Oktober dan November 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat nilai rasa  bahasa  pada  Acara  Mata  Najwa,  Metro  TV.  Ada  18  jenis  nilai  rasa  yang
ditemukan dalam dialog interaktif tersebut, yaitu nilai rasa halus, nilai rasa kasar, nilai rasa sehat, nilai rasa takut, nilai rasa yakin, nilai rasa heran, nilai rasa merasa
bersalah, nilai rasa sedih, nilai rasa bahagia, nilai rasa marah, nilai rasa menerima, nilai  rasa  cinta,  nilai  rasa  benci,  nilai  rasa  tertekan,  nilai  rasa  pesimis,  nilai  rasa
bebas, nilai rasa malu, dan nilai rasa bosan Suryani, 2013:100.  Selain jenis nilai rasa bahasa, peneliti juga menemukan ciri-ciri diksi yang menandai berbagai jenis
nilai  rasa  bahasa  yang  ditemukan.  Peneliti  juga  mengambil  kesimpulan  bahwa bahasa  yang  digunakan  dalam  dialog  interaktif  di  televisi  banyak  menggunakan
tuturan yang mengandung nilai rasa dan jenis nilai rasa yang paling banyak adalah nilai rasa halus.
Perbedaan  kedua  penelitian  di  atas  dengan  penelitian  ini  terletak  pada bidang  kajian  dan  objek  yang  akan  dikaji.  Penelitian  ini  akan  mengkaji  tentang
unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang ada dalam tuturan-tuturan presenter dan bintang tamu sebagai penanda kesantunan
berkomunikasi.  Objek  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  juga  berbeda,  yaitu acara Sentilan Sentilun periode Agustus sampai September 2014. Penelitian yang
membahas  mengenai  kajian  dan  objek  tersebut  secara  spesifik  belum  pernah dilakukan sebelumnya.
2.2 Kajian Teoretis
Penelitian unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV merupakan penelitian bidang
linguistik  dengan  kajian  bahasa  dari  sudut  pandang  semantik  dan  pragmatik. Kedua  teori  tersebut  dipakai  untuk  memecahkan  masalah  yang  bekaitan  dengan
unsur  intralingual  dan  ekstralingual.  Teori  semantik  digunakan  untuk memecahkan  masalah  yang  bersifat  intralingual,  sedangkan  teori  pragmatik
digunakan  untuk  memecahkan  masalah  yang  bersifat  ekstralingual.  Kedua  teori tersebut  dipakai  sebagai  ancangan  untuk  mengidentifikasi  serta  mendeskripsikan
unsur  intralingual  dan  ekstralingual  daya  bahasa  dan  nilai  rasa  bahasa.  Setelah unsur  intralingual  dan  ekstralingual  tersebut  ditemukan,  kemudian  dianalisis
menggunakan  teori  kesantunan  untuk  menentukan  santun  tidaknya  tuturan tersebut  dalam  suatu  tindak  komunikasi.  Kajian  teoritis  yang  digunakan  adalah
sebagai berikut. 2.2.1
Kajian Bahasa secara Semantik Semantik  merupakan  ilmu  dalam  bidang  linguistik  yang  mempelajari
makna  suatu  tanda-tanda  linguistik  Chaer,2013:2.  Pendapat  tersebut  didukung oleh  I  Dewa  Putu  dan  Rohmadi  2011:2  yang  mengungkapkan  bahwa  semantik
merupakan ilmu yang mempelajari makna unsur kebahasaan meliputi bunyi, suku kata,  morfem  pada  umunya,  kata,  frasa,  klausa,  kalimat,  dan  wacana.  Suatu
tuturan baik lisan maupun tulisan mengandung makna tertentu yang dapat berdiri sendiri.  Kajian  bahasa  secara  semantik  menempatkan  bahasa  dalam  pemakaian
yang terbebas  dari konteks.  Makna dan maksud  bahasa diinterpretasi dari  unsur- unsur lingual  yang membentuk  wacana.  Makna  dan maksud dapat  dipahami dari
unsur-unsur bahasa yang digunakan untuk menyusun satuan makna.
Makna yang terdapat dalam suatu tuturan dapat memunculkan daya bahasa dan  nilai  rasa  bahasa.  Perlu  diingat  bahwa  makna  merupakan  substansi  paling
penting  dalam  kajian  intralingual.  Suatu  bunyi,  kata,  frasa,  klausa,  dan  kalimat tanpa  dimaknai,  maka  tidak  akan  menjadi  unsur  intralingual  yang  mampu
memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Misalnya pada tuturan berikut: “Saya sudah hidup sebatangkara sejak kecil”.
Tuturan  tersebut  memiliki  makna  bahwa  penutur  sudah  terbiasa  hidup  sendiri karena  sudah  tidak  mempunyai  orang  tua  dan  sanak  saudara.  Tuturan  tersebut
menimbulkan rasa kasihan dan iba yang dirasakan oleh mitra tutur. 2.2.2
Kajian Bahasa secara Pragmatik Pragmatik  merupakan  ilmu  tentang  bahasa  yang  membahas  tentang
maksud  yang  ingin  disampaikan  penutur  kepada  mitra  tutur.  Menurut  Yule 2006:5,  pragmatik  adalah  studi  tentang  hubungan  antara  bentuk-bentuk
linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Pragmatik banyak kita temukan dalam setiap  percakapan.  Pendapat  Yule  tersebut  didukung  oleh  Nadar  2009:2  yang
mengungkapkan  bahwa  pragmatik  merupakan  cabang  ilmu  linguistik  yang mempelajari bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu.
