PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN PENCABULAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 (Studi di Kepolisisan Resor Kota Denpasar).

(1)

i

SKRIPSI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

KORBAN PENCABULAN MENURUT UNDANG

-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002

(Studi di Kepolisian Resor Kota Denpasar)

Oleh :

I GUSTI PUTU ARY SEPTIAWAN NIM: 101 605 1117

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

ii

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

KORBAN PENCABULAN MENURUT UNDANG

-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002

(Studi di Kepolisian Resor Kota Denpasar)

Skripsi ini di buat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I GUSTI PUTU ARY SEPTIAWAN NIM: 101 605 1117

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA


(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kami saya panjatkan kehadapan Ida Sang Yang Widhi

Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung kertha wara nugrahanya -Nya skripsi yang berjudul “ Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban

Pencabulan Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002” dapat di

selesaikan tepat pada waktunya.

Skripsi ini di susun sebagai salah satu syarat bagi setiap mahasiswa,

khususnya bagi yang akan menempuh ujian sarjana lengkap, dan skripsi ini akan di

ajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Hukum Universitas Udayana sebagai syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Di dalam skripsi ini mungkin terdapat kekurangan-kekurangan yang di

sebabkan oleh terbatasnya kemampuan dan pengalaman, tetapi berkat bantuan dan

dukungan dari banyak pihak, skripsi ini dapat di selesaikan tepat pada pada

waktunya. Dalam kesempatan ini, ingin menyampaikan terimakasi yang

sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H, M.H selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, S.H, M.H selaku Pembantu Dekan I Fakultas


(6)

vi

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H, M.H selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, S.H, M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, S.H, M.H selaku Ketua Bagian

Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Bapak I Dewa Nyoman Sekar,S.H., MM., M.H selaku Pembimbing

Akademi

7. Bapak A.A.Ngurah Wirasila, S.H., MH selaku Pembimbing I

8. Bapak I Made Walesa Putra, S.H., M.Kn selaku Pembimbing II

9. Seluruh Bapak-bapak dan Ibu Dosen, Yang telah memberikan ilmu

kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

10.Semua Staf Pegawai, baik itu pegawai Tata Usaha maupun Pegawai

Perpustakaan yang telah banyak membantu dan memberikan pelayanan

administrasi serta kepustakaan kepada penulis selama ini mengikuti

pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

11.Kepada Ajik dan Ibu yang selalu memberi semangat dan selalu sabar

tanpa henti memberikan dorongan dalam penyelesaian skripsi ini.

12.Kepada sahabat-sahabat saya di Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Bali


(7)

vii

13.Kepada semua pihak yang tidak saya sebutkan satu persatu yang telah

memberikan bantuan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Semoga Ida Sang Yang Widi Wasa Membalas segala kebaikan dan ketulusan

hati semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Akhir kata, besar

harapan agar skripsi ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu hukum pada

khususnya dan juga bagi pembaca pada umumnya. Saran ataupun kritik yang

membangun sangat di harapkan demi kesempurnaan sekripsi ini

Denpasar, 22 Desember 2015


(8)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... I

HALAMAN PRASYARATAN GELAR SARJANA HUKUM... II

HALAMAN GENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ... III

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... IV

KATA PENGANTAR ... V

DAFTAR ISI ... VIII

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... XI

ABSTRAK ... XII

ABSTRACT ... XIII

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 7

1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 8

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 8


(9)

ix

1.5.1. Tujuan Umum ... 10

1.5.2. Tujuan Khusus ... 10

1.6. Manfaat Penelitian ... 10

1.6.1. Manfaat Teoritis ... 11

1.6.2. Manfaat Praktis ... 11

1.7. Landasan Teoritis ... 11

1.7.1. Teori Pemidanaan ... 12

1.7.2 Teori Perlindungan Hukum ... 18

1.7.3 Teori-teori Efektivitas Hukum ... 23

1.8. Metode Penelitian ... 24

1.8.1. Jenis Penelitian ... 24

1.8.2. Jenis Pendekatan ... 24

1.8.3. Jenis Pengumpulan Data ... 25

1.8.4. Teknik Analisis Data ... 26

BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Tinjauan tentang Perlindungan Hukum ... 27

2.2 Tinjauan Tentang Anak ... 29


(10)

x

2.4 Anak Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Undang-Undang

Perkawinan) ... 31

2.5 Tinjauan tentang Perlindungan Anak ... 32

2.6 Tinjauan Tindak Pidana Pencabulan ... 35

BAB III PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUIM TERHADAP ANAK KORBAN PENCABULAN

3.1 Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum di Polresta Denpasar ... 40

3.2 Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum di Lembaga Perlindungan

Anak ... 48

BAB IV HAMBATAN DAN UPAYA DALAM PELAKSANAAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN PENCABULAN

4.1 Hambatan Dalam Pelaksaan Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Korban Pencabulan di Polresta Denpasar dan Lembaga Perlindungan

Anak ... 51

4.2 Upaya Penggulangan Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak di

Polresta Denpasar dan Lembaga Perlindungan Anak ... 54

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan ... 59

5.2 Saran ... 60

DAFTAR BACAAN ... 61


(11)

(12)

xii ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN PECABULAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 23 TAHUN 2002.

( STUDI DI KEPOLISIAN RESOR KOTA DENPASAR)

Masih sering terjadinya berbagai bentuk perilaku orang dewasa yang melanggar hak-hak anak di Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan mendorong diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pemberlakuan Undang-Undang ini dalam rangka pemenuhan hak-hak anak dalam bentuk perlindungan hukum yang meliputi hak atas kelangsungan hidup, hak untuk berkembang, hak atas perlindungan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat tanpa diskriminasi. Setiap anak yang menjadi korban pencabulan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum secara pasti sesuai dengan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan fenomena tersebut penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk lebih memahami mengenai perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dengan studi kasus di Kota Denpasar.

Dalam penulisan ilmiah ini digunakan pendekatan empiris sosiologis dengan menggunakan pendekatan masalah. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi lapangan yaitu dengan wawancara kepada informan yaitu kepada polisi di Polresta Denpasar yang berkompeten dalam hal pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan pencabulan dan Lembaga Perlindungan Anak Kota Denpasar serta dengan melakukan studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hambatan yang dihadapi oleh pihak Polresta Denpasar dan Lembaga Perlindungan Anak Kota Denpasar dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan, yaitu korban (saksi) tidak berani memberikan kesaksian karena adanya ancaman dari pihak-pihak tertentu atau takut aibnya diketahui oleh masyarakat banyak.Upaya penanggulangan tindak pidana pencabulan terhadap anak oleh Polresta Denpasar dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu dengan menggunakan sarana spenal (melalui jalur hukum pidana) dan non penal (di luar jalur hukum pidana), sedangkan upaya yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Anak Kota Denpasar yaitu dengan mendorong penguatan di pemerintahan untuk mendorong perubahan kebijakan dalam melaksanakan upaya-upaya perlindungan bagi korban pencabulan.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka saran yang diberikan yaitu agar aparat penegak hukum dan Lembaga Perlindungan Anak dapat bersinergi dan menguatkan perannya dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan, sehingga korban (saksi) dan keluarga merasa terlindungi sehingga berani melaporkan dan memberikan kesaksian.


(13)

xiii ABSTRACT

LEGAL PROTECTION OF ABUSED CHILDREN VICTIMS ACCORDING TO CONSTITUTION NUMBER 23 YEAR 2002

(A STUDY IN THE POLICE RESORT OF THE CITY DENPASAR)

Frequent occurred various form of adult behavior which are violate the

Indonesian children’s right in many aspects, encourages the enactment of

Constitution number 23 year 2002 on children protection. Enforcement of this

constitutuion in order to meet the childrren’s right in legal form which are including

the right to survive, the right to grow, the right to be protected and the right to participate in community without discrimination. Every abused children victims has the right to be protected by the law as their human right. Based on those fenomena, the aim of this research is to understand the Legal protection of abused children victims according to the constitution number 23 year 2002 case study in Denpasar City.

