Tahapan Prosesi Buka Palang Pintu Pada Acara Pernikahan

tinggi. Dialog Pantun yang digunakan berisi seputar maksud dan tujuan kedatangan pihak laki-laki. Contohnya adalah : “Sampang simping jambu mateng Siapa disamping, itu tamu baru dateng? ” Lalu di jawab : “Makan sekuteng di Pasar Jum’at Pulangnya mampir ke Kramat Jati Saya ame rombongan deteng dengan segala hormat Mohon diterima dengan senang hati”. 11 Setelah selesai dialog pantun, pada tahapan keempat adalah harus dipenuhinya syarat membuka palang pintu dengan beradu ilmu silat menunjukkan jurus pukulan. Silat bukan berarti untuk berkelahi melainkan untuk bela diri. Orang Betawi di Tanjung Barat sering menyebutnya dengan “main pukul” yang mempunyai makna agar dapat melindungi keluarga dan anak-anaknya, membersihkan hati serta menjauhkan diri dari kesombongan. Jurus silat yang digunakan beraneka macam karena silat yang digunakan hanya sebagai simbol dan seni pertunjukkan saja. Gambar 4.6 Menunjukkan jurus pukulan untuk membuka palang pintu 11 Hasil wawancara dengan pendiri palang pintu, Zainuddin Pada Senin, 20 Oktober 2014 Pukul 18.30 WIB. Gambar 4.7 Menunjukkan alat yang digunakan adalah Toya Tongkat panjang dan golok. Pada saat Main pukul atau adu silat, jawara dari pihak laki-laki harus bisa mengalahkan jawara dari pihak perempuan, dan pada pertunjukkan tradisi ini pada akhirnya dimenangkan oleh pihak laki-laki. Simbol silat juga melambangkan keberanian dan juga bermanfaat bagi banyak orang. Akan tetapi ada satu syarat lagi untuk masuk yaitu : Gambar 4.8 Pembacaan Sikeh Syarat atau tahapan kelima yaitu pembacaan sikeh, bahasa Betawinya adalah pembacaan yalil tetapi untuk bahasa memperindah bacaan Al- Qur’an disebut sikeh. Pembacaan sikeh mempunyai makna bahwa orang Betawi selain harus bisa silat, sebagai umat Islam, umat Nabi Muhammad harus bisa mengaji itu yang dianjurkan oleh Allah dan bukan hanya Islam KTP saja. Setelah selesai pembacaan sikeh, pihak mempelai laki-laki dan tamu rombongan dipersilahkan masuk untuk melakukan acara akad nikah. Gambar 4.9 Menunjukkan pihak laki-laki dipersilahkan masuk oleh pihak perempuan.

3. Pandangan Tentang Tradisi Buka Palang Pintu Menurut

Masyarakat Tanjung Barat Tradisi buka palang pintu pada acara adat pernikahan Betawi adalah sebuah prosesi yang di dalamnya terdapat unsur kesenian dan merupakan bentuk budaya pada masyarakat Betawi saat ini, sarat akan kearifan lokal yang patut dilestarikan tidak hanya sebagai sarana hiburan namun juga sebagai bahan perenungan sekaligus pendidikan, karena tradisi buka palang pintu juga dijadikan sebagai siar agama Islam, semua yang terkandung didalamnya bermanfaat dan perbuatan didalamnya sunnah berlandaskan ajaran agama Islam. Tidak ada unsur kesyirikan atau menduakan Allah didalamnya. Pada saat ini tradisi buka palang pintu menunjukkan kemajuan yang baik ditinjau dari apresiasi masyarakat di wilayah Tanjung Barat dengan menggunakan palang pintu pada acara pernikahannya, bukan hanya masyrakat Betawi saja, menurut Akmaluddin, “dari pihak kelurahan juga sering memanggil palang pintu untuk menyambut kedatangan tamu pejabat dan Gubernur yang hadir di Kelurahan Tanjung Barat dan pantun yang digunakan dalam acara palang pintu diubah untuk acara penyambutan pejabat ”. 12 Hal tersebut juga diperkuat dengan pendapat Lurah Tanjung Barat yang juga mempunyai perhatian terhadap kesenian dan tradisi budaya Betawi, buka palang pintu , “jika dari pimpinan tingkat kecamatan serta pimpinan lainnya datang, kita akan menyuguhkan budaya Betawi yang ada di Tanjung Barat”. 13 Dengan dipanggilnya palang pintu dalam acara pernikahan ataupun menyambut pejabat, hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Betawi. Menjadi wadah untuk memperkenalkan kepada anak serta cucu generasi penerus, lingkungan sekitar, dan orang yang menonton pertunjukan seni tradisi Betawi ini. Serta dapat bertambah pengetahuannya tentang tradisi Betawi, dan bertujuan untuk memeriahkan acara juga mempertahankan eksistensi agar budaya tradisional Betawi di Tanjung Barat tetap terjaga kelestariannya. Setiap acara pernikahan sebagian besar masyarakat Betawi asli di Tanjung Barat menggunakan prosesi adat buka palang pintu di pernikahannya. Namun ada masyarakat pendatang yang juga memakai tradisi palang pintu karena kekentalan tradisi Betawi yang masih kuat pada 12 Hasil wawancara dengan pendiri palang pintu, Akmaluddin Pada Senin, 16 Oktober 2014 Pukul 20.00 WIB. 13 Hasil wawancara dengan Lurah, Aryan Pada Kamis, 30 Oktober 2014 Pukul 10.00 WIB. masyarakat Tanjung Barat dan beberapa masyarakat Betawi yang tidak memakai dikarenakan berbagai macam faktor, dari segi biaya, ketidak tahuan karena belum sempat diwariskan kepada generasi selanjutnya dan mungkin juga pada zaman modern ini, masyarakat Betawi melupakan tradisinya. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Fahdlan aditia mengatakan bahwa: “Beberapa Masyarakat Betawi di Tanjung Barat, masih menggunakan kalau dia orang Betawi asli sini, tapi ada juga orang luar suku Betawi yang menggunakan karena kekentalan adat istiadat warga Betawi di Tanjung Barat menggunakan palang pintu. Selain itu ada juga orang Betawi di Tanjung Barat yang tidak memakai palang pintu karena pertama era modern, jasa palang pintu sudah mempunyai jadwal di tempat lain, kedua ketidak siapan halaman atau tempat untuk mengadakan palang pintu, ketiga rata-rata faktor ekonomi”. 14 Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, faktor ekonomi menjadi alasan utama bagi masyarakat Betawi di Tanjung Barat, karena untuk memanggil pertunjukkan seni tradisi palang pintu memerlukan biaya, dan biaya yang dikeluarkan lumayan besar. Menurut H. Diding, pendiri palang pintu : “Awalnya tidak mematok harga, akan tetapi, kita mempunyai anggota yang banyak dan lumayan capek karena harus adu silat, jatoh dan untuk menghargai pemain rebana, biasanya kita mematok harga disetiap seni pertunjukkan 1 sampai 3 jutaan. Seni budaya kita itu indah, seni itu mahal, kalo bukan kita masyarakat Betawi yang menghargai budaya Betawi siapa lagi.” Perkembangan tradisi buka palang pintu di Tanjung Barat masih tetap ada dan masih terus berkembang karena masih terus digunakan oleh masyarakat Betawi di Tanjung Barat. Pada awalnya, tradisi ini sudah semakin redup, dan memunculkan kekhawatiran jika tradisi ini akan hilang tergerus zaman modern. Maka dari itu timbulah inisiatif dan rasa terpanggil dalam hati pendiri sanggar untuk melestarikan, dengan adanya sanggar-sanggar yang didirikan oleh pendiri palang pintu di Tanjung 14 Hasil wawancara dengan warga Betawi Tanjung Barat, Fahdlan Aditia Pada Selasa, 21 Oktober 2014 Pukul 10.30 WIB. Barat. Hal tersebut semakin diperkuat dengan antusias warga yang melestarikan dengan cara memanggil palang pintu untuk acara di pernikahannya. Untuk melestarikan, masyarakat Betawi juga bisa mengikuti kegiatan sanggar yang didirikan. Tidak ada persyaratan khusus untuk menjadi anggota palang pintu. Hanya ada kemauan yang kuat sebagai generasi penerus untuk bisa terus belajar. Anggota terbagi menjadi pemain silat, pembaca pantun, pembaca solawat dan sikeh serta pemain rebana. Dengan hal tersebut tradisi budaya Betawi ini akan tetap terus ada dan terjaga. Pada zaman dahulu tradisi buka palang pintu dianggap menyulitkan pihak laki-laki karena harus mengalahkan pesaing yang menyukai wanita yang akan menjadi calon istri dengan cara adu ilmu silat dan dilakukan secara benar dan nyata. Tradisi palang pintu pada saat ini sudah mengalami perubahan, hanya sebagai simbol tradisi pertunjukan khas Betawi turun temurun pada acara pra akad nikah ataupun bebesanan. Prosesi palang pintu pada pernikahan digunakan untuk membuka penghalang atau palang yang disebut jawara yang sudah diatur sedemikian rupa yang selalu dimenangkan oleh pihak laki-laki agar memudahkan pihak laki-laki dapat masuk ke rumah mempelai calon wanita untuk duduk melaksanakan acara akad nikah. Namun perkembangan saat ini palang pintu di Tanjung Barat selain pada acara pernikahan juga digunakan sebagai penyambutan pejabat maupun Gubernur yang datang di Kelurahan Tanjung Barat. Perubahan tradisi buka palang pintu pada zaman dahulu dengan yang ada pada saat ini diperkuat oleh teori menurut Koentjaraningrat bahwa budaya dapat berubah, perubahan budaya adalah “perubahan- perubahan yang mencakup unsur-unsur kebudayaan, yakni mencakup perubahan sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem mata pencaharian, sistem teknologi, religi, bahasa dan kesenian”. 15 Perubahan ini terjadi akibat ketidak sesuaian diantara unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda sehingga menghasilkan suatu keadaan yang harmonis bagi kehidupan masyarakat, karena budaya Betawi di Tanjung Barat bersifat adaptif. Tanpa adanya kemampuan berubah, kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah Hal tersebut juga diperkuat dengan pendapat ahli Antropologi dan Arkeologi Gordon Childe dalam sebuah teori universal yang mengatakan bahwa : “Keinginan manusia bersifat menyeluruh. Dalam rentang waktu yang panjang, manusia berubah menuju sistem kebudayaan yang lebih modern, bahkan hasrat mengubah pola hidup semakin cepat berganti-ganti. Gordon Childe menyebutnya sebagai revolusi kebudayaan”. 16 Perubahan kebudayaan juga terjadi karena seseorang individu dalam suatu masyarakat Betawi di Tanjung Barat mengalami proses belajar dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan agama yang terdapat di dalam masyarakat. Setiap orang sama-sama memiliki pikiran atau akal sehat yang merupakan dasar dari semua aktivitas-aktivitas sosial. Nilai budaya dan agama yang menjadi pedoman tingkah laku bagi warga masyarakat adalah warisan turun-temurun yang telah mengalami proses interaksi sosial dan penyerahan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses ini menyebabkan nilai-nilai budaya yang terdapat pada palang pintu menjadi tradisi yang terus dipertahankan pada pernikahan masyarakat Betawi di Tanjung Barat.

4. Nilai Edukatif Yang Dapat Diambil Dari Buka Palang Pintu

Nilai-nilai edukatif merupakan nilai-nilai yang bersifat mendidik dan bermanfaat yang didalamnya mencakup sikap individu dalam kehidupan pribadi, kehidupan sosial, dan kehidupan yang berhubungan dengan Tuhan. 15 Koentjaraningrat, op. cit., h. 165. 16 Beni Ahmad Saebani, Pengantar Antropologi, Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2012, cet.ke-1, h. 201.