Analisa hukum islam dan KUHP terhadap putusan perkara tindak pidana perkosaan anak ideot : studi analisa putusan no.054/pid/b/1997/pn.jkt-barat

(1)

ANALISA HUKUM ISLAM DAN KUHP TERHADAP PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN ANAK IDEOT

(Studi Analisis Putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR) Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh :

Muhammad Agus Setiawan NIM : 105043201333

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2010


(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul ANALISA HUKUM ISLAM DAN KUHP TERHADAP PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN ANAK IDIOT (Studi Analisis Putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universtias Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Kamis, 20 Mei 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (SSy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (Perbandingan Hukum).

Jakarta, 20 Mei 2010

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 1955 0505198203 1012

PANITIA UJIAN

1. ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA (……….) NIP. 1957 0312 1985 1003

2. Sekretaris : Dr.H. Muhammad Taufiqi, M.Ag (.……….) NIP. 19651119 199803 1002

3. Pembimbing : Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM(….…………) NIP. 1955 0505198203 1012

4. Penguji I : Dr.H. Ahmad Mukri Aji, MA (……….) NIP. 1957 0312 1985 1003

5. Penguji II : Nahrowi, SH.MH (……….) NIP. 1973 0215 199903 1002


(3)

ANALISA HUKUM ISLAM DAN KUHP TERHADAP PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN ANAK IDEOT

(Studi Analisis Putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR) Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh :

Muhammad Agus Setiawan NIM : 105043201333

Pembimbing

Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 1955 0505198203 1012

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2010


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahhirahmaanirrahiim,

Segala puji bagi Allah SWT, shalawat serta salam bagi Rasulullah SAW beserta keluarganya yang suci atas terselesaikannya tulisan ini. Atas berkat rakhmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini yang bertujuan tidak lain untuk memenuhi syarat kelulusan yang dilaksanakan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Skripsi ini diberi judul : “ ANALISA HUKUM ISLAM DAN KUHP TENTANG PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK IDEOT (Studi Analisis Putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR)”.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Skripsi ini masih dan sangat jauh untuk disebut sempurna, mengingat akan keterbatasan penguasaan berbagai literatur dan waktu yang dipunyai oleh penulis. Meski demikian semoga Skripsi ini dapat menjadi bahan masukan dan acuan bagi Fakultas Syari’ah dan Hukum khususnya bagi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang menjadi almamater penulis.

Dalam menyelesaikan tulisan ini, Penulis mendapatkan bantuan yang dibutuhkan dari berbagai pihak. Untuk itu, sudah selayaknya penulis memberikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu secara moril maupun materiil.


(5)

Selanjutnya penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga selaku pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan dan nasehat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. dan Pembantu Dekan I, II dan III yang telah membimbing dan memberikan ilmu kepada penulis.

2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA selaku Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengarahan serta waktu kepada penulis disela-sela kesibukan beliau.

3. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang juga membimbing, meluangkan waktu dan mengarahkan segenap aktivitas yang berkenaan dengan jurusan.

4. Seluruh Dosen-dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta kepada karyawan dan Staf Perpustakaan yang telah memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi.


(6)

iii

5. Yang sangat penulis cintai dan hormati kedua Orang Tuaku, Bapakku H. Jaya ibuku Hj. Rumsanah atas dukungan, dorongan morilnya dan semuanya yang tidak terhingga (tidak ada doa dan kasih sayang yang paling tulus dan besar selain doa dan kasih sayang orang tua).

6. Terima kasih tak kurang penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat seperjuangan Solah Al-Hasyimi, Ijul Al-Ghozali, Munir Al-Isnu, Arif van Holen dan Ipul As-Sukuti, Zulfikar Al-Misbah yang telah memberikan rasa persahabatan mendalam kepada penulis sehingga menjadi inspirasi dalam penulisan skripsi ini.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini dan semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Amien.

Billahifisabilil haq, wassalammu’alaikum.

Jakarta, 23 Maret 2010


(7)

DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Pembatasan Masalah ...11

C. Perumusan Masalah ………..12

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….12

E. Metode Penelitian ……….13

F. Review Studi Terdahulu ………17

G. Sistematika Penelitian … ………..18

BAB II :TINJAUAN UMUM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM MENGENAI TINDAK PIDANA PERKOSAAN A. Pengertian Pidana ……….…20

B. Tindak Pidana Perkosaan ………..34

C. Jenis-jenis Perkosaan ………36

D. Kejahatan Asusila bagi Anak di Bawah Umur ………..38

E. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak …………48

BAB III : ANALISA YURIDIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM No. 054 /PID /B/ 1997/PN. JAKBAR. A. Perkosaan Menurut Hukum Islam dan KUHP ...54


(8)

B. Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan ...59

C. Sanksi Hukuman Bagi Pelaku Perkosaan ...69

D. Surat Dakwaan dan Putusan Hakim ...78

E. Analisis Hasil Penelitian ...82

BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan ...93

B. Saran... ...95


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah salah satu negara yang berdasarkan pada hukum, yang mana sistem yang dianut adalah sistem konstitusionalisme. Hal ini tertuang dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang mana berbunyi: ”Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka

(Machtstaate)”. Dan “Pemerintahan Indonesia berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)”. Hal ini sudah dipertegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-3 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: ”Negara Indonesia adalah negara hukum”. Selain itu, tertegas pula dalam idealisme negara kita bahwa Pancasila adalah sebagai sistem hukum. Di mana ia merupakan sumber dari segala sumber hukum atau sumber hukum yang tertinggi di dalam sistem atau tata hukum Indonesia. Pada intinya, Pancasila bertujuan untuk mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, serta kemampuan untuk mengayomi masyarakat, bangsa dan negara. Begitu jelas pernyataan-pernyataan itu tersebut dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga telah nyata juga adanya batasan-batasan mengenai bentuk dasar dan sistem Negara Indonesia.1

1

C.S.T, Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002, h. 59.


(10)

2

Adanya upaya pembentukan hukum di negara kita adalah merupakan bagian dari upaya pembangunan nasional. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa pembangunan adalah suatu proses yang di alami oleh masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Untuk dapat mencapai suatu sasaran yang diharapkan dari proses pembangunan, maka pada umumnya kegiatan pembangunan haruslah terencana, terpadu, dan terarah. Sejalan dengan hal itu, orang pun banyak berpendapat bahwa masa kini adalah hasil komulatif serta kesinambungan dari masa yang telah lalu dan upaya bersama suatu bangsa pada masa kini melalui suatu perubahan sosial dan budaya yang direncanakan demi pelaksanaan pembangunan.2

Dalam kaitannya dengan pembangunan yang sedang dilaksanakan di Indonesia, maka di usahakan agar pembangunan tersebut mencakup aspek-aspek materiil dan spiritual dari kehidupan masyarakat, yang mana meliputi bidang-bidang karya, cipta, dan rasa. Selain itu, pembangunan juga tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan bidang hukum yang merupakan salah satu sarana untuk menjaga keserasian, keutuhan serta pembaharuan masyarakat. Ketertiban dan integrasi melalui hukum merupakan unsur yang esensial bagi setiap bentuk kehidupan politik yang terorganisir, sebab negara merupakan salah satu lembaga yang memiliki fungsi utama untuk memenuhi cita-cita tersebut. Selain itu, adanya pembangunan nasional tidak bisa terlepas dari partisipasi masyarakat Indonesia seluruhnya.

2


(11)

3

Seiring dengan kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan (iptek), perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks. Perilaku yang demikian apabila ditinjau dari segi hukum, tentunya ada perilaku yang sesuai dengan norma dan ada yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran dari norma. Perilaku yang menyimpang dari norma biasanya akan menjadikan suatu permasalahan baru di bidang hukum dan merugikan masyarakat.3 Perilaku yang tidak sesuai norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketentraman dan ketertiban terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Penyelewengan atas suatu norma yang berlaku biasanya oleh masyarakat umum dinilai sebagai suatu kejahatan dalam ruang lingkup hukum pidana dan kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan oleh negara. Kenyataan telah membuktikan bahwa kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi akan tetapi sulit diberantas secara tuntas.4

Kejahatan yang dihadapi oleh manusia mengakibatkan masalah yang dihadapi oleh manusia menjadi datang silih berganti, sehingga dapatlah dikatakan bahwa hal tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk yang kehilangan arah dan tujuan di mana manusia mempunyai ambisi, keinginan dan tuntutan yang dibalut oleh nafsu. Akan tetapi, karena hasrat yang berlebihan gagal dikendalikan

3

Ibid. hal. 3

4


(12)

4

dan di didik, maka mengakibatkan masalah yang dihadapinya semakin bertambah banyak dan beragam. Kejahatan yang terjadi dewasa ini bukan hanya menyangkut kejahatan terhadap nyawa dan harta benda saja, akan tetapi kejahatan terhadap kesusilaan juga semakin meningkat jumlahnya. Dalam hal kesusilaan, sering terjadi pada suatu krisis sosial di mana keadaan tersebut tak bisa lepas dari peranan kaidah sosial yang ada.

Anak-anak dan kaum perempuan sangatlah rawan menjadi korban dari kejahatan. Berbagai penelitian dan pembahasan sudah cukup untuk mengaktualkan, merekontruksi, menginterprestasi dan memberdayakan hak-hak anak dan perempuan pada khususnya. Hak-hak anak dan wanita menjadi obyek pembahasan seiring dengan beragam persoalan sensitif yang melanda kaum anak dan perempuan tersebut. Dalam hal anak yang menjadi korban dari adanya tindak pidana yang terjadi maka dapatlah dipastikan bahwa dalam hal ini terjadi pelanggaran atas hak-hak anak, sehingga anak-anak menjadi kehilangan hak-hak yang seharusnya dinikmatinya. Masa anak-anak adalah masa di mana seorang anak mulai mengenal kehidupan, masa di mana terjadi proses pematangan fisik, kecerdasan, emosional, dan juga sosial. Masa ini juga merupakan masa di mana seorang anak akan melewatkan waktunya untuk bermain, belajar dan tumbuh berkembang dengan sehat. Selain itu, anak merupakan cikal bakal yang sangat berpotensi untuk di didik menjadi manusia dewasa yang berintelektual, handal, kreatif dan produktif. Sebab, anak merupakan generasi yang merupakan asset bagi pembangunan suatu bangsa.