This research used an empirical approach using sociological approach to the problem. Data was collected by field studies, interviewing informants of Denpasar Police whose competent in terms of the implementation of legal protection for abused children victims, interviewing the officer of sexual abuse Child Protection Institution of Denpasar and by conducting a literature study.

The results showed that there were barriers faced by the Denpasar Police Department and Child Protection Institution of Denpasar in the implementation of legal protection for child victims of sexual abuse, the victim (witness) did not dare to testify because of threats from certain parties or scared her shame known to the public. Countermeasures to the crime of sexual abuse of children by the Denpasar Police carried out through two (2) ways, namely by means spenal (through criminal law) and non-penal (criminal law outside lane), while the efforts made by the Children Protection Agency Denpasar city is to encourage the strengthening of government to encourage policy changes in implementing protection measures for victims of abuse.

Based on these results, the advice given is that law enforcement and Children Protective Services can synergize and strengthen its role in the implementation of legal protection for child victims of abuse, so that victims (witnesses) and family feel protected so courageous report and testified.


(14)

1

PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah

Setiap individu yang hidup dalam masyarakat, sudah pasti menginginkan adanya suatu ketertiban dan keamanan serta perasaan yang nyaman dalam menjalankan aktifitas kegiatannya sehari-hari. Untuk menjamin adanya ketertiban dan kenyamanan tersebut, maka perlu di bentuklah suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tata tertib dan keamanan dalam pengatur pergaulan di masyarakat. Sehingga setiap individu atau manusia akan merasa aman terutama di dalam melakukan segala aktifitas kehidupan sehari-hari.1

Krisis moral yang melanda sebagian masyarakat dan lemahnya pengawasan dari orang tua merupakan salah satu faktor penyebab tingginya angka pencabulan," selama ini pengawasan yang diberikan para orang tua dinilai sangat kurang oleh kesibukan mereka sehari-hari dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Para orang tua sekarang lebih mementingkan bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan inilah salah satu lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak, kejadian ini ada hubungannya dengan kelainan yang dialami oleh pelaku, tak menutup kemungkinan disebabkan oleh hal-hal seperti itu dan antara lain dikarenakan faktor maraknya peredaran VCD porno yang banyak ditemukan di pasaran. "Faktor kelainan atau penyakit dari pelaku mungkin juga merupakan terjadinya kasus pencabulan dan tak menutup kemungkinan juga mudahnya mendapatkan VCD porno.

1


(15)

2

Bahwa perkembangan teknologi juga salah satu faktor yang menimbulkan terjadinya kejahatan pencabulan terhadap anak di antaranya penggunaan media sosial seperti tweeter, bbm, facebook dll yang memudahkan akses pelaku kejahatan seksual dengan korban anak mencari atau memilih para korbanya. Untuk itu perlunya koordinasi antar instansi agar kasus seperti ini tak lagi terulang dan memakan banyak korban lagi.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selanjutnya disingkat dengan (KUHP) ini diatur salah satunya adalah mengenai tindak pidana kesusilaan, Tindak pidana kesusilaan adalah tindak pidana yang berhubungan dengan masalah kesusilaan. Definisi singkat dan sederhana ini apabila dikaji lebih lanjut untuk mengetahui seberapa ruang lingkupnya ternyata tidak mudah karena pengertian dan batas-batas kesusilaan. Diantaranya adalah pencurian, perkosaan, pencabulan, pembunuhan dan banyak lagi kejahatan-kejahatan lainnya.

Sejak Tahun 1976 pemerintah telah menetapkan sebuah peraturan untuk meletakkan anak-anak dalam sebuah lembaga proteksi yang cukup aman, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, yang dengan tegas merumuskan bahwa setiap anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan sejak dalam kandungan sampai dengan sesudah dilahirkan. Dalam koridor tersebut, terhadap anak tidak dibenarkan adanya perbuatan yang dapat menghambat pertumbuhan perkembangannya serta seorang anak yang tidak dapat diasuh dengan


(16)

baik oleh orang tuanya dapat mengakibatkan pembatalan hak asuh orang tua2. Langkah pemerintah selanjutnya adalah menetapkan Undang-Undang No 11 tahun 2012 tentang system peradilan anak, tentang Pengadilan Anak yang diharapkan dapat membantu anak yang berada dalam proses hukum tetap untuk mendapatkan hak-haknya.

Terakhir, pemerintah menetapkan pula Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang secara tegas pula menggariskan bahwa anak adalah penerus generasi bangsa yang harus dijamin perlindungannya dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Meskipun Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disahkan, tetapi pelaksanaan dilapangan belum berjalan seperti yang diharapkan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa penyidik jaksa dan hakim belum adanya kesamaan persepsi dalam menangani kasus yang menyangkut perlindungan anak. Seringkali penegak hukum lebih memilih memakai KUHP dari pada menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak. Padahal Undang-Undang Perlindungan Anak ini di adakan dengan tujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

2

Adami Chawazi, 1994, Azas-azas Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.42.


(17)

4

Upaya memberikan perlindungan kepada anak-anak yang menjadi korban pencabulan dapat dilakukan dengan mengembangkan sistem dan mekanisme perlindungan hukum dan sosial bagi bagi anak yang beresiko atau menjadi korban

pencabulan.3 Selain itu sangat penting pula dilakukan upaya pemulihan dan

reintregasi anak korban pencabulan. Caranya antara lain dengan mengutamakan pendekatan yang baik kepada anak-anak yang menjadi korban pencabulan dalam keseluruhan prosedur perundangan, memberi pelayanan medis, psikologis terhadap anak dan keluarganya, mengingat anak yang menjadai korban pencabulan biasanya mengalami trauma yang akan berpotensi mengganggu perkembangan kejiwaan mereka.

Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana pencabulan menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 terdiri dari dua sisi yaitu dari sisi terdakwa dan dari sisi korban tindak pidana pencabulan dengan memberikan upaya rehabilitasi, perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi, pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial dan pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Hambatan dan solusi di dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan pencabulan antara lain hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan sehingga korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan

3


(18)

hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immateriil maupun materiil. Penyelesaian hambatan ini adalah dengan memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana pencabulan yang masih anak-anak dengan berbagai upaya yang harus dilakukan oleh pihak pengadilan dengan keluarga korban. Korban pencabulan merupakan individu yang menderita secara fisik, mental dan sosial karena tindakan kejahatan, bahkan korban dapat menderita ketakutan berkepanjangan, hal ini dikarenakan korban pencabulan selain menderita secara fisik, juga mengalami tekanan batin yang hebat akibat tindakan tersebut, Penyelesaian dari adanya hambatan tersebut adalah bahwa korban tindak pidana pencabulan terus diberikan dukungan baik dari keluarga dan masyarakat sehingga dapat menghilangkan trauma atas kejahatan yang telah menimpanya. Sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan pidana ganti rugi bagi korban pencabulan, upaya penyelesaian hambatan tersebut adalah perlunya korban memperoleh atau mendapatkan ganti rugi

secara material untuk membiayai berbagai biaya yang telah dikeluarkan oleh korban4.

Upaya perlindungan hukum kepada Anak pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 287 KUHP yang mengatur:

(1) Barangsiapa bersetubuh dengan sorang wanita yang bukan istrinya, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umur wanita itu belum

4

Leden Marpaung, 1996, Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya,Sinar Grafika, Jakarta. h. 43.


(19)

6

lima belas tahun, atau kalau umumya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawinkan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(2) Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan, kecuali bila umur wanita itu belum sampai dua belas tahun atau bila ada salah satu hal seperti tersebut dalam Pasal 291 dan Pasal 294.

