Perbedaan Kadar Hemoglobin pada Pasien Laki-laki Berusia ≥ 40 tahun Indikasi Rawat Inap dengan Diabetes Melitus Tipe 2 yang Terkontrol dan Tidak Terkontrol di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2014

(1)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Fina Retnawati

Tempat / TanggalLahir : Batam / 28 Juni 1994

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jalan Mandolin No. 10 C, Padang Bulan Medan 20156 Riwayat Pendidikan :

1. Sekolah Dasar Negeri 003 Batuaji, Batam (2000-2006) 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Batam (2006-2009) 3. Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Batam (2009-2012) Riwayat Organisasi :

1. Anggota KMK USU UP FK (2012-2013) Riwayat Pelatihan :


(2)

(3)

Subjek Umur Kadar HbA1c Kadar Hb

1 52 10.4 13.3

2 60 6.9 7.3

3 61 7.2 8.8

4 53 11.7 12.1

5 44 7.6 13.9

6 54 7.7 14.7

7 62 8.9 14.4

8 47 12.3 14.4

9 53 8.3 12.7

10 46 8.7 12.5

11 70 6.0 13.7

12 52 8.8 13.8

13 49 8.0 11.2

14 43 8.0 9.6

15 60 7.6 10.8

16 56 7.9 79.0

17 45 7.6 10.0

18 86 7.2 11.2

19 73 6.8 7.3

20 51 7.7 11.4

21 62 9.5 10.8

22 66 3.8 9.9

23 44 7.3 15.0

24 50 12.7 16.0

25 59 10.4 11.9

26 57 7.5 15.5

27 75 7.8 12.1

28 49 12.8 11.8

29 63 12.9 11.5

30 63 8.7 8.2

31 63 9.7 11.4

32 62 6.9 11.6

33 58 11.4 15.9

34 50 8.2 13.5

35 55 12.2 14.6

36 64 9.4 10.4

37 60 8.2 13.2

38 45 8.0 12.0

39 51 5.6 9.0

40 58 15.6 7.5

41 45 5.9 9.8


(4)

43 61 6.8 13.0

44 51 10.4 14.8

45 55 9.7 7.4

46 53 13.4 11.1

47 77 10.7 12.4

48 62 6.6 14.3

49 48 8.1 9.8

50 53 10.0 11.9

51 52 10.0 11.2

52 62 6.5 13.6

53 61 10.9 16.2

54 48 7.6 12.3

55 49 8.0 17.2

56 42 9.7 10.2

57 60 7.6 14.6

58 60 10.8 14.3

59 40 8.7 13.3

60 53 8.5 7.2

61 43 5.7 7.0

62 50 11.5 10.4

63 48 14.3 11.2

64 56 11.1 12.0

65 57 11.3 10.1

66 76 6.3 9.9

67 55 10.5 8.3


(5)

Deskripsi Karakteristik Penderita Umur Penderita

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

40-49 17 25.0 25.0 25.0

50-59 26 38.2 38.2 63.2

60-69 18 26.5 26.5 89.7

≥ 70 7 10.3 10.3 100.0

Total 68 100.0 100.0

Kadar HbA1c

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Tekontrol 12 17.6 17.6 17.6

Tidak Terkontrol 56 82.4 82.4 100.0

Total 68 100.0 100.0

Kadar Hb

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Tidak Anemia 25 36.8 36.8 36.8

Anemia Ringan 20 29.4 29.4 66.2

Anemia Sedang 17 25.0 25.0 91.2

Anemia Berat 6 8.8 8.8 100.0


(6)

Deskripsi Kadar Hemoglobin pada DM tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol

Crosstabulation

HbA1cKatt2 Total Terkontrol Tidak Terkontrol

HbKat2

Tidak Anemia 4 21 25

Anemia Ringan 1 19 20

Anemia Sedang 4 13 17

Anemia Berat 3 3 6


(7)

Perbedaan Kadar Hemoglobin pada DM tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of Variances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig.

(2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper

KADARHBA1C

Equal variances assumed

.003 .956 -1.092 43 .281 -.7400 .6774 -2.1061 .6261

Equal variances not assumed


(8)

DAFTAR PUSTAKA

ADA, 2015. Classification and Diagnosis of Diabetes. Diakses pada: http://care.diabetesjournals.org/content/38/Supplement_1/S8.full [diakses tanggal 15 Mei 2015].

Bakta, I. M., 2003. Hematologi Dasar. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Bakta, I. M., 2009. Pendekatan terhadap Pasien Anemia. Dalam: Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S. K., dan Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Bakta, I. M., 2003. Sistem Eritroid. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Balela, N., Arifin, M., dan Noor, M. S., 2014. Perbedaan Kejadian Anemia pada Pasien yang Menderita Diabetes Mellitus tipe 2 kurang dari 5 tahun dan Lebih dari sama dengan 5 tahun. Banjarmasin: FK Universitas Lambung Mangkurat.

Bonakdaran, S., Gharebaghi, M., Vahedian, M., 2011. Prevalence of Anemia in Type 2 Diabetes and Role of Renal Involvement. Saudi Journal of Kidney Diseases and Transplantation Volume 22: 286-290.

Depkes, 2009. Tahun 2030 Prevalensi Diabetes Mellitus di Indonesia mencapai

21,3 juta Orang. Diakses pada:

http://www.depkes.go.id/article/print/414/tahun-2030-prevalensi-diabetes-melitus-di-indonesia-mencapai-213-juta-orang.html [diakses tanggal 04 April 2015].


(9)

Fatmawati A., 2010. Faktor Resiko Kejadian Diabetes Mellitus tipe 2 Pasien Rawat Jalan. Semarang: Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.

Fauci, A. S., et al., 2008. Diabetes Mellitus. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 17. USA: The McGraw-Hill Companies.

Fauci, A. S., et al., 2008. Disorders of Hemoglobin. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 17. USA: The McGraw-Hill Companies.

Ganong, W. F., 2005. Sirkulasi: Cairan Tubuh yang Beredar. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Ganong, W. F., 2005. Fungsi Endokrin Pankreas & Pengaturan Metabolisme Karbohidrat. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Gardner, D. G., dan Shoback, D., 2007. Pancreatic Hormones & Diabetes Mellitus. Greenspan’s Basic & Clinical Endocrinology. USA: The McGraw -Hill Companies.

Hendromartono, 2009. Nefropati Diabetik. Dalam: Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S. K., dan Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

IDF, 2014. Diabetes: Risk Factor. Diakses pada http://www.idf.org/about-diabetes/risk-factors [diakses tanggal 16 Mei 2015].

Joeharno, M., 2009. Strategi Penanggulangan Diabetes Mellitus Tipe 2. Dalam: Jafar, N., 2009. Penanggulangan Diabetes Mellitus tipe 2. Diakses pada http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/2683/B26%20PE NANGGULANGAN%20DM%20TIPE%202.doc [diakses tanggal 20 Juni 2015].


(10)

Kasjono, H.S., 2009. Teknik Sampling untuk Penelitian Kesehatan edisi 1. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Mehdi, U., Toto, Robert, D., 2009. Anemia, Diabetes, and Chronic Kidney Disease. Diabetes Care Volume 32 : 1320-1326.

Mitchell, R. N., Kumar, V., Abbas, A. K., dan Fausto, N., 2006. Sistem Endokrin. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. Jakarta: EGC Medical Publisher.

Pandelaki,K., 2009. Retinopati Diabetik. Dalam: Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S. K., dan Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Perkeni, 2006. Pilar Pengelolaan DM. Dalam: Jafar, N., 2009. Penanggulangan

Diabetes Mellitus tipe 2. Diakses pada

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/2683/B26%20PE NANGGULANGAN%20DM%20TIPE%202.doc [diakses tanggal 20 Juni 2015].

Price, S. A., dan Wilson, L. M., 2012. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit volume 2. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Soebardi, S., Yunir, E., 2009. Terapi non Farmakologis pada Diabetes Mellitus. Dalam: Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S. K., dan Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Soegondo, S., 2009. Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes Mellitus tipe 2. Dalam: Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S. K., dan Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.


(11)

Subekti, I., 2009.Neuropati Diabetik. Dalam: Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S. K., dan Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Suyono, S., 2009.Diabetes Mellitus di Indonesia. Dalam: Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S. K., dan Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Wahyuni, A.R., 2007. Statistika Kedokteran (disertai aplikasi dengan SPSS). Jakarta: Bamboedoea Communication.

Waspadji, S., 2009. Komplikasi kronik diabetes: mekanisme terjadinya, diagnosis da nstrategi pengelolaan. Dalam: Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S. K., dan Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

WHO, 2015. Diabetes. Diakses pada:

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/ [diakses tanggal 04 April 2015].


(12)

Kadar Hemoglobin Diabetes Mellitus

(Terkontrol dan Tidak Terkontrol)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Definisi Operasional 1. Usia

Definisi Operasional : Usia dihitung pada setiap tahun. Dan yang menjadi batasan dalam penelitian ini adalah usia di atas atau sama dengan 40 tahun.

Cara Pengukuran : Observasi data rekam medik Alat Ukur : Rekam medik

Skala Ukur : Ordinal

2. Jenis Kelamin

Definisi Operasional : Jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Dalam penelitian hanya diteliti pada laki-laki.

Cara Pengukuran : Observasi data rekam medik Alat Ukur : Rekam medik


(13)

Skala Ukur : Nominal

3. HbA1C

Definisi Operasional : HbA1C menggambarkan status glikemik. Cara Pengkuruan : Observasi data rekam medik

Alat Ukur : Rekam medis Skala Ukur : Ordinal

4. Kadar Hemoglobin

Definisi Operasional : Hemoglobin adalah pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah merah.

Cara Pengkuruan : Observasi data rekam medik Alat Ukur : Rekam medis

Skala Ukur : Ordinal

5. Diabetes Mellitus tipe 2 terkontrol

Definisi Operasional : Diabetes mellitus tipe 2 disebabkan karena pengeluaran insulin yang progresif menyebabkan resistensi insulin. DM tipe 2 yang terkontrol diukur dengan nilai HbA1C ≤ 7%.

Cara Pengukuran : Observasi data rekam medik Alat Ukur : Rekam medis

SkalaUkur : Nominal

6. Diabetes Mellitus tipe 2 tidak terkontrol

Definisi Operasional : DM tipe 2 yang tidak terkontrol diukur dengan nilai HbA1C > 7%.

Cara Pengukuran : Observasi data rekam medik Alat Ukur : Rekam medis


(14)

3.3. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah ada perbedaan kadar hemoglobin pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 yang terkontrol dan tidak terkontrol.


(15)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan desain case control (retrospektif), dimana penelitian ini akan mencari perbedaan kadar hemoglobin pada pasien diabetes laki-laki usia ≥ 40 tahun indikasi rawat inap dengan mellitus tipe 2 yang terkontrol dan tidak terkontrol. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder rekam medis di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan tahun 2014.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian

Pengambilan data penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Rumah sakit ini dipilih karena merupakan rumah sakit tipe A dan menjadi rumah sakit rujukan utama untuk wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya.

4.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dimulai dari bulan April sampai November 2015,

dimulai dari penyusunan proposal, pengumpulan data penelitian, analisis data, dan penyusunan laporan akhir.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga (Kasjono dan Yasril, 2009). Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien laki-laki berumur ≥ 40 tahun yang telah didiagnosis Diabetes Mellitus tipe 2 dalam rekam medis rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada Januari sampai Desember 2014.


(16)

4.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang mana ciri-cirinya diselidiki atau diukur (Kasjono dan Yasril, 2009). Sampel penelitian ini diambil dengan menggunakan metode total sampling dimana semua subjek di populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dimasukkan ke dalam sampel penelitian.

Adapun kriteria dalam penelitian ini adalah : 1. Kriteria Inklusi

a. Pasien diabetes mellitus tipe 2 yang memiliki riwayat rawat inap.

b. Rentang waktu rawat inap adalah periode Januari sampai Desember 2014. c. Pasien laki-laki dengan DM tipe 2 indikasi rawat inap dengan usia ≥ 40

tahun.

d. Data rekam medis yang di dalamnya terdapat data hemoglobin dan HbA1C.

2. Kriteria Eksklusi

a. Data rekam medis yang tidak lengkap, yaitu yang tidak memiliki data jenis kelamin, umur, hemoglobin, dan HbA1C.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bagian instalasi rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Pengumpulan data akan dilakukan dengan metode observasi menggunakan rekam medis.

4.5. Pengolahan dan Analisa Data

Pengolahan data dilakukan dengan langkah – langkah sebagai berikut: (1) editing, dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data yang telah dikumpulkan; (2) coding, data yang telah terkumpul dikoreksi, kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer; (3) entry, data tersebut dimasukkan ke dalam program komputer; (4)


(17)

cleaning data, pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam komputer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data; (5) saving, penyimpanan data untuk siap dianalisis; dan (6) analisis data (Hidayat, 2007).

Data kemudian diolah dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistical Product and Service Solution) dan disajikan dalam bentuk tabel dengan perhitungan distribusi frekuensi sesuai dengan tujuan penelitian.


(18)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian perbedaan kadar hemoglobin pada pasien laki-laki berusia ≥ 40 tahun indikasi rawat inap dengan Diabetes Mellitus tipe 2 yang terkontrol dan tidak terkontrol di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2014, dimana penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan September hingga November 2015. Selama periode 1 Januari 2014 – 31 Desember 2014 didapatkan 138 pasien laki-laki yang berusia lebih dari 40 tahun dengan diagnosis Diabetes Mellitus tipe 2 yang dirawat inap. Sebanyak 68 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan 70 pasien tidak dapat dimasukkan ke dalam kriteria inklusi penelitian karena termasuk dalam kriteria eksklusi. Kriteria eksklusi yang dimaksud adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap, yaitu tidak dilampirkannya hasil laboratorium pasien dan tidak diperiksanya kadar HbA1c dan kadar Hemoglobin.

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan. RSUP Haji Adam Malik Medan adalah sebuah rumah sakit pemerintah yang dikelola pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara. Rumah sakit ini terletak di lahan yang luas di pinggiran kota Medan. RSUP Haji Adam Malik mulai berfungsi dengan pelayanan rawat jalan sejak tanggal 17 Juni 1991. Mulai tanggal 2 Mei 1992, rumah sakit ini turut menyediakan pelayanan rawat inap.

RSUP Haji Adam Malik berdiri sebagai rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990. Sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991, RSUP Haji Adam Malik juga sebagai Pusat Rujukan Wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera


(19)

Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau. Pada tahun 1993, Pusat Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan dipindahkan ke rumah sakit ini secara resmi.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Penderita

Dalam penelitian ini, sebanyak 68 subjek yang diteliti dan diambil dari rekam medis pasien yang didiagnosis Diabetes Mellitus tipe 2 di Instalasi Rekam Medis RSUP Haji Adam Malik, Medan periode 1 Januari 2014 – 31 Desember 2014. Karakteristik penderita yang dimaksud adalah usia, kadar HbA1c dan hemoglobin.

Gambar 5.1. Alur Pengambilan Subjek

Tabel 5.1. Frekuensi Usia Penderita

Kategori Usia (tahun) Frekuensi (n) Persentase (%)

40 – 49 17 25.0

50 – 59 26 38.2

60 – 69 18 26.5

≥ 70 7 10.3

Total 68 100

Berdasarkan tabel 5.1. di atas, didapati frekuensi tertinggi penderita diabetes mellitus tipe 2 terdapat pada kategori usia 50-59 tahun sebanyak 26 orang (38.2%) diikuti oleh kategori usia 60-69 tahun sebanyak 18 orang (26.5%) dan sebanyak 17

Subjek Penelitian Jumlah 68 orang

Memenuhi Kriteria Inklusi


(20)

orang (25.0%) pada kategori usia 40-49 tahun serta yang terendah pada kategori usia ≥ 70 tahun sebanyak 7 orang (10.3%).

Tabel 5.2. Frekuensi Penderita dengan Kadar HbA1c

Kadar HbA1c Kriteria Frekuensi (n) Persen (%)

≤ 7% Terkontrol 12 17.6

> 7%) Tidak Terkontrol 56 82.4

Total 68 100

Berdasarkan tabel 5.2. di atas, diketahui bahwa dari 68 jumlah penderita Diabetes Mellitus tipe 2 yang terkontrol yaitu sebanyak 12 orang (17.6%) dan tidak terkontrol sebanyak 56 orang (82.4%).

Tabel 5.3. Frekuensi Penderita dengan Kadar Hemoglobin (Hb)

Kadar Hb Kriteria Frekuensi (n) Persen (%)

≥ 13 g% Tidak Anemia 25 36.8

11 – 12.9 g% Anemia Ringan 20 29.4 8 – 10.9 g% Anemia Sedang 17 25.0

<8 g% Anemia Berat 6 8.8

Total 68 100

Berdasarkan Tabel 5.3., diketahui bahwa penderita Diabetes Mellitus tipe yang tidak anemia sebanyak 25 orang (36.8%). Sebanyak 20 orang (29.4%) mengalami anemia ringan, 17 orang (25.0%) menderita anemia sedang dan 6 orang (8.8%) menderita anemia berat.


(21)

5.1.3. Deskripsi Kadar Hemoglobin pada DM tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol

Pada penelitian ini, digunakan lembar rekam medis dari instalasi rekam medis RSUP HAM Medan. Data yang diteliti adalah jenis kelamin, usia, kadar HbA1c untuk mengetahui DM tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol, serta kadar Hemoglobin.

Tabel 5.4. Deskripsi Kriteria Anemia pada DM tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol

Kriteria Anemia Terkontrol Tidak Terkontrol Jumlah (N)

Tidak Anemia 4 21 25

Anemia Ringan 1 19 20

Anemia Sedang 4 13 17

Anemia Berat 3 3 6

Total 12 56 68

Berdasarkan Tabel 5.4. di atas, dapat dilihat skor pada penderita tidak anemia dengan DM tipe 2 terkontrol sebanyak 4 orang dan DM tipe 2 tidak terkontrol 21 orang. Pada penderita anemia ringan dengan DM tipe 2 terkontrol sebanyak 1 orang dan DM tipe 2 tidak terkontrol sebanyak 19 orang. Pada penderita anemia sedang dengan DM tipe 2 terkontrol sebanyak 4 orang dan DM tipe 2 tidak terkontrol 13 orang dan pada penderia anemia berat dengan DM tipe 2 terkontrol sebanyak 3 orang sama banyak dengan DM tipe 2 tidak terkontrol.

5.1.4. Perbedaan Kadar Hemoglobin pada DM tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol

Hasil analisa data dengan menggunakan independent t-test menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan kadar hemoglobin pada pasien yang menderita Diabetes Mellitus tipe 2 yang terkontrol dan tidak terkontrol.


(22)

Tabel 5.5. Perbedaan Kadar Hemoglobin pada Pasien Diabetes Mellitus tipe 2 yang Terkontrol dan Tidak Terkontrol

Mean Difference t P (2-tailed)

Kadar HbA1c -7.400 -1.092 0.281

Berdasarkan Tabel 5.5., didapati nilai P (2-tailed) untuk kadar HbA1c penderita adalah 0.281, lebih besar dari 0.05.

5.2. Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan data sekunder rekam medis di Instalasi Rekam Medis RSUP H. Adam Malik, Medan pada tahun 2014, diperoleh data mengenai karakteristik penderita Diabetes Mellitus tipe 2. Karakteristik penderita yang dimaksud dan diteliti adalah usia, kadar HbA1c dan hemoglobin.

Pada penelitian ini didapatkan pasien DM tipe 2 yang tidak terkontrol lebih banyak dari DM tipe 2 terkontrol, yaitu sebanyak 56 orang (82.4%) dan yang terkontrol sebanyak 12 orang (17.6%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok usia tertinggi yang menderita Diabetes Mellitus tipe 2 pada laki-laki lebih dari 40 tahun adalah kelompok usia 50-59 tahun sebanyak 26 orang (38.2%) dan diikuti dengan kelompok usia 60-69 tahun dengan jumlah 18 orang (26.5%). Sarwono Waspadi dalam Fatmawati A., (2010) membuktikan bahwa DM tipe 2 sering dijumpai pada usia 40-60 tahun. Fatmawati A., (2010) menjelaskan tingkat kerentanan terjangkitnya DM sejalan dengan bertambahnya usia sesuai dengan penelitiannya yang menunjukkan bahwa usia yang paling banyak ditemui pada penderita DM tipe 2 adalah responden yang berusia 40 tahun ke atas.

Kejadian anemia pada penderita DM tipe 2 lebih banyak dibandingkan dengan tidak anemia yaitu anemia berat, anemia sedang dan anemia ringan dengan jumlah 43


(23)

orang dan tidak anemia sebanyak 25 orang (26.8%). Pada penelitian Balela, N. dkk., dijelaskan bahwa kejadian anemia pada DM tipe 2 sebanding dengan lama menderita DM tipe 2. Walaupun pada penelitian ini tidak dipaparkan lamanya kejadian DM tipe 2 pada setiap subjek, tetapi dapat dilihat pada DM tipe 2 akan mengakibatkan kejadian anemia.

Pada DM tipe 2 yang tidak terkontrol lebih banyak kejadian anemia daripada yang terkontrol, yaitu kejadian anemia pada DM tipe 2 tidak terkontrol sebanyak 35 orang dan terkontrol sebanyak 8 orang dari jumlah sampel 68 orang. Dan penderita dengan tidak anemia pada DM tipe 2 tidak terkontrol sebanyak 21 orang sedangkan pada DM tipe 2 terkontrol sebanyak 4 orang.

Pada penelitian ini tidak dijumpai adanya perbedaan kadar hemoglobin pada penderita DM tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol, kemungkinan dikarenakan subjek antara penderita DM tipe 2 terkontrol dan tidak tidak terkontrol yang tidak sama, yaitu pada terkontrol sebanyak 12 orang dan tidak terkontrol sebanyak 56 orang. Faktor yang juga mempengaruhi adalah tidak dipaparkannya lama kejadian DM tipe 2 pada penderita karena hal ini berpengaruh dengan komplikasi pada setiap penderita terutama kejadian anemia. Semakin lama seseorang menderita DM tipe 2, maka komplikasi yang muncul akan semakin banyak.

Sebenarnya penelitian ini ada keterbatasan yang tertentu. Pertama, penelitian ini hanya dilakukan pada satu tahun dan satu rumah sakit saja. Dan juga, pada data rekam medik di rumah sakit tersebut tidak semuanya lengkap. Banyak hasil laboratorium yang tidak dicantumkan, seperti kadar HbA1c sehingga tidak diketahuinya penderita mengalami DM tipe 2 terkontrol atau tidak terkontrol. Karena itu, penelitin ini tidak dapat mempresentasikan seluruh populasi penderita DM tipe 2 di Kota Medan ataupun Indonesia. Pada penelitian ini, yang menjadi subjek penelitian hanyalah laki-laki yang berusia lebih dari 40 tahun, sehingga tidak dapat diterapkan dan mewakili seluruh populasi laki-laki secara umum.


(24)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Penderita Diabetes Mellitus tipe 2 yang terkontrol lebih sedikit mengalami kejadian tidak anemia dengan kadar hemoglobin ≥ 13 g% dibandingkan dengan kejadian anemia.

2. Penderita Diabetes Mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol lebih banyak mengalami kejadian anemia dengan kadar hemoglobin kurang dari 13 g% dibandingkan dengan kejadian tidak anemia.

3. Tidak terdapatnya perbedaan kadar hemoglobin pada pasien laki-laki berusia lebih dari 40 indikasi rawat inap dengan Diabetes Mellitus tipe 2 yang terkontrol dan tidak terkontrol. Perbedaan tidak signifikan dengan p=0.281 (p>0.05).

6.2. Saran

1. Bagi Peneliti

Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna dalam menunjukkan perbedaan kadar hemoglobin pada Diabetes Mellitus tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol. Penelitian selanjutnya direkomendasikan supaya dapat memperluas populasi, jangan hanya pada satu jenis kelamin dan satu rumah sakit di satu kota saja. Selain itu, peneliti selanjutnya diharapkan meneliti lamanya seseorang tersebut menderita Diabetes Mellitus tipe 2 dan juga menambahkan tahun penelitian, jangan hanya pada 1 tahun saja.

2. Bagi Kalangan Medis

Kalangan medis dan sejawat yang lain harus mengetahui dampak Diabetes Mellitus tipe 2 terhadap kesehatan dan melakukan langkah pencegahan dan bimbingan yang sewajarnya.


(25)

3. Bagi Masyarakat Umum

Masyarakat harus peka terhadap masalah dibawa oleh Diabetes Mellitus tipe 2 terutama pada usia lebih dari 40 tahun dan Diabetes Mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol yaitu terjadinya komplikasi terutama anemia.


(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Mellitus

2.1.1. Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus (DM) bukan merupakan kesatuan penyakit yang tunggal tetapi sebaliknya merupakan sekelompok kelainan metabolik yang memiliki ciri hiperglikemia yang sama di balik kelainan tersebut. Efek netto tersebut berupa kelainan kronik pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dengan komplikasi jangka-panjang yang mengenai pembuluh darah, ginjal, mata serta saraf. Di seluruh dunia terdapat lebih dari 140 juta orang yang mengidap penyakit diabetes dan dengan demikian membuat penyakit ini sebagai salah satu di antara sejumlah penyakit tidak menular yang paling sering ditemukan (Mitchel, Kumar, Abbas, dan Fausto, 2006).

Diabetes Mellitus adalah penyakit sindroma metabolik dengan hiperglikemi atau kedua di antara defisiensi absolut sekresi insulin atau reduksi pada keefektifan insulin (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007).

2.1.2. Epidemiologi Diabetes Mellitus

Tingkat prevalensi Diabetes Mellitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar 16 juta kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru. Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita diabetes paling sedikit 2,5 kali lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita diabetes. Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan ganggren adalah komplikasi yang paling utama. Selain itu, kematian fetus intrauterin pada ibu-ibu yang menderita diabetes tidak terkontrol juga meningkat.


(27)

Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihat berakibat pada biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan, selain konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskular (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012).

Prevalensi DM di seluruh dunia telah meningkat secara dramatis selama dua dekade terakhir, dengan perkiraan 30 juta kasus pada tahun 1985 sampai 382 juta di tahun 2013 (Powers, 2008 dalam Fauci, et al., 2008).

Gambar 2.1. Prevalensi Diabetes Mellitus di Seluruh Dunia

Sumber: dikutip dari Fauci, et al., 2008.

2.1.3 Etiologi dan Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus

Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi Diabetes Mellitus bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita Diabetes Mellitus (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012).

Manifestasi klinis Diabetes Mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi indulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa


(28)

setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012).

