Gambaran kondisi Psikologis lansia yang mengkonsumsi obat-obatan medis.

(1)

i

GAMBARAN KONDISI PSIKOLOGIS PADA LANSIA YANG

MENGKONSUMSI OBAT-OBATAN MEDIS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Asvita Kharismaningrum 129114028

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA


(2)

(3)

(4)

iv

MOTTO

“Failing Forward”

– John C. Maxwell

“Look up at the stars and not down at your feet”

– Stephen Hawking


(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini secara khusus kupersembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus

Fakultas Psikologi

Bapak, Ibu, Via, Ghemma

Keluarga dan saudara-saudarku

Sahabat-sahabat terbaikku, Agy-Robin-Erik

Team Reserved Merch, Tita & Gede


(6)

(7)

vii

GAMBARAN KONDISI PSIKOLOGIS LANSIA YANG MENGKONSUMSI OBAT-OBATAN MEDIS

Studi Kualitatif Asvita Kharismaningrum

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi psikologis pada lansia yang mengkonsumsi obat-obatan medis. Konsumsi obat-obatan medis dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak negatif secara fisik maupun psikologis. Dampak negatif secara fisik berakibat pada berkuranganya fungsi lambung dan ginjal. Sedangkan dampak negatif psikologis dapat menurunkan kualitas hidup. Informan penelitian ini adalah dua lansia panti wreda di Yogyakarta. Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode wawancara. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan analisis naratif. Validitas pada penelitian ini menggunakan konfirmabilitas atas data hasil penelitian dan wawancara perawat panti. Hasil penelitian ini adalah kedua informan sering mengkonsumsi obat-obatan medis. Salah satu informan menjelaskan bahwa ia harus mengkonsumsi obat terus menerus dan tidak boleh telat. informan tersebut mengkonsumsi obat tidak hanya saat tekanan darah tinggi namun saat ia merasa banyak pikiran. Dimana obat hipertensi dapat membantu menenangkan pikirannya.


(8)

viii

PSYCHOLOGICAL CONDITIONS DEPICTION OF ELDERLY WHICH CONSUME MEDICINE

Qualitative Research Asvita Kharismaningrum

ABSTRACT

This research aimed to depict the psychological condition of elderly who consume medicine. The medicine consumption in long term can negatively impact both physically and psychologically. The negative physical impact is reduced stomach and kidneys function. While the negative psychological impact could reduce quality of life. The informants were two elderlies at nursing home in Yogyakarta. This research used interviews for Method of data collection. The data analyzed using narrative analysis. The validity of this study used confirmability on

research data and nursing homes' nurse interviewThe results of this study are both

informants often consume medical drugs. One informant explained that he had to take drugs continuously and should not be late. The informant consumed the drug not only during high blood pressure but when he felt a lot of thought. Where hypertension drugs can help calm his mind.


(9)

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tahun Yesus karena penyertaan dan tuntunanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran Kondisi Psikologis Lansia yang Mengkonsumsi Obat-batan Medis”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Tugas akhir ini dapat terselesaikan berkat dukungan dan bantuan banyak pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. DR. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi dan dosen pembimbing akademik. Terimakasih atas kesediaan bapak dalam mendampingi saya khususnya untuk masalah akademik dan membantu dalam administrasi akademik.

2. P. Eddy Suhartanto, M.Si selaku kepala program studi. Terimakasih atas bantuannya dalam kelancaran proses pembuatan skripsi ini.

3. Alm. Dra. Lusia Pratidarmanastiti. Terimakasih atas bimbingan, masukan dan teguran ibu di awal penulisan skripsi ini. Terimakasih juga untuk ide dan cerita-cerita ibu selama ini yang sangat bermakna bagi saya pribadi. 4. Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari M.si selaku dosen pembimbing

skripsi saya. Terimakasih Bu Sylvi, untuk bimbingan, waktu, dan tenaga dalam membantu saya menulis skripsi saya. Segala masukan dan ide-ide yang ibu berikan sangat bermakna dan membantu saya. Sukses untuk studi ibu dan karier kedepannya.

5. R. Landung Eko P, M.Psi., Psi. selaku dosen pembimbing skripsi. Terimakasih atas waktu, tenaga, dan bantuannya dalam kelancaran proses pembuatan skripsi ini. Terimakasih juga Pak untuk ide-ide baru dalam penulisan skripsi saya. Sukses untuk karier kedepannya Pak.

6. DR. T. Priyo Widiyanto, M.Si. dan Dr. Y.B. Cahya Widiyanto, M.Si., selaku dosen penguji skripsi. Terimakasih atas saran dan bimbingannya selama menyelesaikan revisi.


(11)

xi

7. Dosen-dosen Fakultas Psikologi yang selama ini membimbing dan memberikan wawasan yang luas mengenai ilmu psikologi selama proses perkuliahan.

8. Karyawan sekretariat Fakultas Psikologi yang telah membantu dan memfasilitasi berbagai keperluan perkuliahan dan pada saat proses penyelesaian skripsi saya.

9. Bapak, Ibu, dan Via yang selalu mendukung dan memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi. Terimakasih atas doanya selama ini, Tuhan memberkati.

10.Ghemma Fauzan Garay yang tidak pernah lelah untuk menyemangati saya dan memberikan dukungan dalam mengerjakan skripsi.

11.Agy, Robin, Erik, Tita, dan Gede yang selalu ada untuk memberikan semangat, terimakasih untuk keceriaannya selama ini.

12.Teman-teman satu bimbingan: Maria, Delvy, Deivi, Ema, Dara, dan teman-teman yang lainnya. Terimakasih untuk dukungan dan semangatnya untuk tidak pernah lelah mengerjakan skripsi. Sukses untuk kalian semua!

13.Teman-teman angkatan 2012 Teteh, Patrice, Yosua, Beni, Lona, Lintang, Kenang, Edo, dan GM yang selama ini memberikan keceriaan, memberikan waktunya untuk mendengar cerita-ceritaku, terimakasih yaa! Sukses juga untuk kalian semua!

14.Kedua Informan saya yaitu M dan H terimakasih untuk pengalaman bisa mendengar cerita dan banyak belajar dari kedua informan saya.

15.Perawat panti yang selalu menyambut dan memberikan ijin untuk sharing dan memberikan informasi.


(12)

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACK... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I: PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 10

1.3 Tujuan Penelitian... 11

1.4 Manfaat Penelitian... 11

1.4.1 Manfaat Teoritis... 11

1.4.2 Manfaat Praktis... 11

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA... 13

1.1Kondisi Psikologis... 13

2.1.1 Kognisi... 13

2.1.2 Afek... 14

2.1.3 Perilaku... 15

2.2 Lansia... 16

2.2.1 Perkembangan Fisik... 17


(14)

xiv

2.3Obat-obatan medis... 24

2.4Kondisi Psikologis Lansia yang Mengkonsumsi Obat-obatan medis... 24

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN... 26

3.1 Jenis Penelitian... 26

3.2 Informan Penelitian... 26

3.3 Fokus Penelitian... 27

3.4 Peran Peneliti... 27

3.5 Metode Pengumpulan Data... 28

3.6 Metode Analisis Data... 30

3.5.1 Fase Deskriptif... 31

3.5.2 Fase Interpretatif... 32

3.7 Validitas Penelitian... 32

3.7.1 Kredibilitas... 32

3.7.2 Konfirmabilitas... 33

BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN... 35

4.1 Persiapan Penelitian... 35

4.2 Pelaksanaan Penelitian... 36

4.3 Informan Penelitian... 37

4.3.1 Data Informan... 37

4.3.2 Latar Belakang Informan... 37

4.4 Hasil Penelitian... 38

4.4.1 Narasi... 38

4.4.2 Intepretasi... 63

4.5 Pembahasan... 70

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN... 77

5.1 Kesimpulan... 77

5.2 Keterbatasan Penelitian... 77

5.3 Saran... 78

DAFTAR PUSTAKA... 80


(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karakteristik Perilaku Orang-orang yang Memiliki Rasa Integritas dan

Rasa Putus Asa... 19

Tabel 2. Daftar Pertanyaan Penelitian... 29

Tabel 3. Waktu dan Tempat Penelitian... 37

Tabel 4. Data Informan... 37

Tabel 5. Latar Belakang Informan... 37

Tabel 6. Ringkasan Narasi Informan I dan II... 59


(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Ringkasan Narasi Informan I dan II... 62 Gambar 2. Ringkasan Hasil Penelitian... 69


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed Consent... 85

Lampiran 2. Tabel Verbatim Informan I... 86

Lampiran 3. Tabel Verbatim Informan II... 114


(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Proses menua adalah suatu proses alami yang akan terjadi pada setiap kehidupan manusia. Setiap individu memiliki siklus kehidupan menuju tua, yang dimulai dari proses kelahiran kemudian tumbuh menjadi dewasa dan berkembang biak, selanjutnya menjadi tua dan meninggal dunia. Laslet (dalam Suardiman, 2011) menyatakan bahwa proses menua (aging) merupakan proses perubahan biologis secara terus menerus yang dialami oleh manusia. Lanjut usia atau yang sering disebut dengan lansia adalah sebuah istilah untuk tahap akhir dari proses penuaan. Terdapat beberapa pedekatan untuk mengidentifikasi kapan seseorang dikatakan sebagai seorang lansia. Salah satunya berdasarkan usia kronologis yaitu usia seseorang yang didasarkan pada hitungan umur kalender yaitu 60 tahun (Suardiman, 2011).

Saat ini, telah terjadi peningkatan jumlah populasi lansia di dunia. Ditinjau dari data statistik Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB, pada tahun 2015 populasi individu berusia 60 tahun keatas mencapai 901 juta di dunia (UNITED NATION, 2015). Diproyeksikan akan mengalami peningkatan pada tahun 2030 menjadi 1,4 juta populasi. Sedangkan 64% populasi yang berumur diatas 60 tahun saat ini tinggal di Negara-negara berkembang. Di Asia Tenggara, jumlah populasi yang berumur 60 tahun keatas pada tahun 2015 adalah 81 juta (UNITED NATION, 2015).


(19)

Di Indonesia, penduduk lansia terus meningkat pertahunnya pada tahun 2013 penduduk yang berusia 60 keatas telah berjumlah 20,04 juta jiwa atau 8,05 dari total penduduk di Indonesia (BPS, 2014). Sedangkan tahun 2014, penduduk Indonesia yang berusia diatas 60 tahun telah mencapai 9,12% dari total penduduk di Indonesia (BPS, 2015). Dari data diatas, tidak dipungkiri bahwa jumlah penduduk lansia khususnya di Indonesia semakin bertambah setiap tahunnya. Hal diatas merupakan dampak positif dari pembangunan di bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi. Keberhasilan pembangunan terutama pada bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial, berdampak pada meningkatnya usia rata-rata usia harapan hidup penduduk (Suardiman, 2011). Disisi lain, menurut Notoatmojo bertambahnya jumlah lansia menimbulkan permasalahan terutama pada segi kesehatan dan kesejahteraan lansia (dalam Sutikno, 2011). Oleh karena itu, memahami permasalahan lansia memiliki arti yang penting dalam memberikan perhatian dan pelayanan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup lansia (Suardiman, 2011).

