PERBEDAAN TINGKAT INTELIGENSI ANAK OBES DAN TIDAK OBES PADA PELAJAR SEKOLAH DASAR NEGERI 15 di KOTAMADYA SURAKARTA. Nova Aryanto
PERBEDAAN TINGKAT INTELIGENSI ANAK OBES DAN TIDAK OBES PADA PELAJAR SEKOLAH DASAR NEGERI 15
di KOTAMADYA SURAKARTA
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama Biomedik
Disusun oleh: Nova Aryanto Wijoyo
S 590 902 003
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014
(2)
(3)
(4)
PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini: Nama : Nova Aryanto Wijoyo NIM : S. 590902003
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul PERBEDAAN TINGKAT INTELIGENSI ANAK OBES DAN TIDAK OBES PADA PELAJAR SEKOLAH DASAR NEGERI 15 di KOTAMADYA SURAKARTA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis ini diberi tandacitasidan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Oktober 2014 Yang membuat pernyataan,
Nova Aryanto Wijoyo
(5)
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas petunjuk dan rahmat yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaian tesis dengan judul
PERBEDAAN TINGKAT INTELIGENSI ANAK OBES DAN TIDAK OBES PADA PELAJAR SEKOLAH DASAR NEGERI 15 di KOTAMADYA SURAKARTA
Tesis ini disusun sebagai untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) I Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta serta untuk persyaratan mencapai Derajat Magister.
Terselesaikannya tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS selaku rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr, Sp.PD-KR-FINASIM selaku dekan fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan spesialisasi Ilmu Kesehatan anak.
3. Prof. Dr. Ir.Ahmad Yunus, MS selaku direktur program pasca sarjana yang telah memberi kesempatan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret dan mengadakan penelitian di dalam lingkup Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Dr. Hari Wujoso, dr, SpF, MM, selaku Ketua Program studi Kedokteran Keluarga Pascasarjana Universitas Sebelas Maret surakarta
5. Endang Dewi lestari,dr, SpA(K), MPH selaku Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNS/RSDM. Terima kasih telah memberikan kesempatan kepada kami untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
(6)
6. Prof. Dr. Harsono Salimo, dr, SpA(K) selaku pembimbing metodologis. Terima kasih telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret dan telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk pembuatan tesis penelitian ini. 7. Dra. Suci Murtikarini, MSi selaku pembimbing substansi yang dengan
kesabarannya memberi masukan tesis ini sehingga menjadi lebih baik. 8. Kepala sekolah, guru dan orang tua murid SD Negeri Mangkubumen 15
Surakarta yang telah memberi ijin dan membantu jalannya penelitian ini. 9. Orang tua penulis dr. Oriono Rahardjo, SpA dan dr.Dyah Laksmi
Sumiarsih yang dengan kesabaran dan kasih sayang telah membesarkan, membimbing dan mendidik sehingga penulis dapat mencapai jenjang pendidikan seperti sekarang, semoga Allah SWT memberikan balasan yang sebaik-baiknya
10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis penelitian ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca kami harapkan sehingga lebih sempurna.
Surakarta, Oktober 2014 Penulis
Nova Aryanto Wijoyo
(7)
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL………...………... i
HALAMAN PENGESAHAN………...……… ii
BERITA ACARA……….. iii
HALAMAN PERNYATAAN……….. iv
KATA PENGANTAR……… v
DAFTAR ISI………. vii
DAFTAR GAMBAR……… ix
DAFTAR TABEL………. x
DAFTAR LAMPIRAN………..… xi
ABSTRAK……….. xii
ABSTRACT……… xiii
BAB I PENDAHULUAN………. 1
1. Latar Belakang Masalah………. 1
2. Rumusan masalah……..………. 5
3. Tujuan Penelitian... 5
4. Manfaat Penelitian... 6
BAB II. KAJIAN ILMU... 7
1. Obesitas... 7
a. Definisi... 7
b. Kriteria obesitas... 7
c. Epidemiologi ... 10
d. Patogenesis dan etiologi... 11
e. Dampak obesitas... 12
2. Inteligensi... 13
a. Definisi intelgensi... 13
b. Fase Perkembangan inteligensi……..………. 16
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi…..………….. 22
d. Pengukuran dan Tingkat Inteligensi………... 24
(8)
3. Perbedaan tingkat inteligensi pada anak obes dan tidak obes… 26
4. Kerangka konsep..……….…………. 28
5. Hipotesis…….…….……….………….. 29
BAB III METODE PENELITIAN………….……….. 30
1. Desain penelitian……… 30
2. Tempat dan Waktu………. 30
3. Populasi……….. 30
4. Subyek dan cara pemilihan subyek……… 30
5. Besar subyek………... 31
6. Identifikasi variable penelitian……… 32
7. Definisi variabel operasional penelitian….….……… 32
8. Izin subyek penelitian…….……… 37
9. Alur penelitian……… 38
10. Pengolahan data………. 39
BAB IV. ANALISIS HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN… 40 1. Hasil penelitian………... 40
2. Pembahasan……… 47
3. Kelemahan penelitian………. 56
4. Kelebihanpenelitian………. 57
BAB V. PENUTUP………... 58
1. Simpulan………...………. 58
2. Saran………... 58
DAFTAR PUSTAKA……… 60
LAMPIRAN... 67
(9)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka konsep...28 Gambar 2. Alur Penelitian...38
(10)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Klasifikasi BMI pada anak... 9
Tabel 2. Skor tesIntelligence Quotient(IQ)... 26
Tabel 3. Tabel 2x2 hasil pengamatan... 39
Tabel 4.1 Karakteristik dasar penghasilan orang tua terhadap IQ ... 40
Tabel 4.2 Karakteristik dasar pendidikan orang tua terhadap IQ... 41
Tabel 4.3 Karakteristik dasar aktivitas terhadap IQ... 41
Tabel 4.4 Karakteristik dasar pola makan terhadap IQ... 42
Tabel 4.5 Karakteristik dasar Indeks massa tubuh terhadap IQ... 42
Tabel 4.6 Karakteristik dasar umur tehadap IQ ... 43
Tabel 4.7 Jenis kelamin terhadap IQ... 44
Tabel 4.8 Tabel analisis regresi logistik penghasilan orang tua terhadap IQ 44 Tabel 4.9 Tabel analisis regresi logistik pendidikan terhadap IQ ... 45
Tabel 4.10 Tabel analisis regresi logistik aktivitas fisik terhadap IQ ... 45
Tabel 4.11 Tabel analisis regresi logistik pola makan terhadap IQ ... 46
Tabel 4.12 Tabel hasil uji t beda mean IQ anak obes dan tidak obes ... 46
(11)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kelaikan etik... 67
Lampiran 2. Surat Keterangan Pengambilan Data ... 68
Lampiran 3. Persetujuan Penelitian... 69
Lampiran 4. Formulir Wawancara Untuk Anak ... 70
Lampiran 5. Formulir Kuesioner untuk orang tua murid ... 73
Lampiran 6. Formulir penghasilan keluarga ... 75
Lampiran 7. Daftar Subyek penelitian ... 76
Lampiran 8. Hasil olah data SPSS 16 ... 80
(12)
ABSTRAK
Nova Aryanto Wijoyo. NIM S590902003. 2014 PERBEDAAN TINGKAT INTELIGENSI ANAK OBES DAN TIDAK OBES PADA PELAJAR
SEKOLAH DASAR NEGERI 15 di KOTAMADYA SURAKARTA. Tesis.
Pembimbing I: Prof. DR. Harsono Salimo, dr, Sp.A(K), II: Dra Suci Murti Karini, Msi. Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama Ilmu Biomedik Program Pasca sarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta
Obesitas dapat mempengaruhi kemampuan kognitif anak yang selanjutnya dapat menyebabkan perubahan tingkat inteligensi. Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan tingkat inteligensi antara anak obes dan tidak obes pada anak usia 6-12 tahun di Sekolah Dasar Negeri 15 di kotamadya Surakarta. Desain penelitian ini merupakan penelitian potong lintang untuk mengetahui perbedaan tingkat inteligensi pada anak obes dan tidak obes. Teknik sampling yang dipakai adalah
purposive sampling. Analisis variabel bebas terhadap variabel tergantung dilakukan secara bivariat menggunakan uji Chi-square atau uji Fisher. Analisis bivariat obes dan tidak obes dalam skala numerik dilakukan dengan uji t berpasangan. Dari 60 anak yang ikut serta dalam penelitian 63,9% berjenis kelamin laki-laki dan 36,1% berjenis kelamin perempuan. Hasil dari karakteristik dasar didapatkan hasil prevalensi anak dengan obes yang memiliki tingkat inteligensi cerdas sebesar 11,5%, sementara prevalensi anak tidak obes dengan tingkat inteligensi cerdas sebesar 37,7%. Dari segi pendapatan orang tua dengan katagori menengah pada anak yang memiliki tingkat inteligensi cerdas mempunyai prevalensi sebesar 16,4%, sementara dari segi pendidikan orangtua dengan katagori sarjana yang memiliki anak dengan tingkat inteligensi normal hingga cerdas mempunyai prevalensi sebesar 67,2%. Dari hasil analisis regresi logistik terdapat pengaruh positif penghasilan orang tua (b= 0,565; 95% C.I = 0,297-10,413; p = 0,533), pendidikan orang tua (b= 0,466; 95% C.I =0,380-6,679; p = 0,524) , aktifitas fisik (b= 0,150; 95% C.I = 0,306-4,406; p = 0,826), pola makan lebih dari 3 kali terhadap IQ (b= 0,816; 95% C.I = 0,601-8,505; p =0,228).Dari uji beda mean didapatkan beda mean= 1,858 dengan CI 95% (-2,05 –5,76) p= 0,345 Simpulan : Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan tidak ada perbedaan signifikan pada tingkat inteligensi anak obes dan tidak obes.
Kata kunci: obesitas, anak-anak, inteligensi
(13)
ABSTRACT
Nova Aryanto Wijoyo. NIM S590902003. 2014 PERBEDAAN TINGKAT INTELIGENSI ANAK OBES DAN TIDAK OBES PADA PELAJAR SEKOLAH DASAR NEGERI 15 di KOTAMADYA SURAKARTA. Thesis. Supervisor I: Prof. DR. Harsono Salimo, dr, Sp.A(K), II: Dra Suci Murti Karini, Msi. Medical Family Study Program, Post Graduate program, Special interest Biomedical science, University of Sebelas Maret, Surakarta.
