PENGALAMAN DAN KOPING KESEPIAN PADA LANS

PENGALAMAN DAN KOPING KESEPIAN PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WREDA HANNA YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Debora Ratri Widaningtyas

NIM: 08 9114 055

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2013

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka” (Pengkhotbah 3:11)

WHAT EVER YOU ARE, BE A GOOD ONE -Abraham Lincoln-

Bebas seperti burung dan indah seperti pelangi, karena hidup adalah kepunyaanmu URIP SEJATINE GAWE URUP

Karya penuh warna ini aku persembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus yang begitu baik My best mother, Ether Sri Wahyuni My beloved sister, Yohana Dyah Purbosari dan diriku

PENGALAMAN KESEPIAN DAN KOPING PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WREDA HANNA YOGYAKARTA

Debora Ratri Widaningtyas ABSTRAK

Kebanyakan lansia memilih sendiri dimana mereka tinggal. Banyak lansia yang memilih untuk tinggal sendiri karena anak-anak mereka sudah menikah dan membentuk keluarga. Hal ini menjadi salah satu penyebab lansia rentan terhadap kesepian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran proses kesepian yang dialami lansia yang tinggal di panti wreda. Pertanyaan penelitian adalah bagaimana proses kesepian dialami lansia yang tinggal di panti wreda, apa penyebab dan akibat dari kesepian dan bagaimana lansia mengatasi kesepian yang mereka alami. Subjek dalam penelitian ini adalah lansia perempuan yang tinggal di panti wreda bejumlah dua orang. Data penelitian diambil dengan cara wawancara semi-terstruktur. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan metode analisis fenomenologi deskriptif. Kredibilitas diperoleh dengan cara member checking, yaitu dengan mencocokkan kembali data hasil analisis pada subjek untuk mencapai kesesuaian data hasil analisis dengan pengalaman nyata dari subjek. Hasil penelitian menggambarkan bahwa kesepian yang dialami berawal dari kehilangan pekerjaan selanjutnya kesepian dialami sebagai kehilangan orang-orang yang disayangi. Selain itu, kesepian dialami sebagai ketidakberdayaan karena penurunan fisik, kesepian merupakan efek dari hidup yang jauh dari keluarga dan kesepian dialami karena tidak adanya teman yang memahami. Lansia mengatasi kesepian yang dialami dengan cara berdoa untuk meregulasi emosinya, berbagi dengan teman di panti, menerima dan bersyukur atas keadaan mereka saat ini.

Kata Kunci: pengalaman kesepian, lansia, koping, panti wreda

LONELINESS EXPERIENCE AND COPING OF THE ELDERLY IN HANNA NURSING HOME YOGYAKARTA

Debora Ratri Widaningtyas ABSTRACT

Most elderly chose their own place where they lived. Many elderly who chose to live alone because their children are married and already started their own family. This was one of the reason that the elderly are prone to loneliness. This study aimed to describe the loneliness which experienced by elderly who lived in a nursing home. The research question was how the loneliness were experienced by elderly who lived in a nursing home; what were the causes and consequences of loneliness and how the elderly coped with loneliness that they experienced. Subjects in this study were two elderly women living in nursing home. The research data were collected by semi- structured interviews. This study used qualitative research methods with descriptive phenomenological analysis. Credibility was obtained by the use of member checking, which involved matching the result from data analysis on each subject. The results suggested that: firstly, loneliness experienced in the form of job losses. Eventually, the loss of loved ones also experienced as loneliness. In addition, loneliness also experienced as a helplessness regarding physical limitation, living far away from family and the absence of an understanding friend. The elderly overcame loneliness by praying to regulate their emotions, sharing with friends in nursing home, receiving and be thankful for their current condition.

Keywords: loneliness experience, elderly, coping, nursing home

KATA PENGANTAR

Terimakasih yang tak terhingga kepada Tuhan yang menciptakan dan mengijinkan peneliti untuk menikmati kehidupan sampai saat ini, terlebih untuk menyelesaikan karya yang berjudul “Pengalaman dan Koping Kesepian pada Lansia yang Tinggal di Panti Wreda Hanna Yogyakarta”.

Karya ini ditulis karena kepedulian peneliti pada lansia yang tinggal sendiri tanpa anak. Peneliti ingin mengetahui bagaimana lansia bejuang untuk bertahan hidup dalam kesendirian.

Peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini berkat dukungan dan bantuan dari orang lain. Oleh karena itu, dengan segenap hati peneliti mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan dosen pembimbing akademik. Terimakasih untuk setiap kesempatan dan bimbingan selama peneliti studi.

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Psi., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

3. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S., selaku dosen pembimbing skripsi. Terimakasih untuk setiap bimbingan, kesabaran, kasih, kebaikan dan keibuan yang peneliti rasakan. I love u like I love my mom.. makasih ibu..

4. Sylvia Carolina M.Y.M, S.Psi, M.Si. dan Dr. Tjipto Susana selaku dosen penguji skripsi yang dengan sedia memberikan kesempatan 4. Sylvia Carolina M.Y.M, S.Psi, M.Si. dan Dr. Tjipto Susana selaku dosen penguji skripsi yang dengan sedia memberikan kesempatan

5. Segenap dosen dan karyawan fakultas Psikologi yang telah memberikan kesempatan dan bantuan selama proses kuliah. Terutama untuk bu Agnes, Bu Susan, dan Mbak Etta terimakasih untuk kedekatan yang terbangun dan kesempatan berbagi tentang kehidupan. Pak Didik, terimakasih sudah membuat peneliti terkagum. Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Muji dan Mas Doni, terimakasih untuk setiap bantuan dan keceriaan selama ini, inilah yang membuat peneliti bangga berkuliah di Psikologi Universitas Sanata Dharma.

6. Kedua subjek yang telah bersedia bercerita tentang kehidupannya di panti wreda. Terimakasih atas pengalaman hidup yang subjek berikan, peneliti belajar banyak dari kedua subjek.

7. My best mother, Esther Sri Wahyuni (alm), karya ini buat mama..walaupun mama tidak dapat melihat secara langsung, tapi aku yakin mama bahagia melihat dari sana, anak ragilmu sudah besar ma...

I miss u so much... dan kau tak akan pernah tergantikan..

