Batu Split Kondisi Lingkungan Yang Memengaruhi Kapasitas Vital Paru

3. Menggumpal Debu bersifat menggumpal karena permukaan debu yang selalu basah sehingga memungkinkan debu menempel satu sama lain dan membentuk gumpalan. 4. Listrik statis elektrostatik Debu dapatt menarik partikel lain yang berlawanan sehingga mempercepat terjadinya proses penggumpalan karena adanya partikel yang masuk ke dalam debu. 5. Opsis Opsis adalah debu yang dapat memancarkan sinar pada ruangan gelap.

2.4.2 Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru-Paru

Berikut ini adalah mekanisme penimbunan debu dalam paru-paru yang dijelaskan pada gambar 2.1 dibawah ini: Gambar 2.1 Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru Debu yang dihasilkan dari kegiatan industri seperti penanganan, penghancuran, penggerindaan, tumbukan cepat dan peledakan bahan-bahan organik dan inorganik dapat menyebabkan timbulnya gangguan pada sistem pernapasan. Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran pernapasan. Inhalasi adalah satu-satunya jalur paparan yang memiliki hubungan dengan efek langsung partikel debu dengan kesehatan manusia WHO, 2000. Dengan menarik napas, udara yang mengandung debu masuk ke dalam paru-paru. Debu Industri Inhalasi Penimbunan dalam paru Penurunan KVP Dari hasil penelitian, debu-debu berukuran di antara 5-10 mikron akan ditahan oleh bagian pernapasan bagian atas sedangkan debu ukuran 3-5 mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernapasan. Partikel-partikel yang besarnya 1-3 mikron merupakan ukuran paling berbahaya karena akan ditempatkan langsung ke permukaan alveoli paru-paru Pudjiastuti, 2002. Debu-debu yang ukuran partikelnya kurang dari 0,1 mikron bermassa terlalu kecil sehingga tidak hinggap di permukaan alveoli atau selaput lendir dikarenakan adanya gerakan Brown yang menyebabkan debu bergerak keluar dari alveoli Suma’mur, 1996. Beberapa mekanisme dapat dikemukakan sebagai sebab hinggap dan tertimbunnya debu dalam paru-paru. Menurut WHO 1997, terdapat lima mekanisme penimbunan yaitu sedimentasi, inersia impaksi, difusi hanya untuk partiker yang sangat kecil 0,5 m, intersepsi dan pengendapan elektrostatis. Sedimentasi dan impaksi adalah mekanisme terpenting yang berhubungan dengan penimbunan debu di dalam paru. Sedimentasi adalah penimbunan yang terjadi karena kecepatan udara pernapasan sangat rendah pada bronchi dan bronchioli sehingga gaya tarik bumi dapat bekerja terhadap partikel-pertikel debu dan menimbunkannya. Sedangkan impaksi atau inertia atau kelambanan dari partikel-partikel debu yang bergerak, yaitu pada waktu udara membelok ketika melalui jalan pernapasan yang tidak lurus, maka partikel-partikel debu yang bermassa cukup besar tidak dapat membelok mengikuti aliran udara, melainkan terus lurus dan akhirnya menimbun pada selaput lendir Suma’mur, 1996. Menurut Price 1995, mekanisme penimbunan debu dalam paru bermula dari debu diinhalasi dalam bentuk partikel debu solid, atau suatu campuran dan asap. Udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran pernapasan yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel goblet. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat pada lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan mukosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke rongga hidung dan kearah superior menuju faring. Partikel debu yang masuk kedalam paru-paru akan membentuk fokus dan berkumpul dibagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag akan merangsang terbentuknya magrofag baru. Pembentukan dan destruksi magrofag yang terus- menerus berperan penting dalam pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru yaitu pada dinding alveoli dan jaringan ikat intertestial Price, 1995. Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas jaringan paru pergeseran jaringan paru dan menimbulkan ganggguan pengembangan paru. Bila pengerasan alveoli mencapai 10 akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya Price, 1995. Mukono 2003 menjelaskan paparan debu terhadap saluran pernapasan dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada saluran pernapasan. Hal ini dapat menyebabkan pergerakan silia menjadi lambat, bahkan dapat terhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernapasan. Akibat iritasi terjadi pula peningkatan produksi lendir, pembengkakan saluran pernapasan dan merangsang pertumbuhan sel sehingga dapat menyebabkan penyempitan saluran pernapasan. Selain itu, dampak paparan debu yang terus menerus mengakibatkan penumpukan debu yang tinggi di paru yang menyebabkan kelainan dan kerusakan seperti penurunan kapasitas paru yang disebut obstruksi dan pneumoconiosis. Salah satu bentuk kelainan paru yang bersifat menetap adalah berkurangnya elastisitas paru yang ditandai dengan penurunan pada kapasitas vital paru. Partikel debu dapat menimbulkan penurunan kapasitas vital paru, sehingga akan mengurangi penggunaan optimal alat pernapasan untuk mengambil oksigen pada proses respirasi Sukarman, 1978. Penimbunan partikel akan merusak epitel dan pergerakan sel fagosit di dekat tempat penimbunan atau dapat menstimulasi sekresi cairan. Partikel yang tertimbun dapat berdifusi ke dalam dan melalui permukaan cairan dan sel dan dengan cepat diangkut oleh aliran darah ke seluruh tubuh ILO. EPA juga menjelaskan adanya hubungan partikel debu terutama respirable dust dengan serangkaian masalah kesehatan yang signifikan yaitu: 1. Memperberat asma 2. Gejala pernapasan akut, termasuk memperberat batuk dan kesulitan atau sakit ketika bernapas 3. Bronkitis kronis 4. Penurunan fungsi paru yang diawali dengan sesak napas