Berdasarkan  pendapat  beberapa  ahli  diatas,  dapat  disimpulkan  pragmatik merupakan kajian ilmu linguistik yang membahas hubungan antara bentuk-bentuk
lingusitik  dan  pemakainya  dalam  percakapan  dengan  tujuan  menyampaikan maksud tertentu dan melibatkan situasi konteks tertentu.
Konteks  merupakan  kajian  yang  paling  penting  dalam  pragmatik.  Nadar 2009:4  berpendapat  bahwa  konteks  merupakan  situasi  lingkungan  yang
memungkinkan  penutur  dan  mitra  tutur  untuk  dapat  berinteraksi,  dan  membuat ujaran  mereka dapat dipahami. Pendapat ini didukung oleh Halliday dan Hassan
dalam Rani, 2006:188 yang menyebutkan bahwa yang dimaksud konteks adalah teks yang menyertai teks lain.
Berdasarkan  pendapat  kedua  ahli  tersebut,  dapat  disimpulkan  konteks adalah suatu hal  yang menyertai  sebuah  tuturan  agar dapat  diketahui  maksudnya
oleh  penutur  maupun  mitra  tutur.  Hal  tersebut  tidak  hanya  yang  dilisankan  dan dituliskan,  tetapi  termasuk  pula  kejadian-kejadian  yang  bukan  kata-kata  lainnya
dalam keseluruhan lingkungan teks maupun tuturan tersebut.  Tanpa konteks yang menyertai  tuturan  tersebut,  kita  tidak  dapat  mengetahui  maksud  penutur.  Letak
konteks  disini  sangat  penting  untuk  mengetahui  maksud  dibalik  suatu  tuturan. Apabila  maksud  suatu  tuturan  ini  dapat  tersampaikan  dengan  baik,  maka  dapat
dikatakan bahwa efek komunikatif yang dihasilkan oleh tuturan tersebut berhasil. Yule  2006:13-81  serta  Brown  dan  Yule  1996:38,  mengungkapkan
bahwa  konteks  dapat  diketahui  melalui  berbagai  aspek  pragmatik  yang  meliputi 1  praanggapan,  2  tindak  tutur,  3  implikatur,  4  deiksis,  5  referensi,  6
inferensi  dan  7  latar  belakang  penutur.  Secara  terperinci,  ketujuh  aspek pragmatik  yang  digunakan  untuk  memunculkan  konteks  akan  diuraikan  sebagai
berikut. 1
Praanggapan Saat  berkomunikasi,  untuk  dapat  menangkap  maksud  tuturan  yang
diungkapkan oleh mitra tutur terlebih dahulu kita harus memiliki pengetahuan awal  tentang  hal  yang  dibicarakan.  Menurut  Yule  2006:  43,  praanggapan
adalah  sesuatu  yang  diasumsikan  oleh  penutur  sebagai  kejadian  sebelum menghasilkan  suatu  tuturan.  Bila  penutur  memiliki  pranggapan  yang  sama
dengan mitra tutur, maka tidak mungkin terjadi miskomunikasi. Misalnya saat penutur mengatakan:
“SBY mengunjungi korban jatuhnya pesawat Hercules”. Praanggapan  yang  terkandung  dalam  tuturan  diatas  adalah  presiden  ikut
bersimpati pada korban jatuhnya pesawat Hercules. Untuk memahami tuturan diatas, mitra tutur harus memiliki pengetahuan yang sama bahwa SBY adalah
nama  presiden  yang  merupakan  akronim  Susilo  Bambang  Yudhoyono. Pengetahuan  yang  sama  antara  penutur  dan  mitra  tutur  ini  diperlukan  agar
maksud dari tuturan diatas tepat  penginterpretasiannya. 2
Tindak Tutur Suatu  tuturan  yang  dihasilkan  oleh  seseorang  selalu  mengandung  3
tindak  yang  saling  berhubungan,  yaitu  lokusi,  ilokusi,  dan  perlokusi  Yule, 2006:83. Hal tersebut senada dengan pendapat Searle dalam Nadar 2009:14
yang  membagi  tindak  tutur  kedalam  tiga  macam  tindakan,  yaitu  tindak lokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak perlokusioner.
Tindak  lokusioner    adalah  tindak  tutur  yang  semata-mata  menyatakan sesuatu,  biasanya  dipandang  kurang  penting  dalam  kajian  tindak  tutur.
Berbeda  dengan  tindak  lokusi,  tindak  ilokusi  adalah  apa  yang  ingin  dicapai oleh  penuturnya  pada  waktu  menuturkan  sesuatu  dan  dapat  merupakan
tindakan  menyatakan,  berjanji,  minta  maaf,  mengancam,  meramalkan, memerintah,  meminta,  dan  lain  sebagainya.  Tindak  ilokusioner  dapat
dikatakan  sebagai  tindak  terpenting  dalam  kajian  dan  pemahaman  tindak tutur.  Jenis  tindak  tutur  yang  lain  adalah  tindak  perlokusioner,  yaitu  tidakan
untuk  memengaruhi  lawan  tutur  seperti  memalukan,  mengintimidasi, membujuk, dan lain-lain Nadar, 2009:14.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa tindak tutur mengandung tiga hal penting,  yaitu  apa  yang  kita  tuturkan  lokusi,  makna  yang  ada  di  dalam
tuturan  tersebut  ilokusi,  dan  efek  yang  muncul  dari  tuturan  tersebut perlokusi. Misalnya saat udara panas, dosen mengatakan:
“Panas sekali ya siang ini?”. Tuturan  tersebut  merupakan  tindak  tutur  tidak  langsung  yang  dinyatakan
dengan  bentuk  interogatif.  Tuturan  ini  dikeluarkan  dosen  ketika  konteksnya udara siang itu sangat panas dan menyebabkan tubuh menjadi gerah. Dibalik
tuturan  interogatif  tersebut  mengandung  maksud  lain,  yaitu  mahasiswa diminta untuk membuka jendela yang ada di ruangan tersebut agar angin bisa
masuk ke dalam ruangan. 3
Implikatur Implikatur  berarti  sesuatu  yang  diimplikasikan  dalam  suatu  percakapan
antara penutur dan mitra tutur. Di dalam tuturan yang sesungguhnya, penutur dan  mitra  tutur  dapat  secara  lancar  berkomunikasi  karena  mereka  berdua
memiliki  kesamaan  latar  belakang  pengetahuan  tentang  sesuatu  yang dipertuturkan  Rahardi,  2006:43.  Pendapat  tersebut  senada  dengan  Yule
2008:61  yang  mengungkapkan  bahwa  implikatur  merupakan  makna tambahan  yang  tersirat  dalam  suatu  tuturan  diluar  makna  yang  sebenarnya.