Obesity can affect a child's cognitive abilities which in turn can lead to changes in the level of intelligence. This study aimed to analyze the differences between the intelligence levels of obese and nonobese children in children aged 6-12 years in State Elementary School 15 in the municipality of Surakarta. The design of this study is a cross-sectional study to determine differences in the level of intelligence in obese and nonobese children. The sampling technique used was purposive sampling. Analysis of independent variables on the dependent variable in bivariate performed using Chi-square or Fisher's exact test. Bivariate analysis in obese and nonobese nominal scale is done by paired t test. Of the 60 children who participated in the study 63.9% were male and 36.1% female. Results From baseline characteristics showed that the prevalence of obese children to have a level of intelligence of the intelligent by 11.5%, while the prevalence of obese children with a level of intelligence does not intelligently by 37.7%. In terms of parental income with a secondary category in children who have a level of intelligence of the intelligent have a prevalence of 16.4%, while in terms of the categories of parental education scholars who have children with normal intelligence to intelligent level has a prevalence of 67.2%. From the results of logistic regression analysis found a positive effect of parental income (b= 0,565; 95% C.I = 0,297-10,413; p = 0,533), parental education (b= 0,466; 95% C.I =0,380-6,679; p = 0,524), physical activity(b= 0,150; 95% C.I = 0,306-4,406; p = 0,826) , eating more than 3 times the IQ (b= 0,816; 95% C.I = 0,601-8,505; p =0,228). Mean difference test found the mean difference= 1.858 95% CI(2.05 -5.76) p = 0.345 Conclusion: From this study it can be concluded there was no significant difference in the level of intelligence of obese and nonobese children.
Keywords: obesity, children, intelligence
(14)
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan. Obesitas saat ini sudah menjadi masalah kesehatan diseluruh dunia, bahkan WHO menyatakan bahwa obesitas sudah merupakan suatu epidemi global, sehingga obesitas sudah merupakan suatu problem kesehatan yang harus segera ditangani (WHO,2000).
Di Indonesia, terutama di kota-kota besar, dengan adanya perubahan gaya hidup yang menjurus ke westernisasi berakibat pada perubahan pola makan atau konsumsi masyarakat yang merujuk pada pola makan tinggi kalori, tinggi lemak dan kolesterol, terutama terhadap penawaran makanan siap saji ( fast food) yang berdampak meningkatkan risiko obesitas (Subardja dkk, 2010).
Prevalensi obesitas pada anak dan remaja saat ini meningkat secara dramatis. Hal ini disebabkan oleh adanya industrialisasi dan globalisasi yang mengakibatkan perubahan pola masukan makanan, komposisi, ketersediaan dan harganya telah mengubah pola hidup yang ada (Subardja dkk, 2010). Perkembangan kemajuan teknologi dengan penggunaan kendaraan bermotor yang telah memudahkan mobilitas dan berbagai media elektronika memberi dampak berkurangnya aktifitas fisik yang akhirnya mengurangi keluaran energi (Syarif, 2010, 2003, 2002).
(15)
Data dari Centres for Disease Control and Prevention (CDC) didapatkan prevalensi obesitas pada anak usia prasekolah di amerika tahun 2008 adalah 14,6%, sedangkan prevalensi obesitas pada anak usia 12-18 tahun meningkat dari 6% pada tahun 1970an menjadi 17% pada tahun 2003-2004 (CDC, 2009; Yanovski, 2007). Prevalensi anak usia sekolah dengan overweight di negara berkembang paling banyak di dapatkan di amerika latin dan karibia (4,4%), kemudian afrika (3,9%), dan asia (2,9%). Tetapi secara mutlak jumlah terbesar ada di asia karena lebih dari 60% (atau 10,6 juta jiwa) tinggal di kawasan ini (de Onis, 2000).
Di indonesia prevalensi obesitas menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 adalah 12,2% untuk balita, dan 9,5% untuk anak usia sekolah laki-laki, serta 6,4% untuk anak usia sekolah perempuan. Prevalensi obesitas anak usia sekolah di jawa tengah sebesar 6,6% untuk anak laki-laki dan 4,6% untuk anak perempuan (RISKESDAS, 2007). Prevalensi obesitas pada anak SD di Yogyakarta sebesar 7,9% perempuan dan 12,6% pada laki-laki (Himmah, 2005). Sedangkan prevalensi obesitas untuk anak SLTP di Yogyakarta sebesar 4,9% (Hidayati dkk, 2006). Prevalensi obesitas di semarang sebesar 12,1% (Mexitalia, 2004). Di SD Bromantakan Surakarta, prevalensi obesitas sebesar 9,7% (Hidayah, 2007).
Penumpukan lemak regional khususnya pada segmen tubuh bagian atas merupakan prediktor yang lebih baik daripada IMT untuk komplikasi yang terkait dengan obesitas, seperti hipertensi, diabetes, obstructive sleep apneu, dan penyakit kardiovaskuler ( Martinho et al, 2008). Beberapa peneliti telah menguji
(16)
hubungan antara lingkar pinggang dengan IMT dan telah dibuktikan bahwa lingkar pinggang berkorelasi baik dengan IMT dan total lemak tubuh, serta berhubungan dengan risiko penyakit kardiovaskuler (Bigaard et al, 2005; Jansen et al, 2004; Wang, 2003).
Ada banyak metode yang dipakai untuk menentukan obesitas, beberapa teknik bisa dilakukan di fasilitas kesehatan primer, seperti pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang, lingkar pinggul, rasio lingkar pinggang dan lingkar pinggul, akan tetapi pengukuran tersebut tidak selalu dapat dipraktekkan, khususnya jika musim dingin, kondisi sibuk, atau pada praktek pribadi harian (Ben-noun et al, 2001). Salah satu alat ukur yang paling banyak digunakan untuk menentukan obesitas pada anak dan orang dewasa adalah Indeks Massa tubuh (IMT) yang didefinisikan sebagai berat badan individual dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter (IMT = kg / m2) Akan tetapi disamping popularitas dan kemudahannya sebagai alat antropometris, Indeks Massa Tubuh memiliki beberapa kelemahan yaitu penghitungannya tidak menunjukkan variasi distribusi lemak yang ecara alamiah berbeda antar individu dan populasi (WHO, 2000). Salah satu metode yang akurat untuk menentukan ditribusi lemak tubuh adalah computed tomography scan(CT Scan) danMagnetic resonance Imaging (MRI). Akan tetapi metode ini kurang sesuai karena mahal dan resiko terpapar radiasi (Cole dan Chacera, 2002).
Pekerjaan, pendidikan, pendapatan yang diterima oleh orang tua, lingkungan di sekitar anak, pola asuh yang diterapkan orang tua, intensitas hubungan antara orang tua dan anak, status sosial ekonomi keluarga serta
(17)
tingkat kesejahteraan keluarga dapat mempengaruhi kemampuan kognitif seorang anak. Hal ini dibuktikan oleh Santos, di mana anak-anak dengan status sosial dan kesejahteraan keluarga yang baik mempunyai kemampuan kognitif lebih baik dibandingkan anak-anak yang berasal dari status sosial dan tingkat kesejahteraan yang rendah (Engle PL, Black MM. 2008 ; Santos, et al 2008).
Karakteristik orang tua, lama menonton televisi, olah raga, aktivitas fisik, perkembangan psikososial berhubungan erat terhadap kejadian obesitas dan berat badan lebih sehingga dapat mempengaruhi kemampuan kognitif anak, pada penelitian yang dilakukan oleh Yanfeng, Huang F dan Lee MJ membuktikan bahwa anak-anak yang mengalami obesitas dan berat badan lebih dengan pola aktivitas fisik, olahraga yang kurang, menonton televisi lebih dari 2 jam sehari, perkembangan psikososial yang tidak seimbang serta karakteristik orang tua yang cenderung jarang mendampingi anak di rumah akan meningkatkan kejadian obesitas dan berat badan lebih serta tingkat inteligensi yang kurang (Yanfeng,et al 2008, Huang F, Lee MJ 2007).
Inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Dalam arti yang lebih luas, para ahli mengartikan Inteligensi sebagai suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Inteligensi berkaitan dengan keterampilan seseorang menghadapi persoalan (Dunbar RI, Shultz S. 2007)
(18)
Kecerdasan dapat diukur dengan menggunakan alat psikometri yang biasa disebut sebagai tes IQ. Skor tes IQ sering dilihat sebagai ukuran kecerdasan seorang anak. Tes IQ adalah alat ukur kecerdasan yang hasilnya berupa skor. Tetapi skor tersebut hanya memberi sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan secara keseluruhan ( Dunbar RI, 2007).
Istilah Inteligensi ini ditemukan pada tahun 1912 oleh William Stern. Digunakan sebagai pengukur kualitas seseorang pada saat itu, dan ternyata masih juga di Indonesia saat ini. Inteligensi ini terletak di otak bagian korteks. Inteligensi adalah sebuah kemampuan yang memberikan individu untuk berhitung, beranalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi (De Young CG. 2011; Gottfredson L, Saklofske DH. 2009; Pal HR,2004 ).
2. Rumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan tingkat inteligensi antara anak obes dan tidak obes?
3. Tujuan Penelitian
a. Tujuan umum
Menganalisis perbedaan tingkat inteligensi antara anak obes dan tidak obes. b. Tujuan khusus
i. Mengidentifikasi tingkat inteligensi pada anak usia 6-12 tahun.
ii. Menilai status antropometri anak usia 6-12 tahun di Sekolah Dasar Negeri 15 di kotamadya Surakarta.
(19)
a. Manfaat bidang akademik
Memberi masukan bidang ilmu kesehatan anak tentang perbedaan tingkat inteligensi antara anak obes dan tidak obes.
b. Manfaat bidang pelayanan
i. Bagi petugas kesehatan dapat mengetahui tingkat Inteligensi pada anak obes.
ii. Bagi orang tua murid dapat memperkirakan tingkat Inteligensi putra-putri mereka yang mengalami obesitas.
c. Manfaat di bidang kedokteran keluarga
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi, tingkat inteligensi pada anak obes serta dapat memberi masukan kepada orang tua yang putra-putrinya mengalami obesitas untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki.
(20)
BAB II KAJIAN ILMU
1. Obesitas a. Definisi
Obesitas atau kegemukan didefinisikan sebagai suatu keadaan terdapatnya penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Obesitas merupakan hasil akhir dari ketidak seimbangan antara ambilan energi dengan keluaran energi karena adanya ambilan yang melebihi keluaran dan menghasilkan penimbunan dalam jaringan lemak dan disimpan sebagai cadangan energi tubuh (Syarif dkk, 2010; Subardja dkk; 2010 Clement, 2003).
