HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH AUTORITATIF DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA DI DENPASAR.
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH AUTORITATIF
DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA DI DENPASAR
SKRIPSI
Diajukan Kepada program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-Syarat Guna memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
LORENZY OSHEL
1102205028
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
(2)
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH AUTORITATIF DENGAN
RESILIENSI PADA REMAJA DI DENPASAR
OLEH:
LORENZY OSHEL
NIM: 1102205028
Telah disetujui untuk diuji oleh:
Denpasar, November 2015 Pembimbing,
(3)
iii
MOTTO
“And whatsoever ye do, do it heartily as to the Lord, and not unto men”
(Colossians 3:23)
(4)
iv
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini kepada:
Papa dan Mama tercinta
Erwin Ginting dan Suasana Br.Tarigan
serta
(5)
v
LEMBAR PENGESAHAN
Dipertahankan di Depan Panitia Ujian Skripsi Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian dari
Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi.
Pada tanggal :
Mengesahkan Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Dekan,
Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT (K).M. Kes
Tim Penilai : Tanda tangan
1. Tience Debora Valentina, S.Psi., M.A, Psi ______________
Pembimbing
2. Luh Made Karisma Sukmayanti Suarya, S.Psi., M.A ______________
Ketua Penguji
3. Luh Kadek Pande Ary Susilawati, S.Psi., M.Psi ______________
Sekretaris Penguji
4. Putu Nugrahaeni Widiasavitri, S.Psi., M.Psi ______________
(6)
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya Lorenzy Oshel, dengan disaksikan oleh tim penguji skripsi, dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh derajat kesarjanaan disuatu perguruan tinggi dimanapun. Dan sepanjang sepengetahuan saya, tidak terdapat karya atau pendapat karya atau pendapat yang pernah ditulis/diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan ini dicabut.
Denpasar, November 2015 Yang menyatakan,
(7)
vii
Hubungan Pola Asuh Autoritatif dengan Resiliensi Pada Remaja di Denpasar
Lorenzy Oshel
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]
ABSTRAK
Masa remaja tidak terlepas dari berbagai macam permasalahan yang timbul pada tahap perkembangannya. Remaja diharapkan memiliki resiliensi agar dapat beradaptasi dengan lingkungan yang sulit. Pembentukan resiliensi pada diri individu dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pola asuh orangtua. Pola asuh autoritatif dikatakan sebagai pola asuh yang paling efektif digunakan dalam mendidik dan membentuk karakteristik anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja di Denpasar.
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 16-19 tahun yang berjumlah sebanyak 207 orang. Sampel diambil dengan menggunakan teknik two stage cluster random sampling. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan skala pola asuh autoritatif dan skala resiliensi. Hasil analisis product moment menunjukkan angka korelasi sebesar 0.433 dengan taraf signifikansi 0.000 (P<0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja.
(8)
viii
The Relationship between Authoritative Parenting Style and Resilience of Adolescents in Denpasar
Lorenzy Oshel
Department of Psychology, Faculty of Medicine, Udayana University [email protected]
ABSTRACT
Adolescence is inseparable from various problems that may arise at this stage of development. Adolescents are expected to have resilience to cope with difficult environment. Formation of resilience of an individual is influenced by several factors, one of which is the parenting style used by their parents. Authoritative parenting style is said to be the most effective parenting style used in educating and shaping the characteristics of children. The aim of this study is to see whether there is a relationship between the authoritative parenting style and resilience of adolescents in Denpasar.
The subject of this research is 207 adolescents aged 16-19 years. Samples were taken by using two-stage cluster random sampling technique. This study uses a quantitative approach with the data collection technique using authoritative parenting scale and resilience scale. The result of the product-moment correlation analysis shows a correlation of 0.433 with a significance level of 0.000 (P<0.05). It shows that there is a significant and positive relationship between authoritative parenting style and resilience of adolescents.
(9)
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat, anugerah, dan kasih setia-Nya penelitian skripsi yang berjudul “Hubungan Pola asuh Autoritatif dengan Resiliensi pada Remaja di Denpasar” ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya, antara lain kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, SpOT (K). M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
2. Ibu Tience Debora Valentina, S.Psi, M.A, Psi selaku dosen pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan setia membimbing peneliti dalam proses penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Dra. Adijanti Marheni, M.Si., Psi. selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
4. Ibu Ima, Ibu Pande dan Ibu Putu selaku penguji yang telah mendukung dan memberikan sumbangan pikiran berharga dalam revisi untuk membuat skripsi ini menjadi lebih baik lagi.
5. Ibu Komang Rahayu Indrawati, S.Psi., M.Si., Psi. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing, mengarahkan dan selalu bersedia mendengarkan keluhan peneliti dari awal kuliah hingga saat ini.
6. Seluruh Dosen Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah membagikan ilmu dan pengalaman selama menempuh pendidikan 4 tahun terakhir ini kepada peneliti.
7. Kepada keluarga yang tercinta Papa dan Mama yang selalu memberi dukungan baik secara moral dan material.
8. Kepada Tante Vivi, Om Eko, ce Fanny dan juga David yang sudah senantiasa membantu dan memberikan semangat serta dukungan doa. Kepada adik tercinta Yovita dan Phebe yang telah memberikan semangat dan dukungan.
9. Kepala SMA N 5 Denpasar, terimakasih atas kebaikan hatinya yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengumpulkan data melalui anak didiknya. 10.Siswa-siswi SMA N 5 Denpasar yang bersedia meluangkan waktu untuk mengisi
(10)
x
11.Seluruh staf TU (Tata Usaha) Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam segala urusan administrasi dan birokrasi.
12.Kepada sahabat terkasih Wulan, Elisa, Tri Santiari, Kevin dan Kristofel yang senantiasa dengan sabar memberi dukungan dan bantuannya.
13.Kepada teman satu bimbingan Gek intan yang sama-sama berjuang dan memberikan saran-saran, kepada Gung Raka dan Diah Lopita yang mau diajak berdiskusi sehingga skripsi ini lebih dapat disempurnakan.
14.Kepada teman-teman satu angkatan, Zestrivida yang sama-sama berjuang menempuh pendidikan selama 4 tahun ini.
15.Kepada Kakak tercinta, kak Susanna Erika, teman-teman KTB Novia dan Acha, kepada Rossy, Febbi, yulia dan vivi. Kepada adik-adik KTB Ona, Niken dan nike dan kepada Teman-teman CMF lainnya yang selalu memberikan semangat dan dukungan doa.
16.Kepada Febri, Brian, Essy, Fian, Hans, Ikbal, Jeven dan Rio yang senantiasa memberikan semangat dan dukungan.
Juga untuk mereka yang senantiasa mendukung serta membantu tetapi tidak bisa disebutkan satu persatu. Akhir kata penulis mengucapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan member inspirasi kepada pembaca. Demikian yang bisa saya sampaikan. Menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, saran dan kritik membangun sangat diharapkan untuk penyempurnaan skripsi ini.
Denpasar, November 2015 Penulis
(11)
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
MOTTO ... iii
PERSEMBAHAN ... iv
LEMBAR PENGESAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
1. Manfaat Teoritis ... 7
2. Manfaat Praktis ... 7
E. Keaslian Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10
A. Resiliensi ... 10
1. Pengertian Resiliensi ... 10
2. Sumber-sumber Resiliensi ... 11
3. Aspek-aspek Resiliensi ... 14
B. Pola Asuh ... 21
1. Pengertian Pola Asuh Orangtua ... 21
2. Pola Asuh Autoritatif ... 25
3. Pengaruh Pola Asuh Autoritatif terhadap Perkembangan Remaja ... 27
C. Remaja ... 31
(12)
xii
2. Tugas Perkembangan Remaja ... 34
D. Hubungan Antar Variabel ... 36
E. Hipotesis Penelitian ... 38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 39
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 39
1. Variabel Tergantung ... 39
2. Variabel Bebas ... 39
B. Definisi Operasional ... 39
1. Definisi Operasional Pola Asuh Autoritatif ... 40
2. Definisi Operasional Resiliensi ... 40
C. Subjek Penelitian ... 40
D. Metode Pengambilan Sampel ... 41
E. Metode Pengumpulan Data ... 42
F. Validitas dan Reliabilitas ... 47
1. Validitas ... 47
2. Reliabilitas ... 48
G. Metode Analisis Data ... 48
H. Uji Asumsi Data ... 49
1. Uji Normalitas ... 49
2. Uji Linearitas ... 49
I. Uji Hipotesis ... 50
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51
A. Persiapan Penelitian ... 51
1. Uji Coba Alat Ukur Penelitian ... 51
2. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 52
B. Pelaksanaan Penelitian ... 61
C. Analisis Data dan Hasil Penelitian ... 62
1. Karakteristik Subjek ... 62
2. Deskripsi dan Kategorisasi Data Penelitian ... 64
3. Uji Asumsi Penelitian ... 67
4. Uji Hipotesis ... 69
5. Analisis Tambahan ... 71
(13)
xiii
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 80
A. Kesimpulan ... 80
B. Saran ... 81
1. Saran Praktis ... 81
2. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ... 82
DAFTAR PUSTAKA ... 83
(14)
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Tiper Pola Asuh yang Dikemukakan oleh Cross (2009) ... 32 Gambar 2. Skema Hubungan Antara Pola Asuh Autoritatif dengan
(15)
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Sebaran Aitem Skala Pola Asuh Autoritatif ... 43
Tabel 2. Sebaran Aitem Skala Resiliensi ... 46
Tabel 3. Indeks Daya Beda Aitem Reliabilitas Skala Pola Asuh Autoritatif ... 54
Tabel 4. Sebaran Skala Pola Asuh Autoritatif Sebelum Diuji Kesahihan Aitemnya ... 55
Tabel 5. Sebaran Skala Pola Asuh Autoritatif Setelah Diuji Kesahihan Aitemnya ... 56
Tabel 6. Spesifikasi Skala Pola Asuh Autoritatif yang Sudah Diuji Keabsahannya ... 56
Tabel 7. Indeks Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Skala Resiliensi ... 57
Tabel 8. Sebaran Skala Resiliensi Sebelum Diuji Kesahihan Aitemnya ... 59
Tabel 9. Sebaran Skala Resiliensi setelah Diuji Kesahihan Aitemnya ... 60
Tabel 10. Spesifikasi Skala Resiliensi yang Sudah Diuji Keabssahannya ... 61
Tabel 11. Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia ... 62
Tabel 12. Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 63
Tabel 13. Karakteristik Subjek Berdasarkan Status Tempat tinggal ... 63
Tabel 14. Karakteristik Subjek Berdasarkan Status Pekerjaan ... 63
Tabel 15. Karakteristik Subjek Berdasarkan Urutan Kelahiran ... 64
Tabel 16. Deskriptif Statistik Hasil Pengukuran ... 64
Tabel 17. Kategorisasi Skor pada Pola Asuh Autoritatif dan Resiliensi ... 65
Tabel 18. Kategorisasi Pola Asuh Autoritatif ... 66
Tabel 19. Kategorisasi Resiliensi ... 67
Tabel 20. Hasil Uji Normalitas ... 68
Tabel 21. Hasil Uji Linearitas ... 69
Tabel 22. Hasil Uji Korelasi Pearson Product Moment ... 70
Tabel 23. Perbedaan Resiliensi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 71
(16)
xvi
Tabel 25. Perbedaan Resiliensi Berdasarkan Statsu Pekerjaan ... 72 Tabel 26. Perbedaan Resiliensi Berdasarkan Urutan Kelahiran ... 72
(17)
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran I. Skala Penelitian ... 90
Lampiran II. Data Uji Coba Skala Pola Asuh Autoritatif ... 96
Lampiran III. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Pola Asuh Autoritatif ... 104
Lampiran IV. Data Uji Coba Skala Resiliensi ... 106
Lampiran V. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Resiliensi ... 113
Lampiran VI. Data Penelitian ... 115
Lampiran VII. Uji Normalitas Data Penelitian ... 121
Lampiran VIII. Uji Linearitas Data Penelitian ... 122
Lampiran IX. Deskriptif Data Penelitian Pola Asuh Autoritatif ... 123
Lampiran X. Deskriptif Data Penelitian Resiliensi ... 125
Lampiran XI. Hasil Uji Korelasi Product Moment ... 128
Lampiran XII. Hasil Uji Beda Resiliensi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 129
Lampiran XIII. Hasil Uji Beda Resiliensi Berdasarkan Status Tempat Tinggal ... 130
Lampiran XIV. Hasil Uji Beda Resiliensi Berdasarkan Urutan Kelahiran ... 131
Lampiran XV. Hasil Uji Beda Resiliensi Berdasarkan Status Pekerjaan ... 132
Lampiran XVI. Surat Keterangan Penelitian ... 133
(18)
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Manusia merupakan makhluk yang mengalami perubahan dalam setiap tahap kehidupannya, baik itu perubahan fisik maupun perubahan psikologis. Perubahan tersebut tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan yang dialami oleh setiap individu. Periode perkembangan manusia memiliki klasifikasi yang cukup panjang yang dimulai dari tahap prenatal sampai pada dewasa akhir.
