Kajian Musik dan Teks Ende Tarombo Sonak Malela Pada Upacara Perkawinan Pomparan Raja Sonak Malela Di Medan
BAB II
KEBUDAYAAN MASYARAKAT BATAK TOBA DAN SEJARAH
POMPARAN RAJA SONAK MALELA DI KOTA MEDAN
Pada bab ini akan dibahas identifikasi yaitu tentang latar belakang dan sejarah suku Batak Toba di Kota Medan, Letak Geografis, Latar belakang historis penduduk dan masyarakat Kota Medan, Mata pencaharian masyarakat Batak Toba di Kota Medan, Sistem Kekerabatan Batak Toba di Kota Medan, Pomparan Raja
Sonak Malela, Acara-acara tradisional Sonak Malela, Tempat dan Porsi acara adat
Sonak Malela dan Seni yang terdapat dalam pesta adat perkawinan Sonak Malela.
2.1. Identifikasi
Suku Batak Toba yang berdomisili di Medan merupakan suku Batak Toba yang datang dan bermigrasi dari wilayah Tapanuli11 atau daerah Toba12. Menurut Warneck kata Batak berasal dari kata mambatak yang berarti melucut kuda agar berlari lebih cepat. Banyak pendapat tentang asal orang Batak, diantaranya bahwa orang Batak berasal dari India yang pergi ke Timur menuju Tanah Birma, Vietnam dan Kamboja. Dari sana melalui Malaka dan Siam berlayar ke Semenanjung Malaka lalu menyebar ke Tanah Batak. Tanah Batak terletak di Pulau Sumatera diantara ± ½º -3½º LU dan 97½º -100º BT. Luas Tanah Batak ±50 Km² yang terdiri dari dataran tinggi dengan barisan pegunungan yang disebut pegunungan Bukit Barisan.
11
Menurut Vergouwen(1968) berdasarkan aspek geografis Tapanuli dibagi tiga wilayah yaitu: Samosir, Humbang, Toba Holbung, Silindung, Habinsaran.
12
Toba mendiami daerah induk meliputi tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran tinggi Toba, Asahan, Silindung, antara Daerah Barus dan Sibolga, pegunungan Pahae (Bangun, 1980;95)
(2)
Suku Batak adalah sebuah terma kolektif dalam mengidentikkan beberapa suku bangsa yang menghuni daerah Tapanuli13 dan Sumatera Timur. Suku Batak terdiri dari beberapa sub suku yaitu: Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Angkola, Mandailing. Suku Batak Toba yang merupakan sub-etnis Batak sebagian besar bermukim di Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Samosir yang merupakan asal mula suku Batak Toba. Etnis Batak Toba atau sering dijuluki dengan suku Toba, diyakini masyarakat Batak Toba merupakan keterunan Siraja Batak yang menurut mitos turun dari dunia atas,
banua ginjang dan tinggal di Pusuk Buhit di Desa Sianjur Mulamula (Vergouwen
1964: 64). Oleh suku Batak, Siraja Batak diyakini adalah leluhur suku Batak yang tersebar ke semua penjuru. Suku Batak Toba mempercayai bahwa Mula Jadi
Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) adalah pencipta alam semesta.14
Tentang sejarah masuknya suku Batak Toba ke Kota Medan tidak lepas dari proses migrasi15. Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain. Pada dasarnya masyarakat Batak Toba melakukan migrasi sama halnya dengan suku lain. Migrasi Batak Toba khususnya ke kota Medan, dimulai sekitar tahun 1910.16 Dalam kehidupan sehari-hari suku Batak Toba memiliki keinginan dan menganggap bahwa setiap orang yang sudah dewasa dan dianggap mandiri diharapkan mencari pekerjaan yang lebih layak dan biasanya akan pergi ke Kota.
14 Lihat Buku Sejarah Sastra Batak karya Dra. Peraturen Sukapiring,S.U. dan Drs. Jhonson Pardosi, 2014
15
Migrasi menurut Evers (1982:125) adalah pendatang dari luar kota dan bertempat tinggal di kota dan bekerja disana.
16
(3)
Dalam suku Batak Toba disebutkan dengan istilah“Mangalului Jampalan Na Lomak”. Disamping itu juga, wilayah asal suku Batak Toba termasuk daerah yang gersang sehingga dianggap tidak menjanjikan secara ekonomi dilihat dari kebiasaan penduduk dalam usaha tani. Dalam hal ini kota Medan merupakan salah satu Kota tujuan mengadu nasib. Kemudian juga masyarakat Batak Toba dikenal memiliki sifat kerja keras, berani, jujur dan pantang menyerah. Disamping itu, akibat jarak Kota Medan yang relative terjangkau diantara kota-kota besar lainnya dari wilayah Tapanuli merupakan sebuah alasan tentang pesatnya suku Batak Toba di Kota Medan. Tetapi pada dekade 20-an suku Batak Toba tidak hanya tujuan merantau atau mencari pekerjaan ke Medan akan tetapi juga guna untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.17
Masyarakat Batak Toba yang berada dan sudah berdomisili di Medan tentunya tidak melepas adat sebagai sebuah kebiasaan di tempat asal mereka. Adat yang sudah mendarah-daging tetap dilaksanakan akan tetapi bisa saja bentuk penyajiaannya berbeda.
2.2 Letak Geografis
Kota Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kota ini dilalui dua sungai yang bermuara di Selat Malaka yaitu Sungai Deli dan Sungai Babura. Secara geografis Medan terletak pada 3,30º-3,34º LU dan 98,35º-98-44º BT. Sebelah Barat dan Timur kota Medan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. Di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka.
17Lihat “Kajian Organologis Garantung Buatan Bapak Junihar Sitohang, Kelurahan Helvetia Timur, Kecamatan Helvetia” skripsi Jupalman Welly Simbolon.2010
(4)
Hal tersebut menyebabkan kota Medan merupakan wilayah yang stategis khususnya untuk sector perdagangan baik secara domestic maupun internasional.18 Kota Medan beriklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata 2000-2500 mm per tahun. Suhu udara di Kota Medan berada pada maksimum 32,4ºC dan minimum 24ºC. Kota Medan terdiri atas 21 Kecamatan dan 158 Kelurahan. Adapun luas wilayah masing-masing Kecamatan dapat dilihat dalam bentuk tabel.
Tabel 2.1. Luas Wilayah dan Kecamatan di Kota Medan
NO KECAMATAN LUAS (KM²) PERSENTASE (%)
1 Medan Tuntungan 20,68 7,80
2 Medan Selayang 12,81 4,83
3 Medan Johor 14,58 5,50
4 Medan Amplas 11,19 4,22
5 Medan Denai 9,05 3,41
6 Medan Tembung 7,99 3,01
7 Medan Kota 5,27 1,99
8 Medan Area 5,52 2,08
9 Medan Baru 5,84 2,20
10 Medan Polonia 9,01 3,40
11 Medan Maimun 2,98 1,13
12 Medan Sunggal 15,44 5,83
13 Medan Helvetia 13,16 4,97
14 Medan Barat 6,82 2,57
15 Medan Petisah 5,33 2,01
16 Medan Timur 7,76 2,93
17 Medan Perjuangan 4,09 1,54
18
Pemko Medan. Profil Kota Medan, (Medan: Pemerintah Kotamadya Medan, 2004), Hal.36.
(5)
18 Medan Deli 20,84 7,86
19 Medan Labuhan 36,67 13,83
20 Medan Marelan 23,82 8,89
21 Medan Belawan 26,25 9,90
Jumlah 265,10 100
2.3 Latar Belakang Historis Kota Medan
Kota Medan awalnya adalah sebuah perkampungan yang dinamai “Medan
Puteri”. Letaknya berada pada pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura dan
termasuk wilayah XII Kuta Hamparan Perak. Beberapa sumber menyebutkan bahwa kampung didirikan oleh Guru Patimpus. Wilayah tersebut merupakan bagian dari daerah Kesultanan Deli. Seorang pegawai pemerintah Inggris yang bernama Jhon Anderson menyebutkan bahwa di perkampungan Medan dihuni sekitar 200 orang pada tahun 1823.19
Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha Belanda pada tahun 1865 membuka usaha perkebunan Tembakau di Sumatera Timur. Daun tembakau yang dipakai sebagai pembungkus cerutu sangat terkenal dari perkebunan ini. Hal tersebut menjadi sebuah kebanggaan dimana daerah Deli mulai terkenal. Dengan adanya perkebunan ini banyak orang dari luar wilayah Sumatera Timur yang datang untuk tujuan mencari nafkah sehingga mempengaruhi demografi pada saat itu.
Pada tahun 1887 kesultanan Deli dipindahkan ke Kota Medan. Kemudian Kota Medan dijadikan sebagai Ibukota Keresidenan Sumatera Timur dengan luas wilayah 90.000 km².
19 Hal tersebut dituliskan dalam Buku yang berjudul Mission To The East Coast Of Sumatera Tahun 1826
(6)
Dengan dibentuknya Kota Medan sebagai Ibukota menyebabkan daerah ini sebagai pusat perekonomian serta sector perdagangan yang berkembang pesat. Ketika itu juga muncul kampung-kampung baru seperti : Kapung Petisah Hulu, Kampung Petisah Hilir, Kampung Kesawan dan lainnya.
Medan mengalami perkembangan baik dari segi perekonomian maupun dari segi pemerintahan. Setelah Indonesia merdeka Kota Medan menjadi daerah otonom yang dibawah pemerintahan Gubernur sesuai dengan ketetapan Gubernur No.103 pada tanggal 17 mei 1946 mengenai pembentukan daerah otonom. Kemudian melalui Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1973 tentang perluasan wilayah Kota Medan yang kemudian menjadi sebuah Kotamadya Medan.20
2.3.1 Penduduk Kota Medan
Dalam tulisan ini akan membahas penduduk Kota Medan secara garis besar, yaitu dari segi suku dan agama.
2.3.1.1 Penduduk Medan Berdasarkan Suku
Penduduk Kota Medan terdiri dari berbagai macam suku. Sebelum kedatangan beberapa suku asing ke wilayah Kota Medan, ada tiga suku yang menjadi suku asli di Medan yaitu: etnis Melayu, etnis Simalungun dan etnis Karo. Tetapi dengan berkembangnya perkebunan tembakau di Sumatera Timur dimana Kota Medan masuk ke dalam bagian wilayah tersebut mengakibatkan demografi Medan bertambah akibat masuknya suku-suku lain yang ada kaitannya dengan perkebunan tersebut.
20 Ibid.19
(7)
Sehingga saat ini, di Kota Medan terdapat beberapa suku yaitu: Melayu, Karo, Simalungun, Batak Toba, Mandailing, Cina, Angkola, Tamil, Benggali, Jawa, Aceh dan sebagainya.21
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Suku Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000
Suku Persentase (%) Jumlah Penduduk / jiwa
Melayu 5,89 674122
Karo 5,09 585.173
Simalungun 2,04 234.515
Toba 25,62 2.948.264
Mandailing 11,27 1.296.518
Pakpak 0,37 83.866
Nias 6,36 731.620
Jawa 33,40 3.843.602
Minang 2,66 306.550
Cina 2,71 311.779
Aceh 0,97 111.686
Lainnya 3,29 379.113
Sumber : Badan Pendataan Statistik Propinsi Sumatera Utara
Walaupun etnis Melayu, etnis Karo dan Simalungun merupakan etnis awal yang berada di Kota Medan tidak berarti bahwa ketiga etnis ini lebih mendominasi penduduk Kota Medan. Akan tetapi etnis pendatang bisa saja lebih cepat perkembangannya. Namun dengan kedatangan etnis lain juga mengakibatkan sebuah perubahan terhadap demografi Kota Medan.
