atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab korporasi tidak punya kehendak bebas. Namun
meskipun diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
25
B. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Kemampuan bertanggung jawab
Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan
hukum; faktor akal
Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. faktor
perasaankehendak
2. Kesengajaan dolus Kealpaan culpa
a. Kesengajaan dolus
Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja”, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan. Menurut
teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-
25
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 33
unsur delik dalam rumusan undang-undang. Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat
menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah
“sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang
bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat.
Dalam ilmu hukum pidana dibedakan tiga macam sengaja, yaitu:
1 Sengaja sebagai maksud opzet als oogmerk, Dalam VOS,
definisi sengaja sebagai maksud adalah apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Dengan kata lain, jika pembuat
sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi maka sudah tentu ia tidak akan pernah mengetahui
perbuatannya;
2 Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa, agar tujuan
dapat tercapai , sebelumnya harus dilakukan suatu perbuatan lain
yang berupa pelanggaran juga;
3 Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa ada
kemungkinan besar dapat ditimbulkan suatu pelanggaran lain
disamping pelanggaran pertama.
b. Kealpaan culpa
Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi korporasi tidak
mengindahkan larangan itu. Alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. Dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan
larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.
Selanjutnya, dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan
penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran korporasi pembuat maka kealpaan tersebut dapat dibedakan atas dua yaitu :
1 Kealpaan yang disadari bewuste schuld Kealpaan yang disadari
terjadi apabila si pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang
menyertai perbuatannya. Meskipun korporasi telah berusaha untuk mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu.
2 Kealpaan yang tidak disadari onbewuste schuld Kealpaan yang
tidak disadari terjadi apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang
menyertai perbuatannya, tetapi seharusnya dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut.
Adapula bentuk-bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat ringannya, yang terdiri dari, kealpaan berat culpa lata Kealpaan berat
dalam bahasa Belanda disebut dengan merlijke schuld atau grove schuld, para ahli menyatakan bahwa kealpaan berta ini tersimpul
dalam ”kejahatan karena kealpaan”, seperti dalam Pasal : 188, 359, 360 KUHP. Kealpaan ringan dalam Bahasa Belanda disebut sebagai
lichte schuld, para ahli tidak menyatakan tidak dijumpai dalam jenis kejahatan oleh karena sifatnya yang ringan, melainkan dapat terlihat
didalam hal pelanggaran Buku III KUHP.
3. Alasan penghapus pidana
Terdapat 2 dua alasan : 1.
Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang tersebut, dan
2. Alasan tidak dapat diprtanggungjawabkannya seseorang
yang terletak di luar orang tersebut. Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan
lain terhadap alasan penghapus pidana sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat.
Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan 2dua jenis alasan penghapus pidana, yaitu :
1.
Alasan pembenar, Alasan pembenar menghapuskan sifat
melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak bersifat melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan.
2.
Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan, Alasan
pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang tidak dapat dicela atau korporasi tidak bersalah atau tidak dapat
dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Di sini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat,
sehingga tidak dipidana. Teori pertanggungjawaban pidana ini digunakan sebagai salah
satu pisau analisis dalam penelitian ini karena korporasi dinilai mampu bertanggungjawab atas tindakan pidana perpajakan yang dilakukan
oleh korporasi baik karena disengaja ataupun kelalaian yang dilakukan oleh korporasi tersebut. Dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana
perpajakan yang dilakukan oleh korporasi lebih besar pengaruhnya terhadap pendapatan Negara dari sektor pajak jika dibandingkan
dengan yang dilakukan oleh wajib pajak perorangan, sehingga dipandang perlu korporasi bertanggungjawab terhadap tindak pidana
yang dilakukan khususnya di bidang perpajakan. 5
Teori Keadilan Restoratif Restorative Justice
Restorative Justice merupakan reaksi terhadap teori retributive yang berorientasi pada pembalasan dan teori neo klasik yang
berorientasi pada kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan. Dalam teori retributive, sanksi pidana bersumber pada ide “mengapa diadakan
pemidanaan”. Dalam hal ini pemidanaan lebih menekankan pada unsur pembalasan pengimbalan yang sesungguhnya bersifat reaktif terhadap
sesuatu perbuatan. Sementara sanksi tindakan bersumber pada ide “untuk apa diadakan pemidanaan itu”. Jika dalam teori retributif sanksi
pidana tertuju pada perbuatan salah seseorang lewat pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera, maka sanksi
pemidanaan terarah pada upaya memberi pertolongan agar dia berubah. Sanksi tindakan bertujuan lebih bersifat mendidik dan berorientasi pada
perlindungan masyarakat.