Penutur  berharap  pendengar  akan  mampu  menentukan  implikatur  yang dimaksud dalam konteks berdasarkan apa yang sudah diketahui.
Levinson  1983  dalam  Nababan  1987:28-30  melihat  kegunaan  konsep implikatur terdiri  dari empat hal,  yaitu i konsep implikatur memungkinkan
penjelasan fungsional  yang bermakna atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau  oleh  teori  linguistik,  ii  konsep  implikatur  memberikan  suatu
penjelasan  yang  tegas  atau  eksplisit  tentang  bagaimana  mungkinnya  bahwa apa  yang  diucapkannya  secara  lahiriah  berbeda  dari  apa  yang  dimaksud  dan
bahwa  pemakai  bahasa  itu  mengerti  pesan  yang  dimaksud,  iii  konsep implikatur ini kelihatannya dapat meneyederhanakan pemerian semantik dari
perbedaan hubungan antar klausa, iv hanya beberapa butir saja dasar-dasar implikatur dapat menerangkan berbagai macam fakta atau gejala yang secara
lahiriah kelihatan tidak berkaitan dan berlawanan. Berdasarkan  beberapa  pendapat  ahli  diatas,  dapat  disimpulkan  bahwa
implikatur merupakan maksud yang ingin disampaikan melalui suatu tuturan. Implikatur  ini  hanya  dapat  berjalan  karena  adanya  kesepahaman  antara
penutur dan mitra turur. Misalnya pada tuturan yang berikut: “Segera bersihkan kamarmu, Ibu sudah pulang”.
Tuturan  tersebut  tidak  semata-mata  memberitahukan  bahwa  ibu  sudah datang.  Si  penutur  berusaha  memperingatkan  mitra  tutur  untuk  segera
membersihkan kamarnya, bila tidak maka ibunya tersebut akan marah-marah. Tuturan  tersebut  mengimplikasikan  bahwa  ibu  mempunyai  karakter  yang
cerewet dan tidak suka melihat kamar yang berantakan. Jadi, dengan adanya
implikatur  yang  membentuk  konteks  tuturan  antara  penutur  dan  mitra  tutur akan  mempunyai  kesepahaman  dalam  menginterpretasikan  maksud  tuturan
tertentu. 4
Deiksis Menurut  Suryani  2013:29  deiksis  adalah  kata,  frasa,  atau  ungkapan
yang  referensinya  dapat  berubah  atau  berganti-ganti.  pendapat  tersebut dilengkapi oleh Yule 2006: 13 mengungkapkan bahwa deiksis adalah istilah
teknis dari bahasa Yunani untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan  tuturan.  Deiksis  berarti
“penunjukkan” melalui bahasa. Jenis deiksis ada  empat,  yaitu  deiksis  persona  dan  deiksis  sosial,  deiksis  tempat,  deiksis
sosial,  dan  deiksis  wacana  Cummings,  2007:32-42.  Jenis  deiksis  tersebut akan dipaparkan sebagai berikut.
a. Deiksis persona dan deiksis sosial
Deiksis  persona  dan  deiksis  sosial  sangat  erat  hubungannya. Deiksis  persona  merupakan  kata  ganti  orang  seperti  ia,  dia,  beliau,  dan
sebagainya, sedangkan deiksis sosial harus mencakup penyebutan deiksis orang  tertentu.  Fungsi  deiktik  ungkapan-ungkapan  vokatif  amat  sangat
jelas,  yaitu  bahasa  yang  digunakan  untuk  menyapa,  memanggil,  atau menunjuk  seseorang  dan  menempatkannya  pada  referen  tertentu  dalam
konteks ruang-waktu ujaran. Perhatikan tuturan berikut: “Kasihan sekali beliau, diujung usia senjanya harus hidup
sebatangkara”. Tuturan  tersebut  mengandung  dua  deiksis,  yaitu  deiksis  persona  dan
deiksis  sosial.  Deiksis  persona  ditunjukkan  dengan  penggunaan  kata
“beliau” sebagai ganti orang, sedangkan deiksis personanya, penggunaan kata
“beliau”  menunjukkan  status  sosial  yaitu  penyebutan  untuk  orang yang lebih tua. Penggunaan kata
“beliau” dalam tuturan diatas dianggap lebih santun dari pada tuturannya menjadi:
“Kasihan  sekali  dia,  diujung  usia  senjanya  harus  hidup sebatangkara”.
