PEMBUATAN TEPUNG BENGKUANG DENGAN KAJIAN KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na2S2O5) DAN LAMA PERENDAMAN.

(1)

SKRIPSI

Oleh

:

Keny Damayanti

NPM.0533010023

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN “ JAWA TIMUR SURABAYA


(2)

rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan proposal penelitian dengan judul PEMBUATAN TEPUNG BENGKUANG DENGAN KAJIAN KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na2S2O5) DAN LAMA PERENDAMAN”.

Laporan hasil penelitian ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menempuh gelar Sarjana Strata-1 di Program Studi Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri, UPN “Veteran Jawa Timur.

Selama penyusunan laporan ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar – besarnya kepada :

1. Ir. Sutiyono, MT selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Jawa Timur.

2. Ir. Latifah, MS, selaku Ketua Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Jawa Timur.

3. Ir. Ulya Sarofa, MM selaku dosen pembimbing I yang selalu menyuport dan memberikan nasehat dan masukan yang bermanfaat bagi penulis.

4. Ir. Tri Mulyani S., MS selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam penyusunan Skripsi ini.


(3)

ii

5. Dr. Dedin F Rosida, STp, Mkes dan Ir. Sri Djajati, MPd selaku Dosen Penguji yang telah memberikan nasehat dan masukan yang bermanfaat bagi penulis.

6. Orangtua dan Keluarga yang senantiasa memberi dukungan dan doa bagi penulis.

7. Teman – teman angkatan 2005 yang selalu memberikan dukungan dan bantuan selama penelitian.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa di Jurusan Teknologi Pangan pada khususnya dan bagi pihak-pihak yang memerlukan pada umumnya. Skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat obyektif dan membangun guna sempurnanya tulisan ini.

Surabaya, November 2010


(4)

Tabel 2. Tabel 3.

Tabel 4.

Tabel 6.

Tabel 8.

Tabel 10.

Tabel 11.

Tabel 12.

Tabel 13.

Tabel 14. Tabel 15.

Hasil Analisa Bengkuang Segar …... Nilai rata-rata kadar air dengan perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit dengan lama perendaman ... Nilai rata-rata rendemen dengan perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit dengan lama perendaman ... Nilai rata-rata kadar vtamin C dengan perlakuan

konsentrasi natrium metabisulfit dengan lama perendaman . Nilai rata-rata derajat putih dengan perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit dengan lama perendaman ... Nilai rata-rata kadar serat kasar dengan perlakuan

konsentrasi natrium metabisulfit dengan lama perendaman . Nilai rata-rata kadar inulin dengan perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit dengan lama perendaman ... Nilai rata-rata kadar pati dengan perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit dengan lama perendaman ... Jumlah ranking uji skoring dengan perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit dan lama perendaman ... Data hasil analisa tepung bengkuang ... Data hasil analisa derajat putih ...

32

33

35

37

40

42

44

46

48 50 50


(5)

Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Gambar 12 Gaabar 13 Gambar 14 Gambar 15

Struktur Kimia Inulin ... Rantai Amilosa ………...… Rantai Amilopektin ……… Reaksi yang terjadi saat sulfit larut air ………... Reaksi Dehidrasi natrium bisulfit menjadi natrium metabisulfit ………..……….. Diagram alir proses pembuatan tepung ubi ………... Diagram alir proses pembuatan tepung bengkuang Hubungan antara konsentrasi Natrium metabisulfit dan Lama perendaman terhadap kadar air tepung bengkuang Hubungan antara konsentrasi Natrium metabisulfit dan Lama perendaman terhadap rendemen tepung bengkuang Hubungan antara konsentrasi Natrium metabisulfit dan Lama perendaman terhadap kadar vitamin C tepung bengkuang ……….. Hubungan antara konsentrasi Natrium metabisulfit dan Lama perendaman terhadap derajat putih tepung bengkuang ……….. Hubungan antara konsentrasi Natrium metabisulfit dan Lama perendaman terhadap kadar serat kasar tepung bengkuang ……….. Hubungan antara konsentrasi Natrium metabisulfit dan Lama perendaman terhadap kadar inulin tepung bengkuang ……….. Hubungan antara konsentrasi Natrium metabisulfit dan Lama perendaman terhadap kadar pati tepung bengkuang

8 11 11 16 16 19 31 34 36 38 41 43 45 47 iv


(6)

v Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17.

Lembar Kuisioner Organoleptik ……...……….. Data Hasil Pengamatan dan Analisis Ragam Kadar Air Tepung bengkuang ...……….………... Data Hasil Pengamatan dan Analisis Ragam Rendemen Tepung bengkuang ...……….. Data Hasil Pengamatan dan Analisis Ragam Kadar vitamin C Tepung Bengkuang ...… Data Hasil Pengamatan dan Analisis Ragam Derajat Putih Tepung Bengkuang ...…...….. Data Hasil Pengamatan dan Analisis Ragam Kadar Serat Kasar Tepung Bengkuang ...…...…... Data Hasil Pengamatan dan Analisis Ragam Kadar Inulin Tepung Bengkuang ...…..…... Data Hasil Pengamatan dan Analisis Ragam Kadar Pati Tepung Bengkuang ...…..…... Analisa Finansial Tepung Bengkuang ... Penghitungan Modal Perusahaan.………...…….…. Perkiraan Biaya Produksi Perusahaan Tiap tahun ……. Perhitungan Keuntungan Produksi Tepung Bengkuang Perhitungan Payback Period dan Break Event Point

Produksi Tepung Bengkuang ...…………... Laju Pengembalian Modal ………...………...

Net Present Value (NPV) dan Gross Benefit ……... Uji Organoleptik Tepung Bengkuang ………...

65 66 68 70 72 74 76 78 80 86 88 89 90 92 93 95


(7)

KATA PENGANTAR ………...…....……...…. DAFTAR ISI ………...……….. DAFTAR TABEL ………...…………...……. DAFTAR GAMBAR ……...………...…. DAFTAR LAMPIRAN ... INTISARI ………..………...…... BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

………..………...…... B. Tujuan

……….…...…. C. Manfaat

………....…... BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bengkuang ………...………. B. Inulin ..………...….…. i iii vi vii viii ix 1 3 3 4 6 9 10 12 15 17 19 20 20 21 22 22 23 iii


(8)

E. Reaksi Pencokelatan (browning) ………....….…

F. Na-Metabisulfit

………...……

G. Pembuatan Tepung sacara umum

………...…

H. Analisa Keputusan

………...…

I. Analisa Finansial

………...…..

1. Break Even Point (BEP) (Susanto dan Saneto,

1994)…………...

2. Net Present Value (NPV) (Susanto dan Saneto,

1994)………..

3. Payback Periode (PP) (Susanto dan Saneto,

1994)………..

4. Internal Rate Of Return (IRR) (Susanto dan Saneto, 1994)…...…...

5. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio) (Susanto dan Saneto,

1994)………..………...… ….…

J. Landasan Teori

……….………...

K. Hipotesa..………...…. BAB III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

……….……... 26 26 26 27 28 28 30 31 33 33 35 37 39 42 44 45 48 49 51 51 51 52 52 52 53 54 iv


(9)

D. Metode Penelitian ………....

1. Peubah

Berubah...…..………... 2. Peubah

Tetap…..……… ………….…..

E. Parameter yang

Diamati….………...……….….. F. Prosedur

Penelitian………... BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Analisa Bahan

Baku………...

B. Hasil Analisa Tepung Bengkuang

...……….…...…… 1. Kadar

Air...……..……….…………....………...……. 2. Rendemen

...………..……....………...……..

3. Vitamin C

...……...………...………...…….

4. Derajat Putih

...

5. Kadar Serat Kasar

………...

6. Kadar Inulin

56

57


(10)

D. Analisis Keputusan ………..……….……….….….

E. Analisis Finansial

………...……….………

1. Kapasitas Produksi

………..……..

2. Biaya Produksi

……….…….

3. Harga Pokok Produksi

………..…….

4. Harga Jual Produksi

………..

5. Break Even Point (BEP)

………..…..

6. Net Present Value (NPV)

……….…….

7. Payback Periode (PP)

……….…..

8. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio)

……….……

9. Internal Rate Of Return (IRR)

……….…….. BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

…………...……….………. B. Saran


(11)

vii


(12)

PEMBUATAN TEPUNG BENGKUANG DENGAN KAJIAN

KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na

2

S

2

O

5

)

DAN LAMA PERENDAMAN

KENY DAMAYANTI NPM. 0533010023

INTISARI

Tanaman bengkuang merupakan tanaman yang menghasilkan umbi akar, dengan bentuk membulat seperti gasing. Bagian dalam umbi mengandung gula, pati, dan oligosakarida. Oligosakarida terdapat dalam inulin (berfungsi sebagai prebiotik). Bengkuang mudah rusak sehingga perlu dibuat tepung tetapi tepung ini akan berwarna coklat dengan perlakuan perendaman. Salah satu metode untuk mencegah pencoklatan yaitu dengan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh natrium metabisulfit dan lama perendaman terhadap mutu tepung bengkuang.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor dengan 3 kali ulangan, faktor I adalah konsentrasi Na2S2O5 (1000, 2000, 3000 ppm) dan faktor II adalah lama perendaman (10, 20, 30 menit). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik terdapat pada konsentrasi natrium metabisulfit 3000 ppm dengan lama perendaman 30 menit yang menghasilkan tepung bengkuang dengan kadar air 12.8640%, kadar vitamin C 39.8795 mg/100gr, kadar serat kasar 11.7798%, rendemen 14.8300%, derajat putih 85.9807%, kadar inulin 14.8240%, kadar pati 43.2867%, dan tingkat skoring warna 121,5 (agak suka).

Hasil analisis finansial diketahui bahwa nilai Break Event Point (BEP)

dicapai pada Rp. . 494.758.741,24,- sebesar 19,82 % dan kapasitas titik impas 3.091.920 unit/tahun, sedangkan Internal Rate of Return (IRR) mencapai 22,489% (dengan tingkat suku bunga 20%), Payback Period (PP) dicapai selama 4,4 tahun, Net Present Value (NPV) sebesar Rp. 210,593,468,- dan Benefit Cost Ratio

sebesar 1,0399.


(13)

A. LATAR BELAKANG

Tanaman bengkuang (Pachyrrhizus erosus) dikenal baik oleh masyarakat kita. Umbi tanaman bengkuang biasa dimanfaatkan sebagai buah atau bagian dari beberapa jenis masakan. Umbi tersebut bisa dimakan segar, dibuat rujak, ataupun asinan. Kulit umbinya tipis berwarna kuning pucat dan bagian dalamnya berwarna putih dengan cairan segar agak manis. Umbinya mengandung gula dan pati serta forfor dan kalsium. Umbi ini memiliki efek pendingin karena mengandung kadar air 86-90% (Assaori, 2010). Bengkuang merupakan tanaman yang memiliki banyak fungsi. Umbi bengkuang juga mengandung agen pemutih (whitening agent) yang dapat memutihkan dan menghilangkan tanda hitam dan pigmentasi di kulit. Bengkuang juga mengandung vitamin C dan senyawa fenol yang dapat befungsi sebagai sumber antioksidan bagi tubuh.

Pemanfaatan bengkuang masih terbatas untuk bahan pangan dan sedikit untuk industry bahan pangan. Umur simpan bengkuang yang terbatas juga menjadi kendala dalam pengolahannya. Penyimpanan bengkuang yang terlalu lama menyebabkan umbinya berserat (Anonymous, 2009), oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengawetkan bengkuang dalam bentuk tepung yang memiliki keunggulan dapat disimpan lebih lama, praktis dan volumenya lebih kecil.

