KAJIAN PENGATURAN TERHADAP STANDAR PRODUK PRIORITAS USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN KAITANNYA DENGAN PRAKTIK MONOPOLI.

(1)

i

PRODUK PRIORITAS USAHA MIKRO, KECIL DAN

MENENGAH MENGHADAPI MASYARAKAT

EKONOMI ASEAN KAITANYA DENGAN PRAKTIK

MONOPOLI

I GUSTI PUTU NGURAH SATRIAWIBAWA 1203005063

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

PRODUK PRIORITAS USAHA MIKRO, KECIL DAN

MENENGAH MENGHADAPI MASYARAKAT

EKONOMI ASEAN KAITANYA DENGAN PRAKTIK

MONOPOLI

I GUSTI PUTU NGURAH SATRIAWIBAWA 1203005063

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

iii

MONOPOLI

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I GUSTI PUTU NGURAH SATRIAWIBAWA NIM. 1203005063

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(4)

iv

PADA TANGGAL 28 APRIL 2016

Pembimbing I

Dr. I Made Sarjana, SH.,MH. NIP. 1961123111986011001

Pembimbing II

Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH. NIP. 197302202003121001


(5)

v

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor: 1556/UN14.1.11/PP.05.02/2016, Tanggal 06 Juni 2016

Ketua : Dr. I Made Sarjana, SH., MH. ...

Sekretaris: Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH. ...

Anggota :1. A. A. Sri Utari, SH., MH. ...

2. Made Suksma P. Devi Salain, SH., MH., LLM ...


(6)

vi

berjudul “KAJIAN PENGATURAN TERHADAP STANDAR PRODUK

PRIORITAS USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN KAITANYA DENGAN PRAKTIK MONOPOLI” sesuai dengan harapan dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis tak lupa mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.:

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., MH. Dekan Fakultas Hukum

Universitas Udayana

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH.,M.H. Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Udayana

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., M.H. Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Udayana

4. Bapak Dr. Gede Yusa, SH., MH. Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Udayana

5. Bapak Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH. Ketua Bagian Hukum


(7)

vii dengan baik.

7. Bapak Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH., Dosen pembimbing II

dalam penyusunan skripsi ini atas bimbingan, saran dan petunjuk sehingga skripsi ini bisa terselesaikan dengan baik.

8. Bapak I Ketut Keneng, SH,.MH., Pembimbing Akademik yang telah

memberikan waktu dan petunjuk selama masa perkuliahan penulis.

9. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas

Udayana, atas limpahan pengetahuannya selama penulis duduk di bangku perkuliahan.

10. Bapak atau Ibu Pegawai Administrasi, Tata Usaha dan Perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

11. Untuk orang tua penulis, I Gusti Putu Ngurah Suyadnya, S.Pd., M.Pd.

dan Anak Agung Istri Ariani yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat serta selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

12. Gusti Made Raka Arimbawa dan Gusti Ngurah Adi Agung selaku

saudara penulis yang selalu menemani penulis selama menyelsaikan skripsi ini.


(8)

viii

Arista Wirdiantara, Ida Bagus Komang paramarta, teman-teman penulis yang tergabung dalam UMCC, GenBI Bali, SCIL, dan segenap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu, memberi semangat, dan dukungan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan mengharapkan kritik juga saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak pada umumnya dan bagi perkembangan ilmu hukum pada khususnya.

Gianyar, 25 April 2016


(9)

ix

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku. Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Gianyar, 25 April 2016 Yang menyatakan,

I Gusti Putu Ngurah Satriawibawa NIM. 1203005063


(10)

x HALAMAN SAMPUL DEPAN

HALAMAN SAMPUL DALAM

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

SURAT PERSYARATAN KEASLIAN ... viii

DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB IPENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 7

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 7

1.5 Tujuan Penelitian ... 8

a. Tujuan Umum... 8

b. Tujuan Khusus ... 9

1.6 Manfaat Penelitian ... 9

a. Manfaat Teoritis ... 9


(11)

xi

b. Jenis Pendekatan ... 15

c. Bahan Hukum ... 16

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 17

e. Teknik Analisis Bahan Hukum ... 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MEA, STANDAR PRODUK PRIORITAS UMKM DAN MONOPOLI 2.1Pengertian Tentang MEA dan Standar Produk dalam MEA ... 19

2.1.1 Sejarah singkat MEA ... 19

2.1.2 Pengaturan Standar produk prioritas dalam MEA ... 21

2.2Pengertian Tentang UMKM dan pengaturanya di Indonesia ... 24

2.2.1 Pengertian UMKM ... 24

2.2.2 Dasar hukum UMKM ... 27

2.3Pengertian Tentang Monopoli ... 35

2.3.1 Pengertian monopoli ... 35

2.3.2 Hukum Anti Monopoli di Indonesia dan ASEAN ... 38

BAB III HARMONISASI PENGATURAN STANDAR PRODUK DALAM HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL 3.1Pengaturan Standar Produk dalam Hukum Nasional ... 54


(12)

xii

STANDAR PRODUK UNTUK MENCEGAH PRAKTIK MONOPOLI

4.1Konsep Dasar Hukum Anti Monopoli ... 75

4.2Perlindungan UMKM dalam Hukum Anti Monopoli ... 78

4.3Pengaturan Standar Produk yang dapat Mencegah Praktik Monopoli

terhadap UMKM... 84 BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 87 5.2 Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 90 RINGKASAN SKRIPSI


(13)

xiii

transparan dengan kesepakatan standar produk negara-negara ASEAN yaitu ASEAN Framework Agreement on Mutual Recognition Arrangement. Namun pada kenyataanya belum siapnya negara negara ASEAN dalam penyeragaman standar karena perbedaan standar di setiap negara menyebabkan kesulitan dalam penyeragaman standar. Dampak buruk yang dapat terjadi dari penerapan standar yang kurang adalah pasar yang tertutup bagi perusahaan-perusaahaan yang belum mampu mencapai standar yang sudah ditetapkan sehingga pasar tertutup bagi produsen-produsen yang belum mampu memenuhi standar pasar tersebut terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dari negara-negara berkembang di kawasan ASEAN belum mampu memenuhi standar dimaksud. Oleh karena itu, maka dirasakan perlu untuk dilakukan suatu penelitian mengenai permasalahan tersebut.

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yang terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, dan taraf sinkronisasi hukum. Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan yang secara lebih luas lagi, mencakup segala ketentuan hukum yang tertulis, sehingga Konvensi, dan segala bentuk Perjanjian Internasional juga dapat dipandang atau diinterpretasikan sebagai sebuah Undang-Undang.

Peraturan Pemerintah RI No. 102 Tahun 2000 Tentang Standarisasi Nasional telah mengatur mekanisme penentuan standar produk yang baik secara nasional (SNI), begitu pula harmonisasi standar dalam ruang lingkup ASEAN

yang sedang dirintis melaui ASEAN Mutual Recognition Arrangement. Untuk

mencegah praktik monopoli khusunya yang mungkin terjadi pada UMKM, bukan standar yang harus di sesuaikan dengan UMKM, atas nama perlindungan konsumen, UMKM yang harus menyesuaikan produknya dengan standar yang ada dengan berbagai keistimewaan yang diberikan baik oleh hukum nasional begitu

pula dalam hukum internasioanal. Banyak fasilitas yang diberikan untuk

pengembangan UMKM, pemerintah seharusnya lebih giat lagi melakukan sosialisasi mengenai MEA, hak istimewa yang didapat oleh UMKM dan peluang UMKM bersaing dalam MEA, diimbangi dengan pengawasan yang setara oleh pemerintah, karena semakin besar kemudahan yang diberikan semakin besar juga kecenderungan untuk melakukan penyimpangan.

Kata Kunci : ASEAN Framework Agreement on Mutual Recognition Arrangement, Harmonisasi Standar, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah


(14)

xiv

policy with product standard agreements of ASEAN countries, the ASEAN Framework Agreement on Mutual Recognition Arrangement. The fact that ASEAN countries is not ready for standards uniformity, because of the differences standard in each country that cause difficulties in standard uniformity. The adverse effects that can occur from the implementation of standards is lacking is a market that is closed to enterprise that has not been able to reach the standards that have been defined so the market is closed to producers who have not been able to meet the standards of those markets, especially Micro, Small and Medium Enterprises (SMEs) from developing countries in the ASEAN region has not been able to meet such standards. Therefore, it is necessary to do research on the issue. Type of study used in this thesis is a normative legal research consisting of research on legal principles, systematic law, and the level of synchronization of law. In this paper, the authors use the approach legislation more broadly, covering any written legal provisions, so that the Convention, and all forms of International Agreements may also be viewed or interpreted as an Act.

Govern Regulation No. 102 Year 2000 On National Standards have been set up mechanisms for determining which product standards both nationally (SNI), as well as the harmonization of standards within the scope of ASEAN, which is being piloted through the ASEAN Mutual Recognition Arrangement. To prevent monopolistic practices that may occur especially on SMEs, instead of the standard that should be adjusted by SMEs, in the name of consumer protection, SMEs must adapt its products with existing standards with the privileges granted by both national laws as well as in International law. Many of the facilities provided for the development of SMEs, the government should be more active dissemination of the MEA, the privileges gained by SMEs and the opportunities of SMEs to compete in the MEA, balanced with supervision equivalent by the government, because of the greater convenience provided the greater the tendency for irregularities.

Keyword : ASEAN Framework Agreement on Mutual Recognition Arrangement, Standard Harmonization, Small and Medium Enterprise.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak terbentuknya Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) pada

tahun 1967 sebagai organisasi regional di wilayah Asia Tenggara, kerjasama ekonomi telah menjadi salah satu agenda utama negara-negara anggota ASEAN. Pada awalnya kerjasama ekonomi difokuskan pada program-program pemberian preferensi

perdagangan (preferential trade), usaha patungan (joint ventures), dan skema saling

melengkapi (complementation scheme) antar pemerintah negara-negara anggota

maupun pihak swasta di kawasan ASEAN, seperti ASEAN Industrial Projects Plan

(1976), Preferential Trading Arrangement (1977), ASEAN Industrial

Complementation scheme (1981), ASEAN Industrial Joint-Ventures scheme (1983), dan Enhanced Preferential Trading arrangement (1987). Sekitar tahun 80-an dan 90-an, ketika negara-negara di berbagai belahan dunia mulai melakukan upaya-upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi, negara-negara anggota ASEAN menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerjasama adalah dengan saling membuka perekonomian mereka, guna menciptakan integrasi ekonomi kawasan.

Akhirnya pada Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-5 ASEAN di Singapura


(16)

Cooperation sekaligus menandai dicanangkannya ASEAN Free Trade Area (AFTA)

pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common Effective Preferential Tariff (CEPT)

sebagai mekanisme utama. Pendirian AFTA memberikan impikasi dalam bentuk pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan hambatan-hambatan non-tarif, dan

perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan fasilitasi perdagangan. Dalam

perkembangannya, AFTA tidak hanya difokuskan pada liberalisasi perdagangan

barang, tetapi juga perdagangan jasa dan investasi.1

Sejalan dengan makin pesatnya dinamika hubungan antar-bangsa di berbagai kawasan, pada pertemuan informal para Kepala Negara ASEAN di Kuala Lumpur tanggal 15 Desember 1997 disepakati ASEAN Vision 2020 yang kemudian

ditindaklanjuti dengan pertemuan di Hanoi yang menghasilkan Hanoi Plan of Action

(HPA). Visi 2020 termasuk HPA berisi antara lain: kondisi yang ingin diwujudkan di beberapa bidang, seperti orientasi ke luar, hidup berdampingan secara damai dan menciptakan perdamian internasional.

Beberapa agenda kegiatan yang akan dilaksanakan untuk merealisasikan Visi 2020 adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, ekonomi, lingkungan hidup, sosial, teknologi, hak cipta intelektual, keamanan dan perdamaian, serta turisme melalui serangkaian aksi bersama dalam bentuk hubungan kerjasama yang baik dan saling menguntungkan di antara negara-negara anggota ASEAN.

1 Dian Triansyah Djani, MA, ASEAN Selayang Pandang, Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN, Jakarta, 2008, h.32.


(17)

Selanjutnya pada KTT ASEAN ke 9 di Bali pada tahun 2003 dihasilkan Bali Concord

II, yang menyepakati pembentukan ASEAN Community untuk mempererat integrasi

ASEAN. Terdapat tiga komunitas dalam ASEAN Community yang disesuaikan dengan

tiga pilar di dalam ASEAN Vision 2020, yaitu pada bidang keamanan politik (ASEAN

Political-Security Community), ekonomi (Masyarakat Ekonomi ASEAN), dan sosial

budaya (ASEAN Socio-Culture Community). Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

adalah tujuan akhir integrasi ekonomi seperti yang dicanangkan dalam ASEAN Vision

2020, adalah "To create a stable, prosperous and highly competitive ASEAN economic

region which there is free flow of goods, services, investment, skill labor and freer flow of capital, equitable economic development and reduced poverty and socio-economic

disparities in year 2020”

KTT ke-10 ASEAN di Vientiene tahun 2004 antara lain menyepakati Vientiane Action Program (VAP) yang merupakan panduan untuk mendukung implementasi

pencapaian AEC di tahun 2020. ASEAN Economic Ministers Meeting (AEM) di Kuala

Lumpur bulan Agustus 2006 menyetujui untuk membuat suatu cetak biru (blueprint)

untuk menindaklanjuti pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dengan

mengindentifikasi sifat-sifat dan elemen-elemen AEC pada tahun 2015 yang konsisten

dengan Bali Concord II dan dengan target-target dan timelines yang jelas serta

pre-agreed flexibility untuk mengakomodir kepentingan negara-negara anggota ASEAN.

KTT ke-12 ASEAN di Cebu bulan Januari 2007 telah menyepakati


(18)

2015”. Dalam konteks tersebut, para Menteri Ekonomi ASEAN telah

menginstruksikan Sekretariat ASEAN untuk menyusun” Cetak Biru AEC”. Cetak Biru

AEC tersebut berisi rencana kerja strategis dalam jangka pendek, menengah dan

panjang hingga tahun 2015 menuju terbentuknya integrasi ekonomi ASEAN, yaitu2 :

1. Menuju single market dan production base (arus perdagangan bebas untuk

sektor barang, jasa, investasi, pekerja terampil, dan modal);

2. Menuju penciptaaan kawasan regional ekonomi yang berdaya saing tinggi

(regional competition policy, IPRs action plan, infrastructure development, ICT, energy cooperation, taxation, dan pengembangan UKM);

3. Menuju suatu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata (region

of equitable economic development) melalui pengembangan UKM dan program-program Initiative for ASEAN Integration (IAI); dan

4. Menuju integrasi penuh pada ekonomi global (pendekatan yang koheren

dalam hubungan ekonomi eksternal serta mendorong keikutsertaan dalam global supply network).

Berlakunya MEA 2015, berarti negara-negara ASEAN menyepakati perwujudan integrasi ekonomi kawasan yang penerapannya mengacu pada AEC Blueprint. AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara Anggota ASEAN

2Ibid., h. 33.


(19)

dalam mewujudkan AEC 2015.3 Dengan 12 sektor prioritas, yakni: produk-produk berbasis pertanian, otomotif, elektronik, perikanan, poduk berbasis karet, tekstil dan pakaian, produk berbasis kayu, perjalanan udara, e-ASEAN, kesehatan, pariwisata, dan logistik dengan kebijakan yang jelas dan transparan dengan kesepakatan standar internasional negara ASEAN yaitu ASEAN Agreed Version Standards (AAS), sebagai dasar penyamaan standar produk untuk ke-12 sektor prioritas tersebut.

Mengenai penyamaan standar sebenarnya sudah dibahas sebelumnya dalam Mutual Recognition Arrangement (MRA) pada tahun 1998 dalam Asean Framework Agreement on Mutual Recognition Arrangement, yaitu suatu kesepakatan pengakuan terhadap produk-produk tertentu untuk memudahkan proses ekspor impor sehingga tidak memerlukan proses pengujian kembali karena memang sudah memakai standar yang sama. Terbentuknya MRA dilatarbelakangi oleh terhambatnya ekspor suatu komoditi ke suatu negara akibat peraturan teknis/standar yang diberlakukan oleh negara importir, sehingga untuk menjembatani kegiatan ekspor/impor agar tidak menghadapi hambatan baik berupa tingginya biaya yang ditimbulkan dan keterlambatan sampainya barang di tangan konsumen sebagai akibat adanya pemeriksaan di pelabuhan tujuan, maka ditempuhlah penyamaan standar dengan MRA.

Namun pada kenyataanya belum siapnya negara negara ASEAN dalam penyeragaman standar karena perbedaan standar di setiap negara menyebabkan

3 Humphrey Wangke, 2014, Info Singkat Hubungan Internasional “Kajian Singkat terhadap

Isu-Isu Terkini, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, h. 6.


(20)

kesulitan dalam penyeragaman standar. Misalnya saja Indonesia dengan kesiapan

harmonisasi Standar Nasional Indonesia (SNI) terhadap ASEAN Agreed Version

Standards (AAS); dengan kategori SNI telah tersedia, memiliki acuan yang sama dengan AAS dan dengan metode adopsi identik atau modifikasi hanya diperoleh 39% dari total 228 AAS. Dengan perincian kesipan SNI per sektor, adalah: peralatan elektrik

dan elektronik (EEE) diperoleh 42,8%, produk berbahan dasar kayu (Wood Based

Product) diperoleh 62% produk berbahan dasar karet (Rubber Based Product)

diperoleh 38%, dan peralatan kesehatan (Medical Device) diperoleh 3%. Ketiga negara

pembanding di ASEAN (Singapore, Loao PDR dan Myanmar) juga menunjukan kesiapan standar nasional yang rendah namun memiliki kebijakan untuk mengadopsi

AAS4. Dampak buruk yang dapat terjadi dari penerapan standar yang kurang adalah

pasar yang tertutup bagi perusahaan-perusaahaan yang belum mampu mencapai standar yang sudah ditetapkan sehingga pasar tertutup bagi produsen-produsen yang belum mampu memenuhi standar pasar tersebut. Dalam hal ini terdapat kemungkinan terjadinya praktik monopoli yang disebabkan oleh penerapan standar, sementara di sisi lain para produsen terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dari negara-negara berkembang di kawasan ASEAN belum mampu memenuhi standar dimaksud. Oleh karena itu, maka dirasakan perlu untuk dilakukan suatu penelitian mengenai permasalahan tersebut di atas. Adapun bentuk penelitian tersebut dituangkan dalam

4 Bendjamin Benny Louenapessy, Kesiapan Sni Produk Prioritas Mengadapi Mea, Website Resmi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, 09 April 2015, URL: ttp://disperindag.jabarprov.go.id/news/detail/eksternal/2015/04/09:02:21508c75c8507a2ae5223dfd2fae b98122 (diakses 20 Oktober 2015)


(21)

bentuk skripsi berjudul: “KAJIAN PENGATURAN TERHADAP STANDAR PRODUK PRIORITAS USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN KAITANYA DENGAN PRAKTIK MONOPOLI “

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat ditemukan beberapa masalah yang akan diteliti lebih lanjut yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimanakah harmonisasi pengaturan standar produk menurut Hukum

Nasional maupun Internasional?

