Pertanggung Jawaban Agen Pemasaran Atas Penjualan Crude Palm Oil (CPO) PT Perkebunan Nusantara Ii Di Kota Medan (Studi Pada PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku :

Syamsuddin Meliala, A. Qirom, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Yogyakarta : Liberty, 1985.

Prodjodikoro, Wirjono, Azaz-azaz Hukum Perjanjian, Bandung : PT Bale, 1986.

Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung : Penerbit Alumni, 1986.

Subekti, R, Hukum Perjanjian. Jakarta : PT Intermasa, 1985.

---, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta : PT Pradnya Paramita, 1996. Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Jakarta : Kencana,

2008.

Finz, Steven R., Product Liability, Larchmont, NY : Emanuel Law Outlines,Inc,1993.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1990.

---, Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 2006.

Badrulzaman, Mariam Darus, K.U.H. Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Bandung : Alumni, 1996.

Satrio, J., Hukum Perikatan, Bandung : Alumni, 1999.

Patrik, Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Bandung : Mandar Maju, 1994. Sembiring, Sentosa, Hukum Dagang, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2008. V. Brakel, Leerboek van het Nederlandse Verbintenissenrecht, Jilid Kesatu,

Cetakan Keempat, Tjeenk Willink, Zwolle, 1948.

Pati, Ahmadi Miru dan Sakka, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2008.


(2)

BAB III

TANGGUNG JAWAB AGEN PEMASARAN ATAS PERJANJIAN CRUDE PALM OIL (CPO) ANTARA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II DI KOTA MEDAN DENGAN PT. KHARISMA PEMASARAN BERSAMA

NUSANTARA

A.Akibat Hukum Dari Perjanjian Keagenan Pemasaran

Para pihak dalam perjanjian keagenan mempunyai hubungan hukum yang mengikat diantara para pihak yang meliputi perjanjian keagenan, dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati antara para pihak sebagaimana biasanya dengan berdasarkan kepada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang memuat syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang berbunyi :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.49

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukannya. Maka klausula perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengikat kepada para pihak yang melakukan perjanjian keagenan. Para pihak telah mengikat perjanjian keagenan dan telah memenuhi ketentuan yang berlaku maka secara otomatis para pihak yang

49


(3)

mengikat perjanjian keagenan mengikat kedua belah pihak dan padaseketikan muncul hak dan kewajiban bagi para pihak yang mengikat perjanjian keagenan.

1. Berlakunya Suatu Perjanjian

Dalam teori suatu perjanjian akan berlaku apabila adanya kata sepakat. Dengan diperlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacad” bagi perujudan kehendak tersebut. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui

(overeenstemende wilsverklaring) antara pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Saat-saat terjadinya perjanjian antara pihak ada beberapa ajaran yaitu :

a. Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.

b. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

c. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.


(4)

d. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dainggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.50

Dalam praktek perjanjian keagenan berlaku sejak tanggal 4 Januari 2010 dan berlangsung selama tidak dilakukannya pemutusan atau perubahan atas perjanjian ini. Perjanjian ini dapat dibatalkan sebelum jangka waktu perjanjian ini berakhir apabila terjadi perubahan dalam “Perjanjian Para Pemegang Saham” yang mengharuskan pembatalan perjanjian ini. Segala hak dan kewajiban yang timbul antara para pihak akibat dari pelaksanaan perjanjian ini dituntaskan terlebih dahulu sebelum pengakhiran perjanjian ini. Perjanjian ini dapat diubah atau di-addendum atas kesepakatan para pihak.

2. Hak dan Kewajiban

1) Hak dan Kewajiban PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) :

a. Hak :

(1) Pihak pertama bersama-sama dengan pihak kedua menetapkan formulasi Perkiraan Harga;51

(2) Pihak pertama menetapkan alokasi dan volume komoditas yang akan dijual melalui pihak kedua;

50

Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung : Alumni, 1996), hal. 98.

51

Perkiraan Harga atau Price Idea adalah patokan harga minimum yang dipergunakan oleh pihak kedua untuk menjual komoditas milik pihak pertama.


(5)

(3) Pihak pertama menerima pembayaran hasil penjualan bersih setelah dipotong biaya-biaya dan Imbal Jasa;

(4) Pihak pertama menerima faktur pajak PPN atas Imbal Jasa penjualan komoditas dari pihak kedua.

b. Kewajiban :

(1) Pihak pertama menjual komoditas yang diproduksi minimal 80% dari jumlah produknya melalui pihak kedua;

(2) Pihak pertama memberiakan kuasa khusus kepada pihak kedua untuk melakukan penjualan komoditas52

(3) Pihak pertama menampaikan informasi mengenai ketersediaan komoditas yang siap jual meliputi jenis dan mutu komoditas, alokasi volume, jadwal penyerahan/pengapalan;

milik pihak pertama;

(4) Pihak pertama setiap bulan menyampaikan jumlah produk yang akan dijual melaui pihak kedua;

(5) Pihak pertama menjamin ketersediaan komoditas yang sudah terjual

(traded) sesuai Perjanjian Jual Beli (Sales Contract);

(6) Pihak pertama menjamin penyerahan komoditas yang sudah terjual

(traded) sesuai Perjanjian Jual Beli (Sales Contract);

(7) Pihak pertama menyampaikan laporan kepada pihak kedua tentang realisasi pembayaran dan penyerahan barang atas kontrak-kontrak yang diterbitkan oleh pihak kedua;

52

Penjualan Komoditas adalah kegiatan penjualan komoditas milik pihak pertama yang diselenggarakan dengan cara tender, auction, ataupun free sales, termasuk melakukan kegiatan penyerahan dan pengapalan serta pengurusan dokumen penjualan baik lokal maupun ekspor.


(6)

(8) Pihak pertama bertanggung jawab dan menjamin mutu (quality assurance) komoditas sesuai informasi yang diberikan kepada pihak kedua;

(9) Pihak pertama membayar Imbal Jasa53

(10) Pihak pertama menyelesaikan klaim sesuai tanggung jawabnya sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian jual beli dan tata cara penjualan komoditas.

penjualan komoditas kepada pihak kedua;

2) Hak dan Kewajiban PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) :

a. Hak :

(1) Pihak kedua menetapkan tata cara penjualan, atau dengan nama dan istilah lain;

(2) Pihak kedua membuat dan menandatangani Perjanjian Jual Beli (Sales Contract) untuk pihak pertama sesuai surat kuasa dari pihak pertama; (3) Pihak kedua menerbitkan surat perintah penyerahan dan pengapalan

komoditas yang sudah terjual;

(4) Pihak kedua melakukan penagihan atas Imbal Jasa penjualan komoditas milik pihak pertama yang sudah terjual;

53

Imbal Jasa adalah imbalan yang wajib dibayarkan pihak pertama atas komoditas yang sudah terjual melaui pihak kedua yang dihitung berdasarkan presentase tertentu dari harga jual komoditas yang terjadi.


(7)

(5) Pihak kedua memperoleh informasi mengenai realisasi penyerahan barang yang dilakukan oleh pihak pertama kepada pembeli lokal;

b. Kewajiban :

(1) Pihak kedua melakukan penjualan komoditas milik pihak pertama sebagai kuasa untuk dan atas nama pihak pertama;

(2) Pihak kedua membuat penawaran penjualan (offering) kepada calon pembeli atau rekanan;

(3) Pihak kedua melaporkan realisari setiap terjadi penjualan atas komoditas pihak pertama;

(4) Pihak kedua menyampaikan kepada pihak pertama tebusan Perjanjian Jual Beli (Sales Contract) atas penjualan komoditas;

(5) Pihak kedua menyerahkan faktur pajak PPN atas Imbal Jasa penjualan komoditas kepada pihak pertama;

(6) Pihak kedua menetapkan Formula Perkiraan Harga berdasarkan formula harga yang ditetapkan;

(7) Pihak kedua menjaga kerahasiaan Perkiraan Harga;

(8) Pihak kedua melakukan pengurusan dokumen penjualan baik local maupun ekspor;

(9) Pihak kedua melakukan transfer hasil penjualan kepada pihak pertama dalam hal pembayaran melaui pihak kedua.

Jika terjadi suatu sengketa antara para pihak dan atas sengketa tersebut tidak ada pengaturan yang jelas dalam perjanjian yang disepakati para pihak,


(8)

bukan berarti perjanjian belum mengikat para pihak atau dengan sendirinya batal demi hukum. Karena pengadilan dapat mengisi kekosongan hukum tersebut melalui penafsiran untuk menemukan hukum yang berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian.

Dalam sistem common law seperti yang berlaku di Amerika Serikat, dikenal juga cara penfsiran perjanjian oleh pengadilan untuk mengisi kekosongan hukum dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Uniform Commercial Code menyebutkan tiga cara untuk melakukan interpretasi hukum, yaitu Course of performance, Course of dealing, dan Usage of trade.54

1. Course of performance adalah bagaimana para pihak bertindak melaksanakan perjanjian. Misalnya, dalam perjanjian distributor dijelaskan bahwa kualitas produk yang disalurkan secara kesinambungan adalah the highest grade oil. Jika kemudian terjadi sengketa mengenai kualitas minyak, maka yang menjadi dasar untuk menentukan kualitas minyak yang diperjanjikan adalah minyak yang diterima pada pengiriman pertama. Dengan demikian tindakan para pihak dalam melaksanakan kontrak berlaku sebagai bukti tentang maksud para pihak.

2. Course of dealing adalah bagaimana para pihak melaksanakan kontrak yang sebelumnya. Hal ini akan menjadi acuan untuk menyelesaikan sengketa atas kontrak yang sekarang sedang berlaku antara mereka. Misalnya, dalam kontrak yang sekarang tidak jelas hak dan kewajiban para

54


(9)

pihak. Bukti yang ada hanya selembar kuitansi tanda terima. Akan tetapi, kontrak sebelumnya jelas mencantumkan bahwa uang tersebut adalah sebagai setoran modal dalam suatu kontrak agribisnis.

3. Usage of trade adalah praktik bisnis yang sudah terjadi berulang-ulang menurut pola yang sama. Misalnya, dalam pelaksanaan kontrak sudah menjadi kebiasaan bahwa suatu perusahaan pemasok barang atau distributor utama mewajibkan distributor menjual barang secara kredit kepada pelanggan.

Teori hukum perjanjian yang tradisional mempunyai ciri-ciri menekankan pentingnya kepastian hukum dan predictability. Fungsi utama suatu kontrak adalah untuk memberikan kepastian tentang mengikatnya suatu perjanjian antara para pihak, sehingga prinsip-prinsip itikad baik dalam sietem hukum civil law dan

promissory estopel dalam sistem hukum common law hanya dapat diberlakukan jika perjanjian sudah menentukan syarat sahnya perjanjian. Sebaliknya, teori hukum perjanjian yang modern mempunyai kecenderungan untuk mengabaikan formalitas kepastian hukum demi tercapainya keadilan yang substantial. Pengecualian atas berlakunya doktrin consideration dan penerapan doktrin

promissory estopel serta asas itikad baik dalam proses negoisasi adalah contoh yang jelas dari teori hukum perjanjian yang modern. 55

55


(10)

Out Put Contract dan Requirement adalah suatu perjanjian yang dapat diterima legalitasnya oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Karena meskipun pada saat ditandatanganinya perjanjian jumlah barang yang menjadi objek perjanjian belum pasti, tetapi jumlah tersebut dapat dihitung atau dipastikan kemudian pada saat pelaksanaan perjanjian dan hal ini dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

Akan tetapi pelaksanaan perjanjian harus didasarkan pada pada asas itikad baik sebagai ditentukan dalam Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di samping itu, pengadilan melaui metode penafsiran dapat mengisi kekosongan hukum, jika para pihak yang membuat perjanjian tidak jelas mengatur hukum yang berlaku atas hal yang menjadi sengketa.56

56

Ibid., hal. 21.

Perjanjian keagenan memenuhi ketentuan yang telah disepakati antara para pihak menimbulkan hak dan kewajiban yang tergambar jelas pada kontrak perjanjian keagenan. Dalam ketentuan undang-undang, pelanggaran terhadap isi tercantum yang telah disepakati akan mengakibatkan munculnya wanprestasi dari salah satu pihak. Maka dengan sendirinya pihak lain akan menuntut ganti rugi yang diakibatkan wanprestasi pihak lain.


(11)

B.Tanggung Jawab Para Pihak

Sesuai dengan ketentuan yang ada para pihak wajib bertangggung jawab atas segala perjanjian dan isi kontrak keagenan yang telah disepakati sebelumnya. Isi perjanjian keagenan yang telah disepakati dibuat secara tertulis dan disepakati oleh para pihak melai para pihak yang membuat perjanjian bertanggung jawab sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Ketentuan-ketentuan yang ada dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah mengikat para pihak untuk saling mematuhi hak dan kewajiban nya masing-masing.

Tanggung jawab pihak pertama atau PT. Perkebunan Nusantara II (PERSERO) yaitu :

1. Pihak pertama bersama-sama dengan pihak kedua menetapkan formulasi Perkiraan Harga;

2. Pihak pertama menetapkan alokasi dan volume komoditas yang akan dijual melalui pihak kedua;

3. Pihak pertama menerima pembayaran hasil penjualan bersih setelah dipotong biaya-biaya dan Imbal Jasa;

4. Pihak pertama menerima faktur pajak PPN atas Imbal Jasa penjualan komoditas dari pihak kedua;

5. Pihak pertama menjual komoditas yang diproduksi minimal 80% dari jumlah produknya melalui pihak kedua;

6. Pihak pertama memberiakan kuasa khusus kepada pihak kedua untuk melakukan penjualan komoditas milik pihak pertama;


(12)

7. Pihak pertama menampaikan informasi mengenai ketersediaan komoditas yang siap jual meliputi jenis dan mutu komoditas, alokasi volume, jadwal penyerahan/pengapalan;

8. Pihak pertama setiap bulan menyampaikan jumlah produk yang akan dijual melaui pihak kedua;

9. Pihak pertama menjamin ketersediaan komoditas yang sudah terjual

(traded) sesuai Perjanjian Jual Beli (Sales Contract);

10.Pihak pertama menjamin penyerahan komoditas yang sudah terjual

(traded) sesuai Perjanjian Jual Beli (Sales Contract);

11.Pihak pertama menyampaikan laporan kepada pihak kedua tentang realisasi pembayaran dan penyerahan barang atas kontrak-kontrak yang diterbitkan oleh pihak kedua;

12.Pihak pertama bertanggung jawab dan menjamin mutu (quality assurance)

komoditas sesuai informasi yang diberikan kepada pihak kedua;

13.Pihak pertama membayar Imbal Jasa penjualan komoditas kepada pihak kedua;

14.Pihak pertama menyelesaikan klaim sesuai tanggung jawabnya sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian jual beli dan tata cara penjualan komoditas.

Dalam perjanjian keagenan ini PT. Perkebunan Nusantara II (PERSERO) yang selaku pihak pertama setuju memberikan Imbal Jasa atas penjualan komoditas milik pihak pertama yang dilakukan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara yang selaku pihak kedua dengan perhitungan perkalian nilai kontrak di


(13)

luar PPN dikalikan persentase masing-masing komoditas Kelapa Sawit dan hasil turunannya, Karet, Kakao dan Gula Tetes yang disepakati oleh kedua belah pihak. Imbal Jasa sebagaimana tertulis sebelumnya belum termasuk PPN atas jasa dan belum dipotong PPh Pasal 23 yang ditetapkan Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 23 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang berbunyi :

(1)Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:

a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:

1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; 2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f; 3. royalti; dan

4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;

b. dihapus;

c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:

1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan

2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

(1a)Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


(14)

(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(3)Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4)Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas:

a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;

b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;

c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);

d. dihapus;

e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i; f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada

anggotanya; g. dihapus; dan

h. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.57

Untuk penjualan komoditas yang pengapalan atau penyerahannya dilaksanakan secara gabungan beberapa produsen, hasil penjualannya dimasukkan ke dalam rekening pihak kedua kemudian ditransfer kepada pihak pertama setelah dipotong biaya Imbal Jasa, termasuk PPN atas jasa dan PPh Pasal 23.

57


(15)

Tanggung jawab pihak kedua atau PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara yaitu :

1. Pihak kedua menetapkan tata cara penjualan, atau dengan nama dan istilah lain;

2. Pihak kedua membuat dan menandatangani Perjanjian Jual Beli (Sales Contract) untuk pihak pertama sesuai surat kuasa dari pihak pertama; 3. Pihak kedua menerbitkan surat perintah penyerahan dan pengapalan

komoditas yang sudah terjual;

4. Pihak kedua melakukan penagihan atas Imbal Jasa penjualan komoditas milik pihak pertama yang sudah terjual;

5. Pihak kedua memperoleh informasi mengenai realisasi penyerahan barang yang dilakukan oleh pihak pertama kepada pembeli lokal;

6. Pihak kedua melakukan penjualan komoditas milik pihak pertama sebagai kuasa untuk dan atas nama pihak pertama;

7. Pihak kedua membuat penawaran penjualan (offering) kepada calon pembeli atau rekanan;

8. Pihak kedua melaporkan realisari setiap terjadi penjualan atas komoditas pihak pertama;

9. Pihak kedua menyampaikan kepada pihak pertama tebusan Perjanjian Jual Beli (Sales Contract) atas penjualan komoditas;

10.Pihak kedua menyerahkan faktur pajak PPN atas Imbal Jasa penjualan komoditas kepada pihak pertama;


(16)

11.Pihak kedua menetapkan Formula Perkiraan Harga berdasarkan formula harga yang ditetapkan;

12.Pihak kedua menjaga kerahasiaan Perkiraan Harga;

13.Pihak kedua melakukan pengurusan dokumen penjualan baik local maupun ekspor;

14.Pihak kedua melakukan transfer hasil penjualan kepada pihak pertama dalam hal pembayaran melaui pihak kedua.

Tangung jawab pihak ketiga atau suatu badan usaha atau badan hukum yang memenuhi kualifikasi dan persyaratan sebagai rekanan (pembeli) yaitu :

1. Setelah memenuhi kualifikasi dan persyaratan maka suatu badan usaha atau badan hukum tersebut diperbolehkan melakukan transaksi pembelian; 2. Membayar sesuai harga yang sudah di sepakati antara pihak kedua dengan

pihak ketiga;

3. Membayar harga barang beserta dengan PPN yang sudah disepakati oleh pihak kedua dengan pihak ketiga;

4. Mengikuti tata cara yang sudah disepakati oleh pihak kedua dengan pihak ketiga dalam proses penjualan atau kontrak penjualan;


(17)

C.Tanggung Jawab Agen Pemasaran Atas Perjanjian Crude Palm Oil (CPO)

Dalam hal ini yang selaku agen pemasaran atau PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara menetapkan beberapa ketentuan meliputi :

1. Waktu dan tempat dalam melakukan lelang/tender/auction dalam penjualan komoditi;

2. Agen pemasaran menentukan syarat-syarat dalam menjadi pembeli atau selaku pihak ketiga baik dalam negeri maupun luar negeri.

3. Agen pemasaran bertanggung jawab dalam pernyataan dan jaminan atas seluruh dokumen perusahaan yang diserahkan kepada PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara serta sebagai pihak yang berwenang untuk dan atas nama perusahaan mendatangani kontrak penjualan juga kebenaran kedudukan (domisili) dari PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara itu sendiri.