26
Restorative Justice adalah peradilan yang menekankan pada perbaikan atas kerugian yang disebabkan atau dikaitkan dengan tindak
pidana. Restorative Justice dilakukan melalui proses kooperatif yang melibatkan semua pihak stake holder.
Berikut ini beberapa pengertian tentang Restorative Justice : 1.
Muladi menyatakan keadilan restoratif merupakan pendekatan terhadap keadilan atas dasar falsafah dan nilai-nilai tanggungjawab,
keterbukaan, kepercayaan, harapan dan penyembuhan dan berdampak terhadap pengambilan keputusan kebijakan sistem
peradilan pidana dan praktisi hukum diseluruh dunia dan menjanjikan hal positif kedepan berupa sistem keadilan untuk
mengatasi konflik akibat kejahatan dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan serta keadilan restorative dapat terlaksana
apabila fokus perhatian diarahkan pada kerugian akibat tindak pidana.
2. Tony Marshall menyatakan keadilan restorative adalah proses
dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu pelanggaran tertentu datang bersama-sama untuk menyelesaikan secara kolektif
bagaimana menghadapi akibat dari pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan.
26
Taufik Makarao dkk, 2013, Pengkajian Hukum tentang Penerapan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-
anak”, Badan pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, hal. xxvi
3. B.E Morisson menyatakan keadilan restorative merupakan bentuk
penyelesaian konflik dan berusaha menjelaskan kepada para pelaku bahwa perilaku tersebut tidak dapat dibenarkan, kemudian pada saat
yang sama juga sebagai langkah untuk mendukung dan menghormati individu.
27
Penggunaan teori keadilan restorative dalam penelitian ini adalah sebagai dasar bentuk penyelesaian konflik atau sengketa
perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak badan yang melakukan pelanggaran di bidang perpajakan. Seperti Kasus Tiara Dewata, yang
mana Tiara Dewata harus membayar denda yang sedemikian besar sehingga jika itu dilakukan dikhawatirkan akan berakibat terjadinya
PHK besar-besaran, maka dengan diterapkannya teori ini maka bisa dicarikan jalan penengah yang harus dilakukan oleh pihak Pihak Tiara
Dewata dengan tetap membayar sanksi denda sebagai akibat telah lalai melakukan kewjiban di bidang perpajakan tanpa harus melakukan PHK
kepada para karyawannya.
6 Doktrin Fiksi
Salah satu doktrin tentang badan hukum adalah Doktrin Fiksi yang dipelopori oleh seorang sarjana Jerman, Frederich Carl von
Savigny yang merupakan tokoh utama aliranmahzab sejarah pada permulaan abad ke 19. Aliran ini dianut oleh beberapa Negara, antara
lain di negeri Belanda dianut oleh Opzomer, Diephuis, Land dan Houwing serta Langemeyer.