(8)
Dari tabel tersebut diketahui bahwa etnis yang paling banyak penduduknya di Kota Medan adalah etnis Jawa yakni sekitar 3.843.602 jiwa atau 33,40% dari jumlah penduduk Kota Medan. Etnis Batak Toba menduduki urutan kedua yaitu sekitar 2.948.264 jiwa atau sekitar 25,62% dari jumlah penduduk di Kota Medan. Sedangkan etnis yang paling sedikit yaitu etnis pak-pak yaitu sekitar 83.866 jiwa atau 0,37% dari jumlah penduduk di Kota Medan.
2.3.1.2 Penduduk Kota Medan berdasarkan Agama
Komposisi penduduk Kota Medan juga dapat dilihat berdasarkan agama yang dianut oleh penduduk Medan dapat dilihat dalam tabel.
2.3. Tabel Kota Medan Berdasarkan Agama
NO AGAMA JUMLAH/ JIWA
1 ISLAM 1.378.612
2 KRISTEN 426.600
3 BUDHA 170.522
4 HINDU 26.862
JUMLAH 2.002.596
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa agama yang paling mendominasi di Kota Medan adalah agama Islam yaitu ±1.378.612 jiwa. Agama Kristen mengikuti urutan kedua yaitu ±426.600 jiwa. Agama Hindu urutan terakhir yaitu ±26.862 jiwa. Dari pengamatan penulis, etnis Batak Toba yang melaksanakan Upacara adat perkawinan adalah sebagian besar menganut agama Kristen. Sedangkan yang menganut agama lain, melaksanakan perkawinan secara nasional (diluar adat Batak Toba).
(9)
2.4 Mata Pencaharian Masyarakat Batak Toba di Kota Medan
Pada awalnya masyarakat Batak Toba yang datang ke Kota Medan tujuannya adalah untuk menaikkan taraf hidup. Mereka cenderung beranggapan bahwa dengan merantau ke Kota akan memperoleh sesuatu yang lebih baik dari segi ekonomi daripada bertani di desa. Akibat dari latar belakang dan pendidikan yang berbeda, maka sistem mata percaharian masyarakat Batak Toba berbeda pula. Sistem mata pencaharian masyarakat pun sangat beragam sesuai keahlian yang dimiliki. Berbeda dengan masyarakat Batak Toba di desa yang sebagian besar menggeluti dunia usaha pertanian, di Kota Medan mereka bekerja sebagai wiraswasta, pegawai (baik di instansi pemerintah maupun instansi swasta), seniman, buruh, sopir, pedagang dan lainnya.
2.5 Sistem Kekerabatan Batak Toba
Sistem kekerabatan memegang suatu peranan penting dalam menjalin hubungan antara individu pada suatu masyarakat. Suku Batak Toba mengenal
dalihan na tolu (tungku berkaki tiga) sebagai simbol struktur sosial yang berdasar
pada marga. Pada masyarakat Batak Toba marga berfungsi sebagai landasan dalam bermasyarakat. Dengan kata lain, marga sebagai penentu hubungan kekerabatan seseorang dengan orang lain dalam dalihan na tolu. baik sebagai
hula-hula, dongan tubu dan boru. Dalihan Na Tolu dalam pengertian secara
harfiah adalah Tungku Nan Tiga. Adapun isi dari Dalihan Na Tolu sebagai berikut;
Pertama, Hula-hula adalah keluarga dari pihak isteri. Dalam adat-istiadat Batak Toba hula-hula memiliki posisi paling dihormati dan biasanya mendapat
(10)
perlakuan khusus. Sehingga bagi keseluruhan suku Batak ditekankan harus menghormati hula-hula atau disebut dengan Somba Marhula-hula. Dalam bahasa Indonesia sombah artinya sembah. Jadi dalam adat istiadat Batak Toba hula-hula harus disembah. Akan tetapi sembah kepada hula-hula tidak seperti sembah dalam pengertian sehari-hari. Istilah sembah disini adalah suatu bentuk ekspresi penghormatan. Kemudian, penghormatan tersebut mempunyai aturan-aturan adat.
Kedua, Dongan tubu atau dongan sabutuha adalah saudara satu marga biasanya dilihat dari pihak laki-laki. Teman satu marga diharapkan bekerja sama untuk melakukan suatu pekerjaan dalam konteks adat. Jika ada suatu masalah maka harus ditangani bersama-sama oleh pihak ini. Dalam hal ini mereka harus saling hati-hati untuk mengambil tindakan dan harus bertanya kepada satu marganya. Dalam istilah Batak Toba disebut dengan Manat Mardongan Tubu.
Ketiga, Boru adalah pihak keluarga mengambil isteri pada satu marga (keluarga lain). Boru biasanya sebagai pekerja dalam suatu acara adat. Mereka wajib memberikan kontribusi dan tenaga untuk berlangsungnya suatu acara. Dalam kehidupan Batak Toba biasanya boru harus dibujuk serta dirayu dalam artian untuk menyemangati, mengingatkan tugas atau pekerjaan yang harus diselesaikan. Dalam Bahasa Batak Toba disebut dengan istilah elek marboru.
Sistem kekerabatan Masyarakat Batak Toba dapat dibentuk berdasarkan
marga. Dalam hal ini kekerabatan dibentuk berdasarkan keturunan dan tali
persaudaraan.
Tentang pembentukan organisasi berdasar pada marga, ada dua pendapat yang dikutip oleh penulis. Pertama, Menurut pendapat Situmorang (1983:81-88),
(11)
asosiasi klen Batak Toba, semacam perkumpulan marga yang memang tidak identik dengan marga-marga dalam pengertian aslinya. Alasan untuk mendirikan perkumpulan marga didaerah perantauan adalah untuk mempertahankan adat-istiadat, disamping alasan sosial; seperti gotong-royong. Kecenderungan mendirikan perkumpulan marga berasal dari tradisi ber-marga di kampung asal yang tentu saja organisasi itu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Akantetapi tetap menjadi tempat berpaling, baik secara ekonomis sebagai kelangsungan hidup, maupun secara psikologis dan sosial sebagai tempat menampung dan menjaga identitas dan tidak eksklusif dalam arti buruk. Kedua, Panjaitan (1983:81), asosiasi klen Batak Toba ditujukan untuk mempertahankan dan memperkuat diri sebagai kelompok dalam menghadapi kelompok etnis lainnya, serta kegiatan-kegiatannya sebagai penghamburan karena tidak ada hubungannya dengan akumulasi modal sesuai dengan pengamatannya dan persangkaannya yang bersifat ekonomis terhadap asosiasi klen.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam pembentukan organisasi berdasarkan marga yang satu pengertian dengan asosiasi klen dibentuk oleh karena adanya beberapa alasan. Alasan tersebut timbul dari intern maupun ekstern. Organisasi marga tersebut tentunya bermanfaat bagi personal maupun kelompok terkait. Namun pada dasarnya pembentukan asosiasi klen sejalan dengan tujuan yang mereka raih dengan adanya keorganisasian tersebut.
Wujud dari sistem kekerabatan di Medan berdasar pada marga contohnya:
(12)
Ini adalah sebuah ikatan berupa organisasi berdasarkan turunan leluhur mereka yakni Raja Sonak Malela. Artinya orang-orang yang ada kaitannya dengan Sonak
Malela (baik anak maupun boru22) ikut dan ambil bagian dalam organisasi ini.
Selain sistem kekerabatan berdasar pada marga (klen), sistem kekerabatan juga dapat terbentuk berdasar dari tempat tinggal. Masyarakat Batak Toba yang satu komplek atau satu wilayah tempat tinggal membentuk sebuah organisasi. Adanya anggapan bahwa mereka satu kepentingan yang sama akibat dari kebiasaan yang sama pula sehingga dibentuk organisasi guna membangun dan beberapa tujuan lainnya. Wujud dari organisasi ini terlihat dari banyaknya STM (serikat tolong-menolong) di Wilayah Kota Medan. Contohnya, STM SAROHA, STM SAUDURAN, STM SATAHI dan lainnya.
2.6 Pomparan Raja Sonak Malela
2.6.1. Pengertian Pomparan Raja Sonak Malela
Istilah Pomparan Raja Sonak Malela terbentuk dari kata pomparan, Raja
dan Sonak Malela. Pomparan dalam bahasa Indonesia identik dengan turunan,
Raja23 merupakan ungkapan kehormatan oleh suku Batak Toba. Sonak Malela adalah Seorang Raja atau leluhur. Jadi, pomparan Raja Sonak Malela adalah turunan Raja Sonak Malela.
Raja Sonak Malela adalah seorang leluhur Batak Toba yang berasal dari
Toba Samosir, Sumatera Utara yang merupakan asal dari empat marga yaitu,
Simangunsong, Marpaung, Napitupulu dan Pardede. Turunan Raja Sonak Malela
22Anak merupakan turunan laki-laki (bermarga Simangunsong, Marpaung, Napitupulu dan Pardede) sedangkan Boru merupakan turunan perempuan dan seseorang yang memperisterikan turunan marga tersebut.
23 Sebutan Raja kepada leluhur oleh suku Batak Toba merupakan panggilan kehormatan, tidak seperti Raja dalam pengertian umum yang menghambakan masyarakatnya.
(13)
membentuk sebuah ikatan yang dinamakan Parsadaan Pomparan Ni Raja Sonak
Malela yang disingkat dengan PSM. Organisasi ini setiap acara adat suka duka
berperan serta dalam kegiatan tersebut menurut kedudukannya masing- masing sebagai hula, dongan tubu dan boru. Mereka beranggap sebagai keluarga besar yang dihidup dengan kebersamaan. Hal tersebut terlihat dengan kekompakan mereka dalam sebuah acara adat.
2.6.1.1 Parsadaan Pomparan Ni Raja Sonak Malela
Organisasi ini terbentuk pada tahun 1931. Organisasi ini secara lengkap dinamakan Parsadaan Pomparan Raja Sonak Malela Anak Dohot Boruna Medan
dan Sekitarnya, disingkat PSM. Tempat kedudukan organisasi ini berada di
Medan. Tentang keorganisasian PSM lihat dilampiran. 2.6.2 Riwayat Hidup Raja Sonak Malela
Sesuai dengan yang dijabarkan dalam Bab I, bahwa dalam membicarakan sejarah Raja Sonak Malela penulis menggunakan model sejarah yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo. Beliau mengemukakan terdapat dua model yang dapat digunakan dalam membahas sejarah yaitu model sinkronis dan model diakronis.
Model sinkronis meliputi masyarakat yang digambarkan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari stuktur dan bagiannya (substuktur) dan peristiwa - peristiwa dilihat dari keadaan yang statis. Atau dengan kata lain, model sinkronis lebih mengutamakan penggambaran yang meluas dalam ruang dan tidak terlalu memikirkan dimensi waktu.
(14)
Sedangkan model diakronis lebih mengutamakan pelukisan atau penggambaran social berdimensi waktu. Atau dengan kata lain, model diakronis lebih mengutamakan memanjangnya lukisan yang berdimensi waktu dengan sedikit memperhatikan keluasan ruangan. Model diakronis sebagai tujuan utama dalam penulisan sejarah tidak hanya memperhatikan stuktur dan fungsinya dalam masyarakat melainkan sebagai suatu gerak dalam waktu dari kejadian-kejadian yang konkret. Demikian juga dengan model sinkronis dapat bermula dari sebuah situasi secara sinkronis atau melalui situasi antara permulaan menuju situasi terakhir.
