PEMBERIAN ASAM ASKORBAT ORAL MENGHAMBAT PENURUNAN DENSITAS SEL ENDOTEL KORNEA PASCA FAKOEMULSIFIKASI.
TESIS
PEMBERIAN ASAM ASKORBAT ORAL
MENGHAMBAT PENURUNAN DENSITAS SEL
ENDOTEL KORNEA PASCA FAKOEMULSIFIKASI
NOVIANTI PRIMASARI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
(2)
TESIS
PEMBERIAN ASAM ASKORBAT ORAL
MENGHAMBAT PENURUNAN DENSITAS SEL
ENDOTEL KORNEA PASCA FAKOEMULSIFIKASI
NOVIANTI PRIMASARI NIM 1014128202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
(3)
PEMBERIAN ASAM ASKORBAT ORAL
MENGHAMBAT PENURUNAN DENSITAS SEL
ENDOTEL KORNEA PASCA FAKOEMULSIFIKASI
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
NOVIANTI PRIMASARI NIM 1014128202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
(4)
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 22 JULI 2016
Pembimbing I, Pembimbing II,
dr. W.G. Jayanegara, SpM(K) dr. A.A.A. Sukartini Djelantik, SpM(K) NIP. 196402291991031002 NIP. 195604201982122001
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc,SPGK NIP. 19580521 1985 03 1 002
Direktur
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19590215 1985 10 2 001
(5)
Tesis ini Telah Diuji Pada Tanggal22 Juli 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No: 1848/UN14.4/HK/2016 Tanggal 22 Juli 2016
Ketua : dr. Wayan Gede Jayanegara, Sp.M(K) Sekretaris : dr. A.A.A Sukartini Djelantik, Sp.M (K)
1. Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH 2. dr. I. Putu Budhiastra, SpM(K)
(6)
(7)
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah-Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, izinkan penulis dengan setulus hati menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Bagian Ilmu Kesehatan Mata di Universitas Udayana.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Ketua Program Studi Ilmu Biomedik, Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Program Studi Ilmu Biomedik kekhususan Combined Degree. Tida lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Bagian Ilmu Kesehatan Mata.
(8)
Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. Putu Budhiastra, Sp.M.(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. A.A.A. Sukartini Djelantik, Sp.M.(K) yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi dan memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada dr. W.G. Jayanegara, Sp.M.(K), sebagai pembimbing I dan A.A.A. Sukartini Djelantik, Sp.M.(K), selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu, memberikan petunjuk dan pengarahan sejak awal penulisan sampai dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH, Dr. I. Putu Budhiastra, SpM(K), Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp. MK, M. Kes selaku penguji yang selalu memberikan saran, masukan, bimbingan dan koreksi hingga terselesaikannya tesis ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Direktur RS Bali Mandara Provinsi Bali, dr. Ni Made Yuniti, MM dan Kepala SMF Mata RS Bali Mandara Provinsi Bali, dr. I.G.N. Made Sugiana, Sp.M.(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melaksanakan penelitian di RS Bali Mandara Provinsi Bali. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh Konsulen Ilmu Kesehatan Mata serta dosen Pascasarjana Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree atas segala bimbingannya, seluruh teman sejawat residen di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan dan kerjasamanya selama
(9)
ini, serta seluruh paramedik di Poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Bali Mandara Provinsi Bali atas bantuan dan kerjasamanya dalam pengumpulan sampel penelitian.
Rasa syukur dan sujud kepada Ayahanda dan Ibunda penulis Prof. dr. H. Wasisdi Gunawan, Sp.M(k) dan Hj. Endah Tri Andari, Ayahanda dan Ibunda Mertua Drs. H. Marnio Pudjono, M.S (Alm.) dan Hj. Susilowati, S. IP (Almh.) yang telah memberikan doa, bekal pendidikan, motivasi dan semangat kepada penulis selama ini. Akhirnya kepada suami tercinta Caesar Aji Nugroho, M.Psi atas dorongan semangat dan pengertian selama penulis menyelesaikan pendidikan dan penelitian ini.
Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi perkembangan pelayanan kesehatan mata serta bagi pendidikan Ilmu Kesehatan Mata. Terakhir, semoga Sang Hyang Widhi Wasa – Tuhan Yang Maha Esa, selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Denpasar, Juli 2016
(10)
ABSTRAK
PEMBERIAN ASAM ASKORBAT ORAL MENGHAMBAT PENURUNAN DENSITAS SEL ENDOTEL KORNEA PASCA FAKOEMULSIFIKASI
Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan yang utama di dunia. Terapi katarak yang tersedia saat ini dengan tindakan pembedahan, paling modern saat ini adalah dengan metode fakoemulsifikasi. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah edema kornea, yang terjadi karena berkurangnya jumlah sel endotel. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh asam askorbat oral melindungi sel endotel kornea pada pasien katarak senilis imatur yang dilakukan fakoemulsifikasi.
Metoda penelitian ini merupakan suatu penelitian uji klinis, dengan rancangan Randomized, Double Blinded, Placebo-Controled Clinical Trial dengan Pre and Posttest Group Design di RSU Bali Mandara periode Januari – Desember 2015. Sebanyak 70 mata dilakukan pemeriksaan coefficient of variation (CV), persentase sel heksagonal dan densitas sel endotel kornea sebelum operasi menggunakan mikroskop spekular. Tiga puluh lima pasien diberikan asam askorbat 2000 mg dalam 4 kali dosis terbagi perhari selama 2 hari sebelum operasi, dan 35 pasien diberikan plasebo. Pasien di follow-up pada hari pertama pasca operasi, hari ke-8 dan hari ke-30 pasca operasi. Perubahan CV, persentase sel heksagonal dan densitas sel endotel kornea sebelum dan sesudah fakoemulsifikasi antara kelompok perlakuan dan kontrol dianalisis menggunakan repeated measurement Anova.
