PEMETAAN KAWASAN RAWAN BANJIR DI DAERAH

PEMETAAN KAWASAN RAWAN BANJIR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CISADANE MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ASEP PURNAMA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

PEMETAAN KAWASAN RAWAN BANJIR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CISADANE MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ASEP PURNAMA

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

RINGKASAN

ASEP PURNAMA. E34103035. Pemetaan Kawasan Rawan Banjir di Daerah Aliran Sungai Cisadane Menggnakan Sistem Informasi Geografis. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan AGUS PRIYONO.

Banjir merupakan peristiwa terjadinya genangan pada daerah datar sekitar sungai sebagai akibat meluapnya air sungai yang tidak mampu ditampung oleh

sungai. Dengan daerah tangkapan seluas 1.100 km 2 , DAS Cisadane merupakan salah satu sungai utama di Propinsi Banten dan Jawa Barat. Daerah tangkapan

yang luas dan konversi lahan yang tinggi menyebabkan potensi banjir yang tinggi di wilayah DAS Cisadane. Salah satu disiplin ilmu yang sangat berpengaruh dalam penanggulangan masalah banjir adalah dengan bantuan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) yaitu untuk identifikasi dan pemetaan kawasan yang berpotensi banjir.

Penelitian dilakukan pada bulan September 2007 sampai dengan Maret 2008 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane yang secara administratif berada di Kabupaten Bogor dan Kotamadya Bogor (Jawa Barat) serta Kotamadya Tangerang dan Kabupaten Tangerang (Banten). Alat yang digunakan antara lain: 1.) Perangkat keras: Seperangkat komputer/PC, Printer, Scanner, kamera digital, dan GPS. 2.) Perangkat lunak: ArcView GIS 3.3, Erdas 8.5, dan Microsoft Excel 2003. Bahan-bahan yang Yang dipergunakan antara lain: Data curah hujan, peta rupa bumi, peta tanah, dan Citra Landsat TM+7. Data didapat dengan melakukan ground truth (cek lapang) di lokasi DAS Dan m,enganalisa peta dan faktor-faktor penyebab banjir. Analisis berupa pemberian skoring, pembobotan, atribut dan keruangan.

Dari peta kerawanan banjir didapat bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane terdiri dari empat kelas kerawanan banjir yaitu: kelas aman (44881 Ha/30,19%), kelas tidak rawan (36574,25 Ha/24,60%), kelas rawan (55317,93 Ha/37,21%), dan kelas sangat rawan (11909,5 Ha/8,01%). Bagian/segmen yang banyak terdapat daerah yang termasuk kelas sangat rawan adalah bagian hilir dengan luas 7388,5 Ha. Bagian hulu merupakan bagian yang memiliki kelas aman Dari peta kerawanan banjir didapat bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane terdiri dari empat kelas kerawanan banjir yaitu: kelas aman (44881 Ha/30,19%), kelas tidak rawan (36574,25 Ha/24,60%), kelas rawan (55317,93 Ha/37,21%), dan kelas sangat rawan (11909,5 Ha/8,01%). Bagian/segmen yang banyak terdapat daerah yang termasuk kelas sangat rawan adalah bagian hilir dengan luas 7388,5 Ha. Bagian hulu merupakan bagian yang memiliki kelas aman

Saran yang dapat diberikan adalah, perlu dikaji untuk peta kerawanan banjir menggunakan data dari faktor penentu banjir lain dan menggunakan data faktor penentu kerawanan banjir yang lebih spesifik seperti data curah hujan harian dan bulanan.

Kata kunci: Pemetaan, banjir, DAS, Cisadane, Sistem Informasi Geografis

SUMMARY

ASEP PURNAMA. E34103035. Mapping for the Sensitive Flood Area in Cisadane Basin use Geographic Information System. Under supervision of LILIK BUDI PRASETYO and AGUS PRIYONO.

Flood is the puddle of water that happening around the river area, caused by the current water can’t patch be the river. Cisadane basin is a large catchment

area (1.100 km 2 ) that placed ini banten and west java province with sources in salak – Pangrango Mountain and have lower course in Java seas. The large

catchment area and the change of land covering in Cisadane Basin make this area have high potential for flood happen. Geographic Information System (GIS) is useful for ward off the flood which this system that can mapping the sensitive flood area by get analysis the flood factor like hydrology, climate, and physical area condition.

Research have done in September 2007 to March 2008 with the study area in Cisadane Basin, place in Bogor (city and regency) and Tangerang (city and regency). The tools that use is hardware (computer, printer, scanner, camera, and GPS) and software (ArcView GIS 3.3, Erdas Imagine 8.5, and Microsoft Excel 2003). The substance is rainfall data, land map, and landsat image. The method for get the data is ground truth/check and analysis the map and the flood factor. The analysis is attribute and skoring.

From The Map of The sensitive flood area, there are four class sensitive flood area, that is: Safe (44881 Ha/30,19%), low risk (36574,25 Ha/24,60%), average (55317,93 Ha/37,21%), high risk (11909,5 Ha/8,01%). Lower course is the largest segment that have high risk sensitive flood class (7388,5 Ha). Upper course have largest safe class with 441621,75 Ha. This is coused by land covering in upper course is dominate by forest and crop, that forest can prevent the flood. Subdistrict that have largest high risk sensitive flood class are Kosambi (2548 Ha), Pakuhaji (2367 Ha), and Teluk Naga (1538,5 Ha).

Suggestion for this research or the next research is necessary to examine the other factor that can caused flood. The other suggestion is used the same factor with have more detail or specific data, like the rainfall data.

Keywords: Mapping, flood, basin, Cisadane, Geographic Information System

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Kawasan Rawan Banjir di Daerah Aliran Sungai Cisadane Menggunakan Sistem Informasi Geografis adalah benar – benar hasil karya saya sendiri dengan bibmbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2008

Asep Purnama NRP. E34103035

Judul Skripsi : Pemetaan Kawasan Rawan Banjir di Daerah Aliran Sungai Cisadane Menggunakan Sistem Informasi Geografis Nama

: Asep Purnama NIM : E34103035

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.F Ir. Agus Priyono, MS NIP. 131 760 841

NIP. 131 578 800

Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 760 834

Tanggal Lulus :

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berbagai macam kenikmatan dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini.

Laporan skirpsi ini berjudul ”Pemetaan Kawasan Rawan Banjir di

Daerah Aliran Sungai Cisadane Menggunakan Sistem Informasi Geografis”.

Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Ayahanda H. Oci Sanusi dan Ibunda Hj. Umiyati serta kakak dan adikku yang telah memberi dorongan moril maupun materil serta semangat dan doanya kepada penulis selama menjalani perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, Msc dan Ir. Agus Priyono, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahannya selama ini.

3. Lidwina Dirgantara yang telah memberikan dukungan, semangat baik moril maupun materil selama penulis melakukan penyusunan laporan skripsi ini.

4. Kepada seluruh dosen dan staf Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata atas bantuan yang diberikan kepada penulis dalam kegiatan perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini.

5. Teman-teman keluarga besar KSHE 40 beserta adik kelas dan kakak kelas, terima kasih atas dukungan dan semangatnya dari mulai perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini.

6. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dalam kegiatan perkuliahan dan penyusunan skripsi ini, terima kasih atas semua bantuan dan dukungannya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu harapan adanya kritik dan masukan yang konstruktif dari para pembaca.

Semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya serta bagi masyarakat yang bersangkutan umumnya.

Bogor, Mei 2008

Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 13 Mei 1984, merupakan anak kedua dari pasangan Ayahanda H. Oci Sanusi dengan Ibunda Hj. Umiyati. Penulis memulai jenjang

pendidikan pada tahun 1989 di Taman Kanak-Kanak Budi Luhur, kemudian melanjutkan ke Taman Kanak-Kanak Cendana pada tahun 1990. Pada tahun 1991, penulis melanjutkan Sekolah Dasar Cendana Rumbai, Pekanbaru, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Cendana Rumbai, Pekanbaru (1997-2000) dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Cendana Pekanbaru (2000-2003). Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan dan diterima pada Program Sarjana, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) .

Selama menjalani perkuliahan di IPB, penulis turut aktif dalam kegiatan kampus dengan menjadi anggota aktif Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) pada tahun 2004-2006, Selain itu penulis mengikuti beberapa kegiatan seperti menjadi anggota panitia Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional (PIKNAS) yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan tahun 2005 dan kegiatan yang diadakan di Program Studi Ekowisata yaitu kegiatan Pesta Anak Penyandang Cacat (PAPC) tahun 2006.

Selain mengikuti kegiatan perkuliahan penulis juga melakukan beberapa kegiatan praktek yaitu Praktek Pengenalan dan Pengelolan Hutan di Cagar Alam Leuweung Sancang, Cagar Alam Kawah Kamojang dan KPH Ciamis Perhutani, Jawa Barat tahun 2006 dan Praktek Kerja Lapang di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan pada tahun 2007. Terakhir penulis melakukan kegiatan Praktek Khusus atau Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan. Penulis melakukan penelitian dengan judul ”Pemetaan

Kawasan Rawan Banjir di Daerah Aliran Sungai Cisadane Menggunakan

Sistem Informasi Geografis” di bawah bimbingan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, Msc dan Ir. Agus Priyono, MS.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banjir merupakan peristiwa terjadinya genangan pada daerah datar sekitar sungai sebagai akibat meluapnya air sungai yang tidak mampu ditampung oleh sungai. Selain itu, banjir adalah interaksi antara manusia dengan alam dan sistem alam itu sendiri. Bencana banjir ini merupakan aspek interaksi manusia dengana alam yang timbul dari proses dimana manusia mencoba menggunakan alam yang bermanfaat dan menghindari alam yang merugikan manusia (Suwardi 1999).

Bencana alam seperti banjir perlu mendapatkan perhatian khusus, sebab bencana tersebut menelan korban jiwa dan kerugian terbesar (40%) dari seluruh kerugian bencana alam (Kingma 1990).

Banjir sebagai akibat dari meluapnya atau meningkatnya debit sungai telah banyak menimbulkan kerusakan, baik dari kerusakan lingkungan alami maupun lingkungan buatan.

Perubahan kondisi lahan dari waktu ke waktu membuat ancaman terjadinya banjir semakin besar. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

1) Daya tampung sungai makin lama makin kecil akibat pendangkalan. 2) Fluktuasi debit air antara musim penghujan dengan musim kering makin tinggi. 3) Terjadi konversi lahan pertanian dan daerah buffer alami ke lahan non pertanian dengan mengabaikan konservasi sehingga menyebabkan rusaknya daerah tangkapan air (cacthment area). 4) Eksploitasi air tanah yang berlebihan menyebabkan lapisan aquifer makin dalam sehingga penetrasi air laut lebih jauh ke darat yang berakibat mengganggu keseimbangan hidrologi (Utomo 2004).

Dengan daerah tangkapan seluas 1.100 km 2 , DAS Cisadane merupakan salah satu sungai utama di Propinsi Banten dan Jawa Barat. Sumbernya berada di

Gunung Salak – Pangrango (Kabupaten Bogor) dan mengalir ke Laut Jawa. Panjang sungai sekitar 80 km. Daerah tangkapan yang luas inilah yang menyebabkan potensi banjir yang tinggi di wilayah DAS Cisadane. Selain itu, penyebab DAS Cisadane menjadi daerah yang rawan banjir adalah konversi lahan Gunung Salak – Pangrango (Kabupaten Bogor) dan mengalir ke Laut Jawa. Panjang sungai sekitar 80 km. Daerah tangkapan yang luas inilah yang menyebabkan potensi banjir yang tinggi di wilayah DAS Cisadane. Selain itu, penyebab DAS Cisadane menjadi daerah yang rawan banjir adalah konversi lahan

Upaya-upaya untuk mengatasi banjir telah dilakukan antara lain dengan melakukan pengerukan sedimen, merehabilitasi tanggul sungai untuk menambah kapasitas tampung debit sungai, peningkatan kemampuan meresapnya air hujan dari setiap penggunaan lahan baik daerah hulu maupun hilir dan menghindari darah rawan banjir atau bantaran sungai sebagai tempat pemukiman.

Dalam upaya mengatasi permasalahan akibat terjadinya banjir, ada beberapa cara yaitu salah satunya mengetahui sebab-sebab terjadinya banjir dan daerah sasaran banjir, yang tergantung pada karakteristik klimatologi, hidrologi, dan kondisi fisik wilayah. Salah satu disiplin ilmu yang sangat berpengaruh dalam penanggulangan masalah banjir adalah dengan bantuan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) yaitu untuk identifikasi dan pemetaan kawasan yang berpotensi banjir.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan memetakan kawasan yang berpotensi banjir pada DAS Cisadane.

1.3 Kegunaan Penelitian

1. Dapat memberikan pola sebaran kawasan rawan banjir pada daerah yang rentan terhadap bencana banjir sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam perencanaan dan pengembangan wilayah secara optimal dan berkelanjutan

2. Dapat memberikan informasi dan pemanfaatan peta kerawanan banjir untuk digunakan dalam antisipasi terhadap bahaya banjir, serta prioritas utama dalam penanganan daerah yang rawan terhadap bahaya banjir.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Banjir

Banjir menurut Richards (1955), diacu dalam Suherlan (2001) memiliki dua arti yaitu meluapnya air sungai disebabkan oleh debitnya yang melebihi daya tampung sungai pada keadaan curah hujan yang tinggi dan arti kedua adalah banjir merupakan genangan pada daerah datar yang biasanya tidak tergenang. Sedangkan menurut Suwardi (1999), bencana banjir merupakan aspek interaksi antara manusia dengan alam yang timbul dari proses dimana manusia mencoba menggunakan alam yang bermanfaat dan menghindari alam yang merugikan manusia.

Banjir dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi apabila dikelompokkan maka akan didapatkan tiga faktor yang berpengaruh tehadap banjir, yaitu elemen meteorologi, kharakteristik fisik DAS, dan manusia. Elemen meteorologi yang berpengaruh pada timbulnya banjir adalah intensitas, distribusi, frekuensi, dan lamanya hujan berlangsung. Kharakteristik DAS yang berpengaruh terhadap terjadinya banjir adalah luas DAS, kemiringan lahan, ketinggian, dan kadar air tanah. Manusia beperan pada percepatan perubahan penggunaan lahan seperti hutan lebat belukar. Pengaruh perubahan lahan terhadap perubahan kharakteristik aliran sungai berkaitan dengan berubahnya areal konservasi yang dapat menurunkan kamampuan tanah dalam menahan air. Hal tersebut dapat memperbesar peluang terjadinya aliran permukaan dan erosi.

Dalam skala perkotaan, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir adalah:

1. Topografi, kelandaian lahan sangat mempengaruhi timbulnya banjir terutama pada lokasi dengan topografi dasar dan kemiringan rendah, seperti pada kota- kota pantai. Hal in menyebabkan kota-kota pantai memiliki potensi/peluang terjadinya banjir yang besar disamping dari ketersediaan saluran drainase yang kurang memadai, baik saluran utama maupun saluran yang lebih kecil.

2. Areal terbangun yang luas biasanya pada kawasan perkotaan dengan tingkat pembangunan fisik yang tinggi, sehingga bidang peresapan tanah semakin mengecil.

3. Kondisi saluran drainase yang tidak memadai akibat pendangkalan, pemeliharaan kurang, dan kesadaran penduduk untuk membuangan sampah pada tempatnya masih belum memasyarakat (Utomo 2004).

2.2 Curah Hujan

Curah hujan adalah unsur iklim yang sangat dominan mempengaruhi aliran permukaan dan erosi di darah tropis. Sifat hujan yang penting mempengaruhi erosi dan sedimentasi adalah energi kinetik hujan yang merupakan penyebab pokok dalam penghancuran agregat – agregat tanah (Hillel 1971).

Curah hujan merupakan salah satu komponen pengendali dalam sistem hidrologi. Secara kuantitatif ada dua kharakteristik curah hujan yang penting, yaitu jeluk (depth) dan distribusinya (distibution) menurut ruang (space) dan waktu (time). Pengukuran jeluk hujan di lapangan umumnya dilakukan dengan memasang penakar dalam jumlah yang memadai pada posisi yang mewakili (representatif) (Arianty 2000, diacu dalam Utomo 2004).

Curah hujan dibatasi sebagai tinggi air hujan (dalam mm) yang diterima di permukaan sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi dan peresapan/perembesan ke dalam tanah. Jumlah hari hujan umumnya dibatasi dengan jumlah hari dengan curah hujan 0,5 mm atau lebih. Jumlah hari hujan dapat dinyatakan per minggu, dekade, bulan, tahun atau satu periode tanam (tahap pertumbuhan tanaman). Intensitas hujan adalah jumlah curah hujan dibagi dengan selang waktu terjadinya hujan (Handoko 1993).

Intensitas curah hujan netto (setelah diintersepsi oleh vegetasi) yang melebihi laju infiltrasi mengakibatkan air hujan akan disimpan sebagai cadangan permukaan dalam tanah, apabila kapasitas cadangan permukaan terlampaui maka akan terjadi limpasan permukaan (surface run-off) yang pada akhirnya terkumpul dalam aliran sungai sebagai debit sungai. Limpasan permukaan yang melebihi kapasitas sungai maka kelebihan tersebut dikenal dengan istilah banjir (Suherlan 2001).

Sifat hujan yang berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi adalah jumlah, intensitas, dan lamanya hujan. Dari hal-hal tersebut yang paling erat hubungannya dengan energi kinetik adalah intensitas. Kekuatan dan daya rusak hujan terhadap tanah ditentukan oleh besar kecilnya curah hujan. Bila jumlah dan intensitas hujan tinggi maka aliran permukaan dan erosi yang akan terjadi lebih besar dan demikian juga sebaliknya (Wischmeier dan Smith 1978, diacu dalam Utomo 2004).

Hujan yang jatuh ke bumi akan mengalami proses intersepsi, infiltrasi, dan perlokasi. Sebagian hujan yang diintersepsi oleh tajuk tanaman menguap, sebagian mencapai tanah dengan melalui batang sebagai aliran batang (streamfall) dan sebagian lagi mencapai tanah secara langsung yang disebut air tembus (throughfall). Sebagian air hujan yang mencapai permukaan tanah terinfiltrasi dan terperkolasi ke dalam tanah (Utomo 2004).

Hujan selain merupakan sumber air utama bagi wilayah suatu DAS (Daerah Aliran Sungai), juga merupakan salah satu penyebab aliran permukaan bila kondisi tanah telah jenuh, maka air yang merupakan presipitasi dari hujan akan dijadikan aliran permukaan. Sedangkan karakteristik hujan yang mempengaruhi aliran permukaan dan distribusi aliran DAS adalah intensitas hujan, lama hujan dan distribusi hujan di areal DAS tersebut (Arsyad 2000, diacu dalam Primayuda 2006).

2.2.1. Klasifikasi Curah Hujan

Secara umum, Indonesia terbagi kedalam tiga pola iklim, yaitu:

1. Pola ekuatorial, yang ditandai dengan adanya dua puncak hujan dalam setahun. Pola ini terjadi karena letak geografis Indonesia yang dilewati DKAT (Daerah Konvergensi Antar Tropik) dua kali setahun (Farida 1999, diacu dalam Primayuda 2006). DKAT ini merupakan suatu daerah yang lebar dengan suhu udara sekitarnya adalah yang tertinggi yang menyebabkan tekanan udara di atas daerah itu rendah. Untuk keseimbangan, udara dari daerah yang bertekanan tinggi bergerak ke daerah yang bertekanan rendah. Gerakan ini diikuti pula dengan gerakan udara naik sebagai akibat pemanasan, kemudian terjadi penurunan suhu, sehingga uap air jatuh, dan terjadilah hujan.

2. Pola musiman, yang ditandai oleh danya perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan musim kemarau. Umumnya musim hujan terjadi pada periode Oktober – Maret dan kemarau pada periode April – September. Cakupan wilayah yang terkena pengaruh pola iklim ini secara langsung adalah

0 0 35 0 LU sampai 25

LS dan 30 BB sampai 170 BT.

3. Pola lokal, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi geografi dan topografi setempat serta daerah sekitarnya. Umumnya daerah dengan pola lokal ini mempunyai perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dengan periode musim hujan, namun waktunya berlawanan dengan pola musiman.

2.3 Debit Aliran Sungai

Asdak (1995) menjelaskan debit aliran sungai adalah jumlah air yang mengalir pada suatu titik atau tempat persatuan waktu. Debit aliran dibangun oleh empat komponen, yaitu limpahan langsung (direct run-off), aliran dalam satu aliran tertunda (interflow/delayed run-off), aliran bawah tanah atau aliran dasar (ground precipitation). Hujan yang turun pada suatu DAS terdistribusi menjadi keempat komponen tersebut sebelum menjadi aliran sungai. Aliran permukaan merupakan penyumbang terbesar terhadap peningkatan volume aliran sungai (Viessman et al.1977, diacu dalam Restiana 2004).

Subarkah (1980) menambahkan bahwa hal-hal yang mempengaruhi debit sungai yaitu:

1. Meteorologis hujan (besarnya hujan, intensitas hujan, luas daerah hujan dan distribusi musiman), suhu udara, kelembaban relatif dan angin.

2. Ciri-ciri DAS yaitu luas dan bentuk DAS, keadaan topografi, kepadatan drainase, geologi (sifat-sifat tanah) evaluasi rata-rata dan keadaan umum DAS (banyaknya vegetasi, perkampungan, darah pertanian, dan sebagainya).

2.4 Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah aliran sungai atau disingkat DAS diartikan oleh Lepedes et al. (1974), diacu dalam Utomo (2004) sebagai suatu daerah yang mengalirkan air ke sebuah sungai, pengaliran ini berupa air tanah (ground water) atau air permukaan (surface water) atau pengaliran yang disebabkan oleh gaya gravitasi. Webster

(1976), diacu dalam Utomo (2004) mendefinisikan DAS sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau.

Secara makro, DAS terdiri dari unsur biotik (flora dan fauna), abiotik (tanah, air, dan iklim), dan manusia, dimana ketiganya saling berinteraksi dan saling ketergantungan membentuk suatu sistem hidrologi (Haridjaja 2000). DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan didalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.

Berdasarkan pendapat dari berbagai pakar, dapat disimpulkan bahwa DAS merupakan:

1. Suatu wilayah bentang alam dengan batas topografis

2. Suatu wilayah kesatuan hidrologi

3. Suatu wilayah ekosistem Dengan demikian, DAS dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah kesatuan ekosistem yang dibatasi oleh pemisah topografis dan berfungsi sebagai pengumpul, penyimpan, dan penyalur air, sedimen, dan unsur hara dalam sistem sungai, keluar melalui suatu outlet tunggal. DAS juga berati suatu daerah dimana setiap air yang jatuh ke darah tersebut akan dialirkan menuju ke satu outlet.

Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir

Dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. Ketiga DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya rentang panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun tata ruang, dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah secara baik.

2.5 Peta dan Pemetaan

Peta merupakan media untuk menyimpan dan menyajikan informasi tentang rupa bumi dengan penyajian pada skala tertentu. Pemetaan adalah proses pengukuran, perhitungan, dan penggambaran permukaan bumi (terminologi geodesi) dengan menggunakan cara dan atau metode tertentu sehingga didapatkan hasil berupa softcopy maupun hardcopy peta yang berbentuk vektor maupun raster (Wikipedia 2007).

Pembuatan peta adalah studi dan praktek membuat peta atau globe. Peta secara tradisional sudah dibuat menggunakan pena dan kertas, tetapi munculnya dan penyebaran komputer sudah merevolusionerkan kartografi. Banyak peta komersial yang bermutu sekarang dibuat dengan perangkat lunak pembuatan peta yang merupakan salah satu di antara tiga macam utama: CAD (desain berbantuan komputer), GIS (Sistem Informasi Geografis), dan perangkat lunak ilustrasi peta yang khusus. Peta yang dihasilkan dari perangkat lunak (software) komputer ini disebut peta digital (Wikipedia 2007).

Penggunaan peta digital pada dasarnya sama saja dengan peta biasa, hanya wujudnya yang agak berbeda, dimana peta biasa hanya dapat digunakan dalam bentuk lembaran atau helai sedangkan peta digital selain ada peta seperti halnya peta biasa disertai data yang telah tersimpan dalam media perekam seperti magnetik tape, disket, compact disc dan lain-lain sehingga sewaktu-waktu dapat diedit dan dicetak kembali sesuai kebutuhan (Hadjarati 2007).

2.6 Identifikasi Kawasan Rawan Bencana Banjir

Identifikasi daerah rawan banjir dapat dibagi dalam tiga faktor yaitu faktor kondisi alam, peristiwa alam, dan aktivitas manusia. Dari faktor-faktor tersebut terdapat aspek-aspek yang dapat mengidentifikasi daerah tersebut merupakan daerah rawan banjir.

2.6.1 Faktor Kondisi Alam

Beberapa aspek yang termasuk dalam faktor kondisi alam penyebab banjir adalah kondisi alam (misalnya letak geografis wilayah), kondisi toporafi, geometri sungai, (misalnya meandering, penyempitan ruas sungai, sedimentasi dan adanya Beberapa aspek yang termasuk dalam faktor kondisi alam penyebab banjir adalah kondisi alam (misalnya letak geografis wilayah), kondisi toporafi, geometri sungai, (misalnya meandering, penyempitan ruas sungai, sedimentasi dan adanya

1. Topografi

Daerah-daerah dataran rendah atau cekungan, merupakan salah satu karakteristik wilayah banjir atau genangan.

2. Tingkat Permeabilitas Tanah

Permeabilitas atau daya rembesan adalah kemampuan tanah untuk dapat melewatkan air. Air dapat melewati tanah hampir selalu berjalan linier, yaitu jalan atau garis yang ditempuh air merupakan garis dengan bentuk yang teratur.

Permeabilitas diartikan sebagai kecepatan bergeraknya suatu cairan pada media berpori dalam keadaan jenuh atau didefinisikan juga sebagai kecepatan air untuk menembus tanah pada periode waktu tertentu. Permeabilitias juga didefinisikan sebagai sifat bahan berpori yang memungkinkan aliran rembesan dari cairan yang berupa air atau minyak mengalir lewat rongga porinya.

Daerah-daerah yang mempunyai tingkat permeabilitas tanah rendah, mempunyai tingkat infiltrasi tanah yang kecil dan runoff yang tinggi. Daerah Pengaliran Sungai (DAS) yang karakteristik di kiri dan kanan alur sungai mempunyai tingkat permeabilitas tanah yang rendah, merupakan daerah potensial banjir.

3. Kondisi Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran sungai (DAS) yang berbentuk ramping mempunyai tingkat kemungkinan banjir yang rendah, sedangkan daerah yang memiliki DAS berbentuk membulat, mempunyai tingkat kemungkinan banjir yang tinggi. Hal ini terjadi karena waktu tiba banjir dari anak-anak sungai (orde yang lebih kecil) yang hampir sama, sehingga bila hujan jatuh merata di seluruh DAS, air akan datang secara bersamaan dan akhirnya bila kapasitas sungai induk tidak dapat menampung debit air yang datang, akan menyebabkan terjadinya banjir di daerah sekitarnya.

4. Kondisi Geometri Sungai

a. Gradien Sungai Pada dasarnya alur sungai yang mempunyai perubahan kemiringan dasar dari terjal ke relatif datar, maka daerah peralihan/pertemuan tersebut merupakan daerah rawan banjir.

b. Pola Aliran Sungai Pada lokasi pertemuan dua sungai besar, dapat menimbulkan arus balik (back water) yang menyebabkan terganggunya aliran air di salah satu sungai, yang mengakibatkan kenaikan muka air (meluap). Pada saat hujan dengan intensitas tinggi, terjadi peningkatan debit aliran sungai sehingga pada tempat pertemuan tersebut debit aliran semakin tinggi, dan kemungkinan terjadi banjir.

c. Daerah Dataran Rendah Pada daerah Meander (belokan) sungai yang debit alirannya cenderung lambat, biasanya merupakan dataran rendah, sehingga termasuk dalam klasifikasi daerah yang potensial atau rawan banjir.

d. Penyempitan dan Pendangkalan Alur Sungai Penyempitan alur sungai dapat menyebabkan aliran air terganggu, yang berakibat pada naiknya muka air di hulu, sehingga daerah di sekitarnya termasuk dalam klasifikasi daerah rawan banjir. Pendangkalan dasar sungai akibat sedimentasi, menyebabkan berkurangnya kapasitas sungai yang menyebabkan naiknya muka air di sekitar daerah tersebut.

2.6.2 Faktor Peristiwa Alam

Aspek-aspek yang menentukan kerawanan suatu daerah terhadap banjir dalam faktor peristiwa alam adalah:

1. Curah hujan yang tinggi dan lamanya hujan

2. Air laut pasang yang mengakibatkan pembendungan di muara sungai

3. Air/arus balik (back water) dari sungai utama

4. Penurunan muka tanah (land subsidance)

5. Pembendungan aliran sungai akibat longsor, sedimentasi dan aliran lahar dingin.

2.6.3 Aktivitas Manusia

Faktor aktivitas manusia juga berpengaruh terhadap kerawanan banjir pada suatu daerah tertentu. Aspek-aspek yang mempengaruhi diantaranya:

1. Belum adanya pola pengelolaan dan pengembangan dataran banjir

2. Permukiman di bantaran sungai

3. Sistem drainase yang tidak memadai

4. Terbatasnya tindakan mitigasi banjir

5. Kurangnya kesadaran masyarakat di sepanjang alur sungai

6. Penggundulan hutan di daerah hulu

7. Terbatasnya upaya pemeliharaan bangunan pengendali banjir

2.7 Sistem Informasi Geografi

Sistem informasi Geografi adalah suatu sistem informasi tentang pengumpulan dan pengolahan data serta penyampaian informasi dalam koordinat ruang, baik secara manual maupun digital. Data yang diperlukan merupakan data yang mengacu pada lokasi geografis, yang terdiri dari dua kelompok, yaitu data grafis dan data atribut. Data grafis tersusun dalam bentuk titik, garis, dan poligon. Sedangkan data atribut dapat berupa data kualitatif atau kuantitatif yang mempunyai hubungan satu-satu dangan data grafisnya (Barus et al. 2000).

Menurut ESRI (1999), Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu alat berbasis komputer untuk memetakan dan meneliti hal-hal yang ada dan terjadi di muka bumi. Sistem Informasi Geografis mengintegrasikan operasi database umum seperti query dan analisa statistik dengan visualisasi yang unik dan manfaat analisa mengenai ilmu bumi yang ditawarkan oleh peta. Kemampuan ini menjadi penciri Sistem Informasi Geografis dari sistem informasi lainnya, dan sangat berguna bagi suatu cakupan luas perusahaan swasta dan pemerintah untuk menjelaskan peristiwa, meramalkan hasil, dan strategi perencanaan.

Menurut Barus dan Wiradisastra (2000), Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG, data dipelihara dalam bentuk digital. Sistem ini merupakan suatu sistem komputer untuk menangkap, mengatur, mengintegrasi, memanipulasi, menganalisis dan menyajikan data yang bereferensi ke bumi. Komponen utama SIG dapat dibagi ke Menurut Barus dan Wiradisastra (2000), Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG, data dipelihara dalam bentuk digital. Sistem ini merupakan suatu sistem komputer untuk menangkap, mengatur, mengintegrasi, memanipulasi, menganalisis dan menyajikan data yang bereferensi ke bumi. Komponen utama SIG dapat dibagi ke

Sistem informasi geografi (SIG) pada saat ini sudah merupakan teknologi yang dianggap biasa pada kalangan perencana atau kelompok-kelompok lain yang berkecimpung dalam hal pemetaan sumberdaya. Dua dekade sebelum ini terjadi juga pada Penginderaan Jauh (PJ) atau Remote Sensing, walaupun tidak secepat kepopuleran SIG. Kedua teknologi tersebut merupakan teknologi informasi atau lebih spesifik lagi teknologi informasi spasial karena berkaitan dengan pengumpulan dan pengolahan data spasial. (Barus et al. 2000)

2.8 Penerapan SIG untuk Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Berpotensi Banjir

Kemampuan SIG dapat diselaraskan dengan Penginderaan Jauh. Penginderaan Jauh adalah ilmu pengetahuan dan seni memperoleh informasi suatu obyek, daerah, atau suatu fenomena melalui analisa data yang diperoleh dengan suatu alat yang tidak berhubungan dengan obyek, daerah, atau fenomena yang diteliti (Lillesland dan Kiefer 1994). Citra satelit merekam objek di permukaan bumi seperti apa adanya di permukaan bumi, sehingga dari interpretasi citra dapat diketahui kondisi penutupan/penggunaan lahan saat perekaman. Pada dasarnya, teknologi berbasis satelit ini menyajikan informasi secara aktual dan akurat. Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk dijadikan sebagai penyedia informasi tentang berbagai parameter faktor penyebab kemungkinan terjadinya bahaya banjir di suatu daerah.

Dalam penerapan SIG, data-data yang diperlukan untuk pemetaan kawasan rawan banjir diperoleh dari foto udara dan data sekunder, berupa peta-peta tematik. Peta-peta tematik yang berbeda, baik yang diperoleh dari analisis penginderaan jauh maupun cara lain dapat dipadukan untuk menghasilkan peta turunan. Data-data yang terkumpul diolah untuk mendapatkan informasi baru dengan menggunakan SIG melalui metode pengharkatan. Pada tahap pemasukan data, yang diperlukan untuk penyusunan peta tingkat kerawanan banjir dapat dilakukan melalui digitasi peta. Sesudah semua data spasia dimasukkan dalam Dalam penerapan SIG, data-data yang diperlukan untuk pemetaan kawasan rawan banjir diperoleh dari foto udara dan data sekunder, berupa peta-peta tematik. Peta-peta tematik yang berbeda, baik yang diperoleh dari analisis penginderaan jauh maupun cara lain dapat dipadukan untuk menghasilkan peta turunan. Data-data yang terkumpul diolah untuk mendapatkan informasi baru dengan menggunakan SIG melalui metode pengharkatan. Pada tahap pemasukan data, yang diperlukan untuk penyusunan peta tingkat kerawanan banjir dapat dilakukan melalui digitasi peta. Sesudah semua data spasia dimasukkan dalam

Untuk kajian banjir, peta tematik hasil interpretasi citra dapat digabung dengan peta-peta lainnya yang telah disusun dalam data dasar SIG melalui proses digitasi. Peta-peta tersebut adalah peta kemiringan lereng, peta geologi, peta jenis tanah, peta penutupan/penggunaan lahan, peta isohiet, dan peta-peta lain yang berhubungan dengan terjadinya banjir. Melalui metode tumpang tepat dan pengharkatan dengan SIG maka akan dihasilkan kelas-kelas rawan banjir. Hasil dari kelas-kelas tersebut dipresentasikan dalam bentuk peta, sehingga dapat dilihat distribusi keruangannya. Dari peta itu para pengguna dan pengambil keputusan dapat memanfaatkan untuk mengatisipasi banjir di darah penelitian, sehingga kerugian-erugian yang ditimbulkan dapat ditekan sekecil mungkin, atau bahkan dieliminir (Utomo 2004).

2.9 Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) Banjir

Sistem peringatan dini digunakan untuk memberikan informasi tentang sesuatu hal yang akan terjadi, agar bisa memberikan peringatan sedini mungkin untuk menghindari atau meminimalkan akibat yang akan ditimbulkan. Sistem peringatan dini banjir sangat penting, karena: (1) intensitas dan keragaman hujan menurut ruang dan waktu sangat tinggi sehingga banjir bisa terjadi secara tiba- tiba, (2) hujan besar umumnya terjadi dari sore sampai malam hari. Sistem penyampaian peringatan dini tentang banjir kepada masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai peralatan komunikasi seperti telepon, radio dan televisi (Grenti 2006).

BAB III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2007 sampai dengan Desember 2007 di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Wilayah studi yang dikaji adalah wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane yang secara administratif berada di Kabupaten Bogor dan Kotamadya Bogor (Jawa Barat) serta Kotamadya Tangerang dan Kabupaten Tangerang (Banten).

Tabel 1 Tata waktu penelitian

No. Kegiatan Juli Agustus Sep Okt Nov Des

1. Pembuatan Proposal 2. Pengambilan Data

3. Pengolahan dan Analisis Data 4. Penyusunan Skripsi 5. Seminar Hasil 6. Sidang

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Perangkat keras (Hardware) : Seperangkat komputer/PC, Printer, Scanner,

kamera digital, dan GPS.

2. Perangkat lunak (software) : ArcView GIS 3.3, Erdas 8.5, dan Microsoft

Excel 2003.

3.2.2 Bahan

Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain:

1. Data curah hujan (periode 2001 – 2006) lokasi DAS Cisadane.

2. Peta dalam bentuk paper print/digital, yang terdiri dari:

a. Peta Tinjau Tanah Semi Detail lokasi penelitian 1 : 25.000

b. Peta Rupa Bumi lembar 1209 skala 1 : 250.000

c. Citra Landsat TM +7 lokasi penelitian

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian berupa analisis parameter rawan banjir dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi yang dibagi ke dalam tahap-tahap utama yaitu: pembangunan basis data dan analisis data, yang diawali dengan pengumpulan data dan peta pendukung, studi pustaka, dan penelaahan data skunder terutama yang berkaitan dengan kejadian banjir.

3.3.1 Analisis Faktor Penentu Daerah Rawan Banjir

3.3.1.1 Analisis Peta Rupa Bumi

Peta Rupa Bumi mempunyai banyak informasi seperti titik tinggi, kontur, dan batas administrasi. Dari informasi-informasi tersebut dapat dilakukan analisis. Analisis tersebut bertujuan untuk menghasilkan peta kelas lereng dan peta kelas tinggi. Perangkat lunak yang digunakan adalah ArcView 3.3 dengan extensions 3D analyst dan Model Builder.

1. Pembuatan Peta Kelas Lereng

Sebelum membuat peta kelas lereng terlebih dahulu dibuat peta shapefile berupa titik-titik yang mempunyai data atribut tinggi yang diperoleh dari digitasi peta rupa bumi yang telah dikoreksi. Dari peta titik tinggi tersebut maka dapat dibuat peta kontur. Peta kontur diubah menjadi Model Elevasi Digital (Digital Elevation Model /DEM) dengan metode TIN (Triangulated Irregular Network) dengan memilih Surface-Create TIN from features kemudian memasukkan interval kontur sebagai height source sehingga terlihat bentukan tiga dimensi dari topografi DAS Cisadane. Selanjutnya TIN dikonversi ke dalam bentuk Grid (rasterisasi), yaitu proses transformasi data spasial yang berbentuk rangkaian titik, garis, dan poligon ke dalam bentuk susunan sel yang mempunyai nilai. Setelah itu, dengan menggunakan operasi model builder – add process – terrain – slope , dilakukan klasifikasi/pengkelasan kemiringan lereng berdasarkan batasan nilai yang sudah ditetapkan. Selanjutnya, hasil klasifikasi tersebut diubah menjadi bentuk vektor dengan mengkonversi ke dalam bentuk shapefile setelah dilakukan generalisasi.

2. Pembuatan Peta Kelas Tinggi

Pembuatan peta kelas tinggi menggunakan data vektor berupa titik/point bukan vektor garis (peta kontur). Saat menggunakan model builder, operasi yang Pembuatan peta kelas tinggi menggunakan data vektor berupa titik/point bukan vektor garis (peta kontur). Saat menggunakan model builder, operasi yang

3.3.1.2 Analisis Peta Tinjau Tanah

Analisis peta Tinjau Tanah dilakukan untuk mempersiapkan peta tekstur dan peta drainase tanah. Untuk membuat peta tekstur tanah dan drainase tanah menggumakan metode digitasi on screen setelah terlebih dahulu melakukan koreksi geometrik terhadap peta tinjau. Setelah dilakukan digitasi maka hasil digitasi yang berupa peta vektor (shapefile) diberikan atribut sesuai legenda yang ada pada peta tinjau. Pada legenda tersebut terdapat keterangan tekstur dan drainase tanah yang dapat dijadikan atribut pada peta vektor. Peta vektor yang telah diberi atribut tersebut merupakan peta tekstur tanah dan peta drainase tanah.

3.3.1.3 Analisis Citra Landsat

Pada penelitian ini digunakan citra Landsat TM+7 Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 2005. Secara umum analisis dilakukan dengan bantuan software Erdas Imagine 8.5.

Kab. Serang

Kab. Rangkasbitung

Kab. Cianjur Kab. Sukabumi

Gambar 1 Citra Landsat DAS Cisadane.

1. Koreksi Geometrik

Koreksi Geometrik dilakukan pada citra dengan mengidentifikasi Ground Control Points (GCP) atau titik-titik ikat yang mudah ditentukan seperti percababangan sungai atau perpotongan jalan. Nilai akurasi GCP ditunjukkan oleh nilah Root Mean Square Error (RMS-error). RMS-error menyatakan nilai Koreksi Geometrik dilakukan pada citra dengan mengidentifikasi Ground Control Points (GCP) atau titik-titik ikat yang mudah ditentukan seperti percababangan sungai atau perpotongan jalan. Nilai akurasi GCP ditunjukkan oleh nilah Root Mean Square Error (RMS-error). RMS-error menyatakan nilai

RMS-error = ( X − x ) + ( Y − y )

Keterangan:

X dan Y = Koordinat citra asli (input)

X dan y = Koordinat citra keluaran (output)

2. Penentuan Daerah Contoh (Training Site)

Pengambilan daerah contoh untuk penutupan/penggunaan lahan sangat penting pada pengolahan citra landsat, terutama untuk klasifikasi terbimbing, karena kualitas klasifikasi penutupan/penggunaan lahan akan ditentukan oleh penentuan daerah contoh.

3. Klasifikasi Citra

Klasifikasi citra dilakukan dengan menggunakan pendekatan klasifikasi terbimbing dengan metode klasifikasi kemiripan maksimum (Maximum Likelihood Classification atau MLC). Klasifikasi bertujuan untuk mendapatkan kelas-kelas penggunaan/penutupan lahan. Klasifikasi ini dilakukan setelah diperoleh daerah contoh (Training Site).

4. Ground Truth

Setelah dilakukan klasifikasi maka dilakukan pengukuran keakuratan dengan melakukan ground truth, yaitu pengambilan titik-titik di lapangan/lokasi penelitian menggunakan GPS dengan memberikan data atribut pada titik tersebut sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan.

Klasifikasi Koreksi Geometri

Penentuan Training Site

Terbimbing

Ya

Peta Penutupan Lahan

Penutupan Lahan

Akurasi

Tidak

Gambar 2 Diagram alir tahapan analisis Citra Landsat.

3.3.1.4. Analisis Data Curah Hujan

Analisis data curah hujan terdiri dari beberapa tahapan yaitu:

1. Pengumpulan Data Hujan

Pencarian dilakukan di instansi yang terkait dengan data hujan, yaitu Badan Meteorologi dan Geofisika. Data curah hujan yang terkumpul berupa data curah hujan tahunan (2001-2006) yang meliputi: (1) jumlah curah hujan dan (2) hari hujan. Data tersebut berasal dari stasiun – stasiun penakar hujan yang ada di wilyah DAS Cisadane.

Nilai curah hujan rata-rata tahunan dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

X= ∑ Ri /n

Keterangan:

X = Curah hujan rata-rata tahunan R i = Curah hujan tahunan untuk tahun ke-i N = Jumlah tahun data curah hujan yang digunakan untuk membuat peta curah

hujan

2. Pembuatan peta curah hujan

Terdapat dua metode yang umumnya digunakan untuk membuat peta curah hujan yaitu metode poligon Thiessen dan model interpolasi titik. Metode tersebut adalah:

a. Metode Poligon Thiessen Poligon Thiessen mendefinisikan individu area yang dipengaruhi oleh sekumpulan titik yang terdapat di sekitarnya. Poligon ini merupakan pendekatan terhadap informasi titik yang diperluas (titik menjadi poligon) dengan asumsi bahwa informasi yang terbaik untuk semua lokasi yang tanpa pengamatan adalah informasi yang terdapat pada titik terdekat dimana hasil pengamatannya diketahui (Aronoff, 1989 diacu dalam Primayuda 2006). Garis didefinisikan pada jarak equidistan antara dua titik yang berdampingan (Barus 2005).

b. Metode Interpolasi Titik Prosesnya Metode Interpolasi Titik menggunakan ArcView 3.3 dengan extensions model builder. Interpolasi titik merupakan prosedur untuk menduga b. Metode Interpolasi Titik Prosesnya Metode Interpolasi Titik menggunakan ArcView 3.3 dengan extensions model builder. Interpolasi titik merupakan prosedur untuk menduga

3.3.1.5 Pembuatan Peta Buffer Sungai

Buffer sungai adalah suatu daerah yang mempunyai lebar tertentu yang digambarkan di sekeliling sungai dengan jarak tertentu. Buffer sungai dibuat berdasarkan logika dan pengetahuan mengenai hubungan sungai dan kejadian banjir. Dengan asumsi semakin dekat dengan sungai, maka peluang untuk terjadinya banjir lebih tinggi.

Peta buffer sungai dibuat berdasarkan zona buffer sungai yang dihasilkan dari pengkelasan tingkat kerawanan banjir suatu wilayah berdasarkan jarak dengan sungai. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan operasi Theme – create buffer . Batas buffer berdasarkan kriteria yang telah ditentukan berdasarkan perkiraan tingkat kerawanan daerah dekat sungai terhadap banjir.

3.3.2 Analisis Data

Tahap analisis data dibagi menjadi dua bagian, yaitu analisis keruangan dan analisis atribut. Analisis – analisis tersebut mempunyai fungsi-fungsi masing- masing dalam pembuatan peta kerawawan banjir.

3.3.2.1 Analisis Keruangan

Analisis keruangan adalah analisis yang berhubungan dengan data berupa data vektor maupun raster. Dimana masing – masing data tersebut di analisis untuk menghasilkan data yang diinginkan.

1. Klasifikasi/ Reklasifikasi

Digunakan untuk mengklasifikasikan atau reklasifikasi data spasial atau data atribut menjadi data spasial baru dengan memakai kriteria tertentu, untuk mempermudah dalam proses analisis selanjutnya.

2. Overlay

Analisis ini merupakan hasil interaksi atau gabungan dari beberapa peta. Overlay berupa peta tersebut akan menghasilkan suatu informasi baru dalam bentuk luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan beberapa poligon dari peta – peta tersebut.

3. Buffer

Analisis ini digunakan untuk membatasi suatu wilayah dengan lebar tertentu yang digambarkan di sekeliling titik, garis, atau poligon dengan jarak tertentu.

3.3.2.2 Analisis Atribut

Dua proses paling penting dalam analisis data yaitu pengskoran dan pembobotan. Dua proses tersebut dilakukan setelah proses klasifikasi nilai dalam tiap parameter. Setelah kedua proses tersebut selesai, dilanjutkan dengan tahap analisis tingkat kerawanan banjir.

1. Pengskoran

Pengskoran dimaksudkan sebagai pemberian skor terhadap masing-masing kelas dalam tiap parameter. Pemberian skor ini didasarkan pada pengeruh kelas tersebut tehadap banjir. Semakin tinggi pengeruhnya terhadap banjir, maka skor yang diberikan akan semakin tinggi.

a. Pemberian Skor Kelas Kemiringan Kemiringan lahan semakin tinggi maka air yang diteruskan semakin tinggi. Air yang berada pada lahan tersebut akan diteruskan ke tempat yang lebih rendah semakin cepat, dibandingkan lahan yang kemiringannya rendah (landai). Sehingga kemungkinan terjadi penggenangan atau banjir pada daerah yang derajat kemiringan lahannya tinggi semakin kecil (Tabel 2).

Tabel 2 Skor untuk kelas kemiringan lahan

No Kelas Skor

1 Datar (0% - 3%)

2 Berombak (3% - 8%)

3 Bergelombang (8% - 15%)

4 Berbukit Kecil (15% - 30%)

5 Berbukit (30% - 45%)

6 Berbukit curam/terjal (>45%)

Sumber: Primayuda (2006)