Dengan model sinkronis tersebut sejarah dalam hal ini akan dijelaskan silsilah Raja Sonak Malela yang dimulai dari Si Raja Batak dan sekaligus
marga-marga yang dilahirkan berdasarkan Mitologi Si Boru Deak Parujar. Menurut
keyakinan dan mitos24 dalam masyarakat Batak Toba bahwa nenek moyang Suku Batak adalah bernama Si Raja Batak yang lahir dari keturunan Dewata. Adapun ibu dari Si Raja Batak bernama Si Boru Deak Parujar yang diperintahkan, Debata
Mulajadi Nabolon menciptakan bumi. Mitologi Si Boru Deak Parujar, meliputi
penciptaan Bumi, Bulan, Bintang, Matahari, Manusia dan seluruh penghuni Bumi. Silsilah Suku Batak Toba dari segi mitos Si Boru Deak Parujar, sejak keberadaannya di Bumi hingga dewasa ini masih dipedomani oleh Batak Toba sebagai embrio awal silsilah suku Batak Toba.
24Mitos dalam hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh William R. Bascom (1965;4-5) cerita prosa atau karangan bebas rakyat yang dianggap yang benar-benar terjadi, serta suci kejadiannya oleh yang mempunyai cerita.
(15)
2.6.2.1 Mitologi Si Boru Deak Parujar
Dalam dokumentasi Organisasi punguan Sonak Malela Kota Medan,
disebutkan, Batara Guru dan adiknya Si Raja Odap-Odap lahir dari sebutir telur Burung Manuk-Manuk Hulambu Jati di Banua Ginjang (Surga) dan Si Boru Deak
Parujar adalah puteri bungsu Batara Guru yang atas perkenan Debata Mulajadi
Nabolon menempa bumi dari segumpal tanah yang diberikan Debata Mulajadi
Nabolon. Atas himbauan Debata Mulajadi Nabolon Si Boru Deak Parujar kawin
dengan Siraja Odap-Odap yang kemudian melahirkan dua anak kembar yang berbeda genre (satu orang putera dan satu lagi puteri). Adapun kedua anak tersebut bernama, Si Raja Ihat Manisia (Putera) dan Si Boru Ihat Manisia (Puteri). Kemudian Si Raja Ihat Manisia kawin dengan Si Boru Ihat Manisia yang kini disebut dengan kawin incests. Hasil perkawinan mereka melahirkan tiga orang putera yaitu; Siraja Miok-Miok (sulung), Patundai Nabegu (tengah) dan Siraja
Lapaslapas/ Siaji lapaslapas (bungsu). Siraja Miok-Miok menurunkan seorang
putera yaitu Eng Banua. Selanjutnya Eng Banua menurunkan tiga orang putera yaitu, Si Raja Ujung Aceh (sulung), Raja Bonangbonang (tengah) dan Si Raja
Lapung (bungsu). Si Raja Bonang-Bonang melahirkan seorang putera yaitu Raja
Tantan Debata yang lazim disebut dengan Raja Ijolma yang kemudian
menurunkan seorang putera tunggal yaitu Si Raja Batak.
Silsilah Si Raja Batak dalam tulisan sangti (1977: 14) sebagai berikut: Si Raja Batak mempunyai dua orang putera yaitu :
1. Guru Tatea Bulan disebut juga dengan Raja Ilontungon (Sulung) 2. Raja Isumbaon (Bungsu)
(16)
Semua keturunan Si Raja Batak dapat dibagi atas dua golongan besar yaitu: Turunan Guru Tatea Bulan (golongan bulan) = golongan (pemberi) perempuan. disebut juga golongan hula-hula = marga lontung.
Turunan Raja Isumbaon (golongan matahari) = golongan laki-laki. Disebut juga golongan boru bermarga sumba. Kedua lambang tersebut terdapat dalam bendera batak (bendara Singamangaraja) dengan gambar bulan dan matahari.
Guru Tatea Bulan
dari istrinya yang bernama Si Boru Baso Burning, memperoleh 5 orang laki-laki dan 4 orang perempuan, yaitu :
Putra (sesuai urutan):
1. Raja Uti (atau sering disebut Si Raja Biak-Biak, Raja Sigumeleng-Geleng), tanpa keturunan (isteri ?)
2. Tuan Sariburaja (isteri Si Boru Pareme, Nai Mangiringlaut). Memiliki dua orang putera yaitu;
a. Raja Lontung ( Situmorang, Pandiangan, Sinaga, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Siregar)
b. Siraja Borbor ( Pasaribu, Datu Bara, Habeahan, Matondang, Tarihoran, Parapat, Sipahutar dan lain- lain).
3. Limbong Mulana, Memiliki dua putera yaitu; a. Palu Onggang
b. Langgat Limbong ( Limbong, Sihole, Habeahan) 4. Sagala Raja, menurunkan marga;
(17)
a. Sagala b. Hutaruar c. Hutabagas d. Hutauruk
5. Silau Raja, menurunkan marga; a. Malau
b. Manik c. Ambarita d. Gurning Putri:
1. Si Boru Pareme (kawin dengan Tuan Sariburaja, ibotona25)
2. Si Boru Anting Sabungan, kawin dengan Tuan Sorimangaraja, putra Raja Isombaon
3. Si Boru Biding Laut, merupakan isteri kedua dari Tuan Sorimangaraja 4. Si Boru Nan Tinjo (tidak kawin).
Raja isombaon (isteri?)
Raja Isumbaon artinya raja disembah, Raja Isombaon mempunyai tiga orang putera yaitu :
1.Tuan Sorimangaraja 2. Raja Asi-Asi
3. Sangkar Somarlindang
25 Saudara laki-laki/perempuan
(18)
Tuan Sorimangaraja adalah satu-satunya putera Raja Isombaon yang tinggal di Pusuk Buhit sedangkan Raja Asi-Asi dan Sangkar Somalindang pergi meninggalkan bona pasogit26 sebelum kawin sehingga tidak diketahui
keturunannya.
Tuan sorimangaraja mempunyai tiga orang istri dan tiga orang putera yaitu : 1. Tuan Sorba Dijulu (Ompu Nabolon) gelar Nai Ambaton hasil perkawinan dengan Si Boru Anting Malela (Sabungan) puteri kedua dari Guru Tatea Bulan, merupakan asal dari marga;
a. Simbolon b. Tamba c. Saragih d. Munthe
2. Tuan Sorba Dijae (Raja Mangarerak) hasil perkawinan dengan Si Boru Anting Sabanguna a. Sitorus
b. Sirait c. Butar- butar d. Manurung
3. Tuan Sorba Dibanua hasil perkawinan dengan Si Boru Sanggul Haomasan. gelar Nai Suanon adalah nama (gelar) putra ketiga dari Tuan Sorimangaraja, lahir dari istri ketiga Tuan Sorimangaraja yang bernama Nai Suanon.
Nama sebenarnya ialah Tuan Sorbadibanua, dan di kalangan keturunannya lebih sering dinamai Tuan Sorba Dibanua.
(19)
Tuan Sorba Dibanua, mempunyai dua orang istri dan memperoleh 8 orang putra. dari istri pertama (dari Boru Pasaribu):
1. Si Bagot Ni Pohan, memiliki anak; 2. Si Paet Tua.
3. Silahi Sabungan, keturunannya bermarga Silalahi. 4. Si Raja Oloan.
5. Si Raja Huta Lima
Dari istri kedua (Boru Sibasopaet) 1. Si Raja Sumba.
2. Si Raja Sobu. 3. Toga Naipospos
Keluarga Tuan Sorbadibanua bermukim di Lobu Parserahan – Balige. Kemudian berkembang dengan pesat, yang melahirkan lebih dari 100 marga.
Keturunan Si Bagot Ni Pohan mempunyai 4 orang anak yang melahirkan marga sebagai berikut:
1. Tuan Si Hubil
Tampubolon, Barimbing, Silaen. 2. Tuan Somanimbil
Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol 3. Tuan Dibangarna
Panjaitan, Siagian, Silitonga, Sianipar 4. Raja Sonak Malela
(20)
Raja Simangunsong menurunkan dua orang putera yaitu; 1. Raja Mardagul
2. Bindu Raja (Raja Bindu)
Raja Marpaung menurunkan dua orang putera yaitu; 1. Raja Pangasean
2. Raja Simanampang
Raja Napitupulu menurunkan dua orang putera yaitu; 1. Salim Babiat
2. Sihuting (Janggut Huting Gelar Ulubalang Raja) Salim Babiat menurunkan satu orang putera yaitu; 1. Mamberbulung
Sihuting (Janggut Huting Gelar Ulubalang Raja) menurunkan dua orang putera; 1. Sibegulaos
2. Raja Bonani Onan Pardede27
Raja Si Bagot Ni Pohan bermukim di Lumban Gorat Balige. Si Bagot Ni
Pohan merupakan putera pertama Tuan Sorba Di Banua.
Adapun isteri Tuan Sorba Di Banua adalah Boru Pasaribu yang sering disebut dengan Nai Anting Malela.
Raja Sibagot Ni Pohan juga beristerikan Boru Pasaribu yang berasal dari
Tarabunga.28
27Lihat lampiran
28 Silsilah ini diambil dari 5 sumber yang berbeda yaitu Sangti (1977:15), Vergouwen (1986:8-9), Buku Tarombo Pomparan Raja Bonani Onan Pardede, Buku Dokumentasi PSM Medan sekitarnya, http://laurapardede.blogspot.com/2012/09/raja-sonakmalela.html. Dimana sumber ini dibuat untuk saling melengkapi.
(21)
Raja Sonak Malela yang merupakan anak keempat dari Raja Si Bagot Ni
Pohan beristerikan Boru Pasaribu memiliki tiga orang anak yaitu, Raja Mardagul
yang merupakan asal marga Simangunsong, Paung Mangaraja merupakan asal
marga Marpaung dan Ompu Raja Napitupulu yang merupakan asal marga
Napitupulu. Kemudian Raja Bonani Onan Pardede diangkat sebagai putera yang
merupakan asal marga Pardede. Ke empat anak Sonak Malela ini juga memiliki keturunan masing-masing.29
Selanjutnya dengan Model diakronis penulis akan mengkaji dengan bentuk generasi-generasi yang dimulai dari Si Raja Batak. Raja Sonak Malela adalah generasi ke VI dari Si Raja Batak atau generasi ke III dari Tuan Sorba Dibanua
(Nai Suanon), Anak dari Raja Si Bagot Ni Pohan, cucu dari Tuan Sorba Dibanua,
Bedomisili di Kampung Lumban Gorat Baligeraja yang dahulu disebut “Lobu
Parserahan”. Keempat Putera Si Bagot Ni Pohan (Tuan Sihubil, Tuan
Somanimbil, Tuan Dibangarna dan Raja Sonak Malela) lahir di Kampung
Lumban Gorat Baligeraja. Raja Sonak Malela yang diperkirakan (diprediksi) lahir pada tahun 1455 (abad XV) sesuai dengan tarikh sejarah Batak sebagai titik tolak diperkirakan yang selanjutnya dipakai dan diambil dari angka tahun kelahiran
Raja Sisingamangaraja XII yang diyakini lahir pada tahun 1845
dengan perhitungan satu generasi (sundut) 30 tahun.30 Dari Hipotesa tersebut dapat diprediksikan bahwa Si Raja Batak lahir di Bumi pada tahun 1305 (abad XIV) sehingga selanjutnya dapat diprediksikan dalam tabel sebagai berikut;
29Lihat bagan tarombo Sonak Malela pada lampiran 30Baca Sejarah Batak Tulisan Batara Sangti, hal 22
(22)
Tabel 3.3
No Nama Raja Prediksi Tahun Kelahiran Generasi ke
1 Si Raja Batak 1305 I
2 Raja Isumbaon 1335 II
3 Sorimangaraja 1365 III
4 Tuan Sorba Dibanua 1395 IV
5 Si Bagot Ni Pohan 1425 V
6 Sonak Malela 1455 VI
7 Mangunsong,Marpaung, Napitupulu
1485 VII
8 Ulubalang Raja 1515 VIII
9 Pardede 1545 IX
2.6.3 Kisah tentang Raja Sonak Malela
Sejak Raja Sonak Malela menginjak usia remaja beliau sudah menjadi idola ayahnya Raja Si Bagot Ni Pohan. Demikian juga dengan saudara-saudaranya yakni; Tuan Sihubil, Tuan Somanimbil dan Tuan Dibangarna bahkan bagi masyarakat sekitar. Beliau sangat rajin membantu orangtuanya, ramah, pemurah, suka memberi, suka bertamu, suka bertanya tentang segala sesuatu yang belum diketahuinya dan tidak segan berkomunikasi kepada siapa saja yang dianggap menambah pengetahuannya. Setelah dewasa Raja Sonak Malela, semakin bergairah dan bersemangat menimba ilmu dalam bidang; pertanian, kesusilaan/ norma, tata krama kekeluargaan dan yang paling diminatinya adalah hukum dengan segala permasalahan seperti, ”Patik Ni Na Unang, Patik Ni Sitongka, Patik Ni Na So Jadi”.
Dari pihak masyarakat juga sangat mengapresiasi kepribadian Raja Sonak
Malela. Oleh sebab itu, masyarakat sekitar membanggakan sang Raja tersebut.
(23)
menyakinkan masyarakat sehingga beliau menjadi wadah untuk bertanya dan panutan terhadap pandangan-padangan beliau dan visinya untuk kemudian menjadi acuan bagi masyarakat. Beberapa sifat Raja Sonak Malela adalah tidak suka dengan kesombongan, tidak senang melihat pergaduhan apalagi penindasan antara sesama, penegak hukum dan keadilan bagi beliau merupakan diatas segalanya, tidak membedakan orang serta tidak pilih kasih kepada siapa saja. Beliau dipuji, disegani dan disanjung masyarakat. Perilakunya dan tindakan Raja yang relevan dengan kondisi masyarakat, sehingga masyarakat menggambarkan seperti termaktub dalam adagium;
”Raja Sonak Malela
Ompu na bisuk sabungan ni hata Panjaha- jaha dibibir
Parpustaha ditolonan Sungkunon di bisuk Pangalapan di roha”
Dari hal perilakunya yang ramah, suka bertamu, beliau dianalogikan oleh turunannya dan orang yang telah mengenalnya dengan ungkapan:
Parbahul- bahul nabolon Paramak Sobalunon
Parsangkalan sipolu gonting Parsangkalan somahiang
Sikap Raja Sonak Malela yang tegas jujur dalam mengambil keputusan dianalogikan dengan makna peribahasa;
Sonak Malela
Raja parholong, Raka Ihutan Pangalu- aluan ni nabile
(24)
Pangompas- ompas ni namaliali
Sipungka solup, sitiop batuan nasora teleng Parhatian na sobonaran
Parninggala sibola tali Mulani hata sintong
Dari segi kepemimpinan, beliau digambarkan dalam umpama: Raja na olo dijolo
Raja na boi patujolohon Raja na olo mangihut Raja na boi pangihutan Sihorus na gugur
Sigohi na rumar31
2.6.3 .1 Pengertian dan Makna Sonak Malela
Dibalik sebuah nama, ternyata Sonak Malela memiliki arti dan pemahaman tersendiri bagi masyarakat. Raja Si Bagot Ni Pohan sangat berbangga dengan kehadiran sosok puteranya yang memiliki sifat dan perilaku serta yang penuh dengan kejujuran. Dengan demikian Si Bagot Ni Pohan menamakan anaknya sebagai Sonak Malela yaitu satu nama wangsit atau nama wahyu (goar alatan, goar tulut).
Kata Sonak Malela berasal dari tiga kata yaitu; sonak, ma dan lela. Kata “sonak” dalam bahasa Batak Toba berarti; binsat, lamnaek, lammangeak, lam
mangalantam. Kata “sonak” biasanya dipakai untuk melukiskan dan
menggambarkan kondisi serta situasi air yang semakin meluap dan meninggi serta meluas di sungai, danau, laut.
(25)
Dalam bahasa Indonesia hal tersebut identik dengan pasang surut. Selanjutnya
menurut etimologi, morpologi, semantik, kata “ma” adalah salah satu partikel
yakni suatu kata yang digunakan untuk menekankan (pagomoshon, pahantushon) atau menekankan makna dan pengertian suatu kata yang berada dibelakangnya, contoh: Kata godang yang berarti besar, ditambah kata “ma” menjadi magodang
artinya semakin besar. Kata “sihol” artinya rindu ditambah awalam “ma”
sehingga artinya semakin rindu. Demikian juga dengan kata- kata yang lain. Selanjutnya Dalam kamus Bahasa Batak Toba karangan J.Warneck (1905)
“Toba Bataks- Nederlands Woordenboek” dan Kamus Bahasa Batak Toba
karangan H.N Van Der Tuuk (1861) “Bataks Nederduitsch Woordenboek”, kata
“sonak” berarti pasang naik (tentang kondisi air yang semakin naik), semakin meninggi, semakin meluas di sungai, danau dan laut, yang kemudian dianalogikan terhadap sifat dan perilaku seseorang. Jadi kata “sonak” adalah menunjukkan suatu sifat dan kondisi yang semakin meningkat. Kata “lela” dalam kamus Bahasa Batak Toba berarti, lambok (lemah-lembut), parasiroha (ramah-tamah), girgir
marsilehonlehon (suka memberi), girgir martamue (suka bertamu). Kemudian,
Menurut kedua Kamus Bahasa Batak Toba diatas, kata “lela” bersinonim dari
kata dasar “basar” yang berarti, lemah- lembut, ramah- tamah, pemurah,
suka memberi, dan suka bertamu. Apabila ketiga kata tersebut yakni, Sonak- ma-
lela, maka maknanya adalah suatu perilaku atau sifat yang semakin lemah-
(26)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian kata “sonak malela” adalah identik dengan kata “lam basar”. Sehingga Raja Sonak Malela diartikan dengan Raja Nalam Basar atau denggan (baik).
Dari kebesaran nama karier dan reputasi Raja Sonak Malela masyarakat melukiskan beliau seperti termaktub dalam adagium;
Barita ni lampedang, mardangka bulung bira Pingkal sipu-sipu, didondoni goli-goli
Habasaron ni Raja Sonak Malela
Nunga tarbarita rodidia, nasumurung na lumobi
Selama hidupnya Raja Sonak Malela menjadi teladan dan panutan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam usianya yang sudah senja, sang Raja masih sempat memangku cucu dan cicitnya. Mereka bermain, berjalan- jalan dengan memakai tongkat dikediamannya. Oleh sebab itu, perjalanan hidup beliau dianalogikan masyarakat seperti termaktub dalam adigium;
Simbur laho magodang pengpeng laho matua Mardangka ma ubanna Limut- limuton tanggurungna Mahusip ma matana
Didok ma namatua
Martungkot didang-didang Ditogu- togu pahompuna
(27)
Persebaran turunan Raja Simangunsong, Paung Mangaraja dan Napitupulu sangat pesat. Demikian juga dengan keturunan cucu- cucunya; Mardagul,
Binduraja, Pangasean, Simanampang, Salimbabiat, Janggut Huting dan cicit-
cicitnya. Bonani Onan Pardede sangat cepat perkembangannya terutama di wilayah Toba Habinsaran hingga ke perbatasan wilayah Asahan, Labuhan Batu dan wilayah Parsoburan. Demikian juga dengan turunannya sangat berkembang diwilayah Toba Holbung Hasundutan hingga kewilayah Humbang. Sebelum Raja
Sonak Malela mangkat, keturunan beliau sudah menjamur diseluruh pelosok
Tanah Batak. Pada suatu senja yang penuh dengan keheningan, Sonak Malela termenung. Beliau merasakan gerakan batin yang mengingatkan sang Raja pada masa- masa lalunya, karirnya, reputasi, tanggungjawab moral serta kewajibannya kepada Mula Jadi Na Bolon (TYME). Dengan intuisi dan imajinasi beliau membayangkan masa depan keturunannya Di Desa Naualu (delapan penjuru mata angin) yang tidak mungkin dapat berkomunikasi langsung, tidak mungkin saling kenal, demikian juga dengan menghadapi problem kehidupan antara sesama turunan Sonak Malela maupun dengan marga- marga lainnya. Dengan penuh doa khusus kepada Tuhan Yang Maha Esa, beliau mendapatkan sebuah inspirasi yang menjadi prasarana dan solusi terhadap sesuatu yang sedang beliau renungkan. Dengan waktu yang singkat Raja Sonak Malela mendapat inspirasi yang kemudian mengambil keputusan demi menjalin kekeluargaan dan memelihara kesatuan diantara mereka. Dengan penuh kasih sayang (holong ni roha) dalam perilaku kehidupan seluruh keturunannya yang telah bermukim di ”delapan
(28)
penjuru mata angin” dalam paham masyarakat Batak Toba, Raja Sonak Malela, sebelum akhir hayatnya akan melakukan sebagai berikut;
1. Mewariskan; wasiat dan pesan, wanti- wanti kepada ketiga puteranya yang kemudian akan diturunkan kepada keturunannya kelak dari generasi ke generasi dan menjadi landasan dan azas pedoman hidup dan tatanan berkehidupan antara sesama.
2. Menanam; tiga jenis pohon yang menjadi perlambangan/ simbol yang hidup yang dapat dilihat oleh mata kepala sendiri (tanda namangolu). Kedua butir keputusan tersebut direalisasikan tanpa sepengetahuan ketiga puteranya. Pertama beliau menanam tiga batang pohon kayu Ara (Hau Hariara) di Lumban Simangunsong Baligeraja berdekatan dengan lokasi berdirinya Gereja Na Sangke HKBP Balige yang juga berdekatan dengan makam Tuan Pendeta Gustav Pilgram. Ketiga batang pohon kayu Hariara oleh Raja Sonak Malela
dinamakan ”Hariara Bondar Na Tolu”. Hal tersebut sebagai lambang dan
petunjuk bahwa beliau mempunyai tiga orang putera yang masing- masing puteranya tersebut memiliki satu pohon Hariara (Ara). Pada hari berikutnya beliau menanam satu batang pohon kayu Bintatar di Huta Holbung Bagas Pardede Lumban Dolok Baligeraja yaitu dilokasi antara Gedung Bioskop Maju dengan Pargodungan Tuan Pendeta HKBP Balige. Beliau menamai pohon tersebut dengan Bintatar Naga Baling.
Beberapa hari kemudian, beliau pergi kearah Sigumpar dan menanam sebatang pohon Unte Mungkur yaitu disuatu lokasi yang berdekatan dengan Pargodungan Tuan Pendeta HKBP di kampung marga Napitupulu di Lumban
(29)
Hariara Bagasan Sigumpar. Meskipun Raja Sonak Malela sudah selesai menanam
ketiga jenis pohon tersebut, beliau tidak memberitahukan kepada turunannya. Beberapa tahun kemudian, dalam usia beliau yang sudah tua, pada saat beliau
merasakan dan memahami kondisi fisiknya yang semakin hari semakin menurun dan lemah, Raja Sonak Malela mengundang ketiga puteranya untuk datang berkumpul bersama dikediamannya di Kampung Lumban Gorat yang dahulu dinamakan Lobu Parserahan. Setelah ketiga puteranya datang dan ada dirumahnya, Sang Raja sangat bergembira seraya mengucapkan selamat dan mengucap syukur kepada Tuhan, Karena ketiga puteranya sehat walafiat. Kemudian beliau mengajak ketiga puteranya duduk bersama dan berdoa. Setelah mereka selesai berdoa Raja Sonak Malela mengatakan sesuatu yang dalam Bahasa Indonesia sebagai berikut; ”Anak- anakku yang kekasih, pada usiaku yang tua renta ini ayah mengundang anda bertiga untuk saling bertatap muka, yang didorong oleh intuisiku. Kita ketahui dan kita sadari bersama bahwa rencana Tuhan tidak seorangpun yang dapat menerka dan mengetahuinya. Peribahasa berbunyi, semoga dahan yang laput jatuh duluan, tali yang usang duluan putus, siapa tahu rencana Yang Maha Pencipta, ayah dipanggil kehadiratNya, selagi ayah dapat berdampingan dengan anda bertiga, ayah akan memberikan dan menitipkan amanah (tona) kepada anda bertiga, tiga butir pedoman hidup yang menjadi landasan dan azas berkehidupan, tatanan hidup dan berkehidupan antara sesamamu dan antara keturunanmu kelak, untuk kamu hayati, pedomani dan laksanakan”.
(30)
Raja Sonak Malela dikenal sebagai seorang Raja yang bijaksana dan pemikir hal tersebut didukung dengan isi pesan yang disampaikan kepada turunannya. Pesan yang ditinggalkan Raja Sonak Malela bagi marga
Simangunsong, Marpaung, Napitupulu dan Pardede selalu dikenang sebagai
pedoman dalam kehidupan kekeluargaan, untuk selanjutnya pesan ini akan disampaikan dan diajarkan kepada seluruh keturunan mereka dari generasi ke generasi yang menjadi ikrar yang kekal abadi dan pusaka yang universal dan monolit bagi keturunannya sepanjang masa. Adapun isi pesan Raja tersebut sebagai berikut:
1. Na so jadi marsitindian borumu
2. Ingkon sada lulu anak jala sada lulu boru 3. Ingkon sada lulu tano
Dalam Bahasa Indonesia sebagai berikut; 1. Pantang dan haram putera- puterimu bermadu
2. Wajib membela kehormatan dan martabat putera dan puterimu sekalipun dengan mempertaruhkan nyawa
3. Wajib membela keutuhan wilayah dan tanah milik warga Sonak Malela sekalipun dengan mempertaruhkan nyawa.
Sebagai lambang atau simbol hidup dari ketiga amanah Sonak Malela tersebut, keturunannya dapat melihat langsung bahwa dia telah menanam tiga jenis pohon sebagai berikut;
1. Tiga batang pohon kayu Ara di Lumban Simangusong yang dinamakan Hariara Bondar Natolu
(31)
2. Sebatang pohon Bintatar di Holbung Bagas Pardede Lumban Dolok, yang dinamakan Bintatar Naga Baling
3. Sebatang pohon Unte Mungkur di Lumban Hariara Bagasan Napitupulu Sigumpar, yang dinamakan Batu Somong
Hariara Bondar Natolu dan Bintatar Naga Baling adalah perlambangan atau
simbol yang hidup dari ketiga butir amanah Sonak Malela yang berdiam di Toba Holbung Hasundutan dan menjadi wahana persyahadatan dan wadah permusyawaratan bagi seluruh keturunannya yang berdiam di Toba Holbung Hasundutan. Selanjutnya, Unte Mungkur adalah perlambangan yang hidup dari ketiga amanahnya. Apabila keturunan Sonak Malela menghayati dan melaksakan amanahnya tersebut, beliau akan memberkati keturunannya dan kiranya Tuhan kita melimpahkan anugerah dan memberkati selalu. Raja Sonak Malela dalam Bahasa Batak Toba berkata;
Ingatlah, Manang ise na mangalosi tonangku tagamonna ma. Sapata dohot bura; Mol ma anakna, Mol dohot boruna, Sobuon na sora buruk, Gaol na sora dua, Bulan naso ubaon, Tona naso jadi oseon.
2.6.3.2 Hotor - Hotor Sitolu Gistang dan Batu Somong Batu Na Sum
Hotor- hotor adalah satu alat yang dipakai petani untuk mengusir dan
menghalau burung dan tikus di sawah. Alat ini terbuat dari sepotong bambu yang ujung pada bagian atas dibelah dua. Pada ujung bambu yang telah dibelah, pada satu keping belahannya diikat dengan tali. Belahan bambu yang sudah diikat ditanam tegak lurus. Itu bisa ditanam atau diletakkan dibagian tengah maupun dibagian pinggir sawah. Alat inilah yang disebut hotor- hotor.
(32)
Dalam kehidupan Batak Toba yang menggeluti dunia pertanian khususnya sawah alat ini juga disebut dengan nama Hapak- hapak. Penamaan ini muncul dari
suaranya yang berbunyi seperti “pak..pak”, jika ditarik. Tali yang diikat pada
ujung bambu (hotor- hotor) tersebut dinamai Gistang. Jadi setiap satu alat ini , memiliki satu tali (gistang). Selanjutnya, jika hotor- hotor mempunyai tiga
gistang disebut dengan hotor- hotor sitolu gistang. Artinya hotor- hotor yang
memiliki tiga buah gistang (tali). Apabila tali ditarik, maka bambu tersebut akan mengeluarkan bunyi seperti halnya tangan manusia yang bertepuk. Apabila tiga buah tali hotor- hotor disatukan dan kemudian ditarik maka ketiga intrument ini akan mengeluarkan bunyi secara bersamaan. Selanjutnya jika salah satu tali dari
hotor- hotor tersebut mengalami kerusakan atau putus maka alat tersebut tidak
akan berfungsi lagi. Dari penjelasan tentang hotor-totor diatas, merupakan personifikasi tentang kekompakan, keutuhan, kesatuan dan kesatuan yang kemudian diananlogikan oleh Raja Sonak Malela terhadap perilaku ketiga puteranya dan turunan puteranya yang merupakan cita-cita Sonak Malela.
Dalam penuturan Bapak Ludin Simangunsong, yang dimuat dalam Buku Dokumentasi PSM, bahwa sudah lama turunan Sonak Malela yang berdomisili diwilayah Porsea dan sekitarnya (Habinsaran) berbeda pendapat atau penafsiran terhadap makna amanah atau pesan Sonak Malela. Turunan Sonak Malela yang berdomisili diwilayah Sigumpar dan sekitarnya mengatakan bahwa arti dari butir nomor dua yang bunyinya; “Ingkon sada lulu anak jala lulu boru” artinya anak laki-laki turunan Sonak Malela dilarang atau tabu dan terkutuk mengawini puteri (anak perempuan) turunan Sonak Malela.
(33)
Sedangkan turunan Sonak Malela yang berdomisili di Porsea dan sekitarnya (Habinsaran) mengartikan bahwa makna butir nomor dua tersebut “ingkon sada lulu anak sada lulu boru” adalah kesetiaan membela martabat dan kehormatan perempuan turunan Sonak Malela jika mendapat gangguan dari pihak manapun. Harus dibela walau sekalipun harus mempertaruhkan nyawa. Peristiwa perbedaan pendapat tentang pengertian amanah Sonak Malela ini memuncak sewaktu pemerintahan Raja Sisingamangaraja XII sejak tahun 1725 (abad XVIII). Masalah kawin mengawini diantara turunan Sonak Malela tidak pernah diperdebatkan di wilayah Toba Holbung Hasundutan (wilayah Balige dan sekitarnya) karena tidak dilarang atau tidak pantang sesuai dengan amanah Raja
Sonak Malela. Pada pemerintahan Sisingamangaraja XII, terjadi peristiwa yang
mengakibatkan tata krama turunan Sonak Malela yang menimbulkan perpecahan dalam marga simangunsong dan mengakibatkan dua kelompok yang berseteru. Perpecahan dari kedua pihak tersebut berawal dari perselisihan dua putera ber
-marga simangusong yang saling berebut seorang puteri boru siagian. Kedua
orang tersebut saling ngotot berusaha dengan segala cara untuk memperisterikan
boru siagian tersebut. Masalah ini tidak hanya bersifat pribadi akan tetapi juga
sudah sampai kepada orangtua bahwa ompu32 mengetahuinya. Berita ini kemudian meluas ke wilayah Sigumpar dan sekitarnya hingga meresahkan turunan Sonak
Malela umumnya. Untuk menyelesaikan masalah ini, pengetua adat turunan
Sonak Malela Sigumpar dan sekitarnya dan bersepakat mengadakan musyawarah
besar yang bertujuan pada kerukunan dan perdamaian diwilayah Sigumpar.
32Kakek/nenek
(34)
Dalam musyawarah besar tersebut ditetapkan lima butir kesepakatan, yaitu; Anak naso jadi marsibola-bolaan, Boru naso jadi marsitindian, Pomparan Sonak Malela naso jadi marsiolian atau marhula-hula boru, Sisada lulu anak sisada lulu boru, Sisada lulu tano.
Kelima butir kesepakatan tersebut yang kemudian menjadi padan (janji, ikrar) yang harus dan wajib dilaksanakan serta dipatuhi oleh turunan Sonak
Malela yang berdomisili diwilayah Sigumpar dan sekitarnya hingga batas aek na
sun atau Binanga Sun. Sebagai simbol atau pertanda kelima butir kesepakan tersebut kemudian diambil sebuah batu besar berukuran ±1 meter persegi dan batu tersebut diletakkan di Huta Sosor Mobe Lumban Balian Sigumpar. Batu ini
kemudian disebut dengan “Batu somong batu na sum”yang berarti manang ise na
mangose padan on, sun ma ibana so maranak, so marboru. Dalam Bahasa
Indonesia diartikan bahwa barang siapa yang mengingkar janji tersebut, tidak memiliki anak laki-laki maupun perempuan. Jadi tentang kawin-mengawini antara turunan Sonak Malela dapat disimpulkan “tidak ada larang pada turunannya untuk tidak saling mengawini diantara mereka” dan larangan tersebut tidak ada terdapat dalam amanah Sang Raja.
2.6.4 Riwayat Marga Napitupulu
Pada zaman dahulu ketika Ibu Boru33 Pasaribu yakni istri Raja Sonak
Malela mengadung jabang bayi yaitu Raja Napitupulu, beliau sangat merepotkan
dengan berbagai kemauan serta permintaan yang cukup unik yang membuat Raja
Sonak Malela seakan-akan letih untuk mengikutinya.
33Dalam Batak Toba adakalanya boru disebutkan untuk perempuan dan marga untuk laki-laki.
