pekerjaburuh untuk memperoleh jamsostek sesuai dengan apa yang seharusnya karena masih terbuka kemungkinan bagi pengusaha untuk mengingkari amanat
konstitusi tersebut. Sebagai langkah preventif bagi tenaga kerja, maka pemerintah harus
mengambil sebuah kebijakan untuk menjamin pelaksanaan perundang-undangan tersebut. Dalam kondisi seperti ini maka pengawasan merupakan langkah logis
untuk mencegah segala kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan, melalui pengawasan diharapkan pelaksanaan perundang-undangan
ketenagakerjaan terutama yang mengatur tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Jamsostek dapat dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap pihak.
Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan. Karena pentingnya fungsi pengawasan ini maka pengawasan diatur secara tegas dan khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
seperti Undang-Undang No. 23 tahun 1948 jo Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan, Undang-Undang No. 21 Tahun 2003 tentang
Pengesahan Konvensi ILO No. 81 Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan dan beberapa peraturan lainnya seperti Peraturan Presiden No.
21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 09 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyampaian
Laporan Pelaksanaan Pengawasan Ketenagakerjaan.
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan terkandung dictum-diktum tentang pengawasan yang dapat
dikemukakan sebagai berikut :
14
1 Menteri yang diserahi urusan perburuhan atau pegawai yang ditunjuk
olehnya, menunjuk pegawai yang diberi kewajiban menjalankan pengawasan perburuhan.
2 Pegawai yang dimaksud diatas beserta para pegawai penbantunya dalam
melakukan kewajiban pengawasan terhadap para tenaga kerja yang menjadi wewenangnya, berhak memasuki semua tempat dimana
dijalankan atau biasa dijalankan pekerjaan atau dapat disangka bahwa di tempat itu dijalankan pekerjaan dan juga segala rumah yang disewakan
atau dipergunakan oleh pengusaha atau wakilnya untuk perumahan atau perawatan buruh.
3 Andaikata pada waktu menjalankan tugas kewajiban seperti diatas
ternyata mereka ditolak oleh pihak pengusaha, sehingga pelaksanaan tugas kewajibannya menjadi terhalang atau memungkinkan tidak dapat
dilaksanakan, maka para pegawai tersebut dapat meminta bantuan alat kekuasaan Negara c.q Polisi R.I untuk memasuki perusahaan yang
bersangkutan dan selanjutnya melaksanakan tugas kewajiban dengan seksama.
4 Para pegawai yang dimaksud, dapat meminta dari pengusaha atau
wakilnya atau petugas perusahaan yang ditunjuk yang berkompeten dan demikian pula semua buruh yang bekerja dalam perusahaan yang
14
G. Kartasapoetra, R.G. Kartasapoetra SH, Ir. A.G. Kartasapoetra, Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986, hal.232
bersangkutan dalam batas-batas waktu yang memungkinkan, semua keterangan dan data yang sejelas-jelasnya, baik dengan lisan maupun
dengan tulisan yang dipandang perlu olehnya guna memperoleh pendapat yang pasti tentang hubungan kerja beserta keadaan perburuhan pada
umunya diperusahaan yang bersangkutan pada waktu itu danatau pada waktu yang telah lampau.
5 Para pegawai pemerintah tersebut diatas, berhak menanyai dan
mengadakan wawancara dengan para buruh tanpa dihadirinya oleh pihak atau orang ketiga pihak pengusaha. Dalam menjalankan tugas
kewajibannya itu, pihak pegawai yang bersangkutan diwajibkan berhubungan dengan Organisasi Buruh yang bersangkutan. Pegawai
pemerintah yang bergerak dalam bidang pengwasan tenaga kerja dalam pelaksanaan tugas kewajibannya ini, demi untuk kelancaran pelaksanaan
tugasnya maupun untuk penghargaan kepada pihak pengusaha, wajib dibantu oleh pihak pengusaha atau wakilnya atau orang yang ditunjuk oleh
pihak pengusaha sebagai pengantar dalam hal memperoleh keterangan pada waktu diadakan pemeriksaan dalam perusahaan yang bersangkutan.
6 Para pegawai beserta para pegawai pembantunya, diluar jabatannya
wajib merahasiakan segala keterangan tentang rahasia diperusahaan yang diperolehnya sehubungan dengan pelaksanaan tugas pengawasan dan
pemeriksaan yang telah dilakukannya. Hal-hal tersebut diatas juga diadopsi dalam Undang-Undang No.13 Tahun
2003 tentang ketenagakerjaan sebagaimana tertulis pada pasal 181 yang berbunyi:
“Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanankan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 176 wajib :
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan; b. tidak menyalahgunajan wewenangnya.”
Pengawasan Ketenagakerjaan dalam UU ini lebih luas lagi, bukan hanya mengontrol implementasi aturan-aturan ketenagakerjaan tetapi juga untuk
mengumpulkan informasi mengenai kebutuhan-kebutuhan para pekerja sebagai dasar bagi pembentukan peraturan-peraturan yang baru.
15
2. Unit Kerja Pelaksana Pengawasan Ketenagakerjaan Unit kerja pelaksana pengawasan ketenagakerjaan adalah unit kerja yang
dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjalankan tugas dan fungsi di bidang pengawasan ketenagakerjaan pada
instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang ketenagakerjaan. Unit kerja pelaksana pengawasan ketenagakerjaan dibentuk bersarkan pembagian
wilayah kerjanya masing-masing sehingga unit kerja pelaksana pengawasan ketenagakerjaan dapat dibagi menjadi 2 dua bagian yaitu :
a. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pusat adalah unit kerja pelaksana yang menjalankan tugas dan fungsi pengawasan ketenagakerjaan pada Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi. b. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan kabupatenkota atau provinsi adalah
unit kerja pelaksana yang menjalankan tugas dan fungsi di bidang pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
dibidang ketenagakerjaan di kabupatenkota atau provinsi.
15
Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Medan: USU Pres, 2010, hal.77
Unit kerja pelaksana pengawasan ketenagakerjaan mempunyai dua kewajiban yaitu :
16
1 Wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan
kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, khusus bagi unit kerja pada pemerintahan provinsi dan kabupatenkota.
2 Wajib merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut
dirahasiakan dan tidak menyalahgunakan kewenangannya. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus dilaksanakan secara terkoordinasi. Koordinasi antar unit kerja
tersebut dilaksanakan melalui koordinasi tingkat nasional dan koordinasi tingkat provinsi.
Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Pusat
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Tingkat Nasional yang dihadiri oleh seluruh unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah KabupatenKota, sekurang-kurangnya 1 satu kali dalam 1 satu
tahun. Dalam rapat koordinasi tingkat nasional tersebut, unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
dibidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Pusat, dapat mengikutsertakan instansi pemerintah terkait danatau pihak lain yang dipandang perlu. Dan hasil rapat
16
Hardijan Rusli, opcit, hal. 24
koordinasi tingkat nasional tersebut menjadi pedoman pelaksanaan koordinasi tingkat provinsi.
Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi
menyelenggarakan rapat Koordinasi Tingkat Provinsi yang dihadiri seluruh unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah KabupatenKota di Provinsi yang bersangkutan, sekurang-kurangnya 1 satu kali dalam 1 satu tahun.
Seterusnya hasil rapat koordinasi tinkat provinsi tersebut menjadi pedoman pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan oleh unit kerja pengawasan
ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah KabupatenKota. Unit kerja pengawasan
ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Kabupaten Kota dapat melaksanakan
rapat kerja teknis operasional. Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan yang dilaksanakan mulai dari
daerah kabupatenkota, provinsi dan pusat harus dilaksanakan dengan semangat refleksi dan koreksi yang mana dapat dilakukan dengan memberikan laporan hasil
pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada pimpinan masing-masing sesuai hierarki yang diatur perundang-undangan.
Hasil pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan di KabupatenKota dilaporkan kepada BupatiWalikota. BupatiWalikota melaporkan hasil
pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan di wilayahnya kepada Gubernur. Hasil pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan di Provinsi dilaporkan kepada
Gubernur. Gubernur melaporkan hasil pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan di wilayahnya kepada Menteri dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri.
Menteri melaporkan hasil pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan secara nasional kepada Presiden.
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan sebagai instansi pelaksana tugas pengawasan ketenaga kerjaan mengatur struktur hirearki birokrasi mengenai
pengawasan ketenaga kerjaan secara jelas dan tegas. Struktur tersebut dapat kita lihat dalam bagan berikut:
17
17
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan
3. Wewenang Penyidikan
Penyidikan merupakan suatu rangkaian proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari atau menelusuri indikasi suatu
pelanggaran tindak pidana peraturan perundang-undangan. Pengawas ketenagakerjaan diberikan wewenang penyidikan sebagai penyidik pegawai
negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya dalam penyidikan terhadap pelanggaran perundang-undangan atau peraturan
lainnya yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. Wewenang penyidikan merupakan senjata utama bagi pengawas
ketenagakerjaan untuk menindak pelanggaran-pelanggaran ketenagakerjaan sehingga pengawas ketenagakerjaan diberikan akses yang lebih untuk masuk ke
dalam suatu perusahaan sebagai bentuk konkret dalam pengawasan ketenagakerjaan.
Adapun wewenang yang diberikan kepada pengawas ketenagakerjaan sebagai penyidik sebagaimana dituliskan dalam pasal 182 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut : 1
Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
2 Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan; 3
Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
4 Melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
5 Melakukan pemeriksaan atas surat danatau dokumen lain tentang tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan; 6
Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
7 Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang
membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
BAB III HUBUNGAN ANTARA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
DENGAN PELAKSANAAN JAMSOSTEK DEMI PERLINDUNGAN TERHADAP HAK BURUH
A. Jamsostek Sebagai Upaya Perlindungan terhadap Hak-Hak Buruh 1. Sejarah Jaminan Sosial Tenaga Kerja Jamsostek di Indonesia
Soialisme Indonesia yang merupakan cita-cita luhur para pendiri bangsa Indonesia merupakan cita-cita yang lahir dari kesadaran dan keinginan untuk
menciptakan suatu tatanan masayarakat Indonesia yang berkeadilan sosial, dan oleh karena cita-cita tersebutlah yang membuat jaminan sosial menjadi tidak
terpisahkan dari sejarah perjalan bangsa Indonesia. Dan memang sudah sewajarnya ketika suatu negara sedang berkembang kearah yang lebih baik maka
harus memperkuat fondasi masyarakat yang kuat secara sosial. Pada awal kemerdekaan Indonesia, masyarakat pada saat itu didominasi
oleh kalangan ekonomi lemah seperti petani dan buruh dan oleh karena itu pemerintahan di masa itu sangat memperhatikan perlindungan ekonomi dan sosial
terhadap rakyak terutama golongan pekerjaburuh. Langkah konkret yang dilakukan pemerintah adalah memberikan suatu jaminan hukum bagi
perlindungan sosial rakyat Indonesia dengan mengaturnya dalam peraturan perundang-undangan.
Sejarah jamsostek dapat kita lihat dari sejarah peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang jaminan sosial yang dimulai dari Undang-
Undang No. 33 Tahun 1947 jo Undang-Undang No. 2 Tahun 1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan PMP No. 481952 jo PMP No.
48
81956 tentang Pengaturan Bantuan Untuk Usaha Penyelenggaraan Buruh, peraturan ini kemudian dilengkapi dengan Peraturan Menteri Perburuhan No.
151957 tentang Pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No. 51964 tentang Pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial YDJS, dalam peraturan ini
diuraikan tentang bantuan kepada badan yang menyelenggarakan usaha jaminan sosial, diberlakukannya Undang-Undang No. 141969 tentang Pokok-pokok
Tenaga Kerja. Secara kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga kerja semakin
transparan. Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan hukum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun
1977 diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah PP No. 33 Tahun 1977 tentang Pelaksanaan Program Asuransi
Sosial Tenaga Kerja ASTEK yang mewajibkan setiap pemberi kerjapengusaha swasta dan Badan Usaha Milik Negara untuk mengikuti program ASTEK.
Program-program yang ditangani Asuransi Tenaga Kerja adalah Asuransi Kecelakaan Kerja AKK, Asuransi Kematian AK, dan Tabungan Hari
Tua. Bersamaan dengan ini terbit pula PP No. 341977 tentang Pembentukan Wadah Penyelenggara ASTEK yaitu Perum Astek. Status astek sebagai
Perusahaan Umum Perum kemudian diubah menjadi Perseroan Terbatas PT melalui Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1990.
Pada tahun 1992, pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menerbitkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja, program jaminan sosial tenaga kerja meliputi empat program, yaitu jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan
pemeliharaan kesehatan. Selanjutnya sebagai peraturan pelaksana undang-undang ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah PP No. 14 Tahun 1993
tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek yang mewajibkan setiap pengusaha atau perusahaan yang memiliki karyawan minimal 10 orang atau mengeluarkan
biaya untuk gaji buruhpekerjanya minimal 1 jutabulan untuk mengikut sertakan pekerjanya dalam program jamsostek pasal 2 ayat 3.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 menugaskan PT Jamsostek sebagai pelaksana program Jamsostek dan hal ini dipertegas melalui Peraturan Pemerintah
No. 36 Tahun 1995 yang mengatur ditetapkannya PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jamsostek. Program Jamsostek memberikan perlindungan dasar
untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga
sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang akibat resiko sosial.
2. Hak-Hak Buruh Dalam Program Jamsostek
Jaminan Sosial Tenaga Kerja Jamsostek sebagai implementasi dari perlindungan hak buruh dan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
merupakan suatu rangkaian yang bertujuan untuk menciptakan hubungan perburuhan yang berlandaskan pancasila demi kelangsungan usaha dan demi
kesejahteraan buruhpekerja. Bentuk perlindungan hak buruh tersebut dapat kita lihat dari program-
program jamsostek yang harus dilaksanakan, yaitu: 1
Program Jaminan Kecelakaan Kerja JKK
Kecelakaan kerja temasuk penyakit akibat kerja yang merupakan resiko yang harus dihadapi oleh tenaga kerja dalam melakukan pekerjaanya.
Kecelakaan kerja menurut M. Sulaksono
18
adalah suatu kejadian yang tak terduga dan yang tidak dikehendaki yang mengacaukan suatu aktivitas
yang telah diatur, kecelakaan ini terjadi tanpa disangka-sangka dalam sekejap mata dan setiap kejadian tersebut terdapat empat faktor bergerak
dalam satu kesatuan berantai, yakni lingkungan, bahaya, peralatan dan manusia. Yang digolongkan sebagai penyakit yang timbul karena
hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang timbul akibat hubungan kerja yaitu :
1 Pnemokoniosis yang disebabkan debu mineral pembentuk
jaringan parut silicosis, antrakosilikosis, asbestosis dan silikotuberkolosis yang silikosisnya merupakan factor utama
penyebab cacat atau kematian.
2 Penyakit paru dan saluran pernapasan bronkhopulmoner yang
disebabkan oleh debu logam keras. 3
Penyakit paru dan saluran pernapasan bronkhopulmoner yang disebabkan oleh debu kapas, vlas, henep dan sisal bissisnosis
4 Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi
dan zat perangsang yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan.
5 Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai
akibat penghirupan debu organik. 6
Penyakit yang disebabkan oleh berilium atau persenyawaannya yang beracun.
7 Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya
yang beracun. 8
Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaannya yang beracun
9 Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya
yang beracun 10
Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang beracun.
11 Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya
yang beracun.
18
Buchari, Penanggulangan kecelakaan, Medan: Universitas Sumatera Utara USU Repository,
2007. hal. 1
12 Penyakit yang disebabkan oleh raksa atau persenyawaannya
yang beracun 13
Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaannya yang beracun
14 Penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawaannya yang
beracun 15
Penyakit yang disebabkan oleh karbon disulfida atau persenyawaannya yang beracun
16 Penyakit yang disebabkan oleh derivate halogen dari
persenyawaan hidrokarbon alifatik atau aromatic yang beracun. 17
Penyakit yang disebabkan oleh benzena atau homolognya yang beracun.
18 Penyakit yang disebabkan oleh derivate nitro dan amina dari
benzene atau homolognya yang beracun. 19
Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat lainnya.
20 Penyakit yang disebabkan oleh alcohol, glikol atau keton.
21 Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia
atau keracunan seperti karbon monoksida, hydrogensianida, hydrogen sulfide, atau derivatnya yang beracun, amoniak seng,
braso dan nikel.
22 Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan.
23 Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik kelainan-
kelainan otot, urat, tulang persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi.
24 Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang
bertekanan lebih. 25
Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektro magnetic dan radiasi yang mengion.
26 Penyakit kulit dermatosis yang disebabkan oleh penyebab fisik,
kimiawi atau biologic. 27
Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen, minyak mineral, antrasena atau persenyawaan, produk
atau residu dari zat tersebut.
28 Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes.
29 Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit
yang didapat dalam suatu pekerjaan yang memiliki risiko kontaminasi khusus.
30 Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau
radiasi atau kelembaban udara tinggi. 31
Penyakit yang disebabkan bahan kimia lainnya termasuk bahan obat.
19
2 Program Jaminan Kematian
19
PT Jamsostek, Prinsiip dan Praktik Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Jakarta: PT Jamsostek, 1992
Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja akan mengakibatkan terputusnya penghasilan yang akan sangat berpengaruh
pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan, oleh karena itu diperlukan jaminan kematian dalam upaya meringankan beban
keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa uang. Ketentuan pasal 12 ayat 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja member pengertian bahwa dalam program jaminan kematian yang dimaksud dengan keluarga yang
ditinggalkan adalah istri atau suami pekerja, keturunan sedarah dari pekerja menurut garis lurus kebawah, dan garis lurus keatas, dihitung
sampai derajat keduatermasuk anak yang disahkan. Apabila garis lurus keatas dan kebawah tidak ada maka diambil kesamping dan mertua. Bagi
pekerja yang tidak memiliki keluarga maka hak atas jaminan kematian diberikan kepada pihak yang mendapat surat wasiat dari pekerja yang
bersangkutan atau perusahaan untuk pengurusan pemakaman. Urutan keluarga yang diprioritaskan dalam pembayaran santunan kematian
menurut pasal 13 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah :
a. janda atau duda; b. anak;
c. orang tua; d. cucu;
e. kakek atau nenek; f. saudara kandung;
g. mertua. Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
member batasan dan pengecualian bagi pekerjaburuh yang berhak menerima manfaat program ini. Pengecualian tersebut disebutkan dalam
pasal 12 ayat 2 undang-undang ini, bidang-bidang pekerjaan yang tidak berhak menerima manfaat jaminan kematian manurut pasal ini antara lain :
1. murid atau pekerja yang sedang melakukan magang. 2. pekerja yang bekerja dalam pemborongan pekerjaan outsourching.
3. narapidana yang melakukan pekerjaan. 3
Program Jaminan Hari Tua Hari tua adalah umur pada saat dimana produktivitas buruh atau pekerja
telah dianggap menurun, sehingga perlu diganti dengan buruhpekerja yang lebih muda termasuk cacat tetap dan total total and permanent
disability yang dapat dianggap sebagai hari tua dini.
20
Hari tua dapat mengakibatkan terputusnya upah karena buruhpekerja tidak mampu lagi
bekerja. Akibat terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kesusahan bagi pekerja dan mempengaruhi ketenangan bekerja sewaktu masih
bekerja, terutama bagi buruh yang memiliki penghasilan rendah. Jaminan hari tua merupakan program perlindungan bagi buruhpekerja dan
keluarganya yang manfaatnyaakan dibayarkan kepada peserta berdasarkan akumulasi dengan memenuhi salah satu persyaratan sebagai berikut :
21
a. Mencapai usia 55 tahun atau meninggal dunia, atau cacat total
tetap.
20
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 190
21
PT Jamsostek, Annual Report PT Jamsostek Tahun 2008, Jakarta; PT Jamsostek, hal.23
b. Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja PHK setelah menjadi
peserta sekurang-kurangnya 5 tahun dengan masa tunggu 6 bulan.
c. Pergi keluar negeri dan tidak kembali, atau menjadi pegawai
negeri. 4
Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Kesehatan kerja pertama kali tertuang dalam Undang-Undang No. 14
Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Ketenagakerjaan serta Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang
menyatakan bahwa kesehatan kerja merupakan bagian dari keselamatan kerja. Selanjutnya Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan mengatur pula mengenai kesehatan kerja pada pasal 108 ayat 2 yang secara jelas menyebutkan bahwa untuk melindungi
kesehatan pekerjaburuh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya kesehatan kerja. Kesehatan kerja atau
disebut juga Hyperkes Hygiene Perusahaan dan Kesehatan berkaitan dengan upaya-upaya :
22
a. Pemeriksaan tenaga kerja, baik pada awal bekerja maupun periodic
selama bekerja; b.
Tambahan gizi bagi tenaga kerja diberikan makan siang atau dalam bentuk lainnya;
c. Kebersihan lingkungan kerja, termasuk pencegahan dan
pengelolahan limbah;
22
Sentanoe Kertonegoro, Sistem Penyelenggaraan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja – Isu Privatisasi Jaminan Sosial, Jakarta: Yayasan Tenaga Kerja Indonesia,
1998, hal. 180
d. Pencegahan dan penaggulangan sumber-sumber yang
membahayakan kesehatan. Menurut
Sujudi
23
berdasarkan Udang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan disebutkan pengertian kesehatan kerja adalah keadaan sejahtera
dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan semua pekerjaburuh dapat bekerja secara sehat dengan produktivitas yang optimal, tanpa
membahayakan diri, keluarga, masyarakat, dan lingkungan kerja sekitarnya. Dalam pasal 23 undang-undang ini disebutkan bahwa
kesehatan kerja merupakan salah satu kegiatan pokok dari pembangunan kesehatan yang mencakup pengertian bahwa :
1. Kesehatan kerja dimaksudkan untuk mewujudkan produktivitas
kerja yang optimal; 2.
