan;

b. Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi;

c. Melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah;

d. Melaksanakan tugas dan pengembangan kekuatan matra laut;

e. Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut. Saat ini penyidik TNI AL secara konsisten telah menerapkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan dengan melaksanakan enforcement of law secara cepat dan tuntas serta dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Dalam proses penyidikan di pangkalan TNI AL sesuai amanat Undang-undang telah menetapkan owner, agen dan operator kapal sebagai tersangka. Hal ini dilakukan agar para pemilik tidak lagi berlindung dibalik badan dan mengorbankan para Nakhoda dan ABK kapal ikan. Penyidik TNI AL memang harus tunduk kepada otoritas yang mengatur perijinan, meskipun selalu ditempatkan sebagai pemadam kebakaran dan disalahkan bila ada penyelesaian kasus yang belum tuntas. Komitmen TNI AL tetap tinggi untuk proaktif memberantas praktek illegal fishing.

Prosedur dan tata cara pemeriksaan tindak pidana di laut sebagai bagian dari penegakan hukum di laut mempunyai ciri- ciri atau cara-cara yang khas dan mengandung beberapa perbedaan dengan pemeriksaan tindak pidana di darat. Hal ini disebabkan karena di laut terdapat bukan saja kepentingan nasional, akan tetapi terdapat pula kepentingan-kepentingan Prosedur dan tata cara pemeriksaan tindak pidana di laut sebagai bagian dari penegakan hukum di laut mempunyai ciri- ciri atau cara-cara yang khas dan mengandung beberapa perbedaan dengan pemeriksaan tindak pidana di darat. Hal ini disebabkan karena di laut terdapat bukan saja kepentingan nasional, akan tetapi terdapat pula kepentingan-kepentingan

Adapun seperangkat aturan sebagai pendukung penegakkan hukum terhadap tindak pidana illegal fishing di Indonesia antara lain sebagai berikut.

a. Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang – Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan,

b. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil serta aturan pelaksanaannya lainnya seperti : Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Usaha Perikanan,

c. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan,

d. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Perikanan,

e. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan,

f. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2005 tentang Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan,

g. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2005 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidaya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Yang Bukan Untuk Tujuan Komersial,

h. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.06/MEN/2008 tentang Penggunaan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.08/MEN/2008 tentang

Penggunaan Alat Penangkap Ikan Jaring Ingsang (Gill Net) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).

2.3.3.6 Penghambat Penegakkan Hukum Terhadap IUU Illegal Fishing

1. Obyek Penegak Hukum Sulit Ditembus Hukum Obyek yang dimaksud disini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan Illegal Fishing yaitu pelaku yang menjadi otak dari kegiatan tersebut. Terutama dalam hal ini adalah oknum Pejabat Penyelenggara Negara, oknum Aparat Penegak Hukum atau oknum Pegawai Negeri Sipil yang tidak diatur secara khusus dalam Undang–Undang tentang Perikanan tersebut.Penerapan Pasal 56 ayat (1) KUHP yang mengkualifikasikan pelaku tindak pidana sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan pidana dapat juga diterapkan dalam kejahatan Illegal Fishingyang melibatkan banyak pihak. Namun demikian beban pidana yang harus ditanggung secara bersama dalamterjadinya tindak pidana Illegal Fishing juga dapat mengurangi rasa keadilan masyarakat, karena dengan kualitas dan akibat perbuatan yang tidak sama terhadap pelaku turut serta, dapat dipidanakan maksimum sama dengan si pembuat menurut ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHP, sedangkan ternyata peranan pelaku utamanya sulit ditemukan.

2. Lemahnya Koordinasi Antar Penegak Hukum Lemahnya koordinasi antar Instansi Penegak Hukum dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan kebijakan masing – masing, sehingga sangat rawan menimbulkan konflik kepentingan. Penegakan hukum yang tidak terkoordinasi merupakan salah satu kendala dalam penanggulangan kejahatan Illegal Fishing.

Proses peradilan mulai dari penyidikan hingga ke persidangan membutuhkan biaya yang sangat besar, proses hukum yang sangat panjang dan sarana / prasarana yang sangat memadai membutuhkan keahlian khusus dalam penanganan kasus tersebut. Dalam satu Instansi tentu tidak memiliki semua komponen, data/informasi ataupun sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam rangka penegakan hukum.Oleh karena itu diperlukan koordinasi dan kerjasama yang sinergis antar Instansi yang terkait dalam upaya penegakan hukum terhadap Illegal Fishing tersebut.