Perkembangan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban pencabulan selanjutnya diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Latar belakang pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 adalah masih sering terjadinya berbagai bentuk perilaku orang dewasa yang melanggar hak-hak anak di Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu Nomor 23 Tahun 2002 diberlakukan dalam rangka pemenuhan hak-hak anak dalam bentuk perlindungan hukum yang meliputi hak atas kelangsungan hidup, hak untuk berkembang, hak atas perlindungan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat tanpa diskriminasi. Setiap anak yang menjadi korban pencabulan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum secara pasti sesuai dengan Hak Asasi Manusia.

Upaya perlindungan hukum kepada anak yang menjadi korban pencabulan dikoordinasikan dan tingkatkan dalam bentuk kerjasama secara lokal, nasional, regional dan internasional, dengan strategi antara lain dengan mengembangkan


(20)

kekerasan seksual kepada anak. Pencegahan tindak pidana pencabulan dapat ditempuh dengan strategi mengutamakan hak anak dalam semua kebijakan dan program pemerintah dan masyarakat, memberdayakan anak sebagai subyek dari hak-haknya dalam menentang pencabulan, serta menyediakan akses pelayanan dasar bagi anak di bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial.

Kota Denpasar sebagai pusat segala kegiatan mulai dari bidang pendidikan perdagangan sampai dengan pariwista, sehingga mobilitas pergerakan mobilitas pergerkan menusia semakin cepat karena pada waktu tenaga dan sebagiannya. Oleh karena itu sering terjadi gesekan dan pengaruh negative yang berhubungan dengan

dunia criminal salah satunya seperti kasus pencabulan terhadap anak – anak dengan

berbagai fakto penyebab.

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka penulis mengajukan sebuah judul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN PECABULAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah di sampaikan dari latar belakang di atas, maka dapat di tarik suatu permasalahan yaitu:

1. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban


(21)

8

2. Apakah hambatan dan upaya dalam pelaksanaan perlindungan hukum

terhadap anak korban pencabulan ? 1.3. Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari permasalahan yang dibahas maka perlulah adanya suatu pembahasan dalam ruang lingkup masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut: perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan menurut undang-undang nomor 23 tahun 2002

tentang perlindungan anak. Bahasan uraian ini terbatas pada kajian normatif

berdasarkan buku-buku dan undang-undang yang telah ada.Untuk jelasnya, bahasa ini dapat diketahui dalam bab-bab yang berikutnya.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelusuran di internet dengan ini penulis menyatakan penulisan skripsi ini merupakan hasil karya asli dari penulis demi orisinalitas penelitian yang dibuat dan dikembangkan sendiri oleh penulis. Telah ditentukan dua (2) judul skripsi yang berkaitan dengan PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN PECABULAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 adapun judul-judul tersebut :

No. Judul Penulis Rumusan Masalah

1. PERLINDUNGAN

KHUSUS TERHADAP

ANAK

SEBAGAI KORBAN

MERSESSA PINASALO, SH

1. Apa saja bentuk

perlindungan khusus


(22)

PENCABULAN

MENURUT UU NO. 23 TAHUN

2002

korban pencabulan?

2.Apakah perlindungan

hukum anak dalam

Undang Nomor 23

Tahun 2002 sudah

dapat memenuhi

kepentingan hukum

anak sebagai korban tindak pidana?

2. PELAKSANAAN

PENYIDIKAN

TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK

SEPTIANI HERLINDA. SH

1. Apa kendala-kendala

dalam penerapan

perlindungan khusus

terhadap anak sebagai korban pencabulan?

2. Bagaimana kinerja

kepolisian dalam

mengatasi kekerasan


(23)

10

Oleh karena itu judul yang penulis angkat jelas berbeda dengan judul-judul di tabel diatas sehingga skripsi yang penulis angkat tentu masih original dalam artian belum ada yang menulis.

1.5 Tujuan Penelitian

Dalam tahap akhir perkuliahan mahasiswa, di perlukan suatu karya tulis yang bersifat ilmiah sebagai perwujudan atas kemampuan akademik selama mengikuti perkuliahan. Penulisan sekripsi memiliki tujuan yang dapat di bedakan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Ada pun tujuan tersebut yaitu;

1.5.1 Tujuan umum

Untuk lebih memahami mengenai perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

1.5.2. Tujuan khusus

Tujuan khusus yang ingin di peroleh dalam penulisan ini adalah;

1. Untuk memahami pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan di Polresta Denpasar.

2. Untuk mengetahui hambatan dan upaya dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan di Polresta Denpasar.

1.6Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengemban ilmu pengetahuan, sudah tentu manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:


(24)

1.61 Manfaat Teoritis

Penulisan tugas akhir ini diharapkan agar dapat membantu memberikan suatu pemikiran dalam bidang pendidikan di bidang ilmu hukum khususnya Hukum Pidana untuk memahami Tinjauan tentang pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

1.6.2Manfaat Praktis

Penulisan tugas akhir ini diharapkan agar dapat bermanfaat dalam pelaksanaan serta prakteknya. Tinjauan tentang pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan pencabulan menurut Undang-Undang nomor 23 tahun 2002.

1.7Landasan Teoritis

Sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan pidana ganti rugi bagi korban pencabulan, sehingga posisi wanita tetap berada di posisi yang tidak diuntungkan sebagai korban kejahatan. Korban pencabulan seringkali menjadi korban ganda, ketika harus ke rumah sakit untuk mengobati luka-lukanya, membiayai sendiri biaya transportasi dan perawatan rumah sakit. Penyelesaian hambatan tersebut adalah perlunya korban memperoleh atau mendapatkan ganti rugi secara material untuk

membiayai berbagai biaya yang telah dikeluarkan oleh korban.5

1.71 Teori pemidanaan

5


(25)

12

Teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif. Yakni menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana kepada orang yang melanggar larangan dalam hukum pidana atau hukum pidana objektif. Dalam pelaksanaan hukum pidana subjektif itu berakibat diserangnya hak dan kepentingan hukum pribadi manusia tadi yang justru dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri. Misalnya penjahat dijatuhi pidana penjara atau kurungan dan dijalankan, maka hak atau kemerdekaan bergeraknya dirampas. Atau dijatuhi pidana mati kemudian dijalankan, artinya dengan sengaja membunuhnya. Oleh karena itulah hukum pidana objektif dapat

disebut hukum sanksi istimewa.6

Pidana yang diancamkan seperti yang tertera dalam pasal 10 KUHP itu apabila diterapkan akan menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia yang sebenarnya dilindungi oleh hukum. Hak menjalankan hukum pidana subjektif ini sangat besar sehingga hanya boleh dimiliki oleh negara. Negara merupakan

organisasi sosial tertinggi yang berkewajiban menyelenggarakan dan

mempertahankan tata tertib masyarakat. Dalam rangka melaksanakan kewajiban itu, maka wajar bila negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana.

6

Nursyahbani Katjasungkara dan Asnifriyanti Danik, 2004 Kejahatan yang Tak Dihukum ,LBH APIK Jakarta, h.9


(26)

1. Teori Absolut

Dasar pijakan teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang dilindungi. Maka, ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya. Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat yang timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memerhatihan masa depan, baik terhadap penjahat maupun masyarakat. Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.

Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu: a. Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan)

b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan).

2. Teori Relatif

Teori ini berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.7 Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu:

7

Komnas Perempuan, 2002, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia,Ameepro,Jakarta,h.39


(27)

14

1. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking)

2. Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering) 3. Bersifat membinasakan (onschadelijk maken)

Sementara itu sifat pencegahannya dari teori ini ada dua macam, yaitu: 1). Teori pencegahan umum

Di antara teori pencegahan umum ini, teori pidana yang bersifat menakut-nakuti merupakan teori yang paling lama dianut orang. Menurut teori pencegahan umum ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana ini dijadikan contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu8.

