Pengaruh metode latihan dan koordinasi mata-tangan terhadap peningkatan keterampilan teknik dasar bolavoli 3294

(1)

PENGARUH METODE LATIHAN DAN KOORDINASI

MATA-TANGAN TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN

TEKNIK DASAR BOLAVOLI

(Studi Eksperimen Latihan Plaiometrik dan Berbeban pada Atlet Pemula Putra Klub Bola Voli Baja 78 Bantul Yogyakarta)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Keolahragaan

Oleh : Tri Saptono A.120908036

PROGRAM STUDI ILMU KEOLAHRAGAAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA


(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Olahraga bersifat universal karena olahraga dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama, latar belakang pendidikan, status ekonomi maupun gender. Begitu besar peran olahraga terhadap kehidupan manusia, sehingga olahraga dapat dijadikan sebagai sarana atau media untuk berekreasi, mata pencaharian, pendidikan, kesehatan, kebudayaan bahkan sebagai sarana untuk mencapai prestasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa olahraga telah banyak memberikan sumbangannya untuk kebahagiaan umat manusia. Ini berarti olahraga sebagai aktivitas fisik dapat memberikan kepuasan kepada para pelakunya.

Bolavoli sebagai aktivitas jasmani merupakan salah satu cabang olahraga yang populer dan berkembang pesat di Indonesia. Banyak orang melakukan olahraga bolavoli dengan berbagai macam tujuan, diantaranya untuk rekreasi dan hiburan, menjaga kebugaran dan kesehatan sampai untuk tujuan olahraga prestasi. Sebagai cabang olahraga prestasi, bolavoli termasuk olahraga kompetitif yang memerlukan gerakan eksplosif, banyak gerakan berlari, meloncat untuk smes, refleks, kecepatan merubah arah dan juga membutuhkan koordinasi mata-tangan yang baik.

Untuk tujuan prestasi di Indonesia masih jauh dari harapan, hal ini dikarenakan dalam proses latihan masih banyak pelatih yang cenderung


(3)

menggunakan metode tradisional. Masih banyak pelatih dalam melakukan latihan baik fisik maupun teknik belum diterapkan perbedaan perlakuan antara atlet yang memiliki koordinasi mata-tangan tinggi dan rendah, kemampuan fisik tinggi dan rendah serta belum diterapkan pendekatan metode ilmiah sehingga hasil dalam latihan belum maksimal. Pelatih bolavoli yang melatih sering mempergunakan pendekatan atau metode tradisional yang paling disenangi pelatih dalam palaksanaan proses latihan keterampilan teknik dasar bolavoli. Proses latihan secara tradisional sering mengabaikan tugas-tugas latihan dan tidak sesuai dengan taraf perkembangan pemain (Cholik, 2002:18).

Penerapan metode latihan yang tepat dalam proses latihan keterampilan teknik dasar bolavoli juga akan memberikan peluang bagi pelatih dalam memanfaatkan fasilitas yang tersedia secara maksimal sehingga tidak ada alasan bagi pelatih bolavoli karena terhambatnya proses latihan bolavoli dan faktor kurang memadainya fasilitas bolavoli yang tersedia pada klub bolavoli.

Pemilihan dan penerapan metode dalam latihan keterampilan teknik dasar bolavoli untuk atlet pemula putra klub Bolavoli Baja 78 Bantul Yogyakarta, agar metode yang diterapkan mampu meningkatkan hasil latihan atlet dalam penguasaan keterampilan teknik dasar bolavoli, maka pada penelitian ini akan dicobakan dua macam metode yang diterapkan dalam proses latihan keterampilan teknik dasar bolavoli yakni latihan plaiometrik dan berbeban.

Tuntutan terhadap metode latihan yang efektif dan efisien didorong oleh kenyataan atau gejala-gejala yang timbul dalam pelatihan. Beberapa alasan tentang pentingnya kebutuhan metode latihan yang efisien menurut Rusli


(4)

(1988:26) adalah ”1) efisiensi akan menghemat waktu, energi atau biaya, 2) metode efisien akan memungkinkan para atlet atau atlet untuk menguasai tingkat keterampilan yang lebih tinggi”.

Latihan berbeban adalah suatu latihan yang menggunakan beban, baik latihan secara isometrik, secara isotonik maupun secara isokinetik. Latihan ini dilakukan dengan menggunakan beban berupa alat maupun berat badan atlet. Latihan berbeban adalah suatu cara menerapkan prosedur tertentu secara sistematis pada berbagai otot tubuh. Pada program latihan berbeban ini dalam pelaksanaannya menggunakan alat-alat berupa barbell atau beban yang telah dikombinasikan menjadi alat khusus untuk latihan berbeban (weight training). Latihan pliometrik merupakan suatu metode latihan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesegaran biomotorik atlet, termasuk kekuatan dan kecepatan yang memiliki aplikasi yang sangat luas dalam kegiatan olahraga, dan secara khusus latihan ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan power. Pola gerakan dalam latihan pliometrik sebagian besar mengikuti konsep “power chain” (rantai power) dan sebagian besar latihan, khusus melibatkan otot-otot anggota gerak bawah, karena gerakan kelompok otot ini secara nyata merupakan pusat power. Pada prinsipnya latihan pliometrik didasarkan pada prinsip pra peregangan otot yang terlibat pada saat tahap penyelesaian atas respon atau penyerapan kejutan dari ketegangan yang dilakukan otot sewaktu bekerja. Sebagai metode latihan fisik, latihan pliometrik dapat dibedakan menjadi tiga kelompok latihan, yaitu 1) Latihan untuk anggota gerak bawah, 2) Latihan untuk batang tubuh, dan 3) Latihan untuk anggota gerak atas. Beberapa bentuk latihan pliometrik yang


(5)

dapat digunakan untuk meningkatkan daya ledak anggota gerak bawah adalah “bounds, hops, jumps, leaps, skips, ricochets, jumping-in place. Standing jumps,

multiple hop and jump, box drills, bounding dan dept jump” (Radcliffe & Farentinos: 1985).

Agar metode latihan yang akan diterapkan dapat dirancang dengan baik, terlebih dahulu ditelusuri faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan teknik dasar bolavoli. Untuk peningkatan prestasi olahraga bolavoli khususnya di klub bolavoli Baja 78 Bantul diperlukan latihan yang intensif. Pembinaannya meliputi faktor fisik, teknik, taktik dan mental. Selama ini pada latihan yang diberikan lebih menekankan pada faktor teknik. Sedangkan kondisi fisik belum dibina secara maksimal, hal ini bisa disebabkan bahwa faktor fisik dianggap telah terwakili pada saat latihan sehingga kondisi fisik secara otomatis meningkat. Anggapan tersebut kurang benar, karena bolavoli memerlukan unsur kondisi fisik tersendiri sehingga membutuhkan pembinaan fisik yang lebih tepat. Unsur kondisi fisik yang diperlukan pada bolavoli antara lain, power, kekuatan, kecepatan, kelincahan, kelentukan, koordinasi, fleksibilitas.

Dalam bolavoli ada beberapa latihan teknik dasar yang harus dikuasai

diantaranya: teknik memukul bola, teknik penguasaan kerja lengan. Menurut Sudjarwo (1995:43) bahwa ”teknik dasar adalah penguasaan teknik tingkat awal yang terdiri dari gerakan dasar dari proses gerak bersifat sederhana dan mudah dilakukan”. Latihan teknik ini diberikan setelah pemberian latihan fisik. Sesuai dengan sistem energi yang dibutuhkan dalam bolavoli unsur yang dominan adalah koordinasi mata-tangan.


(6)

Keberhasilan dalam keterampilan teknik dasar bolavoli adalah faktor pemain. Perbedaan kemampuan terutama terjadi karena kualitas fisik yang berbeda (Sugiyanto, 1997:353). Senada dengan hal tersebut Rusli (1988:332) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses latihan keterampilan teknik dasar bolavoli adalah: (1) kondisi internal; dan (2) kondisi eksternal. Kondisi internal mencakup faktor-faktor yang terdapat pada individu, atau atribut lain yang membedakan pemain satu dengan pemain yang lainnya. Salah satu faktor kondisi internal adalah kemampuan fisik. Kemampuan fisik berhubungan dengan koordinasi mata-tangan yang mempengaruhi penampilan pemain baik dalam latihan gerakan-gerakan keterampilan maupun dalam pertandingan. Dengan demikian dapat dikatakan koordinasi mata-tangan yang baik adalah suatu persyaratan dalam usaha pencapaian prestasi maksimal bagi pemain dalam latihan keterampilan teknik dasar bolavoli. Perbedaan koordinasi mata-tangan dapat dibedakan menjadi dua yaitu koordinasi tangan tinggi dan koordinasi mata-tangan rendah. Perbedaan koordinasi mata-mata-tangan yang ada pada diri pemain harus menjadi pertimbangan sebagai suatu faktor yang menentukan dalam keterampilan teknik dasar bolavoli. Perbedaan pemain dalam hal koordinasi mata-tangan akan menjadi pertimbangan yang sangat penting dalam menentukan metode latihan yang sesuai dengan karakter dari masing-masing pemain sehingga bisa mencapai hasil latihan yang optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di kemukakan di atas, maka penelitian ini berjudul “Pengaruh Metode Latihan dan Koordinasi Mata-Tangan Terhadap Peningkatan Keterampilan Teknik Dasar Bolavoli (Studi Eksperimen


(7)

Latihan Plaiometrik dan Berbeban pada Atlet Pemula Putra Klub Bolavoli Baja 78 Bantul Yogyakarta)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Penggunaan metode latihan yang digunakan untuk meningkatkan kondisi fisik atlet belum maksimal.

2. Latihan untuk meningkatkan keterampilan teknik dasar bolavoli mempunyai banyak variasi.

3. Latihan yang digunakan pelatih, dan pengajar dalam peningkatan kondisi fisik atlet disesuaikan dengan sistem energi yang diperlukan dalam permainan. 4. Pengaruh metode latihan plaiometrik dan berbeban terhadap peningkatan

keterampilan teknik dasar bolavoli belum diketahui.

5. Komponen koordinasi mata-tangan dapat mempengaruhi peningkatan

keterampilan teknik dasar bolavoli.

C. Pembatasan Masalah

Agar permasalahan tidak meluas, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, maka permasalahan perlu dibatasi. Pembatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Metode latihan plaiometrik dan berbeban terhadap peningkatan keterampilan teknik dasar bolavoli.


(8)

2. Keterampilan teknik dasar bolavoli antara atlet yang memiliki koordinasi mata-tangan tinggi dan rendah.

3. Interaksi antara metode latihan dan koordinasi mata-tangan terhadap peningkatan keterampilan teknik dasar bolavoli.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka perlu dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Adakah perbedaan pengaruh antara latihan plaiometrik dan berbeban terhadap peningkatan keterampilan teknik dasar bolavoli?

2. Adakah perbedaan peningkatan keterampilan teknik dasar bolavoli antara atlet yang memiliki koordinasi mata-tangan tinggi dan rendah?

3. Adakah pengaruh interaksi antara metode latihan dan koordinasi mata-tangan terhadap peningkatan keterampilan teknik dasar bolavoli?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui:

1. Perbedaan pengaruh latihan plaiometrik dan berbeban terhadap peningkatan keterampilan teknik dasar bolavoli.

2. Perbedaan peningkatan keterampilan teknik dasar bolavoli antara atlet yang memiliki koordinasi mata-tangan tinggi dan rendah.

3. Pengaruh interaksi antara metode latihan dan koordinasi mata-tangan terhadap peningkatan keterampilan teknik dasar bolavoli.


(9)

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan mempunyai kegunaan bagi pelatih, pembina maupun guru olahraga yaitu sebagai berikut:

1. Memberikan tambahan wawasan dalam memilih dan mengembangkan metode

latihan disesuaikan tingkat kondisi fisik atlet.

2. Meningkatkan kondisi fisik dengan memilih dan menggabungkan metode latihan untuk meningkatkan keterampilan teknik dasar bolavoli.

3. Koordinasi mata-tangan dapat dijadikan acuan untuk memilih metode latihan yang sesuai sehingga dalam menyusun program latihan akan lebih efektif dan efisien.


(10)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Kajian Teori 1. Metode Latihan

Kemampuan berprestasi dalam olahraga adalah perpaduan dari sekian banyak kemampuan yang turut menentukan prestasi, yang dibangun dalam proses latihan yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Banyak pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli mengenai pengertian atau definisi dari latihan. Berkaitan dengan proses dan jangka waktu latihan Nossek (1982:10) menyatakan bahwa “latihan adalah suatu proses atau dinyatakan dengan kata lain, periode waktu yang berlangsung selama beberapa tahun sampai atlet tersebut mencapai standar penampilan yang tinggi”. Sedangkan Harsono (1988: 101) mengemukakan bahwa “latihan adalah proses yang sistematis dari berlatih atau bekerja yang dilakukan secara berulang-ulang dengan kian hari kian bertambah jumlah beban atau pekerjaannya”. Pendapat senada dikemukakan oleh Bompa (1990:2) yang menyatakan bahwa “latihan merupakan aktivitas olahraga yang sistematik dalam waktu yang lama, ditingkatkan secara progresif dan individual, yang mengarah kepada ciri-ciri fungsi fisiologis dan psikologis manusia untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan”.

Tidak jauh berbeda seperti dalam berbagai kegiatan manusia, latihan pun harus direncanakan dan diorganisir dengan baik agar dapat mencapai prestasi yang merupakan sasaran dari latihan. Seperti yang dikemukakan oleh Suharno


(11)

(1993:7) yang mendefinisikan bahwa “latihan adalah suatu proses penyempurnaan atlet secara sadar untuk mencapai mutu prestasi maksimal dengan diberi beban fisik, teknik dan taktik dan mental secara teratur, terarah, meningkat, bertahap dan berulang-ulang waktunya”.

Dari beberapa pendapat tersebut di atas, secara garis besar terdapat beberapa kesamaan yang dapat dikemukakan mengenai pengertian latihan bahwa latihan merupakan:

a. Suatu proses

b. Dilakukan secara sistematis c. Berulang-ulang

d. Dilaksanakan secara kontinyu dan berkelanjutan e. Ada peningkatan beban latihan

f. Dalam jangka waktu yang lama

Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa latihan adalah suatu proses kerja yang diorganisir dan direncanakan secara sistematis, dilakukan secara berulang-ulang dan berkelanjutan serta adanya unsur peningkatan beban secara bertahap.

Latihan dilakukan secara sistematis maksudnya adalah latihan dilaksanakan secara terencana, menurut jadual, menurut pola dan sistem tertentu, dari yang mudah ke yang sukar dan dari yang sederhana ke yang lebih kompleks. Latihan mengandung unsur pengulangan, dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan tubuh (fisik) dalam melakukan kerja. Disamping itu latihan dapat pula ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dalam gerakan, agar


(12)

gerakan-gerakan yang semula sukar dilakukan menjadi semakin mudah dan otomatis dalam pelaksanaannya sehingga semakin menghemat energi.

Latihan fisik merupakan salah satu unsur dari latihan olahraga secara menyeluruh yang penekanannya adalah terhadap peningkatan kemampuan fisik dalam melakukan kerja. “Pengembangan kondisi fisik dari hasil latihan tergantung pada tipe beban yang diberikan serta tergantung dari kekhususan latihan” (Fox, Bowers & Foss, 1988:358). Oleh karena itu perlu dipahami prinsip-prinsip dasar latihan yang akan dijadikan pedoman. Dengan latihan fisik yang terencana, sistematis dan kontinyu dengan pembebanan tertentu akan mengubah faal tubuh yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap tingkat kesegaran jasmani ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga dapat menunjang penampilan atlet dalam berolahraga.

a. Tujuan Latihan

Untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya, maka usaha pembinaan atlet harus dilakukan dengan menyusun strategi dan perencanaan yang rasional. Para atlet perlu dibekali pengetahuan yang berhubungan dengan olahraga yang dipilihnya. Untuk itu kerja sama antara pelatih dan atlet sangat diperlukan.

Melalui latihan fisik atlet mempersiapkan diri untuk tujuan tertentu. Tujuan latihan fisik yang utama dalam olahraga prestasi adalah untuk mengembangkan kemampuan biomotornya ke standar yang paling tinggi, atau dalam arti fisiologisnya, atlet berusaha mencapai tujuan perbaikan


(13)

sistem organisme dan fungsinya untuk mengoptimalkan prestasi atau penampilan olahraganya.

Keberhasilan dalam penampilan olahraga tidak hanya ditentukan oleh pencapaian pada domain fisik saja, melainkan juga ditentukan oleh pencapaian pada domain psikomotor, kognitif dan afektif. Oleh karena keempat domain ini dalam kenyataannya merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan, maka dalam peningkatannya harus dikembangkan secara bersamaan atau simultan. Dengan demikian secara terinci tujuan latihan menurut Haree (1982:8) adalah sebagai berikut:

1. Mengembangkan kepribadian.

2. Kondisioning dengan sasaran utama untuk meningkatkan power, kecepatan dan daya tahan.

3. Meningkatkan teknik dan koordinasi gerak. 4. Meningkatkan taktik, serta

5. Meningkatkan mental. b. Prinsip-Prinsip Latihan

Prestasi dalam olahraga dapat dicapai dan ditingkatkan melalui latihan yang sistematis, intensif dan teratur, seperti yang dikemukakan Nossek (1982:10) bahwa “latihan yang sistematis adalah dilakukan secara teratur, latihan tersebut berlangsung beberapa kali dalam satu minggu, tergantung pada standar atlet dan periode latihan”. Pelaksanaan latihan harus berpedoman pada prinsip-prinsip latihan yang benar. Prinsip latihan


(14)

merupakan garis pedoman yang hendaknya dipergunakan dalam latihan yang terorganisir dengan baik.

Dari pendapat tersebut di atas jelas bahwa prinsip latihan merupakan landasan ilmiah dalam pelatihan yang harus dipegang teguh dalam melakukan dan mencapai tujuan latihan. Prinsip-prinsip tersebut adalah 1) prinsip overload, 2) prinsip penggunaan beban secara progresif, 3) prinsip pengaturan latihan dan 4) prinsip kekhususan program latihan. Latihan yang dilakukan dapat mencapai hasil sesuai yang diharapkan jika dilaksanakan dengan berdasarkan pada prisnip-prinsip latihan yang benar.

1) Prinsip Beban Lebih (Overload Principle)

Latihan olahraga pada prinsipnya adalah memberikan tekanan (stress) pada tubuh yang akan dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kapasitas kemampuan kerja dan mengembangkan system serta fungsi organ ketingkat standart nilai yang lebih tinggi. Prinsip beban lebih merupakan dasar dalam latihan.

Beban latihan yang diberikan harus di atas ambang rangsang latihan. Jika latihan tidak ditingkatkan meskipun latihan dilakukan dengan rutin, prestasi tidak akan meningkat. Berkaitan dengan beban lebih ini, Harsono (1988:50) mengemukakan bahwa “perkembangan otot hanyalah mungkin apabila otot-otot tersebut dibebani dengan tahanan yang kian bertambah berat”. Jika beban terlalu ringan atau tidak ditambah atau tidak diberi (overload), maka berapa lamapun kita berlatih, betapa sering pun kita berlatih atau sampai bagaimanapun


(15)

capeknya kita mengulang-ulang latihan tersebut, peningkatan prestasi tidak mungkin tercapai” (Harsono, 1988:103). Hal ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan kemampuan seseorang, beban yang diberikan dalam latihan harus lebih berat dari beban sebelumnya. Oleh karena itu prinsip latihan ini harus benar-benar diterapkan dalam pelaksanaan latihan. Jonath & Krempel (1987:29) menjelaskan bahwa “peningkatan prestasi terus menerus hanya dapat dicapai dengan peningkatan beban latihan”.

Pembebanan yang lebih berat dapat merangsang penyesuaian fisiologis dalam tubuh yang dapat mendorong peningkatan kemampuan otot atau tubuh. Satu hal yang harus diingat bahwa beban latihan yang diberikan tidak boleh terlalu berat atau berlebihan. Hal ini justru akan berakibat tidak baik terhadap hasil latihan. Jika beban latihan yang diberikan terlalu berat dan berlebihan, bukan kemampuan fisik yang meningkat justru sebaliknya kemungkinan akan terjadi cedera dan penurunan kemampuan kondisi fisik.

Pendapat tersebut di atas menunjukkan bahwa prinsip beban lebih bertujuan untuk meningkatkan perkembangan kemampuan tubuh. Pembebanan latihan yang lebih berat dari sebelumnya akan merangsang tubuh untuk beradaptasi dengan beban tersebut, sehingga kemampuan

tubuh akan meningkat. Kemampuan tubuh yang meningkat


(16)

2) Prinsip Penggunaan Beban Secara Progresif.

Peningkatan beban secara progresif adalah peningkatan beban secara teratur dan bertahap sedikit demi sedikit. Dengan pemberian beban yang dilakukan secara bertahap yang kian hari kian meningkat jumlah pembebanannya, maka otot akan mengalami adaptasi fisiologis dimana akan terjadi proses peningkatan kekuatan otot. Jika proses adaptasi ini telah dicapai, maka kerja otot yang tadinya melebihi beban kemampuannya akan tidak lagi terjadi. Penambahan beban latihan tidak boleh tergesa-gesa dan berlebihan, sehingga peningkatan beban latihan harus tepat dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan atlet serta dtingkatkan setahap demi setahap. Penambahan beban yang meningkat tersebut dapat diberikan dengan menambah jumlah berat beban yang diberikan atau menambah jumlah pengulangannya. Pelatih harus cermat dalam memperhitungkan penambahan beban yang akan diberikan, dan jangan sampai beban yang diberikan berlebihan.

Keuntungan penggunaan prinsip peningkatan beban secara progresif adalah otot-otot tidak akan terasa sakit. Peningkatan beban lebih paling tidak dilakukan setelah dua atau tiga kali latihan. Seperti yang dikemukakan oleh Suharno (1993:14) bahwa “peningkatan beban latihan jangan setiap kali latihan, sebaiknya dua atau tiga kali latihan baru dinaikkan”. Dengan peningkatan beban yang teratur diharapkan ada kesempatan untuk beradaptasi terhadap beban latihan sebelumnya, sehingga dapat terjadi superkompensasi.


(17)

Superkompensasi adalah suatu proses kenaikan kemampuan jasmani atlet setelah mengikuti latihan. Berkaitan dengan pemberian beban latihan Sudjarwo (1995:18) mengemukakan bahwa “pemberian beban latihan harus dapat dan benar-benar merupakan rangsangan (stimuli) untuk menimbulkan superkompensasi atlet”. Penambahan beban yang dilakukan dengan tepat akan dapat menimbulkan adaptasi tubuh terhadap latihan secara tepat pula, sehingga hasil latihan akan lebih optimal. Dengan alasan tersbut di atas, maka program latihan yang disusun harus juga berdasarkan pada prinsip-prinsip progresifitas beban latihan.

3) Prinsip Pengaturan Latihan

Latihan harus dilakukan secara teratur dan kontinyu, hal ini dimaksudkan agar terjadi adaptasi terhadap jenis keterampilan yang dipelajari. Seperti halnya dalam program latihan berbeban harus disusun agar kelompok otot yang lebih besar dilatih sebelum kelompok otot yang lebih kecil. Seperti yang dikemukakan oleh Sajoto (1995:31) bahwa “latihan hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga kelompok otot-otot besar dulu yang dilatih, sebelum otot yang lebih kecil. Hal ini dilaksanakan agar kelompok otot kecil tidak akan mengalami kelelahan lebih dulu”.

Alasan perlunya penyusunan dan pengaturan latihan ini adalah otot-otot yang lebih kecil cenderung lebih cepat lelah dan lebih lemah dariapada kelompok otot yang lebih besar. Oleh karena itu untuk


(18)

menentukan urutan latihan, lebih tepat mendahulukan melatih otot-otot yang lebih besar baru kemudian melatih otot-otot yang lebih kecil sebelum mengalami kelelahan. Misalnya kelompok otot kaki dan paha dilatih lebih dahulu dari pada kelompok otot lengan yang lebih kecil. Disamping itu pengaturan latihan berbeban, juga harus memperhatikan pemberian beban terhadap otot dan diupayakan tidak memberikan latihan yang sama secara berurutan bagi otot yang sama. Sehingga otot yang dilatih memiliki kesempatan recovery sebelum diberi latihan lebih lanjut. 4) Prinsip Kekhususan

Pada dasarnya pengaruh yang ditimbulkan akibat latihan bersifat khusus, sesuai dengan karakteristik kondisi fisik, pola gerakan dan system energi yang digunakan selama latihan. Latihan yang ditujukan pada unsur kondisi fisik atau teknik dasar tertentu hanya akan memberikan pengaruh besar terhadap komponen kondisi fisik atau teknik dasar yang dipelajari.

Agar aktivitas latihan dapat memberikan pengaruh yang baik, maka latihan yang dilakukan harus bersifat khusus disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai. Kekhususan tersebut menyangkut sistem energi serta pola gerakan (keterampilan) yang sesuai dengan unsur kondisi fisik maupun nomor yang dikembangkan. Bentuk latihan yang dilakukan pun harus bersifat khusus pula disesuaikan dengan cabang olahraga, baik itu pola geraknya, jenis kontraksi otot maupun kelompok otot yang dilatih harus disesuaikan dengan jenis olahraga yang dikembangkan. Jika


(19)

latihan yang dilakukan memperhatikan prinsip ini, maka latihan akan lebih efektif, sehingga hasil yang diperoleh diharapkan akan lebih optimal.

c. Latihan Fisik

Banyak pendapat tentang latihan fisik. Pendapat para ahli adalah sebagai berikut: latihan fisik adalah kegiatan dalam memberikan beban pada tubuh secara teratur, sistematis, berkesinambungan sehingga dapat meningkatkan kemampuan dalam melakukan kerja (Brooks & Fahey, 1984:395). Agak berbeda dengan pendapat Suharno (1993:7) menyatakan bahwa latihan adalah suatu proses penyempurnaan atlet secara sadar untuk mencapai mutu prestasi maksimal dengan diberi beban-beban fisik, teknik, taktik dan mental secara teratur, terarah, meningkat, bertahap dan berulang-ulang.

Hal senada disampaikan oleh Bompa (1994:3) bahwa latihan adalah

merupakan kegiatan sistematis dalam waktu yang lama ditingkatkan secara progresif dan individual mengarah kepada ciri-ciri fisiologis dan psikologis manusia untuk mencapai sasaran yang ditentukan. Sedangkan menurut Pate, et al (1984:317) bahwa latihan fisik didefinisikan sebagai peran serta yang sistematis dalam latihan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsional fisik dan daya tahan latihan.

Pendapat ahli yang lain, yaitu menurut Lamb (1984:2) latihan fisik merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan berulang-ulang dan dengan


(20)

tujuan untuk meningkatkan respon fisiologi terhadap intensitas, durasi dan frekuensi latihan, keadaan lingkungan dan status fisiologis individu.

Pendapat Engkos (1993:55), bahwa latihan ialah proses kerja yang harus dilakukan secara sistematis, berulang-ulang dan jumlah beban yang diberikan semakin hari semakin bertambah. Pendapat senada disampaikan oleh Harsono dalam Rusli (1988:90) yaitu latihan atau training sustu proses berlatih yang sistematis yang dilakukan secara berulang-ulang dan kian hari jumlah beban latihannya kian bertambah.

1) Tujuan Latihan Fisik

Tujuan latihan fisik secara umum tergantung dari macam sasaran yang akan dikembangkan yang dapat mencakup sebagai berikut: 1) meningkatkan kualitas fisik, 2) meningkatkan prestasi, 3) pencegahan terhadap kerusakan, 4) rehabilitasi maupun pengobatan akibat kerusakan, 5) rehabilitasi karena penyakit (Soekarman, 1987:10) atau sesuai olahraga yang dilakukan, baik untuk rekreasi, pendidikan, kesegaran jasmani dan prestasi (Sajoto, 1995:1-2).

Untuk masalah utama pada tujuan latihan fisik dalam olahraga prestasi adalah untuk mengembangkan kemampuan biomotor dalam standart yag paling tinggi atau secara fisiologi atlet dapat mencapai tujuan perbaikan organisme dan fungsinya untuk mencapai prestasi olahraga yang maksimal. Menurut Harre (1982:10-12) menyampaikan tujuan secara rinci adalah untuk: 1) mengembangkan kepribadian, 2) kondisioning, dengan sasaran utama meningkatkan stamina, power dan


(21)

kecepatan, 3) meningkatkan teknik dan koordinasi gerak, 4) meningkatkan taktik serta, 5) meningkatkan mental.

Sedangkan menurut Bompa (1994:1-5) tujuan-tujuan latihan berupa: 1) mencapai dan memperluas perkembangan fisik secara menyeluruh, 2) menjamin dan memperbaiki perkembangan fisik khusus sebagai suatu kebutuhan yang telah ditentukan didalam olahraga, 3) menanamkan kualitas kemauan melalui latihan yang mencukupi, 4) mempertahankan keadaan kesehatan, 5) mencegah cidera, 6) memberi sejumlah pengetahuan teoritis yang berkaitan dengan dasar-dasar fisiologis, psikologis latihan, perencanaan gizi dan regenerasi.

Sedangkan menurut Soekarman (1987:12-13) bahwa tujuan latihan seharusnya dibuat bertingkat, yaitu tingkat umum sampai akhirnya ke tingkat khusus untuk mencapai prestasi tertinggi. Tujuan latihan harus mengarah ke suatu cabang olahraga tertentu. Isi dari tujuan latihan harus meliputi bidang kognitif, afektif dan psikomotorik.

Gambar 1. Siklus/Daur Ulang Perencanaan dan Pelaksanaan Program Latihan (Soekarman, 1987:12)

INFORMASI EVALUASI

PENGUKURAN HASIL LATIHAN

PROSEDUR LATIHAN

TUJUAN


(22)

2) Prinsip-Prinsip Latihan Fisik

Untuk mencapai hasil latihan fisik yang optimal dan sesuai tujuan latihan harus berpedoman pada prinsip-prinsip latihan yang benar. Banyak pendapat para pakar yang mendeskripsikan tentang prinsip-prinsip latihan fisik. Menurut Pyke (1991:115-121) mengemukakan mengenai prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam melakukan latihan sebagai berikut: 1) prinsip beban berlebih, 2) prinsip pemulihan, 3) prinsip kembali asal (reversibility), 4) prinsip kekhususan, dan 5) prinsip individualitas.

Pendapat pakar yang lain, yaitu Soekarman (1987:60) latihan berprinsip pada pedoman: 1) kekhususan, 2) tambah beban (over load principle), 3) hari berat dan hari santai, 4) latihan dan kelebihan latihan (over training), 5) latihan dasar dan pencapaian puncak, 6) kembali asal (reversibility). Sedangkan menurut Harsono (1988:307), prinsip-prinsip latihan yang penting mencakup prinsip overload, dan prinsip yang lainnya seperti prinsip individualitas, multilateral, spesialisasi densitas latihan, sistem recovery, reversibility, spesificity dan lain-lain.

Pada literatur yang lain Harsono dalam Rusli (1988:88-109) mengungkapkan bahwa prinsip-prinsip latihan mencakup: 1) pemanasan tubuh, 2) metode, 3) berpikir positif, 4) prinsip beban lebih, 5) intensitas latihan, 6) kualitas latihan, 7) variasi latihan, 8) metode bagian dan metode menyeluruh, 9) perbaiki kesalahan, 10) model latihan, 11) penetapan sasaran.


(23)

Pada dasarnya latihan-latihan fisik untuk kekuatan, termasuk pada

plyometrics, berpedoman pada prinsip-prinsip dasar yang meliputi: prinsip over load (penambahan beban), prinsip progressive, prinsip

specificity, prinsip individuality, dan prinsip reversibility. a) Prinsip Overload (Penambahan beban lebih)

Prinsip over load adalah pemberian beban terhadap kinerja otot yang dilatih harus melebihi beban yang biasa diterima dalam keadaan normal atau dengan kata lain pembebanan latihan yang semakin berat (Harsono, 1988:94). Dengan prinsip over load, maka tubuh akan beradaptasi terhadap beban yang diberikan, sehingga mampu merangsang penyesuaian fisiologis tubuh (Bompa, 1990:44).

b) Prinsip Progressive

Prinsip progressive berarti bahwa dalam latihan, peningkatan latihan harus diberikan tahap demi tahap secara cermat. Sharkey (2003:12) menyatakan bahwa bila beban latihan ditingkatkan terlalu cepat, tubuh tidak akan mampu mengadaptasi beban yang diberikan dan bahkan kemungkinan akan terjadi overtraining. Untuk itu diperlukan pengontrolan terhadap beban latihan secara cermat akan menjamin peningkatan secara terus menerus. Menurut Bompa dalam Harsono (1988:96) menyarankan untuk memakai sistem step type approach atau sistem tangga.


(24)

c) Prinsip Specificity

Prinsip specificity merupakan substansi latihan harus dipilih sesuai dengan kebutuhan cabang olahraga. Menurut Pyke (1991:119) latihan harus ditujukan khusus terhadap sistem energi atau serabut otot yang digunakan juga dikaitkan peningkatan ketrampilan motorik khusus. Specificity dalam olahraga mencakup: a) specificity

kebutuhan energi, b) specificity model latihan, c) specificity pola gerak dan kelompok otot yang terlibat pada masing-masing cabang olahraga.

d) Prinsip Individuality

Prinsip individuality berarti bahwa setiap atlet memiliki potensi sejak lahir yang berbeda baik berupa karakteristik maupun kondisi atlet. Oleh karena itu mengacu pada prinsip individual maka beban latihan untuk atlet yang satu dengan yang lain tidak sama, atau penentuan dosis latihan secara individual. Hal ini sesuai dengan pendapat Bompa (1994:36-37) mengemukakan bahwa faktor-faktor seperti umur, jenis kelamin, kematangan, latar belakang pendidikan, kemampuan berlatih, tingkat kesegaran jasmaniah, ciri-ciri psikologinya. Semua itu harus ikut dipertimbangkan dalam mendesain program latihan.

e) Prinsip Reversibility

Prinsip reversibility berarti bahwa adaptasi yang terjadi sebagai akibat perlakuan suautu latihan selalu bersifat kebalikan, keadaan ini


(25)

menunjukkan bila latihan dihentikan maka atlet secara otomatis mengalami penurunan kualitas fungsional tubuhnya.

3) Sistem Energi pada Latihan Fisik

Olahraga merupakan implementasi dari serangkaian gerak fisik yang sistematis dan memiliki tujuan. Dengan gerak fisik akan terjadi kontraksi otot yang berulang-ulang. Terjadinya kontraksi otot memerlukan energi. Energi dalam otot berupa ATP yang berasal dari mitokhondria. Kebutuhan energi pada setiap latihan fisik tergantung dari jenis olahraga yang dilakukan. Antara olahraga aerobik dan anaerobik mempergunakan sistem energi yang berbeda.

Struktur ATP terdiri atas satu komponen yang sangat kompleks, yakni adenosin dan tiga bagian lainnya yang tidak begitu komplek yaitu kelompok-kelompok fosfat. ATP dalam sel otot jumlahnya terbatas dan dapat dipakai sebagai sumber energi hanya dalam waktu 1-2 detik. Menurut Rushall & Pyke (1990:15) bahwa ATP-PC disimpan dalam otot dengan kadar yang sangat kecil. Agar supaya kontraksi otot tetap berlangsung, maka ATP ini harus diisi kembali melalui penguraian zat-zat lain yang juga tersimpan di dalam otot. ATP bisa diberikan pada sel-sel otot melalui 3 cara, yaitu dua cara anaerobik dan satu cara aerobik.


(26)

Gambar 2. Hubungan Sistem Energi (Pyke, 1991:15)

Proses anaerobik artinya tanpa menggunakan oksigen, yaitu pada kerja dengan intensitas tinggi dan waktu pendek. Sistem energi anaerobik terdiri dua jalur, yaitu a) sistem ATP-PC atau sistem alaktasid, dan b) sistem glikolisis anaerobik yang menghasilkan asam laktat sehingga disebut juga sistem laktasid (Pate, et al, 1984:11-14).

Sistem ATP-PC disebut juga sistem phospahgen. Pada olahraga yang memerlukan intensitas yang sangat tinggi dalam waktu pendek seperti “in play” pada pertandingan bolavoli diperlukan persediaan energi yang sangat cepat, dan ini hanya dapat dipenuhi melalui ATP yang sudah tersedia dalam otot. Apabila ATP habis, ATP harus diresintesis menggunakan energi dari pemecahan PC (pospo creatin).

Pospo creatin (PC) yang tersedia dalam otot dalam jumlah terbatas, apa bila pecah akan keluar energi, dan energi yang keluar dari PC ini digunakan untuk resintesis ATP (Fox, et al, 1984:11-21).

ENERGY

AEROBIC ANAEROBIC


(27)

a) Sistem Anaerobik (1) Sistem ATP-PC

Molekul ATP :

Pemecahan ATP :

Energi dari pemecahan ATP untuk energi mekanik, sintesis zat, transport aktif.

Pemecahan PC : PC à Pi + Creatin + Energi

Energi untuk : resintesis ATP, yaitu energi + Pi + ADP à ATP (2) Sistem glikolisis anaerobik atau sistem LA. Berasal dari

pemecahan glikogen dalam otot tanpa menggunakan oksigen dan setiap satu molekul glikogen hanya menghasilkan 3 ATP, sedangkan apabila pemecahan glikogen menggunakan oksigen menghasilkan 39 ATP.

Pemecahan glikogen : (C6H12O6)n 2C3H6O3 + Energi

Glikogen Asam laktat

Energi untuk : energi + 3 ADP + 3 Pi 3 ATP

Tabel 1. Tenaga Maksimal dan Kapasitas Maksimal dari Sistem Energi

Sistem Tenaga maksimal (unit ATP

yang disediakan per menit)

Kapasitas Maksimal (Jumlah unit ATP tersedia)

ATP-PC 3.6 0.7

Glikolisis Anaerobic 1.6 1.2

Aerobic 1.0 Tak terbatas

Adenosine P P P


(28)

b) Sistem energi aerobik dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu :

(1) Glikolisis aerobik: pemecahan glikogen atau glukose dengan

menggunakan oksigen pada tahap permulaan hanya

menghasilkan 2 ATP (glukose) atau 3 ATP (glikogen). (C6H12O6) n- 2C3H4O3 + Energi

Glikogen Asam piruvat

Energi + 3 ADP + 3 Pi 3 ATP

(2) Siklus Krebs: Asam piruvat selanjutnya dipecah dengan pertolongan Co enzym A.

Asam Piruvat + Co enzym A Acetyl A + 2CO2 + 4H

Siklus ini dimulai dari setelah terbentuknya asam piruvat selama glikosis aerobik, terus masuk ke mitokondria dan melanjutkan rangkaian reaksi pemecahannya dalam siklus krebs (Siklus Asam Trikarbosilat (TCA)). Pemecahan asam piruvat menjadi karbondioksida dan air di intramitokondrial sangat komplek. Fase-fasenya sebagai berikut :

(a) Apabila suplai oksigen memadai, molekul asam piruvat diproduksi pada fase pertama glikolisis, kemudian berdifusi dari sarkoplasma memasuki membran mitokondria, dan setiap molekul asam piruvat kehilangan atom karbon dan dua atom oksigen sebagai CO2. Pada waktu yang bersamaan,

setiap molekul asam piruvat dioksidasi dengan adanya NAD+; dan kehilangan dua elektron dan dua ion hidrogen.


(29)

(b) Dua molekul karbon yang tersisa setelah setiap molekul asam piruvat kehilangan CO2, elektron dan ion hidrogen

dinamakan kelompok asetil. Kelompok asetil ini kemudian bergabung dengan molekul lain yang dinamakan Ko enzim A (Co A) untuk membentuk asetil KoA (reaksi A pada gambar siklus krebs). Setiap molekul asetil KoA kemudian masuk ke reaksi rangkaian siklus berikutnya (siklus krebs).

(c) Pada proses kelanjutannya itu, dapat kita lihat bahwa asetil KoA bergabung dengan asam oksaloasetat dan kehilangan molekul Koenzim A, dan hasil dari reaksi ini adalah molekul asam sitrat. Asam sitrat kemudian dikonversi menjadi asam

sis asonitat (cis-aconitic) dan selanjutnya dirubah menjadi asam isositrat (isocitric-acid). Pada reaksi B, asam asositrat

dioksidasi (dengan bantuan pengangkut elektron, NAD+) menjadi asam oksalosuksinat (oxalosuccinic acid). Pada reaksi C, asam oksalosuksinat kehilangan/melepaskan molekul karbondioksida (CO2) dan menjadi asam

alfa-ketoglutarat (alpha-ketoglutaric acid). Dengan kehilangan molekul CO2 didalam reaksi C artinya, kita sekarang dapat

memandang bahwa hanya satu dari ketiga atom karbon yang berasal dari molekul asam piruvat yang tinggal. Terakhir karbon hilang sebagai CO2 didalam rangkaian D pada waktu


(30)

kehilangan CO2 ketika menghasilkan 1 molekul ATP.

Sebenarnya hanya molekul ATP yang diproduksi didalam siklus Krebs untuk setiap molekul asetil-KoA yang melintasi siklus.

(d) Setelah reaksi D, kita dapat menganggap bahwa setiap karbon yang berasal dari asam piruvat tidak dapat tinggal terlalu lama, dan karbon tetap hanya untuk mengangkut 4 elektron tambahan dan ion hidrogen didalam reaksi E dan F. didalam reaksi E pengangkut elektron bukan molekul NAD+ yang biasa, tetapi molekul lain yang dinamakan flavin adenin denukleotida (flavin adenine dinucleotide –FAD). Pada reaksi F asam oksaloasetat (oxaloacetic acid) mengalami regenerasi, dan siklus dapat dimulai dengan yang baru lagi.


(31)

Gambar 3. Siklus Krebs (Fos & Keteyian, 1998:30)

(3) Sistem transport elektron: kelanjutan pemecahan glikogen adalah terbentuknya H2O yang dihasilkan dari persenyawaan H+ yang

terjadi dalam siklus krebs serta O2 yang kita hirup. Rangkaian

reaksi sampai terjadinya H2O disebut sistem transport elektron

yang terjadi di dalam dinding dalam mitokhondria. 4H + 4e + O2 2H2O

Pada sistem transport elektron (lihat pada gambar transport eletron), elektron dan ion hidrogen ditransfer dari persenyawaan yang satu ke persenyawaan berikutnya. Energi kimia dibebaskan pada tiga langkah (A, D, G) untuk menyediakan energi dalam pembentukan ATP dari ADP dan kelompok fosfat. Hilangnya


(32)

elektron (oksidasi) pada waktu mengalami berbagai persenyawaan adalah tanggung jawab untuk mengikat fosfat (fosforilasi) terhadap ADP untuk membentuk ATP. Jadi produksi ATP di dalam mitokondria berhubungan dengan oksidasi molekul yang berurutan didalam sistem tranport elektron yang diketahui sebagai fosforilasi oksidasi (oxidative phosporylation). Proses ini menyediakan jumlah ATP yang terbesar untuk kontraksi otot.

Saat molekul pertama yang dioksidasi (reaksi A) adalah

nikotamida adenin dinukleutida (NADH). Pada reaksi B,

Flavoprotein H2 yang mengalami reduksi pada A, sekarang

mengalami oksidasi. Dari sini sampai langkah H, hanya elektron yang ditransfer diantara persenyawaan, sedangkan dua ion hidrogen (H+) yang terikat ke flavoprotein H2 sekarang masuk

kedalam larutan dan dapat dipergunakan lagi pada H, pada akhir reaksi oksidasi-reduksi. Oksigen dari darah menerima dua elektron dari persenyawaan 6 (cytochrome oxidase) dan bergabung dengan larutan ion hidrogen (H+) untuk membentuk air (H2O).

Skema transport elektron dapat kita lihat bahwa, untuk setiap dua elektron (atau atom hidrogen) dapat lewat dengan jalan dari NADH + H+ menjadi H2O, tiga molekul ATP diproduksi


(33)

(pada reaksi A, D, G). (Lamb, 1984:39-63; Junusul, 1989:67-115; Riequier, 2000:3-10; Coustou, 2003:49625-49635).

Gambar 4. Sistem Transport Elektron (Lamb, 1984:49)

(4) Pengaruh Latihan Terhadap Fisik

Latihan fisik yang dilakukan secara teratur, terprogram dan terukur dengan baik akan menghasilkan perubahan-perubahan fisiologis yang mengarah pada kemampuan menghasilkan energi yang lebih besar dan memperbaiki penampilan atau prestasi fisik. Menurut Fox, et al (1988:24) perubahan fisiologis yang terjadi akibat latihan fisik diklasifikasikan menjadi tiga macam perubahan antara lain :


(34)

(a) Perubahan yang terjadi pada tingkat jaringan yakni perubahan yang berhubungan dengan biokimia.

(b) Perubahan yang terjadi secara sistematik yakni perubahan pada sistem sirkulasi dan respirasi, termasuk sistem pengangkutan oksigen.

(c) Perubahan lain yang terjadi pada kompisi tubuh, kadar kolesterol darah dan trigliserida, perubahan tekanan darah, dan perubahan yang berkenaan dengan aklimatisasi panas. Perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi menunjukkan bahwa tidak semua pengaruh latihan dapat diharapkan dari program latihan tunggal. Pengaruh latihan adalah khusus, yakni sesuai dengan program latihan yang digunakan, apakah itu program latihan aerobik (endurance) atau anaerobik (sprint). (a) Perubahan-perubahan biokimia

Perbaikan penampilan dalam olahraga seperti gerakan yang bersifat cepat (sprinting, kicking) disatu sisi belum dapat dijelaskan oleh adaptasi dalam metabolisme anaerobik akibat latihan. Disisi lain, bentuk-bentuk latihan anaerobik digunakan dalam bolavoli, pencak silat, atletik, dan lain-lain untuk menimbulkan adaptasi pada serabut-serabut otot. Terutama disini karena meningkatkan phosphate kaya energi dan glikogen intramuskuler yang bergabung untuk meningkatkan aktivitas dari beberapa enzim.


(35)

(1) Perubahan-perubahan dalam serabut otot

Akibat latihan akan terlihat hipertropi otot. Karena latihan dalam tubuh terdapat dua macam otot, yakni otot lambat (slow twich fiber) adan otot cepat (fast twich fiber), maka dengan sendirinya juga terjadi hipertropi pada kedua macam otot tersebut. Hipertropi ini tergantung dari macam latihan yang dilakukan. Bila untuk ketahanan yang akan menjadi hipertropi adalah otot lambat, sedangkan bila untuk kecepatan yang menjadi hipertropi adalah otot cepat. Hipertropi yang disebabkan karena latihan, biasanya disertai perubahan-perubahan sebagai berikut :

(a) Peningkatan diameter miofibril. (b) Peningkatan jumlah miofibril (c) Peningkatan protein kontraktil (d) Peningkatan jumlah kapiler

(e) Peningkatan kekuatan jaringan ikat, tendon, dan ligamen. (Soekarman, 1987:32).

Perubahan-perubahan antar tipe-tipe serabut otot, sedikit terjadi pada seseorang yang melakukan latihan anaerobik seperti lari cepat, menendang, memukul,

smash. Peningkatan pada diameter (hipertropi) dari serabut otot lambat (ST) maupun otot cepat (FT) pada


(36)

vastus lateralis, terjadi hipertropi yang lebih nyata pada serabut otot cepat (Fox, et al, 1984:228-231).

(2) Perubahan-perubahan dalam sistem anaerobik

Perubahan-perubahan dalam otot akibat dari latihan meliputi peningkatan kapasitas atau kemampuan dari: a) sistem phospagen (ATP-PC), dan b) sistem glikolisis anaerobik (LA). Dalam kaitannya dengan perubahan biokimia yang terjadi dalam sistem anaerobik. Costill, et al (1979:96-99) menyatakan tiga hasil temuan penelitian mereka mengenai “adaptasi dalam otot skelet setelah mengikuti latihan kekuatan” sebagai berikut :

(a) Dengan menggunakan 10 kali repitisi dalam 30 detik melawan kerja maksimal 4 kali per minggu adalah

cukup merangsang peningkatan aktifitas

phosphorylaze (ATP-ase) otot, phospho fruktokinase

(PFK), creatinine phosphokinase (CPK), myokinase

(MK), malate dehydrigenase (MDH), dan succinate dehydrogenase (SDH).

(b) Aktifitas enzim-enzim otot meningkat.

(c) Terdapat perubahan komposisi otot dari serabut

vastus lateralis setelah 7 minggu latihan. Dari contoh


(37)

signifikan dalam prosentase komposisi area serabut otot tipe I dan II a.

Menurut Fox, et al (1988:327) perubahan biokimia yang terjadi dalam sistem anaerobik meliputi perubahan-perubahan:

(a) Peningkatan cadangan ATP dan PC dalam otot. (b) Peningkatan aktifitas enzim-enzim anaerobik dan

aerobik; dan

(c) Peningkatan aktifitas enzim glikolitik. (3) Perubahan-perubahan dalam sistem aerobik

Peningkatan dalam enzim-enzim aerobik tampak setelah latihan anaerobik atau lari cepat. Tampak pula pada konsumsi oksigen maksimal (VO2maks)nya (Fox, et

al, 1984:229).

(b) Perubahan-perubahan pada sistem kardiorespirasi

Perubahan akibat latihan kecepatan oleh Radioputro (1987:26-27) dinyatakan bahwa akibat kenaikan frekuensi detak jantung dan bertambah kuatnya kontraksi otot jantung, maka jadilah dilatasi jantung dan hipertropi otot jantung. Kecuali hipertropi dan dilatasi jantung akibat latihan terjadi pula perubahan-perubahan seperti :

(1) Turunnya frekuensi detak jantung (2) Bertambahnya volume sekuncup


(38)

(3) Kenaikan frekuensi yang lebih kecil pada waktu latihan (4) Pemulihan kembali ke frekuensi dan desakan pada waktu

istirahat berlangsung lebih cepat.

(c) Perubahan-perubahan lain yang terjadi dalam latihan

Disamping perubahan biokimia dan perubahan

kardiorespirasi, latihan juga menghasilkan perubahan-perubahan lain yang terpenting seperti :

(1) Perubahan dalam komposisi tubuh

(2) Perubahan dalam kadar kolesterol dan trigliserida (3) Perubahan dalam tekanan darah

(4) Perubahan dalam aklimatisasi panas

(5) Perubahan-perubahan dalam jaringan penghubung (Fox, et al, 1988:347-348).

Perubahan fisiologis yang lain, selain dari 3 hal yang telah dikemukan adalah perubahan-perubahan pada struktur syaraf. Kebanyakan penelitian tentang pengaruh fisiologis dari latihan terfokus pada perubahan-perubahan dalam otot skelet. Meskipun demikian, beberapa penelitian yang memusatkan perhatian pada motor end plate dan motor neuron tidak kalah pentingnya, bahkan mungkin lebih penting, karena ditemukan bahwa susunan-susunan atau struktur ini menunjukkan perubahan sebagai hasil dari latihan (Fox, et al, 1984:231).


(39)

Perubahan-perubahan ini termasuk adaptasi seluler dan sub seluler dalam setrukturnya, modifikasi dari transmisi dan perubahan dalam refleks, bahan kimia dan respon biokimia (yang terakhir dalam motor neuron itu sendiri).

d. Latihan Plaiometrik

Ciri khas dari latihan plaiometrik adalah adanya peregangan pendahuluan (pre-streehing) dan tegangan awal (pre-tension) pada saat melakukan kerja. Latihan ini dikerjakan dengan cepat, kuat eksplosif dan reaktif. Tipe latihan yang melibatkan unsur-unsur tersebut di atas, merupakan tipe dari kemampuan daya ledak. Oleh karena itu Radcliffe & Farentinos (1985:1), mengemukakan bahwa “Latihan plaiometrik merupakan salah satu metode latihan yang sangat baik untuk meningkatkan eksplosif koordinasi”. Gerakan-gerakan plaiometrik dilakukan dengan spektrum yang luas menggunakan koordinasi. Secara umum latihan plaiometrik memiliki aplikasi yang sangat luas dalam berbagai kegiatan olahraga, dan secara khusus latihan ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan koordinasi (daya ledak) baik siklik maupun asiklik.

1) Tujuan Latihan Plaiometrik

Plaiometrik berasal dari bahasa latin ”plyo dan metries” yang berarti ”measurable increases” atau peningkatan yang terukur Chu (1992:1). Istilah ini muncul dalam terminologi bahasa Inggris. Hal ini sebagai akibat tidak tepatnya definisi plaiometrik secara pasti.


(40)

Plaiometrik pertama kali dikemukakan oleh salah seorang warga Amerika yang berfikiran jauh ke depan tentang kepelatihan Atletik bernama Fred Wilt pada tahun 1975.

Fox, et al (1988:175) mengemukakan bahwa latihan plaiometrik merupakan bentuk program latihan yang mengkombinasikan suatu regangan awal pada unit tendon yang diikuti oleh suatu kontraksi isotonik. Pendapat senada dikemukakan oleh Radcliffe & Farentinos (1985:3-7) yang menyatakan bahwa latihan plaiometrik adalah suatu latihan yang memiliki ciri khusus, yaitu kontraksi otot yang sangat kuat yang merupakan respon dari pembebanan atau regangan yang cepat dari otot-otot yang terlibat atau disebut juga reflek regang atau reflek miotetik atau reflek muscle spindle. Sedangkan Chu (1992:1-3) berpendapat bahwa latihan plaiometrik adalah latihan yang memungkinkan otot untuk mencapai kekuatan maksimal dalam waktu yang sesingkat mungkin.

Dari beberapa batasan latihan plaiometrik yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut di atas pada prinsipnya sama, bahwa latihan plaiometrik adalah salah satu bentuk latihan yang didalamnya terdapat kontraksi dan regangan otot secara cepat yang memungkinkan otot mencapai kekuatan maksimal dalam waktu yang singkat.


(41)

2) Prinsip-Prinsip Latihan Plaiometrik

Dalam kegiatan olahraga, kerja atlet mungkin dikaitkan dengan tiga jenis kontraksi otot, yaitu: konsentrik (memendek), isometrik (tetap) dan eksentrik (memanjang). Tipe gerakan dalam latihan plaiometrik adalah cepat, kuat, eksplosif dan reaktif.

Latihan plaiometrik sebagai metode latihan fisik untuk mengembangkan kualitas fisik, selain harus mengikuti prinsip-prinsip dasar latihan secara umum. Juga harus mengikuti prinsip-prinsip khusus yang terdiri dari :

a) Memberikan regangan pada otot

Tujuan dari pemberian regangan yang cepat pada otot, yaitu untuk mendapatkan tenaga elastis dan menimbulkan reflek regangan.

b) Beban lebih yang meningkat (Progresive Overload)

Dalam latihan plaiometrik harus menerapkan beban lebih dalam hal beban/tahanan, keterampilan teknik dasar dan jarak.

Tahanan atau beban yang overload biasanya pada latihan

plaiometrik diperoleh dari bentuk pemindahan dari anggota badan atau tubuh yang cepat, seperti menanggulangi akibat jatuh, meloncat, melambung, memantul dan sebagainya.

c) Kekhususan latihan (Spesific Training)

Dalam latihan plaiometrik harus menerapkan prinsip kekhususan yaitu: a) Kekhususan terhadap kelompok otot yang


(42)

dilatih atau kekhususan neuromuscular, b) Kekhususan terhadap sistem energi utama yang digunakan dan c) Kekhususan terhadap pola gerakan latihan (Bompa, 1994:32).

Agar latihan koordinasi dapat memberikan hasil seperti yang

diharapkan, maka latihan harus direncanakan dengan

mempertimbangkan aspek-aspek yang menjadi komponen-komponennya. Aspek-aspek yang menjadi komponen dalam latihan plaiometrik tidak jauh berbeda dengan latihan kondisi fisik yang meliputi: ”(1). Volume, (2). Intensitas yang tinggi, (3).

Frekuensi dan (4). Pulih asal”. (Chu, 1992:14). 3) Bentuk Latihan Plaiometrik

Latihan plaiometrik yang dilakukan untuk meningkatkan koordinasi mata-tangan harus bersifat khusus yaitu latihan yang ditujukan untuk otot lengan. Salah satu bentuk latihan yang dapat digunakan untuk meningkatkan koordinasi mata-tangan dalam latihan pliometrik adalah medicine ball scoop toss dan medicine ball throw.

Medicine ball scoop toss merupakan latihan plaiometrik yang dilakukan secara cepat dan eksplosif melibatkan otot lengan, lingkar bahu dan otot-otot punggung bagian bawah. Gerakannya meloncat dengan melempar bola medisin keatas dan menangkap kembali, bola diletakkan diantara kedua tungkai. Medicine ball throw merupakan latihan dengan gerakan melempar bola medisin ke depan sejauh mungkin, dengan posisi berlutut dengan kedua lutut ditekuk selebar


(43)

bahu, gerakan ini melibatkan otot-otot bahu, lengan, dada dan togok. Latihan ini menghendaki hampir seluruh koordinasi tubuh, yang melibatkan otot-otot punggung bawah, fleksor pinggul, lingkar bahu,

lengan dan QuadricepRadcliffe dan Farentinos. 4) Pengaruh Latihan Plaiometrik Terhadap Peningkatan Keterampilan

Teknik Dasar Bolavoli

Pengaruh latihan bersifat khusus dan sesuai dengan karakteristik tipe kerja dari suatu latihan. Tipe latihan plaiometrik adalah cepat, eksplosif dan reaktif, tipe ini merupakan tipe kerja dari koordinasi. Latihan plaiometrik yang dilakukan secara berulang-ulang akan berpengaruh terhadap otot lengan dan bahu. Otot-otot yang terlibat harus bekerja secara berulang-ulang dan terus-menerus. Latihan plaiometrik merupakan latihan yaug cocok unluk meningkatkan kemampuan meloncat, melompat, melempar, mengayun, mendorong, menarik, memukul. Karena kemampuan mengayun, mendorong dan memukul bola dengan cepat merupakan tipe dari latihan yang bersifat cepat dan eksplosif. Latihan ini merupakan perpaduan antara kekuatan dan keterampilan teknik dasar yang merupakan unsur dominan di dalam koordinasi. Sehingga latihan ini sangat baik untuk meningkatkan koordinasi mata-tangan.

Latihan yang dilakukan secara berulang-ulang dan

berkesinambungan akan berpengaruh terhadap sistem fisiologis dan neurologi khususnya pada otot lengan, sehingga akan terjadi adaptasi


(44)

terhadap gerakan yang dilakukan. Dengan demikian koordinasi mata-tangan atlet yang bersangkutan dapat meningkat. Hal ini dikarenakan pola gerakan dan sistem energi yang digunakan sesuai dengan gerakan dan sistem energi pada koordinasi. Latihan ini dilakukan dengan cepat, eksplosif dan bertenaga, sehingga cukup melelahkan. Oleh karena itu peningkatan dosis latihan, sebaiknya diberikan secara bertahap.

Latihan pliometrik diperkirakan menstimulasi berbagai

perubahan dalam sistem neuromuscular, memperbesar kemampuan

kelompok-kelompok otot untuk memberikan respon lebih cepat dan lebih kuat terhadap perubahan-perubahan yang ringan dan cepat pada otot, sehingga latihan ini memiliki dan memberi beberapa keuntungan bagi pelakunya, diantaranya adalah: 1) kecepatan gerakan dalam latihan lebih tinggi, sehingga sangat baik dan efektif untuk menghasilkan tenaga pada jenis gerakan (kecepatan gerak jauh lebih baik), 2) resiko terjadinya cedera otot lebih rendah, sehingga lebih aman pada saat melakukan latihan, 3) kontrol kesungguhan dan kebenaran dalam pelaksanaan program latihan lebih mudah, 4) peningkatan beban latihan lebih tepat, sesuai dengan ketentuan, dan 5) memungkinkan sejumlah peserta untuk berlatih bersama, sehingga menghemat waktu.

Sedangkan kelemahan dari latihan pliometrik diantaranya adalah: 1) beban latihan relatif ringan, sehingga peningkatan kekuatan lebih rendah, 2) unsur tantangan lebih rendah, sehingga kurang menarik, 3)


(45)

timbulnya kejenuhan pada saat beban latihan semakin bertambah, karena jenis latihan yang tidak berubah, dan 4) timbulnya kelelahan yang sangat bagi pelaku.

e. Latihan Berbeban

Latihan beban adalah suatu cara untuk menerapkan prosedur pengkondisian secara sistematis pada berbagai otot tubuh. Cara pengkondisian tersebut akan meningkatkan kekuatan, daya tahan, ukuran otot dan penampilan seseorang. Latihan beban juga dikenal dengan istilah

weight training merupakan latihan fisik yang efektif dengan bantuan alat berupa besi (dumbell, barbel, stick) untuk meningkatkan kekuatan, koordinasi, ketahanan otot dan pembentukan otot. Selain itu unsur-unsur biomotor kekuatan, keterampilan teknik dasar, daya tahan, koordinasi, fleksibilitas, tidak dapat dipisahkan semuanya saling berhubungan dan melengkapi. Maka dapat disimpulkan bahwa program latihan berbeban dapat meningkatkan unsur-unsur biomotor.

1) Prinsip-Prinsip Latihan Berbeban

Dalam olahraga prestasi untuk memperoleh prestasi puncak harus melalui program latihan yang disusun secara sistematis, teratur, kontinyu dan menerapkan prinsip-prinsip dasar latihan. Nossek (1982:10) mengemukakan bahwa latihan yang sistematis adalah dilakukan secara teratur, latihan tersebut berlangsung beberapa kali dalam satu minggu, tergantung pada periodisasi latihan dan standar atlet tersebut. Pelaksanaan latihan harus berpedoman pada


(46)

prinsip-prinsip latihan yang benar. Prinsip latihan merupakan garis pedoman yang hendaknya digunakan dalam latihan yang terorganisir dengan baik.

Dapat dirangkum dari pendapat tersebut di atas bahwa prinsip latihan merupakan landasan ilmiah dalam pelatihan yang harus dipegang erat dalam proses latihan. Diantara prinsip-prinsip latihan tersebut diantaranya adalah: 1) Prinsip beban lebih 2) Prinsip progresif, 3) Prinsip pengaturan latihan, 4) Prinsip kekhususan program latihan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip tersebut diharapkan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu mencapai prestasi puncak. a) Prinsip beban lebih

Latihan fisik pada prinsipnya adalah memberikan tekanan pada tubuh yang akan dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kapasitas kemampuan kerja dan mengembangkan sistem serta fungsi organ tubuh ketingkat standar nilai yang lebih tinggi.

Beban latihan yang diberikan harus di atas ambang batas rangsang latihan. Jika latihan tidak ditingkatkan meskipun latihan dilakukan dengan rutin, prestasi tidak akan meningkat. Lebih lanjut Harsono (1988:50) mengemukakan bahwa “perkembangan otot hanyalah mungkin apabila otot-otot tersebut dibebani dengan tahanan yang kian bertambah berat “. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa latihan dengan bobot yang ringan tidak akan


(47)

mengembangkan kekuatan. Hal ini berarti bahwa seorang atlet tidak akan meningkat prestasinya jika dalam latihan mengabaikan prinsip beban berlebih. Kemampuan seorang atlet dapat meningkat jika mendapat beban latihan yang lebih berat dari beban yang diterima sebelumnya secara teratur dan kontinyu. Jonath &

Krempel (1987:29) menerangkan bahwa ”peningkatan prestasi

terus menerus hanya dapat dicapai dengan peningkatan beban latihan“.

Pembebanan yang lebih dapat merangsang penyesuaian fisiologis dalam tubuh yang dapat mendorong peningkatan kemampuan otot dalam tubuh. Satu hal yang harus diingat bahwa beban latihan yang diberikan tidak boleh terlalu berat atau berlebihan, karena hal ini justru akan berakibat tidak baik terhadap hasil latihan. Jika beban latihan yang diberikan terlalu berat atau berlebihan, bukan kemampuan fisik yang meningkat justru sebaliknya kemungkinan akan terjadi cedera dan penurunan kemampuan kondisi fisik.

Pendapat tersebut di atas menunjukkan bahwa prinsip beban lebih bertujuan untuk meningkatkan perkembangan kemampuan tubuh. Pembebanan latihan yang lebih berat dari sebelumnya tersebut akan merangsang tubuh untuk beradaptasi dengan beban


(48)

Kemampuan tubuh yang meningkat dimungkinkan akan mampu mencapai prestasi yang lebih baik.

b) Prinsip Progresif

Agar latihan dapat dirasakan kemajuannya maka beban yang diberikan haruslah progresif. Disini yang dimaksud dengan peningkatan beban secara progresif adalah peningkatan beban secara teratur dan bertahap, sedikit demi sedikit. Dengan pemberian beban secara bertahap yang kian hari kian meningkat jumlah pembebanannya. Hal ini akan memberikan efektifitas kemampuan fisik. Peningkatan beban latihan harus tepat disesuaikan dengan tingkat kemampuan fisiologis dan psikologis atlet serta ditingkatkan setahap demi setahap. Keuntungan penggunaan prinsip peningkatan beban secara progresif adalah otot-otot tidak akan terasa sakit. Peningkatan beban lebih diterapkan paling tidak setelah dua atau tiga kali latihan.

Menurut Bompa (1994:44) bahwa prinsip peningkatan beban secara bertahap merupakan dasar dari semua perencanaan latihan olahraga mulai dari siklus mikro sampai siklus olimpiade, dan harus diterapkan bagi semua atlet tanpa memandang tingkat

prestasinya. Keterampilan seseorang untuk memperbaiki

prestasinya, tergantung pada teknik dasar dan cara bagaimana dia meningkatkan beban latihannya. Tetapi harus diingat apabila beban latihan yang diberikan selamanya terus menerus dan linear, maka


(49)

akan terjadi kemerosotan dari segi fisik dan psikologis atlet, sehingga prestasinya akan menurun. Suatu pembebanan latihan yang mendadak tajam, akan memepengaruhi toleransi kemampuan adaptasi tubuh, keseimbangan fisiologis dan psikologis atlet. Untuk itu beban latihan yang diberikan harus diikuti oleh fase tanpa beban, dimana pada fase ini organ tubuh akan menyesuaikan diri dan terjadi regenerasi fungsi organ tubuh. Hal ini sangat diperlukan untuk persiapan peningkatan beban latihan yang baru. Keadaan ini harus mempertimbangkan juga kebutuhan setiap atlet, keterampilan teknik dasar penyesuaian serta kalender pertandingan.

c) Prinsip Pengaturan Latihan

Prinsip ini berkaitan mengenai pengaturan tahapan latihan. Latihan harus dilakukan secara teratur dan kontinyu, hal ini dimaksudkan agar terjadi adaptasi terhadap jenis ketrampilan yang dipelajari. Hal ini diterapkan misalnya pada latihan berbeban, dimana kelompok otot yang besar harus dilatih terlebih dahulu sebelum otot-otot yang kecil. Hal ini diterapkan agar kelompok otot kecil tidak mengalami kelelahan terlebih dahulu. Penerapan aturan ini mempunyai tujuan bahwa otot-otot yang lebih kecil mempunyai kecenderungan lebh cepat lelah bila dibandingkan otot-otot besar. Oleh sebab itu untuk menentukan beban lebih yang tepat yaitu dengan mendahulukan melatih otot-otot besar terlebih dahulu. Kemudian setelah itu melatih otot-otot yang besar.


(50)

Contohnya kelompok otot pada kaki dan kelompok otot pada paha dilatih terlebih dahulu, dari pada kelompok otot bagian lengan yang lebih kecil.

d) Prinsip kekhususan

Pengaruh yang dtimbulkan akibat latihan bersifat khusus, sesuai dengan karakteristik kondisi fisik, pola gerakan dan sistem energi yang digunakan selama latihan. Latihan yang ditujukan pada unsur kondisi fisik atau teknik dasar tertentu hanya akan memberikan pengaruh besar terhadap komponen kondisi fisik atau teknik dasar yang dipelajari.

Oleh karena itu program latihan yang dilakukan harus bersifat khusus, disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai. Kekhususan

tersebut menyangkut sistem energi serta pola gerakan

(keterampilan) yang sesuai dengan unsur fisik maupun nomor yang dikembangkan.

Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam latihan adalah jumlah latihan dan beban latihan yang meliputi intensitas, repetisi, jumlah set dan recovery.

1) Jumlah latihan

Jumlah ini merupakan kunci dari efektifitas latihan. Penetapan jumlah latihan ini sering dilupakan oleh beberapa


(51)

pelatih. Untuk dapat menyeleksi latihan yang akan diberikan perlu dipertimbangkan beberapa aspek diantaranya:

a) Umur dan tingkat penampilan. b) Kebutuhan dari cabang olahraga. c) Fase latihan.

2) Beban latihan

Jumlah beban yang digunakan atau diangkat dalam mengembangkan koordinasi, terdiri dari :

a) Jumlah repetisi

Yang dimaksud dengan repetisi adalah ulangan angkatan yang akan dilakukan pada waktu angkat beban. b) Jumlah set

Setiap jumlah ulangan tersebut disebut set, misalnya 2 set dengan 6 repetisi, maksudnya adalah dengan melakukan angkatan sebanyak 6 kali diselingi istirahat kemudian melakukan ulangan sebanyak 6 kali lagi

3) Bentuk Latihan Berbeban Untuk Meningkatkan Keterampilan Teknik Dasar Bolavoli

Bentuk latihan berbeban yang digunakan untuk meningkatkan keterampilan teknik dasar harus melibatkan kelompok otot lengan dan bentuk latihan yang sesuai untuk meningkatkan koordinasi mata-tangan yang melibatkan kelompok otot tersebut diantaranya adalah straight arm pull


(52)

over dan forward raise. Latihan straight arm pull over adalah latihan yang dilakukan dengan sikap awal berbaring terlentang di atas bangku kedua lengan lurus ke belakang kepala dengan memegang beban. Gerakannya: beban diangkat sampai tegak lurus bangku dengan kedua lengan tetap lurus. Latihan forward raise adalah latihan yang dilakukan dengan sikap awal berdiri tegak tangan memegang dumbbell, gerakannya yaitu putar tangan arah pronasi kemudian kearah supinasi.

4) Pengaruh Latihan Berbeban Terhadap Peningkatan

Keterampilan Teknik Dasar Bolavoli.

Latihan berbeban latihan yang memberikan pembebanan terhadap otot lengan, selama latihan otot-otot tubuh khususnya otot lengan terlibat dalam gerakan melawan beban dilakukan secara berulang-ulang. Otot-otot lengan atlet harus bekerja untuk melawan beban secara berulang-ulang dan terus-menerus. Otot-otot yang terlibat dapat beradaptasi terhadap beban, sehingga keterampilan teknik dasar dan kekuatan otot dapat meningkat. Peningkatan kekuatan otot ini dapat terjadi akibat adanya pembesaran otot. Latihan beban secara teratur dan pola makan yang baik menyebabkan otot menjadi kuat, dapat memikul beban yang lebih berat, rasa lelah berkurang, sistem neuromuskuler berfungsi lebih baik, otot dapat bergerak lebih cepat dalam berbagai pola gerakan. Otot yang terlatih


(53)

dapat menjadi lebih besar, sehingga keterampilan teknik dasar dan kekuatan otot pun akan meningkat.

Latihan berbeban memberikan beberapa keuntungan diantaranya adalah: 1) peningkatan keterampilan teknik dasar bolavoli yang cukup besar, 2) dengan adanya beban tambahan dari luar, lebih memberikan tantangan bagi pelaku sehingga dapat meningkatkan semangat dan motivasi dalam latihan, 3) kontrol kesungguhan dan kebenaran dalam pelaksanaan program latihan lebih mudah, 4) dapat dirancang untuk berbagai keperluan dan 5) prinsip overload benar-benar terlihat.

Sedangkan kelemahan dari latihan berbeban ini diantaranya adalah: 1) kecepatan gerak otot lengan dalam keterampilan teknik dasar bolavoli terabaikan karena beban terlalu berat sehingga peningkatan kecepatan lebih rendah, 2) resiko terjadinya kelelahan dan cedera otot lebih besar, 3) peningkatan beban latihan, kadang-kadang tidak sesuai dengan perhitungan karena berat beban yang tersedia ukurannya terbatas dan 4) timbulnya kejenuhan saat melakukan latihan. Namun demikian latihan ini pun juga dapat digunakan untuk meningkatkan power.


(54)

Tabel 2. Perbedaan Latihan Pliometrik dan Berbeban Untuk Peningkatan Keterampilan Teknik Dasar Bolavoli

METODE LATIHAN

LATIHAN BERBEBAN LATIHAN PLIOMETRIK

Kelebihan: Kelebihan:

1. Peningkatan keterampilan teknik dasar bolavoli yang cukup besar.

2. Dengan adanya beban tambahan

dari luar, lebih memberikan tantangan bagi pelaku sehingga dapat meningkatkan semangat dan motivasi dalam latihan.

3. Kontrol kesungguhan dan

kebenaran dalam pelaksanaan program latihan lebih mudah. 4. Dapat dirancang untuk berbagai

keperluan.

5. Prinsip overload benar-benar terlihat.

1. Kecepatan gerakan dalam latihan lebih tinggi, sehingga kecepatan gerak jauh lebih baik.

2. Resiko terjadinya cedera otot lebih rendah, sehingga lebih aman pada saat melakukan latihan.

3. Kontrol kesungguhan dan

kebenaran dalam pelaksanaan

program latihan lebih mudah. 4. Peningkatan beban latihan lebih

tepat, sesuai dengan ketentuan. 5. Memungkinkan sejumlah peserta

untuk berlatih bersama, sehingga menghemat waktu.

Kelemahan: Kelemahan:

1. Kecepatan gerak otot lengan terabaikan sehingga peningkatan

keterampilan teknik dasar

bolavoli lebih rendah.

2. Resiko terjadinya kelelahan dan cedera otot lebih besar.

3. Peningkatan beban latihan,

kadang-kadang tidak sesuai

perhitungan karena ukuran berat beban yang tersedia terbatas.

4. Timbulnya kejenuhan saat

melakukan latihan.

1. Beban latihan relatif lebih ringan, sehingga peningkatan keterampilan teknik dasar bolavoli lebih rendah dan tidak optimal.

2. Unsur tantangan lebih rendah, sehingga kurang menarik.

3. Timbulnya kejenuhan pada saat beban latihan semakin bertambah, karena jenis latihan yang tidak berubah.

4. Timbulnya kelelahan yang sangat bagi pelaku.

2. Koordinasi Mata-Tangan

Koordinasi adalah suatu kemampuan biomotorik yang sangat kompleks. Koordinasi erat hubungannya dengan keterampilan teknik dasar, kekuatan, daya tahan, dan fleksibilitas dan sangat penting untuk mempelajari dan menyempurnakan teknik dan taktik. Menurut Barrow dan McGee dalam


(55)

Harsono (1988:219) bahwa dalam koordinasi termasuk juga agilitas, balance

(keseimbangan), dan kinestetic sence. Koordinasi penting kalau kita berada dalam situasi dan; lingkungan yang asing seperti misalnya dalam perubahan lapangan pertandingan, peralatan dan sebagainya yang dihadapi didalam pertandingan. Demikian pula, koordinasi penting untuk orientasi ruang, seperti pada waktu berada di udara misalnya pada saat salto dalam senam atau loncat indah.

Pengertian dari koordinasi menurut beberapa ahli seperti menurut Suharno (1993:61) bahwa “koordinasi adalah kemampuan atlet untuk merangkaikan beberapa gerak menjadi satu gerakan yang utuh dan selaras”. Barrow dan McGee yang dikutip oleh Harsono (1988:220) memberikan batasan mengenai koordinasi yaitu “kemampuan untuk memadukan berbagai macam gerakan kedalam satu atau lebih pola gerak khusus”. Dengan demikian kesimpulan dan pendapat-pendapat tersebut ialah koordinasi merupakan kemampuan dari dua atau lebih organ tubuh yang bergerak dengan suatu pola gerakan tertentu.

Broer dan Zernicke dalam Harsono (1988:221) menjelaskan bahwa koordinasi adalah kemampuan untuk mengkombinasikan beberapa gerakan tanpa ketegangan, dengan urutan yang benar dan melakukan gerakan yang kompleks secara mulus tanpa pengeluaran energi yang berlebihan. Dengan demikian hasilnya adalah gerakan yang efisien, halus, mulus (smooth) dan terkoordinasi dengan baik.


(56)

Berdasarkan pendapat di atas, jelas bahwa rumusan koordinasi merupakan salah satu unsur yang penting untuk keterampilan gerak motorik. Tingkat koordinasi atau baik tidaknya koordinasi gerak seseorang tercermin dalam kemampuannya untuk melakukan suatu gerakan secara mulus, tepat dan efisien. Seorang atlet dengan koordinasi yang baik bukan hanya mampu melakukan suatu keterampilan secara sempurna, akan tetapi juga mudah dan cepat dapat melakukan keterampilan yang masih baru baginya. Disamping itu juga dapat mengubah secara cepat dari pola gerak yang satu ke pola gerak yang lain sehingga gerakannya menjadi efisien. Atlet yang koordinasinya tidak baik biasanya melakukan gerakan-gerakannya secara kaku, dengan ketegangan dan dengan energi yang berlebihan sehingga tidak efisien.

Dalam koordinasi gerak, keterampilan teknik dasar, kekuatan, daya tahan, kelentukan, kinesthetic sense, keseimbangan dan ritme kesemuanya memberikan sumbangan atau pengaruh yang tidak dapat diabaikan. Bila salah satu unsur tidak ada atau kurang berkembang, maka hal ini akan berpengaruh terhadap kesempumaan koordinasi.

Pusat pengatur koordinasi di otak kecil (cerebulum) dengan proses dari pusat syaraf ke syaraf tepi ke indera dan terus ke otot untuk melaksanakan gerak yang selaras dan utuh otot sinergis dan antagonis. Menurut Suharno (1993:62). Koordinasi mempunyai kegunaan sebagai:

1) Mengkoordinasikan beberapa gerakan agar menjadi satu gerakan yang

utuh dan serasi.

2) Efisiensi dan efektif dalam penggunaaan tenaga. 3) Untuk menghindari terjadinya cedera.

4) Mempercepat berlatih, menguasai teknik.


(57)

6) Kesiapan mental atlet lebih mantap untuk menghadapi pertandingan.

Seorang atlet dengan koordinasi yang baik bukan hanya mampu melakukan suatu keterampilan secara sempurna, akan tetapi juga mudah dan cepat dapat melakukan keterampilan yang baru baginya. Atlet juga dapat mengubah dan berpindah secara cepat dari pola gerak yang satu ke pola gerak yang lain sehingga gerakannya menjadi efisien.

Koordinasi gerakan itu sendiri dapat berbagai macam seperti koordinasi mata-kaki (foot-eye coordination) seperti misalnya dalam keterampilan menendang bola, atau koordinasi mata-tangan (eye-hand coordination) seperti misalnya keterampilan melempar suatu objek ke sasaran tertentu. Beberapa aktivitas membutuhkan koordinasi menyeluruh (over-all coordination) dari tubuh, misalnya keterampilan senam. Dan koordinasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah koordinasi mata-tangan. Jadi yang dimaksudkan dengan kordinasi mata-tangan dalam penelitian ini adalah kordinasi antara mata (penglihatan) dengan gerakan tangan dalam melakukan servis bolavoli.

a. Latihan Koordinasi

Latihan yang baik untuk memperbaiki koordinasi adalah dengan melakukan berbagai variasi gerak dan keterampilan. Atlet-atlet yang mempunyai spesialisasi suatu cabang olahraga tertentu, sebaiknya dilibatkan dalam keterampilan dalam berbagai cabang olahraganya atau cabang olahraga lain. Atlet harus banyak dilatih dengan keterampilan-keterampilan baru dari cabang olahraganya atau cabang olahraga lain. Kalau tidak, koordinasinya tidak akan berkembang dan kemampuan untuk


(1)

B. Implikasi

Berdasarkan kesimpulan dalam penelitian ini, memberikan implikasi bahwa dalam merancang program latihan, khususnya dalam menentukan metode latihan yang akan digunakan untuk meningkatkan keterampilan teknik dasar bolavoli, para pelatih perlu memperhatikan pilihan-pilihan metode, teknik dan strategi secara tepat. Metode atau bentuk latihan yang digunakan dalam proses latihan harus dipertimbangkan efektifitas dan efisiensi dari metode tersebut dalam mencapai hasil latihan yang maksimal. Hal tersebut juga harus disesuaikan dengan karakteristik atlet dan karakteristik latihan yang akan diajarkan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa latihan plaiometrik memperoleh hasil yang lebih baik dan optimal dari pada latihan berbeban dalam latihan. Kebaikan latihan plaiometrik ini dapat dipergunakan sebagai solusi bagi pengajar dan pelatih dalam upaya meningkatkan keterampilan teknik dasar bolavoli.

Dalam proses latihan keterampilan teknik dasar bolavoli, karakteristik pemain yang perlu diperhatikan dan menjadi dasar untuk menetukan metode latihan atau bentuk latihan yang akan digunakan adalah koordinasi mata-tangan. Pemain yang memiliki koordinasi mata-tangan tinggi akan lebih mudah menguasai gerakan keterampilan teknik dasar bolavoli, sehingga kualitas atlet yang memiliki koordinasi mata-tangan tinggi menjadi lebih baik dari pada atlet yang memiliki koordinasi mata tangan rendah.

Dalam penjelasan di atas maka perbedaan atlet dalam hal koordinasi mata-tangan akan membawa implikasi bagi pelatih dalam menentukan metode latihan yang tepat dalam proses latihan keterampilan teknik dasar bolavoli.


(2)

C. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini maka kepada pengajar dan pelatih diberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Para pelatih dalam melatih keterampilan teknik dasar bolavoli tanpa mengesampingkan efektifitas keberhasilan dalam pencapain tujuan latihan.

2. Penerapan penggunaan metode latihan untuk meningkatkan keterampilan teknik dasar bolavoli, perlu memperhatikan faktor koordinasi mata-tangan.

3. Para pelatih bolavoli dalam melatih keterampilan teknik dasar bolavoli dapat menggunakan latihan plaiometrik dan berbeban, yang disesuaikan dengan koordinasi tangan atlet, dimana atlet yang memilki koordinasi mata-tangan tinggi lebih efektif latihan dengan menggunakan latihan plaiometrik. Sedangkan pemain yang memilki koordinasi mata-tangan rendah lebih efektif latihan dengan menggunakan latihan berbeban.

4. Para peneliti lain yang akan mengadakan penelitian yang sejenis dengan penelitian ini dapat menggunakan penelitian ulang dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan jangka waktu yang lebih lama.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Baumgartner, T.A. & Jackson, A.S. 1991. Measurement for Evaluation in Physical Education and Exercise Science. USA: Wm.c. Brown Communication. Inc.

Beutelstahl, Dieter. 2003. Belajar Bermain Bolavoli. Bandung: CV. Pioner Jaya. Bompa, O. T. 1990. Theory And Methodology Of Training The Key To Athletic

Performance. Dubuque, Iowa: Kendall/Hunt.

___________. 1994. Power Training For Sport: Plyometrics For Maximum Power Development. Ontario: Mosaic Press.

Brooks, G.A. & Fahey, T.D. 1984. Exercise Physiology Human Bioenergetics and its Aplication. Canada: Jhon Wiley & Sons Inc.

Cholik Mutohir. 2002. Pendidikan dan Pengembangan, Pelaksanaan Pendidikan Jasmani dan Olahraga di Sekolah dan Perguruan Tinggi. IKIP Surabaya.

Chostill, D.L.; Coyle, EF.; Frink, W.F.; Lesnes, G.R & Witszman, F.A. 1979. Adaptations in Skeletal Muscle Following Strength Training. Journal Appl. Physiol: Respirat Environ Exercise Physiol 46 (1) : 96-99.

Chu, Donald A. 1992. Jumping Into Plyometrics. California: Leisure Press Champaign, Illionis.

Custou, Virginie. 2003. ATP Generation in The Trypanosoma Brucei Procyclic Form. Journal of Biological Chemistry. Vol 278 No. 49. December. p.373-387.

Durrwachter, G. 1990. Bola Volley, Belajar dan Berlatih Sambil Bermain. Alih Bahasa Oleh Tim Redaksi PT. Gramedia. Jakarta: PT. Gramedia.

Engkos Kosasih. 1993. Olahraga: Teknik & Program Latihan. Jakarta: Akapres. Fos, M.L. & Keteyian, S.J. 1998. Physiological Basic For Exercise and Sport.

Dubuque: McGraw-Hill Companis.

Fox, E.L, Bowers, RW., Foss, ML. 1984. Sports Physiology. Philadelphia: WB. Sounders Company.


(4)

_______, Bowers, RW. Foss, ML. 1988. The Psycological Basic of Physical Education and Athletics. Philadelphia: WB. Sounders Company.

Haree, Dietrich. 1982. Principles of Sport Training. Berlin: Sportverlag.

Harsono. 1988. Coaching Dan Aspek-Aspek Psikologis Dalam Coaching. Jakarta: Dikti P2LPTK.

Jonath. U, Haag E & Krempel, R. 1987. Atletik I. Alih Bahasa Suparmo, Jakarta: PT. Rosda Jaya Putra.

Junusul, Hairy. 1989. Fisiologi Olahraga. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjendikti

Kirkendall, D. R. Joseph, J. R. Robert, E. J. 1987. Measurement and Evaluation for Physical Educators. Illionis: Human Kinetics Publishers. Inc.

Lamb, David R. 1984. Physiology of Exercise Responses and Adaptations. Canada: Mac Milk Publising Company.

Mulyono, B.A. 1999. Tes dan Pengukuran Dalam Pendidikan Jasmani Olahraga. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.

Nossek, Josef. 1982. General Theory of Training. National Institute for Sports, Lagos: Pan African Press.

Pate, R. R., McClenaghan, B. & Rotella, R. 1984. Scientific Foundations of Coaching. Philadelphia: Saunders College Publiser.

Pyke, F. S. 1991. Toward Better Coaching The Art and Science of Coaching. Canbera, Australia: Government Publishing Service.

Radcliffe, J. C. & Farentinos, R. C. 1985. Plyometrics. Illionis: Human Kinetics Publiser. Inc.

Radioputro, R. 1987. Fisiologi Olahraga. Yogyakarta: Yayasan STO Yogyakarta. Rahimi, R. 2006. Perbedaan Pengaruh Metode Latihan dan Power Otot Tungkai

Terhadap Peningkatan Prestasi Lomba Sepeda Jarak Pendek. Surakarta: Program Studi Ilmu Keolahragaan, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

Riequier, Daniel. 2000. Mitochondrial Uncoupling Proteins: From Mitochondria to the Regulation of Energy Balance. Journal of Physiology. Vol 529 No. 1. p.3-10.


(5)

Robinson, B. 1997. Bolavoli Bimbingan, Petunjuk dan Teknik Bermain. Semarang: Dahara Prize.

Rushall, B.S & Pyke, R.S. 1990. Training for Sport and Fitness. Cambera: The Mac Millan Company of Australia. PIY. LTD.

Rusli Lutan. 1988. Belajar Keterampilan Motorik. Pengantar Teori dan Metode. Jakarta: Depdikbud.

Rusli Lutan dan Adang Suherman. 2000. Perencanaan Pembelajaran Penjaskes. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.

Sajoto, M. 1995. Pembinaan Kondisi Fisik Dalam Olahraga. Jakarta: Ditjendikti. Schmidt, Richard A. 1991. Motor Learning and Performance: from principles to

practice. England: Human Kinetics Publisher (UK). Ltd.

Sharkey, B. 2003. Kebugaran dan Kesehatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soekarman, R. 1987. Dasar Olahraga: Untuk Pembina, Pelatih dan Atlet. Jakarta:

PT. Indayu Press.

Sri Santoso Sabarini. 2008. Perbedaan Pengaruh Metode Latihan Dan Koordinasi Mata Tangan Terhadap Keterampilan Bermain Baseball (Studi Eksperimen Weight Training dan Plyometric pada Pemain Putra Pembinaan Baseball JPOK FKIP UNS Surakarta Tahun 2008). Surakarta : Program Studi Ilmu Keolahragaan, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

Strand, B.N & Wilson, R. 1993. Assesing Sport Skill. Champaign: Human Kinetics Publishers.

Sudjana, 2002. Desain dan Analisis Eksperimen. Bandung: Tarsito. _______, 2004. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Sudjarwo. 1995. Ilmu Kepelatihan Dasar. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.

Sugiyanto. 1997. Perkembangan Gerak. Surakarta: UNS Press.

Sugiyanto dan Soedjarwo. 1994. Kepelatihan Bolavoli. Surakarta: UNS Press. Suharno HP. 1982. Tes Kecekapan Bermain Bolavoli Untuk Pelajar Putra SMA.


(6)

__________. 1993. Ilmu Coaching Umum. Yogyakarta: Andi Offset.

Syarifuddin, Aip. 2003. Panduan Olahraga Bolavoli. Jakarta. PT. Grasindo. Thomas, J.P. & Nelson, J.K. 2001. Research Methods in Physical Aktivity. Second

Edition. Champaign Illionis. Human Kinetic Publiser.

Tirtawirya, D. 2003. Pengaruh Metode Latihan Pliometrik Terhadap Peningkatan Power Otot Tungkai (Studi Eksperimen Pada Atlet Taekwondo MAN Yogyakarta III). Surakarta : Program Studi Ilmu Keolahragaan, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

Viera, Barbara L. & Fergusson, Bonnie Jil, M.S. 1996. Bolavoli Tingkat Pemula. Alih Bahasa. Monti. Jakarta: Raja Grafindo.