Kelompok yang diberikan asam askorbat, didapatkan rerata CV dan persentase sel heksagonal tidak berbeda bermakna dibandingkan plasebo. Perbedaan bermakna tampak pada densitas sel endotel kornea sentral sebelum operasi pada kelompok yang diberikan asam askorbat adalah 2541,94 ± 208,86 sel/mm2 menjadi 2218,91 ± 310,32 sel/mm2 pada hari ke-30 pasca operasi. Pada kelompok plasebo, sebelum operasi adalah 2523,96 ± 201,74 sel/mm2 menjadi 2125,00 ± 414,89 sel/mm2 pada hari ke-30 pasca operasi. Penurunan densitas sel endotel lebih sedikit pada kelompok askorbat dibanding plasebo. Hasil ini bermakna signifikan secara statistik (p=0,030), demikian juga pada densitas endotel kornea temporal menunjukkan hasil signifikan (p=0,035).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa asam askorbat memiliki efek proteksi pada densitas sel endotel kornea pasca fakoemulsifikasi. Kata kunci: katarak, asam askorbat, fakoemulsifikasi, sel endotel kornea
(11)
ABSTRACT
ORAL ASCORBIC ACID REDUCE CORNEAL ENDOTHELIAL CELL DENSITY LOSS POST PHACOEMULSIFICATION
Cataract is one of the main blindness cause. Cataract can only be treated by surgical procedure, the most modern procedure is phacoemulsification. The most common complication is corneal edema, caused by corneal endothelial cell decreased. This study aims to determine oral ascorbic acid effect protecting corneal endothelial cell on cataract senile patients underwent phacoemulsification. Method of this study is clinical trial randomized, double blinded, placebo controlled pre-posttest design at Bali Mandara Hospital periode January-December 2015. Seventy eyes underwent specular microscopy examination to evaluate coefficient of variation (CV), hexagonal cells percentage, and corneal endothelial cell density. Thirty five patients received ascorbic acid 2000 mg divided by 4 times dosage per day for 2 days before procedure, and 35 patients with placebo. Follow up done at first day post phacoemulsification, 8 days, and 30 days post phacoemulsification. Hexagonal cells percentage, CV, and density change before and after phacoemulsification were recorded and analysed by repeated measurement Anova.
Mean CV and hexagonal cell percentage on ascorbic acid group compared to placebo did not statistically significant. Significant difference shown on central corneal endothelial cells density before procedure on ascorbic group 2541,94 ± 208,86 cells/mm2 to 2218,91 ± 310,32 cells/mm2 on 30 days post phacoemulsification. Placebo group before phacoemulsification adalah 2523,96 ± 201,74 cells/mm2 to 2125,00 ± 414,89 cells/mm2 on day 30 post phacoemulsification. Corneal endothelial cell loss are lower on ascorbic acid group compare to placebo.There were statistically significant (p=0,030), and significant result also shown on temporal endothelial cells density (p=0,035).
Conclusion of this study is showed that ascorbic acid has protective effect on corneal endothelial cell density post phacoemulsification.
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
PRASYARAT GELAR ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
ABSTRAK ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……….…………..……… 1
1.2 Rumusan Masalah ………..… 6
1.3 Tujuan Penelitian …….………...… 6
1.4 Manfaat Penelitian ………..… 7
1.4.1 Manfaat teoritis ………...…………..… 7
1.4.1 Manfaat praktis ………...…………..… 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kornea ………..………..… 8
2.1.1 Anatomi dan Histologi Kornea …....……...….………..… 8
2.1.2 Fisiologi Endotel Kornea ….………...…….……..… 10
(13)
2.1.4 Perubahan Endotel Kornea pada Fakoemulsifikasi ...…… 12
2.1.5 Pengukuran Sel Endotel Kornea ………....… 15
2.2 Asam Askorbat (Vitamin C) ………..… 16
2.2.1 Definisi …....……...….………..………. 16
2.2.2 Waktu Paruh Asam Askorbat.………...…….………….… 16
2.2.3 Fungsi Antioksidan ……..………...… 17
2.2.4 Metabolisme dan Transportasi ke Mata…...……… 17
2.2.5 Bioavailabilitas ……….…..….………..… 18
2.2.6 Konsentrasi di Humor akuos ……… 18
2.2.7 Efek Samping Asam Askorbat ………. 19
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir ………….………..… 20
3.2 Konsep Penelitian ..………..… 21
3.3 Hipotesis Penelitian …..………...… 22
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ………..… 23
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ………...… 24
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ………...… 24
4.3.1 Populasi Penelitian ………....……...….………...… 25
4.3.2 Sampel Penelitian ………..…....……...….………...… 25
4.3.2.1 Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian ………...… 25
4.3.2.1.1 Kriteria Inklusi ………..………...… 25
4.3.2.1.2 Kriteria Eksklusi ………..……….… 26
4.3.2.1.3 Kriteria Drop Out ………. 26
4.3.2.2 Besar Sampel ………..…….……….…....… 26
4.3.2.3 Cara pemilihan sampel ………..…..……..……...… 26
4.4 Variabel Penelitian ………..… 27
4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel ..……...….………..… 27
(14)
4.5 Instrumen Penelitian ………..…..… 32
4.6 Prosedur Penelitian ………..……… 33
4.6.1 Tahap persiapan ..……...………....………..… 33
4.6.2 Pelaksanaan penelitian …....…………...…...….………..… 33
4.6.2.1 Pemeriksaan awal ………... 33
4.6.2.2 Prosedur tindakan ………..……..….…...… 35
4.6.2.3 Pemeriksaan pasca bedah katarak ………….…...… 37
4.7 Alur Penelitian …………...………..……… 37
4.8 Analisis Data ………..………..……… 39
BAB V HASIL 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ……… 40
5.2 Perbandingan Peningkatan Coefficient of Variations, Penurunan Sel Hexagonal dan Penurunan Densitas Sel Endotel Kornea Pasca Fakoemulsifikasi pada Kelompok yang Diberikan Asam Askorbat dan Plasebo ……… 42
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subjek Penelitian ……….. 51
6.2 Perubahan Coefficient of Variations, Persentase sel heksagonal, dan Densitas Sel Endotel Kornea Pasca Fakoemulsifikasi pada Pasien Katarak Senilis yang Diberikan Asam Askorbat dan Plasebo ………... 54