(35)
Terlebih dalam hal makanan, Raja Sonak Malela harus menuruti keinginan istrinya Boru Pasaribu untuk menyajikan makanan (sipitu dai) tujuh rasa di setiap bulannya, yaitu Naniura dengan bumbu tujuh rasa pada setiap bulannya. Selanjutnya, jika memasak ikan maka harus ada tujuh ikat daun singkong sebagai campurnya (uram-uram)
Tidak hanya dari segi makanan, pada musim menanam padi, beliau tidak akan sudi turun ke Sawah jika tidak didampingi oleh enam orang temannya, dan ketujuh dirinya sendiri. Kemudian benih padi tidak akan ditanam sebelum disiapkan sepuluh ikat (tuntum) untuk satu orang. Pada waktu memanen padi,
Boru Pasaribu tidak akan beristirahat (maradi) sebelum iyanya berhasil
mengumpulkan tujuh puluh tumpukan (turpuk) padi. Pada waktu menanak nasi, beliau juga tidak menggunakan tangkul (solup) atau muk takaran untuk mengukur beras yang hendak dimasak, tapi menggunakan genggaman tangan sebanyak tujuh kali untuk setiap orang. Artinya, jika ada 5 (lima) orang yang hendak diberi makan, maka beras yang akan ditanak ialah sebanyak 35 (tiga puluh lima=7 kali 5 jumput). Kelahiran Raja Napitupulu juga penuh dengan tanda-tanda dan isyarat. Tanda- tanda kelahirannya berlangsung selama tujuh hari, sehingga hal tersebut sehingga hal itu sangat membosankan. Pada saat akan merayakan kelahiran Raja
Napitupulu, ibunya meminta tujuh macam makanan yang konon katanya hal itu
dilakukan untuk menuruti kemauan si jabang bayi. Adapun makanan tersebut yaitu Naniura34, Jagal Manuk35, Ihan36, Sibahut Panampar37, Dengke Sitio-tio38,
34 Naniura adalah sejenis lauk yang dibuat dari ikan, cara membuatnya tidak dimasak, direbus, digoreng, Akantetapi Ikan mentah tersebut disajikan dengan bumbu yang lengkap dan dari bumbu itu jugalah yang memasak ikan.
(36)
Na Pinadar39, dan Na Nidugu. Selanjutnya, jika Boru Pasaribu hendak mandi, maka air mandiannya harus tercampur dengan beras tumbuk yang tercampur dengan tujuh macam tunas daun.
Lalu atas dasar keadaan dan peristiwa itulah Raja Sonak Malela menamai anaknya dengan nama Raja Napitupulu. Pada saat sekarang ini, kebiasaan-kebiasaan dari Ibunda Boru Pasaribu sepertinya masih terus mendarah daging kepada puteri- puteri marga Napitupulu. Banyak orang menilai jika Boru
Napitupulu biasanya banyak permintaan dan keinginannya. Hal ini, mungkin
terinspirasi dari Sonak Malela yang selalu hingga tidak sedikit orang menilai jika seseorang Boru Napitupulu itu biasanya banyak permintaannya. Ini mungkin terinspirasi akan kesetiaan Raja Sonakmalela yang selalu mengabulkan keinginan ibunda Raja Napitupulu.40
2.6.5 Riwayat hidup Bonani Onan Pardede
Menurut cerita, setiap Raja Bonan ni Onan mengadakan pesta, hujan pasti turun, menyebabkan para undangan yang akan menghadiri pestanya selalu
kehujanan dan mereka mengeluh dengan mengatakan “Na beha do i, sai dededede do langit molo marsiulaon Raja Bona ni onan on” (artinya, mengapa selalu turun hujan setiap Raja Bona Ni Onan mengadakan pesta). Maka sejak itulah maka Raja Bonani Onan digelar sebagai Raja Pardede.
36 Ikan khas Batak Toba, Ikan ini sekarang telah langka
37 Ikan lele dengan campuran bumbu khusus
38 Ikan dengan masakan khusus dengan bumbu tertentu 39 Ayam dengan masakan khas Batak Toba
40 diambil dari http://laurapardede.blogspot.com/2012/09/raja-sonakmalela.html dibenarkan oleh Turunan Sonak Malela
(37)
Kemudian Raja Bonani Onan Pardede dianggat menjadi anak oleh Sonak Malela.41 Sampai saat ini adakalanya paham ini masih diyakini. Jika turun hujan pada waktu pesta turunan Raja Sonak Malela, maka turunannya dan beberapa masyarakat yang mengetahuinya akan menyebutkan; “ah udan ni pardede ido i” artinya itu adalah hujan pardede. Mereka beranggapan turunnya hujan adalah hal yang sangat lumrah terjadi pada setiap turunan Raja Sonak Malela mengadakan pesta. Sampai tahun 1940, banyak dari turunan Raja Bonani Onan, memakai marga Napitupulu dibelakang namanya yang mendijadikannya sebagai marga. Kemudian ada juga diantaranya memakai keduanya (Napitupulu Pardede). Contoh; Parulian Napitupulu Pardede, Parsaoran Napitupulu Pardede dan lainnya.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa asal dari sebuah marga datang dari nama satu “Ompu Parsadaan” artinya kesatuan sebuah leluhur. Marga itulah yang dipakai turunannya menjadi nama persekutuan genealogis dalam turunan satu leluhur.
Dahulu, nama yang diberikan kepada seseorang datang dari; perangai, cita- cita, kampung yang ditempati, peristiwa yang terjadi pada waktu hari kelahirannya, pengalaman masa hidup, keberuntungan, kondisi alam dan lain- lain. Demikian juga dengan penamaan yang diberikan kepada marga Pardede. Dalam hal “Habatahon” (norma suku Batak Toba) istilah dirajahon yaitu seseorang yang pada awalnya tidak berdarah Batak diampu atau diadopsi menjadi orang Batak atau dalam bahasa Batak disebut dibatakhon.
41Raja Bonani Onan adalah Raja Napitupulu yang lahir dari putera sulungnya. Kisah ini sangat umum diketahui dan sudah menjadi hal yang lumrah bagi Turunan Raja Sonak Malela. Wawancara Bapak Drs. Humala Pardede pada maret 2015
(38)
Hal itu menjadikan seseorang yang diadopsi tersebut masuk menjadi warga satu marga yang ada dalam Batak Toba. Contohnya, jika seseorang bersuku Sunda untuk masuk menjadi kelompok tertentu dalam komunitas Batak Toba maka orang tersebut dapat ditabalkan (dirajahon) menjadi marga Pardede.
Dari penjelasan tersebut dapat diperoleh pengertian bahwa istilah dirajahon adalah pemberian marga Batak kepada seseorang yang bukan turunan Si Raja Batak. Oleh sebab itu, Raja Bonani Onan tidaklah dirajahon, karena beliau adalah benar turunan dari Si Raja Batak generasi ke IX. Raja Bonani Onan Pardede disebut sebagai anak mangulahi dari Raja Sonak Malela. Semua turunan Raja Bonani Onan berasal dari darah Raja Bonani Onan, darah Raja Napitupulu, darah Sonak Malela. Setelah bertambah banyak, maka turunan Raja Simangunsong, Paung Mangaraja, Raja Napitupulu menyebar diberbagai tempat di Baligeraja. Lama kelamaan banyak diantara mereka yang pindah dan memulai hidup baru dalam sebuah perkampungan di Toba Holbung Habinsaran. Di sana mereka menjalani hidup yang lebih baik sehingga banyak diantara marga ini meninggalkan Baligeraja.
Dari turunan Raja Mangunsong dan turunan Binduraja/ Rajabindu42 tinggal di Baligeraja, walaupun tidak begitu banyak. Hal tersebut berbanding terbalik dengan turunan Raja Mardagul 43 yang lebih banyak pindah ke Habinsaran. Begitu juga dengan turunan Raja Marpaung yang lebih banyak tinggal di Baligeraja.
42 Anak kedua Raja Simangunsong 43 Anak pertama Raja Simangunsong
(39)
Sedangkan turunan Raja Simanampang44banyak merantau menuju Habinsaran. Begitu juga dengan turunan Raja Napitupulu, Sibegulaos45, hanya turunan Raja
Mulia yang tinggal di Baligeraja dengan turunan Salimbabiat46. Dari turunan Raja
Bonani Onan terbilang hanya sedikit saja yang meninggalkan kampung Baligeraja, yaitu turunan Salengkat Raja47 yang bergerak kearah Humbang, yaitu ke Parlombuan, Sipahutar dan Siborong- borong tepatnya di Huta Parik Sabungan. Karena sudah banyak turunan Raja Mardagul, Bindu Raja, Raja Mangasean48,
Raja Simanampang 49 , Sibegulaos50 akhirnya pindah ke arah Habinsaran
mengakibatkan turunan Raja Bonani Onan lebih banyak berdiam Baligeraja dari dulu hingga sekarang.
Walaupun turunan Raja Bonani Onan pada umunya tinggal di Baligeraja diantara turunan saudaranya mereka mengetahui “ruhut- ruhut ni
pardongansabutuhaon” (norma dalam kekeluargaan), yaitu; marsihaholongan
(mengasihi), marsipasangapan (saling menghargai) dan saurdot (sepenaggung-sependeritaan). 51 Berdasarkan penjelasan diatas bahwasanya pada awalnya seorang Batak belumlah memiliki marga melainkan nama. Namun dengan perkembangan selanjutnya, nama tersebut tetap digunakan oleh keturunannya dari satu ayah sebagai identitas bersama selain nama diri yang disandangnya, yang pada akhirnya nama belakang tersebut menjadi identitas bersama dari satu turunan
44 Anak kedua Raja Marpaung
45 Anak pertama Ulu Balang Raja, cucu Raja Napitupulu 46 Anak pertama Raja Napitupulu
47 Anak Raja Tandang Buhit, Cucu dari Bonani Onan 48 Anak pertama Raja Marpaung
49 Anak kedua Raja Marpaung
50 Anak Ulung Balang Raja, cucu Raja Napitupulu
51Saurdot berasal dari kata urdot. Urdot adalah salah satu gerakan tari (berupa gerakan naik-turun), Jadi saurdot diartikan sebagai satu gerakan yang kemudian dianalogikan kepada prilaku manusia.
(40)
dan selanjutnya nama bersama itulah yang menjadi marga. Begitu juga dengan marga Raja Bonani Onan yang sudah disebut dengan Pardede. Sebagaimana disebutkan sebelumnya yaitu selalu turunnya hujan apabila mereka ini mengadakan pesta. Sejak dari saat itulah masyarakat menyebut dan memanggil Pardede terhadap Raja Bonani Onan.
Karena pardede sudah menjadi marga maka turunan Raja Sonak Malela kemudian bertambah menjadi empat marga. Raja Bonani Onan Pardede disebut
sebagai “anak mangulahi” dari Raja Sonak Malela, yang disetarakan dengan puteranya yang lain yaitu Simangunsong (anak tertua) Marpaung (anak ke dua) Napitupulu anak ke tiga dan Pardede anak paling bungsu. Keempatnya marga tersebut dianggap setara dan sama posisiya pada setiap acara- acara adat, baik suka maupun duka. Itulah yang menjadi alasan penyetaraan, sejajar, parallel, singkron yang terdiri dari empat marga (Simangunsong, Marpaung, Napitupulu dan Pardede). Dari keempat marga tersebut dianggap setara dan sama posisinya disetiap acara- acara adat kapan dan dimana saja.52
2.6.6 Upacara- Upacara tradisional Pomparan Raja Sonak Malela 2.6.6.1 Upacara Adat perkawinan
Upacara perkawinan Batak Toba merupakan salah satu acara adat yang rutin dilakukan ketika seseorang telah cukup usianya untuk berkeluarga. Kegiatan ini merupakan serangkaian acara tradisional yang dilakukan dengan mengikuti kebiasaan- kebiasaan leluhur Batak Toba dulunya. Namun dalam perjalannya acara ini telah mengalami perubahan akibat adanya pengaruh perkembangan
52Sumber; Buku dokumentasi Parsedaan Pomparan Ni Raja Sonak Malela, yang diterjemahkan oleh Penulis.