Pada proses pembuatan tepung sering terjadi proses pencoklatan baik secara enzimatis maupun secara non enzimatis pada saat pemotongan dan pengeringan umbi.


(14)

Salah satu upaya untuk mencegah pencoklatan yaitu, dilakukan dengan cara merendam potongan umbi dalam waktu tertentu di dalam larutan natrium metabisulfit.

Menurut penelitian Heriyanto et al., (2001), pengolahan ubi jalar menjadi tepung hanya memerlukan teknologi yang sederhana. Caranya ubi jalar dikupas kemudiian dicuci bersih selanjutnya dipotong tipis-tipis atau disawut dengan pisau atau alat pemotong lainnya. Chips kemudian dijemur di bawah sinar matahari atau menggunakan alat pengering dengan suhu maksimum 600C selama ± 5 jam kemudian digiling. Tepung bisa dimasukkan kantung plastik atau toples 7 kaleng tertutup rapat yang tahan disimpan dalam waktu enam bulan. Dalam pemotongan umbi, terjadi perusakan jaringan bahan, yang mengakibatkan terjadinya oksidasi dan dapat mengakibatkan browning

(pencoklatan). Untuk menghasilkan tepung berkualitas baik, sawut atau irisan umbi sebelum dijemur atau dikeringkan direndam terlebih dahulu dalam larutan natrium metabisulfit untuk mencegah browning pada bahan. Didapatkan hasil terbaik dari tepung ubi jalar yaitu dengan penambahan konsentrasi natrium metabisulfit 3000 ppm dengan lama perendaman 15 menit.

Natrium metabisulfit merupakan bahan tambahan yang sering digunakan dalam pengolahan pangan yang berfungsi sebagai pemutih bahan pangan digunakan untuk mencegah kerusakan karena reaksi browning yang enzimatis serta bekerja sebagai zat antioksidan (Winarno, 1993). Pemakaiannya dalam pengolahan bahan pangan bertujuan untuk mencegah proses pencoklatan serta untuk mempertahankan warna bahan agar tetap menarik. Penggunaannya maksimum 2000-3000 ppm (Margono, Suryati dan Hartinah, 1993).


(15)

B. TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui pengaruh konsentrasi sodium metabisulfit dan waktu lama perendaman terhadap kualitas tepung bengkuang.

2. Mengetahui kombinasi perlakuan terbaik dari perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit dan lama perendaman terhadap tepung bengkuang.

C. MANFAAT PENELITIAN

1. Meningkatkan nilai ekonomis dan nilai tambah tepung bengkuang.

2. Memacu petani atau masyarakat umum untuk menanam bengkuang lebih intensif, karena pemanfaatannya sebagai sumber inulin.

3. Memberikan informasi pada masyarakat pembuatan tepung bengkuang dengan teknologi sederhana.


(16)

A. Bengkuang

Bengkuang selain sebagai pemutih kulit, antioksidan yang ada pada bahan pangan ini bersifat antikanker dan mampu mencegah penyakit degeneratif lainnya. Tanaman bengkuang tergolong ke dalam suku polong-polongan atau Fabaceae. Umbi bengkuang sebaiknya disimpan pada tempat kering bersuhu 12°C hingga 16°C. Suhu lebih rendah mengakibatkan kerusakan. Penyimpanan yang baik dapat membuat umbi bertahan hingga 2 bulan (Anonymous, 2009a).

Tumbuhan ini membentuk umbi akar (cormus) berbentuk bulat atau membulat seperti gasing dengan berat dapat mencapai 5 kg. Kulit umbinya tipis berwarna kuning pucat dan bagian dalamnya berwarna putih dengan cairan segar agak manis. Umbinya mengandung gula dan pati serta fosfor dan kalsium. Umbi ini juga memiliki efek pendingin karena mengandung kadar air 86-90%. Rasa manis berasal dari suatu oligosakarida yang disebut inulin, yang tidak bisa dicerna tubuh manusia. Sifat ini berguna bagi penderita diabetes atau orang yang berdiet rendah kalori. (Anonymous, 2009b).

Kandungan vitamin C yang cukup tinggi (20 mg/100 g), sehingga bengkuang digunakan sebagai sumber antioksidan yang potensial untuk menangkal serangan radikal bebas penyebab kanker dan penyakit degeneratif (Anonymous, 2009c).


(17)

(a)

(b) (c)

Gambar 1. Umbi Bengkuang (sumber : Anonymous, 2009b)

Menurut Anonymous (2009b), sifat kimiawi dan efek farmakologis umbi bengkuang adalah manis, dingin, sejuk, dan berkhasiat mendinginkan. Kandungan kimianya adalah pachyrhizon, rotenon, vitamin B1, dan vitamin C. Umbi bengkuang tidak tahan suhu rendah, sehingga mudah mengalami kerusakan. Karena itu, umbi sebaiknya disimpan pada tempat kering bersuhu maksimal 16°C. Penyimpanan umbi pada kelembaban dan suhu yang sesuai akan membuat bengkuang tahan hingga sekitar 2 bulan. Selain itu, bengkuang juga mengandung mineral tinggi. Mineral yang terkandung dalam bengkuang yang paling dominan adalah fosfor, zat besi, serta kalsium. Secara lengkap, komposisi zat gizi yang terkandung dalam 100 gram bengkuang dapat dilihat pada Tabel 1.


(18)

Tabel 1. Komposisi zat gizi umbi bengkuang Zat gizi Kadar per 100 gr Energi (kkal)

Protein (gr) Lemak (gr) Karbohidrat (gr) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin C (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin A (IU) Air (gr)

55 1,4 0,2 12,8

15 18 0,6 20 0,04 0,00 85.1 (Sumber : Anonymous, 2009b)

Dari Tabel 1 diatas tampak bahwa kandungan utama bengkuang adalah air, yaitu 85 gram per 100 gram umbi. Kadar energinya yang cukup rendah (55 kkal/100 g) sehingga dapat dikonsumsi sebagai bahan pangan yang baik bagi pelaksana diet rendah kalori dan penderita diabetes melitus.

B. Inulin

Inulin adalah senyawa karbohidrat alamiah yang merupakan polimer dari unit-unit fruktosa. Inulin sangat luas penggunaannya di dalam industri pangan, baik di Eropa, USA maupun Canada. Penggunaan inulin tersebut sebagai pengganti gula dan lemak yang menghasilkan kalori lebih rendah. Akhir-akhir ini inulin digunakan sebagai komponen (ingredient) dari diet dan produk-produk rendah lemak (Toneli, et.al.2008). Disamping inulin sebagai pengganti gula dan lemak tanpa menghasilkan kalori, inulin juga berperan dalam proses pencernaan, yang memberikan efek fisiologis sama dengan dietary fiber. Konsumsi inulin dapat meningkatkan secara nyata bakteri yang bermanfaat yaitu bifidobakteria (Silva, 1996).


(19)

Inulin merupakan polimer dari unit-unit fruktosa, antara lain terdapat pada umbi dahlia (Dahlia sp. L), umbi Jerusalem artichoke (Helianthus tuberosus),chicory (Chicoryum intybus L.), dandelion (Taraxacum officinale Weber), umbi yacon (Smallanthus sanchifolius) dan dalam jumlah kecil terdapat dalam bawang merah, bawang putih, asparagus, pisang, gandum, dan barley. (Anonymous, 2008).

Manfaat inulin di bidang pangan antara lain sebagai pengganti lemak dan gula pada produk makanan rendah kalori serta sebagai bahan baku pembuatan sirup fruktosa.

Inulin juga dapat digunakan untuk pembuatan etanol dan bioplastik. Sifat fungsional inulin sebagai serat makanan dapat larut (soluble dietary fiber) sangat bermanfaat bagi pencernaan dan kesehatan tubuh (Sardesai,2003).

Inulin merupakan senyawa yang larut dalam air, dimana kelarutannya tergantung pada suhu. Pada suhu 10 °C kelarutannya sekitar 6%, sedangkan suhu 90 °C kelarutannya 35% (Silva, 1996 dalam Toneli et.al., 2008). Menurut Kim et.al., (2001), melaporkan bahwa pada suhu 25 °C inulin hampir tidak larut dalam air, tetapi kelarutannya meningkat secara nyata sejalan dengan meningkatnya suhu. .

Inulin adalah prebiotik, merupakan senyawa karbohidrat yang banyak terdapat pada bagian tanaman. Inulin disebut sebagai prebiotik karena secara selektif merangsang pertumbuhan dan/atau aktivitas beragam jenis bakteri usus yang dapat meningkatkan kesehatan. Karena sifat ini, inulin dapat dikombinasikan dengan sediaan probiotik (bakteri hidup yang ditambahkan pada makanan inang untuk meningkatkan kesehatan) (Anynomous, 2008).

Komponen ini tidak dapat dicerna enzim dalam usus manusia sehingga melewati mulut hingga usus tanpa dimetabolisme. Dalam usus besar, barulah inulin mengalami


(20)

fermentasi oleh mikroflora usus menjadi asam lemak rantai pendek dan laktat, dengan hasil samping proses fermentasi berupa biomassa bakteri dan gas. Karena sifat yang tidak tecerna ini, inulin cocok dikonsumsi penderita diabetes. Sifat penting lain dari inulin adalah sebagai serat makanan. Sifat ini berpengaruh pada fungsi usus dan perbaikan parameter lemak dalam darah. Inulin memengaruhi fungsi usus dengan meningkatkan massa feses dan meningkatkan frekuensi defekasi terutama pada penderita konstipasi. Perbaikan parameter lemak dalam darah yang pernah dilaporkan antara lain penurunan kadar trigliserida serum dan kolesterol darah pada penderita hypercholesterolemia (Anonymous,2008).

Inulin merupakan polimer dari unit-unit fruktosa. Inulin bersifat larut di dalam air, tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan, tetapi difermentasi mikroflora kolon (usus besar). Oleh karena itu, inulin berfungsi sebagai prebiotik. Struktur kimia inulin disajikan pada Gambar 2.


(21)

Inulin merupakan polimer dari unit-unit fruktosa yang umumnya mempunyai terminal glukosa. Unit-unit fruktosa dalam inulin dihubungkan oleh ikatan β (2 → 1) glikosidik. Inulin dari tanaman biasanya mengandung 20 sampai beberapa ribu unit fruktosa. Molekul yang lebih kecil dari inulin disebut fryktooligasakarida, yang mengandung 2 molekul fruktosa dan 1 molekul glukosa ( Anonymous, 2009a).

C. Proses Pengeringan

Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang dikandung melalui penggunaan energi panas. Biasanya, kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai batas tertentu sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya (Winarno, 1993).

Pengeringan terhadap bahan pangan bertujuan untuk mengurangi kandungan air di dalam buah sampai batas tertentu dimana mikroba tidak dapat tumbuh lagi. Disamping itu, pengeringan bahan pangan juga dimaksudkan untuk memperkecil volume produk, sehingga mempermudah pengangkutan dan penghematan ruang kemasan (Satuhu, 1994). Kadar air merupakan jumlah air yang terdapat dalam bahan pangan yang harus dihilangkan untuk memperpanjang umur simpan sedangkan aktivitas air yaitu air yang dibutuhkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Aktivitas air dalam bahan pangan harus diturunkan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme di dalam bahan pangan. Pada industri komersial makanan kering, aktivitas air dalam bahan pangan diturunkan dengan pengeringan sehingga air yang terdapat di dalam bahan pangan tersebut terbatas (Satuhu, 1994).


