Kajian Teoretis KAJIAN PUSTAKA

Oktober dan November 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat nilai rasa bahasa pada Acara Mata Najwa, Metro TV. Ada 18 jenis nilai rasa yang ditemukan dalam dialog interaktif tersebut, yaitu nilai rasa halus, nilai rasa kasar, nilai rasa sehat, nilai rasa takut, nilai rasa yakin, nilai rasa heran, nilai rasa merasa bersalah, nilai rasa sedih, nilai rasa bahagia, nilai rasa marah, nilai rasa menerima, nilai rasa cinta, nilai rasa benci, nilai rasa tertekan, nilai rasa pesimis, nilai rasa bebas, nilai rasa malu, dan nilai rasa bosan Suryani, 2013:100. Selain jenis nilai rasa bahasa, peneliti juga menemukan ciri-ciri diksi yang menandai berbagai jenis nilai rasa bahasa yang ditemukan. Peneliti juga mengambil kesimpulan bahwa bahasa yang digunakan dalam dialog interaktif di televisi banyak menggunakan tuturan yang mengandung nilai rasa dan jenis nilai rasa yang paling banyak adalah nilai rasa halus. Perbedaan kedua penelitian di atas dengan penelitian ini terletak pada bidang kajian dan objek yang akan dikaji. Penelitian ini akan mengkaji tentang unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang ada dalam tuturan-tuturan presenter dan bintang tamu sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Objek yang digunakan dalam penelitian ini juga berbeda, yaitu acara Sentilan Sentilun periode Agustus sampai September 2014. Penelitian yang membahas mengenai kajian dan objek tersebut secara spesifik belum pernah dilakukan sebelumnya.

2.2 Kajian Teoretis

Penelitian unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV merupakan penelitian bidang linguistik dengan kajian bahasa dari sudut pandang semantik dan pragmatik. Kedua teori tersebut dipakai untuk memecahkan masalah yang bekaitan dengan unsur intralingual dan ekstralingual. Teori semantik digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat intralingual, sedangkan teori pragmatik digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat ekstralingual. Kedua teori tersebut dipakai sebagai ancangan untuk mengidentifikasi serta mendeskripsikan unsur intralingual dan ekstralingual daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Setelah unsur intralingual dan ekstralingual tersebut ditemukan, kemudian dianalisis menggunakan teori kesantunan untuk menentukan santun tidaknya tuturan tersebut dalam suatu tindak komunikasi. Kajian teoritis yang digunakan adalah sebagai berikut. 2.2.1 Kajian Bahasa secara Semantik Semantik merupakan ilmu dalam bidang linguistik yang mempelajari makna suatu tanda-tanda linguistik Chaer,2013:2. Pendapat tersebut didukung oleh I Dewa Putu dan Rohmadi 2011:2 yang mengungkapkan bahwa semantik merupakan ilmu yang mempelajari makna unsur kebahasaan meliputi bunyi, suku kata, morfem pada umunya, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Suatu tuturan baik lisan maupun tulisan mengandung makna tertentu yang dapat berdiri sendiri. Kajian bahasa secara semantik menempatkan bahasa dalam pemakaian yang terbebas dari konteks. Makna dan maksud bahasa diinterpretasi dari unsur- unsur lingual yang membentuk wacana. Makna dan maksud dapat dipahami dari unsur-unsur bahasa yang digunakan untuk menyusun satuan makna. Makna yang terdapat dalam suatu tuturan dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Perlu diingat bahwa makna merupakan substansi paling penting dalam kajian intralingual. Suatu bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat tanpa dimaknai, maka tidak akan menjadi unsur intralingual yang mampu memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Misalnya pada tuturan berikut: “Saya sudah hidup sebatangkara sejak kecil”. Tuturan tersebut memiliki makna bahwa penutur sudah terbiasa hidup sendiri karena sudah tidak mempunyai orang tua dan sanak saudara. Tuturan tersebut menimbulkan rasa kasihan dan iba yang dirasakan oleh mitra tutur. 2.2.2 Kajian Bahasa secara Pragmatik Pragmatik merupakan ilmu tentang bahasa yang membahas tentang maksud yang ingin disampaikan penutur kepada mitra tutur. Menurut Yule 2006:5, pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Pragmatik banyak kita temukan dalam setiap percakapan. Pendapat Yule tersebut didukung oleh Nadar 2009:2 yang mengungkapkan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang mempelajari bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu. Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan pragmatik merupakan kajian ilmu linguistik yang membahas hubungan antara bentuk-bentuk lingusitik dan pemakainya dalam percakapan dengan tujuan menyampaikan maksud tertentu dan melibatkan situasi konteks tertentu. Konteks merupakan kajian yang paling penting dalam pragmatik. Nadar 2009:4 berpendapat bahwa konteks merupakan situasi lingkungan yang memungkinkan penutur dan mitra tutur untuk dapat berinteraksi, dan membuat ujaran mereka dapat dipahami. Pendapat ini didukung oleh Halliday dan Hassan dalam Rani, 2006:188 yang menyebutkan bahwa yang dimaksud konteks adalah teks yang menyertai teks lain. Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut, dapat disimpulkan konteks adalah suatu hal yang menyertai sebuah tuturan agar dapat diketahui maksudnya oleh penutur maupun mitra tutur. Hal tersebut tidak hanya yang dilisankan dan dituliskan, tetapi termasuk pula kejadian-kejadian yang bukan kata-kata lainnya dalam keseluruhan lingkungan teks maupun tuturan tersebut. Tanpa konteks yang menyertai tuturan tersebut, kita tidak dapat mengetahui maksud penutur. Letak konteks disini sangat penting untuk mengetahui maksud dibalik suatu tuturan. Apabila maksud suatu tuturan ini dapat tersampaikan dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa efek komunikatif yang dihasilkan oleh tuturan tersebut berhasil. Yule 2006:13-81 serta Brown dan Yule 1996:38, mengungkapkan bahwa konteks dapat diketahui melalui berbagai aspek pragmatik yang meliputi 1 praanggapan, 2 tindak tutur, 3 implikatur, 4 deiksis, 5 referensi, 6 inferensi dan 7 latar belakang penutur. Secara terperinci, ketujuh aspek pragmatik yang digunakan untuk memunculkan konteks akan diuraikan sebagai berikut. 1 Praanggapan Saat berkomunikasi, untuk dapat menangkap maksud tuturan yang diungkapkan oleh mitra tutur terlebih dahulu kita harus memiliki pengetahuan awal tentang hal yang dibicarakan. Menurut Yule 2006: 43, praanggapan adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Bila penutur memiliki pranggapan yang sama dengan mitra tutur, maka tidak mungkin terjadi miskomunikasi. Misalnya saat penutur mengatakan: “SBY mengunjungi korban jatuhnya pesawat Hercules”. Praanggapan yang terkandung dalam tuturan diatas adalah presiden ikut bersimpati pada korban jatuhnya pesawat Hercules. Untuk memahami tuturan diatas, mitra tutur harus memiliki pengetahuan yang sama bahwa SBY adalah nama presiden yang merupakan akronim Susilo Bambang Yudhoyono. Pengetahuan yang sama antara penutur dan mitra tutur ini diperlukan agar maksud dari tuturan diatas tepat penginterpretasiannya. 2 Tindak Tutur Suatu tuturan yang dihasilkan oleh seseorang selalu mengandung 3 tindak yang saling berhubungan, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi Yule, 2006:83. Hal tersebut senada dengan pendapat Searle dalam Nadar 2009:14 yang membagi tindak tutur kedalam tiga macam tindakan, yaitu tindak lokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak perlokusioner. Tindak lokusioner adalah tindak tutur yang semata-mata menyatakan sesuatu, biasanya dipandang kurang penting dalam kajian tindak tutur. Berbeda dengan tindak lokusi, tindak ilokusi adalah apa yang ingin dicapai oleh penuturnya pada waktu menuturkan sesuatu dan dapat merupakan tindakan menyatakan, berjanji, minta maaf, mengancam, meramalkan, memerintah, meminta, dan lain sebagainya. Tindak ilokusioner dapat dikatakan sebagai tindak terpenting dalam kajian dan pemahaman tindak tutur. Jenis tindak tutur yang lain adalah tindak perlokusioner, yaitu tidakan untuk memengaruhi lawan tutur seperti memalukan, mengintimidasi, membujuk, dan lain-lain Nadar, 2009:14. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa tindak tutur mengandung tiga hal penting, yaitu apa yang kita tuturkan lokusi, makna yang ada di dalam tuturan tersebut ilokusi, dan efek yang muncul dari tuturan tersebut perlokusi. Misalnya saat udara panas, dosen mengatakan: “Panas sekali ya siang ini?”. Tuturan tersebut merupakan tindak tutur tidak langsung yang dinyatakan dengan bentuk interogatif. Tuturan ini dikeluarkan dosen ketika konteksnya udara siang itu sangat panas dan menyebabkan tubuh menjadi gerah. Dibalik tuturan interogatif tersebut mengandung maksud lain, yaitu mahasiswa diminta untuk membuka jendela yang ada di ruangan tersebut agar angin bisa masuk ke dalam ruangan. 3 Implikatur Implikatur berarti sesuatu yang diimplikasikan dalam suatu percakapan antara penutur dan mitra tutur. Di dalam tuturan yang sesungguhnya, penutur dan mitra tutur dapat secara lancar berkomunikasi karena mereka berdua memiliki kesamaan latar belakang pengetahuan tentang sesuatu yang dipertuturkan Rahardi, 2006:43. Pendapat tersebut senada dengan Yule 2008:61 yang mengungkapkan bahwa implikatur merupakan makna tambahan yang tersirat dalam suatu tuturan diluar makna yang sebenarnya. Penutur berharap pendengar akan mampu menentukan implikatur yang dimaksud dalam konteks berdasarkan apa yang sudah diketahui. Levinson 1983 dalam Nababan 1987:28-30 melihat kegunaan konsep implikatur terdiri dari empat hal, yaitu i konsep implikatur memungkinkan penjelasan fungsional yang bermakna atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori linguistik, ii konsep implikatur memberikan suatu penjelasan yang tegas atau eksplisit tentang bagaimana mungkinnya bahwa apa yang diucapkannya secara lahiriah berbeda dari apa yang dimaksud dan bahwa pemakai bahasa itu mengerti pesan yang dimaksud, iii konsep implikatur ini kelihatannya dapat meneyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan antar klausa, iv hanya beberapa butir saja dasar-dasar implikatur dapat menerangkan berbagai macam fakta atau gejala yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan dan berlawanan. Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa implikatur merupakan maksud yang ingin disampaikan melalui suatu tuturan. Implikatur ini hanya dapat berjalan karena adanya kesepahaman antara penutur dan mitra turur. Misalnya pada tuturan yang berikut: “Segera bersihkan kamarmu, Ibu sudah pulang”. Tuturan tersebut tidak semata-mata memberitahukan bahwa ibu sudah datang. Si penutur berusaha memperingatkan mitra tutur untuk segera membersihkan kamarnya, bila tidak maka ibunya tersebut akan marah-marah. Tuturan tersebut mengimplikasikan bahwa ibu mempunyai karakter yang cerewet dan tidak suka melihat kamar yang berantakan. Jadi, dengan adanya implikatur yang membentuk konteks tuturan antara penutur dan mitra tutur akan mempunyai kesepahaman dalam menginterpretasikan maksud tuturan tertentu. 4 Deiksis Menurut Suryani 2013:29 deiksis adalah kata, frasa, atau ungkapan yang referensinya dapat berubah atau berganti-ganti. pendapat tersebut dilengkapi oleh Yule 2006: 13 mengungkapkan bahwa deiksis adalah istilah teknis dari bahasa Yunani untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti “penunjukkan” melalui bahasa. Jenis deiksis ada empat, yaitu deiksis persona dan deiksis sosial, deiksis tempat, deiksis sosial, dan deiksis wacana Cummings, 2007:32-42. Jenis deiksis tersebut akan dipaparkan sebagai berikut. a. Deiksis persona dan deiksis sosial Deiksis persona dan deiksis sosial sangat erat hubungannya. Deiksis persona merupakan kata ganti orang seperti ia, dia, beliau, dan sebagainya, sedangkan deiksis sosial harus mencakup penyebutan deiksis orang tertentu. Fungsi deiktik ungkapan-ungkapan vokatif amat sangat jelas, yaitu bahasa yang digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menunjuk seseorang dan menempatkannya pada referen tertentu dalam konteks ruang-waktu ujaran. Perhatikan tuturan berikut: “Kasihan sekali beliau, diujung usia senjanya harus hidup sebatangkara”. Tuturan tersebut mengandung dua deiksis, yaitu deiksis persona dan deiksis sosial. Deiksis persona ditunjukkan dengan penggunaan kata “beliau” sebagai ganti orang, sedangkan deiksis personanya, penggunaan kata “beliau” menunjukkan status sosial yaitu penyebutan untuk orang yang lebih tua. Penggunaan kata “beliau” dalam tuturan diatas dianggap lebih santun dari pada tuturannya menjadi: “Kasihan sekali dia, diujung usia senjanya harus hidup sebatangkara”. Deiksis persona dan sosial ini dapat digunakan untuk mengetahui konteks yang digunakan untuk menginterpretasikan maksud tuturan. b. Deiksis waktu Deiksis waktu merupakan kata ganti yang menunjuk referennya adalah waktu seperti kata kemarin, minggu lalu, besok, lusa, dan sebagainya. Melalui dieksis waktu, kita dapat mengetahui konteks suatu tuturan yang digunakan untuk menginterpretasi maksud. Perhatikan contoh tuturan berikut berikut: “Jangan seperti pemerintahan kemarin yang hobinya prihatin- prihatin mulu”. Tuturan tersebut mengandung deiksis waktu, yaitu pada kata “kemarin”. Melalu deiksis waktu tersebut, kita dapat memahami konteks tuturan. Deiksis “kemarin” ingin mengungkapkan era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Konteks tuturan tersebut adalah menyindir pemerintahan SBY terkesan diam. Dahulu, saat berpidato presiden Susilo Bambang Yudhoyono banyak menggunakan kata „prihatin‟ pada saat pidatonya. Sebagai contoh saat masalah DPR mengajukan RUU pilkada melalui DPR, SBY terkesan diam saja. Begitu mendekati pengesahan RUU pilkada tersebut, SBY baru bertindak dengan mengeluarkan Perpu pilkada. c. Deiksis tempat Deiksis waktu merupakan kata ganti yang menunjuk referennya adalah tempat seperti kata disini, disitu, tempat tertentu,dan sebagainya. Perhatikan tuturan berikut: “Hakim harus berada di tengah dalam setiap kasus”. Tuturan tersebut menggunakan deiksis tempat, yaitu pada kata “di tengah”. Melalui penggunaan deiksis tersebut, konteks tuturan dapat diketahui, yaitu protes terhadap hakim yang sering tidak adil. d. Deiksis wacana Deiksis wacana menggunakan ungkapan linguistik untuk mengacu pada suatu bagian tertentu dari wacana yang lebih luas baik teks tertulis maupun lisan tempat terjadinya ungkapan-ungkapan tersebut. Perhatikan contoh tuturan berikut: “Kami harap Pak Jokowi dapat membawa Indonesia menjadi lebih baik, seperti saat kinerjanya mengatasi masalah di Jakarta”. Tuturan tersebut mengandung mengandung deiksis wacana, yaitu dikaitkan dengan kinerja Pak Jokowi saat menjadi gubernur Jakarta. Masyarakat memandang bahwa kinerja Pak Jokowi saat itu sudah cukup baik. Deiksis wacana yang digunakan dapat memunculkan konteks dalam tuturan tersebut. Konteks tuturan tersebut adalah Harapan rakyat kepada pak Jokowi yang terpilih sebagai presiden saat ini. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa bentuk bahasa yang digunakan untuk menunjuk sesuatu berdasarkan referen tertentu persona orang, tempat, sosial, dan wacana merupakan deiksis. Melalui contoh-contoh yang dipaparkan di atas, keempat jenis deiksis tersebut dapat memunculkan konteks yang digunakan untuk menginterpretasikan maksud suatu tuturan. 5 Referensi Lynons 1977 dan Strawson 1950 dalam Brown dan Yule 1996:28 mengungkapkan referensi adalah ungkapan seorang penutur yang didasarkan pada acuan suatu bentuk linguistik tertentu. Pendapat tersebut didukung oleh Yule 2008:28 yang mengungkapkan bahwa referensi dalam jangkauan yang luas didasarkan pada asumsi penutur terhadap apa yang sudah diketahui pendengar. Berdasarkan pendapat kedua ahli di atas dapat disimpulkan bahwa referensi adalah suatu tuturan yang didasarkan pada rujukan bentuk linguistik tertentu yang sebelumnya juga sudah diketahui oleh mitra tutur. Rujukan tersebut dapat berupa tuturan atau perilaku mitra tutur sebelumnya yang menimbulkan tanggapan dari penutur. Referensi ini juga dapat digunakan untuk mengetahui konteks suatu tuturan, misalnya pada contoh tuturan berikut. “Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu. Sekarang kamu tahu kan hukuman yang harus kamu terima” Seorang penutur merasa simpati karena temannya dihukum oleh guru karena ketahuan membolos saat pelajaran berlangsung. Konteks tuturan tersebut diketahui melalui fenomena referensi, yaitu rujukan perilaku mitra tutur sebelumnya yang membolos saat pelajaran berlangung. Penutur dam mitra tutur sebelumnya sudah sama-sama mengetahui kesalahan apa yang dimaksud dalam tuturan. 6 Inferensi Inferensi merupakan penyimpulan penutur mengenai kejadian tertentu Yule,2006:28. Pendapat tersebut dilengkapi oleh Brown dan Yule 1996:33 yang mengungkapkan bahwa referensi merupakan usaha menarik kesimpulan untuk dapat menafsirkan ujaran-ujaran atau hubungan antra ujaran. Penarikan kesimpulan tersebut berdasarkan pada banya fakta mengenai suatu hal sebelumnya sehingga penutur berbicara berdasarkan penarikan kesimpulan atas fakta-fakta yang ia miliki sebelumnya mengenai suatu hal. Inferensi tersebut dapat memunculkan sebuah konteks, misalnya dalam contoh tuturan berikut. “Sepertinya saat ini sudah memasuki musim kemarau” Cuaca siang itu sangat cerah dan tidak ada awan. Disamping itu, udara di pagi hari sangat dingin. Konteks tuturan tersebut dimunculkan melalui fenomena referensi karena sebelumnya penutur mempunyai beberapa fakta mengenai ciri-ciri musim kemarau sehingga penutur dapat menyimpulkan bahwa saat ini sudah memasuki musim kemarau. 7 Latar Belakang Penutur Latar belakang penutur pengetahuan sebelumnya yang dimiliki oleh mitra tutur mengenai seorang penutur. Brown dan Yule 1997:38 mengungkapkan bahwa pengetahuan tentang penutur pada peristiwa komunikatif tertentu memungkinkan mitra tutur membayangkan apa yang mungkin dikatakan oleh penutur. Jika seorang mengetahui latar belakang penutur, maka mitra tutur dapat memprediksi apa yang akan dikatakan oleh penutur baik dari segi bentuk maupun isi. Latar belakang penutur ini juga dapat memengaruhi kepercayaan mitra tutur terhadap apa yang diucapkan oleh penutur, misalnya pada contoh tuturan berikut. “Saat ini terdapat banyak mafia migas yang meraup keuntungan”. Tuturan tersebut dikatakan oleh seorang pengamat migas yang mengetahui seluk beluk migas termasuk praktik kecurangan mafia migas. Konteks dalam tuturan diatas diketahui berdasarkan latar belakang penutur, yaitu berupa pekerjaan. Mitra tutur dapat memercayai perkataan penutur karena dari segi pekerjaan ia telah lama menggeluti dunia migas sehingga kebenaran tuturannya dapat dipertanggungjawabkan. Berbagai aspek pragmatik yang dipaparkan diatas digunakan untuk mengetahui maksud penutur yang diungkapkan melalui suatu tuturan. Maksud tuturan dapat dilihat melalui konteks yang diketahui melalui fenomena praanggapan, implikatur, tidak tutur, deiksis, referensi, inferensi, dan latar belakang penutur. Suatu tuturan selalu diikuti dengan konteks tertentu. Keberadaan maksud menjadi sangat penting saat kita hendak mengetahui daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang muncul dalam suatu tuturan. 2.2.3 Unsur Intralingual Unsur intralingual merupakan segala unsur didalam bahasa yang dapat berupa bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Unsur intralingual sering disebut juga dengan bahasa verbal. Menurut Liliweri 1994:2 bahasa verbal merupakan penggunaan tanda-tanda atau simbol-simbol untuk menjelaskan suatu konsep tertentu. Pemakaian bahasa verbal memiliki unsur utama berupa kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Pendapat tersebut sejalan dengan Pranowo 2013, yang mengungkapkan bahwa kajian intraingual meliputi bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Kajian intralingual tersebut tidak hanya sebatas pada aspek kebahasaan saja, melainkan sampai pada makna. Aspek-aspek bahasa tersebut tanpa dimaknai tidak akan ada artinya. Unsur intralingual ini dapat digunakan dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis. Unsur intralingual yang digunakan dalam bahasa tulis ditandai dengan penggunaan jeda pendek, sedang, panjang, dan panjang sekali dapat juga berupa pemisahan kata, tanda koma, tanda titik, pergantian paragraf, dan pergantian wacana, sedangkan unsur intralingual yang digunakan dalam bahasa lisan ditandai dengan jeda berupa intonasi, tekanan, dan irama. Di samping itu, bahasa lisan juga memanfaatkan permainan bunyi, permainan kata, gaya bahasa, dan idiom yang dapat memberi efek komunikatif bagi mitra tutur. Dengan kata lain, nilai rasa bahasa dapat terjadi dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis tetapi cara memasukkan nilai rasa bahasa berbeda-beda. Secara ringkas, macam-macam unsur intralingual tersebut akan dijabarkan sebagai berikut. 1 Bunyi Ilmu yang mempelajari tentang bunyi disebut dengan fonologi. Menurut KBBI 2008:396, fonologi merupakan bidang linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Pendapat tersebut didukung oleh Muslich 2008:1, fonologi merupakan ilmu yang mengkaji bunyi-bunyi ujaran secara mendalam. Ilmu fonologi ini tidak terbatas pada bunyi saja, melainkan berkaitan dengan fungsi dari rentetan bunyi tersebut. Aspek paling penting dalam kajian bunyi sebagai unsur intralingual ini adalah makna yang dihasilkan dari rentetan bunyi tersebut. Bunyi tidak akan ada artinya bila bunyi tersebut tidak mempunyai makna. Sudaryanto 1989 mengidentifikasikan bahwa bunyi memiliki makna tertentu. Pada tataran bunyi, bunyi i memiliki makna yang dapat menggambarkan keadaan yang dipersepsi sebagai sesuatu yang kecil pada suatu benda seperti pada kata “kerikil, kutil, kerdil, dan sebagainya. Namun, sebelum kata-kata yang mengandung bunyi i dipakai dalam suatu konteks tuturan tertentu, daya bahasanya belum muncul. Misalnya saat orang mengatakan: “Masalah ini hanya merupakan kerikil kehidupan”. Tuturan tersebut mempunyai makna bahwa „masalah‟ yang sedang dihadapi saat ini merupakan masalah yang kecil. Kata “kerikil” bermakna „batu kecil‟ sebagai pengungkapan masalah yang kecil. Pada tuturan tersebut terdapat daya bahasa yang meyakinkan mitra tutur bahwa masalah yang sedang dihadapinya bukanlah masalah yang berat sehingga menimbulkan keyakinan di benak mitra tutur bahwa ia mampu menyelesaikan masalah tersebut. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa bunyi merupakan unsur paling dasar sebelum membentuk suatu kata. Aspek bunyi yang sangat kecil pun dapat menjadi pembeda makna pada suatu kata. Bunyi tidak akan ada apa-apanya tanpa dimaknai. Dengan kata lain, aspek bunyi sangat berhubungan dengan makna. Aspek bunyi ini dapat dikatakan sebagai unsur intralingual yang dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. 2 Kata dan Pilihan Kata Diksi Kata ialah satuan bebas yang paling kecil. Kata terdiri dari dua macam satuan, yaitu satuan fonologik dan satuan gramatik. Sebagai satuan fonologik, kata terdiri dari satu atau beberapa suku, dan suku itu terdiri dari satu atau beberapa morfem. Misalnya kata belajar terdiri dari tiga suku kata, yaitu be, la, dan jar, sedangkan sebagai satuan gramatik, kata belajar terdiri dari dua morfem yaitu ber- dan ajar Ramlan, 2009:33. Setiap kata pasti mengandung makna tertentu yang ingin mengungkapkan sebuah gagasan atau sebuah ide. Kata-kata adalah alat penyalur gagasan yang akan disampaikan kepada orang lain. Kata-kata ibarat „pakaian‟ yang dipakai oleh pikiran kita. Tiap kata memiliki jiwa. Setiap anggota masyarakat harus mengetahui „jiwa‟ setiap kata, agar ia dapat menggerakkan orang lain dengan „jiwa‟ dari kata-kata yang dipergunakannya Keraf, 1987:21. Namun perlu diingat juga, kata merupakan bagian dari kalimat. Kata tidak dapat menjadi ekspresi yang lengkap dan penuh jika ia tidak menjadi kalimat sendiri Parera, 1988:3. Kata sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah bahasa mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek isi makna. Bentuk atau ekspresi adalah segi yang dapat diserap melalu pancaindra, yaitu dengan mendengar atau dengan melihat. Sebaliknya, segi isi atau makna adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar atau pembaca karena rangsangan aspek bentuk tadi. Dengan kata lain, pengertian yang tersirat dalam suatu kata mengungkapkan sebuah gagasan atau ide penutur dengsn maksud dan tujuan tertentu terhadap mitra tutur. Semakin banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula ide atau atau gagasan yang dikuasainya dan diungkapkannya Keraf, 1987:21. Dengan menggunakan pilihan kata atau diksi yang tepat, maka pesan yang akan kita sampaikan kepada mitra tutur akan lebih mengena. Diksi juga dapat digunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang lebih santun berhubungan dengan nilai rasa bahasa. Misalnya pada tuturan berikut: “Orang buta itu lewat di depan rumah” Ungkapan tersebut terasa lebih kasar karena menggunakan kata „orang buta‟. Tuturan tersebut sebenarnya dapat diperhalus dengan diksi „tuna netra‟ untuk menggantikan kata „orang buta‟. Dari contoh di tersebut, dapat disimpulkan bahwa pilihan kata atau diksi mencakup pemilihan kata yang dipakai untuk mengungkapkan suatu hal dengan mempertimbangakan situasi yang tepat. Selain itu, diksi yang digunakan juga dapat menentukan nuansa- nuansa makna dan bentuk yang sesuai dengan apa yang hendak dituturkan. Kata dan pilihan kata ini juga dapat digunakan untuk memunculkan daya bahasa. Misalnya pada tuturan: “Para tikus kantor itu harus segera kita basmi”. Konteks: pimpinan KPK sedang menginstruksikan kepada para anggotanya untuk segera membasmi para koruptor. Penggunaan kata “tikus” dan “basmi” dalam tuturan tersebut mengandung perintah. Koruptor diibaratkan dengan kata “tikus” yang merupakan hama yang merugikan. Kata „basmi‟ lebih menekankan bahwa semua koruptor benar- benar harus ditangkap seluruhnya. Kata “tikus” dan “basmi” lebih berdaya bahasa dari pada tuturan tersebut menjadi: “Para koruptor kantor itu harus segera kita tangkap” Bila tuturan diubah menjadi seperti itu, maka daya bahasa yang dihasilkan kurang kuat. Daya perintah tuturan kedua ini kurang kuat sehingga mungkin pesan yang ingin disampaikan kepada mitra tutur kurang mengena. Disini juga dapat dilihat bahwa terdapat nilai rasa dalam tuturan tersebut. Penutur merasa kesal dengan ulah para koruptor yang telah banyak merugikan negara. Berdasarkan beberapa pengertian dan contoh diatas, dapat disimpulkan bahwa kata dan pilihan kata merupakan satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna tertentu. Di dalam memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa, penggunaan kata menjadi sangat penting. Penggunaan pilihan kata atau diksi yang tepat akan mampu memperkuat daya bahasa maupun nilai rasa dalam benak mitra tutur. 3 Frasa Frasa merupakan tataran yang lebih kompleks dari pada kata. Frasa dapat terbentuk dari beberapa kata atau lebih yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa. Ramlan 2005: 138 mengungkapkan bahwa klausa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa. Pendapat tersebut sejalan dengan Samsuri dalam Arifin 2008:18 yang menyatakan bahwa frasa adalah satuan gramatikal berupa gabungan satu kata atau lebih yang sifatnya predikatif atau nonpredikatif. Frasa dapat berupa subjek, predikat, objek, keterangan, dan pelengkap. Melalui dua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa frasa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari beberapa kata dan tidak melampaui batas fungsi klausa, frasa ini mewakili suatu fungsi tertentu seperti predikat, objek, keterangan, dan pelengkap. Frasa ini juga dapat dipergunakan untuk memunculkan nilai rasa bahasa seperti pada tuturan berikut: “Beliau gugur di medan perang”. Frasa “beliau” merupakan subjek dari kalimat tersebut. Frasa “beliau” merupakan kata ganti orang yang mengungkapkan rasa lebih halus yaitu untuk bentuk julukan bagi orang yang lebih tua. Pada tuturan tersebut, frasa “beliau” digunakan untuk menyebut pahlawan yang telah meninggal karena melawan penjajah saat zaman sebelum kemerdekaan. Frasa “beliau” terasa lebih sopan dari pada frasa “dia”. Secara semantis, baik frasa “beliau” maupun “dia” mempunyai makna yang sama dan sama-sama merupakan kata ganti orang. Selain untuk memunculkan nilai rasa bahasa, frasa juga dapat memunculkan daya bahasa, seperti pada tuturan berikut: “Mafia migas itu harus kita babat habis”. Konteks: Menteri ESDM menginstruksikan kepada tim pembasmi mafia migas untuk segera menangkap seluruh mafia migas. Frasa “mafia migas” dan “babat habis” merupakan objek dan predikat pada tuturan tersebut. Frasa “mafia migas” mempunyai makna perkumpulan rahasia yg bergerak di bidang kejahatan tentang penyelundupan migas. Frasa “babat habis” mempunyai makna harus ditangkap seluruhnya. Kedua frasa tersebut mempunyai daya perintah, yaitu perintah menteri ESDM Energi Sumber Daya Mineral kepada anggota tim pembasmi mafia migas untuk segera menangkap seluruh penjahat migas. Tuturan diatas lebih berdaya bahasa dari pada tuturannya diubah menjadi: “Pencuri migas harus segera ditangkap seluruhnya” Secara semantis, kedua tuturan tersebut mempunyai makna yang sama, yaitu untuk mengangkap seluruh pencuri migas, namun dengan memanfaatkan frasa- frasa tertentu, tuturan tersebut dapat menjadi menimbulkan efek komunikatif yang lebih pada mitra tutur. 4 Klausa Klausa merupakan tataran setingkat lebih tinggi dibandingkan frasa. Menurut KBBI 2008:706, klausa adalah satuan gramatikal yang mengandung predikat dan berpotensi menjadi kalimat. Pendapat tersebut dilengkapi oleh Ramlan 2005:79 yang menyatakan bahwa klausa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari subjek dan predikat, baik disertai objek, pelengkap, dan keterangan maupun tidak. Unsur wajib dalam suatu klausa adalah predikat, unsur lainnya boleh ada ataupun tidak. Klausa ini juga dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Misalnya pada tuturan di bawah ini: “Setiap hari kita membakar uang”. Konteks: Masyarakat saat ini cenderung boros dalam penggunaan BBM sehingga diibaratkan dengan membakar uang karena saat kita membeli BBM dan menggunakannya untuk perjalanan yang kurang penting sesungguhnya kita hanya membakar BBM itu dengan percuma. Klausa “kita membakar uang” terdiri dari unsur subjek dan predikat. Klausa tersebut mengandung daya sindir bagi masyarakat yang selama ini hanya menggunakan kendaraan bermotor untuk hal-hal yang kurang penting. Maksud yang ingin disampaikan oleh penutur adalah himbauan agar kita lebih bijak dalam menggunakan BBM untuk kebaikan bersama. 5 Kalimat Menurut KBBI 2008:267, kalimat adalah kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan. Kalimat dapat terdiri dari satu kata maupun beberapa kata. Sesungguhnya yang menentukan satuan kalimat bukan banyaknya kata yang menjadi unsurnya, melainkan intonasinya. Menurut Ramlan 2005:21.setiap satuan kalimat dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Pendapat tersebut dilengkapi oleh Sukini 2010:54, kalimat adalah konstruksi sintaksis yang berupa klausa, dapat berdiri sendiri atau bebas, dan mempunyai pola intonasi final. Kalimat merupakan satuan bahasa yang dirangkai dan mempunyai makna tertentu. Makna yang ada dalam suatu kalimat dapat bersifat tersirat maupun tersurat. Kalimat dapat berwujud lisan maupun tulisan Alwi dkk, 2003:311. Kalimat berwujud lisan diucapkan dengan unsur suprasegmental seperti titinada, tekanan, tempo, jeda, dan intonasi akhir. Kalimat berwujud tulisan mengandung unsur segmental berupa kata, frasa, dan klausa Sukini,2010:55. Berdasarkan pengertian beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kalimat merupakan satuan gramatikal dalam wujud lisan maupun tulisan, yang dibatasi jeda panjang naik atau turun. Kalimat selalu disertai dengan unsur segmental dan suprasegmental. Dengan kata lain, kalimat yang berupa tuturan langsung konstruksinya berupa unsur segmental, namun disertai dengan unsur suprasegmental seperti titinada, tekanan, tempo, jeda, dan intonasi akhir. Misalnya pada tuturan “Jangan sentuh benda itu”. Kalimat tersebut terbentuk melalui beberapa kata dan frasa. Kalimat tersebut merupakan larangan yang dituturkan menggunakan nada yang keras unsur suprasegmental. Selain itu, kalimat juga dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Misalnya contoh kalimat berikut: “Jokowi-JK adalah kita”. Konteks: kalimat tersebut merupakan kalimat yang digunakan dalam spanduk-spanduk saat kampanye pilpres 2014 kemarin. Kalimat tersebut mengindikasikan daya bujuk bagi masyarakat yang membacanya. Penulisan kalimat tersebut berusaha memengaruhi pembaca untuk memilih pasangan Jokowi-JK pada pilpres 2014. Kalimat tersebut mempunyai makna bahwa Pak Joko Widodo dan Pak Jusuf Kalla merupakan pasangan yang cocok untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan. Pasangan tersebut pasti akan memahami dan mengatasi masalah yang ada di masyarakat karena mereka berasal dari kalangan masyarakat biasa. Selama ini, yang menjadi presiden Indonesia identik dari kalangan yang sebelumnya sudah mempunyai posisi di Republik Indoneisa. Misalnya saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sebelum terpilih menjadi presiden merupakan Jenderal TNI. 2.2.4 Unsur Ekstralingual Unsur ekstralingual merupakan faktor tambahan di luar bahasa verbal yang mendukung makna dan maksud suatu tuturan. Sobur 2004:257 mengungkapkan bahwa setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam bahasa intralingual yang biasanya merujuk atau mengacu kepada suatu referen yang merupakan unsur luar bahasa ekstralingual. Pendapat tersebut dilengkapi oleh Pranowo 2012:90 yang mengungkapkan unsur kebahasaan mencakup bahasa verbal dan non verbal, sedangkan unsur non kebahasaan meliputi topik pembicaraan dan konteks situasi komunikasi. Berdasarkan kedua pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur ekstralingual ini mencakup konteks tuturan serta bahasa non verbal tanda-tanda ketubuhan yang merupakan rujukan dari bahasa verbal penutur. Konteks tuturan beserta fenomena yang dapat memunculkannya telah dibahas sebelumnya lihat sub bab kajian bahasa secara pragmatik, sedangkan bahasa non-verbal belum pernah dibahasa sebelumnya. Bahasa non-verbal adalah unsur ekstralingual yang paling kompleks. Bahasa non-verbal mencakup tanda-tanda ketubuhan serta gesture yang digunakan oleh penutur saat berkomunikasi. Unsur ekstralingual ini pada umumnya selalu menyertai tuturan. Peran unsur ekstralingual ini adalah untuk memberikan efek komunikatif yang lebih kuat kepada mitra tutur. Brown 2004:117 berpendapat bahwa peran bahasa non-verbal akan nampak jelas ketika seseorang berkomunikasi menggunakan bahasa lisan. Bahasa non-verbal dapat berupa gesture yang meliputi gerakan tubuh atau bagian tubuh yang dapat berfungsi penting dalam berkomunikasi. Gesture ini dapat berupa kinesik, kontak mata kerlingan mata, dan kinestetik. Pendapat tersebut sejalan dengan Pateda 2001:48 yang mengungkapkan bahwa bahasa non verbal dapat berupa tanda yang menggunakan anggota badan, lalu diikuti dengan lambang verbal yang diucapkan. Bahasa non verbal ini, biasanya digunakan penutur untuk memperkuat maksud yang diucapkan melalui bahasa verbal. Liliweri 1994:89 mengungkapkan bahwa komunikasi non verbal acapkali dipergunakan untuk menggambarkan perasaan dan emosi. Saat pesan yang disampaikan melalui bahasa verbal kurang kuat efeknya, penutur dapat menggunakan tanda-tanda non-verbal sebagai pendukung. Di dalam suatu situasi komunikasi verbal, komunikasi non-verbal merupakan pelengkap dan penegas unsur-unsur intralingual yang digunakan. Misalnya dalam tuturan berikut: “Maaf, kami sudah melakukan yang terbaik. Namun ternyata Tuhan bekehendak lain”. Konteks: Dokter baru selesai menangani seorang pasien Ekspresi wajah: sedih. Tuturan tersebut mengandung nilai rasa merasa bersalah seorang dokter kepada keluarga pasien. Tuturan tersebut menggunakan kata „maaf‟ untuk mengungkapkan rasa bersalahnya. Selain itu, saat bertutur dokter tersebut memunculkan ekspresi wajah bersedih yang semakin memperkuat rasa bersalahnya. Bila dokter tersebut tidak memunculkan ekspresi wajah sedih, maka efek rasa bersalah yang dirasakan oleh mitra tutur menjadi kurang mengena. Melalui contoh tersebut, kita dapat melihat bahwa bahasa non-verbal atau unsur ekstralingual juga mempunyai peran yang sangat penting untuk menimbulkan efek komunikatif. Namun, perlu diketahui bahwa unsur ekstralingual berupa bahasa non- verbal ini tidak selalu menyertai suatu tuturan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Liliweri 1994:88 yang mengungkapkan bahwa unsur ekstralingual berupa bahasa non-verbal ini tidak selalu menyertai suatu tuturan karena hanya digunakan sebagai penegas dan pelengkap. Liliweri juga mengungkapkan meskipun tidak mengeluarkan suatu tuturan, namun ekspresi wajah seseorang juga mampu mewakili pesan dengan makna tertentu terhadap orang lain. Pada saat seseorang mengungkapkan rasa kesalnya seringkali menggunakan bahasa tubuh berupa menyilangkan kedua tangan posisi sedekap dan menunjukkan ekspresi marah. Melalui tanda yang dibuat tersebut, tentu mitra tutur dapat menangkap maksud bahwa orang tersebut kesal dengan pernyataan yang diucapkan mitra tutur. Tanda-tanda non-verbal yang termasuk dalam kajian ekstralingual ini, disinggung dalam ilmu semiotika, khususnya semiotika non-verbal. Namun, tidak semua ilmu semiotika ini termasuk dalam kajian ekstralingual. Peneliti hanya mengambil beberapa tanda non-verbal yang dianggap diperlukan dalam penelitian ini, meliputi ekspresi wajah, kontak mata, bahasa tubuh, dan sentuhan. Masing- masing tanda non-verbal akan dijabarkan sebagai berikut: 1 Ekspresi Wajah Ekspresi wajah meliputi pengaruh raut wajah yang digunakan untuk berkomunikasi secara emosional atau bereaksi terhadap suatu pesan. Ekspresi wajah manusia juga dapat bersifat sadar dan tak sadar. Ekspresi wajah setiap orang selalu menyatakan hati dan perasaannya. Wajah ibarat cermin dari pikiran dan perasaan. Melalui wajah orang juga bisa membaca makna suatu pesan Liliweri, 1994:145 Pada tahun 1963, ahli psikologi Paul Ekman dan timnya melakukan penelitian untuk menentukan ekspresi-ekspresi wajah tertentu sebagai tanda universal bagi emosi-emosi spesifik. Mereka menunjukkan bahwa dengan membagi-bagi ekspresi wajah menjadi komponen-komponen karakteristik- posisi alis, bentuk mata, bentuk mulut, ukuran lubang hidung, dan seterusnya- dalam pelbagai kombinasi akan menentukan bentuk ekspresi tertentu. Penelitian ini menunjukkan bahwa mungkin saja untuk menulis “gramatika” wajah yang mengandung lebih sedikit variasi kultural dibanding gramatika dalam bahasa Danesi,2010:67-68. Empat sketsa ekspresi wajah berikut ini menunjukkan cara kita menafsirkan komponen wajah dari segi emosi: Terhibur Marah Terkejut Sedih Keempat ekspresi tersebut dapat mewakili persaan seseorang saat sedang menyampaikan sebuah tuturan. Ekspresi wajah penutur dapat mewakili perasaan penutur terhadap suatu hal. Ekspresi wajah ini juga dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Ekspresi wajah ini selalu menyertai tuturan. Misalnya saja pada tuturan berikut: “Akhirnya setelah empat tahun kuliah tibalah saatnya aku untuk diwisuda”. Tuturan tersebut diucapkan dengan mata berbinar-binar dan bibir tersenyum. Berdasarkan ekspresi wajah tersebut dapat disimpulkan bahwa penutur sedang merasa senang nilai rasa bahagia karena dia dapat lulus dan menjadi sarjana setelah kuliah selama empat tahun. 2 Kontak Mata Pola kontak mata bersifat tidak sadar. Melalui kontak mata, seseorang dapat menceritakan kepada orang lain suatu pesan tertentu. Misalnya, pandangan mata cemas mengindikasikan rasa kecemasan penutur terhadap suatu hal. Di dalam berbagai kehidupan sehari-hari, kontak mata sering diartikan sebagai penanda non verbal yang dapat dilihat dalam fakta-fakta berikut. Danesi, 2010:69  Menatap sering ditafsirkan sebagai tantangan; main mata dengan orang lain biasanya ditafsirkan sebagai rayuan.  Di dalam banyak kebudayaan, ada konsep mata jahat, yang dipersepsikan sebagai tatapan jenis tertentu yang dikatakan memiliki kekuatan untuk melukai perasaan seseorang.  Mengadakan kontak mata di awal percakapan verbal atau irama setelah percakapan berlangsung akan mengindikasikan jenis hubungan yang ingin kita miliki dengan si pembicara.  Saat pupil berkontraksi dalam keadaan bersemangat.  Kelopak mata yang menyempit mengomunikasikan sikap merenung.  Mendekatkan alis satu sama lain secara universal mengomunikasikan sikap tengah berpikir; saat alis naik, yang terungkap adalah rasa terkejut.  Memicingkan mata sebagai indikasi menatap dengan pandangan sempit dan penuh selidik. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kontak mata ini sangat penting saat kita berkomunikasi. Kontak mata dapat mengindikasikan suatu keadaan tertentu penutur yang ingin ditunjukkan kepada mitra tutur. Misalnya saja dalam tuturan berikut: “Benarkah teman SD kita ikut menjadi korban dalam kecalakaan tersebut?”. Tuturan tersebut dituturkan dengan mata melotot dan alis terangkat. Kontak mata tersebut mengindikasikan bahwa penutur benar-benar terkejut nilai rasa terkejut setelah mendapat kabar perihal kecelakaan yang terjadi tadi siang. 3 Bahasa Tubuh Bahasa tubuh adalah istilah umum yang digunakan untuk mengindikasikan komunikasi melalui tanda-tanda yang dihasilkan oleh tubuh baik yang sadar maupun tidak. Bahasa tubuh mengomunikasikan informasi tak terucapkan mengenai identitas, hubungan, dan pikiran seseorang, juga suasana hati, motivasi, dan sikap Danesi, 2010:74 Ada dua jenis sinyal tubuh-sadar dipancarkan dengan sengaja atau tidak sadar dipancarkan secara naluriah oleh tubuh. Manusia mampu menggunakan sinyal sadar untuk tujuan yang disengaja dalam lingkup yang sangat luas, seperti mengangguk, menyenggol, menendang, mengangkat kepala, dan seterusnya Danesi, 2010:69. Pada dasarnya manusia selalu mengeluarkan sinyal-sinyal saat hendak mengungkapkan sesuatu. Misalnya dalam tuturan berikut: “emmm... ya..”. Konteks: tuturan yang diucapkan mitra tutur sebagai tanda bahwa mitra tutur mengerti Tuturan terebut disertai bahasa tubuh berupa anggukan kepala dari penutur. Berdasarkan contoh tuturan dan bahasa tubuh yang dimunculkan penutur pada contoh di atas, mitra tutur dapat menangkap bahwa penutur mengerti apa yang dibicarakan mitra tutur sebelumnya. Sinyal kinesis dapat bersifat bawaan tak sadar, dipelajari sadar, atau campuran keduanya. Mengejapkan mata, mendehem, dan wajah memerah merupakan sinyal lahiriah bawaan. Sinyal-sinyal ini sering terjadi tanpa disengaja, begitu juga dengan, misalnya, ekspresi wajah gembira, terkejut, marah, jijik, dan emosi-emosi dasar lainnya yang dipahami orang-orang dalam berbagai budaya. Tertawa, menangis, dan mengangkat bahu adalah contoh sinyal campuran. Isyarat seperti kedipan mata, acungan jempol, atau penghormatan militer, adalah sinyal yang kita pelajari. Pesan-pesan yang dibuat dengan bahasa tubuh dapat memberikan tampilan dan kesan pada sebuah percakapan yang akan diingat lama setelah kata-kata lisan terlupakan. Bahasa tubuh juga dapat dibangun untuk berbohong atau menutupi sesuatu. Misalnya, mengatupkan bibir dapat mengindikasikan ketidaksetujuan atau keraguan, bahkan jika pernyataan verbal orang tersebut menyampaikan persetujuan. Saat pernyataan verbal dan bahasa tubuh saling berbenturan, pendengar akan cenderung lebih memercayai bahasa tubuh. 4 Sentuhan Sentuhan atau perabaan menjelaskan bentuk atau cara lain untuk menyatakan diri dalam komunikasi non-verbal Liliweri, 1994:135. Banyak orang menggunakan tangan karena senang, menampar, mecubit, memukul, memegang, dan memeluk untuk menyatakan suatu maksud tertentu. Di dalam kebanyakan budaya, bentuk dasar pemberian salam mencakup jabat tangan, yang merupakan contoh tepat dari perilaku sosial yang diatur oleh kode taktil sentuhan, yang artinya kode yang mengatur pola sentuhan dalam situasi antarpribadi Danesi, 2010:77. Dari dulu hingga sekarang, kita kenal bahwa berjabat tangan ini merupakan simbol kesetaraan antar individu, dan digunakan untuk mengesahkan berbagai jenis persetujuan. Makna dan maksud yang ada dalam sentuhan ini tergantung pada budaya dimana sentuhan tersebut digunakan. 2.2.5 Daya Bahasa Daya bahasa merupakan kekuatan bahasa yang muncul sebagai akibat dari suatu tuturan. Menurut Pranowo 2012:128, daya bahasa adalah kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk mengefektifkan pesan yang disampaikan kepada mitra tutur. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Fitra Yuni 2009:17 yang mengungkapkan daya bahasa adalah kadar kekuatan bahasa untuk menyampaikan makna, informasi, atau maksud melalui fungsi komunikatif sehingga pendengar mampu memahami dan menangkap makna, informasi, atau maksud penuturpenulis. Penyampaian pesan dengan memperhatikan daya bahasa akan membuat komunikasi terhadap mitra tutur menjadi lebih efektif. Daya bahasa dapat digali melalui berbagai aspek bahasa meliputi bunyi, bentuk kata, kalimat, pilihan kata, struktur, maupun aspek pemakaian bahasa seperti tindak tutur, praanggapan, dan sebagainya Pranowo, 2012:129. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa daya bahasa dapat muncul melalui unsur intralingual dalam bahasa dan ekstralingual luar bahasa. Daya bahasa tidak akan muncul tanpa adanya pemaknaan dari setiap unsur intralingual yang digunakan dalam suatu tuturan. Makna menjadi sangat penting saat kita hendak menentukan suatu tuturan memiliki daya bahasa atau tidak. Selain makna, unsur penting yang tidak boleh dilupakan adalah konteks serta gesture penutur. Konteks digunakan untuk memahami maksud tuturan, sedangkan gesture digunakan untuk memperkuat daya bahasa yang ada dalam suatu tuturan. Perhatikan contoh tuturan berikut: “Perlu kita selidiki, kalau perlu kita tumpas hingga akarnya” Konteks: Kasus korupsi sedang merebak di suatu perusahaan. Apabila kita lihat, kalimat tersebut mengandung pilihan kata yang khas untuk memunculkan efek yang lebih kuat pada pendengarnya. Klausa “kita tumpas hingga akarnya” memiliki daya bahasa yang lebih kuat daripada penutur mengatakan kita “selesaikan hingga seluruhnya terungkap” padahal secara semantik, keduanya memiliki makna yang sama. Namun, jika mitra tutur tidak memahami konteks yang menyertai kalimat tersebut, maka kalimat tersebut juga tidak akan ada artinya. Jadi, dapat dikatakan bahwa unsur intralingual dan ekstralingual ini saling berhubungan. Selain konteks, unsur ekstralingual lain yang dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang kuat dalam kalimat tersebut adalah ekspresi wajah saat mengucapkan kalimat. Bila kalimat tersebut dituturkan dengan ekspresi wajah yang serius, maka mitra tutur dapat menangkap bahwa tuturan itu merupakan ancaman keras dan si penutur sedang tidak main- main dengan ancamannya. Selain pilihan kata atau diksi, daya bahasa juga dapat mucul pada tataran bunyi. Sudaryanto 1989 yang mengidentifikasikan bahwa bunyi memiliki makna tertentu. Pada tataran bunyi, bunyi i memiliki makna yang dapat menggambarkan keadaan yang dipersepsi sebagai sesuatu yang kecil pada suatu benda s eperti pada kata “kerikil, kutil, kerdil, dan sebagainya. Namun, sebelum kata-kata yang mengandung bunyi i dipakai dalan suatu konteks tuturan tertentu, daya bahasanya belum muncul. Misalnya pada kata kerdil. Kata kerdil saat belum tergabung dalam suatu kalimat tertentu tidak akan dapat memunculkan daya bahasa. Namun, setelah berada dalam suatu kalimat kata kerdil mampu memunculkan daya bahasa seperti pada tuturan berikut: “Janganlah kita mau dianggap menjadi bangsa yang kerdil”. Tuturan tersebut mengandung daya ajakan yang ditujukan kepada mitra tutur agar tidak mau dianggap menjadi bangsa yang „kerdil‟. Makna dari „kerdil‟ dalam tuturan tersebut adalah bangsa yang kecil dan bodoh. Penutur berusaha membangkitkan semangat mitra tutur agar tidak mau begitu saja dilecehkan oleh negara lain. Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, penulis dapat menyimpulkan daya bahasa merupakan kekuatan suatu bahasa yang diungkapkan melalui bunyi, kata dan pilihan kata, frasa, klausa, dan kalimat unsur intralingual dan diperkuat dengan unsur ekstralingual ekspresi wajah, bahasa tubuh serta disertai dengan konteks tertentu untuk mencapai suatu fungsi komunikatif. Melalui pemanfaatan daya bahasa ini, penutur bisa lebih menekankan maksud yang ingin disampaikan kepada mitra tutur. 2.2.6 Nilai Rasa Bahasa Nilai rasa bahasa adalah kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan karena penutur mengungkapkan domain afektifnya menggunakan bahasa dalam berkomunikasi sehingga mitra tutur dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan. Menurut Poerwadarminta 1967:34-35, nilai rasa adalah kadar rasa yang ada dalam isi suatu kata. Rasa atau perasaan merupakan gerakan hati dan segala yang terasa didalam batin, seperti rasa sedih, senang, suka, duka, benci, menghina, hormat, segan, kecewa, malu, dan sebagainya. Nilai rasa bersifat subjektif. Mungkin saja untuk menghadapi suatu permasalahan yang sama satu orang dan orang lainnya memiliki sikap yang berbeda. Terdapat kata-kata yang sudah umum dianggap bernilai rasa dan ada kata yang sengaja diberi nilai rasa. Kata-kata yang sudah umum dianggap bernilai rasa seperti konyol, mampus, tolol, dan sebagainya, sedangkan kata-kata yang sengaja diberi nilai rasa seperti gugur, wafat, beliau, dan sebagainya. Berkaitan dengan nilai rasa bahasa, hingga kini belum dapat ditemukan hasil penelitian yang komprehensif, kecuali hanya uraian bahwa nilai rasa bahasa dapat muncul melalui permainan bunyi, kata, gaya bahasa, ungkapan, dan konteks bahasa Pradopo,2002. Meskipun demikian, jika nilai rasa bahasa dapat dideskripsikan secara komprehensif dan dioptimalkan pemakaiannya akan dapat meningkatkan kesantunan dalam berkomunikasi. Saat berkomunikasi, pikiran maupun perasaan diungkapkan dengan bahasa yang berbeda. Jika bahasa itu dipakai untuk mengungkapkan pikiran, unsur yang dominan dalam bahasa adalah aspek kognitif, seperti pola pikir, argumentasi, hubungan sebab akibat, cara menarik kesimpulan, dan evaluasi. Dengan demikian, ketika seseorang mengungkapkan pikirannya modus yang muncul adalah modus berita atau pernyataan, pertanyaan, perintah, dan seruan. Sebaliknya, jika bahasa digunakan untuk mengungkapkan perasaan, unsur yang dominan adalah aspek afektif, seperti ekspresi jiwa, persepsi perasaan, dan tafsiran maksud. Aspek afektif ini akan memunculkan berbagai modus, seperti rasa senang, benci, gembira, bahagia, simpati, empati, terharu, dan sebagainya. Kadar nilai rasa bahasa sebenarnya dapat muncul dalam berbagai tindak tutur, seperti membujuk, mempengaruhi, menghujat, memuji, menantang, dan sebagainya. Seperti dalam tuturan berikut: “Untuk apa kamu berkarya jika hasilnya tidak mampu menebar kebajikan buat orang banyak?” Tuturan tersebut mengandung nilai rasa „halus‟ dalam menyampaikan pesan atau maksud “mengingatkan” meskipun modusnya berupa pertanyaan. Perhatikan contoh lain ketika seseorang mengatakan hal berikut: “Maaf, berapa banyak orang yang datang dalam seminar minggu lalu? ” Meskipun kalimat itu modusnya berupa pertanyaan, tetapi tetap ada kandungan nilai rasa bahasanya. Hal itu nampak dengan digunakannya kata “maaf” terkesan ada unsur perasaan berhati-hati karena khawatir jika orang yang ditanya tidak berkenan dengan pertanyaan itu. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa nilai rasa bahasa merupakan kadar perasaan yang muncul dalam benak mitra tutur lewat suatu tuturan tertentu. Kata-kata yang diucapkan mewakili perasaan penutur terhadap mitra tutur. Dalam memahami nilai rasa bahasa, kita tidak boleh melupakan unsur non kebahasaan seperti konteks dan gesture atau gerak-gerik tubuh. Poerwadarminta 1967:35-36, mengungkapkan ada 3 ciri-ciri kata yang memiliki nilai rasa, yaitu yang menggunakan: a. Kata rasa perasaan Kata rasa perasaan mencakup kata-kata yang berisi kadar rasa seperti rasa senang, benci, menghina, belas kasihan, dan sebagainya. b. Kata pelembut a Sopan santun Kata hormat : anda, beliau, dan sebagainya. Kata halus : gugur, tuna netra, dan sebagainya. b Perasaan kemasyarakaan Kata-kata bentukan baru : wanita untuk menyebutkan perempuan, asisten rumah tangga untuk menyebut pembantu c Adat kepercayaan Kata pantang, misalnya: kata „akar‟ untuk menyebut ular di malam hari c. Kata kasar Kata kasar merupakan kata-kata yang kurang lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan cenderung mengarah kepada kata umpatan, misalnya: bangsat, pecundang, dan lain sebagainya. Nilai rasa bahasa juga dapat dilihat melalui kata-kata perasaan yang digunakan oleh penutur dalam suatu tuturan. Perasaan manusia dapat wujudkan dalam kata-kata emosi yang digunakan. Suprapti, dkk dalam Kaswanti Purwo 1992:110-112 mengelompokkan kata-kata emosi kedalam 28 macam, yaitu malas, kelelahan, kesedihan, pesimis, takut, heran, tertekan, marah, benci, rasa bersalah, malu, muak, bosan, sunyi, kekosongan, kebahagiaan, bebas, cinta, kangen, terasing, dipaksa, dicintai, yakin, sehat, perasaan terhadap makanan, keinginan, menerima, dan rasa kecil. Suatu kata maupun tuturan memiliki makna dan maksud tertentu. Maksud bisa saja berbeda dengan makna. Melalui makna tuturan, kita dapat menemukan maksud dan nilai rasa bahasa. 2.2.7 Fungsi Komunikatif Berbahasa Bahasa merupakan alat utama manusia untuk berkomunikasi. Kata-kata yang dikeluarkan seseorang melalui sebuah tuturan tentu selalu mengandung makna dan maksud tertentu. Sebuah tuturan selalu mengandung tiga tindakan, yaitu tindak lokusi sesuatu yang diucapkan, ilokusi makna atau arti dari sebuah tuturan, dan perlokusi maksud yang ingin disampaikan dari sebuah tuturan. Ketiga tindakan tersebut saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Fungsi pada dasarnya merupakan tujuan yang ingin kita capai saat berbahasa, misalnya menyatakan, meminta, menanggapi, memberi salam, dan sebagainya. Fungsi komunikatif bahasa tentu tidak bisa dipenuhi tanpa bentuk bahasa yang meliputi bunyi, kata, frasa, klausa, kalimat, wacana dan organisasional lainnya. Brown, 2008:245. Bahasa merupakan manifestasi lahiriah, sedangkan fungsi merupakan perwujudan bentuk-bentuk bahasa itu sendiri. Lewat kata-kata yang kita gunakan dalam berkomunikasi tersebut, dapat memunculkan daya bahasa maupun nilai rasa bahasa pada benak mitra tutur. Leech 2003:63-66 membagi fungsi komunikatif bahasa menjadi 5, yaitu fungsi informasional, fungsi ekspresif, fungsi direktif, fungsi phatik, dan fungsi estetik. Kelima fungsi tersebut akan dijabarkan sebagai berikut. a. Fungsi Informasional Fungsi inforasional menempatkan makna yang disampaikan oleh penutur hendak menyampaikan suatu informasi, pandangan, pengetahuan, dan penjelasan kepada mitra tutur berdasarkan fakta-fakta yang sebenarnya. Misalnya saat seseorang mengatakan “Presiden Joko Widodo mengunjungi pengungsi letusan Gunung Sinabung pekan lalu”. Tuturan tersebut ingin menyampaikan informasi kepada mitra tutur bahwa presiden Joko Widodo melakukan kunjungan untuk melihat langsung keadaan pengungsi Letusan Gunung Sinabung. Informasi yang disampaikan oleh penutur ini berdasarkan oleh fakta yang sebenarnya. b. Fungsi ekspresif Fungsi ekspresif digunakan untuk mengungkapkan perasaan, sikap, emosi, reaksi-reaksi terhadap suatu permasalahan. Fungsi ekspresif ini bersifat personal dan muncul berbeda-beda setiap orang. Kata-kata sumpah-serapah dan kata seru merupakan contoh yang paling jelas dalam hal ini. Misalnya saat tuturan seseorang kakak yang berusaha melindungi adiknya “awas kau berani membu atnya menangis”. Tuturan tersebut menyatakan perasaan emosi dan untuk mengungkapkan ancamannya kepada orang tersebut, digunakan kata seru. c. Fungsi Direktif Fungsi direktif digunakan untuk mempengaruhi perilaku atau sikap orang lain. Contoh paling nyata dalam fungsi direktif adalah penggunaan kalimat perintah. Fungsi kontrol sosial ini dalam hal pesannya lebih memberikan tekan pada sisi penerima dan bukan pada penutur. Misalnya saat seorang mahasiswa yang menjadi profokator demo berusaha mempengaruhi pikiran mahasiswa lain untuk melaksanakan demo kenaikan harga BBM. Orang tersebut menggunakan kata-kata berdaya bujuk dan berusaha meyakinkan masa agar dapat menggalang pendemo yang lebih banyak. d. Fungsi Phatik Fungsi phatik ialah fungsi yang mrnjaga agar garis komunikasi tetap terbuka, dan untuk terus menjaga hubungan sosial secara baik. Tugas komunikasi bahasa pada fungsi ini adalah yang paling ringan. Misalnya sekedar mengatakan “selamat pagi” untuk mengawali suatu percakapan. e. Fungsi Estetik Fungsi estetik merupakan penggunaan bahasa demi hasil karya itu sendiri dan tanpa maksud yang tersembunyi. Namun dalam memunculkan daya bahasa, sebenarnya dapat menggunakan fungsi estetik ini untuk maksud tertentu seperti menyindir. Fungsi estetik ini dapat diwujudkan dengan menggunakan gaya bahasa dan majas tertentu. Misalnya penggunaan majas simile dalam tuturan berikut: “Rapi sekali kamarmu seperti kapal pecah”. Tuturan tersebut menggunakan kata „seperti‟ sebagai penanda penggunaan majas simile. Tuturan tersebut menggunakan fungsi estetik, namun sebenarnya ingin mengungkapkan bahwa kamar tersebut benar-benar berantakan. Dengan kata lain, tuturan tersebut mempunyai maksud tertentu, yaitu menyindir. Kelima fungsi komunikatif dalam berbahasa ini saling berhubungan dan tidak dapat berdiri sendiri. Satu kalimat atau percakapan bisa menggabungkan banyak fungsi berlainan secara bersamaan Brown 2008:247. Fungsi komunikatif ini selalu berhubungan dengan lima situasi komunikasi Leech. 2003:65, yaitu 1 pokok persoalan, 2 sumber yaitu penutur dan penulis, 3 penerima yaitu pendengar atau pembaca, 4 sarana komunikasi, dan 5 pesan bahasa. hubungan kelima fungsi komunikatif dengan situasi komunikasi dapat dilihat dalam bagan berikut. SALURAN tentang Fungsi: ekspresif phatik informasional estetik direktif Berdasarkan bagan tersebut dapat dilihat bahwa saat kita mengucapkan sesuatu, terdapat beberapa fungsi komunikatif bahasa yang lagsung muncul dengan sendirinya. Seperti yang telah dikatakan diatas, bahwa fungsi komunikatif dalam berbahasa dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Daya bahasa dan nilai rasa bahasa dapat dimunculkan melalui bunyi, kata, frasa, klausa, kalimat, wacana dan organisasional lainnya yang digunakan dalam suatu tutruran. Misalnya fungsi ekspresif dapat memunculkan perasaan sedih, marah, kecewa, dan lain sebagainya. Perhatikan contoh tuturan di bawah ini yang menggunakan fungsi ekspresif dan dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa berikut. “Sebagai rakyat, kita ini sudah capek harus prihatin terus. Tidak ada tindakan yang real tetapi hanya ngomong prihatin-prihatin saja”. PESAN PENDENGAR atau PEMBACA PENUTUR atau PEMBACA POKOK PERMASALAHAN Tuturan tersebut mengandung fungsi ekspresif, yaitu rasa bosan dan kesal dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berkaitan dengan Rangcangan Undang-Undang pilkada melalui DPRD. Pada saat itu, dalam pidatonya, presiden SBY menyatakan rasa prihatinnya tanpa melakukan suatu hal apa pun. Tuturan diatas mengandung nilai rasa kecewa, dan juga daya bahasa kritikan terhadap pemerintahan SBY. Kandungan nilai rasa bahasa yang terdapat diberbagai penggunaan bahasa dapat digali melalui berbagai cara. Tentu, penggalian daya bahasa dan nilai rasa bahasa seperti itu sangat bergantung kepekaan, kreativitas, dan kemahiran peneliti tentang pemakaian bahasa. Makna selalu terkandung di dalam kata atau kalimat, sedangkan nilai rasa atau maksud terkandung dalam benak penutur atau mitra tutur. Nilai rasa bukan hanya terdapat dalam kata sifat ajektiva tetapi juga pada kata benda nomina, kata kerja verba dan juga kata ganti pronomina. Jika digunakan secara tepat dalam komunikasi, nilai rasa bahasa dapat mencerminkan watak dan kepribadian seseorang atau menimbulkan kesan tertentu pada mitra tutur. Persepsi seorang penutur terhadap tuturan yang dihasilkan akan mencerminkan watak dan kepribadiannya. Misalnya: “Waktu ujian, dia pernah saya tolong dengan memberikan kunci jawaban saya, dan akhirnya dia bisa lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Namun setelah masuk dalam dunia kerja, kami saling bersaing dan dia berusaha menjerumuskan saya dengan cara menfitnah saya di depan bosSungguh tidak tahu diuntung”. Kata „menjerumuskan‟ dan frasa „tidak tahu diuntung‟ bagi penutur adalah ungkapan untuk melampiaskan kekecewaan pada subjek yang dibicarakan. Jika mitra tutur mampu menangkap pesan yang dimaksud oleh penutur, kata-kata tersebut mengandung nilai rasa yang kasar karena ada unsur kekecewaan penutur kepada subjek yang dibicarakan. Disamping itu, nilai rasa bahasa juga dapat dipersepsi oleh mitra tutur atas maksud penutur. Misalnya pada tuturan berikut: “Kalau memperhatikan penampilan kamu hari ini, rasanya kamu lebih segar dan tampak cantik ”. Meskipun kata kamu digunakan dengan makna yang sama dengan contoh di atas, tetapi dengan digunakannya kata segar dan cantik, mitra tutur mempersepsi bahwa tuturan itu merupakan pujian penutur kepada mitra tutur. Makna dan maksud dalam suatu tuturan ada yang berbeda tetapi ada pula yang sama. Makna dan maksud yang sama biasanya terdapat pada tuturan atau komunikasi formal, seperti dalam seminar, dosen memberi kuliah, atau bawahan yang sedang berbicara kepada atasan karena ingin menyampaikan informasi. Misalnya pada contoh berikut: “Berapa orang koruptor yang tertangkap dalam operasi intelejen kemarin malam? ”. Makna dari ujaran di atas adalah berupa pertanyaan, sedangkan maksud yang ingin ditanyakan adalah informasi mengenai “berapa banyak jumlah koruptor yang ditangkap”. Dengan demikian, makna dan maksud dalam tuturan di atas adalah sama. Namun, ada pula makna dan maksud yang terdapat dalam tuturan bisa berbeda. Perhatikan contoh berikut: “Wah rajin benar kamu, kertas berserakan di mana-mana”. Contoh tersebut seakan bermakna pujian karena diawali dengan “rajin benar kamu”. Namun, setelah dirangkai dengan “kertas berserakan di mana-mana” penutur jelas tidak bermaksud memberi pujian tetapi fungsi komunikatif yang terkandung justru berupa sindiran atau ejekan kepada mitra tutur. 2.2.8 Dialog Interaktif Dialog interaktif sering juga disebut dengan talk show. Program talk show menurut Darmanto 1998:100 adalah perbincangan dengan tukar menukar pendapat, dimana pemimpin acara dapat mengatur dan bertindak mengambil peranan aktif tanpa menarik kesimpulan, terkadang acaranya diselingi hiburan oleh peserta atau pemimpin acara itu sendiri. Pendapat tersebut sejalan dengan Masduki 2004:80 yang mengungkapkan talk show merupakan kategori program special atau program wawancara sebagai acara, karena mengacu pada arti katanya sendiri yaitu talk obrolan dan show gelaran.Program talk show adalah sebuah show yang di udarakan secara global sebagai hiburan entertainment. Karena itu, talk show harus menghibur para pendengar dan seorang pewawancara karenanya harus memiliki skill sebagai penghibur. Dari beberapa pendapat diatas, dapat dipahami bahwa program interaktif atau talk show adalah perbincangan yang menghadirkan narasumber ke dalam studio dan melibatkan peran serta dari pendengar sehingga dapat terjadi suatu interaksi antara narasumber dan pembawa acara juga antara pendengar dan narasumber. Acara Sentilan Sentilun merupakan salah satu contoh talk show yang disiarkan oleh metro TV setiap hari Senin, pukul 22.30 sampai 23.30. Acara tersebut selalu membahas topik-topik yang up to date dengan menghadirakan bintang tamu berupa pakar-pakar yang sesuai dengan bidangnya. Acara tersebut diselingi dengan humor ringan sehingga terkesan segar dan tidak membosankan. Di dalam acara tersebut banyak terdapat daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. 2.2.9 Kesantunan Berbahasa Bahasa merupakan ceriminan kepribadian seseorang. Melalui bahasa yang digunakan, kita dapat mengetahui kepribadian orang tersebut. Bahasa yang dimaksud dapat berupa bahasa verbal dan bahasa non-verbal. Bahasa verbal adalah bahasa yang dimuculkan melalui kata-kata bisa dalam bentuk ujaran maupun tulisan, sedangkan bahasa non-verbal ialah bahasa yang diungkapkan melalui mimik, gerakan tubuh, sikap, dan perilaku Pranowo,2012:3. Bahasa santun adalah penggunaan bahasa baik verbal maupun non- verbal yang mencerminkan sikap halus dan budi baik seorang penutur terhadap mitra tutur sehingga komunikasi dapat berjalan dengan baik. Kesantunan berbahasa ini sangat penting untuk menentukan keberhasilan komunikasi sehingga maksud suatu ujaran dapat tersampaikan tanpa menyinggung perasaan mitra tutur. Penggolongan suatu tuturan termasuk santun atau tidak santun dapat dilihat dari indikator kesantunan. Indikator kesantunan adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa Indonesia penutur santun atau tidak Pranowo,2012:100. Penanda tersebut dapat berupa unsur kebahasaan dan non kebahasaan. Di dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan dua indikator kesantunan, yaitu menurut Leech 1983 dan Pranowo 2005. Penutur menganggap bahwa kedua pendapat ahli tersebut dapat mewakili pendapat-pendapat ahli sebelumnya karena isi indikator keduanya saling melengkapi. Masing-masing indikator kesantunan menurut Leech dan Pranowo akan dijelaskan sebagai berikut. a. Indikator kesantunan menurut Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103. Di dalam penelitian sebelumnya, Leech memandang bahwa prinsip kesantunan sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung untuk mengungkapkan maksudnya. Prinsip kesantunan tersebut biasanya menggunakan fenomena implikatur untuk memunculkannya. Misalnya dalam contoh tuturan berikut: “Siang ini sangat panas ya?” Konteks tuturan: tuturan tersebut dikatakan oleh seorang tamu yang tidak diberi minum oleh tuan rumah Di dalam tuturan tersebut penutur menggunakan kalimat tanya untuk mengimplikasikan sindiran bagi mitra tutur tuan rumah karena dirinya tidak disuguhi minuman saat bertamu. Namun, meskipun tidak harus menggunakan implikatur, Leech juga berpendapat bahwa indikator kesantunan berbahasa dapat di ungkapkan ke dalam tujuh maksim, yaitu: a Tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur maksim kebijaksanaan “tact maxim”. b Tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur maksim kedermawanan “generosity maxim”. c Tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur maksim pujian “praise maxim”. d Tuturan tidak memuji diri sendiri maksim kerendahan hati. e Tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur maksim kesetujuan “agreement maxim”. f Tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur maksim simpati “sympathy maxim”. g Tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang pada mitra tutur maksim pertimbangan “consideration maxim”. b. Indikator kesantunan menurut Pranowo 2005 dan 2008, dalam Pranowo 2012:103. Indikator kesantunan menurut Pranowo 2005 terdiri dari enam butir pokok, yaitu: a Perhatikan suasana perasaan mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat membuat hati mitra tutur berkenan angon rasa. b Pertemukan perasaan Anda dengan perasaan mitra tutur sehingga isi komunikasi sama-sama dikehendaki karena sama-sama diinginkan adu rasa. c Jagalah agar tuturan dapat diterima oleh mitra tutur karena mitra tutur sedang berkenan di hati empan papan. d Jagalah agar tuturan memperlihatkan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur sifat rendah hari. e Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa mitra tutur diposisikan pada tempat yang lebih tinggi sikap hormat. f Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur sikap tepa selira. Selain itu, indikator di atas juga dapat dilihat melalui pemakaian kata- kata tertentu sebagai pilihan kata diksi yang dapat mencerminkan rasa santun, misalnya: a Gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan orang lain. b Gunakan frasa “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain. c Gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan dapat menyinggung perasaan orang lain. d Gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain melakukan sesuatu. e Gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dinilai lebih dihormati. f Gunakan kata “BapakIbu” untuk menyebut orang kedua dewasa. Di dalam penelitian lanjutan Pranowo,2008 menemukan indikator kesantunan tambahan berupa nilai-nilai luhur yang dapat mendukung kesantunan. Nilai-nilai tersebut yaitu sifat rendah hati, sikap empan papan, sikap menjaga perasaan, sikap mau berkorban, dan sikap mawas diri Pranowo 2008 dalam Pranowo 2012:111-121. Secara ringkas, kelima nilai- nilai luhur pendukung kesantunan akan dijabarkan sebagai berikut. a Sifat rendah hati Rendah hati sebenarnbya merupakan sifat hakiki manusia untuk menjaga harkat dan martabat dirinya yang berefek pada penghormatan dan penghargaan terhadap orang lain. Sifat rendah hati merupakan produk dari kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri agar tidak sombong dengan menjaga kerukunan hubungan dan memberi penghormatan kepada orang lain. Sifat rendah hati dapat dimanifestasikan melalui sikap tenggang rasa, malu, rasa hormat, rukun, dan mau mengalah. b Sikap empan papan Empan papan adalah kesanggupan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan tempat dan waktu dalam berbicara kepada mitra tutur. Sikap ini dianggap nilai luhur karena seseorang mampu mengendalikan diri untuk tidak mengganggu orang lain dalam situasi tertentu yang berbeda dengan situasi normal. c Sikap menjaga perasaan Di dalam bertutur kata, hendaknya kita tidak hanya mengandalkan pikiran, melainkan juga perasaan. Meskipun yang akan dikomunikasikan adalah buah pikiran, tetapi ketika akan menyapaikan maksud kepada mitra tutur, biasanya terlebih dahulu berusaha menjajagi kondisi prikologis mitra tutur njaga rasa. Hal ini dimaksudkan agar komunikasi selalu terjaga kesantunannya. Penjajakan kondisi psikologis mitra tutur ini dilakukan dengan mengenali suasana hati mitra tutur ini dilakukan dengan mengenali suasana hati mitra tutur angon rasa. Jika penutur sudah berhasil mengenali suasana hati mitra tutur, penjajakan selanjutnya adalah mengenali kesiapan hati mitra tutur adu rasa. Jika suasana dan kesiapan hati mitra tutur sudah berhasil dikenali, penutur baru berusaha menyampaikan maksud tuturan dengan cara yang sesuai dengan kesiapan hati mitra tutur. d Sikap mau berkorban Sikap mau berkorban ialah kesanggupan seseorang untuk mau berkorban dengan mengesampingkan lepentingan diri sendiri dan tetap mau bekerja untuk kepentingan orang lain. Sikap mau berkorban ini menjadi salah satu nilai luhur pendukung kesantunan karena penutur berusaha memberikan keuntungan kepada mitra tutur walaupun dirinya sendiri dirugikan. e Sikap mawas diri Setiap orang hendaknya mampu mawas diri terhadap segala yang pernah diakukannya. Mawas diri adalah sikap menyadari semua perbuatan yang dilakukan untuk dijadikan sebagai refleksi dan pegangan penilaian terhadap perilaku orang lain yang dianggap sama dengan perilakunya. Sikap mawas diri ini merupakan salah satu nilai luhur pendukung kesantunan karena saat mitra tutur melakukan sesuatu atau berkata sesuatu mengenai hal yang kurang berkenan dihati, penutur dapat memaklumninya dan tidak berusaha menyalahkan mitra tutur.

2.3 Kerangka Berpikir

Dokumen yang terkait

Unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada ``Catatan Pinggir`` Majalah Tempo Edisi Januari - September 2013 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 2 2

Unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi pada top news di Metro TV bulan November-Desember 2014.

3 49 352

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada dialog interaktif Indonesia Lawyers Club Tv One periode November 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 1 317

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada prosa lirik Pengakuan Pariyem sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 0 315

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada tuturan berita politik koran Kompas edisi September - Oktober 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 7 307

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur koran tempo edisi September - Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 4 298

SIKAP MASYARAKAT SURABAYA TERHADAP ACARA SENTILAN SENTILUN DI METRO TV (Studi Deskriptif Sikap Masyarakat Surabaya Terhadap Acara Sentilan Sentilun di METRO TV).

0 1 82

SIKAP MASYARAKAT SURABAYA TERHADAP ACARA SENTILAN SENTILUN DI METRO TV (Studi Deskriptif Sikap Masyarakat Surabaya Terhadap Acara Sentilan Sentilun di METRO TV)

0 0 25

GAYA BAHASA SINDIRAN DALAM ACARA “SENTILAN SENTILUN” DI METRO TV EPISODE SEPTEMBER 2015 - repository perpustakaan

0 0 14

B 02 Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa Sebagai Penanda Kesantunan Dalam Berkomunikasi

0 0 20