Deiksis persona dan sosial ini dapat digunakan untuk mengetahui konteks yang digunakan untuk menginterpretasikan maksud tuturan.
b. Deiksis waktu
Deiksis  waktu  merupakan  kata  ganti  yang  menunjuk  referennya adalah  waktu  seperti  kata  kemarin,  minggu  lalu,  besok,  lusa,  dan
sebagainya. Melalui dieksis  waktu,  kita dapat  mengetahui konteks suatu tuturan  yang  digunakan  untuk  menginterpretasi  maksud.  Perhatikan
contoh tuturan berikut berikut: “Jangan  seperti  pemerintahan  kemarin  yang  hobinya
prihatin- prihatin mulu”.
Tuturan tersebut mengandung deiksis waktu, yaitu pada kata “kemarin”.
Melalu  deiksis  waktu  tersebut,  kita  dapat  memahami  konteks  tuturan. Deiksis
“kemarin”  ingin  mengungkapkan  era  pemerintahan  Susilo Bambang  Yudhoyono.  Konteks  tuturan  tersebut  adalah  menyindir
pemerintahan SBY terkesan diam. Dahulu, saat berpidato presiden Susilo Bambang  Yudhoyono  banyak  menggunakan  kata  „prihatin‟  pada  saat
pidatonya. Sebagai  contoh  saat  masalah DPR mengajukan RUU pilkada melalui  DPR,  SBY  terkesan  diam  saja.  Begitu  mendekati  pengesahan
RUU pilkada tersebut, SBY baru bertindak dengan mengeluarkan Perpu pilkada.
c. Deiksis tempat
Deiksis  waktu  merupakan  kata  ganti  yang  menunjuk  referennya adalah tempat seperti  kata disini,  disitu,  tempat  tertentu,dan sebagainya.
Perhatikan tuturan berikut: “Hakim harus berada di tengah dalam setiap kasus”.
Tuturan  tersebut  menggunakan  deiksis  tempat,  yaitu  pada  kata “di
tengah”.  Melalui  penggunaan  deiksis  tersebut,  konteks  tuturan  dapat diketahui, yaitu protes terhadap hakim yang sering tidak adil.
d. Deiksis wacana
Deiksis wacana menggunakan ungkapan linguistik untuk mengacu pada suatu bagian tertentu dari wacana yang lebih luas baik teks tertulis
maupun lisan tempat terjadinya ungkapan-ungkapan tersebut. Perhatikan contoh tuturan berikut:
“Kami harap Pak Jokowi dapat membawa Indonesia menjadi lebih baik, seperti saat kinerjanya mengatasi
masalah di Jakarta”. Tuturan  tersebut  mengandung  mengandung  deiksis  wacana,  yaitu
dikaitkan  dengan  kinerja  Pak  Jokowi  saat  menjadi  gubernur  Jakarta. Masyarakat memandang bahwa kinerja Pak Jokowi saat itu sudah cukup
baik. Deiksis wacana yang digunakan dapat memunculkan konteks dalam tuturan tersebut. Konteks tuturan tersebut adalah Harapan rakyat kepada
pak Jokowi yang terpilih sebagai presiden saat ini.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa bentuk bahasa yang digunakan untuk menunjuk sesuatu berdasarkan referen tertentu
persona  orang,  tempat,  sosial,  dan  wacana  merupakan  deiksis.  Melalui contoh-contoh  yang  dipaparkan  di  atas,  keempat  jenis  deiksis  tersebut  dapat
memunculkan  konteks  yang  digunakan  untuk  menginterpretasikan  maksud suatu tuturan.
5 Referensi
Lynons  1977  dan  Strawson  1950  dalam  Brown  dan  Yule  1996:28 mengungkapkan referensi adalah ungkapan seorang penutur yang didasarkan
pada acuan suatu bentuk linguistik tertentu. Pendapat tersebut didukung oleh Yule 2008:28 yang mengungkapkan bahwa referensi dalam jangkauan yang
luas  didasarkan  pada  asumsi  penutur  terhadap  apa  yang  sudah  diketahui pendengar.
Berdasarkan  pendapat  kedua  ahli  di  atas  dapat  disimpulkan  bahwa referensi adalah suatu tuturan yang didasarkan pada rujukan bentuk linguistik
tertentu  yang  sebelumnya  juga  sudah  diketahui  oleh  mitra  tutur.    Rujukan tersebut  dapat  berupa  tuturan  atau  perilaku  mitra  tutur  sebelumnya  yang
menimbulkan  tanggapan  dari  penutur.  Referensi  ini  juga  dapat  digunakan untuk  mengetahui  konteks  suatu  tuturan,  misalnya  pada  contoh  tuturan
berikut. “Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu. Sekarang kamu tahu
kan hukuman yang harus kamu terima” Seorang  penutur  merasa  simpati  karena  temannya  dihukum  oleh
guru karena ketahuan membolos saat pelajaran berlangsung.
Konteks tuturan tersebut diketahui melalui fenomena referensi, yaitu rujukan perilaku  mitra  tutur  sebelumnya  yang  membolos  saat  pelajaran  berlangung.
Penutur dam mitra tutur sebelumnya sudah sama-sama mengetahui kesalahan apa yang dimaksud dalam tuturan.
6 Inferensi
Inferensi  merupakan  penyimpulan  penutur  mengenai  kejadian  tertentu Yule,2006:28. Pendapat tersebut dilengkapi oleh Brown dan Yule 1996:33
yang mengungkapkan bahwa referensi merupakan usaha menarik kesimpulan untuk dapat menafsirkan ujaran-ujaran atau hubungan antra ujaran. Penarikan
kesimpulan  tersebut  berdasarkan  pada  banya  fakta  mengenai  suatu  hal sebelumnya  sehingga  penutur  berbicara  berdasarkan  penarikan  kesimpulan
atas  fakta-fakta  yang  ia  miliki  sebelumnya  mengenai  suatu  hal.  Inferensi tersebut dapat memunculkan sebuah konteks, misalnya dalam contoh tuturan
berikut. “Sepertinya saat ini sudah memasuki musim kemarau”
Cuaca siang itu sangat cerah dan tidak ada awan. Disamping itu, udara di pagi hari sangat dingin.
