41
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan; anak asuh adalah anak
yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya
atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembangnya anak secara wajar.
45
b. Konsep dan Batasan anak dibawah umur
Berbicara mengenai konsep dan batasan anak di bawah umur, penulis bertolak pada KUHP dan konvensi Hak-Hak Anak KHA, dimana dalam
KUHP tersebut memberikan batasan anak di bawah umur adalah lima belas tahun, sedangkan dalam KHA memberikan batasan anak di bawah umur
adalah delapan belas tahun. secara fakta psikologi anak usia 17 tahun masih labil sehingga batasan umur dalam KHA dirasa lebih tepat.
Sedangkan dalam hukum Islam batasan anak di bawah umur terdapat perbedaan penentuan. Menurut hukum Islam batasan itu tidak berdasarkan
hitungan usia, tetapi sejak ada tanda-tanda perubahan badania baik bagi di anak laki-laki, demikian pula bagi anak perempuan. Sedangkan dalam
masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis, ditetapkan batasan umur 16 tahun atau 18 tahun ataupun usia tertentu yang menurut
45
Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen Sosial RI, Ibid, h. 14.
42
perhitungan pada usia itulah si anak bukan lagi tergolong anak di bawah umur, tetapi sudah dewasa.
46
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak disebutkan bahwa anak sampai batas usia sebelum mencapai umur 21
tahun dan belum pernah kawin masih tergolong anak di bawah umur. sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan memberikan batasan usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau dibawah perwalian sebelum mencapai 18 tahun masih tergolong anak
di bawah umur. dalam Undang-Undang pemilu yang dikatakan anak di bawah umur adalah belum mencapai usia 17 tahun, sedangkan dalam
konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak memberikan batasan anak di bawah umur adalah di bawah umur 18 tahun.
2 . Kewajiban dan Tanggung Jawab Anak
Sebelum penulis menjelaskan tentang kewajiban seorang anak terlebih dahulu akan di jelaskan tentang pengertian kewajiban itu sendiri. Kewajiban
adalah segala yang harus kita penuhi sebelum kita menuntut hak. seorang anak selain memiliki kewajiban, juga memiliki tanggung jawab baik itu
terhadap dirinya, keluarganya, masyarakat, bangsa dan negaranya. Dalam Undang-Undang perlindungan anak pasal 19 dijelaskan tentang kewajiban
seorang anak, yaitu : 1 Menghormati orang tua, wali, dan guru;
46
Bibik Nurudduja.t. t.th.
43
2 Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; 3 mencintai tanah air, bangsa dan negara;
4 Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; 5 Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
47
Sedangkan tanggung jawab seorang anak adalah tanggung jawab terhadap dirinya sendiri seperti memelihara diri dari segala gangguan yang
mungkin membahayakan keselamatannya. Tanggung jawab terhadap kedua orang tuanya seperti menghormati dan menghargai kedua orang tuanya, guru,
keluarga, masyarakat. Sedangkan tanggung jawab terhadap bangsa, negara dan agamanya adalah menghargai para pahlawan yang telah gugur dalam
mempertahankan bangsa dan negara Indonesia, sedangkan tanggung jawab untuk agamanya adalah seorang anak harus betul-betul mempelajari ajaran
agama agar supaya mereka dapat memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Tanggung jawab lain seorang anak terhadap agamanya dalam
bentuk melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, berakhlak dan beretika baik
3 . Kategori Kejahatan Asusila terhadap Anak di bawah Umur
Bentuk-bentuk kejahatan dan kekerasan yang dialami oleh anak-anak dilakukan dengan fokus di empat arena dimana anak-anak banyak
menghabiskan waktunya yakni di rumah, sekolah, tempat kerja dan tempat
47
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Cet. I; Bandung : Citra Umbara, 2003, h. 11.
44
umum. Dari hasil penelitian oleh Lembaga Perlindunga Anak LPA di kota Makassar menemukan bahwa jenis-jenis kekerasan yang dialami oleh anak-
anak dibedakan menjadi tiga, yakni kekerasan mental mental abuse, kekerasan fisik physical abuse, dan kekerasan seksual sexual abuse. Jenis
kekerasan fisik atau physical abuse adalah jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak-anak, disusul kemudian dengan kekerasan mental dan
kekerasan seksual, tetapi yang menjadi pokok pembahasan penulis adalah kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Berbagai macam bentuk kekerasan dan kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak di bawah umur merupakan sebuah
fenomena sosial yang tidak terwujud begitu saja atau berdiri sendiri dalam suatu masyarakat. Fenomena sosial-budaya semacam ini merupakan bentuk
kekerasan dan bentuk kejahatan terhadap anak yang muncul dalam suatu masyarakat tertentu yang memiliki unsur-unsur pendukung bagi keberadaan
gejala kekerasan dan kejahatan tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan dan kejahatan yang terjadi pada anak-anak
dan si pelaku banyak tergantung pada kontek atau setting tempat yang memungkinkan terjadinya tindak kekerasan dan kejahatan terhadap anak-
anak di bawah umur. Tindak kekerasan dan kejahatan yang dimaksud adalah setiap perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaan atau tubuhfisik
menjadi tindak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini biasanya berupa kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau
45
kemarahan. Keadaan fisik tidak nyaman bisa berupa lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya.
Jenis-jenis kejahatankekerasan yang terjadi pada anak di bawah umur dapat dibedakan kedalam tiga kategori yaitu kekerasankejahatan mental
mental abuse, kejahatan atau kekerasan fisik physical abuse dan kekerasan atau kejahatan seksual sexual abuse. Tetapi yang menjadi bahan kajian
utama penulis adalah kekerasan seksual sexual abuse. Setiap jenis kekerasan terdiri dari berbagai macam bentuk kekerasan
dan kejahatan, dan bentuk-bentuk kekerasan dan kejahatan yang pernah dialami oleh para korban berbeda-bedasa seperti perlakuan tidak senonoh,
perayuan, pencolekan, pemaksaan onani, oral seks, anal seks dan pemerkosaan adalah bentuk kekerasan dan kejahatan yang sering dialami oleh
anak-anak di bawah umur. Rumah dan sekolah adalah merupakan tempat bagi anak-anak paling banyak melewati waktunya sehari-hari. Di tempat-tempat
inilah anak-anak semestinya tidak memperoleh tindak kekerasan khususnya tindak kekerasan asusilah. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Hal ini
tampaknya tidak terlepas dari kenyataan lain bahwa rumah dan sekolah adalah tempat anak-anak memperoleh pendidikan dan dibentuk serta disiapkan untuk
menjadi warga masyarakat yang dapat diterima oleh masyarakatnya, dan di situlah mereka mengalami proses pendisiplinan, yang kadang-kadang berubah
menjadi tindak kekerasan yang tidak pada tempatnya.
46
Dalam soal kekerasan seksual seorang anak seringkali mengalaminya di dalam rumah, sekolah, tempat umum. Di dalam lingkungan keluarga atau
rumah seringkali terjadi bentuk kekeran seksual terhadap anak di bawah umur sebab hal ini memungkinkan para pelaku tindak kekerasan terhadap anak
merasa lebih leluasa melampiaskan hawa napsunya seperti melakukan pemerkosaan, pencabulan, dan mencolekan serta pemelukan secara paksa
seperti yang banyak diberitakan lewat siaran-siatan TV di Indonesia, seorang ayah melakukan pemerkosaan terhadap anak kandungnya sendiri, seorang
kakek memperkosa cucunya, dan bahkan seorang pamam tega melakukan pemerkosaan terhadap keponakannya.
Sedangkan dalam lingkungan selokah bentuk kekerasan yang dialami oleh anak di bawah umur adalah berupa kekerasan mental, kekerasan fisik dan
kekerasan seksual. Kekerasan mental yang dialami oleh seorang anak kebanyakan adalah pemberian hukuman oleh guru akibat melanggar aturan di
sekolah. Sedangkan kekerasan fisik sering terjadi akibat dianggap telah melanggar aturan dan tidak bersedia memenuhi perintah. Ada juga kekerasan
fisik yang disebabkan oleh tindakan iseng dan juga akibat tindakan kriminalitas.
Di samping itu ada beberapa asumsi penting yang terkandung dalam perspektif semacam ini. Asumsi pertama, adalah bahwa berbagai macam
bentuk kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak merupakan sebuah fenomena sosial yang tidak terwujud begitu saja atau
47
berdiri sendiri dalam suatu kekosongan. Sebaliknya, sebagaimana fenomena sosial budaya, berbagai macam bentuk kekerasan terhadap anak muncul
dalam suatu konteks sosial-budaya tertentu yang memiliki unsur-unsur pendukung bagi keberadaan gejala kekerasan tersebut. Asumsi kedua, bentuk-
bentuk kekerasan yang terjadi pada anak-anak dan pelakunya sedikit banyak tergantung pada konteks atau setting tempat terhadinya kekerasan itu sendiri.
Oleh karena itu, bukan hanya ciri dan sifat pelaku kekerasan yang perlu kita ketahui, tetapi juga tempat terjadinya kekerasan itu sendiri. Tanpa
pengetahuan tentang setting ini, penanganan berbagai bentuk kekerasan terhadap anak-anak tidak akan mencapai hasil yang optimal. Asumsi ketiga,
setiap individu pada dasarnya telah pernah menjadi korban dari satu atau lebih bentuk kekerasan, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial,
makhluk yang selalu berada dalam berbagai interaksi dan relasi dengan individu-individu yang lain, dan dibesarkan dalam suatu kelompok atau
golongan sosial tertentu, dengan pola budaya tertentu pula. Dalam proses sosialisasi di tengah-tengah individu lain inilah, manusia bekerjasama, tetapi
sekaligus juga bersaing dengan yang lain untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Persaingan akan menghasilkan pihak yang menang dan kalah, dan di
sini bisa terjadi berbagai bentuk tindak kekerasan dari satu individu terhadap individu lain yang lebih lemah. Setiap individu pada
dasarnya telah mengalami situasi semacam ini, sehingga setiap orang pada dasarnya telah
pernah menjadi korban tindak kekerasan tertentu.
48
Tindak kekerasan di sini diartikan sebagai setiap perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaan atau tubuh fisik menjadi tidak nyaman.
Perasaan tidak nyaman ini bisa berupa: kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan, sedangkan keadaan fisik tidak
nyaman bisa berupa: lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya. Ringkasnya hal-hal yang di anggap secara fisik menyakitkan atau tidak enak.
Berkenaan dengan soal kekerasankejahatan, dan sebagaimana yang penulis telah uraikan dalam bab sebelumnya mengenai metode pengumpulan
data yang di gunakan yakni metode kualitatif, maka aspek kualitatif dari fenomena ini menjadi lebih penting untuk diketahui dari pada aspek
kuantitatifnya, karena kekerasan ini punya akibat terhadap kualitas kehidupan manusia itu sendiri. Bukanlah satu kasus seorang anak yang diperkosa
ayahnya sampai mati sudah cukup menjadi alasan untuk melakukan tindakan pencegahan agar peristiwa yang sama tidak terulang lagi pada anak yang lain?
Masihkah kita harus menunggu hingga korban seperti itu mencapai sekian persen dari jumlah penduduk? Tentu jawabanya tidak. Menunda langkah
pencegahan atas tindakan yang tidak manusiawi hanya karena soal kuantitas merupakan langkah yang sangat berlawanan dengan hakekat kemanusiaan itu
sendiri.
E. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak