Pencegahan Tindak Pidana Penipuan Transaksi Jual Beli Online di Polresta Denpasar.

(1)

i

TRANSAKSI JUAL BELI

ONLINE

DI POLRESTA

DENPASAR

AGUS JERRY SUARJANA PUTRA NIM. 1203005225

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

TRANSAKSI JUAL BELI

DI POLRESTA

DENPASAR

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

AGUS JERRY SUARJANA PUTRA NIM. 1203005225

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

iii

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor : 1633/UN14.1.11.1/PP.05.02/2016

Ketua : Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH.,MH ( )

Sekretaris : I Made Tjatrayasa, SH., MH ( )

Anggota : Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, SH.,MH ( )

I Made Walesa Putra, SH.,MH ( )


(4)

(5)

v

“PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PENIPUAN TRANSAKSI JUAL BELI

ONLINE DI POLRESTA DENPASAR” ini, dapat terselesaikan. Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna akibat dari keterbatasan kemampuan penulis. Penulis berharap semoga skripsi ini memenuhi kriteria salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Penulisan skripsi ini terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, melalui kesempatan yang baik ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana;

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana;

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana;

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana;


(6)

vi

sabar memberikan bimbingan, petunjuk, saran dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini;

6. Bapak I Made Tjatrayasa, SH.,MH., Dosen Pembimbing II yang telah sabar dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini;

7. Ibu A.A. Istri Ari Atu Dewi, SH.,MH., Pembimbing Akademik yang telah menuntun dan membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana;

8. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH., Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana;

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama kuliah kepada penulis;

10. Bapak dan Ibu Staf Laboratorium Hukum, Perpustakaan, dan Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana;

11. Kepada kedua orang tua saya, I Ketut Subrata dan Gusti Ayu Setiawati, yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

12. Kepada saudara saya, I Putu Suartana Putra, Ni Putu Ayu Panca Kristina Dewi dan Ni Ketut Ayu Murni Pradewi yang selalu memberikan dukungan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

13. Kepada sahabat-sahabat penulis Yuda, Cintya Permana, Dewi Putra, Emilia, Eka Arini yang selalu sabar menemani serta memberikan semangat dan selalu


(7)

vii

14. Kepada sahabat-sahabat penulis lainnya seperti Adel, Aik, Cida, Ciras, Diska, Esbe, Idon, Merry, Noving, Rahde, Rangga, Genta, Renatha, Bima, GungWe, Edes, Audi, Mia, Vira, Antika, Dwita, Cipar, Sabo, Moje, Tebo, Gek Linda, Srigati, Mitha Rosa, Hendra, Liya, Rhee, Nanda, serta teman-teman SCIL, KKN Batu Nunggul, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana;

15. Kasubnid I Unit IV Reskrim Polresta Denpasar Bali Bapak I Wayan Kaler SH.,MH. yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancarai sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Semoga segala bantuan, budi baik dan petunjuk yang telah diberikan kepada penulis mendapat pahala dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan hasil penelitian ini. Dengan kerendahan hati, penulis menghargai dan menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, baik sebagai bahan bacaan maupun untuk pengetahuan bagi yang memerlukan.

Denpasar, 21 April 2016


(8)

viii

Isi Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... xi

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT……… xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 8

1.3Ruang Lingkup Masalah ... 9

1.4Orisinalitas Penelitian ... 9

1.5Tujuan Penelitian ... 13

1.5.1 Tujuan Umum ... 13

1.5.2 Tujuan Khusus ... 14

1.6Manfaat Hasil Penelitian... 14

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 14


(9)

ix

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 22

1.8.3 Lokasi Penelitian ... 23

1.8.4 Teknik Penentuan Sampel Penelitian ... 23

1.8.5 Sifat Penelitian ... 23

1.8.6 Sumber Data ... 24

1.8.7 Teknik Pengumpulan Data ... 25

1.8.8 Pengolahan dan Analisis Data... 26

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCEGAHAN, TINDAK PIDANA DAN PENIPUAN JUAL BELI ONLINE 2.1Pencegahan a. Pengertian Pencegahan ... 27

b. Upaya Pencegahan Tindak Pidana ... 29

2.2Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana ... 32

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 34

2.3Tindak Pidana Penipuan a. Pengertian Tindak Pidana Penipuan ... 38

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penipuan ... 40

2.4Transaksi Jual Beli Online a. Pengertian Transaksi Jual Beli Online ... 43


(10)

x

BAB III TINDAK PIDANA PENIPUAN TRANSAKSI JUAL BELI

ONLINE

3.1Data Tindak Pidana Penipuan Transaksi Jual Beli Online ... 42 3.2Penerapan Pencegahan Tindak Pidana Penipuan Transaksi

Jual Beli Online... 45 3.3Hambatan-Hambatan dalam Penerapan Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 dalam Pencegahan Tindak Pidana

Penipuan Transaksi Jual Beli Online ... 46

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN ADANYA

TINDAK PIDANA PENIPUAN TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE

4.1 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan adanya Tindak Pidana

Penipuan Jual Beli Online ... 48 4.2 Upaya Untuk Mencegah Terjadinya Tindak Pidana

Penipuan Transaksi Jual Beli Online ... 50

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 52 5.2 Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN


(11)

(12)

xii

Perkembangan teknologi memiliki banyak keuntungan atau kemudahan pada saat ini, salah satunya kemudahan dalam menjual atau membeli barang secara online. Dengan munculnya kejahatan penipuan dalam transaksi jual beli

online, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang secara khusus pada Pasal 28 ayat (1) yang mengatur pelarangan penipuan menggunakan barang elektronik. Mengingat kejahatan dalam transaksi jual beli online secara khusus diatur pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sehingga terdapat permasalahan bagaimana pencegahan tindak pidana penipuan dalam transaksi jual beli online dan apa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penipuan dalam transaksi jual beli online.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum empiris. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fakta dan pendekatan perundang-undangan. Sumber data dalam penelitian ini adalah berdasarkan wawancara di lapangan dan berdasarkan penelitian kepustakaan,

Pelaksanaan penerapan pencegahan tindak pidana penipuan jual beli

online belum efektif. Dalam pelaksanaannya terdapat hambatan yang mempengaruhi yaitu faktor sarana dan fasilitas hukum yang belum memadai. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya tindak pidana penipuan jual beli online

adalah faktor ekonomi, sosial dan budaya. Faktor tersebut terjadi dikarenakan pengaruh dari pemikiran pribadi dari masing-masing pelaku dan korban. Dalam proses penegakan hukum digunakan perlu digunakan kombinasi antara upaya pre-emtif, preventif, dan represif dengan menerapkan prinsip ultimum remedium.

Kata Kunci : Pencegahan, Tindak Pidana Penipuan, Jual Beli Online, Upaya Penegak Hukum


(13)

xiii

issued Law No. 11 of 2008 on Information and Electronic Transactions, specifically in Article 28 paragraph (1), which regulates the prohibition of fraudulent use of electronic goods. Given that crime in buying and selling online is specifically regulated in Law No. 11 of 2008 on Information and Electronic Transaction, there are problems about preventing criminal fraud in the online sale and purchase transactions and what are the factors that lead to criminal fraud in buying and selling online.

The method used in this paper is empirical legal research methods. The approach used in this study is the approach of the facts and law approach. Sources of data in this study is based on interviews in the field and based on the research literature,

Prevention of criminal fraud and selling online is not effective, because in practice, there are barriers that affect the application of prevention, there is medium factor and inadequate law. The factors that led to criminal fraud and selling online are economic, social and cultural factors. These factors occur due to the influence of private thoughts of each offender and victims. In the law enforcement process, it is necessary to use a combination of pre-emptive, preventive and repressive efforts by applying the principle of Ultimum Remedium.

Keywords : Effectiveness, Criminal Fraud, Buying and Selling Online, law Enforcement Efforts


(14)

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Era globalisasi identik dengan kemajuan teknologi dan informasi yang berkembang sangat pesat dan cepat. Fenomena ini terjadi di seluruh belahan dunia tanpa memandang negara maju dan negara berkembang. Masyarakat dunia suatu negara dituntut untuk mengikuti perkembangan teknologi dan informasi ini agar dapat bersaing dengan dunia global yang semakin modern, praktis dan efisien. Hal inilah yang dikenal dengan istilah hubungan global. Indonesia yang termasuk dalam tata pergaulan hubungan global ini, mau tidak mau harus mengikuti tantangan untuk melaksanakan pemahaman dalam tatanan baru itu.1

Kemajuan teknologi baik dari informasi dan komunikasi semakin hari semakin berkembang dengan pesat yang memberikan banyak kemudahan bagi umat manusia. Internet adalah salah satu produk dari kemajuan teknologi dari informasi dan komunikasi. Banyak hal dapat dilakukan melalui internet mulai dari berhubungan sosial, bekerja, hingga melakukan bisnis jual beli secara online.

Semua hal tersebut dapat dilakukan tanpa melakukan kontak langsung dengan

1

H. Sutarman, 2007, Cyber Crime – Modus Operandi dan Penanggulangannya,


(15)

orang lain. Bisnis secara online dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa fasilitas seperti situs internet, jejaring sosial, maupun layanan e-banking.

Teknologi informasi dan komunikasi saat ini sedang mengarah kepada

konvergensi yang memudahkan kegiatan manusia sebagai pencipta, pengembang dan pengguna teknologi itu sendiri. Internet sebagai suatu media dan komunikasi elektronik telah banyak di manfaatkan untuk berbagai kegiatan salah satunya adalah melakukan perdagangan. Kegiatan perdagangan dengan memanfaatakan media internet ini dikenal dengan istilah electronic commerce, atau disingkat

ecommerce.2

Kemajuan teknologi yang merupakan hasil budaya manusia di samping membawa dampak positif, ternyata dalam perkembangannya juga dapat membawa dampak negatif bagi manusia dan lingkungannya, yaitu seperti ditandai dengan adanya kejahatan. Jenis kejahatan yang ditimbulkan oleh perkembangan dan kemajuan teknologi informasi adalah kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan aplikasi dari internet. Penyalahgunaan internet merupakan salah satu sarana untuk melakukan kejahatan atau tindak pidana.

Jenis kejahatan yang semula dapat dikatakan sebagai kejahatan konvensional, seperti halnya pencurian, pengancaman, pencemaran nama baik bahkan penipuan kini modus operandinya dapat beralih dengan menggunakan internet sebagai sarana melakukan kejahatan dengan resiko minim untuk

2

Ahmad M. Ramli, 2004, Cyber Law Dan Haki Dalam Sistem Hukum Indonesia,


(16)

tertangkap oleh pihak yang berwajib, dan situs di internet (website) dapat digunakan sebagai media perantara untuk melakukan transaksi melalui internet, dimana isi dari situs tersebut seolah-olah terdapat kegiatan penjualan barang.

Bisnis online adalah bisnis yang dilakukan dengan internet sebagai media pemasaran dengan menggunakan website sebagai katalog.3 Saat ini bisnis online

sedang menjamur di Indonesia baik untuk barang-barang tertentu seperti tas, sepeda, sepatu, hingga jasa seperti ojek. Bisnis ini dianggap sangat potensial karena kemudahan dalam pemesanan dan harga yang cukup bersaing dengan bisnis biasa. Bisnis ini tidak memerlukan toko melainkan dengan media jejaring sosial Instagram, Blog, Facebook maupun jejaring sosial lainnya yang dihubungkan dengan internet.

Kegiatan perdagangan menggunakan internet tersebut membuat negara seolah-olah tanpa batas teritorial (borderless) menimbulkan keuntungan dan kemudahan bagi suatu bangsa yang dapat dilihat dalam berbagai bentuk kerjasama antar negara dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Mekanisme transaksi dan perjanjian dengan dunia luar cukup dikendalikan melalui ruang kecil dengan teknologi berbasis protocol internet yang menawarkan fasilitas yang efektif, efisien dan modern.

Cyber Crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok dengan menggunakan sarana komputer dan alat telekomunikasi lainnya. Seseorang yang menguasai dan mampu mengoperasikan komputer seperti

3


(17)

operator, programmer, analis, consumer, manager dan kasir dapat melakukan

cyber crime. Cara yang biasa digunakan adalah dengan merusak data, mencuri data dan menggunakannya secara ilegal. Faktor dominan terjadinya cyber crime

adalah pesatnya perkembangan teknologi komunikasi seperti telepon, hand phone

dan alat telekomunikasi lain yang dipadukan dengan perkembangan teknologi komputer.

Cyber Crime dapat ditemui salah satunya pada kasus penipuan saat berbelanja di toko online (online shop). Dalam rangka mengikuti gaya hidup masa kini, banyak masyarakat yang memilih berbelanja secara online. Berbelanja secara

online adalah kemudahan yang ditawarkan dalam kecanggihan internet masa kini melalui website ataupun media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, BBM

dan media sosial lainnya. Kecepatan waktu dan penawaran adalah keunggulan bagi jejaring sosial ini. Online shop yang menawarkan berbagai macam kebutuhan hidup memungkinkan terjadinya transaksi jual beli yang sederhana dan mudah dilakukan. Cukup dengan memilih kebutuhan yang diinginkan di katalog yang disediakan oleh pelaku usaha, konsumen dapat memiliki barang tersebut cukup dengan melakukan pembayaran via transfer ataupun dengan cara lainnya. Segala kemudahan yang ditawarkan online shop dan keterbatasan waktu masyarakat saat ini mendorong besarnya aktifitas belanja secara online.

Kasus-kasus yang muncul di permukaan dan diketahui oleh publik umumnya berdasarkan adanya laporan dari korban cyber crime akan kerugian


(18)

yang dialaminya.4 Pada kasus korban penipuan dalam transaksi jual beli di online shop, yang salah satunya dimana seorang pembeli saat membeli barang sesuai keinginanya di online shop, dan si penjual mewajibkan si pembeli tersebut untuk mengirim sejumlah uang terlebih dahulu sesuai kesepakatan, setelah itu si penjual baru akan mengirim barang yang diinginkan oleh si pembeli tersebut. Banyak kasus dimana saat uang sudah dikirim oleh si pembeli, barang yang seharusnya dikirim oleh si penjual tidak dikirim atau barang yang dikirim berbeda tidak sesuai seperti informasi yang diberikan oleh si penjual. Sebaliknya kasus dimana seorang penjual di online shop juga riskan sebagai korban tindak pidana penipuan, dimana salah satu kasus seorang pembeli mengirimkan bukti palsu transfer sejumlah uang yang di dalamnya si pembeli sudah mengirimkan sejumlah uang ke rekening si penjual dengan bermaksud untuk menggerakkan si penjual untuk memberikan barang yang diinginkan oleh si pembeli tersebut.

Dilihat dari tataran norma, kejahatan penipuan dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selanjutnya disebut KUHP, pada BAB XXV tentang perbuatan curang yang dimana pada Pasal 378 menyebutkan “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat

tahun.”

4


(19)

Peraturan mengenai penipuan menggunakan barang elektronik juga dilarang pada Pasal 28 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843, selanjutnya disebut UU ITE). Perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) adalah “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”.

Uraian pada Pasal 378 KUHP sudah jelas menyatakan dimana tindakan penipuan itu dilarang. Pasal 28 UU ITE lebih khusus menjelaskan bahwa tindakan penipuan yang dilakukan dengan sarana elektronik tersebut dilarang. Dapat dilihat pada bunyi pasal tersebut yang menyatakan penipuan menggunakan sarana

elektronik adalah “tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik serta menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya”.

Dilihat dari tataran norma dapat kita lihat bahwa pengaturan pengaturan dalam norma tersebut sudah jelas, tetapi pelaksanaan dari norma norma tersebut kurang efektif, hal tersebut dilihat dari penegakan hukum terhadap delik penipuan, di Indonesia terkesan kurang mendapatkan prioritas apabila dibandingkan dengan upaya pemberantasan tindak pidana lainnya, seperti narkotika, terorisme, maupun korupsi. Kondisi seperti ini patutnya dievaluasi kembali karena akan semakin meningkat, terlebih dengan semakin meningktanya modus- modus di dunia maya.


(20)

Semua orang rentan menjadi korban dari kejahatan cyber. Semua orang rentan menjadi korban cyber karena sudah terpengaruh oleh pesatnya kemajuan teknologi. Tingginya pengaruh-pengaruh negatif dari teknologi khususnya internet akan memperbesar timbulnya suatu kejahatan cyber.

Peranan korban dalam terjadinya kejahatan Cyber pada kasus penipuan dalam transaksi jual beli online tidak dapat diabaikan. Peran yang dimaksud adalah sebagai sikap dan keadaan diri seseorang yang menjadi calon korban ataupun sikap atau keadaan seseorang yang memicu seseorang berbuat kejahatan. Kenyataannya tidak mungkin timbul tindak kejahatan apabila tidak ada korban. Korban kejahatan bukan hanya orang perseorangan namun dapat pula korporasi, institusi, pemerintah, bangsa dan negara.5 Pihak korban sebagai partisipan utama dalam memainkan peran penting. Pihak korban dapat berperan secara sadar ataupun tidak sadar, secara langsung dan tidak langsung, sendiri atau bersama-sama, bertanggung jawab atau tidak, secara aktif atau pasif.6 Contoh peran korban dalam tindak pidana penipuan pada transaksi jual beli online , dimana salah satu kasus yang terjadi di Bali yang di peroleh dari situs internet (antarabali.com) yang berisi berita bahwa terjadinya kasus penipuan sebuah iklan rumah kontrakan yang di pasang pada situs jual beli online yang sudah dilaporkan ke Polresta Denpasar. Seorang korban yang bernama Lin Jayati (36) yang berasal dari Surabaya telah mentransfer uang muka senilai Rp. 1,5 juta dari total harga kontrakan sebesar Rp.

5

Bambang Waluyo, 2011, Victimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 11.

6

Retna Yulia, 2010, Victimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,


(21)

14,5 juta di daerah Pemogan, Denpasar Selatan. Namun rumah yang dituju korban tidak sesuai dengan yang di iklan situs jual beli online OLX.7

Mencegah dan menanggulangi permasalahan tindak pidana penipuan dalam transaksi jual beli online tidak cukup dengan proses kriminalisasi yang dirumuskan dalam bunyi pasal, tetapi juga diperlukan upaya lain. Upaya tersebut berupa tindakan pemerintah untuk menangani kasus penipuan di dunia maya ini, sehingga peraturan-peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana penipuan yang terjadi di dunia maya dapat dijalankan dengan efektif apabila telah terjadi kerjasama antar para pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan cyber.

Berdasarkan pada latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengangkat dan melakukan penelitian dalam penulisan skripsi yang berjudul “PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PENIPUAN TRANSAKSI JUAL BELI

ONLINE DI POLRESTA DENPASAR”. 1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pencegahan tindak pidana penipuan pada transaksi jual beli online di Polresta Denpasar ?

7Dewa Wiguna, 2016, “

Polresta Denpasar Tangani Penipuan Iklan Daring”, Antara

Bali, URL : http://www.antarabali.com/berita/86015/polresta-denpasar-tangani-penipuan-iklan-daring, diakses tanggal 23 Februari 2016


(22)

2. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penipuan pada transaksi jual beli online?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan karya ilmiah menentukan ruang lingkup masalah merupakan suatu hal yang sangat penting guna menjamin adanya keutuhan dan ketegasan serta untuk mencegah kekaburan permasalahan karena terlalu luas dan terlalu sempit.8 Agar tidak menyimpang terlalu jauh dari pokok permasalahannya, maka dalam penulisan skripsi ini diberikan suatu pembatasan dalam pembahasan dalam yaitu:

1. Permasalahan pertama, ruang lingkup pembahasannya mengenai bagaimana pencegahan tindak pidana penipuan pada transaksi jual beli online di Polresta Denpasar.

2. Permasalahan kedua, ruang lingkup pembahasannya yaitu akan dibahas faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penipuan pada transaksi jual beli online.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran pada kepustakawan, khususnya di lingkungan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali sepanjang yang diketahui dari hasil-hasil penelitian yang sudah ada maka belum ada

penelitian yang menyangkut masalah “Efektifitas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Terhadap Korban

8

Soerjono Soekanto, 1983, Tata Cara Penyusunan Karya Ilmiah Bidang Hukum, Ghalian


(23)

Tindak Pidana Penipuan Pada Transaksi Jual Beli Online”. Adapun penulisan penelitian yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini melalui internet antara lain:

1. Nama : Abdul Kadir Pobela

Tempat : Universitas Hasanuddin Makasar

Nim : B 111 09 459

Judul Skripsi : Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penipuan Yang Dilakukan Melalui Media Elektronik (Studi Kasus Putusan No. 1193/PID.B/2012/PN.Mks)

Permasalahan:

1) Bagaimanakah penerapan hukum pidana materiil pada perkara tindak pidana penipuan yang dilakukan melalui media elektronik dalam studi kasus Putusan Nomor 1193/Pid.b/2012/PN.mks?

2) Bagaimanakah pertimbangan hukum dari hakim dalam Putusan Nomor 1193/Pid.b/2012/PN.mks?

Hasil:

1) Jaksa penuntut umum disini mendakwakan pasal45 ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP, dimana telah terpenuhi semua unsur-unsurnya didasarkan pada fakta-fakta hukum baik melalui keterangan-keterangan maupun alat-alat bukti.

2) Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku dalam perkara putusan nomor 1193/Pid.B/2012/PN.Makasar telah sesuai karena berdasarkan penjabaran keterangan saksi-saksi, keterangan


(24)

terdakwa, alat bukti serta terdapatnya pertimbangan-pertimbangan yuridis menurut KUHP. Hal-hal yang meringankan dan memberatkan serta yang diperkuat dengan adanya keyakinan hakim. Namun menurut penulis, sanksi pidana yang dijatuhkan kepada para terdakwa kurang memberikan efek jera karena kejahatan melalui elektronik mudah dilakukan dan sangat cepat berkembang.

2. Nama : Rizki Dwi Prasetyo

Tempat : Universitas Brawijaya Malang

Nim : 105010100111042

Judul Skripsi : Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Penipuan Online Dalam Hukum Pidana Positif di Indonesia Permasalahan:

1) Bagaimana bentuk pertanggungjawaban terhadap pelaku tindak pidana penipuan online?

2) Bagaimana konsekuensi yuridis pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada tindak pidana penipuan

online?

Hasil:

1) Bentuk pertanggugjawaban pidana pelaku tindak pidana penipuan online

hanya dapat dijatuhi menggunakan pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (2) UU ITE. Pasal 378 KUHP tentang tindak pidana penipuan tidak dapat


(25)

digunakan untuk membebani pelaku tindak pidana penipuan online untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dikarenakan terdapat beberapa kendala dalam membebani sanksi pidana pada pelaku tindak pidana seperti kendala dalam pembuktian dimana alat bukti yang dibatasi oleh KUHAP, dalam pasal 378 KUHAP terdapat kesulitan menentukan yurisdiksi untuk menggunakan hukum mana dan siapa yang berhak untuk menghukum pelaku karena penipuan online termasuk dalam kejahatan lintas Negara atau cyber crime. Sehingga pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (2) UU ITE meskipun tidak secara khusus mengatur tentang tindak pidana penipuan dalam konteks berbeda tetapi tetap dapat digunakan untuk membebani pelaku untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam tindak pidana penipuan online, pada aktivitas transaksi elektronik atau dapat dikatakan jual-beli online mengingat konteks sebenarnya dari adanya UU ITE adalah sebagai perlindungan konsumen.

2) Konsekuensi yuridis dari penggunaan Pasal 28 ayat (1) UU ITE terhadap Pasal 378 KUHP pada tindak pidana penipuan online, dimana kedua pasal tersebut saling mengesampingkan dan mengecualikan. Pasal 28 ayat (1) UU ITE hanya dapat di gunakan pada tindak pidana penipuan online yang berkarakteristik pada aktivitas jual beli online saja, sedangkan pada pasal 378 KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana penipuan konvensional. Melihat unsur dan modus penipuan online yang semakin canggih dan mengikuti perkembangan jaman, penggunaan pasal 28 ayat (1) UU ITE dirasa sangat tepat untuk langsung di dakwakan


(26)

terhadap pelaku agar tidak akan timbul kehawatiran lolosnya pelaku dari pembebanan pemidanaan pada tindakannya.

Perbedaan:

Perbedaan penulisan penelitian ini dengan penelitian-penelitian di atas adalah penulisan penelitian ini akan lebih pada penelitian bagaimana Polresta Denpasar dalam mencegah tindak pidana penipuan transaksi jual beli online dan menelusuri atau meneliti apa faktor yang menyebabkan timbulnya korban dari tindak pidana penipuan jual beli online. Pada penelitian di atas lebih cenderung meneliti tentang suatu keputusan yang dijatuhkan oleh hakim pada pelaku tindak pidana jual beli online serta cenderung meneliti konsekuensi yuridis dari penggunaan suatu peraturan perundang-undangan yang sebaiknya digunakan dalam menjerat pelaku tindak pidana penipuan transaksi jual beli online.

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian skripsi ini dapat digolongkan menjadi 2 bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

1.5.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis permasalahan hukum dan isu-isu aktual mengenai tindak pidana penipuan dalam transaksi jual beli online, khususnya terkait efektifitas pelaksanaan UU ITE, serta menelusuri faktor-faktor yang menyebabkan


(27)

adanya tindakan cyber dan menegakan hukum cyber hingga solusi atas masalah tersebut.

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis apakah UU ITE sudah efektif dalam pencegahan tindak pidana penipuan terkait pada transaksi jual beli

online.

2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor apa saya yang menyebabkan adanya tindak pidana penipuan terkait pada transaksi jual beli online.

1.6. Manfaat Hasil Penelitian

Manfaat hasil penelitian ini yang terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu:

1.6.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum pidana, khususnya pemahaman teoritis mengenai efektivitas pelaksanaan UU ITE dalam mencegah tindak pidana penipuan dalam transaksi jual beli online serta faktor-faktor yang menyebabkan adanya tindak pidana penipuan tersebut. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah penulis dapat memperoleh pencerahan mengenai permasalahan yang penulis hadapi sehingga menjadi dasar pemikiran yang teoritis bahwa UU ITE perlu dikaji dalam perumusan konsepnya agar penerapan tersebut nantinya bisa memberikan kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum.