Setiap individu yang diberikan panjang umur akan mencapai masa perkembangan paling akhir yaitu masa dewasa akhir. Dimana individu yang memasuki masa dewasa akhir mengalami perubahan fisik, sosial dan psikologis. Perubahan fisik dapat dilihat dari pengamatan biasa dimulai dari kulit yang mulai memucat dan kurang elastis. Selain itu rambut di kepala yang mulai menipis dan menjadi putih (Papalia, 2008). Perubahan sosial, dapat diamati dari penyesuaian diri terhadap perubahan kehidupan keluarga. Dukungan sosial baik dari keluarga maupun dari masyarakat tidak dapat diharapkan sepanjang masa.


(20)

Selain itu perubahan struktur keluarga atau extended family ke nucleus family cenderung akan mengurangi dukungan keluarga kepada usia lanjut. Perubahan yang dialami lansia di sisi fisik dan sosial dapat berdampak pada sisi psikologis lansia. Kemunduran fisik dan berkurangnya dukungan keluarga dapat menjadi akar permasalahan psikologis bagi lansia. Dimana lansia bisa mengalami kesepian yang dapat memunculkan perasaan terasing dari lingkungan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri, perasaan tidak berguna, ketergantungan, keterlantaran terutama bagi lansia yang miskin, post power syndrome dan sebagainya (Suardiman, 2011).

Keadaan fisik lansia yang semakin mengalami penurunan fungsi organ-organ tubuh dapat meningkatkan risiko lansia terserang beberapa penyakit. Keadaan ini membuat lansia menjalani pengobatan dan tidak jauh dari konsumsi obat. Menurut Andria (2013), ada hubungan perilaku olah raga dan stres dengan tingkat hipertensi pada lansia di posyandu lansia kelurahan Gebang Putih kecamatan Sukolilo kota Surabaya. Stres merupakan masalah yang memicu terjadinya hipertensi dimana ada hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis. Peningkatan saraf dapat menaikkan tekanan darah secara tidak menentu (Andria, 2013). Menurut Suhandak, hal tersebut dihubungkan dengan pengaruh stres yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota (dalam Andria, 2013).

Banyak faktor yang berperan pada terjadinya hipertensi. Menurut Suhandak (dalam Andria, 2013) terdapat 2 faktor risiko yaitu risiko yang tidak dapat dikendalikan (mayor) yaitu keturunan, jenis kelamin, ras, dan usia


(21)

sedangkan risiko yang dapat dikendalikan (minor) adalah obesitas, kurang olah raga atau aktivitas, merokok, minum kopi, sensitivitas natrium, kadar kalium rendah, alkoholisme, stress, pekerjaan, pendidikan, dan pola makan.

Menurut Sari (2013) ada hubungan antara konsumsi obat-obatan dengan kualitas hidup dimensi kesehatan fisik (r= -0.299; p= 0,023). Nilai korelasi Spearman sebesar -0,299 berarti bahwa arah korelasi negatif dengan kekuatan korelasi yang lemah. Hal tersebut juga berarti bahwa konsumsi obat-obatan menurunkan kualitas hidup dimensi kesehatan fisik. Dari penelitian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa para lansia mengkonsumsi banyak obat-obatan tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan namun dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup.

Kualitas hidup dalam penelitian yang dilakukan Sari (2013) dilihat dari dimensi kesehatan fisik yaitu evaluasi kepuasan terhadap rasa sakit dan ketidaknyamanan, kebugaran dan tenaga, kualitas tidur, serta ketergantungan obat yang dialami oleh seorang individu. Hal ini sejalan dengan WHO yang mendefinisikan sehat sebagai keadaan sejahtera meliputi fisik, mental, sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau cacat secara fisik tetapi mampu merasa sejahtera, bahagia dalam kehidupan sehingga mampu mengatasi tantangan hidup sehari-hari (Sari, 2013).

Mengkonsumsi obat-obatan kimia dalam jangka panjang sangat berbahaya bagi lambung dan ginjal. Obat kimia bersifat asam, yang fungsinya meredamkan syaraf namun tidak menyembuhkan. Jika penyakit sembuh sebenarnya karena metabolisme tubuh yang berangsur-angsur membaik dan


(22)

mampu memperbaiki sel yang rusak kembali (“Dampak Mengkonsumsi Obat Kimia dalam Jangka Panjang”, 2012). Efek buruk keracunan obat kimia adalah terjadi luka di lambung dan menurunya fungsi ginjal bahkan yang lebih parah lagi dapat mengakibatkan kematian (“Dampak Mengkonsumsi Obat Kimia dalam Jangka Panjang”, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Bauer (2006) meneliti mengenai gangguan psikosomatis dengan tujuan penelitian untuk mengevaluasi hubungan antara beban kerja dan tekanan psikologis dari guru yang masih bekerja. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Penelitian tersebut menggunakan alat ukur berupa kuesioner kapasitas (Mecca) untuk menganalisis psikopatologis dan gejala psikosomatik. Informan dalam penelitian tersebut merupakan 408 guru dari sepuluh sekolah tata bahasa di selatan-barat Jerman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelelahan kerja secara signifikan berkorelasi dengan gejala psikologis dan gangguan psikosomatis. Penelitian mengenai psikosomatis juga dilakukan oleh Freund (2014). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh konflik dan fasilitas antara domain kehidupan (pekerjaan, keluarga, dan rekreasi) pada gejala gangguan psikosomatis laki-laki dan perempuan setengah baya. Informan penelitian ini adalah 227 orang dewasa dengan usia 30-55 tahun. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi dari SCL-90-R versi Jerman yang terdiri dari 28 item. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan memiliki gejala gangguan psikosomatis lebih besar daripada laki-laki. Informan perempuan melaporkan bahwa gejala gangguan psikosomatis muncul ketika mereka


(23)

mengalami konflik pada permasalahan keluarga. Pada informan laki-laki tidak ada hubungan antara permasalahan keluarga dengan gejala gangguan psikosomatis.

Penelitian mengenai psikosomatis menunjukkan bahwa gejala patologis dan gangguan psikosomatis berkorelasi dengan kelelahan kerja. Selain itu, gejala gangguan psikosomatis muncul ketika seseorang mengalami konflik pada permasalahan keluarga dan hal ini cenderung dialami oleh jenis kelamin perempuan. Lansia mulai mengalami penurunan fungsi fisiologisnya sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa lansia akan mudah terserang penyakit. Lansia yang mengidap penyakit juga memiliki kecenderungan mengalami penurunan kualitas hidup. Sehingga mengetahui kondisi psikologis pada lansia dinilai penting untuk membantu lansia untuk menangani permasalahan-permasalahan psikologis sehingga lansia dapat hidup lebih bahagia secara fisiologis maupun psikologis.

Berdasarkan hasil wawancara awal yang dilakukan oleh peneliti dengan perawat di sebuah panti wreda di Yogyakarta, terdapat beberapa lansia yang mengidap sejumlah penyakit. Penyakit yang diderita oleh lansia diantaranya adalah hipertensi, kolesterol, asam urat, maag, diabetes dan epilepsi. Namun, penyakit yang paling banyak ditemukan pada lansia adalah hipertensi. Berikut ini adalah kutipan wawancara peneliti dengan perawat yang sehari-hari merawat para lansia di panti wreda:

“Yang jelas satu itu hipertensi, terus kemarin kan kita dicek kesehatan sama dokter kan, nah itu ada yang anu, kolesterolnya itu agak tinggi. Itu memang dari dulu-dulu sampai 300, tetapi kemarin


(24)

cuma 211. Itu karena pola makannya dia juga tidak bisa diatur, beli obat dia juga tidak bisa diatur. Sakkarepe dewe. Nah dia minum sendiri, cuma dia sering beli tanpa sepengetahuan kami, sakkarepe dewe sing tuku. Contohnya beli CTM. karena terus terang antara mbah H dan mbah M itu banyak sekali mengkonsumsi obat. Jadi obat itu kayak makanan mungkin bagi dia. Wes sugesti sek, ndak aku ngene dadi, nah obatnya itu Ranitidine. Sama Katopril, sama Lacomin. Nah itu yang agak, meskipun sudah diberi pengertian sama dokter dah tetep” (P, wawancara, 11 April, 2016)

Menurut keterangan perawat panti, lansia (H) sakit hipertensi dikarenakan pola makan yang tidak teratur. Selain pola makan yang tidak teratur perilaku membeli obat juga tidak bisa diatur. Perawat mendapati lansia (H) yang membeli obat gatal/alergi (CTM) tanpa sepengetahuanya. Selain CTM dan

Ranitidin, obat lain yang dikonsumsi adalah Kaptopril dan Lacomin. Menurut

perawat panti, obat sudah seperti sebuah makanan bagi lansia (H) dan (M). Perawat menjelaskan bahwa lansia (H) dan (M) sudah tersugesti jika tidak minum obat takut ada sesuatu terjadi. Sampai saat ini, perawat, pengurus panti, dan dokter belum bisa untuk menangani perilaku lansia tersebut. Berikut ini merupakan kutipan wawancara peneliti dengan perawat di panti:

“Nek mbah H itu intine “aku kudu ngombe, mbendino kudu ngombe ranitidine.” Sebenernya itu ndak masalah, “nek loro lagi diombeni, nek ra loro ojo diombeni” tapi yo tetep. Nah wingi bar di tukokke karo penguruse ranitidine, tak kei siji, kan seemplek, engko nek entek tek kei meneh”. Eh tuku dewe. Pamite neng TPA tuku buku renungan harian ki, eh tuku obat. Pas bali tak matke ngowo, kok ono ranitidine, tas e kan semrawang ketok to. Nah, aku neng apotik, “kemarin simbah?” “ho’o e mbak, aku yo bingung e”. Pengurus e


(25)

kewalahan, aku yo tambah kuwalahan. Nah terus dilokke karo dokter “ndak boleh ya bu M, cukup minum katopril aja, tapi jangan beli lainnya, efek e nanti ngak bagus. Kan bu M tensinya tinggi, selalu tinggi, ini kolesterolnya juga tinggi,” tapi yowes kuwi mau, wes angel, aku susah, nah wong tokone urung buka wae wes ngenteni.” (P, wawancara, 11 April, 2016)

