Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, dalam perkembangannya telah menghasilkan pembangunan yang pesat dalam kehidupan nasional, yang perlu dilanjutkan dengan dukungan pemerintah dan seluruh potensi masyarakat. Keberhasilan pembangunan yang dilakukan oleh segenap bangsa Indonesia tidak terlepas dari partisipasi semua pihak. Pelaksanaan pembangunan nasional sebagai proyek besar tentu memerlukan bukan saja partisipasi aktif seluruh bangsa, tetapi memerlukan biaya yang tidak sedikit. Beban biaya yang ditimbulkan untuk melaksanakan pembangunan tidak hanya dibebankan kepada negara. Sumber-sumber pendapatan Negara dari sumber migas tentu semakin lama akan semakin habis. Mengandalkan bantuan atau hibah dari luar negeri akan menyebabkan beban ketergantungan perekonomian yang berdampak Negara luar dengan kekuatan ekonomi yang lebih kuat akan mendikte kehidupan kenegaraan bangsa Indonesia. Menyadari hal demikian salah satu sektor yang dominan sebagai sumber pendapatan Negara adalah sektor pajak. Dalam melaksanakan pemungutan pajak yang menjadi dasar Negara adalah ketentuan Pasal 23A Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republ ik Indonesia, yang berbunyi : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang- Undang”. Pengaturan di bidang perpajakan merupakan salah satu peraturan pelaksanaan dari norma yang ada dalam Pasal 23A UUD 1945 Negara Republik Indonesia. Tujuannya sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang selanjutnya disebut UU Perpajakan bertujuan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, sera mengantisipasi kemajuan di bidang teknologi informasi dan perubahan ketentuan material di bidang perpajakan. Selain itu, perubahan tersebut juga dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Pajak sebagai sumber penerimaan Negara telah dipungut di Indonesia sejak awal kemerdekaan. Pemungutan terhadap pajak bersifat memaksa dan terutang oleh wajib pajak dengan tidak mendapat prestasi secara langsung. Hasil dari pungutan pajak dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. 1 Penghasilan Negara salah satunya berasal dari pungutan pajak danatau dari hasil kekayaan alam yang ada dalam Negara natural resouces. Pungutan pajak mengurangi penghasilankekayaan individu tetapi sebaliknya merupakan penghasilan dikembalikan kepada masyarakat, melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pengeluaran-pengeluaran pembangunan yang akhirnya kembali kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355 bahwa pendapatan negara adalah semua penerimaan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri. Penerimaan negara yang paling potensial adalah dari penerimaan pajak. Pada umumnya negara mempunyai sumber-sumber penghasilan yang terdiri dari : 1 Bumi, air dan kekayaan alam; 2 Pajak, bea dan cukai; 3 Penerimaan negara bukan pajak; 4 Hasil perusahaan negara; 5 Sumber lain seperti pencetakan uang dan pinjaman. 1 Marihot P Siahaan P Siahaan, 2005, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hal. 7. Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak WP untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan Negara dan pembangun nasional. Wajib Pajak menurut Pasal 1 huruf a UU Perpajakan adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan Undang-Undang Perpajakan yang bersangkutan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Wajib Pajak dapat dibedakan menjadi 2 dua, yaitu : a. Wajib Pajak Orang Pribadi Adalah mereka yang telah mempunyai penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak PTKP dimana batasan PTKP telah ditentukan oleh undang-undang pajak penghasilan. b. Wajib Pajak Badan Adalah sekumpulan orang danatau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Setiap Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan, wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Wajib pajak yang telah menyampaikan Surat pemberitahuan SPT, maka Direktur Jenderal Pajak tidak akan menerbitkan ketetapan pajak, artinya semua surat pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak pada awalnya dianggap benar, sesuai dengan fungsi surat pemberitahuan sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak mengisi surat pemberitahuan dengan tidak benar, maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi sesuai dengan undang-undang perpajakan atas pajak yang kurang dibayarnya. Undang-undang perpajakan memberikan kepercayaan kepada setiap Wajib Pajak untuk melakukan kegiatan perpajakannya sendiri mulai dari menghitung, membayar dan melaporkan ke kantor pelayanan pajak. Kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan sistem perpajakan yang dianut oleh Pemerintah Indonesia yakni sistem self assessment yang berarti sistem pemungutan yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Sistem perpajakan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya, karena dalam sistem ini Negara memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajaknya. 2 Dengan adanya sistem self assessment tersebut, pemerintah mengharapkan kejujuran dan kesadaran dari setiap Wajib Pajak untuk melakukan kewajiban perpajakannya sesuai dengan Undang-Undang perpajakan yang berlaku. Dengan adanya pemberian kepercayaan yang tinggi kepada Wajib Pajak, maka ada penegakan hukum yang berfungsi sebagai pengawasan terhadap Wajib Pajak yang membayar pajak yang terutang. Jika dalam pelaporan dan pembayaran pajak, Wajib Pajak baik perorangan maupun korporasi tidak jujur, maka tentu saja hal ini akan mengakibatkan kerugian bagi keuangan negara, hal ini dikarenakan pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Kerugian Negara adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan h ukum baik sengaja maupun lalai”. Kerugian Negara dapat dihitung akibat perbutan melawan hukum baik karena kelalaian maupun kesengajaan, yang berasal dari pungutan Negara yang tidak dibayar atau tidak disetor kepada kas Negara oleh pelaku tindak pidana di bidang perpajakan. Permasalahan badan hukum sebagai subjek hukum pidana tidak lepas dari aspek hukum perdata. Dalam hukum perdata, orang 2 Abdul Rahman, 2010, Panduan Pelaksanaan Administrasi Perpajakan, Untuk Karyawan, Pelaku Bisnis dan Perusahaan, Cetakan I, Nuansa, Bandung, hal. 11. perseorangan bukanlah satu-satunya subjek hukum. Hal ini disebabkan masih ada subjek hukum lain yang memiliki hak dan dapat melakukan perbuatan hukum sama seperti orang perseorangan. Pandangan seperti ini berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang hanya mengenal orang perseorangan sebagai subjek hukum. KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan produk hukum Belanda yang diberlakukan berdasarkan asas konkordansi di wilayah Hindia Belanda. Subjek tindak pidana yang dikenal dalam KUHP adalah orang perseorangan. Dengan kata lain hanya manusia yang dapat melakukan tindak pidana dan hanya manusia yang dapat dituntut serta dibebani pertanggungjawaban pidana. KUHP tidak mengenal badan hukum sebagai subjek hukum pidana. Hal ini didasarkan pada Pasal 59 KUHP, dimana apabila badan hukum yang melakukan tindak pidana, maka pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pengurus badan hukum dalam hal pengurus badan hukum melakukan tindak pidana dalam rangka mewakili atau dilakukan atas nama badan hukum tersebut. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum dalam hal ini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum tersebut. 3 Dengan demikian, apabila kita membicarakan mengenai penegakan hukum, maka pada hakekatnya 3 Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, hal. 24. membicarakan mengenai penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan. Proses mewujudkan ide-ide inilah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum. Apabila sudah berbicara mengenai perwujudan ide-ide yang abstrak menjadi kenyataan, maka sebetulnya sudah memasuki bidang manajemen. 