(28)

1.6.2 Manfaat Praktis

a. Bagi Mahasiswa

Diharapkan agar dapat memberikan referensi dan pengembangan wawasan berpikir bagi diri sendiri maupun pembaca mengenai Efektifitas Penegakan Hukum Pidana dalam mencegah timbulnya tindak pidana penipuan dalam transaksi jual beli online.

b. Bagi Penegak Hukum

Diharapkan agar skripsi ini dapat dijadikan refrensi bagi penegak hukum agar dalam melakukan tugasnya dalam menegakkan hukum terhadap cyber crime khususnya dalam tindak pidana penipuan dalam transaksi jual beli

online dapat dilaksanakan secara optimal. c. Bagi Masyarakat

Untuk memberikan kesadaran hukum kepada masyarakat terhadap aturan-aturan yang berlaku tentang tindak pidana penipuan dalam transaksi jual beli online pada semua orang agar lebih berhati-hati dalam berkegiatan di dunia maya.

1.7. Landasan Teoritis

Skripsi ini secara garis besar menggunakan tiga teori hukum dalam membahas permasalahan ini. Tujuan dipergunakannya teori hukum untuk membantu penulis dalam memperjelas masalah yang diteliti. Teori-teori yang dipergunakan adalah:


(29)

a. Teori Pencegahan

Terkait pembahasan rumusan masalah mengenai pencegahan tindak pidana penipuan dalam transaksi jual beli online di Polresta Denpasar digunakan Teori Pencegahan Umum sebagaimana dikemukakan oleh Anselm Von Feurbach mengenai psychologische zwag, yang dimana berbunyi :

“apabila setiap orang mengerti dan tahu, bahwa melanggar peraturan

hukum itu diancam pidana, maka orang itu mengerti dan tahu juga akan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukannya dapat digolongkan ke dalam teori pencegahan umum. Jadi menurut teori ini tercegahlah bagi setiap orang untuk berniat jahat sehingga di dalam jiwa orang masing-masing telah mendapatkan

tekanan atas ancaman pidana.”9

b. Teori Kriminologi

Objek dari kriminologi sendiri adalah orang-orang yang melakukan tindak pidana kejahatan (pelaku kejahatan) itu sendiri. Tujuan mempelajari kriminologi ini sendiri agar nantinya menjadi mengerti apa sebab-sebabnya berbuat jahat, apakah karena memang bakatnya adalah jahat, ataukah di dorong oleh keadaan masyarakat di sekitarnya baik secara sosiologis dan ekonomis, atau sebab-sebab lainnya. Jika sebab-sebab itu sudah diketahui, maka di samping pemidanaan, dapat diadakan tindakan-tindakan yang tepat agar orang tadi tidak lagi berbuat demikian, atau agar orang lain tidak akan melakukannya.10

Kriminologi dibagi menjadi tiga bagian yaitu:

1. Criminal Biology, menyelidiki dalam diri orang itu sendiri akan sebab-sebab dari perbuatannya, baik dalam jasmani maupun rohani;

9

Marlina, 2011, Hukum Penitensier, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 57.

10


(30)

2. Criminal Sosiology, mencoba mencari sebab-sebab dalam lingkungan masyarakat di mana masyarakat itu berada;

3. Criminal Policy, tindakan-tindakan apa yang sekiranya harus dijalankan supaya orang lain tidak berbuat demikian.11

Berabad-abad sudah menjatuhi pidana kepada orang yang melakukan kejahatan, namun orang masih melakukan kejahatan. Pidana disini menandakan bahwa tidak mampu untuk mencegah adanya kejahatan yang dimana berarti pidana bukanlah obat bagi penjahat. Penjahat dianggap sebagai orang sakit dan pidana bersifat memberi nestapa sebagai pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan. Cara mengobati penjahat disini tentunya terlebih dahulu diperlukan mengetahui sebab-sebab dari penyakit itu, dan bukanlah pidana yang bersifat memberi nestapa sebagai pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan, melainkan tindakan-tindakan.12

Moeljatno menyatakan pandangan seperti diatas agak terlalu simplitis, sebab pandangan bahwa pidana adalah semata-mata sebagai pembalasan kejahatan yang dilakukan, dan dimana sekarang hal tersebut sudah ditinggalkan, dan telah diinsafi bahwa senyatanya sekarang sudah lebih kompleks. Pada saat ini apabila masih terdapat sifat pembalasan, maka hal tersebut hanya segi yang kecil saja. Pada saat ini yang lebih besar dan lebih penting pada menentramkan kembali masyarakat yang telah digoncangkan dengan adanya perbuatan pidana di satu pihak, dan di lain pihak, mendidi

11

Ibid, h.15. 12


(31)

kembali orang melakukan perbuatan pidana tadi menjadi anggota masyarakat yang berguna.13

Moeljatno menyatakan disini seharusnya pidana harusnya berubah tidak lagi sebagai pembalasan atau penderitaan fisik dan perendahan martabat manusia sebagai pembalasan dari kejahatan yang telah dilakukan, tetapi mencangkup seluruh sarana yang telah dipandan layak dan dipraktikkan dalam suatu masyarakat tertentu.14

Adanya kriminologi di samping ilmu hukum pidana, pengetahuan tentang kejahatan menjadi lebih luas. Pengetahuan tersebut nantinya akan membuat orang mendapat pengertian lebih baik tentang penggunaan hukumnya terhadap kejahatan maupun tentang pengertiannyamengenai timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya, sehingga memudahkan penentuannya adanya kejahatan dan bagaimana menghadapai untuk kebaikan masyarakat dan penjahat itu sendiri.15

c. Teori Aksi

Meneliti efektifitas hukum hendaknya menelaah efektifitas suatu peraturan perundang-undangan dengan membandingkan antara realitas hukum dengan ideal hukum. Donald Black menyatakan, ideal hukum merupakan kaidah hukum yang dirumuskan dalam undang-undang atau putusan hakim (law in

13

Ibid, h. 16. 14

Ibid.

15


(32)

book). Dengan merujuk principle of effectiviness dari Hans Kelsen menyebutkan bahwa realitas hukum berarti seseorang harus bertingkah laku atau bersikap sesuai tata kaidah hukum, denga kata lain realitas hukum adalah hukum dalam tindakan (law in action).16 Meneliti efektifitas hukum dari undang-undang tidak hanya menetapkan tujuan dari undang-undang (baik dari kehendak pembuat undang-undang atau tujuan langsung tidak langsung, maupun tujuan instrumental-tujuan simbolis), diperlukan pula syarat-syarat lain seperti:

1. Perilaku yang diamati adalah perilaku nyata;

2. Perbandingan antara perilaku yang diatur dalam hukum dengan keadaan apabila tidak diatur dalam hukum. Apabila hukum sudah mampu mengubah perilaku masyarakat (berprilaku sesuai hukum) maka seharusnya perilaku tersebut akan sama ketika tidak ada hukum yang mengatur perilaku tersebut.

3. Mempertimbangkan jangka waktu pengamatan

4. Mempertimbangkan tingkat kesadaran pelaku. Berl Kutschinsky mengemukakan empat indicator kesadaran hukum yaitu:

a. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness) b. Pengetahuan tentang isi peraturan hukum (law aquitance)

c. Sikap hukum (law attitude); dan d. Perilaku Hukum (legal behavior).17

Dalam bukunya The Structure of Social Action, Parsons mengemukakan karakteristik tindakan sosial (Social Action) sebagai berikut:

1. Adanya individu sebagai aktor;

2. Aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan;

3. Aktor memilih alternative cara, alat dan teknik untuk mencapai tujuannya;

16

Amirudin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali

Pers, Jakarta, h. 137.

17

Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Pers,


(33)

4. Aktor apabila berhadapan dengan sejumlah kondisi-kondisi situasional (berupa kondisi dan kondisi yang sebagian tidak dapat dikendalikan oleh individu) yang membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Misalnya adalah kelamin dan tradisi;

5. Aktor berada di bawah kendali nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhi dalam memilih dan menentukan tujuan. Contohnya kendala dalam kebudayaan.18

d. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan usaha dalam mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapkan rakyat menjadi suatu kenyataan.19 Soejono Soekanto mengemukakan, inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan antara apa yang ada di dalam kaidah-kaidah sejumlah peraturan-peraturan perundang-undangan terhadap penciptaan, pemeliharaan dan mempertahankan kedamaian dalam pergaulan hidup.20

Soerjono Soekanto mengemukakan ada 5 (lima) faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu:

1. Faktor hukumnya sendiri, yang dibatasi dengan undang-undang saja; 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang

menerapkan hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan;

5. Faktor kebudayaan, sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.21

18

Amirudin dan H. Zainal Asikin, Op.cit, h. 142

19

Soleman B. Taneko, 1993, Pokok-pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali

Pers, Jakarta, h. 49.

20

Sabian Utsman, 2010, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum – Makna Dialog antara Hukum

& Mayarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 373.

21

Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegak Hukum, PT.


