Syarah Hadis ANALISA KANDUNGAN HADIS TENTANG
46 Sa‟îd dan Abû Huraîrah dinukil Ibnu Hibbân dalam kitab sahih-nya. Hadis
Ibnu Umar dan Ibnu Abbâs adalah sama, yang dinukil al-Tabarânî dari jalur Ibrâhîm bin Abî Albah, dari At
a‟ dari keduanya. Dari hadis ini tidak menyebutkan salat kecuali pada hadis Jâbir, hanya saja redaksi riwayat Abû
Ayyûb adalah,
ل ها ت ّص ث ء ض لا ح ف ًض ت ط لا ت ا
Sembunyikan lamaran dan berwudhulah, lalu baguskanlah wudhu-mu, kemudian
laksanakanlah salat yang telah Allah wajibkan kepada kamu. Disebutkannya dua raka‟at adalah khusus dalam hadis Jabir. Penyebutan Istikhârah
dicantumkan dalam hadis Sa‟ad secara marfu’ , ها ت تسا ا ا س Di
antara kebahagiaan anak Adam adalah beristikhârah [meminta pilihan yang terbaik] kepada Allah, dinukil Imam Ahmad dan Sanad
-nya hasan. Asalnya terdapat dalam riwayat al-
Tirmidzî namun dengan menyebutkan “keridhaan dan kemurkaan”, bukan “Istikhârah”. Disebutkan dalam hadis Abû Bakar al-
Siddiq,
ل ق اً ا ا أ ا س ها ص لا أ
: ل تخا ل خ لأ
bahwa
Nabi SAW apabila menghendaki sesuatu perkara, Beliau mengucapkan, Ya Allah baikkanlah untukku dan pilihkanlah yang baik untukku, yang dinukil
al-Tirmidzi dengan sanad yang lemah. Disebutkan dalam hadis Anas secara marfu’,
تسا خ tidak akan kecewa orang yang beristikhârah, hadis
ini dinukil al-Tabarânî dalam al- Mu‟jam al-Saghîr dengan sanad yang
lemah.
58
58
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009,
Jilid 30, hal. 631
47
تس لا س
لا ص لا ل س Nabi SAW mengajarkan Istikhârah kepada kami,
Dalam riwayat Ma‟an disebutkan dengan redaksi,
حصا
mengajarkan kepada sahabatnya. Demikian juga dalam jalur Bisyr bin Umar.
ألا ف Dalam segala urusan. Ibnu Abî Hamzah mengatakan, “
ini redaksi umum tapi yang dimaksud adalah khusus, karena untuk perkara yang wajib dan sunnah tidak perlu Istikhârah untuk melakukannya, demikian
juga yang haram dan makruh tidak perlu Istikhârah untuk meninggalkannya. Jadi masalahnya terbatas pada hal-hal yang mubah saja, yaitu bila ada dua
perkara mubah dan ingin menetapkan mana yang harus dilakukan terlebih dahulu atau mana yang dipilih.
59
آ لا ل sebagaimana halnya [beliau mengajarkan] sûrah al-
Qur‟an. Disebutkan dalam riwayat Qutaîbah dari „Abdurrahmân yang telah dikemukakan pada bab salat malam,
آ لا لا
sebagaimana beliau mengajarkan surah al-
Qur‟an kepada kami. Ada pendapat menyebutkan bahwa letak keserupaannya adalah perlunya segala urusan terhadap
Istikhârah seperti perlunya salat terhadap al- Qur‟an.
حأ ا apabila seseorang di antara kalian hendak. Pada kalimat ini
ada kalimat yang tidak disebutkan secara redaksional,
حأ ا ائ ق
: mengajarkan kepada kami dengan mengatakan, apabila seseorang di antara
seseorang hendak. Redaksi ini disebutkan dalam riwayat Qutaibah,
ا
59
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, Jilid 30, hal. 632
48
ل :
Beliau bersabda, “Apabila hendak. Dalam riwayat Abû Dâud dari Qutaîbah ada tambahan,
ل kepada kami.
60
Ibnu Abî Jamrah mengatakan , “Urutan yang terbesit dalam hati adalah
di mulai dari kehendak, langkah, pikiran, niat, keinginan dan tekad. Tiga yang pertama tidak diperhitungkan, beda halnya dengan tiga yang lainnya.
Jadi sabda beliau,
ا apabila hendak mengisyaratkan untuk Istikhârah
pada proses pertama yang terbesit dalam hati, sehingga dengan keberkahan salat dan do‟a tersebut akan tampak yang baik baginya. Beda halnya dengan
suatu perkara sudah mantap dalam hatinya, keinginannya sudah kuat dan tekadnya pun telah bulat, sehingga petunjuk yang telah tergambar
dikhawatirkan akan samar karena didominasi oleh kecenderungannya”.
61
ت ف Maka hendaklah ia salat dua raka‟at. Kalimat ini
membatasi hadis Abu Ayyub yang menyebutkan,
ل ها ت ّص
Laksanakanlah salat yang diwajibkan Allah kepadamu. Bisa juga dipadukan, bahwa yang dimaksud adalah tidak h
anya satu raka‟at, karena nashnya menyebutkan dua raka‟at, sehingga penyebutan dua raka‟at ini
sebagai pemberitahuan tentang jumlah minimal. Seandainya melaksanakan lebih dari dua raka‟at, maka itu diperbolehkan. Secara zhahir disyaratkan
salam pada setiap dua raka‟at sehingga tercapailah sebutan dua raka‟at.
60
Al-Nawawi, Syarah Sahih al-Muslim, Penerjemah Hazim Muhammad, Jakarta: Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, 149
61
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 633
49 Dengan begitu, tidak sah jika salat empat raka‟at – misalnya - dengan satu
salam. Namun, pendapat al-Nawâwî menunjukan itu sah.
ض فلا غ Selain salat Fardu. Ini mengeluarkannya dari salat
Subuh. Kemungkinan juga bahwa yang dimaksud dengan faridah adalah yang fardu dan yang terkait dengannya, sehingga tidak termasuk salat sunnah
rawatib, seperti dua raka‟at salat fajar. Tampaknya yang lebih tepat adalah jika seseorang meniatkan salat tersebut salat sunnah tersebut dan salat
Istikhârah bersamaan, maka itu sah. Ini berbeda halnya jika tidak diniatkan
demikian. Hal ini juga dibedakan dari salat Tahiyatul Masjid, karena maksudnya adalah mengisi tempat dengan do‟a, sedangkan yang dimaksud
dengan salat Istikhârah adalah menempatkan do‟a setelahnya atau di
dalamnya. Jika melaksanakan salat sebelum adanya perkara yang dimaksud, maka tidak sah, karena konteks kalimatnya menunjukan bahwa salat dan do‟a
itu setelah adanya perkara yang dimaksud. Al-
Nawâwî menyatakan bahwa pada dua raka‟at salat Istikhârah dibacakan surat Al-Kâfirûn dan surat al-Ikhlâs. Guru kami mengatakan dalam
Syarh Al-Tirmidzî
, “Aku tidak menemukan dalilnya. Kemudian mengaitkannya dengan dua raka‟at fajar dan dua raka‟at setelah maghrib”.
Al- Nawâwî mengatakan, “Kedua surat itu sangat cocok dengan kondisinya
karena mengandung keikhlasan dan tauhid, sementara orang yang beristikharah
memang memerlukan hal itu”. Guru kami mengatakan, “Cocoknya adalah dengan membaca misalnya surah Al-Qasas ayat 68,
ٓ ٓ ٓ ٓت ٓٓ ء ٓشٓ ٓ ق ٓ Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan
50 memilihnya dan surah Al-Ahzâb ayat 36,
لا ضق ا ٳ ل
ل ٲ اً ٲ ل س Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan [yang lain]”
62
. Saya Ibnu Hajar katakan, yang lebih sempurna adalah membaca surah dan
ayat pertama tadi pada raka‟at pertama dan yang lainnya pada raka‟at
kedua.
63
Disimpulkan dari sabda beliau,
ض فلا غ selain yang fardu,
bahwa perintah melaksanakan dua raka‟at salat Istikhârah adalah tidak wajib. Guru kami mengatakan dalam Syarh Al-Tirmidzî
, “Saya belum pernah melihat orang yang menyatakan wajibnya Istikhârah dengan alasan adanya
perintah untuk melakukannya diserupakannya dengan mengajarkan surah al- Qur‟an, sebagaimana dia berdalil yang seperti itu dalam mewajibkan
tasyahhud dalam salat karena adanya perintah ungkapan,
ّ ف hendaklah
mengucapkan yang juga diserupakan dengan mengajarkan surah al- Qur‟an.
Jika ada yang mengatakan bahwa perintah tersebut terikat dengan syarat
condition, yaitu ucapan beliau,
أل حأ ا ٳ Apabila seseorang dari
kalian hendak [melakukan] suatu perkara, maka kami katakana, Demikian juga tasyahhud, karena itu juga diperintahkan bagi orang yang salat. Jadi
62
Muhyiddin Abî Zakariyyâ Yahya Ibn Syaraf al-Nawâwî, Al-Adzkâr, Surabaya: al- Hidayah, 1995, h. 111
63
Syihaduddin Ahmad Ib n „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 635
51 walaupun keduanya serupa tapi bisa dibedakan, karena tasyahhud merupakan
bagian dari salat, maka landasan yang mewajibkannya adalah sabda beliau SAW,
صٲ ت أ ا ص Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku
salat, sedangkan yang menunjukan tidak wajibnya salat Istikharah adalah dalil yang menunjukan tidak wajibnya salat selain yang lima waktu, yaitu
yang disebutkan dalam hadis,
ل ق ؟ غ ّ
: ,
طت أ ل
Adakah yang wajib atasku selain itu? Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali engkau mau
bertatawwu ”. Walaupun dapat menggunakan dalil tersebut untuk
menyatakan tidak wajibnya dua raka‟at Istikhârah, namun tidak menghalangi untuk dijadikan dalil akan wajibnya doa Istikhârah.
64
Tampaknya yang mereka pahami bahwa perintah itu sebagai anjuran sehingga mereka
mengalihkannya dari status wajib, tetapi karena mengandung zikir kepada
Allah dan menyerahkan perkara kepada-Nya, maka itu menjadi sunnah.
Kami katakan, secara zhahir menunjukan untuk berdo‟a setelah salat, tapi bila do‟a itu di tengah, maka itu pun sah. Jadi kemungkinan maksud
pengurutannya adalah memulai salat sebelum do‟a, karena letak do‟a setelah salat adalah saat sujud atau tasyahhud. Ibnu Abî Jamrah mengatakan,
“Hikmah mendahulukan salat daripada do‟a, adalah karena tujuan Istikhârah adalah tercapainya kebaikan dunia dan akhirat, maka perlu mengetuk pintu
Yang Maha Raja. Untuk itu, tidak ada yang lebih manjur daripada salat yang
64
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 636
52 di dalamnya mengandung pengagungan Allah, pujian kepada-Nya dan
menampakan kebutuhan terhadap- Nya”
65
تسأ أ لا Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan
kepada-Mu dengan ilmu-Mu. Huruf ba di sini berfungsi menunjukan alasan. Maksudnya, aku minta pilihan kepada-Mu karena Engkau lebih
mengetahui. Demikian juga pada kalimat
ت dengan kekuasan-Mu, bisa
juga berfungsi untuk meminta pertolongan seperti firman-Nya dalam surah Huud ayat 41,
ا ج لا Dengan menyebut nama Allah di waktu
berlayar, dan bisa juga sebagai penggabung seperti pada firman-Nya sûrah al-Qasas ayat 17,
ت أ ل ق Musa berkata, “Ya Tuhanku, demi
nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku .
تسأ Dan aku mohon kekuatan dari-Mu. Maksudnya, aku
memohon dari-Mu agar memberikan kemampuankekuatan untuk menghadapi
perkara tersebut. Bisa juga maknanya adalah “Aku memohon dari-Mu agar memudahkan perkara itu untukku
”.
أ ا ت ، قأ ا ت ف Karena sesungguhnya Engkau Maha
Kuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui sedang aku tidak mengetahui. Ini mengisyaratkan bahwa ilmu dan kekuasaan hanyalah milik
Allah semata, tidak ada hamba yang memiliki itu kecuali apa yang telah ditetapkan Allah untuknya. Seakan-
akan dia mengatakan, “Engkau wahai
65
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 637
53 Tuhanku, telah menetapkan sebelum Engkau menciptakan kemampuan
padaku, ketika menciptakan padaku dan setelah menciptakannya”.
66
أا ا أ ت ت لا Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa
perkara ini. Dalam riwayat ini dan yang lainnya disebutkan,
ا أ ت ت أا jika Engkau mengetahui perkara ini. Abû Dâud menambahkan dalam
riwayat Abdurrahmân bin Muqatil dari Abdurrahmân bin Abî al-Mawwal,
لا yang hendak, dan menambahkan dalam riwayat Ma‟an, ث
kemudian menyebutkan perkaranya, ini juga disebutkan di akhir hadis bab ini. Secara zhahir konteks redaksinya menunjukan bahwa apa yang menjadi
hajatnya itu diucapkan. Bisa juga hanya dengan menghadirkannya dalam hati saat berdo‟a. Berdasarkan pendapat pertama, maka yang jadi hajatnya itu
diucapkan setelah do‟a, dan berdasarkan pendapat kedua, maka diucapkan saat berdo‟a. Kalimat
ت ت Jika Engkau mengetahui disini pernah
ditanyakan kepada al-Karmani karena bernada ragu, padahal tidak boleh keraguan karena Allah Maha Mengetahui. Ia menjawab, bahwa keraguannya
karena pengetahuan itu terkait dengan kebaikan atau keburukan.
ش Dan kehidupanku. Abu Daud menambahkan,
Dan
tempat kembaliku, ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
لا
disini adalah
حلا kehidupan. Mungkin juga dimaksud dengan لا
adalah kehidupan yang dijalani, karena itulah yang disebutkan dalam hadis Ibnu Mas‟ud pada salah satu jalur periwayatannya yang dikemukakan oleh
66
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 638
54 al-Tabarânî di dalam al-
Mu’jam al-Aûsat, ف dalam agamaku dan
duniaku. Disebutkan dalam hadis Abû Ayyûb yang dinukil oleh al-Tabarânî,
ت خآ ف dalam duniaku dan akhiratku. Ibnu Hibbân menambahkan
dalam riwayatnya,
dan agamaku, dan dalam hadis Abû Sa‟îd, ف
تش
dalam agamaku dan penghidupanku.
67
أ ق –
جآ أ ّج ف ل ق أ
Serta akibatnya terhadap diriku - atau beliau mengatakan: di dunia atau akhirat. Ini keraguan dari riwayat dan
tidak ada perbedaan pada jalur-jalur periwayatannya. Sementara dari hadis Abû Sa‟îd hanya disebutkan,
أ ق , demikian juga pada hadis Ibnu Mas‟ûd. Ini menguatkan salah satu kemungkinannya, bahwa ّج لا dan ّج ا
Disebutkan sebagai ganti ketiga kata itu, atau pengganti kata terakhir. Berdasarkan ini al-
Karmanî mengatakan, “Tidaklah seseorang yang berdo‟a dengan do‟a Rasulullah SAW dianggap serius, kecuali dia berdo‟a tiga kali,
yaitu sekali mengucapkan
ف ش أ ق , dan sekali lagi dengan
mengucapkan,
ف أ ّج جآ ”.
ل ق ف Maka mudahkan untukku. Abû al-Hasan al-Qabisî
mengatakan, “Orang-orang negeri kami mengucapkan Faqdir, sedangkan orang-orang Masyriq al-
Faqdur‟. Al-karmanî mengatakan, “Maknanya adalah ‟jadikanlah itu ditetapkan untukku, atau tetapkanlah itu”. Ada juga yang
mengatakan, bahwa maknanya adalah „Mudahkanlah untuk-ku‟. Ma‟an
67
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 639
55 menambahkan dalam riwayatnya,
ف ل ل
Dan mudahkan itu untuku, serta berkahilah aku padanya
ف صا ف ص ف Maka palingkanlah perkara itu dariku, dan
palingkanlah darinya. Maksudnya, sampai hatiku tidak terpaut dengan perkara itu. Ini sebagai dalil bagi Ahlussunnah, bahwa keburukan itu
termasuk takdir Allah terhadap hamba, karena jika hamba itu bisa membuatnya, tentu dia pun bisa memalingkannya sendiri.
ث ح لا ل قا Dan takdirkanlah[mudahkanlah] kebaikan
untukku di mana saja ia berada. Dalam hadis Abu Sa‟id, setelah redaksi
ث ح لا ل قا disebut ل ا ق ا ل ح ا tidak ada daya dan upaya
kecuali dengan [kehendak] Allah. ض أ ث kemudian jadikanlah aku ridha. Dalam riwayat Qutaibah
disebutkan,
ض ا ث Jadikanlah aku ridha [rela] dengannya. Pada
sebagian jalur periwayatannya hadis Ibnu Mas‟ud yang dinukil al-Thabarani
dalam al-
Mu’jam al-Ausath disebutkan, ء ض ض Dan jadikanlah aku
ridha dengan ketetapan-Mu.
68
Dalam hadis Abû Ayyûb disebutkan,
ض Dan jadikanlah aku
ridha dengan takdir-Mu. Rahasia yang terkandung adalah, agar hatinya tidak terus terpaut dengan perkara itu sehingga perasaannya tidak tenteram.
Keridhaan adalah ketenangan jiwa terha dap qadha‟.
69
68
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 639
69
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 640
56 Hadis ini menunjukan kasih sayang Nabi SAW terhadap umatnya
sehingga beliau mengajarkan kepada mereka semua yang bermanfaat bagi agama dan dunia. Pada salah satu jalur periwayatannya yang dinukil al-
T abarânî pada hadis Ibnu Mas‟ûd disebutkan bahwa Nabi SAW berdoa
dengan doa ini bila hendak membuat suatu keputusan. Hadis ini juga menunjukan bahwa seorang hamba tidak akan memiliki kemampuan dan
kekuatan kecuali disertai perbuatan. Allah-lah yang menciptakan pengetahuan tentang sesuatu pada hamba-Nya, keinginannya terhadap
sesuatu itu dan keberhasilannya meraih sesuatu itu, maka sudah seharusnya seorang hamba mengembalikan segala urusan kepada Allah dan menyatakan
bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan kehendak Allah, serta senantiasa memohon kepada Allah dalam segala urusan.
70
Hadis ini sebagai dalil bahwa perintah melakukan sesuatu bukan sebagai larangan melakukan yang sebaliknya. Sebab jika demikian, maka
cukuplah dengan ungkapan,
لٌ خ أ ت ت Jika Engkau mengetahui
bahwa itu baik untukku dan tidak perlu menyatakan ungkapan,
أ ت ت لٌ ش dan jika Engkau mengetahui bahwa itu buruk bagiku, karena jika tidak
baik sudah pasti buruk. Kemudian ada perbedaan pendapat mengenai apa yang dilakukan
setelah melakukan salat Istikhârah. Ibnu Abdussalâm mengatakan, “melakukan apa yang sesuai dengannya”. Dia berdalil dengan redaksi pada
70
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 641
57 salah satu jalur periwayatan hadis Ibnu Mas‟ûd, yang dibagian akhir
disebutkan,
ز ث kemudian hendaklah bertekad, yang di awal hadisnya
disebutkan,
ّ ف اً أ حأ ا أ ا Apabila seseorang diantara kalian hendak
[melakukan] suatu perkara, maka hendaknya mengucapkan. Al-Nawawi mengatakan, Setelah ber-Istikhârah hendaknya melakukan apa yang
menentramkan hatinya. Hal ini berdasarkan hadis anas sunni,
ت ا ف لا ف ، ق ف ق لا ل ا ث ، ً س تس ف Jika engkau hendak
[melakukan] suatu perkara, maka beristikharahlah kepada Tuhanmu tujuh kali, kemudian lihatlah apa yang muncul di hatimu, karena di situ ada
kebaikan. Jika hadis ini akurat tentu bisa dijadikan sandaran, sayangnya sanad-nya sangat lemah. Adapun yang bisa dijadikan sandaran, hendaknya
tidak melakukan apa yang terdetik dalam hatinya yang berupa keinginan kuat sebelum melakukan Istikhârah. Itulah yag diisyaratkan dengan ucapan,
ا ّٓل ٓاٳ ٓ ق ا ل ح
ٗ
tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan [kehendak] Allah di akhir hadis Abû Sa‟îd.
71