4. Agen pemasaran menentukan cara penjulan dan juga mekanisme penjualan yang meliputi :

(1) Mekanisme Penjualan Melalui Tender, yaitu penjualan yang dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yang dilaksanakan secara terbuka dengan peserta yang telah terdaftar dan memenuhi syarat. Pengajuan penawaran dilakukan secara tertulis dalam amplop tertutup. (Tender ini lazim diterapkan pada komoditi sawit, karet, kopi dan kakao);


(18)

(2) Mekanisme Penjualan Melalui Lelang, yaitu proses transaksi yang pelaksanaannya sama dengan tender, lazim diterapkan pada komoditi gula;

(3) Mekanisme Penjualan Melalui Auction, yaitu penjualan yang dilakukan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan, yang dilaksanakan secara terbuka, dengan peserta yang telah terdaftar. Penawaran dilakukan langsung secara lisan/verbal;

(4) Mekanisme Penjualan Melalui Bid Offer, yaitu terbagi menjadi Bid dan

Offer yang merupakan Bid adalah pengajuan harga yang diajukan pembeli atas kesanggupan membyar barang, sedangkan Offer adalah harga barang penawaran dari pihak penjual atas suatu barang. Jadi Bid Offer adalah proses penjualan yang dilakukan antara pembeli (pengaju

Bid) dan penjual (pengaju Offer). Dalam pelaksanaannya pengajuan

Bid Offer selain mencantumkan harga juga volume, mutu dan hal-hal lain yang dipandang perlu.

(5) Mekanisme Penjualan Melalui Long Term Contract (LTC), yaitu kontrak penjualan jangka panjang dari hasil transaksi yang berdasarkan pada kesepakatan volume, formula harga dan masa penyerahan barang (kurang lebih selama 6 bulan sampai 1 tahun).

5. Agen pemasaran membuat kontrak penjualan berdasarkan hasil penjualan yang ditetapkan. Kontrak mengacu kepada tata cara dan ketentuan penjualan komoditi agen pemasaran yang merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kontrak penjualan. Dalam kontrak penjualan ditetapkannya


(19)

secara jelas perihal harga, volume, mutu, cara pembayaran, kondisi penyerahan, bulan penyerahan/pengapalan dan keterangan-keterangan lain yang diperlukan. Kontrak ditandatangani oleh pembeli dan penjual sesuai ketentuan yang berlaku dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Pembeli sangat bertanggung jawab atas kontrak penjualan yang telah ditandatangani. Dalam hal ini penjual hanya berhubungan dengan pihak pembeli yang menandatangani kontrak penjualan atau yang ditunjuk/mewakili pembeli. Sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku menyangkut transaksi perdagangan di Indonesia, maka kepada pembeli dalam negeri akan diterbitkan kontrak penjualan lokal yang mencantumkan PPN, kepada pembeli berdomisili di luar negeri akan diterbitkan kontrak penjualan ekspor dan pembayaran dilaksanakan langsung dari luar negeri. Kontrak penjualan tidak diperkenankan untuk dialihkan atau dipindah tangankan kepada pihak lain.

6. Agen pemasaran menentukan cara pembayaran yang meliputi :

(1) Irrevocable Sight Letter of Credit (L/C) adalah salah satu alat pembayaran berupa surat kredit berdokumen yang tidak dapat diubah secara sepihak. Pembayran dilaksanakan secara langsung kepada penjual setelah dokumen ekspor diterima secara lengkap dan benar oleh pihak bank. Irrevocable Sight Letter of Credit (L/C) melalui bank utama di luar negeri. L/C dibuka langsung ke bank penjual/produsen. Dalam L/C dibuka pada bank lain, maka biaya pengalihan L/C menjadi beban pembeli. L/C sudah harus diterima penjual selambat-lambatnya


(20)

15 (lima belas) hari sebelum pengapalan dilaksanakan. Jika menyimpang dari ketentuan tersebut maka semua kibat yang timul menjaditanggung jawab pembeli;

(2) Telegraphic Transfer/Cash before Delivery adalah kiriman sejumlah uang oleh bank pengirim (bank luar negeri) dengan memerintahkan bank pembayar untuk membayarkan jumlah tersebut kepada penerima; (3) Alat pembayaran lainnya yang dapat dipergunakan pada perdagangan

internasional, dengan memperhatikan segi kelaziman, keamanan, keterpercayaan (credibility) dan mendapatkan persetujuan dari pengurus tender komoditi masing-masing;

(4) Untuk penjualan ekspor menggunakan mata uang US$ (US Dollar) dan pembayaran berasal dari bank luar negeri secara langsung;

(5) Untuk penjualan lokal pembayarannya diatur dalam ketentuan komoditi masing-masing.

7. Agen pemasaran menentukan penyerahan dan pengapalan barang meliputi :

(1) Penyerahan

a. Waktu penyerahannya diatur pada penjualan komoditi masing-masing.

b. Syarat penyerahan ekspor, meliputi :

a) FCA (Free Carrier) adalah syarat-syarat penyerahan barang dalampenentuan harga yang menyatakan bahwa risiko dan


(21)

semua biaya pengankutan barang sampai Container Yard58

b) FOB (Free on Board) adalah syarat-syarat penyerahan barang dalam penentuan harga yang menyatakan bahwa risiko dan semua biaya pengangkutan barang sampai ke atas kapal di pelabuhan muat ditanggung oleh penjual.

ditanggung oleh penjual.

c) C & F (Cost and Freight) adalah syarat penyerahan barang sebagai dasar dalam menentukan harga suatu barang, meliputi semua biaya hingga barang itu tiba di pelabuhan pembeli ditanggung oleh penjual, kecuali biaya asuransi. d) CIF (Cost, Insurance & Freight) adalah syarat penyerahan

barang sebagai dasar dalam menentukan harga suatu barang, meliputi semua biaya hingga barang itu tiba di pelabuhan pembeli termasuk biaya asuransi ditanggung oleh penjual.

c. Syarat penyerahan lokal, meliputi : a) Loco59

b) Franco

Gudang penjual;

60

c) Franco Gudang Pelabuhan; Gudang Pembeli;

d) Franco Pabrik Pembeli;

58

CY (Container Yard) adalah fasilitas tempat di pelabuhan untuk menerima dan mengambil kontainer.

59

Loco adalah syarat-syarat penyerahan barang dalam penentuan harga yang menyatakan semua ongkos sejak pengambilan barang dari tempat penjual atau tempat lain yang disebut ditanggung pembeli.

60

Franco adalah syarat-syarat penyerahan barang dalam penentuan harga yang menyatakan semua ongkos sampai di tempat yang disebut ditanggung penjual.


(22)

e) Loco Gudang Kebun;

f) Loco Tangki Timbun Pelabuhan;

g) FOT (Free On Truck) adalah syara-syarat penyerahan barang dalam penentuan harga yang menyatakan bahwa risiko dan semua biaya pengangkutan barang sampai ke atas truk di pemberangkatan barang yang akan dikirim ditanggung oleh penjual;

h) FOB (Free On Board) atau FCA (Free Carrier).

(2) Pelaksanaan pengapalan diatur pada penjualan komoditi masing-masing.

8. Apabila terjadi perselisihan maka agen pemasaran menentukan penyelesaian perselisihan yang meliputi :

(1) Apabila terjadi perselisihan yang timbul atas kontrak penjualan yang penyelesaiannya belum secara jelas diatur dalam kesepakatan, maka perselisihan tersebut akan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat.

(2) Apabila tidak tercapai musyawarah dan mufakat tersebut, penjual dan pembeli akan menyelesaikannya melaui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan/atau kantor pengadilan setempat.


(23)

9. Force Majeure juga sudah ditetapkan oleh agen pemasaran meliputi :

(1) Force Majeure adalah suatu peristiwa atau keadaan yang terjadi diluar kekuasaan para pihak yang menyebabkan para pihak tidak dapat melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian yang telah dibuat dan disepakati yang meliputi antara lain; gempa bumi, banjir, tsunami, tanah longsor, penyakit epidemik, bencana alam lainnya, pemogokan umum, huru hara, perang, pemberontakan, perubahan kebijakan pemerintah dan peristiwa atau keadaan lainnya diluar kekuasaan para pihak yang berdampak langsung kepada pelaksana perjanjian ini; (2) Apabila terjadi perubahan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia

dalam bidang moneter, wabah hama/penyakit dan/atau terjadi bencana alam yang menyebabkan perjanjian kerjasama ini tidak dapat dilaksanakan dimana hal ini merupakan force majeure, maka kedua belah pihak tidak dapat saling menuntut kerugian;

(3) Apabila salah satu pihak, walaupun telah melakukan suatu upaya yang layak, berada dalam keadaan tidak dapat melakukan kewajibannya yang ditentukan berdasarkan kontrak penjualan, baik sebagian maupun seluruhnya, disebabkan oleh suatu keadaan memaksa (force majeure),

yang dibuktikandengan sah berdasarkan surat keterangan dari pihak-pihak yang berwenang, maka pihak-pihak yang terkena kedaan memaksa tersebut wajib dalam waktu selambat-lambatnya 3 x 24 jam segera memberitahukan secara tertulis kepada pihak lainnya tentang terjadinya keadaan memaksa tersebut ;


(24)

(4) Apabila para pihak tidak dapat menyelesaikan dan/atau menyepakati jalan keluar untuk mengatasi keadaan memaksa, maka pihak yang dipengaruhi oleh keadaan memaksa, maka pihak yang dipengaruhi oleh keadaan memaksa tersebut berhak mengakhiri perjanjian ini dengan pemberitahuan secara tertulis kepada pihak lainnya tanpa menghapuskan seluruh hak dan kewajiban yang sudah ada sebelum terjadinya keadaan memaksa.


(25)

BAB IV

AKIBAT HUKUM APABILA SALAH SATU PIHAK MELAKUKAN WANPRESTASI

A.Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda

“wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.61

Untuk menetapkan apakah seorang debitur itu telah melakukan wanprestasi dapat diketahui melalui 3 (tiga) keadaan berikut :

Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.

62

1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali,

Artinya debitur tidak memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian atau tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan undang-undang dalam perikatan yang timbul karena undang-undang.

2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru,

61

Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.

62


(26)

Artinya debitur melaksanakan atau memenuhi apa yang diperjanjikan atau apa yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut kualitas yang ditentukan dalam perjanjian atau menurut kualitas yang ditetapkan oleh undang-undang.

3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya,

Artinya debitur memenuhi prestasi tetapi terlambat, waktu yang ditetapkan dalam perjanjian tidak dipenuhi.

R. Subekti menambah lagi keadaan tersebut di atas dengan “melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya”.

Bentuk wanprestasi PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) terhadap PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) sebenarnya tidak ada diatur dalam surat perjanjian keagenan tetapi akan timbul wanprestasi apabila hak dan kewajiban para pihak tidak terlaksana. Dalam kenyataannya selama ini belum terjadinya wanprestasi antara para pihak. Karena para pihak melakukan kewajibannya masing-masing.

Bentuk wanprestasi PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) terhadap pihak ketiga yaitu adanya keterlambatan pengiriman barang, maka PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) sebagai produsen barang dikenakan overdue interest. Apabila kedatangan kapal pada pengapalan barang belum cukup tersedia sehingga kapal harus menunggu, sepanjang pemberitahuan kedatangan kapal sudah diterima oleh penjual 7 (tujuh) hari kalender sebelum kapal tiba, PT.


(27)

Perkebunan Nusantara II (PTPN II) selaku produsen dapat dikenakan demurrage

selama hari menunggu sesuai dengan tarif umum yang berlaku. Dalam kenyataannya belum terjadi wanprestasi antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dengan pihak ketiga.

Bentuk wanprestasi pihak ketiga selaku pembeli terhadap PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) selaku produsen yaitu, apabila pihak pembeli dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari belum melunasi maka akan dikenakan overdue interest. Selama overdue interest, pembeli yang bersangkutan tidak dapat mengikuti tender dan membeli produk lainnya dari penjual/produsen. Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari dari batas waktu pembayaran pembeli tidak melunasi pembayaran, maka PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) selaku penjual dapat membatalkan kontrak dan penjual berhak mencairkan jaminan pembayaran. Kenyataannya belum pernah terjadi wanprestasi antara para pihak.

B.Sebab Wanprestasi

Dalam pelaksanaan isi perjanjian sebagaimana yang telah ditentukan dalam suatu perjanjian yang sah, tidak jarang terjadi wanprestasi oleh pihak yang dibebani kewajiban (debitur) tersebut. Tidak dipenuhinya suatu prestasi atau kewajiban (wanprestasi) ini dapat dikarenakan oleh dua kemungkinan alasan. Dua kemungkinan alasan tersebut antara lain yakni :


(28)

1. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun kelalaiannya. Kesalahan di sini adalah kesalahan yang menimbulkan kerugian.63

Kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya (debitur) jika ada unsur kesengajaan atau kelalaian dalam peristiwa yang merugikan itu pada diri debitur yang dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Kita katakan debitur sengaja kalau kerugian itu memang diniati dan dikehendaki oleh debitur, sedangkan kelalaian adalah peristiwa dimana seorang debitur seharusnya tahu atau patut menduga, bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan timbul kerugian. Dikatakan orang mempunyai kesalahan dalam peristiwa tertentu kalau ia sebenarnya dapat menghindari terjadinya peristiwa yang merugikan itu baik dengan tidak berbuat atau berbuat lain dan timbulnya kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya. Dimana tentu kesemuanya dengan memperhitungan keadaan dan suasana pada saat peristiwa itu terjadi.

64

Disini debitur belum tahu pasti apakah kerugian akan muncul atau tidak, tetapi sebagai orang yang normal seharusnya tahu atau bisa menduga akan kemungkinan munculnya kerugian tersebut.65 Dengan demikian kesalahan disini berkaitan dengan masalah “dapat menghindari” (dapat berbuat atau bersikap lain) dan “dapat menduga” (akan timbulnya kerugian).66

63

J. Satrio, Hukum Perikatan, Bandung : Alumni, 1999, hal. 90.

64

Ibid., hal. 91.

65

Ibid.

66


(29)

2. Karena keadaan memaksa (overmacht / force majure) , diluar kemampuan debitur, debitur tidak bersalah.

Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.67 Vollmar menyatakan bahwa overmacht itu hanya dapat timbul dari kenyataan-kenyataan dan keadaan-keadaan tidak dapat diduga lebih dahulu.68 Dalam hukum anglo saxon (Inggris) keadaan memaksa ini dilukiskan dengan istilah “frustration” yang berarti halangan, yaitu suatu keadaan atau peristiwa yang terjadi diluar tanggung jawab pihak-pihak yang membuat perikatan (perjanjian) itu tidak dapat dilaksanakan sama sekali.69

Dalam keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dipersalahkan karena keadaan memaksa tersebut timbul diluar kemauan dan kemampuan debitur. Wanprestasi yang diakibatkan oleh keadaan memaksa bisa terjadi karena benda yang menjadi objek perikatan itu binasa atau lenyap, bisa juga terjadi karena perbuatan debitur untuk berprestasi itu terhalang seperti yang telah diuraikan diatas. Keadaan memaksa yang menimpa benda objek perikatan bisa menimbulkan kerugian sebagian dan dapat juga menimbulkan kerugian total.70

67

Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 27.

68

Ibid., hal. 31.

69

Ibid., hal. 27.

70


(30)

Sedangkan keadaan memaksa yang menghalangi perbuatan debitur memenuhi prestasi itu bisa bersifat sementara maupun bersifat tetap.71

Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa itu ialah :72

1. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap;

2. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara. 3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu

membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur. Jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak, khususnya debitur.

Ajaran tentang Keadaan Memaksa (overmacht)

Mengenai keadaan memaksa yang menjadi salah satu sebab timbulnya wanprestasi dalam pelaksaanaan perjanjian. Dikenal dua macam ajaran mengenai keadaan memaksa tersebut dalam ilmu hukum, yaitu ajaran memaksa yang bersifat objektif dan subjektif. Yang mana ajaran mengenai keadaan memaksa (overmachtsleer) ini sudah dikenal dalam Hukum Romawi, yang berkembang dari janji (beding) pada perikatan untuk memberikan suatu benda tertentu.73 Dalam hal benda tersebut karena adanya keadaan yang memaksa musnah maka tidak hanya kewajibannya untuk menyerahkan tetapi seluruh perikatan menjadi hapus, tetapi prestasinya harus benar-benar tidak mungkin lagi.74

71

Ibid.

72

Ibid.

73

J. Satrio, Op. cit., hal. 254

74

Ibid.


(31)

dikenal ajaran mengenai keadaan memaksa yang bersifat objektif. Lalu dalam perkembangannya, kemudian muncul ajaran mengenai keadaan memaksa yang bersifat subjektif.

1. Keadaan memaksa yang bersifat objektif

Objektif artinya benda yang menjadi objek perikatan tidak mungkin dapat dipenuhi oleh siapapun.75 Menurut ajaran ini debitur baru bisa mengemukakan adanya keadaan memaksa (overmacht) kalau setiap orang dalam kedudukan debitur tidak mungkin untuk berprestasi (sebagaimana mestinya).76 Jadi keadaan memaksa tersebut ada jika setiap orang sama sekali tidak mungkin memenuhi prestasi yang berupa benda objek perikatan itu. Oleh karena itu ukurannya “orang” (pada umumnya) tidak bisa berprestasi bukan “debitur” tidak bisa berprestasi, sehingga kepribadiannya, kecakapan, keadaannya, kemampuan finansialnya tidak dipakai sebagai ukuran, yang menjadi ukuran adalah orang pada umumnya dan karenanya dikatakan memakai ukuran objektif.77 Dasar ajaran ini adalah ketidakmungkinan.78 Vollmarr menyebutkan keadaan memaksa ini dengan istilah “absolute overmacht” apabila benda objek perikatan itu musnah diluar kesalahan debitur.79

Marsch and soulsby juga menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak mungkin dilaksanakan apabila setelah perjanjian dibuat terjadi perubahan dalam hukum yang mengakibatkan bahwa perjanjian yang telah dibuat itu menjadi

75

Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 28.

76

J. Satrio, Loc. cit.

77

Ibid., hal. 255.

78

Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.

79


(32)

melawan hukum jika dilaksanakan.80 Dalam keadaan yang seperti ini secara otomatis keadaan memaksa tersebut mengakhiri perikatan karena tidak mungkin dapat dipenuhi. Dengan kata lain perikatan menjadi batal, keadaan memaksa disini bersifat tetap.81

2. Keadaan Memaksa yang Bersifat Subjektif

Dikatakan subjektif dikarenakan menyangkut perbuatan debitur itu sendiri, menyangkut kemampuan debitur sendiri, jadi terbatas pada perbuatan atau kemampuan debitur.82 Salah seorang sarjana yang terkenal mengembangkan teori tentang keadaan memaksa adalah houwing. Menurut pendapatnya keadaan memaksa ada kalau debitur telah melakukan segala upaya yang menurut ukuran yang berlaku dalam masyarakat yeng bersangkutan patut untuk dilakukan,sesuai dengan perjanjian tersebut.83

Yang dimaksud dengan debitur oleh houwing adalah debitur yang bersangkutan. Disini tidak dipakai ukuran “debitur pada umumnya”(objektif), tetapi debitur tertentu, jadi subjektif. Oleh karena yang dipakai sebagai ukuran adalah subjek debitur tertentu, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari pertimbangan “debitur yang bersangkutan dengan semua ciri- cirinya” atau dengan perkataan lain kecakapan, tingkat sosial, kemampuan ekonomis debitur yang bersangkutan turut diperhitungkan.