4 Penegakan hukum pajak merupakan suatu hal yang mutlak harus dilakukan karena penegakan hukum pajak dapat diwujudkan tujuan hukum, berupa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Tanpa penegakan hukum pajak, hukum pajak hanya sekedar tulisan dalam bentuk norma hukum pajak yang tidak memiliki arti dan makna di kalangan Wajib Pajak, pejabat pajak, dan hakim pengadilan pajak. Sebagaimana dinyatakan oleh Mertokusumo, dalam penegakan hukum ada 3 tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu : 1. Unsur keadilan; 2. Unsur kemanfaatan; 3. Unsur kepastian hukum. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 4 Ibid, hal. 15 Penegakan hukum dalam pemungutan pajak meliputi : 1. Pemeriksaan ; Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, danatau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan danatau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. 5 2. Penyidikan; Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana dibidang perpajakan yang terjadi, serta menemukan tersangkanya. Penyidikan pajak dilakukan oleh pejabat pegawai negeri di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. 6 Penyidikan pajak dilakukan sebagai akibat tindak lanjut dari pemeriksaan bukti permulaan. Penyidikan merupakan proses kelanjutan dari hasil pemeriksaan yang mengindikasikan adanya bukti permulaan tindak pidana perpajakan. Tindak pidana di bidang perpajakan meliputi perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17PMK.032013 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak. 6 Thomas Sumarsan, 2009, Perpajakan Indonesia: Konsep, Aplikasi, dan Kasus Pembahasan Berdasarkan Undang-Undang Terbaru, Esiamedia, Bogor, hal. 119. bahan hukum yang diwakili oleh orang tertentu pengurus, memenuhi rumusan undang-undang, diancam dengan sanksi pidana, melawan hukum, dilakukan di bidang perpajakan, dan dapat menimbulkan kerugian bagi pendapatan negara. Pasal 44 UU Perpajakan 3. Penagihan. Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Tujuan penagihan pajak adalah agar Wajib Pajak atau penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Agar tujuan penagihan pajak tersebut tercapai, maka diperlukan serangkaian tindakan yang dapat diambil oleh Jurusita Pajak mulai dari tindakan penerbitan Surat Teguran atau sejenisnya, kemudian menyampaikan surat paksa, penyampaian surat perintah melakukan penyitaan dan pelaksanaan penyitaan, penjualan barang hasil penyitaan, sampai dengan tindakan pencegahan bepergian ke luar negeri dan penyanderaan. KUHP sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia hanya menentukan bahwa subyek hukum pidana adalah hanya orang pribadi alami. Hal tersebut disebabkan bukan saja karena rumusan tindak pidana dalam KUHP dimulai dengan perkataan “barangsiapa....” melainkan juga karena bunyi Pasal 59 KUHP yang membatasi diri kepada pengurus atau komisaris-komisaris secara pribadi. 7 Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan KUHP pada saat itu banyak di pengaruhi oleh pandangan bahwa : 1. Korporasi tidak mempunyai mens rea keinginan untuk berbuat jahat; 2. Korporasi bukan seorang pribadi meskipun korporasi dapat melakukan berbagai perbuatan hukum yang biasanya dilakukan oleh orang pribadi; 3. Korporasi tidak memiliki kesadaran dan tidak punya badan aktual no soul to be damned and no body to be kicked; 4. Korporasi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban karena jika ada kejahatan yang dilakukan oleh direksi suatu korporasi, hal tersebut sudah pasti merupakan perbuatan diluar anggaran dasar dari korporasi yang bersangkutan, sehingga dalam hal seperti itu maka yang bertanggung jawab adalah direksinya secara pribadi atau secara bersama-sama dengan direksi lain, tetapi bukan korporasi yang harus bertanggung jawab dokrin ultra vires. 8 Munir Fuady dalam Widyo Pramono menyatakan, mengenai jenis pidana yang dapat dikenakan terhadap korporasi yang sering dipertanyakan jika suatu korporasi yang disangka melakukan tindak pidana adalah apakah sanksinya terhadap tindakan tersangka yang notabene merupakan badan hukum tersebut. Sebuah korporasi tidak mungkin dijebloskan kedalam rumah penjara. Hukum konvensional yang dapat 7 Rofinus Hotmalana Hutauruk, 2013, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 21 8 Ibid, hal. 21-22 diterapkan hanya hukuman denda. Umumnya hukuman denda ini tidak efektif karena : 1 Korporasi akan menjadikan pengeluaran dan untuk denda ini sebagai pos pengeluaran biasa yang merupakan cost of business dari korporasi tersebut. 2 Jika denda sudah terlalu dianggap terlalu membebankan, korporasi dapat mengajukan dirinya untuk dipailitkan. 9 Kejahatan badan hukum korporasi, umumnya dilakukan oleh suatu perusahaan atau bahan hukum yang bergerak dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku. Korporasi adalah salah satu bentuk organisasi yang kegiatan utamanya adalah melakukan kegiatan binis. Korporasi pada awal perkembangannya, adalah organisasi atau badan usaha yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan bagi pemiliknya, dengan resiko keuangan yang terjadi juga ditanggung oleh pemilik korporasi tersebut. Korporasi yang bertujuan untuk mencari keuntungan haruslah berbentuk badan hukum, yaitu suatu organisasi usaha yang secara resmi didirikan untuk kepentingan bisnis dengan modal dan pengurus yang dapat dikonfirmasi kebenarannya. Kedudukan korporasi sebagai kekuatan ekonomi diluar negara membuat korporasi cenderung melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan kepentingan publik. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara maju dapat dikemukakan bahwa identifikasi kejahatan korporasi dapat mencakup 9 Widyo Pramono, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Hak Cipta, Bandung, Alumni, hal. 182-183. tindak pidana pelanggaran undang-undang monopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran pajak dan cukai, pelanggaran ketentuan harga, produksi barang yang membahayakan kesehatan, korupsi, penyuapan, pelanggaran administrasi, perburuhan, dan pencemaran lingkungan hidup. Fakta dilapangan sering terlihat banyak wajib pajak badan yang kekayaannya yang kena pajak, kongkalikong antara manajemen badan dengan petugas pajak dalam pembayaran pajak, yang tentu saja hal ini akan merugikan keuangan negara. Seperti misalnya di Bali yang cukup fenomenal adalah kasus Tiara Dewata yang “mengemplang” pajak. Dengan terdakwa Iskak Soegiarto Tegoeh alias Iskak Wakil Komisaris Back Office dalam Putusan PN Denpasar No. 1144Pid.B2008PN.DPS, dan dijatuhi pidana hukuman penjara selama 2 dua tahun dan pidana denda sebagai wakil komisaris perusahaan Tiara Dewata Group sebesar Rp. 18.112.731.344,- delapan belas milyar seratus dua belas juta tujuh ratus tiga puluh satu ribu tiga ratus empat puluh empat rupiah. Pada kasus pajak Tiara Dewata ini, menurut hukum positif terbukti melanggar Pasal 39 ayat 1 huruf g dan Pasal 43 ayat 1 UU Perpajakan . Pasal 39 ayat 1 huruf g UU Perpajakan berbunyi : “Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, di pidana dengan pidana penjara paling lama 6 enam tahun dan denda paling tinggi 4 empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang di ba yar”. Pasal 43 ayat 1 UU Perpajakan menentukan : “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39, berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang melakukan Tindak Pidana di bidang Perpajakan”. Ketentuan sanksi pidana korporasi diatur dalam Pasal 38, 39, dan 39 A UU Perpajakan. Pasal 38 UU Perpajakan terkait dengan kelalaian atau kealpaan yang terkait dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan SPT, Pasal 39 UU Perpajakan fokus pada kesengajaan sebagai alasan pemidanaan yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban perpajakan, dan Pasal 39 A UU Perpajakan merupakan pengaturan delik pidana dibidang perpajakan terkait dengan penerbitan atau penggunaan faktur pajak, yang khusus untuk pajak PPn. Jika di bandingkan dengan kasus pajak yang terjadi di negara Singapura berdasarkan Putusan Pengadilan Pajak Negara Singapura dengan number Putusan: PUT.51800PPM.IIIA132014. Terdapat selisih pajak perusahaan Detpak Holding, PTE Limited sebagai pajak pemotong terhadap transfer dana yang dilakukan terhadap anak perusahaan di setiap sub unit perusahaan yang berdiri di wilayah Singapura terdapat selisih 10 yang