Lansia (H) mengatakan kepada perawat bahwa ia harus minum Ranitidin setiap hari (Obat untuk sakit maag). Menurut perawat, obat tersebut diminum ketika sakit saja. Terkadang lansia juga berbohong pada perawat untuk membeli obat di apotik. Namun, perawat tetap saja mendapati lansia (H) dan (M) yang membeli obat sendiri. Perawat dan pengurus panti sudah kuwalahan untuk menangani permasalahan tersebut. Bahkan lansia (H) dan (M) sudah dijelaskan oleh dokter panti, namun tetap mengkonsumsi obat berlebihan dan membeli sendiri di apotik.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sari (2013), lebih berfokus pada hubungan konsumsi obat-obatan dengan kualitas hidup. Hasil penelitian ditemukan bahwa 38 informan penelitian tidak mengkonsumsi obat-obatan dan diantaranya memiliki kualitas hidup yang baik, sedangkan terdapat 7 informan yang memiliki kualitas hidup kurang baik. Terdapat 5 informan penelitian yang mengkonsumsi obat-obatan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sari (2013), tidak dijelaskan lebih mendalam mengenai kondisi psikologis pada informan yang mengkonsumsi obat-obatan. Sehingga, melalui penelitian ini peneliti tertarik untuk mengeksplorasi lebih dalam mengenai kondisi psikologis pada lansia yang mengkonsumsi obat-obatan medis. Melalui penelitian akan


(26)

mengeksplorasi mengenai aspek-aspek psikologis yang melatarbelakangi perilaku konsumsi obat-obatan medis pada kedua informan, baik dalam aspek kognitif, aspek afektif, dan bagaimana perilaku itu terbentuk. Seain itu, dalam penelitian ini akan mengeksplorasi mengenai perilaku-perilaku lain yang muncul pada lansia yang mengkonsumsi obat-obatan medis. Sehingga melalui penelitian ini diharapkan mampu memaparkan gambaran kondisi psikologis secara mendalam. Sehingga melalui penelitian ini baik keluarga, panti wreda maupun perawat lansia dapat mulai untuk mengerti dan memberikan perhatian khusus pada lansia tidak hanya pada sisi fisiologis namun dari sisi psikologis lansia. Penelitian ini juga diharapkan bisa membantu lansia dapat hidup lebih bahagia, sehat secara fisik maupun psikologis dan dapat mencapai succesful aging.

Dalam penelitian ini, akan dijelaskan mengenai kondisi psikologis lansia yang mengkonsumsi obat-obatan dengan melihat kembali sejarah ilmu psikologi. Dimana para tokoh psikologi mengamati setiap kognisi, afek dan perilaku manusia. Peneliti merefleksikan bagaimana para tokoh psikologis mengamati manusia. Pertama adalah Piaget mengenai perkembangan kognitif, dimana perkembangan kognitif merupakan interaksi antara kematangan organisme dan hasil interaksi organisme dengan lingkungannya. Piaget mengamati ketiga anaknya secara alamiah. Piaget mengamati apapun yang dilakukan ketiga anaknya dari umur 0 sampai 2 tahun. Piaget tidak menggunakan alat ukur, namun Piaget mencatat apapun yang dilakukan anak-anaknya dalam waktu tertentu. Piaget mengamati bahwa setiap bayi terkadang memiliki inisiatif


(27)

sendiri untuk menghisap jempolnya seperti sedang menyusui walaupun, tidak sedang menyusui. Dimana, menurut Piaget bayi melakukan asimilasi fungsional. Seorang bayi melatih diri supaya skema tentang menyusui yang ia miliki dapat berfungsi dengan baik.

Selanjutnya adalah Skinner yang mengamati tingkah laku manusia melalui percobaan dengan Skinner boxs. Pada percobaan tersebut terdapat seekor tikus yang lapar dan sebuah tuas, ketika tuas ditekan oleh tikus akan muncul makanan. Dalam keadaan tersebut, tikus akan memunculkan sebuah perilaku. Tikus akan menekan tuas secara berulang untuk mendapatkan makanan. Perilaku tersebut terulang dikarenakan adanya penguatan positif, dimana tikus akan mendapatkan makanan setiap ia menekan tuas. Ketika ada stimulus yang muncul, respon akan terjadi secara otomatis. Penguatan positif dapat dikondisikan jika suatu stimulus terjadi berkali-kali dengan disertai penguat positif, stimulus yang cenderung menguatkan perilaku. Stimulus tersebut disebut dengan penguat positif terkondisi (Hill, 2009). Contoh umum dari penguatan positif yaitu makanan, air, seks uang, persetujuan sosial, dan kenyamanan fisik (Feist & Feist, 2010).

1.2Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kondisi psikologis pada lansia yang mengkonsumsi obat-obatan medis?


(28)

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah untuk menggambarkan kondisi psikologis pada lansia yang mengkonsumsi obat-obatan medis.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya pengalaman serta informasi dalam ilmu psikologi perkembangan dan ilmu psikogerontologi mengenai gambaran kondisi psikologis pada lansia yang mengkonsumsi obat-obatan medis. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya mengenai permasalahan yang dihadapi oleh lansia yang menggunakan obat-obatan medis.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi mengenai gambaran kondisi psikologis pada lansia yang mengkonsumsi obat-obatan medis, keluarga, perawat maupun pengurus panti wreda. Selain itu melalui penelitian ini diharapkan baik keluarga, panti wreda maupun perawat lansia dapat mulai untuk mengerti dan memberikan perhatian khusus pada lansia tidak hanya pada sisi fisiologis namun dari sisi psikologis lansia. Selain itu, melalui penelitian ini dapat membantu mencegah perilaku konsumsi obat-obatan medis secara berlebihan dan menghindarkan dari dampak buruk yang bisa terjadi baik dampak fisik maupun psikologis. Penelitian ini juga


(29)

diharapkan bisa membantu lansia dapat hidup lebih bahagia, sehat secara fisik maupun psikologis dan dapat mencapai succesful aging.


(30)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Kondisi Psikologis

Dalam penelitian ini, akan menggunakan 3 aspek psikologis, yaitu kognisi, afek, dan Perilaku.

2.1.1 Kognisi

Menurut Chaplin kognisi adalah suatu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan. Termasuk didalamnya adalah mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan, berpikir, mempertimbangkan, menunda, dan menilai (Chaplin, 2011). Menurut Suharnan kognisi merupakan proses-proses mental atau aktivitas pikiran manusia yang menekankan pada peran-peran persepsi, pengetahuan, ingatan dan proses-proses berfikir bagi perilaku manusia. Proses-proses mental tersebut meliputi bagaimana seorang individu mendapatkan informasi, bagaimana informasi tersebut dapat dipresentasikan dan ditransformasikan sebagai pengetahuan, bagaimana penegetahuan itu disimpan dan dimunculkan kembali, serta bagaimana pengetahuan tersebut digunakan untuk mengarahkan sikap-sikap dan perilaku-perilaku seorang individu (Dalam Rosita, Widodo, dan Purwanti, 2012).


(31)

14 2.1.2 Afek

Menurut Chaplin afek adalah sebuah kesenangan atau ketidaksenangan. Chaplin juga menjelaskan bahwa afek merupakan satu tingkatan yang luas dari proses-proses mental, termasuk perasaan, emosi, suasana hati, dan tempramen (Chaplin, 2011). Menurut Urbayatun (2016) afek adalah perasaan dan emosi yang berupa tingkat kesenangan atau kesedihan, senang dan tidak senang, nyaman dan tidak nyaman yang mewarnai perasaan. Lanjut usia atau lansia merupakan tahap perkembangan manusia paling akhir, sehingga dapat dikatakan bahwa lansia telah melalui berbagai kejadian hidup dan pengalaman-pengalaman yang baik atau buruk sepanjang hidupnya. Menurut Charles afek negatif dan afek positif pada lansia cenderung mengalami intesitasnya jika dibandingkan dengan usia muda atau tengah baya. Hal itu karena emosi pada lansia cenderung lebih banyak terkontrol dari pada usia sebelumnya, sehingga cenderung tidak meledak-ledak (Dalam Urbayatun, 2016).

Menurut Wade dan Travis, emosi terbagi menjadi dua elemen yaitu emosi primer dan emosi sekunder. Elemen dari emosi primer meliputi rasa takut (fear), marah (anger), sedih (sadness), senang (joy), terkejut (surprise), jijik (disgust), dan sebal (contemp). Sebaliknya, emosi sekunder meliputi dua variasi atau campuran berbagai emosi yang bervariasi antara kebudayaan satu dengan kebudayaan lainnya serta


(32)

15 berkembang secara bertahap sesuai kedewasaan kognitif (Wade & Travris, 2007).

2.1.3 Perilaku

Menurut Sarwono, perilaku manusia adalah suatu hal yang dilakukan individu sebagai hasil dari segala macam pengalaman, serta interaksi manusia dengan lingkungannya. Selain itu Morgan membedakan perilaku menjadi dua yaitu perilaku yang tampak (overt behavior) dan perilaku yang tidak tampak (innert behaviour) (dalam Nasution, 2007).

Skinner mengemukakan bahwa terdapat dua jenis perilaku, salah satunya adalah perilaku responden yang dihasilkan oleh stimuli spesifik (Hill, 2009). Ketika ada stimulus yang muncul, respon akan terjadi secara otomatis. Perilaku responden ini mengikuti pola perilaku yang disebut dengan pengkondisian klasik. Skinner berfokus pada penguatan positif (Positive reinforcement) dan penguatan negatif (negative reinforcement). Penguatan positif dan penguatan negatif keduanya dapat dikondisikan jika suatu stimulus terjadi berkali-kali dengan disertai penguat positif, stimulus yang cenderung menguatkan perilaku. Stimulus tersebut disebut dengan penguat positif terkondisi (Hill, 2009). Contoh umum dari penguatan positif yaitu makanan, air, seks uang, persetujuan sosial, dan kenyamanan fisik (Feist & Feist, 2010).


(33)

16 2.2Lansia

Menurut Papalia (2009) masa lansia merupakan tahapan perkembangan dengan isu dan tugas khusus. Dimana seseorang mulai mengkaji ulang kehidupan mereka, melengkapi urusan yang belum selesai, serta memutuskan cara terbaik untuk menyalurkan energi dan menghabiskan sisa waktu mereka.

Menurut Santrock, masa dewasa akhir dimulai pada saat usia 60 tahun dan diperluas sampai sekitar usia 120 tahun, memiliki rentan kehidupan yang paling panjang dalam periode perkembangan antara 50 sampai 60 tahun (Santrock, 2012). Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 1998 pasal 1 dijelaskan bahwa, lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.

Terdapat beberapa pendekatan untuk mengidentifikasi kapan seseorang dikatakan sebagai seorang lansia. Salah satunya berdasarkan usia kronologis yaitu usia seseorang yang didasarkan pada hitungan umur kalender atau 60 tahun (Suardiman, 2011). Selain itu, menurut WHO lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun sampai 70 tahun (Adrianisah & Septiningsih, 2013). Charles & Bosman mengklasifikasikan lanjut usia menjadi tiga kategori yaitu, tua-awal (65 hingga 74 tahun), tua-menengah (75 tahun atau lebih), dan tua-akhir (85 tahun atau lebih) (dalam Santrock 2012).

Menurut Lafrancois (Dalam Suardiman, 2011) terdapat dua terori yang menjelaskan lansia dalam kegiatannya yaitu teori pengunduran diri (disengagement) dan teori aktivitas. Teori pengunduran diri menyatakan bahwa semakin tingginya usia seorang individu akan diikuti dengan semakin


(34)

17 mundurnya interaksi sosial, fisik dan emosi dengan lingkungan sekitar. Sedangkan teori aktivitas menyatakan bahwa semakin seseorang bertambah usia akan semakin memelihara hubungan sosial, baik fisik dan emosionalnya. Teori aktivitas ini mendukung lansia untuk tetap aktif bekerja dan berkegiatan. Menurut Atchley (Dalam Suardiman, 2011) mengemukakan teori kontiunitas. Teori kontiunitas menekankan pada seorang individu memerlukan untuk tetap memelihara hubungan antara masa lalu dan masa kini. Contohnya seperti lansia yang sudah pensiun dapat tetap bahagia dalam mengikuti pekerjaan atau aktivitas waktu luang saat ini sama dengan masa lalu.

Berikut ini adalah pemaparan mengenai perkembangan yang terjadi ketika seorang individu mulai memasuki masa lanjut usia.

2.2.1 Perkembangan Fisik

Perubahan fisik diasosiasikan dengan penuaan dapat terlihat jelas, seperti kulit orang tua yang cenderung lebih pucat, dan kurang elastis; dan karena lemak dan otot yang menyusut, maka kulit cenderung keriput. Varises dapat muncul pada bagian kaki. Rambut menjadi berwarna abu-abu kemudian putih dan menjadi lebih tipis, dan rambut di bagian badan menjadi lebih jarang (Papalia, 2014).

Penglihatan dan pendengaran yang semakin menurun fungsinya ketika seseorang menginjak usia lanjut. Pendengaran mulai berkurang pada masa lanjut usia, dimana pendengaran kurang sensitif terhadap frekuensi tinggi dan frekuensi menengah (Santrock, 2012). Mata mulai


(35)

18 membutuhkan lebih banyak cahaya untuk melihat, lebih sensitif terhadap cahaya silau, dan memiliki banyak kesulitan untuk menemukan dan membaca tanda-tanda (Papalia, 2014). Menurut Dillon & Lindenberger di masa dewasa akhir, kemunduran penglihatan yang sudah mulai dialami orang di masa dewasa awal atau menengah, menjadi semakin nyata di usia lanjut (dalam Santrock, 2012).

Sebagian besar orang dewasa kehilangan sebagian dari kemampuan mencium atau merasakan, atau keduanya (Murphy dalam Santrock, 2012). Penurunan penciuman dan cita-rasa pada orang usia lanjut yang sehat, lebih kecil dibandingkan pada usia lanjut yang tidak sehat (Santrock, 2012). Menurut Rolls, menurunnya kemampuan untuk mencium dan merasakan dapat mengurangi nikmatnya makanan dan kepuasan hidup (dalam Santrock, 2012).

Selain itu, sistem kekebalan tubuh juga mulai menurun keberfungsiannya. Sistem kekebalan tubuh melindungi dari infeksi melalui berbagai tanggapan yang menyerang dan menghancurkan virus dan bakteri yang telah menginvasi tubuh. Sistem kekebalan tubuh juga merupakan kunci pertahanan melawan kanker. Penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh mungkin memiliki konsekuensi penting untuk orang dewasa yang lebih tua. Menurut Schneider konsekuensi ini dapat meliputi peningkatan kerentanan terhadap penyakit menular seperti Pneumonia dan flu, meningkatkan kemungkinan meninggal dunia, meningkatkan risiko kanker akibat menurunnya pengawasan, perubahan


(36)

19 dinding pembuluh darah yang mengakibatkan Arteriosclerosis, serta peningkatan gangguan Autoimun (dalam Lemme, 1995).

2.2.2 Perkembangan Psikososial

Secara psikologis yang didasarkan pada tahap perkembangan Erikson (Santrock, 2012), masa lanjut usia ini berada pada fase integritas versus keputusasaan. Pada fase ini, merupakan fase dimana individu melihat kembali apa yang telah dilakukan dalam kehidupan. Melalui beberapa jalan yang berbeda, orang dewasa lanjut telah mengembangakan harapan yang positif di setiap periode sebelumnya. Berikut ini merupakan karakteristik perilaku seseorang yang memiliki rasa akan integritas dan rasa akan keputusasaan (Lemme, 1995):

Tabel 1

Karakteristik Perilaku Orang-orang yang Memiliki Rasa Integritas dan Rasa Putus Asa

Rasa Integritas Rasa Putus Asa

1. Mereka mencerminkan banyak kualitas ego positif yang terkait dengan tahap-tahap awal, seperti kepercayaan, otonomi, inisiatif, industri, dan identitas.

1. Mereka mencerminkan banyak kualitas negatif yang terkait dengan tahap-tahap

awal, seperti

ketidakpercayaan, rasa malu, rasa bersalah, rendah


(37)

20 2. Mereka percaya bahwa siapa

diri mereka sebagian besar merupakan konsekuensi dari pilihan mereka sendiri.

3. Mereka menerima gagasan bahwa ini adalah satu-satunya kehidupan mereka dan bahwa apa yang terjadi itu adalah sebagian besar dari apa yang telah mereka sendiri lakukan.

4. Mereka menerima kematian sebagai bagian yang tak terelakkan dari siklus hidup.

5. Mereka mampu mengakui pada diri sendiri dan pada orang lain bahwa untuk sebagian besar permasalahan atau kegagalan yang mereka alami adalah salah mereka sendiri.

6. Mereka siap dan mampu mempertahankan martabat gaya hidup mereka sendiri terhadap semua ancaman (fisik dan

diri, dan kebingungan identitas.

2. Mereka cenderung percaya bahwa siapa diri mereka bukan sesuatu di mana mereka telah memiliki banyak kontrol.

3. Mereka memiliki kesulitan menerima ide bahwa ini adalah satu-satunya kehidupan mereka dan bahwa apa yang terjadi itu adalah sebagian besar dari apa yang telah mereka sendiri lakukan.

4. Mereka menunjukkan tanda-tanda takut kematian dan tidak menerimanya sebagai bagian dari siklus hidup.

5. Mereka cenderung menyalahkan orang lain atas masalah apa pun atau kegagalan yang mereka alami.

6. Mereka menawarkan sedikit perlawanan terhadap ancaman fisik dan ekonomi untuk gaya hidup yang


(38)

21 ekonomi). Mereka tidak mudah

dipermainkan.

7. Mereka mampu melihat kembali kehidupan mereka dengan perasaan senang, bersyukur, dan apresiasi.

8. Mereka cenderung cukup senang, orang optimis, puas dengan kehidupan mereka.

9. Pendekatan mereka tahap akhir dari kehidupan mereka dengan rasa keutuhan pribadi.

10.Mereka mampu

mengintegrasikan pengalaman masa lalu mereka dengan realitas saat ini, dan dengan cara ini menghasilkan jenis kebijaksanaan tentang bagaimana menjalani hidup seseorang menjalani secara sukses.

mereka yakini. Mereka

dengan mudah

dipermainkan.

7. Mereka cenderung melihat kembali hidup mereka

dengan perasaan

ketidaksenangan,

penyesalan, dan perasaan semakin tidak berharga. 8. Mereka cenderung cukup

bahagia, orang pesimis, tidak puas dengan kehidupan mereka.

9. Mereka mendekati tahap akhir dari kehidupan mereka dengan rasa fragmentasi pribadi dan sebuah ketidaklengkapan.

10. Mereka tampaknya terjebak pada tingkat menyalahkan dan kekecewaan, yang membuat sulit bagi mereka untuk belajar dari kesalahan mereka.

Sikap Implisit Rasa Integritas 1. Saya memiliki banyak hal

yang patut disyukuri.

Sikap Implisit Rasa Putus Asa 1. Saya memiliki sedikit hal


(39)

22 Menurut Papalia (2014), seseorang akan cenderung bertahan ketika menghadapi stres yang ada begitu juga dimasa lanjut usia. Bertahan merupakan cara berfikir atau perilaku adaptif yang bertujuan mengurangi atau menghilangan stres yang timbul dari kondisi berbahaya, mengancam, dan menantang.

Menurut Lazaruz & Folkman (Dalam Papalia, 2014) individu secara sadar memilih strategi bertahan dengan sadar bagaimana mereka mempersepsikan dan menganalisis situasi. Bertahan meliputi seluruh hal yang dipikirkan atau dilakukan individu dalam upaya beradaptasi terhadap stres, terlepas dari berhasil atau tidaknya hal tersebut. Memilih strategi yang sesuai membutuhkan penilaian yang berkelanjutan terhadap hubungan antar orang dan lingkungannya. Strategi bertahan dapat terfokus pada masalah atau terfokus pada emosi. Bertahan terfokus pada masalah melibatkan penggunaan strategi instrumental, atau berorientasi pada tindakan untuk menghilangan, mengatur, atau meningkatkan kondisi penyebab stress. Tipe bertahan ini dapat muncul ketika seseorang melihat kesempatan yang realistis untuk mengubah suatu situasi. Kedua adalah bertahan fokus pada

2. Saya mengendalikan hidup saya.

3. Saya menerima diri saya dan orang lain apa adanya.

2. Saya memiliki sedikit kontrol atas apa yang terjadi pada saya.

3. Saya tidak menerima diri saya apa adanya, dan saya berharap orang lain bisa berbeda.


(40)

23 emosi, ditujukan agar “merasa lebih baik” dengan mengelola respon emosi pada situasi yang menimbulkan stres untuk mengurangi dampak fisik atau psikologis. Tipe bertahan ini terjadi jika seseorang menyimpulkan bahwa tidak ada hal yang bisa dilakukan mengenai situasi itu sendiri.

Teori psikologis mengenai kesejahteraan emosional menekankan pada keyakinan tentang tingkat kontrol individu dalam kejadian dan keadaan hidup mereka (Lemme, 1995). Salah satunya adalah lokus kontrol internal dan eksternal. Menurut Rotter (Dalam Lemme, 1995) lokus kontrol internal mengacu pada keyakinan bahwa kontrol atas hasil dalam kehidupan seseorang berada dalam diri seseorang. Dihadapkan dengan masalah, individu dengan rasa yang kuat dari pengendalian internal merasa bahwa sesuatu dapat dilakukan untuk mengatasi situasi ini. Internalisasi lebih mungkin untuk menghadapi masalah secara langsung dalam upaya untuk menghadapinya, karena mereka mengharapkan perilaku mereka membuat perbedaan. Mereka juga lebih mungkin untuk menerima tanggung jawab atas apa yang terjadi pada mereka. Kedua adalah lokus kontrol eksternal mengacu pada perasaan bahwa pengendalian (dan tanggung jawab untuk) hasil-hasil dalam kehidupan seseorang berada diluar diri seseorang, namun pada takdir, kesempatan, keberuntungan, Tuhan, atau orang lain. Ketika dihadapkan dengan masalah, eksternalisasi merasa tak berdaya. Alih-alih menggunakan koping langsung, individu ini lebih mungkin untuk menanggapi masalah secara defensif dan lebih stres. Lebih lanjut, karena


(41)

24 mereka tidak mengambil tindakan yang efektif, dapat memperburuk masalah yang sebenarnya.

2.3Obat-obatan medis

Obat-obatan medis dalam penelitian ini adalah obat-obatan yang merupakan resep dokter dan obat OTC atau over the counter. Obat OTC adalah sebuah sebutan umum untuk obat yang tergolong obat bebas dan obat bebas terbatas, yang digunakan untuk pengobatan sendiri (Fauzi, 2013). Obat-obatan medis pada penilitian ini tidak mengacu pada Napza yaitu narkotika, psikotropika, dan zat adiktif.

Pada penelitian ini telah disebutkan beberapa obat yang dikonsumsi oleh lansia yaitu; Kaptopril, Ranitidin, dan CTM. Kaptopril adalah obat untuk mengobati tekanan darah tinggi (hipertensi). Kaptopril bekerja dengan menghambat enzim pengubah angiotensin yang kebudian menurunkan jumlah angiotensin II (hormon yang meningkatkan tekanan darah) (Samiadi, 2017). Ranitidin adalah obat untuk mengurangi jumlah asam lambung dalam perut (Samiadi, 2016). Sedangkan CTM adalah obat yang digunakan untuk meredam gejala alergi, demam, dan flu biasa (“Obat CTM: Kegunaan dan Efek Samping”, mediskus.com).

2.4Kondisi Psikologis Lansia yang Mengkonsumsi Obat-obatan Medis

Berdasarkan hasil wawancara awal yang dilakukan oleh peneliti dengan perawat di sebuah panti wreda di Yogyakarta, ditemukan bahwa terdapat


(42)

25 beberapa lansia yang mengidap sejumlah penyakit. Penyakit yang diderita oleh lansia diantaranya adalah hipertensi, kolesterol, asam urat, maag, diabetes dan epilepsi. Namun, penyakit yang paling banyak ditemukan pada lansia adalah hipertensi. Terdapat dua lansia yang menjadi perhatian peneliti yaitu lansia yang mengkonsumsi obat-obatan medis dalam jumlah banyak. Menurut perawat panti obat-obatan tersebut sudah seperti makanan bagi lansia. Menurut keterangan perawat panti, salah satu lansia sakit hipertensi dikarenakan pola makan yang tidak teratur. Selain pola makan yang tidak teratur perilaku membeli obat juga tidak bisa diatur. Perawat mendapati lansia (H) yang membeli obat gatal/alergi (CTM) tanpa sepengetahuanya. Selain CTM dan Ranitidin, obat lain yang dikonsumsi adalah Kaptopril dan Lacomin. Perawat menjelaskan bahwa lansia (H) dan (M) sudah tersugesti jika tidak minum obat takut ada sesuatu terjadi. Sampai saat ini, perawat, pengurus panti, dan dokter belum bisa untuk menangani perilaku lansia tersebut.


(43)

26 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Hal ini karena tujuan penelitian ini dicapai dengan mengeksplorasi secara mendalam berkaitan dengan kondisi psikologis lansia yaitu kognitif, afek dan Perilaku.

Penelitian kualitatif merupakan suatu metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau kelompok dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan (Creswell, 2012). Dalam penelitian kualitatif menerapkan cara pandang yang bergaya induktif, berfokus terhadap makna individual, dan menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan (Creswell, 2012).

Metode penelitian studi kasus adalah pendekatan kualitatif dimana peneliti mengeksplorasi sebuah kasus selama periode tertentu. Pengambilan data secara mendetail dan mendalam. Sumber informasi dapat berupa wawancara, observasi, materi video, dokumen, atau laporan (Creswell, 2007).

3.2Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini berjumlah 2 orang lansia berdasarkan kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. Berdasarkan wawancara awal,


(44)

kedua informan selama ini mengkonsumsi obat-obatan medis dan menjadi perhatian khusus pihak panti karena mengkonsumsi banyak obat. Informan dalam penelitian ini termasuk dalam rentan usia tua-menengah (65-74 tahun) dan tua-akhir (85 keatas). Lansia pada usia 70 tahun atau lebih akan lebih rentan terhadap penyakit. Selain itu, kedua informan bersedia untuk membagikan pengalaman hidupnya dalam penelitian ini dan masih mampu berkomunikasi dengan baik.

3.3Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada gambaran kondisi psikologis pada lansia yang mengkonsumsi obat-obatan medis. Dalam penelitian ini, akan di eksplorasi mengenai kondisi psikologis yang meliputi kognitif, afektif dan perilaku konsumsi obat pada lansia yang mengkonsumsi obat-obatan medis.

3.4Peran Peneliti

Menurut Supratiknya (Supratiknya, 2015) keharusan peneliti berada di lapangan dan menjalin kontak langsung secara intensif dengan informan penelitian menuntut peneliti menafsirkan data penelitian yang berpotensi menimbulkan sejumlah persoalan seperti persoalan etis terkait peran peneliti. Latar belakang dan pengalaman peneliti dalam merawat lansia diperoleh dari wawancara dengan perawat lansia di sebuah panti wreda. Selain itu, orang tua peneliti yang sehari-hari bekerja sebagai perawat


(45)

dirumah sakit memiliki pengalaman merawat lansia dimana peneliti bisa mendapatkan informasi mengenai merawat lansia.

3.5Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data dengan teknik wawancara. Peneliti menggunakan metode wawancara dikarenakan dapat menggali dan mengeksplorasi lebih dalam menegenai pengalaman informan penelitian (Creswell, 2012). Metode ini dipilih oleh peneliti karena bertujuan untuk mengetahui gambaran secara terperinci mengenai gambaran kondisi psikologis pada lansia yang mengkonsumsi obat-obatan medis. Sehingga, membutuhkan instrument yang lebih fleksibel. Wawancara merupakan percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Poerwandari, wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut (Poerwandari, 1998).

Dalam penelitian ini menggunakan wawancara kualitatif, dimana peneliti akan melakukan face-to face interview (wawancara berhadap-hadapan) dengan informan penelitian (Creswell, 2012). Jenis wawancara dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur (semistructure interview) yang termasuk dalam in-dept interview dimana pelaksanaan


(46)

terbuka dan informan dalam penelitian ini akan dimintai untuk menceritakan pengalaman-pengalaman yang terjadi (Sugiono, 2010).

Dalam wawancara yang akan dilakukan akan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terstruktur dan bersifat terbuka yang dirancang untuk memunculkan pandangan dan opini dari informan penelitian. Interview guide atau panduan wawancara yang disusun membantu dalam penggambilan data sehingga peneliti mempunyai pedoman sesuai dengan konteks penelitian. Panduan wawancara membantu peneliti untuk berfokus pada tujuan penelitian.

Tabel 2

Daftar Pertanyaan Penelitian

No. Pertanyaan Tujuan Pertanyaan

1 Obat apa saja yang nenek konsumsi setiap hari?

Mengetahui perilaku konsumsi obat

2 Apakah nenek rutin meminum obat tersebut setiap hari?

Mengetahui perilaku konsumsi obat

3 Sudah sejak kapan nenek mengkonsumsi obat tersebut (sejak tahun berapa)?

Mengetahui perilaku konsumsi obat

4 Pada awalnya nenek mengkonsumsi obat atas saran siapa?

Mengetahui perilaku konsumsi obat

5 Siapa yang selama ini memberi obat tersebut?

Mengetahui perilaku konsumsi obat

6 Apakah ada keluarga yang seperti itu (memiliki perilaku konsumsi obat yang sama)?

Mengetahui perilaku konsumsi obat

7 Bagaimana perasaan nenek setelah mengkonsumsi obat tersebut?

Mengetahui Afek pada lansia

8 Apa saja yang dialami setalah mengkonsumsi obat tersebut?

Mengetahui Afek dan kognisi pada lansia


(47)

9 Bagaimana perasaan nenek jika nenek tidak mengkonsumsi obat tersebut?

Mengetahui Afek yang mendasari konsekuensi pada lansia

10 Apa saja yang nenek lakukan jika nenek tidak meminum obat tersebut?

Mengetahui perilaku, Afek dan kognisi pada lansia

11 Bagaimana hubungan nenek dengan keluarga? Bagaimana hubungan nenek dengan lingkungan sekitar panti: perawat, karyawan, dan teman-teman lansia yang lain?

Mengetahui gambaran psikososial lansia dengan lingkungan sekitar

12 Apa saja aktivitas nenek sehari-hari? Mengetahui gambaran aktivitas lansia

3.6Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis narasi. Riceour (Dalam Smith, 2013) berpendapat bahwa setiap manusia hidup di dunia hanya sementara maka perlu menciptakan narasi-narasi yang menghasilkan sebuah tatanan dan makna dari sebuah ketidakpastian yang selalu mengalami perubahan. Perubahan dalam hidup sehari-hari terkadang mengganggu seperti, perubahan mengenai permasalahan pribadi, keluarga, keuangan, dan kesehatan. Hal-hal tersebut mendorong setiap individu untuk berupaya mengatasinya. Narasi memiliki fungsi pokok yaitu untuk membawakan ketidak teraturan dalam hidup seorang individu menjadi suatu dinamika yang lebih teratur.

Gergen dan Gergen (dalam Smith, 2009) mengidentifikasi 3 (tiga) struktur analisis dalam narasi, yaitu: struktur progesi, dimana informan penelitian mengambil langkah maju ke arah suatu tujuan. Struktur regresi, dimana dimana berlangsung hal sebaliknya informan mengambil langkah


(48)

mundur dari suatu tujuan, dan struktur stabil, dimana hanya ada sedikit perubahan dalam diri seorang individu.

Dalam menganalisis uraian narasi yang telah disampaikan oleh informan penelitian melalui 2 (dua) fase, yaitu:

3.6.1 Fase Deskriptif

Setelah peneliti membaca narasi yang sudah di transkrip secara menyeluruh, hal yang dapat dilakukan selanjutnya adalah mempersiapkan rangkuman pendek yang terbagi menjadian 3 bagian yaitu kejadian awal, tengah dan akhir. Namun, dalam penelitian ini peneliti akan menyesuaikan dengan hasil penelitian. Dimana peneliti membagi narasi berdasarkan kondisi psikologis pada lansia yaitu, permasalahan yang terjadi (kejadian awal), kondisi afeksi dan kognisi (kejadian tengah), dan perilaku konsumsi obat-obatan medis (kejadian akhir). Setelah peneliti dapat menyoroti persoalan-persoalan utama dalam teks dan mengidentifikasi jalinan naratif yang menghubungkan berbagai bagian. Hal yang bisa dilakukan selanjutnya adalah mengembangkan kerangka pengkodean. Kerangka pengkodean ini dirancang untuk bisa menangkap makna keseluruhan narasi dan berbagai permasalahan khusus yang ada pada masing-masing informan.


(49)

3.6.2 Fase Interpretatif

Pada tahap ini, peneliti mengkaitkan narasi dengan literatur teoritis yang lebih luas yang digunakan untuk mengintepretasi permasalahan yang telah disampaikan oleh informan penelitian. Fase ini bisa mengarahkan pada pelabelan atas penuturan tertentu sebagai tipe khusus yang menggambarkan isi teoritisnya. Dalam narasi informan penelitian menggambarkan berbagai permasalahan yang dihadapinya, bagaimana mereka menggunakan sumber dukungan, dan bagaimana mereka menyampaikan pengalaman-pengalaman itu. Kemudian peneliti memperhatikan unsur-unsur khusus dalam narasi yang saling terkait, isu-isu yang ditekankan dan metafora yang digunakan.

3.7Validitas Penelitian

3.7.1 Kredibilitas (Kepercayaan)

Kredibilitas merupakan istilah yang digunakan sebagai pengganti konsep validitas dalam penelitian kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait dan interaksi dari berbagai aspek-aspek menjadi satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 1998).


(50)

Penelitian kualitatif yang memiliki kredibilitas harus mampu mendemostrasikan kompleksitas hubungan antara aspek dalam penelitian dan menjamin bahwa informan penelitian diidentifikasi dan dideskripsikan secara akurat (Poerwandari, 1998).

Kredibilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan cara validitas argumentatif. Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah (Poerwandari, 1998). Peneliti akan menganalisis hasil wawancara dengan detail dan membahas analisis data sesuai dengan pertanyaan penelitian. Selanjutnya, peneliti akan menguraikan hasil wawancara dan analisisnya dengan bahasa yang jelas tanpa mengurangi isi dari analisis tersebut. Hasil wawancara dan analisis selanjutnya akan dikroscek kembali pada informan, apakah sudah sesuai dengan cerita yang diungkapkan informan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui akurasi hasil penelitian yang disebut dengan member checking dan agar tidak terjadi salah penafsiran (Creswell, 2012).

3.7.2 Konfirmabilitas

Teknik pemeriksaan data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi. Triangulasi yaitu suatu cara untuk


(51)

mendapatkan data yang benar-benar absah/valid dengan cara memanfaatkan sesuatu di luar data itu sendiri (Bachtiar, 2010). Dalam penelitian ini menggunakan Triangulasi sumber berarti membandingkan dengan melihat ulang derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui sumber yang berbeda. Misalnya membandingkan hasil pengamatan dengan wawancara; membandingkan antara hasil wawancara dengan dokumen yang ada. Dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan hasil penelitian dengan hasil wawancara dengan perawat dan data kesehatan yang ada di Panti Wreda.


(52)

35 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Persiapan Penelitian

Peneliti memulai mencari informan dengan mengunjungi salah satu Panti Wreda di Yogyakarta. Selanjutnya peneliti melakukan proses screening.

Screening informan dilakukan dengan pengambilan data awal dengan tujuan

untuk mengetahui keadaan lansia di panti wreda. Informan yang diteliti dalam penelitian ini adalah lansia yang mengkonsumsi obat-obatan medis dengan frekuensi minum obat sering.

Dari wawancara awal didapatkan data bahwa sebagian besar lansia di panti wreda mengalami beberapa penyakit. Namun, ada dua lansia yang mengkonsumsi obat-obatan secara berlebihan dan didapati oleh perawat panti sering membeli obat sendiri. Setelah itu, peneliti memilih dua lansia sebagai informan penelitian. Peneliti selanjutnya berkenalan dengan informan untuk menanyakan kesediaan untuk menjadi informan penelitian. Kemudian peneliti dan informan menentukan jadwal dan tempat untuk melakukan wawancara.

Sebagai bentuk kesediaan, informan diminta untuk mengisi informed

consent yang telah disiapkan oleh peneliti pada hari wawancara. Sebelum

mengisi lembar informed consent peneliti menjelaskan terlebih dahulu kepada informan secara singkat mengenai tujuan wawancara dan meminta izin menggunakan alat perekam berupa handphone selama proses wawancara berlangsung. Proses wawancara dilakukan pada waktu dan tempat yang sudah


(53)

disepakati sebelumnya. Pada saat wawancara, peneliti menggunakan panduan wawancara yang sebelumnya telah disusun sesuai dengan tujuan penelitian.

Setelah peneliti melaksanakan wawancara dengan kedua informan, peneliti mendapatkan data penelitian berupa verbatim. Peneliti selanjutnya melakukan kroscek data hasil wawancara pada kedua informan. Selain melakukan kroscek pada data wawancara peneliti juga melakukan konfirmabilitas, dimana peneliti mencocokan data hasil wawancara dengan hasil wawancara dengan perawat dan data/dokumen kesehatan yang ada di panti. Melalui proses kroscek dan konfirmabilitas, peneliti mendapatkan kesesuaian data wawancara dengan cerita yang disampaikan oleh kedua informan. Setelah itu, peneliti memulai menulis hasil penelitian dengan cara melakukan menarasikan (kejadian awal, tengah, dan akhir), melakukan pengkodean dan mengintepretasi hasil penelitian.

4.2Pelaksanaan Penelitian

Pada awal wawancara, peneliti memulai dengan raport kepada setiap informan sehingga informan merasa nyaman. Setelah dirasa informan merasa nyaman, peneliti memulai wawancara sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disusun sebelumnya. Berikut ini merupakan waktu dan tempat pelaksanaan penelitian.


(54)

Tabel 3

Waktu dan Tempat Penelitian

Wawancara Informan Tanggal Waktu Tempat

Pertama M 3 Juni 2016 10.00 – 10.55 Panti

H 3 Juni 2016 11.10 - 12.05 Panti Kedua

M 21 Juli 2016 10.00 – 10.50 Panti H 5 Agustus

2016

11.00 – 12.10 Panti

Ketiga

M 4 Oktober 2016

10.15 – 10.30 Panti H 4 Oktober

2016

10.35 – 11.05 Panti

4.3Informan Penelitian 4.3.1 Data partisipan

Tabel 4

Data Informan

No. Keterangan Informan I Informan II

1. Inisial MK H

2. Jenis kelamin Perempuan Perempuan

3. Usia 77 Tahun 83 Tahun

4. Agama Kristen Kristen

4.3.2 Latar Belakang Informan

Berikut ini adalah tabel yang berisi latar belakang gambaran konsumsi obat-obatan medis informan I dan II.

Tabel 5

Latar Belakang Informan

Informan I Informan II

Pekerjaan M saat masih muda berjualan barang-barang rumah tangga dan berjualan makanan.

H pernah menjadi guru SD honorer, tidak lama H mengundurkan diri untuk sekolah lagi,


(55)

namun tidak mengajar lagi, dan menjadi ibu rumah tangga. Alasan

tinggal di panti

M tinggal di panti karena tidak cocok tinggal dengan keluarga angkat sehingga M memutuskan untuk tinggal di Panti.

H tinggal di Panti karena sudah tidak memiliki sanak saudara. H masuk ke Panti dibantu oleh pihak gereja.

4.4 Hasil Penelitian 4.4.1 Narasi

a. Informan I (M)

1. Gambaran Permasalahan yang Dihaapi

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa permasalahan yang datang dari luar diri atau dari lingkungan M. Pertama adalah M tidak memiliki kecocokan dengan orang tua angkatnya. Dimana sejak usia 5 tahun, M sudah berpisah dari orang tua kandungnya dan tinggal dengan orang tua angkat. Saat tinggal dengan orang tua angkat, M memutuskan untuk pergi dari rumah karena menurut M, ibu dan saudara angkatnya tidak menyukai M. Hal-hal tersebut yang membuat M kepikiran, M merasa sendiri walaupun ada orang tua angkat.

“Iya umur 20 tahun, ya karena pikirannya sudah umur 20 tahun keluar dari rumah, mamah angkat saya, ya gitu ya. Gimana ya, mamah saya gak seneng gitu, jadi saya ikut orang. Itukan pikiran, gimana kok saya hidup sendiri. Sampai sekarang


(56)

anak-anaknya sama saya masih gimana gitu, ya jadi saya masuk di panti.” (Baris 47-54)

“kan orang tua kita pensiun, papa angkat saya pensiun di Lampung. Terus saya sama anaknya, tapi anaknya direbut. Terus saya bilang, kalau saya tidak boleh disini saya ikut orang saja. Ya silahkan sana mamah saya bilang begitu. Gak lama saya bilang, saya mau ke Magelang, saya mau ke magelang mau cari saudara mama saya.” (Baris 293-300)

“Ya, itu ya dari saya keluar dari orang tua itu ya pikiran gitu. Kok saya hidup sendiri, ada orang tua angkat kok saya sendiri. Nah saya tinggal dirumah nggak cocok sama mamah.” (Baris 195-198)

Selain itu, M menyatakan bahwa ia ingin sekali bertemu dengan orang tua kandungnya. Selain itu, M menyatakan bahwa ia hidup sendiri tidak ada yang mendampingi dan tidak tempat untuk bersandar seperti keluarga.

“Saya pernah merasa sakit hati pas liat ada anak yang digandeng sama mamah dan papanya. Saya ingin sekali mbak, bisa digandeng orang tua kandung. Tapi, saya pasti bertemu lagi dengan orang tua saya nanti ya mbak.” (Baris 621-625)

“Ya dengan berjalannya hari, karena pikirannya kacau ya naik. Gimana kok saya hidup sendiri begini. Ndak ada yang dampingin, nggak ada orang tua jadi kepikiran terus. Lama-lama naik dikit-dikit.” (Baris 65-69)

“Nah begitulah penderitaan saya, karena itu saya banyak pikiran mulai disitu mulai naek. Masih muda pikir hidup saya gimana, orang tua seperti itu jadi mau nggak mau kepikiran saya


(57)

juga tidak berkeluarga njuk bersandar sama siapa?” (Baris 317-322)

2. Gambaran Kondisi Psikologis a. Kognisi

Menurut hasil penelitian, permasalahan yang dihadapi oleh M menimbulkan beban pikiran bagi M. Menurut keterangan M beban pikiran tersebut menjadi salah satu penyebab tekanan darahnya naik. Saat tekanan darah M tinggi, ia menjadi bingung dan pikirannya menjadi kacau. Salah satunya ketika M akan beristirahat, M gelisah dan badanya gerah karena pikiran-pikiran. Selain itu, M merasa tekanan darah naik saat tidak minum obat.

“Dulu waktu saya masih kecil ditinggal orang tua, saya tinggal dengan orang tua angkat. Jadi mungkin pikiran terus ya. Ya, jadi terus naik terus.” (Baris 41-43)

“Nah begitulah penderitaan saya, karena itu saya banyak pikiran mulai disitu mulai naek.” (Baris 317-318)

“Ya sekarang biasa aja, ndak pusing tapi pikirannya kacau gitu kayak bingung” (Baris 84-85)

“iya mbak jadi linglung saya, banyak pikiran malah jadi linglung pas tinggi.” (Baris 107 dan 111)

“Kalau mau tidur gelisah, seperti itu pikirannya, kayak gimana ya, nggak tenang gitu lho, kacau gitu lho. Sama sumuk, nah kalau sumuk seperti ini.” (Baris 153-162)


(58)

“Iya tiap hari, ya kalau tidak minum naek terus.” (Baris 14-15)

b. Afek

Berdasarkan hasil penelitian, permasalahan yang dihadapi oleh M memberikan dampak afektif bagi M. M merasa hidup sendiri dan tidak mendapat kasih sayang dari orang tua angkatnya.

“Kok saya hidup sendiri, ada orang tua angkat kok saya sendiri.” (Baris 196-197)

“Ya cuma itu pikirannya. Saya kok ada saudara ada, sekarang sama anak-anak juga saya, sama anak-anak juga mungkin sudah diomongin sama mamahnya ya. Hanya gimana ya, terima sih trima tapi, tapi kasih sayangnya tu ndak ada itu lho.” (Baris 205-210)

c. Perilaku

Permasalahan yang dihadapi M juga berdampak pada perilaku konsumsi obat. Dimana M mengkonsumsi obat medis untuk mengurangi dampak afektif dan kognitif dari permasalahan yang dihadapi. M mengkonsumsi obat hipertensi terus menerus. Latar belakang pertama M minum obat setiap hari karena saran dokter untuk tidak berhenti mengkonsumsi obat. Jika berhenti mengkonsumsi obat, akan fatal akibatnya. Kedua, M juga menyatakan bahwa ia harus mengkonsumsi obat terus menerus dan tidak boleh telat.


(59)

Ketika ia telat untuk mengkonsumsi obat sehari saja, tekanan darahnya langsung naik. Ketika obat habis, M akan langsung membeli obat lagi.

“Jadi dokter bilang jangan berhenti minum Kaptopril nanti kalau berhenti fatal nanti, jadi minum terus sehari 2 kali pagi sore.” (Baris 21-23)

“Kalau sakit aja. Kalau buat tensi saya minum terus ndak boleh telat. Telat sehari langsung naik. Minum Kaptopril itu untuk melancarkan darah saja, kalau menyembuhkan tidak bisa.” (Baris 94-98)

“Nah terus sekarang minum terus Kaptopril. Abis beli, abis beli. Hehehe.” (Baris 143-144)

Ketika di cek tekanan darah, tekanan darah M bisa mencapai 200 mmHg. Namun, M tidak selalu mengecek tekanan darahnya. Terkadang menurut M hanya merasa tekanan darahnya tinggi. Sehingga, M mengkonsumsi obat tidak hanya saat tekanan darahnya tinggi.

“Naek itu minta di ukur mbak R ya sampe lho 200, iya tensinya sampai 200 lebih. Kalau biasa-biasa ya cuman 150 itu normal, tapi bawahnya sempet 100. Nah saya berusaha tidak berfikir apa-apa, tapi ya kok dateng aja pikirannya.” (Baris 156-162)

“Ndak, cuma perasaan saja.” (Baris 172) Konsekuensi yang didapatkan dari perilaku konsumsi obat bagi M adalah tekanan darah kembali normal


(60)

dan pikiran menjadi tenang. Namun, jika M tidak mengkonsumsi obat, pikiran menjadi tidak tenang.

“Lalu saya minum, turun ya biasa lagi.” (Baris 86)

“Enggak, malah jadi bingung gitu. Tapi kalau minum obat lama-lama turun dan biasa lagi gitu.” (Baris 88-90)

“Terus kayak linglung gitu lho. Mau bilang pusing endak, tapi kayaknya ndak tenang gitu lho.” (Baris 123-125)

3. Gambaran Kondisi Fisik

Saat ini, M mengidap penyakit Hipertensi. Saat diperiksa tekanan darah M 130 mmHg. Saat ini, tekanan darah M bisa mencapai 200 mmHg. Mengenai sakit yang diderita dan obat yang dikonsumsi oleh M telah dikonfirmasi dengan pihak perawat dan buku kesehatan panti. M sudah menderita sakit Hipertensi sejak usia 20 tahun. M menyatakan bahwa ia sakit Hipertensi karena pikiran-pikiran mengenai masa kecilnya yang ditinggal oleh orang tua. Sampai pada akhirnya M merasa pusing dan pergi ke Puskesmas. Saat diperiksa oleh dokter, M didiagnosa mengidap penyakit Hipertensi dan dianjurkan untuk mengkonsumsi obat terus menerus.

“tapi dulu masih 130 mmHg gitu, tidak seperti sekarang. Kalau sekarang sampai 200 mmHg atau lebih tensinya.” (Baris 60-62)

“Kalau saya hipertensi saya.” (Baris 6).

“Iya karena sudah lama, naik-naik terus jadi susah turun. Turun sedikit naik lagi” (Baris 30-31).


(61)

“Iya umur 20 tahun.” (Baris 47).

M menjelaskan mengapa ia bisa didiagnosa sakit Hipertensi pada usia 20 tahun, karena menurut M pada usia 20 tahun ia sudah menghadapi beberapa permasalahan seperti ketidakcocokan tinggal dengan orang tua angkat yang membuat M merasa sendiri. M menyatakan bahwa ia sakit Hipertensi karena pikiran-pikiran mengenai masa kecilnya yang ditinggal oleh orang tua. Sampai pada akhirnya M merasa pusing dan pergi ke Puskesmas. Saat diperiksa oleh dokter, M didiagnosa mengidap penyakit Hipertensi dan dianjurkan untuk mengkonsumsi obat terus menerus. Selain mengidap penyakit Hipertensi, M juga mengidap penyakit alergi dan rematik.

“Iya umur 20 tahun, ya karena pikirannya sudah umur 20 tahun keluar dari rumah, mamah angkat saya, ya gitu ya. Gimana ya, mamah saya gak seneng gitu, jadi saya ikut orang. Itukan pikiran, gimana kok saya hidup sendiri. Sampai sekarang anak-anaknya sama saya masih gimana gitu, ya jadi saya masuk di panti.” (Baris 47-54)

“Dulu ya pusing gitu, ke Puskesmas, tapi dulu masih 130 mmHg gitu.” (Baris 58 dan 60) “Saya kalau makan apa saja gatel, alergi makanan. Sampe sekarang Saya ndak makan telur, ndak makan daging ayam. Kemarin saya dah Makan telur saja dah gatel. Saya juga rematik.” (Baris 242-246).

Obat yang dikonsumsi untuk mengatasi hipertensi adalah


(62)

M juga mengkonsumsi obat Paracetamol dan obat gatal yang dikonsumsi saat sakit saja.

“Saya minum Kaptopril” (Baris 8)

“Iya, obat Hipertensi, Kaptopril. Itu diminum sehari dua kali.” (Baris 11-12)

“Paracetamol kalau pusing, ndak setiap hari tapi” (Baris 92-93)

“Ada, apa ya? Lupa saya.” “Iya, tapi kalau udah nggak gatel nggak minum saya.” (Baris 250 dan 252-253)

Saat ini ketika tekanan darah M tinggi, M sudah tidak pusing dan tidak merasakan nyeri-nyeri di beberapa bagian tubuh.

“Ndak pusing mbak, mungkin karena sudah biasa tinggi ya jadi ndak pusing” (Baris 103-104) “iya mbak jadi linglung saya, banyak pikiran malah jadi linglung pas tinggi.” (Baris 107 dan 111)

“Ndak nyeri-nyeri juga mbak.” (Baris 127)

4. Gambaran Aktivitas dan Relasi Sosial

Berdasarkan hasil penelitian, M masih bisa melakukan aktifitas sehari-hari sendiri. M memiliki tugas di panti, seperti menyapu dan bercocok tanam. Selain itu, M juga masih bisa melakukan hobinya yaitu menjahit lampin.

“Saya dulu bikin-bikin cempal, buat angkat-angkat tu lho mbak, lampin.” (Baris 358-359) “Ya, saya masih bisa beraktifitas seperti biasa.” (Baris 259)


(63)

“Ya, bisa sendiri, ada lain-lain kerja lain. Bagian-bagiannya sendiri-sendiri. Bagian nyapu sendiri lain. Saya cuma nyapu diluar. Sama nanem-nanem. Saya seneng tanem-tanem.” (Baris 261-265)

M memiliki hubungan sosial yang baik dengan sesama lansia, perawat, dan pengurus panti. Terkadang terdapat kesalahpahaman dengan sesama lansia, namun M dapat mengatasi permasalahan itu. Selain itu, M juga memiliki seorang teman dekat di panti, terkadang M juga bererita mengenai permasalahannya kepada teman tersebut.

“Ya baik, kecentok-centok sedikit kan biasa.” (Baris 356)

“Baik-baik saja, mbak perawat itu keras tapi nanti lama-lama baik lag. Ya kalau saya, saya terima itu mbak, ya dari Tuhan kuat ndak.” (Baris 362-365)

“Ya, kalau kecentok itu sering ya, tapi ya sudah tak ilangin, biasa aja gitu.” (Baris 369-370) “Karena cerita-cerita njok gimana gitu. Kadang ada yang saya tegor, kalau pake baju ndak bener saya tegor, marah “Biar, karepku” hehehe, yasudah kalau ndak mau di tegor ya sudah. Tapi saya tetep ngomong.” (Baris 372-276)

“Ya sama simbah ini, ya saya yang deket, cerita itu de’e ngene-ngene...” (Baris 391-392)

Saat ini, M sudah jarang berkomunikasi dengan keluarga orang tua angkat. Terkadang M mendapat kunjungan dari saudara angkatnya setiap satu tahun sekali. M bersyukur ketika saudara


(64)

angkatnya datang menjenguk, jika tidak datang M tidak mempermasalahkan hal tersebut.

“Iya yang di sidoarum. Ah, paling satu tahun satu kali datang.” (Baris 16-17)

“Em, sana ndak pernah telepon, saya juga ndak pernah telepon. Kita kan cuma apa. Ada nomornya tapi saya ndak telepon. Kalau dateng ya syukur kalau ndak dateng ya ndak papa.” (Baris 420-424)

“Ya cuma cerita-cerita, terus dia ngasih jajan gitu. Ini udah lama dia ndak dateng, tapi saya ndak mau tanya. Saya pasrah kok mbak, mau dateng ya syukur, ndak juga ndak papa.” (Baris 433-436)

M memandang orang tua angkatnya sebagai seseorang yang penuh curiga, hal tersebut membuat M takut kepada orang tua angkatnya sendiri. Selain itu, M juga memandang orang tua angkat sebagai seorang yang disiplin. Sehingga, dahulu M takut untuk meminta ijin pergi bersama teman-teman. Selain tinggal dengan orang tua angkat, M juga tinggal dengan tante. M memandang tante sebagai seorang pelit, sehingga M harus bekerja sendiri untuk membiayai kehidupannya.

“Ya gimana ya, ya mamah angkat saya sleng sih ya, gini sedikit ndak boleh, curiga. Jadi ketakutan saja saya.” (Baris 565-566)

“Saya pengen kan pergi sama temen-temen, jualan. Saya ndak boleh. Nanti banyak-banyak bawa barang orang nanti ilang. Ndak percaya gitu sama saya. (Baris 571-574)

“E, disiplin bener dia, ndak beli ini, ndak beli itu. Keluar dikit sangkanya mau ngapa. Ya baik sih


(1)

Lampiran 4

Tabel Verbatim Perawat Panti

No. Verbatim Ringkasan Intepretasi Tema

1 2 3 4

kalau keadaan fisik simbah itu rata-rata bagaimana mbak disini?

Fisik? Kesehatannya to? Ha, disini kebanyakan hipertensi.

Disini kebanyakan sakit Hipertensi. (Baris 3-4)

Lansia di panti kebanyakan sakit Hipertensi. (Baris 3-4)

Sakit yang diderita lansia panti. (Baris 3-4)

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Selain hipertensi ada apa lagi mbak?

Yang jelas satu itu hipertensi, terus kemarin kan kita di cek kesehatan sama dokter kan, nah itu ada yang anu, kolesterolnya itu agak tinggi. Itu memang dari dulu-dulu sampai 300mg/dL, tetapi kemarin cuma 211mg/dL (Mbah Maria). Itu karena pola makannya dia juga tidak bisa diatur, beli obat dia juga tidak bisa diatur. Sakkarepe dewe. Nah dia minum sendiri, cuma dia sering beli tanpa sepengetahuan kami, sakkarepe dewe sing tuku. Contohnya beli CTM.

Ada satu yang jelas Hipertensi, kemarin di cek kesehatannya sama dokter. Kolesterolnya juga tinggi dulu sampai 300mg/dL, tetapi kemarin 211mg/dL. Itu karena pola makan dia (lansia) juga tidak bisa diatur, Sakkarepe dewe. Nah dia minum sendiri, cuma dia sering beli tanpa sepengetahuan kami, semauya sendiri untuk membeli obat. Contohnya beli CTM. (Baris 6-15)

Ada satu lansia

yang sakit

Hipertensi dan Kolesterol. Hal itu terjadi karena pola makan tidak bisa diatur, semaunya sendiri. (Baris 6-10)

Ada lansia yang

minum obat

sendiri, sering membeli obat tanpa

sepengetahuan pihak panti. (Baris 10-15)

Sakit yang diderita lansia panti. (Baris 6-10)

Lansia sering membeli obat sendiri tanpa sepengetahuan pihak panti. (Baris 10-15)


(2)

148 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33

Kalau simbah ada yang sudah sudo rungon

mbak?

Yang pendengarannya berkurang? Itu ada beberapa, kayak bu maria itu sudah berkurang, mbah joyo itu juga sudah berkurang, mbah harti itu mulai berkurang, karena terus terang antara mbah harti dan mbah maria itu banyak sekali mengkonsumsi obat. Jadi obat itu kayak makanan mungkin bagi dia. Wes sugesti sek, ndak aku ngene dadi, nah obatnya itu Ranitidin. Sama Kaptopril, sama Lakomin. Nah itu yang agak, meskipun sudah diberi pengertian sama dokter dah tetep.

Sudah sama dokternya langsung ya mbak? Heem, ya itu tetep sudah, jadi wes koyo sugesti sik

Kalau nggak ini ya enggak gitu ya mbak? Heem

Beberapa lansia sudah berkurang

pendengarannya sudah berkurang seperti bu Maria, mbah Joyo dan mbah Harti. Terus terang antara mbah Harti dan Mbah Maria itu banyak sekali mengkonsumsi obat. Jadi obat itu kayak makanan mungkin bagi dia. Sudah sugesti dulu. Obatnya Ranitidin, Kaptopril, dan Lakomin. Meskipun sudah diberi pengertian dokter dah tetep. (Baris 18-28)

Ada 3 lansia yang sudah berkurang pendengarannya. (Baris 18-21) Bu Maria dan

mbah Harti

banyak sekali mengkonsumsi obat (Ranitidin, Kaptopril, dan Lakomin). Obat seperti makanan. (Baris 21-28)

Lansia yang sudah berkurang

pendengarannya. (Baris 18-21)

Lansia yang banyak mengkonsumsi obat. (Baris 21-28) 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43

Oiya mbak, kalau yang minum obat tadi hanya 2 simbah ya?

Iya, ya antara mbah harti dan bu maria. nek koyo mbah harni kan karna awak e keju-keju. Ming ngombe vitamin B kompeks kan ra masalah kan itungane vitamin. Nah nek iki kan kecanduan, wes kecanduan. Dadi nek kaptopril kan untuk menurunkan tensi. Nek mbah harti itu intine “aku kudu ngombe, mbendino kudu ngombe ranitidin.” Sebenernya itu ndak masalah, “nek

Kalau seperti mbah Harti badannya pegal-pegal. Hanya minum vitamin B kompleks kan tidak masalah. Nah kalau ini kan sudah kecanduan. Jadi kalau Kaptopril untuk menurunkan tensi. Kalau mbah Harti itu intinya harus minum

Mbah harti pegal-pegal dan minum

vitamin B

kompleks. (Baris 36-39)

Menurut perawat,

mbah Harti

berkata bahwa ia harus minum

Kondisi fisik dan obat yang dikonsumsi lansia. (Baris 36-39)

Perilaku konsumsi obat lansia. (Baris 41-43, 47-50, dan 53-62)


(3)

44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68

loro lagi diombeni, nek ra loro ojo diombeni” tapi yo tetep. Nah wingi bar di tukokke karo penguruse ranitidin, tak kei siji, kan seemplek, engko nek entek tek kei meneh”. Eh tuku dewe. Pamite neng TPA tuku buku renungan harian ki, eh tuku obat. Pas bali tak matke ngowo, kok ono ranitidine, tas e kan semrawang ketok to. Nah, aku neng apotik, “kemarin simbah?” “ho’o e mbak, aku yo bingung e”. Pengurus e kewalahan, aku yo tambah kuwalahan. “itu lho yang rambut putih yang gemuk, minta CTM” padahal wes disengeni ojo ngombe lakomin, lakomin kan ada CTM e. “lha kok saiki tuku CTM?” “yo tak lok ke neng ngarepe dokter” “sopo sing lungo tuku CTM?” “enggak kok” soale raiso moco dee, neng ngeyel. Terus bu Maria, lha aku enggak, “lha kan ora oleh tuku CTM, lha lakomin kok saiki tuku CTM podo kuwi. Nah terus dilokke karo dokter “ndak boleh ya bu Maria, cukup minum katopril aja, tapi jangan beli lainnya, efek e nanti ngak bagus. Kan bu maria tensinya tinggi, selalu tinggi, ini kolesterolnya juga tinggi,” tapi yowes kui mau, wes angel, aku susah, nah wong tokone urung buka wae wes ngenteni.

Ranitidin. Sebenarnya tidak masalah kalau sakit baru minum obat, kalau tidak sakit jangan di minum, tapi ya tetap saja. Nah kemarin dibelikan oleh pengurus panti Ranitidin, saya beri satu nanti kalau habis saya beri lagi. Eh beli sendiri. Pamit pergi ke TPA (toko buku) membeli buku renungan harian, eh tuku obat.saat pulang saya melihat kok ada Ranitidin, tas nya kan transparan kelihatan kan. Nah saya ke apotik. Bertanya pada penjaga apotik dan dijawab bahwa simbah beli obat dan penjaga toko bingung. Pengurus panti kwalahan, saya juga kwalahan. Menurut penjaga apotik, ada simbah yang berambut putih agak gemuk minta CTM.

Ranitidin. (Baris 41-43)

Sebenarnya tidak masalah (untuk tidak minum obat Hipertensi), kalau tidak sakit jangan di minum, namun mbah Harti tetap saja minum. (Baris 43-44)

Perawat melihat

mbah Harti

membeli obat sendiri (Baris 47-50)

Perawat melihat

mbah Maria

membeli obat sendiri di apotik. (Baris 53-62) Dokter

mengingatkan untuk tidak

Pengetahuan tentang

konsumsi obat

Hipertensi. (Baris 43-44)

Dokter sempat menegur lansia. (Baris 62-66)


(4)

150

Padahal ya sudah dimarahin jangan minum Lakomin, Lakomin kan ada di CTM. Ya saya memberikan penjelasan di depan dokter. Bu Maria sempat berkata tidak, namun diberi penjelasan bahwa tidak boleh membeli obat. Setelah itu dokter membantu memberi penjelasan. Bahwa bu Maria tidak boleh membeli CTM, cukup kaptoril saja, tapi jangan beli lainnya, efek nya nanti tidak baik. Bu Maria kan tensinya tinggi,

selalu tinggi,

kolesterolnya juga tinggi. Tapi ya itu, sudah ngeyel, saya susah karena tokonya belum buka sudah nunggu di depan. (Baris 36-68)

banyak minum obat (CTM), karena efeknya tidak bagus. (Baris 62-66)


(5)

GAMBARAN KONDISI PSIKOLOGIS LANSIA YANG MENGKONSUMSI OBAT-OBATAN MEDIS

Studi Kualitatif Asvita Kharismaningrum

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi psikologis pada lansia yang mengkonsumsi obat-obatan medis. Konsumsi obat-obatan medis dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak negatif secara fisik maupun psikologis. Dampak negatif secara fisik berakibat pada berkuranganya fungsi lambung dan ginjal. Sedangkan dampak negatif psikologis dapat menurunkan kualitas hidup. Informan penelitian ini adalah dua lansia panti wreda di Yogyakarta. Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode wawancara. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan analisis naratif. Validitas pada penelitian ini menggunakan konfirmabilitas atas data hasil penelitian dan wawancara perawat panti. Hasil penelitian ini adalah kedua informan sering mengkonsumsi obat-obatan medis. Salah satu informan menjelaskan bahwa ia harus mengkonsumsi obat terus menerus dan tidak boleh telat. informan tersebut mengkonsumsi obat tidak hanya saat tekanan darah tinggi namun saat ia merasa banyak pikiran. Dimana obat hipertensi dapat membantu menenangkan pikirannya.


(6)

PSYCHOLOGICAL CONDITIONS DEPICTION OF ELDERLY WHICH CONSUME MEDICINE

Qualitative Research Asvita Kharismaningrum

ABSTRACT

This research aimed to depict the psychological condition of elderly who consume medicine. The medicine consumption in long term can negatively impact both physically and psychologically. The negative physical impact is reduced stomach and kidneys function. While the negative psychological impact could reduce quality of life. The informants were two elderlies at nursing home in Yogyakarta. This research used interviews for Method of data collection. The data analyzed using narrative analysis. The validity of this study used confirmability on

research data and nursing homes' nurse interviewThe results of this study are both

informants often consume medical drugs. One informant explained that he had to take drugs continuously and should not be late. The informant consumed the drug not only during high blood pressure but when he felt a lot of thought. Where hypertension drugs can help calm his mind.