Penganut teori ini misalnya seneca (romawi), berpandangan bahwa supaya khalak ramai menjadi takut untuk melakukan kejahatan maka perlu dibuat pidana yang ganas dengan eksekusinya yang kejam dilakukan di muka umum. Penjahat yang dipidana ini dijadikan tontonan orang banyak agar semua orang takut untuk berbuat serupa.

Dalam perkembangannya, teori pencegahan umum dengan eksekusi kejam ini banyak ditentang. Menurut Beccaria, hukum pidana harus diatur dalam suatu kodifikasi dan sistematis agar semua orang bisa tahu perbuatan apa yang diancam pidana. Ia juga meminta pidana mati dan penyiksaan yang kejam diganti dengan

8


(28)

pidana yang memerhatikan perikemanusiaan, pidana yang dijatuhkan ini jangan sampai melebihi penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatan penjahat itu.

Von Feuerbach, yang memperkenalkan teori pencegahan umum yang disebut dengan psychologische zwang, menyatakan bahwa sifat menakut-nakuti dari pidana itu bukan ada penjatuhan pidana inkonkrito, tetapi pada ancaman yang ditulis dalam UU. Ancaman ini harus diketahui khalayak umum dan membuat setiap orang takut melakukan kejahatan. Karena ancaman pidana ini dapat menimbulkan tekanan kejiwaan bagi setiap orang. Namun teori yang paling maju pada masa itu ini memiliki beberapa kelamahan, antara lain:

a. Penjahat yang pernah atau beberapa kali melakukan kejahatan dan menjalani pidana, perasaan takut terhadap ancaman pidana itu menjadi tipis bahkan hilang. b. Ancaman pidana yang ditetapkan terlebih dahulu itu dapat tidak sesuai dengan

kejahatan yang dilakukan.

c. Orang-orang atau penjahat yang picik (bodoh) atau juga yang tidak mengetahui perihal ancaman pidana itu, sifat menakut-nakutinya menjadi lemah atau tidak ada sama sekali. Karena kelemahan itulah muncul teori pencegahan umum yang menitikberatkan sifat menakut-nakuti itu tidak pada ancaman pidana dalam UU maupun pada eksekusi yang kejam, melainkan pada penjatuhan pidana secara konkret oleh hakim pada penjahat. Menurut Muller, dengan tujuan memberi rasa takut pada penjahat tertentu, hakim diperkenankan menjatuhkan pidana yang beratnya melebihi ancaman pidananya agar para penjahat serupa lainnya menjadi


(29)

16

terkejut dan menyadari perbuatannya dapat dijatuhi pidana berat dan takut melakukan perbuatan serupa.

2). Teori Pencegahan khusus

Menurut teori ini, tujuan pidana adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah orang yang berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu ke dalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya ada tiga macam, yaitu:

a. Menakut-nakutinya b. Memperbaikinya

c. Membuatnya menjadi tidak berdaya

Maksud menakut-nakuti adalah pidana harus dapat memberi rasa takut bagi orang-orang tertentu yang masih ada rasa takut agar ia tidak lagi mengulangi kejahatan yang dilakukannya. Akan tetapi, ada juga orang-orang tertentu yang tidak lagi merasa takut untuk mengulangi kejahatan yang dilakukannya. Pidana yang dijatuhkan terhadap orang-orang seperti ini haruslah bersifat memperbaikinya. Sementara itu, orang-orang yang ternyata tidak dapat lagi diperbaiki, pidana yang dijatuhkan terhadapnya haruslah bersifat membuatnya menjadi tidak berdaya atau bersifat membinasakan.


(30)

Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat. Dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:

a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan teori ini didukung oleh

Pompe, yang berpandangan bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan. Pidana yang besifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila bermanfaat bagi pertahanan tata tertib (hukum) masyarakat.Zevenbergen berpandangan bahwa makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tata tertib hukum sebab pidana itu adalah

mengembalikan dan mempertahankan ketaatan ada hukum dan

pemerintahan. Pidana baru dijatuhkan jika memang tidak ada jalan lain untuk mempertahankan tata tertib hukum itu.

b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat

Menurut simons, dasar primer pidana adalah pencegahan umum, dasar sekundernya adalah pencegahan khusus. Pidana terutama ditujukan pada pencegahan umum yang terletak pada ancaman pidananya dalam UU. Apabila hal ini tidak cukup kuat dan tidak efektif dalam hal pencegahan umum itu, maka barulah diadakan pencegahan khusus yang terletak dalam hal menakut-nakuti, memperbaiki, dan membuat tidak berdayanya penjahat. Dalam hal ini perlu diingat bahwa pidana yang dijatuhkan harus sesuai


(31)

18

dengan hukum dari masyarakat. Menurut Thomas Aquino, dasar pidana ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana, harus ada kesalahan pada pelaku perbuatan, dan kesalahan itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Pidana yang dijatuhkan pada orang yang melakukan dengan sukarela inilah bersifat pembalasan. Sifat membalas pidana adalah sifat umum pidana, tetapi bukan tujuan dari pidana sebab tujuan pidana pada hakikatnya adalah perlindungan tata tertib masyarakat.

Perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu. Perlindungan hukum juga dapat menimbulkan pertanyaan yang kemudian meragukan keberadaan hukum. Hukum sejatinya harus memberikan perlindungan terhadap semua pihak sesuai dengan status hukumnya karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Setiap aparat penegak hukum jelas wajib menegakkan hukum dan dengan berfungsinya aturan hukum, maka secara tidak langsung pula hukum akan memberikan perlindungan terhadap setiap hubungan hukum atau segala aspek dalam kehidupan masyarakat yang diatur oleh hukum itu sendiri.

1.7.2 Teori Perlindungan Hukum

Menurut Fitzgerald, Teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dam mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyrakat karena dalam suatu lalulintas kepentingan, perlindunagn terhadap


(32)

kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatai berbagai kepentingan di lain pihak.Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia

yang perlu diatur dan dilindungi.9 Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni

perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupkan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara angota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum. Hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum10.

Selama ini pengaturan perlindungan korban belum menampakkan pola yang jelas, dalam hukum pidana positif yang berlaku pada saat ini perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”.

9

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan,2001,Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, PT Retika Aditama,Bandung,h.30

10


(33)

20

Artinya berbagai rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada hakekatnya telah ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum dan hak asasi korban.

Perlindungan secara tidak langsung dalam peraturan hukum positif tersebut belum mampu memberikan perlindungan secara maksimal. Karena realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hukum yang berlaku secara pasti belum mampu menjamin kepastian dan rasa keadilan.

1. Perlidungan Hukum Terhdap Korban Tindak Pidana Pencabulan

Perlindungan terhadap korban tindak pidana pencabulan adalah suatu kegiatan pengembangan hak asasi manusia dan kewajiban hak asasi manusia. Perhatian dan perlindungan terhadap korban tindak pidana pencabulan harus diperhatikan karena mereka sangat peka terhadap berbagai macam ancaman gangguan mental, fisik, dan sosial. Selain itu, kerap kali mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memelihara,

membela serta mempertahankan dirinya.11

Perlindungan terhadap korban tindak pidana pencabulan, maka perlu diadakan pengelolaan korban tindak pidana pencabulan, yang meliputi prevensi, terapi dan rehabilitasi. Perhatian seseorang yang ditujukan pada korban, keluarga, lingkungan dan masyarakat luas. Jelasnya dalam pengelolaan korban tindak pidana pencabulan itu akan dapat melibatkan banyak orang dari berbagai macam disiplin :

11

Siti Musdah Mulia,2007,PEREMPUAN:Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Perspektif Islam), Jakarta,h.2