Kesehatan kerja meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit yang timbul dari pekerjaan dan syarat kesehatan kerja;
3. Setiap kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja.
Komite kerja sama ILO dan WHO menyebutkan bahwa tujuan kesehatan kerja, yaitu :
24
1. Meningkatkan dan memelihara kesehatan fisik, mental dan sosial
dari pekerjaburuh pada semua jenis pekerjaan untuk meningkatkan kepastian kerjanya;
2. Mencegah terjadinya gangguan kesehatan atau penyakit pada
pekerjaburuh yang disebabkan oleh kondisi kerjanya;
23
Departemen Kesehatan, 2001, hal. 2
24
Adrian Sutedi, hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 198
3. Melindungi pekerja dari risiko akibat faktor-faktor lingkungan
kerja yang mengganggu kesehatan; 4.
Penempatan dan pemeliharaan pekerjaburuh dalam satu lingkungan kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik dan
psikologisnya; 5.
Mengembangkan organisasi dan budaya kerja yang mendukung keselamatan dan kesehatan kerja yang tercermin dalam sistem
manajemen pengembangan sumber daya manusia dan manajemen mutu perusahaan.
B. Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Instrumen Terpenting Dalam Mengawasi Pelaksanaan Jamsostek
1. Mekanisme dan Tata Laksana Pengawasan Norma Ketenagakerjaan
Proses pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan harus berlangsung sesuai mekanisme dengan standard operatif prosedur yang telah ditetapkan
didalam konvensi ILO No.81 Tahun 1947, Undang-undang No. 3 Tahun 1951, Undang-undang No. 1 Tahun 1970 maupun peraturan pelaksana lainnya..
Tata laksana Pengawasan norma ketenagakerjaan yaitu menyangkut upaya pengumpulan, penyimpanan, distribusi serta pengolahan datainformasi
yang berkaitan dengan pengawasan ketenagakerjaan. Operasional merupakan salah satu subsistem dari pengawasan
ketenagakerjaan yang terdiri dari mekanisme, prosedur dan tata kerja pengawasan norma ketenagakerjaan dan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan yang
diperlukan agar pengawasan ketenagakerjaan dapat menjalankan fungsi dan tugasnyasesuai dengan wilayah kerjanya yaitu:
25
1 Pengawasan ditingkat kabupatenkota melaksanakan tugas diwilayah
yang menjadi kewenangan yang meliputi pemeriksaan pertama, pemeriksaan berkala, pemeriksaan ulang dan pemeriksaan khusus.
2 Pengawasan ditingkat provinsi melaksanakan tugas diwilayah yang
menjadi kewenangan yang meliputi pemeriksaan ulang dan pemeriksaan khusus yang tidak terselesaikan ditingkat kabupatenkota.
3 Pemeriksaan ditingkat pusat melaksanakan tugas diseluruh wilayah
Indonesia yang meliputi pemeriksaan ulang dan khusus yang tidak terselesaikan ditingkat kabupatenkota dan provinsi.
Operasional pengawasan norma ketenagakerjaan biasanya meliputi hal- hal sebagai berikut:
26
a Pemasyarakatan Norma Ketenagakerjaan; kegiatan ini dilakukan dalam
bentuk sosialisasi melalui berbagai kesempatan dan media sosialisasi agar masyarakat industri dapat mengetahui dan memahami norma
ketenagakerjaan sehingga diharapkan mampu melaksanakan peraturan perundang-undangan ditempat kerjanya.
b Penerapan Norma Ketenagakerjaan; dalam penerapan norma
ketenagakerjaan dilakukan beberapa tahap pelaksanaan sebagai berikut: 1
Tindakan Preventif Educatif Kegiatan preventif edukatif ini dilakukan melalui pemeriksaan,
pengujian, bimbingan teknis atau konsultasi setelah mendapat
25
Wawancara dengan Dra. Akrida : Pengawas Ketenagakerjaan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, 29 juni 2011
26
Ibid