Syarah Hadis ANALISA KANDUNGAN HADIS TENTANG

46 Sa‟îd dan Abû Huraîrah dinukil Ibnu Hibbân dalam kitab sahih-nya. Hadis Ibnu Umar dan Ibnu Abbâs adalah sama, yang dinukil al-Tabarânî dari jalur Ibrâhîm bin Abî Albah, dari At a‟ dari keduanya. Dari hadis ini tidak menyebutkan salat kecuali pada hadis Jâbir, hanya saja redaksi riwayat Abû Ayyûb adalah, ل ها ت ّص ث ء ض لا ح ف ًض ت ط لا ت ا Sembunyikan lamaran dan berwudhulah, lalu baguskanlah wudhu-mu, kemudian laksanakanlah salat yang telah Allah wajibkan kepada kamu. Disebutkannya dua raka‟at adalah khusus dalam hadis Jabir. Penyebutan Istikhârah dicantumkan dalam hadis Sa‟ad secara marfu’ , ها ت تسا ا ا س Di antara kebahagiaan anak Adam adalah beristikhârah [meminta pilihan yang terbaik] kepada Allah, dinukil Imam Ahmad dan Sanad -nya hasan. Asalnya terdapat dalam riwayat al- Tirmidzî namun dengan menyebutkan “keridhaan dan kemurkaan”, bukan “Istikhârah”. Disebutkan dalam hadis Abû Bakar al- Siddiq, ل ق اً ا ا أ ا س ها ص لا أ : ل تخا ل خ لأ bahwa Nabi SAW apabila menghendaki sesuatu perkara, Beliau mengucapkan, Ya Allah baikkanlah untukku dan pilihkanlah yang baik untukku, yang dinukil al-Tirmidzi dengan sanad yang lemah. Disebutkan dalam hadis Anas secara marfu’, تسا خ tidak akan kecewa orang yang beristikhârah, hadis ini dinukil al-Tabarânî dalam al- Mu‟jam al-Saghîr dengan sanad yang lemah. 58 58 Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, Jilid 30, hal. 631 47 تس لا س لا ص لا ل س Nabi SAW mengajarkan Istikhârah kepada kami, Dalam riwayat Ma‟an disebutkan dengan redaksi, حصا mengajarkan kepada sahabatnya. Demikian juga dalam jalur Bisyr bin Umar. ألا ف Dalam segala urusan. Ibnu Abî Hamzah mengatakan, “ ini redaksi umum tapi yang dimaksud adalah khusus, karena untuk perkara yang wajib dan sunnah tidak perlu Istikhârah untuk melakukannya, demikian juga yang haram dan makruh tidak perlu Istikhârah untuk meninggalkannya. Jadi masalahnya terbatas pada hal-hal yang mubah saja, yaitu bila ada dua perkara mubah dan ingin menetapkan mana yang harus dilakukan terlebih dahulu atau mana yang dipilih. 59 آ لا ل sebagaimana halnya [beliau mengajarkan] sûrah al- Qur‟an. Disebutkan dalam riwayat Qutaîbah dari „Abdurrahmân yang telah dikemukakan pada bab salat malam, آ لا لا sebagaimana beliau mengajarkan surah al- Qur‟an kepada kami. Ada pendapat menyebutkan bahwa letak keserupaannya adalah perlunya segala urusan terhadap Istikhârah seperti perlunya salat terhadap al- Qur‟an. حأ ا apabila seseorang di antara kalian hendak. Pada kalimat ini ada kalimat yang tidak disebutkan secara redaksional, حأ ا ائ ق : mengajarkan kepada kami dengan mengatakan, apabila seseorang di antara seseorang hendak. Redaksi ini disebutkan dalam riwayat Qutaibah, ا 59 Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, Jilid 30, hal. 632 48 ل : Beliau bersabda, “Apabila hendak. Dalam riwayat Abû Dâud dari Qutaîbah ada tambahan, ل kepada kami. 60 Ibnu Abî Jamrah mengatakan , “Urutan yang terbesit dalam hati adalah di mulai dari kehendak, langkah, pikiran, niat, keinginan dan tekad. Tiga yang pertama tidak diperhitungkan, beda halnya dengan tiga yang lainnya. Jadi sabda beliau, ا apabila hendak mengisyaratkan untuk Istikhârah pada proses pertama yang terbesit dalam hati, sehingga dengan keberkahan salat dan do‟a tersebut akan tampak yang baik baginya. Beda halnya dengan suatu perkara sudah mantap dalam hatinya, keinginannya sudah kuat dan tekadnya pun telah bulat, sehingga petunjuk yang telah tergambar dikhawatirkan akan samar karena didominasi oleh kecenderungannya”. 61 ت ف Maka hendaklah ia salat dua raka‟at. Kalimat ini membatasi hadis Abu Ayyub yang menyebutkan, ل ها ت ّص Laksanakanlah salat yang diwajibkan Allah kepadamu. Bisa juga dipadukan, bahwa yang dimaksud adalah tidak h anya satu raka‟at, karena nashnya menyebutkan dua raka‟at, sehingga penyebutan dua raka‟at ini sebagai pemberitahuan tentang jumlah minimal. Seandainya melaksanakan lebih dari dua raka‟at, maka itu diperbolehkan. Secara zhahir disyaratkan salam pada setiap dua raka‟at sehingga tercapailah sebutan dua raka‟at. 60 Al-Nawawi, Syarah Sahih al-Muslim, Penerjemah Hazim Muhammad, Jakarta: Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, 149 61 Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 633 49 Dengan begitu, tidak sah jika salat empat raka‟at – misalnya - dengan satu salam. Namun, pendapat al-Nawâwî menunjukan itu sah. ض فلا غ Selain salat Fardu. Ini mengeluarkannya dari salat Subuh. Kemungkinan juga bahwa yang dimaksud dengan faridah adalah yang fardu dan yang terkait dengannya, sehingga tidak termasuk salat sunnah rawatib, seperti dua raka‟at salat fajar. Tampaknya yang lebih tepat adalah jika seseorang meniatkan salat tersebut salat sunnah tersebut dan salat Istikhârah bersamaan, maka itu sah. Ini berbeda halnya jika tidak diniatkan demikian. Hal ini juga dibedakan dari salat Tahiyatul Masjid, karena maksudnya adalah mengisi tempat dengan do‟a, sedangkan yang dimaksud dengan salat Istikhârah adalah menempatkan do‟a setelahnya atau di dalamnya. Jika melaksanakan salat sebelum adanya perkara yang dimaksud, maka tidak sah, karena konteks kalimatnya menunjukan bahwa salat dan do‟a itu setelah adanya perkara yang dimaksud. Al- Nawâwî menyatakan bahwa pada dua raka‟at salat Istikhârah dibacakan surat Al-Kâfirûn dan surat al-Ikhlâs. Guru kami mengatakan dalam Syarh Al-Tirmidzî , “Aku tidak menemukan dalilnya. Kemudian mengaitkannya dengan dua raka‟at fajar dan dua raka‟at setelah maghrib”. Al- Nawâwî mengatakan, “Kedua surat itu sangat cocok dengan kondisinya karena mengandung keikhlasan dan tauhid, sementara orang yang beristikharah memang memerlukan hal itu”. Guru kami mengatakan, “Cocoknya adalah dengan membaca misalnya surah Al-Qasas ayat 68, ٓ ٓ ٓ ٓت ٓٓ ء ٓشٓ ٓ ق ٓ Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan 50 memilihnya dan surah Al-Ahzâb ayat 36, لا ضق ا ٳ ل ل ٲ اً ٲ ل س Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan [yang lain]” 62 . Saya Ibnu Hajar katakan, yang lebih sempurna adalah membaca surah dan ayat pertama tadi pada raka‟at pertama dan yang lainnya pada raka‟at kedua. 63 Disimpulkan dari sabda beliau, ض فلا غ selain yang fardu, bahwa perintah melaksanakan dua raka‟at salat Istikhârah adalah tidak wajib. Guru kami mengatakan dalam Syarh Al-Tirmidzî , “Saya belum pernah melihat orang yang menyatakan wajibnya Istikhârah dengan alasan adanya perintah untuk melakukannya diserupakannya dengan mengajarkan surah al- Qur‟an, sebagaimana dia berdalil yang seperti itu dalam mewajibkan tasyahhud dalam salat karena adanya perintah ungkapan, ّ ف hendaklah mengucapkan yang juga diserupakan dengan mengajarkan surah al- Qur‟an. Jika ada yang mengatakan bahwa perintah tersebut terikat dengan syarat condition, yaitu ucapan beliau, أل حأ ا ٳ Apabila seseorang dari kalian hendak [melakukan] suatu perkara, maka kami katakana, Demikian juga tasyahhud, karena itu juga diperintahkan bagi orang yang salat. Jadi 62 Muhyiddin Abî Zakariyyâ Yahya Ibn Syaraf al-Nawâwî, Al-Adzkâr, Surabaya: al- Hidayah, 1995, h. 111 63 Syihaduddin Ahmad Ib n „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 635 51 walaupun keduanya serupa tapi bisa dibedakan, karena tasyahhud merupakan bagian dari salat, maka landasan yang mewajibkannya adalah sabda beliau SAW, صٲ ت أ ا ص Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku salat, sedangkan yang menunjukan tidak wajibnya salat Istikharah adalah dalil yang menunjukan tidak wajibnya salat selain yang lima waktu, yaitu yang disebutkan dalam hadis, ل ق ؟ غ ّ : , طت أ ل Adakah yang wajib atasku selain itu? Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali engkau mau bertatawwu ”. Walaupun dapat menggunakan dalil tersebut untuk menyatakan tidak wajibnya dua raka‟at Istikhârah, namun tidak menghalangi untuk dijadikan dalil akan wajibnya doa Istikhârah. 64 Tampaknya yang mereka pahami bahwa perintah itu sebagai anjuran sehingga mereka mengalihkannya dari status wajib, tetapi karena mengandung zikir kepada Allah dan menyerahkan perkara kepada-Nya, maka itu menjadi sunnah. Kami katakan, secara zhahir menunjukan untuk berdo‟a setelah salat, tapi bila do‟a itu di tengah, maka itu pun sah. Jadi kemungkinan maksud pengurutannya adalah memulai salat sebelum do‟a, karena letak do‟a setelah salat adalah saat sujud atau tasyahhud. Ibnu Abî Jamrah mengatakan, “Hikmah mendahulukan salat daripada do‟a, adalah karena tujuan Istikhârah adalah tercapainya kebaikan dunia dan akhirat, maka perlu mengetuk pintu Yang Maha Raja. Untuk itu, tidak ada yang lebih manjur daripada salat yang 64 Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 636 52 di dalamnya mengandung pengagungan Allah, pujian kepada-Nya dan menampakan kebutuhan terhadap- Nya” 65 تسأ أ لا Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan kepada-Mu dengan ilmu-Mu. Huruf ba di sini berfungsi menunjukan alasan. Maksudnya, aku minta pilihan kepada-Mu karena Engkau lebih mengetahui. Demikian juga pada kalimat ت dengan kekuasan-Mu, bisa juga berfungsi untuk meminta pertolongan seperti firman-Nya dalam surah Huud ayat 41, ا ج لا Dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar, dan bisa juga sebagai penggabung seperti pada firman-Nya sûrah al-Qasas ayat 17, ت أ ل ق Musa berkata, “Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku . تسأ Dan aku mohon kekuatan dari-Mu. Maksudnya, aku memohon dari-Mu agar memberikan kemampuankekuatan untuk menghadapi perkara tersebut. Bisa juga maknanya adalah “Aku memohon dari-Mu agar memudahkan perkara itu untukku ”. أ ا ت ، قأ ا ت ف Karena sesungguhnya Engkau Maha Kuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui sedang aku tidak mengetahui. Ini mengisyaratkan bahwa ilmu dan kekuasaan hanyalah milik Allah semata, tidak ada hamba yang memiliki itu kecuali apa yang telah ditetapkan Allah untuknya. Seakan- akan dia mengatakan, “Engkau wahai 65 Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 637 53 Tuhanku, telah menetapkan sebelum Engkau menciptakan kemampuan padaku, ketika menciptakan padaku dan setelah menciptakannya”. 66 أا ا أ ت ت لا Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini. Dalam riwayat ini dan yang lainnya disebutkan, ا أ ت ت أا jika Engkau mengetahui perkara ini. Abû Dâud menambahkan dalam riwayat Abdurrahmân bin Muqatil dari Abdurrahmân bin Abî al-Mawwal, لا yang hendak, dan menambahkan dalam riwayat Ma‟an, ث kemudian menyebutkan perkaranya, ini juga disebutkan di akhir hadis bab ini. Secara zhahir konteks redaksinya menunjukan bahwa apa yang menjadi hajatnya itu diucapkan. Bisa juga hanya dengan menghadirkannya dalam hati saat berdo‟a. Berdasarkan pendapat pertama, maka yang jadi hajatnya itu diucapkan setelah do‟a, dan berdasarkan pendapat kedua, maka diucapkan saat berdo‟a. Kalimat ت ت Jika Engkau mengetahui disini pernah ditanyakan kepada al-Karmani karena bernada ragu, padahal tidak boleh keraguan karena Allah Maha Mengetahui. Ia menjawab, bahwa keraguannya karena pengetahuan itu terkait dengan kebaikan atau keburukan. ش Dan kehidupanku. Abu Daud menambahkan, Dan tempat kembaliku, ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan لا disini adalah حلا kehidupan. Mungkin juga dimaksud dengan لا adalah kehidupan yang dijalani, karena itulah yang disebutkan dalam hadis Ibnu Mas‟ud pada salah satu jalur periwayatannya yang dikemukakan oleh 66 Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 638 54 al-Tabarânî di dalam al- Mu’jam al-Aûsat, ف dalam agamaku dan duniaku. Disebutkan dalam hadis Abû Ayyûb yang dinukil oleh al-Tabarânî, ت خآ ف dalam duniaku dan akhiratku. Ibnu Hibbân menambahkan dalam riwayatnya, dan agamaku, dan dalam hadis Abû Sa‟îd, ف تش dalam agamaku dan penghidupanku. 67 أ ق – جآ أ ّج ف ل ق أ Serta akibatnya terhadap diriku - atau beliau mengatakan: di dunia atau akhirat. Ini keraguan dari riwayat dan tidak ada perbedaan pada jalur-jalur periwayatannya. Sementara dari hadis Abû Sa‟îd hanya disebutkan, أ ق , demikian juga pada hadis Ibnu Mas‟ûd. Ini menguatkan salah satu kemungkinannya, bahwa ّج لا dan ّج ا Disebutkan sebagai ganti ketiga kata itu, atau pengganti kata terakhir. Berdasarkan ini al- Karmanî mengatakan, “Tidaklah seseorang yang berdo‟a dengan do‟a Rasulullah SAW dianggap serius, kecuali dia berdo‟a tiga kali, yaitu sekali mengucapkan ف ش أ ق , dan sekali lagi dengan mengucapkan, ف أ ّج جآ ”. ل ق ف Maka mudahkan untukku. Abû al-Hasan al-Qabisî mengatakan, “Orang-orang negeri kami mengucapkan Faqdir, sedangkan orang-orang Masyriq al- Faqdur‟. Al-karmanî mengatakan, “Maknanya adalah ‟jadikanlah itu ditetapkan untukku, atau tetapkanlah itu”. Ada juga yang mengatakan, bahwa maknanya adalah „Mudahkanlah untuk-ku‟. Ma‟an 67 Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 639 55 menambahkan dalam riwayatnya, ف ل ل Dan mudahkan itu untuku, serta berkahilah aku padanya ف صا ف ص ف Maka palingkanlah perkara itu dariku, dan palingkanlah darinya. Maksudnya, sampai hatiku tidak terpaut dengan perkara itu. Ini sebagai dalil bagi Ahlussunnah, bahwa keburukan itu termasuk takdir Allah terhadap hamba, karena jika hamba itu bisa membuatnya, tentu dia pun bisa memalingkannya sendiri. ث ح لا ل قا Dan takdirkanlah[mudahkanlah] kebaikan untukku di mana saja ia berada. Dalam hadis Abu Sa‟id, setelah redaksi ث ح لا ل قا disebut ل ا ق ا ل ح ا tidak ada daya dan upaya kecuali dengan [kehendak] Allah. ض أ ث kemudian jadikanlah aku ridha. Dalam riwayat Qutaibah disebutkan, ض ا ث Jadikanlah aku ridha [rela] dengannya. Pada sebagian jalur periwayatannya hadis Ibnu Mas‟ud yang dinukil al-Thabarani dalam al- Mu’jam al-Ausath disebutkan, ء ض ض Dan jadikanlah aku ridha dengan ketetapan-Mu. 68 Dalam hadis Abû Ayyûb disebutkan, ض Dan jadikanlah aku ridha dengan takdir-Mu. Rahasia yang terkandung adalah, agar hatinya tidak terus terpaut dengan perkara itu sehingga perasaannya tidak tenteram. Keridhaan adalah ketenangan jiwa terha dap qadha‟. 69 68 Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 639 69 Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 640 56 Hadis ini menunjukan kasih sayang Nabi SAW terhadap umatnya sehingga beliau mengajarkan kepada mereka semua yang bermanfaat bagi agama dan dunia. Pada salah satu jalur periwayatannya yang dinukil al- T abarânî pada hadis Ibnu Mas‟ûd disebutkan bahwa Nabi SAW berdoa dengan doa ini bila hendak membuat suatu keputusan. Hadis ini juga menunjukan bahwa seorang hamba tidak akan memiliki kemampuan dan kekuatan kecuali disertai perbuatan. Allah-lah yang menciptakan pengetahuan tentang sesuatu pada hamba-Nya, keinginannya terhadap sesuatu itu dan keberhasilannya meraih sesuatu itu, maka sudah seharusnya seorang hamba mengembalikan segala urusan kepada Allah dan menyatakan bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan kehendak Allah, serta senantiasa memohon kepada Allah dalam segala urusan. 70 Hadis ini sebagai dalil bahwa perintah melakukan sesuatu bukan sebagai larangan melakukan yang sebaliknya. Sebab jika demikian, maka cukuplah dengan ungkapan, لٌ خ أ ت ت Jika Engkau mengetahui bahwa itu baik untukku dan tidak perlu menyatakan ungkapan, أ ت ت لٌ ش dan jika Engkau mengetahui bahwa itu buruk bagiku, karena jika tidak baik sudah pasti buruk. Kemudian ada perbedaan pendapat mengenai apa yang dilakukan setelah melakukan salat Istikhârah. Ibnu Abdussalâm mengatakan, “melakukan apa yang sesuai dengannya”. Dia berdalil dengan redaksi pada 70 Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 641 57 salah satu jalur periwayatan hadis Ibnu Mas‟ûd, yang dibagian akhir disebutkan, ز ث kemudian hendaklah bertekad, yang di awal hadisnya disebutkan, ّ ف اً أ حأ ا أ ا Apabila seseorang diantara kalian hendak [melakukan] suatu perkara, maka hendaknya mengucapkan. Al-Nawawi mengatakan, Setelah ber-Istikhârah hendaknya melakukan apa yang menentramkan hatinya. Hal ini berdasarkan hadis anas sunni, ت ا ف لا ف ، ق ف ق لا ل ا ث ، ً س تس ف Jika engkau hendak [melakukan] suatu perkara, maka beristikharahlah kepada Tuhanmu tujuh kali, kemudian lihatlah apa yang muncul di hatimu, karena di situ ada kebaikan. Jika hadis ini akurat tentu bisa dijadikan sandaran, sayangnya sanad-nya sangat lemah. Adapun yang bisa dijadikan sandaran, hendaknya tidak melakukan apa yang terdetik dalam hatinya yang berupa keinginan kuat sebelum melakukan Istikhârah. Itulah yag diisyaratkan dengan ucapan, ا ّٓل ٓاٳ ٓ ق ا ل ح ٗ tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan [kehendak] Allah di akhir hadis Abû Sa‟îd. 71

C. Pandangan Ulama

Menurut Sayyid Sâbiq berkata sesudah beristikhârah haruslah mengerjakan apa yang dirasa lebih baik untuk diri dan hendaklah bebas dari kehendak pribadi. 72 Jadi jangan sampai lebih mengutamakan sesuatu yang 71 Muhyiddin Abî Zakariyyâ Yahya Ibn Syaraf al-Nawâwî, Al-Adzkâr, Surabaya: al- Hidayah, 1995, h. 113 72 Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunnah, Bandung: Pustaka al- Ma‟arif, cet. 14 hal. 67 58 demikian baik pada waktu sebelum beristikhârah, sebab kalau demikian maka sama halnya dengan tidak beristikhârah kepada Allah atau kurang menyerah terhadap pengetahuan serta kekuasaan Allah. Karena itu, haruslah ia mempercayai benar-benar kehendak Allah yang akan ditetapkan hingga dengan demikian terlepaslah ia dari usaha, kekuatan atau pilihan dirinya pribadi. Menurut Allamah Sayyid M. Husaîn Tabat abâ‟i apabila seseorang berniat untuk melakukan suatu langkah atau tindakan tertentu, maka ia tak memiliki pilihan selain melakukan investigasi mengenai langkah atau tindakan yang ia ingin lakukan, dan sejauh kemampuannya ia harus berfikir keras apabila ia harus melakukan atau tidak melakukan tindakan itu. Bila ia tidak mampu untuk mengembil keputusan, maka ia meminta nasihat orang lain, jika cara ini tidak berhasil maka ia tidak memiliki alternatif lain kecuali berada memohon kepada Allah dan meminta petunjuk dari-Nya tentang apa yang benar-benar terbaik kepadanya. Singkatnya tidak berdosa seseorang melakukan Istikhârah, karena Istikhârah tidak bermakna apa-apa selain untuk menentukan pilihan mana yang harus seseorang tempuh. Salat tidak mengubah aturan-aturan Allah. Istikhârah juga tidak menginformasikan hamba Allah tentang apa yang tersembunyi di balik tirai-tirai pengetahuan Allah SWT. 73 73 M. Baqir Haideri, Istikharah Cara Praktis Meminta Petunjuk dan Jalan Keluar dari Allah SWT. , Jakarta: Pustaka Zahra, 2003, cet. 1, hal. 57 59 Dari riwayat-riwayat autentik telah dinyatakan bahwa Rasulullah senantiasa memohon yang terbaik dan mendorong orang-orang di sekitarnya keluarga dan sahabat untuk melakukan Istikhârah. Rasulullah melarang banyak orang yang memandang remeh Istikhârah dengan sabdanya “walaupun kadang-kadang hasil Istikhârah yang dilakukan oleh orang-orang adalah buruk, namun hal itu menunjukan bahwa mereka telah bergantung kepada Allah dan tetap melakukan pekerjaaannya. Oleh sebab itu, tidak ada masalah dengan Istikhârah entah melalui al- Qur‟an atau melalui cara-cara lain. Karena jika hasil suatu Istikhârah akan melaksanakan yang ia Istikhârah- kan dengan hati yang puas dan jiwa yang murni dan jika hasil Istikhârah itu buruk, maka berarti ia telah bergantung kepada Allah dan tetap melakukan hidupnya seperti biasa. 74 Menurut Abû „Ubaîdah Masyhûr Ibn Hasan Mahmûd Ibn Salmân dalam menyatakan bahwa para ulama sepakat bahwa sesungguhnya orang yang beristikharah melakukan apa yang menjadi kelapangan dan kemantapan dalam hatinya, bukan sekedar melalui mimpi atau orang lain, sebab ia telah berdo‟a kepada Allah melalui salat, sedangkan salat itu sendiri adalah do‟a yang dengannya Allah memilihkan sebuah kebaikan dari setiap urusan, kemudian menyempurnakannya. 75 74 M. Baqir Haideri, Istikhârah Cara Praktis Meminta Petunjuk dan Jalan Keluar dari Allah SWT., hal. 58-59 75 Masyhûr ibn Hasan Mahmûd ibn Salmân, Al-Qaulu al- Mubĭn Akhtâ’I al- Muslim, h. 98