(34)

a. Pencegahan timbulnya pencabulan dan dapat pula dimaksudkan sebagai pencegahan timbulnya masalah seksual di kemudian hari. Untuk menghindari terjadinya tindak pidana pencabulan maka disarankan agar para wanita untuk tidak bepergian seorang diri terutama pada waktu malam hari dan ke tempat yang lenggang dan sunyi. Ada baiknya kalau wanita belajar juga olahraga beladiri, sekedar untuk melindungi diri dari orang-orang yang berbuat jahat. Hindari membawa senjata tajam pada waktu bepergian, bila terjadi usaha pencabulan maka bertindaklah wajar, sedapat mungkin tidak panik atau ketakutan.

b. Terapi pada korban tindak pidana pencabulan memerlukan perhatian yang tidak hanya terfokus pada korban saja. Selain keluhan dari para korban, perlu pula didengar keluhan dari keluarga, keterangan orang yang menolongnya pertama kali dan informasi dari lingkungannya. Kebutuhan akan terapi justru sering ditimbulkan oleh adanya gangguan keluarga atau lingkungannya. Tujuan terapi pada korban tindak pidana pencabulan adalah untuk mengurangi bahkan dimungkinkan untuk menghilangkan penderitaannya. Disamping itu juga untuk memperbaiki perilakunya, meningkatkan kemampuannya untuk membuat dan mempertahankan pergaulan sosialnya. Hal ini berarti bahwa terapi yang diberikan harus dapat mengembalikan si korban pada pekerjaan atau kesibukannya dalam batas-batas kemampuannya dan kebiasaan peran sosialnya. Terapi harus dapat memberi motivasi dan rangsangan agar korban tindak pidana pencabulan dapat melakukan hal-hal yang bersifat produktif dan kreatif.


(35)

22

c. Rehabilitasi korban tindak pidana pencabulan adalah tindakan fisik dan psikososial sebagai usaha untuk memperoleh fungsi dan penyesuaian diri secara maksimal dan untuk mempersiapkan korban secara fisik, mental dan sosial dalam kehidupannya dimasa mendatang. Tujuan rehabilitasi meliputi aspek medik, psikologik dan sosial. Aspek medik bertujuan mengurangi invaliditas, dan aspek psikologik serta sosial bertujuan kearah tercapainya penyesuaian diri, harga diri dan juga tercapainya pandangan dan sikap yang sehat dari keluarga dan masyarakat terhadap para korban tindak pidana pencabulan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka para korban tindak pidana pencabulan selalu mendapatkan pelayanan medik psikiatrik yang intensif.

Perlindungan terhadap korban tindak pidana pencabulan tidak lepas dari akibat yang dialami korban setelah pencabulan. Korban tidak saja mengalami penderitaan secara fisik tetapi juga mengalami penderitaan secara psikis. Adapun penderitaan yang diderita korban sebagai dampak dari pencabulan dapat dibedakan menjadi:

1. Dampak secara fisik 2. Dampak secara mental

3. Dampak dalam kehidupan pribadi dan sosial

Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan yang ingin dicapai, yakni efektivitas hukum. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar supaya masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan sanksi-sanksinya. Sanksi-sanksi tersebut bisa berupa sanksi negatif atau sanksi


(36)

positif, yang maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar manusia tidak melakukan tindakan tercela atau melakukan tindakan yang terpuji. )Diperlukan kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi agar hukum mempunyai pengaruh terhadap sikap tindak atau perilaku manusia. Kondisi-kondisi yang harus ada adalah antara lain bahwa hukum harus dapat dikomunikasikan.

1.7.3 Teori-teori Efektivitas Hukum

Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang pantas. Metode berpikir yang dipergunakan adalah metode deduktif-rasional, sehingga menimbulkan jalan pikiran yang dogmatis. Di lain pihak ada yang memandang hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang teratur (ajeg). Metode berpikir yang digunakan adalah induktif-empiris, sehingga hukum itu dilihatnya sebagai tindak yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, yang mempunyai tujuan tertentu

Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui apabila seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai tujuanya, maka hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan tujuannya atau tidak. Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan yang ingin dicapai, yakni efektivitas hukum. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar supaya masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan sanksi-sanksinya. Sanksi-sanksi tersebut bisa berupa sanksi negatif atau sanksi positif, yang


(37)

24

maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar manusia tidak melakukan tindakan tercela atau melakukan tindakan yang terpuji.

1.8 Metode Penelitian

Agar dapat suatu karya tulis dikatakan sebagai suatu karya yang bersifat ilmiah hendaknya menggunakan metode antara lainnya;

1.8.1Jenis penelitian

Jenis penelitian hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto ada 2 yaitu

jenis penelitian hukum normatif dan jenis penelitian hukum empiris atau sosiologis12.

Penelitian empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam hubungan hidup di masyarakat maka metode penelitian hukum empiris dapat dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan

hukum atau badan pemerintah.Penelitian kaitannya dengan penulisan skripsi ini

termasuk jenis penelitian empiris.

1.8.2Jenis Pendekatan

Dalam penulisan ilmiah ini digunakan pendekatan empiris sosiologis dengan menggunakan pendekatan masalah bagaiman peranaan yang berhubungan dengan

12

Soerjono Soekanto, 1998, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Grafindo Persada, Jakarta, h.15.


(38)

perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan menurut undang-undang nomor 23 tahun 2002.

1.8.3Teknik Pengumpulan Data

Guna memperoleh data yang sesuai dan mencakup permasalahan yang penulis teliti, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu :

1. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah teknik pengumpulan data dengan jalan terjun langsung ke tempat obyek penelitian untuk memperoleh data yang dikehendaki mengenai perilaku pada saat itu juga. Hal tersebut dilakukan dengan wawancara (interview) yaitu pengumpulan data melalui tanya jawab langsung dengan pihak-pihak yang terkait dengan penelitian. Dalam wawancara (interview) ini penulis menggunakan wawancara terarah dengan mempergunakan daftar pertanyaan yang telah diper siapkan secara garis besar.

2. Studi Kepustakaan

Pengumpulan data dengan mempelajari, mengkaji buku-buku ilmiah, literature-literatur, dan peraturan-peraturan yang ada kaitannya atau berhubungan dengan penelitian ini.

Teknik pengumpulan data diperlukan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah dengan cara menggunakan teknik wawancara dan teknik studi dokumen teknik wawancara yaitu tehnik pengumpulan data dengan menajukan pertayaan kepada informan yaitu kepada polisi di Polresta Denpasar yang berkompeten dalam hal perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan menurut undang-undang


(39)

26

nomor 23 tahun 2002. Tehik studi dokumen dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen yang terkait per masalah penelitian. Tujuan dari tehik dokumen ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau pun penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan permasalahan dalam penelitian ini.

1.8.4Teknik Analisis Data

Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data yang dikumpulkan, sehinga siap untuk di analisis dalam hal ini data tersebut terlebih dahulu disusun secara sistematis, kemudian diolah dan di analisis secara kualitatif, sehingga dapat memberi jawaban atas permasalahan penelitian.

Dalam mengolah dan menganalisis data-data yang telah terkumpul baik data primer dan sekunder ini peneliti menggunakan tehnik analisis deskriptiv kualitatif yaitu menguraikan semua data dan peristiwa hukum yang ada di lapangan yang kemudian di hubungkan dengan teori-teori yang ada.Setelah itu, kemudian di ambil kesimpulan tertentu dari hasil pemahaman dan pengertiannya.


(40)

27

TINJAUAN UMUM

2.1 Tinjauan tentang Perlindungan Hukum

Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya karena itu perlindungan hukum tersebut akan melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi

semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan bersama13. Dalam kehidupan dimana

hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral konstitusionalisme, yaitu menjamin kebebasan dan hak warga, maka menaati hukum dan konstitusi pada hakekatnya menaati imperatif yang terkandung sebagai substansi maknawi didalamnya (imperatif : hak-hak warga yang asasi harus dihormati dan ditegakkan oleh pengembang kekuasaan negara dimanapun dan kapanpun, juga ketika warga menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau untuk mempengaruhi jalannya proses pembuatan kebijakan publik. Berlakunya seseorang manusia sebagai pembawa hak (subyek hukum) dimulai saat berada dalam kandungan ibunya dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, hal ini berlangsung selama dia hidup. Sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat 1

dan 2 KUH Perdata Indonesia “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap

sebagai telah dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya, mati sewaktu di lahir kannya dianggap ia tidak pernah telah ada”.14 Berlakunya seseorang manusia sebagai

13

Gatot,Supramono, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan,Jakarta.h.145.

14


(41)

28

pembawa hak (subyek hukum) ialah dimulai saat berada dalam kandungan ibunya sudah dianggap telah dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, hal ini berlangsung selama dia hidup. Setiap anak Indonesia adalah aset bangsa yang sangat berharga, generasi penerus dan sumber daya manusia Indonesia yang bakal menjadi penentu masa depan bangsa dan negara. Negara berkewajiban menciptakan rasa aman dan memberikan perlindungan hukum kepada setiap anak Indonesia agar mereka tumbuh serta berkembang secara wajar dan berperan serta dalam pembangunan. Tujuan perlindungan hukum itu sendiri untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, berkembang dan partisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Dalam Pasal 2 KUH Perdata yang berbunyi: “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendaki”.

Jadi setiap orang dimungkinkan pula berhak sejak ia masih dalam kandungan dan lahirnya harus hidup. Dalam Hukum Perdata Indonesia perlindungan anak bertujuan untuk menjamin dan melindungi hak-haknya agar dalam hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan, diskriminasi dan kekejaman. Yang dinamakan perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan

baik fisik/mental, ataupun anak yang terkena korban perlakuan salah dan penelantaran.15

15


(42)

2.2 Tinjauan Tentang Anak

Anak adalah merupakan bagian terpenting dari seluruh proses pertumbuhan manusia, karena pada masa anak-anaklah sesungguhnya karakter dasar seseorang dibentuk baik yang bersumber dari fungsi otak maupun emosionalnya. Berkualitas atau tidaknya seseorang di masa dewasa sangat dipengaruhi oleh proses pengasuhan dan pendidikan yang diterima di masa kanak-kanaknya. Dengan kata lain, kondisi seseorang di masa dewasa adalah merupakan hasil dari proses pertumbuhan yang diterima di masa anak-anak. Adapun faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan anak adalah orang tua, sekolah dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam hal mengenai pembahasan anak, maka diperlukan suatu perumusan yang dimaksud dengan anak, termasuk mengenai batasan umur. Sampai saat ini ternyata masih banyak, terdapat perbedaan dan pendapat mengenai pengertian anak. Di Indonesia sendiri pengertian anak beserta umurnya diatur menurut bidang hukum masing-masing dan juga terdapat dalam penggunaan berdasarkan kebutuhan. Dalam hal ini dapat dilihat pengertian anak beserta batasan umur menurut ketentuan hukum terdapat perbedaan tolak ukur. Batasan usia dewasa merupakan hal penting untuk menentukan ada tidaknya tanggung jawab seseorang. Dalam melakukan suatu perbuatan. Kenyataannya, dewasa ini batasan usia masih merupakan permasalahan yang belum mendapat pemecahan final. Definisi mengenai pengertian anak dapat dilihat dari berbagai macam peraturan perundang-undangan sebagai berikut :16

a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Menurut KUHPerdata batas kedewasaan anak diatur dalam Buku I bab kelima belas

bagaian kesatu yang terdapat dalam Pasal 330 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Belum

16

Harahap, M, Yahya, 2000, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Penyidikan Dan Penuntutan Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika,h.80


(43)

30

dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin”.17

Dari pernyataan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa anak menurut KUH Perdata yaitu seseorang yang usianya belum mencapai dua puluh satu tahun atau belum pernah kawin sebelum mencapai usia dua puluh satu tahun.Dari pernyataan selanjutnya dalam Pasal 330 KUH Perdata tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang yang telah kawin sebelum usia dua puluh satu tahun dan kemudian perkawinannya itu bubar sebelum usianya mencapai satu tahun pula, maka ia tidak dapat kembali pada satu “anak”.18

b. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Di dalam Pasal 45 KUHP disebutkan bahwa “dalam menuntut anak yang belum cukup

umur (minderjaring) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat memutuskan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa dipidana apaupun ; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, tanpa dipidana apapun”.19

Memberikan batasan umur anak dalam Pasal 45, Pasal 283 angka

1. Pasal 287 angka 1 dan Pasal 290 angka 2 KUHP, yang isinya adalah sebagai berikut :

1) Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun.

2) Memerintahkan supaya si pelaku pidana diserahkan kepada pemerintah.

3) Menghukum si pelaku pidana Sedangkan di dalam pasal-pasal lain diterangkan sebagai berikut :

1) Pasal 283 angka 1 KUHP

17

Ibid, h.36 18

Ibid, h. 100 19


(44)

Diancam dengan pidana paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil, kepada seorang yang belum cukup umur, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, alat itu telah diketahuinya.20

2) Pasal 287 angka 1 KUHP

Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinannya, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sebilan tahun.

3) Pasal 290 angka 2 KUHP

Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas disimpulkan bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dikatakan sebagai “anak” apabila ia belum berumur enam belas tahun.

2.3 Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

Pasal 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 2.4 Anak Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Undang-Undang Perkawinan)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan definisi yang tegas mengenai anak. Setidaknya terdapat dua pasal yang dapat kita analisis untuk mencari

20


(45)

32

batasan mengenai anak yaitu Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1). Pasal 6 ayat (2)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengemukakan : “Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang

belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orangtua”. Pasal 7

ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengemukakan : “Perkawinan hanya diizinkan jika

pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.21

Dari kedua ketentuan pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum seseorang yang belum mencapai umur dua puluh satu tahun masih dikatakan sebagai anak karena masih membutuhkan izin orangtua ketika akan melaksanakan perkawinan (Pasal 6 ayat 2). Secara lebih khusus lagi terdapat perbedaan antara batasan anak antara pria dan wanita, yaitu untuk pria batasan anak adalah seseorang yang berumur kurang dari sembilan belas tahun sedangkan untuk. Wanita batasan anak adalah seseorang yang belum kurang dari enam belas tahun (Pasal 7 ayat (1). Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan akhir bahwa menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat batasan yang berbeda mengenai anak untuk pria dan wanita. Batasan “anak” untuk pria yaitu seseorang yang berumur kurang dari sembilan belas tahun. Sedangkan batasan “anak” untuk wanita yaitu

seseorang yang berumur kurang dari enam belas tahun.22

2.5 Tinjauan tentang Perlindungan Anak

Perlindungan anak adalah suatu kegiatan bersama yang bertujuan mengusahakan pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak yang sesuai dengan kepentingannya dan hak asasinya Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat yang dengan demikian harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan dan bermasyarakat. Perlindungan anak merupakan bidang

21

Ibid, h. 99 22


(46)

pembangunan nasional, melindungi anak berarti melindungi manusia, yaitu membangun manusia seutuhnya.

Hakekat dalam pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dengan mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan nasional, sehingga akibat dari tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang akan mengganggu ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional, yang berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan. Perlindungan anak dalam suatu

masyarakat dan bangsa merupakan tolak ukur peradaban masyarakat dan bangsa tertentu.23

Jadi, demi pengembangan manusia seutuhnya dan beradab, maka kita wajib untuk mengusahakan perlindugan anak sesuai dengan kemampuan demi kepentingan nusa dan bangsa. Dalam hal ini yang mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota masyarakat sesuai dengan kemampunya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu. Pelaksanaan perlindungan anak agar nantinya perlindungan terhadap anak dapat efektif, nasional positif, bertanggung jawab dan bermanfaat haruslah memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :24

a. Para partisipan dalam terjadinya dan terlaksanakannya perlindungan anak harus

mempunyai pengertian-pengertian yang tepat berkaitan dengan masalah perlindungan anak agar dapat bersikap dan bertindak secara tepat dalam menghadapi dan mengatasi

permasalah yang berkaitan dengan pelaksanaan perlindungan anak.25

23

Ibid, h.67

24

R,Sughandi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Penjelasannya. Surabaya, Usaha Nasional.h.35

25


(47)

34

b. Perlindungan anak “harus dilakukan bersama” antara setiap warga negara, anggota masyarakat secara individual maupun kolektif dan pemerintah demi kepentingan bersama dan kepentingan nasional.

c.“Kerjasama dan kordinasi” diperlukan dalam melancarkan kegiatan perlindungan anak yang rasional, bertanggung jawab, dan bermanfaat antara para partisipan yang bersangkutan.

d. Perlunya diusahakan inventarisasi faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan perlindungan anak.

e. Harus dicegah adanya penyalahgunaan kekuasaan, mencari kesempatan yang menguntungkan dirinya sendiri dalam membuat ketentuan yang mengatur masalah perlindungan anak.

f. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

g. Pelaksanaan kegiatan perlindungan anak, pihak anak harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk ikut serta melindungi diri sendiri dan kelak dikemudian hari dapat menjadi orang tua yang berperan aktif dalam kegiatan perlindungan anak.

h. Pelaksanaan kegiatan perlindungan anak tidak boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi pada pihak yang bersangkutan dan oleh karena adanya penimbulkan penderitaan, kerugian pada para pertisipan tertentu.

i. Perlindungan anak harus didasarkan antara lain atas pengembangan hak dan kewajiban asasinya.


(48)

2.6 Tinjauan Tindak Pidana Pencabulan

Menurut Simon ”ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan yang berkenaan dengan kehidupan di bidang seksual, yang dilakukan dengan maksud-maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan.Definisi pencabulan menurut The National Center on Child Abuse and Neglect US,

’sexual assault’ adalah “Kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban’26.

Termasuk kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan seorang anak untuk membuat pornografi atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak. Sedangkan di Belanda memberikan pengertian yang lebih umum untuk pencabulan, yaitu persetubuhan di luar perkawinan yang dilarang yang diancam pidana. Indonesia sendiri tidak memiliki pengertian kata ’pencabulan’ yang cukup jelas. Bila mengambil definisi dari buku Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan Psikoseksual, maka definisi pencabulan adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan. Namun, tidak ada definisi hukum yang jelas yang menjelaskan arti kata pencabulan itu sendiri, baik dalam KUHP, UU Perlindungan Anak maupun UU anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). KUHP menggolongkan tindak pidana pencabulan ke dalam tindak pidana kesusilaan. KUHP belum mendefinisikan dengan jelas maksud daripada pencabulan itu sendiri dan terkesan mencampur adukkan pengertiannya dengan perkosaan ataupun persetubuhan. Sedangkan dalam rencana KUHP yang baru ditambahkan kata ”persetubuhan” disamping pencabulan dan persetubuhan

26


(49)

36

dibedakan. Perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan akan tetapi persetubuhan dapat menimbulkan kehamilan. pencabulan dan persetubuhan dibedakan. Perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan akan tetapi persetubuhan dapat menimbulkan kehamilan. Dewasa ini diperkirakan jumlah anak yang membutuhkan perlindungan khusus makin besar. Kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak-hak anak makin marak. Suatu permasalahan anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang cukup luas. Indonesia sebenarnya telah banyak pula

memberikan perhatian terhadap hak-hak anak.27 Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang usaha kesejahteraan anak dan ikut serta Indonesia dal;am menandatangai konvensi tentang anak hak-hak anak (Convention On The Right of The Child) sebagai hasil Sidang Umum PBB pada tanggal 26 Januari 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI No 36 Tahun 1990.

Namun dalam pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain peraturan pemerintah belum semuanya diwujudkan secara efektif, kesigapan aparat dalam penegakan hukum, dan kurangnya perhatian dan peran serta masyarakat dalam permasalahan anak. Perlindungan anak juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dijelaskan mengenai perlindungan anak yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

27

Laden Marpaung, 2004,Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, cet 2 Siunar Grafika, Jakarta, h.167.


(50)

Pasal 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip Konveksi Hak-hak meliputi :

a. non diskriminasi.

b. kepentingan yang terbaik bagi anak.

c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Sedangkan dalam kasus tindak pidana kesusilaan yang korbannya anak-anak di dalam

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 17 ayat (2) menjelaskan bahwa “setiap anak yang

menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”.28

Dalam hal ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perlindungan anak sebagai korban maupun pelakuk tindak pidana kekerasan seksual mempunyai hak untuk dirahasiakan identitasnya agar tidak diketahui oleh masyarakat luas. Maraknya aksi kekerasan yang akhir-akhir ini terjadi pada anak, baik berupa kekerasan fisik, psikis, maupun seksual, tidak mendapatkan perlindungan hukum dan hak asasi manusia yang memadai sehingga anak berulang kali menjadi korban. Ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak belum dipahami masyarakat luas. Hukum positif di Indonesia saat ini memang sudah mulai mengatur secara khusus bentuk perlindungan untuk mencegah dan penanggulangan kejahatan terhadap anak-anak yaitu tentang kejahatan yang berupa kekerasan terhadap anak, khususnya dalam masalah kasusu pencabulan pada anak. Ketentuan yang mengatur dalam tindak pidana pencabulan yang dilakukan kepada anak-anak terdapat pada KUHP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Sedangkan dalam KUHP pengaturan tersebut terdapat pada Pasal 290, 292, 293, 294, 295.

28


(51)

38

Di berbagai negara terdapat perbedaan definisi mengenai pencabulan, di Amerika mendefinisikan pencabulan adalah “kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban”. Dalam hal ini kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan seorang anak untuk membuat pornografi atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak. Sedangkan di Belanda memberikan pengertian yang lebih umum untuk pencabulan, yaitu “persetubuhan diluar perkawinan yang dilarang yang diancam pidana. Bila mengambil definisi dari buku Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan Psikoseksual, maka definisi pencabulan adalah “semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual

sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan”. R. Soesilo menjelaskan perbuatan cabul di

dalam KUHP yaitu “segala perbuatan yang melanggar kesusilaan ( kesopanan ) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin”29

.

Pencabulan berasal dari kata cabul, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan di dalam kamus hukum berarti : ”Keji dan Kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan)”Menurut Simon ”ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan yang berkenaan dengan kehidupan di bidang seksual, yang dilakukan dengan maksud-maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan.30

29

Mulyana W. Kusumah, 1986, Hukum dan Hak Asasi Manusia Suatu Pemahaman Kritis, Alumni, Bandung .h.20.

30


(52)

Definisi pencabulan menurut The National Center on Child Abuse and Neglect US,

’sexual assault’ adalah “Kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban”. Termasuk kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan seorang anak untuk membuat pornografi atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak. Sedangkan Belanda memberikan pengertian yang lebih umum untuk pencabulan, yaitu persetubuhan di luar perkawinan yang dilarang yang diancam pidana. Indonesia sendiri tidak memiliki pengertian kata ’pencabulan’ yang cukup jelas. Namun, tidak ada definisi hukum yang jelas yang menjelaskan arti kata pencabulan itu sendiri, baik dalam KUHP, UU Perlindungan Anak maupun UU anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga No 23 Tahun 2004 (KDRT).

Tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh kitab undang-undang hukum pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana. suatu tindakan atau tindak pidana mengingat tempat, waktu, kepentingan dan kebijaksanaan golongan yang berkuasa dan pandangan hidup, berhubungan dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebudayaan pada masa dan tempat tertentu31.

31


(1)

b. Perlindungan anak “harus dilakukan bersama” antara setiap warga negara, anggota masyarakat secara individual maupun kolektif dan pemerintah demi kepentingan bersama dan kepentingan nasional.

c.“Kerjasama dan kordinasi” diperlukan dalam melancarkan kegiatan perlindungan anak yang rasional, bertanggung jawab, dan bermanfaat antara para partisipan yang bersangkutan.

d. Perlunya diusahakan inventarisasi faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan perlindungan anak.

e. Harus dicegah adanya penyalahgunaan kekuasaan, mencari kesempatan yang menguntungkan dirinya sendiri dalam membuat ketentuan yang mengatur masalah perlindungan anak.

f. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

g. Pelaksanaan kegiatan perlindungan anak, pihak anak harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk ikut serta melindungi diri sendiri dan kelak dikemudian hari dapat menjadi orang tua yang berperan aktif dalam kegiatan perlindungan anak.

h. Pelaksanaan kegiatan perlindungan anak tidak boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi pada pihak yang bersangkutan dan oleh karena adanya penimbulkan penderitaan, kerugian pada para pertisipan tertentu.

i. Perlindungan anak harus didasarkan antara lain atas pengembangan hak dan kewajiban asasinya.


(2)

2.6 Tinjauan Tindak Pidana Pencabulan

Menurut Simon ”ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan yang berkenaan dengan kehidupan di bidang seksual, yang dilakukan dengan maksud-maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk

kesusilaan.Definisi pencabulan menurut The National Center on Child Abuse and Neglect US,

’sexual assault’ adalah “Kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam

posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban’26.

Termasuk kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan seorang anak untuk membuat pornografi atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak. Sedangkan di Belanda memberikan pengertian yang lebih umum untuk pencabulan, yaitu persetubuhan di luar perkawinan yang dilarang yang diancam pidana. Indonesia sendiri tidak memiliki pengertian kata ’pencabulan’ yang cukup jelas. Bila mengambil definisi dari buku Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan Psikoseksual, maka definisi pencabulan adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan. Namun, tidak ada definisi hukum yang jelas yang menjelaskan arti kata pencabulan itu sendiri, baik dalam KUHP, UU Perlindungan Anak maupun UU anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). KUHP menggolongkan tindak pidana pencabulan ke dalam tindak pidana kesusilaan. KUHP belum mendefinisikan dengan jelas maksud daripada pencabulan itu sendiri dan terkesan mencampur adukkan pengertiannya dengan perkosaan ataupun persetubuhan. Sedangkan dalam rencana KUHP yang baru ditambahkan kata ”persetubuhan” disamping pencabulan dan persetubuhan

26


(3)

dibedakan. Perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan akan tetapi persetubuhan dapat menimbulkan kehamilan. pencabulan dan persetubuhan dibedakan. Perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan akan tetapi persetubuhan dapat menimbulkan kehamilan. Dewasa ini diperkirakan jumlah anak yang membutuhkan perlindungan khusus makin besar. Kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak-hak anak makin marak. Suatu permasalahan anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang cukup luas. Indonesia sebenarnya telah banyak pula

memberikan perhatian terhadap hak-hak anak.27 Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang usaha kesejahteraan anak dan ikut serta

Indonesia dal;am menandatangai konvensi tentang anak hak-hak anak (Convention On The Right

of The Child) sebagai hasil Sidang Umum PBB pada tanggal 26 Januari 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI No 36 Tahun 1990.

Namun dalam pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain peraturan pemerintah belum semuanya diwujudkan secara efektif, kesigapan aparat dalam penegakan hukum, dan kurangnya perhatian dan peran serta masyarakat dalam permasalahan anak. Perlindungan anak juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dijelaskan mengenai perlindungan anak yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

27

Laden Marpaung, 2004,Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, cet 2 Siunar Grafika, Jakarta, h.167.


(4)

Pasal 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip Konveksi Hak-hak meliputi :

a. non diskriminasi.

b. kepentingan yang terbaik bagi anak.

c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Sedangkan dalam kasus tindak pidana kesusilaan yang korbannya anak-anak di dalam

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 17 ayat (2) menjelaskan bahwa “setiap anak yang

menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”.28

Dalam hal ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perlindungan anak sebagai korban maupun pelakuk tindak pidana kekerasan seksual mempunyai hak untuk dirahasiakan identitasnya agar tidak diketahui oleh masyarakat luas. Maraknya aksi kekerasan yang akhir-akhir ini terjadi pada anak, baik berupa kekerasan fisik, psikis, maupun seksual, tidak mendapatkan perlindungan hukum dan hak asasi manusia yang memadai sehingga anak berulang kali menjadi korban. Ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak belum dipahami masyarakat luas. Hukum positif di Indonesia saat ini memang sudah mulai mengatur secara khusus bentuk perlindungan untuk mencegah dan penanggulangan kejahatan terhadap anak-anak yaitu tentang kejahatan yang berupa kekerasan terhadap anak, khususnya dalam masalah kasusu pencabulan pada anak. Ketentuan yang mengatur dalam tindak pidana pencabulan yang dilakukan kepada anak-anak terdapat pada KUHP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Sedangkan dalam KUHP pengaturan tersebut terdapat pada Pasal 290, 292, 293, 294, 295.

28


(5)

Di berbagai negara terdapat perbedaan definisi mengenai pencabulan, di Amerika mendefinisikan pencabulan adalah “kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban”. Dalam hal ini kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan seorang anak untuk membuat pornografi atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak. Sedangkan di Belanda memberikan pengertian yang lebih umum untuk pencabulan, yaitu “persetubuhan diluar perkawinan yang dilarang yang diancam pidana. Bila mengambil definisi dari buku Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan Psikoseksual, maka definisi pencabulan adalah “semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual

sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan”. R. Soesilo menjelaskan perbuatan cabul di

dalam KUHP yaitu “segala perbuatan yang melanggar kesusilaan ( kesopanan ) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin”29

.

Pencabulan berasal dari kata cabul, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan di dalam kamus hukum berarti : ”Keji dan Kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan)”Menurut Simon ”ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan yang berkenaan dengan kehidupan di bidang seksual, yang dilakukan dengan maksud-maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum

untuk kesusilaan.30

29

Mulyana W. Kusumah, 1986, Hukum dan Hak Asasi Manusia Suatu Pemahaman Kritis, Alumni, Bandung .h.20.

30


(6)

Definisi pencabulan menurut The National Center on Child Abuse and Neglect US,

’sexual assault’ adalah “Kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban”. Termasuk kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan seorang anak untuk membuat pornografi atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak. Sedangkan Belanda memberikan pengertian yang lebih umum untuk pencabulan, yaitu persetubuhan di luar perkawinan yang dilarang yang diancam pidana. Indonesia sendiri tidak memiliki pengertian kata ’pencabulan’ yang cukup jelas. Namun, tidak ada definisi hukum yang jelas yang menjelaskan arti kata pencabulan itu sendiri, baik dalam KUHP, UU Perlindungan Anak maupun UU anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga No 23 Tahun 2004 (KDRT).

Tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh kitab undang-undang hukum pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana. suatu tindakan atau tindak pidana mengingat tempat, waktu, kepentingan dan kebijaksanaan golongan yang berkuasa dan pandangan hidup, berhubungan dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebudayaan pada masa dan tempat tertentu31.

31


Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Terhadap Tabanni (Pengangkatan Anak) Menurut Fikih Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

2 78 131

Perlindungan Hukum Anak Angkat Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Ditinjau Dari Hukum Islam

1 39 137

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang)

1 11 52

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

1 20 55

Tinjauan tentang pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan pencabulan menurut undang undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

0 7 62

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERAN PENDAMPING TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN KEKERASAN FISIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 3 12

PENDAHULUAN PERAN PENDAMPING TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN KEKERASAN FISIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 3 13

PENUTUP PERAN PENDAMPING TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN KEKERASAN FISIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 4 6

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 2 122

ADVOKASI BP3AKB TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK JO UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 0 12