BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Penderita Diabetes Mellitus tipe 2 yang terkontrol lebih sedikit mengalami kejadian tidak anemia dengan kadar hemoglobin
≥ 13 g dibandingkan dengan kejadian anemia.
2. Penderita Diabetes Mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol lebih banyak mengalami kejadian anemia dengan kadar hemoglobin kurang dari 13
g dibandingkan dengan kejadian tidak anemia. 3. Tidak terdapatnya perbedaan kadar hemoglobin pada pasien laki-laki
berusia lebih dari 40 indikasi rawat inap dengan Diabetes Mellitus tipe 2 yang terkontrol dan tidak terkontrol. Perbedaan tidak signifikan
dengan p=0.281 p0.05.
6.2. Saran
1. Bagi Peneliti Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna dalam
menunjukkan perbedaan kadar hemoglobin pada Diabetes Mellitus tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol. Penelitian selanjutnya
direkomendasikan supaya dapat memperluas populasi, jangan hanya pada satu jenis kelamin dan satu rumah sakit di satu kota saja. Selain
itu, peneliti selanjutnya diharapkan meneliti lamanya seseorang tersebut menderita Diabetes Mellitus tipe 2 dan juga menambahkan
tahun penelitian, jangan hanya pada 1 tahun saja. 2. Bagi Kalangan Medis
Kalangan medis dan sejawat yang lain harus mengetahui dampak Diabetes Mellitus tipe 2 terhadap kesehatan dan melakukan langkah
pencegahan dan bimbingan yang sewajarnya.
Universitas Sumatera Utara
3. Bagi Masyarakat Umum Masyarakat harus peka terhadap masalah dibawa oleh Diabetes
Mellitus tipe 2 terutama pada usia lebih dari 40 tahun dan Diabetes Mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol yaitu terjadinya komplikasi
terutama anemia.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Mellitus 2.1.1. Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus DM bukan merupakan kesatuan penyakit yang tunggal tetapi sebaliknya merupakan sekelompok kelainan metabolik yang memiliki ciri
hiperglikemia yang sama di balik kelainan tersebut. Efek netto tersebut berupa kelainan kronik pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dengan
komplikasi jangka-panjang yang mengenai pembuluh darah, ginjal, mata serta saraf. Di seluruh dunia terdapat lebih dari 140 juta orang yang mengidap penyakit
diabetes dan dengan demikian membuat penyakit ini sebagai salah satu di antara sejumlah penyakit tidak menular yang paling sering ditemukan Mitchel, Kumar,
Abbas, dan Fausto, 2006. Diabetes Mellitus adalah penyakit sindroma metabolik dengan
hiperglikemi atau kedua di antara defisiensi absolut sekresi insulin atau reduksi pada keefektifan insulin Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan
Shoback, 2007.
2.1.2. Epidemiologi Diabetes Mellitus
Tingkat prevalensi Diabetes Mellitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar 16 juta kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis
600.000 kasus baru. Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat
retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita diabetes paling sedikit 2,5 kali lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan mereka yang tidak
menderita diabetes. Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan
ganggren adalah komplikasi yang paling utama. Selain itu, kematian fetus intrauterin pada ibu-ibu yang menderita diabetes tidak terkontrol juga meningkat.
Universitas Sumatera Utara
Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihat berakibat pada biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan, selain konsekuensi finansial karena
banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskular Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012.
Prevalensi DM di seluruh dunia telah meningkat secara dramatis selama dua dekade terakhir, dengan perkiraan 30 juta kasus pada tahun 1985 sampai 382
juta di tahun 2013 Powers, 2008 dalam Fauci, et al., 2008.
Gambar 2.1. Prevalensi Diabetes Mellitus di Seluruh Dunia
Sumber: dikutip dari Fauci, et al., 2008.
2.1.3 Etiologi dan Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi Diabetes Mellitus bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya
akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita Diabetes Mellitus
Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012. Manifestasi klinis Diabetes Mellitus dikaitkan dengan konsekuensi
metabolik defisiensi indulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa
Universitas Sumatera Utara
setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan
diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine poliuria dan timbul rasa haus polidipsia. Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami
keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar polifagia mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien
mengeluh lelah dan mengantuk Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012.
2.1.4. Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi diabetes telah diperkenalkan oleh American Diabetes Association ADA berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis
sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Klasifikasi ini telah disahkan oleh World Health Organization WHO dan telah dipakai di seluruh dunia.
Empat klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa: 1 Diabetes Mellitus tipe 1 2 Diabetes Mellitus tipe 2, 3 diabetes gestational diabetes kehamilan, dan 4
tipe khusus lain Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012.
Universitas Sumatera Utara
Sumber: dikutip dari ADA, 2015
Salah satu bentuk yang sering terjadi, tipe 1 atau Diabetes Mellitus dependen-insulin insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM, disebabkan oleh
defisiensi insulin yang ditimbulkan oleh destruksi otoimun sel-sel di pulau- pulau Langerhans pankreas. Diabetes tipe 1 biasanya timbul sebelum usia 40
tahun sehingga disebut diabetes juvenilis Ganong, 2005. Insidens diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya. Schteingart, 2012 dalam Price, dan
Wilson, 2012. Bentuk tersering kedua, tipe 2, atau diabetes melitus nondependen-insulin
non-insulin-dependent diabetes melllitus, NIDDM, ditandai oleh resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Masih belum jelas mana yang pertama kali
Tabel 2.1. Klasifikasi Dibetes Mellitus
No. Klasifikasi DM
Definisi 1.
Diabetes Mellitus tipe 1 karena
destruksi sel-
, biasanya menyebabkan
kekurangan insulin
absolut. 2.
Diabetes Mellitus tipe 2 karena
pengeluaran insulin
yang progresif menyebabkan resistensi
insulin. 3.