(22)

Taib dkk. (1988) menyatakan bahwa dasar dari proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Dalam hal ini kandungan uap air dalam udara lebih sedikit atau dengan kata lain udara mempunyai kelembaban nisbi yang lebih rendah sehingga terjadi penguapan. Pengeringan ini dapat berlangsung dengan baik apabila pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan tersebut, dan uap air yang diambil berasal dari semua permukaan bahan tersebut.

Selama pengeringan, bahan pangan kehilangan kadar air, yang menyebabkan naiknya kadar zat gizi di dalam massa yang tertinggal. Jumlah protein, lemak, dan karbohidrat yang ada dalam persatuan berat di dalam bahan pangan kering lebih besar daripada dalam bahan pangan segar (Desrosier, 1988).

D. Pati

Istilah “pati” sering dicampuradukkan dengan “tepung” dan “kanji”. Sebenarnya pati adalah penyusun utama tepung. Tepung bisa saja tidak hanya mengandung pati, karena tercampur atau sengaja dicampur dengan protein, vitamin, pengawet, dan sebagainya. Pati ada banyak jenisnya, tergantung dari bahan apa pati itu dibuat. Ada yang berasal dari ketela, beras, jagung, kentang, gandum, sagu, dan lainnya.

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat terpisah dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan


(23)

amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari total ikatan (Winarno, 1992).

Gambar 3. Rantai Amilosa

Gambar 4. Rantai Amilopektin

Pati merupakan simpanan karbohidrat dalam tumbuh-tumbuhan dan merupakan karbohidrat utama yang dimakan manusia diseluh dunia. Komposisi amilosa dan amilopektin berbeda dalam pati berbagai bahan makanan. Amilopektin pada umumnya terdapat dalam jumlah besar. Sebagian besar pati mengandung antara 15% dan 35% amilosa. Dalam butiran pati, rantai-rantai amilosa dan amilopektin tersusun dalam bentuk semi kristal, yang menyebabkan tidak larut dalam air dan memperlambat pencernaannya oleh amilase pankreas.

Pati penting dalam makanan terutama yang bersumber dari tumbuh-tumbuhan dan memperlihatkan sifat-sifatnya:


(24)

1. Pati tidak manis.

2. Pati tidak dapat larut dengan mudah dalam air dingin. 3. Berbentuk pasta dan gel di dalam air panas.

4. Pati menyediakan cadangan sumber energy dalam tumbuh-tumbuhan dan persediaan energy dalam bentuk nutrisi.

5. Pati terdapat dalam biji-bijian dan umbi-umbian sebagai karakteristik granula pati (Potter, 1986).

Menurut Winarno (1997), rasio amilopektin dan amilosa akan mempengaruhi sifat-sifat pati, apabila kadar amilosa lebih tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung menyerap air lebih banyak (higroskopis) atau sebaliknya semakin kecil kandungan amilosa maka semakin lekat.

E. Reaksi Pencoklatan (Browning)

Pencoklatan (browning) pada bahan hasil pertanian merupakan permasalahan khusus dalam pengolahan, khususnya dalam pengolahan tepung. Pencoklatan tidak hanya disebabkan oleh reaksi kimia (non enzimatis) tetapi dapat pula terjadi secara enzimatis. Pencokelatan sering terjadi pada hasil pertanian yang mengandung senyawa fenolat. Disamping itu diperlukan pula adanya enzim, oksigen dan dalam suasana pH sedikit asam, sedangkan pencokelatan non enzimatis tidak memerlukan enzim maupun oksigen namun sangat memerlukan gugus amino yang digunakan pada reaksi awal dan dalam suasana alkalis atau asam (Susanto dan Saneto, 1994). Pada umumnya proses pencoklatan dapat terjadi secara enzimatis dan non enzimatis yang masing-masing dapat diusahakan pencegahannya.


(25)

Selain menyebabkan perubahan warna ternyata reaksi pencoklatan berpengaruh pula terhadap penampakan, citarasa, dan nilai gizi bahan makanan. Reaks pencoklatan ini kadang-kadang dikehendaki seperti pada pengolahan teh, kopi, dan kadang-kadang tidak dikehendaki seperti apel, kentang dan buah-buahan yang dibekukan (Anggraini dan Hadiwiyoto, 1987).

a. Pencoklatan Enzimatis

Pencoklatan enzimatis banyak terjadi pada buah-buahan dan sayur-sayuran seperti apel, pisang, pala, pear, salak dan kentang apabila bahan-bahan tersebut mengalami perlakuan mekanis (pengupasan, pemotongan, memar). Jaringan bahan yang rusak akan cepat berwarna coklat setelah berhubungan dengan udara. Hal ini disebabkan terjadinya konversi senyawa fenolin oleh enzim fenolase menjadi melanin yang berwarna coklat (Apandi, 1984).

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya proses pencoklatan enzimatis, antara lain :

a) Pemanasan

Pemanasan yang biasa digunakan dalam proses ini adalah Blanching yaitu uap panas selama lima menit.

b) Pencegahan kontak dengan oksigen

Cara yang biasa digunakan adalah merendam bahan hasil pertanian yang telah mengalami perlakuan mekanis ke dalam air sebelum bahan itu dimasak. Dengan demikian bahan tersebut tidak berhubungan dengan udara.


(26)

c) Penggunaan enzim

Enzim-enzim yang umum digunakan dalam pencegahan pencoklatan enzimatis adalah asam sitrat, asam malat, dan asam askorbat.

d) Pemberian inhibitor

Inhibitor enzim fenolase yang kuat adalah SO2 dan sulfit. (Susanto dan Suseno, 1994).

b. Pencoklatan Non enzimatik

Reaksi pencoklatan non enzimatik pada umumnya ada tiga macam yaitu karamelisasi, reaksi Maillard, dan oksidasi vitamin C pada sayuran dan buah-buahan yang mengalami kerusakan mekanis atau terkena penyakit, akan mengalami reaksi pencoklatan non enzimatik yaitu oksidasi vitamin C atau reaksi Maillard. Hasil reaksi pencoklatan baik yang enzimatik maupun non-enzimatik merupakan senyawa yang berwarna coklat yang disebut melanin atau melanoidin (Anggaini dan Hadiwiyoto, 1987).

Reaksi maillard adalah reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amino primer. Hasil rekasi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat, yang sering dikehendaki atau kadang-kadang menjadi pertanda penurunan mutu. Warna coklat pada pembuatan sate atau pemanggangan daging adalah warna yang dikehendaki. Sedangkan pencoklatan akibat vitamin C adalah suatu senyawa reduktor dan juga dapat bertindak sebagai prekursor untuk pembentukan warna coklat non enzimatik (Winarno, 1992).


(27)

Untuk mencegah pencoklatan enzimatik dapat dilakukan dengan beberapa cara : 1) Suhu

Karena pemanasan dengan suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya pencoklatan non enzimatik, maka proses ini dapat dikendalikan dengan penurunan suhu. 2) pH

Penurunan pH dapat mencegah proses pencoklatan pada reaksi Maillard, karena reaksi ini sangat baik berlangsung pada kondisi alkalis.

3) Inhibitor

Inhibitor kimiawi yang dapat mencegah pencoklatan non enzimatik misalnya sulfit, bisulfit dan garam CaCl2.

4) Pemakainan SO2 (Sulfuring)

Penggunaan SO2 pada proses pengeringan bertujuan untuk mempertahankan warna, citarasa, asam askorbat, karoten, dan stabilitas bahan selama penyimpanan (Susanto dan Suseno, 1994).

F. Natrium Metabisulfit

Natrium metabisulfit yang diperdagangkan dalam bentuk kristal. Pemakaiannya dalam pengolahan bahan pangan bertujuan untuk mencegah proses pencoklatan pada buah sebelum diolah.

Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K sulfit, bisulfit dan metabisulfit. Sulfur dioksida dan garamnya (Bisulfit dan Metabisulfit) berada dalam bentuk yang sangat dipengaruhi oleh pH larutan pada saat terlarut dalam air, seiring


(28)

dengan penurunan pH, proporsi SO2 meningkat sebagai ion bisulfit (HSO3) (Davidson dan Juneja, 1990). Reaksi dapat dilihat pada Gambar 5 berikut:

H2O + SO2 (H2SO3) (H2SO3) (HSO3-) + H+ (HSO3-) + H+ SO32- + 2H

-Gambar 5. Reaksi yang terjadi saat sulfit terlarut dalam air (Davidson dan Juneja, 1990). Sulfit yang digunakan dalam penelitian ini adalah natrium metabisulfit (Na2SO2O5). Natrium metabisulfit berbentuk serbuk, berwarna putih, larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol, dan berbau khas seperti gas sulfur dioksida, mempunyai rasa asam dan asin (Tanner and Chichester, 1968 dalam Furia, 2983).

Tanner dan Chechester (1968) dalam Furia (1983), Metabisulfit dibentuk dari pemanasan bisulfit, dan keduanya sangat berhubungan erat. Jika dua molekul natrium bisulfit terdehidrasi maka terbentuk natrium metabisulfit. Reaksi yang terjadi seperti Gambar 6. Sebagian besar sodium bisulfit (NAHSO3) dijual secara komersial dalam bentuk anhidratnya, sodium metabisulfit (Na2S2O5), karena bentuk ini mempunyai keunggulan yaitu lebih tidak higroskopis dan lebih stabil selama penyimpanan dan pendistribusian.

2 NaHSO3 → Na2S2O5 + H2O

(natrium bisulfit) (natrium metabisulfit)

Gambar 6. Reaksi dehidrasi natrium bisulfit menjadi natrium metabisulfit.

Menurut Suhardi dan Hastuti (1982), sulfit akan menghambat browning enzimatik dan non enzimatik selama pengolahan dan penyimpanan produk olahan. Keadaan ini diterangkan oleh Furia (1983), bahwa sulfit dapat mengikat oksigen sehingga menjadi sulfat, yaitu teroksidasinya natrium bisulfit menjadi natrium hidrosulfat/natrium bisulfate.


(29)

Sulfit berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil reaksi itu akan menikat melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna cokelat. Sulfur dioksida dapat berfungi sebagai antioksidan (Winarno, 1992).

Menurut Hui (1992), tujuan penggunaan sulfit antara lain sebagai kontrol browning enzimatik dan non enzimatik, penghambat pertumbuhan mikroba, antioksidan, pereduksi dan agen bleaching.

Jumlah penyerapan dan penahanan (residu) SO2 dalam bahan yang dikeringkan dipengaruhi oleh, antara lain: varietas, kemasakan, dan ukuran bahan, konsentrasi SO2 yang digunakan, waktu sulfuring, suhu, kecepatan aliran udaran dan kelembaban udara selama pengeringan serta keadaan penyimpanan (Susanto dan Saneto, 1994).

Maksimum penggunaannya natrium metabisulfit sebanyak 2000-3000 ppm/bahan. Natrium metabisulfit yang berlebihan akan hilang sewaktu pengeringan (Margono, Suryati dan Hartinah, 1993).

G. Pembuatan Tepung Secara Umum

Tepung adalah bahan padatan yang diperoleh dari proses penggilingan suatu bahan dalam bentuk butiran-butiran halus yang mengandung kadar air 10-13%. Tepung dapat diperoleh dari hasil pertanian yang mengandung karbohidrat yang tinggi.

Beberapa masalah yang sering dihadapi adalah terbentuknya warna coklat karena terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis, terutama bila mengandung gula pereduksi. Belum lagi masalah cita rasa produk akhir yang susah dihilangkan (Buckle, et.al., 1987).