27
Taufik Makarao dkk, Ibid, hal. xxix - xxx
Menurut von Savigny bahwa hanya manusia saja yang memiliki kehendak. Selanjutnya dikemukakan bahwa badan hukum adalah
suatu abstraksi, bukan merupakan suatu kongkrit, jadi karena hanya suatu abstraksi, maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari
suatu hubungan hukum, sebab hukum memberi hak-hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak
berkuasa wilsmacht. Badan hukum semata-mata hanyalah buatan pemerintah atau
Negara. Kecuali Negara, badan hukum itu suatu fiksi yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya
untuk menerangkan suatu hal. Dengan kata lain, sebenarnya menurut alam hanya manusia sebagai subyek hukum, tetapi orang menciptakan dalam
bayangannya, Badan Hukum selaku subyek hukum diperhitungkan sama dengan manusia. Jadi, orang bersikap seolah-olah ada subjek hukum yang
lain, tetapi dengan wujud yang tidak riil tidak dapat melakukan perbuatan- pebuatan, sehingga yang melakukan ialah manusia sebagai wakil-
wakilnya.
28
Secara etimologi, Badan Hukum merupakan terjemahan istilah hukum Belanda yaitu rechtpersoon, persona moralis Latin, legal persons
Inggris.
29
Hukum tidak hanya memikirkan manusia sebagai subjek dalam hukum, tetapi juga subjek bukan orang. Hukum lalu menciptakan badan
28
Chidir Ali, 1991, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 32
29
Ibid, hal. 14.
hukum korporasi yang memiliki hak dan kewajiban layaknya orang perseorangan.
Badan Hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, tetap ada, diteruskan sedangkan pengurusnya, yang menjadi wakil kontinuitas itu, dapat berganti-
ganti.
30
Menurut Subekti dalam Chidir Ali, menyatakan bahwa Badan Hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat
memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.
31
Korporasi sering pula disebut legal entites dengan maksud untuk menjelaskan bahwa badan tersebut memiliki identitas hukum yang memiliki
kekayaan serta hak dan kewajiban yang terpisah dari anggota-anggotanya. Secara umum terminologi korporasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1 Merupakan subyek hukum yang memiliki kedudukan hukum khusus;
2 Memiliki jangka waktu hidup yang tidak terbatas;
3 Memperoleh kekuasaan dari Negara untuk melakukan kegitan bisnis
tertentu; 4
Dimiliki oleh pemegang saham; 5
Tanggungjawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas saham yang dimilikinya.
KUHP selama ini tidak ada yang mengatur atau menentukan bahwa korporasi atau badan hukum merupakan subyek tindak pidana sehingga
dapat dituntut dan dijatuhi sanksi pidana. Perbedaan antara manusia dan
30
Chidir Ali, Ibid, hal. 19
31
Chidir Ali, Ibid
badan hukum adalah, bahwa manusia dapat melakukan apa saja yang tidak dilarang oleh hukum, sedangkan badan hukum hanya dapat melakukan apa
yang secara eksplisit atau implisit diizinkan oleh hukum atau anggaran dasarnya.
32
Badan hukum dapat menjadi subyek hukum dalam hal-hal yang menyangkut :
1 Sumber keuangan Negara perpajakan, bea impor, dan ekspor barang
dan lain sebagainya; 2
Pengaturan perekonomian pengendalian harga, penggunaan pengaturan perusahaan, dan sebagainya;
3 Pengaturan keamanan subversi, keadaan bahaya, dan lain sebagainya.
Perkembangan di bidang perpajakan, membawa dampak pada keterlibatan langsung korporasi baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam
perbuatan-perbuatan melanggar
hukum yang
mengakibatkan kerugian bagi kepentingan orang banyak ataupun Negara berupa kerugian Negara. Dengan besarnya dampak negatif yang terjadi
akibat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi, maka dalam hukum pidana mulai dikenal istilah korporasi sebagai subjek hukum yang
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
1.7.2 Kerangka Berfikir
Badan Hukum atau Korporasi merupakan subjek hukum, yang tentu saja bila melakukan pelanggaran pidana akan dikenakan sanksi selayaknya
32
M Hamdan, 2000, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan, Bandung Mandar Maju, hal.