Diabetes Mellitus gestational
diabetes didiagnosa pada trimester kedua atau ketiga kehamilan.
4. Tipe diabetes yang
spesifik karena penyebab lainnya
misalnya syndrome diabetes monogenic seperti diabetes neonatus dan maturity-
onset diabetes of the young [MODY], penyakit pankreas eksokrin seperti
cystic fibrosis, dan diabetes yang diinduksi obat-obatan atau zat kimia
seperti dalam pengobatan HIVAIDS atau setelah transplantasi organ.
Universitas Sumatera Utara
terjadi, tetapi dapat saja terjadi resistensi insulin yang meningkatkan glukosa plasma, yang kemudian merangsang sekresi insulin sampai cadangan sel
terlampaui. Dalam hal ini, kadar insulin plasma biasanya meningkat Ganong, 2005. Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas.
Insidens diabtes tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru setiap tahunnya. Obesitas sering dikaitkan dengan penyakit ini Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson,
2012. Diabetes gestational GDM dikenali pertama kali selama kehamilan dan
memengaruhi 4 dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, da riwayat diabetes
gestational terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah
suatu keadaan diabetogenik Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012.
2.2. Diabetes Mellitus tipe 2 2.2.1. Definisi Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes tipe 2-sebelumnya dikalsifikasikan sebagai non-insulin dependent diabetes- biasanya mengenai seseorang dengan resistensi insulin yang
relative daripada defisiensi insulin absolute. Terhitung 80-90 kasus diabetes di Amerika Serikat. Pasien biasanya dewasa berumur lebih dari 40 tahun dengan
berbagai derajat obesitas Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007.
2.2.2. Prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2
Prevalensi DM Tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6 dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan
kekerapan diabetes antara berbagai kelompok etnik di seluruh dunia, hingga dengan demikian kita dapat membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu
kelompok etnik tertentu dengan kelompok etnik kulit putih pada umumnya. Misalnya di negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan ekonominya
sangat menonjol, seperti di Singapura, kekerapan diabetes sangat meningkat
Universitas Sumatera Utara
dibanding dengan 10 tahun yang lalu. Demikian pula pada beberapa kelompok etnik di beberapa negara yang mengalami perubahan gaya hidup yang sangat
berbeda dengan cara hidup sebelumnya karena memang mereka lebih makmur, kekerapan diabetes bisa mencapai 35 seperti misalnya di beberapa bangsa
Mikronesia dan Polinesia di Pasifik, Indian Pima di AS, orang Meksiko yang ada di AS, bangsa Creole di Mauritius dan Suriname, penduduk asli Australia dan
imigran India di Asia. Prevalensi tinggi juga ditemukan di Malta, Arab Saudi, Indian Canada dan Cina di Mauritius, Singapura dan Taiwan Suyono, S., 2009
dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
2.2.2. 1. Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6,
kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3 dan di Manado 6. Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan
DM di daerah urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69 sedangkan di daerah rural yang dilakukan oleh Augusta Arifin di suatu daerah di Jawa Barat
tahun 1995, Angola itu hanya 1,1. Di sini jelas ada perbedaan antara prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup
mempengaruhi kejadian diabetes Suyono, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Faktor Resiko Dibetes Mellitus tipe 2 Tabel 2.2. Faktor Resiko Dibetes Mellitus tipe 2
No. Faktor Resiko
1. Riwayat keluarga yang menderita diabetes contoh, orang tua atau saudara
kandung dengan diabetes tipe 2 . 2.
Obesitas BMI ≥β5 kgm2 atau overweight
3. Diet yang tidak sehat
4. Aktivitas fisik yang jarang
5. Usia usia yang semakin bertambah meningkatkan resiko diabetes
6. Hipertensi tekanan darah
≥14090 mmHg 7.
Rasetnik contoh, Amerika Afrika, Latin, penduduk asli Amerika, Amerika Asia, penduduk Pulau Pasifik
8. Sebelumnya diidentifikasikan IFG atau IGT
9. Riwayat GDM atau kelahiran bayi 4 kg
Sumber: dikutip dari IDF, 2014
Catatan: BMI: Body Mass Index; IFG: Impaired Fasting Glucose; IGT: Impaired Glucose Tolerance; GDM: Gestational Diabetes Mellitus;
2.2.4. Patogenesis Dibetes Mellitus tipe 2
Diabetes Mellitus tipe 2 sejauh ini merupakan tipe yang lebih sering ditemukan dengan kerentanan genetik yang lebih besar lagi. Penyakit tersebut
tampaknya terjadi karena sekumpulan cacat genetik yang masing-masing menimbulkan risiko predisposisinya sendiri dan dimodifikasi oleh faktor-faktor
lingkungan. Berbeda dengan tipe 1, pada DM tipe 2 tidak ada bukti yang menunjukkan dasar autoimun. Dua defek metabolik utama yang menandai
diabetes tipe 2 adalah resistensi insulin dan disfungsi sel Mitchell, Kumar, Abba, dan Fausto, 2006.
Resistensi Insulin Resistensi insulin merupakan keadaan berkurangnya kemampuan jaringan
perifer untuk berespons terhadap hormon insulin. Sejumlah penelitian fungsional
Universitas Sumatera Utara
pada orang-orang dengan resistensi insulin memperlihatkan sejumlah kelainan kuantitatif dan kualitatif pada lintasan penyampaian sinyal insulin yang meliputi
penurunan jumlah reseptor insulin, penurunan fosforilasi reseptor insulin serta aktivitas tirosin kinase, dan berkurangnya kadar zat-zat antara yang aktif dalam
lintasan penyampaian sinyal insulin. Resistensi insulin diakui sebagai sebuah fenomena yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor genetik serta
lingkungan. Sebagian besar faktor genetik yang berkaitan dengan resistensi insulin masih menjadi misteri karena mutasi pada reseptor insulin itu sendiri
sangat sedikit menyebabkan seseorang mengidap diabetes tipe 2 Mitchell, Kumar, Abba, dan Fausto, 2006.
Di antara faktor-faktor lingkungan, obesitas memiliki korelasi yang paling kuat. Korelasi obesitas dengan diabetes tipe 2 telah dikenali selama beberapa
dekade dan resistensi insulin menjadi kelainan yang mendasarinya. Risiko terjadinya diabetes meningkat seiring indeks massa tubuh ukuran untuk
menentukan kandungan lemak tubuh dan resistensi insulin. Faktor-faktor yang mungkin memengaruhi resistensi insulin pada obesitas meliputi kadar asam lemak
bebas yang tinggi di dalam darah dan sel ini dapat memengaruhi fungsi insulin lipotoksisitas dan sejumlah sitokin yang dilepaskan oleh jaringan adiposa
adipokin; sitokin ini meliputi leptin, adiponektin, dan resistin. PPAR- Peroxisome Proliferator-Activated Receptor gamma, yaitu suatu reseptor
nukleus adiposit yang diaktifkan oleh kelas preparat antidiabetik baru yang dinamakan thiazolidinedion dapat memodulasi ekspresi gen dalam adiposit dan
hal ini akhirnya akan mengurangi resistensi insulin Mitchell, Kumar, Abba, dan Fausto, 2006.
Disfungsi sel- Disfungsi sel- bermanifestasi sebagai sekresi insulin yang tidak adekuat
dalam memghadapi resistensi dan hiperglikemia. Disfungsi sel- bersifat kualitatif hilangnya pola sekresi insulin normal yang berayun [osilasi] dan pulsatil serta
pelemaan fase pertama sekresi insulin cepat yang dipicu oleh peningkatan glukosa plasma maupun kuantitatif berkurangnya massa sel-
, degenerasi pulau
Universitas Sumatera Utara
Langerhans, dan pengendapan amiloid dalam pulau Langerhans Mitchell, Kumar, Abba, dan Fausto, 2006.
2.2.5. Gejala Klinis Dibetes Mellitus tipe 2
Pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2 selalu memperlihatkan karakteristik gejala dan tanda Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan
Shoback, 2007. Gejala klasik seperti poliuri, haus, penglihatan kabur yang berulang,
parastesia, dan kelelahan adalah manifestasi dari hiperglikemi dan diuresis osmosis dan karena itu merupakan kedua bentuk dari diabetes. Bagaimanapun,
banyak pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2 yang mempunyai onset hiperglikemia yang tersembunyi dan membahayakan dan yang awalnya relatif
tanpa gejala. Hal ini yang terutama berlaku pada pasien obesitas, yaitu diabetes dapat dideteksi setelah glikosuria atau hiperglikemia yang tercatat selama studi
laboratorium rutin. Infeksi kulit yang kronis biasa terjadi. Kadang-kadang, seseorang pria dengan diabetes yang tidak terdiagnosa mempunyai gejala
impotensi Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007. Pasien yang tidak obesitas dengan bentuk ringan diabetes sering kali tidak
ada temuan karakteristik fisik. Pasien obesitas dengan diabetes tipe 2 mungkin memiliki distribusi lemak; namun diabetes terlihat lebih sering dikaitkan pada
wanita dan pria dengan lokasi dari deposit lemak di bagian atas tubuh terutama perut, dada, leher dan wajah dan relatif lebih sedikit pada bagian tubuh
pelengkap, yang mungkin bagian muskular. Distribute lemak yang sentripetal disebut
“android” dengan karakteristiknya perbandingan puncak pinggang sampai pinggul. Berbeda dari yang sentrifugal bentuk
“gynecoid” obesitas, dimana lokasi lemak di pinggul dan paha dan sedikit pada bagian atas tubuh. Hipertensi ringan
mungkin menunjukkan pasien obesitas dengan diabetes tipe 2, terutama ketika bentuk
“android” obesitas lebih utama Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007.
Universitas Sumatera Utara
2.2.6. Diagnosis Diabetes Mellitus tipe 2 Tabel 2.3. Kriteria Diagnostik DM
No. Kriteria
1. Gejala diabetes dan konsentrasi glukosa darah random
≥ 11,1 mmolL 200 mgdL atau
2. Glukosa plasma puasa
≥ 7,0 mmolL 126mgdL atau 3.
Hemoglobin A1C ≥ 6,5 atau
4. Glukosa plasma 2 jam
≥ 11,1 mmolL 200 mgdL selama tes toleransi glukosa oral.
Sumber: dikutip dari ADA, 2007
Toleransi glukosa diklasifikasikan ke dalam 3 kategori: homeostatis glukosa yang normal, DM, atau gangguan homeostatis glukosa. Toleransi glukosa
bisa dinilai menggunakan glukosa plasma puasa fasting plasma glucose FPG, respon glukosa oral, atau hemoglobin A1C HbA1C. Nilai FPG 5,6 mmolL
100 mgdL, glukosa plasma 140 mgdL 11,1 mmolL diikuti dengan glukosa oral, dan HbA1C 5,7 dianggap untuk menetapkan toleransi glukosa yang
normal. The International Expert Committee dengan anggota yang ditetapkan ADA, asosiasi Eropa untuk penelitian diabetes, dan IDF telah mengeluarkan
kriteria untuk diagnostik DM Tabel 2.1. berdasarkan beberapa alasan: 1 FPG,
respon terhadap glukosa oral tes toleransi glukosa oral [oral glucose tolerance testOGTT], dan perbedaan HbA1C diantara setiap orang, dan 2 DM
didefinisikan dengan tingkatan glikemi dimana komplikasi spesifik terjadi bukan pada deviasi rata-rata berdasarkan populasi. Sebagai contoh, prevalensi retinopati
di Native Americans populasi Pima Indian dimulai dengan peningkatan FPG 6,4 mmolL 116mgdL. FPG
≥ 7.0 mmolL 126 mgdL, glukosa ≥ 11.1 mmolL 200 mgdL 2 jam setelah glukosa oral, atau HbA1C
≥ 6.5 menjamin diagnosis DM Tabel 2.1.. Konsentrasi glukosa plasma acak
≥ 11.1 mmolL 200mgdL disertai gejala klasik DM poliuri, polidipsi, kehilangan berat badan
cukup untuk mendiagnosis DM Tabel 2.1..
Universitas Sumatera Utara
Homeostatis glukosa yang abnormal didefinisikan sebagai: 1 FPG = 5.6 – 6.9 mmolL 100-125 mgdL, dimana didefinisikan sebagai gangguan glukosa
puasa IFG; 2 Kadar plasma glukosa antara 7.8 dan 11 mmolL 140 dan 199 mgdL diikuti glukosa oral, dimana disebut sebagai gangguan toleransi glukosa
IGT; atau 3 HbA1C 5.7 – 6.4 . Beberapa menggunakan istilah, prediabetes,
peningkatan resiko deiabetes atau hiperglikemi intermediate WHO untuk kategori DM.
Kriteria saat ini untuk diagnosis DM menekankan pada tes HbA1C atau FPG yang dapat dipercaya dan sesuai untuk megindentifikasi DM pada
individu yang tidak mempunyai bagaimanapun, beberapa mungkin mempunyai kriteria untuk 1 jenis tes tetapi tidak untuk tes yang lain. OGTT
, meskipun
masih valid untuk mendiagnosis DM, tetapi jarang digunakan pada pemeriksaan rutin.
Powers, 2008 dalam Fauci, et al., 2008.
2.2.7. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus tipe 2
Pilar penalataksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa pemberian edukasi, perencanaan makanterapi nutrisi medik,
kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat bera badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologi tersebut
belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM, maka dilanjutkan dengan penggunaan yang perlu penambahan terapi medikamentosa atau intervensi
farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan makan dan aktifitas fisik yang sesuai. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu
diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya
hiperglikemia Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus,
Setiati, 2009.
2.2.7.1. Farmakoterapi
a. Golongan Insulin Sensitizing Biguanid
Saat ini golongsn biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan hati,
Universitas Sumatera Utara
tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Proses tersebut berjalan dengan cepat sehingga metformin bisanya diberikan dua
sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk extended release. Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam
darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan
waktu paruh 2,5 jam Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi,
Alwi, Marcellus, Setiati, 2009. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian
glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Di samping
berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada komponen lain resistensi insulin yaitu pada lipid, tekanan darah, dan juga
pada plasmino-gen activator inhibitor PAI-1 Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
Metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta pankreas sehingga tidak mengakibatkan hipoglikemia dan penambahan berat badan.
Pemberian metformin dapat menurunkan berat badan ringan hingga sedang akibat penekanan nafsu makan dan menurunkan hiperinsulinemia
akibat resistensi insulin, sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. Metformin dapat digunakan
sebagai monoterapi dan sebagai terapi kombinasi dengan sulfonyurea SU, repaglinid, nateglinid, penghambat alfa glikosidase, dan glitazone.
Pada pemakaian tunggal metformin dapat menurunkan glukosa darah sampai 20 dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun.
Penelitian klinik memberikan hasil monoterapi yang bermakna dalam penurunan glukosa darah puasa 60-70 mgdL dan HbA1c 1-2 dan
dibandingkan dengan plasebo pada pasien yang tidak dapat terkendali hanya dengan diet. Pada pemakaian kombinasi dengan SU, hipoglikemia
dapat terjadi akibat pengaruh SU-nya. Pengobatan terapi kombinasi
Universitas Sumatera Utara
dengan obat anti diabetes yang lain dapat menurunkan HbA1c 3-4 Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati,
2009. Efek samping gastrointestinal tidak jarang ~50 didapatkan pada
pemakaian awal metformin dan ini dapat dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan bersamaan dengan
makanan. Efek samping lain yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, meski kejadiannyab cukup jarang 0,03 per 1000 pasien namun berakibat
fatal pada 30-50 kasus. Pada gangguan fungsi ginjal yang berat, metformin dosis tinggi akan berakumulasi di mitokondria dan
menghambat proses fosforilasi oksidatif sehingga mengakibatkan asidosis laktat yang dapat diperberat dengan alkohol. Untuk menghindarinya
sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal kreatinin1,3 mgdL pada perempuan dan 1,5 mddL pada laki-laki
Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
Glitazone Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan mencapai konsentrasi
tertinggi terjadi setelah 1-2 jam. Makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam bagi
rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazon Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
Glitazon Thiazolidinediones, merupakan agonist peroxisomje proliferator-activated receptor gamma PPARa yang sangat selektif dan
poten. Reseptor PPARa terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati. Glitazon merupakan regulator
homeostatis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin. Sama seperti metformin, glitazon tidak menstimulasi produksi insulin oleh sel beta
pankreas bahkan menurunkan konsentrasi insulin lebih besar daripada metformin. Mengingat efeknya dalam metabolisme glukosa dan lipid,
glitaxon dapat meningkatkan efisiensi dan respons sel beta pankreas
Universitas Sumatera Utara
dengan menurunkan glukotoksisitas dan lipotoksisitas Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
Glitazon dapat menyebabkan penambahan berat badan yang bermakna sama atau bahkan lebih dari SU serta edema. Keluhan infeksi
saluran nafas atas 16, sakit kepala 7,1 dan anemia dilusional penurunan hemoglobin Hb sekitar 1 grdL juga dilaporkan. Insiden
fraktur ekstremitas distal pada wanita pasca menopause dilaporkan meningkat. Pemakaian glitazon dihentikan bila terdapat kenaikan enzim
hati ALT dan AST lebih dari tiga kali batas atas normal Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
b. Golongan Sekretagok Insulin Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara
stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi SU dan non SU glinid Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi,
Marcellus, Setiati, 2009. Sulfonilurea SU
SU telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal
pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. SU sering digunakan sebagai
terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meingkatkan atau mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang
panjang dengan sedikit efek samping termasuk hipoglikemia dan relatif murah Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus,