8. My beloved sister, Yohana Dyah Purbosari yang sudah menjadi teman hidup selama kurang lebih 12 tahun tanpa mama dan papa. Terimakasih sudah banting tulang untuk hidup bersama, karya ini juga untukmu. Mbak Iwuk, mas Mercy, mas Indy, Tasya, Mikha, terimakasih sudah menjadi the amazing family...

9. My beloved uncle, Bambang Iswantoro yang sudah membiayai peneliti selama studi. Terimakasih om, om sudah menjadi perpanjangan tangan Tuhan.

10. My amazing Remponk Inem, Valle, Devi, Krinyol, Anggito, Beni, Dita, Sari, Hesti, Plenthonk, Anggita, Cik Grace, Valent, Nina, Riana, Vivi, Fla. Terimakasih untuk warna-warni kalian selama ini.

11. Laksita Sepastika Pinaremas yang sudah menjadi teman seperjuangan sampai titik darah penghabisan. Tengs ta, untuk kebersamaan kita, kegilaan kita tentang kualitatif ini, tidak akan terlupakan lah..

12. Yohanes Dedeo Yustiananta yang sudah membuat Septemberku sempurna.. thank you for loving me... terimakasih atas warna dominanmu dalam pelangiku...

13. My besties, Gendut dan Okonk, terimakasih untuk canda dan tawanya.

14. Teman-teman AKSI 2012 (Indro, Popo, Ucil, Rimpi, Widek, Yuti, Wina, Bayu, Gandrink, Dion dll) terimakasih untuk setiap ilmu dalam tawa kita. Teman-teman staff PPKM 2012 dan teman-teman ADT terimakasih untuk setiap pengalaman bersama kalian.

15. Teman-teman satu bimbingan, Sita, Puput, Mila, dan Dita. Terimaksih untuk kebersamaan dan kegalauan dikala menunggu ibu untuk bimbingan. Waktu bersama kalian ga terlupakan deh…

16. Abang-abangku tercinta, bang Topik, pace Timo, mas Hanes, mas Taman... tengkiu bro untuk perhatiannya selama ini dikala galau..

17. Romo Elias, Romo Kun yang sudah membimbing peneliti untuk memantapkan langkah penting dalam hidup peneliti.

18. Mas Jaya, yang sudah mengadakan ujian pendadaran bagi peneliti sebelum peneliti menghadapi ujian pendadaran yang sesungguhnya. Terimakasih sudah diajari ngeles, kalo ga ada kamu tau deh mas gimana aku pas ujian..hehe..

19. Heimbach... Tengs untuk abstract-nya heims.. hihihi...

20. Keluarga besar TN yang sudah menjadi penghibur bagi peneliti, hehe..

21. Semua teman-teman angkatan 2008 dan semua pihak yang sudah membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Yogyakarta, 7 November 2012 Debora Ratri Widaningtyas

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Penelitian Pengalaman dan Koping Kesepian pada Lansia yang Tinggal di Panti Wreda Hanna Yogyakarta ..

28 Gambar 2 Skema Alur Tema Subjek 1 : A ................................................

90 Gambar 3 Skema Alur Tema Subjek 2 : B ................................................

91

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kebanyakan lansia memilih sendiri dimana mereka harus tinggal. Ada lansia yang tinggal bersama keluarga, ada yang memilih untuk tinggal sendiri dan ada juga yang memilih untuk tinggal di panti jompo atau panti wreda. Namun, sebagian besar lansia tinggal bersama keluarga mereka (Santrock, 1995/2002). Lansia yang memilih untuk tinggal sendiri atau di panti wreda mayoritas adalah lansia yang ditinggal oleh pasangannya. Lansia yang memilih sendiri untuk tinggal di panti wreda beralasan bahwa mereka dapat melakukan aktivitas dan mengurus dirinya sendiri serta lebih merasa tenang tanpa merepotkan anak-anaknya. Namun ada juga lansia yang menerima atau terpaksa tinggal di panti wreda karena dititipkan oleh anak atau keluarganya karena kesibukan anak dan keluarga sehingga mereka tidak ada waktu untuk merawat lansia. Keluarga atau anak yang menitipkan lansia ke panti wreda, seringkali beralasan bahwa mereka ingin orangtua mereka (lansia) mendapatkan perawatan yang sesuai dengan penurunan-penurunan yang dialami lansia. Menurut mereka, panti wreda lebih mengerti tentang merawat lansia dibanding diri mereka (Nurbyantandaru, 2007).

Tidak mudah bagi para lansia untuk tinggal di panti wreda walaupun mereka memutuskan sendiri untuk tinggal di panti wreda. Para

lansia yang tinggal di panti wreda akan mengalami kesulitan untuk meninggalkan rumah dan benda-benda kesayangannnya bahkan hewan peliharaannya dan tinggal bersama orang-orang baru yang ada di panti. Mereka harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang ada di panti. Selain itu, mereka juga merasakan jauh dari keluarga yang biasa ditemuinya setiap hari. Mereka juga harus mematuhi segala peraturan yang ada di panti dan mentaati apa yang dikatakan oleh perawat mereka. Hal inilah yang menimbulkan kesepian bagi lansia (Fakhrurrozi, 2008). Di lain pihak, masyarakat sering membentuk stereotip-stereotip bahwa penyedia layanan perawatan bagi lansia memiliki sikap-sikap negatif pada lansia seperti menjauhi, rasa tidak suka, dan bersungut-sungut dibandingkan sikap positif dan penuh harapan (Santrock, 1995/2002). Hal ini yang sering menjadi sumber masalah bagi para lansia yang tinggal di panti wreda. Selain itu, pihak pengelola panti wreda seringkali mengeluhkan bahwa kunjungan keluarga bagi para lansia yang telah dititipkan di panti wreda dinilai jarang. Padahal kunjungan sangat dibutuhkan oleh para lansia sebagai bentuk dukungan atau perhatian supaya lansia tidak merasa diasingkan (Nurbyantandaru, 2007).