62.
subjek hukum manusia atau perorangan. Pengenaan sanksi pidana terhadap Wajib Pajak Badan diatur dalam UU Perpajakan. Namun baik dalam KUHP
maupun UU Perpajakan belum ada sanksi yang secara tegas mengatur tentang sanksi apa yang akan dikenakan bila Wajib Pajak Badan melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan. Sehingga dalam ranah penelitian normative hal tersebut dikenal sebagai adanya kekaburan norma. Dengan
adanya kekaburan norma maka akan menjadi ketidakjelasan suatu aturan dalam peraturan perundang-undangan sehingga mengakibatkan kesulitan
dalam penerapan norma tersebut jika terjadi pelanggaran di masyarakat. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan Negara yang
digunakan untuk melakukan pembangunan, sehingga Negara diberikan kewenagan oleh undang-undang untuk memungut pajak yang tentunya di
gunakan untuk melakukan pembangunan sehingga apa yang dicita-citakan Negara untuk mewujudkan masyarakat yang makmur bisa terwujud.
Peraturan perundang-undangan perpajakan yang telah ada sekarang ini belum bisa memberi efek jera kepada wajib Pajak Badan yang melakukan
tindak pidana perpajakan. Rumusan dan sanksi yang harus dikenakan kepada Wajib Pajak Badan yang melakukan pelanggaran di bidang perpajakan agar
esensi hukum pajak untuk menambah pendapatan Negara tercapai dan efek jera tanpa pembalasan sebagai roh dari pemidanaan bisa tercapai, sehingga
bisa memperkecil jumlah wajib pajak badan yang melakukan pelanggaran di bidang perpajakan.
Gambar Kerangka Berfikir Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana
Perpajakan Permasalahan 1 :
Pengaturan Tindak Pidana Perpajakan yang dilakukan oleh
Korporasi sebagai Wajib Pajak Permasalahan 2 :
Bagaimanakan pengaturan pertanggungjawaban Wajib Pajak
Korporasi di masa mendatang ?
Metode penelitian Normatif : Terdapat kekaburan Norma
Psl. 38 dan 39 A UU Perpajakan
Konsep Kepastian Hukum Teori Pertanggungjawaban Pidana
Teori Keadilan restoratif Dokrin Fiksi
Stict Liability Konsep Pembenaran Pemungutan
Pajak
Kesimpulan 1 : Pengaturan
sanksi terhadap
Korporasi belumlah memberikan efek jera kepada korporasi yang
melakukan tindak
pidana perpajakan
sehingga sampai
sekarang masih banyak korporasi yang melakukan tindak pidana
perpajakan. Kesimpulan 2 :
Pembaruan pada UU Perpajakan, yang mana sanksi yang dikenakan
kepada korporasi lebih ditekankan kepada
pidana denda.
Pajak adalah merupakan salah satu
sumber pendapatan negara yang digunakan
untuk membangun
bangsa Indonesia.
Saran : Agar korporasi lebih taat dalam melaksanakan
kewajibannya untuk membayar pajak, serta
Pemerintah melakukan langkah persuasif, dengan memberikan insentif atau kemudahan bagi Wajib
Pajak Korporasi yang taat membayar pajak. Agar pihak legislatif menyempurnakan UU Perpajakan
dengan lebih mengedepankan upaya pengembalian pendapatan kerugian penerimaan Negara
1.8 Metode Penelitian
a Jenis Pendekatan
Metode penelitian hukum adalah sebagai cara kerja keilmuan yang salah satunya ditandai dengan menggunakan metode Inggris :
Method, Latin : Methodus, Yunani : Methodos, Meta berarti diatas, thodos berarti suatu jalan atau suatu cara. Van Peursen menterjemahkan
pengertian metode secara harfiah, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian
berlangsung menurut suatu rencana tertentu.
33
Sebelum menulis sebuah karya tulis ilmiah, hal pertama yang dapat dilaksanakan adalah memetakan dan memilih satu permasalah atau issu
hukum yang berkembang di masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sonja Larsen dan
John Bourdeau “….. classify your problems into a category….so read all the categories before choosing
one…
34
. Jenis penelitian dalam usulan penelitian tesis ini adalah penelitian
hukum normatif. Menurut Bambang Waluyo, penelitian normatif merupakan penelitian yang dilakukan atau hanya ditujukan pada peraturan-
peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.
35
Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad menyatakan penelitian hukum normatif adalah :
33
Jhony Ibrahim, 2006 , “Teori dan Methodologi Penelitian Hukum Normatif”, Bayu
Publishing, Malang, hal. 26.
34
Sonja Larsen, 1997,”Legal Research”, New York, page.25
35
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 13
” Penelitian yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap
orang. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis bentukan
lembaga perundang-undangan
Undang-Undang Dasar,
kodifikasi, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan seterusnya, serta norma hukum tertulis bentukan lembaga peradilan judge made law serta
norma hukum tertulis buatan pihak-pihak yang berkepentingan kontrak, dokumen hukum, laporan hukum, catatan hukum, dan rancangan undang-
undang.”
36
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan konsep dan pendekatan kasus.
b Sumber Bahan Hukum
Dalam menyusun penelitian ini, akan menggunakan bahan hukum yang diperoleh dari penelitian kepustakaan library
research, yaitu : 1. Bahan Hukum Primer
Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum yang bersumber dari KUH Pidana dan
juga berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang- Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 126 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3984 dan kasus Tiara Dewata.
36
Abdulkadir Muhammad, 2004,Hukum dan Penelitian Hukum,Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal.
52
.
2. Bahan Hukum Sekunder Sumber bahan hukum sekunder adalah sumber bahan hukum
yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti literatur, artikel, hasil-hasil penelitian, dan lain-lain yang
dapat mendukung bahan hukum primer.
c Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara pencatatan dan dokumentasi bahan-bahan hukum primer yakni peraturan perundang-
undangan, bahan hukum sekunder seperti buku-buku, artikel-artikel.
d Teknik Analisis
Analisis bahan hukum dengan menggunakan metode induktif inductive reasoning
yakni dari khusus ke umum ”…..involves making a number of observations and then proceeding to formulate a
principle which will be of general applic ation.”
37
Metode deskriptif
yaitu dengan
menguraikan atau
menjabarkan permasalahan, memberikan telaah, memberikan pandangan, serta pemecahan terhadap masalah yang dikaji, yang
kemudian ditarik suatu kesimpulan.
37
Thomas Ian McLeod, 1996 ,”Legal Method”, University of London, page 15.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KORPORASI
SEBAGAI WAJIB PAJAK
2.1 Pengertian Pajak, Wajib Pajak dan Korporasi
Dalam kehidupan manusia, manusia merupakan mahluk sosial yang saling membutuhkan dan selalu berhubungan. Manusia tidak dapat hidup
sendirian, selalu berkelompok, berkeluarga. Dalam keluarga, manusia selalu berusaha untuk senantiasa memenuhi segala kebutuhannya sendiri maupun
keluarganya. Dalam lingkup kehidupannya manusia hidup bersama-sama dalam masyarakat untuk tataran yang lebih besar akan terwujud ke dalam
suatu wadah yaitu Negara. Negara sebagai suatu organisasi membutuhkan sarana prasarana untuk mendukung kelangsungan hidup rakyat beserta
Negara itu sendiri, yang dapat diperoleh melalui peran serta masyarakat secara bersama-sama dalam berbagai bentuk. Salah satu diantaranya adalah
pajak. Pasal 23 ayat 2 UUD RI 1945 ditentukan bahwa : “ segala pajak
untuk kegunaan kas Negara berdasarkan undang- undang”. Berdasarkan
perintah Pasal 23 UUD RI 1945, PJA Adriani dalam Simon Nahak menulis bahwa
“Pajak adalah pungutan oleh pemerintah dengan paksaan yuridis, untuk mendapatkan alat penutup bagi pengeluaran-pengeluaran umum tanpa
adanya jasa timbal khusus terhadapnya.”
1
1
Simon Nahak, 2014, Op-Cit, hal.6.