KAJIAN TEORIBAB IV PERBANDINGAN KONSEP P

BAB II KAJIAN TEORI

A. Konsep Pendidikan Islam

1. Pengertian Pendidikan secara bahasa dan istilah Pengertian pendidikan menurut bahasa Dalam bahasa Indonesia, kata pendidikan terdiri dari didik, sebagaimana dijelaskan Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal, cara dan

sebagainya) mendidik. 1 Pengertian ini memberi kesan bahwa kata pendidikan lebih mengacu

kepada cara mendidik. Selain kata pendidikan, dalam bahasa Indonesia terdapat pula kata pengajaran, sebagaimana dijelaskan Poerwadarminta berarti cara mengajar atau mengajarkan, kata lain yang serumpun dengan kata tersebut adalah

mengajar yang berarti member pengetahuan. 2 Pengertian Pendidikan menurut Istilah

Ditinjau dari segi istilah, pendidikan Islam adalah system pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1991), cet. 1, h. 323

2 Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. XII, h. 250 2 Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. XII, h. 250

Sedangkan menurut Drs. Ahmad Marimba: pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian yang lain sering kali beliau mengatakan kepribadian utama dengan istilah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama

Islam. 4 Adapun menurut Dr. Ali Ashraf, pendidikan Islam, kata saya dalam kata

pengantar crisis in muslim education-(krisis dalam pendidikan Islam)-adalah pendidikan yang melatih sensibilitas murid-murid sedemikian rupa, sehingga dalam perilaku mereka terhadap kehidupan, langkah-langkah dan keputusan begitu pula pendekatan mereka terhadap semua ilmu pengetahuan mereka diatur

oleh nilai-nilai etika Islam yang sangat dalam dirasakan. 5

2. Dasar-dasar Pendidikan Islam Dalam menetapkan sumber pendidikan Islam dikemukakan tiga dasar

utama dalam pendidikan Islam, adalah:

a. Al-Qur’an Al- Qur’an sebagai kalam Allah SWT, yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW bagi pedoman manusia, merupakan petunjuk yang lengkap mencakup seluruh aspek kehidupan manusia yang universal yang mana ruang lingkupnya mencakup ilmu pengetahuan yang luas dan nilai ibadah bagi yang membacanya yang isinya tidak dapat dimengerti kecuali dengan dipelajari

kandungan yang mulia itu. 6

Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam , (Bandung: Pustaka Setia, 1999), cet. 1, h. 12 4 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), cet. 2, h. 5

5 Dr. Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam(Putaka Firdaus1996), cet. 3 h.23 6 Manna Al-Qothan, Mabahis Fi Ulum Al- Qur’an, (Mesir: Mansyurat Al-Asyrul Hadits.

T.t), h. 21

Pengertian Al- Qur’an ini lebih lengkap dikemukakan oleh Abdul Wahab Kholaf, menurutnya, Al- Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan oleh Malaikat Jibril kepada Rosulullah SAW dengan menggunakan lafadz Arab dan makna yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rosul, bahwa ia benar-benar Rosulullah SAW, menjadi undang-undang bagi manusia, sebagai petunjuk dan sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah SWT bagi

pembacanya. 7

b. As-Sunnah Hadits merupakan cara yang diteladankan Nabi dalam dakwah Islam yang termuat dalam tiga dimensi yaitu berisi ucapan, pernyataan, dan persetujuan Nabi atas peristiwa yang terjadi. Semua contoh yang ditujukan Nabi merupakan acuan yang dapat diteladani oleh manusia dalam aspek kehidupan.

Posisi hadits sebagai sumber pendidikan utama bagi pelaksanaan pendidikan Islam, yang dijadikan referensi teoritis maupun praktis. Acuan tersebut dapat dilihat dari dua bentuk, yaitu:

1) Sebagai acuan syari’ah: yang meliputi muatan-muatan pokok ajaran Islam secara teoritis.

2) Sebagai acuan operasional-aplikatif: yang meliputi cara Nabi memainkan perannya sebagai pendidik yang professional, adil dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.

Proses pendidikan Islam yang ditujukan Nabi merupakan bentuk pelaksanaan pendidikan yang bersifat fleksibel dan universal, sesuai dengan potensi yang dimiliki manusia, kebiasaan, masyarakat, serta kondisi alam dimana

proses pendidikan tersebut berlangsung. 8

c. Ijtihad Melakukan ijtihad di bidang pendidikan Islam perlu karena media pendidikan merupakan sarana utama dalam membangun pranata kehidupan social,

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Al-Majelis Al- A’la Al-Indonesia Li Al- Dakwah Al-Islamiyah, 1972), cet. IX, h. 23 8 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasr Pemikiran Pendidikan Islam,(Jakarta: Gaya

Media Pratama, 2001), cet. 1, h.97

dalam arti maju mundurnya kebudayaan manusia berkembang secara dinamis sangat ditentukan dari dinamika system pendidikan yang dilaksanakan.

Dalam dunia pendidikan, sumbangan ijtihad dalam keikutsertaanya menata system pendidikan yang ingin dicapai. Sedangkan untuk perumusan system pendidikan yang dialogis dan adaptik, baik karena pertimbangan perkembangan zaman maupun kebutuhan manusia dengan berbagai potensi diperlukan upaya maksimal. Proses ijtihad, harus merupakan kerjasama yang utuh diantara

mujtahid. 9

3. Tujuan Pendidikan Islam Berbicara tentang tujuan pendidikan, tak dapat tidak mengajak kita

berbicara tentang tujuan hidup, yaitu tujuan hidup manusia. Di mana manusia diciptakan untuk menjadi khalifah, manusia yang dianggap sebagai khalifah Allah SWT tidak dapat memegang peranan tanggung jawab sebagai khalifah kecuali kalau ia dilengkapi dengan potensi-potensi yang membolehkan berbuat demikian.

Tujuan pendidikan Islam ditinjau dari segi historis memiliki dinamika seirama dengan kepentingan dan perkembangan masyarakat di mana pendidikan itu dilaksanakan. Contoh sederhana bahwa tujuan pendidikan Islam pada masa Rasulullah SAW berbeda jauh dengan tujuan pendidikan Islam pada masa modern sekarang ini. Perkembangan inilah yang menyebabkan tujuan pendidikan Islam secara khusus mengalami dinamika seirama dengan perkembangan zaman, namun tanpa melepaskan diri pada nilai-nilai Ilahiah dan tujuan umumnya, yaitu sebagai ibadat.

Akibat dinamikanya ini, para ahli muslim mencoba untuk memberikan definisi khusus terhadap pendidikan Islam. Antara lain adalah Muhammad Fadhil Al-Jumaly yang memberikan batasan bahwa tujuan pendidikan Islam itu adalah membina kesadaran atas diri manusia itu sendiri dan atas sistem sosial yang Islami. Sikap dan rasa tanggung jawab sosialnya, juga terhadap alam ciptaan-Nya serta kesadarannya untuk mengembangkan dan mengelola alam ini bagi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Dan yang penting lagi ialah

terbinanya ma’rifat kepada Allah Pencipta alam semesta dengan beribadah

Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasr Pemikiran Pendidikan Islam), cet. 1, 100

kepada-Nya dengan cara mentaati perintah-Nya dan menjauhi segala larangan- Nya. 10

Dalam versi yang lain, Ibn Khaldun menyebutkan bahwa tujuan pendidikan Islam berupaya bagi pembentukan aqidah/keimanan yang mendalam. Menumbuhkan dasar-dasar akhlak karimah melalui jalan agamis yang diturunkan untuk mendidik jiwa manusia serta menegakkan akhlak yang akan membangkitkan kepada perbuatan yang terpuji. Upaya ini sebagai perwujudan penyerahan diri kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat dan

kemanusiaan pada umumnya. 11 Sedangkan dalam undang-undang nasional RI No. 2 Tahun 1989

disebutkan bahwa: “Pendidikan nasional bertujuan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan

mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan budi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan yang kebangsaan”

Dari berbagai rumusan di atas, terdapat beberapa tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam adalah sebagai berikut:

a. Tujuan umum, yakni tidak dapat dicapai kecuali setelah melalui proses pengajaran, pengalaman, penghayatan dan keyakinan akan kebenaran.

b. Tujuan akhir, yaitu insan kamil yang mati dan akan menghadap tuhannya merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan Islam. Dalam arti bahwa mati dalam keadaan muslim merupakan ujung dari takwa sebagai akhir dari proses hidup yang pasti berisikan kegiatan pendidikan.

Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, h. 105 11 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, h. 106

c. Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal.

d. Tujuan operasional yaitu tujuan praktis yang hendak dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu, yang menuntut kemampuan dan keterampilan tertentu yang lebih ditonjolkan pada sifat penghayatan

dan kepribadian. 12 Jelaslah bahwa tujuan pendidikan Islam lebih berorientasi kepada nilai-

nilai luhur dari Tuhan yang harus diinternalisasikan ke dalam diri individu anak didik melalui proses pendidikan.

4. Metode Pendidikan Islam Dari segi bahasa, metode berasal dari dua kata, yaitu kata “meta” yang

berarti melalui dan kata “hodos” yang berarti jalan, dengan demikian metode berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. 13

Jalan mencapai tujuan ini bermakna ditempatkan pada posisi sebagai cara untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan ilmu atau tersistematisasikannya. Dengan pengertian tersebut berarti metode lebih memperlihatkan sebagai alat untuk mengolah dan mengemban suatu gagasan.

Selanjutnya jika kata metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat berarti bahwa metode sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat dalam pribadi obyek dan sasaran, yaitu pribadi Islami. Selain itu metode dapat pula berarti sebagai cara untuk memahami, menggali dan mengembangkan ajaran Islam sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Demikianlah ilmu pendidikan Islam merangkum metodologi pendidikan Islam yang tugas dan fungsinya adalah memberikan cara sebaik mungkin bagi pelaksanaan operasional dan ilmu pendidikan tersebut.

Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, h. 112

13 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. Ke-1, h. 91

Ada beberapa metode dalam pendidikan Islam yang dikemukakan para ahli, di antaranya ialah:

a. Keteladanan Metode teladan atau pemberian contoh merupakan teknik pendidikan yang efektif karena memberikan cukup besar pengaruh dalam mendidik, sehingga dapat menterjemahkan dengan tingkah laku, tindak tanduk, ungkapan rasa dan pikiran, sehingga menjadi dasar dan arti suatu metode. Dengan demikian, suatu metodologi akan berubah menjadi suatu gerakan. Karena itulah, maka Allah mengutus Nabi Muhammad SAW menjadi teladan untuk manusia. Dalam diri beliau Allah menyusun suatu bentuk sempurna, yang mengandung nilai paedagogis bagi kelangsungan hidup manusia. Seperti ayat yang menyatakan:

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. Al- Ahzab: 21)

b. Metode Permisalan Mendidik dengan menggunakan metode pemberian perumpamaan atau metode imtsal tentang kekuasaan Tuhan dalam menciptakan hal-hal yang hak dan hal-hal yang bathil, misalnya sebagai yang digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya sebagai berikut:

Artinya: “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan- perumpamaan”. (Q.S. Ar-Ra’d: 17)

c. Metode Motivasi Yaitu cara memberikan pelajaran dengan memberikan dorongan (motivasi)

untuk memperoleh kegembiraan bila mendapatkan sukses dalam kebaikan, sedangkan bila dalam keadaan tidak sukses karena tidak mau mengikuti petunjuk yang benar maka akan mendapat kesusahan. Metode ini juga disebut sebagai metode targhieb dan tarhieb (hadiah dan ancaman). Yang memberikan dorongan

untuk selalu berbuat baik dalam hal-hal yang bersifat positif. 14 Dalam Al- Qur’an dijelaskan dalam surat Al-Zalzalah ayat 7-8 sebagai

berikut:

              Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya

dia akan melihat (balasan)nya (7). Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula (8)”. (Q.S. Al-Zalzalah: 7-8)

d. Metode Instruksional Yaitu metode yang bersifat mengajar tentang ciri-ciri orang yang beriman

dan bersikap serta bertingkah laku agar mereka dapat mengetahui bagaimana seharusnya mereka bersikap dan bertingkah dalam kehidupan sehari-hari.

Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), cet. Ke-2, h. 110

e. Metode Tanya Jawab Metode tanya jawab sering digunakan oleh Rasulullah SAW dan para Nabi

dalam mengajarkan agama kepada umatnya. Bahkan para ahli pikir dan filosofpun banyak mempergunakan metode tanya jawab ini. Oleh karenanya, metode ini adalah yang paling tua dalam dunia pendidikan dan pengajaran di samping metode ceramah. Namun efektifitasnya lebih besardaripada metode-metode yang lain, karena dengan tanya jawab, pengertian dan pemahaman seseorang dapat lebih dimantapkan, sehingga segala bentuk kesalah pahaman, kelemahan daya tangkap

terhadap pelajaran dapat dihindari. 15 Dalam Al- Qur’an disebutkan pada surat An-Nahl ayat 43 sebagai berikut:               

  Artinya: “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki

yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (Q.S. An-

Nahl: 43)

f. Metode Kisah-kisah Kisah atau cerita sebagai metode pendidikan ternyata mempunyai daya

tarik yang menyentuh perasaan. Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita itu, dan menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah satu teknik pendidikan. Ia menggunakan berbagai jenis cerita; cerita sejarah factual yang menampilkan suatu contoh kehidupan manusia yang ditampilkan oleh contoh- contoh tersebut, cerita drama yang melukiskan fakta yang sebenarnya tetapi bisa

H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islm, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet. Ke-4, h. 70

diterapkan kapan dan di saat apapun. 16 Metode ini juga dicontohkan dalam Al- Qur’an surat Al-Qashash ayat76:

                                Artinya: “Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku

aniaya terhadap mereka, dan kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri" . (Q.S. Al- Qashash: 76)

5. Ruang Lingkup Pendidikan

H. M. Arifin mengatakan bahwa ruang lingkup pendidikan Islam mencakup

konsisten dan berkesinambungan dalam bidang atau lapangan hidup manusia yang meliputi.

a. lapangan hidup keagamaan, agar perkembangan pribadi manusia sesuai dengan norma-norma ajaran Islam.

b. lapangan hidup berkeluarga, agar berkembang menjadi keluarga yang sejahtera.

c. lapangan hidup ekonomi. agar dapat berkembang menjadi sistem kehidupan yang bebas dari penghisapan manusia oleh manusia.

d. lapangan hidup kemasyarakatan, agar terbina masyarakat yang adil dan makmur di bawah ridlo dan ampunan Allah swt.

e. lapangan hidup politik, agar tercipta sistem demokrasi yang sehat dan dinamis sesuai ajaran Islam.

f. lapangan hidup seni budaya, agar menjadikan hidup manusia penuh keindahan dan kegairahan yang tidak gersang dari nilai-nilai moral agama.

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. Ke-1, h. 97

g. lapangan hidup ilmu pengetahuan, agar berkembang menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan hidup umat manusia yang dikendalikan

oleh iman. 17 Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ruang lingkup

materi pendidikan Islam meliputi kegamaan, kemasyarakatan, seni budaya dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian materi pendidikan Islam yang diberikan di sekolah berperan untuk pengembangan potensi kreatifitas peserta didik dan bertujuan untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt, cerdas, terampil, memiliki etos kerja yang tinggi. Berbudi pekerti luhur, mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya, agama, bangsa dan negara.

Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat bertolak belakang dengan ilmu pendidikan non-Islam. Pengembangan pendidikan Islam adalah upaya mengembangkan sebuah sistem pendidikan alternatif yang lebih baik dan relatif dapat memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menyelesaikan semua problematika kehidupan yang mereka hadapi sehari-hari.

B. Sejarah Pendidikan Islam

Sejarah pendidikan Islam di mulai sejak agama Islam masuk ke Indonesia, yaitu kira-kira pada abad keduabelas Masehi. Ahli sejarah umumnya sependapat, bahwa agama Islam mula-mula masuk ialah ke pulau Sumatera bagian Utara di

daerah Aceh. 18 Setengah ahli sejarah mengatakan, bahwa agama Islam masuk ke daerah Aceh pada abad kedua belas Masehi. Setengah mereka berpendapat,

bahwa Islam telah masuk ke Aceh sebelum abad kedua belas Masehi. Alasannya ialah karena pada abad kedua belas Masehi itu telah banyak ahli-ahli agama yang termasyhur di Aceh. Hal itu menunjukan, bahwa Islam telah masuk ke Aceh sebelum abad keduabelas, karena tidak mungkin Islam baru masuk, lalu lahir orang-orang ahli dalam Islam itu.

H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner , (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet. Ke-1, h. 30 18 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia(Jakarta: Hidakarya Agung

1979) cet ke-2 h.10

Pendapat ini dikuatkan lagi dengan keterangan setengah ahli sejarah, bahwa orang Arab/Islam telah mengenal pulau Sumatera dalam abad kesembilan. Oleh sebab itu banyak diantara mereka itu datang ke Sumatera dan ke pulau-pulau Indonesia yang lain untuk berniaga. Sungguhpun mereka datang ke Indonesia dengan maksud hendak berniaga, tetapi mereka tidak lupa memegang Al- Qur’an ditngan kanannya. Dalam melaksanakan usaha perniagaan mereka menyiarkan agama Islam kepada penduduk negeri. Dengan berangsur-angsur penduduk negeri tertarik kepada agama Islam, lalu mereka memeluk agama itu. Sebab itu tidak heran, bahwa agama Islam telah masuk kedaerah Aceh sebelum abad

keduabelas. 19 Umumnya ahli sejarah mempastikan masuk Islam ke daerah Aceh itu

dengan pertama, perjalanan Marco Polo. Dalam perjalanannya pulang dari Tiongkok, ia singgah di Aceh pada tahun 1292 Masehi. Menurut keterangannya, di Perlak telah didapatnya rakyat yang beragama Islam. Pelak adalah pelabuhan besar di Aceh pada masa itu, yang menghadap ke Selat Malaka. Begitu juga dengan kedua, perjalanan Ibnu Bathutha, pengembara Maghribi yang masyhur (th. 725 H/. = 1325 M.). dalam perjalananya pulang dari Tiongkok , ia singgah di Pase. Pada masa itu Pase telah menjadi kerajaan Islam di bawah perintah Raja bernama Al-Malikuz-Zahir.

Dengan keterangan tersebut ahli sejarah menetapkan dengan pasti, bahwa agama Islam masuk ke Indonesia ialah dari Aceh. Dan dari sanalah Islam memancarkan cahayanya ke Malaka dan Sumatera Barat (Minangkabau). Dari Minangkabau Islam berkembang ke Sulawesi, Ambon dan sampai ke pilipina. Kemudian Islam tersiar ke Jawa Timur, dari sana ke Jawa Tengah dan ke Banten, sampai ke Lampung dan Palembang dan keseluruh pulau Indonesia.

Di Sumatera berdiri kerajaan Islam di Pasei, Perlak, Samudera dan bersama pada tahun 1514-1904 M., dan kerajaan Islam Aceh pada tahun 1500- 1546 M. Di Jawa berdiri kerajaan Islam Demak pada tahun 1546 M, dan

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia ke-2. h.11

kemudian kerajaan Islam Banten pada tahun 1550-1757 M, dan kerajaan Islam Pajang pada tahun 1568-1586 M dan kerajaan Islam Mataram pada tahun 1575-

1757 M. 20

C. Pendidikan Islam Padamasa K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan

1. Pendidikan Islam Padamasa K.H. Hasyim Asy’ari

Zaman Mataram adalah zaman keemasan bagi pendidikan dan pengajaran agama Islam di tanah Jawa. Karena pada masa itu pendidikan dan pengajaran agama Islam telah mempunyai organisasi yang teratur dalam pemerintahan kerajaan Islam. Pada permulaan penjajahan Belanda pada zaman Kompeni (tahun 1610 M) politik Belanda adalah membiarkan saja usaha pendidikan dan pengajaran Islam menurut pengajaran sistem Mataram itu.

Lambat laun politik membiarkan itu diubahnya dengan berangsur-angsur, sejak perjanjian gianti (tahun 1755), mulai tampak usaha Belanda hendak melumpuhkan pengaruh Islam di Jawa, di mulainya dari daerah-daerah yang sudah dikuasainya, yaitu di luar Yogyakarta dan Surakarta. Tanah Lungguh untuk penghulu , Naib, Kiyai, Anom, Kiyai Sepuh, semuanya dihapuskan dan dijadikan tanah gubernemen. Begitu juga diusahakan oleh penjajah Belanda untuk menghapuskan tanah lungguh untuk para bangsawan di Yogyakarta sendiri. Hal itu telah menggerakkan Dipoegoro (tahun 1825-1830 M), serta para alim ulama

tampil ke muka memimpin masyarakat untuk memerangi Belanda. 21 Dengan demikian maka pendidikan Islam pun makin lama, makin mundur

oleh pendidikan Barat. Sedangkan tekanan halus dari pemerintah penjajah tidak sedikit pengaruhnya untuk melemahkan pendidikan dan pengajaran Islam. Tetapi meskipun demikian pendidikan dan pengajaran Islam tetap tegak berdiri di Pondok Pesantren menghadapi gelombang dan taupan pengaruh pendidikan Barat. Untunglah pada tahun 1900 M nur dan cahaya pendidikan dan pengajaran Islam mulai terang benderang kembali dengan berdirinya Pondok Pesantren baru yang

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia cet ke-2 h.11 21 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia cet ke-2 h.227

membawa jiwa baru, semangat baru dan cara baru. Pondok-pondok itu didirikan oleh Ulama besar Indonesia yang kembali dari Mekkah sesudah menunaikan ibadah Haji dan bermukim disana bertahun-tahun lamanya menuntut ilmu Agama dan bahasa Arab. Beliau-beliau itulah pembangun dan pembaru pendidikan

pesantren, yang tidak sedikit bilangannya. 22 K.H. Hasyim Asy’ari membawa perubahan baru dalam pendidikan Islam

dari Makkah dengan membuka Pesantren Tebuireng di Jombang yang terkenal sampai sekarang. Dalam Pesantren Tebuireng beliau mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab, mulai dari tingkatan rendah sampai tingkatan tinggi, sehingga mengeluarkan alim ulama yang tidak sedikit bilangannya. Perubahan itu berjalan lancar dan tak ada gangguan dari Belanda, karena hanya semata-mata perubahan dalam ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab saja dan tidak mencampuri politik pemerintah. Padahal dalam ilmu Agama itu telah termaktub soal-soal politik, sehingga akhirnya menggerakan umat Islam merebut kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Kemudian lahir perubahan baru dalam pendidikan Islam di

daerah-daerah lain. 23 Pesantren Tebuireng didirikan pada tanggal 26 Rabiul Awal tahun 1899

M. Pondok Pesantren Tebuireng pada mulanya sederhana saja, sedangkan jumlah santrinya yang pertama hanya28 orang. Kemudian makin lama, makin bertambah ramai, akhirnya dibanjiri oleh murid-murid dari seluruh pulau Jawa dan daerah lain.

Selain mengembangkan ilmu di pesantren Tebuireng maka K.H. Hasyim Asy’ari membangun perkumpulan Nahdlatul Ulama, bahkan ia sebagi Syehul

Akbar dalam perkumpulan itu. Dengan usaha dan pengaruhnya Nahdlatul Ulama menjadi bersemarak dan menjadi perkumpulan ulama yang terbesar di Indonesia.

Nahdlatul Ulama didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H. (31 Januari 1926 M) di Surabaya. Menurut K.H. Hasyim Asy’ari Ahl al-Sunnah adalah

”ulama dalam bidang Tafsir Al-Qur’an, Sunnah Rosul, dan Fiqih yang tunduk pada tradisi Rosul dan KhulafaurRasyidin.” beliau selanjutnya menyatakan bahwa

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, cet ke-2h.229 23 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, cet. Ke-2 h.231

sampai sekarang ulama tersebut termasuk ”mereka yang mengikuti mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali.” doktrin ini diterapkan dalam NU yang

menyatakan sebagai pengikut, penjaga, dan penyebar faham Ahl al-Sunnah wa al- jama’ah. NU menerima doktrin ini dengan sepenuh hati karena sesuai dengan tujuan-tujuan NU. 24

Maksud perkumpulan NU ialah memegang teguh salah satu mazhab Imam empat, yaitu: pertama, Syafi’i kedua, Maliki ketiga, Hanafi keempat, Hanbali. Dan mengerjakan apa-apa yang menjadikan kemaslahatan untuk agama Islam.

Untuk mencapai maksud itu, maka diadakan ikhtiar:

a. Mengadakan perhubungan diantara ulama-ulama yang bermazhab tersebut diatas

b. Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar, supaya diketahui apakah kitab itu termasuk kitab- kitab Ahli Sunah Waljama’ah atau kitab- kitab Ahli Bid’ah

c. Menyiarkan agama Islam berasaskan pada mazhab tersebut diatas dengan jalan apapun yang baik

d. Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama Islam

e. Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau- surau dan pondok-pondok, begitu juga hal ihwalnya anak-anak yatim dan orang-orang fakir miskin

f. Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan dan perusahaan yang tidak dilarang oleh syariat agama Islam. 25

Demikianlah maksud dan tujuan NU sebagi tersebut dalam Anggaran Dasar Rumah Tangga tahun 1926 (yaitu sebelum menjadi partai politik).

Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama ,(Yogyakarta: LKiS 2001), cet 1, h. 46 25 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, cet. Ke-2 h.239-241

2. Pendidikan Islam padamasa K.H. Ahmad Dahlan

Melihat peranan Islam dalam masyarakat desa, maka pemerintah Hindia Belanda menyadarai bahwa ternyata Islam merupakan agama yang membawa ancaman bagi kedudukannya. Tentu saja sebagai penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya, maka pemerintah kolonial berkeinginan menciptakan stabilitas sosial pedesaan dan menghentikan kegiatan yang mencerminkan pelbagai bentuk keresahan sosial yang dipimpin oleh Islam.

Untuk kepentingan tersebut maka pertama-tama yang dilakukan Belanda ialah melakukan pembatasan bagi jemaah haji. Pada tahun 1825 dikeluarkan ketentuan bahwa orang yang akan naik haji harus membayar kepada pemerintah

kolonial sebanyak 100 gulden untuk dapat memperoleh surat izin berangkat. 26 Pelbagai peristiwa sejarah yang terjadi di Jawa telah menimbulkan

lahirnya gerakan-gerakan yang mengarah ke corak kebangsaan. Pusaran kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905 telah mendorong bangsa terjajah di Asia untuk melihat kenyataan bahwa superioritas orang kulit putih terpatahkan oleh orang kulit berwarna; maka munculah organisasi-organisasi di Jawa. Pada tahun sekitar 1905 lahirlah jamiat al-khair di Jakarta yang bergerak untuk kepentingan sosial orang Arab dan Sumatera Barat, yang beberapa tahun kemudian memulai berkecimpung dalam dunia pendidikan. Kemudian muncul pula organisasi yang didirikan kaum terpelajar, seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Dagang Islam (1911), Muhammadiyah (1912) Dan lain-lainya.

Sesungguhnya keadaan sosio-kultural dan politik yang ada di Jawa selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah mendorong tumbuhnya pemikiran baru pada pemimpin Islam untuk melakukan pembaharuan yang bersifat fundamental dan metodis. Hal itu tampak nyata dari mula berdirinya Muhammadiyah, yang diawali dengan gerakan-gerakan praktis dalam bidang

keagamaan dan pendidikan. 27 Pemikiran Dahlan ini merupakan suatu pembaharuan pendidikan Islam

dan pendidikan sekuler sesuai dengan tuntutan sosio-kultural Jawa yang harus

MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta:Dunia Pustaka, 1987), h. 66

27 MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, h. 73-74

menghadapi tantangan pengaruh sistem pendidikan Barat, sebagai salah satu kompleksitas masyarakat. Modernisme Dahlan dalam mencanangkan suatu integrasi gagasan-gagasan dan lembaga-lembaga modern dengan dijiwai syariat Islam, telah mendorong mengalirnya gagasan Barat dalam pendidikan, sedang sebagian yang lain sebagai usaha mengalirkan nilai Islam kesistem pendidikan model Barat. Dualisme ini merupakan hal yang baru pada waktu menjelang berdirinya Muhammadiyah, dan pemikiran pola gagasan pendidikan Dahlan itu sangat menarik anggota Budi Utomo. Akhirnya dua orang anggota organisasi ini, Mas Radji dan Raden Sosrosoegondo, mendesak Dahlan agar secepatnya merealisasi cita-cita tersebut. Demikianlah maka pada tahun 1911 Dahlan di tempat kediamannya, Kauman mendirikan sekolah agama yang menggunakan metode pendidikan Barat yang menggunakan kursi, bangku dalam bentuk klasikal.

28 Perkumpulan Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada

tanggal 8 Zulhijah 1330 H. Atau 18 Nopember 1912 M. Berpusat di Yogyakarta. Maksud dan tujuannya ialah untuk menegakan dan menjunjung tinggi Agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Usaha untuk mencapai maksud dan tujuan itu ialah dengan:

a. Mengadakan dakwah Islam

b. Memajukan pendidikan dan pengajaran

c. Menghidup-suburkan masyarakat tolong menolong

d. Mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf

e. Mendidik dan mengasuh anak-anak dan pemuda-pemuda supaya kelak menjadi orang Islam yang berarti

f. Berusaha dengan segala kebijaksanaan, supaya kehendak dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat. (Anggaran Dasar Muhammadiyah Desember 1950).

MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, h. 114

Menurut keterangan tersebut, nyatalah bahwa Muhammadiyah mementingkan pendidikan dan pengajaran yang berdasarkan Islam, baik

pendidikan di sekolah/madrasah atau pendidikan dalam masyarakat. 29

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ke-2 h.268-269

BAB III BIOGRAFI K.H. HASYIM ASY’ARI DAN K.H. AHMAD DAHLAN

A. K.H.HASYIM ASY’ARI

1. Sejarah Ringkas K.H. Hasyim Asy’ari

K.H.Hasyim Asy‟ari nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim Asy‟ari ibn Abd al-Halim. Karena peran dan prestasi yang dicapainya ia

mempunyai banyak gelar, seperti pangeran Bona ibn Abd al-Rahman yang dikenal dengan Jaka Tingkir, Sultan Hadi Wijoyo ibn Abdullah ibn Abdul Aziz ibn Abd al-Fatih ibn Maulana Ishaq dari Raden Ain al-Yaqin yang disebut dengan

Sunan Giri. 1 Ia lahir di Desa Gedang, Jombang Jawa Timur, pada hari selasa kliwon, 24

Dzulqoidah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871, dan wafatpada tanggal 35 juli 1947 pukul 03.45 dini hari, bertepatan dengan tanggal 7 Ramadhan Tahun 1366 dalam usia 79 tahun.

2. Latar Belakang Pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari

Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu al-Quran dan literatur agama lainnya. Setelah itu Ia melanjutkan pendidikannya pada berbagai pondok pesantren khususnya pada Pulau Jawa, seperti Pondok Pesantren Shona, Siwalan Buduran, Langitan, Tuban, Demangan, Bangkalan, dan Sidoarjo. Selama pondok Pesantren Sidoarjo, Kiai Ya‟qub yang memimpin Pondok Pesantren tersebut melihat

1 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta:Raja Grapindo Persada 2005), h.113 1 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta:Raja Grapindo Persada 2005), h.113

Setelah melangsungkan pernikahannya itu, K.H.Hasyim Asy‟ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji ke tanah suci Makkah. Sekembalinya dari

Makkah, K .H.Ya‟qub selaku mertuanya menganjurkan kepada K.H.Hasyim Asy‟ari agar menuntut ilmu di Makkah. Hal ini terjadi karena didorong oleh

keadaan pada waktu itu yang melihat ketinggian reputasi keilmuan seseorang ditandai oleh pengalamannya menimba ilmu ditanah suci Makkah selama bertahun-tahun. Seorang ulama belum dianggap cukup ilmunya bila belum menuntut ilmu ditanah suci Makkah.

Di saat KH. Hasyim Asy‟ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap tujuh bulan di Makkah, isterinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Sungguhpun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk

menuntut ilmu. 2 Dalam per jalanannya menuntut ilmu di Makkah itu, Hasyim Asy‟ari

berjumpa dengan beberapa tokoh yang kemudian dijadikannya sebagai guru- gurunya di Mekkah yang terkenal adalah sebagai berikut:

a. Syeh Mahfuzh al-Tirmasi, putra Kiai Abdullah yang memimpinpesantren Tremas. Dikalangan para Kiai di Jawa, Syeh Mahfuzh lebih terkenal sebagai ahli hadits Bukhori. Dari gurunya ini,

Hasyim Asy‟ari mendapatkan ijazah untuk mengajar kitab Shahih Bukhori.

b. Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Syaikh Akhmad Khatib ini menantu Syaikh Shalih Kurdi, seorang hartawan yang mempunyai hubungan baik dengan pihak penguasa Mekkah

2 Suwendi, Konsep Kep endidikan KH. M Hasyim Asy’ari., (Jakarta: Lekdis, 2005), h. 16-17 2 Suwendi, Konsep Kep endidikan KH. M Hasyim Asy’ari., (Jakarta: Lekdis, 2005), h. 16-17

Di antara ilmu-il mu pengetahuan yang dipelajari oleh KH. Hasyim Asy‟ari selama di Mekkah adalah ilmu Fiqih dengan konsentrasi mazhab Syafi‟I dan ilmu

alat (nahwu, sharaf, mantiq, balaghah, dan lain-lain) Delapan tahun lamanya ia bermukim di tanah suci menuntut ilmu agama

dan bahasa Arab. Kemudian ia kembali ke Indonesia. Dadanya telah penuh dengan Ilmu Agama, sehingga ia menjadi seorang kiyai (ulama besar). Kemudian ia membuka pesantren untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya, yaitu:

Pesantren TebuIreng 3 di Jombang. Sebagai pemimpin pesantren, KH. Hasyim Asy‟âri melakukan

pengembangan institiusi pesantrennya, termasuk mengadakan pembaharuan sistem dan kurikulum belajar. Jika pada saat itu pesantren hanya mengembangkan sistem halaqah, maka KH. Hasyim Asy‟âri memperkenalkan sistem belajar madrasah dan memasukkan kurikulum pendidikan umum, di samping pendidikan keagamaan. Patut diketahui bahwa sistem madrasah dan memasukan kurikulum pendidikan umum di dalam pesantren ini merupakan sesuatu yang relatif baru dalam dunia pendidikan pesantren pada saat itu. Sedangkan perannya sebagai pemimpin informal, KH. Hasyim Asy‟âri memberikan bantuan pengobatan

kepada masyarakat yang membutuhkan, termasuk juga kepada keturunan Belanda. 4

3. Karya-karya K.H. Hasyim Asy’ari

a. Adab al-alim wa al-muta’alim fima yahtaj ilaihi al-muta’alim fi ahwal ta’alum wa ma yatawaqof alaih al-muallim fi maqomat ta’limih (akhlaq Guru dan Murid) 5

3 H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia., (Jakarta: Hidakarya Agung, 1979),cet ke-2 h. 234

4 Suwendi, Konsep Kependidikan KH. 5 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, (LKiS Yogyakarta, 2000), h. 41 M Hasyim Asy’ari, h. 29-30 4 Suwendi, Konsep Kependidikan KH. 5 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, (LKiS Yogyakarta, 2000), h. 41 M Hasyim Asy’ari, h. 29-30

c. Al-tambihat al-wajibat liman yashna al-maulid al-munkarat.

d. al-Risalat al-jami’at, sharh fiha ahwal al-mauta wa asyrath al-sa’at ma’ bayan mafhum al-sunah wa al-bid’ah.

e. Al-Nur al-mubin fi mahabbah sayyid al-mursalin, bain fihi ma’na al- mahabbah Lirosul Allah wa ma yata’allaq biha man ittiba’iha wa ihya al-sunnatih.

f. Hasyiyah ‘ala fath al-Rahman bi syarh risalatt al-wali Ruslan li syaikh al-isl;am Zakariya al-Anshori.

g. Al-Durr al-muntatsirah fi al-masail al-tis’I ‘asyrat, sharh fiha masalat al-thariqat wa al- wilayah wa ma yata’allaq bihima minal-umur al- muhimmah li-ahl al-thariqah.

h. al-Tibyan fi al-nahy ‘an muqati’ah al-ikhwan, bain fihahammiyat shilat al- rahim wa dharur qath’iha.

i. ar-risalat al-tauhidiyah, wahiya risalah shaghirah fi bayan aqidah ahl al-sunnah wa al- jama’ah. al-qolaid fi bayan ma yajib min al-‘aqaid.

4. Kontribusi pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari terhadap masyarakat

Banyak aktivitas yang dilakukan Hasyim Asy‟ari dalam hubungannya dengan pendidikan Islam. Aktivitas Hasyim Asy‟ari tersebut antara lain:

a. Mengajar Mengajar merupakan profesi yang ditekuni Hasyim Asy‟ari dari sejak kecil. Sejak masih di pondok pesantren ia sering dipercaya oleh gurunya menngajar santri-santri yang baru masuk. Bahkan, ketika di Makkah ia membantu ayahnya mengajar dipondok ayahnya, Pondok Nggedang.

b. Mendirikan Pondok Pesantren Kehidupan Kiai Hasyim Asy‟ari banyak tersita untuk membina santri- santrinya itu. Biasanya ia mengajar sejam sebelum dan sejam setelah shalat lima waktu. Ia terbiasa mengajar sampai larut malam. Pada bulan Ramadhan ia b. Mendirikan Pondok Pesantren Kehidupan Kiai Hasyim Asy‟ari banyak tersita untuk membina santri- santrinya itu. Biasanya ia mengajar sejam sebelum dan sejam setelah shalat lima waktu. Ia terbiasa mengajar sampai larut malam. Pada bulan Ramadhan ia

Seluruh waktunya untuk aktivitasnya agama dan ilmu.

c. Mendirikan Organisasi Untuk berjuang untuk mewujudkan cita-citanya termasuk dalam bidang pendidikan, diperlukan adanya wadah berupa organisasi. Untuk tujuan tersebut, maka pada tahun 1926 ia bersama dengan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan sejumlah ulama lainnya di Jawa Timur mendirikan Jamaah Nahdlatul Ulama (NU). Sejak awal berdirinya Hasym Asy‟ari dipercaya memimpin organisasi itu sebagai Rois Akbar. Jabatan ini di pegangnya beberapa periode kepengurusan.

Pada tahun 1930, dalam muktamar NU ke- 3 Kiai Hasyim Asy‟ari menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal dengan qonun asasi (Undang-undang dasar Jamiah NU). Intisari dari qonun asasi itu mencakup: (1) Latar belakang berdirinya Jamiah NU, (2) hakikat dan jati diri NU, (3)potensi umat yang diharapkan akan menjadi pendukung NU, (4) perlunya ulama bersatu (ijtihad), saling mengenal (ta‟aruf), rukun bersatu (ittihad), dan saling mengasihi satu sama lain (ta‟aluf)

didalam satu wadah yang dinamakan NU, dan (5) keharusan warga NU bertaqlid pada salah satu madzhab yang empat. 6

B. K.H. AHMAD DAHLAN

1. Sejarah Ringkas K.H. Ahmad Dahlan

K.H. Ahmad Dahlan lahir dikampung kauman, Yogyakarta, pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya adalah K.H. Abu Bakar, seorang khatib Masjid besar kesultanan Yogyakarta. Ibunya bernama siti Aminah,

putri K.H. Ibrahim, penghulu kesultanan Yogyakarta. 7 Silsilah keturunannya adalah sebagai berikut: Muhammad Darwis putra H.

Abu Bakar, putra K.H. Muhammad Sulaiman, putra Kyai Murtadla, putra Kyai Ilyas, putra Demang Jurang Juru Kapindo, putra Demang Jurang Juru Sapisan,

6 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 121-123. 7 H. Suja, Muhammadiyah dan Pendirinyaa, cet. Ke-2, h. 6.

putra Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribik, putra Maulana Fadlullah, putra Maulana Ainul Yaqin , putra Maulana Ishaq dan putra Maulana Ibrahim.

Dengan terdapatnya nama Maulana Ibrahim dalam garis keturunan Muhammad Darwis, dapat dikatakan bahwa Darwis lahir dalam suatu lingkungan keislaman yang kukuh, mengingat peranan Maulana Ibrahim sebagai salah satu Wali Sanga, sangat besar dalam Islamisasi di pulau Jawa.

Kampung Kauman sebagai tempat kelahiran dan tempat Muhammad Darwis dibesarkan dengan demikian merupakan lingkungan keagamaan yang sangat kuat, yang berpengaruh besar terhadap perjalanan hidup Muhammad Darwis di kemudian hari. Kauman kemudian secara popular menjadi nama dari setiap daerah yang berdekatan letaknya dengan Masjid.

Kauman berasal dari kata bahasa Arab qoum. Istilah ini mengandung makna “pejabat keagamaan” atau abdi dalem santri. Kampong tempat masjid itu

diberi nama kauman karena daerah itu merupakan para abdi dalem santri dan ulama yang bertugas memelihara Masjid itu. 8

Kauman berkembang bersama fungsinya masjid Agung kesultanan Yogyakarta. Secara operasional fungsi masjid dikelola oleh para ulama yang diberi wewenang sultan untuk memeliharanya dan untuk mudahnya melaksanakan tugas mereka maka dibangunlah tempat tinggal disekitar masjid. Karena para ulama tersebut merupakan keluarga pertama yang bermukim di kauman. Hubungan pertalian dan keluarga antar para ulama semakin erat karena perkawinan diantara anak-anak mereka, mereka itu saling berbesan, sehingga penghuni kauman terus berkembang bersama berkembangnya pertalian keluarga. Di kampung kauman sendiri terdapat suatu usaha pengrajin batik yang sangat maju. Akibat dari majunya usaha batik, maka daerah itu menjadi sangat makmur, sehingga kampong kauman merupakan daerah padat penduduk yang makmur.

Akibat dari pembentukan kehidupan sosial daerah kauman, serta kemakmuran ekonomi dan ketinggian martabat karena jabatan, maka kauman berkembang sebagai suatu perkampungan yang tertutup dari luar dengan batas-

8 Weinata Sairin Mth., Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, (Jakarta, P;ustaka Sinar Harapan, 1995), Cet. Ke-1, h. 38.

batastata nilai yang khusus yaitu ketaatan yang tinggi terhadap keyakinan beragama, dan secara fisik daerah tersebut dibatasi oleh pagar-pagar tembok atau bangunan permanen yang yang memisahkannya dengan daerah luar.

Muhammad Darwis dibesarkan dalam lingkungan masyarakat kauman, karena itu ia sangat dipengaruhi oleh tradisi social daerah tersebut. Pengaruh itu Nampak dari kebiasan-kebiasannya yang ulet dalam memperdalam pengetahuan keagamaan sejak mulanya. Hal ini dimulai dari pendidikan yang ditempuh serta anggapan yang melatarbelakangi pendidikan tersebut.

Di masyarakat kauman khususnya ada pendapat umum bahwa barang siapa yang memasuki sekolah gubernur dianggap kafir atau Kristen. Anggapan ini sesungguhnya bukan hanya dilandasi oleh pola fikir apriori yan menggambarkan kebencian terhadap penjajah melainkan pula dilandasi oleh kesadaran bahwa penjajah Belanda adalah musuh umat Islam daerah kesultanan Yogyakarta. Karena tu, maka dapat dipahami bahwa prasangka terhadap model-model kehidupan yang berkaitan dengan system kehidupan penjajah dianggap sebagai suatu sikap kompromi dengan bagian dari identitas penjajah, termasuk dalam

system pendidikan. 9 Oleh karena itu, ketika menginjak usia sekolah, Muhammad Darwis tidak disekolahkan melainkan diasuh dan dididik mengaji Al- Qur‟an dan

dasar-dasar ilmu Agama Islam oleh Ayahnya sendiri di rumah. Pada usia delapan tahun ia telah lancer membaca Al- Qur‟an hingga khatam.

2. Latar belakang pendidikan K.H. Ahmad Dahlan

Muhammad Darwis dalam mengecap pendidikan tidak secara formal, bahkan Muhammad Darwis tidak menuntut ilmu dalam system pendidikan colonial namun tidak berarti Darwis tidak menuntut pengetahuan. Sebagai alternative, oleh ayahnya ia dididik sendiri melalui cara pengajian, yaitu pendidikan dasar keagamaan yang diberikan secara individual dengan menirukan kalimat-kalimat atau bacaan yang diajarkan oleh ayahnya.

Pada abad ke-19 memang berkembang suatu tradisi mengirim anak kepada guru untuk menuntut ilmu. Pada masa itu menurut Steenbrink ada lima kategori

9 MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta:Dunia Pustaka, 1987), h. 77.

guru: guru ngaji Al- Qur‟an, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu gaib dan guru yang tidak menetap disuatu tempat. 10 Dari kelima kategori tersebut Darwis belajar

Al- Qur‟an kepada ayahnya sendiri, sedang ia mengaji kitab kepada guru yang lain seperti ia belajar fiqih (hukum Islam) kepada K.H. Muhammad Shaleh, dan Nahwu (sintaksis bahasa Arab) kepada K.H. Muhsin. Keduanya adalah kakak Ipar Muhammad Darwis sendiri. Ia juga berguru kepada K.H. Muhammad Nur, dan K.H. Abdul Hamid dalam berbagai ilmu.

Dengan mempelajari ilmu-ilmu tersebut maka Darwis telah memasuki suatu system pendidikan Islam tradisional yang berlangsung pada zaman itu, dan dengan demikian maka dasar-dasr pemikiran keilmuan yang sesuai dengan system pengetahuan tersebut telah dikuasai.

Pada tahun 1889 M, ia dikawinkan dengan siti Walidah, putri dari K.H. Muhammad Fadil, kepala penghulu kesultanan Yogyakarta. Jadi siti Walidah itu

masih sepupu Muhammad Darwis. 11 Dari pernikahannya ini Muhammad Darwis memperoleh empat orang putra dan dua orang putri. Walaupun Muhammad

Darwis pernah menikah dengan empat wanita lainnya yaitu Nyai Abdullah, Nyai Rum, Nyai Aisiyah, dan Nyai Solihah, namun pernikahannya dengan siti Walidah inilah yang paling lama, bahkan siti Walidah menjadi pendamping Muhammad Darwis hingga wafat

Beberapa bulan setelah pernikahannya, atas anjuran ayah bundanya, Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji. Ia tiba di Makkah pada bulan Rajab 1308 H / 1890 M. setelah menunaikan umrah ia bersilaturahmi dengan para ulama Indonesia maupun Arab yang telah dipesankan ayahnya. Ia juga rajin belajar menambah ilmu, antara lain kepada K.H. Mahfudz Termas, K.H. Nahrowi Banyumas, K.H. Muhammad Nawawi Banten, dan juga kepada para ulama Arab

di Masjidil Haram. Ia juga mendatangi ulama mazhab Syafi‟I Bakri Syata‟, dan mendapat ijazah dengan nama Ahmad Dahlan. Setelah musim haji selesai ia pulang, dan tiba di Yogyakarta pada minggu pertama bulan Sapar 1309 H / 1891 M. selain berganti nama ia juga mendapat tambahan ilmu. Muhammad Darwis

10 MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, h. 78. 11 Yunus Salam, Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya, (Jakarta,

Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1968), h. 5.

lalu membantu ayahnya mengajar santri-santri remaja. Akhirnya juga dipercaya mengajar para santri dewasa maupun tua, dan kemudian mendapat sebutan

sebagai K.H. Ahmad Dahlan. 12 Ahmad Dahlan pada masa itu disebut sebagai kyai sekaligus sebagai

ulama. Yaitu orang yang saleh dan menekuni serta memiliki wawasan keilmuan tentang agama Islam. Istilah tersebut searti dengan istilah intelektual. Karena ilmu yang berkaitan dengan agama Islam sangat luas, maka biasanya para kyai mempunyai kesenangan atau mempunyai minat untuk mendalami salah satu dari beberapa cabang ilmu. Tatkala bermukim di Makkah, Dahlan tertarik untuk mendalami ilmu falaq. Itulah sebabnya masyarakat mengenal Dahlan sebagai ulama falaq.

Pada tahun 1896 M, K.H. Abu Bakar wafat. Jabatan khotib Masjid besar oleh kesultanan Yogyakarta lalu dilimpahkan kepada K.H. Ahmad Dahlan dengan gelar Khatib Amin, yang diberi tugas:

a. Khutbah Jum‟at saling berganti dengan kawannya delapan orang khatib.

b. Piket diserambi masjid dengan kawannya enam orang sekali dalam seminggu.

c. Menjadi dewan Agama Islam Kraton. Semua tugas yang dilimpahkan kepadanya dijalankan dengan baik. Pada

Dokumen yang terkait

ANALISIS DANA PIHAK KETIGA PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA PERIODE TRIWULAN I 2002 – TRIWULAN IV 2007

40 502 17

KAJIAN MUTU FISIK TEPUNG WORTEL (Daucus carota L.) HASIL PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN

17 218 83

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN FISIKA KONSEP KELISTRIKAN BERBASIS VIDEO LIVE

8 69 67

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

6 77 70

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

11 75 34

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING(PBL) DAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION (GI)

6 62 67

UPAYA PENINGKATAN PROSES DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENGGUNAAN ALAT PERAGA PADA MATA PELAJARAN IPA DI KELAS IV (EMPAT) SDN 3 TEGALSARI KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN PELAJARAN 2011/2012

23 110 52

PENGARUH KEMAMPUAN AWAL MATEMATIKADAN MOTIFBERPRESTASI TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

8 74 14

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62