(13)

5

Anak akan menjadi harapan penerus bagi kelangsungan suatu bangsa. Sebab, pada dasarnya nasib suatu bangsa sangat tergantung pada generasi penerusnya. Apabila generasi penerusnya baik, maka dapat dipastikan juga kehidupan suatu bangsa itu juga akan berlangsung baik. Namun sebaliknya jika generasi penerus itu rusak, maka rusaklah kehidupan bangsa itu. Begitu pentingnya generasi penerus bagi kelangsungan hidup berbangsa. Maka sudah sewajarnya jika seorang anak harus diberikan perhatian dan perlindungan khusus, terlebih lagi bagi anak yang mempunyai kekurangan atau yang biasa dikenal dengan istilah anakcacat (idiot) atau difabel. Menurut Pasal 7 angka (7) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ”Anak yang menyandang cacat adalah anak yangmengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar”.

Tentunya ada perlindungan/perlakuan yang sangatlah khusus bagi anak yang mempunyai kekurangan dan perbedaan dari anak normal. Sebab, mereka sangat berbeda dari anak-anak atau orang-orang pada umumnya. 5

Perlindungan pada anak dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, yakni melalui pemberian hak-hak terhadap anak yang dapat dikaitkan dalam hukum, seperti perlindungan atas kesejahteraan, pendidikan, perkembangan, jaminan masa depan yang cerah, dan perlindungan dari kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan serta perlindungan-perlindungan lain yang dapat memacu tumbuh berkembangnya anak secara wajar.

5


(14)

6

Di bidang kesusilaan, anak-anak dan kaum perempuan menjadi obyek pengebirian dan pelecehan dan hak-haknya sedang tidak berdaya menghadapi kebiadaban individual, kultural, dan struktural yang dibenarkan. Nilai kesusilaan yang seharusnya dijaga kesuciannya sedang dikoyak dan dinodai oleh naluri kebinatangan yang diberikan tempat untuk berlaku adidaya. Salah satu langkah antisipasi atas kejahatan tersebut dapat memfungsikan instrument hukum pidana secara efektif melalui penegakan hukum. Dan di upayakan bahwa perilaku yang dinilai telah melanggar hukum dapat ditanggulangi secara preventif dan represif. Sehingga dalam hal ini, melalui payung hukum hak-hak anak akan secara nyata dilindungi. Namun, perlu diingat juga bahwa penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai jalan balas dendam atas perbuatan yang telah dilanggar, melainkan adalah suatu upaya pemberian bimbingan pada pelaku tindak pidana dan sebagai upaya pengayoman atas korban dari tindak pidana yang ada. Dan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan haruslah mempertimbangkan unsur-unsur obyektif yang tidak bersifat emosi semata. Seperti tujuan pemidanaan dalam Pasal 50 RUU KUHP Tahun 2000, yakni bahwa suatu pemidanaan dijatuhkan dengan tujuan:6

1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan penegakan norma hukum demi pengayoman negara dan masyarakat;

6


(15)

7

2. Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan membimbing agar terpidana insyaf dan menjadikannya sebagai anggota masyarakat yang berbudi dan berguna;

3. Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh terpidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Untuk sanksi pidana dalam kasus perkosaan, dalam KUHP sendiri telah diatur yang salah satunya terdapat dalam Pasal 285 yang berbunyi:7 “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, di ancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Dan dalam Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:8

“(1). Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.

“(2). Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.

7

Pasal 287 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

8

Pasal 81 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam range ancaman maksimum dan minimum khusus itu dan mengurangi disparitas pidana..


(16)

8

Dari bunyi pasal-pasal tersebut jelaslah tercantum sanksi pidana atas tindak pidana perkosaan pada anak di bawah umur yang cukup berat. Bahkan dalam Undang-undang Perlindungan Anak, ancaman pidananya lebih berat jika dibandingkan dengan ancaman pidana yang tercantum dalam KUHP. Sistem pengancaman pidananya juga menganut sistem ancaman minimum khusus dan maksimum khusus, sehingga diharapkan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Menurut Oemar Seno Adji, sebagai seorang hakim dalam memberikan putusan kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti pengaruh dari faktor agama, kebudayaan, pendidikan, nilai, norma dan sebagainya. Sehingga dapat dimungkinkan adanya perbedaan putusan atas kasus yang sama. Dan pada dasarnya hal tersebut lebih disebabkan oleh adanya perbedaan cara pandang sehingga mempengaruhi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan.9 Cara penegakan hukum dan sanksi hukum dalam kenyataan sosial dan menghukum pelaku tindak pidana sebagai gejala sosial tidak lepas dari kenyataan masyarakat. Maka, penegakan hukum pidana merupakan salah satu pengendalian terhadap kejahatan yang untuk diberantas atau sekurang-kurangnya di jaga agar berada dalam batasan tertentu.10

Di samping hal-hal tersebut yang mempengaruhi hakim dalam memberikan putusan adalah unsur pembuktian dikarenakan unsur vital yang dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam menentukan berat atau ringannya pemidanaan.

9

Oemar Seno Adji. Hukum Hakim Pidana. Jakarta:Erlangga. 1984. hal. 12

10

Bambang Purnomo. Pertumbuhan Hukum Penyimpangan diluar Kodifikasi Hukum pidana. Jakarta:Bina aksara. 1994. hal. 52.


(17)

9

Namun hal tersebut terkadang dirasa sangatlah sulit oleh hakim terutama dalam tindak pidana perkosaan. Sebab seringkali wanita dan anak-anak yang menjadi korban tindak pidana perkosaan mengalami trauma yang sangat hebat sehingga tidak melaporkan kejadian yang baru dialaminya. Hal itu, juga menjadi faktor penghambat dalam proses pemidanaan atas tindak pidana perkosaan yang mana korban adalah seorang anak ataupun orang yang mempunyai keterbatasan pada pengucapan atau yang sering disebut dengan tuna wicara. Selain itu dapat juga dikarenakan adanya ketidaktahuan korban tindak pidana perkosaan itu sendiri atas perilaku atau perbuatan pencabulan yang baru dialaminya. Dalam perkara tindak pidana perkosaan terhadap anak, hakim mempunyai wewenang untuk melaksanakan pengadilan dan wajib memahami akibat yang ditimbulkan terhadap anak di bawah umur sebagai korban tindak pidana perkosaan karena pada akhirnya suatu putusan hakim dapat memberi pengaruh dan akibat positif maupun negatif baik itu bagi pelaku tindak pidana maupun bagi korban tindak pidana pemerkosaan tersebut.

Batasan keadilan berdasarkan atas putusan hakim mengenai tindak pidana perkosaan tentu sangatlah abstrak, baik itu bagi pelaku tindak pidana ataupun bagi korban tindak pidana. Namun, dalam kehidupan masyarakat muncul persepsi yang menyatakan bahwa apabila korban tindak pidana perkosaan adalah anak-anak maka tentunya sanksi yang dijatuhkan oleh hakim lebih berat jika dibandingkan korbannya adalah orang dewasa, serta akan lebih berat lagi jikalau


(18)

10

korban tersebut adalah seorang anak yang dikategorikan sebagai anak difabel atau yang biasa disebut dengan anak cacat (idiot).

Seperti tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh seorang kakak ipar terhadap adik iparnya yang berkebutuhan khusus yang ditangani oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR, dimana seorang kakak ipar bernama Boy Santoso telah melakukan tindak pidana perkosaan terhadap adik iparnya yakni Bem-Bem. Pelaku di kenakan pasal 289 KUHP (dakwaan lebih subsider), dan tidak mengabulkan dakwaan primer dan subsider yakni pasal 285 dan 286 KUHP oleh hakim (Soeratno, SH) dan dihukum selama selama 2 (dua) tahun, dan membebankan kepada terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah).

Apabila dilihat, korban berusia di bawah 18 tahun, itu artinya berdasarkan UU No.23/2002 tentang perlindungan anak, para korban berhak mendapatkan perlindungan. Maka, tentunya putusan hakim atas kasus tersebut dianggap

terdapat kejanggalan, karma putusan tersebut belum memandang penderitaan bagi korban yang telah terenggut masa depannya serta menimbulkan trauma yang mendalam sekaligus dampak sosiologis di masyarakat di mana korban tinggal.

Dengan berdasar uraian di atas, maka penulis bermaksud ingin mendalaminya lebih dalam dan menuangkannya dalam sebuah penulisan yang berbentuk penulisan hukum dengan judul:


(19)

11

“ ANALISA HUKUM ISLAM DAN KUHP TENTANG PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK IDIOT

(Studi Analisis Putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR)”.

B. Batasan Masalah

Berdasarkan uraian yang terkait dengan segala masalah yang sedang diteliti diatas, maka untuk mendapatkan pembahasan yang efektif dan objektif, perlu diberikan pembatasan masalah, sebagai berikut :

1. Tinjauan Hukum Positif yakni menurut KUHP pasal 285, 286, 289, 294 tentang perkosaan dan pencabulan, Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Hukum Islam (Al-Qur’an, al-Hadits dan fiqh / pendapat Imam mazhab) mengenai sanksi terhadap pelaku tindak pidana perkosaan.

2. Analisis surat dakwaan dan putusan menurut Hukum Positif serta Hukum Islam terhadap putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR, tentang tindak pidana perkosaan terhadap anak idot.

Hal ini dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan dalam pembahasan, dalam arti supaya tidak mengalami pembahasan yang meluas sehingga mengakibatkan ketidakfokusan dan kesimpangsiuran.


(20)

12

C. Perumusan Masalah

Sebagaimana telah Penulis uraikan diatas, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang sekiranya dapat diangkat untuk dikaji secara lebih lanjut. Adapun rumusan masalah yang dimaksud adalah :

1. Perbuatan apa saja yang termasuk ke dalam kategori perkosaan dan bagaimana sanksi pidananya menurut Hukum Positif dan Hukum Islam ?. 2. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana

perkosaan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR ?.

3. Bagaimana analisis Hukum Positif dan Hukum Islam terhadap perkara tindak pidana perkosaan anak idiot dalam perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR ?.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui perbuatan apa saja yang termasuk ke dalam kategori perkosaan, dan bagaimana sanksi pidananya menurut Hukum Positif dan Hukum Islam.

2. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam memutuskan perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR.

3. Untuk mengetahui analisis Hukum Positif dan Hukum Islam terhadap perkara tindak pindak perkosaan dalam perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR.


(21)

13

Selanjutnya manfaat dari penulisan ini adalah :

1. Menambah perbendaharaan keilmuwan dalam bidang hukum khususnya kajian mengenai tindak perkosaan teoritis maupun praktis.

2. Memberikan kontribusi positif kepada masyarakat tentang pidana perkosaan serta memberikan gambaran yang objektif menganai sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana perkosaan.

3. Kepada yang mengkaji lebih lanjut tentang masalah ini, diharapkan skripsi ini dapat menjadi salah satu masukan yang berarti, dan sedikit banyak dapat membuka cakrawala berfikir yang ilmiah.

E. Metode Penelitian.

1. Pendekatan penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif maksudnya adalah suatu pendekatan yang dilihat dari segi peraturan-peraturan hukum yang berlaku.

2. Jenis Penelitian.

Pada prinsipnya, penelitian ini merupalan penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata bukan angka. Dan mengambil data baik secara tertulis untuk diuraikan, sehingga memperoleh gambaran serta pemahaman yang menyeluruh.


(22)

14

3. Teknik Pengumpulan Data a. Studi Pustaka

Dalam penelitian kepustakaan ini penulis melakukan pengumpulan bahan-bahan sumber data sekunder, ialah sumber-sumber yang tidak terkait secara langsung dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini sumber data sekunder ialah sejumlah data yang diperoleh dari buku-buku literatur, artikel, dokumen, putusan hakim Pengadilan Negeri Sragen mengenai kasus yang terkait, serta berbagai macam perundang-undangan dan sumber-sumber lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

b. Penelitian Lapangan

Dalam melakukan penelitian lapangan untuk mengumpulkan bahan-bahan atau data-data dengan menggunakan data primer, ialah semua pihak yang terkait secara langsung dengan permasalahan yang diteliti. Dan dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer ialah Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

4. Teknik Pengolahan Data

Seluruh data yang penulis peroleh dari kepustakaan dan wawancara disusun dalam bentuk penyusunan data kemudian dilakukan reduksi atau pengolahan data dan seterusnya diambil kesimpulan, yang dilakukan saling menjalin dengan proses pengumpulan data. Apabila kesimpulan kurang akurat, maka perlu di adakan verifikasi kembali dan peneliti


(23)

15

kembali mengumpulkan data di lapangan. Model ini dinamakan dengan istilah Interactive Model Analisis. Untuk lebih jelasnya maka penulis akan menggambarkan model analisa interactive tersebut sebagai berikut : Dalam penelitian ini, penulis akan mencari, meneliti, dan mengkaji secara mendalam atas suatu putusan yang telah dijatuhkan oleh seorang hakim dalam tindak pidana perkosaan yang korbannya adalah anak, baik pada anak normal dan anak yang secara fisik atau psikis mengalami kekurangan dalam kemampuannya. Dengan Pengumpulan data Kesimpulan/verifikasi Reduksi data Penyajian data penggunaan data ini, maka akan diperoleh suatu gambaran yang lengkap dan menyeluruh terhadap keadaan yang nyata sesuai dengan penelitian yang dilakukan.

5. Teknik Analisis Data

Metode analisis data dalam penulisan ini Penulis mengolah data dengan metode deskriptif-kualitatif dan komparatif, Menurut H.B Soetopo analisis kualitatif adalah:

“Suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis, lisan juga perilaku yang nyata diteliti dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh”. 11

Kemudian putusan tersebut akan penulis komparasikan dengan melihat sisi persamaan dan perbedaannya hukum Islam dan hukum Positif agar terdapat kejelasan dalam mengambil kesimpulan di dalam sudut pandang keduanya.

11


(24)

16

6. Data Penelitian

Jenis-jenis data dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Sumber data primer, Yang menjadi sumber data primer ialah semua pihak yang terkait secara langsung dengan permasalahan yang diteliti. Dan dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer ialah Panitera Muda Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang pernah mengikuti sidang dalam mengadili dan memutus kasus tindak pidana perkosaan pada anak idiot.

b. Sumber data sekunder, yakni yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer misalnya: data-data yang di peroleh dari Undang-Undang, Hukum Islam, hasil karya-karya ilmiah dan data-data lain yang masih relevan dan dapat menunjang akan penelitian ini. c. Sumber hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya: kamus, ensiklopedia, dan bahan pelengkap lainnya.

7. Teknik Penulisan.

Dalam penelitian ini, penulis sepenuhnya menggunakan bimbingan skripsi dengan berpedoman kepada ” Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007”, sehingga tidak keluar dari peraturan yang ada.

F. Review Studi terdahulu


(25)

17

1. Judul: Tinjauan Hukum Positif dan hukum pidana Islam bagi kejahatan perkosaan akibat gangguan kejiwaan.

Penulis : Bustomi/SJJS/2004.

Dalam skripsi ini hanya memaparkan tentang pelaku kejahatan perkosaan karena gangguan kejiwaan dalam pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam.

2. Judul : Dampak pornografi terhadap tindak pidana perkosaan oleh anak dibawah umur dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Penulis: Ahmad Zarkasih/PMH/2005.

Dalam skripsi ini hanya memaparkan tentang pengertian tindak pidana perkosaan oleh anak dibawah umur menurut hukum Islam dan Hukum Positif. 3. Judul : Tinjauan Hukum Islam terhadap upaya perlindungan hukum bagi

korban perkosaan dikaitkan dengan pasal 285 KUHP Penulis: Uswatun Hasanah/SJJS/2004.

Dalam skripsi ini hanya membahas tentang perlindungan hukum terhadap korban perkosaan dalam Hukum Islam dan Hukum Positif dan penerapan pasal 285 KUHP kaitannya dengan korban perkosaan.


(26)

18

Setelah penulis selesai mengutarakan tentang metode penelitian beserta pengertiannya, berikut ini penulis menyajikan uraian tentang sistematika. Skripsi ini disusun dalam empat bab, yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini di jelaskan tentang latar belakang, yang meliputi latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah. Dijelaskan pula tentang, tujuan penulisan, kegunaan penulisan, landasan fundamental, review studi terdahulu, metode penelitian serta sistematika pembahasan. Melalui pendahuluan ini penulis menjelaskan tentang fenomena-fenomena yang hendak di teliti dengan menggunakan berbagai rujukan.

BAB II : TINJAUAN UMUM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM MENGENAI TINDAK PIDANA PERKOSAAN

Di dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai pengertian tindak pidan menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, pengertian tindak pidana perkosaan, jenis-jenis perkosaan, kejahatan asusila bagi anak dibawah umur, Undang-undang NO 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

BAB III : ANALISA YURIDIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM No. 054 /PID /B/ 1997/PN. JAKBAR.


(27)

19

Di dalam bab ini penulis akan membahas tentang Perkosaan Menurut Hukum Islam dan KUHP, Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan, Sanksi Hukuman Bagi Pelaku Perkosaan, Surat dakwaan dan Putusan Hakim, Duduk perkara, Dakwaan, Vonis Hakim dan Analisis Hasil Penelitian

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran yang sekiranya dapat diterapkan pelaksanaannnya.


(28)

BAB II

TINJAUAN UMUM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM MENGENAI TINDAK PIDANA PERKOSAAN

A. Tindak Pidana

Harkristuti Harkrisnowo tentang tindak pidana, merupakan suatu bentuk prilaku tindakan yang membawa konsekuensi sanksi hukuman pidana pada siapapun yang melakukannya. Oleh karena itu, tidak sulit difahami bahwa tindak-tindak semacam ini layaknya dikaitkan dengan nilai-nilai mendasar yang dipercaya dan dianut oleh suatu kelompok masyarakat pada suatu tempat dan waktu tertentu. Tidak mengherankan bahwa perbedaan ruang tempat dan waktu juga akan memberikan perbedaan pada perumusan sejumlah tindak pidana.1 Seperti yang terjadi antara hukum Positif dan hukum Islam, walaupun terdapat beberapa persamaan tetapi juga memiliki perbedaan yang mendasar mengenai sudut pandangannya tentang hukum pidana itu sendiri. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai tindak pidana menurut :

1. Hukum Positif

Istilah tindak pidana atau dalam bahasa Belanda, strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam strafwetboek atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana,yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam

1

Hakristuti Hakrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dalam Pandangam Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia (Pelaung,Prospek, dan Tantanagn), (Jakarta : Pusaka Firdaus. 2001),h. 179.


(29)

21

bahasa asing, yaitu delic.2 Delic menurut kamus hukum mengandung pengertian tindak pidana, perbuatan yang diancam dengan hukuman.3

Menurut Dr. Hakristuti Hakrisnowo tindak pidana yakni suatu perilaku dikenakan ancaman pidana hanya apabila prilaku itu dipandang dapat mengancam keseimbangan dalam masyarakat. Dalam hal ini, mungkin ada sejumlah perilaku yang dipandang “tidak baik” atau “bahkan buruk” dalam masyarakat. Akan tetapi karena tingkat ancamannya kepada masyarakat dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana.4

Sementara Simons, memberikan definisi mengenal tindak pidana yakni suatu perbuatan yang diancam pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan itu.5

Unsur-unsur dalam tindak pidana, yakni : a. Subjek tindak pidana

Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seseorang manusia sebagai oknum. Selain itu, suatu perkumpulan atau korporasi dapat juga menjadi subjek pidana.6

2

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2003), h. 59.

3

Soebekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1972),h. 35. 4

Hakristuti Hakrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan, h. 180. 5

Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Penerapan Syari’at Islam Konteks Modernitas), (Bandung : Asy-Syamil Prees & Grafika, 2001),h. 132.