Konteks  tuturan  tersebut  dimunculkan  melalui  fenomena  referensi  karena sebelumnya  penutur  mempunyai  beberapa  fakta  mengenai  ciri-ciri  musim
kemarau  sehingga  penutur  dapat  menyimpulkan  bahwa  saat  ini  sudah memasuki musim kemarau.
7 Latar Belakang Penutur
Latar  belakang  penutur  pengetahuan  sebelumnya  yang  dimiliki  oleh mitra  tutur  mengenai  seorang  penutur.  Brown  dan  Yule  1997:38
mengungkapkan  bahwa  pengetahuan  tentang  penutur  pada  peristiwa komunikatif  tertentu  memungkinkan  mitra  tutur  membayangkan  apa  yang
mungkin dikatakan oleh penutur. Jika  seorang  mengetahui  latar  belakang  penutur,  maka  mitra  tutur  dapat
memprediksi  apa  yang  akan  dikatakan  oleh  penutur  baik  dari  segi  bentuk maupun isi. Latar belakang penutur ini juga dapat memengaruhi kepercayaan
mitra tutur terhadap apa yang diucapkan oleh penutur, misalnya pada contoh tuturan berikut.
“Saat  ini  terdapat  banyak  mafia  migas  yang  meraup keuntungan”.
Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  seorang  pengamat  migas yang  mengetahui  seluk  beluk  migas  termasuk  praktik
kecurangan mafia migas.
Konteks  dalam  tuturan  diatas  diketahui  berdasarkan  latar  belakang  penutur, yaitu  berupa  pekerjaan.  Mitra  tutur  dapat  memercayai  perkataan  penutur
karena  dari  segi  pekerjaan  ia  telah  lama  menggeluti  dunia  migas  sehingga kebenaran tuturannya dapat dipertanggungjawabkan.
Berbagai  aspek  pragmatik  yang  dipaparkan  diatas  digunakan  untuk mengetahui  maksud  penutur  yang  diungkapkan  melalui  suatu  tuturan.  Maksud
tuturan  dapat  dilihat  melalui  konteks  yang  diketahui  melalui  fenomena praanggapan,    implikatur,  tidak  tutur,  deiksis,  referensi,  inferensi,  dan  latar
belakang  penutur.  Suatu  tuturan  selalu  diikuti  dengan  konteks  tertentu. Keberadaan  maksud  menjadi  sangat  penting  saat  kita  hendak  mengetahui  daya
bahasa dan nilai rasa bahasa yang muncul dalam suatu tuturan.
2.2.3 Unsur Intralingual
Unsur  intralingual  merupakan  segala  unsur  didalam  bahasa  yang  dapat berupa  bunyi,  kata,  frasa,  klausa,  dan  kalimat.  Unsur  intralingual  sering  disebut
juga  dengan  bahasa  verbal.  Menurut  Liliweri  1994:2  bahasa  verbal  merupakan penggunaan  tanda-tanda  atau  simbol-simbol  untuk  menjelaskan  suatu  konsep
tertentu.    Pemakaian  bahasa  verbal  memiliki  unsur  utama  berupa  kata,  frasa, klausa,  kalimat,  dan  wacana.  Pendapat  tersebut  sejalan  dengan  Pranowo  2013,
yang mengungkapkan bahwa kajian intraingual meliputi bunyi, kata, frasa, klausa, dan  kalimat.  Kajian  intralingual  tersebut  tidak  hanya  sebatas  pada  aspek
kebahasaan  saja,  melainkan  sampai  pada  makna.  Aspek-aspek  bahasa  tersebut tanpa dimaknai tidak akan ada artinya.
Unsur intralingual ini dapat digunakan dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis.  Unsur  intralingual  yang  digunakan  dalam  bahasa  tulis  ditandai  dengan
penggunaan  jeda pendek, sedang, panjang, dan panjang sekali  dapat  juga  berupa pemisahan  kata,  tanda  koma,  tanda  titik,  pergantian  paragraf,  dan  pergantian
wacana, sedangkan unsur intralingual yang digunakan dalam bahasa lisan ditandai dengan jeda berupa intonasi, tekanan, dan irama. Di samping itu, bahasa lisan juga
memanfaatkan  permainan  bunyi,  permainan  kata,  gaya  bahasa,  dan  idiom  yang dapat  memberi  efek  komunikatif  bagi  mitra  tutur.  Dengan  kata  lain,  nilai  rasa
bahasa  dapat  terjadi  dalam  bahasa  lisan  maupun  bahasa  tulis  tetapi  cara memasukkan  nilai  rasa  bahasa  berbeda-beda.  Secara  ringkas,  macam-macam
unsur intralingual tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.
1 Bunyi
Ilmu  yang mempelajari tentang bunyi disebut dengan fonologi. Menurut KBBI  2008:396,  fonologi  merupakan  bidang  linguistik  yang  menyelidiki
bunyi-bunyi  bahasa  menurut  fungsinya.  Pendapat  tersebut  didukung  oleh Muslich 2008:1, fonologi merupakan ilmu yang mengkaji bunyi-bunyi ujaran
secara mendalam.  Ilmu fonologi ini tidak terbatas pada bunyi  saja, melainkan berkaitan  dengan  fungsi  dari  rentetan  bunyi  tersebut.  Aspek  paling  penting
dalam kajian bunyi sebagai unsur intralingual ini adalah makna yang dihasilkan dari  rentetan  bunyi  tersebut.  Bunyi  tidak  akan  ada  artinya  bila  bunyi  tersebut
tidak mempunyai makna. Sudaryanto  1989  mengidentifikasikan  bahwa  bunyi  memiliki  makna
tertentu.  Pada  tataran  bunyi,  bunyi  i  memiliki  makna  yang  dapat menggambarkan  keadaan  yang  dipersepsi  sebagai  sesuatu  yang  kecil  pada
suatu  benda  seperti  pada  kata  “kerikil,  kutil,  kerdil,  dan  sebagainya.  Namun, sebelum  kata-kata  yang  mengandung  bunyi  i  dipakai  dalam  suatu  konteks
tuturan  tertentu,  daya  bahasanya  belum  muncul.  Misalnya  saat  orang mengatakan:
“Masalah ini hanya merupakan kerikil kehidupan”. Tuturan  tersebut  mempunyai  makna  bahwa  „masalah‟  yang  sedang
dihadapi  saat  ini  merupakan  masalah  yang  kecil.  Kata “kerikil”  bermakna
„batu kecil‟ sebagai pengungkapan masalah yang kecil. Pada  tuturan tersebut terdapat daya bahasa yang meyakinkan mitra tutur bahwa masalah yang sedang
dihadapinya bukanlah masalah yang berat sehingga menimbulkan keyakinan di benak mitra tutur bahwa ia mampu menyelesaikan masalah tersebut.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa bunyi merupakan  unsur  paling  dasar  sebelum  membentuk  suatu  kata.  Aspek  bunyi
yang  sangat  kecil  pun  dapat  menjadi  pembeda  makna  pada  suatu  kata.  Bunyi tidak  akan  ada  apa-apanya  tanpa  dimaknai.  Dengan  kata  lain,  aspek  bunyi
sangat  berhubungan  dengan  makna.  Aspek  bunyi  ini  dapat  dikatakan  sebagai unsur intralingual yang dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa.
2 Kata dan Pilihan Kata Diksi
Kata  ialah  satuan  bebas  yang  paling  kecil.  Kata  terdiri  dari  dua  macam satuan,  yaitu satuan fonologik dan satuan gramatik. Sebagai  satuan fonologik,
kata  terdiri  dari  satu  atau  beberapa  suku,  dan  suku  itu  terdiri  dari  satu  atau beberapa morfem. Misalnya kata belajar terdiri dari tiga suku kata, yaitu be, la,
dan  jar,  sedangkan  sebagai  satuan  gramatik,  kata  belajar  terdiri  dari  dua morfem yaitu ber- dan ajar Ramlan, 2009:33.
Setiap kata
pasti mengandung
makna tertentu
yang ingin
mengungkapkan  sebuah  gagasan  atau  sebuah  ide.  Kata-kata  adalah  alat penyalur  gagasan  yang  akan  disampaikan  kepada  orang  lain.  Kata-kata  ibarat
„pakaian‟  yang  dipakai  oleh  pikiran  kita.  Tiap  kata  memiliki  jiwa.  Setiap anggota  masyarakat  harus  mengetahui  „jiwa‟  setiap  kata,  agar  ia  dapat
menggerakkan orang lain dengan „jiwa‟ dari kata-kata yang dipergunakannya Keraf,  1987:21.  Namun  perlu  diingat  juga,  kata  merupakan  bagian  dari
kalimat.  Kata  tidak  dapat  menjadi  ekspresi  yang  lengkap  dan  penuh  jika  ia tidak menjadi kalimat sendiri Parera, 1988:3.
Kata  sebagai  satuan  dari  perbendaharaan  kata  sebuah  bahasa mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek isi makna.
Bentuk  atau  ekspresi  adalah  segi  yang  dapat  diserap  melalu  pancaindra,  yaitu dengan mendengar atau dengan melihat. Sebaliknya, segi isi atau makna adalah
segi  yang  menimbulkan  reaksi  dalam  pikiran  pendengar  atau  pembaca  karena rangsangan aspek bentuk tadi. Dengan kata lain, pengertian yang tersirat dalam
suatu  kata  mengungkapkan  sebuah  gagasan  atau  ide  penutur  dengsn  maksud dan tujuan tertentu terhadap mitra tutur.
Semakin banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula ide atau  atau  gagasan  yang  dikuasainya  dan  diungkapkannya  Keraf,  1987:21.
Dengan  menggunakan  pilihan  kata  atau  diksi  yang  tepat,  maka  pesan  yang akan kita sampaikan kepada mitra tutur akan lebih mengena. Diksi juga dapat
digunakan  untuk  mengungkapkan  hal-hal  yang  lebih  santun  berhubungan dengan nilai rasa bahasa. Misalnya pada tuturan berikut:
“Orang buta itu lewat di depan rumah” Ungkapan  tersebut  terasa  lebih  kasar  karena  menggunakan  kata  „orang
buta‟. Tuturan tersebut sebenarnya dapat diperhalus dengan diksi „tuna netra‟ untuk  menggantikan  kata  „orang  buta‟.  Dari  contoh  di  tersebut,  dapat
disimpulkan  bahwa  pilihan  kata  atau  diksi  mencakup  pemilihan  kata  yang dipakai  untuk  mengungkapkan  suatu  hal  dengan  mempertimbangakan  situasi
yang  tepat.  Selain  itu,  diksi  yang  digunakan  juga  dapat  menentukan  nuansa- nuansa makna dan bentuk yang sesuai dengan apa yang hendak dituturkan.