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ……… 60
7.2 Saran ……….. 60
DAFTAR PUSTAKA …………...……..……… 62
(15)
DAFTAR TABEL
5.1 Gambaran Karakteristik Subjek Berdasarkan Kelompok Penelitian……….. 42
5.2 Perbandingan Coefficient of Variations Kornea pada Setiap Waktu Pengukuran Berdasarkan Kelompok ……….. 43
5.3 Perbandingan Persentase Sel Hexagonal Kornea pada Setiap Waktu Pengukuran Berdasarkan Kelompok ……….. 45
5.4 Perbandingan Jumlah Densitas Sel Endotel Kornea pada Setiap Waktu Pengukuran Berdasarkan Kelompok……….. 47
5.5 Tabulasi silang Coefficient of Variations sel endotel kornea ………. 49
5.6 Tabulasi silang Persentase Sel Heksagonal Endotel Kornea ………. 50
(16)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Lapisan Kornea …………... 9
2.2 Mekanisme Pompa Endotel Kornea ……….. 11
2.3 Pemeriksaan Endotel Kornea dengan Alat Mikroskop Spekular ... 16
3.1 Bagan Konsep Penelitian ... 21
4.1 Skema Rancangan Penelitian ... 23
4.2 Skema Hubungan Antar Variabel ... 28
4.3 Skema Alur Penelitian ... 38
5.1 Profil Penelitian ………... 41
5.2 Perbandingan rerata densitas sel endotel kornea sentral antara kedua kelompok pada setiap pemeriksaan………. 48
(17)
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
U/S : Ultrasonik
ROS : Reactive Oxygen Species DNA : Deoxyribonucleic Acid SOD : Super Oxide Dismutase GPx : Glutation Peroxidase Cat : Catalase
IOL : Intra Ocular Lens
LASIK : Laser-Assisted in situ Keratomileusis PRK : Photorefractive keratectomy
(18)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian di RS Bali Mandara Provinsi Bali ... 65
Lampiran 2 Surat Keterangan Kelaikan Etik ... 65
Lampiran 3 Penjelasan Penelitian ... 67
Lampiran 4 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) ... 69
Lampiran 5 Status Oftalmologi Penderita………70
Lampiran 5 Tabel Induk Penelitian………..74
(19)
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan yang utama di dunia. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2002 menyebutkan angka kebutaan
diseluruh dunia sekitar 37 juta penduduk, dimana 17 juta penduduk atau sekitar 47,8% disebabkan oleh katarak, dan diperkirakan akan meningkat hingga 40 juta penduduk pada tahun 2020 (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012c). Terapi katarak yang tersedia saat ini adalah dengan tindakan pembedahan dengan tujuan mengoptimalkan tajam penglihatan. Prosedur operasi katarak paling modern saat ini adalah dengan metode fakoemulsifikasi. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah edema kornea. Edema kornea terjadi karena berkurangnya jumlah sel endotel di kornea (Beebe et al., 2010).
Katarak berdasar usia bisa dibagi menjadi katarak kongenital, juvenile, dan senilis. Katarak berdasar usia yang tersering adalah katarak senilis. Katarak senilis merupakan katarak yang terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Berdasarkan kekeruhannya katarak dapat dibagi kembali menjadi katarak imatur, matur dan hipermatur. Buratto membagi densitas kekerasan lensa menjadi 5 jenis. Grade 1 biasanya visus masih baik 6/12, tampak sedikit keruh dengan nukleus lunak. Grade 2 merupakan derajat nukleus dengan kekerasan ringan, nukleus mulai sedikit kekuningan dengan visus biasanya antara 6/12 sampai 6/30. Grade 3 paling sering ditemukan dengan nukleus tampak berwarna kuning dengan korteks
(20)
keabu-abuan dan visus biasanya antara 6/30 sampai 3/60 tergantung usia pasien. Grade 3 merupakan derajat nukleus dengan kekerasan medium. Grade 4 merupakan derajat nukleus yang keras, usia penderita biasanya lebih dari 65 tahun dengan visus antara 3/60 sampai 1/60. Grade 5 merupakan derajat nukleus sangat keras dengan visus biasanya 1/60 atau lebih jelek, nukleus sudah berwarna kecoklatan bahkan kehitaman. Pada penelitian ini dipilih katarak dengan grade 2 dan 3 karena nukleus dengan kekerasan ringan hingga medium mudah untuk dilakukan prosedur fakoemulsifikasi. Katarak dengan grade 4 dan 5 lebih sering dilakukan prosedur operasi dengan metode small incision (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012c; Soekardi & Hutauruk, 2004).
Kornea merupakan dinding depan bola mata yang transparan dan merupakan jaringan yang avaskular. Lapisan kornea dari luar ke dalam adalah epitel, membrana bowman, stroma, membrana descemet dan endotel. Endotel kornea adalah lapisan paling dalam dari kornea. Endotel kornea terdiri dari satu lapis sel endotelium. Sedikitnya terdapat tiga sistem transport ion yang telah teridentifikasi pada endotel kornea antara lain, pompa sodium-potasium yang menggerakkan ion sodium keluar dari sel dan bergantung pada enzim Na+,K+ -ATPase; pompa sodium-hidrogen yang menggerakkan ion sodium ke dalam sel; pompa bikarbonat yang mengangkut ion bikarbonat dari kornea ke humor akuos. Trauma pada endotel kornea akan menyebabkan dekompensasi endotel (Bourne, 2003; Gipson, 1994).
Fakoemulsifikasi merupakan prosedur bedah katarak menggunakan mesin. Teknik ini mempunyai beberapa kelebihan yaitu waktu operasi menjadi lebih
(21)
cepat, rehabilitasi visus yang cepat, dan luka insisi sehingga mempercepat pertumbuhan, dan mengurangi risiko astigmatisme. Mesin fakoemulsifikasi menggunakan energi ultrasound (U/S) yang merupakan suatu getaran dengan frekuensi sangat tinggi diatas frekuensi gelombang suara (Lundberg et al., 2005).
Gelombang U/S pada saat proses fakoemulsifikasi menyebabkan timbulnya pembentukan radikal-radikal hidroksi dan atom oksigen. Radikal hidroksi merupakan molekul oksigen reaktif paling poten. Radikal bebas atau oksidan yang berbahaya di dalam tubuh adalah yang berasal dari derivate oksigen, seringkali disebut Reactive Oxygen Species (ROS). Radikal bebas memiliki efek oksidatif yang merusak bagi tubuh. Tubuh membutuhkan antioksidan untuk meredam efek radikal bebas di dalam tubuh (Murano et al., 2008; Nayak & Jain, 2009).
Vitamin merupakan nutrien esensial yang dibutuhkan oleh tubuh. Pada umumnya vitamin tidak dapat disintesis oleh tubuh manusia, sehingga harus mendapat vitamin dari asupan dan makanan yang cukup. Vitamin C atau asam askorbat merupakan vitamin yang larut air. Asam askorbat disebut antioksidan karena berfungsi sebagai donor elektron, sehingga dapat mencegah senyawa lain mengalami oksidasi (Padayatty et al., 2003). Karena sifatnya yang larut air, asam askorbat dapat bekerja di luar dan di dalam untuk melawan efek radikal bebas. Asam askorbat merupakan sumber elektron yang baik sehingga dapat memberikan elektron pada radikal bebas. Asam askorbat juga melindungi DNA sel dari kerusakan akibat radikal bebas dan mutagen (Takahashi, 2005; Walkow et al., 2000).
(22)
Mata mendapat asupan asam askorbat dari plasma. Asam askorbat diangkut secara aktif dari plasma melalui badan silier kemudian masuk ke humor akuos. Pengiriman zat-zat dari plasma melalui humor akuos ke kornea anterior membutuhkan waktu 5 jam, hal ini menunjukkan sekresi humor akuos yang lamban dan dapat berfungsi sebagai pertahanan difusi stroma (Delamere & Williams, 1987).
Konsentrasi asam askorbat di humor akuos 10-15 kali lebih tinggi daripada di serum dan plasma. Konsentrasi asam askorbat ini akan berkurang dengan semakin bertambahnya usia. Pada penelitian sebelumnya, diberikan asam askorbat 2g per oral, didapatkan konsentrasi asam askorbat meningkat dua kali lipat di humor akuos (Iqbal et al., 1999).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Bellarinatasari et al. (2011) yang melibatkan 66 mata melaporkan bahwa pemberian asam askorbat 2 gram yang diberikan dalam dosis terbagi dengan dosis 500mg diberikan 4 kali sebelum operasi mengurangi penurunan densitas endotel kornea pasca operasi fakoemulsifikasi. Penelitian tersebut bermakna secara statistik tetapi tidak bermakna secara klinis (Bellarinatasari et al., 2011). Iqbal et al. (1999) membandingkan konsentrasi asam askorbat di humor akuos, plasma dan serum setelah pemberian oral sebanyak 1 gr, 1,5 gr, 2 gr, 3 gr, dan 5 gr pada penderita yang akan menjalani operasi katarak. Asam askorbat diberikan pada malam sebelum dan pagi hari saat akan dilakukan operasi. Hasilnya pada pemberian asam askorbat 1 gr, konsentrasi di humor akuos lebih tinggi (270±62 mg/dL) daripada kelompok control (254±119 mg/dL) tetapi tidak berbeda secara statistic. Pada
(23)
pemberian 2 gram, konsentrasi asam askorbat meningkat 2 kali lipat di humor akuos, 3 kali lipat di plasma dan 2 kali lipat di serum sedangkan pada pemberian 5 gram, konsentrasi asam askorbat lebih rendah dari saat pemberian 2 gram di humor akuos, plasma dan serum (Iqbal et al., 1999).
Beberapa penelitian yang mengevaluasi persentase kehilangan sel endotel kornea pasca fakoemulsifikasi telah dilaporkan. Hasil penelitian tersebut melaporkan rata-rata kehilangan sel endotel kornea pasca fakoemulsifikasi nilainya bervariasi antara 4% hingga 25%. Sel endotel tidak dapat terbentuk kembali, dan hanya bisa dikompensasi dengan migrasi dari sel-sel endotel sekitarnya ( Walkow et al., 2000; Bellarinatasari et al., 2011; Hwang, 2015).
Penelitian untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan bermakna pada jumlah kehilangan sel endotel, koefisien variasi dan persentase heksagonalitas sel endotel kornea pada pemberian asam askorbat oral dengan waktu follow-up
selama 1 bulan belum pernah dipublikasikan. Saat ini fakoemulsifikasi merupakan teknik bedah katarak yang paling popular dilakukan. Atas dasar itulah penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat mengetahui perbedaan jumlah kehilangan sel, koefisien variasi dan persentase heksagonalitas endotel kornea pasca fakoemulsifikasi antara pasien katarak senilis yang diberikan asam askorbat 2 gram dibandingkan dengan pasien katarak senilis tanpa konsumsi asam askorbat.
I.2. Rumusan Masalah
Apakah pemberian terapi asam askorbat oral mengurangi penurunan densitas sel endotel kornea, peningkatan koefisien variasi, dan penurunan
(24)
persentase sel heksagonal pada pasien katarak senilis imatur pasca fakoemulsifikasi dibandingkan plasebo?
I.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi asam askorbat oral terhadap penurunan densitas sel endotel kornea, peningkatan koefisien variasi dan penurunan persentase sel heksagonal pada pasien katarak senilis imatur pasca fakoemulsifikasi dibandingkan plasebo.
I.4. Manfaat Penelitian
I.4.1. Manfaat Teoritis
Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang perubahan lapisan sel endotel kornea pada pasien katarak senilis yang diberikan asam askorbat oral dibandingkan plasebo.
I.4.2. Manfaat Praktis
1. Dapat digunakan sebagai pertimbangan mengenai peran terapi asam askorbat dalam melindungi sel endotel kornea akibat operasi fakoemulsifikasi.
2. Dapat digunakan sebagai awal dari sebuah pohon penelitian sehingga nantinya dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengurangi komplikasi kerusakan sel endotel kornea pasca tindakan bedah katarak.
(25)
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kornea
2.1.1 Anatomi dan Histologi Kornea
Kornea adalah jaringan transparan dan avaskular yang menutupi bagian depan bola mata. Kornea dibatasi oleh konjungtiva di perifer bagian anterior kornea dan oleh anyaman trabekulum di perifer bagian posterior. Kornea anterior memiliki diameter vertikal 10,6 mm dan diameter horisontal 11,7 mm. Kornea bagian posterior memiliki diameter 11,7 mm. Ketebalan kornea berbeda antara bagian sentral dengan bagian perifer.Bagian sentral kornea memiliki ketebalan 0,5 mm sedangkan bagian perifer memiliki ketebalan 0,7 mm. Kornea terdiri dari 5 lapisan. Lapisan-lapisan kornea tersebut dari bagian anterior ke posterior yaitu lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma, membrana Descemet, dan lapisan endotel (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a,b).
Struktur kornea terdiri dari 5 lapisan. Lapisan pertama adalah epitel yang merupakan sel epitel skuamosa berlapis nonkeratinisasi. Lapisan tersebut terdiri dari 5 sampai 6 lapis sel epitel yang berbeda, yaitu sel-sel superfisial, wing cells, dan satu lapis sel-sel basal kolumnar. Tebal lapisan tersebut merupakan 10% dari ketebalan seluruh kornea.Lapisan yang kedua adalah membran Bowman yang terdiri dari jaringan kolagen tipe IV dan proteoglikan. Lapisan ini merupakan bagian anterior dari stroma kornea.Stroma kornea adalah bagian yang mengisi lebih dari 90% ketebalan kornea. Lapisan tersebut terdiri dari matriks
(26)
ekstraselular, keratosit,dan jaringan saraf. Lapisan selanjutnya adalah membran Descemet. Ketebalan membran Descemet bertambah seiring bertambahnya usia. Pada dewasa memiliki ketebalan 10-12 µm. Lapisan yang terakhir adalah satu lapis sel endotel berbentuk poligonal yang melapisi bagian posterior epitel (Gondowiardjo, 1992; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a).
Gambar 2.1 Lapisan Kornea (American Academy of Ophthalmology Staff,
2011-2012b)
Jumlah endotel pada saat lahir adalah 5.000/mm2, sedangkan pada saat dewasa jumlahnya berkurang menjadi 3.000/mm2. Kornea merupakan jaringan
avaskular. Suplai darah hanya terdapat pada bagian limbus yang berasal dari arteri siliaris anterior yang merupakan cabang arteri oftalmika (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a,b; Gipson, 1994).
2.1.2 Fisiologi Endotel Kornea
Endotel kornea terdiri dari satu lapis sel endotelium. Pada permukaan apikal sel-sel endotelium yang berhubungan langsung dengan akuos humor
(27)
terdapat banyak sekali mikrovilli. Sel-sel endotelium yang muda memiliki nukleus yang besar dan banyak sekali mitokondria (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Endotel kornea memiliki dua fungsi utama. Pertama, sebagai jalur untuk penyerapan nutrisi kornea dan pembuangan sisa metabolisme melalui difusi dan mekanisme transport aktif. Kedua, mengatur hidrasi kornea dan mempertahankan transparansi kornea. Fungsi endotel ini dilakukan karena adanya pompa metabolik aktif di endotel kornea (Sheng, 2006).
Sedikitnya terdapat tiga sistem transport ion yang telah teridentifikasi antara lain, pompa sodium-potasium yang menggerakkan ion sodium keluar dari sel dan bergantung pada enzim Na+,K+-ATPase; pompa sodium-hidrogen yang menggerakkan ion sodium ke dalam sel; pompa bikarbonat yang mengangkut ion bikarbonat dari kornea ke humor akuos (Bonnano, 2003; Sheng, 2006). Pemindahan ion secara aktif yang dilakukan oleh sel-sel endotelium ini mengakibatkan terjadinya pemindahan air dari stroma kornea dan menjaga kondisi relatif dehidrasi stroma kornea dan tranparansi kornea. Trauma pada endotel kornea akan menyebabkan dekompensasi endotel (Newell, 1986; Gipson, 1994). Mitosis pada sel-sel endotel pada manusia sangat terbatas, sehingga tidak dapat mengkompensasi kerusakan yang terjadi (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b). (Bonnano, 2003)
(28)
Gambar 2.2 Mekanisme Pompa Endotel Kornea (Meter et al., 2003)
Transparansi kornea tergantung dari kadar air pada stroma kornea sekitar 78%. Apabila fungsi endotel terganggu, maka humor akous berdifusi masuk ke stroma dan menyebabkan edema kornea (Meter et al., 2003).
2.1.3 Morfologi Endotel Kornea
Morfologi endotel kornea dapat dideskripsikan dalam tiga aspek yaitu: densitas sel endotel yang merupakan jumlah sel endotel per millimeter persegi; koefisien variasi merupakan standar deviasi rata luas sel dibagi dengan rata-rata luas sel; dan persentase sel heksagonal. Ketiga aspek tersebut berfungsi sebagai indikator pertama apabila didapatkan abnormalitas fungsi kornea (edema kornea). Sel endotel kornea tidak dapat mengalami regenerasi. Sel di sekitar area yang rusak akan membesar dan menyebar (hyperplasia dan mobilisasi) untuk menutupi area sel yang rusak sehingga bentuk dan ukuran menjadi lebih irregular (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b; Suzuki et al., 2006).
Pada sebagian besar kasus klinis, disfungsi endotel dihubungkan dengan kehilangan sel endotel kornea. Pada kasus katarak yang dilakukan fakoemulsifikasi usia tua, diameter pupil kecil, stadium katarak matur, volume cairan irigasi besar, tipe IOL dan banyaknya total energi U/S yang diberikan serta
(29)
semakin lama operasi yang dilakukan semakin meningkatkan resiko kehilangan sel endotel (Nayak & Jain, 2009; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012c). Densitas endotel yang kurang dari 1000 sel/mm2 dapat menyebabkan fungsi endotel terganggu, sedangkan jika densitas endotel kurang dari 500 sel/mm2 bisa dipastikan akan terjadi dekompensasi endotel dan edema kornea permanen atau keratopati bulosa (Soekardi & Hutauruk, 2004). Penurunan densitas sel endotel biasanya disertai juga dengan peningkatan koefisien variasi dan penurunan jumlah sel heksagonal. Dari berbagai penelitian mengenai endotel kornea normal dapat disimpulkan bahwa koefisien variasi memiliki rentang 0.22-0.31 dan persentase sel heksagonal lebih dari 60% (Thomas, 2009).
2.1.4. Perubahan Endotel Kornea pada Fakoemulsifikasi
Kerusakan sel endotel kornea pada proses fakoemulsifikasi ini dapat terjadi melalui beberapa cara. Beberapa peneliti menduga adanya beberarpa mekanisme antara lain efek mekanik ultrasonik, trauma fisik akibat fragmen-fragmen lensa, gelembung-gelembung udara yang keluar dari phaco-tip, energi panas, iregularitas osmotik akibat cairan irigasi, dan kerusakan oksidasi oleh radikal-radikal bebas. Efek gelombang ini pada humor akuos menginduksi timbulnya kavitasi yang secara langsung menyebabkan disintegrasi molekul air (sonolisis air) sehingga menghasilkan pembentukan radikal-radikal hidroksi dan atom hidrogen. Radikal hidroksi ini merupakan molekul oksigen reaktif yang paling poten (Takahashi, 2005; Murano et al., 2008; Ganekal & Nagarajappa, 2014).
(30)
Energi U/S menghasilkan pembentukan atom hidrogen dan radikal-radikal hidroksil melalui sonolisis H2O. Reaksi ini terjadi akibat suhu tinggi yang
terlokalisir dan tekanan-tekanan yang dilepas gelembung udara kecil yang kolap dalam media cair. Reaksi sekunder yang melibatkan atom hidrogen, radikal hidroksil dan molekul O2 dalam medium, menyebabkan pembentukan
radikal-radikal superoksida dan hidrogen peroksida (Takahashi, 2005) yang merupakan suatu bentuk radikal bebas. Energi U/S memberi 2 macam pengaruh pada jaringan, yaitu efek termal dan efek non terma. Efek termal disebabkan oleh konversi energi ultrasonik menjadi energi panas. Dalam fakoemulsifikasi, efek ini menyebabkan efek terbakar pada kornea (Takahashi, 2005; Munoz et al., 2010).
Radikal bebas memiliki dampak oksidatif merusak yang merugikan tubuh. Sehingga untuk meredam efek negatif radikal bebas tersebut dibutuhkan senyawa anti oksidan. Radikal bebas dapat mengubah permeabilitas membran sel, sehingga terjadi kebocoran dan akhirnya kematian sel (Murano et al., 2008).
Radikal bebas dapat diredam oleh senyawa antioksidan. Antioksidan terdiri dari antioksidan internal dan antioksidan eksternal. Antioksidan internal disebut juga antioksidan primer, yaitu antioksidan yang diproduksi oleh tubuh sendiri. Secara alami tubuh mampu menghasilkan antioksidan sendiri,tetapi kemampuan inipun ada batasnya. Sejalan bertambahnya usia, kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan alami akan semakin berkurang. Hal inilah yang menyebabkan stres oksidatif, yaitu suatu keadaan dimana jumlah radikal bebas melebihi kapasitas kemampuan netralisasi antioksidan. Antioksidan internal bekerja dengan cara menangkal terbentuknya radikal bebas. Yang termasuk
(31)
antioksidan internal adalah Super Oxide Dismutase (SOD), Glutation Peroxidase
(GPx), Katalase (Cat). Antioksidan eksternal disebut juga antioksidan sekunder, yaitu antioksidan yang berasal dari makanan atau didapat dari luar tubuh. Tidak dihasilkan oleh tubuh tetapi berasal dari makanan seperti vitamin A, beta karoten, vitamin C, vitamin E, Selenium, Flavonoid dan lain-lain. Antioksidan eksternal bekerja dengan cara meredam atau menetralisir antioksidan yang sudah terbentuk (Bleau et al., 1998; Takahashi, 2005).
Penelitian mengenai densitas endotel, koefisien variasi, dan persentase sel heksagonal pada pasien katarak senilis imatur yang menjalani operasi fakoemulsifikasi dengan pemberian asam askorbat 2 gram selama dua hari sebelum operasi belum pernah dilakukan.
2.1.5 Pengukuran Sel Endotel Kornea
Morfologi endotel kornea dapat diukur dengan alat-alat yang berbeda diantaranya mikroskop spekular kontak, mikroskop spekular non kontak, dan mikroskop konfokal (Sheng, 2006).
Mikroskop spekular merupakan alat fotografis non invasif yang digunakan untuk menilai perubahan lapisan kornea dengan pembesaran 100 kali lebih besar dibandingkan slit-lamp biomikroskopi, terutama digunakan untuk memotret endotel kornea. Gambar kemudian dapat dianalisis sehubungan dengan ukuran sel, bentuk, densitas, dan distribusinya (Kanski, 2007; Gronkowska-Seravin & Piorkowski, 2014).
(32)
Prinsip kerja mikroskop spekular ini adalah ketika sinar cahaya mikroskop spekular melewati kornea, maka akan menyentuh permukaan kornea dengan regio optik yang berbeda. Beberapa cahaya akan dipantulkan kembali ke fotomikroskop ketika sudut refleksi sama dengan sudut datang. Cahaya spekular ini ditangkap oleh fotomikroskop dan membentuk sebuah gambar yang dapat difoto dan dianalisis (Kanski, 2007)
Alat pengukuran endotel kornea dan cara analisis dari gambar telah dievaluasi secara luas. Mikroskop spekular merupakan alat yang reliabel dan produksibel dengan alat kalibrasi yang sesuai (Sheng, 2006)
Gambar 2.3 Pemeriksaan endotel kornea dengan alat mikroskop spekular
2.2. Asam Askorbat (Vitamin C)
2.2.1. Definisi
Vitamin C atau asam askorbat merupakan vitamin yang larut dalam air. Asam askorbat bersifat tidak stabil, mudah teroksidasi oleh asam, dan dapat dihancurkan oleh oksigen, alkali, dan suhu yang tinggi. Manusia tidak dapat mensintesis asam askorbat diduga karena tidak mempunyai enzim aktif (Iqbal et al., 1999).
(33)
Orang dewasa rata-rata memiliki simpanan asam askorbat dalam tubuh sebesar 1,2-2,0 gram yang dapat dipertahankan dengan asupan asam askorbat 75mg/hari. Sekitar 140 mg/hari asam askorbat dalam bentuk jenuh disimpan dalam tubuh. Rata-rata waktu paruh asam askorbat pada manusia dewasa adalah sekitar 10-20 hari, dan mengalami perputaran sebesar 1 mg/kgBB dan dalam simpanan tubuh 22 mg/kgBB, bila konsentrasi askorbat plasma sebesar 50 µmol/L. Oleh karena itu tubuh perlu mendapat asupan tambahan asam askorbat secara teratur melalui diet atau tablet untuk menjaga asam askorbat dalam tubuh (Purcell et al., 1954).
2.2.3. Fungsi Antioksidan
Asam askorbat disebut sebagai antioksidan karena berfungsi sebagai donor electron, sehingga dapat mencegah senyawa lain mengalami oksidasi. Saat asam askorbat melepaskan electron, ia berubah menjadi radikal askorbil. Dibandingkan dengan radikal bebas lain, radikal askorbil relative sabil dengan waktu paruh 10-5 detik dan tidak reaktif. Radikal bebas yang merugikan dapat berinteraksi dengan asam askorbat sehingga radikal bebas yang merugikan tersebut mengalami reduksi dan asam askorbat berubah menjadi radikal askorbil yang kurang reaktif. Proses reduksi radikal bebas reaktif menjadi senyawa yang kurang reaktif ini disebut free radical scavenging. Asam askorbat merupakan free radical
scavenger yang baik (Padayatty et al., 2003; Bleau et al., 1998).