2. Bagaimanakah pengaturan standar produk prioritas usaha kecil mikro dan

menengah dalam masyarakat ekonomi asean yang dapat mencegah praktik monopoli?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam usulan penelitian ini penulis menentukan ruang lingkup masalah yang ingin dipecahkan adalah bagaimana Bagaimana penerapan standar produk dalam masyarakat ekonomi asean dapat menyebabkan praktik monopoli.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan penulis, belum ditemukan tulisan yang mirip dengan penelitian penulis. Ada beberapa tulisan mengenai


(22)

persaingan usaha dalam ruang lingkup ASEAN namun penulis belum menemukan tulisan yang membahas tentang praktik monopoli dalam ruang lingkup MEA. Namun dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiarisme dalam dunia pendidikan

Indonesia maka penulis akan menampilkan tulisan tersebut yaitu “Kajian Yuridis

Terhadap Kedudukan Advokat Asing di Indonesia dengan Keberadaan Masyarakat

Ekonomi ASEAN.” Oleh mahasiswa Fakultas hukum Universitas Sumatra Utara. Bila kedepanya ditemukan penelitian yang mirip dengan penelitian penulis maka akan ditampilkan sebagai pembanding.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan penulis terjamin orisinalitasnya, dikarenakan memang belum ditemukan tulisan lain yang mirip dengan tulisan penulis.

1.5 Tujuan Penelitian

Dalam menentukan tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh peneliti, maka berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah, dan ruang lingkup masalah, serta untuk mendapatkan data-data dan informasi atau keterangan-keterangan, maka peneliti mempunyai tujuan sebagai berikut yaitu :

a. Tujuan Umum

1. Untuk menganalisis pembentukan suatu standar produk dalam perdagangan


(23)

2. Untuk menganalisis bagaimana standar produk dalam hukum internasional yang dapat menyebabkan praktik monopoli.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk lebih mengetahui dan memahami harmonisasi pengaturan dalam

standar produk dalam Hukum Nasional maupun Hukum Internasional serta prinsip-prinsip atau asas-asas Hukum Nasional maupun Internasional yang berkaitan dengan penerapan standar produk.

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan standar produk dalam masyarakat

ekonomi ASEAN yang dapat mencegah praktik monopoli?

1.6 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Dengan dilakukannya penelitian ini maka diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah dan memperkaya Ilmu Pengetahuan Hukum. Ilmu Pengetahuan Hukum yang dimaksud adalah Hukum Internasional maupun Hukum Bisnis Internasional mengenai konsekuensi penerpaan standar produk terkait praktik monopoli .

b. Manfaat Praktis

Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi manfaat dan sumbangan pemikiran bagi pihak yang mendalami bidang Hukum Internasional maupun Hukum Bisnis Internasional dan pihak yang terlibat dalam perdagangan internasional. Sehingga dapat tewujud pasar ekonomi ASEAN


(24)

yang baik demi kepentingan tercapainya tujuan dari Masyarakat Ekonomi Asean itu sendiri.

1.7Landasan Teoritis

a. Dasar Perlindungan Usaha dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

Undang-undang anti monopoli harus dapat mendukung terwujudnya struktur ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan,5 dan dalam ayat (4): Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Ciri khas dari demokrasi ekonomi itu sendiri adalah perekonomian yang diwujudkan oleh semua anggota masyarakat dan harus mengabdi pada kesejahtraan seluruh rakyat. Negara dalam hal ini harus menciptakan suatu peraturan persaingan usaha untuk mencapai suatu demokrasi ekonomi sesuai pasal 33 ayat (1) dan (4) UUD 1945, yang dalam hal ini telah terwujud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan


(25)

Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Undang-undang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945.

b. Teori Kebebasan Berdagang

Berdasarkan teori ini setiap negara memiliki kebebasan untuk berdagang dengan setiap orang atau setiap negara di mana pun di dunia ini. Kebebasan ini tidak boleh terhalang dengan alsan sistem ekonomi negara, ideologi ataupun politik yang berbeda dengan negara lainnya.

Menurut Schwarzenberger, kebebasan berdagang ini sudah tampak sejak daulu,

misalnya di Inggris, ketika negara tersebut mengeluarkan Magna Charta (1215). Pada

saat itu Raja Inggris (King John) mengeluarkan Magna Charta untuk memberi

kebebasan berdagang kepada pedagang asing (termasuk bangsawan dan para pemimpin


(26)

dihadapkan ke pengadilan.6 Sejak Abad ke -12 dan sterusnya, penerapan prinsip ini masih berkembang.

Perkembangan penting tampak ketika pemerintah Inggris mengirimkan surat

resmi (British State Paper) kepada pemerintah Spanyol pada tanggal 8 Maret 1872.

Surat tersebut berisi penegasan pemerintah Inggris untuk memberikan kebebasan kepada semua orang asing untuk tinggal di Inggris. Surat tersebut juga memuat jaminan perlakuan hukum yang sama kepada orang asing seperti halnya warga negara Inggris. Pernyataan tersebut antara lain berbunyi :

“ By the exsisting law of Great Britain all forigners have the unstestritired right of entrance the residence in this country and, ehile they remain in it, are, equally with British subjects, under the protection of law, and under the sentence of the ordinary Tribunal of Justice, after a public trial, and on a conviction founded on evidence given in open court. No foreigners, as such, can be sent out of this country by the executive government, except persons removed by virtue of treaties with other states, confirmed by Act of Parialment, for the mutual surrender of criminal offender”.7

Pernyataann Pemerintah Inggris tersebut mengandung 4 prinsip penting yaitu :

1. Semua warga negara asing memiliki hak tak terbatas untuk masuk dan tinggal

di wilayah Inggris.

2. Pemerintah Inggris akan memperlakukan dan melindungi warga negara asing

sebagaimana warga negaranya.

6 Geroge W. Keeton dan Georg Scwarzenberger, 1967, A Manual of International Law, London, Steven and Sons, h.109.


(27)

3. Warga negara asing tidak akan dihukum kecuali mereka melangga rhukum yang diputus oleh Pengadilan melalui proses peradilan yang adil dan terbuka.

4. Pemerintah Inggris tidak akan mengusir orang asing kecuali berdasarkan

perjanjian (ekstradisi) dengan negara lain sehubungan dengan tindakan kejahatan yang dilakukanya.

c. Teori Perlakuan Sama (Identical Treatment)

Teori ini pun sudah ada sejak dahulu kala. Berdasarkan teori ini dua raja sepakat untuk secara timbal balik memberikan perlakuan yang sama terhadap para pedangang. Menurut Schawarzenberger, prinsip ini tampak dalam hukum kekebalan diplomatik yang juga menganut prinsip timbal balik. Dalam hal ini pemberian perlakuan yang sama yang sifatnya timbal balik berada sepenuhnya kepada wewenang atau

kebijaksanaan para penguasa kedua negara.8

Dewasa ini prinsip dasar ini lebih dikenal dengan resiproritas (reciprocity).

Perlakuan yang sama demikian biasanya tertuang dalam suatu perjanjian, baik yang sifatnya multilateral maupun bilateral. Oliver Long menganggap resiprositas sebagai

suatu prinsip fundamental dalam perjanjian General Agreement on Tariffs and Trade

(GATT).9 Prinsip resiprositas ada dalam paragraf ke-3, Preambule GATT, yag

berbunyi : “being desirous of contributing to those objectives by entering into reciprocal and mutually advantageous arrangement directed to the substantial

8Ibid, h.219.

9 Oliver Long, 1978, Law and Its Limitation in te GATT Multilateral Trade System, Dordrecht, Martinus Nijoff Publiser, h.10.


(28)

reduction of tariffs and other barriers to trade and to the elimination of discriminatory treatment in international commerce”.10

1.8 Metode Penelitian a. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah pemecahan masalah yang didasarkan pada literature-literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas beranjak dari adanya kesenjangan dalam notma atau asas hukum, dengan menggunakan landasan teoritis dan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tersier. Landasan teoritis yang digunakan merupakan undang-undang, norma-norma maupun teori-teori teori yang sesuai dengan pernasalahan yang diangkat.