84

80

Ibid., hal. 29.

81

Ibid.

82

Ibid.

83

J. Satrio, Hukum Perikatan, Bandung : Alumni, 1999, hal. 263, dikutip dari V.Brakel, Leerboek van het Nederlandse Verbintenissenrecht, Jilid Kesatu, Cetakan Keempat, Tjeenk Willink, Zwolle, 1948, hal. 122.

84


(33)

Dasar ajaran ini adalah kesulitan-kesulitan.85 Menurut ajaran ini debitur itu masih mungkin memenuhi prestasi walaupun mengalami kesulitan atau menghadapi bahaya. Vollmar menyebutnya dengan istilah “relatieve overmacht”. Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara.86

Timbulnya ajaran mengenai keadaan memaksa seperti yang telah diuraikan di atas dikarenakan keadaan memaksa tidak mendapatkan pengaturan secara umum dalam undang-undang.

Oleh karenanya perikatan tidak otomatis batal melainkan hanya terjadi penundaan pelaksanaan prestasi oleh debitur. Jika kesulitan yang menjadi hambatan pelaksanaan prestasi tersebut sudah tidak ada lagi maka pemenuhan prestasi diteruskan.

87

85

Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 30.

86

Ibid.

87

Ibid., hal. 31.

Karena itu hakim berwenang menilai fakta yang terjadi (wanprestasi) bahwa debitur sedang dalam keadaan memaksa

(overmacht) atau tidak, sehingga diketahui apakah debitur dapat dibebani kewajiban atas resiko atau tidak atas wanprestasi tersebut.

Dalam prakteknya antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) atau sebaliknya yaitu tidak terlaksananya hak dan kewajiban para pihak. Antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dengan pihak ketiga yaitu keterlambatan dalam pengiriman barang. Antara pihak ketiga dengan PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) yaitu terjadinya keterlambatan dalam pembayaran. Tetapi sampai sekarang belum terjadi wanprestasi antara para pihak.


(34)

C.Akibat Wanprestasi

a. Akibat Hukum dari Wanprestasi karena Kesalahan Debitur

Sejak kapan debitur dapat dikatakan dalam keadaan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi ? hal ini sangat perlu dipersoalkan, karena wanprestasi tersebut memiliki konsekuensi atau akibat hukum bagi debitur. Untuk mengetahui sejak kapan debitur itu dalam keadaan wanprestasi maka perlu diperhatikan apakah di dalam perikatan yang disepakati tersebut ditentukan atau tidak tenggang pelaksanaan pemenuhan prestasi.

Dalam perjanjian untuk memberikan sesuatu atau untuk melakukan sesuatu pihak-pihak menentukan dan dapat juga tidak menentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi oleh debitur.88 Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan maka dipandang perlu untuk memperingatkan debitur guna memenuhi prestasinya tersebut dan dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi ditentukan maka menurut ketentuan pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.89

88

Abdulkadir Muhammad, Op. cit. hal. 21.

89

Ibid., hal. 22

Pasal 1238 KUHPerdata berbunyi :

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.


(35)

Pasal ini menerangkan bahwa wanprestasi itu dapat diketahui dengan 2 cara, yaitu sebagai berikut :90

1. Pemberitahuan atau somasi, yaitu apabila perjanjian tidak menentukan waktu tertentu kapan seseorang dinyatakan wanprestasi atau perjanjian tidak menentukan batas waktu tertentu yang dijadikan patokan tentang wanprestasi debitur, harus ada pemberitahuan dulu kepada debitur tersebut tentang kelalaiannya atau wanprestasinya. Jadi pada intinya ada pemberitahuan, walaupun dalam pasal ini dikatakan surat perintah atau akta sejenis. Namun, yang paling penting ada peringatan atau pemberitahuan kepada debitur agar dirinya mengetahui bahwa dirinya dalam keadaan wanprestasi.

2. Sesuai dengan perjanjian, yaitu jika dalam perjanjian itu ditentukan jangka waktu pemenuhan perjanjian dan debitur tidak memenuhi pada waktu tersebut, dia telah wanprestasi.

Ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata ini hanya mengatur tentang perikatan untuk memberikan sesuatu, sedangkan perikatan untuk berbuat sesuatu tidak ada ketentuan spesifik semacam Pasal ini. Namun ketentuan Pasal ini dapat juga diikuti oleh perikatan untuk berbuat sesuatu.91

90

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2008, hal. 8.

91

Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.

Sebaiknya ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata ini dapat diperluas juga meliputi perikatan untuk berbuat sesuatu. Jadi dalam penyusunan hukum perikatan nasional nanti ketentuan semacam Pasal


(36)

ini dapat ditiru dan meliputi perikatan untuk memberikan sesuatu dan perikatan untuk berbuat sesuatu.92

Dalam perikatan untuk tidak berbuat sesuatu, prestasinya adalah tidak berbuat sesuatu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Dalam hal ini tidak perlu dipersoalkan apakah ditentukan jangka waktu atau tidak. Karena sejak perikatan itu berlaku dan selama perikatan tersebut berlaku, kemudian debitur melakukan perbuatan itu maka ia dinyatakan telah lalai (wanprestasi).93 Adapun akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi, adalah hukuman atau sanksi sebagai berikut :94

1. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata).

Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan. Apakah yang dimaksud dengan ganti rugi , kapan ganti kerugian itu timbul, dan apa yang menjadi ukuran ganti kerugian tersebut, dan bagaimana pengaturannya dalam undang-undang Pasal 1243 KUHPerdata yang berbunyi :

“Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan dan dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.

Berdasarkan pasal ini, ada dua cara penentuan titik awal penghitungan ganti kerugian, yaitu sebagai berikut :

92

Ibid.

93

Ibid., hal. 23.

94


(37)

1. Jika dalam perjanjian itu tidak ditentukan jangka waktu, pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak pihak tersebut telah dinyatakan lalai, tetapi tetap melalaikannya.

2. Jika dalam perjanjian tersebut telah ditentukan jangka waktu tertentu, pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak terlampauinya jangka waktu yang telah ditentukan tersebut.95

Yang dimaksud dengan ganti kerugian itu ialah ganti kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi karena lalai. Ganti kerugian itu haruslah dihitung berdasarkan nilai uang, jadi harus berupa uang bukan berupa barang. Berdasarkan Pasal 1246 KUHPerdata ganti kerugian terdiri dari 3 (tiga) unsur, yakni :

1. Ongkos – ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya ongkos cetak, biaya materai, biaya iklan.

2. Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian disini adalah sungguh-sungguh diderita, misalnya busuknya buah-buahan karena kelambatan penyerahan, ambruknya sebuah rumah karena salah konstruksi sehingga merusak perabot rumah tangga, lenyapnya barang karena terbakar.

3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur kehilangan keuntungan yang diharapkannya.

95


(38)

Dalam ganti kerugian itu tidak senantiasa ketiga unsur itu harus ada. Minimal ganti kerugian itu adalah kerugian yang sesungguhnya diderita oleh kreditur (unsur b).96

Pasal ini sebagai penegasan tentang pembatasan ganti kerugian yang dapat dituntut dari debitur, yaitu kerugian yang nyata-nyata telah dapat diperhitungkan pada saat perjanjian tersebut dibuat oleh para pihak.

Meskipun debitur telah melakukan wanprestasi dan diharuskan membayar sejumlah ganti kerugian, undang-undang masih memberikan pembatasan-pembatasan yaitu : dalam hal ganti kerugian yang sebagaimana seharusnya dibayar oleh debitur atas tuntutan kreditur. Pembatasan-pembatasan itu diberikan undang-undang sebagai bentuk perlindungan terhadap debitur dari perbuatan kesewenang-wenangan kreditur. Pembatasan-pembatasan tersebut dapat kita liat pada Pasal 1247 dan 1248 KUHPerdata. Pasal 1247 KUHPerdata yang berbunyi :

“Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi, dan bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”.

97

96

Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 40.

97

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op. cit., hal. 16. Pasal 1248 KUHPerdata yang berbunyi :

“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi, dan bunga sekedar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perikatan”.


(39)

Pasal ini sebenarnya memberikan juga perlindungan kepada debitur yang walaupun melakukan tipu daya terhadap kreditur, ganti kerugian yang harus dibayarnya hanya meliputi kerugian langsung sebagai akibat wanprestasinya debitur.98

1. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan.

Dari ketentuan dua pasal ini dapat diketahui bahwa ada dua pembatasan kerugian :

2. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi (lalai).99

Selain pembatasan seperti yang telah diuraikan di atas, masih ada lagi pembatasan pembayaran ganti rugi itu, yaitu dalam perjanjian yang prestasinya berupa pembayaran sejumlah uang. Hal ini dapat kita lihat pada ketentuan pasal 1250 KUHPerdata. Pasal 1250 ayat KUHPerdata yang berbunyi :

“Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar disebabkan terlambatnya pelaksanaan, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang, dan tidak mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus.

Penggantian biaya, rugi, dan bunga tersebut wajib dibayar, dengan tidak usah dibuktikannya sesuatu kerugian oleh si berpiutang.

Penggantian biaya, rugi dan bunga itu hanya harus dibayar terhitung mulai dari ia diminta di muka Pengadilan, kecuali dalam hal-hal dimana undang-undang menetapkan bahwa ia berlaku demi hukum”.

Maksud Pasal ini adalah bahwa setiap tagihan yang berupa uang, yang pembayarannya terlambat dilakukan oleh pihak debitur, maka tuntutan ganti

98

Ibid.

99


(40)

kerugian tidak boleh melebihi ketentuan bunga moratorium (bunga menurut undang-undang).100

Bunga yang harus dibayar karena lalai ini disebut “moratoir interest”, sebagai hukuman bagi debitur.101Moratoir berasal dari kata “mora” bahasa Latin yang berarti lalai. Pembayaran ganti kerugian sebesar bunga moratorium tersebut semata-mata digantungkan pada keterlambatan pembayaran tersebut sehingga kreditur tidak perlu dibebani untuk membuktikan dasar penuntutan ganti kerugian tersebut.102

Penghitungan besarnya ganti kerugian tersebut terhitung bukan pada saat utang tersebut tidak dibayar atau lalainya debitur, melainkan mulai dihitung sejak tuntutan tersebut diajukan ke pengadilan, kecuali jika dalam keadaan tertentu undang-undang memberikan kemungkinan bahwa penghitungan bunga tersebut berlaku demi hukum (mulai saat terjadinya wanprestasi).103

2. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUHPerdata).

Pasal 1266 KUHPerdata yang berbunyi :

“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan – persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.

Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian.

100

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op. cit., hal.18.

101

Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 43.

102

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Loc. cit.

103


(41)

Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, Hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan”.

Pasal ini menerangkan bahwa secara hukum wanprestasi selalu dianggap sebagai syarat batal dalam suatu perjanjian sehingga pihak yang merasa dirugikan karena pihak lain wanprestasi, dapat menuntut pembatalan perjanjian melalui pengadilan, baik karena wanprestasi itu dicantumkan sebagai syarat batal dalam perjanjian maupun tidak dicantumkan dalam perjanjian, jika syarat batal itu tidak dicantumkan dalam perjanjian, hakim dapat memberi kesempatan kepada pihak yang wanprestasi untuk tetap memenuhi perjanjian dengan memberikan tenggang waktu yang tidak lebih dari satu bulan.104

3. Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat 2 KUHPerdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.

Pasal 1237 KUHPerdata berbunyi :

“Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.

Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaiannya, kebendaan adalah atas tanggungannya”.

Berdasarkan pasal ini dapat kita lihat bahwa kelalaian debitur dalam menyerahkan kebendaan mengalihkan resiko menjadi atas tanggungannya.

104


(42)

4. Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 ayat 1 HIR). Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan.

5. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata). Ini berlaku untuk semua perikatan.

Pasal 1267 KUHPerdata yang berbunyi :

“Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga”.

Pasal ini memberikan pilihan kepada pihak yang tidak menerima prestasi dari pihak lain untuk memilih dua kemungkinan agar tidak dirugikan, yaitu :105

1. Menuntut agar perjanjian tersebut dilaksanakan (agar prestasi tersebut dipenuhi), jika hal itu masih memungkinkan; atau

2. Menuntut pembatalan perjanjian.

Pilihan tersebut dapat disertai ganti kerugian (biaya, rugi dan bunga) kalau ada alasan untuk itu, artinya pihak yang menuntut ini tidak harus menuntut ganti kerugian, walaupun hal itu dimungkinkan berdasarkan Pasal 1267 ini. Berdasarkan Pasal inilah sehingga banyak sarjana menguraikan pilihan tuntutan kreditur tersebut menjadi lima kemungkinan tuntutan, yaitu :106

1. Pemenuhan perjanjian;

2. Pemenuhan perjanjian disertai ganti kerugian;

105

Ibid., hal. 30.

106


(43)

3. Ganti kerugian saja; 4. Pembatalan perjanjian;

5. Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian.

Kemungkinan tersebut di atas, sebenarnya terdapat kekeliruan karena seharusnya tidak ada tuntutan ganti kerugian yang dapat berdiri sendiri, karena ganti kerugian itu hanya dapat menyertai dua pilihan utama yaitu melaksanakan perjanjian atau membatalkan perjanjian sehingga hanya ada empat kemungkinan, yaitu :107

1. Pemenuhan perjanjian;

2. Pemenuhan perjanjian disertai ganti kerugian; 3. Pembatalan perjanjian;

4. Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian.

b. Akibat Hukum dari Wanprestasi karena keadaan memaksa

Keadaan memaksa yang bersifat objektif dan bersifat tetap secara otomatis mengakhiri perikatan, dalam arti kata perikatan itu batal.

D.Akibat Hukum Para Pihak Dalam Wanprestasi

1. PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II)

107


(44)

Dalam hal wanprestasi maka PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) menetukan cara penyelesaian perseisihan yang meliputi :

(1) Perselisihan yang timbul akibat perjanjian atau terkait dengan perjanjian atau pelaksaan perjanjian yang diabuat atau disepakati antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN), dari segi pengertian maupun interprestasinya dilakukan dengan cara musyawarah melalui pembicaraan perundingan antara pihak;

(2) Dalam hal musyawarah tidak memperoleh kesepakatan maka para pihak sepakat menyerahkan kepada pengadilan;

(3) Para pihak sepakat memilih kedudukan (domisili) hukum ang tetap dan tidak berubah pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Tugas PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) apabila melakukan wanprestasi meliputi :

(1) Apabila PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) terlambat menyerahkan/mengapalkan barang selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari dari tanggal penerbitan Intruksi Penerbitan, maka untuk setiap hari keterlambatan PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dikenakan overdue interest sebesar suku bunga kredit komersial Bank Mandoro dari jumlah sisa barang yang sebelum diserahkan;


(45)

(2) Apabila penyerahan barang mengalami keterlambatan yang disebabkan oleh keterbatasan daya tamping gudang pembeli, maka PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) tidak dapat dikenakan penalti atau klaim mutu; (3) Apabila pada saat kedatangan kapal pada bulan pengapalan barang belum

cukup tersedia sehingga kapal harus menunggu, sepanjang pemberitahuan kedatangan kapal sudah diterima oleh penjual 7 (tujuh) hari sebelum kapal tiba, PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dikenakan demurrage selama hari menunggu sesuai dengan tariff umum yang berlaku;

(4) Terhadap kontrak penjualan yang telah dibayar atau L/C-nya telah dibuka, namun sampai dengan maksimal 2 (dua) bulan dari jangka waktu penyerahan/pengapalan barang belum dikapalkan, maka segala resiko yang timbul diluar tanggung jawab penjual.

2. PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN)

Dalam hal wanprestasi dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) maka menetukan cara penyelesaian perseisihan yang meliputi :

(1) Apabila terjadi perselisihan yang timbul atas kontrak penjualan yang penyelesaiannya belum secara jelas diatur dalam kesepakatan, maka perselisihan tersebut akan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat;


(46)

(2) Apabila tidak tercapai musyawarah dan mufakat tersebut, penjual dan pembeli akan menyelesaikannya melaui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan/atau kantor pengadilan setempat.

Tugas PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) apabila melakukan wanprestasi adalah melakukan segala tuntutan atau ganti kerugian kepada PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) sesuai dengan kesepakatan para pihak yang terkait.

Apabila terjadi wanprestasi atau perselisihan, maka wanprestasi atau perselisihan tersebut akan diselesaikan secara musyawarah melalui pembicaraan perundingan para pihak. Apabila tidak tercapai musyawarah melalui pembicaraan dan perundingan tersebut, maka para pihak akan menyelesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan/atau meyerahkan kepada pengadilan. Pada prakteknya belum pernah terjadi wanprestasi atau perselisihan antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) atau sebaliknya. Antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dengan pihak ketiga atau pembeli dan sebaliknya.

Dalam prakteknya apabila terjadi wanprestasi diantara para pihak, maka akan timbul ganti rugi. Antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) tidak adanya ganti rugi dikarenakan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) adalah anak perusahaan dari semua PT. Perkebunan Nusantara termsuklah di dalamnya PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II). Antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dengan pihak ketiga atau pembeli yaitu, PT. Perkebunan Nusantara II


(47)

(PTPN II) dikenakan overdue interest dan demurrage. Antara pihak ketiga atau pembeli dengan PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) yaitu, pihak ketiga atau pembeli dikenakan overdue interest, hangusnya jaminan pembayaran, dan pembatalan kontrak penjualan.


(48)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Dari uraian pada bab-bab terdahulu sebagai intisari dari skripsi ini dapat diambil beberapa kesimpulan pokok, antara lain :

1. Prosedur perjanjian keagenan atas penjualan Crude Palm Oil (CPO) antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) di kota Medan dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) adalah terdapatnya ketentuan yang berisi waktu dan tempat, syarat-syarat pembeli, tata cara penjualan, kontrak penjualan, cara pembayaran, penyerahan/pengapalan, klaim dan sanksi. Semua ketentuan tersebut dibuat dan disepakati oleh para pihak.

2. Tanggung jawab agen pemasaran atas perjanjian Crude Palm Oil (CPO)

antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) di kota Medan dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN). Dimana sudah ditentukan tanggung jawabnya kepada pihak pertama maupun pihak ketiga yang mana ketentuan tersebut sudah di sepakati para pihak. Tanggung jawab tersebut berisi tentang hak dan kewajiban para pihak ang harus di penuhi. Oleh karena itu, adanya ketentuan yang mengatur tanggung jawab dari para pihak.

3. Akibat hukum apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi yakni sudah tertera dalam surat perjanjian antara PT. Perkebunan Nusantara II


(49)

(PTPN II) antara PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) yang telah di sepakati kedua belah pihak. Dimana apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi maka akan munculnya sengketa antara pihak dan timbul kerugian pada salah satu pihak. Maka, apabila terjadi wanprestasi salah satu pihak wajib membayar ganti rugi akibat suatu perbuatannya. Apabila wanprestasi tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah antara para pihak yang terkait, maka akan dilakukannya proses yang lebih lanjut yaitu melalui pengadilan atau BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Tetapi selama ini belum pernah terjadi wanprestasi antara para pihak.

B.Saran

1. Dalam hal ini sudah sesuai dengan kesepakatan para pihak yang dimana telah ditentukannya kewajiban dan hak para pihak. Hanya diperlukan beberapa tambahan pada ketentuan pada prosedur dalam hal ini yaitu perlunya pengawasan agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan para pihak. Pengawasan yang ketat merupakan kunci yang perlu dalam hal tanggung jawab agen pemasaran dikarenakan tanggung jawab merupakan suatu hal yang penting. Apabila suatu tanggung jawab tidak terlaksana maka tidak adanya hak yang dapat dituntut dan mengakibatkan terjadinya suatu kerugian pada salah satu pihak yang sudah mengikat kontrak.


(50)

2. Dalam perjanjian sudah seharusnya terdapat ganti rugi apabila terjadi wanprestasi yang dialami oleh salah satu pihak. Dikarenakan setiap pihak yang melakukan suatu perjanjian tidak ingin mengalami kerugian, maka harus adanya ketentuan yang jelas tentang hal ini.


(51)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Indonesia mempunyai sumber daya alam yang besar di luar Jawa, termasuk minyak mentah, gas alam, timah, tembaga dan emas. Indonesia adalah pengekspor gas alam terbesar kedua di dunia, meski akhir-akhir ini ia telah mulai menjadi pengimpor bersih minyak mentah. Hasil pertanian yang utama termasuk beras, sawit, teh, kopi, rempah-rempah dan karet.1

Indonesia memiliki berbagai kekayaan alam yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi berbagai bahan pangan fungsional. Kelapa sawit merupakan tanaman yang dapat tumbuh baik di daerah beriklim tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dan kisaran suhu 22-32 oC. Saat ini 5,5 juta Ha lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah memproduksi minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dengan kapasitas minimal 16 juta ton per tahun dan merupakan produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia.2

Semua dikelola oleh pemerintah maupun swasta, salah satu pengelola produk perkebunan sawit adalah PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) Sumatera Utara yang terdiri dari penanaman sampai penjualan hasil yang disebut dengan Crude Palm Oil (CPO). Dalam pengelolaan produk hasil Crude Palm Oil (CPO) dapat menjadi pati alkohol yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Pati

1

Januari 2011 jam 10.00 wib.

2

januari 2011 jam 10.15 wib.


(52)

alkohol diperoleh dari hasil minyak inti sawit yang akan menghasilkan asam lemak (fatty acid) dan gliserin.3

Dalam kegenan dapat lahir dari perjanjian maupun lahir demi hukum, biasanya berdasarkan undang-undang. Demikian pula R. Subekti dalam bukunya

Perbandingan Hukum Pedata menyebutkan bahwa perwakilan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang mencakup perwakilan bedasarkan undang-undang sebagaimna ditentukan dalam Pasal 1354 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu perwakilan sukarela dan perwakilan berdasarkan perjanjian seperti pemberian kuasa.

4

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang mengenal perbedaan antara perwakilan langsung dan tidak langsung, yaitu makelar yang bertindak atas nama orang lain dalam komisioner yang bertindak atas nama sendiri. Dengan demikian keagenan mempunyai persamaan dengan pemberian kuasa, di mana penerina kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; mewakili pemberi kuasa.5

3

Koran Waspada, Selasa/02 november 2010

4

Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 41.

5

Ibid,. hal. 42.

Maka PT. Perkebunan Nusantara (PTPN II) memproduksi Crude Palm Oil (CPO) dari hasil penanaman dan dijual sebagai hasil usaha oleh PT. Perkebunan Nusantara (PTPN II). Dalam penjualan ini PT. Perkebunan Nusantara (PTPN II) melakukan perjanjia keagenan dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) yang mana PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) sebagai agen pemasaran yang telah diberikan kuasa oleh PT. Perkebunan Nusantara (PTPN II).


(53)

Proses penjualan Crude Palm Oil (CPO) antara PTPN II melalui kuasa PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) kepada agen melalui proses yang sudah disesuaikan dengan ketentuan yang ada dalam perjanjian keagenan oleh para pihak dan apabila ketentuan-ketentuan atas isi perjanjian yang sudah ada, para pihak dapat memenuhi segala ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh kedua belah pihak secara tertulis dan baku. Para pihak harus memenuhi segala ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam akta perjanjian keagenan. Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku maka masing-masing pihak akan bertanggung jawab.

Agen merupakan orang atau badan hukum yang bertindak untuk dan atas pihak lain yang disebut prinsipal yang memberikan kuasa sebagai agen kepadanya.6 Sedangkan keagenan merupakan hubungan hukum antara prinsipal dan agen dalam hal mana agen hanya akan melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga untuk dan atas nama prinsipalnya, perbuatan hukum tersebut mengikat prinsipal.7 Menurut KRMT. Titodiningrat, agen adalah orang yang mempunyai perusahaan untuk memberikan perantara membuat perjanjian tertentu (misalnya jual-beli) di antara seorang yang mempunyai hubungan tetap dengan agen tersebut atau lebih dikenal dengan prinsipal dengan pihak ketiga, atau juga membuat perjanjian atas nama dan perhitungan prinsipal itu.8

6

Kamus Hukum Ekonomi ELIPS, (Jakarta : Proyek ELIPS, 2000), hal. 5.

7

Ibid., hal. 4.

8

KRMT. Titodiningrat, Ichtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, (Jakarta : Pembangunan, 1963), hal. 114.

Pada hakikatnya usaha dalam bidang keagenan adalah jasa perantara untuk melakukan bisnis


(54)

tertentuyang menghubunhkan pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha yang lain, atau menghubungkan pelaku usaha dengan konsumen di pihak yang lain.9

Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda

“wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.10

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu di bahas adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana prosedur perjanjian keagenan atas penjualan Crude Palm Oil (CPO) antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) di kota Medan dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN)?

2. Bagaimana tanggung jawab agen pemasaran atas perjanjian Crude Palm Oil (CPO) antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) di kota Medan dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN)?

3. Bagaimana akibat hukum apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi?

9

Levi Lana, “Keagenan di Indonesia Analisis Yuridis dan Praktis” dalam Jurnal Hukum Bisnis. Volume 25, Nomor 1, Tahun 2006, hal. 36.

10

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 20.


(55)

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

Mengacu kepada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui prosedur perjanjian keagenan atas penjualan Crude Palm Oil (CPO) antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) di kota Medan dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN). 2. Untuk mengetahui tanggung jawab agen pemasaran atas perjanjian Crude

Palm Oil (CPO) antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) di kota Medan dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN). 3. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap para pihak yang melakukan

wanprestasi dalam perjanjian keagenan atas perjanjian Crude Palm Oil (CPO) antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) di kota Medan dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN).

Manfaat penelitian yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis.

Hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khusus bidang hukum perjanjian keagenan penjualan Crude Palm Oil (CPO) serta menambah khasanah perpustakaan.


(56)

2. Manfaat Praktis.

Bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum mengenai perjanjian keagenan penjualan Crude Palm Oil (CPO) bagi para akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum.

D.Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian yang mengangkat masalah pertanggung jawaban agen pemasaran atas penjualan

Crude Palm Oil (CPO) PTPN II di kota Medan (Studi pada PT. Kharisma Pemasan Bersama Nusantara). Dengan demikian penelitian ini betul asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

E.Tinjauan Kepustakaan

Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi,

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.11

Ada pula yang menyatakan bahwa, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari uraian tersebut maka dapat diterangkan lebih lanjut bahwa, perjanjian adalah sebuah kesepakatan

11

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 2001), hal. 338.


(57)

antara 2 (dua) orang atau lebih dalam lapangan hukum kebendaan untuk saling memberi dan menerima sesuatu.

Perjanjian adalah suatu ikatan atau hubungan hukum mengenai benda-benda (barang) atau kebenda-bendaan (jasa) antara dua pihak atau lebih, dimana para pihak tersebut saling berjanji atau dianggap saling berjanji untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Menurut pendapat Sri Soedewi Masjehoen Sofwan menyebutkan bahwa perjanjin itu adalah “suatu peruatan hukum dimana seorarng ata lebih mengingatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih”.12

Menurut R. wirjono Prodjodikoro menyebutkan sebagai berikut “suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak , dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedankan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.13

Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melakukan prestasi.14

12

A. Qirom Syamsuddin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta : Liberty, 1985), hal. 7.

13

Wirjono Prodjodikoro, Azaz-azaz Hukum Perjanjian, (Bandung : PT Bale, 1986), hal. 9.

14

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), hal. 6.


(58)

Menurut pendapat A. Qirom Samsudin Meliala bahwa perjanjian adalah “suatu peristiwa simana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana seorang lain itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.15

Menurut R. Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana orang lain saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.16

Agen adalah adalah orang yang diberi kuasa oleh orang lain yang disebut prinsipal, untuk mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga atas nama prinsipal.

MenurutAbdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.

Menurut J. Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dan lain-lain. Dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

17

Agen merupakan orang atau badan hukum yang bertindak untuk dan atas pihak lain yang disebut prinsipal yang memberikan kuasa sebagai agen kepadanya.18

15

A. Qirom Syamsuddin Meliala., Loc. cit.

16

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1985), hal. 1.

17

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 2006), hal. 277.

18

Kamus Hukum Ekonomi ELIPS, Loc. cit.


(59)

untuk memberikan perantara membuat perjanjian tertentu (misalnya jual-beli) diantara seorang yang mempunyai hubungan tetap dengan agen tersebut atau lebih dikenal dengan prinsipal dengan pihak ketiga, atau juga membuat perjanjian atas nama dan perhitungan prinsipal itu.19 Pada hakikatnya usaha dalam bidang keagenan adalah jasa perantara untuk melakukan bisnis tertentuyang menghubunhkan pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha yang lain, atau menghubungkan pelaku usaha dengan konsumen di pihak yang lain.20

Keagenan merupakan hubungan hukum antara prinsipal dan agen dalam hal mana agen hanya akan melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga untuk dan atas nama prinsipalnya, perbuatan hukum tersebut mengikat prinsipal.21

Melihat celah ini maka banyak sekali timbul perantara-perantara dagang dan biro jasa atau yang biasa disebut agen yang menawarkan diri sebagai penerima kuasa dalam melakukan perbuatan hukum dari si pemberi kuasa, bahkan

Perjanjian keagenan adalah salah satu alternatif dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan bisnis bagi masyarakat luas maupun bagi perusahaan-perusahaan, khususnya mereka yang hanya memiliki sedikit waktu untuk. mengerjakan sebuah pekerjaan. Perjanjian keagenan dirancang khusus sebagai perjanjian pemberian wewenang/kuasa dari satu pihak ke pihak lainnya untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum. Di masa yang sarat dengan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini, tidak semua orang ataupun badan hukum yang memiliki cukup waktu dan keahlian untuk melakukan kegiatan bisnisnya.

19

KRMT. Titodiningrat, Loc. cit.

20

Levi Lana, Loc. cit.

21


(1)

memperoleh pendidikan tinggi ini, kepada orang tua penulis yang paling penulis sayangi dan cintai Ayahanda H. E. Zulfan Effendi, SE., MM. dan Ibunda Hj. Ismawaty Siregar, dengan doa mereka jugalah Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.”

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak M. Husni, SH., M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Ibu Windha, SH., M.Hum selaku Ketua Jurusan Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Ramli Siregar SH., M.Hum selaku Sekretaris Jurusan Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada Penulis dalam penulisan Skripsi ini;

8. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada Penulis dalam penulisan Skripsi ini;


(2)

9. Ibu Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum selaku Dosen Wali selama Penulis menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum USU;

10.Seluruh Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan membimbing Penulis dalam proses pembelajaran selama masa perkuliahan;

11.Seluruh pegawai tata usaha dan pendidikan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara telah banyak memberikan bantuan kepada seluruh mahasiswa/i, mulai dari kami kuliah hingga meyelesaikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tercinta;

12.Ibu Iriani Siregar, SH., M.Hum yang telah memberikan bimbingan kepada Penulis tentang penulisan skripsi ini;

13.Ibu Rara yang telah memotivasi Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 14. Adik-adikku tersayang Elvina Suci Kartika dan Suhendra Adani serta adik

sepupuku Wita Wulandari Siregar yang memberikan motivasi dan menghibur agar Penulis menyelesaikan skripsi ini;

15.Rekan-rekan di Fakultas Hukum yang merupaka teman kuliah, teman berbagi dan seperjuangan Penulis, yakni M. Ferdian, Diannovi Nugraha Sahid Matondang, Sri Chairani Putri, Syahnida Maharani Damanik, Kartini Elisabet Purba, Steffi Seline M. Ginting, Ferdiansyah dan teman-teman lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu;

16.Kepada sahabat-sahabatku yakni Tri Surya Pratama, Jaka Pranata, Robith Ismi Lubis beserta Keluarga dan teman-teman lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu;


(3)

Penulis tidak dapat membalas segala kebaikan pihak-pihak yang telah membantu Penulis selama Penulis mengecap pendidikan di Fakultas Hukum USU ini. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa yang dapat membalas budi baik mereka. Penulis juga menyadari akan ketidaksempurnaan hasil skripsi ini karena Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, oleh sebab itu besar harapan Penulis kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran guna menghasilkan sebuah karya yang lebih baik di masa mendatang. Semoga ilmu yang telah Penulis peroleh selama ini dapat bermanfaat, bermakna, serta dapat Penulis terapkan dalam kehidupan bemasyarakat.

Dengan bantuan dan dukungan yang telah Penulis dapatkan akhirnya dengan meyerahkan diri dan senantiasa memohon petunjuk serta perlindungan dari Allah SWT semoga amalan dan perbuatan baik tersebut mendapat imbalan dengan yang lebih baik. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Medan, Februari 2011 Penulis


(4)

PERTANGGUNG JAWABAN AGEN PEMASARAN ATAS PENJUALAN CRUDE PALM OIL (CPO) PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II DI KOTA

MEDAN (STUDI PADA PT. KHARISMA PEMASARAN BERSAMA NUSANTARA)

*) Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H. **) Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum ***) Indi Fandaya

ABSTRAK

Pada dasarnya Indonesia merupakan Negara yang mempunyai sumber daya alam yang besar di luar Jawa, termasuk minyak mentah, gas alam, timah, tembaga dan emas. Indonesia merupakan pengekspor gas alam terbesar kedua di dunia, meski akhir-akhir ini ia telah mulai menjadi pengimpor bersih minyak mentah. Indonesia memiliki berbagai kekayaan alam yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi berbagai bahan pangan fungsional. Kelapa sawit merupakan tanaman yang dapat tumbuh baik di daerah beriklim tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dan kisaran suhu 22-32 oC. Saat ini 5,5 juta Ha lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah memproduksi minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dengan kapasitas minimal 16 juta ton per tahun dan merupakan produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia.

Tujuan dan manfaat yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana prosedur perjanjian keagenan atas penjualan Crude Palm Oil (CPO) anatara PT. Perkebunan Nusantara II dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama, tanggung jawab agen pemasaran atas perjanjian Crude Palm Oil (CPO) anatara PT. Perkebunan Nusantara II dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama, dan akibat hukum apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi.

Metode yang digunakan dalam penulisan skirpsi ini adalah penelitian penelitian hukum empiris atau yang dengan istilah lain biasa digunakan adalah penelitian hukum sosiologis karena penelitian ini menggunakan data yang diperoleh langsung dari perusahaan sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui pengamatan (observasi), wawancara ataupun penyebaran kuesioner.

Berdasarkan hasil penelitian hukum empiris atau hukum sosiologis tersebut diketahui bahwa prosedur keagenan telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku dan telah disepakati oleh para pihak oleh sebab itu diharapkan suatu perjanjian akan berlangsung sesuai dengan kesepakatan dan tidak terjadinya wanprestasi antara para pihak. Maka, dengan demikian suatu perjanjian keagenan yang dibuat para pihak dapat meberikan keuntungan kepada para pihak.

Kata Kunci : Agen, Perjanjian Keagenan, dan Crude Palm Oil (CPO) *) Dosen Pembimbing I

**) Dosen Pembimbing II


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGATAR i

ABSTRAK v

DAFTAR ISI vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1

B. Perumusan Masalah 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 5

D. Keaslian Penulisan 6

E. Tinjauan Kepustakaan 7

F. Metode Penelitian 11

G. Sistematika Penulisan 14

BAB II PROSEDUR PERJANJIAN KEAGENAN ATAS PENJUALAN CRUDE PALM OIL (CPO) ANTARA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II DI KOTA MEDAN DENGAN PT. KHARISMA PEMASARAN BERSAMA NUSANTARA A. Pengertian Agen 16

B. Perjanjian Keagenan 19

C. Dasar Hukum Perjanjian Keagenan 21

D. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Keagenan 26


(6)

BAB III TANGGUNG JAWAB AGEN PEMASARAN ATAS PERJANJIAN

CRUDE PALM OIL (CPO) ANTARA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II

DI KOTA MEDAN DENGAN PT. KHARISMA PEMASARAN BERSAMA NUSANTARA

A. Akibat Hukum Dari Perjanjian Keagenan Pemasaran 36

B. Tanggung Jawab Para Pihak 45

C. Tanggung Jawab Agen Pemasaran Atas Perjanjian Crude Palm Oil

(CPO) 51

BAB IV AKIBAT HUKUM APABILA SALAH SATU PIHAK MELAKUKAN WANPRESTASI

A. Pengertian Wanprestasi 59

B. Sebab Wanprestasi 61

C. Akibat Wanprestasi 68

D. Akibat Hukum Para Pihak Dalam Wanprestasi :

1. PT. Perkebunan Nusantara II 78 2. PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 82

B. Saran 83


Dokumen yang terkait

Studi Kualitas dan Konsistensi Mutu Crude Palm Oil (CPO) di Pabrik Kelapa Sawit Pt. Perkebunan Nusantara III (Persero) Sei Mangkei Perdagangan

9 90 41

Analisis Konsistensi Mutu dan Rendemen CPO (Crude Palm Oil) di Pabrik Kelapa Sawit Adolina PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero)

7 58 77

Analisis Kehilangan Crude Palm Oil pada Pabrik Kelapa Sawit Bah Jambi PT. Perkebunan Nusantara IV

34 131 131

Analisis Konsistensi Mutu Dan Rendemen Crude Palm Oil (CPO) Di Pabrik Kelapa Sawit Rambutan PT. Perkebunan Nusantara III (PERSERO)

12 54 85

Analisa Kadar Asam Lemak Bebas Dari Crude Palm Oil ( CPO ) Pada Tangki Timbun Di PT. Sarana Agro Nusantara

3 67 36

Analisis Pemasaran CPO(Crude Palm Oil)PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN-IV) (Studi Kasus : Kantor Pusat PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN-IV) dan Kantor Pemasaran Bersama (KPB) PT Perkebunan Nusantara I-V Cabang Medan)

12 61 159

Analisis strategi pemasaran minyak kelapa swawit 9Crude palm oil) pada PT. Kharisma pemasaran bersama Nusantara Jakarta

21 96 136

Analisis peramalan penjualan minyak sawit kasar atau crude palm oli (CPO) pada PT. Kharisma pemasaran bersama (KPB0 Nusantara di Jakarta

6 86 151

Pertanggung Jawaban Agen Pemasaran Atas Penjualan Crude Palm Oil (CPO) PT Perkebunan Nusantara Ii Di Kota Medan (Studi Pada PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara)

1 1 9

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggung Jawaban Agen Pemasaran Atas Penjualan Crude Palm Oil (CPO) PT Perkebunan Nusantara Ii Di Kota Medan (Studi Pada PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara)

0 0 33