Menurut wawancara singkat yang sudah dilakukan oleh peneliti (D & C, wawancara, 6 Oktober, 2011) pada dua lansia di panti wreda Hanna Yogyakarta, mereka mengemukakan bahwa terkadang perawat tidak memperhatikan mereka. Mereka merasa bosan tinggal di panti karena kegiatan yang mereka lakukan hanya rutinitas saja dan monoton. Mereka

bangun pagi lalu mandi, membaca koran, lalu ada ibadah sebentar, dan sarapan. Setelah itu, mereka memiliki jam bebas, mereka dapat melakukan apa saja yang mereka suka. Keluarga dapat menjenguk di jam bebas ini. Para lansia yang tidak dijenguk oleh keluarga, mereka hanya duduk dan menonton TV atau hanya sekedar berbincang bersama teman-teman lansia. Kegiatan di siang hari hanya makan siang dan istirahat. Setelah itu mandi sore dan jam bebas lagi, lalu makan malam dan istirahat kembali. Mereka mengaku bahwa mereka sering merasa bosan karena tidak ada hal baru yang dapat mereka lakukan. Mereka juga mengaku bahwa mereka sering merasa kesepian karena jauh dari keluarga mereka, pasangan mereka juga sudah tiada dan bosan dengan kehidupan di panti. Tidak ada orang selain suster atau perawat yang dapat mereka temui hanya untuk sekedar bercerita. Mereka merasa sudah menjadi orang yang sangat tua dan tidak berguna karena mereka tidak produktif, dalam hal ini mereka sudah tidak dapat melakukan apa yang dulu dapat mereka lakukan.

Menurut Hurlock (1980/1997), pria dan wanita yang berusia 60 tahun ke atas yang biasanya disebut lansia adalah orang-orang yang berisiko untuk mengalami kesepian. Hal ini dipengaruhi oleh penurunan fisik yang tidak dapat dihindari oleh lansia karena usia yang semakin tua. Penurunan fisik ini mempengaruhi mobilitas bagi para lansia. Mereka menjadi tidak seaktif seperti saat mereka masih muda. Oleh karena mobilitas lansia menurun maka berdampak pada kontak sosial yang Menurut Hurlock (1980/1997), pria dan wanita yang berusia 60 tahun ke atas yang biasanya disebut lansia adalah orang-orang yang berisiko untuk mengalami kesepian. Hal ini dipengaruhi oleh penurunan fisik yang tidak dapat dihindari oleh lansia karena usia yang semakin tua. Penurunan fisik ini mempengaruhi mobilitas bagi para lansia. Mereka menjadi tidak seaktif seperti saat mereka masih muda. Oleh karena mobilitas lansia menurun maka berdampak pada kontak sosial yang

Pada penelitian sebelumnya, berbagai alasan yang dikemukakan oleh lansia tentang kesepian yang mereka alami adalah karena ditinggal mati oleh pasangannya dalam waktu yang sudah cukup lama, anak-anak mereka yang sudah menikah dan hidup terpisah dengan mereka untuk membangun kehidupan yang baru. Ada juga lansia yang memang tidak memiliki keturunan dan sanak saudara yang dekat dengan tempat tinggal lansia itu sendiri. Alasan-alasan tersebut membawa lansia pada perasaan tertekan karena mereka merasa hidupnya seorang diri (Lestari & Fakhrurrozi, 2008).

Menurut Cacioppo, dkk. (2006), pada penelitian yang dilakukan pada berbagai daerah dengan analisis jangka panjang di Amerika, hasilnya menyatakan bahwa kesepian merupakan faktor resiko spesifik bagi simptom-simptom depresi. Kesepian dialami lansia karena keadaan fisik, penghasilan (status ekonomi), status pernikahan dan dukungan sosial yang berubah dan mengalami penurunan. Perubahan-perubahan tersebut meningkatkan faktor resiko terhadap munculnya simptom depresi.

Lansia yang mengalami kesepian dan tidak memiliki teman memiliki negativitas personal yaitu kecendurungan umum untuk menjadi tidak bahagia dan tidak puas dengan dirinya sendiri. Negativitas personal mendorong timbulnya belief bahwa orang lain mempersepsikan orang tersebut secara negatif, seperti halnya self-perception yang ia miliki dan Lansia yang mengalami kesepian dan tidak memiliki teman memiliki negativitas personal yaitu kecendurungan umum untuk menjadi tidak bahagia dan tidak puas dengan dirinya sendiri. Negativitas personal mendorong timbulnya belief bahwa orang lain mempersepsikan orang tersebut secara negatif, seperti halnya self-perception yang ia miliki dan

Seseorang yang menyatakan dirinya kesepian cenderung menilai dirinya sebagai orang yang tidak berharga, tidak diperhatikan dan dicintai. Rasa kesepian akan semakin dirasakan oleh usia lanjut ketika yang bersangkutan sebelumnya adalah seseorang yang aktif dalam berbagai kegiatan yang menghadirkan atau berhubungan dengan orang banyak. Hilangnya perhatian dan dukungan dari lingkungan sosial yang terkait dengan hilangnya kedudukan atau perannya dapat menimbulkan konflik atau keguncangan. Berikut adalah beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh kesepian pada lansia yaitu perasaan ketidakberdayaan, kurang percaya diri, ketergantungan, keterlantaran terutama bagi usia lanjut miskin, post power syndrome, perasaan tersiksa, perasaan kehilangan, mati rasa dan sebagainya (Partini, 2011).

Kesepian yang dialami lansia membawa lansia pada perasaan- perasaan yang negatif. Perasaan-perasaan negatif tersebut mengganggu lansia dalam menjalani tugas perkembangannya yaitu mengatasi penurunan fisik dengan baik dan menyadari kematian dengan tentram (Santrock, 1995/2002). Lansia yang mengalami kesepian tidak dapat menjalani tugas perkembangannya dengan baik karena mereka memiliki perasaan tidak berdaya, tidak percaya diri, tertekan dan sebagainya. Perasaan negatif menghalangi lansia untuk mengatasi penurunan fisik Kesepian yang dialami lansia membawa lansia pada perasaan- perasaan yang negatif. Perasaan-perasaan negatif tersebut mengganggu lansia dalam menjalani tugas perkembangannya yaitu mengatasi penurunan fisik dengan baik dan menyadari kematian dengan tentram (Santrock, 1995/2002). Lansia yang mengalami kesepian tidak dapat menjalani tugas perkembangannya dengan baik karena mereka memiliki perasaan tidak berdaya, tidak percaya diri, tertekan dan sebagainya. Perasaan negatif menghalangi lansia untuk mengatasi penurunan fisik

