Analisis Hukum Terhadap Tabanni (Pengangkatan Anak) Menurut Fikih Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
TESIS
Oleh
MITRA SUPRAYUDI
117011089/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
MITRA SUPRAYUDI
117011089/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
Nomor Pokok : 117011089
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD )
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)(Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
(4)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
2. Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum
3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum
(5)
Nama : EVELYN
Nim : 117011029
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : UPAYA HUKUM WAJIB PAJAK BADAN TERHADAP
HASIL PEMERIKSAAN PAJAK
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama :EVELYN Nim :117011029
(6)
adalah pengangkatan yang mengarah kepada putusnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandung termasuk dalam hal panggilan nasab. Namun, jika pengangkatan anak didasarkan pada rasa belas kasihan dan saling bantu membantu bukanlah sesuatu yang dilarang bahkan dianjurkan dalam agama Islam. Persoalan
tabanni(pengangkatan anak) yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya adalah dengan cara menghilangkan status atau hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya, artinya dengan sengaja tidak memberitahukan bahwa sebenarnya mereka mengangkat anak tersebut dan tidak dilahirkan dari rahim sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Fikih Islam yang tidak mengenal pengangkatan anak dalam arti menjadi anak kandung secara mutlak. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai latar belakang konseptabaniditinjau dari fikih Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, prosedur tabani menurut fikih Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan akibat hukum dari tabani menurut Fikih Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Perwalian dan kemashlahatan, sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan pendapat ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan dan wawancara.
Pengangkatan anak dengan memutuskan hubungan darah (nasab) diharamkan dalam hukum Islam, yang diperbolehkan adalah pengangkatan anak dalam pengertian pemeliharaan, pengasuhan tanpa memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya, sedangkan pengangkatan anak dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak merupakan pengalihan hak anak dari orang tua kandung kepada orang tua angkat dengan prinsip demi kepentingan terbaik bagi anak. Prosedur pengangkatan anak dapat dilakukan ke Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri (bagi non Muslim), dan akibat hukum pengangkatan anak umumnya timbul dengan adanya penetapan pengadilan dengan tidak memutuskan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya, yang beralih adalah hak perwaliannya. Dalam hal pewarisan, pengangkatan anak berdasarkan penetapan pengadilan berhak atas harta warisan dari orang tua angkatnya berdasarkan wasiat wajibah.Ketiga,dengan adanya penetapan pengangkatan anak dari pengadilan maka konsekuensinya adalah perlindungan terhadap anak angkat dapat terjamin terhadap perwalian hukum maupun harta warisan dari orang tua angkatnya
(7)
The cild adoption which is not allowed in the teaching of Islam is the adoption leading to the breakup of legal relationship between the adopted child and his/her biological parents including in terms of lineage calls. But, if the child adoption is based on mercy and mutual help, it is not prohibited but suggested in Islam. The problem of tabani (child adoption) practices by the community in general is by removing the status or relationship between the adopted child and his/her biological parents or deliberately, the adopted parents do not tell their adopted child that he/she is not their biological child. This is not in accordance with Islamic Fiqh (Jurisprudence) which does not recognize child adoption in the sense of absolutely taking the adopted child as an biological child. The problems discussed in this study were the background of the concept of tabani viewed from Islamic Fiqh and Law No. 23/2002 on Child Protection, the procedure of tabani according to Islamic Fiqh and Law No. 23/2002 on Child Protection, and the legal consequences of tabani in accordance with Islamic Fiqh and Law No. 23/2002 on Child Protection.
This normative juridical study employed welfare and guardianship theory and conducted a deep analysis on the regulation of legislation, jurisprudence, and legal expert opinion. The used in this study were obtained through documentation study and interviews.
Child adoption which removes the blood relationship (nasab) is not allowed in Islamic Law while what is allowed is the child adoption in sense of taking care of the child without removing the child’s blood relationship with his/her biological parents. According to Law No. 23/2002 on Child Protection, child adoption is the transfer of the rights of a child from his/her biological parents to his/her adopted parents for the best of the child adopted. The procedure is that child adoption can be done in Religious Court or State Court (for non-Muslim), the legal consequences of child adoption, generally, come up with the court decision without removing the blood relationship (nasab) of the adopted child with his/her biological parents. What is trasferred is only the right of guardianship of the child. In relation to inheritance, the child adopted based on court decision has the right to receive inheritance from his/her adopted parents under the wajibah will. The protection for the child adopted based on the court decision is that his/her legal guardianship and the distribution of inherited property from his/her adopted parents are guaranteed.
(8)
dan rahmat hidayah-Nya Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul“Analisis Hukum Terhadap Tabanni (Pengangkatan Anak) Menurut Fikih Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak”, yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Pada penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih kepada komisi pembimbing, yang terhormat Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS, CN, dan ibu Dr. Utary Maharani Barus, SH., M.Hum.
Selanjutnya Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara di Medan
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan
2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
(9)
5. Para staf pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Teristimewa dengan ketulusan hati Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang tercinta kedua orang tua Penulis, ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan doa, perhatian dan kasih sayang serta dukungannya kepada Penulis. 8. Rekan-rekan mahasiswa pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Group C angkatan 2011. 9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga perhatian dan bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini jauh dari sempurna, walaupun demikian Penulis mengharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Desember 2013 Penulis
(10)
1. Nama : Mitra Suprayudi 2. Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 20 Juni 1986
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Status : Belum Menikah
5. Agama : Islam
6. Alamat : Jln. Tengku Bey, Perumahan Peputra
Indah II, Blok G No. 180 Pekan Baru.
II. KELUARGA
1. Nama Ayah : Budiono (Alm)
2. Nama Ibu : Marini
3. Nama Saudara : Dra. Yuniarsih
Suci Yovita Devi Triana Erika Ningsih Ir. Panca Saputra Linda Sari, SE Puji Astuti, S.Sos Lusi Sulistia, SE
III. PENDIDIKAN
1. SD : SD Panca Budi Medan
Tahun 1994-1998
2. SMP : SLTP YLPI Pekan Baru
Tahun 1998-2001
3. SMA : SMU Handayani Pekan Baru
Tahun 2001-2004 4. Perguruan Tinggi (S1) : Universitas Islam Riau
Tahun 2004-2010
5. Perguruan Tinggi (S2) : Program Studi Magister Kenotariatan FH Universitas Sumatera Utara Tahun 2011-2013
(11)
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR ISTILAH ... viii
DAFTAR SINGKATAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Keaslian Penelitian ... 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 13
G. Metode Penelitian... 21
BAB II LATAR BELAKANG KONSEP TABANNI DITINJAU DARI FIKIH ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK... 24
A. Konsep Tabanni Menurut Fikih Islam ... 24
B. Pengangkatan Anak Dalam Undang Nomor 23 Tahun 2002... 33
C. Alasan/Motivasi Pengangkatan Anak ... 35
BAB III PROSEDUR TABANI MENURUT FIKIH ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK ... 42
A. Pelaksanaan Tabanni Menurut Fikih Islam... 42
B. Prosedur Pengangkatan Anak pada Pengadilan Agama ... 50 C. Prosedur Pengangkatan Anak Menurut Undang-undang
(12)
ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK... 83
A. Akibat Hukum Yang Timbul Dengan Adanya Pengangkatan Anak Dalam Perspektif Fikih Islam... 83
B. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002... 93
C. Pengawasan Terhadap Pengangkatan Anak (tabanni) ... 99
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 110
A. Kesimpulan ... 110
B. Saran ... 111
(13)
Ba’da Dukhul : setelah berhubungan
Contentiosa : suatu gugatan
Iddah : masa tunggu
Ikhtiar : berusaha
Mahrom : berhubungan darah
Munakahat : pernikahan
Nasab : kerabat
Single Parent : orang tua tunggal
Ta’awun : berbuat baik
Tabanni : pengangkatan anak
Tirkah : harta peninggalan
(14)
SAW : Shalallahu‘alaihi Wasallam
UU : Undang-undang
Q.S : Qur’an Surah
KHI : Kompilasi Hukum Islam
(15)
adalah pengangkatan yang mengarah kepada putusnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandung termasuk dalam hal panggilan nasab. Namun, jika pengangkatan anak didasarkan pada rasa belas kasihan dan saling bantu membantu bukanlah sesuatu yang dilarang bahkan dianjurkan dalam agama Islam. Persoalan
tabanni(pengangkatan anak) yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya adalah dengan cara menghilangkan status atau hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya, artinya dengan sengaja tidak memberitahukan bahwa sebenarnya mereka mengangkat anak tersebut dan tidak dilahirkan dari rahim sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Fikih Islam yang tidak mengenal pengangkatan anak dalam arti menjadi anak kandung secara mutlak. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai latar belakang konseptabaniditinjau dari fikih Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, prosedur tabani menurut fikih Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan akibat hukum dari tabani menurut Fikih Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Perwalian dan kemashlahatan, sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan pendapat ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan dan wawancara.