Penelitian hukum normatif yang terdiri dari penelitian terhadap asas-asas

hukum, sistematika hukum, dan taraf sinkronisasi hukum.11 Penelitian ini dilakukan

dengan menggunakan metode normatif karena pene litian ini mempelajari bahan-bahan hukum sebagai acuan dalam penelitian. Peraturan perundang-undangan, dikaji berdasarkan teori-teori dan ketentuan hukum yang mengaturnya.

10 Huala Adolf, 2005, Hukum Ekonomi Internasioan Suatu Pengantar, Raja Grafindo, Jakarta, h. 19.

11 Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta. h. 41.


(29)

Penelitian hukum normatif yang mengacu pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai ketentuan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen hukum, dan putusan hakim). Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum dalam media cetak maupun elektronik). Sedangkan bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder (rancangan undang-undang, kamus hukum dan ensiklopedia).

b. Jenis Pendekatan

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Macam-macam pendekatan-pendekatan yang

digunakan di dalam penelitian hukum adalah:12

1. Pendekatan undang-undang (statute approach)

2. Pendekatan kasus (case approach)

3. Pendekatan historis (historical approach)

4. Pendekatan komparatif (comparative approach)

12 Peter Mamud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 93.


(30)

5. Pendekatan konseptual (conceptual approach)

Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan. Mengenai perundang-undangan, dalam Hukum Internasional tidaklah terdapat Undang-Undang, sehingga makna Undang-Undang tersebut perlu diinterpretasikan secara lebih luas lagi, mencakup segala ketentuan hukum yang tertulis, sehingga Konvensi, dan segala bentuk Perjanjian Internasional juga dapat dipandang atau diinterpretasikan sebagai sebuah Undang-Undang.

c. Bahan Hukum

Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka sumber yang digunakan berupa bahan hukum, yang terdiri atas :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu sumber hukum yang bersufat autoratif yang

artinya mempunayi otoritas.13 Bahan hukum primer dalam karya tulisan ini

terdiri atas asas dan kaidah hukum yang diwujudkan dalam :

1. ASEAN Framework Agrement on Mutual Recognition Arrangements, 1998);

2. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

13Ibid, h. 96


(31)

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu sumber hukum yang bersifat pelengkap bagi bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam karya tulis ini terdiri dari buku-buku, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum, dan materi muatan internet yang berkaitan dengan rumusan masalah.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu sumber yang menjelaskan bahan hukum

primer maupun sekunder. Bahan hukum tersier dalam karya tulis ini terdiri atas Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum, dan Ensiklopedia.

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah teknik studi dokumen dengan card system yaitu dengan cara mencari bahan-bahan di dalam buku-buku terkait untuk dibaca serta dicatat kembali dalam kartu kutipan untuk mencatat dan mengutip sumber bahan hukum yang digunakan dengan mencari ikhtisar dari sumber bahan hukum yang dianggap penting dan digunakan

sebagai ulasan guna menjawab permasalahan.14 untuk disusun secara sistematis sesuai

dengan bahasan dalam penelitian ini.

e. Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan bahan hukum yang dibantu

14 Jonny Ibraim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, PT. Bayu Media Publising, Malang, h.296.


(32)

dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya.15 Adapun teknik pengolahan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder apa adanya.16 Bahan hukum primer dan sekunder yang terkumpul selanjutnya

diberikan penilaian (evaluasi), kemudian dilakukan interpretasi dan selanjutnya diajukan argumentasi. Argumentasi di sini dilakukan oleh peneliti untuk memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang seyogyanya menurut hukum atau peristiwa hukum dari hasil penelitian. Dari hasil tersebut nantinya akan ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain.

Teknik lainnya yang penulis gunakan adalah teknik analisis, yaitu pemaparan secara mendetail dari keterangan-keterangan yang didapat pada tahap sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya

membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis. 17

15 Mukti Fajar MD dan Yulianto Acmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 183.

16 Ronny anitjito, 1991, Metode Penelitian Hukum, Cet II, Galia Indonesia, Jakarta, h. 93. 17Ibid.


(33)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN, STANDAR PRODUK USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH DAN

MONOPOLI

2.1Pengertian Tentang MEA dan Standar Produk dalam MEA 2.1.1 Sejarah Singkat MEA

Disepakatinya Visi ASEAN 2020 pada bulan Desember 1997 di Kuala Lumpur menandai sebuah babak baru dalam sejarah integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Dalam deklarasi tersebut, pemimpin negara-negara ASEAN sepakat untuk mentransformasikan kawasan Asia Tenggara menjadi sebuah kawasan yang stabil, sejahtera dan kompetitif, didukung oleh pembangunan ekonomi yang seimbang, pengurangan angka kemiskinan dan kesenjangan sosio-ekonomi di antara

negara-negara anggotanya.1 Komitmen untuk menciptakan suatu Masyarakat ASEAN

(ASEAN Community) sebagaimana dideklarasikan dalam visi tersebut, kemudian semakin dikukuhkan melalui ASEAN Concord II pada Pertemuan Puncak di Bali Oktober 2003, atau yang lebih dikenal sebagai Bali Concord II, dimana para pemimpin


(34)

ASEAN mendeklarasikan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) sebagai tujuandari integrasi ekonomi kawasan pada 2020.2

Dalam Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN (ASEAN Economic Ministers

Meeting–AEM) yang diselenggarakan pada bulan Agustus 2006 di Kuala Lumpur, komitmen yang kuat menuju terbentuknya integrasi ekonomi kawasan ini diejawantahkan ke dalam gagasan pengembangan sebuah cetak biru menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN yang kemudian secara terperinci disahkan dan diadopsi oleh seluruh negara anggota ASEAN pada November 2007. Bahkan, sebelumnya dalam Pertemuan Puncak ASEAN ke-12 pada Januari 2007, komitmen yang kuat para pemimpin negaranegara ASEAN terhadap pembentukan MEA ini, semakin tercermin dari disepakatinya upaya percepatan terwujudnya komunitas tersebut pada tahun 2015. Pada pertemuan tersebut, para pemimpin ASEAN sepakat untuk mempercepat pembentukan MEA pada tahun 2015 dan mentransformasikan ASEAN menjadi sebuah kawasan dimana barang, jasa, investasi, pekerja terampil, dan arus modal dapat

bergerak dengan bebas.3

MEA tahun 2015 merupakan suatu program bagi negara-negara ASEAN untuk lebih meningkatkan kualitas ekonomi khususnya perdagangan sebagaimana terdapat

dalam ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint yang menjadi arahan atau acuan

2 ASEAN Concord II /Bali Concord II, ttp://www.aseansec.org/15159.htm, (diakses 3 Januari 2016).

3 Masnur Tiurmaida Malau, 2014, Aspek Hukum Peraturan dan Kebijakan Pemerinta Indonesia

Mengadapi Liberalisasi Ekonomi Regional: Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPN, 2014, h.164


(35)

perwujudan MEA 2015.4 MEA yang akhirnya disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-19 yang diselenggarakan di Bali, 17 November 2011 ini telah merumuskan kesepakatan bersama para pemimpin negara-negara ASEAN berupa pencapaian Masyarakat ASEAN yang dimulai dengan penerapan MEA pada 2015.

Area kerjasama MEA meliputi pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kapasitas, pengakuan kualifikasi profesional, konsultasi lebih dekat pada kebijakan makro ekonomi dan keuangan, langkah-langkah pembiayaan perdagangan, peningkatan infrastruktur dan konektivitas komunikasi, pengembangan transaksi elektronik melalui e-ASEAN, mengintegrasikan industri di seluruh wilayah untuk mempromosikan sumber daya daerah, dan meningkatkan keterlibatan sektor swasta

untuk membangun AEC.5

2.1.2 Pengaturan Standar Produk Prioritas dalam MEA

MEA bertujuan membentuk ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi yang menggerakkan para pelaku usaha, suatu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi serta kawasan yang

terintegrasi penuh dengan ekonomi global.6 Dari pendasaran tujuan ini tampak bahwa

4 ASEAN Economic Community Blueprint,ttp://www.aseansec.org/21083.pdf, (diakses 8 September 2014).

5 Moamed Jawar assan, 2014, Te Resurgence of Cina and India, major Power Rivalry and Te

Response of ASEAN, dalam adi Soesastro dan Clara Joewono (eds.), Te Inklusif Regionalist, Centre for Strategic and International Studies Indonesia, Jakarta, 2007, h. 139.

6 Budianto Tedjasuksmana, Potret Umkm Indonesia Mengadapi Masyarakat Ekonomi Asean

2015, Te 7t NCFB and Doctoral Colloquium 2014 Towards a New Indonesia Business Arcitecture Sub Tema: “Business and Economic Transformation Towards AEC 2015” Fakultas Bisnis dan


(36)

akan timbul berbagai aliran investasi, penghapusan tarif dan faktor-faktor lain secara progresif, yang dapat dituangkan dalam prosedur, kebijakan, regulasi dan peraturan lainnya di dalam upaya mengurangi hambatan-hambatan demi kemajuan bersama, salah satunya adalah dengan sertifikasi dan harmonisasi standar atas produk dan jasa, sebagai wujud perlindungan terhadap konsumen juga perlakuan yang adil kepada tiap produsen yang ingin masuk ke pasar.

