atas: a. Kesengajaan dolus, dan b. Kealpaan culpa. Kedua hal tersebut dibedakan, “kesengajaan” adalah dikehendaki, sedang “kealpaan” tidak dikehendaki,
umumnya kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan. Itulah sebabnya, sanksi atau ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana
yang dilakukan dengan “kealpaan” lebih ringan.
b. Tentang Unsur Melawan Hukum
Secara Formal atau secara perumusan perundang-undangan, suatu perbuatantindakan adalah bersifat melawan hukum apabila seseorang melanggar
suatu ketentuan undang-undang, atau karena bertentangan dengan undang-undang. Sifat melawan hukum hanya akan hilang atau ditiadakan, jika ada dasar-dasar
peniadaannya yang ditentukan dalam undang-undang. Sifat melawan hukum dalam hubungannya dengan perumusan suatu delik,
Simons selaku penganut ajaran bersifat melawan hukum formil berpendapat: apabila sifat melawan hukum tidak dirumuskan dalam suatu delik, maka tidak perlu lagi
diselidiki tentang bersifat melawan hukum itu, karena dengan sendirinya seluruh tindakan itu sudah bersifat melawan hukum. Sedangkan jika bersifat melawan hukum
inidicantumkan dengan rumusan delik, maka sifat melawan hukum itu harus diselidiki. Dan dalam rangka penuntutanmengadili harus terbukti bersifat melawan
hukum tersebut. Justru dicantumkannya bersifat melawan tersebut dalam norma delik, menghendaki penelitian apakah tindakan itu bersifat melawan hukum atau tidak.
102
102
S.R Sianturi, Op.cit., hal.145.
Sedangkan para penganut ajaran melawan hukum materiil, diantaranya Van Hammel dan Jonkers menyatakan bahwa sifat melawan hukum, selalu dianggap ada
dalam setiap delik, walaupun tidak dengan tegas dirumuskan. Pengertian dari hukum yang merupakan salah satu kata yang terdapat dalam sifat melawan hukum, tidak
hanya didasarkan kepada undang-undang saja, tetapi kepada yang lebih luas lagi, yaitu asas-asas umum yang berlaku sebagai hukum. Dengan perkataan lain bersifat
melawan hukum berarti harus dapat dirasakan sebagai tidak boleh terjadi, bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat. Atau lebih tepat jika
diartikan dengan tidak boleh terjadi dalam rangka pengayoman hukum dan perwujudan cita-cita masyarakat.
103
Mengenai melawan hukum materiil materiele wederrechtelijkheid, Utrecht menyatakan: “ melihat anasir melawan hukum itu sebagai suatu anasir yang tidak
hanya melawan hukum yang tertulis, tetapi juga sebagai suatu anasir yang melawan hukum yang tidak tertulis yaitu yang melawan asas-asas hukum umum algemene
beginselen van recht. Mereka yang menerima pelajaran melawan hukum materiil materiele wederrechtelijkheid itu biasanya melihat wederrechtelijkheid sebagai
anasir elemen tiap peristiwa, juga dalam hal undang-undang tidak menyebutnya, wederrechtelijkheid adalah elemen tiap peristiwa.
104
Apabila uraian tersebut diatas dikaitkan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim, menurut penulis penafsiran Majelis Hakim terhadap sebutan unsur Tindak
103
Ibid.
104
Utrecht, Hukum Pidana I, P.T. Penerbitan Universitas, Jakarta, hal. 267.
Pidana yang didakwakan, dalam hal ini “unsur melawan hukum” dari Pasal 266 1 KUHP dalam Dakwaan Primair Jaksa Penuntut Umum telah terbukti, maka Dakwaan
Subsidair tidak perlu dibuktikan lagi, akan tetapi sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan bahwa Terdakwa H. Imbalo Rangkuti membuat surat
berita tercecer di harian waspada dan membuat laporan hilangtercecer di Polsek Kota Percut Sei Tuan adalah merupakan persyaratan yang ditentukan untuk mendapatkan
Surat Keterangan Tanah SKT Pengganti, pada hal Terdakwa tidak tahu pasti keberadaan surat dimaksud tergolong sebagai perbuatan “ membuat surat palsu atau
memalsukan surat”. Sedangkan Surat Keterangan Tanah yang dimiliki oleh saksi korban RAMLI
No.245LEGIIIMD1976 tanggal 15 April 1976, tidak jelas menguraikan bahwa asal usul tanah tersebut berasal dari H.M Rais Rangkuti yang diperoleh secara jual beli
atau tukar menukar dengan kayu yang telah diambil oleh Alm.H.M.RAIS RANGKUTI dari saksi korban RAMLI telah disangkal oleh Terdakwa dengan alasan
bahwa semasa hidupnya Alm.H.M.Rais Rangkuti tidak pernah memberitahu hal tersebut kepada anak-anaknya, sehingga tanah berukuran 22x94 meter tersebut
dipandang sebagai harta peninggalan yang belum di bagi waris, sehingga sesuai keterangan saksi korban RAMLI dan keterangan Terdakwa H. IMBALO
RANGKUTI hal ini masih dipersoalkan didalam perkara perdata yang sedang berjalan antara kedua belah pihak pada saat itu.
Bahwa berdasarkan uraian dan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan tersebut diatas, meskipun unsur-unsur dari dakwaan yang didakwakan
kepada Terdakwa dalam dakwaan Primair telah terbukti, namun perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa sebagai bagian dari upaya mempertahankan hak-hak
keperdataan mereka selaku ahli waris dari Alm. H.M RAIS RANGKUTI, sehingga perbuatan dimaksud tidak dapat dipandang sebagai perbuatan pidana, melainkan
sebagai perbuatan perdata bidang hukum waris. Oleh karena perbuatan Terdakwa tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai
perbuatan pidana, maka Terdakwa haruslah dinyatakan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Ontslagh Van Rechtsvervolging, maka dipandang perlu untuk memulihkan
hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya, dan membebankan biaya perkara kepada Negara;
Menurut penulis Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan Nomor. 1384Pid.B2004PN.Mdn tersebut telah tepat penerapan hukumnya, dimana
Perbuatantindakan yang dilakukan Terdakwa bukan merupakan Tindak Pidana, tetapi masuk kedalam Ruang Lingkup Perdata bidang hukum waris, maka itu
putusan tersebut diatas berbentuk Putusan Pelepasan dari segala Tuntutan Hukum Ontslagh Van Rechtsvervolging, sehingga putusan tersebut diatas dapat
dikategorikan sebagai bagian dari putusan Asas Ne bis in Idem dalam Hukum Pidana. Pengaturan mengenai Putusan Pelepasan dari segala Tuntutan Hukum diatur
didalam Pasal 191 ayat 2 KUHAP, dan tentang adanya barang bukti didalam perkara ini haruslah dikembalikan kepada orang dari siapa benda itu disita.
C. Kasus Posisi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 3259 Pid.B 2008