6


(30)

22

b. Perbuatan dari tindak pidana

Unsur perbuatan dirumuskan dalam suatu tindak pidana formil, seperti pencurian (pasal 362 KUHP) perbuatannya dirumuskan sebagai “mengambil barang”.

c. Hubungan sebab-akibat (causal vervand)

Bahwa untuk tindak pidana sebagai unsur pokok harus ada suatu akibat tertentu dari perbuatan si pelaku berupa kerugian atas kepentingan orang lain, menandakan keharusan ada hubungan sebab-akibat (causal vervand) antara perbuatan si pelaku dan kerugian kepentingan tertentu, terdapat dua teori mengenal sebab-akibat ini yakni :

Pertama dari Von Buri (1869) yang disebut teori condition sine que non (teori syarat mutlak) yang mengatakan, suatu hal adalah sebab dari suatu akibat ini tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. Dengan demikian, teori ini mengenal banyak sebab dari suatu akibat.

Kedua dari Von Bar (1870) yagn kemudian diteruskan oleh Van kriese yang disebut adequate veroorzaking (penyebaban yang bersifat dapat dikira-kirakan), dan yang mengajarkan bahwa suatu hal baru dapat dinamakan sebab dari suatu akibat apabila menurut


(31)

23

pengalaman manusia dapat dikira-kira bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat.7

d. Sifat melawan hukum (Onrechtmatigheld)

Sebenarnya dalam setiap tindak pidana ada unsur melawan hukum, namun tidak semua tindak pidana memuatnya dalam rumusan. Ada berbagai tindak pidana yang unsur melawan hukum disebutkan secara tegas, misalnya pasal 362 KUHP tentang pencurian, disebutkan bahwa pencurian adalah mengambil barang yang sebagaian atau sepenuhnya kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum.8

e. Kesalahan Pelaku Tindak Pidana9

Unsur kesalahan ini bisa berupa tanpa kesengajaan atau kealpaan. Kesengajaan tersebut dapat mengenai unsur perbuatan yang dilarang, akibat yang dilarang atau sifat melawan hukumnya.10

Selanjutnya, tindak pidana didalam KUHP dibagi kedalam dua jenis yakni kejahatan (misdrijiven) dan pelanggran (overtredingen). Menurut M.v.T pembagian atas dua jenis ini didasarkan atas perbuatan prinsipil.

Dikatan, bahwa kejahatan adalah “rectsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam Undang-undang sebagai

7

Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,h. 61-62. 8

Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, h. 134. 9

Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, h. 65. 10


(32)

24

perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdelikntern”, yaitu perbutan-perbuatan yang bersifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.

Tindak pidana selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, dibedakan juga berdasarkan :

a. Cara Perumusannya

(1) Delik Formil, pada delik ini yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut.

(2) Delik Materil, yakni selain dari pada tindakan yang terlarang itu dilakukan, masih harus ada akibatnya yang timbul karena tindakan itu, baru telah dikatakan telah terjadi tindak pidana tersebut sepenuhnya.11

b. Cara Melakukan Tindak Pidana12

(1) Delik Komisi, yakni delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana.

11

E.Y. Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta : Storia Grafika, 2002),h. 237.

12


(33)

25

(2) Delik Omisi, yakni delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat, misalnya delik yang dirumuskan dalam pasal 164. mengetahui suatu permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan yang disebut dalam pasal itu, pada saat masih ada waktu untuk mencegah kejahatan, tidak segera melaporkan kepada instansi yang berwajib atau orang yang terkena.

(3) Delikta commisionis peromissionem, yakni delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya seseorang ibu yang membunuh anaknya dengan jalan tidak memberi makan kepada anak itu.13 c. Ada/tidaknya pengulangan atau kelanjutannya

(1) Delik Mandiri, adalah jika tindakan yang dilakukan itu hanya satu kali saja, untuk mana petindak pidana.

(2) Delik Berlanjut, adalah tindakan yang sama berulang dilakukan, dan merupakan atau dapat dianggap sebagai pelanjut dari tindakan semula.14

d. Berakhir atau Berkesinambungannya suatu Delik (1) Delik Berakhir

(2) Delik Berkesinambungan

13

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia,h. 76. 14


(34)

26

e. Keadaan Memberatkan dan meringankan15 (1) Delik Biasa

(2) Delik diwalifisiar (diperberat), yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur memberatkan, misalnya pasal 363.

(3) Delik diprivisilir (diperingan), yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur meringankan, misalnya dalam pasal 341 lebih ringan dari pada 342.16

f. Bentuk Kesalahan Pelaku

(1) Delik Sengaja (Dolus), yakni suatu tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja, misalnya pembunuhan dengan berencana (pasal 338 KUHP).

(2) Delik Alpa (culpa), yakni tindak pidana yang tidak sengaja, karena kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang. Contoh pasal 359 KUHP.17

g. Cara Penuntutan

(1) Delik Aduan, yakni suatu tindak pidana yang memerlukan pengaduan orang lain, jadi sebelum ada pengaduan belum merupakan delik. Contoh : penghinaan.

15

Ibid., h. 238-239. 16

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta :Ghalia Indonesia, 1978),h. 97.

17


(35)

27

(2) Delik Biasa (bukan delik aduan), yakni semua tindak pidana yang penuntutannya tidak perlu menunggu adanya pengaduan dari korban atau dari keluarganya, contoh : pembunuhan dan penganiyaan.18

2. Hukum Islam

Dalam hukum Islam ada dua istilah yang kerap digunakan untuk tindak pidana ini, jinayah dan jarimah. Dapat dikatakan bahwa kata

“jinayah” yang digunakan para fuqaha adalah sama dengan istilah “jarimah”.19 mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Dikalangan fuqaha, perkataan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut Syara’. Meskipun demikian para fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa seperti, memukul, dan sebagainya. Selain itu terdapat fuqaha yang membatasi istilah

jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud

dan qishash tidak termasuk kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan Syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.20

18

Ibid., h. 94. 19

Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, h. 132. 20

A.Zajuli, Fiqh JInayah (Upaya Menganggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2001),h. 1.


(36)

28

Jarimah didefinisikan oleh Imam al-Mawardi sebagai segala larangan Syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.21 Ada pula golongan fuqaha yang membatasi pemakaian kata-kata jarimah kepada jarimah hudud atau qishash saja. Dengan mengenyampingkan perbedaan pemakian kata-kata jarimah dikalangan fuqaha sama dengan kata-kata jarimah.22

Para fuqaha mengartikan zina yaitu melakukan hubungan seksual dalam arti memasukan zakar (kelamin pria) kedalam vagina wanita yang dinyatakan haram, bukan karena subhat tetapi atas dasar syahwat.

Dasar hukum dari jarimah zina yakni :

21

Ibid.,h.11. 22

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang, 2005),h.3.


(37)

29

Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan), hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang beriman”. (Q.S : An-Nurr /24 :2)

Artinya : “dan janganlah kamu mendekatii zina; sesungguhnyaq zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S al-isra 17 :32)

Jarimah memiliki dua unsur yaitu : a. Unsur Umum

Yakni unsur-unsur yang terdapat pada setiap jenis jarimah.23 Yang termasuk dalam unsur umum ini yaitu :

1) Al-Rukn al-Syar’iy (unsur hukum), yakni adanya nash yang melarang perbutan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbutan-perrbuatan diatas. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur formal”.

2) Al-Rukn al-Madi (unsur materil), yakni adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan.

23


(38)

30

3) Al-Rukn al-Adabiy (unsur budaya), yakni adanya pelaku kejahatan (orang yang dapat menerima taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukalaf , sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan).24

b. Unsur Khusus

Yakni unsur yang terdapat pada suatu jarimah namun tidak terdapat pada jarimah lainnya. Contoh : mengambil harta orang lain secara diam-diam dari tempatnya dalam jarimah pencurian, atau menghilangkan nyawa manusia oleh manusia lainnya dalam jarimah pembunuhan.25

Jarimah dapat berbeda penggolongannya, menurut perbedaan cara meninjaunya yakni dilihat dari :

a. segi berat ringannya hukuman

1) Jarimah hudud, ialah jarimah yang diancamkan hukuman hudud, yakni hukuman yang telah ditentukan jenis dan jumlahnya serta menjadi hak Allah SWT.26 Yang termasuk kedalam jarimah hudud yaitu : zina, qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina), meminum minuman keras, mencuri, merampok, murtad, pencurian dan pemberontak.

24

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,h. 1-3 25

Ibid.,h. 12. 26

Maksud hak Allah ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (individu) atau masyarakat, ibid.


(39)

31

2) Jarimah qishash atau diyat, ialah perbutan yang diancam hukuman qishash atau diyat. Keduanya merupakan hak individu27 yang kadar jumlahnya telah ditentukan, yakni tidak memiliki batasan minimal atau maksimal. Yang termasuk kedalam jarimah qishash dan diyat yakni : pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena ketidaksengajaan, penganiyaan sengaja, dan penganiyaan tidak sengaja.

3) Jarimah ta’zir,28 ialah jarimah yang diancam dengan satu atau beberapa hukuman ta’zir. Jenis jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya, sedang pada jarimah hudud atau qishash dan diyat sudah ditentukan. Yang termasuk jarimah ta’zir yakni : riba, suap, pencabulan, illegal loggin, human trafficking dan sebagainya. b. Niat si pembuat/pelaku jarimah

1) Jarimah sengaja, si pembuat/pelaku dengan sengaja melakukan perbutannya, sedang ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang (salah).

2) Jarimah tidak sengaja. Sipembuat/pelaku tidak sengaja melakukan perbutan yang dilarang, akan tetapi perbuatan tersebut sebagai akibat kekeliruannya, kekeliruan ada dua macam, yakni :

27

Maksud hak individu adalah seorang boleh membatalkan hukumannya tesebut dengan memaafkan si pelaku jika ia menghendaki. Ibid.,h. 100.

28


(40)

32

a) Pembuat (pelaku) dengan sengaja melakukan perbuatan jarimah tetapi jarimah ini sama sekali tidak diniatkannya. b) Pembuat (pelaku) tidak sengaja berbuat dan jarimah yang

terjadi tidak diniatkannya sama sekali.29 c. Segi mengerjakannya

1) Jarimah ijabiyyah/positif terjadi karena mengerjakan sesuatu perbuatan yang dilarang, seperti mencuri, zina, pembunuhan, memukul dan sebagainya. Jarimah ijabiyyah ini disebut juga

delicta commisionis.

2) Jarimah salabiyyah/negative terjadi karena tidak mengerjakan sesuatu perbutan yang diperintahkan. Seperti mengeluarkan zakat. Disebut juga delicta omnisionis.

3) Jarimah commisionis per ommisionem commisa, contohnya yakni petugas LP sengaja tidak memberikan makan kepada narapidana yang selanjutnya menyebabkan kematian pada narapidana tersebut.30

d. Segi waktu terungkapnya jarimah

1) Jarimah yang tertangkap basah, yakni jarimah yang terungkap pada saat jarimah itu dilakukan atau beberapa saat setelah jarimah tersebut dilakukan.

29

Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 11-12. 30


(41)

33

2) Jarimah yang tidak tertangkap basah, yaitu jarimah yang tidak tertangkap pada saat jarimah tersebut dilakukan atau terungkapnya pelaku jarimah itu dalam waktu yang lama.31 e. Segi cara melakukan jarimah

1) Jarimah tunggal (al-Jarimah al-Basitah) yakni jarimah yang dilakukan dengan satu perbuatan, seperti pencurian, meminum minuman keras, baik tindak pidana ini terjadi seketika (tindak pidana temporal atau jarimah muaqqatah) maupun yang dilakukan dengan cara terus menerus (jarimah mustamirah). Jarimah hudud, qishash dan diyat termasuk kedalam kategori jarimah tunggal.

2) Jarimah berangkai, yakni jarimah yang dilakukan berulang-ulang (berangkai). Jarimah itu sendiri tidak termasuk dalam kategori jarimah, tetapi berulang-ulangnya jarimah tersebut yang menjadikannya sebagai jarimah. Bentuk jarimah ini banyak terdapat dalam jarimah ta’zir. Dimana petunjuknya diperoleh dari nash yang mengharamkan perbutan tersebut.32 f. Orang yang menjadi korban

1) Jarimah masyarakat/haq Allah/ hak jama’ah, ialah suatu jarimah di mana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk

31

Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jinai al-Islami.,h. 84. 32


(42)

34

menjaga kepentingan masyarakat. Baik jarimah tersebut mengenal perorangan atau mengenal ketentuan masyarakat dan keamanannya.

2) Jarimah perseorangan / hak al-afrad, ialah suatu jarimah dimana hukuman terhadapanya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan perseorangan, meskipun sebenarnya apa yang menyinggung perseorangan juga berarti menyinggung masyarakat.33

B. Tindak Pidana Perkosaan

Perkosaan pada dasarnya adalah bentuk kekerasan primitive yang kita tahu dapat terjadi pada siapa pun. Gejala perkosaan merupakan salah satu tantangan sosial yang harus dipikirkan secara serius, dari dahulu hingga sekarang perkosaan bukan hanya kekerasan seks semata tetapi selalu merupakan suatu bentuk perilaku yang dipengaruhi oleh sistem kekuasaan tertentu.34

Kasus perkosaan sepintas lalu tidak lebih istimewa dari kasus-kasus kekerasan lainnya, atau kalaupun jadi istimewa biasanya perkosaan dengan korban perempuan dibawah umur atau perkosaan diakhiri dengan pembunuhan.

33

Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 14. 34

Eko Prasetyo & Supraman Marzuki (ed), Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta : PKBI-DIY, 1997), Cet, ke 1, h.9.


(43)

35

Istilah perkosaan dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah paksaan kekerasan.35 Dalam kamus umum bahasa Indonesia perkosaan berasal dari kata “perkosa” yang artinya gagah, kuat, perkasa, kekerasan.36 Kemudian dalam kamus lengkap bahasa Indonesia modern dijelaskan “perkosa” dengan arti gagah, kuat, paksa, kekerasan, maka apabila mendapat awalan “me” menjadi memperkosa, maka diartikan dengan mendudukan dengan kekerasan, menggagahi, memaksa dengan kekerasan.37 Jadi, perkosa dapat diartikan dengan kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan.

Berbicara masalah kejahatan dengan kekerasan ini, maka perkosaan dapat terjadi bilamana seseorang laki-laki secara paksa atau dengan cara kekerasan berupaya untuk menyetubuhi dalam arti ingin mengadakan hubungan kelamin dengan seorang wanita dimana pihak wanita tidak bersedia melayani nafsu seknya.

Untuk selanjutnya dibawah ini akan diuraikan beberapa pendapat ahli dalam mendefinisikan tentang perkosaan agar dapat dengan jelas memperoleh gambaran yang dimaksud. Bismar Siregar, mengatatkan bahwa perkosaan adalah perbuatan secara paksa ingin memenuhi nafsu kebinatangannya.38

35

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta :Balai Pustaka, 1990), Cet, ke 3,h.673.

36

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976), h.741.

37

Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta : Pustaka Amini, tth),h.307.

38

Bismar Siregar, “Tanggung Jawab Hakim Melindungi Korban Perkosaan, Makalah Seminar Nasional Tentang:Aspek-aspek Perlindungan Hukum Korban Perkosaan, (Surabaya : Universitas Sebelas Maret, 1999),h. 10.


(44)

36

Menurut Koesparmono Irsan perkosaan adalah perbuatan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh.39 Soetadyo Wegnjosubroto mengatakan perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan hukum yang berlaku adalah melanggar.

C. Jen

melalui serangan

atas prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.

is-jenis perkosaan

Setelah menjelaskan pengertian dari tindak pidana perkosaan, ada baiknya pada bagian ini penulis akan menguraikan jenis perkosaan, sebagaimana menurut krominolog Mulyana W. Kusuma menyebutkan jenis perkosaan berikut ini :

1. Sadistic Rape, pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak, pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan

yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.

2. Angea Rape, penganiyaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Di sini tubuh korban seakan-akan merupak obyek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan

39

Koesparno Ihsan, Kekerasan-kekerasan Sebagai Tindak Kriminal, Makalah Seminar Sehari Tentang : Tindak Pidana Kekerasan Dalam Masyarakat, (Jakarta, 1990),h.4.


(45)

37

3. Dononation Rape, suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superiorotas terhadap korban. Tujuannya adalah penakluk seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.

4. Seduktive Rape, perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggamaan. Pelaku pada mulanya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks.

5. Victim Precipitatied, perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.

6. Exploitation Rape, perkosaan yang menunjukan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomis dan social.

Victim Precipitation Rape merupakan jenis perkosaan yang mendapat perhatian serius belakangan ini. Keterlibatan, peranan, andil dan pengaruh korban yang secara langsung maupun tidak langsung sebagai “pencetus” timbulnya perkosaan menjadi pembicaraan yang serius mengenai factor penyebab terjadinya perkosaan. “Victim Precipitation” menjadi catatan mengenai jenis perkosaan yang melibatkan dua komponen, yang


(46)

38

menempatkan perempuan sebagai pihak yang dianggap turut bersalah dalam melahirkan kejahatan kesusilaan.

Sedangkan “Sadistic rape” menjadi salah satu jenis kejahatan yang juga mendapat sorotan sehubungan dengan tidak sedikitnya kasus perkosaan yang dilakukan secara sadis.

Adanya perbedaan pengertian atau persepsi tentang jenis perkosaan mempunyai pengaruh terhadap informasi yang berkaitan dengan perkosaan. Di satu sisi masyarakat menganggap suatu perbuatan sebagai perkosaan dan karena itu melaporkannya kepada polisi. Di sisi lain polisi belum memandang perbuatan berikut sebagai tindak pidana perkosaan, karena perbuatan yang dilaporkan tidak sesuai dengan perumusan pasal 285 KUHP.

Yang perlu mendapatkan perhatian ialah persepsi masyarakat yang cenderung menyatakan kejahatan kesusilaan yang bukan perkosaan sebagai tindak pidana perkosaan. Secara yuridis harus ada unsur-unsur yang wajib dipenuhi sesuai dengan ketentuan pasala 285 KUHP, agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perkosaan.

D.Kejahatan Asusila bagi Anak di Bawah Umur

1. Pengertian Anak, Konsep dan Batasan Anak di Bawah Umur a. Pengertian Anak

Kelahiran anak (bayi) karena perkawinan sedikit banyaknya menyebabkan hal-hal tertentu dalam berbagai kehidupan bernegara dan


(47)

39

bermasyarakat. Secara hukum kelahiran tersebut mempunyai/menimbulkan akibat hukum. Dalam lapangan hukum perdata akibat hukum ini berpokok kepada anak dan kewajiban seperti : kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak dan penyangkalan sahnya anak, perwalian, pendewasaan, dan pengangkatan anak.

Anak dalam masyarakat yang bagaimanapun bentuk dan coraknya, merupakan pembawa bahagia. Tidak heran bila dalam upacara pernikahan pengantar dua insan ke gelanggan rumah tangga di antar petuah serta doa restu, orang tua-tua selalu berpesan, semoga kedua mempelai diberkati keturunan bukan satu, bukan dua, tetapi banyak. Pasal 91 (4) KUHP memberikan penjelasan tentang anak adalah orang yang ada dibawah kekuasaan yang sama dengan kekuasaan orang tuanya.40

Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.41 Sedangkan dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1979 pasal 1 ayat 2 dijelaskan tentang pengertian anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum pernah kawin. Batasan 21 tahun ini ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha sosial, tahap

40

Agung Wahyono, SH dan Ny Siti Rahayu, SH. Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia. (Cet. I; Sinar Grafika : Jakarta, 1993), h. 20

Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen Sosial RI. Undang– Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. (Cet. I; Jakarta : UNICEF, 2003), h. 13. Lihat juga Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. (Cet. I; Bandung : Citra Umbara, 2003), h. 4.


(48)

40

kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia 21 tahun.42 Sedangkan pengertian anak menurut pasal 45 KUHP adalah orang yang belum cukup umur, dengan belum cukup umur dimaksudkan adalah mereka yang melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun.43 Dalam Konvensi Hak Anak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, sedangkan dalam KUHP menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 17 tahun.44

Dari beberapa pengertian anak di atas dapat di bedakan beberapa pengertian tentang anak, yaitu (1) Anak kandung; (2) Anak terlantar, (3) Anak yang menyandang cacat, (4) Anak yang memiliki keunggulan, dan (5) Anak angkat, serta (6) Anak asuh.

Dimaksud dengan anak kandung adalah anak yang dilahirkan dari dalam rahim seorang ibu; sedangkan anak terlantar adalah anak yang tidak terpelihara kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spritual, maupun sosial; anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar; anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan bakat istimewa; anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari

42

Agung Wahyono, SH dan Ny Siti Rahayu, SH. op. cit. h. 19. 43

Ibid, h. 20 44


(49)

41

lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan; anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembangnya anak secara wajar.45

b. Konsep dan Batasan anak dibawah umur

Berbicara mengenai konsep dan batasan anak di bawah umur, penulis bertolak pada KUHP dan konvensi Hak-Hak Anak (KHA), dimana dalam KUHP tersebut memberikan batasan anak di bawah umur adalah lima belas tahun, sedangkan dalam KHA memberikan batasan anak di bawah umur adalah delapan belas tahun. secara fakta psikologi anak usia 17 tahun masih labil sehingga batasan umur dalam KHA dirasa lebih tepat.

Sedangkan dalam hukum Islam batasan anak di bawah umur terdapat perbedaan penentuan. Menurut hukum Islam batasan itu tidak berdasarkan hitungan usia, tetapi sejak ada tanda-tanda perubahan badania baik bagi di anak laki-laki, demikian pula bagi anak perempuan. Sedangkan dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis, ditetapkan batasan umur 16 tahun atau 18 tahun ataupun usia tertentu yang menurut

45


(50)

42

perhitungan pada usia itulah si anak bukan lagi tergolong anak di bawah umur, tetapi sudah dewasa.46

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak disebutkan bahwa anak sampai batas usia sebelum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin masih tergolong anak di bawah umur. sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memberikan batasan usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau dibawah perwalian sebelum mencapai 18 tahun masih tergolong anak di bawah umur. dalam Undang-Undang pemilu yang dikatakan anak di bawah umur adalah belum mencapai usia 17 tahun, sedangkan dalam konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak memberikan batasan anak di bawah umur adalah di bawah umur 18 tahun.

2. Kewajiban dan Tanggung Jawab Anak

Sebelum penulis menjelaskan tentang kewajiban seorang anak terlebih dahulu akan di jelaskan tentang pengertian kewajiban itu sendiri. Kewajiban adalah segala yang harus kita penuhi sebelum kita menuntut hak. seorang anak selain memiliki kewajiban, juga memiliki tanggung jawab baik itu terhadap dirinya, keluarganya, masyarakat, bangsa dan negaranya. Dalam Undang-Undang perlindungan anak pasal 19 dijelaskan tentang kewajiban seorang anak, yaitu :

(1) Menghormati orang tua, wali, dan guru;

46


(51)

43

(2) Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; (3) mencintai tanah air, bangsa dan negara;

(4) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; (5) Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.47

Sedangkan tanggung jawab seorang anak adalah tanggung jawab terhadap dirinya sendiri seperti memelihara diri dari segala gangguan yang mungkin membahayakan keselamatannya. Tanggung jawab terhadap kedua orang tuanya seperti menghormati dan menghargai kedua orang tuanya, guru, keluarga, masyarakat. Sedangkan tanggung jawab terhadap bangsa, negara dan agamanya adalah menghargai para pahlawan yang telah gugur dalam mempertahankan bangsa dan negara Indonesia, sedangkan tanggung jawab untuk agamanya adalah seorang anak harus betul-betul mempelajari ajaran agama agar supaya mereka dapat memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Tanggung jawab lain seorang anak terhadap agamanya dalam bentuk melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, berakhlak dan beretika baik

3. Kategori Kejahatan Asusila terhadap Anak di bawah Umur

Bentuk-bentuk kejahatan dan kekerasan yang dialami oleh anak-anak dilakukan dengan fokus di empat arena dimana anak-anak banyak menghabiskan waktunya yakni di rumah, sekolah, tempat kerja dan tempat

47

Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. (Cet. I; Bandung : Citra Umbara, 2003), h. 11.


(52)

44

umum. Dari hasil penelitian oleh Lembaga Perlindunga Anak (LPA) di kota Makassar menemukan bahwa jenis-jenis kekerasan yang dialami oleh anak-anak dibedakan menjadi tiga, yakni kekerasan mental (mental abuse), kekerasan fisik (physical abuse), dan kekerasan seksual (sexual abuse). Jenis kekerasan fisik atau physical abuse adalah jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak-anak, disusul kemudian dengan kekerasan mental dan kekerasan seksual, tetapi yang menjadi pokok pembahasan penulis adalah kekerasan seksual terhadap anak-anak.

Berbagai macam bentuk kekerasan dan kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak di bawah umur merupakan sebuah fenomena sosial yang tidak terwujud begitu saja atau berdiri sendiri dalam suatu masyarakat. Fenomena sosial-budaya semacam ini merupakan bentuk kekerasan dan bentuk kejahatan terhadap anak yang muncul dalam suatu masyarakat tertentu yang memiliki unsur-unsur pendukung bagi keberadaan gejala kekerasan dan kejahatan tersebut.

Bentuk-bentuk kekerasan dan kejahatan yang terjadi pada anak-anak dan si pelaku banyak tergantung pada kontek atau setting tempat yang memungkinkan terjadinya tindak kekerasan dan kejahatan terhadap anak-anak di bawah umur. Tindak kekerasan dan kejahatan yang dimaksud adalah setiap perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaan atau tubuh/fisik menjadi tindak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini biasanya berupa kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau


(53)

45

kemarahan. Keadaan fisik tidak nyaman bisa berupa lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya.

Jenis-jenis kejahatan/kekerasan yang terjadi pada anak di bawah umur dapat dibedakan kedalam tiga kategori yaitu kekerasan/kejahatan mental (mental abuse), kejahatan atau kekerasan fisik (physical abuse) dan kekerasan atau kejahatan seksual (sexual abuse). Tetapi yang menjadi bahan kajian utama penulis adalah kekerasan seksual (sexual abuse).

Setiap jenis kekerasan terdiri dari berbagai macam bentuk kekerasan dan kejahatan, dan bentuk-bentuk kekerasan dan kejahatan yang pernah dialami oleh para korban berbeda-bedasa seperti perlakuan tidak senonoh, perayuan, pencolekan, pemaksaan onani, oral seks, anal seks dan pemerkosaan adalah bentuk kekerasan dan kejahatan yang sering dialami oleh anak-anak di bawah umur. Rumah dan sekolah adalah merupakan tempat bagi anak-anak paling banyak melewati waktunya sehari-hari. Di tempat-tempat inilah anak-anak semestinya tidak memperoleh tindak kekerasan khususnya tindak kekerasan asusilah. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Hal ini tampaknya tidak terlepas dari kenyataan lain bahwa rumah dan sekolah adalah tempat anak-anak memperoleh pendidikan dan dibentuk serta disiapkan untuk menjadi warga masyarakat yang dapat diterima oleh masyarakatnya, dan di situlah mereka mengalami proses pendisiplinan, yang kadang-kadang berubah menjadi tindak kekerasan yang tidak pada tempatnya.


(54)

46

Dalam soal kekerasan seksual seorang anak seringkali mengalaminya di dalam rumah, sekolah, tempat umum. Di dalam lingkungan keluarga atau rumah seringkali terjadi bentuk kekeran seksual terhadap anak di bawah umur sebab hal ini memungkinkan para pelaku tindak kekerasan terhadap anak merasa lebih leluasa melampiaskan hawa napsunya seperti melakukan pemerkosaan, pencabulan, dan mencolekan serta pemelukan secara paksa seperti yang banyak diberitakan lewat siaran-siatan TV di Indonesia, seorang ayah melakukan pemerkosaan terhadap anak kandungnya sendiri, seorang kakek memperkosa cucunya, dan bahkan seorang pamam tega melakukan pemerkosaan terhadap keponakannya.

Sedangkan dalam lingkungan selokah bentuk kekerasan yang dialami oleh anak di bawah umur adalah berupa kekerasan mental, kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Kekerasan mental yang dialami oleh seorang anak kebanyakan adalah pemberian hukuman oleh guru akibat melanggar aturan di sekolah. Sedangkan kekerasan fisik sering terjadi akibat dianggap telah melanggar aturan dan tidak bersedia memenuhi perintah. Ada juga kekerasan fisik yang disebabkan oleh tindakan iseng dan juga akibat tindakan kriminalitas.

Di samping itu ada beberapa asumsi penting yang terkandung dalam perspektif semacam ini. Asumsi pertama, adalah bahwa berbagai macam bentuk kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak merupakan sebuah fenomena sosial yang tidak terwujud begitu saja atau


(55)

47

berdiri sendiri dalam suatu kekosongan. Sebaliknya, sebagaimana fenomena sosial budaya, berbagai macam bentuk kekerasan terhadap anak muncul dalam suatu konteks sosial-budaya tertentu yang memiliki unsur-unsur pendukung bagi keberadaan gejala kekerasan tersebut. Asumsi kedua, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi pada anak-anak dan pelakunya sedikit banyak tergantung pada konteks atau setting tempat terhadinya kekerasan itu sendiri. Oleh karena itu, bukan hanya ciri dan sifat pelaku kekerasan yang perlu kita ketahui, tetapi juga tempat terjadinya kekerasan itu sendiri. Tanpa pengetahuan tentang setting ini, penanganan berbagai bentuk kekerasan terhadap anak-anak tidak akan mencapai hasil yang optimal. Asumsi ketiga, setiap individu pada dasarnya telah pernah menjadi korban dari satu atau lebih bentuk kekerasan, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, makhluk yang selalu berada dalam berbagai interaksi dan relasi dengan individu-individu yang lain, dan dibesarkan dalam suatu kelompok atau golongan sosial tertentu, dengan pola budaya tertentu pula. Dalam proses sosialisasi di tengah-tengah individu lain inilah, manusia bekerjasama, tetapi sekaligus juga bersaing dengan yang lain untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Persaingan akan menghasilkan pihak yang menang dan kalah, dan di sini bisa terjadi berbagai bentuk tindak kekerasan dari satu individu terhadap individu lain yang lebih lemah. Setiap individu pada dasarnya telah mengalami situasi semacam ini, sehingga setiap orang pada dasarnya telah pernah menjadi korban tindak kekerasan tertentu.


(56)

48

Tindak kekerasan di sini diartikan sebagai setiap perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaan atau tubuh (fisik) menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini bisa berupa: kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan, sedangkan keadaan fisik tidak nyaman bisa berupa: lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya. Ringkasnya hal-hal yang di anggap secara fisik menyakitkan atau tidak enak.

Berkenaan dengan soal kekerasan/kejahatan, dan sebagaimana yang penulis telah uraikan dalam bab sebelumnya mengenai metode pengumpulan data yang di gunakan yakni metode kualitatif, maka aspek kualitatif dari fenomena ini menjadi lebih penting untuk diketahui dari pada aspek kuantitatifnya, karena kekerasan ini punya akibat terhadap kualitas kehidupan manusia itu sendiri. Bukanlah satu kasus seorang anak yang diperkosa ayahnya sampai mati sudah cukup menjadi alasan untuk melakukan tindakan pencegahan agar peristiwa yang sama tidak terulang lagi pada anak yang lain? Masihkah kita harus menunggu hingga korban seperti itu mencapai sekian persen dari jumlah penduduk? Tentu jawabanya tidak. Menunda langkah pencegahan atas tindakan yang tidak manusiawi hanya karena soal kuantitas merupakan langkah yang sangat berlawanan dengan hakekat kemanusiaan itu sendiri.


(57)

49

Permasahan kehidupan anak sangatlah kompleks dan rumit, situasi penuh ancaman dari kehidupan, serta berbagai bentuk depresi sosio-ekonomi, kultural dan psikologikal, semua faktor tersebut sangat mempengaruhi perkembangan pola perilaku dan kematangan mental emosional seorang anak. Sampai saat ini khususnya anak korban asusila, penangannya belum menjadi prioritas utama dalam pembangunan. Hal ini dengan masih banyaknya pemberitaan di media massa mengenai pelangaran-pelangaran terhadap hak-hak anak tersebut. Bahkan seringkali masalah-masalah sosial menjadi urusan kedua setelah masalah-masalah ekonomi. Dalam menghadapi problema sosial, kiprah pemerintah seringkali cenderung terlambat penanganannya.

Pentingnya pemberian perlindungan hukum bagi anak, baru disadari pemerintah pada sekitar tahun 1997 dengan lahirnya Surat Keputusan Menteri Sosial RI No: 81/huk/1997 tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak. Namun dengan persiapan yang sangat lama tersebut, menjadikan kebijakan yang diambil terkesan sangat lambat dan terlalu birokratis. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dari penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki ciri dan sifat khusus memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembngan fisik, mental sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Kejahatan terhadap kesusilaan pada umumnya menimbulkan kekhawatiran /kecemasan khususnya orang tua terhadap anak wanita karena selain dapat mengacam keselamatan anak-anak wanita (misalnya: perkosaan,


(58)

50

perbuatan cabul) dapat pula mempengaruhi proses pertumbuhan ke arah kedewasaan seksual lebih dini.

Perihal tindak asusila terhadap anak ini telah diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlingdungan Anak. Secara eksplisit Pasal 81 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Kemudian dalam ayat (2) ditegaskan bahwa seseorang yang melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan juga dikenakan ketentuan sebagaimana ayat (1).48

Di pilihnya tindak pidana asusila terhadap anak sebagai obyek dalam penulisan ini karena kejahatan kesusilaan bukan saja ‘melecehkan’ norma-norma kesusilaan yang erat hubungannya dengan ajaran agama tetapi juga, karena kejahatan terhadap kesusilaan akan mengakibatkan penderitaan kejiwaan yang berkepanjangan pada si korban. Sehingga kejahatan dibidang kesusilaan ini selalu memperoleh perhatian yang besar dari masyarakat. Sementara bagi wanita yang dibawah umur secara garis besar trauma pasca-perkosaan dapat menimbulkan pengaruh antara lain: untuk usia di atas 6 tahun, yang paling umum adalah terjadi kegelisahan, mimpi buruk, dan perilaku seksual menyimpang. Pada usia 7-12 tahun, akibat yang di timbul adalah ketakutan, menjadi agresif, neurotik berupa

48


(59)

51

main boneka, mastrubasi berlebihan, meminta orang lain melakukan rangsangan seksual dan memasukkan benda ke genital ataupun anal. Bisa juga menimbulkan gangguan mental atau mengalami keluhan-keluhan fisik. Sikap seksualnya juga bisa menjadi begitu bebas, berkecenderungan senggama dengan siapa saja (promiscuity). Perkosaan pada anak memang amat berakibat pada masa depan sang anak. Kewaspadaan akan pergaulan orang dewasa di sekitar anak, tidak memandang masih paman, atau kakek dan sebagai adalah amat diperlukan.

Simaklah angka yang disodorkan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak. Dua tahun lalu, kekerasan terhadap anak yang dilaporkan ada 500 kasus, pada 2005 jumlahnya naik 40 persen, mencapai sekitar 700 kasus. Sebanyak 68 persen kekerasan dilakukan oleh orang yang dikenal korban. Kejadian yang tidak dilaporkan diperkirakan jauh lebih banyak. Sebetulnya sudah cukup lengkap aturan hukum yang melindungi anak-anak. Selain memiliki Undang-Undang No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan mempuyai Undang-Undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang terakhir, anak-anak berusia di bawah 18 tahun mendapat perlindungan dari berbagai bentuk eksplotasi dan kekerasan. Jagankan penganiaya anak sendiri, orang yang menelantarkan anak orang lain sehingga menjadi sakit atau menderita pun bisa di penjara lima tahun. Hanya prakteknya tidak gampang memperkarakan orang tua yang melakukan kekerasan fisik terhadap anaknya. Anak yang jadi korban penganiayaan atau


(60)

52

kekerasan seksual biasanya belum mampu atau tidak berani melapor ke polisi. Akibatnya banyak kasus yang baru terungkap setelah anak tewas.49

Perlakuan salah terhadap anak, dibagi menjadi dua golongan besar: berasal dari dalam keluarga dan berasal dari luar lingkungan keluarga.

1. Dalam Keluarga, Berupa :

a. Penganiayaan fisik, berupa cacat fisik sebagai akibat hukuman badan di luar batas, kekejaman atau pemberian racun.

b. Kelalaian, merupakan perbuatan yang tidak disegaja akibat

ketidaktahuan atau akibatan kesulitan ekonomi, meliputi: pemeliharaan yang kurang memadai, yang dapat mengakibatkan gagal tumbuh (failure to thrive), anak merasa kehilngan kasih sayang, ganguan kejiwaan, keterlambatan perkembangan; pengawasan yang kurang, dapat menyebabkan anak mengalami resiko terjadinya trauma fisik dan jiwa; kelalaian dalam mendapatkan pengobatan, misalnya tidak mendapat imunisasi; dan kelalaian dalam pendididikan meliputi kegagalan dalam mendidik anak untuk mampu beriteraksi dengan lingkungannya, gagal menyekolahkannya atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.

c. Penganiayaan emosional. Berupa kecaman dengan kata-kata yang merendahkan anak, atau tidak mengakui anak. Sering pula berlanjut pada melalaikan anak, mengisolasinya dari lingkungan, atau

49


(61)

53

menyalahkan anak secara terus menerus. Biasanya diiringi pula dengan penganiayaan dalam bentuk lain.

d. Penganiayaan seksual. Berupa melakukan aktivitas seksual dihadapkan ataupun pada anak baik dengan bujukan maupun rayuan.

e. Sindrom munchusen. Merupakan permintaan pengobatan terhadap penyakit yang di buat-buat dan pemberian keterangan palsu baik untuk mencari keuntungan maupun berupa tindakan neurotik.

2. Di Luar Keluarga, Berasal dari: satu institusi atau lembaga tempat kerja, di jalan dan bisa juga dari medan perang.

Dari uraian tersebut di atas penyusun bermaksud mengakaji UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kemudian mencoba dengan kaca mata Islam, apakah sesuai dengan hukum Islam atau tidak. Hal ini dirasa sangat perlu karena menyangkut kelangsungan hidup manusia terutama anak.


(62)

BAB III

ANALISA YURIDIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM No. 054 /PID /B/ 1997/PN. JAKBAR.

A. Perkosaan Menurut Hukum Islam dan KUHP 1. Perspektif Hukum Positif

Mengenai apa sesungguhnya perkosaan itu, dalam beberapa pengertian patut dikemukakan disini. Ada yang mendefinisikan perkosaan sebagai “perkosaan seksual” yaitu tindakan seseorang yang memaksa orang lain untuk melakukan hubungan seksual, sedangkan korban perkosaan adalah orang yang telah dipaksa untuk melakukan hubungan seksual. Melihat arti perkosaan dari dua kamus diatas terlihat bahwa perkosaan diartikan dengan sangat luas, bahkan juga tidak dinyatakan batasan siapa pelakunya, siapa korbannya dan dilakukan dengan cara bagaimana, tidak menutup kemungkinan jika korbannya adalah pria, atau seorang isteri, tetapi yang jelas perbuatan itu dilakukan dengan paksaan dan dengan kekerasaan, bukan dengan bujukan.1

Sementara itu menurut perumusan yang berlaku dalam KUH Pidana pasal 285, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH mengenai arti dari perkosaan

1

Pusat Komunikasi Kesehatan Prespektif Gender, Mengapa Anda Peduli Dengan Korban Perkosaan, (Jakarta, 1995),h.2.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abd Ghafar, Asyahari’ Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil, Jakarta : Grafindo Utama, 1987

Al-Bukhari, Muhammad Bin Ismail, Shahih Bukhari, Beirut :Dar Wa Mathabi al-Syu’ab, tth

Arif, Gosita, Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan, Jakarta : Ind Hill-Co, 1997

Andi, Hamzah. Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta : Arikha Media Cipta, 1993

Ahmad, Hanafi. Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 2005

Al-Razi, Muhammad Bin Abi Bakar, Mukhtar Al-Shihah, Mesir : Isa Al-Babi Al-Halabi

Al-Imam, Al-Kahlani Subulus Salam, Beirut : Dar-Furats al-Arabiy, 1960 A. Zajuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam),

Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2001

Bismar, Siregar. “Tanggung Jawab Hakim Melindungi Korban Perkosaan, Makalah Seminar Nasional Tentang:Aspek-Aspek Perlindungan Hukum Korban Perkosaan, Surabaya : Universitas Sebelas Maret, 1999

Bambang, Poernomo. Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta :Ghalia Indonesia, 1978

--- Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Diluar Kodefiksi Hukum Perdata, Jakarta : Bina Aksara, 1998

C.S.T, Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :Balai Pustaka, 1990

Daliyo, J.B. Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : PT Prenhalindo, 2001


(2)

99

Flamintang, S.H., Drs P.A Delik-Delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, Bandung : Manjar Maju, 1990

Handoko, Tjonroputranto, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Forensik,

Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, Jakarta : PT Raja Grapindo Persada, 2000

Hakristuti, Hakrisnowo. Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dalam Pandangam Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia (Pelaung,Prospek, dan Tantangan), Jakarta : Pusaka Firdaus. 2001

Idris, Abdul Mun’im, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1989

Koesparno, Ihsan. Kekerasan-Kekerasan Sebagai Tindak Kriminal, Makalah Seminar Sehari Tentang : Tindak Pidana Kekerasan Dalam Masyarakat, Jakarta, 1990

Kanter d E.Y. dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta : Storia Grafika, 2002

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta : PT Bumi Aksara, 2001

Muhammad, Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern Jakarta : Pustaka Amini

Musfir Garm, Allah Al-Damini, Al-Jinayat Baina Al-Fiqh, Ryad : Dar Thaibah, 1402 H

Muslim Bin al-Hajaj al-Qusyairi al-Nay Sabury, Abi al-Husein Shahih Muslim, Dar Al-Ihya, al-Kutub Al-Arabiyah, 1918

Martiman, Prodjohamidjojo. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988

Prasetyo, Eko & Supraman Marzuki (ed), Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, Yogyakarta : PKBI-DIY, 1997

Pusat Komunikasi Kesehatan Prespektif Gender, Mengapa Anda Peduli Dengan Korban Perkosaan, Jakarta, 1995


(3)

100

Soebekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1972 Syarif Al-Jurjani, Muhammad Bin Abi Bakar, Kitab Al-Ta’rifat, Beirut Topo, Santoso. Menggagas Hukum Pidana Islam, (Penerapan Syari’at Islam

Konteks Modernitas), Bandung : Asy-Syamil Prees & Grafika, 2001 Wirjono, Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung : PT.

Refika Aditama, 2003

--- Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung : eresco, 1986 WJS. Poerwadarminta, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai

Pustaka, 1976

Sumber dari Perundang-undangan dan sejenisnya

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pasal 285, 286, 289, 294 tentang tindak pidana perkosaan dan pencabulan

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat, 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR

Sumber dari wawancara

Wawancara pribadi dengan Tarmuji, Panitera Muda Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Barat, 6 Januari 2010


(4)

HASIL WAWANCARA Nara sumber : Tarmuzi. SH

Jabatan : Panitera Muda Hukum Pewawancara : Muhammad Agus Setiawan Hari/tanggal : 24 Februari 2010

Waktu : 10.00 - 11.30

Soal : Perbuatan apa sajakah yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perkosaan ?

Jawab Perkosaan yang terjadi secara tuntas, artinya pihak pelaku (laki-laki pemerkosa) telah selesai melakukan perbuatannya hingga selesai (mengeluarkan air mani). Jika hal ini tidak sampai terjadi, maka secara eksplisit apa yang dilakukan laki-laki itu belum patut untuk dikataegorikan sebagai perkosaan. Namun ada ahli yang berpendapat, bahwa perkosaan tidak selalu harus mengeluarkan air mani (sperma). Cukup dengan pemaksaan persetubuhan (sampai alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kelamin perempuan), maka hal itu sudah disebut sebagai perkosaan. Akan tetapi apabila pelaku tidak berhasil memasukkan penisnya kedalam vagina korban, karena korbannya telah memberikan perlawanan atau telah meronta-ronta maka pelaku dapat dipersalahkan telah melakukan suatu ‘percobaan perkosaan’. Dan dapat dijatuhi hukum penjara selama delapan tahun yakni sesuai dengan pidana pokok terberat yang diancamkan dalam pasal 285 KUHP dikurangi dengan sepertiganya.

Soal : Bagaimana proses pembuktian perksoaan ?

Jawab Sistem pembuktian dalam mengungkapkan kasus perkosaan di muka sidang pengadilan sama dengan yang lainnya yaitu adanya bukti-bukti, saksi atau barang bukti (material) dan resume (kumpulan hasil) dari para dokter yang


(5)

menangani masalah ini dan Visum Et Refertum yang dibuat oleh dokter kehakiman atau dokter puskesmas. Dalam pedoman pelaksanaan KUHP diaktakan bahwa “tujuan dari hukum acara untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran mataeril….”. Dengan berpegang pada tujuan tersebut (menemukan kebenaran materil), maka akan timbul suatu hal yang amat penting tetapi sekaligus sukar, yaitu bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran materil itu.

Sesuai dengan yang terkandung dalam pasal 183 KUHAP Sekurang-kurangya ada dua alat bukti yang sah Dengan dasar alat bukti yang sah, hakim yakin bahwa : Tindak pidana telah terjadi dan Terdakwa telah bersalah Sedangkan alat-alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP ialah : Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan terdakwa

Soal : Mengapa tindak pidana terhadap para pelaku perkosaan masih dirasa cukup rendah ?

Jawab Masalah perkosaan ini merupakan masalah social dan yuridis yang sangat rumit, kiranya perlu diadakan pengkajian dan penelitian lebih lanjut dan mendalam mengenai cara bagaimana mengatasi masalahi ni. Karena secara formil hukum positif di Indonesia telah menetapkan hukuman maksimal yang cukup berat yaitu hukuman penjara 12 tahun. Akan tetapi pada kenyataannya hakim menjatuhkan hukuman terlalau ringan, sehingga pelaku perkosaan tidak akan jera dan mungkin akan mengulangi perbuatan yang keji itu. Apabila mereka bertahun-tahun dalam penjara tidak sempat dalam memenuhi kebutuhan seksualnya atau menjalankan kehidupan yang kurang normal. Ringannya hukuman tersebut bisa juga disebabkan karena kurangnya alat-alat bukti yang dapat menunjukan kepada perbuatan perkosaan tersebut, dari sinilah timbul keengganan para korban perkosaan untuk mengadukan kejahatan tersebut, karena korban tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kerugian yang dideritanya, baik kerugian moril maupum materil.


(6)

Perlindungan khusus bagi korban yang berwujud pemberian ganti rugi msih belum terlaksana dengan semestinya.

Soal : Bagaimana upaya hukum yang dilakukan dalam melindungi korban perkosaan ?

Jawab Dalam pasal 285 KUHP tersirat bahwa puncak penanganan terhadap korban perksoaan adalah saat pelaku dijatuhi hukuman pidana, sedangkan penjatuhan hukuman dalam kasus perksoaan bukanlah satu-satunya tujuan akhir dari proses penegakkan hukum, masih tersisa tujuan utama dan sangat penting ialah mengembalikan kondisi kehidupan korban perkosaan ke dalam posisi semula, antara lain menumbuhkan kepercayaan kepada diri sendiri termasuk dalam hal ini adalah pemberian ganti rugi berupa kompensasi (dari pemerintah) atau restitusi (dari pelaku perkosaan). Penuntutan ganti rugi sebagaimana diatur dalam pasal 136 KUH-Per dan pasal 98 KUHP pada intinya pasal tersebut menyatakan bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum yang menimbulkan kerugian kepada orang lain wajib mengganti kerugian tersebut.

Soal : Apa upaya (tindakan) pemerintah dan masyarakat dalam rangka mencegah tindak pidana perksoaan ?

Jawab Adapun upaya dalam rangka mencegah dan menanggulangi terjadinya kejahatan seksual adalah dengan penerapan dan pelaksanaan peraturan, seperti penjatuhan sanksi hukuman dengan pasti dan tepat, perlu digalakkan penyuluhan hukum kepada masyarakat agar masyarakat mengerti kewajiban dan hak-haknya dalam hukum baik hukum Positif maupun hukum Islam, memperbaiki mental masyarakat agar lebih dewasa dan arif dalam menyikapi korban perkosaan.


Dokumen yang terkait

Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag Van Rechtsvervolging) Terhadap Tindak Pidana Penggelapan (Studi Kasus Putusan Nomor: 171/ Pid. B/ 2011/ Pn. Smi)

8 132 131

Hukum Tidak Tertulis Sebagai Sumber Hukum untuk Putusan Pengadilan Perkara Pidana

7 92 392

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan PASAL 340 KUHP(Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN. Mdn)

5 97 123

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Tindak Pidana Eksploitasi Seksual (Perkosaan) Oleh Orang Tua Tiri Terhadap Anak Dibawah Umur (Studi Putusan No. 1599/Pid.B/2007/PN Medan)

1 53 82

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Tindak Pidana Pemerkosaan Seorang Ayah Kepada Anak Kandung Ditinjau Dari Psikologi Kriminil (Studi Kasus Putusan NO.166/PID.B/2009/PN-KIS)

1 60 142

Analisis Kasus Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan Dalam Menggandakan Rekening Bank (Studi Kasus : No.1945 / Pid.B / 2005 / PN-MDN)

2 61 120

Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan (Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP)

0 27 87

Analisis Hukum Positif Dan Hukum Islam Terhadap Putusan Perkara No:325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL Tentang Tindak Pidana Pengabulan Terhadap Anak

0 9 138