Akhir-akhir ini telah ada upaya untuk mengolah ubi jalar menjadi bentuk tepung. Tepung ubi jalar mempunyai banyak kelebihan antara lain: 1) lebih luwes untuk


(30)

pengembangan produk pangan dan nilai gizi, 2) lebih tahan disimpan sehingga penting sebagai penyedia bahan baku industri dan harga lebih stabil, 3) memberi nilai tambah pendapatan produsen dan menciptakan industri pedesaan serta meningkatkan mutu produk (Heriyanto dan Winarto, 1998). Pengolahan ubi jalar menjadi tepung hanya memerlukan teknologi yang sederhana. Caranya ubi jalar dikupas kemudiian dicuci bersih selanjutnya dipotong tipis-tipis atau disawut dengan pisau atau alat pemotong lainnya. Chips kemudian dijemur di bawah sinar matahari atau menggunakan alat pengering dengan suhu maksimum 600 C ± 5 jam. Tepung bisa dimasukkan kantung plastik atau toples kaleng tertutup rapat yang tahan disimpan dalam waktu enam bulan. Untuk menghasilkan tepung berkualitas baik, sawut atau irisan umbi sebelum dijemur atau dikeringkan direndam terlebih dahulu dalam larutan natrium metabisulfit (Heriyanto et al., 2001).

Gambar 7 adalah salah satu contoh pembuatan tepung dengan perendaman sodium metabisulfit.


(31)

Ubi jalar segar

dibersihkan dan dikupas

disawut / dirajang

direndam dalam larutan Na-metabislfit

dikeringkan

digiling dan diayak 80 mesh

Tepung ubi jalar

Gambar 7. Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar (Modifikasi antarlina dan Utomo, 1998)

H. Analisa Keputusan

Menurut Siagian (1987), anilisis keputusan adalah suatu kesimpulan dari suatu proses untuk memilih yang terbaik dari sejumlah altrenatif yang ada. Tujuan dari analisis keputusan adalah untuk menemukan keputusan secepat-cepatnya. Ketepatan keputusan tergantung dari informasi yang dapat dikumpulkan dan diolah dalam analisa mengambil keputusan berarti menjatuhkan pilihan pada salah satu alternatif yang paling baik untuk itu harus berarti mempunyai ukuran dan kriteria tertentu.


(32)

Proses pengambilan keputusan didahului dengan mengetahui adanya permasalahan, alternatif-alternatif yang ada serta kriteria untuk mengukur atau membandingkan setiap alternatif yang memberikan hasil atau keuntungan paling besar dengan resiko paling kecil serta paling efektif. Jadi masalah yang mempersulit adanya alternatif yang harus dipilih sebagai landasan untuk tindakan yang harus dilaksanakan. (Assauri, 1980).

I. Analisa Finansial

Tujuan dari analisis finansial adalah untuk mengetahui laba rugi dalam suatu perusahaan. Data yang diperoleh dari analisis mutu kemudian diuji dengan analisis sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan-perlakuan terhadap produk yang dihasilkan. Data sekunder berupa harga-harga baik bahan baku maupun produk yang dihasilkan. Analisis finansial yang dilakukan meliputi : analisis nilai uang dengan metode Break Event Point (BEP), Net Present Value (NPV), Rate of Return dengan metode Internal Rate of Return (IRR) dan Payback Periode (PP) (Susanto dan Saneto, 1994).

a. Break Event Point (BEP)

Break Event Point (BEP) adalah suatu keadaan tingkat produksi tertentu yang menyebabkan besarnya biaya produksi keseluruhan sama dengan besarnya nilai atau hasil penjualan, jadi pada keadaan tersebut perusahaan tidak mendapatkan keuntungan dan juga tidak mengalami kerugian (Susanto dan Saneto, 1994). Perhitungan BEP dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :

1) Biaya titik impas

BEP (Rp) = FC 1 – ( Vc / P )


(33)

2) Presentase titik impas

BEP (%) = BEP (Rp) x 100 % P

3) Kapasitas titik impas

Kapasitas titik impas adalah jumlah produksi yang harus dilakukan untuk mencapai titik impas.

BEP (unit) = FC P – Vc Keterangan :

FC : Biaya tetap P : Pendapatan Vc : Biaya tidak tetap

b. Net Present Value (NPV) ( Susanto dan Saneto, 1994)

Net Present Value (NPV) adalah selisih antara nilai investasi saat sekarang dengan nilai penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Suatu kegiatan proyek dapat dipilih bila NPV > 0. NPV dapat ditunjukkan dengan persamaan sebagai berikut :

n

NPV = ∑ Bt – Ct

t - 1 (1 + i)’

Keterangan :

Bt : Penerimaan pada tahun t Ct : Pengeluaran pada tahun t t : 1, 2, 3, ...,n


(34)

i : Suku bunga bank

c. Payback Periode (PP) ( Susanto dan Saneto, 1994)

Payback Periode (PP) merupakan perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian modal yang ditanam pada proyek, nilai tersebut berupa presentase maupun waktu (baik tahun maupun bulan). Payback Periode tersebut harus lebih kecil dari nilai ekonomis proyek. Kriteria ini memberikan nilai bahwa proyek yang akan dipilih jika mempunyai waktu Payback Periode yang paling cepat. Rumus Payback Periode adalah sebagai berikut :

PP = I Ab Keterangan :

I : Jumlah modal

Ab : Penerimaan bersih pertahun

d. Internal Rate of Return (IRR) ( Susanto dan Saneto, 1994)

Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat suku bunga yang menunjukkan persamaan antara nilai penerimaan bersih sekarang dengan jumlah investasi (modal) awal dari suatu proyek yang sedang dikerjakan. Dengan kata lain IRR adalah tingkat suku bunga yang akan menyebabkan NPV = 0. Bila nilai IRR suatu proyek lebih besar dari suku bunga yang berlaku, maka proyek dinyatakan layak untuk dilaksanakan. Rumus perhitungan IRR sebagai berikut :

IRR = i’ + NPV” x i” - i’ NPV’ - NPV”

Keterangan :

i’ : Tingkat suku bunga sekarang


(35)

NPV’ : NPV positif hasil percobaan nilai NPV” : NPV negatif hasil percobaan nilai e. Gross Benefit Cross Ratio

Gross Benefit Cross Ratio adalah merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan biaya kotor yang telah di present valuekan (dirupiahkan sekarang). Kriteria ini memberikan pedoman bahwa proyek akan dipilih apabila Gross B/C > 1, bila proyek memiliki Gross B/C = 1 tidak akan dipilih.

n

∑ Bt t - 1 (1 + i)’

Gross B/C = n

∑ Ct t – 1 (1 + i)

Keterangan :

Bt : Penerimaan pada tahun ke-t Ct : Biaya pada tahun ke-t n : Umur ekonomis proyek i : Suku bunga bank

J. Landasan Teori

Umbi bengkuang merupakan bagian yang paling banyak dikonsumsi dari tanaman bengkuang. Bagian dalam umbi mengandung gula, pati, dan inulin. Uniknya, inulin tidak dapat segera diasup oleh tubuh sebagai sumber gula, tetapi perlu proses pemecahan lebih lanjut oleh enzim inulinase. Inulin adalah senyawa karbohidrat alamiah yang merupakan polimer dari unit-unit fruktosa. Polisakarida ini dapat dihasilkan oleh beberapa tanaman


(36)

umbi-umbian (seperti pada dahlia, Jerusalem artichoke dan chicory) dan berperan sebagai karbohidrat cadangan (Gupta, et.al., 1990).

Kandungan karbohidrat dalam umbi bengkuang yang tinggi sebanyak 12,8 %. Setiap 100 gr bengkuang maka umbi bengkuang dapat dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan tepung. Kendala yang sering dihadapi dalam proses pembuatan tepung adalah terjadinya browning baik secara enzimatis maupun non enzimatis. Untuk mencegah terjadinya proses pencoklatan pada pembuatan tepung bengkuang perlu dilakukan perendaman pada bahan baku. Salah satunya dengan natrium metabisulfit.

Perendaman dalam larutan natrium metabisulfit bertujuan untuk mencegah reaksi pencoklatan. Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K sulfit, bisulfit dan metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tidak teroksidasi dan terutama terbentuk pada pH dibawah 3 (Syarief dan Irawati, 1988).

Larutan sulfit bertujuan untuk mencegah terjadinya browning secara enzimatis maupun non enzimatis, selain itu juga sulfit berperan sebagai pemutih timbulnya warna coklat. Pada browning non enzimatis, sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil yang mungkin ada pada bahan. Hasil reaksi tersebut akan mengikat melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Sedangkan pada browning enzimatis, sulfit akan mereduksi ikatan disulfida pada enzim, sehingga enzim tidak dapat mengkatalis oksidasi senyawa fenolik penyebab browning (Anonymous, 2010).

Mekanisme pencoklatan enzimatis menurut Susanto dan Saneto (1994), disebabkan pecahnya sel bahan hasil pertanian akibat kerusakan mekanis, sehingga menyebabkan senyawa fenol yang ada dalam vakuola keluar dan bertemu dengan enzim yang ada dalam sitoplasma. Dengan adanya oksigen dan katalis logam akan terbentuk


(37)

senyawa quinon. Reaksi selanjutnya terjadi secara spontan dan tidak lagi tergantung oleh enzim atau oksigen. Bentuk quinon mengalami hidrolisis menjadi bentuk hidroksi. Selanjutnya hidroksi quinon mengalami polimerisasi dan menjadi polimer berwarna coklat yang akhirnya menjadi melanin berwarna coklat. Ada dua macam reaksi browning non enzimatis yaitu karamelisasi dan reaksi maillard.

Menurut Winarno (1997), browning enzimatis memerlukan adanya enzim fenol oksidase dan oksigen yang harus berhubungan dengan substrat tertentu. Pencoklatan enzimatis terjadi dalam jaringan buah-buahan dan sayuran yang banyak mengandung substrat fenolik, yang dirusak dengan adanya pemotongan, pengupasan, pengirisan dan penggilingan. Bahan yang mudah mengalami pencoklatan harus diproses secepat mungkin. Reaksi pencoklatan dapat dihentikan dengan pemanasan pada suhu tinggi secukupnya untuk denaturasi enzim. Dibutuhkan temperatur yang tepat untuk beberapa enzim, waktu dan lama pemanasan yang tepat, pH rendah/asam dan faktor lainnya.

K. Hipotesis

Konsentrasi Natrium metabisulfit dan lama perendaman berpengaruh terhadap sifat fisiko kimia tepung bengkuang yang dihasilkan.


(38)

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisa Pangan, Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan dan Laboratorium Uji Inderawi Jurusan Teknologi Pangan UPN “Veteran” Jawa Timur, mulai bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2010.

B. Bahan Yang Digunakan

Bahan baku yang digunakan adalah umbi bengkuang yang diperoleh dari pasar Soponyono-Surabaya.

Bahan kimia untuk analisa yang diperlukan Na2S2O5, NaOH, H2SO4, sistein, karbazol, etanol, alkohol, dan aquadest.

C. Peralatan Yang Digunakan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain blender kering, ayakan 60 mesh, alat gelas, kompor, dan neraca analitis, spektrofotometer (Spectronic 21D), eksikator, oven listrik, sohxlet, tabung reaksi, kertas saring, shaker waterbath dan alat-alat gelas.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial dengan 2 faktor dan diulang sebanyak 3 kali. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisa ANOVA. Untuk mengetahui adanya perbedaan diantara perlakuan digunakan Uji Duncan (DMRT 5%).