Pengangkatan anak dengan memutuskan hubungan darah (nasab) diharamkan dalam hukum Islam, yang diperbolehkan adalah pengangkatan anak dalam pengertian pemeliharaan, pengasuhan tanpa memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya, sedangkan pengangkatan anak dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak merupakan pengalihan hak anak dari orang tua kandung kepada orang tua angkat dengan prinsip demi kepentingan terbaik bagi anak. Prosedur pengangkatan anak dapat dilakukan ke Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri (bagi non Muslim), dan akibat hukum pengangkatan anak umumnya timbul dengan adanya penetapan pengadilan dengan tidak memutuskan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya, yang beralih adalah hak perwaliannya. Dalam hal pewarisan, pengangkatan anak berdasarkan penetapan pengadilan berhak atas harta warisan dari orang tua angkatnya berdasarkan wasiat wajibah.Ketiga,dengan adanya penetapan pengangkatan anak dari pengadilan maka konsekuensinya adalah perlindungan terhadap anak angkat dapat terjamin terhadap perwalian hukum maupun harta warisan dari orang tua angkatnya
(16)
The cild adoption which is not allowed in the teaching of Islam is the adoption leading to the breakup of legal relationship between the adopted child and his/her biological parents including in terms of lineage calls. But, if the child adoption is based on mercy and mutual help, it is not prohibited but suggested in Islam. The problem of tabani (child adoption) practices by the community in general is by removing the status or relationship between the adopted child and his/her biological parents or deliberately, the adopted parents do not tell their adopted child that he/she is not their biological child. This is not in accordance with Islamic Fiqh (Jurisprudence) which does not recognize child adoption in the sense of absolutely taking the adopted child as an biological child. The problems discussed in this study were the background of the concept of tabani viewed from Islamic Fiqh and Law No. 23/2002 on Child Protection, the procedure of tabani according to Islamic Fiqh and Law No. 23/2002 on Child Protection, and the legal consequences of tabani in accordance with Islamic Fiqh and Law No. 23/2002 on Child Protection.
This normative juridical study employed welfare and guardianship theory and conducted a deep analysis on the regulation of legislation, jurisprudence, and legal expert opinion. The used in this study were obtained through documentation study and interviews.
Child adoption which removes the blood relationship (nasab) is not allowed in Islamic Law while what is allowed is the child adoption in sense of taking care of the child without removing the child’s blood relationship with his/her biological parents. According to Law No. 23/2002 on Child Protection, child adoption is the transfer of the rights of a child from his/her biological parents to his/her adopted parents for the best of the child adopted. The procedure is that child adoption can be done in Religious Court or State Court (for non-Muslim), the legal consequences of child adoption, generally, come up with the court decision without removing the blood relationship (nasab) of the adopted child with his/her biological parents. What is trasferred is only the right of guardianship of the child. In relation to inheritance, the child adopted based on court decision has the right to receive inheritance from his/her adopted parents under the wajibah will. The protection for the child adopted based on the court decision is that his/her legal guardianship and the distribution of inherited property from his/her adopted parents are guaranteed.
(17)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan makhluk ciptaan Allah yang wajib dilindungi dan dijaga kehormatan, martabat dan harga dirinya secara wajar, baik secara hukum, ekonomi, politik, sosial maupun budaya tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan. Anak merupakan generasi bangsa yang harus dijamin hak hidupnya agar bisa tumbuh dan berkembang sesuai kodratnya. Oleh karenanya, anak harus dijaga dan dirawat dengan baik, karena anak merupakan anugerah dan perhiasan kehidupan fana ini sekaligus pelengkap kebahagiaan dalam sebuah rumah tangga.1
Anak yang lahir dari hubungan yang tidak halal pun ini tetap tidak mengurangi kualitasnya sebagai sosok yang dilahirkan dalam keadaan suci tanpa menanggung dosa yang telah diperbuat oleh orang tuanya. Oleh karenanya, anak yang fitrah ini, harusnya bisa mendapatkan status dan kehidupan yang layak dalam hidupnya, apalagi anak merupakan titipan Allah dalam sebuah keluarga sehingga bisa menjadi penghibur lara yang suatu saat bisa menghampiri.
Suatu perkawinan tidaklah bahagia tanpa kehadiran seorang anak. Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi kadang-kadang naluri ini terbentur pada takdir Ilahi, dimana kehendak mempunyai anak tidak tercapai.2
1Mufidah Ch.,Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender,(Malang: UIN Malang Press,
2008), hal. 299-300.
2
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tiinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 1.
(18)
Keinginan suami istri untuk mendapatkan buah hati adalah keinginan yang sejalan dengan fitrah kemanusiaan sebagai bapak atau ibu, tidak ada penghalang dari sisi syar'i bagi keduanya untuk berikhtiar dalam batas-batas kaidah syariat yang suci, namun terkadang ikhtiar mereka berdua belum juga membuahkan hasil, upaya keras mereka dibayangi aroma kegagalan, padahal harapan hati akan buah hati sudah sedemikian menggebu, akhirnya muncul pemikiran untuk menempuh jalan tabanni, mengangkat anak yang tidak lahir dari rahim sendiri sebagai anak dan hidup dalam keluarga tersebut.
Pengangkatan anak dalam Fikih Islam dikenal dengan sebutantabbani.Istilah
Tabanni sebenarnya sudah menjadi tradisi dikalangan mayoritas masyarakat Arab. Hal ini juga pernah dilakukan Nabi SAW terhadap Zaid bin Haritsah. Dalam kamus
al-Munawwir, istilah tabanni diambil dari kata al-Tabannîyang berasal dari Bahasa Arab mempunyai arti mengambil, mengangkat anak atau mengadopsi.3 Dalam
Ensiklopedi Hukum Islam, tabanni disebut dengan “adopsi” yang berarti “pengangkatan anak orang lain sebagai anak orang lain.4
Secara terminologis, Ahmad al-Ghandûr dalam Abd. Aziz Dahlan, memberikan definisitabannidengan: “...pengambilan anak orang lain oleh seseorang yang diketahui nasabnya, kemudian di-nasab-kan sebagai anaknya.”5
Senada dengan apa yang diungkapkan Ahmad al-Ghandûr, Muhammad
3Ahmad Warson Munawwir.Al-Munawwir. (Surabaya: Pustaka Progressif) 1997. hal. 111. 4
Abd. Aziz Dahlan. et.al. Ensiklopedi Hukum Islam.(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve) 1996, hal. 27.
(19)
Muhyiddîn Abdul Hamîd dalam sebuah kitabnya memberikan definisi: “…pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasabnya, kemudian anak itu dinasabkan kepada dirinya”.6
Pengertian lain, tabanni adalah pengambilan anak oleh seseorang baik laki-laki atau perempuan yang dengan sengaja me-nasab-kan seorang anak kepada dirinya, sedangkan anak tersebut mempunyai nasab yang jelas. Muhammad Thaha Abul Ela Kalifah dalam bukunya juga mendefinisikan al-Tabannî dengan: “...adopsi (tabanni) ialah menasabkan seorang anak kepada dirinya, baik laki-laki maupun perempuan dan bukan anak kandung.”7
Pada hakikatnya, definisi di atas terdapat kesamaan dalam memberikan pengertian yaitu pengambilan anak oleh seseorang, baik laki-laki maupun perempuan terhadap anak (bukan anak kandung) yang diketahui nasabnya, kemudian menasabkannya.
Menurut Hilman Hadi Kusuma menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap sebagai anak sendiri oleh orang tua dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.8
Dari pengertian-pengertian ini, dapat diketahui bahwa titik temu adalah penasaban anak angkat kepada orang yang mengangkatnya. Syekh Mahmûd Syaltût
6Ibid., hal. 29. 7
Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah, Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat Islam,
(Solo: Tiga Serangkai), 2007. hal. 649.
8Hil,man Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti,
(20)
dalam Abdul Manan memberikan dua pengertian tabanni yang berbeda, yaitu:
a. Seseorang yang mengangkat anak, yang diketahui bahwa anak itu termasuk anak orang lain, kemudian ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya, baik dari kasih sayang maupun nafkah (biaya hidup), tanpa ia memandang perbedaan. Meskipun demikian, agama Islam tidak menganggap sebagai anak kandung, karena ia tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandung.
b. Seseorang yang tidak memiliki anak kemudian menjadikan seseorang anak orang lain sebagai anaknya, padahal ia mengetahui bahwa anak itu bukan anak kandungnya, lalu ia menjadikannya sebagai anak sah.9
Dari dua pengertian yang diberikan oleh Mahmûd Syaltût, tabanni dalam pengertian yang pertama lebih didasarkan pada hati nurani untuk merawat seorang anak yang tidak mampu agar bisa diberikan pendidikan, ekonomi dan perlindungan yang layak sehingga anak tersebut tumbuh dengan baik.Al-Tabannîdalam pengertian yang kedua lebih dititik beratkan kepada penasaban seorang anak kepada orang tua angkatnya. Hal ini dilarang oleh Islam, karena dapat mengkaburkan status seseorang atau ada unsur pemalsuan asal-usul seorang anak, sehingga status ajnabi menjadi hilang dan berganti menjadi mahram.10
Secara ringkas istilahtabannimempunyai dua pengertian yaitu:
a. Pengangkatan anak orang lain yang diketahui nasabnya oleh seseorang dan di-nasab-kan kepadanya,
b. Pengangkatan anak orang lain yang diketahui nasabnya oleh seseorang yang untuk dipelihara dan diberikan kasih sayang seperti layaknya anak sendiri.11
9
Abdul Manan.Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2008). hal. 66.