dapat digolongkan sebagai deviden terselubung yang mengakibatkan pemasukan pajak kepada negara berkurang sebesar Rp. 1.222.629.129 satu milyar dua ratus dua puluh dua juta enam ratus duapuluh sembilan ribu seratus duapuluh sembilan rupiah. Sesuai dengan perundang-undangan Perpajakan di Negara Singapura maka kejadian ini telah terbukti melanggar PPh Pasal 26 ketentuan Pajak di Negara Singapura. Dengan pertimbangan hakim mengacu kepada beban pembuktian yang diajukan ke Pengadilan Pajak Singapura maka diputuskan oleh pengadilan pajak Singapura. Dengan menetapkan pajak kurang bayar penghasilan Pasal 26 Ketentuan Perpajakan Negara Singapura masa pajak Januari sampai dengan Juni 2007 nomor: 000012040705208 tanggal 5 September 2008, jumlah pajak penghasilan Pasal 26 masa pajak Januari sampai dengan Juni 2006 terutang menjadi sebagai berikut: DPP PPh Pasal 26 : Rp. 341.186.693 PPh Pasal 26 Terhutang : Rp. 54.467.464 Kredit Pajak : Rp. 40.697.549 PPh Pasal 26 Kurang Bayar : Rp. 13.769.915 Saksi Administrasi: Bunga Pasal 13 2 UU Perpajakan : Rp. 2.478.585 PPh Pasal 26 yang harus dibayar : Rp. 16.248.500 Dari kasus tersebut terlihat bahwa penekanan sanksi bagi korporasi adalah pengenaan denda, karena pada intinya pajak ditarik adalah untuk meningkatkan pendapatan negara. Sehingga jika ada wajib pajak yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi denda dan administrasi bukan penekanan pada pidana badan. Berdasarkan penelitian ini penulis melihat adanya kekaburan norma. Dalam hal terjadinya kekaburan norma maka yang menjadi fokus permasalahan adalah terkait ketidakjelasan suatu norma dalam suatu peraturan perundang-undangan, sehingga mengakibatkan kesulitan dalam mengimplementasikan ketentuan tersebut dalam masyarakat, dan diperlukan berbagai penafsiran hukum rechtinterpretatie untuk menjawab permasalahan yang ada. Penafsiran hukum dalam hal ini bertujuan agar terpenuhinya kepastian hukum sebagai syarat penegakan hukum di masyarakat. Dalam contoh kasus Tiara Dewata tersebut, tetap dikenakan pidana badan terhadap terdakwa, padahal terdakwa hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh atasan Tiara Dewata dan tidak dinikmati untuk kepentingan dirinya sendiri. Pidana denda yang seharusnya dikenakan untuk korporasi dalam kasus Tiara Dewata malah tidak dikenakan karena dianggap bisa merugikan dan menyebabkan terjadi kebangkrutan yang mengakibatkan adanya PHK secara besar-besaran. Dalam kasus Tiara Dewata ini sanksi seolah-olah hanya untuk terdakwa tetapi sanksi kepada korporasi tidak terlihat secara tegas. Kekaburan norma terkait adanya ketidak jelasan dalam suatu peraturan perundang-undangan, pada UU Perpajakan, khususnya mengenai pengaturan sanksi yang tegas terhadap korporasi sebagai wajib pajak, apabila korporasi melakukan suatu tindak pidana di bidang perpajakan. Studi tentang hukum pidana tidak semata-mata bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum pidana yang sekarang sedang berlaku sebagai hukum positif, apa yang sedang terjadi di masyarakat dengan berbagai aktifitasnya yang begitu kompleks, juga menjadi perhatian bidang hukum pidana termasuk fenomena atau perkembangan kejahatan korporasi. Korporasi yang merupakan suatu badan dapat dituntut dan dipidana, ini berarti bahwa penuntutan dan pemidanaan tidak hanya dapat dijatuhkan kepada pengurus tetapi juga bisa kepada korporasinya. Namun demikian, fenomena yang ada di Indonesia, tidak pernah ada pemidanaan bagi pelaku korporasi langsung sebagai badan. Padahal untuk korporasi yang melakukan pelanggaran perpajakan sudah diatur dalam UU Perpajakan. Praktik yang selalu muncul adalah pemidanaan atau penuntutan bagi pengurus korporasi. Kurang tegasnya aturan hukum terutama mengenai sanksi pidana yang harus dikenakan kepada korporasi, sehingga hal ini menyebabkan tidak adanya efek jera terhadap korporasi, yang menyebabkan maraknya korporasi yang melakukan tindak pidana, salah satunya tindak pidana di bidang perpajakan. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Perpajakan ”.

1.2 Rumusan Masalah