Sebagian besar obesitas pada anak terjadi karena interaksi faktor lingkungan seperti makan berlebihan dan atau kurangnya aktifitas fisik dengan faktor genetik (obesitas primer). Hanya sebagian kecil (1%) disebabkan oleh penyakit herediter familial atau bagian dari suatu penyakit tertentu (obesitas sekunder) (Subardja dkk, 2010).
b. Kriteria obesitas
Secara klinis anak obesitas mudah dikenali karena mempunyai ciri-ciri yang khas, antara lain: wajah bulat dengan pipi tembem dan dagu rangkap, leher relatif pendek, dada membusung dengan payudara membesar, perut membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat, dan striae abdomen.
(21)
Pada anak laki-laki bisa ditemukan penis yang tenggelam sehingga tampak kecil (burried penis), dan ginekomastia. Pada kulit bisa didapatkan intertrigo, dermatitis moniliasis, dan acanthosis nigrican, serta jerawat. Anak yang obes dapat mengalami pubertas dini, genu valgum ( tungkai berbentuk X ) dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel dan bergesekan yang dapat menyebabkan laserasi kulit (Sjarif dkk, 2010; Subardja dkk, 2010).
Diagnosis obesitas dapat di awali dengan anamnesis, di tanyakan kapan saat mulai timbulnya obesitas, riwayat tumbuh kembang yang mendukung obesitas endogen, keluhan mengorok (snoring)saat tidur, dan nyeri pinggul. Riwayat gaya hidup perlu digali mengenai pola makan/kebiasaan makan serta aktifitas fisis (misalnya sering menonton televisi). Riwayat keluarga dengan obesitas menjadi pertimbangan kemungkinan adanya faktor genetik, disertai dengan adanya resiko seperti penyakit kardiovaskuler di usia muda, hiperkolesterolemia, hipertensi dan diabetes melitus tipe 2 (Barlow, 2007; Jenvey VB. 2007).
Penentuan obesitas berdasarkan antropometri dapat di lakukan dengan (Sjarif dkk, 2010;) :
i. Membandingkan berat badan terukur dengan berat badan ideal menurut tinggi badan (BB/TB). Disebut obes bila BB/TB di atas persentil 90 atau >120% di bandingkan berat badan ideal.
ii. Mengukur tebal lipatan kulit (TLK) bisep, trisep, subskapular dan suprailiaka. Disebut obes bila TLK di atas persentil ke-85.
(22)
The international obesity task force (IOTF) tahun 1994. WHO tahun 1997, danThe Expert Committee on Guidelines for overweight in Adolescent Preventive Servicesmerekomendasikan indeks massa tubuh (IMT) sebagai baku pengukuran obesitas pada anak dan remaja (Sjarif,2002). Indeks Massa Tubuh menjadi petunjuk untuk menentukan kelebihan berat badan berdasarkan Indeks Quatelet (berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter; Kg / m2) ( Sjarif dkk, 2010; Nammi,2004; CDC 2007). Interpretasi IMT tergantung pada umur dan jenis kelamin anak, karena terdapat perbedaan lemak tubuh pada anak laki-laki dan perempuan. Disebut berat badan lebih bila IMT berada pada persentil ke-85 hingga kurang dari persentil ke-95, disebut obesitas apa bila IMT lebih atau sama dengan persentil ke-95 (Reilly dkk,2002; Sjarif dkk, 2010).
Klasifikasi BMI menurut umur
Underweight Kurang dari persentil ke-5
Normal Persentil ke-5 sampai dengan kurang dari persentil ke-85 Overweight Persentil ke-85 sampai dengan kurang dari persentil ke-95 Obesitas Lebih dari Persentil ke-95
Tabel 1. Klasifikasi BMI pada anak (Healthy weight. 2009)
Menurut Subardja dkk, 2010, berdasarkan penyebabnya obesitas dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu :
i. Obesitas primer (eksogen): suatu keadaan kegemukan pada seseorang yang terjadi tanpa sebab penyakit secara jelas, tetapi semata-mata
(23)
disebabkan oleh interaksi faktor genetik dan lingkungan. Bentuk obesitas seperti ini paling sering didapatkan pada anak.
ii. Obesitas sekunder (endogen/glanduler): merupakan suatu bentuk obesitas yang jelas awitannya atau timbulnya bersamaan sebagai bagian dari penyakit hormonal atau sindrom yang dapat dideteksi secara klinis. Lebih jarang terjadi pada anak dan hanya merupakan <1% obesitas pada anak. Obesitas sekunder, dapat berupa lesi struktural atau biokimia yang jelas seperti akibat kelainan kromosom, organ endokrin, penyakit infeksi, atau sama sekali sebabnya tidak diketahui.
c. Epidemiologi obesitas.
Prevalensi obesitas pada anak di Amerika meningkat secara dramatis sejak 30 tahun terakhir. Prevalensi obesitas pada umur 10 tahun diantara anak sekolah di Birmingham adalah 21% pada anak laki-laki, 26%pada perempuan kulit putih dan masing-masing 38% baik pada anak laki-laki maupun anak perempuan Afrika Amerika (Ogdenet al, 2006; Styne, 2001).
Prevalensi obesitas di indonesia menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 adalah 12,2% untuk balita, dan 9,5% untuk anak usia sekolah laki-laki, serta 6,4% untuk anak usia sekolah perempuan (RISKESDAS, 2007). Di DKI Jakarta prevalansi obesitas meningkat dengan bertambahnya umur. Prevalansi obesitas pada umur 6-12 tahun adalah sekitar 4%, remaja 12-18 tahun adalah sebesar 6,2% dan umur 17-18 tahun adalah sebesar 11,4%. Obesitas pada remaja wanita lebih banyak daripada laki-laki yaitu 10,2% dibanding 3,1% (RISKESDAS,2007 ).
(24)
Prevalensi obesitas di DI Yogyakarta berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Himmah R dkk pada anak-anak sekolah dasar di dapatkan 7,9% pada anak perempuan dan 12,6% pada anak laki-laki (Himmah dkk,2005).Penelitian di semarang oleh Mexitalia dkk mendapatkan prevalensi obesitas 12,1% (Mexitalia dkk, 2005).
d. Patogenesis dan Etiologi Obesitas
Berlebihnya ambilan energi dibandingkan dengan keluarannya menyebabkan peningkatan berat badan dan obesitas disertai peningkatan pengeluaran energi total. Pengeluaran energi total terdiri dari metabolisme basal, termogenesis postprandial, dan aktifitas fisis. Di antara ketiga komponen ini, aktivitas fisis merupakan komponen yang paling praktis untuk diukur (Gahagan S, 2011).
Sebagian besar penyebab ketidak-seimbangan tersebut adalah faktor idiopatik (obesitas primer atau nutrisional), hanya kurang dari 1% kasus disebabkan faktor endogen (obesitas sekunder atau non nutrisional) seperti kelainan hormonal, sindrom atau genetik. Faktor genetik misalnya gen yang mengkode hormon leptin mempunyai efek baik pada masukan maupun keluaran energi. Terdapat tujuh gen yang diketahui menyebabkan obesitas pada manusia. Faktor genetik yang diketahui mempunyai peranan kuat menimbulkan obesitas adalah parental fatness. Peningkatan resiko pada anak dengan orang tua obesitas kemungkinan disebabkan pengaruh gen atau faktor lingkungan dalam keluarga (Syarif, 2002; Ramman,2002). Faktor lingkungan berperan terhadap terjadinya obesitas dengan mempengaruhi masukan energi dan menurunkan keluaran energi. Penurunan
(25)
energi tersebut antara lain disebabkan karena kekurangan aktivitas fisis akibat kebiasaan menonton televisi, bermain game,komputer, maupun media elektronik lain dan penggunaan alat transportasi modern (Nammi et al, 2004).
e. Dampak obesitas
Obesitas dapat menimbulkan berbagai komplikasi dan penyakit, seperti hipertensi, diabetes, obstruktif sleep apneu, dan penyakit kardiovaskuler (Ben-noun et al, 2006; Jolliffe CJ, Janssen I,2006; Martinho et al, 2008). Obesitas dapat pula menimbulkan gangguan psikososial pada anak, penelitian yang dilakukan oleh M. Riza dkk didapatkan prevalensi gangguan psikososial pada anak obes usia sekolah dasar di surakarta sebesar 11,6% (Riza dkk, 2007). Sedangkan pada penelitian yang yang dilakukan oleh Hidayah dkk didapatkan prevalensi tingkat kematangan sosial rendah pada populasi anak dengan obesitas lebih tinggi dibanding dengan anak tanpa obesitas. Anak obesitas mempunyai tingkat kematangan sosial rendah 2 kali lebih sering dibanding dengan yang lain (Hidayah dkk, 2007). Selain itu, anak dengan obesitas cenderung lebih sering mengalami alergi dibanding anak yang tidak obes.
Dari data klinis dan epidemiologis didapatkan bahwa insiden dan keparahan penyakit infeksi lebih banyak terjadi pada individu yang obesitas (Marti, 2001). Jaringan adiposa juga memiliki keterkaitan dengan modulator dan mediator respon imun. Salah satunya adalah leptin yang dikatakan meningkatkan proliferasi dan aktifasi sel T dan menstimulasi produk sitokin (Nead, 2004; Dhurandar, 2001; Marti, 2001). Sebagai efek dari aktifasi sistim imun tersebut, pada anak dengan
(26)
obesitas akan memiliki respon imun yang lebih tinggi. Hal ini dibuktikan oleh Moelyo, pada penelitian yang dilakukan di SD Bromantakan Surakarta didapatkan anak usia Sekolah Dasar yang obesitas memiliki rerata titer IgG campak cenderung lebih tinggi dari pada anak tanpa obesitas (Moelyo, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Montolalu dan Tangkilisan tentang dampak obesitas terhadap inteligensia didapatkan perbedaan yang signifikan dari IQ anak obes dengan rentang usia 12-13 tahun yaitu 108,7 dengan p value = 0,024 dibandingkan dengan anak tidak obes yaitu 114,1 (Montolalu N, Tangkilisan HA, Mayulu N, 2009).
Obesitas besar pengaruhnya terhadap tingkat inteligensi pada anak obes, di mana pada penelitian yang dilakukan oleh Yu di Republik Rakyat Cina, didapatkan hasil IQ anak obes lebih rendah dibandingkan dengan anak tidak obes (Yu ZB, Han SP, Cao XG, Guo X. R. 2010).