(34)

Efektifitas dari suatu perundang-undangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, atara lain:

1. Pengetahuan tentang substansi perundang-undangan; 2. Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut;

3. Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan di dalam masyarakatnya;

4. Proses lahirnya perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan instan atau sesaat, yang dimana Gunar Myrdall mengistilahkan sebagai sweep legislation, yang memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.22

Gangguan terhadap penegak hukum mungkin terjadi apabila tidak adanya

keserasia antara “tri tunggal” nilai, kaidah dan pola perilaku. Gangguan

tersebut dapat terjadi apabila ketidakserasian antara nilai yang berpasangan menjelma dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur dan pola perilakunya tidak terarah sehingga mengganggu kedamaian pergaulan.23

1.8. Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah Jenis Penelitian Hukum Empiris atau yang sering disebut sebagai Penelitian Hukum Sosiologis yang mengkonsepkan hukum sebagai pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan variable sosial lainnya. Sasaran dari jenis penelitian hukum empiris yakni law in action.24

22

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicial Prudence) Termasuk Interprestasi Undang-Undang (Legal Prudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 378.

23


(35)

Penelitian hukum empiris sama seperti penelitian hukum normatif, yang dimana juga mengggunakan data sekunder pada data awalnya, kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan, jenis-jenis penelitian hukum empiris dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Penelitian berlakunya hukum

 Penelitian efektifitas hukum

 Penelitian dampak hukum

b. Penelitian identifikasi hukum tidak tertulis.25

Penelitian empiris dalam skripsi ini mengkaji mengenai bekerjanya UU ITE khususnya Pasal 28 ayat (1), namun ketika aturan yang mengatur mengenai korban kejahatan tindak pidana penipuan dalam transaksi jual beli online tersebut diberlakukan menimbulkan suatu permasalahan. Permasalahan tersebut dapat dianalisis mengenai efektivitas dari UU ITE serta upaya yang dapat dilakukan oleh penegak hukum dalam menanggulangi korban akibat dari tindak pidana penipuan dalam transaksi jual beli online.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fakta (The Fact Approach) dan pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach). Pendekatan fakta adalah pendekatan yang dilakukan dengan mlihat langsung di lapangan berdasarkan fakta yang ada di lapangan dalam mencegah tindak pidana penipuan transaksi jual beli online. Data yang diperoleh tersebut untuk selanjutnya selanjutnya dibahas dengan kajian-kajian berdasarkan

24

Nico Ngani, 2012, Metodelogi Penelitian dan Penulisan Hukum, Pustaka Yustisia,

Yogyakarta, h. 71.

25


(36)

teori hukum dan kemudian disambung dengan pendekatan perundang-undangan. Pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan berdasarkan pada norma-norma hukum atau kaidah-kaidah yang berlaku yaitu KUHP dan UU ITE

1.8.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian pada penulisan skripsi ini adalah di daerah Denpasar di Polresta Denpasar. Alasan dipilihnya lokasi penelitian ini karena banyaknya kasus penipuan dalam transaksi jual beli online yang juga mengakibatkan adanya korban, serta masih kurangnya pelaksanaan pemerintah untuk menangani dan mencegah terjadinya kasus penipuan dalam transaksi jual beli online di daerah Denpasar.

1.8.4 Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Teknik penentuan sampel penelitian dalam penelitan skripsi ini adalah dengan menggunakan teknik non probability sampling khususnya menggunakan teknik Purposive Sampling. Penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh peneliti yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama populasinya.

1.8.5 Sifat Penelitian

Penelitian ini menggunakan sifat penelitian deskriftif. Penelitian deskriftif pada penelitian secara umum, termasuk pula di dalamnya penelitian ilmu hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau


(37)

untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian deskriftif dapat membentuk teori-teori baru atau dapat memperkuat teori yang sudah ada.

1.8.6 Sumber Data

Penelitian pada umumnya dibedakan dalam data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat yang dinamakan data primer (data dasar) dan diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang dinamakan data sekunder.26 Data yang dipergunakan dalam penelitian ini ada 2 (dua) sumber data yaitu:

1. Data Primer

Data primer didapatkan melalui dilakukannya penelitian lapangan (Field Research), yaitu dengan cara melakukan penelitian secara langsung ke lapangan yang berasal dari informan, yaitu aparat penegak hukum dalam hal ini adalah polisi.

2. Data Sekunder

Data sekunder didapatkan melalui dilakukannya penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu pengumpulan berbagai data yang diperoleh dari menelaah literatur, majalah di bidang hukum guna menemukan teori yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Data sekunder ini berdasarkan kekuatan mengikat dari isinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu:

26

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan


(38)

a. Bahan hukum primer, dimana isi bahannya mengikat, karena dikeluarkan oleh pemerintah, seperti berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu KUHP dan UU ITE.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang isinya membahas bahan hukum primer, seperti buku, majalah, artikel.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder.27 Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum dan kamus besar bahasa Indonesia.

1.8.7 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini, yaitu Teknik Studi Dokumen dan Teknik Wawancara

1. Terhadap data kepustakaan dilakukan dengan teknik studi yang datanya dikumpulkan dengan pencatatan dalam lembaran-lembaran kertas dan selanjutnya dikualifikasikan menurut relevansinya dengan permasalahan penelitian

2. Terhadap data lapangan dilakukan dengan teknik wawancara, teknik wawancara (interview) merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pengumpulan data dengan proses komunikasi dan interaksi.28 Pengumpulan data dengan cara tanya jawab secara langsung dengan ahli hukum agar memperoleh informasi serta jawaban-jawaban dari permasalahan

27

Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Cet. III, Rineka Cipta, Jakarta, h.

10.

28

Bagong Suryanto dan Sutinah, 2010, Metode Penelitian Sosial – Berbagai Alternatif


(39)

yang ada. Pedoman daftar pertanyaan dibuat secara sistematis dan telah disiapkan oleh peneliti.

1.8.8 Pengolahan dan Analisis Data

Keseluruhan data yang diperoleh dan sudah terkumpul baik melalui studi dokumen ataupun dengan wawancara, penelitian hukum ini tunduk dengan cara analisis data ilmu-ilmu sosial. Menganalisis data tergantung pada sifat data yang dikumpulkan oleh peneliti. Sifat data apabila yang dikumpulkan sedikit dan bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun dalam struktur klasifikasi analisis, melainkan melainkan yang dipakai adalah analisis kualitatif.29

Melakukan penelitian dengan teknik analisis kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan diolah dan dianalisis dengan menyusun data secara sistematis, digolongkan dengan pola dan tema, diklasifikasi dan dihubungkan antara satu dengan data lainnya. Interprestasi penting dilakukan untuk memahami makna data dalam situasi sosial dan dilakukan penafsiran dari persfektif peneliti setelah memahami seluruh kualitas data. Proses analisis dilakukan sejak pencarian data dilapangan dan berlanjut hingga tahap analisis. Data pada akhirnya akan disajikan secara deskriftif, kualitatif dan sistematis.

29


(40)

27

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENCEGAHAN, TINDAK PIDANA DAN PENIPUAN JUAL BELI ONLINE

2.1Pencegahan

a. Pengertian Pencegahan

Pencegahan adalah proses, cara, tindakan mencegah atau tindakan menahan agar suatu tidak terjadi. Dapat dikatakan suatu upaya yang dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran.

Upaya pencegahan kejahatan merupakan upaya awal dalam menanggulangi kejahatan. Upaya dalam menanggulangi kejahatan dapat diambil beberapa langkah meliputi langkah penindakan (represif) disamping langkah pencegahan (preventif). 28

Langkah-langkah preventif tersebut yang dimana meliputi:

a. Peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mengurangi pengangguran, yang dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan.;

b. Memperbaiki sistem administrasi dan pengawasan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan;

c. Peningkatan penyuluhan hukum untuk memeratakan kesadaran hukum rakyat;

d. Menambah personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya untuk lebih meningkatkan tindakan represif maupun preventif; e. Meningkatkan ketangguhan moral serta profesionalisme bagi para

pelaksana penegak hukum. 29

28

Baharuddin Lopa & Moch Yamin, 2001, Undang-Undang Pemberntasan Korupsi,

Alumni, Bandung, h.16

29


(41)

Ada dua buah metode yang dipakai untuk mengurangi frekuensi dari kejahatan dalam crime prevention yaitu :

1. Metode untuk mengurangi pengulangan dari kejahatan. Cara yang ditujukan kepada pengurangan jumlah residivis (pengulangan kejahatan) dengan suatu pembinaan yang dilakukan secara konseptual. 2. Metode untuk mencegah kejahatan pertama kali (the first crime). Cara

yang ditujukan untk mencegah terjadinya kejahatan yang pertama kali

(the first crime) yang akan dilakukan oleh seseorang dan metode ini juga dikenal sebagai metode preventif (prevention).30

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa upaya penanggulangan kejahatan mencakup preventif dan sekaligus berupaya untuk memperbaiki perilaku seseorang yang telah dinyatakan bersalah di lembaga pemasyarakatan. Dengan kata lain upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan secara preventif dan represif.

Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali. Mencegah kejahatan lebih baik daripada mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali, sebagaimana semboyan dalam kriminologi yaitu usaha-usaha memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar tidak terjadi kejahatan ulang. Sangat beralasan bila upaya preventif diutamakan karena upaya preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa suatu keahlian khusus dan ekonomis.