2.4.3 Faktor Yang Memengaruhi Terjadinya Penimbunan Partikel Debu Di

Paru WHO 2000 menjelaskan bahwa penimbunan partikel di paru-paru ditentukan oleh karakteristik partikel, anatomi saluran pernapasan, volume tidal dan pola pernapasan. Di antara karakteristik partikel yang paling mempengaruhi adalah ukuran, bentuk, muatan listrik, kepadatan dan higroskopisitas. Ukuran paru-paru, pola cabang saluran napas, diameter saluran napas, dan panjang, frekuensi, kedalaman dan laju aliran juga mempengaruhi pengendapan partikel. Begitu menimbun di paru-paru, sebagian besar partikel dikeluarkan oleh berbagai mekanisme clearance. Partikel yang tidak dapat larut yang menimbun pada saluran udara bersilia umumnya dibersihkan dari saluran pernapasan oleh aktivitas mukosiliar dalam 24-48 jam. Clearance pada paru dapat terjadi melalui aksi makrofag alveolar atau mekanisme alternatif. Makrofag alveolar merupakan sel fagositik dan dapat bermigrasi. Partikel debu akan dibawa oleh makrofag ke pembuluh limfa atau bronkiolus dan akhirnya dikeluarkan oleh eskalator mukosiliaris Mukono, 2003. Penyerapan penimbunan partikel oleh makrofag dapat berlangsung cepat, tetapi untuk menghilangkan makrofag dari paru-paru membutuhkan waktu beberapa minggu. Secara keseluruhan, partikel yang mengendap di paru dapat dibersihkan namun dalam jangka waktu yang berbeda-beda, baik dalam hitungan minggu, bulan bahkan tahun.

2.4.4 Nilai Ambang Batas NAB untuk Kadar Debu PM

1,0 dan PM 2,5 NAB adalah kadar yang dapat diterima oleh tubuh pekerja dengan tidak menunjukkan penyakit atau kelainan dalam pekerjaan sehari-hari dalam kurun waktu 8 jam perhari dan 40 jam perminggu Suma’mur, 1996. Paparan debu yang melebihi NAB akan meningkatkan risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru. Hal ini juga berlaku pada paparan dengan kadar debu rendah apabila lama paparan terjadi dalam waktu yang lama sehingga dapat menyebabkan penurunan kapasitas vital paru. Respirable dust debu terhirup atau sering disebut fine particles yang merupakan debu dengan diameter berukuran kurang dari sama dengan 2,5 mikron yang dapat masuk kedalam hidung sampai pada sistem pernapasan bagian atas dan masuk kedalam paru-paru bagian dalam. Respirable dust dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti memperberat asma dan gejala pernapasan akut, termasuk memperberat batuk dan kesulitan atau sakit ketika bernapas, bronkitis kronis, dan penurunan fungsi paru yang diawali dengan sesak napas. Berdasarkan komposisi kimia yang terdapat pada batu split mengacu pada tabel 2.2 maka, didapatkan nilai ambang batas menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja sebagai berikut: Tabel 2.3 Nilai Ambang Batas No Senyawa NAB mgm 3 1. Silika kristal kwarsa 0,1 2. Alumunium oksida 10 3. Kalsium oksida 2 4. Ferri oksida 5 5. Magnesium oksida 10 6. Fosfor pentaoksida 0,85 Berdasarkan tabel 2.3, peneliti menggunakan NAB kalsium oksida sebesar 2 mgm 3 . Hal ini dikarenakan respirabel partikulat tidak boleh melampaui 2 mgm 3 .

2.5 Faktor Karakteristik Individu Yang Memengaruhi Kapasitas Vital

Paru

2.5.1 Masa Kerja

Masa kerja adalah semua perhitungan jumlah tahun masa kerja dalam periode kerja, semakin lama masa kerja seseorang kemungkinan besar orang tersebut mempunyai resiko yang besar mengalami penurunan kapasitas vital paru Tamuntuan, 2013. Dalam penelitian Anugrah 2014, diketahui bahwa masa kerja dapat mempengaruhi kapasitas vital paru pada pekerja. Apabila kondisi paru terpapar dengan berbagai komponen pencemar, fungsi fisiologis paru sebagai organ utama pernapasan akan mengalami beberapa gangguan sebagai akibat dari pemaparan secara terus menerus dari berbagai komponen pencemar. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Dalam lingkungan kerja yang berdebu, masa kerja dapat mempengaruhi dan menurunkan kapasitas fungsi paru pada karyawan Suma’mur, 1996. Semakin lama seseorang bekerja pada tempat yang mengandung debu akan semakin tinggi resiko terkena gangguan kesehatan, terutama gangguan saluran pernafasan. Debu yang terhirup dalam konsentrasi dan jangka waktu yang cukup lama akan membahayakan. Akibat penghirupan debu, yang langsung dirasakan adalah sesak, bersin, dan batuk karena adanya gangguan pada saluran pernapasan. Paparan debu untuk beberapa tahun pada kadar yang rendah tetapi diatas batas limit paparan menunjukkan efek toksik yang jelas. Tetapi hal ini tergantung pada pertahanan tubuh dari masing-masing pekerja Sirait, 2010. Khumaidah 2009 menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru seperti obstruksi saluran pernapasan pada pekerja industri yang berdebu sejak mulai mempunyai masa kerja 5 tahun.

2.5.2 Lama Paparan

Lama paparan adalah waktu yang dihabiskan seseorang berada dalam lingkungan kerja dalam waktu sehari Mengkidi, 2006. Lamanya seseorang bekerja pada umumnya berkisar 6 – 8 jam dalam sehari, apabila waktu kerja diperpanjang maka akan menimbulkan ketidakefisienan yang tinggi bahkan menimbulkan penyakit diakibatkan lamanya seseorang terpapar polutan seperti debu yang berada di lingkungan kerja. Bila pekerja terpapar cukup lama oleh debu yang diatas NAB kemungkinan besar akan timbul gangguan saluran pernapasan Suma’mur, 1996. Namun, menurut Harrington dan Gill 2003, penurunan kapasitas paru tidak hanya disebabkan oleh faktor pekerjaan maupun lingkungan kerja, namun ada sejumlah faktor non-pekerjaan yang dapat menjadi faktor yang mempengaruhi, yaitu lain usia, kelamin, ukuran paru, ras, tinggi badan, dan kebiasaan merokok. Berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Asna 2013, ditemukan bahwa adanya hubungan antara lama paparan dengan penurunan kapasitas vital paru. Hal ini membuktikan bahwa lama paparan berpengaruh negatif bagi seseorang yang bekerja karena semakin lama terpapar, bahaya yang ditimbulkan oleh tempat kerja dapat mempengaruhi kesehatan terutama saluran pernapasan. Mengkidi 2006 juga menjelaskan, lama paparan berkaitan dengan jumlah jam kerja yang dihabiskan pekerja di area kerja. Semakin lama pekerja menghabiskan waktu untuk bekerja di area kerjanya, maka semakin lama pula paparan debu di terimanya, sehingga untuk terjadinya gangguan fungsi paru juga akan lebih besar, tetapi hal itu juga tergantung dari konsentrasi debu yang ada di area kerja dan mekanisme clearance dari masing-masing individu, kadar partikel debu dan kerentanan individu

2.5.3 Riwayat Penyakit

Guyton Hall dalam Anugrah 2014 menyatakan bahwa keadaan seperti tuberkulosis, emfisema, asma, kanker paru dan pleuritis fibrosa semuanya dapat menurunkan kapasitas vital paru. Riwayat penyakit meliputi antara lain permulaan timbul gejala-gejala, gejala sewaktu penyakit dini, perkembangan penyakit selanjutnya, hubungan dengan pekerjaan, dll Suma’mur, 1996.

2.5.4 Riwayat Pekerjaan

Riwayat kerja dapat digunakan untuk mengetahui adanya kemungkinan bahwa salah satu faktor di tempat kerja atau dalam pekerjaan dapat mengakibatkan penyakit seperti adanya debu yang dihasilkan oleh penanganan, penghancuran, penggerin daan, tumbukan cepat dan peledakan Suma’mur, 1996. Riwayat pekerjaan dapat menggambarkan apakah pekerja pernah terpapar dengan pekerjaan berdebu, hobi, pekerjaan pertama, pekerjaan pada musim- musim tertentu, dll Ikhsan, 2002.

2.5.5 Penggunaan Masker

Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis pengamanan tempat, peralatan dan lingkungan kerja sangat perlu diutamakan Suma’mur, 1996. Alat pelindung diri APD adalah alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tenaga kerja dari bahaya di tempat kerja Nedved, 1991. Sebagai usaha terakhir dalam usaha melindungi tenaga kerja, APD haruslah enak dipakai, tidak mengganggu kerja dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap bahaya Nedved, 1991. Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk mereduksi jumlah partikel yang kemungkinan dapat terhirup. Pekerja yang taat menggunakan masker saat bekerja akan meminimalkan jumlah paparan partikel yang dapat terhirup Budiono, 2007. Suma’mur 1996 menjelaskan, penggunaan alat pelindung diri masker berkaitan dengan banyaknya partikulat yang tertimbun di dalam organ paru akibat pencemaran yang dapat mengurangi kemampuan fungsi paru, dengan menggunakan alat pelindung diri masker maka dapat mencegah menumpuknya partikulat pencemar dalam organ paru sehingga akan mengurangi terjadinya penurunan fungsi paru. Adapun masker yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah OSHA, 2007: Tabel 2.4 Jenis dan Gambar Masker No. Jenis Masker Gambar 1. Single-strap dust masks, tidak dapat digunakan untuk melindung dari bahaya lingkungan. Namun, dapat digunakan untuk melindungi dari serbuk sari atau allergen lainnya. Gambar 2.2 Single-strap dust masks Sumber: www.osha.gov 2. Approved filtering facepieces masker debu, dapat digunakan untuk debu, uap, asap pengelasan, dll. Gambar 2.3 Masker debu Sumber: www.osha.gov 3. Respirator setengah wajah, dapat digunakan untuk perlindungan terhadap sebagian besar uap, gas asam, debu atau asap pengelasan. Cartridge filter harus sesuai kontaminan dan diganti secara berkala. Gambar 2.4 Respirator setangah wajah Sumber: www.osha.gov 4. Respirator seluruh wajah, lebih protektif dari respirator setengah wajah. Dapat digunakan untuk perlindungan terhadap sebagian besar uap, gas asam, debu atau asap pengelasan. Pelindung wajah untuk melindungi wajah dan mata dari iritasi dan kontaminan. Cartridge filter harus sesuai kontaminan dan diganti secara berkala. Gambar 2.5 Respirator seluruh wajah Sumber: www.osha.gov

2.5.6 Kebiasaan Merokok

Merokok adalah salah satu faktor yang mempengaruhi fungsi paru, salah satunya adalah kapasitas vital paru. Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru-paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar dan kelenjar mukus bertambah banyak. Pada saluran pernapasan kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel penumpukan lendir. Pada jaringan paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran napas, pada perokok akan timbul perubahan fungsi paru-paru dan segala macam perubahan klinisnya Depkes RI, 2003. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mengkidi 2006, menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakana antara kebiasaan merokok dengan gangguan fungsi paru pada seluruh pekerja di PT. Semen Tonasa Pangkep Sulawesi Selatan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Prasetyo 2010 yang menjelaskan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan penurunan kapasitas vital paru. Berdasarkan penelitian Bajentri AL, dkk 2003, membuktikan bahwa merokok dengan jangka waktu 2-5 tahun dengan rata-rata 10 batang per hari terdapat hasil yang signifikan terhadap penurunan fungsi paru salah satunya adalah kapasitas vital paru dan cenderung menyebabkan penyempitan pada saluran udara.

2.5.7 Kebiasaan Olahraga

Adanya hubungan timbal balik antara kapasitas paru dan olahraga. Gangguan pada paru dapat mempengaruhi kemampuan olahraga sebaliknya olahraga yang teratur dapat meningkatkan kapasitas paru Sahab, 1997. Olahraga dapat meningkatkan aliran darah melalui paru-paru sehingga menyebabkan oksigen dapat berdifusi ke dalam kapiler paru dengan volume yang lebih besar atau maksimum Prasetyo, 2010.

2.6 Kondisi Lingkungan Yang Memengaruhi Kapasitas Vital Paru

Variabel kondisi lingkungan yang dapat memengaruhi pemajanan debu adalah sebagai berikut: 1. Suhu Udara Suhu yang menurun pada permukaan bumi dapat menyebabkan peningkatan kelembaban udara relatif sehingga akan meningkatkan efek korosif bahan pencemar di daerah yang udaranya tercemar. Pada suhu yang meningkat akan meningkat pula kecepatan reaksi suatu bahan kimia Mukono, 2003. Pernyataan ini sesuai dengan Permenkes 2012 yang menjelaskan bahwa suhu udara yang lebih tinggi dapat meningkatkan pembentukan polutan udara. Selain berpengaruh terhadap polutan, suhu juga memengaruhi paru. Ikhsan, dkk 2010 menjelaskan bahwa suhu yang ekstrim baik dingin maupun panas saat terjadinya perubahan polusi udara, perubahan alergen dan hujan debu berpotensi menyebabkan penyakit respirasi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut Donaldson dkk 1999, penurunan fungsi paru-paru dapat disebabkan oleh peningkatan peradangan saluran napas ketika suhu rendah. Suhu lingkungan rendah dapat bertindak secara langsung melalui aktivasi sitokin untuk menginduksi perubahan inflamasi peradangan saluran napas. Faktor mekanik juga dapat terlibat sebagai suhu dingin yang akan menyebabkan peningkatan vasokonstriksi dan perpindahan perifer darah pusat sehingga dapat mengurangi kapasitas paru-paru. Penelitian ini telah menunjukkan bahwa lingkungan yang dingin dikaitkan dengan penurunan nilai spirometri. Penurunan fungsi paru akan semakin memburuk selama cuaca dingin dan dapat menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada penyakit paru obstruktif kronik PPOK. Suhu tinggi juga dapat memperburuk sistem pernapasan. Menurut Healthcommunities 2013, menghirup udara panas dapat memperburuk gangguan pernapasan seperti PPOK dan meningkatkan peradangan saluran napas. Paparan panas dapat memicu respon pernapasan seperti terjadinya bronkospasme karena menghirup udara panas sehingga menyebabkan kesulitan bernapas dan sesak napas. Menghirup udara panas juga dapat memperburuk infeksi pernafasan, beberapa di antaranya dapat disebabkan oleh serbuk sari atau jamur. Para peneliti menunjukkan bahwa gangguan termoregulasi juga mungkin memainkan peran parsial dalam menanggapi respon panas pada pernapasan Ketika tubuh tidak dapat mendinginkan diri, hasilnya adalah hipertermia, yang mencakup berbagai penyakit panas seperti heat stress, heat exhaustion dan heat stroke. Hipertermia dapat menyebabkan denyut jantung yang cepat dan meningkatkan aliran darah ke kulit. Akibatnya tubuh menuntut lebih banyak oksigen karena bekerja untuk tetap dingin yang dapat menyebabkan penurunan kapasitas paru-paru. Hal ini dapat mengakibatkan pernapasan abnormal cepat atau dalam yang disebut hiperpnea Healthcommunities, 2013. Namun, apabila seseorang tinggal di daerah dengan suhu rata-rata tinggi respon termoregulasi orang tsb dapat menyesuaikan diri dengan cuaca panas. Hal ini disebabkan karena kemampuan tubuh untuk termogulasi membaik dengan paparan panas berulang, sedangkan orang-orang tidak terbiasa dengan suhu tinggi akan sulit beradaptasi sehingga dapat mengalami gangguan pernapasan Healthcommunities, 2013. 2. Kelembaban Udara Kelembaban udara menyatakan banyaknya uap air di dalam udara. Dalam klimatologi untuk menunjukkan kelembaban udara adalah kelembaban relatif. Kelembaban relatif adalah tekanan parsial dari uap air dalam udara dibagi dengan tekanan uap air pada suhu yang sama, dinyatakan sebagai persentase Young, 2002. Menurut Mukono 2003, kelembaban udara relatif rendah 60 di daerah tercemar SO 2 , akan mengurangi efek korosif dari bahan kimia tsb. Pada kelembaban relatif lebih atau sama dengan 80 di daerah tercemar SO 2 , akan terjadi peningkatan efek korosif SO 2 tsb. Udara yang lembab menyebabkan bahan pencemar berbentuk partikel dapat berikatan dengan air di udara sehingga membentuk partikel yang berukuran lebih besar. Partikel tersebut mudah mengendap. Kelembaban yang tinggi di lingkungan kerja secara tidak langsung dapat menghambat sirkulasi udara. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20 dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran. Sedangkan kelembaban yang tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan formaldehid dari material bangunan Suma’mur, 1996. Menurut Heatlhcare Inc. 2005, kelembaban tinggi merupakan penyebab meningkatnya keluhan sesak napas yang merupakan gejala terjadinya penurunan kapasitas vital paru. Ada beberapa kemungkinan penjelasan untuk fenomena ini. Pertama, karena kelembaban udara meningkat maka densitas atau massa jenis udara meningkat dan menggangu sirkulasi udara atau menyebabkan sedikitnya aliran yang terjadi di udara. Hal ini kemudian mengakibatkan peningkatan saluran dan kerja napas sehingga menimbulkan sesak napas sehingga dapat menurunkan kapasitas vital paru. Penjelasan lainnya adalah ketika kelembaban udara meningkat maka jumlah alergen udara ikut meningkat sehingga dapat mempengaruhi sistem pernapasan. Menurut Suma’mur 1996 kelembaban lingkungan kerja yang tidak memberikan pengaruh kepada kesehatan pekerja berkisar antara 40-60.

2.7 Pencegahan Terhadap Gangguan Kesehatan dan Daya Kerja

Menurut Suma’mur 1996, gangguan kesehatan dan daya tahan kerja akibat berbagai faktor pekerjaan bisa dihindari apabila pekerja dan pimpinan perusahaan ada kemauan baik untuk mencegahnya. Tentu perundang-undangan tidak akan ada faedahnya apabila pimpinan perusahaan tidak melaksanakan ketetapan perundang-undangan yang berlaku dan juga para pekerja tidak mengambil peranan penting dalam menghindarkan gangguan tersebut: Cara-cara mencegah gangguan tersebut adalah: 1. Substitusi, yaitu mengganti bahan berbahaya dengan bahan yang kurang berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali. 2. Ventilasi umum, yaitu mengalirkan udara berdasarkan perhitungan dalam ruang kerja agar kadar dari bahan-bahan berbahaya seperti debu menjadi lebih rendah dari kadar nilai ambang batas NAB. 3. Isolasi, yaitu megisolasi operasi atau proses yang merupakan sumber debu agar tidak tersebar. 4. Alat pelindung diri, yaitu upaya perlindungan kepada pekerja agar terlindung dari risiko dan bahaya kerja seperti terpapar debu. Misalnya: masker, kacamata, sarung tangan, sepatu, topi, dll. 5. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, yaitu pemeriksaan kesehatan kepada calon pekerja untuk mengetahui cocok atau tidaknya pekerjaan yang diberikan baik secara fisik maupun mentalnya. 6. Pemeriksaan kesehatan berkala, digunakan sebagai evaluasi untuk mengetahui debu di lingkungan kerja yang dapat menimbulkan gangguankelainan pada pekerja atau tidak. 7. Pengarahan sebelum kerja, agar pekerja mengetahui dan menaati peraturan sehingga lebih berhati-hati dalam bekerja. 8. Pendidikan tentang kesehatan dan keselamatan kepada pekerja secara kontinu, agar pekerja tetap waspada dalam menjalankan pekerjaannya. Setelah semua usaha pencegahan dilakukan secara maksimal, dan jika masih terdapat debu dari proses tersebut, maka barulah dilakukan pengendalian atau pengontrolan terhadap debu tersebut. HSP 2011 menjelaskan beberapa teknik pengendalian yang dapat dilakukan adalah seperti 1. Dust collection systems, yaitu menggunakan prinsip ventilasi untuk menangkap debu dari sumbernya. Debu disedot dari udara dengan menggunakan pompa dan dialirkan kedalam dust collector, kemudian udara bersih dialirkan keluar.

2. Wet Dust Suppression Systems, yaitu dengan menggunakan cairan untuk

membasahi bahan yang dapat menghasilkan debu tersebut sehingga bahan tersebut tidak cenderung menghasilkan debu. Cairan yang banyak digunakan adalah air atau bahan kimia yang dapat mengikat debu. 3. Airborne Dust Capture Through Water Sprays, yaitu menyemprot debu- debu yang timbul pada saat proses dengan menggunakan air atau bahan kimia pengikat. Semprotan harus membentuk partikel cairan yang kecil droplet sehingga bisa menyebar di udara dan mengikat debu yang berterbangan sehingga debu dapat mengendap atau turun ke bawah. Pada pengendalian yang menggunakan cairan atau melakukan penyiraman pada sumber debu, penggunaan nozzle sangat penting untuk mengoptimalkan proses penyiraman. Berikut adalah jenis nozzle menurut OSHA 1987: Tabel 2.5 Jenis dan Gambar Nozzle No. Jenis Nozzle Gambar 1. Solid-cone nozzle, menghasilkan daya semprot dengan kecepatan tinggi ketika nozzle terletak jauh dari lokasi pengontrolan debu Gambar 2.6 Solid-cone nozzle Sumber: www.osha.gov 2. Hollow-cone nozzle, menghasilkan daya semprot dalam bentuk cincin melingkat. Nozzle ini berguna untuk proses yang menghasilkan debu yang tersebar luas. Gambar 2.7 Hollow-cone nozzle Sumber: www.osha.gov 3. Flat-spray nozzle, menghasilkan butiran relatif besar. Nozzle ini biasa digunakan pada wet dust suppression systems. Gambar 2.8 Flat-spray nozzle Sumber: www.osha.gov 4. Fogging nozzle, menghasilkan uap yang sangat halus. Nozzle ini biasa digunakan pada airborne dust control systems. Gambar 2.9 Fogging nozzle Sumber: www.osha.gov

2.8 Kerangka Teori

Kerangka teori diperoleh dari hasil modifikasi berbagai sumber. Pudjiastuti 2002, Suma’mur 1996, Price 1995, Mukono 2003, dan Sukarman 1978 menyatakan bahwa debu dapat tertimbun dalam paru-paru dan berpengaruh terhadap kapasitas vital paru. Untuk faktor karakteristik individu diketahui bahwa masa kerja Suma ’mur 1996 dan Sirait 2010, lama paparan Mengkidi, 2006, penggunaan masker Budiono 2007 dan Suma’mur 1996, riwayat peyakit dan riwayat pekerjaan Suma’mur, 1996, kebiasaan merokok Depkes RI, 2003, dan kebiasaan olahraga Sahab, 1997 juga memengaruhi terjadinya penurunan kapasitas vital paru. Kondisi lingkungan yang dapat memengaruhi pemajanan debu yaitu suhu udara Donaldson 1999 dan Healthcommunitties 2013, kelembaban udara Heatlhcare Inc. 2005 dan Suma’mur 1996.Berdasarkan hasil dari modifikasi tersebut dapat digambarkan sebuah kerangka teori sebagai berikut: