Farmakoterapi Penatalaksanaan Diabetes Mellitus tipe 2

Homeostatis glukosa yang abnormal didefinisikan sebagai: 1 FPG = 5.6 – 6.9 mmolL 100-125 mgdL, dimana didefinisikan sebagai gangguan glukosa puasa IFG; 2 Kadar plasma glukosa antara 7.8 dan 11 mmolL 140 dan 199 mgdL diikuti glukosa oral, dimana disebut sebagai gangguan toleransi glukosa IGT; atau 3 HbA1C 5.7 – 6.4 . Beberapa menggunakan istilah, prediabetes, peningkatan resiko deiabetes atau hiperglikemi intermediate WHO untuk kategori DM. Kriteria saat ini untuk diagnosis DM menekankan pada tes HbA1C atau FPG yang dapat dipercaya dan sesuai untuk megindentifikasi DM pada individu yang tidak mempunyai bagaimanapun, beberapa mungkin mempunyai kriteria untuk 1 jenis tes tetapi tidak untuk tes yang lain. OGTT , meskipun masih valid untuk mendiagnosis DM, tetapi jarang digunakan pada pemeriksaan rutin. Powers, 2008 dalam Fauci, et al., 2008.

2.2.7. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus tipe 2

Pilar penalataksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa pemberian edukasi, perencanaan makanterapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat bera badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologi tersebut belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM, maka dilanjutkan dengan penggunaan yang perlu penambahan terapi medikamentosa atau intervensi farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan makan dan aktifitas fisik yang sesuai. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.

2.2.7.1. Farmakoterapi

a. Golongan Insulin Sensitizing  Biguanid Saat ini golongsn biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan hati, Universitas Sumatera Utara tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Proses tersebut berjalan dengan cepat sehingga metformin bisanya diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk extended release. Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2,5 jam Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Di samping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada komponen lain resistensi insulin yaitu pada lipid, tekanan darah, dan juga pada plasmino-gen activator inhibitor PAI-1 Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009. Metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta pankreas sehingga tidak mengakibatkan hipoglikemia dan penambahan berat badan. Pemberian metformin dapat menurunkan berat badan ringan hingga sedang akibat penekanan nafsu makan dan menurunkan hiperinsulinemia akibat resistensi insulin, sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai terapi kombinasi dengan sulfonyurea SU, repaglinid, nateglinid, penghambat alfa glikosidase, dan glitazone. Pada pemakaian tunggal metformin dapat menurunkan glukosa darah sampai 20 dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Penelitian klinik memberikan hasil monoterapi yang bermakna dalam penurunan glukosa darah puasa 60-70 mgdL dan HbA1c 1-2 dan dibandingkan dengan plasebo pada pasien yang tidak dapat terkendali hanya dengan diet. Pada pemakaian kombinasi dengan SU, hipoglikemia dapat terjadi akibat pengaruh SU-nya. Pengobatan terapi kombinasi Universitas Sumatera Utara dengan obat anti diabetes yang lain dapat menurunkan HbA1c 3-4 Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009. Efek samping gastrointestinal tidak jarang ~50 didapatkan pada pemakaian awal metformin dan ini dapat dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan bersamaan dengan makanan. Efek samping lain yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, meski kejadiannyab cukup jarang 0,03 per 1000 pasien namun berakibat fatal pada 30-50 kasus. Pada gangguan fungsi ginjal yang berat, metformin dosis tinggi akan berakumulasi di mitokondria dan menghambat proses fosforilasi oksidatif sehingga mengakibatkan asidosis laktat yang dapat diperberat dengan alkohol. Untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal kreatinin1,3 mgdL pada perempuan dan 1,5 mddL pada laki-laki Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.  Glitazone Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan mencapai konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2 jam. Makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazon Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009. Glitazon Thiazolidinediones, merupakan agonist peroxisomje proliferator-activated receptor gamma PPARa yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPARa terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati. Glitazon merupakan regulator homeostatis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin. Sama seperti metformin, glitazon tidak menstimulasi produksi insulin oleh sel beta pankreas bahkan menurunkan konsentrasi insulin lebih besar daripada metformin. Mengingat efeknya dalam metabolisme glukosa dan lipid, glitaxon dapat meningkatkan efisiensi dan respons sel beta pankreas Universitas Sumatera Utara dengan menurunkan glukotoksisitas dan lipotoksisitas Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009. Glitazon dapat menyebabkan penambahan berat badan yang bermakna sama atau bahkan lebih dari SU serta edema. Keluhan infeksi saluran nafas atas 16, sakit kepala 7,1 dan anemia dilusional penurunan hemoglobin Hb sekitar 1 grdL juga dilaporkan. Insiden fraktur ekstremitas distal pada wanita pasca menopause dilaporkan meningkat. Pemakaian glitazon dihentikan bila terdapat kenaikan enzim hati ALT dan AST lebih dari tiga kali batas atas normal Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009. b. Golongan Sekretagok Insulin Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi SU dan non SU glinid Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.  Sulfonilurea SU SU telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. SU sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meingkatkan atau mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dengan sedikit efek samping termasuk hipoglikemia dan relatif murah Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009. Efek akut obat golongan sulfonilurea berbeda dengan efek pada pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada pemakaian jangka lama 12 minggu, masa paruhnya memanjang sampai 12 jam. Bahkan sampai 20 jam pada pemakaian kronik dengan dosis maksimal. Karena itu Universitas Sumatera Utara dianjurkan untuk memakai glibenklamid sehari sekali Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009. Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan, sehingga hanya bermanfaat pada pasien yang masih mampu mensekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1 Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009. Hipoglikemia merupakan efek samping terpentinga dari SU terutaam bila asupan pasien tidak adekuat. Selain itu terjadi kenaikan berat badan sekitar 4-6 kg, gangguan pencernaan, fotosensitifitas, gangguan enzim hati dan flushing Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.  Glinid Mekanisme kerja glinid juga melalui reseptor sulfonilurea SUR dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea, perbedaannya dengan SU adalah pada masa kerjanya yang lebih pendek. Mengingat lama kerjanya yang pendek maka glinid digunakan sebagai obat prandial. Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat karena lama menempel pada kompkeks SUR sehingga dapat menurunkan ekuivalen HbA1c pada SU Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009.

2.2.7.2 Terapi Non Farmakologis pada Diabetes Mellitus