2. Inteligensi a. Definisi Inteligensi
1. Pengertian Inteligensi Secara Etimologis
Inteligensi berasal dari bahasa Inggris “Intelligence” yang juga berasal dari bahasa Latin yaitu “Intellectus dan Intelligentia”. Definisi mengenai intelegensi menurut Wechsler mula-mula sebagai kapasitas untuk mengerti ungkapan dan kemauan akal budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya. Namun di lain kesempatan ia mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berfikir secara rasional
(27)
dan menghadapi lingkungannya secara efektif. (Pal HR, Pal A, Tourani P. 2004)
2. Definisi Inteligensi Menurut Para Ahli.
Alfred Binet mendefinisikan Inteligensi terdiri dari tiga komponen, yaitu (Gottfredson L, Saklofske DH. 2009 ) :
i. Kemampuan untuk mengarahkan pikiran dan tindakan.
ii. Kemampuan untuk mengubah arah tindakan setelah tindakan tersebut dilaksanakan.
iii.Kemampuan untuk dapat mengkritik diri sendiri atau melakukan
autocriticism.
George D. Stoddard menyebutkan Inteligensi sebagai kemampuan untuk memahami masalah-masalah yang bercirikan (Gottfredson L, Saklofske DH. 2009 ):
i. Mengandung kesukaran ii. Kompleks
iii.Abstrak
iv. Diarahkan pada tujuan v. Ekonomis
vi. Bernilai sosial
Inteligensi merupakan sebuah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara baik, dan bergaul dengan lingkungannya secara efisien. Inteligensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi sebenarnya
(28)
tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.Intelgensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Dalam arti yang lebih luas, para ahli mengartikan Inteligensi sebagai suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Kecerdasan intelektual berkaitan dengan keterampilan seseorang menghadapi persoalan teknis dan intelektual, serta identik dengan faktor kognitif seseorang. Inteligensi merupakan istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. Istilah inteligensi ini ditemukan pada tahun 1912 oleh William Stern. Digunakan sebagai pengukur kualitas seseorang pada saat itu, dan masih digunakan di Indonesia saat ini. Inteligensi ini terletak di otak bagian korteks. Inteligensi adalah sebuah kemampuan untuk berhitung, beranalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi. (De Young CG. 2011; )
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah kemampuan berfikir dan bertindak secara terarah, bertujuan, dan rasional serta mampu untuk menyesuaikan diri dan merespon terhadap situasi-situasi baru, kemampuan untuk memahami massalah dan memecahkannya. (Gottfredson L, Saklofske DH. 2009; Legg, Hutter,2007)
(29)
b. Fase perkembangan inteligensi
Struktur kognitif menurut Jean Piaget dalam Huitt W; Hummel J. 2003, disebut juga sebagai skemata (Schemes), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seseorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap dibandingkan ketika ia masih kecil. Piaget memakai istilahschemesecarainterchangeablydengan istilah struktur.
Inteligensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek yaitu (Rauthmann JF. 2009): a) Struktur
Disebut jugascheme
b) Isi
Disebut juga content, yaitu pola tingkah laku spesifik ketika individu menghadapi sesuatu masalah.
c) Fungsi
Disebut juga function, yaitu yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan intelektual. Fungsi itu sendiri terdiri dari dua macam fungsi invariant, yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi berupa kemampuan seseorang dalam menyusun proses-proses fisis dan psikis dalam bentuk sistem-sistem yang koheren. Adaptasi adalah penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya.
(30)
Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara, yaitu :
i. Asimilasi
Adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk / proses penggunaan struktur atau kemampuan individu untuk mengatasi massalah dalam lingkungannya. ii. Akomodasi
Adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung/ proses perubahan respons individu terhadap stimuli lingkungan.
Dalam struktur kognitif setiap individu harus ada keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi. Keseimbangan ini dimaksudkan agar dapat mendeteksi persamaan dan perbedaan yang terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi. Perkembangan kognitif ini pada dasarnya adalah perubahan dari keseimbangan yang dimiliki ke keseimbangan baru yang diperolehnya. Dengan penjelasan diatas maka dapat diketahui tentang bagaimana terjadinya pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Pertumbuhan intelektual terjadi karena adanya proses yang kontinu dari adanya ekuilibrium–disekuilibrium. Bila individu dapat menjaga adanya ekuilibrium, individu akan dapat mencapai tingkat perkembangan intelektual yang lebih tinggi.
(31)
Transisi tahap perkembangan anak dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu: i. Kematangan
ii. Pengalaman fisik / lingkungan iii. Transmisi sosial
iv. Ekuilibrium
Selanjutnya Piaget mengemukakan tentang perkembangan kognitif yang dialami setiap individu secara lebih rinci, mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun berdasarkan studi klinis terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di Swiss.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget dalam Huitt W; Hummel J. 2003, serta menurut Monks, Knoers, Hadinoto, 2006, mengemukakan ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis :
i. Tahap Sensori Motor : 0–2 tahun
Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari obyek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannya, asal perpindahanya terlihat. Akhir dari tahap ini ia mulai mencari obyek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Obyek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya pun mulai dikatakan matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan obyek fisik ke dalam simbol-simbol,
(32)
misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan, suara binatang, dan lain-lain.
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Bayi lahir dengan refleks bawaan, skema dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Pada massa kanak-kanak ini, anak belum mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan inderanya.
ii. Tahap Pra Operasi : 2–7 tahun ;
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi yang digunakan oleh Piaget di sini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat obyek-obyek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakanya berbeda pula. Pada tahap ini anak masih berada pada tahap pra operasional belum memahami konsep kekekalan (conservation), yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas, dll. Selain dari itu, ciri-ciri anak pada tahap ini belum memahami dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan.
Kesimpulan pada tahap ini adalah: Anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai (dilihat) di dalam lingkungannya saja.
(33)
iii. Tahap Operasi Konkrit : 7–11 tahun
Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah Dasar, dan pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu obyek dari sudut pandang yang berbeda secara obyek.
Anak pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika, tetapi hanya obyek fisik yang ada saat ini (karena itu disebut tahap operasional konkrit). Namun, tanpa obyek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap ini masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika.
Kesimpulan pada tahap ini adalah: Anak telah dapat mengetahui simbol-simbol matematis, tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak (tak berwujud).
iv. Tahap Operasi Formal : 11 tahun ke atas.
Tahap operasi formal ini adalah tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitatif. Pada tahap anak ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak dan menggunakan logika. Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak mampu melakukan penalaran tanpa harus berhadapan dengan obyek atau peristiwa yang sedang berlangsung. Penalaran yang terjadi di dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan simbol, ide-ide,
(34)
abstraksi dan generalisasi. Anak telah memiliki kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi. Karakteristik dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki kemampuan untuk melakukan penalaran hipotek-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun serangkaian hipotesis dan mengujinya. Kesimpulan pada tahap ini adalah: Pada tahap operasional formal, anak-anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh isi argumen (karena itu disebut operasional formal). Tahap ini mengartikan bahwa anak - anak telah memasuki tahap baru dalam logika orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalaran abstrak. Sama halnya dengan penalaran abstrak sistematis, operasi-operasi formal memungkinkan berkembangnya sistem nilai dan ideal, serta pemahaman untuk massalah-massalah filosofis. Sebaran umur pada setiap tahap tersebut adalah rata-rata dan mungkin pula terdapat perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya, antara individu yang satu dengan individu yang lainnya.
Pertumbuhan intelektual anak secara singkat dapat disimpulkan mengandung tiga aspek, yaitu structure, content dan function. Anak yang sedang mengalami perkembangan, struktur dan konten intelektualnya berubah/ berkembang. Fungsi dan adaptasi akan tersusun sehingga melahirkan suatu rangkaian perkembangan,masing-masing mempunyai struktur psikologi khusus yang menentukan kecakapan pikir anak. Maka Piaget mengartikan Inteligensi adalah sejumlah struktur psikologis yang ada pada tingkat perkembangan khusus. (Huitt W; Hummel J. 2003)
(35)
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi
Tinggi rendahnya inteligensi seorang anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara garis besar, inteligensi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:
a. Faktor Genetis
Kecerdasan dapat diturunkan melalui gen-gen dalam kromosom. Oleh karena itu,jika ayah dan ibu yang cerdas akan melahirkan anak yang cerdas pula (Boeree, 2003). Sebagian besar peneliti setuju bahwa faktor genetik bukanlah penentu utama kecerdasan. Meskipun dukungan genetik mempengaruhi intelektual seseorang, namun pengaruh lingkungan dan kesempatan yang tersedia bagi anak juga dapat mengubah skor IQ mereka secara signifikan (Srivastava N, Lakhan R, Mittal B. 2007; Santrock, 2002). Telah dibuktikan dalam beberapa penelitian, bahwa anak-anak yang diberi suplemen gizi protein selama beberapa tahun, meskipun tingkat sosial ekonomi orang tuanya rendah, menunjukkan peningkatan kinerja dalam tes kecerdasan, dibandingkan dengan kelompok anak yang tidak diberikan suplemen gizi protein (Neisseret al., 2010).
b. Faktor Gizi
Gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, terutama pada saat hamil dan juga pada waktu bayi, di mana sel-sel otak sedang tumbuh dengan pesatnya. Kekurangan gizi pada saat pertumbuhan, bisa berakibat berkurangnya jumlah sel-sel otak dari jumlah yang normal. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kerja otak tersebut di kemudian hari. Beberapa penelitian yang terdahulu telah membuktikan bahwa status gizi anak
(36)
mempunyai dampak positif terhadap inteligensinya. Anak-anak dengan defisiensi nutrisi akan mengalami penurunan daya tahan tubuh, menurunkan kemampuan perkembangan otak, meningkatkan risiko terpapar infeksi yang dapat meningkatkan frekuensi ketidakhadiran di sekolah sehingga akan menurunkan kemampuan kognitifnya (Sorhaindo, Feinstein,2006; Marti A, 2001).
c. Faktor Lingkungan
Lingkungan yang baik adalah lingkungan yang dapat memberikan kebutuhan mental bagi anak. Kebutuhan mental meliputi kasih sayang, rasa aman, pengertian, perhatian, penghargaan serta rangsangan intelektual. Kekurangan rangsangan intelektual pada massa bayi dan balita dapat menyebabkan hambatan pada perkembangan kecerdasannya. Faktor lingkungan lain yang juga mempunyai efek positif terhadap kecerdasan anak antara lain: hubungan orang tua dan anak, tingkat pedidikan ibu, dan riwayat sosial-budaya (Selvam PKS, 2013). Menurut Mc Wayne (2004), anak yang tumbuh dengan penghasilan orang tua yang rendah mempunyai risiko tertundanya perkembangan kognitif yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tumbuh dengan penghasilan orang tua yang tinggi.
Pekerjaan, pendidikan, pendapatan yang diterima oleh orang tua, lingkungan di sekitar anak, pola asuh yang diterapkan orang tua, intensitas hubungan antara orang tua dan anak, status sosial ekonomi keluarga serta tingkat kesejahteraan keluarga dapat mempengaruhi kemampuan kognitif seorang anak. Hal ini dibuktikan oleh Santos, di mana anak-anak dengan
(37)
status sosial dan kesejahteraan keluarga yang baik mempunyai kemampuan kognitif lebih baik dibandingkan anak-anak yang berasal dari status sosial dan tingkat kesejahteraan yang rendah (Gregg P, Propper C, Washbrook E. 2008; Santos, et al 2008).
d. Pengukuran tingkat inteligensi
Kecerdasan dapat diukur dengan menggunakan alat psikometri yang biasa disebut sebagai tes IQ. Skor tes IQ sering dilihat sebagai ukuran kecerdasan seorang anak. Tes IQ adalah alat ukur kecerdasan yang hasilnya berupa skor. Tetapi skor tersebut hanya memberi sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan secara keseluruhan ( Dunbar 2007).
Test inteligensi atau tes IQ adalah suatu jenis tes psikologis yang khusus dipergunakan untuk mengukur taraf inteligensi atau tingkat kecerdasan seseorang. Tes inteligensi dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan (Senjaya, 2009).
Beberapa macam jenis tes IQ yang sering digunakan, antara lain: i. Stanford–Binet Intelligence Scale.
Tes ini merupakan tes tertua dan digunakan secara luas di hampir semua negara. Tes ini digunakan mulai umur 2-24 tahun. Walaupun sebagian besar terdiri dari unsur-unsur verbal, tes ini dapat dipercaya dan valid. Nilai yang didapat dari tes ini adalah nilai IQ dan umur mental (Soetjiningsih, 1995).
(38)
ii. Wechlser Scale.
Tes ini dikembangkan oleh David Wechsler, yang mencakup
Wechsler Adult Intelligence Scale Revised (WAIS-R); Wechsler Intelligence Scale-Edisi III( WAIS-III ) bagi anak-anak yang berusia 6 -16 tahun; dan Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence-Revised
(WPPSI-R), yang digunakan bagi anak-anak yang berusia 4-6,5 tahun. Skala Wechlser dikelompokkan menjadi 12 subskala, enam skala verbal dan enam skala non-verbal. (Wechsler Intelligence Scales, 2009;Ryan JJ, 2003)
iii.Culture Fair Intelligence Test(CFIT).
Culture Fair Intelligence Test, merupakan tes yang berusaha mengkombinasikan beberapa pertanyaan bersifat pemahaman gambar-gambar sehingga dapat mengurangi sebanyak mungkin pengaruh kecakapan verbal, iklim kebudayaan, dan tingkat pendidikan. CFIT mempunyai tiga skala(Nur’aeni, 2012)
1) Skala 1 : anak usia 4-8 tahun dan penderita retardasi mental, terdiri atas 1 formulir isian dengan 8 sub-tes.
2) Skala 2 : anak usia 8-14 tahun dan dewasa, terdiri atas 2 formulir isian, masing-masing 4 sub -tes.
3) Skala 3 : dewasa, terdiri atas 2 formulir isian, masing-masing 4 sub-tes. Hasil pengukuran disebut dengan IQ (Intelligence Quotient), dibagi menjadi beberapa tingkat yaitu:
(39)
Tabel 2. Tabel Skor tes IQ (Wechsler Intelligence Scales. 2009)
Skor IQ Katagori
>140 Jenius
120-140 Amat cerdas
110-119 Cerdas
90-109 Normal
80-89 Bodoh
70-79 Borderline deficiency
<79 Define feeble-mindedness
3. Perbedaan Tingkat Inteligensi Pada Anak Obes dan Tidak Obes
Anak dengan berat badan lebih terdapat kecenderungan mendapat stigma untuk menjadi lamban dalam segala hal, terutama yang berhubungan dengan prestasi di sekolah, pada penelitian yang dilakukan Judge S, Jahns L; 2004, didapatkan hasil yang berbeda secara signifikan di mana pada anak dengan berat badan lebih mempunyai tingkat kemampuan menyelesaikan soal matematika maupun kemampuan membaca yang lebih rendah daripada anak yang tidak dengan berat badan lebih, baik pada saat duduk di tahun pertama maupun tahun ketiga sekolah dasar.
Karakteristik orang tua, lama menonton televisi, olah raga, aktivitas fisik, perkembangan psikososial berhubungan erat terhadap kejadian obesitas dan berat badan lebih sehingga dapat mempengaruhi kemampuan kognitif anak, pada penelitian yang dilakukan oleh Yanfeng, Huang F dan Lee MJ membuktikan bahwa anak-anak yang mengalami obesitas dan berat badan lebih dengan pola aktivitas fisik, olahraga yang kurang, menonton televisi lebih dari 2 jam sehari,
(40)
perkembangan psikososial yang tidak seimbang serta karakteristik orang tua yang cenderung jarang mendampingi anak di rumah akan meningkatkan kejadian obesitas dan berat badan lebih serta kemampuan kognitif yang kurang (Huang F, Lee MJ 2007; Yanfeng,et al 2008).
Perbedaan kemampuan membaca, kemampuan untuk menyelesaikan soal aritmetika, perbedaan kemampuan visuospasial yang diperlukan untuk mendukung pemahaman terhadap suatu materi, pada anak dengan berat badan lebih menunjukkan hasil yang lebih rendah daripada anak yang tidak mengalami berat badan lebih (Yanfeng dkk, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Montolalu dan Tangkilisan tentang dampak obesitas terhadap inteligensia didapatkan perbedaan yang signifikan dari IQ anak obes dengan rentang usia 12-13 tahun yaitu 108,7 dengan p value = 0,024 dibandingkan dengan anak tidak obes yaitu 114,1 (Montolalu N, Tangkilisan HA, Mayulu N, 2009).
Obesitas besar pengaruhnya terhadap tingkat inteligensi pada anak obes, di mana pada penelitian yang dilakukan oleh Z. B. Yu di Republik Rakyat Cina, didapatkan hasil IQ anak obes lebih rendah dibandingkan dengan anak tidak obes (Yu Z B, Han SP, Cao XG, Guo X. R, 2010 ).
(41)
4. kerangka konsep
Keterangan : ---Lingkup penelitian
Gambar 1. Kerangka konsep
Obesitas TidakObesitas
Gangguan pernapasan Gangguan
endokrin Penyakit degeneratif
Gangguan pertumbuhan
Tingkat inteligensi Siswa SD
Penghasilan Orang tua
Pendidikan Orang tua
Aktivitas fisik
Pola makan
Status nutrisi
Genetik Lama belajar
(42)
Keterangan Kerangka Konsep
Sampel pada penelitian ini adalah anak-anak yang mengalami obesitas dan tidak obesitas yang diseleksi berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) disebut berat badan lebih bila IMT berada pada persentil ke-85 hingga kurang dari persentil ke-95, disebut obesitas apa bila IMT lebih atau sama dengan persentil ke-95 (Reilly dkk,2002; Sjarif dkk, 2010). Seorang anak dengan obesitas dapat mengalami penyakit dan komplikasi akibat obesitasnya, seperti hipertensi, diabetes, obstruktif sleep apneu, dan penyakit kardiovaskuler (Ben-noun et al, 2006; Martinho et al, 2008) sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat inteligensinya. Selain penyakit dan komplikasi akibat obesitas yang dapat mempengaruhi inteligensi seorang anak, penghasilan orang tua, pendidikan orang tua, aktivitas fisik, status nutrisi, pola makan erat kaitannya dengan kemampuan anak untuk berpikir konvergen dan divergen, berpikir secara abstrak, terarah, bertujuan dan rasional, kemampuan untuk menyatakan pengalaman-pengalaman, kemampuan untuk menggunakan apa yang telah dipelajari dan belajar lebih baik, kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sulit dengan memperhatikan aspek psikologis dan intelektual, kemampuan untuk menyesuaikan diri dan merespon terhadap situasi baru serta kemampuan untuk memahami massalah dan memecahkannya (Legg, Hutter,2007).
5. Hipotesis
Hipotesis kerja dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan tingkat inteligensi antara anak obes dan tidak obes.
(43)
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang untuk mengetahui perbedaan tingkat inteligensi pada anak obes dan tidak obes.
2. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 15 di kotamadya Surakarta pada bulan Maret 2014. Tempat ini dipilih dengan pertimbangan merupakan SD favorit dengan banyak subyek baik yang obes maupun tidak obes dan mempunyai fasilitas lengkap.
3. Populasi
a. Populasi target pada penelitian ini adalah anak usia 6 - 12 tahun di SD Negeri 15 di kotamadya Surakarta .
b. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah anak usia 6 - 12 tahun di SD Negeri 15 di kotamadya Surakarta.
4. Subyek dan Cara Pemilihan Subyek
Subyek diambil dari anak sekolah dasar usia 6-12 tahun di SD negeri 15 di kotamadya Surakarta.Teknik sampling yang dipakai adalah purposive sampling Dilakukan pemeriksaan antropometri untuk mendapatkan data anak-anak dengan IMT ≥ persentil ke-95 menurut umur dan jenis kelamin. Anak - anak SD yang obesitas secara antropometri dan memenuhi kriteria
(44)
inklusi dan ekslusi dimasukkan ke dalam kelompok obesitas. Kemudian dilakukan pemilihan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. untuk mendapatkan kelompok tidak obesitas yang disesuaikan menurut umur dan jenis kelamin.
Kriteria inklusi:
i. Semua anak usia sekolah dasar di SD negeri 15 di kotamadya Surakarta baik yang obesitas maupun yang tidak obesitas.
ii. Tidak sedang dalam pengobatan kortikosteroid dalam pengobatan kortikosteroid dalam jangka waktu minimal seminggu saat penelitian dilaksanakan
iii. Orang tua menandatangani persetujuan mengikuti penelitian Kriteria eksklusi:
i. Penderita mengalami penyakit kronis ii. Status gizi kurang dan gizi buruk
5. Besar subyek
Besarnya subyek untuk menguji beda rerata dua populasi berpasangan dihitung dengan rumus: (Madiyono dkk, 2002)
n1=n2= 2 x2) -(x1 )S Z + (Z
α β
n : besar sampel
s : simpangan baku = 10
α : tingkat kemaknaan= 0,05 (Zα=1,65) (1-β) : kekuatan = 0,90 (zβ= 1,282) x1-x2 : beda yang dianggap berarti= 5
(45)
n1=n2=30 subyek.
6. Identifikasi Variabel Penelitian
a. Variabel tergantung : inteligensi (skala nominal).
b. Variabel bebas : obes dan tidak obes menurut IMT (skala nominal). c. Variabel perancu : status sosial ekonomi dan pendapatan orang tua,
defisiensi nutrisi, pola makan, aktivitas fisik pendidikan orang tua (skala nominal).
7. Definisi Operasional
a. Obesitas
Obesitas adalah sebagai suatu keadaan terdapatnya penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Obesitas merupakan hasil akhir dari ketidak seimbangan antara ambilan energi dengan keluaran energi karena adanya ambilan yang melebihi keluaran dan menghasilkan penimbunan dalam jaringan lemak dan disimpan sebagai cadangan energi tubuh (Syarif dkk, 2010; Subardja dkk, 2010; Clement, 2003).
Penentuan obesitas berdasarkan antropometri dapat di lakukan dengan menghitung indeks masa tubuh (IMT) (Sjarif dkk, 2010). Indeks Masa Tubuh menjadi petunjuk untuk menentukan kelebihan berat badan berdasarkan Indeks Quatelet (berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter (Kg/m2) (Sjarif dkk, 2010; Nammi,2004). Interpretasi IMT tergantung pada umur dan jenis kelamin anak, karena terdapat perbedaan
(46)
lemak tubuh pada anak laki-laki dan perempuan. Disebut berat badan lebih bila IMT berada pada persentil ke- 85 hingga kurang dari persentil ke-95, disebut obesitas apa bila IMT lebih atau sama dengan persentil ke-95 (Sjarif dkk, 2010; Reilly dkk,2002).
b. Tidak obesitas
Adalah anak dengan gizi lebih dengan BB/TB persentil ke-85 sampai dengan kurang dari persentil ke-95, anak dengan gizi baik dengan BB/TB persentil ke-5 sampai dengan kurang dari persentil ke-85, anak dengan gizi kurang dengan BB/TB kurang dari persentil ke-3 sampai dengan kurang dari persentil ke-5 dan gizi buruk dengan BB/TB kurang dari persentil ke- 3 tidak dimasukkan ke dealam penelitian.
c. Inteligensi
Adalah sejumlah struktur psikologis yang ada pada tingkat perkembangan khusus, kemampuan anak untuk berpikir konvergen dan divergen, berpikir secara abstrak, terarah, bertujuan dan rasional, kemampuan untuk menyatakan pengalaman-pengalaman, kemampuan untuk menggunakan apa yang telah dipelajari dan belajar lebih baik, kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sulit dengan memperhatikan aspek psikologis dan intelektual, kemampuan untuk menyesuaikan diri dan merespon terhadap situasi baru serta kemampuan untuk memahami masalah dan memecahkannya (Legg, Hutter,2007). Inteligensi diukur dengan menggunakan CFIT (Culture Fair Intelligence Test), tes inteligensi dilakukan oleh psikolog dari Unit Layanan Psikologi FK UNS.
(47)
Dari hasil tes dapat dikatagorikan dalam kriteria: i. Intelegensi cerdas dengan skor 110-119
ii. Inteligensi normal atau lebih dengan skor IQ lebih dari 90-109.
iii. Inteligensi di bawah normal dengan skor IQ kurang dari atau sama dengan 89
Bentuk yang tersedia berupa buku soal dan lembar jawaban yang terpisah. Aspek yang diukur adalah faktor kemampuan mental umum atau inteligensi. Tujuan tes ini dipergunakan untuk keperluan yang berkaitan dengan faktor kemampuan mental umum atau inteligensi sedangkan hasil pengukurannya disebut IQ (Intelligence Quotient).
d. Status sosial ekonomi dan pendapatan orang tua
Adalahsuatu kriteria yang berdasar pada penghasilan dan pengeluaran orang tua setiap bulan berdasarkan kriteria dari Asian Development Bank bahwa untuk negara-negara berkembang di asia rata-rata penghasilan kelas menengah adalah 5,2 juta rupiah sampai dengan 8 juta rupiah dengan pengeluaran sebesar 3,6 juta rupiah setiap bulan (4-10 US$ sehari). Untuk golongan menengah ke atas dengan penghasilan di atas 8 juta rupiah sebulan dengan pengeluaran di atas 4 juta rupiah sebulan (10-20US$ sehari) (Chun N 2010) .
e. Defisiensi nutrisi dan pola makan
Pola makan merupakan berbagai informasi yang memberikan penjelasan mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok
(48)
masyarakat tertentu. Pola makan disebut juga sebagai suatu cara seseorang atau sekelompok orang atau keluarga memilih makanan sebagai respon terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, kebudayaan dan sosial (Janssen A, 2011)
Kebiasaan makan merupakan cara seseorang atau sekelompok individu memilih bahan makanan yang dikonsumsi sebagai respon terhadap faktor psikologis sosial dan budaya, kebiasaan makan dapat berubah disebabkan faktor pendidikan, kesehatan, lingkungan dan psikologis (Faith MS. 2013)
Defisiensi nutrisi merupakan keadaan yang terjadi jika zat-zat gizi yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi mengalami defisiensi atau kekurangan, bila hal ini terjadi secara bertahap sel, intrasel, jaringan, dan organ tubuh akan mengalami kematian. Jika sebaliknya, terjadi kelebihan gizi, zat-zat gizi makanan yang dikonsumsi mengalami kelebihan maka secara bertahap pula akan mengalami proses toksisitas dan selanjutnya secara bertahap sel, intrasel, jaringan, dan organ tubuh akan mengalami kematian. Defisiensi nutrisi dapat disebabkan karena lualitas dan kuantitas makanan kurang baik, peningkatan kebutuhan terhadap nutrisi, perubahan daya dukung lingkungan (Minicucci F, da Cunha MLRS, Sartori A 2009 ).
Kebiasaan makan dalam penelitian ini meliputi kebiasaan makan lebih dari 3 kali sehari dan kurang dari sama dengan 3 kali sehari.
f. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik merupakan setiap usaha gerakan tubuh yang dihasilkan oleh kesatuan otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Kurangnya
(49)
aktivitas fisik dapat menjadikan faktor risiko independen untuk terjadinya penyakit kronis (Bates H, 2006 ).
Aktivits fisik pada penelitian ini dikelompokkan ke dalam aktivitas fisik aktif dan kurang aktif meliputi :
Aktitivitas fisik yang aktif :
i. Lama bermain di luar rumah lebih dari 2 jam. ii. Menonton televisi kurang dari 2 jam.
iii. Lama bermain komputer kurang dari 2 jam.
iv. Sarana transportasi ke sekolah berjalan kaki,naik sepeda. v. Frekuensi olah raga 3 kali dalam satu minggu.
Aktitivitas fisik yang kurang aktif :
i. Lama bermain di luar rumah kurang dari 2 jam. ii. Menonton televisi lebih dari 2 jam.
iii. Lama bermain komputer lebih dari 2 jam.
iv. Sarana transportasi ke sekolah diantar mobil pribadi.
v. Frekuensi olah raga kurang dari 3 kali dalam satu minggu atau tidak pernah
vi. berolah raga sama sekali kecuali di sekolah. g. Pendidikan orang tua
Pendidikan merupakan suatu proses pembentukan dan pemberian sifat sosial kemanusiaan (humanisme) kepada makhluk hidup. Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa (orang tua) dalam pergaulannya dengan anak-anak
(50)
untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya menuju proses kedewasaan (Ermisch J, Pronzato C. 2010).
Pendidikan orang tua pada penelitian ini difokuskan kepada tingkat pendidikan sarjana strata-1,strata-2,strata-3 dan bukan sarjana meliputi Diploma-3,SMU.
8. Izin subyek penelitian
Penelitian ini dilakukan atas persetujuan orangtua atau wali dengan cara menandatangani informed consent yang diajukan oleh peneliti, setelah sebelumnya mendapat penjelasan mengenai tujuan dan manfaat dari penelitian tersebut.
(51)
9. Alur penelitian
Gambar 2. Alur penelitian. Kelompok berat badan
normal /tidak obes (IMT < persentil 95)
Pengukuran indeks massa tubuh (IMT)
Informed concern
Kelompok berat badan lebih/obes (IMT≥ persentil 95)
Analisis
Kriteria eksklusi Kriteria inklusi
Tes inteligensi
Tes inteligensi Siswa SDN 15 di
(52)
10. Pengolahan data
Anak obes Anak tidak obes Inteligensi normal
(IQ lebih dari 90)
a b
Inteligensi di bawah normal (IQ kurang dari atau sama dengan 89)
c d
Tabel 3. Tabel 2x2 hasil pengamatan.
Sel a : jumlah anak dengan obesitas yang memiliki inteligensi normal atau lebih Sel b : jumlah anak tidak obesitas yang memiliki inteligensi normal atau lebih Sel c : jumlah anak dengan obesitas yang memiliki inteligensi di bawah normal Sel d : jumlah anak tidak obesitas yang memiliki inteligensi di bawah normal Data yang didapatkan dilakukan analisis dengan uji kai kuadrat dan untuk meningkatkan ketelitian maka penulis menggunakan program SPSS 16.0.
(53)
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik dasar
Tabel 4.1 Karakteristik dasar penghasilan orang tua terhadap IQ
penghasilan orang tua (juta/bulan)
Kategori IQ
Total p
Cerdas Normal
Menengah atas n (%) 2 (3,3) 5 (8,2) 7 (11,5)
0,783 Menengah n (%) 10 (16,4) 44 (72,1) 54 (88,5)
Total 12 (19,7) 49 (80,3) 61 (100)
Karakteristik dasar (tabel 4.1) tingkat IQ pada penelitian ini didapatkan prevalensi kelompok anak dengan IQ cerdas sebesar 19,7 % sedangkan kelompok anak dengan IQ normal didapatkan sebesar 80,3 %.
Tabel 4.1 menunjukkan karakteristik dasar penghasilan orang tua, didapatkan prevalensi anak cerdas dengan katagori penghasilan orangtua menengah adalah sebesar 16,4% sedangkan penghasilan orangtua menengah atas sebesar 3,3 %. Dari data tersebut menunjukkan tidak ada hubungan antara penghasilan orang tua terhadap peningkatan IQ. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa prevalensi anak dengan orang tua golongan menengah mempunyai IQ cerdas lebih besar daripada anak dengan orang tua golongan menengah atas tetapi secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan ( p = 0,783; p>0,05). Dari data tersebut menunjukkan tidak ada hubungan antara penghasilan orang tua terhadap peningkatan IQ
(54)
Tabel 4.2 Karakteristik dasar pendidikan orang tua terhadap IQ
Pendidikan orang tua Kategori IQ
Total p
Cerdas Normal
Sarjana n (%) 9 (14,8) 32 (52,5) 41 (67,2)
0,196 Tidak sarjana n (%) 3 (4,9) 17 (27,9) 20 (32,8)
Total 12 (19,7) 49 (80,3) 61 (100)
Tabel 4.2 menunjukkan karakteristik dasar pendidikan orang tua, didapatkan hasil prevalensi anak IQ cerdas dengan katagori pendidikan orang tua sarjana adalah sebesar 14,8 %, sementara orang tua dengan pendidikan bukan sarjana memiliki anak dengan IQ normal adalah sebesar 4,9 %. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa anak dengan orang tua berpendidikan sarjana memiliki prevalensi IQcerdas lebih besar dibandingkan anak dengan orang tua berpendidikan bukan sarjana, tetapi secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan (p=0,196; p>0,05). Dari data tersebut menunjukkan tidak ada hubungan antara pendidikan orang tua terhadap peningkatan IQ
Tabel 4.3 Karakteristik dasar aktivitas terhadap IQ
aktivitas Kategori IQ
Total p
Cerdas Normal
aktif n (%) 8 (13,1) 31 (50,8) 41 (67,2)
0,328 Kurang aktif n (%) 4 (6,6) 18 (29,5) 22 (36,1)
Total 12 (19,7) 49 (80,3) 61 (100)
Tabel 4.3 menunjukkan karakteristik dasar anak dengan aktivitas, didapatkan hasil prevalensi anak IQ cerdas dengan katagori aktif adalah sebesar 13,1% sementara anak dengan aktivitas katagori kurang aktif memiliki anak dengan IQ cerdas
(55)
sebesar 6,6 %. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa anak dengan aktivitas fisik yang aktif mempunyai prevalensi IQ cerdas lebih tinggi dibandingkan anak dengan aktivitas fisik yang kurang aktif, tetapi secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan (p=0,328; p>0,05). Dari data tersebut menunjukkan tidak ada hubungan antara aktivitas terhadap peningkatan IQ.
Tabel 4.4 Karakteristik dasar pola makan terhadap IQ
Pola makan Kategori IQ
Total p
Cerdas Normal
>3 kali n (%) 8 (13,1) 23 (37,7) 41 (50,8)
0,228 ≤ 3 kali n(%) 4 (6,6) 26 (42,6) 30 (49,2)
Total 12 (19,7) 49 (80,3) 61 (100)
Tabel 4.4 menunjukkan karakteristik dasar anak berdasarkan pola makan, didapatkan prevalensi anak IQ cerdas dengan pola makan > 3 kali adalah sebesar 13,1 %, sementara anak dengan pola makan ≤ 3 kali memiliki IQ cerdas sebesar 6,6 %. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa anak dengan pola makan lebih dari 3 kali memiliki prevalensi IQ cerdas lebih besar dibandingkan dengan anak yang mempunyai pola makan kurang dari sama dengan 3 kali tetapi secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan (p=0,228; p>0,05). Dari data tersebut menunjukkan tidak ada hubungan antara pola makan terhadap peningkatan IQ.
Tabel 4.5 Karakteristik dasar Indeks massa tubuh terhadap IQ
IMT Kategori IQ
Total p
Cerdas Normal
tidak obese n (%) 5 (8,2) 26 (42,6) 31 (50,8)
0,566
Obese n (%) 7 (11,5) 23 (37,7) 30 (49,2)
(56)
Tabel 4.5 menunjukkan karakteristik dasar berdasarkan Indeks Massa Tubuh terhadap IQ, didapatkan hasil prevalensi anak dengan obes yang memiliki IQ cerdas sebesar 11,5 %, sementara prevalensi anak tidak obes dengan IQ cerdas sebesar 8,2 % . Dari tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa pada anak obes didapatkan prevalensi IQ yang lebih cerdas daripada anak yang tidak obes tetapi secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan (p=0,566; p>0,05). Dari data tersebut menunjukkan tidak ada hubungan antara indeks massa tubuh terhadap peningkatan IQ
Tabel 4.6 Karakteristik dasar umur tehadap IQ
Umur (tahun)
Kategori IQ
Total p
Cerdas Normal
10.00 jumlah n% 5(8,2) 16(26,2) 21 (34,4)
0,622
11.00 jumlah n% 4(6,6) 16(26,2) 20 (32,8)
12.00 jumlah n% 3(4,9) 17(27,9) 20 (32,8)
Total 12(19,7) 49(80,3) 61(100)
Tabel 4.6 menunjukkan karakteristik dasar berdasarkan umur, didapatkan hasil prevalensi anak pada usia 10 tahun memiliki IQ cerdas sebesar 8,2%, pada anak usia 11 tahun memiliki IQ cerdas sebesar 6,6 %, sementara anak usia 12 tahun memiliki IQ cerdas sebesar 4,9 %. Dari tabel ini dapat dilihat bahwa dari sisi usia terhadap IQ secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,622; p>0,05). Dari data tersebut menunjukkan tidak ada hubungan antara umur terhadap peningkatan IQ
(57)
Tabel 4.7 Jenis kelamin terhadap IQ
Jenis kelamin Kategori IQ
Total p
Cerdas Normal
Laki-laki n% 7(11,5) 32(52,5) 39 (63,9)
0,771
Perempuan n% 5(8,2) 17(27,9) 22 (36,1)
Total 12(19,7) 49(80,3) 61 (100)
Tabel 4.7 menunjukkan karakteristik dasar jenis kelamin terhadap IQ didapatkan hasil prevalensi anak laki-laki yang memiliki IQ cerdas sebesar 11,5 %. sementara prevalensi anak perempuan dengan IQ cerdas sebesar 8,2 %. Dari tabel ini dapat dilihat bahwa anak laki-laki memiliki IQ cerdas lebih besar daripada anak perempuan tetapi secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan (p=0,771; p>0,05). Dari data tersebut menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin terhadap peningkatan IQ.
Tabel 4.8 Tabel analisis regresi logistik penghasilan orang tua terhadap IQ
b OR
95%CI Batas bawah
Batas atas
p Penghasilan
Orang tua 0.565 1.760 0.297 10.413 0,533
Tabel 4.8 menunjukkan analisis regresi logistik penghasilan orang tua terhadap IQ didapatkan bahwa penghasilan orang tua kelas menengah mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat IQ dengan OR 1,760 dibandingkan dengan orangtua berpenghasilan menengah atas, meskipun secara statistik tidak signifikan (b= 0,565; 95% C.I = 0,297-10,413; p = 0,533).
(58)
Tabel 4.9 Tabel analisis regresi logistik pendidikan terhadap IQ
b OR
95% C.I. Batas
bawah
Batas atas
p Pendidikan
Orang tua 0.466 1.594 0.380 6.679
0,534
Tabel 4.9 menunjukkan analisi regresi logistik pendidikan orang tua terhadap IQ didapatkan bahwa pendidikan orang tua golongan sarjana mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat IQ dengan OR 1,594 dibandingkan dengan orangtua berpendidikan tidak sarjana, meskipun secara statistik tidak signifikan (b= 0,466; 95% C.I =0,380-6,679; p = 0,534).
Tabel 4.10 Tabel analisis regresi logistik aktivitas fisik terhadap IQ
b OR
95% C.I. Batas
bawah
Batas atas
p Aktivitas fisik 0.150 1.161 0.306 4.406 0,826
Tabel 4.10 menunjukkan analisis regresi logistik aktivitas fisik terhadap IQ didapatkan bahwa anak dengan aktivitas fisik aktif mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat IQ dibandingkan anak yang tidak aktif dengan OR=1,161, meskipun secara statistik tidak signifikan (b= 0,150; 95% C.I = 0,306-4,406; p = 0,826).
(59)
Tabel 4.11 Tabel analisis regresi logistik pola makan terhadap IQ
b OR
95% C.I. Batas
bawah
Batas atas
p Pola makan
>3kali 0.816 2.261 0.601 8.505
0,228
Tabel 4.11 menunjukkan analisis regresi logistik pola makan terhadap tingkat IQ didapatkan hasil bahwa anak dengan pola makan lebih dari 3 kali mempunyai pengaruh positif terhadap IQ dibandingkan anak dengan pola makan ≤ 3 kali dengan OR=2,261, meskipun secara statistik tidak signifikan (b= 0,816; 95% C.I = 0,601-8,505; p =0,228).
Tabel 4.12 Tabel hasil uji t beda mean IQ anak obes dan tidak obes
Status gizi
N mean SD Beda
mean
CI 95% p
Batas bawah
Batas atas
IQ Tidak
obes
30 104.26 9.110 1,858 -2,05 5,76 0,345
Obes 30 102.40 5.697
Dari tabel 4.12 menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik dari tingkat IQ anak yang obes dan tidak obes, dengan beda mean 1,858 dengan CI 95% (-2,05–5,76); p= 0,345.
(60)
2. Pembahasan
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa anak dengan obes memiliki tingkat IQ yang lebih baik daripada anak yang tidak obes, hal ini tidak terlepas dari adanya faktor-faktor positif yang mendukung seorang anak obes dapat mempunyai kemampuan kognitif yang lebih baik, faktor tersebut yaitu penghasilan dan pendidikan orang tua, pola makan dan aktivitas fisik.
Dari hasil penelitian ini didapatkan pada orang tua dengan penghasilan menengah OR=1,760 ; b= 0,565; 95% C.I(0,297-10,413); p = 0,533, pendidikan orang tua yang tinggi OR 1,594; b= 0,466; 95% C.I(0,380-6,679); p = 0,534. ternyata memberikan pengaruh positif terhadap tingkat inteligensi anak walaupun secara statistik tidak bermakna. Dari pengamatan dan analisa yang dikeluarkan oleh Asian Development Bank pada tahun 2010, untuk negara- negara di asia selatan dan asia tenggara seiring dengan membaiknya perekonomian dengan tingginya investasi asing dan meningkatnya pendapatan nasional di masing-masing negara maka akan melahirkan masyarakat kelas menengah yang baru selain golongan kelas menengah sebelumnya yang sudah mapan, di mana golongan ini memiliki daya tawar dan potensi daya beli yang lebih tinggi daripada masyarakat kelas di bawahnya (Chun N,2010), sehingga hal ini akan berimbas pula kepada kemampuan mereka sebagai orang tua untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Pada anak yang memiliki orang tua dengan penghasilan menengah dan menengah ke atas di mana daya beli mereka tinggi cenderung akan memiliki lebih banyak pilihan, kebebasan dan kesempatan untuk mendapatkan fasilitas lebih baik dari sisi pendidikan untuk anak-anaknya
(61)
sehingga mereka akan jauh lebih mudah untuk mendapatkan stimulasi yang lebih sehingga dapat meningkatkan kemampuan kognitifnya tanpa harus merasa khawatir terdapat kendala dari sisi finansial, berbeda halnya pada anak-anak dengan orangtua yang berasal dari golongan kelas bawah dengan penghasilan 1 juta rupiah dalam satu bulan (pengeluaran US$3 sehari) maka akan sulit bagi orang tua untuk menentukan pilihan yang terbaik dalam memberikan fasiltas pendidikan bagi anak-anaknya karena orang tua pasti akan terkendala dalam soal pembiayaan baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya maupun kebutuhan sekunder. Orang tua yang memiliki pendidikan yang tinggi akan mempunyai wawasan yang luas dan cara berpikir lebih terbuka serta memiliki akses lebih mudah terhadap berbagai informasi baru serta memiliki pengetahuan dan keahlian di atas rata-rata sehingga memiliki kesempatan yang lebih luas dalam memberikan stimulus kepada anak-anaknya supaya memperoleh tingkat kemampuan kognitif yang baik dibandingkan anak-anak lain yang orang tuanya memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah, dari sisi anak dengan orang tua berpendidikan tinggi maka anak akan terpacu berusaha meniru keberhasilan orang tuanya sehingga dengan sendirinya akan memacu keinginan dari dalam diri anak tersebut untuk berusaha lebih keras dalam belajarnya untuk meraih prestasi akademis yang tinggi (Selvam PKS. 2013; Gregg P, Propper C, Washbrook E. 2008; Engle PL, Black MM, 2008; Yanfeng Li, Qi Dai, Jackson JC, Jian Zhang, 2008; Huang F, Lee MJ,2007).
Hasil dari intelegensi setiap anak khususnya siswa dapat diperoleh dengan cara mengukur intelegensi dengan tes tingkat inteligensi. Dalam pengukuran ini
(62)
harus dibantu oleh tenaga ahli psikologi. Kemampuan anak untuk berprestasi tinggi di sekolah tidak hanya ditentukan oleh potensi intelegensi yang mereka miliki tetapi juga oleh berbagai hal seperti fasilitas belajar. Intelegensi juga harus didukung dengan fasilitas belajar yang baik karena walaupun tingkat intelegensi tinggi namun pemenuhan fasilitas tidak lengkap maka prestasi yang dicapai tidak akan maksimal. Jika pemenuhan fasilitas belajar anak diperbaiki memungkinkan hasil pengukuran tingkat inteligensi anak mengalami perubahan kearah positif, artinya sebelum fasilitas belum diperbaiki anak tidak menunjukkan kemampuan yang optimal ketika dievaluasi akan tetapi ketika dia memperoleh fasilitas belajar yang baik maka dia dapat menunjukkan potensi yang maksimal, untuk mendapatkan semua fasilitas yang baik tersebut maka dibutuhkan biaya yang tidak sedikit dan dari orang tua yang berpenghasilan tinggi ini maka mereka dengan mudah dan leluasa dapat memberikan ruang bagi anak-anaknya untuk menerima pendidikan yang lebih baik (Ogden CL, Carroll MD, Curtin LR, et al,2006; Styne DM,2001).
Pada penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa pola makan anak lebih dari 3 kali mempunyai pengaruh positif terhadap IQ dibandingkan anak dengan pola makan kurang dari sama dengan 3 kali OR=2,261; b= 0,816; 95% C.I(0,601-8,505); p =0,228 meskipun secara statistik tidak bermakna. Pada penelitian ini didapatkan pula prevalensi anak obes dengan IQ cerdas sebesar 11,5 % sementara anak tidak obes dengan IQ cerdas sebesar 8,2 %, hal ini berarti bahwa anak obes mempunyai prevalensi IQ cerdas lebih besar daripada anak yang tidak obes. Hasil ini dapat terjadi berkat adanya beberapa faktor yang mendukung yaitu peran orang
(63)
tua di rumah dengan selalu memberi dukungan dengan kemampuan memberikan penjelasan dan pengertian tentang pelajaran di sekolah berkat daya analisis dan logika seiring dengan pendidikan tinggi yang mereka miliki, dari kemampuan orang tua yang merasa tenang dari sisi finansial yang sudah mapan sehingga apapun kebutuhan anak dalam hal pendidikannya orangtua sudah tidak perlu kebingungan lagi, di samping itu pola makan yang lebih terkendali pada anak obes yang mulai bisa mengendalikan kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi kalori, tinggi lemak dan rendah serat serta kebiasaan makan kemilan turut membantu perbaikan dan perubahan kemampuan kognitif mereka (Faith MS, 2013; Selvam, 2013; Santos, 2008). Inteligensi sendiri selalu berhubungan dengan peningkatan adiposa, dan peningkatan adiposa dikaitkan dengan pola makan pokok 3-4 kali sehari, dari frekuensi makan dalam sehari terdapat kebiasaan makan yang selalu tambah, baik lauk, maupun nasi. Disamping itu kebiasaan makan dengan tinggi kalori, tinggi lemak dan rendah serat akan memicu terjadinya obesitas. Obesitas selalu dihubungkan dengan kinerja kognitif yang buruk yang terkait dengan kondisi-kondisi medis secara independen. Terdapat hubungan yang konsisten bahwa obesitas terkait dengan defisit kognitif, terutama dalam fungsi eksekutif pada anak-anak, remaja dan orang dewasa. Obesitas merupakan penyebab defisit kognitif. Terdapat hubungan yang bersifat dua arah setidaknya sebagian dari kecenderungan neurologis yang ditandai dengan berkurangnya fungsi eksekutif, dan pada gilirannya obesitas itu sendiri memiliki dampak negatif pada otak melalui mekanisme yang saat ini dikaitkan dengan timbulnya inflamasi, peningkatan lipid dan/atau resistensi insulin, akan tetapi jika
(64)
peran orang tua dalam memberikan asupan nutrisi yang sehat dan seimbang baik kalori, lemak dan serat serta meminimalkan kebiasaan makan kemilan akan turut membantu perbaikan dan perubahan kemampuan kognitif mereka (Saelens BE, 2007; Styne DM,2001).
Meningkatnya jumlah anak yang mengalami obesitas akan melipat gandakan hubungan antara obesitas dan perkembangan kognitif anak. Obesitas memiliki faktor risiko terhadap gangguan kardiovaskuler, karena penebalan dan pengerasan pembuluh darah dapat juga terjadi pada sistem pembuluh darah otak. Selain itu hormon yang dikeluarkan dari lemak dapat mempunyai efek merusak terhadap sel-sel otak sehingga fungsi otak dapat berkurang. Anak dengan obesitas akan mengalami gangguan jaringan otak di bagian lobus frontalis dan lobus temporalis yaitu area otak yang berfungsi untuk memori dan pencernaan, selain itu area otak lain yang terganggu adalah lobus anterior girus cinguli yang berfungsi untuk memusatkan perhatian, dan basal ganglia untuk mengatur gerakan. Penyempitan permukaan otak yang terjadi pada lobus frontalis dan temporalis akan menyebabkan gangguan fungsi fisiologis otak terutama fungsi daya ingat (Jolliffe CJ, Janssen I, 2006; Freedman, DS, 2004; Syarif, D.R, 2003).
Selain penyakit dan komplikasi akibat obesitas yang dapat mempengaruhi inteligensi seorang anak, penghasilan orang tua, pendidikan orang tua, aktivitas fisik, status nutrisi, pola makan erat kaitannya dengan kemampuan anak untuk berpikir konvergen dan divergen, berpikir secara abstrak, terarah, bertujuan dan rasional, kemampuan untuk menyatakan pengalaman-pengalaman, kemampuan untuk menggunakan apa yang telah dipelajari dan belajar lebih baik, kemampuan
(1)
Classification Tablea
Observed
Predicted
kat iq Percentage Correct cerdas normal
Step 1 kat iq cerdas 0 12 .0
normal 0 49 100.0
Overall Percentage 80.3
a. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for EXP(B) Lower Upper Ste
p 1a
pendidikanortu .466 .731 .406 1 .524 1.594 .380 6.679 Constant 1.26
9 .377
11.30
3 1 .001 3.556 a. Variable(s) entered on step 1: pendidikanortu.
Logistic Regression
Case Processing SummaryUnweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 61 100.0 Missing Cases 0 .0
Total 61 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 61 100.0
(2)
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
kat iq Percentage Correct cerdas normal
Step 0 kat iq cerdas 0 12 .0
normal 0 49 100.0
Overall Percentage 80.3
a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Step 0 Constant 1.407 .322 19.080 1 .000 4.083
Variables not in the Equation
Score df Sig. Step 0 Variables aktivitas .048 1 .826
Overall Statistics .048 1 .826
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
cerdas 0
(3)
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model CoefficientsChi-square df Sig. Step 1 Step .049 1 .825
Block .049 1 .825
Model .049 1 .825
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 60.442a .001 .001
a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001.
Classification Tablea
Observed
Predicted
kat iq Percentage Correct cerdas normal
Step 1 kat iq cerdas 0 12 .0
normal 0 49 100.0
Overall Percentage 80.3
(4)
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for EXP(B) Lower Upper Ste
p 1a
aktivitas .150 .680 .048 1 .826 1.161 .306 4.406 Constant 1.355 .397 11.667 1 .001 3.875
a. Variable(s) entered on step 1: aktivitas.
Logistic Regression
Case Processing SummaryUnweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 61 100.0 Missing Cases 0 .0
Total 61 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 61 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
cerdas 0
normal 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,bObserved
Predicted
kat iq Percentage Correct cerdas normal
(5)
a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Step 0 Constant 1.407 .322 19.080 1 .000 4.083
Variables not in the Equation
Score df Sig. Step 0 Variables polamakan 1.501 1 .221
Overall Statistics 1.501 1 .221
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model CoefficientsChi-square df Sig. Step 1 Step 1.527 1 .217
Block 1.527 1 .217
Model 1.527 1 .217
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 58.964a .025 .039
a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001.
(6)
Classification Tablea
Observed
Predicted
kat iq Percentage Correct cerdas normal
Step 1 kat iq cerdas 0 12 .0
normal 0 49 100.0
Overall Percentage 80.3
a. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for EXP(B) Lower Upper Step 1a polamakan .816 .676 1.456 1 .228 2.261 .601 8.505
Constant 1.056 .410 6.620 1 .010 2.875 a. Variable(s) entered on step 1: polamakan.
Correlations
Correlations
umur
Jenis
kelamin imt IQ aktivitas pendapatan
status
gizi Pddkortu IQ Pearson
Correlation .064 .038 .075 1 .127 .036 -.123 -.168 Sig.
(2-tailed) .622 .771 .566 .328 .783 .345 .196
N 61 61 61 61 61 61 61 61
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).