(39)

A1 = Konsentrasi Natrium metabisulfit 1000 ppm A2 = Konsentrasi Natrium metabisulfit 2000 ppm A3 = konsentrasi Natrium metabisulfit 3000 ppm Faktor II :

B1 = Lama perendaman 10 menit B2 = Lama perendaman 20 menit B3 = Lama perendaman 30 menit

Dari kedua faktor tersebut diatas didapat kombinasi perlakuan sebagai berikut: B

A

B1 B2 B3

A1 A1B1 A1B2 A1B3

A2 A2B1 A2B2 A2B3 A3 A3B1 A3B2 A3B3

Keterangan:

A1B1= Konsentrasi Na2S2O5 1000 ppm dengan Lama perendaman 10 menit A1B2= Konsentrasi Na2S2O5 1000 ppm dengan Lama perendaman 20 menit A1B3= Konsentrasi Na2S2O5 1000 ppm dengan Lama perendaman 30 menit A2B1= Konsentrasi Na2S2O5 2000 ppm dengan Lama perendaman 10 menit A2B2= Konsentrasi Na2S2O5 2000 ppm dengan Lama perendaman 20 menit A2B3= Konsentrasi Na2S2O5 2000 ppm dengan Lama perendaman 30 menit A3B1= Konsentrasi Na2S2O5 3000 ppm dengan Lama perendaman 10 menit A3B2= Konsentrasi Na2S2O5 3000 ppm dengan Lama perendaman 20 menit A3B3= Konsentrasi Na2S2O5 3000 ppm dengan Lama perendaman 30 menit


(40)

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan pada suatu percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan –ij (taraf ke-I dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B)

µ = nilai tengah umum (rata-rata yang sesungguhnya) αi = pengaruh perlakuan ke-i dari faktor A

βj = pengaruh perlakuan ke-j dari faktor B

(αβ)ij = pengaruh interaksi taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B

εijk = penggunaan galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ke-j.

Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisis ragam. Untuk mengetahui adanya perbedaan diantara perlakuan digunakan uji DMRT dengan taraf 5% dan apabila terdapat perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan uji regresi.

2. Peubah Tetap

a. Jenis bahan baku: umbi bengkuang (Pachyrrhizus erosus). b. Berat umbi bengkuang = 500 gr.

c. Suhu pengeringan 600 C ± 5jam

E. PARAMETER

Tahap I. Analisa Bahan Baku, yaitu: a. Analisa Kadar Inulin (Widowati, 2005) b. Analisa Vitamin C (Sudarmadji dkk, 1997) c. Analisa Serat Kasar (Sudarmadji dkk, 1997)


(41)

a. Analisa Kadar inulin (Widowati, 2005) b. Analisa Vitamin C (Sudarmadji dkk, 1997) c. Rendemen (Hartanti, dkk., 2003)

d. Analisa kadar air dengan metode pemanasan (Sudarmadji dkk, 1997) e. Kadar Pati (Sudarmadji dkk, 1997)

f. Penentuan serat kasar (Sudarmadji dkk, 1997) g. Derajat putih ditetapkan dengan alat kolorimeter.

F. PROSEDUR PENELITIAN

Tahap. Pembuatan Tepung Bengkuang

1. Umbi bengkuang dikupas kemudian dicuci hingga bersih. 2. Umbi bengkuang diparut (srawut).

3. Dilakukan perendaman Natrium Metabisulfit dengan konsentrasi 1000 ppm, 2000 ppm, dan 3000 ppm.

4. Di keringkan dengan cabinet dryer dengan suhu 600 C ± 5jam.

5. Umbi bengkuang yang telah kering dihancurkan dengan cara diblender selama ± 5menit.

6. Umbi bengkuang yang telah diblender, diayak untuk menghasilkan tepung bengkuang yang halus dengan menggunakan ayakan 60 mesh.

7. Timbang kembali.

8. Analisa kadar Inulin,rendemen, serat kasar, kadar air dan derajat putih.

Untuk lebih jelasnya, proses pembuatan tepung bngkuang dapat dilihat dalam gambar 8 berikut ini.


(42)

- Vitamin C

- Serat Kasar

Pengupasan penimbangan 500gr

pencucian pengecilian ukuran (pemarutan sawut)

Konsentrasi Na2S2O5 :

A1 = 1000 ppm A2 = 2000 ppm A3 = 3000 ppm A4 = 4000 ppm

Lama Perendaman : B1 = 10 menit B2 = 20 menit B3 = 30 menit Perendaman dalam air/larutan

sodium metabisulfit (sesuai dengan perlakuan)

pencucian penirisan

pengeringan dengan cabinet dryer T = 600C ± 5jam

Penghancuran dengan blender

Pengayakan dengan ayakan 60 mesh

Timbang kembali Analisa : - Rendemen

- Kadar Inulin

- kadar air

- serat kasar

- derajat putih

- Vitamin C

- Kadar Pati

Tepung bengkuang


(43)

Analisa yang dilakukan pada penelitian ini dimulai dari analisa bahan baku dan analisa produk tepung yang dihasilkan. Analisa dilanjutkan dengan analisa keputusan dan finansial yang didasarkan pada segi ekonomis apabila produk ini digunakan sebagai produk industri.

A. Analisa Bahan Baku.

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tepung bengkuang ini adalah bengkuang yang berasal dari pasar Sopoyono (Surabaya),. Hasil analisa tepung bengkuang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Analisa Bengkuang Segar

Parameter

Bahan Kadar Vit.C

(mg/100gr)

Kadar Air (%)

Kadar Inulin (%)

Serat kasar (%)

Bengkuang segar 26,335 57,275 2,413 5,647

Dari Tabel 2, berdasarkan hasil analisa dapat dilihat bahwa kadar Vitamin C Bengkuang segar yaitu 26,335 mg/100gr dan kadar inulin yaitu 2,413 %, Kadar air yaitu 57,275, dan Kadar serat kasar yaitu 5,647 %.

Menurut Anonymous (2009d), kadar vitamin C bengkuang segar yaitu 20 mg/100gr sedangkan kadar air bengkuang segar 85,1/100gr. Perbedaaan kadar vitamin C dan kadar air menurut hasil analisa dan literatur dapat juga disebabkan karena perbedaan jenis, varietas, umur panen dan kondisi pertumbuhan tanaman bengkuang yang berbeda.


(44)

Menurut Lingga (1992), komposisi zat gizi masing-masing varietas berbeda. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh umur tanam dan keadaan tanah tempat tumbuhnya. Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), perbandingan antara amilosa dan amilopektin sangat bervariasi, bergantung pada jenis tumbuh-tumbuhan penghasilnya.

B. Hasil Analisa Produk Tepung Bengkuang 1. Kadar air

Berdasarkan hasil analisis ragam kadar air (Lampiran 3) diketahui bahwa terdapat interaksi nyata (p≤0,05) antara perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit dan lama perendaman, masing-masing perlakuan berpengaruh nyata terhadap kadar air. Nilai rata-rata kadar air tepung bengkuang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai rata-rata kadar air tepung bengkuang dengan perlakuan konsentrasi Na2S2O5 dan lama perendaman

Perlakuan Konsentrasi

Na2S2O5 (ppm) Lama perendaman (menit) Rerata Kadar air (%)

DMRT 5% Notasi

1000 1000 1000 10 20 30 11.2716 11.4053 11.3907 - 0.0543 0.0517 a b b 2000 2000 2000 10 20 30 11.4443 11.4853 11.5338 0.0558 0.0569 0.0578 bc c c 3000 3000 3000 10 20 30 11.8848 12.0142 12.8640 0.0584 0.0588 0.0591 d e f

Keterangan : Nilai rata-rata yang didampingi huruf yang sama menyatakan tidak ada perbedaan nyata.


(45)

Tabel 3, menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar air tepung bengkuang berkisar antara 11,2716 – 12,8640%. Pada perlakuan konsentrasi Natrium metabisulfit 1000 ppm dan lama perendaman 10 menit memiliki kadar air terendah yaitu 11,2716 %, sedangkan pada konsentrasi Natrium metabisulfit 3000 ppm dan lama perendaman 30 menit memiliki kadar air tertinggi yaitu 12,8640% dan berpengaruh nyata terhadap masing-masing perlakuan.

Grafik hubungan antara konsentrasi Natrium metabisulfit dan lama perendaman terhadap kadar air tepung bengkuang dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Hubungan antara konsentrasi Natrium Metabisulfit dan lama perendaman terhadap kadar air tepung bengkuang.

Pada Gambar 9, semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit dan lama perendaman maka kadar air semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena sifat natrium metabisulfit yang dapat mengikat mengikat air.

Menurut De Man (1997), molekul-molekul karbohidrat maupun protein mampu melakukan pengikatan dan penyerapan air, sedangkan karbohidrat dalam tepung bengkuang mempunyai kemampuan untuk mengikat dan menahan air


(46)

dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini didukung Winarno (1980), didalam bahan pangan air terdapat dalam bentuk air bebas dan air terikat.

Demikian pula penambahan Natrium metabisulfit (Na2S2O5), maka kadar air tepung bengkuang yang dihasilkan juga meningkat. Hal ini karena Na2S2O5 bersifat mempunyai kemampuan mengikat air, sehingga semakin tinggi penambahan Na2S2O5, maka kadar air cenderung mengalami peningkatan (Anonymous, 2008).

2. Rendemen

Berdasarkan hasil analisis ragam rendemen (Lampiran 4) menunjukkan bahwa terjadi interaksi nyata (p≤0,05) terhadap perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit dan lama perendaman, masing-masing perlakuan berpengaruh nyata terhadap rendemen. Nilai rata-rata rendemen tepung bengkuang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai rata-rata Rendemen tepung bengkuang dengan perlakuan konsentrasi Na2S2O5 dan Lama Perendaman

Perlakuan Konsentrasi Na2S2O5 (ppm) Lama perendaman (menit) Rerata Rendemen (%)

DMRT 5% Notasi

1000 1000 1000 10 20 30 13.1633 13.2900 13.3467 - 0.2862 0.3006 a ab ab 2000 2000 2000 10 20 30 13.5033 13.5433 13.7567 0.3093 0.3151 0.3199 b b b 3000 3000 3000 10 20 30 14.1633 14.4467 14.5500 0.3237 0.3257 0.3276 c cd d

Keterangan : Nilai rata-rata yang didampingi huruf yang sama menyatakan tidak ada perbedaan nyata.


(47)

Tabel 4, menunjukkan bahwa nilai rata-rata rendemen tepung bengkuang berkisar antara 13,1633 – 14,55%. Pada perlakuan konsentrasi Sodium metabisulfit 1000 ppm dengan lama perendaman 10 menit memiliki rendemen terendah yaitu 13,1633% sedangkan pada konsentrasi Sodium metabisulfit 3000 ppm dengan lama perendaman 30 menit memiliki rendemen tertinggi yaitu 14,55%. Konsentrasi natrium metabisulfit berpengaruh terhadap rendemen tepung bengkuang.

Grafik hubungan antara konsentrasi Sodium metabisulfit dan lama perendaman terhadap kadar air tepung bengkuang dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Hubungan antara konsentrasi Natrium Metabisulfit dan lama perendaman terhadap kadar air tepung bengkuang.

Pada Gambar 10, semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit dan lama perendaman maka rendemen meningkat. Hal ini disebabkan karena kadar air pada bahan meningkat akan menambah berat produk sehingga rendemen bahan akan meningkat.


(48)

Menurut Syafriandi (2003), kuantitas atau rendemen produk kering dinilai atas dasar kandungan air dan kandungan kimiawi bahan.