Dalam pemberantasan kejahatan Illegal Fishing yang terjadi di Indonesia sering ditemui bahwa yang merupakan salah satu kendala dalam pemberantasan Illegal Fishing ialah disebabkan oleh kurangnya koordinasi yang efektif dan efisien antara berbagai Instansi yang terkait, yang mana sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER/11/MEN/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Nomor PER/13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Perikanan yaitu dalam hal ini terdapat 10 (sepuluh) Instansi yang terkait yang berada dalam satu mata rantai pemberantasanIllegal Fishing yang sangat menentukan proses penegakan hukum kejahatan perikanan yaitu : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepolisian Republik Indonesia, TNI - Angkatan Laut, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan Ham Ditjen Keimigrasian, Kemeterian Perhubungan Ditjen Perhubungan Laut, Kementerian Keuangan Ditjen Bea dan Cukai, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ditjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Mahkamah Agung dan Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.Koordinasi antar berbagai Instansi tersebut sangat menentukan keberhasilan dalam penegakan hukum pidana terhadap Dalam pemberantasan kejahatan Illegal Fishing yang terjadi di Indonesia sering ditemui bahwa yang merupakan salah satu kendala dalam pemberantasan Illegal Fishing ialah disebabkan oleh kurangnya koordinasi yang efektif dan efisien antara berbagai Instansi yang terkait, yang mana sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER/11/MEN/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Nomor PER/13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Perikanan yaitu dalam hal ini terdapat 10 (sepuluh) Instansi yang terkait yang berada dalam satu mata rantai pemberantasanIllegal Fishing yang sangat menentukan proses penegakan hukum kejahatan perikanan yaitu : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepolisian Republik Indonesia, TNI - Angkatan Laut, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan Ham Ditjen Keimigrasian, Kemeterian Perhubungan Ditjen Perhubungan Laut, Kementerian Keuangan Ditjen Bea dan Cukai, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ditjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Mahkamah Agung dan Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.Koordinasi antar berbagai Instansi tersebut sangat menentukan keberhasilan dalam penegakan hukum pidana terhadap

3. Rumusan Sanksi Pidana Rumusan sanksi pidana dalam pasal Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikananyang memiliki sanksi pidana denda yang sangat berat dibandingkan dengan ketentuan pidana yang lain, ternyata belum memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan Illegal Fishing. Ancaman

hukuman penjara yang paling berat 6 (enam) tahun bagi pelaku yang melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki atau membawa SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) dan paling berat 7 (tujuh) tahun bagi yang melakukan pemalsuan dan memakai ijin palsu berupa SIUP, SIPI, SIKPI. Pidana denda yang paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah). Rumusan sanksi dalam Undang – Undang ini tidak mengatur rumusan sanksi paling rendah atau minimum sehingga seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan tidak memberi efek jera kepada pelaku. Demikian juga belum diatur tentang sanksi pidana bagi Korporasi serta sanksi pidana tambahan terutama kepada tindak pidana pembiaran.

Terlepas dari semua itu masyarakat sebagai pihak yang awam terhadap hukum akan selalu mempertanyakan putusan pengadilan dengan adanya praktek – praktek yang unprofesional oleh aparat penegak hukum baik PPNS Perikanan, TNI - Angkatan Laut, Penyidik Polri, Jaksa maupun Hakim namun tentu saja hal tersebut harus mempunyai dasar yang kuat agar Lembaga Penegak Hukum sendiri tidak dirugikan dengan tudingan–tudingan yang tidak berdasar. Sebaliknya jika tudingan tersebut terbukti, maka Terlepas dari semua itu masyarakat sebagai pihak yang awam terhadap hukum akan selalu mempertanyakan putusan pengadilan dengan adanya praktek – praktek yang unprofesional oleh aparat penegak hukum baik PPNS Perikanan, TNI - Angkatan Laut, Penyidik Polri, Jaksa maupun Hakim namun tentu saja hal tersebut harus mempunyai dasar yang kuat agar Lembaga Penegak Hukum sendiri tidak dirugikan dengan tudingan–tudingan yang tidak berdasar. Sebaliknya jika tudingan tersebut terbukti, maka

2.4 Deforestation

Deforestasi adalah kegiatan penebangan hutan atau tegakan pohon (stand of trees) sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan nir- hutan (non-forest use) yakni pertanian, peternakan atau kawasan perkotaan.

Istilah deforestasi sering disalahartikan untuk menggambarkan kegiatan penebangan yang semua pohonnya di suatu daerah ditebang habis. Namun, di daerah beriklim ugahari yang cukup lengas (temperate mesic climate), penebangan semua pohon—sesuai dengan langkah-langkah pelaksanaan kehutanan yang berkelanjutan (sustainable forestry)—tepatnya disebut sebagai 'panen permudaan' (harvest regeneration). Di daerah tersebut, permudaan alami oleh tegakan hutan biasanya tidak akan terjadi tanpa gangguan, baik secara alami maupun akibat manusia. Selain itu, akibat dari panen permudaan seringkali mirip dengan gangguan alami, termasuk hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity) setelah perusakan hutan hujan (rainforest) yang terjadi secara alami.

Deforestasi dapat terjadi karena berbagai alasan: pohon atau arang yang diperoleh dari hutan dapat digunakan atau dijual untuk bahan bakar atau sebagai kayu saja, sedangkan lahannya dapat dialihgunakan sebagai padang rumput untuk ternak, perkebunan untuk barang dagangan (commodity), atau untuk permukiman (settlement). Penebangan pohon tanpa penghutanan kembali (reforestation) yang cukup dapat merusak lingkungan tinggal (habitat), hilangnya keanekaragaman hayati dan kegersangan (aridity). Penebangan juga berdampak buruk terhadap penyitaan hayati (biosequestration) karbon dioksida dari udara. Daerah-daerah yang telah ditebang habis biasanya mengalami pengikisan tanah yang parah dan sering menjadi gurun.

Pengabaian atau ketidaktahuan nilai hakiki (intrinsic value), kurangnya nilai yang terwariskan (ascribed value), kelengahan dalam pengelolaan hutan dan hukum lingkungan yang kurang memadai merupakan beberapa alasan Pengabaian atau ketidaktahuan nilai hakiki (intrinsic value), kurangnya nilai yang terwariskan (ascribed value), kelengahan dalam pengelolaan hutan dan hukum lingkungan yang kurang memadai merupakan beberapa alasan