Harmonisasi standar adalah harmonisasi standar-standar dan regulasi teknis yang ada di masing-masing negara anggota ASEAN dengan mengacu kepada standar

Internasional.7 Pada 1997, AFTA Council telah mengidentifikasi dan menentukan 20

produk, sebagian besar merupakan produk atau komponen elektronik dan mesin yang

mengacu pada 59 standar internasional yang mecakup ISO (Intenational Standard

Organization, IEC (International Electrotechnical Commision) dan ITU (International Telecomunication Union). Pada tahun 1998, para pemimpin ASEAN menandatangani ASEAN Framework Agreement on Mutual Recognition Arragement (ASEAN MRA),

yang akan menjadi dasar bagi pengembangan dan implementasi Mutual Recognition

Arragement (MRA) sektoral.8 MRAmerupakan suatu perjanjian yang akan membantu dunia industri di ASEAN mengurangi duplikasi dalam pengetesan dan sertifikasi produk sehingga regulator di negara importir akan dapat mempercayai hasil tes dan sertifikasi yang dekeluarkan oleh negara eksportir terkait dengan produk yang di

7 Winantyo, 2008, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 Memperkuat Sinergi ASEAN di

Tenga Kompetisi Global, Elek Media Komutindo, Jakarta, 2008, h.109 8Ibid, h.110.


(37)

ekspor, tidak perlu lagi melakukan pengecekan dan sertifikasi ulang di negara

importir.9 Selain merupakan bentuk penyederhanaan birokrasi yang dapat mengurangi

biaya, harmonisasi standar juga merupakan suatu bentuk perlindungan konsumen dimana konsumen bisa percaya pada kualitas suatu produk karena memang sudah

memiliki standar yang sama. Sejak tahun 2002 telah ditetapkan beberapa MRAuntuk

perdagangan barang, jasa, dan tenaga kerja.

Pada perdagangan barang misalnya, dalam rangka memperlancar arus bebas

barang salah satunya perlu dilakukan harmonisasi standar dan kesesuaian (standard &

conformance). Oleh karena itu ASEAN melalui ASEAN Consultative Committee on Standards & Quality (ACCSQ) berusaha untuk menyelaraskan standar-standar nasional dengan standar internasional dan mengimplementasikan MRA untuk meraih tujuan

akhirnya yaitu “One Standard, One Test, Accepted Everywhere”10.

Seperti yang terjadi pada perdagangan barang, liberalisasi juga terjadi pada perdagangan jasa. Dalam liberalisasi perdagangan jasa di ASEAN dilakukan melalui

mekanisme ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). AFAS ditandatangani

oleh para Menteri Ekonomi negara-negara ASEAN pada tanggal 15 Desember 1995 pada 5th ASEAN Summit di Bangkok. Implementasi AFAS dilakukan dalam bentuk

paket skedul komitmen yang dicapai pada setiap putaran perundingan.11

9Ibid, h.109

10 ASEAN MRA, ttp://www.aseansec.org/23075.htm (diakses 16 Januari 2016)

11 Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community 2015, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, h.30.


(38)

2.2Pengertian Tentang UMKM dan Pengaturanya di Indonesia 2.2.1 Pengertian UMKM

Pada pokoknya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan bentuk usaha yang dalam skala kecil dan tidak dalam sifat industri besar dan berat. Ada dua tujuan mengenai pendefinisian yang jelas mengenai UMKM, yaitu tujuan

administratif dan pengaturan; serta tujuan yang berkaitan dengan pembinaan.12 Tujuan

pertama berkaitan dengan ketentuan yang mengharuskan suatu perusahaan memenuhi kewajibannya, seperti membayar pajak, melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan, serta mematuhi ketentuan ketenagakerjaan seperti keamanan dan hak pekerja lainnya. Sedangkan tujuan yang berkaitan dengan pembinaan, lebih pada pembuatan kebijakan yang terarah seperti upaya pembinaan, peningkatan kemampuan

teknis, serta kebijakan pembiayaan untuk UMKM.13

Pada tanggal 26 Desember telah disahkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil yang membedakan usaha kecil dengan usaha menengah. Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan yang antara lain:

a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta

rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

12Bank Indonesia, “Kajian UMKM-BI”, ttp://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/4662D18E-B190- 431F-B4B6C93D5BF8F31/23554/BukuKajianAkademikKelayakanPendirianLembagaPemerin.pdf (diakses tanggal 14 Januari 2016)


(39)

b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);

c. milik Warga Negara Indonesia;

d. berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan

yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar;

e. berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau

badan usaha berbadan hukum termasuk koperasi.

Sedangkan, definisi usaha menengah dan usaha besar adalah kegiatan ekonomi yang mempunyai kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan lebih besar daripada kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan usaha kecil. Undang Undang Tentang Usaha Kecil tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai kriteria apa saja yang termasuk dalam usaha menengah dan usaha besar, hanya menyebutkan bahwa usaha menengah dan besar memiliki kekayaan dan hasil penjualan bersih lebih besar dari usaha kecil yang sudah ditentukan kriterianya.

Namun pada tanggal 4 Juli 2008 telah disahkan undang-undang baru yang mengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995, yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Adanya undang-undang baru ini karena adanya pertimbangan adanya pemberdayaan ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, peran, dan potensi strategis untuk mewujudkan struktur


(40)

perekonomian nasional. UndangUndang Tentang Usaha Mikro, Menengah, dan Besar telah membedakan besaran usaha menjadi, usaha mikro, kecil, dan menengah.

1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan

usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagai berikut:

a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh

juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau;

b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00

(tiga ratus juta rupiah).

2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang

dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagai berikut:

a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga

ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah)

3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang


(41)

perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagai berikut:

a. memiliki kekayaan bersih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta

rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua

miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

2.2.2 Dasar Hukum UMKM

1. Pengaturan UMKM sebelum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008

Istilah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pertama kali diperkenalkan pada tanggal 4 Juli 2008 pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Sebelum UU Tentang UMKM tersebut berlaku, Indonesia menggunakan istilah Usaha Kecil berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil.

Dalam Undang-Undang Tentang Usaha Kecil, Pemerintah diatur untuk menumbuhkan iklim usaha bagi usaha kecil melalui penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan meliputi aspek:


(42)

a. Pendanaan;

Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek pendanaan dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk:

a) memperluas sumber pendanaan;

b) meningkatkan akses terhadap sumber pendanaan;

c) memberikan kemudahan dalam pendanaan.

b. Persaingan;

Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek persaingan dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk:

a) meningkatkan kerja sama sesama usaha kecil dalam bentuk koperasi,

asosiasi, dan himpunan sekelompok usaha untuk memperkuat posisi tawar usaha kecil;

b) mencegah pembentukan struktur pasar yang dapat melahirkan persaingan

yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligopoli, dan monopsoni yang merugikan usaha kecil;

c) mencegah terjadinya pernguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh

orang-perseorangan atau kelompok tertentu yang merugikan usaha kecil.

c. Prasarana;

Pemerintah menumbuhkan iklan usaha dalam aspek prasarana dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk:

a) mengadakan prasarana umum yang mendapat dorongan dan


(43)

b) memberikan keringanan tarif prasarana tertentu bagi usaha kecil.

d. Informasi;

Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek informasi dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk:

a) membentuk dan memanfaatkan bank data dan jaringan informasi bisnis;

b) mengadakan dan menyebarkan informasi mengenai pasar, teknologi,

desain, dan mutu.

e. Kemitraan;

Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek kemitraan dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk:

a. mewujudkan kemitraan;

b. mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan usaha kecil dalam pelaksanaan transaksi usaha dengan usaha menengah dan usaha besar.

f. Perizinan usaha;

Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perizinan usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk: a) menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan dengan mengupayakan terwujudnya sistem pelayanaan satu atap;

b) pelaksanaan transaksi usaha dengan usaha menengah dan usaha besar.

g. Perlindungan.

Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk:


(44)

a) menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima, serta lokasi lainnya;

b) mencadangkan bidang dan jenis kegiaan usaha yang memiliki kekhususan

proses, bersifat padat karya, serta mempunyai nilai seni budaya yang bersifat khusus dan turun temurun;

c) mengutamakan penggunaan produk yang dihasilkan usaha kecil melalui

pengadaan secara langsung dari usaha kecil;

d) mengatur pengadaan barang atau jasa dan pemborongan kerja pemerintah;

e) memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.

2. Pengaturan Hukum Mengenai UMKM Setelah UU Nomor 20 Tahun 2008

UMKM telah membuktikan dirinya tangguh menghadapi krisis ekonomi periode 1997/1998 maupun krisis ekonomi periode 2008/2009. Hal itulah yang menjadi dasar pemikiran bahwa pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah merupakan salah satu upaya strategis dalam meningkatkan taraf hidup sebagian besar rakyat

Indonesia.14 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 disahkan dengan tujuan agar

setiap bentuk usaha mendapatkan keadilan usaha dengan adanya pengelompokan usaha menjadi: usaha mikro; usaha kecil; dan usaha menengah. Berbeda dengan

14Admin www.ekon.go.id, “Peran & Tantangan Mikrofinance Dalam Membangun

Bangsa Indonesia Melalui Kebangkitan UMKM.”

ttp://www.ekon.go.id/news/2011/01/31/peran-tantangan-microfinance-dalammembangun-bangsa-indonesia-melalui-kebangkitan-umkm, (Diakses pada tanggal 9 September 2011).