3. Kadar Vitamin C

Berdasarkan hasil analisis ragam rendemen (Lampiran 5) menunjukkan bahwa terjadi interaksi nyata (p≤0,05) antara konsentrasi Sodium metabisulfit dan lama perendaman. Masing-masing perlakuan berpengaruh nyata terhadap kadar vitamin C. Nilai rata-rata kadar vitamin C tepung bengkuang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai rata-rata kadar vitamin C tepung bengkuang dengan perlakuan konsentrasi Na2S2O5 dan lama perendaman

Perlakuan Konsentrasi Na2S2O5 (ppm) Lama perendaman (menit) Rerata Kadar Vit.C (mg/100gr)

DMRT 5% Notasi

1000 1000 1000 10 20 30 35.3845 33.9756 34.2079 1.0872 - 1.0059 b a a 2000 2000 2000 10 20 30 41.7351 36.7534 34.7081 1.1448 1.1075 1.0567 e c ab 3000 3000 3000 10 20 30 42.5534 40.0848 39.8795 1.1516 1.1380 1.1245 e d d

Keterangan : Nilai rata-rata yang didampingi huruf yang sama menyatakan tidak ada perbedaan nyata.

Tabel 5, menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar vitamin C tepung bengkuang berkisar antara 33.9756 – 42.5534%. Pada perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit 1000 ppm dan lama perendaman 20 menit memiliki kadar vitamin C terendah yaitu 33.9756% sedangkan pada konsentrasi natrium


(49)

metabisulfit 3000 ppm dan lama perendaman 10 menit memiliki kadar vitamin C tertinggi yaitu 42.5534%.

Hubungan antara konsentrasi Sodium metabisulfit dan lama perendaman terhadap rendemen tepung bengkuang dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Hubungan antara konsentrasi Natrium Metabisulfit dan lama perendaman terhadap kadar vitamin C tepung bengkuang.

Gambar 11, menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit kadar vitamin C meningkat. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi penambahan sulfit maka enzim-enzim oksidatif yang dapat mengosidasi vitamin C akan dihambat sehingga tepung bengkuang sedikit yang teroksidasi. Sedangkan semakin lama perendaman maka kadar vitamin C pada bengkuang akan larut dalam air, sehingga kadar vitamin C akan menurun. Hal ini mungkin disebabkan karena berkurangnya daya antioksidan yang dimiliki oleh sulfit sehingga tepung pada bahan sudah teroksidasi dan dapat menurunkan kadar vitamin C pada tepung bengkuang.

Vitamin C mempunyai karakteristik tidak stabil atau mudah mengalami perubahan. Vitamin C misalnya mudah teroksidasi atau mudah rusak oleh


(50)

pengaruh cahaya dan suhu tinggi. Perubahan vitamin C dalam bentuk persentase kehilangan vitamin C yang dipengaruhi oleh suhu Vitamin C (asam askorbat), biasanya berada dalam bentuk tereduksi dan teroksidasi sebagai asam dehidroaskorbat secara bersama-sama. Dalam kondisi basa dan pH netral, asam dehidroaskorbat mengalami hidrolisa membentuk asam diketogulonat. Bentuk asam diketogulonat tidak mempunyai aktivitas sebagai vitamin C, dan bahan akan berwarna coklat akibat reaksi Maillard (Ari Dwi, dkk, 2008).

Apandi (1984), menyebutkan bahwa natrium bisulfit berfungsi sebagai antioksidan. Pernyataan ini dijadikan dasar, bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium bisulfit semakin tinggi vitamin C yang dapat dipertahankan.

4. Derajat Putih

Warna merupakan parameter yang penting dari produk pangan, baik dalam cair maupun padat. Berdasarkan hasil analisis ragam derajat putih (Lampiran 5) menunjukkan bahwa terjadi interaksi nyata (p≤0,05) antara konsentrasi natrium metabisulfit dan lama perendaman. Masing-masing perlakuan berpengaruh nyata terhadap derajat putih. Nilai rata-rata derajat putih tepung bengkuang dapat dilihat pada Tabel 6.


(51)

Tabel 6. Nilai rata-rata Derajat putih / Whiteness tepung bengkuang dengan perlakuan konsentrasi Na2S2O5 dan Lama perendaman

Perlakuan Konsentrasi Na2S2O5 (ppm) Lama perendaman (menit) Rerata Derajat Putih/

Whiteness (%)

DMRT 5% Notasi 1000 1000 1000 10 20 30 82.2653 82.7417 82.7570 - 0.0126 0.0132 a b c 2000 2000 2000 10 20 30 83.8670 84.3627 84.6193 0.0136 0.0141 0.0142 d f g 3000 3000 3000 10 20 30 84.2267 85.2853 85.9807 0.0138 0.0143 0.0144 e h i

Keterangan : Nilai rata-rata yang didampingi huruf yang sama menyatakan tidak ada perbedaan nyata.

Pada Tabel 6, menunjukkan hasil pengukuran nilai whiteness warna tepung bengkuang nilai rata-rata derajat putih tepung bengkuang berkisar antara 82.2653 – 85.9807%. Pada perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit 1000 ppm dan lama perendaman 10 menit memiliki nilai derajat putih terendah yaitu 82.2653% sedangkan pada konsentrasi Sodium metabisulfit 3000 ppm dan lama perendaman 30 menit memiliki nilai derajat putih tertinggi yaitu 85.9807%.

Hubungan antara konsentrasi natrium metabisulfit dan lama perendaman terhadap derajat putih tepung bengkuang dapat dilihat pada Gambar 12.


(52)

Gambar 12. Hubungan antara konsentrasi natrium metabisulfit dan lama perendaman terhadap derajat putih tepung bengkuang.

Pada gambar 12, menyatakan bahwa konsentrasi sodium metabisulfit dengan lama perendaman semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena sodium metabisulfit dapat berfungsi sebagai pemutih bahan, sehingga akan mencegah terjadinya browning pada tepung bengkuang selama pengeringan.

Menurut Susanto dan Saneto (1994), Semakin besar konsentrasi natrium metabisulfit yang diberikan maka semakin kuat pengikat terhadap senyawa logam (kalisator) sehingga membentuk senyawa yang kompleks yang dapat menghambat pencoklatan.

Menurut Suhardi dan Hastuti (1982), sulfit akan menghambat browning enzimatik dan non enzimatik selama pengolahan dan penyimpanan produk olahan. Keadaan ini diterangkan oleh Furia (1983), bahwa sulfit dapat mengikat oksigen sehingga menjadi sulfat, yaitu teroksidasinya natrium bisulfit menjadi natrium hidrosulfat/natrium bisulfate. Sulfit berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil


(53)

reaksi itu akan menikat melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna cokelat. Sulfur dioksida dapat berfungi sebagai antioksidan (Winarno, 1992).

5. Kadar Serat Kasar

Berdasarkan hasil analisis ragam kadar serat kasar (Lampiran 7) menunjukkan bahwa terjadi interaksi nyata (p≤0,05) antara konsentrasi natrium metabisulfit dan lama perendaman. Masing-masing perlakuan berpengaruh nyata terhadap kadar serat kasar. Nilai rata-rata kadar serat kasar tepung bengkuang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai rata-rata Kadar Serat Kasar tepung bengkuang dengan perlakuan konsentrasi Na2S2O5 dan Lama perendaman

Perlakuan Konsentrasi

Na2S2O5 (ppm) Lama perendaman (menit) Rerata Kadar Serat Kasar (%)

DMRT 5% Notasi

1000 1000 1000 10 20 30 9.8608 9.0381 7.7392 0.1884 0.1793 - c b a 2000 2000 2000 10 20 30 12.2713 12.8504 11.5451 0.2004 0.2028 0.1938 f g d 3000 3000 3000 10 20 30 14.4069 12.8981 11.7798 0.2053 0.2041 0.1974 h g e

Keterangan : Nilai rata-rata yang didampingi huruf yang sama menyatakan tidak ada perbedaan nyata.

Tabel 7, dapat dilihat bahwa kadar serat kasar terendah tepung bengkuang diperoleh pada perlakuan konsentrasi Sodium metabisulfit 1000 ppm dengan lama perendaman 30 menit yaitu 7,7392%, sedangkan nilai kadar serat kasar tertinggi


(54)

diperoleh pada perlakuan konsentrasi Sodium metabisulfit 3000 ppm dan lama perendaman 10 menit 14,4069%.

Hubungan antara konsentrasi Sodium metabisulfit dan lama perendaman terhadap kadar serat kasar tepung bengkuang dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Hubungan antara konsentrasi Sodium Metabisulfit dan lama perendaman terhadap kadar serat kasar tepung bengkuang.

Pada Gambar 13, menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit maka kadar serat kasar semakin rendah, sedangkan semakin tinggi lama perendaman kadar serat kasar semakin meningkat. Hal ini disebabkan adanya pengeringan serat tidak mudah rusak dan tidak mudah mengalami degradasi sehingga berat tepung bengkuang tetap tetapi secara analisis aproksimat menjadi naik.

Menurut Grace et al. didalam Yuliani (2004), kemampuan serat untuk mengikat air berkurang dengan menurunnya ukuran partikel serat. Semakin tinggi konsentrasi asam semakin banyak partikel kecil terbentuk sehingga


(55)

daya serapnya turun. Serat tidak larut air seperti selulosa dan hemiselulosa mampu menyerap dan mengikat air lebih banyak dibandingkan dengan serat larut. Menurut Trowell eal. (1985), secara alami polisakarida dalam dinding sel tanaman bersifat hidrofilik. Selulosa memiliki kapasitas menyerap air sekitar 10-15 % bobotnya sendiri. Kemampuan serat menyerap air merupakan salah satu parameter fungsional serat pangan dimana daya serap air yang tinggi umumnya lebih diinginkan. Sifat ini dapat dilihat pada kemampuan serat pangan yang dapat menyerap air lebih banyak di dalam sistem pencernaan manusia.

6. Kadar Inulin

Berdasarkan hasil analisis ragam kadar inulin (Lampiran 8) menunjukkan bahwa terjadi interaksi yang nyata (p≤0,05) terhadap konsentrasi natrium metabisulfit dan lama perendaman. Masing-masing perlakuan berpengaruh nyata terhadap kadar inulin. Nilai rata-rata kadar inulin tepung bengkuang dapat dilihat pada Tabel 8.


(56)

Tabel 8. Nilai rata-rata Kadar Inulin tepung bengkuang dengan perlakuan konsentrasi Na2S2O5 dan Lama Perendaman

Perlakuan Konsentrasi

Na2S2O5 (ppm) Lama perendaman (menit) Rerata Kadar Inulin (%)

DMRT 5% Notasi

1000 1000 1000 10 20 30 14.6634 14.3544 11.8611 0.7675 0.7213 - c c a 2000 2000 2000 10 20 30 16.2091 14.5331 13.2696 0.7814 0.7560 0.6866 d c b 3000 3000 3000 10 20 30 16.5154 14.4948 14.8240 0.7860 0.7421 0.7768 d c c

Keterangan : Nilai rata-rata yang didampingi huruf yang sama menyatakan tidak ada perbedaan nyata.

Tabel 8, dapat dilihat bahwa kadar inulin terendah tepung bengkuang diperoleh pada perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit 1000 ppm dengan lama perendaman 30 menit yaitu 11,8611%, sedangkan nilai kadar inulin tertinggi diperoleh pada perlakuan konsentrasi Sodium metabisulfit 3000 ppm dan lama perendaman 10 menit 16,5154%.

Hubungan antara konsentrasi natrium metabisulfit dan lama perendaman terhadap kadar inulin tepung bengkuang dapat dilihat pada Gambar 14.


(57)

Gambar 14. Hubungan antara konsentrasi natrium metabisulfit dan lama perendaman terhadap kadar Inulin tepung bengkuang.

Dilihat pada Tabel 8, nilai rata-rata inulin tepung bengkuang, bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit maka kadar inulin tepung bengkuang semakin meningkat. Hal ini disebabkan semakin banyak serat yang diikat atau larut maka kadar inulin pada tepung bengkuang meningkat. Tetapi semakin lama perendaman maka kadar inulin semakin rendah. Hal ini disebabkan karena inulin sifatnya larut dalam air.