Perjalanan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan ditandai dengan peristiwa panjang yang disebut dengan masa remaja (Papalia, 2009). Santrock (2007) mendefinisikan remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan dewasa yang melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosio emosional. Masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas, proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual atau fertilitas (Papalia, 2009).
Hall (dalam Santrock, 2007) mengatakan masa remaja yang usianya berkisar antara 12 hingga 23 tahun diwarnai oleh pergolakan. Strom and stress adalah konsep dari Hall yang menyatakan bahwa remaja merupakan masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan perubahan suasana hati. Menurut Hall, berbagai pikiran, perasaan dan tindakan remaja berubah-ubah antara kesombongan dan kerendahan hati, niat yang baik dan godaan, kebahagiaan dan kesedihan.
Erikson (dalam Santrock, 2007) menyebutkan masa remaja merupakan tahapan dimana seorang mengalami identity versus identity confussion. Dalam mengeksplorasi dan mencari identitasnya, remaja sering kali bereksperimen dengan berbagai peran. Contohnya saat remaja
(19)
2
menyukai seorang kawan namun diminggu berikutnya mereka membenci kawan tersebut. Hal inilah yang biasanya dilakukan oleh remaja untuk menemukan identitasnya.
Pemaparan diatas telah menjelaskan mengenai gambaran tahap perkembangan yang dialami remaja. Terlepas dari itu, pada tahap ini remaja juga dihadapkan pada tugas perkembangannya. Setiap tahapan perkembangan manusia terdapat tugas-tugas tertentu yang berasal dari harapan masyarakat yang harus dipenuhi oleh individu yang disebut sebagai tugas perkembangan. Tugas perkembangan remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa (Hurlock, 1980).
Sama halnya dengan tugas perkembangan, masalah yang muncul dalam setiap tahap perkembanganpun berbeda-beda. Sejumlah masalah mungkin memiliki kecenderungan lebih besar untuk timbul pada suatu tingkat perkembangan tertentu dibandingkan tingkat perkembangan lainnya. Sebagai contoh rasa takut banyak dialami oleh anak-anak dan masalah penyalahgunaan narkoba lebih banyak dialami di masa remaja (Achenbach & Edelbrock dalam Santrock, 2007).
Salah satu media massa menyebutkan, sebesar 22% pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar. Jumlah tersebut menempati posisi kedua terbanyak setelah pekerja, yang menggunakan narkoba (Sindonews, 2013). Pengguna narkoba yang berusia 12-21 tahun ditafsir sekitar 14.000 orang dari jumlah seluruh remaja di Indonesia. Jumlah pengguna narkotika, psikotropika dan zat adiktif dikalangan remaja, meningkat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya (Kompas, 2013).
Untuk daerah Denpasar sendiri, kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan kota Denpasar masih dihadapkan pada permasalahan narkoba yang semakin memprihatinkan (Balipost, 2014). Kepala badan Keluarga Berencana (KB) dan Pemberdayaan Perempuan (PP)
(20)
3
kota Denpasar juga menambahkan bahwa kasus kenakalan remaja di Denpasar yang terjadi selama tahun 2013 meningkat dari tahun-tahun sebelumnya (diperoleh dari denpasarkota.go.id). Penyalahgunaan narkoba dan benda terlarang lainnya telah mencapai 490 kasus selama periode Januari-Agustus 2014 dan kasus tertinggi adalah kasus di daerah Denpasar (Balipost, 2014).
Hal ini tentunya menjadi suatu permasalahan yang serius bagi para orangtua dalam medidik anaknya. Orangtua memiliki peranan yang sangat penting agar anak tidak terjerumus dalam obat-obatan terlarang (BNN, 2013). Remaja seringkali menggunakan narkoba sebagai bentuk pelarian terhadap masalah mereka (Sarwono, 2012).
Selain menggunakan narkoba sebagai media pelariannya, ada juga remaja yang merespon masalah mereka dengan memberontak atau bahkan menarik diri. Sarwono (2012) mengatakan pemberontakan yang dilakukan remaja ini biasanya terjadi sebagai reaksi ketidakpuasan remaja terhadap lingkungan sosialnya. Misalnya, ketidakpuasan itu muncul karena orangtua yang terlalu menuntut dan kurang mengerti, dapat pula terjadi karena ketidakpedulian teman sebaya. Permasalahan lain yang juga sering terjadi pada remaja adalah permasalahan di sekolah. Menurut Sarwono (2012) permasalahan di sekolah ini disebabkan karena tuntutan orangtua dan guru terhadap anak agar anak berprestasi tinggi terlepas dari bagaimana kemampuan yang dimiliki anak. Akibatnya anak tersebut takut mengecewakan orangtua namun tidak mampu juga untuk memenuhi tuntutan tersebut, sehingga anak memilih untuk bersifat agresif atau menarik diri. Perilaku agresif atau menarik diri, sejalan dengan pendapat Papalia (2009) yang menyebutkan bahwa masa remaja dikenal sebagai masa pemberontakan yang melibatkan gejolak emosional, konflik dalam keluarga, keterasingan dari masyarakat dewasa, perilaku gegabah dan penolakan nilai-nilai orang dewasa.
(21)
4
Tidak hanya berbagai respon diatas, respon lainnya juga ditunjukkan oleh remaja ketika dihadapkan pada suatu permasalahan, yakni melalui perilaku bunuh diri. Akhir-akhir ini berita tentang kasus bunuh diri banyak terjadi pada kalangan remaja. Bunuh diri diketahui menduduki peringkat ketiga sebagai penyebab utama kematian pada remaja (National Centre for Health Statistic, 2015). Di Indonesia, pada bulan Februari tahun 2015 silam, terdapat kasus bunuh diri yang dilakukan oleh mahasiswa di salah satu universitas di Bali (Balipost, 2015). Tindakan bunuh diri ini erat kaitannya dengan masalah depresi yang dialami remaja. Santrock (2007) menjelaskan kendali yang tinggi dan tekanan untuk berprestasi yang dilakukan oleh orangtua berkaitan dengan depresi pada remaja yang kemudian menjadikan hal tersebut sebagai faktor yang berperan dalam upaya bunuh diri. Selain itu, depresi dapat juga berawal dari penolakan lingkungan dan relasi yang buruk dengan lingkungan sosial.
Menurut Hurlock (1980) masalah yang timbul pada tahap perkembangan remaja merupakan masalah yang sulit diatasi baik oleh remaja laki-laki maupun remaja perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu. Pertama, sepanjang masa kkanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orangtua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orangtua dan guru-guru.
Sarwono (2012) mengatakan apabila seorang remaja tidak berhasil mengatasi situasi-situasi kritis dan masalah-masalah yang timbul dalam tahap perkembangan ini, maka besar kemungkinan remaja akan terperangkap masuk ke dalam kasus-kasus penyalahgunaan obat, penyalahgunaan seks, depresi, bunuh diri dan kenakalan remaja yang lain. Maka dari itu, untuk menghindari hal tersebut remaja perlu memiliki resiliensi untuk membuat remaja mampu menghadapi konflik dan mampu beradaptasi dalam situasi yang tidak menyenangkan
(22)
5
sehingga remaja dapat kembali bangkit dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya agar siap dengan tugas perkembangan selanjutnya.
Resiliensi merupakan pola adaptasi yang positif dalam menghadapi kesulitan yang signifikan (Masten & Reed, 2002). Ginsburg & Jablow (2006) menjelaskan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dari keadaan sulit, suatu sifat yang memungkinkan individu untuk eksis di dunia ketika individu hendak bergerak maju dengan optimis dan keyakinan bahkan di tengah kesulitan. Kendall (1999) menjelaskan resiliensi sebagai kemampuan individu untuk beradaptasi dan menempatkan diri dengan baik terhadap pengalaman yang tidak menyenangkan atau dalam situasi permasalahan yang berat.