10Ibid. 11Ibid.
(21)
Pada prinsipnya pengangkatan anak (adopsi) adalah perbuatan hukum dengan cara mengambil anak orang lain yang bukan keturunannya untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunan sendiri.12
Faktor lain dari tabanni terkadang karena keinginan mereka untuk meringankan beban orang tua kandung anak angkatnya yang serba minim, baik karena hidup pas-pasan atau karena mempunyai anak yang banyak. Alhasil, faktor ini menjadi penyebab kurangnya perhatian terhadap kesehatan, pendidikan, perawatan, pengajaran, dan kasih sayang anak-anaknya. Setiap anak yang dilahirkan memerlukan perawatan, pemeliharaan, dan pengasuhan untuk mengantarkannya menuju kedewasaan. Pembentukan jiwa anak sangat dipengaruhi oleh cara perawatan dan pengasuhan anak sejak dia dilahirkan. Tumbuh kembang anak diperlukan perhatian yang serius, terutama masa-masa sensitif anak, misalnya balita (bayi dibawah lima tahun). Demikian pula perkembangan psikologis anak juga mengalami fase-fase yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan jiwanya.13
Persoalantabanni (pengangkatan anak) yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya adalah dengan cara menghilangkan status atau hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya, artinya dengan sengaja tidak memberitahukan bahwa sebenarnya mereka mengangkat anak tersebut dan tidak dilahirkan dari rahim sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Fikih Islam yang tidak mengenal pengangkatan anak dalam arti menjadi anak kandung secara mutlak, sedang yang di perbolehkan atau anjuran hanya untuk memelihara dengan tujuan memperlakukan anak dalam segi 12Surojo Wignjodipoero,Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung,
Cetakan 6, 1987), hal.117.
(22)
kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan atau pelayanan dalam segala kebutuhan yang bukan memperlakukan sebagai anak kandung (nasab).14
Pengangkatan anak atau adopsi bukanlah merupakan suatu hal yang baru. Di Indonesia sendiri, masalah pengangkatan anak ada diatur dalam Pasal 39 sampau dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
Tujuan dari lembaga pengangkatan anak antara lain untuk meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak ada anak. Hal ini merupakan motivasi yang dapat dibenarkan dan salah satu jalan keluar dan alternatif yang positif dan manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam pelukan keluarga, setelah bertahun-tahun belum dikaruniai seorang anak.15
Kenyataannya sekarang ini, perkembangan masyarakat menunjukan bahwa tujuan lembaga pengangkatan anak tidak lagi semata-mata atas motivasi untuk meneruskan keturunan saja, tetapi lebih beragam dari itu. Ada berbagai motivasi yang mendorong seseorang untuk mengangkat anak, bahkan tidak jarang pula karena faktor politik, ekonomi, sosial dan sebagainya.16
Secara umum disadari, bahwa yang terpenting dalam soal pengangkatan anak ini adalah demi kepentingan yang terbaik bagi si anak. Pengangkatan anak selalu
14
Ibid., hal. 304.
15 Muderis Zaini,Op.Cit., hal. 7.
16Andi Syamsu Alam dan H.M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,
(23)
mengutamakan kepentingan anak daripada kepentingan orang tua. Pengangkatan anak melarang pemanfaatan anak untuk kepentingan orang lain. Pengangkatan anak meliputi usaha mendapatkan kasih sayang, pengertian dari orang tua angkatnya, serta menikmati hak-haknya tanpa mempersoalkan ras, warna, seks, kebangsaan atau sosial.17
Islam yang turun sebagai rahmat li al-âlamîn mengatur segala aspek kehidupan manusia, baik yang vertikal dan horizontal, termasuk juga dalam rangka memberikan perlindungan pemeliharan sehingga kesejahteraan anak bisa terjamin hingga dewasa dan mampu berdiri sendiri. Maka, Institusi keluarga dalam Islam, menjadi bahasan yang sangat penting dalam Fikih Islam. Institusi kekeluargaan yang utuh adalah penting untuk menjamin kebahagiaan dalam sebuah keluarga. Sebaliknya keruntuhan institusi keluarga pula bisa menyebabkan pelbagai kesan negatif.18
Dalam institusi hukum keluarga Islam, untuk memenuhi hak-hak anak yang dilahirkan atau untuk memberikan status dan kesejahteraan anak, dikenal sebuah istilah Iqrâr bi al-Nasab yang bertujuan untuk memberikan status nasab atau memperjelas asal usul seorang anak yang tidak teridentifikasi nasabnya. Status nasab yang diberikan kepada seorang anak akan mempunyai efek dalam kehidupannya di masa mendatang.
Al-Tabannî atau tabanni (pengangkatan anak) juga dikenal dalam lapangan hukum keperdataan, khususnya lapangan hukum keluarga. al-Tabannî mempunyai dua pengertian. Pertama; mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh kasih sayang, tanpa diberikan status ‘anak kandung” kepadanya, hanya
17Muderis Zaini,Op.Cit., hal. 8.
(24)
saja ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua; mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya, dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya.19
Anak angkat dalam pengertian yang pertama lebih didasari oleh perasaan seseorang yang menjadi orang tua angkat untuk membantu orang tua kandung dari anak angkatnya atau bagi pasangan yang tidak dikaruniai keturunan, agar anak angkat bisa dididik atau disekolahkan, sehingga diharapkan nantinya anak tersebut bisa mandiri serta dapat meningkatkan taraf hidupnya di masa yang akan datang. Anak angkat dalam pengertian yang kedua terkait dengan masalah hukum, seperti statusnya, akibat hukumnya, dan sebagainya. Anak angkat dalam pengertian yang kedua secara hukum telah berkembang dan dikenal di berbagai negara, termasuk di Indonesia sendiri, khususnya dalam bidang keperdataan.20
Tabanni merupakan bahasan yang sangat penting, karena pranata dalam lapangan hukum kepardataan tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada anak agar bisa tumbuh kembang dengan baik di masa mendatang. Namun disisi lain dua pranata tersebut tentu ada perbedaan, apalagi peristiwa hukum yang dijalani, prosesnya berbeda, sehingga melahirkan akibat hukum yang berbeda sebagai konsekuensi dari sebuah peristiwa hukum. Maka, konsekuensi yang berbeda itulah agar bisa dipahami dan diinternalisasikan dalam kehidupan masyarakat, sehingga tetap dalam batas-batas ketentuan Fikih Islam.
19 Ibid., hal. 71.
(25)
Pengangkatan anak dapat memutuskan hubungan hukum dengan orang tua kandungnya dan bahkan panggilan terhadap anak angkat dinasabkan kepada orang tua angkat. Tradisi ini jelas tidak sesuai dengan Al-Qur’an dalam surah Al-Ahzab ayat (4) dan (5) yang artinya:
”... dan ia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri yang demikian ituhanyalah perkataan di mulut saja dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula (pengabdi) kamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.21
Menurut ayat (4) Surat Al-Ahzab ini adalah bahwa anak angkat bukanlah anak kandung, menyebutkan namanya saja tidak boleh dinasabkan kepada yang angkatnya dilanjutkan dengan ayat (5) yang maksudnya agar tidak menyesatkan hubungan darah karena tidak jelasnya hubungan darah yang dapat berakibat pada kelirunya rancangan perkawinan dan pada akhirnya dapat menyesatkan pembagian harta warisan. Gangguan seperti inilah yang ingin dihindari oleh ajaran Islam agar kedudukan nasab antara anak dan orang tua kandung tidak terputus.
Nabi Muhammad saw melakukan pengangkatan anak bukan bermaksud untuk memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandung tetapi karena didasarkan pada rasa belas kasihan. Ajaran ini menjadi dasar kuat bagi keberadaan anak angkat sepanjang tidak mengaburkan pertalian keturunannya. Pengangkatan anak atas dasar
21Ahmad Kamil,Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, (Jakarta: Raja
(26)
belas kasihan merupakan bagian dari berbuat baik sesuai ajuran Qur’an surat Al-Maidah ayat (2) yaitu: ”Berlomba-lombalah berbuat kebajikan dan bertolong-tolonglah dalam melakukan kebaikan dan jangan bertolong-tolongan dalam dosa dan permusuhan”.
Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 5 adalah pembatalan penyebutan dalam arti membangsakan seorang anak kepada selain ayahnya sendiri.22
Pengangkatan anak yang dilarang dalam ajaran Islam adalah pengangkatan yang mengarah kepada putusnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandung termasuk dalam hal panggilan nasab. Namun, jika pengangkatan anak didasarkan pada rasa belas kasihan dan saling bantu membantu bukanlah sesuatu yang dilarang bahkan dianjurkan dalam agama Islam.23
Berdasarkan uraian di atas memberikan gambaran terkait dengan konsekuensi hukum atau akibat hukum yang ditimbulkannya. Maka, dalam pembahasan ini akan dipaparkan tentang “Analisis Hukum Terhadap Tabanni (Pengangkatan Anak) Menurut Fikih Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak”. Dalam pembahasan ini, peneliti mencoba menkomparasikan tabanni (pengangkatan anak) dalam lapangan hukum berdasarkan fikih Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta akibat hukum yang ditimbulkan dari keduanya.
22Ibid., hal. 59. 23Ibid., hal. 61.
(27)
B. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang melatar belakangi konsep tabani ditinjau dari fikih Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?
2. Bagaimana prosedur tabani menurut fikih Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?
3. Bagaimana akibat hukum dari tabani menurut Fikih Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?
C. Tujuan Penelitian
Dari permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang konsep tabani ditinjau dari fikih Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis prosedur tabani menurut fikih Islam dan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum dari tabani menurut Fikih Islam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
(28)
pengetahuan dan menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan hukum hak anak angkat menurut Undang-Undang Perlindungan Anak maupun fikih Islam.
2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pihak dalam menyelesaikan permasalahan terhadap pengangkatan anak dan bagi masyarakat sebagai bahan masukan untuk mengetahui tata cara pengangkatan anak, fungsi serta perlindungan hukum anak angkat.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai Analisis Hukum Terhadap Tabanni Menurut Fikih Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, namun beberapa penelitian yang membahas mengenai masalah hak anak angkat, antara lain diteliti oleh :
1. Tresna Hariadi, NIM 027011065, mahasiswi Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara tahun 2004, berjudul Hak Anak Angkat Dari Orang Tua Angkat dalam Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama Medan). Permasalahan dalam tesis ini adalah :
a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan bagi Pengadilan Agama Medan dalam memberikan harta peninggalan orang tua angkat kepada anak angkat ? b. Bagaimanakah pandangan hukum Islam dan Pengadilan Agama Medan dalam
menentukan hak anak angkat atas harta peninggalan orang tua angkatnya ? c. Bagaimanakah ukuran keadilan yang diterapkan Pengadilan Agama Medan
(29)
untuk menentukan hak anak angkat ?
2. T. Dewi Melfi Hamid, NIM 047011067, mahasiswi Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara tahun 2006, berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adopsi) Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing (Studi Kasus di Departemen Sosial Republik Indonesia). Permasalahan dalam tesis ini adalah :
a. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan seseorang melakukan pengangkatan anak ?
b. Bagaimanakah akibat hukum yang ada dari setiap pengangkatan anak menurut Hukum Perdata dan Hukum Islam ?
c. Bagaimanakah kedudukan Hukum Perdata dan Hukum Islam dalam melindungi hak anak angkat ?
Akan tetapi dari segi materi, substansi dan permasalahan serta pengkajian dalam penelitiannya berbeda sama sekali, dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat saya pertanggungjawaban.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan ”kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak
(30)
disetujui.24
Kerangka teori25 adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam memilih konsep-konsep yang tepat guna pembentukan hipotesa-hipotesanya. Teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti tetapi harus dianggap petunjuk analisis dari hasil penelitian yang dilakukan sehingga merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini.
Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.26
Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.27
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum, maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami pelaksanaan pengangkatan anak menurut fikih Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada kerangka teori yang
24M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Mandar Maju: Bandung, 1994), hal. 80. 25Ibid,hal. 129. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa didalam penelitian hukum juga dapat
disusun dengan menerangkan metode klasifikasi dan memilih ruang lingkup yang akan diteliti.
26
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press), 1986, hal. 6.
(31)
digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori kemaslahatan hukum dan teori perwalian.
Setiap orang harus ada walinya. Wali itu dapat terdiri dari orang tuanya atau orang lain yang ditunjuk oleh orang tuanya atau ditetapkan oleh pengadilan. Wali ini penting dalam hubungannya dengan perkawinan bila yang bersangkutan perempuan, berkaitan dengan harta benda dan pewarisan.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa teori perwalian sebagai teori pendukung, teori ini penting diikutsertakan karena pada dasarnya semua orang harus ada walinya. Wali terhadap anak secara realitas memang sangat dibutuhkan. Setiap ada urusan tentang anak selalu dikaitkan dengan orang tua atau walinya.
Kemaslahatan dalam perspektif hukum Islam adalah sesuatu yang prinsip. Prinsip maslahat sebagai dasar orientasi perkembangan hukum Islam telah disepakati oleh para ahli.28 Imam al-Ghazali, ahli fikih mazhab Syafi’i mengemukakan pengertian mashlahat adalah “Mengambil manfaat dan menolak kemuhdaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syarak”.29 Ia memandang bahwa suatu kemashlahatan harus sejalan dengan tujuan syarak, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Alasannya adalah, kemashlahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syarak, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.
28
Efrinaldi.multiply.com/journal/item/15.teori kemaslahatan, diakses tanggal 5 Nopember 2013.
29Zamakhsyari, Teori-teori Hukum Islam: Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung:
(32)
Para ahli ushul Fiqih mengemukakan beberapa mengemukakan beberapa pembagian mashlahat, berdasarkan segi kualitas dan kepentingan kemashlahatan, yang salah satunya yaitu Al-mashlahah al-Dharuriyah, yaitu kemashlahatan yang berkaitan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan akhirat. Yang termasuk dalam kemashlahatan ini adalah memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal pikiran, memelihara keturunan dan memelihara harta.30 Hal ini menunjukkan bahwa memelihara keturunan merupakan salah satu tujuan dari kemashlahatan.
Teori pendukung lain atau wacana yang berikutnya dalam analisis ini adalah teori keadilan,31 merupakan teori yang menganalisis dan menjelaskan tentang hak mengasuh, merawat, memelihara dan mewujudkan perlindungan hak-hak anak. Dapat dipastikan adanya ketidakadilan apabila anak yang telah hilang orang tuanya tidak mendapat perhatian apapun dari orang lain atau juga tidak adil apabila orang tua yang tidak memperoleh anak tidak mendapat tempat mencurahkan kasih sayangnya.32
Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Hakikat pembangungan nasional adalah membangun manusia seutuhnya. Melindungi anak
30Ibid, hal. 38.
31Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah,(Bandung: Al-Maarif, 1994), hal. 160, menyebutkanhadhanah
berasal dari katahidhanartinya lambung, seperti katahadhana ath-thaa iru baidaduartinya burung itu mengepit telur di bawah sayapnya. Begitu pula dengan perempuan (ibu) yang mengasuh anaknya. Mengasuh anak yang masih kecil hukumnya wajib sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Lihat Mat Saad Abd. Rahman, Undang-Undang Keluarga Islam, Aturan Perkawinan, Shas Alam, Selangor Daerah Ehsan Malaysia, Hizbi, 2002, hal. 121, mengatakanhadhanahbermaksud pemeliharaan anak-anak yang masih kecil baik laki-laki atau perempuan.
32
A. Hamid Saarong, Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Hukum Indonesia, (USU: Medan, 2007), hal. 9.
(33)
adalah melindungi manusia yaitu membangun manusia seutuhnya. Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan nasional.
Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial, yang dapat menggangu ketertiban, keamanan dan pembangunan nasional. Berarti perlindungan anak yang salah satu upayanya melalui pengangkatan anak harus diusahakan apabila ingin mensukseskan pembangunan nasional kita.
Selain teori utama yang dipergunakan sebagai alat analisis penelitian ini, juga akan didukung dengan beberapa teori lain sebagai teori pendukung atau wacana yaitu teori kepastian hukum.
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibabankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.33
Hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud kongkrit. Oleh karenanya pertanyaan
33Peter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group,
(34)
tentang apakah hukum itu senantiasa merupakan pertanyaaan yang jawabannya tidak mungkin satu. Dengan kata lain, persepsi orang mengenai hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang hukum itu dari sudut pandang mereka sebagai hakim, kalangan ilmuwan hukum akan memandang hukum dari sudut profesi keilmuan mereka, rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang mereka dan sebagainya.
Anak yatim dan anak miskin yang telah ditentukan menjadi tanggung jawab negara harus ada jalan keluar yang realistik. Tanggung jawab negara tidak hanya dalam bentuk mendirikan panti asuhan tetapi juga merumuskan perundang-undangan yang dapat memberikan perlindungan keapda anak yatim dan anak miskin. Negara mempunyai kekuasaan untuk mewujudkan perlindungan hak dari anak angkat ini.
Teori pengayoman dapat juga sebagai teori pendukung lainnya. Hukum melindungi manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif, dengan memberikan perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang manusiawai.
Melindungi secara pasif adalah memberikan perlindungan dalam berbagai kebutuhan, menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan sehingga manusia yang diayomi dapat hidup damai dan tentram.34
Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Perlindungan Anak, didalamnya diatur bahwa negara dan pemerintah
34Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Pembangunan,
(35)
berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dekungan dan prasarana dalam menyelenggarakan perlindungan anak. Pasal 23 ayat (1) menyebutkan negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
Kemudian Pasal 24 juga menyebutkan negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.selanjutnya Pasal 25 menyebutkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui peran masyarakat dalam menyelenggarakan perlindungan anak.
2. Konsepsi
Kerangka konsepsional ini penting dirumuskan agar tidak tersesat kepemahaman lain, diluar maksud penulis. Konsepsional ini merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping unsur lainnya seperti asas dan standar. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu sari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.35
Dalam bahasa Latin, kata conceptus (dalam bahasa Belanda, begrip) atau pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan defenisi
yang dalam bahasa Latin adalahdefenitio. Defenisi tersebut berarti perumusan (dalam bahasa Belanda onschrijving) yang pada hakekatnya merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang dikenal didalam epistimologi
35Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996) dan Aminuddin dan H.
(36)
atau teori ilmu pengetahuan.36 Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsional atau pengetian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.37
Terlihat dengan jelas bahwa suatu konsepsional atau suatu kerangka konsepsional pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis (tinjauan pustaka) yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun, suatu kerangka konsepsional terkadang dirasakan masih juga abstrak sehingga diperlukan defenisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit didalam proses penelitian.38 Maka konsepsional merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati, konsepsional terdiri dari variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris.39
Konsep disini apa mengandung makna dan operasional dari konsep yang digunakan. Konsep tersebut yaitu:
1. Hukum adalah keseluruhan norma yang oleh penguasa masyarakat yang berwenang menetapkan hukum, dinyatakan atau dianggap sebagai peraturan yang mengikat bagi sebagian atau seluruh anggota masyarakat tertentu, dengan tujuan
36Konsep berbeda dengan teori, dimana teori biasanya terdiri dari pernyataan yang
menjelaskan hubungan kausal antara dua variable atau lebih. Noeng Muhadjir,Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Roke Sarasni, 1996), hal. 22-23 dan 58-59, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,
Ibiddan Aminuddin dan H. Zainal Asikin,Ibid.
37
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Op.Cit, hal. 21.
38
Satjipto Rahardjo, Op.cit,hal. 30 dan Aminuddin dan H. Zainal Asikin,Op.Cit, hal. 48.
39Koentjaraningrat, et-al,Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1980),
(37)
untuk mengadakan suatu tata yang dikehendaki oleh penguasa tersebut.40
2. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
3. Tabanni adalah pengangkatan anak orang lain oleh suatu keluarga dengan maksud memelihara dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang seperti mereka memperlakukan anak kandung sendiri.41
4. Fikih Islam.
Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’,42 Fikih juga diartikan sebagai buku yang membahas berbagai persoalan hukum Islam (ibadah, muamalah, pidana, peradilan, jihad, perang dan damai) berdasarkan hasil ijtihad ulama fikih dalam memahami al-Qur’an dan hadis yang dikaitkan dengan realitas yang ada dengan menggunakan berbagai metode ijtihad.43
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan44 tentang Analisis Hukum
40Novianti92's Blog, “Pengertian Dan Aspek Hukum”,
http://novianti92.wordpress.com/2012/03/10/tugas-1-pengertian-dan-aspek-hukum/, Diakses tanggal 27 Januari 2013.
41Rahman Ritonga. et.al. 1997.Ensklopedi Hukum Islam. Buku 1. (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997), hal. 85.
42
Muslim.or.it, “Fikih Islam”, http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/fiqih-islam.html,
Diakses tanggal 29 Januari 2013.
43Ritonga. et.al.Op.Cit., hal. 343. 44Soerjono Soekanto,Op.Cit, hal. 63.
(38)
Terhadap Tabanni Menurut Fikih Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, khususnya fikih Islam. Undang-Undang Perlindungan Anak dan peraturan pelaksanaannya. Sifat penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya terhadap peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.45
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.46 a. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu
1) Al-Qur’an 2) Fikih Islam
3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 4) Undang-Undang Dasar 1945.
5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 6) Kompilasi Hukum Islam.
7) Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. 8) Surat Edaran Mahkamah Agung RI Tentang Pengangkatan Anak.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah
45Bambang Waluyo,Metode Penelitian Hukum,(Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 13. 46Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(39)
dari kalangan hukum yang berhubungan dengan Tabanni.
c. Bahan hukum tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedi atau majalah yang terkait dengan Tabanni.
3. Alat Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu :
a. Studi dokumen yaitu untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan dengan caramempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang terkait selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.
b. Wawancara yaitu menghimpun data dengan melakukan wawancara kepada informan yang terkait dengan Tabanni.
4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan dari nara sumber sehingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.
Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta di evaluasi kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis. Oleh karena itu, data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini
(40)
BAB II
LATAR BELAKANG KONSEP TABANNI DITINJAU DARI FIKIH ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK A. Konsep Tabanni Menurut Fikih Islam
Pengangkatan anak dalam fikih Islam disebut dengan tabanni memiliki dua pengertian yaitu pengangkatan anak oleh seseorang terhadap anak orang lain yang diketahui nasabnya, kemudian memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandung baik kasih sayang atau nafkahnya (biaya hidup) tanpa diberikan status nasab, dan menasabkan seorang anak orang lain sebagai anaknya dan ia mengetahui bahwa anak itu bukan anak kandungnya, lalu menjadikan anak sah.47
Pengangkatan anak yang mempunyai pengertian secara mutlak sudah menjadi praktik di zaman jahiliyah, telah dilarang oleh Allah SWT karena menghilangkan asal-usul yang asli anak angkatnya. Adanya pengalihan status nasab menjadi sebab pelarangan pengangkatan anak secara mutlak, walaupun di dalamnya juga terdapat ingin membantu meringankan beban anak angkatnya. Pengangkatan anak yang bertujuan untuk memelihara, mengasuh, memungut, dan mendidik anak-anak yang terlantar demi kepentingan dan kemaslahatan anak dengan tidak memutuskan nasabnya terhadap orang tua kandungnya adalah perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh ajaran Islam. Bahkan dalam kondisi tertentu di mana tidak ada orang lain yang memeliharanya, maka bagi orang yang mampu secara ekonomi dan psikis
47Muhammad Amin Summa. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam., (Jakarta: PT.
(41)
yang menemukan anak terlantar tersebut hukumnya wajib untuk mengambil dan memeliharanya tanpa harus memutus nasab dengan orang tua kandungnya.
Pengangkatan anak dalam pengertian ta’awun, dengan menanggung nafkah anak sehari-hari, memelihara dengan baik, memberikan pakaian, pelayanan kesehatan, demi masa depan anak yang lebih baik, justru merupakan suatu amal baik yang dilakukan oleh sebagian orang yang mampu menggantikan baik hati yang tidak dianugerahi oleh Allah SWT, mereka mematrikan perbuatan pengangkatan anak sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan mendidik, memelihara anak-anak dari kalangan fakir miskin yang terabaikan hak-haknya sebagai anak karena kefakiran dan kemiskinan orang tuanya. Tidak diragukan lagi, bahwa usaha-usaha semacam itu merupakan suatu amal yang disukai dan dipuji oleh Islam.
Entitas tersebut yaitu pengangkatan anak tentunya mempunyai implikasi yang sudah menjadi konsekuensi dari keduanya. Maka, dalam membahas akibat hukumnya dalam kaidah Fikih Islam akan diuraikan sebagai berikut:
1. Status Nasab
Tujuan syariah Islam adalah untuk menjaga eksistensi manusia dalam berbagai tingkat kehidupannya, baik secara primer (dharûriyah), sekunder (hâjjiyah) maupun pelengkap (tahsîniyah). Tingkatan primer merupakan tingkatan kebutuhan manusia yangesensial, yang apabila tidak terpenuhi menjadikan hilangnya eksistensi manusiawinya, sehingga tingkatan ini menghendaki adanya realisasi dan perwujudan dalam konteks kehidupan yang nyata (tahqîqu wa ijâduhâ) serta pemeliharaan
(42)
terhadap eksistensinya (al muhâfadhat ‘alâ baqâihâ).48
Memelihara keturunan (hifdh al-Nasl) merupakan salah satu tingkat primer kebutuhan manusia dalam paling esensi untuk menjaga eksistensinya agar tidak merusak keturunan. Oleh karenanya, pengangkatan anak dalam Islam hanya bertujuan untuk memberikan pemeliharaan dan perlindungan kepada anak angkat tanpa adanya pengalihan nasab. Sehingga, eksistensi anak dalam status nasabnya tidak menjadi rusak karena tidak bercampur dengan keturunan yang bukan nasabnya.
2. Kewarisan
Sistem kewarisan dalam Islam tidak sama dengan sistem kewarisan hukum sekuler dan kewarisan ala Tionghoa. Sistem kewarisan Islam sangat memerhatikan aspek maslahat dalam aplikasinya. Sehingga, dalam pandangan Islam, ahli waris yang berhak mendapatkan harta warisan hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan (nasab) baik dari golongan furû’, ushûl dan hawâsyî, perkawinan ( al-mushâharah).49
Kewarisan yang berlaku dalam hukum sekuler tidak memerhatikan hal tersebut, sehingga anak angkat menjadi bagian ahli waris dari keluarga angkatnya. Begitu juga dengan kewarisan ala (adat) Tionghoa yang menyisihkan keluarga yang mempunyai hubungan nasab dari pada keluarga angkatnya. Bisa dipastikan, bahwa hal ini akan melahirkan konflik dalam sebuah keluarga, karena adanya perselisihan
48
MA. Muhaimin, et al.Kawasan dan Wawasan Studi Islam.(Jakarta: Kencana, 2005), hal. 293. 49Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid,Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaharuan Hukum
(43)
dalam penentuan ahli waris.50
Islam yang sangat memerhatikan mashlahat, tetap memerhatikan hubungan nasab dan perkawinan (al-mushârah) dalam menentukan ahli waris. Artinya, siapapun yang tidak mempunyai hubungan darah, tidak bisa menjadi ahli waris. Sehingga anak angkat yang tidak masuk dalam kategori nasab dan perkawinan, tidak berhak mendapatkantirkah dengan cara waris. Ia tidak mempunyai hubungan nasab dengan orang tua angkatnya, dan tidak pula dilahirkan dari rahim orang tua angkatnya. Anak angkat tetap menjadi ahli waris dan mendapatkan warisan dari orang tua kandungnya saja.
Masuknya anak angkat sebagai ahli waris akan melahirkan kecemburuan sosial di antara keluarga (ahli waris), sebab ahli waris akan merasa dirugikan dengan kehadiran anak angkat sebagai ahli waris. Dengan masuknya anak angkat sebagai ahli waris juga akan mengurangi bagian harta warisan para ahli waris.51 Mengingat hubungan yang sudah akrab antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, apalagi kalau yang diangkat itu diambil dari keluarga dekat sendiri, serta memerhatikan jasa baiknya terhadap rumah tangga orang tua angkatnya, maka dia bisa mendapatkan harta orang tua angkatnya dengan cara hibah pada waktu orang tua angkatnya belum meninggal dan cara wasiat setelah orang tua angkatnya meninggal.
Pemberian wasiat tidak boleh melebihi sepertiga harta dihitung dari total harta yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat. Apabila orang tua angkatnya mempunyai ahli
50Ibid.
(44)
waris, maka ia tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga. Jika wasiatnya lebih dari sepertiga harta yang ditinggalkan, maka tidak boleh dilaksanakan kecuali atas izin dari ahli waris.52
Apabila orang yang meninggal tidak meninggalkan wasiat, sedang hartanya banyak, maka penguasa (ulil amri) berhak mengeluarkan kebijakan yang tidak perlu disandarakan kepada ada atau tidaknya seseorang meninggalkan wasiat pada masa hidupnya, tetapi kepada hukum atau undang-undang yang berlaku. Hal inilah yang disebut dengan wasiat wajibah. Tujuan dari wasiat wajibah ini yaitu untuk membantu anak angkat tetap bisa bertahan dan mampu menafkahi dirinya sendiri.
Bagian warisan yang bisa diterima oleh orang yang diakui dengan secara tidak langsung, berdasarkan pernyataan Yahyâ al-Laitsî mengutip pendapatnya Imam Malik (dalam warisan orang yang diakui) yang artinya:53
Saya mendengar Malik berkata: masalah sosial yang berada ditengah-tengah kita adalah tentang seorang laki-laki yang mati dan meninggalkan beberapa anak. Kemudian salah satu diantara mereka berkata: “ayahku telah mengakui bahwa fulan adalah anaknya”, nasab anak itu tidak bisa bersambung hanya dengan kesaksaian satu orang. Pengakuan itu tidak bisa (tidak bersambung ke ayahnya) kecuali hanya kepada anak yang mengakuinya itu dan mendapatkan bagian dari harta yang diterima orang yang melakukan kesaksian. Malik berkata: maksud tersebut adalah orang yang meninggal, meninggalkan dua orang anak dan meninggalkan harta sebanyak 600 dinar, maka masing dari keduanya mendapatkan 300 dinar, kemudian salah satu dari mereka melakukan kesaksian bahwa ayahnya yang telah meninggal mengakui bahwa fulan adalah anaknya, maka dari tangan orang yang melakukan kesaksian itu diberikan 100 dinar dan itu bagian waris dari mustalhaq (orang diaku). Jika yang satunya juga mengakui hal tersebut, maka dia mendapat 100 dinar darinya, sehingga haknya terpenuhi dan nasabnya bersambung.
52Ibid., hal. 72. 53Ibid., hal. 73.
(45)
Jika anak yang diaku (mustalhaq lah) tidak mempunyai hubungan nasab, karena syarat-syarat dalam pengakuan tidak terpenuhi, maka ia tidak berhak menerima warisan seperti halnya anak angkat. Hal itu disebabkan karena anak yang diaku tidak mempunyai hubungan nasab denganmustalhiq.
3. Perkawinan
Islam mensyariatkan perkawinan adalah untuk menjaga nasab agar tidak terjadi kerancuan dan hal itu merupakan maqâsid al-syarîah dalam Islam. Sehingga dengan perkawinan, yang halal tetap menjadi halal dan yang haram tetap menjadi haram. Maka, tidak dimasukkannya anak angkat sebagai mahram keluarga angkatnya adalah agar statusnya ia sebagai orang yang halal tidak menjadi kabur dan tidak beralih menjadi mahram. Anak angkat tetap tidak termasuk sebagai orang yang mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan, sehingga ia tetap ajnabi
(asing).
Ketentuan ini adalah untuk menjaga timbulnya fitnah di kemudian hari, sehingga tetap jelas apa yang halal disisi Allah dan begitu pula apa yang haram disisi-Nya. Artinya, ketentuan tersebut untuk menghindari kesalahpahaman yang halal dan haram. Hal ini biasanya terjadi karena anak angkat biasanya dianggap sebagai anak sendiri dalam satu keluarga, sehingga seakan-akan dia menjadi mahram. Padahal dia sesungguhnya orang lain yang haram disentuh, bahkan haram dilihat auratnya.
Apabila anak angkat hidup dan tinggal bersama keuarga angkatnya, maka ia tetap harus menjaga jarak atau tetap berada dalam ketentuan Fikih Islam dalam berinteraksi sehari-hari. Berbeda halnya dengan anak yang diakui(mustalhaq lah), ia
(46)
bisa menjadi mahram mustalhiq, jika pengakuannya sah karena statusnya menjadi anak sah secara syar’i, ia pun menjadi mahram, bukan lagi halal (untuk dinikahi) dalam keluarga tersebut.
Anak angkat tidak masuk dalam kategori hubungan nasab dan tidak pula hubunganal-mushaharah. Jika ada hubungan al-mushaharahantara anak angkat dan keluarga angkatnya, maka anak tersebut mempunyai hubungan mahram yang menyebabkan lahirnya larangan perkawinan. Misalnya, ibu kandung anak angkat dinikahi oleh ayah angkatnya dan terjadi persetubuhan, maka anak tersebut (bila perempuan) tidak boleh dinikahi oleh ayah angkatnya karena statusnya sudah menjadi anak tiri.54
Dengan demikian, anak angkat yang tidak menjadi mahram keluarga angkatnya, dapat dinikahi oleh keluarga angkatnya. Misalnya, anak angkatnya seorang perempuan, ia boleh dinikahi oleh ayah angkatnya atau saudara angkatnya atau yang lainnya dalam keluarga tersebut. Bagi mustalhaq lah (jika perempuan) tidak dapat dinikahi, karena dia haram (mahram) dengan keluargamustalhiq.55
4. Perwalian
Perwalian terhadap anak, terdiri dari perwalian terhadap dirinya, harta, dan dirinya dan harta secara sekaligus. Anak yang masih belum mampu untuk melakukan pekerjaan dengan baik (belum cakap hukum), perlu mendapatkan perwalian dalam setiap urusannya. Hal ini untuk menghindarkan anak dari penipuan (misal: dalam
54Ibid. 55Ibid., hal. 63.
(47)
membelanjakan hartanya). Mendampingi anak atau menjadi walinya tidak hanya dalam konteks membelanjakan hartanya saja, tetapi juga menjadi wali dalam perkawinannya jika ia seorang perempuan atau bahkan dalam perwalian diri dan hartanya secara sekaligus.
Menjadi wali nikah, pada hakikatnya hanyalah orang yang mempunyai hubungan darah (ayah danashabah dalam kewarisan). Wali anak angkat perempuan ialah orang tua kandungnya, bukan orang tua angkatnya. Kecuali jika orang tua kandungnya mewakilkan kepada orang tua angkatnya.56
Berbeda dalam perwalian harta, kurator atau orang yang bertindak sebagai wali, tidak harus orang yang mempunyai hubungan nasab. Lebih ditekankan adalah orang yang mampu untuk mendampingi dan mengawasi anak tersebut dalam membelanjakan hartanya dan mengurusi segala keperluannya, baik anak itu anak angkat atau anak sah secara syar’i (mustalhaq lah). Semua itu adalah untuk memberikan pelayanan dan pendidikan kepada setiap anak yang dilahirkan, apalagi anak tersebut termasukal-laq’th(anak temuan).57
5. Nafkah
Pada dasarnya, pengangkatan dan pengakuan bertujuan untuk memberikan pelayanan, perawatan, pemeliharaan dan pendidikan dan kesejahteraan terhadap anak.
Tabanni yang dianjurkan oleh Islam adalah tabanni dalam arti luas, tidak hanya terbatas pada pengangkatan anak oleh sebuah keluarga yang tidak mempunyai keturunan, tetapi kepentingan anak juga harus diperhatikan. Pemberian nafkah diharapkan mampu memberikan kesejahteraan dan maslahat kepada setiap anak.
56Ibid. 57Ibid.
(48)
Artinya, pemberian nafkah dapa membantu anak dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya hingga ia dewasa dan mampu mandiri.
Pemberian nafkah terhadap anak angkat, sebenarnya bukan merupakan kewajiban ayah angkatnya. Tabanni yang dilakukan oleh sebuah keluarga menyebabkan adanya peralihan tanggung jawab dalam memberikan nafkah dari orang tua kandung kepada orang tua angkat, terlebih orang tua kandung tidak mampu secara ekonomi. Adanya hubungan timbal balik ini karena anak angkat nantinya juga akan berjasa dalam keluarga, yaitu sebagai pelengkap keluarga yang tidak mempunyai keturunan.
Tidak ada akibat hukum dari tabanni ini, yang ada hanyalah terciptanya hubungan kasih sayang dan beralihnya tanggung jawab dalam memberikan nafkah. Di samping itu,tabanni dalam arti mendidik, dan memelihara anak yang terabaikan hak-haknya karena kefakiran dan kemiskinan juga bisa dijadikan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT.58
Untuk pengukuhan anak, pemberian nafkah merupakan suatu kewajiban yang menjadi konsekuensi yang ditimbulkan. Adanya hubungan ayah dan anak melahirkan adanya hak dan kewajiban di antara keduanya, begitu juga sebaliknya. Orang tua (secara syar’i) berkewajiban untuk memberikan pendidikan, pelayanan dan nafkah kepada anaknya (mustalhaq lah). Ini juga sebagai usaha agar orang tuanya dapat menghindarkan anak tersebut dari kefakiran dan kemiskinan.
Pengakuan secara tidak langsung yang masih membutuhkan pembenaran dari pihak ketiga, tidak selamanya melahirkan kewajiban ayah terhadap anak. Apabila pengakuan tersebut tidak dibenarkan oleh pihak ketiga, maka kewajiban untuk
(49)
memberikan nafkah berada di bawah tanggungan orang yang mengakuinya, misal orang yang mengaku saudara. Hubungan hanya terbatas hubungan kekeluargaan saja, seperti memberi nafkah, memelihara, dan memberikan pendidikan secukupnya tanpa adanya hubungan nasab dengan pihak ketiga.
B. Pengangkatan Anak Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Mengangkat anak saat ini adalah merupakan hal yang wajar dilakukan bagi setiap orang. Baik bagi mereka yang belum dikaruniai keturunan ataupun yang telah dikaruniai keturunan. Karena mengangkat anak diperbolehkan oleh Undang-undang dan telah diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak merupakan landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab terhadap perlindungan anak. Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengenai pengangkatan anak dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur dalam pasal 39 sampai dengan pasal 41.
Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandung. Pasal 91 ketentuan peralihan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak selanjutnya menyatakan bahwa pada saat berlakunya Undang-Undang tersebut,
(50)
semua peraturan yang berkaitan dengan perlindungan anak tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Anak.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam rangka melakukan pengangkatan anak, seperti yang disebutkan dalam pasal 39, yaitu:
1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
3. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
4. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
5. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat
Sementara dalam pasal 40 disebutkan bahwa:
1. Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.
(51)
2. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.
Hal ini menegaskan bahwa dalam hal pengangkatan anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, seorang anak angkat harus mengetahui tentang asal usulnya dan tentang orang tua kandungnya, juga diberi kebebasan untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Seperti juga ditegaskan dalam pasal 7 ayat (2) yang menyatakan bahwa dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut mendorong perlunya perlindungan anak dalam rangka kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap anak. Perlindungan anak merupakan usaha untuk menciptakan kondisi yang melindungi anak untuk dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Pada dasarnya bila diperhatikan dari segi manapun juga tujuan pengangkatan anak mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk memperoleh keturunan.
C. Alasan/Motivasi Pengangkatan Anak
Dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak, sangat penting melihat alasan/motivasi pengangkatan anak sehingga sangat perlu diperhatikan, dan harus
(52)
dipastikan dilakukan demi kepentingan yang terbaik untuk anak. Motivasi merupakan suatu pengertian yang melingkupi penggerak, alasan-alasan, dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu. Misalnya seseorang menjadi anggota perkumpulan maka motivasinya antara lain ingin sesuatu yang baru bersama anggota perkumpulannya tersebut.59
Dalam kaitannya dengan pengangkatan anak berarti dengan adanya alasan-alasan atau motivasi atau dorongan yang melatar belakangi seseorang melakukan perbuatan hukum mengangkat anak. Apabila melihat pada alasan/motivasi serta tujuan pengangkatan anak, maka akan banyak sekali ragamnya. Akan tetapi menurut Djaja S. Meliala, alasan terutama yang terpenting adalah:
1. Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya.
2. Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan memeliharanya di hari tua.
3. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak di rumah maka akan dapat mempunyai anak sendiri.
4. Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada. 5. Untuk menambah atau mendapatkan tenaga kerja.
6. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan /kebahagiaan keluarga.60
59W.A. Gerungan,Psikologi Sosial Suatu Ringkasan, (Jakarta: Eresco, 1977), hal. 142. 60Djaja S.Meliala, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, (Bandung: Tarsito, 1982),
(53)
Ada beberapa alternatif yang digunakan sebagai dasar atau alasan dilaksanakan suatu pengangkatan anak antara lain:
1. Dilihat dari sisi adoptant, karena ada alasan sebagai berikut: a. Keinginan mempunyai keturunan atau anak.
b. Keinginan untuk mendapat teman bagi dirinya sendiri atau anaknya.
c. Kemauan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang lain yang membutuhkan.
d. Adanya ketentuan hukum yang memberi peluang untuk melakukan suatu pengangkatan anak.
e. Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak untuk kepentingan pihak tertentu.
2. Dilihat dari sisi orang tua anak, karena alasan sebagai berikut : a. Perasaan tidak mampu untuk membesarkan anaknya sendiri.
b. Kesempatan untuk meringankan beban sebagai orang tua karena ada pihak yang ingin mengangkat anaknya.
c. Imbalan-imbalan yang dijanjikan dalam hal penyerahan anak. d. Saran-saran dan nasihat pihak keluarga atau orang lain.
e. Keinginan agar anaknya hidupnya lebih baik dari orang tua kandungnya. f. Ingin agar anaknya terjamin materiil selanjutnya.
g. Masih mempunyai anak beberapa lagi.
h. Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anaknya sendiri. i. Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu sebagai akibat hubungan
(54)
tidak sah.
j. Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu mempunyai anak yang tidak sempurna fisiknya.61
Dalam kaitannya dengan motivasi pengangkatan anak, menurut Datuk Usman ada berbagai motif dari pengangkatan anak ini antara lain :
1. Tidak mempunyai anak (untuk melangsungkan keturunan). 2. Agar ada orang yang mengurus apabila sudah tua nantinya. 3. Untuk melanjutkan dan memelihara harta benda.
4. Untuk pemeliharaan berkala.
5. Untuk memasukkan seseorang kedalam masyarakat hukum.
6. Mengangkat derajat seseorang kepada kedudukan yang lebih tinggi.
7. Karena belas kasihan kepada anak yatim piatu atau orang tuanya tidak mampu. 8. Karena anak-anaknya yang ada hanya laki-laki/perempuan saja, sedangkan ia
menginginkan sebaliknya.
9. Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat mempunyai anak kandung.
10. Untuk menambah tenaga dalam keluarga. 11. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan.
12. Anak dahulu sering penyakitan atau meninggal, maka anak yang baru lahir diserahkan kepada keluarga lain untuk diadopsi agar anak selalu sehat dan
61Irma Setyowati Soemitro,Aspek Hukum Perlindungan Anak,(Jakarta: Bumi Aksara, 1990),
(55)
panjang umur.
13. Mengangkat anak tiri menjadi anak kandung (di Rejang disebutMulang Jurai, di Kalimantan disebutNgukup).
14. Mengangkat kedudukan anak perempuan. Biasanya anak perempuan sendiri dirubah kedudukannya serupa dengan kedudukan anak laki-laki, misalnya di Bali disebut denganAnak Sentana, di Karo disebutIlakiken. Berbeda dengan di Bali Anak Sentana adalah untuk pelanjut keturunan dan menjadi ahli waris, di Karo hanya terbatas dalam penerimaan warisan saja.
15. Mengangkat derajat seorang anak (laki-laki) dari seorang isteri yang kedudukannya rendah (selir) menjadi anak dari istri yang lebih tinggi kedudukannya, misalnya di Bali dan Lampung.
16. Mengangkat menantu menjadi ahli waris, yaitu mengangkat seorang laki-laki dan dimasukkan kedalam kerabat mertua laki-lakinya, misalnya di Lampung dan di perbatasan Minangkabau dan Tapanuli.
17. Memasukkan seorang anak dari klan ibu ke klan bapak, misalnya di Rejang. 18. Mendapatkan teman bagi anaknya.
19. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan/kebahagiaan keluarga 20. Untuk dinikahkan dengan anak adoptan.62
Menurut Hasballah Thaib ada beberapa alasan seseorang untuk melakukan
62 Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Dipakai dalam Lingkungan Sendiri pada FH-USU,
(56)
pengangkatan anak diantaranya:
1. Untuk menghilangkan rasa kesunyian diri atau kehidupan keluarga dalam suatu rumah tangga yang telah dibina bertahun-tahun tanpa kehadiran seorang anak.
2. Untuk melanjutkan garis keturunan terutama sekali bangsa yang menganut sistem pengabdian kepada leluhur(voor ouder verering).
3. Karena niat baik untuk memelihara dan mendidik anak-anak yang terlantar, menderita, miskin dan sebagainya. Dalam hal ini dengan tidak memutuskan hubungan biologi dengan orang tua kandungnya.
4. Untuk mencari tenaga kerja atau membantu dalam melaksanakan pekerjaan rutin yang bersifat ekstern maupun intern.
5. Untuk mencapai dan mencari tempat bergantung hidup dihari tua kelak. 6. Untuk memberikan kepuasan bathiniah bagi keluarga yang sangat
membutuhkan kehadiran seorang anak dari kehidupan rumah tangga dan seluruh keluarganya.63
Secara umum pengangkatan anak menurut hukum adalah pengalihan anak kepada orang tua angkat dari orang tua kandung secara keseluruhan dan dilakukan menurut adat setempat agar sah. Jadi orang tua kandung sudah lepas tangan terhadap anak itu, dan tanggung jawab beralih kepada orang yang mengangkatnya.
Pada dasarnya Al-Quran dan Al-Hadist tidak membenarkan pengangkatan anak dalam arti memutuskan hubungan nasab dengan ayah dan ibu kandungnya. Dasar hukumnya adalah Al-Qur’an sebagaimana tertera dalam Surat Al-Ahzab ayat (4 dan 5), sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, yang dilatarbelakangi pada saat Nabi Muhammad SAW mengangkat Zaid bin Haritsah, tetapi kemudian tidak dipanggil Zaid berdasar nama ayahnya (Haritsah) melainkan diganti dengan panggilan Zaid bin Muhammad, sehingga kemudian Allah SWT menurunkan surat Al-Ahzab ayat 4-5 serta Ayat 37 dan ayat 40 yang pada intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum memanggilnya sebagai anak kandung dan 63M. Hasballah Thaib,21 Masalah Aktual Dalam Pandangan Fiqh Islam,(Jakarta: Fakultas
(1)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Latar belakang konsep tabani ditinjau dari fikih Islam dibolehkan tanpa memutuskan hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua kandungnya, yang tujuannya memperlakukan anak dalam segi kecintaan dan kasih sayang, pemberian nafkah, pendidikan atau pelayanan dalam segala kebutuhan yang bukan memperlakukan sebagai anak kandung (nasab). Sedangkan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditegaskan bahwa seorang anak angkat harus mengetahui tentang asal usulnya dan tentang orang tua kandungnya, juga diberi kebebasan untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasannya.
2. Prosedur tabani menurut fikih Islam yaitu dengan cara tidak menasabkan status hukum keperdataan anak dengan orang tua yang mengangkatnya dan tidak ada prosedur khusus dalam proses tabanni. Sedangkan prosedur tabani menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 harus dilakukan yang pertama dengan mengajukan permohonan, kedua proses persidangan di Pengadilan dan ketiga, penetapan Pengadilan. Permohonan diajukan melalui Pengadilan Agama bagi masyarakat yang beragama Islam dan melalui Penetapan Pengadilan Negeri bagi non Muslim.
(2)
pengadilan dengan tidak memutuskan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya, yang beralih adalah hak perwaliannya. Dalam hal pewarisan, pengangkatan anak berdasarkan penetapan pengadilan berhak atas harta warisan dari orang tua angkatnya berdasarkan wasiat, sedangkan menurut Fikih Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah terciptanya hubungan kasih dan sayang dan hubungan tanggung jawab sesama manusia. Karena tidak ada hubungan nasab, maka konsekuensi yuridis lainnya adalah antara orang tua angkat dengan anak angkat harus menjaga mahram. B. Saran
1. Kepada pihak yang melakukan pengangkatan anak hendaknya mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau tidak menyimpang dari undang-undang dan prosedur yang ada dalam hukum Islam, yang tidak memperkenankan menghapuskan nasab anak angkat dengan kedua orang tua kandungnya.
2. Bagi masyarakat yang hendak melakukan pengangkatan anak dapat mengajukan permohonan yang sah kepada Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri (bagi non Muslim) supaya mendapat perlindungan hukum, walaupun secara Islam tidak ada prosedur khusus mengenai pengangkatan anak.
3. Pelaksanaan pengangkatan anak secara sah dapat memberikan kepastian hukum terhadap status hukum anak baik tersebut baik dari segi hukum Islam maupun dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Alam, Andi Syamsu dan Fauzan, H.M.Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, 2008.
Al-Qardhawi, Yusuf,Halal Haram Dalam Islam, Terjemahan Abu Hana Zulkarnain, ddk, Jakarta: Akbar, 2004.
Aminuddin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Ashshofa, Burhan,Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1996. Aziz. Aminah,Aspek Hukum Perlindungan Anak, Medan: USU Press, 1993.
Badudu, J.S dan S Zein,.M, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Budiarto, M, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985
Dahlan. Abd. Aziz et.al. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996,.
Gerungan, W.A,Psikologi Sosial Suatu Ringkasan, Jakarta: Eresco, 1977.
Hadikusuma, Hilman,Hukum Perkawinan Adat, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, Cetakan 4, 1990
.
Haroen, Nasrun,Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Kautsar, 1998.
Ispriyarso, Budi, Hubungan Fungsional antara kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum terhadap Perkembangan Hukum Administrasi Negara, dalam Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Pers, 2001.
Kamil, Ahmad,Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
(4)
Kansil, CST, 1984, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Kartohadiprodjo, Soediman, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Pembangunan, 1993.
Khalifah, Muhammad Thaha Abul Ela, Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat Islam.Solo: Tiga Serangkai, 2007.
Khalifah., Muhammad Thaha Abul Ela, Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat Islam.Solo: Tiga Serangkai, 2007.
Koentjaraningrat, et-al, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1980.
Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju: Bandung, 1994. Mahjuddin,Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia), 2003.
Manan. Abdul,Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008.
Marzuki,Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group: Jakarta, 2008.
Meliala, Djaja S,Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia,Bandung: Tarsito, 1982. Mufidah Ch., Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang: UIN Malang
Press, 2008.
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Roke Sarasni, 1996. Muhaimin, MA,et al.Kawasan dan Wawasan Studi Islam,Jakarta: Kencana, 2005. Muhibbin, Moh. dan Wahid, Abdul,Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaharuan
Hukum Positif Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Munawwir. Ahmad Warson,Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Musthofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Jakarta: Kencana
(5)
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996 dan Aminuddin dan Asikin, H. Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Rahman, Mat Saad Abd,Undang-Undang Keluarga Islam, Aturan Perkawinan,Shas Alam, Selangor Daerah Ehsan Malaysia, Hizbi, 2002.
Ritonga. Rahman, et.al. 1997.Ensklopedi Hukum Islam. Buku 1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Saarong, A. Hamid,Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Hukum Indonesia, USU: Medan, 2007.
Sabiq, Sayyid,Fiqh Sunnah,Bandung: Al-Maarif, 1994.
Saiban, Kasuwi, Hukum Waris Islam,Malang: UM Press, 2007.
Satrio, J, 2000,Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Bandung: Citra Aditya.
Sembiring, M.U. Beberapa bab penting Dalam Hukum waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Medan: Penerbit Fak. Hukum USU. 1989. Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat,Jakarta: Rajawali Press, 1995.
Soekanto, Soerjono, Beberapa Aspek Sosial Yuridis dan Mayarakat, Bandung: Alumni, 1983.
Soekanto, Soerjono,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
Soemitro, Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak,Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
Subekti, R,Hukum Acara Perdata,Bandung: Binacipta, 1989.
Summa. Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Thaib, M. Hasballah, 21 Masalah Aktual Dalam Pandangan Fiqh Islam, Jakarta: Fakultas Tarbiyah Universitas Darmawangsa, 1995.
(6)
FH-Waluyo, Bambang, Metode Penelitian Hukum,Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Wignjodipoero, Surojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Haji Masagung, Cetakan 6, 1987
Wijayanti, Asri,Strategi Penulisan Hukum, Bandung: Lubuk Agung, 2011.
Zaini, Muderis, Adopsi Suatu Tiinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Zamakhsyari, Teori-teori Hukum Islam: Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2013
Perundang-undangan dan bahan pustaka lainnya Undang-Undang Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Sumber-Sumber Lain:
Mira Amira, “Anak Adopsi Menurut Islam”,http://amiramira404.blogspot.com/. Muslim.or.it, “Fikih Islam”,http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/fiqih-islam.html. Novianti92's Blog, “Pengertian Dan Aspek Hukum”, http://novianti92.
wordpress.com/2012/03/10/tugas-1-pengertian-dan-aspek-hukum/.
Universitas Sumatera Utara, “Bab II Tinjauan Pustaka”, repository.usu.ac.id/bitst ream/.../27435/.../Chapter%20II.pdf.
Wordpress.com, “Kekuasaan Peradilan Agama”, http://advosolo.wordpress.com/ 2010/ 05/15/kekuasaan-peradilan-agama.