Menurut Widowati S (2005), Inulin bersifat larut dalam air, tetapi tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim dalam sistem pencernaan mamalia sehingga mencapai usus besar tanpa mengalami perubahan struktur. Meskipun demikian, inulin dapat mengalami fermentasi akibat aktivitas mikroflora yang terdapat di dalam usus besar sehingga berimplikasi positif terhadap kesehatan tubuh.


(58)

7. Kadar Pati

Berdasarkan hasil analisis ragam kadar pati (Lampiran 9) menunjukkan bahwa terjadi interaksi nyata (p≤0,05) antara konsentrasi Sodium metabisulfit dan lama perendaman. Masing-masing perlakuan berpengaruh nyata terhadap kadar pati. Nilai rata-rata kadar pati tepung bengkuang dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai rata-rata Kadar Pati tepung bengkuang dengan perlakuan konsentrasi Na2S2O5 dan Lama perendaman.

Perlakuan Konsentrasi

Na2S2O5 (ppm) Lama perendaman (menit) Rerata Kadar Pati (%)

DMRT 5% Notasi

1000 1000 1000 10 20 30 46.8667 45.3667 45.1400 0.0607 0.0593 0.0584 h e d 2000 2000 2000 10 20 30 45.9567 45.4300 43.6733 0.0603 0.0600 0.0530 g f b 3000 3000 3000 10 20 30 43.9533 43.9000 43.2867 0.0573 0.0557 - c c a

Keterangan : Nilai rata-rata yang didampingi huruf yang sama menyatakan tidak ada perbedaan nyata.

Tabel 9, dapat dilihat bahwa kadar pati tertinggi tepung bengkuang diperoleh pada perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit 1000 ppm dengan lama perendaman 10 menit yaitu 46.8667%, sedangkan nilai kadar pati terendah diperoleh pada perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit 3000 ppm dan lama perendaman 30 menit 43.2867%.

Hubungan antara konsentrasi Sodium metabisulfit dan lama perendaman terhadap kadar pati tepung bengkuang dapat dilihat pada Gambar 15.


(59)

Gambar 15. Hubungan antara konsentrasi Natrium Metabisulfit dan lama perendaman terhadap kadar Pati tepung bengkuang.

Pada Gambar 15, menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit maka kadar pati pada tepung bengkuang semakin rendah, sedangkan semakin lama perendaman kadar pati tepung bengkuang meningkat. Hal ini disebabkan karena semakin lama perendaman maka makin banyak kesempatan larutan natrium metabisulfit yang masuk dalam dinding sel pati dan melarutkan patinya.

Menurut anonymous (2010), kemampuan penyerap air suatu bahan tergantung pada gugus hidroksil dalam molekul pati ( amilosa dan amilopeptin). Semakin lama perendaman maka makin banyak kesempatan larutan natrium metabisulfit yang masuk dalam dinding sel pati dan melarutkan patinya.


(60)

C. Uji Skoring Warna

Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 9), menunjukkan bahwa terjadi interaksi nyata (p≤0,05) antara konsentrasi Sodium metabisulfit dan lama perendaman.

Tabel 10. Jumlah Ranking uji skoring dengan perlakuan konsentrasi Na2S2O5 dan Lama perendaman. Perlakuan Konsentrasi sodium metabisulfit Lama perendaman (menit) Jumlah rangking 1000 1000 1000 10 20 30 141 120 147 2000 2000 2000 10 20 30 160 175,5 74,5 3000 3000 3000 10 20 30 130,5 140,5 121,5

Tabel 10, dapat dilihat bahwa nilai skor panelis pada warna tepung bengkuang tertinggi pada perlakuan konsentrasi Sodium metabisulfit 2000 ppm dengan lama perendaman 20 menit yaitu 175,5%, sedangkan nilai skor panelis pada warna tepung bengkuang terendah diperoleh pada perlakuan konsentrasi Sodium metabisulfit 2000 ppm dan lama perendaman 30 menit 74,5%. Hal ini disebabkan panelis lebih menyukai warna tepung bengkuang yang agak putih.

Menurut Syarief dan Irawati, 1988, selain sebagai pengawet sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil reaksi itu akan mengikat melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna cokelat. Proses perubahan senyawa fenolik menjadi senyawa berwarna coklat (melanoidin) akibat aktifnya enzim fenolase. Pencoklatan enzimatik berlangsung dalam bahan tanaman yang rusak atau luka


(61)

dan disebabkan karena peranan enzim polifenol oksidase yang dibebaskan dari sel yang rusak.

A. Analisis Keputusan

Mutu suatu bahan pangan dapat diketahui berdasarkan tiga sifat yaitu kimia, fisik dan organoleptik. Diterima tidaknya bahan atau produk pangan oleh konsumen lebih banyak ditentukan oleh faktor sifat organoleptik, karena berhubungan langsung dengan selera konsumen (Mangkusubroto, 1987). Data-data yang diperlukan untuk analisis keputusan adalah aspek kuantitas yang meliputi kadar air, kadar inulin, kadar serat, rendemen, kadar vitamin C, kadar pati dan juga aspek kualitas yang meliputi warna pada produk tepung bengkuang yang dihasilkan. Dari data-data tersebut diambil perlakuan yang terbaik berdasarkan standart mutu yang ditentukan serta penerimaan konsumen terhadap produk pada uji organoleptik.

Analisis keputusan terbaik pada pembuatan tepung bengkuang dengan konsentarsi sodium metabisulfit dan lama perendaman dilakukan berdasarkan hasil uji organoleptik warna menghasilkan nilai rata-rata yang cukup tinggi pada tepung bengkuang pada perlakuan sodium metabisulfit dengan lama perendaman. Hasil analisis tepung bengkuang dari kombinasi perlakuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 11.


(62)

Tabel 11. Data Hasil Analisis Tepung Bengkuang Perlakuan Kadar Air Kadar Inulin Kadar Serat Kasar Kadar Vitamin C Kadar

Pati Rendemen Konsentrasi

Na2S2O5

lama

perendaman (%) (%) (%) (mg/100gr) (%) (%)

(ppm) (menit)

1000 10 11.2716 14.6634 9.8608 35.3845 46.8667 13.1633

20 11.4053 14.3544 9.0381 33.9756 45.3667 13.2900

30 11.3907 11.8611 7.7392 34.2079 45.1400 13.3467

2000 10 11.4443 16.2091 12.2713 41.7351 45.9567 13.5033

20 11.4853 14.5331 12.8504 36.7534 45.4300 13.5433

30 11.5338 13.2696 11.5451 34.7081 43.6733 13.7567

3000 10 11.8848 16.5154 14.4069 42.5534 43.9533 14.1633

40.0848 43.9000 14.4467

20 12.0142 14.4948 12.8981

30 12.8640 14.8240 11.7798 39.8795 43.2867 14.5500

Tabel 12. Data hasil analisa Derajat Putih

Perlakuan konsentrasi Na2S2O5 lama perendaman Nilai W

ppm menit

1000 10 82.2653

20 82.7417

30 82.7570

2000 10 83.8670

20 84.3627

30 84.6193

3000 10 84.2267

20 85.2853

30 85.9807

Dari Tabel 11 dan 12, dapat dilihat bahwa hasil analisis tepung bengkuang yang dilakukan dapat disimpulkan pada perlakuan konsentrasi sodium metabisulfit 3000 ppm dengan lama perendaman 30 menit memiliki kadar air


(63)

12.8640%, kadar vitamin C 39.8795 mg/100gr, kadar serat kasar 11.7798%, rendemen 14.8300%, derajat putih 85.9807%, kadar inulin 14.8240%, kadar pati 43.2867%, termasuk hasil analisa bengkuang terbaik.

Berdasarkan masing-masing data tersebut dapat diperoleh yang terbaik dimana aspek kualitas merupakan prioritas utama dari analisa keputusan kerena berhubungan dengan konsumen. Alternatif ini selanjutnya akan dilanjutkan dengan analisa finansial.

D. Analisis Finansial 1. Kapasitas Produksi

Kapasitas produksi direncanakan tiap hari memerlukan bahan baku bengkuang segar 1000 Kg/hr; sodium metabisulfit 7800 kg/hr; pengemas 500 kemasan/hari. Kapasitas produksi dalam satu tahun 156.000 bungkus tepung tiap 500gr. Data kapasitas produksi lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 10.

2. Biaya Produksi

Biaya produksi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan suatu usaha, terdiri dari biaya tidak tetap dan biaya tetap. Biaya tidak tetap adalah biaya yang besarnya berubah sejalan dengan tingkat produksi yang dihasilkan. Biaya tetap adalah biaya-biaya yang dalam jangka waktu tertentu tidak berubah mengikuti perubahan tingkat produksi. Biaya tetap bersifat konstan pada relevan


(64)

Secara singkat total biaya per tahun dari industri tepung bengkuang adalah sebagai berikut :

Total Biaya Produksi = Biaya tetap + biaya tidak tetap = Rp. 163.414.436 + Rp. 1.671.593.280 = Rp. 1.835.007.716,-

Perincian total biaya produksi tiap tahun dapat dilihat pada Lampiran 12.

3. Harga Pokok Produksi

Berdasarkan kapasitas produksi tiap tahun dan biaya produksi tiap tahun, maka dapat diketahui harga pokok tiap bungkus.

Harga pokok = Total biaya produksi Kapasitas produksi per tahun

= 1.835.007.716

156.000

= 11.762,87 ≈Rp.

11.700,-4. Harga Jual Produksi

Harga jual diperoleh berdasarkan dari harga pokok, harga produk lain dipasarkan dan juga keuntungan yang ingin dicapai ditambah pajak. Keuntungan yang ingin dicapai 30% dari harga pokok. Pajak 10% dari harga pokok.

Harga jual = Harga pokok + harga keuntungan 30% + pajak 10% = 11.700 + 3510 + 1170

= 16.380 ≈Rp. 16.000,-


(65)

Analisis Break Event adalah suatu teknik untuk mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, keuntungan dan volume kegiatan. Volume penjualan dimana penghasilannya tetap sama dengan biaya totalnya, sehingga perusahaan tidak mendapatkan keuntungan dan menderita kerugian dinamakan “Break Event Point”. Biaya yang termasuk biaya variabel pada umumnya adalah bahan mentah, upah buruh langsung, dan komisi penjualan. Sedangkan yang termasuk golongan biaya tetap pada umumnya depresiasi aktiva tetap, sewa bangunan, bunga pinjaman, gaji pegawai, gaji pimpinan, gaji staff research, biaya kantor (Pujawa, 2002).

Berdasarkan Lampiran 14 diperoleh BEP sebagai berikut: - BEP (biaya titik impas) = Rp. 494.758.741,24,-- % BEP (% titik impas) = 19,82 %

- Kapasitas titik impas = 30.919,2 kemasan / tahun

Kapasitas tiitik impas adalah jumlah produksi yang harus dilakukan untuk mencapai titik impas tersebut. Jadi produksi tepung bengkuang mencapai keadaan impas jika produksinya sebesar 30.919 unit/tahun, dengan kapasitas normal sebanyak 156.000 Kg/tahun, hal ini berarti tepung bengkuang memperoleh keuntungan karena produksinya diatas kapasitas titik impas juga dapat dinyatakan kapasitas produksi mencapai 19,82 % dari total produksi yang direncanakan. Grafik BEP dapat dilihat pada Lampiran 14.


(66)

Net Present Value merupakan selisih antara nilai investasi saat sekarang dengan nilai penerimaan kas bersih dimasa yang akan datang. Suatu proyek dapat dipilih jika NPV-nya lebih besar dari nol.