Setiati, 2009. Efek akut obat golongan sulfonilurea berbeda dengan efek pada
pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada pemakaian jangka lama 12
minggu, masa paruhnya memanjang sampai 12 jam. Bahkan sampai 20 jam pada pemakaian kronik dengan dosis maksimal. Karena itu
Universitas Sumatera Utara
dianjurkan untuk memakai glibenklamid sehari sekali Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan, sehingga hanya bermanfaat
pada pasien yang masih mampu mensekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1 Soegondo, S., 2009
dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009. Hipoglikemia merupakan efek samping terpentinga dari SU
terutaam bila asupan pasien tidak adekuat. Selain itu terjadi kenaikan berat badan sekitar 4-6 kg, gangguan pencernaan, fotosensitifitas, gangguan
enzim hati dan flushing Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
Glinid Mekanisme kerja glinid juga melalui reseptor sulfonilurea SUR
dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea, perbedaannya dengan SU adalah pada masa kerjanya yang lebih pendek. Mengingat lama
kerjanya yang pendek maka glinid digunakan sebagai obat prandial. Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat
menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat karena lama menempel pada kompkeks SUR sehingga dapat
menurunkan ekuivalen HbA1c pada SU Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
2.2.7.2 Terapi Non Farmakologis pada Diabetes Mellitus
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes diabetisi.
Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah melakuakan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan
Universitas Sumatera Utara
modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain: menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah sistolik
dan diastolik, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid, meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, dan memperbaiki sistem
koagulasi darah. Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo,
Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009: 1. Kadar glukosa darah mendekati normal: glukosa puasa
berkisar 90-130 mgdl, glukosa darah 2 jam setelah makan 180 mgdl, kadar HbA1C 7
2. Tekanan darah 13080 mmHg 3. Profil lipid: kolesterol LDL100 mgdl, kolesterol HDL40
mgdl, trigliserida 150 mgdL 4. Berat badan senormal mungkin
Pada tingkat individu target pencapaian terapi gizi medis ini lebih difokuskan pada perubahan pola makan yang didasarkan pada perubahan
gaya hidup damn pola kebiasaan makan, status nutrisi dan faktor khusus lain yang perlu diberikan prioritas Pencapaian target perlu dibicarakan
bersama dengan diabetisi, sehingga perubahan pola makan yang dianjurkan dapat dengan mudah dilaksanakan, realistik dan sederhana.
Petugas kesehatan harus dapat menentukan jumlah, komposisi dari makanan yang akan dimakan oleh diabetisi. Diabetisi harus dapat
melakukan perubahan pola makan ini secara konsisten baik dalam jadwal, jumlah dan jenis makanan sehari-hari. Komposisi bahan makanan
terdiri terdiri dari makronutrien yang meliputi karbohidrat, protein, dan lemak, seta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur
sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi,
Marcellus, Setiati, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Karbohidrat Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetisi
tidak boleh lebih dari 55-65 dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70 jika dikombinasikan dengan
pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal MUFA = monounsaturated fatty acid. Pada setiap gram karbohidrat
terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
Protein Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15
dari total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram per
hari, maka perlu ditambahkan pemberian suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4
kilokalorigram Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
Lemak Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per
gramnya. Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, dan K.
Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan
lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering
dijumpai pada diabetisi. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal monounsaturated fatty acid = MUFA, merupakan salah satu
asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat
menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak
tidak jenuh rantai panjang polyunsaturated acid = PUFA dapat
Universitas Sumatera Utara
melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang
dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar
VLDL di jaringan perifer, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo,
Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
Pengelolaan DM yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik merupakan salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal
lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan oleh semua orang termasuk diabetisi sebagai kegiatan sehari-hari, seperti
misalnya: bangun tidur, memasak, berpakaian, mencuci, makan bahkan tersenyum. Berangkat kerja, bekerja, berbicara, berfikir, tertawa,
merencanakan kegiatan esok, kemudian tidur. Semua kegiatan tadi tanpa disadari oleh diabetisi, telah sekaligus menjalankan pengelolaan terhapa
DM sehari-hari. Anjuran untuk melakukan kegiatan fisik bagi diabetisi telah dilakukan sejak seabad yang lalu oleh seorang dokter dari dinasti
Sui di China, dan manfaat kegiatan ini masih harus diteliti oleh para ahli hingga kini. Kesimpulan sementara dari penelitian itu ialah bahwa
kegiatan fisik diabetisi tipe 1 maupun 2, akan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular dan meningkatkan harapan hidup. Kegiatan fisik
akan meningkatkan rasa nyaman, baik secara fisik, psikis maupun sosial dan tampak sehat Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi,
Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
2.2.8. Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2
Menurut Joeharno, M., 2009 dalam Jafar, N., 2009, stategi penanggulangan Diabetes Mellitus tipe 2 adalah sebagai berikut:
a. Primordial prevention
Universitas Sumatera Utara
Primordial prevention merupakan upaya untuk mencegah terjadinya risiko atau mempertahankan keadaan risiko rendah dalam
masyarakat terhadap
penyakit secara
umum. Pada
upaya penanggulangan DM, upaya pencegahan yang sifatnya primordial
adalah : 1. Intervensi terhadap pola makan dengan tetap mempertahankan pola
makan masyarakat yang masih tradisional dengan tidak membudayakan pola makan cepat saji yang tinggi lemak.
2. Membudayakan kebiasaan puasa senin dan kamis. 3. Intervensi terhadap aktifitas fisik dengan mempertahankan
kegiatan-kegiatan masyarakat sehubungan dengan aktivitas fisik berupa olahraga teratur lebih mengarahkan kepada masyarakat
kerja dimana kegiatan-kegiatan masyarakat yang biasanya aktif secara fisik seperti kebiasaan berkebun sekalipun dalam lingkup
kecil namun dapat bermanfaat sebagai sarana olahraga fisik. 4. Menanamkan kebiasaan berjalan kaki kepada masyarakat.
b. Health promotion Health promotion sehubungan dengan pemberian muatan informasi
kepada masyarakat sehubungan dengan masalah kesehatan. Dan pada upaya pencegahan DM, tindakan yang dapat dilakukan adalah :
1. Pemberian informasi tentang manfaat pemberian ASI eksklsif kepada masyarakat khususnya kaum perempuan untuk mencegah
terjadinya pemberian susu formula yang terlalu dini. 2. Pemberian informasi akan pentingnya aktivitas olahraga rutin
minimal 15 menit sehari.
c. Spesific protection Spesific protection dilakukan dalam upaya pemberian perlindungan
secara dini kepada masyarakat sehubungan dengan masalah kesehatan. Pada beberapa penyakit biasanya dilakukan dalam bentuk pemberian
Universitas Sumatera Utara
imunisasi namun untuk perkembangan sekarang, Diabetes Mellitus dapat dilakukan melalui:
1. Pemberian penetral radikal bebas seperti nikotinamid. 2. Mengistirahatkan sel-beta melalui pengobatan insulin secara dini.
3. Penghentian pemberian susu formula pada masa neonatus dan bayi sejak dini.
4. Pemberian imunosupresi atau imunomodulasi.
d. Early diagnosis and promp treatment Early diagnosis and prompt treatment dilakukan sehubungan
dengan upaya pendeteksian secara dini terhadap individu yang nantinya mengalami DM dimasa mendatang sehingga dapat dilakukan
upaya penanggulangan sedini mungkin untuk mencegah semakin berkembangnya risiko terhadap timbulnya penyakit tersebut. Upaya
sehubungan dengan early diagnosis pada DM adalah dengan melakukan :
1. Melakukan skrining DM di masyarakat. 2. Melakukan survei tentang pola konsumsi makanan di tingkat
keluarga pada kelompok masyarakat.
e. Disability limitation Disability limitation adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk
mencegah dampak lebih besar yang diakibatkan oleh DM yang ditujukan kepada seorang yang telah diangap sebagai penderita DM
karena risiko keterpaparan sangat tinggi. Upaya yang dapat dilakukan adalah :
1. Pemberian insulin yang tepat waktu. 2. Penanganan secara komprehensif oleh tenaga ahli medis di rumah
sakit. 3. Perbaikan fasilitas-fasilitas pelayanan yang lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
f. Rehabilitation Rehabilitation ditujukan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan
kembali pada individu yang telah mengalami sakit. Pada penderita DM, upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan adalah :
1. Pengaturan diet makanan sehari-hari yang rendah lemak dan pengkonsumsian makanan karbohidrat tinggi yang alami.
2. Pemeriksaan kadar glukosa darah secara teratur dengan melaksanakan pemeriksaan laboratorium komplit minimal sekali
sebulan. 3. Penghindaran atau penggunaan secara bijaksana terhadap obat-obat
yang diabetagonik.
2.2.9. Edukasi Diabetes Mellitus tipe 2
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri
membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai
keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif, pengembangan keterampilan dan motivasi Perkeni, 2006.
Edukasi tersebut meliputi pemahaman tentang: 1. Penyakit DM.
2. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM. 3. Penyulit DM.
4. Intervensi farmakologis dan non farmakologis. 5. Hipoglikemia.
6. Masalah khusus yang dihadapi. 7. Perawatan kaki pada diabetes.
8. Cara pengembangan sistem pendukung dan pengajaran keterampilan.
9. Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
Edukasi secara individual atau pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku
hampir sama dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi Perkeni, 2006.
2.2.10. Komplikasi Diabetes Mellitus
Peningkatan insidensi DM akan diikuti oleh mengingkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM. Berbagai penelitian prospektif jelas
menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti
penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah Waspadji, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
2.2.10.1 Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes
memiliki risiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Risiko mengalami retinopati pada pasien diabetes meningkat
sejalan dengan lamanya diabetes. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis diabetes ditegakkan, sekitar 25 sudah menderita retinopati diabetik
nonproliferatif background retinopathy. Setelah 20 tahun, prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60 dalam berbagai
derajat Pandelaki, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetik non-proliferatif sampai perdarahan retina, kemudian
juga ablasio retina dan lebih lanjut dapat mengakibatkan kebutaan. Diagnosis dini retinopati dapat diketahui melalui pemeriksaan retina
secara rutin.Pada praktik pengelolaan DM sehari-hari, dianjurkan untuk memeriksa retina mata pada kesempatan pertama pertemuan dengan
penyandang DM dan kemudia setiap tahun atau lebih cepat lagi kalau
Universitas Sumatera Utara
diperlukan sesuai dengan keadaan kelainan retinanya Waspadji, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
2.2.10.2. Nefropati Diabetik
Pada umumnya, nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien DM yang ditandai dengan albuminuria menetap 300
mg24 jam pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan. Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetik merupakan
penyebab utama gagal ginjal terminal. Di Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di antara semua
komplikasi DM. Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada DM lebih banyak dipelajari pada DM tipe 1 dari pada tipe 2, dan oleh Mogensen
dibagi menjadi 5 tahapan Hendromartono, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
Tahap 1, terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan. Laju filtrasi glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam urin
meningkat. Tahap 2, secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi glomerulus tetap meningkat, ekskresi albumin dalam urin dan
tekanan darah normal. Terdapat perubahan histologis awal berupa penebalan membrana basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula
peningkatan volume mesangium farksional dengan peningkatan matriks mesangium. Tahap 3, pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau
nefropati insipien. Laju filtrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 20-200
igmenit 30-300 mg24 jam. Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membranan basalis dan
volume mesangium fraksional dalam glomerulus. Tahap 4, merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih jelas, juga
timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi glomerulus menuru, sekitar 10
mlmenittahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
tingginya tekanan darah. Tahap 5, timbulya gagal ginjal terminal Hendromartono, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus,
Setiati, 2009.
2.2.10.3. Neuropati Diabetik
Neuropati Diabetik ND merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering ditemukan pada DM. Risiko yang dihadapi pasien DM
dengan ND antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh- sembuh dan amputasi jarikaki. Kondisi inilah yang menyebabkan
bertambahnya angka kesakitan dan kematian, yang berakibat pada meningkatnya biaya pengobatan pasien DM dengan ND. Manifestasi ND
bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan dan hanya bisa terdeteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang hebat.
Bisa juga keluhannya dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik, yang semua itu bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi
Subekti, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.
2.3 Darah
Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup, mulai dari binatang primitif sampai manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu berada dalam
pembuluh darag sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai : a pembawa oksigen oxygen carrier; b mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi; dan
c mekanisme hemostasis. Darah terdiri atas 2 komponen utama:
1. Plasma darah: bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air, elektrolit dan protein darah.
2. Butir-butir darah blood corpuscles, yang terdiri atas: a. eritrosit : sel darah merah SDM - red blood cell RBC
b. leukosit : sel darah putih SDP - white blood cell WBC c. trombosit : butir pembeku - platelet
Universitas Sumatera Utara
Plasma darah dikurangi protein pembekuan darah disebut sebagai serum. Bakta, 2003.
2.3.1 Sel Darah Merah
Eritrosit sel darah merah hidup dan beredar dalam darah tepi life span rata-rata selama 120 hari. Setelah 120 hari eritrosit mengalami proses penuaan
senescence kemudian dikeluarkan dari sirkulasi oleh sistem RES. Apabila destruksi eritrosit terjadi sebelum waktunya 120 hari maka proses ini disebut
sebagai hemolisis Bakta, 2003.
2.3.2 Struktur Sel Darah Merah
Eritrosit matang merupakan suatu cakram bikonkaf dengan diameter sekitar 7 mikron. Eritrosit merupakan sel dengan struktur yang tidak lengkap. Sel
ini hanya terdiri atas membran dan sitoplasma tanpa inti sel. Komponen eritrosit terdiri atas:
1. Membran eritrosit 2. Sistem enzim; yang terpenting: dalam Embden Meyerhoff pathway:
pyruvate kinase; dalam pentose pathway: enzim G6PD glucose 6- phospate dehydrogenase
3. Hemoglobin: berfungsi sebagai alat angkut oksigen. Komponennya terdiri atas:
a. heme, yang merupakan gabugan protoporfirin dengan besi b. globin: bagian protein yang terdiri atas 2 rantai alfa dan 2 rantai beta.
Perubahan struktur eritrosit akan menimbulkan kelainan.Kelaimam yang timbul karena kelainan membran disebut sebagai membranopati, kelainan akibta
gangguan sistem enzim eritrosit disebut ensimopati, sedangkan kelainan akibat gangguan struktur hemoglobin disebut sebagai hemoglobinopati Bakta, 2003.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Hemoglobin
Pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah merah vertebrata adalah hemoglobin, yakni suatu protein dengan berat molekul 64.450. Hemoglobin
adalah molekul yang berbentuk bulat dan terdiri atas empat subunit dua rantai polipeptida
α dan dua rantai polipeptida . Tiap-tiap subunit mengandung satu gugus heme yang terkonjugasi oleh suatu polipeptida. Heme adalah suatu derivate
porfirin yang mengandung besi. Polipeptida-polipeptida itu secara kolektif disebut sebagai bagian globin dari molekul hemoglobin. Ada dua pasang
polipeptida di setiap molekul hemoglobin Ganong, 2005. Hemoglobin melakukan pengiriman oksigen secara normal ke jaraingan;
hal ini juga dilakukan erythisytesin dalam konsentrasi tinggi yang dapat mengubah
bentuk, deformabilitas,
dan viskositas
sel darah
merah. Hemoglobinopati adalah gangguan yang mempengaruhi struktur, fungsi, atau
produksi dari hemoglobin. Kondisi ini biasanya diwariskan dan tingkat keparahannya berkisar dari laboratorium yang abnormal dan asimtomatik sampai
pada kematian di dalam rahim. Bentuk yang berbeda digambarkan pada anemia hemolitik, eritrositosis, sianosis, atau vasooklusif stigmata Benz, 2008 dalam
Fauci, et al., 2008.
2.4.1. Struktur Hemoglobin
Hemoglobin diproduksi selama masa embrionik, janin, dan kehidupan dewasa. Setiap hemoglobin terdiri dari tetramer globin rantai polipeptida:
sepasang rantai α seperti 141 asam amino yang panjang dan sepasang rantai ß
seperti 146 asam amino yang panjang. Hemoglobin yang sudah dewasa, HbA, mempunyai struktur
αβ, ß2. HbF αβyβ mendominasi selama sebagian besar masa kehamilan, dan HbA2
αβ delta2 adalah hemoglobin dewasa yang minor. Setiap rantai globin membungkus satu bagian heme tunggal, yang terdiri
dari cincin kompleks dengan atom besi tunggal pada ferrous Fe2+. Setiap bagian heme dapat mengikat molekul oksigen tunggal; setiap molekul hemoglobin
dapat mengangkut hingga empat molekul oksigen.
Universitas Sumatera Utara
Rangkaian asam amino dari berbagai globin sangat homolog satu dengan yang lain. Masing-masing memiliki struktur sekunder yang sangat heliks. Struktur
tersier globular menyebabkan permukaan luar menjadi asam amino hidrofilik dengan solubilitas yang tinggi, dan bagian dalam dibatasi dengan golongan
nonpolar, bentuk hidrofobik dimana ada heme. Struktur kuarterner tetramerik dari HbA mengandaung 2 dimer
αß. Banyak interaksi yang kuat e.g., hubungan αlß1 memegang rantai
α dan ß bersama-sama. Tetramer yang komplit dibentuk bersama oleh permukaan antara rantai
α dari 1 dimer dan rantai non-α dari dimer lainnya. Tetramer hemoglonin sangatlah mudah larut, teteapi rantai globin tidak
mudah larut Benz, 2008 dalam Fauci, et al., 2008.
2.4.2. Kadar Hemoglobin
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung
erotrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal.
Harga normal hemoglobin sangat bervariadi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Oleh
karena itu perlu ditentukan titik pemilah cut off point di bawah kadar mana kita anggap terdapat anemia Bakta 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus,
Setiati, 2009.
Tabel 2.4. Kadar Hemoglobin Menurut WHO
No. Kelompok
Kadar Hemoglobin Hb 1.
Laki-laki dewasa 13 gdl
2. Wanita dewasa tidak hamil
12 gdl 3.
Wanita hamil 11 gdl
Sumber: dikutip dari Hoffbrand AV, et al., 2001
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.5. Kadar Hemoglobin untuk Diagnosis Anemia
No. Populasi
Tidak Anemia Anemia
Ringan Sedang
Berat 1.
Anak 6-59 bulan 110 atau lebih
100-109 70-99
70 2.
Anak 5-11 tahun 115 atau lebih
110-114 80-109
80 3.
Anak 12-14 tahun 120 atau lebih
110-119 80-109
80
4. Wanita tidak hamil
≥ 15 tahun 120 atau lebih
110-119 80-109
80
5. Wanita hamil
110 atau lebih 100-10
70-99 70
6. Pria
≥ 15 tahun 130 atau lebih
110-129 80-109
80 Sumber: dikutip dari WHO, 2011. Haemoglobin concentrations for the
diagnosis of anaemia and assessment of severity [diakses tanggal 10 Oktober 2015].
2.5. Diabetes Mellitus tipe 2 dan Kadar Hemoglobin
Diabetes adalah penyebab utama Penyakit Ginjal Kronis Chronic Kidney Disease, CKD dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular. Anemia umumnya berhubungan dengan diabetes dan CKD dan berperan besar dalam hasil klinis pasien. Sebuah studi observasional
menunjukkan bahwa kadar Hemoglobin Hb yang rendah pada pasien DM dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit ginjal serta morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular Mehdi dan Toto, 2009. Patogenesis anemia pada diabetes merupakan akibat dari kurangnya
sintesis serta pelepasan eritropietin, peradangan sistemik, kekurangan zat besi dan kemungkinan faktor iatrogenik, seperti penggunaan Angiotensin Converting
Enzyme inhibitor ACE-I. Terjadinya anemia pada penyakit ginjal kronik berhubungan dengan penurunan Glomerulus Filtration Rate GFR dan keadaan
Universitas Sumatera Utara
ini dianggap menjadi faktor risiko yang penting pada gangguan sistem di kardiovaskular. Oleh karena itu, penting untuk mendiagnosa anemia secara tepat.
Bonakdaran, Gharebaghi, Vahedian, 2011. Anemia pada pasien diabetes dengan CKD menunjukkan lebih dari satu
lebih mekanisme. Penyebab utama anemia pada pasien CKD adalah defisiensi besi dan eritropoietin dan hiporesponsif dari eritropoietin Mehdi dan Toto, 2009.
a. Defisiensi besi Defisiensi besi pada masyarakat umum merupakan penyebab umum
anemia dan lazim pada pasien dengan diabetes dan CKD. Analisis terbaru dari National Health and Nutrition Examination Survey IV menunjukkan bahwa
sampai 50 pasien dengan CKD stadium 2-5 mempunya defisiensi besi yang absolut atau relatif fungsional. Pada CKD, defisiensi besi absolut dan relatif
adalah hal yang biasa. Defisiensi besi absolut didefinisikan dengan deplesi dari penyimpanan jaringan besi yang dibuktikkan dengan kadar serum ferritin 100
ngml atau saturasi transferrin 20. Anemia defisiensi besi fungsional adalah jaringan besi yang adekuat yang didefinisikan dengan kadar serum ferritin
≥100 ngml dan reduksi pada saturasi besi.
b. Defisiensi dan hiporesponsif eritropoietin Defisiensi dan hiporesponsif eritropoietin berperan dalam kejadian anemia
pada pasien diabetes dengan CKD. Penyebab defisiensi eritropoietin diduga karena pengurangan massa ginjal dengan akibat penurunan hormon.
Hiporesponsif secara klinis diartikan sebagai dosis tinggi dari eritropoietin untuk meningkatkan kadar Hb dengan tidak adanya defisiensi besi. Hal ini diyakini
untuk menggambarkan aksi gangguan antiapoptosis dari eritropoietin pada proeritroblast. Penyebab yang mungkin dari hiporesponsif eritropoietin adalah
peradangan sistemik dan kerusakan mikrovaskular di sumsum tulang. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa faktor-faktor lain misalnya, kegagalan
otonom mungkin berperan dalam gangguan produksi eritropoietin atau sekresi oleh gagal ginjal.
Universitas Sumatera Utara
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang