beberapa khamir dan kapang dapat berkembang secara lambat pada a
w
0.62 Fennema, 1985.
Mikro organisme a
w
Clostridium botulinum E. 0.97
Pseudomonas fluorescens 0.97
Escherichia coli 0.95
Clostridium perfringens 0.95
Salmonella 0.95
Vibrio cholerae 0.95
Clostridium botulinum A, B 0.97
Bacillus cereus 0.93
Listeria monocytogenes 0.92
Bacillus subtilis 0.91
Staphylococcus aureus 0.86
Lumut 0.80
Tabel 1. a
w
minimum pertumbuhan mikroorganisme tertentu Chaplin, 2005.
2.5 Permeasi Uap Air
Banyak makanan dan bahan farmasetik yang sensitif terhadap uap air, sehingga perlu mengontrol laju permeasi uap air dari lingkungan untuk
mendapatkan kualitas, keamanan dan waktu edar yang dikehendaki. Ada beberapa teknik untuk mengukur laju permeasi uap air, mulai dari teknik gravimetri yang
mengukur penambahan atau pengurangan uap air melalui berat kalsium klorida anhidrat, sampai teknik yang menggunakan instrumen yang sangat rumit untuk
mengukur laju permeasi uap air. Banyak metode standar yang digunakan dalam industri, seperti ISO,ASTM, BS, DIN, dll untuk mengukur laju permeasi uap air.
Kondisi selama pengukuran sangat mempengaruhi hasil yang diperoleh. Temperatur dan kelembaban selama pengukuran harus dicatat, karena tidak dapat
membandingkan dua hasil yang diperoleh jika kondisi tersebut tidak diketahui. Satuan laju permeasi uap air yang paling banyak dipakai adalah gm
2
hari.Laju permeasi uap air dapat sangat rendah, seperti pada aluminium foil 0,001
Universitas Sumatera Utara
gm
2
hari maupun sangat tinggi seperti pada kain dapat mencapai beberapa ribu gm
2
hari Anonim, 2010.
2.6 Kesetimbangan Kandungan Uap Air
Hubungan antara kelembaban dan kandungan uap air pada temperatur yang sama isoterm dikenal sebagai kesetimbangan isoterm sorpsi uap air
Equilibrium Moisture Sorption Isotherm seperi yang dikemukakan oleh Bell dan Labuza. Masing-masing produk mempunyai kesetimbangan kandungan uap air
yang unik karena perbedaan interaksi efek koligatif larutan, efek kapiler, dan interaksi permukaan antara air dengan komponen padat pada kandungan uap air
yang berbeda. Peningkatan a
w
biasanya dibarengi dengan peningkatan kandungan uap air, walaupun tidak secara linier. Kesetimbangan kandungan uap air biasanya
berbentuk sigmoidal untuk kebanyakan makanan, walaupun makanan tersebut mengandung gula dalam jumlah besar Fontana, 2000.
Informasi mengenai mekanisme sorpsi uap air pada suatu bahan dapat diketahui dari bentuk kesetimbangan kandungan uap airnya, karena hal itu sangat
tergantung pada interaksi antara molekul air dengan suatu bahan padat. Isoterm sorpsi fisis ini dapat digolongkan menjadi 6 tipe utama I-VI, berdasarkan klasifikasi
IUPAC. Isoterm tipe V dan VI tidak umum untuk dijumpai Sing, dkk., 1985. Tipe I adalah tipe Langmuir, yang ditandai oleh adanya adsorpsi yang terbatas
yang diasumsikan sebagai terbentuknya suatu lapisan tunggal yang sempurna. Tipe I memiliki adsorben dengan mikropori yang luas permukaannya relatif kecil, yang
dapat menyimpan banyak uap air pada RH yang rendah Sing, dkk., 1985. Isoterm tipe II, bentuk sigmoidal atau bentuk S umumnya berhubungan
dengan sorpsi lapisan tunggal-multi lapisan pada bahan dengan permukaan yang tidak berpori atau makropori. Isoterm tipe II dan IV menunjukkan pengikatan tertentu pada
Universitas Sumatera Utara
kelembaban rendah yang diikuti dengan adsorpsi yang rendah pada kelembaban menengah, selanjutnya meningkat lagi pada kelembaban yang lebih tinggi. Adanya
histeresis menunjukkan adanya mesopori dan umum terjadi pada isoterm tipe II dan IV Sing, dkk., 1985.
Berbeda dengan isoterm tipe IV, isoterm tipe II tidak memiliki penyerapan yang stabil pada
a
w
yang tinggi. Isoterm tipe IV terjadi karena tertutupnya mesopori yang diikuti dengan kondensasi kapiler atau pengisian pori Sing, dkk., 1985.
Isoterm tipe III dan V menandakan adanya interaksi adsorbent-adsorbat yang lemah dan ditandai dengan penyerapan yang rendah pada kelembaban rendah dan
terjadi peningkatan yang pesat pada kelembaban yang lebih tinggi. Isoterm tipe VI, isoterm bertingkat dimana terjadi sorpsi tingkat demi tingkat pada permukaan bahan
tidak berpori yang seragam Sing, dkk., 1985.
Gambar 5. Klasifikasi Isoterm Sorpsi Uap Air dan Berbagai Bentuknya
Sing, dkk., 1985.
Kesetimbangan dari adsorpsi uap air dimulai dari keadaan kering tidak sama persis dengan kesetimbangan yang dihasilkan dari desorpsi uap air dimulai
dari keadaan basah. Fenomena dari kandungan uap air yang berbeda dengan a
w
Universitas Sumatera Utara
yang sama ini dikenal sebagai histeresis sorpsi uap air moisture sorption hysteresis dan dimiliki oleh kebanyakan makanan Fontana, 2000.
Gambar 6. Skema Histeresis antara Adsorpsi dan Desorpsi Uap Air Chaplin,
2005. Ada beberapa alasan hal ini dapat terjadi, seperti perbedaan pengisian dan
pengosongan uap air pada pori-pori, pengembangan bahan polimer, transisi keadaan gelas dan karet, dan supersaturasi beberapa zat terlarut selama desorpsi.
Kesetimbangan kandungan uap air ini biasanya digambarkan dalam bentuk grafik, dengan memplot kandungan uap air sebagai suatu fungsi a
w
atau dalam suatu bentuk persamaan Fontana, 2000.
Ada lebih dari 70 persamaan yang telah dikembangkan untuk memprediksi kesetimbangan kandungan uap air ini. Model GAB Guggenheim-Anderson-de
Boer merupakan salah satu model yang telah diterima secara luas untuk bahan dengan aktivitas air dari 0,1 sampai 0,9.
C
1
k m
o
a
w
1 – k a
w
1 – k aw + C
1
k a
w
Universitas Sumatera Utara
Dimana C
1
dan k adalah suatu konstanta dan m
o
adalah kadar uap air lapisan tunggal. Persamaan ini dapat diselesaikan menggunakan program regresi non-
linear terkomputerisasi ataupun dalam bentuk persamaan polinomial Fontana, 2000.
2.7 Pengaruh Air terhadap Stabilitas Kimia dan Biokimia