2.1.4. Klasifikasi Diabetes Mellitus

Klasifikasi diabetes telah diperkenalkan oleh American Diabetes Association (ADA) berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Klasifikasi ini telah disahkan oleh World Health Organization (WHO) dan telah dipakai di seluruh dunia. Empat klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa: (1) Diabetes Mellitus tipe 1 (2) Diabetes Mellitus tipe 2, (3) diabetes gestational (diabetes kehamilan), dan (4) tipe khusus lain (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012).


(29)

Sumber: dikutip dari ADA, 2015

Salah satu bentuk yang sering terjadi, tipe 1 atau Diabetes Mellitus dependen-insulin (insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM), disebabkan oleh defisiensi insulin yang ditimbulkan oleh destruksi otoimun sel-sel di pulau-pulau Langerhans pankreas. Diabetes tipe 1 biasanya timbul sebelum usia 40 tahun sehingga disebut diabetes juvenilis (Ganong, 2005). Insidens diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya. (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012).

Bentuk tersering kedua, tipe 2, atau diabetes melitus nondependen-insulin (non-insulin-dependent diabetes melllitus, NIDDM), ditandai oleh resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Masih belum jelas mana yang pertama kali

Tabel 2.1. Klasifikasi Dibetes Mellitus

No. Klasifikasi DM Definisi

1. Diabetes Mellitus tipe 1 karena destruksi sel- , biasanya menyebabkan kekurangan insulin absolut.

2. Diabetes Mellitus tipe 2 karena pengeluaran insulin yang progresif menyebabkan resistensi insulin.

3. Diabetes Mellitus gestational

diabetes didiagnosa pada trimester kedua atau ketiga kehamilan.

4. Tipe diabetes yang spesifik karena penyebab lainnya

misalnya syndrome diabetes monogenic (seperti diabetes neonatus dan maturity-onset diabetes of the young [MODY]), penyakit pankreas eksokrin (seperti cystic fibrosis), dan diabetes yang diinduksi obat-obatan atau zat kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).


(30)

terjadi, tetapi dapat saja terjadi resistensi insulin yang meningkatkan glukosa plasma, yang kemudian merangsang sekresi insulin sampai cadangan sel terlampaui. Dalam hal ini, kadar insulin plasma biasanya meningkat (Ganong, 2005). Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas. Insidens diabtes tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru setiap tahunnya. Obesitas sering dikaitkan dengan penyakit ini (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012).

Diabetes gestational (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, da riwayat diabetes gestational terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu keadaan diabetogenik (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012).

2.2. Diabetes Mellitus tipe 2

2.2.1. Definisi Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes tipe 2-sebelumnya dikalsifikasikan sebagai non-insulin dependent diabetes- biasanya mengenai seseorang dengan resistensi insulin yang relative daripada defisiensi insulin absolute. Terhitung 80-90% kasus diabetes di Amerika Serikat. Pasien biasanya dewasa berumur lebih dari 40 tahun dengan berbagai derajat obesitas (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007).

2.2.2. Prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2

Prevalensi DM Tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan kekerapan diabetes antara berbagai kelompok etnik di seluruh dunia, hingga dengan demikian kita dapat membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnik tertentu dengan kelompok etnik kulit putih pada umumnya. Misalnya di negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan ekonominya sangat menonjol, seperti di Singapura, kekerapan diabetes sangat meningkat


(31)

dibanding dengan 10 tahun yang lalu. Demikian pula pada beberapa kelompok etnik di beberapa negara yang mengalami perubahan gaya hidup yang sangat berbeda dengan cara hidup sebelumnya karena memang mereka lebih makmur, kekerapan diabetes bisa mencapai 35% seperti misalnya di beberapa bangsa Mikronesia dan Polinesia di Pasifik, Indian Pima di AS, orang Meksiko yang ada di AS, bangsa Creole di Mauritius dan Suriname, penduduk asli Australia dan imigran India di Asia. Prevalensi tinggi juga ditemukan di Malta, Arab Saudi, Indian Canada dan Cina di Mauritius, Singapura dan Taiwan (Suyono, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

2.2.2. 1. Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia

Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%. Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69% sedangkan di daerah rural yang dilakukan oleh Augusta Arifin di suatu daerah di Jawa Barat tahun 1995, Angola itu hanya 1,1%. Di sini jelas ada perbedaan antara prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes (Suyono, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).


(32)

2.2.3. Faktor Resiko Dibetes Mellitus tipe 2 Tabel 2.2. Faktor Resiko Dibetes Mellitus tipe 2

No. Faktor Resiko

1. Riwayat keluarga yang menderita diabetes (contoh, orang tua atau saudara kandung dengan diabetes tipe 2) .

2. Obesitas (BMI ≥β5 kg/m2 atau overweight) 3. Diet yang tidak sehat

4. Aktivitas fisik yang jarang

5. Usia (usia yang semakin bertambah meningkatkan resiko diabetes) 6. Hipertensi (tekanan darah ≥140/90 mmHg)

7. Ras/etnik (contoh, Amerika Afrika, Latin, penduduk asli Amerika, Amerika Asia, penduduk Pulau Pasifik)

8. Sebelumnya diidentifikasikan IFG atau IGT 9. Riwayat GDM atau kelahiran bayi > 4 kg

Sumber: dikutip dari IDF, 2014

Catatan: BMI: Body Mass Index; IFG: Impaired Fasting Glucose; IGT: Impaired Glucose Tolerance; GDM: Gestational Diabetes Mellitus;

2.2.4. Patogenesis Dibetes Mellitus tipe 2

Diabetes Mellitus tipe 2 sejauh ini merupakan tipe yang lebih sering ditemukan dengan kerentanan genetik yang lebih besar lagi. Penyakit tersebut tampaknya terjadi karena sekumpulan cacat genetik yang masing-masing menimbulkan risiko predisposisinya sendiri dan dimodifikasi oleh faktor-faktor lingkungan. Berbeda dengan tipe 1, pada DM tipe 2 tidak ada bukti yang menunjukkan dasar autoimun. Dua defek metabolik utama yang menandai diabetes tipe 2 adalah resistensi insulin dan disfungsi sel (Mitchell, Kumar, Abba, dan Fausto, 2006).

Resistensi Insulin

Resistensi insulin merupakan keadaan berkurangnya kemampuan jaringan perifer untuk berespons terhadap hormon insulin. Sejumlah penelitian fungsional


(33)

pada orang-orang dengan resistensi insulin memperlihatkan sejumlah kelainan kuantitatif dan kualitatif pada lintasan penyampaian sinyal insulin yang meliputi penurunan jumlah reseptor insulin, penurunan fosforilasi reseptor insulin serta aktivitas tirosin kinase, dan berkurangnya kadar zat-zat antara yang aktif dalam lintasan penyampaian sinyal insulin. Resistensi insulin diakui sebagai sebuah fenomena yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor genetik serta lingkungan. Sebagian besar faktor genetik yang berkaitan dengan resistensi insulin masih menjadi misteri karena mutasi pada reseptor insulin itu sendiri sangat sedikit menyebabkan seseorang mengidap diabetes tipe 2 (Mitchell, Kumar, Abba, dan Fausto, 2006).

Di antara faktor-faktor lingkungan, obesitas memiliki korelasi yang paling kuat. Korelasi obesitas dengan diabetes tipe 2 telah dikenali selama beberapa dekade dan resistensi insulin menjadi kelainan yang mendasarinya. Risiko terjadinya diabetes meningkat seiring indeks massa tubuh (ukuran untuk menentukan kandungan lemak tubuh dan resistensi insulin. Faktor-faktor yang mungkin memengaruhi resistensi insulin pada obesitas meliputi kadar asam lemak bebas yang tinggi di dalam darah dan sel ini dapat memengaruhi fungsi insulin (lipotoksisitas) dan sejumlah sitokin yang dilepaskan oleh jaringan adiposa (adipokin); sitokin ini meliputi leptin, adiponektin, dan resistin. PPAR- (Peroxisome Proliferator-Activated Receptor gamma), yaitu suatu reseptor nukleus adiposit yang diaktifkan oleh kelas preparat antidiabetik baru yang dinamakan thiazolidinedion dapat memodulasi ekspresi gen dalam adiposit dan hal ini akhirnya akan mengurangi resistensi insulin (Mitchell, Kumar, Abba, dan Fausto, 2006).

Disfungsi sel-

Disfungsi sel- bermanifestasi sebagai sekresi insulin yang tidak adekuat dalam memghadapi resistensi dan hiperglikemia. Disfungsi sel- bersifat kualitatif (hilangnya pola sekresi insulin normal yang berayun [osilasi] dan pulsatil serta pelemaan fase pertama sekresi insulin cepat yang dipicu oleh peningkatan glukosa plasma) maupun kuantitatif (berkurangnya massa sel- , degenerasi pulau


(34)

Langerhans, dan pengendapan amiloid dalam pulau Langerhans) (Mitchell, Kumar, Abba, dan Fausto, 2006).

2.2.5. Gejala Klinis Dibetes Mellitus tipe 2

Pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2 selalu memperlihatkan karakteristik gejala dan tanda (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007).

Gejala klasik seperti poliuri, haus, penglihatan kabur yang berulang, parastesia, dan kelelahan adalah manifestasi dari hiperglikemi dan diuresis osmosis dan karena itu merupakan kedua bentuk dari diabetes. Bagaimanapun, banyak pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2 yang mempunyai onset hiperglikemia yang tersembunyi dan membahayakan dan yang awalnya relatif tanpa gejala. Hal ini yang terutama berlaku pada pasien obesitas, yaitu diabetes dapat dideteksi setelah glikosuria atau hiperglikemia yang tercatat selama studi laboratorium rutin. Infeksi kulit yang kronis biasa terjadi. Kadang-kadang, seseorang pria dengan diabetes yang tidak terdiagnosa mempunyai gejala impotensi (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007).

Pasien yang tidak obesitas dengan bentuk ringan diabetes sering kali tidak ada temuan karakteristik fisik. Pasien obesitas dengan diabetes tipe 2 mungkin memiliki distribusi lemak; namun diabetes terlihat lebih sering dikaitkan pada wanita dan pria dengan lokasi dari deposit lemak di bagian atas tubuh (terutama perut, dada, leher dan wajah) dan relatif lebih sedikit pada bagian tubuh pelengkap, yang mungkin bagian muskular. Distribute lemak yang sentripetal disebut “android” dengan karakteristiknya perbandingan puncak pinggang sampai pinggul. Berbeda dari yang sentrifugal bentuk “gynecoid” obesitas, dimana lokasi lemak di pinggul dan paha dan sedikit pada bagian atas tubuh. Hipertensi ringan mungkin menunjukkan pasien obesitas dengan diabetes tipe 2, terutama ketika bentuk “android” obesitas lebih utama (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007).


(35)

2.2.6. Diagnosis Diabetes Mellitus tipe 2 Tabel 2.3. Kriteria Diagnostik DM

No. Kriteria

1. Gejala diabetes dan konsentrasi glukosa darah random ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dL) atau

2. Glukosa plasma puasa ≥ 7,0 mmol/L (126mg/dL) atau 3. Hemoglobin A1C ≥ 6,5% atau

4. Glukosa plasma 2 jam ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dL) selama tes toleransi glukosa oral.

Sumber: dikutip dari ADA, 2007

Toleransi glukosa diklasifikasikan ke dalam 3 kategori: homeostatis glukosa yang normal, DM, atau gangguan homeostatis glukosa. Toleransi glukosa bisa dinilai menggunakan glukosa plasma puasa (fasting plasma glucose / FPG), respon glukosa oral, atau hemoglobin A1C (HbA1C). Nilai FPG < 5,6 mmol/L (100 mg/dL), glukosa plasma < 140 mg/dL (11,1 mmol/L) diikuti dengan glukosa oral, dan HbA1C < 5,7% dianggap untuk menetapkan toleransi glukosa yang normal. The International Expert Committee dengan anggota yang ditetapkan ADA, asosiasi Eropa untuk penelitian diabetes, dan IDF telah mengeluarkan kriteria untuk diagnostik DM (Tabel 2.1.) berdasarkan beberapa alasan: (1) FPG, respon terhadap glukosa oral (tes toleransi glukosa oral [oral glucose tolerance test/OGTT]), dan perbedaan HbA1C diantara setiap orang, dan (2) DM didefinisikan dengan tingkatan glikemi dimana komplikasi spesifik terjadi bukan pada deviasi rata-rata berdasarkan populasi. Sebagai contoh, prevalensi retinopati di Native Americans (populasi Pima Indian) dimulai dengan peningkatan FPG > 6,4 mmol/L ( 116mg/dL). FPG ≥ 7.0 mmol/L (126 mg/dL), glukosa ≥ 11.1 mmol/L (200 mg/dL) 2 jam setelah glukosa oral, atau HbA1C ≥ 6.5% menjamin diagnosis DM (Tabel 2.1.). Konsentrasi glukosa plasma acak ≥ 11.1 mmol/L (200mg/dL) disertai gejala klasik DM (poliuri, polidipsi, kehilangan berat badan) cukup untuk mendiagnosis DM (Tabel 2.1.).


(36)

Homeostatis glukosa yang abnormal didefinisikan sebagai: (1) FPG = 5.6 – 6.9 mmol/L (100-125 mg/dL), dimana didefinisikan sebagai gangguan glukosa puasa (IFG); (2) Kadar plasma glukosa antara 7.8 dan 11 mmol/L 140 dan 199 mg/dL) diikuti glukosa oral, dimana disebut sebagai gangguan toleransi glukosa (IGT); atau (3) HbA1C 5.7 – 6.4 %. Beberapa menggunakan istilah, prediabetes, peningkatan resiko deiabetes atau hiperglikemi intermediate (WHO) untuk kategori DM. Kriteria saat ini untuk diagnosis DM menekankan pada tes HbA1C atau FPG yang dapat dipercaya dan sesuai untuk megindentifikasi DM pada individu yang tidak mempunyai (bagaimanapun, beberapa mungkin mempunyai kriteria untuk 1 jenis tes tetapi tidak untuk tes yang lain). OGTT, meskipun

masih valid untuk mendiagnosis DM, tetapi jarang digunakan pada pemeriksaan rutin. (Powers, 2008 dalam Fauci, et al., 2008).

2.2.7. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus tipe 2

Pilar penalataksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat bera badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologi tersebut belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM, maka dilanjutkan dengan penggunaan yang perlu penambahan terapi medikamentosa atau intervensi farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan makan dan aktifitas fisik yang sesuai. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

2.2.7.1. Farmakoterapi

a. Golongan Insulin Sensitizing

 Biguanid

Saat ini golongsn biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan hati,


(37)

tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Proses tersebut berjalan dengan cepat sehingga metformin bisanya diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk extended release. Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2,5 jam (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Di samping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada komponen lain resistensi insulin yaitu pada lipid, tekanan darah, dan juga pada plasmino-gen activator inhibitor (PAI-1) (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta pankreas sehingga tidak mengakibatkan hipoglikemia dan penambahan berat badan. Pemberian metformin dapat menurunkan berat badan ringan hingga sedang akibat penekanan nafsu makan dan menurunkan hiperinsulinemia akibat resistensi insulin, sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai terapi kombinasi dengan sulfonyurea (SU), repaglinid, nateglinid, penghambat alfa glikosidase, dan glitazone. Pada pemakaian tunggal metformin dapat menurunkan glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Penelitian klinik memberikan hasil monoterapi yang bermakna dalam penurunan glukosa darah puasa (60-70 mg/dL) dan HbA1c (1-2%) dan dibandingkan dengan plasebo pada pasien yang tidak dapat terkendali hanya dengan diet. Pada pemakaian kombinasi dengan SU, hipoglikemia dapat terjadi akibat pengaruh SU-nya. Pengobatan terapi kombinasi


(38)

dengan obat anti diabetes yang lain dapat menurunkan HbA1c 3-4% (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Efek samping gastrointestinal tidak jarang (~50%) didapatkan pada pemakaian awal metformin dan ini dapat dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan bersamaan dengan makanan. Efek samping lain yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, meski kejadiannyab cukup jarang (0,03 per 1000 pasien) namun berakibat fatal pada 30-50% kasus. Pada gangguan fungsi ginjal yang berat, metformin dosis tinggi akan berakumulasi di mitokondria dan menghambat proses fosforilasi oksidatif sehingga mengakibatkan asidosis laktat (yang dapat diperberat dengan alkohol). Untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin>1,3 mg/dL pada perempuan dan >1,5 md/dL pada laki-laki) (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

 Glitazone

Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan mencapai konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2 jam. Makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazon (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Glitazon (Thiazolidinediones), merupakan agonist peroxisomje proliferator-activated receptor gamma (PPARa) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPARa terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati. Glitazon merupakan regulator homeostatis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin. Sama seperti metformin, glitazon tidak menstimulasi produksi insulin oleh sel beta pankreas bahkan menurunkan konsentrasi insulin lebih besar daripada metformin. Mengingat efeknya dalam metabolisme glukosa dan lipid, glitaxon dapat meningkatkan efisiensi dan respons sel beta pankreas


(39)

dengan menurunkan glukotoksisitas dan lipotoksisitas (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Glitazon dapat menyebabkan penambahan berat badan yang bermakna sama atau bahkan lebih dari SU serta edema. Keluhan infeksi saluran nafas atas (16%), sakit kepala (7,1%) dan anemia dilusional (penurunan hemoglobin (Hb) sekitar 1 gr/dL) juga dilaporkan. Insiden fraktur ekstremitas distal pada wanita pasca menopause dilaporkan meningkat. Pemakaian glitazon dihentikan bila terdapat kenaikan enzim hati (ALT dan AST) lebih dari tiga kali batas atas normal (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

b. Golongan Sekretagok Insulin

Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi SU dan non SU (glinid) (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

 Sulfonilurea (SU)

SU telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. SU sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meingkatkan atau mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dengan sedikit efek samping (termasuk hipoglikemia) dan relatif murah (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Efek akut obat golongan sulfonilurea berbeda dengan efek pada pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada pemakaian jangka lama > 12 minggu, masa paruhnya memanjang sampai 12 jam. (Bahkan sampai > 20 jam pada pemakaian kronik dengan dosis maksimal). Karena itu


(40)

dianjurkan untuk memakai glibenklamid sehari sekali (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan, sehingga hanya bermanfaat pada pasien yang masih mampu mensekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1 (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Hipoglikemia merupakan efek samping terpentinga dari SU terutaam bila asupan pasien tidak adekuat. Selain itu terjadi kenaikan berat badan sekitar 4-6 kg, gangguan pencernaan, fotosensitifitas, gangguan enzim hati dan flushing (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

 Glinid

Mekanisme kerja glinid juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea, perbedaannya dengan SU adalah pada masa kerjanya yang lebih pendek. Mengingat lama kerjanya yang pendek maka glinid digunakan sebagai obat prandial. Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat karena lama menempel pada kompkeks SUR sehingga dapat menurunkan ekuivalen HbA1c pada SU (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

2.2.7.2 Terapi Non Farmakologis pada Diabetes Mellitus

Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes (diabetisi). Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah melakuakan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan


(41)

modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual (Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain: menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid, meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, dan memperbaiki sistem koagulasi darah. Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan (Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009):

1. Kadar glukosa darah mendekati normal: glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl, glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl, kadar HbA1C <7%)

2. Tekanan darah <130/80 mmHg

3. Profil lipid: kolesterol LDL<100 mg/dl, kolesterol HDL>40 mg/dl, trigliserida <150 mg/dL

4. Berat badan senormal mungkin

Pada tingkat individu target pencapaian terapi gizi medis ini lebih difokuskan pada perubahan pola makan yang didasarkan pada perubahan gaya hidup damn pola kebiasaan makan, status nutrisi dan faktor khusus lain yang perlu diberikan prioritas Pencapaian target perlu dibicarakan bersama dengan diabetisi, sehingga perubahan pola makan yang dianjurkan dapat dengan mudah dilaksanakan, realistik dan sederhana. Petugas kesehatan harus dapat menentukan jumlah, komposisi dari makanan yang akan dimakan oleh diabetisi. Diabetisi harus dapat melakukan perubahan pola makan ini secara konsisten baik dalam jadwal, jumlah dan jenis makanan sehari-hari. Komposisi bahan makanan terdiri terdiri dari makronutrien yang meliputi karbohidrat, protein, dan lemak, seta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat (Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).


(42)

 Karbohidrat

Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasikan dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acid). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori (Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

 Protein

Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram per hari, maka perlu ditambahkan pemberian suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/gram (Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

 Lemak

Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering dijumpai pada diabetisi. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid = MUFA), merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated acid = PUFA) dapat


(43)

melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL (Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Pengelolaan DM yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik merupakan salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan oleh semua orang termasuk diabetisi sebagai kegiatan sehari-hari, seperti misalnya: bangun tidur, memasak, berpakaian, mencuci, makan bahkan tersenyum. Berangkat kerja, bekerja, berbicara, berfikir, tertawa, merencanakan kegiatan esok, kemudian tidur. Semua kegiatan tadi tanpa disadari oleh diabetisi, telah sekaligus menjalankan pengelolaan terhapa DM sehari-hari. Anjuran untuk melakukan kegiatan fisik bagi diabetisi telah dilakukan sejak seabad yang lalu oleh seorang dokter dari dinasti Sui di China, dan manfaat kegiatan ini masih harus diteliti oleh para ahli hingga kini. Kesimpulan sementara dari penelitian itu ialah bahwa kegiatan fisik diabetisi (tipe 1 maupun 2), akan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular dan meningkatkan harapan hidup. Kegiatan fisik akan meningkatkan rasa nyaman, baik secara fisik, psikis maupun sosial dan tampak sehat (Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

2.2.8. Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2

Menurut Joeharno, M., 2009 dalam Jafar, N., 2009, stategi penanggulangan Diabetes Mellitus tipe 2 adalah sebagai berikut:


(44)

Primordial prevention merupakan upaya untuk mencegah terjadinya risiko atau mempertahankan keadaan risiko rendah dalam masyarakat terhadap penyakit secara umum. Pada upaya penanggulangan DM, upaya pencegahan yang sifatnya primordial adalah :

1. Intervensi terhadap pola makan dengan tetap mempertahankan pola makan masyarakat yang masih tradisional dengan tidak membudayakan pola makan cepat saji yang tinggi lemak.

2. Membudayakan kebiasaan puasa senin dan kamis.

3. Intervensi terhadap aktifitas fisik dengan mempertahankan kegiatan-kegiatan masyarakat sehubungan dengan aktivitas fisik berupa olahraga teratur (lebih mengarahkan kepada masyarakat kerja) dimana kegiatan-kegiatan masyarakat yang biasanya aktif secara fisik seperti kebiasaan berkebun sekalipun dalam lingkup kecil namun dapat bermanfaat sebagai sarana olahraga fisik.

4. Menanamkan kebiasaan berjalan kaki kepada masyarakat.

b. Health promotion

Health promotion sehubungan dengan pemberian muatan informasi kepada masyarakat sehubungan dengan masalah kesehatan. Dan pada upaya pencegahan DM, tindakan yang dapat dilakukan adalah :

1. Pemberian informasi tentang manfaat pemberian ASI eksklsif kepada masyarakat khususnya kaum perempuan untuk mencegah terjadinya pemberian susu formula yang terlalu dini.

2. Pemberian informasi akan pentingnya aktivitas olahraga rutin minimal 15 menit sehari.

c. Spesific protection

Spesific protection dilakukan dalam upaya pemberian perlindungan secara dini kepada masyarakat sehubungan dengan masalah kesehatan. Pada beberapa penyakit biasanya dilakukan dalam bentuk pemberian


(45)

imunisasi namun untuk perkembangan sekarang, Diabetes Mellitus dapat dilakukan melalui:

1. Pemberian penetral radikal bebas seperti nikotinamid.

2. Mengistirahatkan sel-beta melalui pengobatan insulin secara dini. 3. Penghentian pemberian susu formula pada masa neonatus dan bayi

sejak dini.

4. Pemberian imunosupresi atau imunomodulasi.

d. Early diagnosis and promp treatment

Early diagnosis and prompt treatment dilakukan sehubungan dengan upaya pendeteksian secara dini terhadap individu yang nantinya mengalami DM dimasa mendatang sehingga dapat dilakukan upaya penanggulangan sedini mungkin untuk mencegah semakin berkembangnya risiko terhadap timbulnya penyakit tersebut. Upaya sehubungan dengan early diagnosis pada DM adalah dengan melakukan :

1. Melakukan skrining DM di masyarakat.

2. Melakukan survei tentang pola konsumsi makanan di tingkat keluarga pada kelompok masyarakat.

e. Disability limitation

Disability limitation adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah dampak lebih besar yang diakibatkan oleh DM yang ditujukan kepada seorang yang telah diangap sebagai penderita DM karena risiko keterpaparan sangat tinggi. Upaya yang dapat dilakukan adalah :

1. Pemberian insulin yang tepat waktu.

2. Penanganan secara komprehensif oleh tenaga ahli medis di rumah sakit.


(46)

f. Rehabilitation

Rehabilitation ditujukan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan kembali pada individu yang telah mengalami sakit. Pada penderita DM, upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan adalah :

1. Pengaturan diet makanan sehari-hari yang rendah lemak dan pengkonsumsian makanan karbohidrat tinggi yang alami.

2. Pemeriksaan kadar glukosa darah secara teratur dengan melaksanakan pemeriksaan laboratorium komplit minimal sekali sebulan.

3. Penghindaran atau penggunaan secara bijaksana terhadap obat-obat yang diabetagonik.

2.2.9. Edukasi Diabetes Mellitus tipe 2

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif, pengembangan keterampilan dan motivasi (Perkeni, 2006).

Edukasi tersebut meliputi pemahaman tentang: 1. Penyakit DM.

2. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM. 3. Penyulit DM.

4. Intervensi farmakologis dan non farmakologis. 5. Hipoglikemia.

6. Masalah khusus yang dihadapi. 7. Perawatan kaki pada diabetes.

8. Cara pengembangan sistem pendukung dan pengajaran keterampilan.


(47)

Edukasi secara individual atau pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi (Perkeni, 2006).