(45)

Undang Nomor 9 Tahun 1995 yang hanya fokus pada usaha kecil saja yang dinilai kurang memenuhi kebutuhan usaha-usaha yang memiliki berbagai skala yang berbeda-beda berdasarkan kekayaan bersih atau hasil penjualan setahun. Usaha mikro, kecil, dan menengah tidak jauh berbeda dengan bentuk usaha lainnya yang membutuhkan iklim usaha yang menunjang perkembangan usaha dari usaha kecil, kecil, dan menengah. Undang-Undang Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah mengatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menumbuhkan iklim usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek:

a. Pendanaan ;

Aspek pendanaan ditujukan untuk:

a) memperluas sumber pendanaan dan memfasilitasi usaha mikro, kecil, dan

menengah untuk dapat mengakses kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank;

b) memperbanyak lembaga pembiayaan dan memperluas jaringannya

sehingga dapat diakses oleh usaha mikro, kecil, dan menengah;

c) memberikan kemudahan dalam memperoleh pendanaan secara tepat, tepat,

murah, dan tidak diskriminatif dalam pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

d) membantu para pelaku usaha mikro dan kecil untuk mendapatkan

pembiayaan dan jasa/produk keuangan lainnya yang disediakan oleh perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, baik yang mengguakan


(46)

sistem konvensional maupun sistem syariah dengan jaminan yang disediakan oleh Pemerintah.

b. Sarana dan prasarana;

Aspek sarana dan prasarana ditujukan untuk:

a) mengadakan prasarana umum yang dapat mendorong dan mengembangkan

pertumbuhan usaha mikro dan kecil; dan

b) memberikan keringanan tarif prasarana tertentu bagi usaha mikro dan kecil.

c. Informasi Usaha

Aspek informasi usaha ditujukan untuk:

a) membentuk dan mempermudah pemanfaatan bank data dan jaringan

informasi bisnis;

b) mengadakan dan menyebarluaskan informasi mengenai pasar, sumber

pembiayaan, komoditas, penjaminan, desain dan teknologi, dan mutu; dan

c) memberikan jaminan transparansi dan akses yang sama bagi semua

pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atas segala informasi usaha.

d. Kemitraan

Aspek kemitraan ditujukan untuk:

a) mewujudkan kemitraan antar usaha mikro, kecil, dan menengah;

b) mewujudkan kemitraan antar usaha mikro, kecil, dan menengah, dan

usaha besar;

c) mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan dalam


(47)

d) mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan dalam pelaksanaan transaksi usaha antara usaha mikro, kecil, dan menengah dan usaha besar;

e) mengembangkan kerja sama untuk meningkatkan posisi tawar usaha

mikro, kecil, dan menengah;

e. Perizinan Usaha;

Aspek perizinan usaha ditujukan untuk:

a) menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan usaha dengan sistem

pelayanan terpadu pintu; dan

b) membebaskan biaya perizinan bagi usaha mikro dan memberikan

keringanan biaya perizinan bagi usaha kecil.

f. Kesempatan Berusaha;

Aspek kesempatan berusaha ditujukan untuk:

a) menentukan peruntukkan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi

di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, lokasi wajar bagi pedagang kaki lima, serta lokasi lainnya;

b) menetapkan alokasi waktu berusaha untuk usaha mikro dan kecil di

subsektor perdagangan retail; mencadangkan bidang dan jenis kegiatan usaha yang memiliki kekhususan proses, bersifat padat karya, serta mempunyai warisan budaya yang bersifat khusus dan turun-temurun;


(48)

c) menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus kerja sama dengan usaha mikro, kecil, dan menengah;

d) melindungi usaha tertentu yang strategis untuk usaha mikro, kecil, dan

menengah;

e) mengutamakan penggunaan produk yang dihasilkan oleh usaha mikro

dan kecil melalui pengadaan secara langsung;

f) memprioritaskan pengadaan barang dan jasa dan pemborongan kerja

pemerintah dan pemerintah daerah;

g) memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.

g. Promosi Dagang

Aspek promosi dagang ditujukan untuk:

a) meningkatkan promosi produk usaha mikro, kecil, dan menengah di

dalam dan di luar negeri;

b) memperluas sumber pendanaan untuk promosi produk usaha mikro,

kecil, dan menengah di dalam dan di luar negeri;

c) memberikan insentif dan tata cara pemberian insentif untuk usaha

mikro, kecil, dan menengah yang mampu menyediakan pendanaan secara mandiri dalam kegiatan promosi produk di dalam dan di luar negeri;


(49)

d) memfasilitasi pemilikan hak atas kekayaan intelektual atas produk dan desain usaha mikro, kecil, dan menengah dalam kegiatan usaha dalam negeri dan ekspor.

h. Dukungan Kelembagaan

Aspek dukungan kelembagaan ditujukan untuk mengembangkan dan meningkatkan fungsi inkubator, lembaga layanan pengembangan usaha, konsultan keuangan mitra bank, dan lembaga profesi sejenis lainnya sebagai lembaga pendukung pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah. 2.3Pengertian Tentang Monopoli

2.3.1 Pengertian Monopoli

Monopoli menurut bahasa sebagaimana terdapat dalam Ensiklopedi Indonesia,

bahwa kata monopoli berasal dari Bahasa Yunani, yaitu monopol ; dari akar kata

Pooleoo yang berarti menjual.15

Adapun pengertian monopoli secara terminologi (istilah ) ada beberapa pendapat yaitu:

1. Menurut DR. Yusuf Qardhawi, monopoli adalah: “Menahan barang

untuk tidak beredar di pasar supaya naik harganya.”16

2. Menurut Undang-undang RI No.5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, mengartikan

15 Hassan Sadily (ed), Ensiklopedi Indonesia, IctiarVan oeve, Jakarta, 1983, h. 2283.

16 Yusuf Qardawi, Darulqiyam wal Aklaq fil Iqtisodil Islami, Maktaba Waba, Kairo, 1995, h. 293, dikutip dari Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h.5.


(50)

bahwa monopoli adalah: “Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atas penggunaan jasa tertentu oleh satu kelompok pelaku

usaha.”

3. Menurut DR. Boediono dalam bukunya Ekonomi Mikro, monopoli

didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana di dalam pasar hanya ada

satu penjual sehingga tidak ada pihak lain yang menyainginya.17

4. Menurut T. Guritno, dalam Kamus Ekonomi Bisnis Perbankan,

monopoli adalah: “Penguasaan tunggal oleh satu-satunya atau beberapa pemasok (baik pembuat atau penjual) atas suatu wilayah pasar atau

industri tertentu.” Lebih lanjut menjelaskan bahwa dengan memegang

monopoli pemasok dapat mendiktekan harga dan syarat penjualan

kepada pembeli.18

5. Menurut Kamus Pendidikan Pengajaran dan Umum, monopoli adalah

“Seorang penjual atau suatu badan usaha yang menguasai pasar atau

perdagangan.”19

17 Boediono, 1998, Ekonomi Mikro, BPFE, Yogyakarta, 1998, h. 125.

18 T. Guritno, 1997, Kamus Ekonomi Bisnis Perbankan, Gadja Mada University Press, Yogyakarta, 1997, h, 272.

19 Saliman dan Sudarsono, Kamus Pendidikan Pengajaran dan Umum, Rineka Cipta, Jakarta,1997, h. 149.


(51)

Sebagai perbandingan dari pengertian berdasarkan beberapa pendapat sebelumnya, secara akademis pengertian monopoli berdasarkan Black Law

Dictionary:20

”Monopoly. A priviledge or peculiar advantage vested in one or more presons or companies, consisting in the exclusive rights (or power) to carry on a particular business or trade, manufacture a particular comodity. A form of market structure in which one or only a few firms dominate the total sales of a product or sevices.

Monopoly as prohibited by section 2 of Sherman Antitrust Act has two elements: possession of monopoly power in relevant market and willful acquisition or maintain power to exclude competitors from any part of trade or commerce, provided they also have such power that they are able, as group, to exclude actual or potential competition and provided that they have intent and purposes to exercrise that power.

Natural Monopoly; Natural Monopoly is one result where one firm of efficient size can produced all or more than market can take as remunerative pices.”

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa monopoli dapat terjadi bila hanya satu pelaku yang mempunyai kontrol terhadap pasokan barang atau jasa di suatu pasar, begitu pula terhadap penentuan harganya. Dengan tidak adanya


(52)

pesaing monopoli merupakan pemusatan kekuatan pasar di satu tangan, secara lebih longgar pengertian monopoli juga mencakup struktur pasar di mana terdapat beberapa pelaku, namun karena perananya yang begitu dominan maka dari segi praktis

pemusatan kekuatan pasar ada di satu pelaku saja.21

2.3.2 Hukum Anti Monopoli di Indonesia dan Asean 1. Hukum Anti Monopoli di Indonesia

a. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan GBHN

Dalam membahas sistem perekonomian secara normatif, kita selalu menunjuk Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang terdiri dari 3 ayat, dimana ayat (1) berbunyi

sebagai berikut : “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Dan dalam ayat (4) : “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga

keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Berdasarkan pasal tersebut terlihat jelas bahwa dalam Undang-Undang dasar 1945 unsur-unsur anti monopoli.

Didalam Garis-garis Besar Haluan Negara Repulik Indonesia yang disusun sejak tahun 1973 sampai dengan 1998 (jaman Orde Baru), sebenarnya telah terdapat benih-benih upaya pemerintah untuk memberikan rambu-rambu, yang merupakan upaya pencegahan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang

21 Suyud Margono, op.cit, h.5.


(53)

antara lain terdapat dalam Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, BAB III bagian B, Ketetapan MPR RI No.IV/MPR/1978 tentang GBHN, pada bidang pembangunan ekonomi, sub bidang usaha swasta dan usaha golongan ekonomi lemah, point a, Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1983 tentang GBHN pada BAB IV bidang Pembangunan Ekonomi, angka 9 Dunia Usaha Nasional dan Usaha Ekonomi Lemah point a dan b, Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1988 tentang GBHN pada bidang pembangunan ekonomi sub bidang dunia usaha nasional pada point a dan b, Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1993 tentang GBHN pada bidang pembangunan ekonomi, sub bidang perdagangan point a dan sub bidang usaha nasional point b, Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1998 tentang GBHN, pada Bab III bidang pengembangan ekonomi, sub bidang ke-16 usaha nasional.

b. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia

Selama ini banyak kalangan yang berpendapat bahwa di Indonesia tidak ada peraturan tentang praktek monopoli, sehingga terjadi kekosongan hukum khususnya dalam Hukum Persaingan, hal inilah yang dianggap sebagai penyebab praktek monopoli di Indonesia tumbuh subur. Anggapan tentang kekosongan hukum ini merupakan sesuatu kekeliruan, sebab secara sporadis terdapat beberapa perangkat hukum positif di dalam Hukum Perdata di Indonesia, yang menyinggung secara parsial tentang praktek usaha yang tidak sehat ini. Misalnya saja pada KUH Perdata pasal

1365. “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain


(54)

kerugian tersebut.”. Pasal ini memberi hak untuk menuntut ganti rugi kepada setiap orang yang menderita kerugian atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain, baik secara perdata maupun pidana.

c. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia :

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian

Pada prinsipnya Undang-Undang Perindustrian juga melarang industri yang mengakibatkan terjadinya monopoli dan persaingan curang. Hanya saja, makna dan konsep larangan dalam Undang-Undang tersebut sangat tidak terfokus dan terkesan tidak jelas, sehingga larangan tersebut sangat jarang dipraktekkan. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Perindustrian yang melarang monopoli atau persaingan curang terdapat pada pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 7 ayat (2) dan (3) :

Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan dan pengembangan terhadap industri, untuk :

... ... (2) mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur.

(3) mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.


(55)

Pasal 9 ayat (2) :

Pengaturan dan pembinaan bidang usaha industri dilakukan dengan memperhatikan :

...

(2) penciptaan iklim yang sehat bagi pertumbuhan industri dan pencegahan persaingan yang tidak jujur antara perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan industri, agar dapat dihindarkan pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.

2. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang ini juga mempermasalahkan tentang persaingan curang yang mungkin terjadi dalam keberadaan badan usaha, yaitu ketika mengatur mengenai perusahaan yang akan merger, akuisisi atau konsolidasi.

Pasal 126 ayat (1) huruf c Undang-Undang ini dengan tegas menyatakan

“Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan

wajib memperhatikan kepentigan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan

usaha”. Pernyataan ini kembali dipertegas dalam penjelasan Pasal 126 ayat (1) yaitu :


(56)

Pemisahan harus juga dicegah kemungkinan terjadinya monopoli atau monopsoni dalam berbagai bentuk yang merugikan masyarakat”.

3. Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat :

Sebagai langkah yang paling jelas dalam penataan persaingan usaha di Indonesia, agar tidak terjadi penguasaan Industri oleh kelompok pelaku bisnis tertentu, dan agar terjadi iklim yang kondusif dalam dunia usaha serta memberikan kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah dan kecil, agar terjadi efisiensi dalam perekonomian nasional maka diundangkan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang merata.

Ada beberapa ketentuan mengenai larangan terhadap beberapa hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut, ialah mengenai hal-hal

sebagai berikut:

a. Larangan melakukan perjanjian dengan pelaku usaha lain yang dapat

mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Larangan-larangan tersebut adalah :

Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan atau berakibat penguasaan produksi dan atau persamaan barang atau jasa (pasal 4 ayat 1).


(57)

 Membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen (pasal 5 ayat 1).

 Membuat perjanjian dengan pembeli yang mengakibatkan terjadinya

perbedaan (diskriminasi) harga barang atau jasa yang harus dibeli oleh pembeli yang satu dengan pembeli yang lain (pasal 6).

 Membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan

harga dibawah harga pasar (pasal 7).

 Membuat perjanjian yang melarang pembeli barang atau jasa untuk menjual

atau memasok kembali barang atau jasa yang dibelinya itu dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang ditetapkan dalam perjanjian (pasal 8).

 Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk membagi

wilayah pemasaran diantara mereka, dimana pelaku usaha yang satu hanya akan melakukan pemasaran diwilayah pemasarannya sendiri sebagaimana yang telah disepakati dan tidak melakukan pemasaran di wilayah pemasaran mitra janjinya (pasal 9)

 Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan melakukan

pemboikotan terhadap para pelaku usaha pesaing mereka yang bertujuan :

- Menghalangi pelaku usaha lain untuk dapat melakukan usaha yang sama

(pasal 10 ayat 1).

- Menolak menjual setiap barang atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga


(58)

merugikan pelaku usaha lain (pasal 10 ayat 2 huruf a), dan membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan (pasal 10 ayat 2 huruf b).

 Membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan

terbentuknya suatu kartel diantara mereka (pasal 11).

 Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama

dengan membentuk suatu trust diantara mereka (pasal 12)

 Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk

terciptanya oligopsoni (pasal 13)

 Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk terjadinya

integrasi vertikal diantara mereka (pasal 14)

 Membuat perjanjian yang mempersyaratkan agar pelaku usaha yang lain

hanya memasok atau tidak memasok kembali barang atau jasa yang telah dibelinya kepada pihak tertentu atau ditempat tertentu (pasal 15 ayat 1)

b. Larangan melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Kegiatan-kegiatan yang dilarang itu adalah sebagai berikut :

 Melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang atau jasa

(pasal 17 ayat 1)

 Menjadi pembeli tunggal atas barang atau jasa dalam pasar yang bersangkutan


(59)

 Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha yang lain untuk melakukan kegiatan usaha yang sama dalam pasar yang bersangkutan (pasal 19 huruf a).

 Menghalangi konsumen atau pelanggan dari pelaku usaha pesaingnya untuk

dapat melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya (pasal 19 huruf c).

 Membatasi peredaran dan atau penjualan barang atau jasa pelaku usaha

pesaingnya dalam pasar yang bersangkutan (pasal 19 huruf c)

 Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu (pasal 19

huruf d)

 Melakukan penjualan secara rugi atau dengan harga yang sangat rendah yang

bertujuan untuk mematikan usaha pesaingnya dipasar yang bersangkutan (pasal 20)

 Melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya

yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan jasa (pasal 21).

 Melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan atau

menentukan pemenang tender (pasal 22)

 Melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi

kegiatan usaha yang merupakan rahasia perusahaan pesaingnya (pasal 23), dan untuk menghambat produksi atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya (pasal 24).


(60)

 Menyalahgunakan posisi dominan untuk menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen dalam memperoleh barang atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas (pasal 25 ayat 1 huruf a)

 Menyalahgunakan posisi dominan untuk membantu pasar dan pengembangan

teknologi serta menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang bersangkutan.

 Memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan

kegiatan usaha pada bidang dan pasar yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan, bila kepemilikan tersebut mengakibatkan :

- Satu pelaku usaha atau satu kelompok satu usaha menguasai lebih dari

50% pangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu (pasal 27 huruf a).

- Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih

dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu (pasal 27 huruf b).

 Melakukan pengabungan dan atau peleburan badan usaha yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 28 ayat 1)


(1)

 Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir pelaksanaan pembangunan nasional, perhatian pada institusi pasar kurang memadai yang mengakibatkan pasar tidak berjalan dengan sempurna. Ketidaksempurnaan pasar secara umum ditandai oleh kesenjangan kemampuan dan kesempatan diantara para pelaku pasar dan pemusatan kekuatan ekonomi pada sekelompok pihak dan dalam penguasaan faktor produksi dan mata rantai usaha

2. Hukum Anti Monopoli di ASEAN

Persaingan jelas merupakan salah satu aspek penting dalam integrasi ekonomi ASEAN. Dalam cetak biru MEA kebijakan mengenai persaingan merupakan salah satu kunci yang harus di tekankan untuk mencapai “a highly competitive economic

region”.22 Kompetisi yang terjadi seahrusnya mampu memberi dampak yang merata dan seimbang baik antara konsumen maupun produsen di kawasan tersebut serta antara negara-negara anggota ASEAN,

Walaupun kebijakan persaingan merupakan salah satu prioritas dalam tujuan untuk mencapai kawasan ekonomi yang kompetitif, kebijakan persaingan sebenarnya memiliki peranan yang jauh lebih besar, seperti apa yang dijelaskan dalam definis kebijakan persaingan berdasarkan ASEAN Regional Guidelines on Competition Policy:23 : “Competition policy can be broadly defined as a governmental policy that

22 ASEAN, ASEAN Regional Guidelines on Competition Policy. Jakarta: ASEAN Secretariat, h.1.


(2)

promotes or maintains the level of competition in markets, and includes governmental measures that directly affect the behaviour of enterprises and the structure of industry and markets.” Pengertian tersebut mendefinisikan bahwa setiap kebijakan yang mengarah pada pasar bebas dan dapat dikategorikan sebagai kebijakan persaingan sepanjang dianggap mampu meningkatkan laju persaingan di pasar.

Kebijakan persaingan berbeda dengan hukum persaingan namun hukum persaingan merupakan salah satu bagian penting dari kebijakan persaingan. Hukum persaingan merupakan peraturan yang bertujuan untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat, melarang penyalahgunaan posisi dominan, anti kompetitif merger dan peraktik perdagangan lain yang membatasi persaingan.24 Keberhasilan suatu hukum persaingan juga bergantung pada peraturan pendukung yang mengatur tentang lembaga pengawas persaingan itu sendiri.

Persaingan usaha memegang peranan penting dalam realisasi MEA, sehingga diperlukan penggabungan kebijakan persaingan usaha antara negara anggota ASEAN sebagai salah satu elemen kunci dalam cetak biru MEA. Target dan ukuran tetrtentu mengenai hukum persaingan sudah tercantum dalam cetak biru MEA dan merupakan satu dari enam poin yang merupakan tujuan dari “competitive ecomic region” dalam cetak biru MEA, sedangan lima poin lainya adalah perlindungan konsumen, hak kekayaan intelektual, pembangunan infrastruktur, perpajakan dan e-comerce.25

24 Ibid, h.6.

25 Cassey LEE Yosifumi fukunaga, ASEAN Regional Cooperation on Competition Policy, ERIA Discussion Paper Series, 2013, h. 25.


(3)

Hukum persaingan usaha nasional telah menajadi fenomena baru di ASEAN, yang pada awalnya terjadi pada sekitaran 19997/1998 saat sebagian besar wilayah Asia mengalami krisis finansial26 . dua negara ASEAN yang mengalami dampak besar dari krisis tersebut Indonesia dan Thailand memberlakukan undang undang persaingan mereka pada tahun 1999, yang setelahnya di ikuti oleh tiga negara lain dan pada akhirnya MEA pun memberi dorongan lebih lanjut untuk memberlakukan hukum persaingan di wilayah ASEAN. Dalam Cetak Biru MEA ada 5 langkah dalam mencapai tujuan MEA dalam hal menciptakan hukum persaingan :

a. Implementasi Hukum Persaingan

Langkah pertama dalam pengimplementasian kebijakan persaingan di negara negara ASEAN tertuang dalam Cetak biru MEA yaitu “Endeavour to Introduce

Competition Policy in all ASEAN Member Countries by 2015.” Dalam hal pemberlakuan hukum persaingan, lima dari sepuluh negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapore,Thailand and Vietnam) sudah memberlakukan hukum persaingan secara komperhensiv, tiga negara lainya sedang dalam proses drafting (kamboja, Laos dan Filipina), Brunei dan Myanmar sedang dalam persiapan untuk memulai pembentukan hukum persaingan, dan walaupun belum secara resmi memiliki hukum persaingan, beberapa dari negara-negara tersebut sedah memiliki beberapa peraturan yang secara tidak langsung mengatur tentang persaingan.

b. Pembentukan jaringan kebijakan persaingan

26Ibid, h.7.


(4)

Langkah selanjutnya dalam membangun jaringan kebijakan persaingan berdasarkan Cetak Biru MEA adalah “Establish a network of authorities or agencies

responsible for competition policy to serve as a forum for discussing and coordinating competition policies.” , oleh karena itu maka dibentuklah ASEAN Experts Group on Competition (AEGC) pada tahun 2007 yaitu sebuah badan formal yang terdiri dari perwakilan dari masing-masing negara dengan tujuan untuk mengawasi mengawasi persaingan yang berhubungan dengan ASEAN dan pencapaian dalam hal persaingan sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam Cetak Biru ASEAN. Semenjak didirikan pada Juni 2012 AEGC telah melakukan sembilan pertemuan dan berkontribusi besar yang dapat dilihat dari lima kelompok kerjanya yaitu27 :

a) regional guidelines on competition policy

b) handbook on competition policy and law in ASEAN for business c) capacity building

d) regional core-competencies in competition policy and law, and e) strategy and tools for regional competition advocacy.

c. Peningkatan kapasitas, program dan aktifitas

Langkah selanjutnya yang tertuang dalam Cetak Biru MEA adalah fokus pada peningkatan kapasitas dan aktivitas dalam mengembangngkan hukum persaingan nasional di negara-negara ASEAN, yang tetrtuang secara formal dalam Cetak Biru ASEAN “Encourage capacity building programmes/activities for ASEAN Member


(5)

Countries in developing national competition policy”. AEGC memegang pernan penting dalam peningkatan kapasitas hukum persaingan di tiap negara dengan menyelenggarakan 19 workshop dari tahun 2008 sampai 2012.

d. Regional Guideline on Competition Policy

Langkah ke-4 yang tertuang dalam Cetak Biru MEA adalah pembentukan pedoman regional mengenai kebijakan persaingan yang secara formal ditulis “Develop

a regional guideline on competition policy by 2010, based on country experiences and international best practices with the view to creating a fair competition environment.”.

Pedoman tersebut pada akhirnya mampu diselesaikan oleh AEGC dan kemudian di sahkan oleh Sekretariat ASEAN pada tahun 201028. Tujuan utama dari pedoman ini adalah untuk memberikan panduan umum bagi negara-negara ASEAN untuk memperkenalkan, menerapkan dan mengembangkan kebijakan persaingan sesuai dengan hukum dan konteks ekonomi masing-masing negara.29

Hal penting lain yang secara tidak diangakat oleh pedoman tersebut adalah kehati-hatian dalam mepertimbangkan isu-isu yang berkaitan dengan masyarakat yang dalam hal ini ruang lingkupnya adalah ASEAN, ini sangatlah sebagaimana tercantum dalam pedoman30 :“The Regional Guidelines endeavour to help in the process of

building strongereconomic integration in the region, by acting as a common reference guide forfuture cooperation to enhance the competitive process in the AMSs.”

28Ibid, h.30.

29 ASEAN, loc.cit, h.1. 30Ibid.


(6)

Perbedaan hukum persaingan antara negara-negara ASEAN membuat adanya kemungkinan harmonisasi hukum persaingan yang akan dibahas di masa mendatang, melihat permasalahan perbedaan jurisdiksi yang nantinya dapat menjadi masalah yang cukup kompleks.

Ukuran sejauh mana implementasi negara anggota asean terhadap ASEAN Regional Guidelines on Competition Policy, dibagi menajadi tiga ukuran yaitu “high

(untuk negara yang sudah sebagian besar mengimplementasikan ASEAN Regional Guidelines on Competition Policy), “moderate” (untuk negara yang sudah mengimplementasikan setengah lebih ASEAN Regional Guidelines on Competition Policy) dan “low” (untuk negara yang baru mengimplementasikan kurang dari setengah ASEAN Regional Guidelines on Competition Policy), yang semua diukur berdasarkan

ASEAN Regional Guidelines on Competition Policy yang dekuarkan Skeretarian ASEAN pada tahun 2010.


Dokumen yang terkait

Implementasi Kredit Usaha Rakyat dalam Mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Stabat

9 138 130

Kajian Hukum Terhadap Pemberdayaan Kredit Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah Menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2008

0 51 108

Pengaruh Pengalokasian Kredit Terhadap Peningkatan Pendapatan Usaha Kecil Pada Program Kemitraan Dan Bina Lingkungan (PKBL) Bank X Sentra Kredit Kecil Polonia Medan

2 40 87

Analisis Implementasi Prosedur Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada Bank Syariah (Studi Kasus Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah pada Bank Muamalat Indonesia Cabang Tanjung Balai)

3 52 95

Pembangunan Kapasitas (Capacity Building) Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Umkm) di Kota Bandar Lampung dalam Rangka Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015

4 44 141

Kajian Terhadap Praktik Penjaminan Kredit Perbankan Kepada Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (UMKM).

0 1 7

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DI BIDANG PENANAMAN MODAL DALAM KERANGKA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015.

0 0 2

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN.

0 0 17

KELEMBAGAAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH DAN PEMBANGUNAN EKONOMI MASYARAKAT

0 0 7

Strategi Usaha Mikro dan Kecil Menghadapi Peluang dan Ancaman Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (Studi Kasus Usaha Mikro dan Kecil Kota Depok)

0 0 14