2.2.4. Metabolisme dan transportasi ke mata
Manusia tidak dapat mensintesis asam askorbat sendiri, sehingga membutuhkan asupan dari luar. Terdapat beberapa pendekatan mengenai
(34)
mekanisme asupan asam askorbat pada mata, yang pertama adalah asam askorbat disintesis oleh lensa, yang kedua asam askorbat di transportasi aktif melalui epitel badan siliar dalam bentuk teroksidasi misalnya sebagai asam dehidroaskorbat yang kemudian diubah menjadi asam askorbat oleh lensa, dan yang ketiga adalah asam askorbat terkonsentrasi di epitel badan siliar yang kemudian berdifusi ke bilik mata belakang (Purcell et al., 1954).
Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa asam askorbat dibawa ke epitel badan siliar secara aktif melalui transport Na+ -dependent , dan proses efluks melalui difusi pasif dari konsentrasi asam askorbat tinggi di plasma ke konsentrasi rendah di humor akuos (Delamere & Williams, 1987).
2.2.5. Bioavailabilitas
Bioavailabilitas adalah mengukur efisiensi absorbs suatu zat/obat dalam traktus gastrointestinal. Sebagian besar peneliti memperkirakan bioavailabilitas asam askorbat dengan cara tidak langsung, hal ini disebabkan karena sulitnya mendapatkan data bioavailabilitas sesungguhnya (Iqbal et al., 1999).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Health (NIH) dengan memperhitungkan beberapa factor. Dari penelitian tersebut dosis asam askorbat 200 mg per hari diminum dalam dosis terbagi akan mendekati bioavailabilitas lengkap. Data bioavailabilitas sesungguhnya untuk asam askorbat didasarkan pada pemberian saat puasa. Tidak ada bioavailabilitas sesungguhnya asam askorbat bila diberikan bersama makanan (Iqbal et al., 1999; Peponis et al., 2002).
(35)
2.2.6. Konsentrasi di humor akuos
Konsentrasi asam askorbat di humor akuos adalah yang paling tinggi disbanding konsentrasi asam askorbat di plasma dan serum. Konsentrasi asam askorbat sebesar 10-15 kali lebih tinggi di humor akuos daripada konsentrasi di plasma. Konsentrasi maksimal asam askorbat dalam humor akuos adalah 60-85 mg/dL, sedangkan normal konsentrasi dalam serum 0,6-2,0 mg/dL (Iqbal et al., 1999).
2.2.7. Efek Samping Asam Askorbat
Asam askorbat memiliki efek toksik ringan, dan efek sampingnya berhubungan dengan dosis. Diare atau keluhan perut kembung dapat terjadi bila minum beberapa gram sekaligus, tanpa adanya indikasi pemakaian asam askorbat pada dosis tersebut. Efek samping umumnya tidak serius dan dapat membaik dengan mengurangi asupan asam askorbat. Tidak ada data yang konsisten terhadap efek kesehatan yang serius mengenai konsumsi asam askorbat pada manusia (Hickey et al., 2008).
(1)
Energi U/S menghasilkan pembentukan atom hidrogen dan radikal-radikal hidroksil melalui sonolisis H2O. Reaksi ini terjadi akibat suhu tinggi yang terlokalisir dan tekanan-tekanan yang dilepas gelembung udara kecil yang kolap dalam media cair. Reaksi sekunder yang melibatkan atom hidrogen, radikal hidroksil dan molekul O2 dalam medium, menyebabkan pembentukan radikal-radikal superoksida dan hidrogen peroksida (Takahashi, 2005) yang merupakan suatu bentuk radikal bebas. Energi U/S memberi 2 macam pengaruh pada jaringan, yaitu efek termal dan efek non terma. Efek termal disebabkan oleh konversi energi ultrasonik menjadi energi panas. Dalam fakoemulsifikasi, efek ini menyebabkan efek terbakar pada kornea (Takahashi, 2005; Munoz et al., 2010).
Radikal bebas memiliki dampak oksidatif merusak yang merugikan tubuh. Sehingga untuk meredam efek negatif radikal bebas tersebut dibutuhkan senyawa anti oksidan. Radikal bebas dapat mengubah permeabilitas membran sel, sehingga terjadi kebocoran dan akhirnya kematian sel (Murano et al., 2008).
Radikal bebas dapat diredam oleh senyawa antioksidan. Antioksidan terdiri dari antioksidan internal dan antioksidan eksternal. Antioksidan internal disebut juga antioksidan primer, yaitu antioksidan yang diproduksi oleh tubuh sendiri. Secara alami tubuh mampu menghasilkan antioksidan sendiri,tetapi kemampuan inipun ada batasnya. Sejalan bertambahnya usia, kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan alami akan semakin berkurang. Hal inilah yang menyebabkan stres oksidatif, yaitu suatu keadaan dimana jumlah radikal bebas melebihi kapasitas kemampuan netralisasi antioksidan. Antioksidan internal bekerja dengan cara menangkal terbentuknya radikal bebas. Yang termasuk
(2)
antioksidan internal adalah Super Oxide Dismutase (SOD), Glutation Peroxidase (GPx), Katalase (Cat). Antioksidan eksternal disebut juga antioksidan sekunder, yaitu antioksidan yang berasal dari makanan atau didapat dari luar tubuh. Tidak dihasilkan oleh tubuh tetapi berasal dari makanan seperti vitamin A, beta karoten, vitamin C, vitamin E, Selenium, Flavonoid dan lain-lain. Antioksidan eksternal bekerja dengan cara meredam atau menetralisir antioksidan yang sudah terbentuk (Bleau et al., 1998; Takahashi, 2005).
Penelitian mengenai densitas endotel, koefisien variasi, dan persentase sel heksagonal pada pasien katarak senilis imatur yang menjalani operasi fakoemulsifikasi dengan pemberian asam askorbat 2 gram selama dua hari sebelum operasi belum pernah dilakukan.
2.1.5 Pengukuran Sel Endotel Kornea
Morfologi endotel kornea dapat diukur dengan alat-alat yang berbeda diantaranya mikroskop spekular kontak, mikroskop spekular non kontak, dan mikroskop konfokal (Sheng, 2006).
