keterangannya atau andai kata perempuan kelihatan bunting atau oleh sebab adanya pengakuan”. H.R. Muslim.
22
Dari keterangan Umar Ibnu Khattab dibuktikan dengan hadits berikut bahwa pezina yang muhsan dihukum rajam.
ا ه ﻰ
ﺮ ﺮ
ة لﺎ
: أ
ﻰ ر
ر ﻮ
ل ﷲا
ﻰ ﷲا
و و
ه ﻮ
ﻰ ا
ﺪ دﺎ
ا لﺎ
: ﺎ
ر ﻮ
ل ﷲا
ا ز ﻰ
ﺄ ﺮ
ض ﻰ
ر د
د را
ﺮ تا
ﺎ ﻬ
ﺪ ﻰ
ا ر
ﻬ دﺎ
ت د
ﺎ ا
ﻰ ﻰ
ﷲا و
: لﺎ
ا ﻚ
ﻮ ن
لﺎ :
ﻻ ﻬ
ا لﺎ
لﺎ ا
ﻰ ﻰ
ﷲا و
ا هذ
ﻮ ا
رﺎ ﻮ
اور ا
Artinya : “Dari Abi Hurairah r.a. mengabarkan seorang laki-laki telah datang menghadap Rasulullah SAW, didalam masjid seraya berkata
ya Rasulullah sesungguhnya aku telah baerzina, mendengar pengakuan itu Rasulullah kemudian berpaling, sehingga orang
tersebut mengulangi pengakuan sampai 4 kali, kemudian Nabi SAW, mengambil sumpahnya setelah baersumpah 4 kali, kemudian
beliau berkata “: apakah kamu gila ? jawabnya : tidak Apakah anda sudah beristeri? Tanya Rasulullah SAW, ia menjawab : benar,
lalu menyuruh para sahabat bawalah ia pergi dan rajamlah ia” H.R. Bukhari.
23
Jadi hukum yang diberikan kepada pemerkosa yang sudah beristeri itu dihukum dengan hukuman rajam sampai si pelaku menemui ajalnya.
b. Hukuman Dera Jilid
22
Abi al-Husein Muslim Bin al-Hajaj al-Qusyairi al-Nay Sabury, Shahih Muslim, Dar Al-Ihya, al-Kutub Al-Arabiyah, 1918, juz III, h. 1317.
23
Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut :Dar Wa Mathabi al- Syu’ab, tth, jilid III, h. 117.
hukuman jilid ini adalah hukuman cambukan sampai seratus kali, pada pelaksanaan sanksi hukuman ini sama sekali tidak mempunyai motif
pembunuhan. Namun dalam pembunuhan ini tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang dihukum sebelum mencapai bilangan 100 pelaku bisa saja
mati terlebih dahulu. Hukum ini dijelaskan dalam firman Allah SWT :
☺ ☺
☺ ⌧
⌧ ☺
24
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, dera lah tiap- tiap dari keduanya seratus kali dera …. “Q.S An-Nurr24 : 2
Hukuman dera ini berlaku bagi pemerkosa yang belum menikah atau beristeri ghaira muhsan si pelaku pemerkosa karena perbuatannya harus
dijatuhi hukuman jilid 100 kali cambukan.
c. Hukuman Pengasingan Internir
Hukuman pengasingan ini adalah si pelaku pemerkosa dibuang kesuatu tempat selama satu tahun lamanya. Hukuman ini adalah hukuman tambahan
24
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim,h.504.
dari hukuman dera terhadap pelaku yang ghaira muhsan, ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW :
ز ﺪ
نا ا
ﺎ لﺎ
: ا
ﻰ ﻰ
ﷲا و
: ﺄ
ﺮ ز
ﻰ ﺔﺋﺎ
ﺮ مﺎ
. ىرﺎ ا اور
25
Artinya : “Dari zaid bin khalliq berkata : bahwa saya telah mendengar dari Nabi saw, beliau memerintahkan dalam perkara orang yang berzina
tidak muhsin agar diberi sanksi hukuman seratus kali dera dan pengasingan satu tahun”. H.R. Bukhari.
Dalam sanksi hukuman tambahan ini hukuman pengasingan para fuqaha berbeda pendapat, yaitu :
26
1. Menurut Imam Malik : dalam hukuman pengasingan buang hukuman
dikenakan kepada laki-laki saja, sedang perempuan tidak ditimpahkan hukuman tersebut atasnya.
2. Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal : menyetujui hukuman pengasingan
Salama satu tahun sebagai hukuman tambahan terhadap hukuman dera. 3.
Imam Abu Hanifah : terhadap hukuman pengasingan sebagai hukuman tambahan setelah pertimbangan hakim atau kebijaksanaannya yang
menangani perkara. 4.
Sedang pendapat kebanyakan para ulama sebagaimana pendapat imam Ahmad, yang juga diantaranya : imam Syafi’i, Al-Qurtubi, Atho, Thowus
25
Fauzan al-Anshari, Hukuman Bagi Pezina dan Penuduhnya, Jakarta : Khairul Bayan, 2002,h.21.
26
Asyahari’ Abd Ghafar, Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil
, Jakarta : Grafindo Utama, 1987,h. 28-29.
dan para khulafa Rasyidin mengatakan perlunya diberikan hukuman dera dan pengasingan bagi para pelaku yang tidak muhsan.
Melihat dari penjelasan diatas yang diberikan oleh fuqaha, maka pada dasarnya seluruh ulama menyetujui hukuman pengasingan bagi pelaku laki-
laki, selama satu tahun sebagai hukuman tambahan dari hukuman dera terhadap seorang pelaku yang ghairu muhsan dalam hukuman yang akan
dijatuhkan kepada para pelaku harus terlebih dahulu diselidiki dan benar- benar dapat dibuktikan bahwa pelaku telah benar melakukan kejahatan dosa
besar ini, maka dalam hal ini dibutuhkan beberapa bukti agar hukuman dapat diterapkan atau dijatuhkan terhadap pelaku.
2.
Menurut Hukum Positif
Tindak pidana perkosaan atau “verkrachting” itu oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam pasal 285 KUHP, yang rumusan aslinya di
dalam bahasa Belanda berbunyi sebagai berikut : “Hij die door geweld of bedreiging met geweld eene vrouw dwingt met
hem buiten echt vleeselijke gemeenschap tehebbeb, world, als schuldig aan verkachting, gesraf met gevangesisstraf van ten hoogste twaalf
jaren”. Artinya :
“Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan memaksa seseorang wanita mengadakan
hubungan kelamin diluar perkawinan dengan dirinya, karena bersalah
melakukan perkosaan dipidana dengan pidana penjara selama- lamanya dua belas tahun”.
27
Sementara rumusan tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 KUHP berbunyi :
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum
karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”.
Diancaman hukuman dalam pasal ini ialah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya untuk
bersetubuh dengan dia. Pembuat undang-undang ternyata menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk
bersetubuh, bukanlah semata-mata karena paksaan seorang perempuan terhadap laki-laki dipandang tidak mungkin, akan tetapi justru karena
perbuatan bagi laki-laki dipandang tidak mengakibatkan suatu yang buruk atau yang merugikan. Bukanlah seorang perempuan ada bahaya untuk
melahirkan anak akibat perbuatan tersebut. Seorang perempuan yang dipaksa demikian rupa, sehingga akhirnya tidak dapat melawan lagi dan terpaksa mau
melakukan persetubuhan itu, masuk pula dalam pasal ini. “Persetubuhan” harus benar-benar dilakukan. Apabila tidak, mungkin dapat dikenakan pasal
27
P.A Flamintang, Delik-delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan
, Bandung : Manjar Maju, 1990, h. 108.
289 tentang “perbuatan cabul”. Sedangkan yang dimaksud kekerasan adalah membuat orang pingsan atau tidak berdaya lagi pasal 289 KUHP.
Menurut M. Sudrajat Bassar, S.H., istilahnya “verkrachting” yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai perkosaan dipandang kurang
tepat. Dalam bahasa Indonesia kata “perkosaan” saja sama sekali belum menunjukan pada pengertian “perkosaan untuk bersetubuh” sedangkan
diantara orang Belanda istilah “verkrachting” berarti “perkosaan untuk bersetubuh”. Dengan demikian menurut beliau sebaiknya kualifikasi tindak
pidana dari pasal 285 KUHP ini harus disebut “perkosaan untuk bersetubuh”. Tindak pidana ini mirip dengan tindak pidana yang diatur dalam pasal
289 KUHP, yang dirumuskan : “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorng melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan
hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun”. Tindak pidana ini disebut dengan “penyerangan kesusilaan dengan
perbuatan” atau “perkosaan untuk cabul”. Kedua tindak pidana tersebut terdapat perbedaan, yaitu :
a. “Perkosaan untuk bersetubuh” yang diatur dalam pasal 285 KUHP
hanya dapat dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita, sedangkan “perkosaan untuk cabul” yang terdapat dalam pasal 289
KUHP juga dapat dilakukan oleh seorang wanita terhadap pria”.
b. “Perkosaan untuk bersetubuh” hanya dapat dilakukan di luar
perkawinan, sehingga seorang suami boleh saja memperkosa isterinya untuk bersetubuh, sedangkan “perkosaan untuk cabul”
juga dapat dilakukan didalam perkawinan, sehingga tidak boleh seorang suami memaksa isterinya untuk cabul, atau seorang isteri
memaksa suaminya untuk cabul”. Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam pasal 285 KUHP itu
hanya mempunyai unsur-unsur objektif, yaitu : 1
Barang siapa; 2
Dengan kekerasan atau; 3
Dengan ancaman dengan memakai kekerasan; 4
Memaksa; 5
Seorang wanita; 6
Mengadakan hubungan kelamin diluar perkawinan; 7
Dengan dirinya; Walapun didalam rumusannya, undang-undang tidak mensyaratkan
keharusan adanya “kesengajaan” pada diri pelaku, akan tetapi dengan dicantumkannya unsur “memaksa” dalam pasal 285 KUHP, kiranya jelas
bahwa tindak pidana perkosaan itu harus dilakukan dengan sengaja. Dengan demikian unsur kesengajaan tersebut harus dapat dibuktikan.
Untuk membuktikan adanya unsur kesengajaan seorang terdakwa melakukan tindak pidana perkosaan, maka penuntut umum maupun hakim
harus dapat membuktikan tentang : a
Adanya ‘kehendak’ atau ‘maksud’ terdakwa memakai kekerasan; b
Adanya ‘kehendak’ atau ‘maksud’ terdakwa untuk mengancam akan memakai kekerasan;
c Adanya ‘kehendak’ atau ‘maksud’ terdakwa untuk memaksa;
d Adanya ‘pengetahuan’ pada terdakwa bahwa yang dipaksa itu adalah
seorang wanita yang bukan isterinya; e
Adanya ‘pengetahuan’ pada terdakwa bahwa yang dipaksakan untuk dilakukan oleh wanita tersebut ialah untuk mengadakan hubungan
kelamin dengan dirinya diluar perkawinan. Sehingga dengan adanya pembuktian akan tersebut diatas jaksa
penuntut umum maupun hakim dapat memproses perkara perkosaan dan pelaku perkosaan dapat dihukum sesuai dengan KUHP.
D. Surat dakwaan dan Putusan Hakim