(41)
zaman. Sejalan dengan ini suku Batak Toba tetap melaksanakannya tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya sebelumnya. Upacara adat perkawinan Batak Toba akan dibahwa secara rinci pada sub tentang adat perkawinan ini akan dijabarkan bab selanjutnya.
2.6.6.2 Upacara Sulang-Sulang Pahompu
Sulang-sulang pahompu disebut juga dengan manggarar adat.
Sulang-sulang pahompu merupakan bentuk pesta adat karena pada perkawinan mereka
dulunya dilakukan secara mangalua (kawin lari). Menurut Bien Pasaribu (2009:42) kawin lari disebut juga dengan manuruk-nuruk yaitu sebutan pada sebuah prosesi pernikahan tanpa melalui prosedur adat sebagaimana mestinya. Biasanya hal tersebut dilakukan karena ada faktor tertentu. Misalnya; karena factor ekonomi, kekeluargaan, dan lain-lain. Artinya, pada perkawinan dahulu sepasang suami isteri awalnya belum melaksanakan adat sesuai dengan kebiasaan masyarakat Batak Toba, sehingga bersama dengan sanak saudara suami isteri tersebut harus mendatangi keluarga pihak perempuan untuk membayar utang adat yang tertunda akibat kawin lari tersebut.
Upacara manggarar adat ini biasanya dilakukan setelah suami isteri memiliki keturunan yang menjadi cucu (pahompu) dari orang tua mareka. Acara pembayaran hutang adat inilah yang disebut sulang- sulang pahompu karena cuculah (pahompu) yang menjadi alasan terbaik dilaksanakannya acara ini.
2.6.6.3 Upacara Saur Matua
Acara Saor Matua adalah adat kematian tertinggi bagi masyarakat Batak Toba. Seseorang disebut saur matua jika seluruh anak dari orang yang meninggal
(42)
sudah berkeluarga dan mempunyai cucu baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Dalam kebudayaan Batak Toba upacara adat saur matua menjadi cita- cita setiap orang tua Batak. Setiap orang menganggap bahwa cita-cita dan harapan akan terwujud jika nantinya dia saur matua. Dalam bahasa adat disebut
titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru.
Artinya banyak putera banyak puteri, mempunyai cucu dari anak juga dari boru. Hal ini seiring dengan salah satu isi dari tiga falsafah Batak Toba yaitu: hagabeon (banyak anak). Masyarakat Batak Toba mengharapkan keturunan yang banyak itu tersebar diberbagai tempat. Adapun isi yang lain yaitu Hamoraon (kekayaan) dan
Hasangapon (kehormatan). Pandangan ini menjadi tolak ukur keberhasilan satu
keluarga pada kehidupan bermasyarakat. Disamping itu juga didukung padangan
orang Batak yang menyebutkan “Banyak Anak Banyak Rejeki”.53
2.6.6.4 Mangompoi Jabu/ Meresmikan rumah baru
Acara adat untuk meresmikan rumah baru dalam Batak Toba disebut dengan mangompoi jabu. Acara ini biasanya dimulai dengan acara kebaktian dan dilanjutkan dengan acara adat. Dalam kebudayaan Batak Toba, rumah dianggap istimewa dan mempunyai roh. Rumah sebagai tempat berlindung untuk mengerjakan perkerjaan sehari-hari selalu dianggap akan memberikan berkah jika mendapatkan perlakuan yang layak. Hal- hal tersebut merupakan alasan bagi Batak Toba sehingga mereka membuat sebuah acara penting untuk memasuki
53Falsafah Batak Toba berbunyi “lak-lak diatas pintu, singkoru ginolom- golom, maranak sampulu pitu marboru sampulu onom” (kulit diatas pintu jail-jali dalam genggaman memiliki anak laki- laki tujuh belas dan anak perempuan enam belas). Demikianlah cita- cita ideal orang Batak Toba memiliki keturunan dahulu. Namun dalam perkembangan selanjutnya telah mengalami pergeseran terutama pada generasi yang lebih muda. akibat pengaruh zaman, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya termasuk program KB dari pemerintah.
(43)
rumah baru yang disebut dengan mangompoi jabu. Dengan membuat acara tersebut bagi orang yang tinggal dalam rumah dimaksud, berharap akan mendapat tuah dari dari rumah itu.
2.6.7. Upacara- upacara Adat diluar Tradisi Batak Toba
Ada beberapa upacara adat diluar tradisi Batak Toba di Kota Medan. Yang dimaksud diluar tradisi adalah bahwa acara ini pada awalnya bukan merupakan warisan leluhur Batak Toba. Akan tetapi oleh karena factor lingkungan, zaman, sosial dan factor lain, sehingga acara ini dibuat dan dikaitkan ke dalam adat. Acara tersebut antara lain adalah Acara ulang tahun STM.
2.6.7.1 Upacara Ulang Tahun STM
STM (Serikat Tolong-Menolong) adalah organisasi yang didirikan secara bersama oleh orang Batak dari berbagai latar belakang social dan marga di dalam lingkungan atau tempat dibuat berdasarkan lingkungan tempat tinggal anggota kelompok tersebut. Masyarakat Batak Toba di Medan biasanya tergabung kedalam sebuah STM dilingkungan tempat tinggal masing- masing.
Acara ulang tahun STM sama halnya dengan ulang tahun biasa. Akantetapi acara ini lazim juga dikaitkan dengan adat Batak Toba. Artinya mereka merayakan ulang tahun tersebut dengan konsep adat Batak Toba.
2.6.7.2 Upacara Bona Taon Marga
Secara umum terikat ke dalam sebuah organisasi marga. Baik terbentuk dengan alasan tempat/lokasi tempat tinggal maupun berdasar pada keturunan atau
marga (klen). Acara bona taon marga bisa diartikan sebagai acara silaturahmi
(44)
Contoh: acara bona taon Pomparan Ni Raja Sonak Malela di Medan yaitu acara tahun baru turunan Sonak Malela (Simangunsong, Marpaung, Napitupulu dan
Pardede) di Medan.54
2.7 Tempat dan Porsi Upacara Adat Batak Toba
Dalam melaksanakan acara adat, tentu saja tidak dapat lepas dari tempat yang digunakan untuk keberlangsungan acara tersebut. Masyarakat Batak Toba dikampung biasanya menggunakan halaman rumah sebagai tempat berlangsungnya acara. Berbeda dengan di Medan, acara adat biasanya dilaksanakan di Wisma, Balai Pertemuan, Sopo Godang dan lainnya. Hal tersebut akibat dari lokasi pemukiman kota Medan dan stuktur bangunan rumah di Medan. Tempat sebagai salah satu element acara biasanya dikondusikan oleh pihak masyarakat penyelenggara.
Porsi dalam hal penyelenggaraan Upacara adat diartikan sebagai ukuran besarnya acara adat tersebut. Ukuran dalam pemahaman ini meliputi kwantitas masyarakat yang turut serta dan menghadiri acara adat tersebut.
Untuk berjalannya sebuah acara tentu harus ada element masyarakat yang ikut ambil bagian dalam acara. Banyaknya masyarakat yang diundang dalam acara tersebut tergantung pada besarnya pesta adat yang akan berlangsung. Hal ini dilakukan berdasarkan pada aturan-aturan adat yang ada dalam suatu tempat.
54Contoh terdapat pada lampiran
(45)
2.8 Kesenian Dalam Pesta Adat Perkawinan Turunan Sonak Malela
Dalam melaksanakan pesta adat perkawinan turunan Sonak Malela terdapat beberapa unsur kesenian yang digunakan sebagai pendukung upacara, yaitu seni musik, seni sastera, seni tari (tor-tor), seni busana. Hadirnya unsur kesenian tersebut selain sebagai pendukung dan perlengkapan wajib upacara juga penanda atau pemberi identitas bahwa upacara besar dan mewah, tentunya tergolong mewah dan besar karena untuk pengadaannya diperlukan biaya besar serta perlengkapan yang banyak. Adapun seni tersebut akan dijelaskan sebagai berikut;
2.8.1 Seni Musik
Pada sekarang ini, musik dapat memberikan ukuran bagaimana kemewahan sebuah acara adat. Dengan melihat penggunaan musik, kita dapat menetukan bagaimana keluarga yang berpesta baik dari segi kemapanan maupun dari segi ekonomi. Dalam sebuah acara adat adakalanya menggunakan dua ensambel biasanya terdiri dari gondang sabangunan dan ensambel musik tiup55. Tetapi bisa juga hanya menggunakan satu ensambel saja. Semua tergantung kepada pemilik acara dan kemampuan dalam melakukan sebuah upacara adat. Seni musik yang terdapat dalam pesta adat turunan Sonak Malela terdiri dari musik instrumentalia dan vokal. Musik instrumentalia merupakan musik pokok sedangkan vokal merupakan musik tambahan. Artinya, musik intrumentalia adalah musik yang digunakan dalam mengiringi acara tersebut dari suatu tahapan ke tahapan berikutnya, sedangkan musik vokal hanya digunakan
55Lihat Skripsi Sudarsono Malau tentang “ensambel musik tiup pada masyarakat Batak Toba”.
(46)
pada tahap-tahap tertentu, itupun tidak pernah berdiri sendiri. Kehadirannya selalu bersama-sama dengan instrumen musik lainnya. Contoh: Pada saat menyampaikan Ulos Passamot56, ende ulos passamot akan dinyanyikan dengan iringan keyboard, keyboard dan sulim, ataupun instrument musik lainnya. Instrument musik yang umum dipakai terdiri dari beberapa instrument tradisional dan instrument modern. Instrument musik tradisional yang digunakan yaitu sulim,
taganing dan hasapi. 57 Selanjutnya Instrument modern yang digunakan
contohnya: Saxophone, Keyboard, Terompet dan Trombon. Instrument modern dalam hal ini maksudnya adalah instrument yang berasal dari Barat yang diciptakan dengan teknologi modern. Instrument ini digunakan dalam mengiringi pesta adat.
Jadi, dapat disimpulkan beberapa alat musik yang digunakan dalam upacara adat perkawinan turunan Sonak Malela antara lain : Sulim, Taganing,
Saxophone, Trombon, Keyboard dan Terompet. Instrument ini tergabung dalam
sebuah ensambel musik tiup. 2.8.2 Seni Sastra
Seni sastra juga hadir dalam pelaksanaan adat perkawinan turunan Sonak
Malela yaitu umpama dan umpasa. Umpama adalah rangkaian kalimat berupa
perumpamaan dan biasanya berisikan petuah.
56 Ulos yang disampaikan kepada orang tua pengantin laki-laki
57 Sulim (transverse bamboo-flute-aerophone), Taganing yaitu seperangkat gendang bernada bersisi satu yang terdiri dari odap-odap, paidua odap, painonga, paidua ting-ting, dan ting-ting, Hasapi (two stringed boat lute-chordophone)
(47)
Contoh;
ikkon sada do hamu songon daion aek unang mardua songon daion tuak
artinya; kalian harus sama seperti halnya rasa air mineral bukan seperti rasa air nira yang bermacam-macam.