2.2.10. Komplikasi Diabetes Mellitus

Peningkatan insidensi DM akan diikuti oleh mengingkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM. Berbagai penelitian prospektif jelas menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah (Waspadji, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

2.2.10.1 Retinopati Diabetik

Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki risiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Risiko mengalami retinopati pada pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya diabetes. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis diabetes ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetik nonproliferatif (background retinopathy). Setelah 20 tahun, prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60% dalam berbagai derajat (Pandelaki, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetik non-proliferatif sampai perdarahan retina, kemudian juga ablasio retina dan lebih lanjut dapat mengakibatkan kebutaan. Diagnosis dini retinopati dapat diketahui melalui pemeriksaan retina secara rutin.Pada praktik pengelolaan DM sehari-hari, dianjurkan untuk memeriksa retina mata pada kesempatan pertama pertemuan dengan penyandang DM dan kemudia setiap tahun atau lebih cepat lagi kalau


(48)

diperlukan sesuai dengan keadaan kelainan retinanya (Waspadji, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

2.2.10.2. Nefropati Diabetik

Pada umumnya, nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien DM yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan. Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetik merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal. Di Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di antara semua komplikasi DM. Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada DM lebih banyak dipelajari pada DM tipe 1 dari pada tipe 2, dan oleh Mogensen dibagi menjadi 5 tahapan (Hendromartono, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Tahap 1, terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan. Laju filtrasi glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat. Tahap 2, secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi glomerulus tetap meningkat, ekskresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Terdapat perubahan histologis awal berupa penebalan membrana basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula peningkatan volume mesangium farksional (dengan peningkatan matriks mesangium). Tahap 3, pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien. Laju filtrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 20-200 ig/menit (30-300 mg/24 jam). Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membranan basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus. Tahap 4, merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi glomerulus menuru, sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan


(49)

tingginya tekanan darah. Tahap 5, timbulya gagal ginjal terminal (Hendromartono, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

2.2.10.3. Neuropati Diabetik

Neuropati Diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering ditemukan pada DM. Risiko yang dihadapi pasien DM dengan ND antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari/kaki. Kondisi inilah yang menyebabkan bertambahnya angka kesakitan dan kematian, yang berakibat pada meningkatnya biaya pengobatan pasien DM dengan ND. Manifestasi ND bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan dan hanya bisa terdeteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang hebat. Bisa juga keluhannya dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik, yang semua itu bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi (Subekti, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

2.3 Darah

Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup, mulai dari binatang primitif sampai manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu berada dalam pembuluh darag sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai : (a) pembawa oksigen (oxygen carrier); (b) mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi; dan (c) mekanisme hemostasis.

Darah terdiri atas 2 komponen utama:

1. Plasma darah: bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air, elektrolit dan protein darah.

2. Butir-butir darah (blood corpuscles), yang terdiri atas: a. eritrosit : sel darah merah (SDM) - red blood cell (RBC) b. leukosit : sel darah putih (SDP) - white blood cell (WBC) c. trombosit : butir pembeku - platelet


(50)

Plasma darah dikurangi protein pembekuan darah disebut sebagai serum. (Bakta, 2003).

2.3.1 Sel Darah Merah

Eritrosit (sel darah merah) hidup dan beredar dalam darah tepi (life span) rata-rata selama 120 hari. Setelah 120 hari eritrosit mengalami proses penuaan (senescence) kemudian dikeluarkan dari sirkulasi oleh sistem RES. Apabila destruksi eritrosit terjadi sebelum waktunya (<120 hari) maka proses ini disebut sebagai hemolisis (Bakta, 2003).

2.3.2 Struktur Sel Darah Merah

Eritrosit matang merupakan suatu cakram bikonkaf dengan diameter sekitar 7 mikron. Eritrosit merupakan sel dengan struktur yang tidak lengkap. Sel ini hanya terdiri atas membran dan sitoplasma tanpa inti sel.

Komponen eritrosit terdiri atas: 1. Membran eritrosit

2. Sistem enzim; yang terpenting: dalam Embden Meyerhoff pathway:

pyruvate kinase; dalam pentose pathway: enzim G6PD (glucose

6-phospate dehydrogenase)

3. Hemoglobin: berfungsi sebagai alat angkut oksigen. Komponennya terdiri atas:

a. heme, yang merupakan gabugan protoporfirin dengan besi

b. globin: bagian protein yang terdiri atas 2 rantai alfa dan 2 rantai beta.

Perubahan struktur eritrosit akan menimbulkan kelainan.Kelaimam yang timbul karena kelainan membran disebut sebagai membranopati, kelainan akibta gangguan sistem enzim eritrosit disebut ensimopati, sedangkan kelainan akibat gangguan struktur hemoglobin disebut sebagai hemoglobinopati (Bakta, 2003).


(51)

2.4 Hemoglobin

Pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah merah vertebrata adalah hemoglobin, yakni suatu protein dengan berat molekul 64.450. Hemoglobin adalah molekul yang berbentuk bulat dan terdiri atas empat subunit (dua rantai polipeptida α dan dua rantai polipeptida ). Tiap-tiap subunit mengandung satu gugus heme yang terkonjugasi oleh suatu polipeptida. Heme adalah suatu derivate porfirin yang mengandung besi. Polipeptida-polipeptida itu secara kolektif disebut sebagai bagian globin dari molekul hemoglobin. Ada dua pasang polipeptida di setiap molekul hemoglobin (Ganong, 2005).

Hemoglobin melakukan pengiriman oksigen secara normal ke jaraingan; hal ini juga dilakukan erythisytesin dalam konsentrasi tinggi yang dapat mengubah bentuk, deformabilitas, dan viskositas sel darah merah. Hemoglobinopati adalah gangguan yang mempengaruhi struktur, fungsi, atau produksi dari hemoglobin. Kondisi ini biasanya diwariskan dan tingkat keparahannya berkisar dari laboratorium yang abnormal dan asimtomatik sampai pada kematian di dalam rahim. Bentuk yang berbeda digambarkan pada anemia hemolitik, eritrositosis, sianosis, atau vasooklusif stigmata (Benz, 2008 dalam Fauci, et al., 2008).

2.4.1. Struktur Hemoglobin

Hemoglobin diproduksi selama masa embrionik, janin, dan kehidupan dewasa. Setiap hemoglobin terdiri dari tetramer globin rantai polipeptida: sepasang rantai α seperti 141 asam amino yang panjang dan sepasang rantai ß seperti 146 asam amino yang panjang. Hemoglobin yang sudah dewasa, HbA, mempunyai struktur αβ, ß2. HbF (αβyβ) mendominasi selama sebagian besar masa kehamilan, dan HbA2 (αβ delta2) adalah hemoglobin dewasa yang minor.

Setiap rantai globin membungkus satu bagian heme tunggal, yang terdiri dari cincin kompleks dengan atom besi tunggal pada ferrous (Fe2+). Setiap bagian heme dapat mengikat molekul oksigen tunggal; setiap molekul hemoglobin dapat mengangkut hingga empat molekul oksigen.


(52)

Rangkaian asam amino dari berbagai globin sangat homolog satu dengan yang lain. Masing-masing memiliki struktur sekunder yang sangat heliks. Struktur tersier globular menyebabkan permukaan luar menjadi asam amino hidrofilik dengan solubilitas yang tinggi, dan bagian dalam dibatasi dengan golongan nonpolar, bentuk hidrofobik dimana ada heme. Struktur kuarterner tetramerik dari HbA mengandaung 2 dimer αß. Banyak interaksi yang kuat (e.g., hubungan αlß1) memegang rantai α dan ß bersama-sama. Tetramer yang komplit dibentuk bersama oleh permukaan antara rantai α dari 1 dimer dan rantai non-α dari dimer lainnya. Tetramer hemoglonin sangatlah mudah larut, teteapi rantai globin tidak mudah larut (Benz, 2008 dalam Fauci, et al., 2008).

2.4.2. Kadar Hemoglobin

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung erotrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariadi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut off point) di bawah kadar mana kita anggap terdapat anemia (Bakta 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Tabel 2.4. Kadar Hemoglobin Menurut WHO

No. Kelompok Kadar Hemoglobin (Hb)

1. Laki-laki dewasa < 13 g/dl

2. Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl

3. Wanita hamil < 11 g/dl


(53)

Tabel 2.5. Kadar Hemoglobin untuk Diagnosis Anemia

No. Populasi Tidak Anemia Anemia

Ringan Sedang Berat 1.

Anak (6-59 bulan) 110 atau lebih 100-109 70-99 <70 2. Anak (5-11 tahun) 115 atau lebih 110-114 80-109 <80 3. Anak (12-14 tahun) 120 atau lebih 110-119 80-109 <80

4. Wanita tidak hamil

(≥ 15 tahun) 120 atau lebih 110-119 80-109 <80

5. Wanita hamil 110 atau lebih 100-10 70-99 <70 6. Pria (≥ 15 tahun) 130 atau lebih 110-129 80-109 <80

Sumber: dikutip dari WHO, 2011. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity [diakses tanggal 10 Oktober 2015].

2.5. Diabetes Mellitus tipe 2 dan Kadar Hemoglobin

Diabetes adalah penyebab utama Penyakit Ginjal Kronis (Chronic Kidney Disease, CKD) dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Anemia umumnya berhubungan dengan diabetes dan CKD dan berperan besar dalam hasil klinis pasien. Sebuah studi observasional menunjukkan bahwa kadar Hemoglobin (Hb) yang rendah pada pasien DM dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit ginjal serta morbiditas dan mortalitas kardiovaskular (Mehdi dan Toto, 2009).

Patogenesis anemia pada diabetes merupakan akibat dari kurangnya sintesis serta pelepasan eritropietin, peradangan sistemik, kekurangan zat besi dan kemungkinan faktor iatrogenik, seperti penggunaan Angiotensin Converting Enzyme inhibitor (ACE-I). Terjadinya anemia pada penyakit ginjal kronik berhubungan dengan penurunan Glomerulus Filtration Rate (GFR) dan keadaan


(54)

ini dianggap menjadi faktor risiko yang penting pada gangguan sistem di kardiovaskular. Oleh karena itu, penting untuk mendiagnosa anemia secara tepat. (Bonakdaran, Gharebaghi, Vahedian, 2011).

Anemia pada pasien diabetes dengan CKD menunjukkan lebih dari satu lebih mekanisme. Penyebab utama anemia pada pasien CKD adalah defisiensi besi dan eritropoietin dan hiporesponsif dari eritropoietin (Mehdi dan Toto, 2009).

a. Defisiensi besi

Defisiensi besi pada masyarakat umum merupakan penyebab umum anemia dan lazim pada pasien dengan diabetes dan CKD. Analisis terbaru dari National Health and Nutrition Examination Survey IV menunjukkan bahwa sampai 50% pasien dengan CKD stadium 2-5 mempunya defisiensi besi yang absolut atau relatif (fungsional). Pada CKD, defisiensi besi absolut dan relatif adalah hal yang biasa. Defisiensi besi absolut didefinisikan dengan deplesi dari penyimpanan jaringan besi yang dibuktikkan dengan kadar serum ferritin <100 ng/ml atau saturasi transferrin <20%. Anemia defisiensi besi fungsional adalah jaringan besi yang adekuat yang didefinisikan dengan kadar serum ferritin ≥100 ng/ml dan reduksi pada saturasi besi.

b. Defisiensi dan hiporesponsif eritropoietin

Defisiensi dan hiporesponsif eritropoietin berperan dalam kejadian anemia pada pasien diabetes dengan CKD. Penyebab defisiensi eritropoietin diduga karena pengurangan massa ginjal dengan akibat penurunan hormon. Hiporesponsif secara klinis diartikan sebagai dosis tinggi dari eritropoietin untuk meningkatkan kadar Hb dengan tidak adanya defisiensi besi. Hal ini diyakini untuk menggambarkan aksi gangguan antiapoptosis dari eritropoietin pada proeritroblast. Penyebab yang mungkin dari hiporesponsif eritropoietin adalah peradangan sistemik dan kerusakan mikrovaskular di sumsum tulang. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa faktor-faktor lain (misalnya, kegagalan otonom) mungkin berperan dalam gangguan produksi eritropoietin atau sekresi oleh gagal ginjal.


(55)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes adalah penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak memproduksi insulin yang cukup, atau ketika tubuh tidak dapat secara ekeftif menggunakan insulin yang dihasilkan (WHO, 2015). Hasil Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat Diabetes Mellitus (DM) pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan daerah pedesaan, Diabetes Mellitus menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8% (Depkes, 2009). Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi Diabetes Mellitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care, 2004 dalam Depkes, 2009).

Diabetes Mellitus terdiri dari dua tipe yaitu DM tipe pertama yang disebabkan keturunan dan tipe kedua disebabkan life style atau gaya hidup. Secara umum, hampir 80 % prevalensi Diabetes Mellitus adalah DM tipe 2. Ini berarti gaya hidup/life style yang tidak sehat menjadi pemicu utama meningkatnya prevalensi DM. Bila dicermati, penduduk dengan obesitas mempunyai risiko terkena DM lebih besar dari penduduk yang tidak obesitas (Depkes, 2009).

Peningkatan insidensi DM tentu akan diikuiti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM (Waspadji, 2009). Hasil penelitian Adejumo et. al. pada tahun 2012 di Nigeria menyatakan bahwa kontrol glikemik yang buruk berhubungan dengan terjadinya anemia pada pasien DM tipe 2. Anemia merupakan salah satu bagian dari komplikasi kronis yang terjadi jika penyakit DM tidak dikelola dengan baik. Kontrol glikemik yang buruk menyebabkan terjadinya neuropati otonom sehingga mengganggu produksi eritropoietin dan pelepasannya karena sebagian mekanisme tersebut diatur oleh sistem saraf otonom, selain itu juga terjadi kerusakan arsitektur ginjal karena hiperglikemia kronis dan akibat terbentuknya advanced glycation end products


(56)

(AGEs), yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya anemia pada pasien DM (Adejumo BI, et. al., 2012 dalam Balela, Arifin, dan Noor, 2014).

Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang secara drastis menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. Diabetes sering muncul setelah seseorang memasuki usia rawan tersebut, terutama setelah usia 45 tahun pada mereka yang berat badannya berlebih, sehingga tubuhnya tidak peka lagi terhadap insulin (Jafar, N., 2009).

Data tentang pasien rawat inap DM tipe 2 di instalasi rekam medis Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan tahun 2014 mayoritas pasien laki-laki dengan usia ≥ 40 tahun ke atas. Dan juga data tentang kadar hemoglobin masih sedikit diteliti. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui apakah ada perbedaan kadar hemoglobin pada pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2 yang terkontrol dan tidak terkontrol.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu apakah ada perbedaan kadar hemoglobin pada pasien laki-laki berusia ≥ 40 tahun indikasi rawat inap dengan Diabetes Mellitus tipe 2 yang terkontrol dan tidak terkontrol di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2014?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan kadar hemoglobin pada pasien laki-laki berusia ≥ 40 tahun indikasi rawat inap dengan Diabetes Mellitus tipe 2 yang terkontrol dan tidak terkontrol di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2014.


(57)

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kadar hemoglobin pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 yang terkontrol.

2. Mengetahui kadar hemoglobin pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan salah satu syarat kelulusan untuk menyelesaikan program pendidikan sarjana (S1) dan diharapkan dapat meningkatkan wawasan, minat, dan kemampuan dalam bidang penelitian.

2. Bagi masyarakat umum, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan informasi khususnya bagi pasien Diabetes Mellitus tipe 2. 3. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat sebagai acuan untuk


(1)

Penulis menyadari bahwa penulisan karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Demikianlah kata pengantar ini penulis sampaikan. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, 07 Desember 2015


(2)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

1.3.1.Tujuan Umum ... 2

1.3.2.Tujuan Khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Diabetes Mellitus ... 4

2.1.1.Definisi Diabetes Mellitus ... 4

2.1.2.Epidemiologi Diabetes Mellitus ... 4

2.1.3.Etiologi dan Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus ... 5

2.1.4.Klasifikasi Diabetes Mellitus ... 6

2.2. Diabetes Mellitus tipe 2 ... 8

2.2.1. Definisi Diabetes Mellitus tipe 2 ... 8

2.2.2. Prevalensi Diabetes Mellitus tipe 2 ... 8

2.2.3. Faktor Resiko Diabetes Mellitus tipe 2 ... 10

2.2.4. Patogenesis dan Patofisiologi Diabetes Mellitus tipe 2 ... 10

2.2.5. Gejala Klinis Diabetes Mellitus tipe 2 ... 12

2.2.6. Diagnosis Diabetes Mellitus tipe 2 ... 13

2.2.7. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus tipe 2 ... 14

2.2.8. Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2 ... 21

2.2.9. Edukasi Diabetes Mellitus tipe 2 ... 24

2.2.10. Komplikasi Diabetes Mellitus ... 25

2.3. Darah ... 27

2.3.1. Sel Darah Merah ... 28

2.3.2. Struktur Sel Darah Merah ... 28

2.4. Hemoglobin... 29

2.4.1. Struktur Hemoglobin ... 29

2.4.2. Kadar Hemoglobin ... 30


(3)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 33

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 33

3.2. Definisi Operasional ... 33

3.2. Hipotesis ... 35

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 36

4.1. Jenis Penelitian ... 36

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

4.2.1. Lokasi Penelitian ... 36

4.2.2. Waktu Penelitian ... 36

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 36

4.3.1. Populasi ... 36

4.3.2. Sampel ... 37

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 37

4.5. Pengolahan dan Analisa Data ... 37

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

5.1. Hasil Penelitian ... 39

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 39

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Penderita... 40

5.1.3. Deskripsi Kadar Hemoglobin pada DM tipe 2 ... 42

5.1.4. Perbedaan Kadar Hemoglobin pada DM tipe 2 ... 42

5.2. Pembahasan ... 43

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

6.1. Kesimpulan ... 45

6.2. Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 47

LAMPIRAN


(4)

viii

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 5.1. 5.2. 5.3. 5.4. 5.5.

Klasifikasi Diabetes Mellitus

Faktor Resiko Dibetes Mellitus tipe 2 Kriteria Diagnostik DM

Kriteria Anemia Menurut WHO

Kadar Hemoglobin untuk Diagnosis Anemia Frekuensi Usia Penderita

Frekuensi Penderita dengan Kadar HbA1c Frekuensi Penderita dengan Kadar Hemoglobin Deskripsi Kadar Hemoglobin pada DM tipe 2 Terkonrol dan Tidak Terkontrol

Perbedaan Kadar Hemoglobin pada DM tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol

7 10 13 30 31 40 41 41 42 43


(5)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Prevalensi Diabetes Mellitus di SeluruhDunia 5

3.1. Kerangka Konsep Penelitian 33


(6)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Riwayat Hidup Peneliti

Lampiran 2 Ethical Clearance

Lampiran 3 Master Data