PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SAST

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SILIWANGI TASIKMALAYA LEMBAR PENGESAHAN

KAJIAN CERITA PENDEK “UNDANGAN MENARI” KARYA TAUFAN SUKMA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STRUKTURAL SEMIOTIK SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA

Karya Tulis Ilmiah (KTI)

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Kajian Prosa Fiksi Indonesia

Disahkan oleh,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Titin Kusmini, M.Pd. Hj. Enen Khoeriyah, M.E.

NIP. 195412141983032001 NIP.412096706

KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan kepada Allah swt, karena dengan karunianyalah penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Kajian Prosa Fiksi yang berjudul “KAJIAN CERITA PENDEK UNDANGAN MENARI KARYA TAUFAN SUKMA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STRUKTURAL SEMIOTIK SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA”. Analisis buku paket ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kajian Prosa Fiksi.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Titin Kusmini, M.Pd selaku dosen mata kuliah Kajian Prosa Fiksi;

2. Ibu Hj. Enen Khoeriyah M.E selaku dosen pembimbing;

3. Teman-teman yang telah memberikan dukungan dan motivasinya;

4. Semua pihak yang telah mendukung dan memberi motivasi selama menyusun makalah ini.

Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat terutama bagi penulis dan umumnya bagi semua orang yang membacanya.

Tasikmalaya, Januari 2013 Penyusun

i

DAFTAR ISI

halaman

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ……………………………………………….. i

DAFTAR ISI …………………………………………………………. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah …………………………………. 1

B. Rumusan Masalah ……………………………………….. 3

C. Definisi Operasional ……………………………………... 3

D. Tujuan Penelitian ………………………………………... 4

BAB II LANDASAN TEORETIS

A. Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA ……….. 5

B. Hakikat Kajian Prosa Fiksi ………………………………. 6

C. Hakikat Cerpen …………………………………………... 8

D. Hakikat Pendekatan structural Semiotik ………………… 17

E. Anggapan Dasar …………………………………………. 19

F. Hipotesis …………………………………………………. 28

BAB III PROSEDUR PENELITIAN

A. Metode Penelitian ………………………………………... 24

B. Variabel Penelitian ………………………………………. 24

C. Teknik Penyimpulan Data Penelitian ……………………. 24

ii

D. Sumber Data Penelitian ………………………………….. 24

E. Desain Penelitian ………………………………………… 24

F. Langkah-Langkah Penelitian …………………………….. 25

G. Analisis dan Pengelolaan Data …………………………… 25

H. Waktu dan Tempat Penelitian ……………………………. 25

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kajian cerpen Undangan Menari Karya Taufan Sukma

dengan Menggunakan Pendekatan Struktural Semiotik …. 26

1. Lapis Bentuk …………………………………………... 26

2. Lapis Makna …………………………………………… 39

3. Kajian dengan Menggunakan Struktural Semiotik ……. 44

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ………………………………………………….. 49

B. Saran ………………………………………………………. 49

DAFTAR PUSTAKA

iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ceita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman, kenikmatan mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang prilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusian. Cerita pendek bisa berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang membaca cerpen sama halnya sedang melihat miniature kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada didalamnya. Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan cerita dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah, dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya.

Jika kenyataannya seperti itu, maka jelasnya bahwa sastra (cerpen) telah berperan sebagai pengikat, sebagai harikatur dari kenyataan, dan sebagai pengalaman hidup. Oleh karena itu, jika cerpen dijadikan bahan ajar di kelas tentunya akan membuat pembelajarannya lebih hidup dan menarik. Tidak hanya itu, kiranya cerpen dengan segala permasalannya yang universal itu ternyata menarik juga untuk dikaji. Bakan tidak pernah berhenti orang yang akan mengkajinya apa lagi jika cerpen itu dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Seperti halnya penulis mencoba mengkaji cerpen yang dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Cerpen yang kami kaji itu adalah sebuah cerpen yang berjudul undangan menari karya taufan sukma. Penulis memilih cerpen undangan menari karya taufan sukma tersebut bukan tanpa pertimbangan atau alasan sebab cerpen ini memiliki keistimewaan dibandingkan dengan cerpen Taufan Sukma yang lain atau cerpen yang ditulis pengarang-pengarang yang lain. Keistimewaan itu terletak pada teknik penceritaan cerpen taufan sukma, dalam cerpen Undangan Menari ini menceritakan kisah seorang gadih yang mempunyai hobi menari, oleh karena hobinya itu akhirnya dia terjerat

dalam lingkup kesengsaraan. Dalam cerpen ini terjadi dialog antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam. Cerpen Taufan Sukma ini lebih banyak mengingatkan pada masa penjajahan PKI jelasnya cerita seputar para perempuan dan tragedi 1965, yang mengaitkan tentang penjajahan dan penderitaan para kauh hawa.

Pembelajaran sastra merupan bagian dari pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Pengajaran sastra memerlukan langkah persiapan yang matang dalam pemilihan bahan ajar, teknik, dan metode yang menarik. Tujuan umum pengajaran sastra seperti yang tercantum dalam kurikulum KTSP yaitu agar siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa juga mampu memnghargai dan mengembangkan sastra Indonesia khazanah. Dengan demikan peran pelajaran sastra menjadi sangat penting.

Mengingat perannya yang sedemikian itu, maka terselenggaranya pelajaran sastra yang menarik dan menyenangkan akan menjadi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi. Hal ini di mungkinkan karena pelajaran seperti ini akan dapat mendidik siswa untuk dapat mengenal dan menghargai nila-nilai yang junjung oleh bangsanya, juga untuk dapat menghargai hidup, menikmati pengalaman orang lain, serta dapat menemukan makna hidup dan kehidupan. Bukankah karya sastra (cerpen) itu merupakan miniature kehidupan manusia disekitar pembaca.

Dengan mempelajari cerpen berarti siswa diajak untuk mempelajari manusia dengan lingkungan. Biasanya siswa akan sangat antusias jika diajak untuk membicarakan atau mendiskusikannya juga akan mengeluarkan segala pengalaman dan pengetahuannya.

Kendala pembelajaran itu sering terletak pada guru. Sebab, masih saja guru yang terlalu mengandalkan LKS, tidak menyukai sastra dan tidak bisa memilih bahan ajar yang tepat dan menarik untuk seusia siswa yang dididiknya. Kenyataan inilah yang sering dianggap orang sebagai kegagalan. Gagal karena siswa tidak memiliki daya apresiasi kepekaan rasa serta tidak menyukai sastra.

Berangkat dari permasalahan yang sudah diuraikan diatas, kami mencoba mengkaji keterkaitan cerpen dalam kegiatan pembelajaran dan berusaha menemukan kemungkinan-kemungkinannya cerpen dijadikan bahan ajar di kelas. Dengan harapan, hasil pengkajian ini dapat memberikan solusi dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran apresiasi sastra (cerpen).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana unsure intrinsik cerpen Undangan Menari karya Taufan Sukma?

2. Bagaimanakan hubungan unsure intrinsic yang ada dalam cerpen Undangan Menari karya Taufan Sukma dikaji dengan menggunakan pendekatan Struktural Semiotik?

3. Apakah cerpen tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran di SMA?

C. Definisi Operasional

1. Kemampuan mengkaji unsure intrinsik cerita pendek

Yang dimaksud dengan kemampuan mengkaji unsure intrinsic adalah menganalisis hubungan unsure intrinsik seperti tema dengan alur, tema dengan latar, tema dengan penokohan, tema dengan sudut pandang, dan tema dengan amanat.

2. Pendekatan Struktural Semiotik

Yang dimaksud dengan pendekatan structural semiotic dalam penelitian ini adalah kegiatan menganalisis hubungan antar unsure intrinsic cerita pendek dengan system tanda yaitu kode budaya, kode sastra,dan kode bahasa. Strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur- strukturnya. Ilmu semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keselurahan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal.

Sebagai pengetahan praktis, pemahaman terhadap keberadaan tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui efektifitas dan efisiensi energy yang harus dikeluarkan. Memahami system tanda, bagaimana cara kerjanya, berarti menikmati suatu kehidupan yang lebih baik. Konflik, slah paham, dan berbagai perbedaan pendapat diakibatkan oleh adanya perbedaan, penafsiran terhadap tanda-tanda kehidupan.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, penulis merumuskan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Unsur intrinsik cerpen Undangan Menari karya Taufan Sukma;

2. Hubungan unsure intrinsic yang ada dalam cerpen Undangan Menari karya Taufan Sukma dikaji dengan menggunakan pendekatan structural semiotik;

3. Cerpen Undangan Menari jika dijadikan sebagai bahan pembelajaran di SMA.

BAB II PEMBAHASAN

A. Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA

1. Standar Kompetensi Pembelajaran Sastra Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

Menurut Abidin ( 2009:2) “Bahasa adalah seperangkat bunyi yang sistemik. Hal ini berarti bahasa memiliki seperangkat system tertentu yang dikenal para penuturnya. Seperangkat inilah yang menentukan struktur apa yang diungkapkan”. Selain itu, Abidin(2009:3) juga mengemukakan “ Bahasa sebagai alat komnikasi mengandung pemahaman yang cukup dalam. Karena proses komunikasi dapat terjadi apabila penerima pesan mampu memahami apa yang dimaksudkan oleh pengirim pesan”. Bahasa dapat diwujudkan dalam bentuk tulis maupun lisan.

Kemampuan berbahasa dalam kehidupan sehari-hari sangat diperlukan dalam komunikasi. Bahasa sebagai salah satu pokok medianya merupakan pokok penting yang wajib dikuasai. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa sangat penting untuk disampaikan pada siswa di sekolah, agar siswa mampu berbahasa yang baik dan benar serta dapat berkomunikasi dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pembelajran bahasa dan sastra Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulisan, serta menumbuhkan apresiasi terhadap karya kesastraan Indonesia. Standar kompetensi pembelajaran bahasa Indonesia merupakan salah satu program untuk pengembangan pengetahuan dalam keterampilan berbahasa, serta memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia.

2. Tujuan pembelajaran sastra di Indonesia

Mata pembelajaran bahasa Indonesia menurut KTSP ( Depdiknas, 2006 : 231) bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.

a. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.

b. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

B. Hakikat Kajian Prosa Fiksi

1. Pengertian Kajian Prosa Fiksi

Kajian atau pengkajian mempunyai pengertian penelaahan, atau pendidikan pengkajian terhadap karya fiksi berarti penelaahan, penyelidikan atau mengkaji, menelaah, menyelidiki karya fiksi tersebut. Untuk melakukan pengkajian terhadap unsure- unsure pembentukan karya sastra, khususnya fiksi pada umumnya kegiatan itu disertai oleh kerja analisis.

Kegiatan analisis karya fiksi dalam hal ini tampil dengan mencoba menerangkan, misalnya kaitan antara unsure yang satu dengan lainnya, unsure-unsur tertentu dalam novel misalnya penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain.

Tujuan utama kerja analisis kesastraan, fiksi, atau puisi adalah untuk dapat memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan, disamping untuk membantu menjelaskan pembaca yang kurang dapat memahami karya itu. Jadi, kerja analisis yang tak jarang dianggap sebagai cirri khas kelompok akademik itu, bukan memahami karya-karya kesastraan itu sebagai satu kesatuan yang padu dan bermakna, bukan sekedar bagian demi bagian yang terkesan sebagai suatu perbincangan di atas.

Manfaat yang akan terasa dari kerja analisis itu adalah jika kita membaca ulang karya-karya kesastraan yang dianalisis. Namun, tentu saja analisis itu harus merupakan analisis yang baik teliti, kritis, dan sesuai dengan hakikat karya satra.

2. Perbedaan Prosa Fiksi dan Non-Fiksi

Fiksi adalah suatu karya sastra yang mengungkap realitas kehidupan sehingga mampu mengembangkan daya imajinasi. Ada dua macam fiksi yaitu fiksi imajinatif yakni fiksi berdasarkan imajinasi, dan fiksi ilmiah yakni fiksi berdasarkan analisis ilmiah.

a. Sifat Fiksi

1) Segala sesuatu yang diungkapkam tidak dapat dibuktikan sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari, merupakan hasil rekaan.

2) Semua tokoh, setting dan pokok persoalan adalah realitas imajinatif bukan objektif.

3) Kebenaran yang terjadi di dalam fiksi adalah bukan kebenaran objektif melainkan kebenaran logis yaitu kebenaran yang ada dalam penalaran.

4) Manusia-manusia yang hidup dalam kenyataan sehari-hari yang terlibat dalam seluruh aspek kehidupan penokohan fiksi mampu mempengaruhi dan membentuk sifat dan sikap pembaca, pendengar, pemirsa.

5) Kebenaran logis fiksi menyebabkan setiap fiksi selalu multiinterretabel, artinya setiap pembaca, pendengar, pemirsa mempunyai tapsiran.

3. Pendekatan Struktural Semiotik

Pendekatan struktural, sering juga dinamakan pendekatan objektif, pendekatan formal, atau pendekatan analitik, bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra sebagai karya kreatif memiliki otonomi penuh yang harus dilihat sebagai suatu sosok yang berdiri sendiri terlepas dari hal-hal lain yang berada diluar dirinya.

Bila hendak dikaji atau diteliti, maka yang harus dikaji adalah aspek yang membangun sastra tersebut seperti tema, alur, latar, penokohan, gaya penulisan, gaya bahasa, seperti hubungan antara aspek yang mampu membuatnya menjadi karya sastra.

Pendekatan semiotik bertolak dari asumsi bahwa karya sastra memiliki suatu sistem sendiri, yang memiliki dunianya sendiri, sebagai suatu realitas yang hadir atau dihadirkan dihadapan pembaca yang didalamnya terkandung potensi komunikatif yang ditandai dengan adanya lambang-lambang kebahasaan yang khas memiliki nilai artistic dan dramatik.

C. Hakikat Cerita Pendek

1. Pengertian Cerita Pendek

Menurut kamus istilah sastra yang diterbitkan oleh balai bahasa, cerpen adalah hiasan yang member kesan tunggal yang dominan tentang satu tokoh dalam satu latar dan satu situasi dramatik; cerpen. Cerpen harus memperhatikan kepaduan sebagai patokan dasarnya.

Cerpen bisa berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniature kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada didalamnya. Akibatnya, sipembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita.

Sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalah cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah, dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya. Yang disajikan dalam bentuk bahasa yang tidak terikat oleh jumlah kata dan unsur musikalitas.

Bahasa yang tidak terikat itu digunakan untuk menyampaikan tema atau pokok persoalan dengan sebuah amanat yang ingin disampaikan berkenaan dengan tema tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa cerpen merupakan cerita pendek yang selesai dibaca hanya dalam setengah hingga dua jam. Cerpen hanya menceritakan dua sampai tiga tokoh, hanya ada satu peristiwa, dan hanya menimbulkan efek tunggal saja bagi pembaca. Isi yang terkandung didalamnya disampaikan secara naratif dan bukan argumentatif.

2. Ciri-Ciri Cerpen

Cerpen sangat berbeda dengan novel. Dalam sebuah cerpen memiliki ciri-ciri tersendiri. Cerpen relatif lebih pendek (sebab ada pula cerpen yang panjang).

Cerpen biasanya terdiri atas 1000-5000 kata, tetapi itu tidak terjadi ukuran yang mutlak. Cerpen biasanya dapat dibaca selesai dalam sekali duduk. Dalam cerpen kesan tunggal dapat diperoleh dalam sekali baca (caranya yakni dengan mengarahkan plot pada insiden atau peristiwa tunggal) dalam cerpen tokoh jarang dikembangkan, karena langsung ditunjukan karakternya. Karakter dalam cerpen lebih merupakan penunjukan (revelation) dari pada perkembangan (development). Dimensi waktu dalam cerpen terbatas. Cerpen biasanya membiarkan hal-hal yang dianggap tidak pokok. Cerpen hanya mengungkapkan satu masalah tunggal dengan kata lain cerpen hanya mengandung satu ide pusat. Pemusatan perhatian pada satu tokoh utama, pada situasi tertentu.

3. Unsur-Unsur Cerpen

Cerpen merupakan sebuah prosa fiksi yang dibangun oleh sejumlah unsur. Setiap unsure saling berkaitan, dan menentukan satu sama lainnya. Karena keterkaitan itu pula, sebuah karya fuksi menjadi sebuah karya sastra yang berstruktur dan bermakna.

Unsur-unsur pembangun fiksi dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu unsure intrinsic dan unsure ektrnsik. Kedua unsure inilah yang sering bnyak di sebut para kritikus dalam rangka mengkaji atau membicarakan karya sastra. Menurut sumarjo dan saini ( 1988:37 ) bahwa keutuhan sebuah cerpen dilihat dari segi-segi unsure yang membentuknya.

Ada berbagai istilah untuk menyebutkan unsure-unsur pembangun prosa fiksi Stanton menyebutkan bahwa elemen-elemen pembangun fiksi meliputi fakta cerita, sarana cerita, dan tema ( dalam suminto:18 ). Sedangkan sugiantoro ( 2007:23 ) menyebutkan bahwa unsure-unsur yang membangun sastra meliputi unsure intrinsic dan unsure ekstrinsik tetapi pada dasarnya kedua pendapat tersebut sama hanya istilahnya saja yang berbeda.

Fakta cerita yang dikemukakan oleh Stanton meliputi plot, tokoh, dan latar, sarana cerita meliputi unsure judul, sudut pandang, gaya dan nada. Tema merupakan makna cerita, gagasan sentral atau dasar cerita.

Bandingkan dengan pendapat yang dikemukakan oleh nurgiantoro yang menyebutkan bahwa pembagian unsur pembangun fiksi meliputi unsur intrinsik dan unsur ektrinsik. Unsure intrinsic meliputi tema, penokohan,plot, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya. Mengenai unsure intrinsic dijelaskan oleh wellek dan warren ( dalam nurgiantoro,2007:24 ) meliputi keadaan subjektifitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang semuanya itu akan mempengaruhi karya sastra yang ditulisnya. Disamping itu keadaan dilingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial juga merupakan unsure ektrinsik. Unsure ektrinsik yang lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni, dan lain-lain.

Supaya penjelasan mengenai unsure- unsure pembangun ini lebih terarah, mka akan di kemukakan penjabaran dari pendapat yang dikemukakan oleh nurgiantoro, wellek serta warren yang membagi unsure pembangun fiksi kedalam dua bagian, yaitu unsure intrinsic dan unsure ektrinsik.

a) Tema

Merupakan inti cerita secara keseluruhan. Dalam pengertian sederhana suminto ( 1997: 118 ) menjelaskan bahwa makna cerita adalah gagasan sentral atau dasar cerita. Tema merupakan dasar cerita atau sebuah ide cerita yang ingin dikatakan pengarang terhadap pembaca, baik masalah kehidupan, pandangan tentang kehidupan, maupun komentar terhadap kehidupan ini.

Masalah tema sering disamakan dengan pengertiannya dengan tofik. Padalah kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Dalam hal ini diperlukan adanya kebebasan dalam menjelaskan pengertian tema. Stanton dan Kenny mengungkapkan bahwa tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita (dalam Nurgiantoro, 2007:67) sedangkan Sumadjo dan Saini (1988 : 56) menyembutkan bahwa tema adalah ide sebuah cerita.

Dalam hal pengertian tema dan tofik suminto (1997 : 118) menjelaskan bahwa tofik dalam suatu karya adalah pokok pembicaraan, sedang tema merupakan suatu gagasan sentral, yakni sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam dan melalui tulisan atau karya fiksi. Jadi sangatlah jelas bahwa tofik dan tema sangatlah berbeda.

Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan di atas mengenai tema dalam sebuah karya sastra, tema merupak idea tau gagasan santral, dasar cerita, makna cerita yang hendak diperjuangkan dalam dan malalui tulisan atau karya fiksi.

b) Plot

Plot berarti alur cerita fiksi yang menyajikan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian kepada pembaca tidak hanya dalam sifat kewaktuan tetapi juga dalam hubungan-hubunganyang sudah diperhitungkan. (memiliki hubungan kausalitas). Suminto (1997 : 18) mengemukakan bahwa plot atau alur cerita sebuah fiksi menyajikan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian kepada pembaca atau tidak hanya dalam sifat kewaktuan atau temporalnya, tetapi juga dalam hubungan-hubungan yang sudah diperhitungkan secara tertentu. Plot merupakan unsur fiksi yang penting. Hal tersebut dijelaskan kejelasan plot, kejelasan yang tentang antara peristiwa yang dikisahkan secara linear, akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang ditampilkan. Kejelasan plot dapat berarti kejelasan cerita, kesederhanaan plot berarti kemudahan cerita untuk dimengerti. Sebaliknya, apabila plot sebuah karya fiksi komplek, ruwet, dan sulit dikenali hubungan kautalitas antar peristiwanya, menyebabkan cerita menjadi lebih sulit dipahami.

Istilah plot ini banyak yang menyamakannya dengan jalan cerita seperti yang diungkapkan suminto. Seumardjo dan Saini (1988 : 48) menjelaskan contoh popular untuk menerangkan arti plot ialah raja mati disebut jalan cerita, tetapi raja mati karena sakit hati adalah plot. Apa yang disebut plot dalam cerita memang sulit untuk dicari. Plot bersembunyi dibalik jalan cerita, tetapi jarang cerita bukanlah plot. Jalan cerita hanyalah manifestasi, bentuk wadah, bentuk jasmaniah dari plot cerita. Plot memang harus dibedakan dengan jalan cerita. Namun orang sering mengacaukan kedua pengertian tersebut.

Abrams (dalam Nurgiayantoro: 113) menyetujui adanya perbedaan antara jalan cerita dengan plot seperti yang dikemukakan Sumardjo dan Saini, ia mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.

Dalam hal perbedaan istilah jalan cerita dan plot, Suminto (1997 : 19) berpendapat bahwa plot hendaknya diartikan tidak hanya sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu, tetapi lebih merupakan penyusunan yang dilakukan oleh penulisnya tentang peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan hubungan-hubungan kausalitasnya.

Stanton dalam Nurgiyantoro (2007 : 113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Kenny dalam Nurgiyantoro (2007 : 113) berpendapat bahwa plot adalah peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Pendapat senada diungkapkan foster dalam Nurgiyantoro (2007 : 113) bahwa plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.

Plot dengan jaln cerita memang berbeda satu yang lain, tetapi keduanya tidak terpisahkan. Suatu kejadian ada karena ada sebabnya dan akibatnya. Yang menggerakkan kejadian cerita tersebut adalah plot. Suatu kejadian baru dapat disebut cerita kalau di dalamnya ada perkembangan.

Menurut Loba dalam Aminudin ( 2002:84-85) gerak tahapan cerita menggambarkan seperti halnya gelombang. Tahap tersebut yaitu:

1) Eksposisi atau pemaparan adalah proses pemberitahuan informasi yang diperlukan dalam pemahaman cerita. Tahap ini dfisebut juga tahap perkenalan.

2) Komplikasi atau intrik- intrik awal yang akan berkembang menjadi konflik. Pada tahap ini dimunculkan tanda Tanya ( sejumlah pertanyaan) pada diri pembaca. Bagian ini berguna untuk merangsang pembaca agar penasaran untuk mengetahui kelanjutan cerita.

3) Klimaks merupakan titik intensitas tertinggi dari komplikasi.

4) Relevasi atau penyingkatan tabir atau problema.

5) Denauement atau penyelesaian merupakan tahap akhir suatu cerita.

Sebuah plot akan berbeda-beda jenisnya apabila ditinjau dari segi yang berlainan. Jika ditinjau dari segio penyusunan peristiwa yang membentuknya. Ada plot kronologis atau progresif dan plot regresif atau flash back atau back –tracking.

Jika ditinjau dari segi akhir cerita, dikenal adanya plot terbuka dan tertutup. Di dalam terbuka cerita biasanya berakhir pada klimaks dan pembaca dibiarkan untuk menentukan apa yang akan menjadi penyelesaian cerita.

Jika dilihat dari segi kualitasnya atau criteria jumlahnya, dikenal adanya plot tunggal dan jamak atau plot sub-subplot. Plot tunggal apabila cerita tersebuit hanya memiliki atau mengandung sebuah plot dan plot itu bersifat primer. Plot jamak apabila cerita itu memiliki lebih dari sebuah plot dan plot-plot utamanya juga lebih dari satu buah.

c) Tokoh dan penokohan

Setiap cerita khususnya cerpen tidak terlepas dari tokoh dan penokohan. Tokoh merupakan pemeran penting dalam cerita. Tanpa tokoh rangkaian cerita tyidak akan berkembang karena tokoh merupakan penggerak peristiwa.

Menurut Nurgiyanto (2007: 165) tokoh menunjuk pada orangnya, pada pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “ Siapakah tokoh utama dalam cerpen itu?”.

Nurgiyantoro (2007:165) mengemukakan penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, yakni menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita.

d) Setting dan Latar

Setting dalam fiksi bukan hanya sekedar background, artinya bukan hanya menunjukkan tempat kejadian dan harapan terjadinya.

Abrams mengungkapkan bahwa latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada hubungan waktu dan lingkungan sosial, tempat terjadinya peristiwa-[peristiwa yang diceritakan (dalam Nurgiyantoro,2007:216).

Latar dalam karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan pula berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan dan nilai-nilai yang berlaku ditempat yang bersangkutan.

Latar sebuah karya fiksi tidak barangkali hanya berupa latar yang sekadar latar, berhubung sebuah cerita memang membutuhkan landas tumpu, pijakan.

e) Sudut Pandang

Sudut pandang atau point of view tergolong kedalam sarana cerita. Sudut pandang merupakan ketentuan yang dipilih pengarang yang akan berpengaruh sekali dalam menentukan corak dan gaya cerita yang diciptakan.

Sudut pandang merupakan cara pandang yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam karya fiksi kepada pembaca ( Abrams dalam Nurgiyantoro, 2007:248).

Ada empat macam sudut pandang yang meliputi:

1) Omniscient point of view (sudut pandang yang berkuasa).

Disini pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Dia tahu segalanya. Ia bisa menciptakan apa saja yang ia perlukan untuk melengkapi cerita sehingga mencapai efek yang

diinginkan. Ia bisa keluar masukan para tokohnya. Ia dapat mengemukakan perasaan, kesadaran, jalan pikiran para pelaku.

2) Objective point of view

Di sini pengarang hanya menceritakan apa yang terjadi, pengarang sama sekali tidak memberi komentar apapun. Pengarang sama sekali tidak mau masuk kedsalam pikiran para pelaku.

3) Poin of view orang pertama.

Gaya bercerita dengan sudut pandangan “ Aku” inilah kebanyakan yang kita jumpai dalam cerpen Indonesia. Di sini pembaca seolah-olah membaca otobiografi dan bukan membaca fiksi.

4) Point of view peninjau.

Dalam teknik ini pengarang memilih salah satu tokohnya untuk bercerita. Seluruh kejadian cerita kita ikuti bersama tokoh ini. Tokoh ini bisa bercerita tentang pendapatnya atau perasaannya sendiri. Lebih jelasnya teknik ini berupa pengalaman seseorang si dia. Teknik ini sering disebut teknik orang ketiga yang pelakunya disebut dia, tentu saja lengkap dengan namanya.

f) Gaya

Gaya merupakan cara khas seseorang dalam mengungkapan tulisannya. Peranan gaya dalam fiksi merupakan suatu yang penting dan kompleks. Karena dalam gaya kita bisa melihat seorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan kemudian menceritakannya dalam sebuah cerita. Gaya dapat disebut juga cirri pribadi dari seorangpengarang.

Menurut Suminto (1997 : 110) gaya merupakan cara yang khas pengungkapan seoarang pengarang. Gaya seorang pengarang tidak akan sama apabila dibandingkan dengan gaya

pengarang lainnya karena seorang pengarang selalu menyajikan hal-hal yang berhubungan erat dengan selera pribadinya dan kepekaan terhadap sesuatu yang berada disekitarnya.

Dalam pengertian umum Abrams yang menyebut gaya dengan istilah stile/ style mengungkapkan bahwa gaya merupakan cara pengungkapan dalam bahasa prosa atau bagaimana seorang pengarang mengemukakan sesuatu yang akan dikemukakannya (dalam Nugiyantoro, 2002 : 276). Gaya ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa piguratif penggunaan bahasa piguratif, penggunaan kohesi, dan lain-lain. Ada tiga unsur yang terdapat dalam gaya yaitu (1) unsur leksikal, (2) unsur gramatikal dan (retorika).

Unsur leksikal atau diksi secara sederhana diartikan sebagai pilihan kata-kata yang dilakukan oleh pengarang. Dalam kaitan ini, pengertian denotasi dan konotasi tidak boleh diabaikan. Denotasi sebuah kata ialah arti kata itu yang sesuai dengan kamus, sedang konotasi merupakan arti yang di asosiakan atau disarankan. Singkatnya denotasi adalah arti lugas dan konotasi adalah arti khas.

Unsur gramatikal menyaran pada pengertian struktur kalimat. Dalm gaya kalimat lebih penting dan bermakna dari pada sekedar kata. Oleh karena itu dalam sastra pengarang mempunyai kebebasan penuh dalam mengkreasikan bahasa. Adanya berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk penyimpangan struktur kalimat merupakan hal yang wajar dan sering terjadi.

Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Ia dapat diperoleh melalui kreatifitas pengungkapan bahasa, yaitu pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya.

D. Hakikat Pendekatan Struktural Semiotik

Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha. Ia mendapat pengaruh langsung dari teori Saussuru yang mengubah studi linguistik dari pendekatan diakronik ke sinkronik. Studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya, melainkan pada hubungan antar unsurnya. Masalah unsur dan hubungan antar unsur merupakan hal yang penting dalam pendekatan ini.

Sebuah karya sastra fiksi atau puisi, menurut kaum Strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh unsure pembangunnya.

Di akhir abad ke 19 filsuf Amerika Charles Sanders Peirce memulai sebuah studi yang dinamakannya “Semiotik” dan dalam bukunya COURSE IN GENERAL LINGUISTICS (1915) linguis Swiss Ferdinand de Saussure tanpa mengetahui ide Peirce tersebut mengusulkan sebuah ilmu (a science) yang disebutnya “Semiology”. Sejak itu semiotika dan semiologi telah menjadi nama-nama alternatif bagi sebuah ilmu umum tentang tanda-tanda (a general science of signs), seperti yang terdapat dalam semua pengalaman manusia. Menurut ilmu ini pemakaian tanda tidak terbatas pada system komunikasi yang eksplisit seperti bahasa, kode morse dan tanda serta signal lalulintas. Beragam aktivitas dan produksi manusia lainnya – postur dan gerak badan kita, ritual sosial yang kita lakukan, pakaian yang kita pakai, makanan yang kita sajikan, bangunan tempat kita tinggal – mengandung “arti” yang dimengerti oleh anggota-anggota dari kebudayaan tertentu, makanya bisa dianalisis sebagai tanda-tanda yang berfungsi dalam berbagai jenis signifikasi. Walaupun studi tentang bahasa (pemakaian tanda-tanda verbal) dianggap hanya sebagai satu cabang semiotika, linguistik yang merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh seorang semiotikus dalam mempelajari semua system tanda sosial lainnya. C.S. Pierce membedakan tiga kelas tanda, yang didefinisikannya dalam konteks jenis hubungan antara item yang menandakan dan yang ditandakan:

1. Ikon

Ikon berfungsi sebagai tanda melalui persamaan inheren, atau unsur-unsur yang dimiliki bersama, dengan apa yang ditandakan. Contoh-contohnya adalah persamaan antara sebuah potret

dengan manusia yang digambarkannya atau persamaan antara sebuah peta dengan wilayah geografis yang diwakilinya.

2. Indeks

Indeks adalah sebuah tanda yang memiliki hubungan kausal dengan apa yang ditandakan. Jadi asap merupakan tanda yang mengindikasikan api, dan sebuah alat petunjuk arah angin mengindikasikan arah angin berhembus.

3. Simbol

Simbol atau dengan istilah yang kurang ambiguitas “tanda sebenarnya”. Hubungan antara item penanda dan apa yang ditandakan bukanlah sebuah hubungan yang alami, tapi merupakan sebuah konvensi sosial. Gerakan berjabat tangan misalnya dalam banyak kebudayaan merupakan tanda konvensional untuk sapaan ataupun persiapan dan lampu lalulintas berwarna merah secara konvensional menandakan “Berhenti!” contoh paling utama dan paling kompleks dari tipe tanda ketiga ini adalah kata-kata yang membentuk sebuah bahasa.

a. Definisi Semiotik menurut Para Ahli

Sebagai ilmu semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal. Sebagai pengetahuan praktis, pemahaman terhadap keberadaan tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui efektifitas dan efisiensi energy yang harus dikeluarkan. Memahami sistem tanda, bagaimana cara kerjanya, berarti menikmati suatu kehidupan yang lebih baik. Konflik, salah paham dan berbagai perbedaan pendapat diakibatkan oleh adanya perbedaan penafsiran terhadap tanda-tanda kehidupan.. disitu pihak ilmuan sosial mencoba memecahkan masalah sosial yang terjadi dengan cara menemukan latar belakangnya, sekaligus memecahkan secara teoretis misalnya dengan teori konflik. Di pihak yang lain, ia juga dapat memecahkannya melalui semiotika misalnya interaksi sosial. Tujuannya yang dicapai sama, yaitu mengatasi konflik suatu masyarakat tertentu.

Dick Hartoko memberi batasan bahwa semiotika adalah bagaimana karya itu ditafsirkan oleh para pengamat dan masyarakat lewat tanda-tanda dan lambang-lambang.

Luxemburg mengatakan bahwa semiotic adalah ilmu-ilmu secara sistematis mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang.

Aart van Zoest mendefinisikan semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda dan segala yang berhubungan dengannya.

Sujadi Wiryaatmaja mengatakan banwa semiotic adalah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda dan maknanya yang luas di dalam kehidupan masyarakat baik yang lugas maupun yag kias.

E. Anggapan Dasar

Seorang penyelidik mungkin meragukan sesuatu anggapan dasar orang lain diterima sebagai kebenaran. Dari contoh kehidupan sehari-hari orang yang berkata bahwa menurut Prof. Dr. Winanto Surakhamd M.Sc.Ed. anggapan dasar atau postulat adalah sebuah titik tolak pemikiran yang kebenarannya diterima oleh penyelidik. Setiap penyelidik dapat merumuskan postulat orang yang banyak makan akan menjadi gemuk. Yang akan dibalik ucapan itu adalah suatu anggapan bahwa semua yang dimakan orang tentu dapat dicerna, kemudian berubah menjadi otot dan lemak. Inilah sebabnya maka orang menjadi gemuk.

Jadi anggapan dasar adalah sesuatu yang diyakini kebenarannya oleh peneliti yang akan berfungsi sebagai hal yang digunakan untuk tempat berpijak bagi peneliti di dalam melaksanakan penelitiannya dalam pembuatan anggapan dasar yang harus diperhatikan adalah:

1. Membaca buku

2. Mendengarkan berita

3. Berkunjung ke tempat objek penelitian

4. Dengan mengadakan abstraksi

Manfaat dalam pembuatan anggapan dasar adalah:

1. Ada pijakan berpikir yang kokoh

2. Untuk mempertegas variabl

3. Guna menentukan dan merumuskan hipotesis

F. Hipotesis

Secara etimologi hipotesis berasal dari dua suku kata yaitu “Hypo” yang berarti lemah dan “thesis” yang berarti pernyataan. Hipotesis berarti sebuah pernyataan yang lemah, atau kesimpulan yang belum final, masih harus diuji atau dibuktikan kebenarannya. Menurut Kerlinger (2004:30) hipotesis adalah pernyataan dugaan tentang hubungan antara dua variable atau lebih.

Menurut Donal Ary, et.al (1985:76) ada dua alasan yang mendasarinya yaitu:

1. Hipotesis yang baik menunjukan bahwa peneliti memiliki ilmu pengetahuan yang cukup dalam kaitannya dengan permasalahan.

2. Dengan hipotesis dapat memberikan arah dan petunjuk tentang pengambilan data dan proses interprestasinya.

Good dan Scates (1954) menyatakan bahwa hipotesis adalah sebuah taksiran atau referensi yang dirumuskan serta diterima untuk sementara yang dapat menerangkan fakta-fakta yang diamati ataupun kondisi-kondisi yang diamati dan digunakan sebagai petunjuk untuk langkah-langkah selanjutnya.

Jadi hipotesis, secara sederhana merupakan dugaan yang diharapkan terjadi dalam penelitian.

a. Kegunaan Hipotesis

Kegunaan hipotesis antara lain:

1) Hipotesis memberikan penjelasan sementara tentang gejala-gejala serta memudahkan perluasan pengetahuan dalam suatu bidang

2) Hipotesis memberikan suatu pernyataan hubungan yang langsung dapat diuji dalam penelitian

3) Hipotesis memberikan arah kepada penelitian

4) Hipotesis memberikan kerangka untuk melaporkan kesimpulan penyelidikan

b. Jenis-jenis Hipotesis

Hipotesis dapat dibedakan berdasarkan penempatannya dan berdasarkan rumusannya. Adapun jenis-jenis hipotesis dijelaskan berikut ini.

1) Berdasarkan Penempatannya

Berdasarkan penempatan atau posisinya, hipotesis dibedakan menjadi dua yaitu hipotesis penelitian dan hipotesis statistik. Kedua hipotesis tersebut diuraikan sebagai berikut:

a) Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian biasanya ditempatkan pada bab ke dua atau studi kepustakaan setelah kajian teori yang dinyatakan dalam bentuk kalimat. Hipotesis penelitian pada umumnya sama banyaknya dengan perumusan masalah penelitian yang telah ditetapkan, karena hipotesis ini sifatnya hanya sebagai jawaban sementara terhadap rumusan masalah. Misalnya, terdapat hubungan yang positf dan signifikan antara motivasi berprestasi dengan hasil belajar matematika siswa.

b) Hipotesis Statistik

Hipotesis statistic biasanya ditempatkan pada bagian akhir bab ketiga atau bab yang berkaitan dengan analisis data. Hipotesis ini dinyatakan dalam bentuk symbol statistic. Hipotesis statistic hanya bekerja dengan menggunakan sebagian data yang diambil dari populasi maka tidak perlu ada hipotesis statistic. Hipotesis statistic bertujuan untuk menguji hipotesis penelitian dengan menggunakan data yang diambil sebagian dari populasi atau data sampel yang hasilnya diberlakukan pada populasi.

2) Berdasarkan Rumusannya

Berdasarkan rumusannya dalam suatu penelitian, hipotesis dibedakan menjadi dua yaitu hipotesis nol (null hypotheses) dan hipotesis kerja (alternative hypotheses). Kedua jenis hipotesis ini diuraikan sebagai berikut.

a) Hipotesis Nol

Hipotesis nol menyatakan tidak adanya hubungan atau perbedaan antara variable dengan variable lain atau tidak adanya pengaruh variable terhadap variable lain. Hipotesis nol biasanya disingkat H0.

Contoh :

(1) Tidak terdapat hubungan yang positif antara iklim belajar dengan prestasi belajar.

(2) Tidak terdapat pengaruh langsung konsep diri terhadap motivasi berpretasi.

(3) Tidak terdapat perbedaan achievement goals antara mahasiswa yang diajar menggunakan metode diskusi dengan metode ceramah.

b) Hipotesis Kerja atau Alternatif

Hipotesis kerja atau disebut juga sebagai hipotesis alternative menyatakan adanya hubungan antara variavel dengan variable lain atau adanya pengaruh variable terhadap variable lain. Hipotesis alternative biasanya disingkat dengan Ha atau Hi.

Contoh :

(1) Terdapat huungan yang positif antara iklim belajar dengan prestasi belajar.

(2) Terdapat pengaruh langsung konsep diri terhadap motivasi berprestasi.

Terdapat perbedaan achievement goals antara mahasiswa yang diajar menggunakan metode diskusi dengan metode ceramah.

3) Cirri-ciri hipotesis yang baik

a) Hipotesis harus mempunyai daya penjelas

b) Hipotesis harus menyatakan hubungan yang diharapkan ada di antara variable-variable.

c) Hipotesis harus dapat diuji

d) Hipotesis hendaknya konsitensis dengan pengetahuan yang sudah ada.

e) Hipotesis hendaknya dinyatakan sederhana dan seringkas mungkin.

4) Menggali dan merumuskan hipotesis

Dalam menggali hipotesis, peneliti harus :

a) Mempunyai banyak informasi tentang masalah yang ingin dipecahkan dengan jalan banyak membaca literature-literatur yang da hubungannya dengan penelitian yang sedang dilaksanakan.

b) Mempunyai kemampuan untuk memriksa keterangan tentang tempat-tempat, objek-objek serta hal-hal yang berhubungan satu sama lain dalam fenomena yang sedang diselidiki.

c) Mempunyai kemampuan untuk menghubungkan suatu keadaan dengan keadaan lainnya yang sesuai dengan kerangka teori ilmu dan bidang yang bersangkutan.

Good dan scates memberikan beberapa sumber untuk menggali hipotesis :

(1) Ilmu pengetahuan dan pengertian yang mendalam tentang imlu

(2) Wawasan serta pengertian yang mendlam tentag suatu wawasan

(3) Imajianasi dan anga-anga.

(4) Materi bacaan literature.

(5) Pengetahuan kebiasaan atau kegiatan dalam daerah yang diselidiki.

(6) Data yang tersedia.

(7) Kesamaan.

Sebagai kesimpulan, maka beberapa petunjuk dalam merumuskan hipotesis dapat diberikan sebagai berikut :

(a) Hipotsis harus dirumuskan secara jelas dan padat serta spesifik.

(b) Hipotesis sebaiknya dinyatakan dalam kalimat deklaratif dan berbentuk pernyataan.

(c) Hipotesis sebaiknya menyatakan hubungan antara dua atau lebih variable yang dapat diukur.

(d) Hendaknya dapat diuji.

(e) Hipotesis sebaiknya mempunyai kerangka teori.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Adapun penelitian yang dilakukan penulis yaitu dengan menggunakan metode deskriptif. Penulis akan mendeskripsikan data untuk menemukan unsur-unsurnya. Studi untuk menyusun makalah ini berupa pencarian referensi dari beberapa buku yang dapat dijadikan acuan untuk menggali informasi yang actual dan tetap berpegang pada prinsip refresentatif. Selain berbagai buku apresiasi dan kajian prosa, penulis juga menggunakan media maya untuk mencari data yang relevan dengan pembuatan makalah.

B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini terdiri atas dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas yaitu vriabel yang mempengaruhi pembelajaran. Variabel terikat yaitu variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas.

C. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data, penulis menggunakan studi pustaka, yaitu teknik yang digunakan untuk memperoleh bahan penunjang yang berhubungan dengan permasalahan.

D. Sumber Data

Objek yang diteliti adalah Cerpen “Undangan Menari” karya taufan sukma, dalam antologi cerpen yang berjudul “Undangan Menari” yang diterbitkan SYARIKAT INDONESIA, Yogyakarta, 2006. Cerpen “Undangan Menari’ ini berada pada halaman 104-121. Cerpen ini merupakan cerpen pertama yang disuguhkan dalam bahasa indonesia.

E. Instrumen Penelitian

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) silabus, (2) RPP, (3) Instrumen Kriteria Penelitian untuk proses hasil belajar, (4) Pedoman wacana.

Dari ketiga instrument tersebut, penulisa akan menjabarkan satu persatu, RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yaitu sebuah rangkaian pembelajaran yang akan penulis lakukan dalam proses pembelajaran.

Instrument criteria penilaian dan proses belajar merupakan satu pedoman untuk mengetahui kegiatan pembelajaran. Pedoman wawancara adalah sejumlah pertanyaan yang penulis susun untuk mengetahui respon siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.

F. Langkah-langkah Penelitian

Langkah-langkah penelitian yang penulis laksanakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Tahap perencanaan

2. Tahap pelaksanaan tindakan

3. Deskripsi hasil tindakan

4. Refleksi

G. Analisis dan Pengolahan Data

Dalam mengolah data pada penelitian ini, penulis mengolah dan menganalisis data penelitian yang mengacu pada penelitian kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Mengklasifikasikan data

2. Mengkoding data

3. Menganalisis dan memprsentasikan data

4. Menafsirkan data

5. Menjelaskan dan menyimpulkan hasil penelitian

H. Waktu dan Tempat Penelitian

Penulis melaksanakan penelitian ini di SMA 6 Tasikmalaya, tepatnya pada kelas XI A tahun ajaran 2012/2013. Penelitian ini dilaksanakan November sampai Desember 2012.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kajian Cerita Pendek Undangan Menari Karya Taufan Sukma dengan Menggunakan Struktural Semiotik

1. Lapis Bentuk

a. Satuan Peristiwa UNDANGAN MENARI

Namanya sederhana, Gendhis. Nama itu cukup mewakili wajahnya yang manis. Sehingga banyak Gus-Gus kolega bapaknya yang sudah tertarik melamar sekalipun simanis belum begitu matang. Manis wajah Gendhis mungkin diturunkan dari ibunya, Sulis. Dulu si ibu seorang santriwati yang sempat menjadi pujaan para santri, sebelum Gusnur, sang Guru menikahinya di usia yang baru belasan tahun “pernikahan ini tak lain kecualiuntuk mencari berkah Tuhan”. Sebuah kalimat yang teramat sering diceritakan kembali oleh Sulis pada Gendhis sebagai sebuah hal yang paling romantic dalam hidupnya, manakala Gendhis beranjak tidur. Dalam usia yang belum mematang, Gendhis tak tahu apa artinya cerita ibunya, yang kadang-kadang lebih bertindak sebagai kakaknya itu.

Semua berjalan baik-baik saja sampai suatu saat yang tak di duga-duga dating seperti senjakala dan senjakala itu datang dari sebuah surat panggilan dari kelurahan untuk menghadap esok hari pukul delapan.

Nek dikon nari maneh ojo gelem. Ojo nganti gelem. Bapa ora bakal ridho. Ora bakal tak pangestoni. Arep dideleh ngendi raine bapak iki? Ngisin-ngisini. Wong anake Gusnur, kyai sing duwe pasantren gede, ko megal-megol, njogat-njoget neng ngarepe wong akeh. Dosa kowi. Tur opo kowe ora isin karo Gus Ilham, bakal bojomu? Wong sesasi engkas wis arep dilamar ko sih nari wae. Pokoke ojo gelem”

( Kalau disuruh menari lagi jangan mau. Jangan sampai mau. Bapak tidak akan meridhoi. Tidak akan ku restui. Mau ditaruh dimana muka bapak ini ? memalukan. Anaknya Gus Nur, kyai pemilik pesantren besar, ko berlenggak-lenggok menari di depan orang banyak.

Itu dosa, dan lagi apa kamu tidak malu dengan Gus Ilham, calon suamimu? Sebulan lagi sudah mau dilamar kok masih menari saja. Pokonya jangan mau.)

Gendhis memang suka menari. Sangat suka. Gandrung tempatnya. Dia seakan menemukan dirinya yang bebas, dirinya yang merdeka, saat menari. Satu hal yang dia tidak temukan dalam setiap aturan dan ajaran pesantren. Dan kegandrungan itu yang membuatnya tak acuh terhadap semua larangan orang tuanya saat dia pamit hendak menari. Hanya sesekali saja ibunya sedikit mau mengerti. (Tidak sulit kiranya bagi Sulis untuk sejenak mengingat bagaimana kondisinya sendiri saat tujuh tahun silam, untuk mencoba kengototan Gendhis, anak semata wayangnya untuk menari). Gendhis akan tetap menari dengan atau tanpa ijin orangtuanya. Ada dua tarian yang sangat dia suka dan hapal. Tari lumbung desa dan tari genjer-genjer. Adalah pengalaman yang tak terlupakan ketika setahun yang lalu dia di undang untuk menari dibalai kota. Saat itu tepat pada hari ulang tahunnya yang ketiga belas. Saat itu dengan penuh semangat dia menceritakan pengalaman itu kepada semua orang. Yang dijumpainya setelah usai menari. Dan kini dia dipanggil kelurahan. Bapaknya yang mengira itu adalah undangan untuk menari dengan tegas mewanti-wanti agar tidak berangkat.

Tapi gendhis tetap berangkat. Sampai dia tahu bahwa panggilan kelurahan itu bukanlah untuk menawarinya menari lagi.

“sini duduk dahulu” kata pak Lurah “ini segera diisi terus dikumpulkan. Di tumpuk disini sekalian menunggu teman-teman lainnya”.

Entah kenapa suasana terasa begitu tegang. Tidak ada yang mencoba bicara seorang pun. Semua diam.