Upaya preventif tersebut dapat beberapa cara untuk menanggulangi kejahatan yakni:

30

Romli Atmasasmita, 2010, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung,


(42)

1. Menyadari bahwa akan adanya kebutuhan-kebutuhan untuk mengembangkan dorongan-dorongan sosial atau tekanan sosial dan tekanan ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang ke arah perbuatan jahat.

2. Memusatkan perhatian kepada individu-individu yang menunjukkan potensialitas kriminal atau sosial, sekalipun potensialitas tersebut disebabkan gangguan-ganguan biologis dan psikologis atau kurang mendapat kesempatan sosial ekonomis yang cukup baik sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang harmonis.31

Dapat dilihat disini kejahatan dapat ditanggulangi apabila keadaan ekonomi atau keadaan lingkungan sosial yang mempengaruhi seseorang ke arah tingkah laku kriminal dapat dikembalikan pada keadaan baik. Dengan kata lain perbaikan keadaan ekonomi mutlak dilakukan. Sementara faktor-faktor biologis, psikologis, merupakan faktor-faktor yang sekunder saja. Jadi dalam upaya preventif itu adalah melakukan suatu usaha yang positif, serta menciptakan suatu kondisi seperti keadaan ekonomi, lingkungan, juga kultur masyarakat yang menjadi suatu daya dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya seperti menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong timbulnya perbuatan menyimpang, selain itu dilakukan peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat bahwa keamanan dan ketertiban merupakan tanggung jawab bersama.

b. Upaya Pencegahan Tindak Pidana

Upaya pencegahan tindak pidana sendiri salah satunya adalah dikeluarkannya suatu peraturan yang mengatur agar terjadinya keharmonisan di dalam suatu masyarakat. Untuk menjaga keharmonisan suatu masyarakat tersebut dibentuklah suatu peraturan

31


(43)

undangan. Membicarakan pencegahan tentu tidak jauh dari penanggulangan.

Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau

strafrechtspolitiek adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.32

Pelaksanaan dari politik hukum pidana harus melalui beberapa tahapan yaitu:

1. Tahap Formulasi

Yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat Undang-Undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif

32


(44)

2. Yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

3. Tahap Eksekusi

Yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan Pidana yang dibuat oleh pembuat Undang-Undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.33

Tujuan utama dari kebijakan kriminal ialah “perlindungan

masyarakat untuk mencapai kesejahteraan”. Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) menggunakan dua sarana, yaitu:

a. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal

Sarana penal adalah penggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu : 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar.

b. Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan.34

33

Ibid, h.25

34

Badra Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya


(45)

2.2Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian tindak pidana sering kita mendengar istilahnya “Het Strafbaar Feit”. Istilah tersebut memiliki terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh beberapa pakar yaitu:

1. Peristiwa Pidana; 2. Perbuatan Pidana; 3. Tindak Pidana.35

Penggunaan istilah tersebut pada hakikatnya tidak menjadi masalah sepanjang penggunaannya disesuaikan dengan konteks dan dipahami maknanya. Istilah mengenai Strafbar Feit juga menimbulkan perdebatan di konseptual di dalamnya yaitu munculnya perbedaan dari istilah yang dimaksud seperti:

1. SIMONS

Simons merumuskan bahwa Strafbar Feit adalah suatu handeling (tindakan atau perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang.

2. VOS

VOS merumuskan Strafbar Feit adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.

3. POMPE

35

Zainal Abidin, Muhammad dan I Wayan Edi Kurniawan, 2013, Catatan Mahasiswa


(46)

Pompe merumuskan Strafbar Feit adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum, dan masih banyak lagi perumusan perumusan lainnya.36

Istilah strafbaar feit ke dalam bahasa Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum; b. Peristiwa pidana;

c. Perbuatan pidana; d. Tindak Pidana.37

Pengertian istilah di atas para sarjanapun memberikan pengertian tersendiri terhadap istilah tersebut, diantaranya:38

1. Moeljatno menyatakan strafbaar feit diistilahkan dengan perbuatan pidana, yang dimana perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang dimana larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

2. E Utrech menyatakan strafbaar feit sebagai peristiwa pidana karena yang ditinjau adalah feit (peristiwa) dari sudut hukum pidana penggunaan istilah peristiwa pidana sering dijumpai dalam KUHP.

36

Ibid, h.77

37

E.Y Kanter dan S.R. Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya,

Storia Grafika, Jakarta, h. 208.

38


(47)

3. Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah strafbaar feit sebagai tindak pidana, yang dimana suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana.

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pada dasarnya, setiap tindak pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung perbuatan dan akibat yang ditimbulkan. Sebuah perbuatan tidak bisa begitu saja dikatakan tindak pidana, oleh karena itu harus diketahui apa saja unsur-unsur atau ciri-ciri dari perbuatan pidana itu sendiri. Adapun 5 unsur yang terkandung dalam tindak pidana, yaitu:

a. Harus ada sesuatu kekuatan (gedraging);

b. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang; c. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak;

d. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku; e. Kelakuan itu diancam dengan hukuman.39

Unsur-unsur tindak pidana pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam dua unsur yaitu unsur subjektif dan unsur objektif, unsur-usur tersebur dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Unsur Subjektif

Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri

pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld). Kesalahan yang dimaksud

39

C.S.T. Kansil dan Kristine S.T. Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cet.


(48)

disini adalah kesalahan yang berasal atau diakibatkan oleh kesengajaan dan kealpaan.

Para pakar menyetujui bahwa kesengajaan terdiri dari tiga bentuk yaitu:

1. Kesengajaan dengan maksud (oogmark);

2. Kesengajaan dengan keinsyafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn);

3. Kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan (dolus evantualis).

Kealpaan adalah bentuk kesengajaan yang lebih ringan atau dengan nama lain bahwa orang yag melakukan dengan kelalaiannya. Dalam hal ini kealpaandibagi menjadi dua bentuk yaitu:

1. Tak berhati-hati (kealpaan tanpa kesadaran);

2. Dapat menduga akibat perbuatan itu (kealpaan dengan kesadaran).40

2. Unsur Objektif

Unsur objektif merupakan unsur yang berasal dari luar pelakuyang terdiri atas:

a. Perbuatan manusia

1. Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif, yang dimaksud dengan act dalam hal ini adalah apa yang dilakukan dan apa yang diucapkan. Hal ini oleh oleh para pakar di sebut

40


(49)

act. contoh act adalah Pasal 362, 338, dan sebagainya. Pada Pasal 362 KUHP yang berbunyi :

“Barang siapa yang mengambil barang sesuatu yang

seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan

maksud untuk memiliki secara melawan hukum….”

Pasal ini merupakan perbuatan positif seseorang karena dalam perumusan pasal ini memformulasikan mengenai perbuatan pelaku.

2. Ommision, yakni perbuatan negatif atau perbuatan pasif, yaitu perbuatan yang mendiamkan ataupun membiarkan terjadinya kejahatan, atau bagaimana sikap seseorang tersebut dalam terjadinya kejahatan, para pakar menyatakan hal ini sebagai

omission. Contoh omission dapat dilihat dalam Pasal 165, 531, dan sebagainya. Pada Pasal 165 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa mengetahui bahwa ada orang yang bermaksud

untuk melakukan suatu pembunuhan dan dengan sengaja tidak memberitahukan hal itu dengan sepatutnya dan waktunya, baik kepada yang terancam, jika kejadian itu benar terjadi ama

dihukum…”

Dalam perumusan pasal ini jelas menyatakan bahwa pasal ini merupakan omission, dikarenakan formulasi dalam pasal ini berisikan sikap pelaku yang berupa membiarkan terjadinya kejahatan.41

b. Akibat (result) perbuatan manusia

41


(50)

Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan sebagainya.

c. Keadaan-keadaan (cirumstance)

Pada umumnya perbedaan tersebut dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:

1. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan 2. Keadaan setelah perbuatan dilakukan d. Sifat melawan hukum

Sifat melawan hukum berkenaan dengan alasan-alasan penghapusan pidana dalam perbuatan itu, yang mana sifat melawan hukum adalah apabila suatu perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.

Semua unsur delik tersebut merupakan suatu kesatuan. Tidak terbuktinya salah satu unsur dapat mengakibatkan terdakwa dibebaskan dalam pengadilan.

Tidak hanya pengertian yang dijabarkan oleh Lamintang, Cristine dan Cansil pun turut menyatakan pendapat mengenai unsur-unsur tindak pidana yakni, selain harus bersifat melanggar hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan Handeling (perbuatan manusia), Strafbaar gesteld (diancam


(51)

dengan pidana), Toerekeningsvatbaar (dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab), serta adanya Schuld (terjadi karena kesalahan).42

Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris dalam buku Moeljatno merumuskan empat hal pokok dalam tindak pidana, yaitu tindak pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumus delik, Wederrechtjek

(melanggar hukum), dan dapat dicela. Tidak jauh berbeda dengan yang telah dijelaskan sebelumnya, Moeljatno menyebutkan bahwa tindak pidana terdiri dari lima elemen, yaitu kelakuan dan akibat (perbuatan), hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang subjektif dan unsur melawan hukum yang objektif.43 Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang akan dikenakan sanksi pidana.