Berdasarkan Lampiran. 16. diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 210,593,468,-dengan demikian proyek ini dapat diterima karena nilai NPV-nya positif atau lebih besar dari nol.

7. Payback Period (PP)

Payback Period menggambarkan panjangnya waktu yang diperlukan agar dana yang tertanam dalam suatu investasi dapat diperoleh kembali seluruhnya (Pujawa, 2002). Payback Period dari suatu investasi yang diusulkan lebih pendek dari pada Periode Payback maksimum, maka usul investasi tersebut diterima.

Berdasarkan Lampiran 16, diperoleh nilai Payback Periode (PP) selama. 4,4 tahun. Umur ekonomis proyek yang akan direncanakan selama 5 tahun. Berarti investasi pada proyek ini dapat diterima karena nilai PP lebih kecil dari pada umur ekonomis proyek yang direncanakan.

8. Gross Benefit Cost Ratio

Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C) merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan harga kotor yang telah dirupiahkan sekarang. Proyek akan dipilih apabila Gross B/C > 1, bila proyek mempunyai Gross B/C ≤ 1 maka tidak akan dipilih.


(67)

Berdasarkan Lampiran 16 diperoleh nilai Gross B/C sebesar 1,0399 berarti proyek ini dapat diterima atau layak untuk dijalankan.

9. Rate of Return (ROR)

Rate of Return metode Internal Rate of Return merupakan tingkat suku bunga yang menunjukkan persamaan antara nilai penerimaan bersih sekarang dengan jumlah investasi awal dari suatu proyek yang sekarang dengan jumlah investasi awal dari suatu proyek yang dikerjakan. Menurut (Pujawa, 2002), bahwa pada tingkat suku bunga inilah nilai NPV sama dengan nol. Proyek dapat diterima apabila dinilai IRR lebih besar dari suku bunga sekarang.

Berdasarkan Lampiran 15 diperoleh IRR sebesar 22,489%. Berarti proyek ini dapat diterima karena nilai IRR lebih besar dari pada suku bunga yang dikehendaki yaitu 20% per tahun.


(1)

54

Net Present Value merupakan selisih antara nilai investasi saat sekarang dengan nilai penerimaan kas bersih dimasa yang akan datang. Suatu proyek dapat dipilih jika NPV-nya lebih besar dari nol.

Berdasarkan Lampiran. 16. diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 210,593,468,- dengan demikian proyek ini dapat diterima karena nilai NPV-nya positif atau lebih besar dari nol.

7. Payback Period (PP)

Payback Period menggambarkan panjangnya waktu yang diperlukan agar dana yang tertanam dalam suatu investasi dapat diperoleh kembali seluruhnya (Pujawa, 2002). Payback Period dari suatu investasi yang diusulkan lebih pendek dari pada Periode Payback maksimum, maka usul investasi tersebut diterima.

Berdasarkan Lampiran 16, diperoleh nilai Payback Periode (PP) selama. 4,4 tahun. Umur ekonomis proyek yang akan direncanakan selama 5 tahun. Berarti investasi pada proyek ini dapat diterima karena nilai PP lebih kecil dari pada umur ekonomis proyek yang direncanakan.

8. Gross Benefit Cost Ratio

Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C) merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan harga kotor yang telah dirupiahkan sekarang. Proyek akan dipilih apabila Gross B/C > 1, bila proyek mempunyai Gross B/C ≤ 1 maka tidak akan dipilih.


(2)

Berdasarkan Lampiran 16 diperoleh nilai Gross B/C sebesar 1,0399 berarti proyek ini dapat diterima atau layak untuk dijalankan.

9. Rate of Return (ROR)

Rate of Return metode Internal Rate of Return merupakan tingkat suku bunga yang menunjukkan persamaan antara nilai penerimaan bersih sekarang dengan jumlah investasi awal dari suatu proyek yang sekarang dengan jumlah investasi awal dari suatu proyek yang dikerjakan. Menurut (Pujawa, 2002), bahwa pada tingkat suku bunga inilah nilai NPV sama dengan nol. Proyek dapat diterima apabila dinilai IRR lebih besar dari suku bunga sekarang.

Berdasarkan Lampiran 15 diperoleh IRR sebesar 22,489%. Berarti proyek ini dapat diterima karena nilai IRR lebih besar dari pada suku bunga yang dikehendaki yaitu 20% per tahun.


(3)

54

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit menunjukkan terjadi interaksi yang nyata terhadap kadar air, serat kasar, rendemen, derajat putih, kadar inulin, kadar vitamin C, kadar pati dan uji skoring pada tepung bengkuang.

2. Hasil analisa terhadap terbaik tepung bengkuang menunjukkan nilai tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit 3000 ppm dengan lama perendaman 30 menit yaitu nilai kadar air 12.8640%, kadar vitamin C 39.8795 mg/100gr, kadar serat kasar 11.7798%, rendemen 14.8300%, derajat putih 85.9807%, kadar inulin 14.8240%, kadar pati 43.2867%, dan tingkat skoring warna 121,5 (agak suka).

3. Hasil analisis finansial diketahui bahwa nilai Break Event Point (BEP) dicapai pada Rp. 494.758.741,24,- sebesar 19,82 % dan kapasitas titik impas 3.091.920 unit/tahun, sedangkan Internal Rate of Return (IRR) mencapai 22,489%, Payback Period (PP) dicapai selama 4,4 tahun, Net Present Value (NPV) sebesar Rp. 210,593,468,- dan Benefit Cost Ratio sebesar 1,0399.

B. SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tepung bengkuang pada pengaplikasian dalam produk pangan sehingga dapat diketahui cita, rasa, warna dan tekstur berubah atau tidak.


(4)

Anonymous, 2008. http://id.wikipedia.org.11 november 2010 Anonymous, 2009a. http://www.indofamilyhealth,com. 20 juni 2010. Anonymous, 2009b. http://id.wikipedia.org/wiki/Bengkuang. 22 juni 2010. Anonymous, 2009c. cyberwomen.cbn.net.id. 22 juni 2010.

Anonymous, 2009d, http://lifestyle.okezone.com. 28 juni 2010.

Anonymous, 1990. Petunjuk Penganekaragaman Pangan Menuju Pola Pangan Masa Depan. Proyek Pengembangan Diversifikasi Pangan dan GIzi. Jakarta.

AOAC International. 1999. Official Methods of Analysis of AOAC International. Ed. 16. Vol I. Maryland.

Apandi, M., 1984, "Teknologi Buah dan Sayur", Alumni IKAPI, Bandung.

Assaori Syakur. 2010. Bengkuang Untuk Kesehatan Tulang Dan Gigi. Bandung, Jawa Barat. Indonesia.

Buckle, K.A. 1987. Food Science. Diterjemahkan oleh Hari Purnomo dan Adiono. UI press. Jakarta.

Davidson, P. M dan V.K. Junija. 1990. Antimicrobial Agent dalam Brannen, A. L., P.M. Davidson dan S. Salminen (Ed). Food Additives (hal. 103 – 107). Marcel – Decker Publisher, New York.

Desrosier, 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

De Mann J. 1997. Kimia Pangan. Cetakan Pertama. ITB. Bandung.

Darmaiana. Doddy. 2007. Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia. Yogyakarta, 2007.

Eksin NAM. 1990. Biochemistry of Food 2nd ed. San Diego, California : academic Press, Inc.

Furia. T. C. 1983 CRC HandBook Of Food Additives. CRC Press, Florida.

Gaman, P.M. and K.B. Sherrington. 1981. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. UGM Press, Yogyakarta.

Gupta, A. K., P. Rathore, N. Kaur and R. Singh.1990. Production Therma Stability and Immobilization of Inulinase of Fusarium oxysporum. J. Chem. Tech. Biotech. P: 245-251.


(5)

58

Heriyanto dan A. Winarto. 1998. Prospek pemberdayaan tepung ubi jalar sebagai bahan baku industri pangan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pemberdayaan Tepung Ubi Jalar Sebagai Bahan Substitusi Terigu. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang, 12 Oktober 1998.

Heriyanto, N. Prasetiawati dan S.S. Antarlina. 2001. Kajian pemanfaatan tepung ubi jalar sebagai bahan baku industri pangan. Jurnal Litbang Pertanian. 20(2): 45-53.

Hui, Y.H. 1992. Dictionary of Science and Tecnology. John Wiley and Sons. New York. Kim, Y., Faqih, M.N., Wang, S.S., 2001. Factors affecting gel formation of inulin.

Carbohydrate Polymer,46,No.2, 135-145. www.abeg.org.br/bjche; 5 maret 2009.

Leite, J.T.C., Paula, M,. Fernanda, E., X, Murr,. Park, K.J. 2004. Study of The Inulin Concentration by Physical Methods. Procedings of The International Drying Symposium (IDS 2004) vol B, pp, 868-875.

Lingga, P. 1992. Bertanam Ubi-ubian. PT Penebar Swadaya IKAPI, Jakarta.

Mangkusubroto dan Listiani, 1987, Analisa Keputusan dan Manajemen Usaha Proyek, ITB, Bandung.

Margono, Tri, Detty Suryati dan Sri Hartinah (1993). Teknologi Pangan. Jakarta PDII - LIPI.

Potter, N. N., 1986. Food Science. Fourth Edition. Van Nostrand Reinhold Company, New York.

Satuhu, S. 1994. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sardesai, VM. 2003. Introduction to Clinical Nutrition. Ed ke-2. USA: Marcel Dekker, Inc.

Siagian. 1987. Penelitian Operasional. UI Press: Jakarta.

Silva, R. F., 1996. Use of Inulin as a Natural Texture Modifier. Cereal Foods World, 41, No. 10,792-795.

Susanto, T dan Saneto, B. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. PT. Bina Ilmu. Surabaya.

Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi, 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian (Edisi Keempat). Penerbit Liberty, Yogyakarta. Syarief, Rizal dan Anies Irawati (1988). Pengetahuan Bahan Untuk Industri


(6)

Syarief, R, Halid. 1991. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan. Jakarta.

Taib, G., G. Said, dan S. Wiraatmaja. 1988. Operasi Pengeringan pada Pengolahan Hasil Pertanian. Medyatama Sarana Perkasa, Jakarta.

Tjokroadikoesoema, S., 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu lainnya. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.

Toneli, J.T.C.L., K.J. Park, J.R.P. Ramalho, F.E.X. Murr dan I.M.D. Fabbro, 2008. Rheological Characterization of Chicory Root (Cichorium intybus L.) Inulin Solution. Brazilian Journal of Chemical Engineering, Vol.25, No.03, 461-471. www.abeg.org.br/bjche;

5 Maret 2009.

Tranggono, 1990. Bahan Tambahan Pangan. PAU Pangan dann Gizi UGM. Yogyakarta.

Utomo, J.S., dan S.S. Antarlina. 2002. Tepung instant ubi jalar untuk pembuatan roti tawar. Pangan. 38: 54-60.

Whistler, R.L., BeMiller J.N and Paschall, E.F. 1984. Starch : Chemistry and Technology. Academic Press. Inc. Toronto

Winarno, F.G. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Winarno. F. G., Fardiaz dan D. Fardiaz, 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedian Pustaka Utama. Jakarta. Winarno, F.G. 2000. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Widowati, S. 2000. Tepung Aneka Umbi. BB Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor.

sumber : SINAR TANI Edisi 6 - 12 Mei 2009, No.3302 Tahun XXXIX.

Widowati, S. 2005. Dahlia Bunganya Indah, Umbinya Mengandung Inulin. BB Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor. Dimuat pada Surat Kabar Kompas.