Mastern & Reed (2002) menyebutkan ada dua hal yang menentukan seseorang dapat dikatakan resilien. Pertama, individu melakukan semuanya dengan baik atau lebih dari baik. Kedua, individu tersebut telah berada dalam keadaan yang menimbulkan ancaman namun tetap memiliki hasil yang baik.
Mastern (dalam Santrock, 2007) melakukan penelitian terkait resiliensi dan menyimpulkan bahwa sejumlah faktor individu seperti fungsi intelektual yang baik, faktor keluarga seperti relasi yang karib dengan figur orang tua, pola asuh yang hangat, dan faktor-faktor diluar keluarga seperti ikatan dengan orang dewasa di luar keluarga yang memiliki sifat prososial, dimiliki oleh remaja yang memiliki resiliensi.
Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Mastern, bahwa pola asuh merupakan salah satu faktor yang dapat membentuk resiliensi pada remaja. Pola asuh autoritatif merupakan salah satu dari tiga tipe pola asuh yang di kemukakan oleh Baumrin (1991). Orangtua dengan pola asuh autoritatif mendorong remaja agar mandiri namun masih membatasi dan mengendalikan aksi-aksi mereka. Orangtua memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk berdialog secara verbal. Orangtua juga bersikap hangat dan mengasuh (Santrock, 2007).
(23)
6
Orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif bersikap mendorong anak agar terbiasa dengan pendapat orang lain dan berani untuk menyampaikan pendapat personalnya. Orangtua juga berusaha untuk mendengarkan pandangan anak terhadap suatu hal dan melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan (Baumrind, 2005).
Baumrind (2005) menyebutkan dari ketiga tipe pola asuh, pola asuh autoritatif merupakan pola asuh yang paling efektif yang dapat diterapkan oleh orangtua dalam mendidik anak. Steinberg & Silk (2002) menjelasan pola asuh jenis autoritatif dianggap sebagai tipe pola asuh yang paling efektif dengan beberapa alasan. Pertama, orangtua autoritatif mencapai keseimbangan yang baik antara pengendalian dan autonomi sehingga memberikan remaja peluang untuk mengembangkan kemandirian sambil memberikan standar, batasan, dan bimbingan yang diperlukan oleh anak-anak. Kedua, orangtua autoritatif cenderung lebih banyak melibatkan anak dalam dialog verbal dan membiarkan mereka mengekspresikan pandangan-pandanganya. Ketiga, kehangatan dan keterlibatan yang diberikan oleh orangtua yang autoritatif membuat anak lebih bersedia menerima pendidikan orang tua.
Penelitian Rossman & Rea (2005) menunjukkan hasil bahwa pola asuh autoritatif memiliki korelasi yang positif dengan kemampuan beradaptasi pada anak. Slicker (1998) juga menyatakan hal yang sama dalam penelitian yang dilakukannya. Slicker menyebutkan terdapat perbedaan kemampuan penyesuaian diri pada anak berdasarkan tipe pola asuh yang digunakan oleh orang tuanya. Anak yang merasakan orang tuanya menerapkan pola asuh autoritatif menunjukkan penyesuaian diri yang baik.
Kemampuan beradaptasi dan penyesuaian diri yang baik memiliki keterkaitan dengan karakteristik resiliensi. Individu dikatakan sebagai individu yang resilien apabila mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan yang tidak menyenangkan. Hal tersebut yang kemudian membuat peneliti mengasumsikan bahwa pola asuh autoritatif juga memiliki hubungan dengan
(24)
7
resiliensi. Maka dari itu penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja di Denpasar.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja di Denpasar ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja di Denpasar.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kajian pemikiran dalam ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Positif terkait dengan resiliensi pada remaja di Denpasar serta Psikologi Perkembangan mengenai hubungan antara pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja di Denpasar.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi orangtua, hasil penelitian ini dapat membantu orangtua dalam memilih pola asuh yang tepat serta mampu untuk menerapkan perilaku dan tindakan dalam memberikan pendidikan karakter pada anak.
b. Bagi remaja, penelitian ini diharapkan dapat membantu remaja dalam merespon dan beradaptasi terhadap setiap peristiwa tidak menyenangkan yang terjadi.
(25)
8
E. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian yang serupa telah dilakukan sebelumnya, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Wulansari (2013) yang meneliti mengenai hubungan pola asuh demokratis orangtua dan lingkungan sekolah dengan kecerdasan emosional anak siswa SD kelas V Keceme I, Sleman. Penelitian ini mengambil sampel siswa-siswa kelas V SD dengan teknik sampling adalah sampel total. Sampel diambil dengan jumlah 46 orang siswa. Data hasil penelitian diuji dengan menggunakan teknik regresi berganda dan korelasi parsial. Terdapat beberapa perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilaksanakan ini, perbedaan tersebut diantaranya terdapat pada jenis dan jumlah variabelnya. Pada penelitian ini hanya terdapat dua variabel, yaitu variabel pola asuh autoritaif dengan variabel resiliensi. Selain itu, perbedaan juga dapat dilihat dari karakteristik subjek penelitian. Pada penelitian ini subjek penelitiannya adala remaja siswa-siswi SMA. Perbedaan juga dapat dilihat dari segi teknik pengambilan sampel serta analisis data yang digunakan. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel two stages cluster random sampling dengan teknik analisis data menggunakan uji person product moment.
Penelitian lain yang juga memiliki kemiripan dengan penlitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Asiyah (2013) yang meneliti tentang pola asuh demokratis, kepercayaan diri dan kemandirian mahasiswa baru. Penelitian ini mengambil sampel mahasiswa baru fakultas dakwah IAIN Sunan Ampel dengan jumlah sampel sebanyak 131 orang mahasiswa. Sampel diambil dengan menggunakan teknik proportional random sampling dan dianalisis dengan menggunakan uji regresi berganda dan korelasi parsial. Perbedaan yang dapat dilihat dengan penelitian ini adalah variabel penelitian, yakni variabel pola asuh autoritatif dengan resiliensi. Sampel penelitian merupakan remaja siswa-siswi SMA yang diambil dengan
(26)
9
menggunakan teknik two stages cluster random sampling. Uji analisis yang digunakan adalah pearson product moment.
Sagone & Elvira (2013) juga melakukan penelitian yang serupa dengan judul “Relationship between Besilience, Self Efficacy and Thinking Styles in Italian Middle Adolescent”. Penelitian ini memiliki tiga variabel yaitu variabel resiliensi, efikasi diri dan gaya berfikir. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja pertengahan yang berusia 13 sampai 15 tahun dengan jumlah 130 orang, 70 orang laki-laki dan 60 orang perempuan. Sampel diambil dengan menggunakan teknik simple random sampling dan uji analisis dengan menggunakan uji pearson linear correlation dan uji t-test. Perbedaan yang dapat dilihat dengan penelitian yang akan dilakukan kali ini adalah variabel penelitian, yaitu variabel resiliensi dengan pola asuh autoritatif. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel yang berbeda, yaitu two stages cluster random sampling. Teknik analisis yang digunakan juga berbeda, pada penelitian ini uji analisis dilakukan dengan menggunakan uji pearson product moment.
Penelitian lain dilakukan oleh Zakeri, Jowkar & Razmjee (2010) mengenai “Parenting Styles and resiliency”. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan pola asuh dengan resiliensi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitaif dengan menggunakan analisis t-test. Responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang berjumlah 350 orang (235 perempuan dan 115 laki-laki) yang diseleksi dengan menggunakan metode acak, multi-stages. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara penerimaan dan keterlibatan tipe pola asuh dengan resiliensi. Sikap yang hangat, mendukung dan pola asuh yang berpusat pada anak berhubungan dengan perkembangan resiliensi pada anak. Orangtua membantu anak untuk menjadi kebal dalam kondisi stres dengan menciptakan hubungan yang dekat dan positif dengan anak. Penelitian ini juga menyebutkan pola asuh autoritatif dianggap
(27)
10
sebagai faktor pelindung yang dapat meningkatkan kemampuan untuk mengatasi peristiwa kehidupan negatif dan krisis.
Khalid dan Aslam (2012) juga melakukan penelitian yang serupa dengan judul “Relationship of Perceived Parenting with psychological Distress & Resiliency among adolescent”. Responden dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 15-18 tahun dengan jumlah 200 orang, 100 orang laki-laki dan 100 orang perempuan. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Penelitian ini menunjukan hasil, pola asuh autoritatif memiliki hubungan yang positif dengan resiliensi dan hubungan yang negatif dengan kesulitan psikologis. Pola asuh authoritarian dan permisif memiliki hubungan yang negatif dengan resiliensi dan hubungan yang positif dengan kesulitan psikologis.
Penelitian serupa lainnya juga dilakukan oleh Ritter (2005) dengan judul “Parenting style: their impact on the development of adolescent resiliency”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola asuh – autoritatif, authoritarian atau permisif – yang memiliki hubungan terhadap resiliensi. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang berumur 16-18 tahun yang diambil dengan menggunakan teknik random sampling. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa remaja dengan level resiliensi tinggi memiliki keterkaitan dengan pola asuh autortatif. Sedangkan pola asuh authoritarian dan permisif menghasilkan resiliensi dengan level rendah. Ritter (2005) berfokus untuk melihat tipe pola asuh yang mana yang dapat meningkatkan resiliensi pada remaja dan tipe pola asuh mana yang dapat menghambat.
Penelitian yang dilakukan oleh Zakeri, Jowkar & Razmjee (2010), Khalid dan Aslam (2012) dan Ritter (2005) memiliki kemiripan dengan penelitian yang akan dilakukan kali ini. Kemiripan dapat dilihat dari segi variabel dan responden dalam penelitian. Pada penelitian sebelumnya pola asuh yang digunakan adalah pola asuh autoritatif, authoritarian dan permisif, kemudian dilihat pola asuh mana yang memiliki hubungan paling signifikan terhadap
(28)
11
resiliensi. Sementara pada penelitian ini hanya menggunakan satu tipe pola asuh saja, yaitu pola asuh autoritatif yang kemudian ingin dilihat hubungannya dengan resiliensi. Selain itu, perbedaan juga dapat dilihat dari segi demografis, yaitu perbedaan letak geografis tempat dilakukan penelitian serta budaya yang melatarbelakangi subjek penelitian, bahwa penelitian ini dilakukan di Indonesia sementara penelitian yang didapat diatas dilakukan diluar Indonesia.
(29)
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Resiliensi
1. Pengertian Resiliensi
Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan yang dimiliki individu untuk menghadapi, mengatasi dan menjadi pribadi yang lebih kuat atas kesulitan yang dihadapinya. Masten & Reed (2002) mengatakan resiliensi secara umum mengacu kepada fenomena yang ditandai dengan adanya adaptasi positif yang menunjukkan hasil yang baik meskipun dalam keadaan yang sulit atau beresiko.
Kaplan (1996) menyebutkan resiliensi sebagai keberadaan faktor pelindung, yaitu diri sendiri, lingkungan sosial dan keluarga yang mampu membuat individu melawan kondisi stres. Resiliensi mengacu pada proses, kapasitas, atau hasil adaptasi yang sukses meskipun berada dalam keadaan yang menantang atau mengancam. Brook & Goldstein (2000) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan individu dalam mengatasi masalah dan tekanan secara lebih efektif, kemampuan untuk bangkit dari masalah, kekecewaan, dan trauma; serta untuk dapat mengembangkan tujuan yang lebih realistik.
Masten, Best & Garmezy (1990) menyebutkan tiga fenomena dari resiliensi yaitu: (a) hasil baik bagi anak yang berisiko, (b) mempertahankan kompetensi dalam keadaan yang mengancam, (c) sembuh dari trauma.
a. Konsep dari resiliensi yang berkembang dalam berbagai penelitian adalah keberhasilan individu dalam beradaptasi dengan lingkungan yang sulit. Faktor berisiko sangat erat kaitannya dengan hasil yang buruk. Faktor risiko yang dimaksud seperti kemiskinan,
(30)
13
pendidikan orangtua yang rendah, status sosial ekonomi yang rendah, memiliki seorang ibu yang skizofrenia, ketidakstabilan keluarga, perilaku bermasalah, pendapatan yang rendah dan masih banyak hal lainnya.
b. Resiliensi dalam konsep fenomena ini mengimplikasikan coping yang efektif, yang berarti usaha untuk mengembalikan atau mempertahankan keseimbangan internal atau eksternal dengan cara melakukan aktivitas termasuk berfikir dan bertindak.
c. Ketika suatu kesulitan datang dengan porsi yang sangat berat dan waktu yang berkepanjangan, resiliensi mengarah kepada fenomena dari recovery atau pemulihan, bukan kepada daya tahan/kekebalan. Trauma akut secara dramatikal didefinisikan dengan ilustrasi pemulihan dalam resiliensi. Anak-anak yang terkena bencana, anak-anak yang diperlakukan tidak wajar (abuse), anak yang kehilangan kedua orangtuanya menunjukkan kebutuhan akan pemulihan.
Reivich & Shatte (2002) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan yang dimiliki individu dalam merespon keadaan yang sulit secara sehat dan mampu untuk tetap produktif walaupun dihadapkan pada situasi yang tidak nyaman yang dapat memicu terjadinya stres.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka resiliensi dapat didefinisikan sebagai kemampuan yang dimiliki individu untuk dapat beradaptasi dalam lingkungan yang tidak menyenangkan, mampu untuk melawan dan mengatasi kesulitan serta dapat bangkit kembali dari keterpurukan.
2. Sumber-sumber Resilliensi
Seperti yang telah dipaparkan, resiliensi terkait dengan bagaimana individu dalam mengatasi kesulitan dan kondisi tidak menyenangkan yang terjadi didalam kehidupannya. Upaya dalam menghadapi kondisi-kondisi tersebut sangat bergantung kepada tiga hal yang
(31)
14
menurut Grothberg (1995) merupakan sumber-sumber yang dapat membentuk karakteristik resiliensi dalam diri individu. Sumber-sumber tersebut meliputi I have, I am dan I can (Grothberg, 1995).
a. I Have.
I have bersumber dari bagaimana individu dalam memaknai besarnya dukungan dan sumber daya yang diberikan oleh lingkungan sosial diluar dirinya. I have dapat diperoleh melalui hubungan yang baik dengan keluarga dan orang lain diluar keluarga serta lingkungan sekolah yang menyenangkan. I have juga dapat diperoleh melalui hubungan dengan kepercayaan yang penuh, perilaku meniru (modeling), dorongan agar menjadi mandiri dan adanya fasilitas hidup seperti layanan kesehatan (Grothberg, 1995).
Seswita (2013) melakukan penelitian terhadap mahasiswa perantau yang kuliah di pulau Jawa. Hasil penelitian ini menyebutkan mahasiswa perantau yang memiliki dukungan sosial yang tinggi cenderung memiliki tingkat resiliensi yang tinggi dan sebaliknya.
b. I Am.
I am merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu, yang berkaitan dengan kekuatan yang dimiliki oleh individu. Kekuatan pribadi tersebut terdiri dari perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi faktor I am dalam resiliensi, diantaranya perasaan disayang dan disukai oleh banyak orang, mencintai, empati, altruistik (sikap perduli terhadap orang lain), locus of control, kebanggan pada diri sendiri, percaya diri, optimis serta bertanggung jawab (Grothberg, 1995).
Beberapa penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara locus of control dengan resiliensi. Salah satunya dilakukan oleh Maharani (2007) yang meneliti tentang hubungan antara kecenderungan internal locus of control dengan resiliensi pada remaja tunarungu di Yogyakarta. Hasil dari penelitian ini menunjukkan semakin tinggi
(32)
15
skor internal locus of control, maka semakin tinggi juga resiliensi yang dimiliki oleh remaja tersebut.
c. I Can.
I can berkaitan dengan kemampuan individu dalam melakukan berbagai hal. I can berhubungan dengan keterampilan sosial dan interpersonal. Keterampilan sosial tersebut meliputi cara berkomunikasi, cara individu dalam menyelesaikan masalah, kemampuan individu dalam mengenali perasaannya, emosi diri dan juga emosi orang lain serta bagaimana individu dalam mecari hubungan yang dapat dipercaya (Grothberg, 1995).
Nuryana & Ristinawati (2008) melakukan penelitian terkait pengaruh pelatihan resiliensi terhadap perilaku asertif pada remaja. Penelitian ini menyebutkan individu yang memiliki perilaku asertif dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki efikasi diri, karena individu yang memiliki kepercayaan diri akan selalu berfikir positif pada dirinya dan orang lain. Townend (1991) mengatakan bahwa sikap asertif yang dimiliki remaja akan menjadikan remaja tersebut menjadi seorang yang tegar, jujur, terbuka, kritis dan mampu menghormati orang. Resiliensi juga memiliki keterkaitan dengan tingkat kecerdasan emosional. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyowati, Hartati & Sawitri (2010) terhadap penghuni panti rehabilitasi, menyebutkan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosional yang baik merupakan individu yang resilien.
Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari I have, I am dan I can. Untuk menjadi seorang individu yang memiliki resiliensi, tidak cukup hanya memiliki satu karakteristik saja, melainkan harus juga ditopang oleh karakteristik lainnya (Desmita, 2009). Dengan demikian kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan pemaparan mengenai sumber-sumber resiliensi adalah bahwa resiliensi memiliki 3 sumber yaitu bersumber dari luar diri individu (I have), dari dalam diri individu (I am) dan kemampuan yang dimiliki oleh individu (I can).
(33)
16
3. Aspek-aspek Resiliensi
Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan tujuh karakteristik yang dimiliki oleh individu yang resilien. Ketujuh aspek tersebut diantaranya:
a. Regulasi Emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang dalam keadaan yang tidak menyenangkan. Individu yang memiliki kesulitan dalam meregulasi emosinya sering menyusahkan orang lain dan mengalami kesulitan dalam melakukan pekerjaan bersama-sama (Reivich & Shatee, 2002).
Regulasi emosi berfokus kepada bagaimana individu dalam mengatur pengalaman emosionalnya untuk tujuan pribadi dan sosial. Secara lebih spesifik, regulasi emosi terdiri dari proses internal dan eksternal yang bertanggung jawab untuk memantau, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosional (khususnya intensitas dan ketepatan waktunya) untuk mencapai suatu tujuan (Thompson, Mayer & Jochem, 2009).
Hal penting yang tidak terlepas dari regulasi emosi adalah ketenangan (calming) dan fokus (focus), sehingga individu yang mampu mengelola kedua hal tersebut dapat memanfaatkan kemampuannya untuk meredakan emosi yang ada (Reivich & Shatte, 2002). Seorang individu yang mampu untuk mengekspresikan emosinya dengan tepat merupakan ciri dari individu yang resilien menurut Reivich & Shatee (2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Widuri (2012) menyebutkan individu yang memiliki regulasi emosi yang rendah sulit untuk membangun dan mempertahankan hubungan pertemanan. Individu yang mampu meregulasi emosinya dengan baik merupakan individu yang memiliki resilien yang tinggi. Nisfianoor & Kartika (2004) yang juga melakukan penelitian terkait regulasi emosi pada remaja menyebutkan remaja yang memiliki regulasi emosi yang baik akan memiliki penerimaan kelompok teman sebaya yang baik. Sebaliknya,
(34)
17
semakin buruk regulasi emosi yang dimiliki remaja maka akan semakin buruk pula penerimaan kelompok teman sebayanya.
b. Impulse Control
Impulse control merupakan kemampuan individu untuk menahan atau mengendalikan keinginan, ego, dorongan yang bersumber dari dalam dirinya. Impulse control memiliki hubungan yang erat dengan regulasi emosi. Individu dengan kemampuan impulse control yang rendah cenderung cepat dalam mengalami perubahan emosi sehingga individu sangat mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan terkadang berperilaku agresif terhadap hal-hal yang kecil. Perilaku ini menyebabkan orang-orang disekitarnya merasa tidak nyaman dan memicu timbulnya permasalahan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002).
c. Optimism
Individu yang resilien merupakan individu yang optimis. Mereka percaya bahwa segala sesuatunya akan menjadi baik. Mereka memiliki harapan dimasa mendatang dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol tujuan hidupnya. Jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, jarang mengalami depresi, prestasi yang baik disekolah dan lebih produktif (Reivich & Shatte, 2002).