Umpama ini sering di sampaikan orang-orang kepada pihak yang satu keluarga
agar mereka senantiasa untuk bersama dan tidak dapat dipisahkan oleh pihak apapun.
Sedangkan umpasa adalah karya sastra dalam bentuk syair/ puisi yang berisi pernyataan restu, nasehat dan doa bagi orang yang mendengarnya. contohnya :
Ompunta naparjolo martungkothon salagundi Pinukka ni napajolo ihuthonon ni naparpudi
Artinya ; leluhur kita dulunya pakai tongkat salagundi
kebiasaan-kebiasaan yang dimulai leluhur kita dulu hendaknya diikuti keturunannya
Suku Batak Toba dalam melaksanakan upacara adat menggunakan Bahasa Batak Toba. Akantetapi akibat adanya beberapa orang yang tidak mengetahui bahasa Batak sehingga bahasa nasional juga digunakan untuk adat
(48)
tersebut. Disamping itu Batak Toba selalu mempertahankan bahasanya tersebut karena sudah mendarahi-daging khususnya dalam konteks adat.
2.8.3 Seni Tari
Unsur seni tari dalam upacara perkawinan turunan Sonak Malela sangat jelas terlihat. Tari yang dimaksud adalah tortor. Manortor (menari) adalah wujud ekspresi suku Batak Toba melalui gerakan. Tortor selalu diiringi musik
(gondang). Dalam upacara adat, tortor dapat digunakan sebagai indikator posisi
atau penanda kedudukan seseorang dalam adat. Artinya dengan melihat gerakan
tortor seseorang dapat diketahui posisi atau kedudukannya dalam adat tersebut
(apakah dia sebagai hula-hula, dongan tubu/dongan sahuta atau boru).
Tortor dapat disajikan secara perorangan dan juga berkelompok. Contoh tortor
perorangan adalah tortor tunggal panaluan, tarian seseorang dukun (datu) untuk meminta sesuatu.58 Sedangkan tari yang disajikan dengan berkelompok contohnya adalah tortor dalihan na tolu. Tarian ini diperankan oleh unsur kekerabatan
dalihan na tolu yaitu hula-hula, dongan tubu dan boru secara bersama-sama yang
didalam gerakannya menunjukkan kerukunan kekerabatan tersebut. Tortor juga memiliki properti dan pemaknaan tersendiri tergantung konteksnya masing-masing. Contoh ; tortor embas yaitu gerakan yang didalamnya terdapat embas59.
Tor-tor mangaliat yaitu gerakan menari sambil berkeliling mengikuti arah jarum
jam.
58 Sekarang tarian ini dapat ditarikan oleh seseorang (bukan dukun) dalam konteks hiburan. 59 Berupa gerakan ekspresi kegembiraan dan keriangan hati.
(1)
tersebut. Disamping itu Batak Toba selalu mempertahankan bahasanya tersebut karena sudah mendarahi-daging khususnya dalam konteks adat.
2.8.3 Seni Tari
Unsur seni tari dalam upacara perkawinan turunan Sonak Malela sangat jelas terlihat. Tari yang dimaksud adalah tortor. Manortor (menari) adalah wujud ekspresi suku Batak Toba melalui gerakan. Tortor selalu diiringi musik
(gondang). Dalam upacara adat, tortor dapat digunakan sebagai indikator posisi
atau penanda kedudukan seseorang dalam adat. Artinya dengan melihat gerakan
tortor seseorang dapat diketahui posisi atau kedudukannya dalam adat tersebut
(apakah dia sebagai hula-hula, dongan tubu/dongan sahuta atau boru).
Tortor dapat disajikan secara perorangan dan juga berkelompok. Contoh tortor
perorangan adalah tortor tunggal panaluan, tarian seseorang dukun (datu) untuk meminta sesuatu.58 Sedangkan tari yang disajikan dengan berkelompok contohnya adalah tortor dalihan na tolu. Tarian ini diperankan oleh unsur kekerabatan
dalihan na tolu yaitu hula-hula, dongan tubu dan boru secara bersama-sama yang
didalam gerakannya menunjukkan kerukunan kekerabatan tersebut. Tortor juga memiliki properti dan pemaknaan tersendiri tergantung konteksnya masing-masing. Contoh ; tortor embas yaitu gerakan yang didalamnya terdapat embas59.
Tor-tor mangaliat yaitu gerakan menari sambil berkeliling mengikuti arah jarum
jam.
58 Sekarang tarian ini dapat ditarikan oleh seseorang (bukan dukun) dalam konteks hiburan. 59 Berupa gerakan ekspresi kegembiraan dan keriangan hati.
(2)
Tortor sombah yaitu gerakan tortor seperti menyembah sebagai bentuk penghormatan kepada pihak-pihak tertentu.60 Dan banyak lagi jenis-jenis tortor yang ada dalam kebudayaan Batak Toba.
Di lingkungan masyarakat Kota Medan, selain dalam acara adat, tor-tor juga digunakan dan dilatih diberbagai sanggar seni seperti; Ria Agung Nusantara (RAN), MCDC (Medan Culture Dance Company) dan lainnya. Hal tersebut merupakan suatu inovasi untuk mengembangkan tortor terutama dari segi artistik agar tidak terlupakan sebagai sebuah warisan budaya.
2.8.4 Seni Kerajinan Tangan dan Busana
Adapun maksud seni kerajinan tangan dalam hal ini adalah bentuk karya seni berupa benda-benda yang turut digunakan dalam upacara adat Batak Toba. Benda-benda tersebut memiliki simbol serta lambang-lambang. Setiap ada acara adat Batak Toba benda ini wajib digunakan. Benda tersebut adalah Ulos.
2.8.4.1 Ulos
Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang, yang panjang bisa
mencapai 2 meter dan lebarnya 70 centimeter, didominasi warna hitam,merah dan putih, yang bertekstur kasar. Dikalangan orang Batak sering terdengar ‘mengulosi’ yang artinya memberi Ulos, atau menghangatkan dengan ulos. Dalam
hal mangulosi, ada aturan yang harus dipatuhi, antara lain orang hanya boleh
mengulosi mereka yang menurut kerabatan berada dibawahnya, misalnya orang
tua boleh mangulosi anak, tetapi anak tidak boleh mangulosi orang tua. Jadi dalam prinsip kekerabatan Batak yang disebut ‘Dalihan Na tolu’, yang terdiri atas
(3)
unsur-unsur hula-hula boru, dan dongan sabutuha, seorang boru tidak dibenarkan
mangulosi hula-hulanya. Ulos yang diberikan dalam mangulosi tidak boleh
sebarangan, baik dalam macam maupun cara membuatnya.
Adapun jenis-jenis Ulos adalah Pertama, Ulos Ragidup, Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Pada zaman dahulu dipakai juga untuk “Mangupa Tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si
habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain, yang
dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan Tubu.
Kedua, Ulos jugia. Ulos ini disebut juga “ulos naso rapipot atau
pinunsaan”. Jenis ulos ini menurut keyakinan Orang Batak tidak dapat dipakai oleh sembarangan orang, kecuali orang yang sudah Saurmatua, yaitu semua anaknya laki-laki dan perempuan yang sudah kawin dan punya anak.
Ketiga, Ulos Ragi Hotang. Dahulu Ulos ini pernah diberikan kepada pengantin sebagai ulos hela, yang adapun maksud pemberian ini agar ikatan lahir batin pengantin dapat teguh seperti ikatan hotang (rotan), tetapi belakangan ini ulos ini telah banyak kita lihat gunakan sebagai “Ulos Hotang”. Ulos ini dapat juga diberikan pada acara mangupa-upa atau pesta lain yang gembira ria.
Keempat, Ulos Sibolang. Ulos ini dapat dipakai untuk acara duka cita atau suka cita. Untuk acara duka cita dipilih yang warna hitamnya dan banyak dipakai untuk ulos saur matua, ulos sampe-sampe dalam upacara perkawinan, ulos ini biasanya dipakai sebagai tutup ni ampang dan bisa disandang sebagai “hande hande”.
(4)
Kelima, Ulos Mangiring. Ulos ini mempunyai corak/ ragi yang saling iring-beriring, yang melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Sering diberikan orang tua kepada cucunya, sebagai Ulos Parompa agar kelak adik-adiknya beriringan anak laki-laki dan anak perempuan.
Keenam, Ulos Bintang Maratur. Ragi/ corak ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang beraturan, menggambarkan orang yang patuh, tekun, setia dan seia sekata atau ikatan kekeluargaan. Dalam kehidupan sehari-hari, mula-mula memberikan sehari-hari, mula-mula mula-mula memberikan ulos ini sebagai “Ulos Mula Gabe” kepada borunya yang melahirkan anaknya yang pertama yang menunjukkan kasih saying orang tua kepada borunya.
Ketujuh, Ulos jungkit. Ulos ini jenis ulos “Nanidongdang” atau ulos
paradu (permata). Dahulu ulos ini dipakai oleh para anak gadis dan keluarga
Raja-raja. Kemudian juga dipakai pada waktu menerima tamu pada waktu kawin. Ulos ini pernuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana suka cita. Begitu indahnya ulos sedum ini sehingga sering dipakai sebagai kenang-kenangan kepada pejabat pejabat atau tamu istimewa.
Kedelapan, Ulos Rujat. Ulos ini biasanya dipakai oleh raja/ orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos “edang-edang” (dipakai pada waktu pergi ke undangan). Ulos ini diberikan kepada penganten oleh keluarga terdejat menurut versi (tohonan) dalihan na tolu diluar hasuhutan bolon, Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu “mangupa-upa” dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni roha).
(5)
Dari beberapa jenis ulos diatas tidak semua ada dan digunakan oleh turunan
Raja Sonak Malela dalam upacara adat perkawinan tersebut.
Tentu penggunaan beberapa ulos harus disesuaikan dengan kontek dengan pengertian yang telah dijabarkan.
2.8.4.2 Busana
Busana/ tekstil adalah unsur penting dalam sebuah acara adat. Busana dapat memberikan warna terhadap kemewahan upacara adat. Artinya dengan melihat busana pihak berpesta, tentu kita dapat memberikan penilaian dan bisa membandingkan dengan upacara lainnya. Awalnya dalam melakukan upacara adat pihak berpesta (saudara dekat orang yang berpesta) menggunakan pakaian adat atau busana yang berasal dari kebudayaan Batak Toba. Akan tetapi dewasa cenderung ini menggunakan pakaian nasional (Jas dan Kebaya). Ada juga yang memodifikasi pakaian nasional tersebut dengan bermotif ulos. Semua keluarga dekat penganting biasanya menggunakan pakaian dengan seragam supaya terlihat serasi dan wujud dari kekompakan mereka. Kemudian mereka menyertakan pernak-pernik contohnya, sortali61. Hal tersebut dilakukan guna kepentingan artistik tanpa meninggal unsur budaya yang kemudian sebagai tolak ukur kebesaran upacara adat tersebut.
Berbicara tentang kain atau busana, pada dasarnya bahwa seni yang berhubungan dengan tekstil ini bukan semata-mata untuk melindungi tubuh manusia dari segala bentuk cuaca akantetapi juga memiliki makna yang tentunya
(6)
berhubungan dengan sosial dan budaya manusia. Hal itu dilakukan atas dasar paham dan pengertian-pengertian manusia yang melakukannya.62
Jika ditarik dalam aktivitas adat Batak Toba hal tersebut sejalan dengan pemakaian busana untuk berlangsungnya sebuah acara. Busana yang digunakan pada dasarnya berhubungan dengan sosial dan budaya.