Selain menghalangi lansia menjalani tugas perkembangan, kesepian juga menghambat lansia dalam prosesnya mengalami penuaan sukses. Santrock (1995/2002), mengungkapkan bahwa proses penuaan yang berhasil (successfull aging) terkait dengan 3 faktor, yaitu seleksi, optimisasi, dan kompensasi. Seleksi menyatakan bahwa lansia mengalami penurunan kapasitas dan hilangnya fungsi-fungsi tertentu yang mengarah pada penurunan kemampuan. Optimisasi menyatakan bahwa lansia memiliki kemungkinan untuk mempertahankan kemampuan dengan cara latihan dan penggunaan teknologi baru. Kompensasi menjadi relevan ketika tugas kehidupan membutuhkan kapasitas yang lebih tinggi saat ini dari kemampuan lansia yang potensial. Lansia perlu berkompensasi dalam situasi yang menuntut kemampuan fisik dan mental yang tinggi seperti berpikir tentang dan mengingat sesuatu yang baru dengan cepat. Menderita sakit dan kehilangan membuat kebutuhan akan kompensasi menjadi nyata. Kesepian yang membawa perasaan negatif menghambat lansia untuk mencapai penuaan yang berhasil. Sebagai contoh, lansia yang memilki perasaan tidak berdaya kurang mampu melakukan kompensasi yang menuntut kemampuan fisik dan mental yang tinggi.

Para lansia perlu melakukan sesuatu untuk mengatasi kesepian yang dialaminya supaya lansia dapat menjalani tugas perkembangan dengan baik dan berusaha untuk mencapai penuaan yang berhasil. Apa

yang dilakukan lansia untuk mengatasi kesepian yang dialaminya bisa disebut sebagai koping. Koping adalah suatu cara untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan, luka, kehilangan, atau ancaman serta bagaimana seseorang bereaksi ketika menghadapi stress atau tekanan (Siswanto, 2007). Koping yang biasa digunakan lansia untuk mengatasi keadaan yang membuat mereka stres karena penurunan fisik yang berdampak pada psikologis mereka adalah konfrontasi, dukungan sosial, penyelesaian masalah, kontrol diri, penanggulangan peristiwa, penilaian yang positif, menerima tanggung jawab, dan pengingkaran. Koping yang mereka gunakan lebih berfokus pada status emosional (Astuti & Poppy, 2002).

Lansia dapat berusaha untuk menyesuaikan diri dengan melakukan berbagai kegiatan sosial secara aktif, di samping kegiatan keagamaan atau bisa juga masuk dalam organisasi usia lanjut karena saat ini ada beberapa organisasi tersebut seperti PWRI (Persatuan Wredatama Republik Indonesia) dan Wulan (Warga Usia Lanjut). Lansia dapat mengalihkan rasa kesepiannya tersebut dengan berbagai aktivitas yang dilakukan bersama lansia lain seperti mengikuti kegiatan keagamaan atau organisasi lansia (Handayani, 2007).

Masalah kesepian pada lansia dan berbagai dampak negatifnya membuat peneliti tertarik untuk mengetahui tentang gambaran proses dan dinamika psikologis yang dialami lansia yang tinggal di panti wreda mengenai kesepian dan bagaimana lansia mengatasi kesepiannya tersebut.

Penelitian-penelitian sebelumnya belum mengungkap bagaimana dinamika psikologis dari pengalaman proses kesepian dan kopingnya pada lansia. Sebagian besar penelitian yang dilakukan sebelumnya hanya mengungkap tentang sebab dan akibat kesepian dengan menggunakan metode kuantitatif. Penelitian sebelumnya tidak menggambarkan pengalaman kesepian secara personal sehingga kurang mampu membantu lansia dengan penanganan khusus sesuai pengalamannya tersebut. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Moore dan Schultz (dalam Crandall, 1989) tentang peran tanggung jawab dan kontrol terhadap kesepian yang dialami lansia dengan metode kuantitatif. Hasil penelitiannya adalah lansia yang dapat mengontrol kesepiannya dengan baik akan lebih mampu mengatasi kesepiannya tersebut. Penelitian ini tidak mengungkap bagaimana dinamika lansia mengontrol kesepian mereka sehingga tidak dapat memberikan saran bagaimana mengatasi kesepian tersebut secara personal pada subjek, keluarga maupun panti wreda.

Penelitian ini menggambarkan bagaimana dinamika psikologis lansia yang mengalami kesepian dan bagaimana cara mengatasinya. Gambaran dinamika psikologis mengenai proses kesepian dapat membantu lansia untuk menyadari pengalaman kesepian mereka sehingga mereka dapat mengatasi kesepian dengan lebih sadar. Selain itu, peneliti dapat memberi saran bagi pengurus panti untuk memberikan penanganan khusus bagi lansia yang mengalami kesepian sesuai dengan pengalaman Penelitian ini menggambarkan bagaimana dinamika psikologis lansia yang mengalami kesepian dan bagaimana cara mengatasinya. Gambaran dinamika psikologis mengenai proses kesepian dapat membantu lansia untuk menyadari pengalaman kesepian mereka sehingga mereka dapat mengatasi kesepian dengan lebih sadar. Selain itu, peneliti dapat memberi saran bagi pengurus panti untuk memberikan penanganan khusus bagi lansia yang mengalami kesepian sesuai dengan pengalaman

Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai dinamika psikologis pada proses pengalaman kesepian yang dialami lansia yang tinggal di panti wreda. Dengan mengetahui dinamika psikologis, diharapkan peneliti dapat membantu lansia untuk lebih menyadari tentang kesepian yang dialami dan bagaimana cara mengatasinya sehingga mereka dapat mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan kesepian. Hal ini diharapkan supaya lansia dapat menjalani tugas perkembangan dan mengalami penuaan yang berhasil. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu pengelola panti wreda dan keluarga yang menitipkan lansia di panti wreda supaya mereka memperhatikan para lansia yang tinggal di panti wreda dengan segala kebutuhan dan masalah lansia.

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana gambaran kesepian yang dialami lansia yang tinggal di panti wreda dan bagaimana lansia mengatasi kesepiannya tersebut?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses kesepian dialami oleh lansia yang tinggal di panti wreda. Selain itu, peneliti juga ingin mengetahui cara lansia untuk mengatasi kesepian yang dialaminya.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi Subjek

Penelitian ini membantu subjek untuk lebih menyadari proses kesepian yang dialami dan cara mereka mengatasinya. Subjek lebih menyadari pengalaman proses kesepian melalui proses member checking yang akan dilakukan bersama peneliti. Dengan menyadari tentang proses pengalaman kesepian, subjek diharapkan dapat mengatasi kesepiannya tersebut dengan baik.

2. Bagi Pihak Panti Wreda

Penelitian ini membantu pihak panti untuk lebih dapat memperhatikan subjek ketika mereka mengalami kesepian. Dengan mengetahui bagaimana proses kesepian yang dialami serta cara lansia mengatasinya, maka pihak panti dapat mengurangi penyebab kesepian dan membantu mengatasi kesepian.

3. Bagi Keluarga

Keluarga diharapkan untuk lebih memperhatikan orangtua yang mereka titipkan di panti wreda sehingga keluarga dapat Keluarga diharapkan untuk lebih memperhatikan orangtua yang mereka titipkan di panti wreda sehingga keluarga dapat

BAB II LANDASAN TEORI

A. LANSIA

Menurut Hurlock (1980/1997), usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana orang sudah ‘beranjak jauh’ dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. Santrock menyebutnya dengan masa dewasa akhir, yang dimulai pada usia 60-an dan diperluas sampai sekitar usia 120-an tahun, memiliki rentang kehidupan yang paling panjang dalam periode perkembangan manusia—50 sampai 60 tahun (Santrock, 1995/2002).

Papalia membagi lansia dalam tiga kelompok yaitu “lansia muda”, “lansia tua”, dan “lansia tertua”. Secara kronologis, lansia muda merujuk pada orang yang berusia 65 sampai 74 tahun yang biasanya masih aktif, sehat dan masih kuat. Lansia tua berusia antara 75 sampai 84 tahun dan lansia tertua berusia 85 tahun ke atas, lebih mungkin untuk menjadi rapuh dan renta serta mengalami kesulitan untuk mengatur hidup sehari-hari (Papalia, 2008/2009).

Orang yang berada pada masa dewasa akhir atau lansia mengalami perubahan secara fisik, kognitif dan sosio-emosional. Perubahan fisik lansia meliputi otak dan sistem syaraf (kehilangan sejumlah neuron, unit- unit dasar dari sistem saraf sehingga menyebabkan penurunan fungsi Orang yang berada pada masa dewasa akhir atau lansia mengalami perubahan secara fisik, kognitif dan sosio-emosional. Perubahan fisik lansia meliputi otak dan sistem syaraf (kehilangan sejumlah neuron, unit- unit dasar dari sistem saraf sehingga menyebabkan penurunan fungsi

Perubahan kognitif dijelaskan oleh Horn dan Donaldson, 1980 (dalam Santrock 1995/2002), mereka menyatakan bahwa kecerdasan yang mengkristal (crystallized intelligence) yaitu sekumpulan informasi dan kemampuan-kemampuan verbal yang dimiliki individu meningkat seiring dengan usia. Sedangkan kecerdasan mengalir (fluid intelligence) yaitu kemampuan seseorang untuk berpikir abstrak menurun secara pasti sejak masa dewasa tengah.

Selain itu lansia juga mengalami perubahan secara psikososial. Perubahan psikososial pada lansia dijelaskan dengan teori penuaan sebagai berikut:

a. Teori pemisahan (disengagement theory) menyatakan bahwa orang-orang dewasa lanjut secara perlahan menarik diri dari masyarakat.

b. Teori aktivitas (activity theory) yaitu semakin orang dewasa lanjut aktif dan terlibat, semakin kecil kemungkinan mereka menjadi renta dan semakin besar kemungkinan mereka merasa puas dengan kehidupannya (Cumming & Henry, 1961 dalam Santrock, 1995/2002).

c. Teori rekonsruksi gangguan sosial (social breakdown- reconstruction theory) menyatakan bahwa penuaan dikembangkan melalui fungsi psikologis negatif yang dibawa oleh pandangan- pandangan negatif tentang dunia sosial dari orang-orang dewasa lanjut dan tidak memadainya penyediaan layanan untuk mereka. Rekonstruksi sosial dapat terjadi dengan mengubah pandangan sosial dari orang-orang dewasa lanjut dan dengan menyediakan sistem-sistem yang mendukung mereka (Kuypers & Bengston, 1973 dalam Santrock 1995/2002).

Menurut Santrock (1995/2002), lansia memiliki kebutuhan yang harus diperhatikan. Kebutuhan-kebutuhan lansia terkait dengan perubahan atau penurunan fisik, kognitif dan sosio-emosional lansia. Terkait dengan perubahan fisik, lansia membutuhkan beaya yang lebih besar dibanding dengan orang berusia di bawah 65 tahun. Lansia menghabiskan banyak waktunya di tempat tidur, banyak mengunjungi dokter, tinggal lebih lama dan sering di rumah sakit, dan mengkonsumsi banyak obat. Selain itu, lansia juga membutuhkan olahraga yang sesuai, diet yang seimbang, diet rendah lemak dan penambahan vitamin (namun studi tentang penambahan vitamin bagi lansia belum dilakukan secara eksperimental).

Terkait dengan perubahan kognitifnya, beberapa kebutuhan lansia mengarah pada kesehatan mental lansia. Lansia diharapkan dapat memelihara perkembangan perasaan kontrol, keyakinan diri (self eficacy), Terkait dengan perubahan kognitifnya, beberapa kebutuhan lansia mengarah pada kesehatan mental lansia. Lansia diharapkan dapat memelihara perkembangan perasaan kontrol, keyakinan diri (self eficacy),

Kebutuhan lansia yang terkait dengan perubahan sosio-emosional adalah adanya dukungan sosial dari pasangan, keluarga, dan orang-orang di sekitar lansia. Mereka akan bahagia ketika mereka menjadi kakek dan nenek, memiliki cucu dan merawat cucu mereka. Lansia akan merasa puas ketika memiliki pendapatan, kesehatan, gaya hidup yang aktif, dan jaringan keluarga dan pertemanan.

Lansia akan mengalami penuaan yang berhasil ketika mereka mengikuti diet yang sesuai, olahraga, pencarian stimulasi mental yang tepat dan memiliki relasi serta dukungan sosial yang baik. Penuaan yang berhasil membutuhkan usaha dan pemecahan masalah yang baik.

Jadi orang-orang yang disebut sebagai lansia adalah orang-orang yang berada pada usia 65 tahun ke atas dan memasuki masa dewasa lanjut. Pada masa ini, lansia mengalami penurunan secara fisik karena faktor usia diiringi penurunan secara psikologis. Penurunan fisik seperti penurunan fungsi organ-organ tubuh penting seperti fungsi indera, fungsi motorik dll. Penurunan berbagai fungsi tersebut akan berpengaruh pada mobilitas yang berdampak pada semakin berkurangnya kontak sosial bagi para lansia. Keadaan ini membawa lansia kepada masalah kesepian atau loneliness (Partini, 2011).

B. KESEPIAN

Kesepian adalah perasaan terasing, tersisihkan, terpencil dari orang lain. Seseorang sering mengalami kesepian karena merasa berbeda dengan orang lain. Kesepian akan muncul ketika seseorang merasa: tersisih dari kelompoknya, tidak diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya, terisolasi dari lingkungan, tidak ada seseorang tempat berbagi rasa dan pengalaman, dan seseorang harus sendiri tanpa ada pilihan (Partini, 2011).

Menurut Baron dan Bryne, (2003/2005), kesepian adalah suatu reaksi emosional dan kognitif terhadap dimilikinya hubungan yang lebih sedikit dan lebih tidak memuaskan daripada yang diinginkan oleh orang tersebut. Saat seseorang mengalami kesepian, keadaan emosi dan kognitif tidak bahagia yang diakibatkan karena adanya hasrat akan hubungan yang akrab namun tidak tercapai. Kesepian disertai afek negatif yaitu perasaan depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, dan ketidakpuasan yang dihubungkan dengan pesimisme, self-blame, dan rasa malu. Seseorang yang kesepian dianggap sebagai orang yang tidak dapat menyesuaikan diri pada orang-orang yang mengenal mereka.

Menurut Sears, D.O., Taylor, S.E., & Peplau, L.A. (1985/1994), kesepian menunjuk pada kegelisahan subjektif yang kita rasakan pada saat hubungan sosial kita kehilangan ciri-ciri pentingnya. Hilangnya ciri-ciri tersebut dapat bersifat kuantitatif: kita mungkin tidak mempunyai teman, atau hanya mempunyai sedikit teman-tidak seperti yang kita inginkan. Tetapi kekurangan itu dapat juga bersifat kualitatif: kita mungkin merasa Menurut Sears, D.O., Taylor, S.E., & Peplau, L.A. (1985/1994), kesepian menunjuk pada kegelisahan subjektif yang kita rasakan pada saat hubungan sosial kita kehilangan ciri-ciri pentingnya. Hilangnya ciri-ciri tersebut dapat bersifat kuantitatif: kita mungkin tidak mempunyai teman, atau hanya mempunyai sedikit teman-tidak seperti yang kita inginkan. Tetapi kekurangan itu dapat juga bersifat kualitatif: kita mungkin merasa

Menurut Weiss (dalam Sears, dkk, 1985/1994), ada dua tipe kesepian yaitu, kesepian emosional (Emotional Loneliness) dan kesepian sosial (Social Loneliness)

a. Kesepian emosional terjadi karena tidak adanya figur kelekatan dalam hubungan intimnya, seperti anak yang tidak ada orangtuanya atau orang dewasa yang tidak memiliki pasangan atau teman dekat. Kesepian emosional dapat terjadi karena kurang adanya hubungan dekat dengan orang lain. Jika individu merasakan hal ini, meskipun dia berinteraksi dengan banyak orang, dia akan tetap merasa kesepian.

b. Kesepian sosial adalah kesepian yang terjadi ketika seorang kehilangan integrasi sosial atau komunitas yang terdapat teman dan hubungan sosial. Kesepian ini disebabkan oleh ketidakhadiran orang lain dan dapat diatasi dengan hadirnya orang lain. Kesepian yang dialami oleh usia lanjut lebih terkait dengan

berkurangnya kontak sosial, absennya atau berkurangnya peran sosial, baik dengan keluarga, anggota masyarakat maupun teman kerja sebagai akibat terputusnya hubungan kerja atau karena pensiun. Di samping itu, ditinggalkannya bentuk keluarga luas (extended family) yang disebabkan oleh berbagai faktor dan meningkatnya bentuk keluarga batih (nucleus berkurangnya kontak sosial, absennya atau berkurangnya peran sosial, baik dengan keluarga, anggota masyarakat maupun teman kerja sebagai akibat terputusnya hubungan kerja atau karena pensiun. Di samping itu, ditinggalkannya bentuk keluarga luas (extended family) yang disebabkan oleh berbagai faktor dan meningkatnya bentuk keluarga batih (nucleus

Lansia menghadapi penyesuaian baru karena ketidakseimbangan akibat ketidakadaan anak (Basoff, 1988 dalam Santrock, 1995/2002). Sindrom sarang kosong (empty nest syndrome) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan akan mengalami penurunan karena orangtua memperoleh banyak kepuasan dari anak-anaknya, dan oleh karena itu, kepergian anak dari keluarga akan meninggalkan orangtua dalam perasaan kosong. Sindrom sarang kosong berlaku bagi sebagian orangtua yang tinggal sangat dekat dengan anak-anaknya karena anak-anaknya yang memberikan kepuasan pernikahan.

Menurut Partini (2011), sindrom sarang kosong merupakan masalah khusus yang dialami perempuan pada usia pertengahan. Setelah itu, sindrom sarang kosong merupakan masalah yang serius bagi perempuan pada masa tua atau lansia. Jadi sindrom sarang kosong merupakan dasar atau pokok permasalahan yang menyebabkan para lansia perempuan mengalami kesepian. Perempuan atau ibu merasa sedih, sepi dan kosong karena kedekatan seorang ibu dengan anaknya menimbulkan hadirnya hubungan emosional yang lebih kuat daripada dengan ayahnya.

Perasaan seperti ini juga dikarenakan peran dan tugas sebagai ibu hilang. Hal ini seiring dengan penurunan fisik yang dialami orangtua khususnya perempuan (termasuk menopause). Kondisi seperti ini sering membawanya pada perasaan bahwa hidupnya sudah tidak bermakna lagi (Partini, 2011).

C. KOPING

Koping berasal dari kata coping yang memiliki makna harafiah pengatasan atau penanggulangan (to cope = mengatasi, menanggulangi). Koping sering disamakan dengan adjustment (penyesuaian diri). Koping juga sering dimaknai sebagai cara untuk memecahkan masalah (problem solving). Koping dimaknai sebagai apa yang dilakukan oleh individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan/ luka/ kehilangan/ ancaman. Jadi koping lebih mengarah pada apa yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh tekanan atau yang membangkitkan emosi. Atau dengan kata lain, koping adalah bagaimana reaksi orang ketika menghadapi stress/tekanan (Siswanto, 2007).

Menurut Papalia (2008/2009), koping adalah cara berpikir atau berperilaku adaptif yang bertujuan mengurangi atau menghilangkan stres yang timbul dari kondisi berbahaya, mengancam, atau menantang. Hal ini adalah aspek penting dari kesehatan mental. Menurut Lazarus & Folkman (dalam Papalia, 2008/2009) koping terjadi ketika situasi membebani atau melampaui sumber dayanya, sehingga menuntut upaya yang luar biasa.

Hal yang termasuk koping adalah seluruh hal yang dipikirkan atau dilakukan dalam upaya beradaptasi terhadap stres, berhasil atau tidak.

Ada beberapa koping yang digunakan oleh lansia untuk mengatasi kesepian yang dialaminya. Berikut adalah salah satu jenis koping: pertahanan adaptif yaitu mengubah persepsi mengenai kenyataan bahwa mereka tidak berdaya untuk melakukan perubahan. Bersifat tidak sadar dan intuitif. Vaillant (dalam Papalia, 2008/2009) menyatakan bahwa lansia yang matang, pada masa dewasa awalnya menggunakan pertahanan adaptif yaitu altruisme, humor, penekanan (tetap sabar), antisipasi, dan sublimasi (mengarahkan emosi negatif menjadi pengejaran yang positif) menunjukkan penyesuaian psikologis yang baik.

Papalia, 2008/2009), mengungkapkan bahwa seseorang secara sadar memilih koping dengan dasar bagaimana mereka mempersepsikan dan menganalisis situasi. Ada dua koping yaitu koping yang terfokus pada masalah dan koping yang terfokus pada emosi. Lansia cenderung melakukan koping yang terfokus pada emosi karena mereka bisa mengontrol emosi secara lebih baik dibanding orang dewasa yang lebih muda. Koping yang terfokus pada emosi (emotional focused coping), ditunjukkan dengan mengatur respon emosi pada situasi yang menimbulkan stres untuk meredakan akibat fisik dan psikologis. Salah satu koping yang terfokus pada emosi adalah mengalihkan perhatian dari masalah, menyerah, dan menyangkal bahwa ada masalah. Lansia memilih koping yang terfokus pada emosi, seperti

Lazarus

dan

Folkman

(dalam

tidak melakukan apapun, menunggu sampai anak lebih besar, atau mencoba untuk tidak memikirkannya.

D. PENGALAMAN DAN KOPING KESEPIAN PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WREDA

Moore dan Shcultz (dalam Crandall, 1989) melakukan penelitian tentang bagaimana peran tanggung jawab dan kontrol terhadap kesepian yang dialami oleh lansia. Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel lansia sebanyak 27 laki-laki dan 32 perempuan yang tergabung dalam sebuah organisasi di South Carolina. Pengukuran dilakukan dengan skala UCLA Loneliness (Russell, Peplau, & Cutrona, 1980), skala Self-esteem (Rosenberg, 1965), skala Zung Depression (Zung, 1965), dan skala mengenai ketertarikan, kebahagiaan, kenyamanan hidup, frekuensi dan durasi kesepian serta peran tanggung jawab terhadap kesepian dan kontrol kesepian yang dilakukan lansia. Hasil pengukuran yang didapat dari peran tanggung jawab dan kontrol terhadap kesepian berkorelasi positif dengan penurunan kesepian. Lansia yang dapat bertanggung jawab atau dapat dikatakan sadar terhadap kesepian yang dialami dan mengontrol kesepian tersebut mengalami peningkatan harga diri, kenyamanan hidup, dan penurunan depresi.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa lansia tidak dapat menghindari kesepian, dengan kata lain, lansia rentan terhadap kesepian. Oleh karena itu untuk meringankan kesepian yang dialami, Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa lansia tidak dapat menghindari kesepian, dengan kata lain, lansia rentan terhadap kesepian. Oleh karena itu untuk meringankan kesepian yang dialami,

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Mullins, Johnson, dan Anderson (dalam Crandall, 1989). Mereka meneliti tentang pengaruh keluarga dan teman terhadap pengalaman kesepian yang dialami lansia. Sampel yang diambil sebanyak 131 orang dengan usia rata-rata 62 tahun dan tinggal di sebuah apartemen yang memang disediakan untuk para lansia di Florida city. Apartemen ini sangat bebas, tidak ada komunitas, tidak ada tempat makan malam bersama, tidak menyediakan makanan dan pelayanan kesehatan. Lansia yang tinggal di apartemen ini sebagian besar masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik dan belum mengalami sakit kronis atau masih dapat berjalan dengan baik.

Pengukuran dilakukan dengan skala UCLA Loneliness dan wawancara menggunakan instrumen yang dimodifikasi dari Andersson (1984). Ada dua pertanyaan pilihan yang diajukan yaitu : “Normalnya, berapa kali Anda biasanya bertemu dengan anak, cucu, saudara, dan anggota keluarga lainnya atau teman dan kenalan lainnya?” dengan pilihan

jawaban : tidak ada (0), pada kenyataanya tidak pernah (1), satu atau beberapa kali setiap tahun (2), satu kali dalam setiap bulan (3), satu kali setiap minggu (4), beberapa waktu dalam satu minggu (5). Pertanyaan yang kedua, “Umumnya, bagaimana situasi hubungan Anda dengan mereka? Bagaimanakah tentang keinginanmu tentang hubunganmu dengan orang-orang tersebut, apakah cukup dengan hanya bertemu saja atau Anda menginginkan lebih, kurang atau sama antara hubungan Anda dengan anak, cucu, saudara, anggota keluarga yang lain (termasuk orang tua), tetangga, teman dan kenalan lain” dengan pilihan jawaban : tidak relevan (0), tidak cukup banyak (1), sedikit (2), biasa-biasa saja (3), cukup banyak (4), dan banyak (5).

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa lansia yang tidak memiliki anak dan cucu lebih tidak merasa kesepian dibanding lansia yang memiliki anak dan cucu. Di antara hubungan yang ada tersebut, kuantitas hubungan lansia dengan keluarga tidak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kesepian. Di sisi lain, hubungan yang baik dengan tetangga dan teman memperlihatkan penurunan kesepian. Penemuan ini menjadi sebuah wawasan baru bagi beberapa ahli. Frekuensi hubungan dengan keluarga yang cukup tinggi berhubungan dengan penurunan kesepian. Selain itu, kesepian akan menurun ketika lansia memiliki hubungan yang baik dengan teman sebayanya daripada hubungannya dengan keluarga. Isu keterpisahan relasi dalam diskusi penelitian difokuskan pada keinginan subjektif untuk Hasil pengukuran menunjukkan bahwa lansia yang tidak memiliki anak dan cucu lebih tidak merasa kesepian dibanding lansia yang memiliki anak dan cucu. Di antara hubungan yang ada tersebut, kuantitas hubungan lansia dengan keluarga tidak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kesepian. Di sisi lain, hubungan yang baik dengan tetangga dan teman memperlihatkan penurunan kesepian. Penemuan ini menjadi sebuah wawasan baru bagi beberapa ahli. Frekuensi hubungan dengan keluarga yang cukup tinggi berhubungan dengan penurunan kesepian. Selain itu, kesepian akan menurun ketika lansia memiliki hubungan yang baik dengan teman sebayanya daripada hubungannya dengan keluarga. Isu keterpisahan relasi dalam diskusi penelitian difokuskan pada keinginan subjektif untuk

Hasil diskusi mengindikasikan bahwa adanya perbedaan hubungan antara keluarga dan teman dengan kesepian. Walaupun hubungan dengan keluarga tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap kesepian, namun keinginan yang sangat besar untuk berhubungan dengan keluarga berelasi dengan meningkatnya kesepian. Di lain pihak, lansia yang memiliki hubungan yang nyata dengan teman atau tetangga berpengaruh pada menurunnya kesepian. Kesimpulannya, keluarga dan pertemanan memiliki pengaruh terhadap kesepian yang dialami lansia. Ketika lansia memiliki keinginan untuk bertemu dengan keluarga namun tidak tercapai, ada teman yang dapat menggantikan dan mengatasi keinginannya yang tidak tercapai tersebut sehingga kesepian yang dialami lansia menurun.

Pada beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia mengenai pengalaman kesepian yang dialami lansia di panti wreda ditemukan bahwa lansia hanya mengalami kesepian yang ringan karena lingkungan panti yang cukup kondusif untuk para lansia. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Juniarti, dkk (calon perawat) tahun 2008 di Panti Tresna Wreda Bandung. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai jenis dan tingkat kesepian pada lansia yang tinggal di panti tersebut. Pengukuran dilakukan menggunakan skala UCLA Loneliness dengan 20 pertanyaan, 11 pertanyaan yang menunjukkan kesepian dan 9 pertanyaan menunjukkan tidak kesepian. Subjek yang diambil sebagai Pada beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia mengenai pengalaman kesepian yang dialami lansia di panti wreda ditemukan bahwa lansia hanya mengalami kesepian yang ringan karena lingkungan panti yang cukup kondusif untuk para lansia. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Juniarti, dkk (calon perawat) tahun 2008 di Panti Tresna Wreda Bandung. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai jenis dan tingkat kesepian pada lansia yang tinggal di panti tersebut. Pengukuran dilakukan menggunakan skala UCLA Loneliness dengan 20 pertanyaan, 11 pertanyaan yang menunjukkan kesepian dan 9 pertanyaan menunjukkan tidak kesepian. Subjek yang diambil sebagai

66 orang mengalami kesepian ringan, 11 orang mengalami kesepian sedang dan 2 orang mengalami kesepian berat. Hasil ini didukung oleh hasil observasi yaitu adanya kegiatan rohani yang diwajibkan untuk lansia sehingga lansia mengalami pengalaman spiritualitas yang baik, lingkungan panti yang mendukung dan perawat yang melayani dengan cukup baik. Selain itu, dari hasil wawancara dengan beberapa lansia, para lansia mengungkapkan bahwa ketika mereka merasa kesepian karena jauh dengan keluarga, mereka dapat berbincang-bincang dengan teman lansia yang lain sehingga rasa kesepian dapat terobati. Jenis kesepian yang sering dialami lansia adalah kesepian emosional, kesepian yang merujuk pada kurang adanya hubungan yang dekat dan perhatian dari lingkungan sosialnya (Weiss dalam Sharma, 2002). Hal ini didukung dengan hasil wawancara dengan lansia, lansia mengungkapkan bahwa mereka hanya bergaul dengan sesama lansia saja dan mereka merasa jenuh dengan kegiatan yang ada di panti.

Dari hasil penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kesepian yang dialami lansia yang tinggal di Panti Wreda disebabkan oleh adanya keinginan untuk berhubungan dengan keluarga namun pada kenyataannya keluarga jauh dari lansia. Keinginan ini membuat lansia merasa tidak memiliki hubungan dengan orang lain dan kurang adanya perhatian yang ditujukan pada lansia sehingga lansia mengalami kesepian Dari hasil penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kesepian yang dialami lansia yang tinggal di Panti Wreda disebabkan oleh adanya keinginan untuk berhubungan dengan keluarga namun pada kenyataannya keluarga jauh dari lansia. Keinginan ini membuat lansia merasa tidak memiliki hubungan dengan orang lain dan kurang adanya perhatian yang ditujukan pada lansia sehingga lansia mengalami kesepian

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25