2.3Tindak Pidana Penipuan

a. Pengertian Tindak Pidana Penipuan

Berdasarkan teori dalam hukum pidana mengenai penipuan, terdapat 2 (dua) sudut pandang yang harus diperhatikan, yakni menurut pengerian Kamus Besar Bahasa Indonesia dan menurut pengertian yuridis, penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

42

C.S.T. Kansil, op.cit, h.38.

43


(52)

Disebutkan bahwa tipu berarti kecoh, daya cara, perbuatan, atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untung. Penipuan merupakan proses, perbuatan, cara menipu, perkara menipu (mengoceh). Dengan demikian, berarti yang terlibat dalam penipuan adalah 2 (dua) pihak, yaitu orang yang menipu disebut dengan penipu dan orang yang tetipu. Jadi, penipuan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan atau membuat, perkataan seseorang yang tidak jujur atau bohong dengan maksud untuk menyesuaikan atau mengakali orang lain untuk kepentingan dirinya atau kelompok.

2. Menurut Pengertian Yuridis

Pengertian tindak pidana penipuan dengan melihat dari segi hukum sampai saat ini belum ditemukan, kecuali pengertian yang sudah dirumuskan di dalam KUHP. Rumusan penipuan dalam KUHP bukanlah suatu definisi melainkan hanyalah untuk menetapkan unsur-unsur suatu perbuatan sehingga dapat dikatakan sebagai penipuan dan pelakunya dapat dipidana.

Penipuan menurut Pasal 378 KUHP dirumuskan sebagai berikut:

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang

lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara

paling lama empat tahun”

Pidana bagi tindak pidana penipuan adalah pidana penjara paling lama empat tahun tanpa alternative denda. Delik penipuan dipandang lebih berat daripada delik penggelapan karena pada delik penggelapan ada alternative denda. Penuntut umum oleh karena itu menyusun dakwaan primair dan dakwaan


(53)

subsidair kedua pasal ini harus mencantumkan tindak pidana penipuan pada dakwaan primair, sedangkan dakwaan subsidair adalah penggelapan. Cleiren menyatakan bahwa tindak pidana penipuan adalah tindak pidana dengan adanya akibat (gevolgsdelicten) dan tindak pidana berbuat (gedragsdelicten) atau delik komisi.44

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penipuan

Dalam KUHP tentang Penipuan terdapat dalam BAB XXV Buku II. Keseluruhan pasal pada BAB XXV Buku II ini dikenal dengan sebutan bedrog

atau perbuatan curang. Bentuk pokok dari bedrog atau perbuatan curang ini adalah Pasal 378 KUHP tentang Penipuan. Berdasarkan rumusan tersebut, maka tindak pidana penipuan memiliki unsur-unsur pokok yaitu:

a. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.

Dengan maksud harus diartikan sebagai tujuan terdekat dari pelaku, yakni pelaku hendak mendapatkan keuntungkan. Keuntungan ini adalah tujuan utama pelaku, dengan jalan melawan hukum seorang pelaku masih membutuhkan tindakan lain dengan maksud agar keinginannya terpenuhi. Dengan demikian maksud tersebut harus ditujukan untuk menguntungkan dan melawan hukum sehingga pelaku harus mengetahui bahwa keuntungan yang menjadi tujuannya harus bersifat melawan hukum.

44

Andi Hamzah, 2010, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Sinar


(54)

b. Dengan menggunakan salah satu atau lebih alat penggerak penipuan (nama palsu, martabat palsu atau keadaan palsu, tipu muslihat dan rangkaian kebohongan)

Sifat dari penipuan sebagai tindak pidana ditentukan oleh cara-cara pelaku menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang. Alat-alat penggerak yang digunakan untuk menggerakkan orang lain adalah sebagai berikut: 1) Nama palsu

Nama palsu dalam hal ini adaah nama yang berlainan dengan nama yang sebenarnya, meskipun perbedaan tersebut sangat kecil. Apabila penipu menggunakan nama orang lain yang sama dengan nama orang lain, maka penipu dapat dipersalahkan dengan melakukan tipu muslihat.

2) Tipu muslihat

Tipu muslihat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kepercayaan atau keyakinan atas kebenaran dari sesuatu kepada orang lain. Tipu muslihat merupakan perbuatan atau tindakan.

3) Martabat atau keadaan palsu

Memakai martabat atau keadaan palsu adalah bilamana seseorang memberikan pernyataan bahwa dia berada dalam suatu keadaan tertentu dan keadaan itu memberikan hak-hak kepada orang yang ada dalam keadaan tersebut.


(55)

Beberapa kata bohong dianggap tidak cukup sebagai alat penggerak. Hal ini dipertegas oleh Hoge Raad dalam Arrest 8 Maret 1926, bahwa:45

“Terdapat suatu rangkaian kebohongan jika anatara berbagai

kebohongan itu terdapat suatu hubungan yang sedimikian rupa dan kebohongan yang satu melengkapi kebohongan yang lain sehingga mereka secara timbal balik menimbulkan suatu gambaran palsu seolah-olah merupakan suatu kebenaran.”

Rangkaian kebohongan itu harus diucapkan secara tersusun sehingga merupakan suatu cerita yang dapat diterima secara logis dan benar. Dengan demikian, kata yang satu memperkuat atau membenarkan kata orang lain.

5) Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu barang, atau memberi utang, atau menghapus utang.

Dalam perbuatan menggunakan orang lain untuk menyerahkan barang diisyaratkan adanya hubungan kausal antara alat penggerak dan penyerahan barang. Hal ini dipertegas oleh Hoge Raad dalam Arrest 25 Agustus 1923, bahwa:46

“Harus terdapat suatu hubungan sebab manusia antara upaya yang

digunakan dengan penyerahan yang dimaksud dari itu. Penyerahan suatu barang yang terjadi sebagai akibat penggunaan alat-alat penggerak dipandang belum cukup terbukti tanpa menguraikan pengaruh yang ditimbulkan karena dipergunakannya alat-alat tersebut menciptakan suatu situasi yang tepat untuk menyesatkan seseorang yang normal sehingga orang tersebut terpedaya karenanya, alat-alat penggerak itu harus menimbulkan dorongan dalam jiwa seseorang sehingga orang

tersebut menyerahkan suatu barang ”

45

Bastian Bastari, 2011, Analisis Yuridis Terhadap Delik Penipuan, Makassar, h. 40

46


(56)

2.4Trasaksi Jual Beli Online

a. Pengertian Transaksi Jual Beli Online

Transaksi jual beli online merupakan transaksi yang menggunakan elektronik sebagai perantaranya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU ITE, disebutkan bahwa “Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringang komputer, dan atau media elektronik lainnya.” Transaksi jual beli secara online merupakan suatu perwujudan dari ketentuan diatas. Pada transaksi elektronik ini, para pihak yang terkait di dalamnya melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau kontrak yang juga dilakukan secara online dan sesuai ketentuan Pasal 1 angka 17 UU ITE disebut bahwa ”kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektroik.”

b. Syarat Sahnya Perjanjian Dalam Jual Beli Online

Perkembangan selama ini, syarat perjanjian hanya tertera dalam Pasal 1320 KUH Perdata hanya bisa berlaku untuk transaksi konvensional. Perkembangan teknologi adalah satu dari sebuah realitas teknologi. Realitas teknologi hanya berperan untuk membuat hubungan hukum konvensional bisa berlangsung efektif dan efisien.

Gambarannya adalah sebagai berikut, dalam ransaksi jual beli tetap saja dikenakan proses embayaran dan penyerahan barang. Dalam e-commerce tetap ada pembayaran dan penyerahan barang, dari situlah dapat disimpulkan bahwa dengan adanya internet atau e-commerce hanyalah membuat jual beli atau hubungan hukum yang terjadi menjadi lebih singkat, mudah, dan sederhana.


(57)

Secara hukum tidak ada perubahan konsepsi dalam suatu transaksi yang berlangsung.

Transaksi online, tanggung jawab (kewajiban) atau perjanjian dibagi dalam beberapa pihak yang terlibat dalam jual beli online tersebut. Ada tiga pihak yang terlibat dalam jual beli online baik B2B (business to business) dan B2C (business to consumer), antara lain :

1. perusahaan penyedia barng (seller),

2. perusahaan penyedia jasa pengiriman (packaging), 3. jasa pembayaran (bank).

Dalam pekerjaan penawaran, pembayaran dan pengiriman masing-masing pihak membagi tanggung jawab sesuai dengan kompetensi masing-masing. Proses penawaran dan proses persetujuan jenis barang yang dibeli maka transaksi antara penjual (seller) dan pembeli (buyer) selesai. Penjual menerima persetujuan jenis barang yang dipilih dan pembeli menerima konfirmasi bahwa pesanan atau pilihan barang telah diketahui oleh penjual.

Transaksi antara penjual dengan pembeli dalam tahapan persetujuan barang telah selesai sebagian sambil menunggu barang tiba atau diantar ke alamat pembeli. Bank akan mengabulkan permohonan dari pembeli setelah penjual menerima konfirmasi dari Bank yang ditunjuk oleh penjual dalam transaksi e-commerce tersebut. Penjual setelah menerima konfirmasi pembayara dari pembeli bahwa telah mmbayar harga barang yang dipesan, selanjutnya penjual akan melanjutkan dengan mengirimkan konfirmasi kepada perusahaan jasa pengiriman untuk mengirmkan barang yang dipesan ke alamat pembeli. Perjanjian tersebut


(58)

dianggap selesai seluruhnya atau perjanjian tersebut berakhir setelah semua proses terlewati dimana proses penawaran, pembayaran dan penyerahan barang yang dipesan ke alamat pembeli.47

47Bung Pokrol, 2005, “

Syarat Sah Perjanjian Dalam e-commerce”, hukumonline.com,

URL : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl531/syarat-sah-perjanjian-dalam-ecommerce, diakses tanggal 17 Maret 2016


(1)

subsidair kedua pasal ini harus mencantumkan tindak pidana penipuan pada dakwaan primair, sedangkan dakwaan subsidair adalah penggelapan. Cleiren menyatakan bahwa tindak pidana penipuan adalah tindak pidana dengan adanya akibat (gevolgsdelicten) dan tindak pidana berbuat (gedragsdelicten) atau delik komisi.44

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penipuan

Dalam KUHP tentang Penipuan terdapat dalam BAB XXV Buku II. Keseluruhan pasal pada BAB XXV Buku II ini dikenal dengan sebutan bedrog

atau perbuatan curang. Bentuk pokok dari bedrog atau perbuatan curang ini adalah Pasal 378 KUHP tentang Penipuan. Berdasarkan rumusan tersebut, maka tindak pidana penipuan memiliki unsur-unsur pokok yaitu:

a. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.

Dengan maksud harus diartikan sebagai tujuan terdekat dari pelaku, yakni pelaku hendak mendapatkan keuntungkan. Keuntungan ini adalah tujuan utama pelaku, dengan jalan melawan hukum seorang pelaku masih membutuhkan tindakan lain dengan maksud agar keinginannya terpenuhi. Dengan demikian maksud tersebut harus ditujukan untuk menguntungkan dan melawan hukum sehingga pelaku harus mengetahui bahwa keuntungan yang menjadi tujuannya harus bersifat melawan hukum.

44

Andi Hamzah, 2010, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, h. 112.


(2)

b. Dengan menggunakan salah satu atau lebih alat penggerak penipuan (nama palsu, martabat palsu atau keadaan palsu, tipu muslihat dan rangkaian kebohongan)

Sifat dari penipuan sebagai tindak pidana ditentukan oleh cara-cara pelaku menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang. Alat-alat penggerak yang digunakan untuk menggerakkan orang lain adalah sebagai berikut: 1) Nama palsu

Nama palsu dalam hal ini adaah nama yang berlainan dengan nama yang sebenarnya, meskipun perbedaan tersebut sangat kecil. Apabila penipu menggunakan nama orang lain yang sama dengan nama orang lain, maka penipu dapat dipersalahkan dengan melakukan tipu muslihat.

2) Tipu muslihat

Tipu muslihat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kepercayaan atau keyakinan atas kebenaran dari sesuatu kepada orang lain. Tipu muslihat merupakan perbuatan atau tindakan.

3) Martabat atau keadaan palsu

Memakai martabat atau keadaan palsu adalah bilamana seseorang memberikan pernyataan bahwa dia berada dalam suatu keadaan tertentu dan keadaan itu memberikan hak-hak kepada orang yang ada dalam keadaan tersebut.


(3)

Beberapa kata bohong dianggap tidak cukup sebagai alat penggerak. Hal ini dipertegas oleh Hoge Raad dalam Arrest 8 Maret 1926, bahwa:45 “Terdapat suatu rangkaian kebohongan jika anatara berbagai kebohongan itu terdapat suatu hubungan yang sedimikian rupa dan kebohongan yang satu melengkapi kebohongan yang lain sehingga mereka secara timbal balik menimbulkan suatu gambaran palsu seolah-olah merupakan suatu kebenaran.”

Rangkaian kebohongan itu harus diucapkan secara tersusun sehingga merupakan suatu cerita yang dapat diterima secara logis dan benar. Dengan demikian, kata yang satu memperkuat atau membenarkan kata orang lain.

5) Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu barang, atau memberi utang, atau menghapus utang.

Dalam perbuatan menggunakan orang lain untuk menyerahkan barang diisyaratkan adanya hubungan kausal antara alat penggerak dan penyerahan barang. Hal ini dipertegas oleh Hoge Raad dalam Arrest 25 Agustus 1923, bahwa:46

“Harus terdapat suatu hubungan sebab manusia antara upaya yang digunakan dengan penyerahan yang dimaksud dari itu. Penyerahan suatu barang yang terjadi sebagai akibat penggunaan alat-alat penggerak dipandang belum cukup terbukti tanpa menguraikan pengaruh yang ditimbulkan karena dipergunakannya alat-alat tersebut menciptakan suatu situasi yang tepat untuk menyesatkan seseorang yang normal sehingga orang tersebut terpedaya karenanya, alat-alat penggerak itu harus menimbulkan dorongan dalam jiwa seseorang sehingga orang tersebut menyerahkan suatu barang ”

45

Bastian Bastari, 2011, Analisis Yuridis Terhadap Delik Penipuan, Makassar, h. 40

46 Ibid.


(4)

2.4Trasaksi Jual Beli Online

a. Pengertian Transaksi Jual Beli Online

Transaksi jual beli online merupakan transaksi yang menggunakan elektronik sebagai perantaranya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU ITE, disebutkan bahwa “Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringang komputer, dan atau media elektronik lainnya.” Transaksi jual beli secara online merupakan suatu perwujudan dari ketentuan diatas. Pada transaksi elektronik ini, para pihak yang terkait di dalamnya melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau kontrak yang juga dilakukan secara online dan sesuai ketentuan Pasal 1 angka 17 UU ITE disebut bahwa ”kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektroik.”

b. Syarat Sahnya Perjanjian Dalam Jual Beli Online

Perkembangan selama ini, syarat perjanjian hanya tertera dalam Pasal 1320 KUH Perdata hanya bisa berlaku untuk transaksi konvensional. Perkembangan teknologi adalah satu dari sebuah realitas teknologi. Realitas teknologi hanya berperan untuk membuat hubungan hukum konvensional bisa berlangsung efektif dan efisien.

Gambarannya adalah sebagai berikut, dalam ransaksi jual beli tetap saja dikenakan proses embayaran dan penyerahan barang. Dalam e-commerce tetap ada pembayaran dan penyerahan barang, dari situlah dapat disimpulkan bahwa dengan adanya internet atau e-commerce hanyalah membuat jual beli atau hubungan hukum yang terjadi menjadi lebih singkat, mudah, dan sederhana.


(5)

Secara hukum tidak ada perubahan konsepsi dalam suatu transaksi yang berlangsung.

Transaksi online, tanggung jawab (kewajiban) atau perjanjian dibagi dalam beberapa pihak yang terlibat dalam jual beli online tersebut. Ada tiga pihak yang terlibat dalam jual beli online baik B2B (business to business) dan B2C (business to consumer), antara lain :

1. perusahaan penyedia barng (seller),

2. perusahaan penyedia jasa pengiriman (packaging), 3. jasa pembayaran (bank).

Dalam pekerjaan penawaran, pembayaran dan pengiriman masing-masing pihak membagi tanggung jawab sesuai dengan kompetensi masing-masing. Proses penawaran dan proses persetujuan jenis barang yang dibeli maka transaksi antara penjual (seller) dan pembeli (buyer) selesai. Penjual menerima persetujuan jenis barang yang dipilih dan pembeli menerima konfirmasi bahwa pesanan atau pilihan barang telah diketahui oleh penjual.

Transaksi antara penjual dengan pembeli dalam tahapan persetujuan barang telah selesai sebagian sambil menunggu barang tiba atau diantar ke alamat pembeli. Bank akan mengabulkan permohonan dari pembeli setelah penjual menerima konfirmasi dari Bank yang ditunjuk oleh penjual dalam transaksi e-commerce tersebut. Penjual setelah menerima konfirmasi pembayara dari pembeli bahwa telah mmbayar harga barang yang dipesan, selanjutnya penjual akan melanjutkan dengan mengirimkan konfirmasi kepada perusahaan jasa pengiriman untuk mengirmkan barang yang dipesan ke alamat pembeli. Perjanjian tersebut


(6)

dianggap selesai seluruhnya atau perjanjian tersebut berakhir setelah semua proses terlewati dimana proses penawaran, pembayaran dan penyerahan barang yang dipesan ke alamat pembeli.47

47Bung Pokrol, 2005, “Syarat Sah Perjanjian Dalam e-commerce”, hukumonline.com,

URL : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl531/syarat-sah-perjanjian-dalam-ecommerce, diakses tanggal 17 Maret 2016