Mikroskop spekular merupakan alat fotografis non invasif yang digunakan untuk menilai perubahan lapisan kornea dengan pembesaran 100 kali lebih besar dibandingkan slit-lamp biomikroskopi, terutama digunakan untuk memotret endotel kornea. Gambar kemudian dapat dianalisis sehubungan dengan ukuran sel, bentuk, densitas, dan distribusinya (Kanski, 2007; Gronkowska-Seravin & Piorkowski, 2014).
(3)
Prinsip kerja mikroskop spekular ini adalah ketika sinar cahaya mikroskop spekular melewati kornea, maka akan menyentuh permukaan kornea dengan regio optik yang berbeda. Beberapa cahaya akan dipantulkan kembali ke fotomikroskop ketika sudut refleksi sama dengan sudut datang. Cahaya spekular ini ditangkap oleh fotomikroskop dan membentuk sebuah gambar yang dapat difoto dan dianalisis (Kanski, 2007)
Alat pengukuran endotel kornea dan cara analisis dari gambar telah dievaluasi secara luas. Mikroskop spekular merupakan alat yang reliabel dan produksibel dengan alat kalibrasi yang sesuai (Sheng, 2006)
Gambar 2.3 Pemeriksaan endotel kornea dengan alat mikroskop spekular
2.2. Asam Askorbat (Vitamin C)
2.2.1. Definisi
Vitamin C atau asam askorbat merupakan vitamin yang larut dalam air. Asam askorbat bersifat tidak stabil, mudah teroksidasi oleh asam, dan dapat dihancurkan oleh oksigen, alkali, dan suhu yang tinggi. Manusia tidak dapat mensintesis asam askorbat diduga karena tidak mempunyai enzim aktif (Iqbal et al., 1999).
(4)
Orang dewasa rata-rata memiliki simpanan asam askorbat dalam tubuh sebesar 1,2-2,0 gram yang dapat dipertahankan dengan asupan asam askorbat 75mg/hari. Sekitar 140 mg/hari asam askorbat dalam bentuk jenuh disimpan dalam tubuh. Rata-rata waktu paruh asam askorbat pada manusia dewasa adalah sekitar 10-20 hari, dan mengalami perputaran sebesar 1 mg/kgBB dan dalam simpanan tubuh 22 mg/kgBB, bila konsentrasi askorbat plasma sebesar 50 µmol/L. Oleh karena itu tubuh perlu mendapat asupan tambahan asam askorbat secara teratur melalui diet atau tablet untuk menjaga asam askorbat dalam tubuh (Purcell et al., 1954).
2.2.3. Fungsi Antioksidan
Asam askorbat disebut sebagai antioksidan karena berfungsi sebagai donor electron, sehingga dapat mencegah senyawa lain mengalami oksidasi. Saat asam askorbat melepaskan electron, ia berubah menjadi radikal askorbil. Dibandingkan dengan radikal bebas lain, radikal askorbil relative sabil dengan waktu paruh 10-5 detik dan tidak reaktif. Radikal bebas yang merugikan dapat berinteraksi dengan asam askorbat sehingga radikal bebas yang merugikan tersebut mengalami reduksi dan asam askorbat berubah menjadi radikal askorbil yang kurang reaktif. Proses reduksi radikal bebas reaktif menjadi senyawa yang kurang reaktif ini disebut free radical scavenging. Asam askorbat merupakan free radical scavenger yang baik (Padayatty et al., 2003; Bleau et al., 1998).
2.2.4. Metabolisme dan transportasi ke mata
Manusia tidak dapat mensintesis asam askorbat sendiri, sehingga membutuhkan asupan dari luar. Terdapat beberapa pendekatan mengenai
(5)
mekanisme asupan asam askorbat pada mata, yang pertama adalah asam askorbat disintesis oleh lensa, yang kedua asam askorbat di transportasi aktif melalui epitel badan siliar dalam bentuk teroksidasi misalnya sebagai asam dehidroaskorbat yang kemudian diubah menjadi asam askorbat oleh lensa, dan yang ketiga adalah asam askorbat terkonsentrasi di epitel badan siliar yang kemudian berdifusi ke bilik mata belakang (Purcell et al., 1954).
Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa asam askorbat dibawa ke epitel badan siliar secara aktif melalui transport Na+ -dependent , dan proses efluks melalui difusi pasif dari konsentrasi asam askorbat tinggi di plasma ke konsentrasi rendah di humor akuos (Delamere & Williams, 1987).
2.2.5. Bioavailabilitas
Bioavailabilitas adalah mengukur efisiensi absorbs suatu zat/obat dalam traktus gastrointestinal. Sebagian besar peneliti memperkirakan bioavailabilitas asam askorbat dengan cara tidak langsung, hal ini disebabkan karena sulitnya mendapatkan data bioavailabilitas sesungguhnya (Iqbal et al., 1999).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Health (NIH) dengan memperhitungkan beberapa factor. Dari penelitian tersebut dosis asam askorbat 200 mg per hari diminum dalam dosis terbagi akan mendekati bioavailabilitas lengkap. Data bioavailabilitas sesungguhnya untuk asam askorbat didasarkan pada pemberian saat puasa. Tidak ada bioavailabilitas sesungguhnya asam askorbat bila diberikan bersama makanan (Iqbal et al., 1999; Peponis et al., 2002).
(6)
2.2.6. Konsentrasi di humor akuos
Konsentrasi asam askorbat di humor akuos adalah yang paling tinggi disbanding konsentrasi asam askorbat di plasma dan serum. Konsentrasi asam askorbat sebesar 10-15 kali lebih tinggi di humor akuos daripada konsentrasi di plasma. Konsentrasi maksimal asam askorbat dalam humor akuos adalah 60-85 mg/dL, sedangkan normal konsentrasi dalam serum 0,6-2,0 mg/dL (Iqbal et al., 1999).
2.2.7. Efek Samping Asam Askorbat
Asam askorbat memiliki efek toksik ringan, dan efek sampingnya berhubungan dengan dosis. Diare atau keluhan perut kembung dapat terjadi bila minum beberapa gram sekaligus, tanpa adanya indikasi pemakaian asam askorbat pada dosis tersebut. Efek samping umumnya tidak serius dan dapat membaik dengan mengurangi asupan asam askorbat. Tidak ada data yang konsisten terhadap efek kesehatan yang serius mengenai konsumsi asam askorbat pada manusia (Hickey et al., 2008).