Hefferon & Boniwell (2011) menyebutkan dua komponen penting terkait dengan optimism, kedua elemen tersebut adalah dispositional optimism dan explanatory system. Dispotional optimism didefinisikan sebagai ciri-ciri kepribadian yang dikaitkan dengan hasil yang diharapkan. Sifat optimis ini ditandai dengan ekspektasi yang tinggi mengenai hasil yang positif sedangkan sifat pesimis ditandai dengan mengantisipasi masa depan dengan hasil yang negatif. Komponen yang kedua adalah explanatory style. Komponen ini menunjuk pada bagaimana penyebab dari suatu peristiwa, baik itu peristiwa positif maupun negatif dan dampaknya dalam melihat harapan dimasa yang akan datang.
(35)
18
Optimisme memiliki arti yang terkait dengan kemampuan individu melihat masa depannya dengan cerah. Optimisme berarti individu memiliki kemampuan menangani kemalangan yang pasti akan datang. Rasa optimis juga berkaitan dengan efikasi diri yang dimiliki individu. Optimisme merupakan suatu keuntungan jika dikaitkan dengan efikasi diri karena optimisme memotivasi individu untuk mencari solusi dan terus bekerja keras dalam meningkatkan kehidupan (Reivich & Shatte, 2002).
d. Analisis kausal
Analisis kausal adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk secara akurat mengidentifikasi penyebab dari masalahnya. Jika individu tidak mampu menjelaskan penyebab permasalahannya secara akurat, maka individu tersebut cenderung akan melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang (Reivich & Shatte, 2002).
Abramson & Seligman (1978) menjelaskan tiga cara berfikir yang berkaitan erat dengan analisis kausal yang dinamakan explanatory style, yaitu cara individu dalam menjelaskan sesuatu hal yang baik ataupun yang buruk yang terjadi pada dirinya. Explanatory style ini dapat dikodekan dalam tiga dimensi, yaitu personal (me-not me), permanent (always-not always), pervasive (everything-not everything).
Individu dengan pola pikir “me, always, everything” secara langsung berfikir bahwa dialah yang menjadi penyebab dari masalah yang terjadi (me), hal tersebut bersifat abadi dan tidak dapat diubah (always), dan hal tersebut merusak semua aspek kehidupannya (everything). Ketika masalah muncul Individu yang “not me, not always, not everything”, percaya bahwa orang lain atau lingkungan juga bisa menyebabkan munculnya sebuah masalah (not me), masalah itu bersifat sementara dan bisa berubah (not always), dan masalah tersebut tidak berdampak besar pada aspek kehidupannya (not everything).
(36)
19
e. Empati
Empati berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki individu dalam melihat atau membaca isyarat/tanda dari kondisi psikologis dan emosional orang lain. Individu yang tidak mengembangkan kemampuan untuk peka terhadap bahasa nonverbal, tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002).
Empati merupakan suatu emosi yang secara spesifik tumbuh dalam konteks pengalaman emosional yang dimiliki seseorang dan menggambarkan hubungan terhadap pengalaman yang dimiliki orang lain. Empati merupakan respon emosional personal terhadap keadaan emsoional orang lain (Robinson, 2009). Ekspresi dari empati dapat dilihat melalui emosi-emosi dasar seperti kesedihan, empati juga dapat dilihat dari perilaku yang mengekspresikan kepedulian terhadap orang lain dan perilaku sosial lainnya (Robinson, 2009).
f. Efikasi Diri
Efikasi diri merepresentasikan kepercayaan individu dalam memecahkan masalah yang dialami serta memiliki keyakinan akan hidup yang sukses. Efikasi diri cukup memberikan dampak dalam situasi yang sebenarnya terjadi di lapangan. Contohnya dalam dunia pekerjaan, individu yang memiliki keyakinan akan kemampuannya untuk dapat memecahkan masalah akan terlihat seperti seorang pemimpin, tetapi mereka yang tidak memiliki kepercayaan terhadap kemampuan diri akan menemukan dirinya mangalami kekalahan dalam kelompok (Reivich & Shatte, 2002).
(37)
20
Bandura (dalam Feist & Feist, 2009) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan. Efikasi diri merujuk pada keyakinan diri seseorang bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan suatu perilaku , sementara ekspektasi atas hasil merujuk pada prediksi dari kemungkinan mengenai konsekuensi perilaku tersebut (Feist & Feist, 2009).
Roberts (2007) melakukan penelitian terkait dengan self efficacy, self concept dan kompetensi sosial sebagai sumber dari resiliensi dan psychological well-being pada dewasa muda. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tingginya self efficacy yang individu miliki akan berpengaruh terhadap kemampuan individu tersebut dalam menghadapi dan beradaptasi dengan tantangan dan tekanan hidup. Hal serupa juga dikemukakan oleh Manara (2008) yang juga membuktikan bahwa tingginya efikasi diri yang dimiliki individu mengindikasikan individu tersebut sebagai individu yang resilien.
g. Reaching Out
Resiliensi tidak hanya berbicara mengenai bagaimana individu dalam mengatasi masalah yang terjadi dan bangkit dari keterpurukan, resiliensi juga berbicara tentang kemampuan individu dalam menggapai aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002).
Tidak semua individu mampu untuk melakukan reaching out, hal ini dikarenakan banyak individu yang memang dari kecil sudah diajarkan untuk sedapat mungkin menghindar dari kegagalan dan situasi yang memalukan. Individu yang seperti ini adalah individu yang memilih untuk memiliki hidup yang standar dibandingkan dengan meraih kesuksesan dengan menghadapi kegagalan dan situasi yang tidak menyenangkan. Individu yang seperti ini juga
(38)
21
memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalisasikan segala kemampuan yang ada dalam dirinya (Reivich & Shatee, 2002).
Bernad (2009) memberi kajian lebih lanjut dengan menggolongkan empat sifat umum yang dimiliki individu yang resilien. Keempat sifat tersebut meliputi :
1. Kompetensi Sosial. Kemampuan yang dimiliki individu untuk memunculkan respon yang positif dari orang lain, dalam artian individu mampu untuk menjalin hubungan yang positif dengan orang dewasa dan teman sebaya.
2. Keterampilan Memecahkan Masalah. Perencanaan yang memudahkan untuk mengendalikan diri sendiri sendiri dan memanfaatkan akal sehatnya untuk mencari bantuan dari orang lain.
3. Otonomi. Suatu kesadaran tentang identitas diri sendiri dan kemampuan bertindak secara independen serta melakukan pengontrolan terhadap lingkungan.
4. Kesadaran akan tujuan dan masa depan. Kesadaran akan tujuan-tujuan, aspirasi pendidikan, ketekunan, pengharapan dan kesadaran akan suatu masa depan yang cemerlang.
Sybil & Wollin (2000) melakukan penelitian terhadap remaja. Penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai remaja yang mampu bertahan dalam kondisi yang sulit disaat remaja lainnya menyerah. Berdasarkan hasil penelitian inilah kemudian Sybil dan Wollin menggelompokkan tujuh karakteristik individu yang resilien. Ketujuh karakteristik tersebut meliputi:
1. Insight. Individu yang resilien menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit, untuk memperoleh kejelasan akan suatu hal dan juga untuk menjawab kebingungan.
2. Independence. Individu mampu memisahkan dirinya secara fisik dan emosional dari kesulitan dengan tujuan keselamatan dan membuka kesempatan yang baru.
(39)
22
3. Good relationship. Individu mampu membentuk ikatan emosi yang sehat dalam
berinteraksi dengan orang lain.
4. Initiative. Individu mengambil alih sebuah masalah untuk menciptakan efikasi diri.
5. Creativity. Individu dapat mentransfer rasa tidak menyenangkan atau emosi negatif menjadi kreatifitas yang dapat memberikan keuntungan bagi orang lain.
6. Humor. Individu dapat mempertahankan sifat humoris dan mampu untuk tertawa walau dalam keadaan yang sulit.
7. Good moral standard. Individu memungkinkan untuk bersikap sesuai dengan hati nurani. Seperti yang telah dipaparkan, setiap tokoh mengemukakan karakter yang berbeda mengenai individu yang resilien. Hal ini dikarenakan resiliensi lebih dianggap sebagai suatu kemampuan yang diperoleh dari proses, dibandingkan dengan suatu sifat yang dimiliki individu (Desmita, 2009). Oleh karena itu, resiliensi diartikan sebagai kapasitas yang diperoleh individu melalui proses belajar dan pengalaman dari lingkungan. Pengalaman dari pada lingkungan setiap individu berdampak pada pembentukan karakteristik dari resiliensi pada individu tersebut.
Beberapa penelitian dilakukan untuk melihat tingkat resiliensi pada remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014) terhadap remaja di kabupaten Gunung Kidul menunjukkan hasil sebesar 97,42% subjek penelitian memiliki resiliensi yang tinggi dan sisanya memiliki resiliensi dengan kategori rendah. Penelitian lainnya dilakukan oleh Dewanti & Suprapti (2014) yang meneliti tentang resiliensi pada remaja putri terhadap problematika pasca perceraian orangtua. Hasil penelitian ini menyebutkan remaja putri dengan orangtua yang telah bercerai memiliki resiliensi yang baik dengan memunculkan kemampuan yang tinggi pada aspek impulse control, optimisme, empati dan efikasi diri.
(40)
23
Oktaviani (2012) melakukan penelitian terhadap remaja korban tsunami Aceh. Penelitian ini menunjukkan hasil skor resiliensi dari remaja tersebut bervariasi mulai dari skor sedang sampai skor tinggi. Remaja dalam penelitian tersebut menunjukkan skor tinggi pada aspek meaningfulness, equanimity, existential eloneness dan perseverance yang merupakan aspek-aspek resiliensi menurut teori Wagnild & Young (1993).
Berdasarkan pendapat beberapa tokoh mengenai aspek-aspek resiliensi, aspek yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek yang dikemukakan oleh Reivich & Shatte (2002) yang terdiri dari regulasi emosi, impulse control, optimism, analisis kausal, empati, efikasi diri dan reaching out.
B. Pola Asuh
1. Pengertian Pola Asuh Orangtua
Gunarsa dan Gunarsa (2007) mendefinisikan pola asuh orangtua sebagai suatu sikap dan cara orangtua dalam mempersiapkan anggota keluarga yang lebih muda termasuk anak supaya dapat mengambil keputusan sendiri dan bertindak sendiri sehingga mengalami perubahan dari keadaan tergantung kepada orangtua menjadi berdiri sendiri dan bertanggung jawab sendiri. Darling (1999) menambahkan, mengasuh anak adalah kegiatan kompleks yang mencakup banyak perilaku yang dilakukan sendiri ataupun bersama-sama untuk mempengaruhi perilaku anak.
Cahyono (2015) menyebutkan 3 aspek yang perlu diperhatikan dalam pengasuhan anak, aspek tersebut meliputi:
(41)
24
a. Pengasuhan fisik adalah upaya yang dilakukan agar anak dapat tumbuh dengan baik. Tujuan utamanya adalah perkembangan fisik yang sehat. Contoh dari pengasuhan fisik adalah memberi asupan makanan dan minuman, keamanan dan kebersihan.
b. Pengasuhan kognisi adalah upaya yang dilakukan agar kognisi anak berkembang dengan baik. Berkembang dengan baik maksudnya anak mampu menyerap informasi dengan baik, mengelolanya dengan benar, menyimpannya sebagai pengetahuan serta mengekspresikannya dengan tepat. Kita mengajari anak berfikir sebab akibat, mengasosiasikan antara satu hal dengan hal yang lain, menjawab rasa ingin tahu anak dan lain sebagainya.
c. Pengasuhan sosioemosional adalah upaya yang dilakukan agar anak sukses dalam kehidupan bersama orang lain. Emosi anak dapat berkembang dengan baik sebagai diri sendiri maupun dalam lingkungan sosial. Anak belajar untuk berempati, tenggang rasa, menghargai dan menghormati orang lain.
Pengasuhan erat kaitannya dengan upaya yang dilakukan keluarga atau komunitas untuk memberikan perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial anak-anak dalam masa perkembangannya (Cahyono, 2015). Pada dasarnya tujuan utama pengasuhan orangtua adalah mempertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan kesehatannya, memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan perkembangannya dan mendorong peningkatan kemampuan perilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakininya (Supartini, 2002).
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah cara yang dilakukan oleh orangtua dalam merawat, mengasuh dan mendidik anak yang didasarkan pada nilai-nilai budaya dan agama yang diyakini, dengan tujuan untuk membentuk karakter anak dalam masa perkembangannya.
(42)
25
2. Tipe-tipe Pola Asuh Orangtua
Didalam lingkungan keluarga, seorang anak akan mempelajari dasar-dasar perilaku yang penting bagi kehidupannya kemudian. Karakter dipelajari anak melalui model para anggota keluarga yang ada di sekitar terutama orangtua. Ketika anak melihat dengan baik perilaku orangtua, maka dengan cepat akan menirunya, demikian pula sebaliknya. Model perilaku yang baik akan membawa dampak perkembangan yang baik bagi anak (Tridhonanto, 2002). Hal ini akan membuat orangtua memperhatikan setiap perilaku yang dimunculkan karena berkaitan dengan perilaku meniru yang ditunjukkan anak.
Setiap orangtua memiliki keinginan agar anak tumbuh menjadi pribadi yang matang secara sosial, namun sering sekali orangtua merasa kebingungan dalam merespon dan bertindak atas perilaku anak-anaknya (Santrock, 2007). Perlakuan yang ditunjukkan orangtua dalam merespon perilaku anak dikelompokkan menjadi dua (Baumrind, 1991) yaitu :
a. Responsiveness
Responsiveness mengarah kepada sejauh mana orangtua membantu perkembangan
individualitas dan penonjolan diri anak. Orangtua memenuhi tuntutan anak dengan memahami apa yang menjadi kebutuhannya. Orangtua memberikan dukungan dengan sikap yang hangat, mendukung kemandirian anak dan adanya komunikasi dua arah antara anak dan orangtua (Baumrind, 2005).
b. Demandingness
Demandingness mengarah kepada tuntutan yang dibuat oleh orangtua agar anak bersikap sesuai dengan aturan yang berlaku didalam masyarakat. Tuntutan yang dilakukan oleh orangtua biasanya berupa konfrontasi langsung, memantau seluruh aktivitas anak dan mengontrol perilaku anak (Baumrind, 2005).
(43)
26
Salah satu upaya yang dilakukan orangtua untuk membentuk karakter baik dalam diri anak yakni dengan pendampingan orangtua yang berbentuk pola asuh. Tridhonanto (2002) mengasumsikan pola asuh sebagai cara orangtua berinteraksi dengan anak. Setiap orangtua memiliki cara tersendiri dalam memberikan pengasuhan dan mendidik anaknya.
Baumrind (1991) membedakan tipe pola asuh menjadi tiga yang dikelompokkan berdasarkan tingkat responsiveness dan demandinggness orangtua terhadap anak. Tipe pola asuh tersebut meliputi pola asuh autoritarian, pola asuh autoritatif (demokratis), dan pola asuh permisif, sebagaimana penjabarannya sebagai berikut :
a. Pola Asuh Autoritarian
Pola asuh tipe ini tinggi dalam demandingness atau tuntutan dan peraturan, namun rendah dalam responsiveness. Orangtua membentuk anak untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan standar perilaku yang ditentukan oleh orangtua. Standar perilaku yang ditatapkan biasanya bersifat mutlak. Kepatuhan dinilai sebagai suatu sikap yang positif dan terpuji. Orangtua dengan pola asuh ini memiliki keyakinan dengan membatasi autonomi anak, maka anak akan tetap berada pada jalur yang telah ditetapkan oleh orangtua (Baumrind,1991). Orangtua autoritarian menetapkan batasan-batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan kurang memberikan peluang untuk berdialog secara verbal. Contohnya, orangtua authoritarian mungkin akan berkata, “lakukan menurut perintahku atau tidak sama sekali, tidak ada diskusi” (Santrock, 2007). Apabila terjadi konflik anatara orangtua dan anak, anak memiliki keinginan yang keinginan tersebut tidak sesuai dengan standar orangtua maka orangtua akan mengambil tindakan yang keras (Baumrind, 2005).
b. Pola Asuh Autoritatif
Orangtua dengan pola asuh tipe ini menyeimbangkan antara respon dan tuntutan. Orangtua memantau dan membuat standar yang jelas mengenai tingkah laku anak serta
(44)
27
mengajarkan anak untuk terbiasa mendengarkan pendapat orang lain. Orangtua, dalam membuat suatu keputusan atau kebijakan, terlebih dahulu mendiskusikannya dengan anak, dan apabila anak tidak setuju akan suatu hal maka orangtua berusaha untuk mendengarkan alasan dari ketidaksetujuan anak. Jika terjadi konflik antara anak dan orangtua, maka orangtua akan bersikap tegas namun tetap tidak memaksakan kehendak terhadap anak. Orangtua bertindak sebagai orang dewasa dengan memperhatikan apa yang menjadi minat anak, menerima kemampuan yang dimiliki anak (Baumrind, 1991).
c. Pola Asuh Permisif
Orangtua dengan tipe pola asuh ini tidak memberikan hukuman, menerima dan setuju atas semua keinginan dan tindakan anak. Orangtua terlebih dahulu berkonsultasi dengan anak dalam membuat keputusan atau kebijakan dan hal ini juga berlaku dalam hal pembuatan peraturan dalam keluarga. Orangtua menempatkan dirinya sebagai sosok seorang yang mampu memenuhi segala kebutuhan anak, bukan menampilkan diri sebagai figur yang mengarahkan yang mengubah perilaku anak. Anak diberikan kebebasan beraktivitas dan tidak ada kontrol perilaku atas aktivitas yang dilakukan oleh anak. Orangtua juga tidak menuntut anak untuk patuh pada suatu aturan tertentu (Baumrind, 1991).
Masing-masing dari ketiga gaya pengasuhan tersebut memiliki keunikan dan karakteristik tertentu yang menjadi ciri khas dari setiap pola asuh. Sikap konsisten dari orangtua dalam setiap waktu dan berbagai kondisi ketika merespon dan berprilaku terhadap anak sering dikatakan sebagai ciri khas dari gaya pengasuhan orangtua (Bornstein & Zlotnik, 2009). Pada penelitian ini, tipe pola asuh yang akan dibahas lebih lanjut adalah tipe pola asuh autoritatif yang dikemukakan oleh Baumrind (1991).
(45)
28
3. Pola Asuh Autoritatif atau Demokratis
Sistem pola asuh autoritatif mengajarkan kepada remaja bahwa hak dan kewajiban setiap individu harus dihormati sebagaimana mestinya. Pola asuh tipe ini menghargai dan menghormati perbedaan sehingga setiap orang dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Pola asuh autoritatif juga mendorong remaja untuk bertumbuh dan berkembang sesuai dengan kapasitas mereka (Surbakti, 2009).
Pola asuh autoritatif tersusun atas tiga elemen, yaitu warmth, yang menjelaskan sejauh mana remaja diterima dan dicintai. Structure, yang menjelaskan sejauh mana remaja diawasi dan memiliki harapan dan aturan dari perilakunya serta autonomy support yang menjelaskan sejauh mana orangtua menerima dan mendukung individualitas dari remaja(Steinberg, 2002).
Gray & Steinberg (1999) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga elemen tersebut. Element warmth memberikan pengaruh terhadap personal well-being dari anak. Seorang anak yang mendapatkan elemen warmth dari orangtua akan lebih bersifat positif dalam menghadapi masalah yang akan membuat mereka juga sukses dalam sebagian besar aspek kehidupan mereka. Structure atau pengawasan yang diterapkan orangtua terhadap anaknya akan memunculkan kontrol diri serta disiplin yang tinggi, yang ditunjukkan melalui perilaku rajin belajar dan kemampuan mereka untuk menghindari penggunaan narkoba, ketidakhadiran di sekolah dan bentuk-bentuk dari perilaku antisosial.
Elemen autonomy akan memberikan peningkatan terhadap kompetensi dan kepercayaan diri yang nantinya akan berpengaruh terhadap ruang lingkup sosial dan akademik dari anak, dan hal inilah yang akan membuat anak memiliki keinginan yang tinggi untuk sukses. Kepercayaan terhadap diri ini juga dapat membantu melindungi anak dari rasa cemas dan depresi yang merupakan problem terbesar pada kalangan remaja yang memiliki self esteem yang rendah (Gray & Steinberg, 1999).
(46)
29
Steinberg & Silk (2002) mengungkapkan pola asuh autoritatif merupakan pola asuh yang paling memadai untuk diterapkan dan baik untuk perkembangan remaja. Pendapat tersebut disertai dengan tiga alasan, yaitu :
a. Orangtua autoritatif memberikan keseimbangan yang jelas antara batasan dengan kebebasan, memberikan remaja kesempatan untuk mengembangkan kemandirian dengan memberikan standar, batasan dan pedoman yang dapat membantu perkembangan remaja. Orangtua yang menerapkan pola asuh ini mendorong perkembangan kompetensi remaja dan meningkatkan kemampuan remaja untuk bertahan atas lingkungan yang negatif.
b. Orangtua dengan pola asuh autoritatif melibatkan anak-anak mereka dalam perilaku mengalah, orangtua mendorong perkembangan intelektual anak dan memberikan landasan penting bagi perkembangan kompetensi sosial anak. Keluarga berdiskusi sebelum membuat keputusan, peraturan, dan harapan yang kemudian akan dijelaskan/dikomunikasikan untuk membantu remaja dalam memahami sistem dan hubungan sosial. Pemahaman ini merupakan bagian yang penting dalam kemampuan penalaran, pengambilan peran, penilaian moral dan empati. Perilaku saling mengalah akan menumbuhkan kompetensi kognitif dan sosial, sehingga lebih meningkatkan fungsi remaja diluar keluarga.
c. Pengasuhan dan keterlibatan yang disediakan oleh orangtua autoritatif memberikan remaja pandangan yang lebih mengenai pengaruh orangtua dan memungkinkan sosialisasi yang lebih baik dan efisien.
Papalia (2009) menambahkan, orangtua yang menerapkan tipe pola asuh autoritatif menetapkan harapan yang dapat dijangkau dan standar yang realistis sehingga membuat remaja mengetahui apa yang diharapkan dari remaja tersebut. Dengan membuat tuntutan
(47)
30
yang rasional, orangtua menunjukkan keyakinannya terhadap remaja bahwa remaja dapat memenuhi tuntutan tersebut. Berdasarkan pemaparan mengenai tipe pola asuh yang telah dibahas sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa pola asuh autoritatif merupakan tipe pola asuh yang paling efektif digunakan dalam mendidik remaja dan juga memiliki elemen yang diasumsikan akan berdampak pada perkembangan karakteristik remaja.
Berdasarkan pemaparan diatas mengenai pola asuh autoritatif, maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh autoritatif adalah tipe pola asuh yang menyeimbangkan antara respon dengan tuntutan. Orangtua cenderung melibatkan anak dalam setiap urusan keluarga, bersikap terbuka, menjalin komunikasi dengan anak, berperilaku sebagai teman namun tetap memiliki standar perilaku yang jelas terhadap tingkah laku anak.
4. Dimensi Pola Asuh autoritatif
Cross (2009) menyebutkan terdapat 19 dimensi dalam menentukan pola asuh yang diterapkan oleh orangtua terhadap anak, yaitu :
a. Pl (Pleasure) : orangtua senang menjalankan perannya
b. Dp (Displeasure) : orangtua tidak senang menjalankan perannya c. Cn (Confidance) : orangtua percaya diri dalam menjalankan perannya d. Rt (Respect) : orangtua menghargai otonomi anak
e. Ls (Limit Setting) : harapan orangtua akan perilaku anak f. Ex (Expressiveness) : ekspresi yang di tunjukkan orangtua
g. Md (Maturity Demands) : menyusun standar perilaku yang disesuaikan dengan kemampuan dan tingkat perkembangan anak
h. Pr (Precission) : orangtua menggunakan bahasa yang jelas i. St (Structure) : struktur yang disediakan oleh orangtua
(48)
31
j. Wm (Warmth) : kehangatan interaksi orangtua dengan anak k. Cl (Coldness) : kerenggangan interaksi orangtua dengan anak l. An (Anger) : tingkat kemarahan orangtua
m. Rn (Responssiveness) : bagaimana orangtua memberikan respon terhadap anak n. In (Interactive) : tingkat pembicaraan orangtua kepada anak
o. Cr (Creativity) : tingkat kreatifitas orangtua ketika berinteraksi dengan anak p. At (Activity) : tingkat aktivitas fisik antara orangtua dengan anak
q. Ha (Happiness) : tingkat kebahagiaan yang diekspresikan baik secara verbal ataupun nonverbal
r. Sa (Sadness) : tingkat kesedihan yang diekspresikan baik secara verbal atau nonverbal s. Ax (Anxiety) : tingkat kecemasan yang diperlihatkan oleh orangtua
Kesembilanbelas dimensi tersebut diatas, dinilai taraf intensitas dan frekuensinya mulai dari sangat rendah, rendah, sedang, tinggi sampai pada sangat tinggi. Hasil penilaian tersebut kemudian akan menunjukkan tipe pola asuh yang ditunjukkan oleh orangtua terhadap anak. Dimensi pola asuh yaitu affect dan control kemudian akan menghasilkan 4 tipe pola asuh yaitu authoritarian, authoritatif, permissive dan neglectful seperti pada gambar berikut :
(49)
32
High Control
Authoritarian Md Ls Autoritatif
St Pr Rn In At Cr
Negative Dp An Ax Wm Rt Pl Positif Affect Cl Sa Ha Ex Cn Affect
Neglectful Permissive
Low control
Gambar 1. Tipe pola asuh yang dikemukakan oleh Cross (2009)
5. Pengaruh Pola Asuh Autoritatif terhadap Perkembangan Remaja
Pada bagian sebelumnya, telah disebutkan oleh Steinberg & Silk (2002) bahwa pola asuh autoritatif merupakan pola asuh yang paling efektif untuk diterapkan dalam pendidikan karakter remaja. Chaudry, Bibi, Awan & Tariq (2013) melakukan review terhadap beberapa literatur yang membahas tentang pola asuh orangtua. Hasil dari review yang dilakukan ini menunjukkan bahwa pola asuh autoritatif memiliki pengaruh yang besar bagi domain kehidupan remaja. Berikut ini akan dijelaskan secara lebih spesifik mengenai pengaruh dari pola asuh autoritatif orangtua terhadap perkembangan remaja.
a. Kemandirian
Remaja yang memiliki orangtua autoritatif lebih bertanggung jawab, lebih cepat dalam melakukan adaptasi, percaya diri, lebih kreatif, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, memiliki
(50)
33
keterampilan sosial yang tinggi dan mandiri (Steinberg, 2002). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiana & Nugraheni (2008) menunjukkan ada korelasi yang positif antara pola asuh autoritatif dengan kemandirian. Semakin tinggi pola asuh demokratis yang diberikan oleh orangtua dan dipandang oleh remaja maka akan semakin tinggi kemandirian remaja.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Asiyah (2013) juga menunjukkan hasil yang serupa, dengan subjek adalah remaja yang berstatus mahasiswa baru. Penelitian ini menyebutkan pola asuh autoritatif memberikan sumbangan yang signifikan terhadap kemandirian pada mahasiswa baru, sehingga mahasiswa baru yang menerima pola asuh autoritatif dari orangtua menunjukkan kemandirian yang lebih tinggi dalam mengemban tanggung jawab dan tugas sebagai mahasiswa.
b. Kemampuan Beradaptasi
Chaandola & Bhanot (2008) melakukan penelitian mengenai hubungan pola asuh autoritatif dengan penyesuaian diri pada remaja. Hasil penelitian menunjukkan remaja yang diasuh dengan tipe pola asuh autoritatif memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik dibandingkan remaja dengan pola asuh authoritarian ataupun permisif.
Hal yang sama juga dibuktikan dalam penelitian Rossman & Rea (2005) yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh autoritatif dengan kemampuan beradaptasi remaja. Dukungan yang tinggi dari orangtua dengan pola asuh autoritatif menyebabkan permasalahan belajar yang dialami remaja tergolong rendah, sedangkan pola asuh autoritarian akan menyebabkan permasalahan belajar serta berperilaku pada remaja tergolong tinggi. Orangtua dengan tipe pola asuh permisif menyebabkan remaja akan tinggi dalam kecemasan dan internalisasi masalah.
(51)
34
c. Prestasi Akademik
Remaja dengan orangtua autoritatif memiliki prestasi yang tinggi di sekolah, tingkat depresi dan kecemasan yang rendah, self esteem yang tinggi, dan cenderung rendah dalam perilaku antisosial yang meliputi pelanggaran dan penggunaan narkoba (Steinberg, 2002).
Hasil penelitian Turner, Chander dan Heffer (2009) yang meneliti mengenai pola asuh autoritatif menunjukkan bahwa pola asuh autoritatif memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan prestasi belajar remaja. Karakteristik pengasuhan orangtua seperti memberi dukungan dan kehangatan memiliki peran yang penting dalam perkembangan prestasi belajar remaja. Sedangkan pola asuh permisif dan autoritatif tidak memiliki hubungan dengan prestasi akademik dari remaja. Seth & Ghormode (2013) menyebutkan, anak yang memiliki orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menerima pelajaran di sekolah sehingga menghasilkan prestasi belajar yang juga baik. Kordi & Baharudin (2010) juga melakukan penelitian serupa yang menunjukkan hasil orangtua yang terlibat dalam pendidikan remaja dan memonitor aktivitas remaja diluar sekolah berpengaruh terhadap prestasi akademik remaja. Remaja yang memiliki prestasi yang tinggi berasal dari keluarga yang menerapkan pola asuh autoritatif.
d. Perilaku Prososial
Orangtua dengan tipe pola asuh autoritatif mampu membentuk perilaku sosial yang baik. Hal ini dibuktikan melalui hasil penelitian Husada (2013) yang menyatakan terdapat korelasi yang positif antara pola asuh dengan perilaku prososial pada remaja. Pola asuh autoritatif dapat digunakan sebagai prediktor untuk memprediksi perilaku prososial pada remaja. Hasil penelitian Mensah & Kuranchie (2013) juga menjelaskan bahwa perilaku sosial yang baik ditunjukkan oleh anak dengan orangtua autoritatif, sedangkan orangtua dengan pola
(52)
35
asuh autoritarian dan permisif menunjukkan korelasi yang negatif yang berarti kompetensi anak rendah dalam perilaku sosial.
Perilaku sosial yang baik biasanya diperlihatkan melalui perilaku gotong royong, anak bersikap lebih tenang dan memiliki empati dalam hubungan mereka dengan orang lain disekitarnya (Mensah & Kuranchie, 2013). Terkait dengan perilaku empati, penelitian oleh Lustiani (2013) terhadap remaja menunjukkan bahwa remaja yang memiliki empati yang tinggi ditunjukkan oleh remaja yang memiliki orangtua dengan tipe pola asuh autoritatif.
e. Perilaku Bermasalah
Remaja dengan orangtua autoritatif menunjukkan internalisasi perilaku, seperti depresi dan kecemasan yang rendah serta eksternal perilaku seperti antisosial dan penggunaan narkoba yang juga rendah (Bornstein & Zlotnik, 2009). Perilaku depresi yang rendah ditunjukkan oleh remaja dengan orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif dan tingkat depresi yang sedang pada remaja dengan orangtua yang menerapkan pola asuh permisif (Safitri & Hidayati, 2013).
Aunola & Nurmi (2005) dalam penelitiannya menjelaskan menurunnya perilaku bermasalah pada anak terjadi apabila kontrol perilaku yang diberikan orangtua tinggi dan kontrol psikologis rendah. Tetapi apabila kontrol perilaku yang tinggi diikuti dengan kontrol psikologis yang tinggi maka akan menyebabkan perilaku bermasalah juga meningkat. Penelitian Wulandari (2010) menunjukkan korelasi yang negatif antara pola asuh dengan perilaku seksual pada remaja. Semakin demokratis pola asuh yang diterapkan orangtua semakin rendah tingkat perilaku seksual remaja.
Pemaparan mengenai pengaruh tipe pola asuh autoritatif diatas memberikan gambaran yang sesuai dengan pernyataan Steinberg & Silk (2002). Beberapa penelitian telah membuktikan dampak-dampak positif yang ditimbulkan melalui penerapan tipe pola asuh
(1)
dengan perempuan. Hasil penelitian ini juga menyebutkan remaja laki-laki memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan kenakalan remaja (Bongers & Koot, 2003).
Permasalahan yang dialami remaja memiliki cakupan yang cukup luas. Variasi dari masalah tersebut dapat meliputi variasi dalam hal tingkat keparahannya maupun dalam hal seberapa banyak masalah tersebut dialami oleh kelompok-kelompok sosial-ekonomi yang berbeda-beda (Santrock, 2007).
Masalah-masalah yang dialami remaja yang berasal dari sosial-ekonomi rendah merupakan perilaku eksternalisasi yang tidak terkendali, contohnya mengganggu kebersamaan orang lain dan berkelahi, sedangkan masalah yang biasanya dialami oleh remaja dengan latar belakang sosial-ekonomi menengah lebih cenderung kepada perilaku internalisasi, seperti kecemasan dan depresi. Masalah-masalah perilaku yang sering menyebabkan remaja dirujuk ke klinik untuk menjalani penanganan kesehatan mental adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan perasaan tidak bahagia, sedih atau depresi dan prestasi sekolah yang buruk (Santrock, 2007).
Dengan demikian, kesimpulan yang peneliti ambil adalah bahwa masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja ditandai dengan munculnya berbagai macam permasalahan yang sulit dihadapi oleh remaja dan bersumber dari dalam diri maupun lingkungan remaja.
2. Tugas Perkembangan Remaja
Tugas perkembangan pada masa remaja berpusatkan pada penanggulangan sikap dan pola prilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa (Hurlock, 1980).
(2)
Havighurst (dalam Mahalayati, 2010) menyebutkan tugas perkembangan masa remaja adalah sebagai berikut:
a. Mencapai hubungan yang baru dan matang dengan teman sebaya.
Pertemanan pada masa remaja berkembang dari yang sebelumnya hanya berteman dengan sesama jenis menjadi berteman dengan lawan jenis. Pada tahap ini remaja juga belajar untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya karena interaksi dibutuhkan dalam kehidupan berkelompok.
b. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif
Remaja diharapkan mampu untuk mengenali perubahan fisik yang terjadi dalam dirinya dengan tujuan kematangan seksual. Remaja belajar untuk merawat tubuhnya dan juga menggunakannya secara efektif seperti untuk olahraga, rekreasi, bekerja dan juga untuk melakukan pekerjaan sehari-hari.
c. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya
Remaja mulai meninggalkan sifat kekanak-kanakannya yang bergantung pada orangtua dan mulai berkembang tanpa bergantung pada orang dewasa. Remaja mulai diberi kebebasan untuk mandiri. Remaja yang suka memberontak dan memiliki konflik dengan orangtua atau orang dewasa perlu mengembangkan pengertian yang baik untuk dirinya maupun orang dewasa lainnya serta memahami alasan dibalik konflik yang terjadi.
d. Mencapai peran sosial sebagai laki-laki atau perempuan
Remaja mampu untuk berperilaku sesuai dengan peran sosial yang didasarkan pada jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan. Remaja juga belajar untuk menerima peran sosial tersebut.
(3)
Remaja memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya untuk mempersiapkan karirnya dan juga belajar untuk membiayai semua kebutuhan dirinya sendiri.
f. Mempersiapkan pernikahan dan kehidupan berkeluarga.
Membangun sikap-sikap positif, kemampuan sosial, kematangan emosi dan pengertian untuk membangun atau menjalankan sebuah keluarga.
g. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan sebagai warga Negara.
Perkembangan ideologi sosial politik, memakainya dan mengaplikasikan sehingga memiliki makna berupa nilai serta moral yang ideal bagi hidup individu.
h. Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial.
Berusaha untuk mendapatkan tempat yang berarti di kehidupan bermasyarakat dengan cara mengembangkan ideologi sosial yang dapat menambah nilai sosial.
Havighurst (dalam Sarwono, 2002) menambahkan tercapai atau tidaknya tugas tugas perkembangan diatas ditentukan oleh tiga faktor yaitu kematangan fisik, desakan dari masyarakat dan motivasi dari individu yang bersangkutan. Berdasarkan pemaparan mengenai tugas perkembangan remaja diatas, dapat dikatakan bahwa remaja dalam tahap perkembangannya dihadapkan pada berbagai macam tugas yang harus dipenuhi. Tugas perkembangan tersebut tidak hanya berkaitan dengan remaja dan dirinya sendiri namun juga remaja dan lingkungan sosialnya.
(4)
D. Hubungan Antar Variabel
Gambar 2. Hubungan antar variabel Keterangan:
: Peran variabel bebas terhadap variabel tergantung : Variabel yang diteliti
: Dimensi Variabel
Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan dewasa yang melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosioemosional (Santrock, 2007). Masa remaja merupakan peristiwa panjang yang ditandai dengan munculnya pubertas, yaitu sebuah proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual (Papalia, 2009). Dalam tahap perkembangan ini, remaja dihadapkan pada tugas perkembangan yaitu
Pola Asuh Autoritatif Resiliensi
a. Kehangatan interaksi orangtua dengan anak b. Tegas dalam mengarahkan perilaku anak
c. Tanggap memenuhi kebutuhan kasih sayang anak d. Menerapkan perilaku yang diharapkan
a. Regulasi Emosi b. Impulse Control
c. Optimsm
d. Analisis Kausal e. Empati
f. Efikasi Diri g. Reaching Out
(5)
penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan serta mengadakan persiapan untuk memasuki tahap perkembangan selanjutnya (Hurlock, 1980).
Tugas perkembangan dan masalah yang muncul pada masa remaja adalah suatu hal yang harus diselesaikan oleh remaja dalam tahap perkembangannya. Santrock (2007) menyebutkan bahwa sejumlah masalah memiliki kecenderungan untuk muncul pada suatu tingkat perkembangan tertentu dibandingkan dengan tingkat perkembangan lainnya. Masalah yang timbul pada tahap perkembangan remaja merupakan masalah yang sulit untuk diatasi baik itu oleh anak laki-laki ataupun anak perempuan (Hurlock, 1980). Seorang remaja yang tidak berhasil mengatasi situasi kritis dan masalah-masalah yang timbul dalam tahap perkembangan ini, besar kemungkinan remaja tersebut akan terperangkap masuk kedalam kasus penyalahgunaan seks, obat-obat terlarang dan berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya (Sarwono, 2012). Oleh karena itu remaja perlu memiliki resiliensi agar remaja mampu untuk menghadapi konflik serta mampu beradaptasi dalam situasi yang tidak menyenangkan.
Resiliensi merupakan pola adaptasi positif yang dalam menghadapi kesulitan yang signifikan (Masten & Reed, 2002). Terdapat beberapa faktor yang memiliki keterkaitan dengan resiliensi, salah satunya adalah faktor keluarga. Faktor keluarga ini meliputi relasi yang karib dengan figur orangtua dan pola asuh. Pola asuh autoritatif merupakan salah satu tipe pola asuh yang dikemukakan oleh Baumrind (1991). Pola asuh autoritatif mendorong remaja agar mendiri namun masih membatasi dan mengendalikan aksi-aksi mereka, memberikan kesempatan untuk berdialog kepada anak, bersikap hangat dan mengasuh (Santrock, 2007). Pola asuh autoritatif juga memberikan kebebasan bagi remaja untuk berdiskusi dan mengemukakan pendapat mereka kepada orangtua terkait dengan masalah yang sedang dihadapi serta memberikan bantuan dalam penyelesaian masalah yang dihadapi oleh remaja. Pola Asuh autoritatif merupakan pola asuh yang paling efektif digunakan dalam
(6)
mendidik anak. Hal ini dikarenakan pola asuh autoritatif dianggap mampu membentuk karakteristik positif dalam diri remaja dan salah satunya adalah karakteristik resiliensi.
Pola asuh autoritatif merupakan variabel bebas dan resiliensi merupakan variabel tergantung. Pola asuh autoritatif yang disesuaikan dengan teori Baumrin (1991) nantinya akan dilihat bagaimana hubungannya dengan resiliensi berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Reivich & Shatee (2002).
E.Hipotesis
Berdasarkan pemaparan teori yang telah dijelaskan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
Ha : Ada hubungan yang signifikan dan positif antara pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja di Denpasar.
Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan dan positif antara pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja di Denpasar.