Kata dan pilihan kata ini juga dapat digunakan untuk memunculkan daya bahasa. Misalnya pada tuturan:
“Para tikus kantor itu harus segera kita basmi”. Konteks:  pimpinan  KPK  sedang  menginstruksikan
kepada  para  anggotanya  untuk  segera  membasmi  para koruptor.
Penggunaan  kata “tikus”  dan  “basmi”  dalam  tuturan  tersebut  mengandung
perintah.  Koruptor  diibaratkan  dengan  kata “tikus”  yang  merupakan  hama
yang merugikan. Kata „basmi‟ lebih menekankan bahwa semua koruptor benar- benar  harus  ditangkap  seluruhnya.  Kata
“tikus”  dan  “basmi”  lebih  berdaya bahasa dari pada tuturan tersebut menjadi:
“Para koruptor kantor itu harus segera kita tangkap” Bila  tuturan  diubah  menjadi  seperti  itu,  maka  daya  bahasa  yang  dihasilkan
kurang  kuat.  Daya  perintah  tuturan  kedua  ini  kurang  kuat  sehingga  mungkin pesan yang ingin disampaikan kepada mitra tutur kurang mengena. Disini juga
dapat dilihat bahwa terdapat nilai rasa dalam tuturan tersebut. Penutur merasa kesal dengan ulah para koruptor yang telah banyak merugikan negara.
Berdasarkan  beberapa  pengertian  dan  contoh  diatas,  dapat  disimpulkan bahwa  kata  dan  pilihan  kata  merupakan  satuan  gramatikal  terkecil  yang
mempunyai makna tertentu. Di dalam memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa, penggunaan kata menjadi sangat penting. Penggunaan pilihan kata atau
diksi  yang  tepat  akan  mampu  memperkuat  daya  bahasa  maupun  nilai  rasa dalam  benak mitra tutur.
3 Frasa
Frasa merupakan tataran yang lebih kompleks dari pada kata. Frasa dapat terbentuk dari beberapa kata atau lebih yang tidak melebihi batas fungsi unsur
klausa. Ramlan  2005:  138 mengungkapkan bahwa klausa merupakan satuan gramatik  yang  terdiri  dari  dua  kata  atau  lebih  yang  tidak  melampaui  batas
fungsi  unsur  klausa.  Pendapat  tersebut  sejalan  dengan  Samsuri  dalam  Arifin 2008:18  yang  menyatakan  bahwa  frasa  adalah  satuan  gramatikal  berupa
gabungan satu kata atau lebih yang sifatnya predikatif atau nonpredikatif. Frasa dapat berupa subjek, predikat, objek, keterangan, dan pelengkap.
Melalui  dua  pengertian  tersebut  dapat  disimpulkan  bahwa  frasa merupakan  satuan  gramatik  yang  terdiri  dari  beberapa  kata  dan  tidak
melampaui batas fungsi klausa, frasa ini mewakili suatu fungsi tertentu seperti predikat, objek, keterangan, dan pelengkap. Frasa ini juga dapat dipergunakan
untuk memunculkan nilai rasa bahasa seperti pada tuturan berikut: “Beliau gugur di medan perang”.
Frasa “beliau”  merupakan  subjek  dari  kalimat  tersebut.  Frasa  “beliau”
merupakan kata ganti orang yang mengungkapkan rasa lebih halus yaitu untuk bentuk julukan bagi orang yang lebih tua. Pada tuturan tersebut, frasa
“beliau” digunakan  untuk  menyebut  pahlawan  yang  telah  meninggal  karena  melawan
penjajah saat zaman sebelum kemerdekaan. Frasa “beliau” terasa lebih sopan
dari  pada  frasa “dia”.  Secara  semantis,  baik  frasa  “beliau”  maupun  “dia”
mempunyai makna yang sama dan sama-sama merupakan kata ganti orang.
Selain  untuk  memunculkan  nilai  rasa  bahasa,  frasa  juga  dapat  memunculkan daya bahasa, seperti pada tuturan berikut:
“Mafia migas itu harus kita babat habis”. Konteks:  Menteri  ESDM  menginstruksikan  kepada  tim
pembasmi  mafia  migas  untuk    segera  menangkap  seluruh mafia migas.
Frasa “mafia migas” dan “babat habis” merupakan objek dan predikat pada
tuturan tersebut. Frasa “mafia migas” mempunyai makna perkumpulan rahasia
yg  bergerak  di  bidang  kejahatan  tentang  penyelundupan  migas.  Frasa “babat
habis”  mempunyai  makna  harus  ditangkap  seluruhnya.  Kedua  frasa  tersebut mempunyai daya perintah, yaitu perintah menteri ESDM Energi Sumber Daya
Mineral  kepada anggota tim pembasmi mafia migas untuk segera menangkap seluruh  penjahat  migas.  Tuturan  diatas  lebih  berdaya  bahasa  dari  pada
tuturannya diubah menjadi: “Pencuri migas harus segera ditangkap seluruhnya”
Secara  semantis,  kedua  tuturan  tersebut  mempunyai  makna  yang  sama,  yaitu untuk mengangkap seluruh pencuri migas, namun dengan memanfaatkan frasa-
frasa  tertentu,  tuturan  tersebut  dapat  menjadi  menimbulkan  efek  komunikatif yang lebih pada mitra tutur.
4 Klausa
Klausa  merupakan  tataran  setingkat  lebih  tinggi  dibandingkan  frasa. Menurut KBBI 2008:706, klausa adalah satuan gramatikal yang mengandung
predikat  dan  berpotensi  menjadi  kalimat.  Pendapat  tersebut  dilengkapi  oleh Ramlan 2005:79 yang menyatakan bahwa klausa merupakan satuan gramatik
yang  terdiri  dari  subjek  dan  predikat,  baik  disertai  objek,  pelengkap,  dan
keterangan  maupun  tidak.  Unsur  wajib  dalam  suatu  klausa  adalah  predikat, unsur  lainnya  boleh  ada  ataupun  tidak.  Klausa  ini  juga  dapat  memunculkan
daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Misalnya pada tuturan di bawah ini: “Setiap hari kita membakar uang”.
Konteks:  Masyarakat  saat  ini  cenderung  boros  dalam penggunaan BBM sehingga diibaratkan dengan membakar
uang
karena saat
kita membeli
BBM dan
menggunakannya  untuk  perjalanan  yang  kurang  penting sesungguhnya  kita  hanya  membakar  BBM  itu  dengan
percuma.
Klausa “kita  membakar  uang”  terdiri  dari  unsur  subjek  dan  predikat.
Klausa  tersebut  mengandung  daya  sindir  bagi  masyarakat  yang  selama  ini hanya  menggunakan  kendaraan  bermotor  untuk  hal-hal  yang  kurang  penting.
Maksud yang ingin disampaikan oleh penutur adalah himbauan agar kita lebih bijak dalam menggunakan BBM untuk kebaikan bersama.
5 Kalimat
Menurut  KBBI  2008:267,  kalimat  adalah  kesatuan  ujar  yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan. Kalimat dapat terdiri dari
satu  kata  maupun  beberapa  kata.  Sesungguhnya  yang  menentukan  satuan kalimat bukan banyaknya kata yang menjadi unsurnya, melainkan intonasinya.
Menurut  Ramlan  2005:21.setiap  satuan  kalimat  dibatasi  oleh  adanya  jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Pendapat tersebut dilengkapi
oleh Sukini 2010:54, kalimat adalah konstruksi sintaksis yang berupa klausa, dapat  berdiri  sendiri  atau  bebas,  dan  mempunyai  pola  intonasi  final.  Kalimat
merupakan  satuan  bahasa  yang  dirangkai  dan  mempunyai  makna  tertentu. Makna yang ada dalam suatu kalimat dapat bersifat tersirat maupun tersurat.
Kalimat  dapat  berwujud  lisan  maupun  tulisan  Alwi  dkk,  2003:311. Kalimat  berwujud  lisan  diucapkan  dengan  unsur  suprasegmental  seperti
titinada,  tekanan,  tempo,  jeda,  dan  intonasi  akhir.  Kalimat  berwujud  tulisan mengandung unsur segmental berupa kata, frasa, dan klausa Sukini,2010:55.
Berdasarkan  pengertian  beberapa  ahli  diatas,  dapat  disimpulkan  bahwa kalimat merupakan satuan gramatikal dalam wujud lisan maupun tulisan, yang
dibatasi  jeda  panjang  naik  atau  turun.  Kalimat  selalu  disertai  dengan  unsur segmental dan suprasegmental. Dengan kata lain, kalimat yang berupa tuturan
langsung konstruksinya berupa unsur segmental, namun disertai dengan unsur suprasegmental  seperti  titinada,  tekanan,  tempo,  jeda,  dan  intonasi  akhir.
Misalnya pada tuturan “Jangan sentuh benda itu”. Kalimat tersebut terbentuk
melalui  beberapa  kata  dan  frasa.  Kalimat  tersebut  merupakan  larangan  yang dituturkan  menggunakan  nada  yang  keras  unsur  suprasegmental.  Selain  itu,
kalimat juga dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Misalnya contoh kalimat berikut:
“Jokowi-JK adalah kita”. Konteks:  kalimat  tersebut  merupakan  kalimat  yang
digunakan  dalam  spanduk-spanduk  saat  kampanye  pilpres 2014 kemarin.
Kalimat  tersebut  mengindikasikan  daya  bujuk  bagi  masyarakat  yang membacanya.  Penulisan  kalimat  tersebut  berusaha  memengaruhi  pembaca
untuk  memilih  pasangan  Jokowi-JK  pada  pilpres  2014.  Kalimat  tersebut mempunyai  makna  bahwa  Pak  Joko  Widodo  dan  Pak  Jusuf  Kalla  merupakan
pasangan  yang  cocok  untuk  memimpin  Indonesia  lima  tahun  ke  depan. Pasangan  tersebut  pasti  akan  memahami  dan  mengatasi  masalah  yang  ada  di
masyarakat karena mereka berasal dari kalangan masyarakat biasa. Selama ini, yang menjadi presiden Indonesia identik dari kalangan yang sebelumnya sudah
mempunyai  posisi  di  Republik  Indoneisa.  Misalnya  saja  Presiden  Susilo Bambang  Yudhoyono  yang  sebelum  terpilih  menjadi  presiden  merupakan
Jenderal TNI. 2.2.4
Unsur Ekstralingual Unsur  ekstralingual  merupakan  faktor  tambahan  di  luar  bahasa  verbal
yang  mendukung  makna  dan  maksud  suatu  tuturan.  Sobur  2004:257 mengungkapkan bahwa  setiap tanda linguistik terdiri  dari unsur bunyi  dan unsur
makna.  Kedua  unsur  ini  adalah  unsur  dalam  bahasa  intralingual  yang  biasanya merujuk  atau  mengacu  kepada  suatu  referen  yang  merupakan  unsur  luar  bahasa
ekstralingual.  Pendapat  tersebut  dilengkapi  oleh  Pranowo  2012:90  yang mengungkapkan  unsur  kebahasaan  mencakup  bahasa  verbal    dan  non  verbal,
sedangkan unsur non kebahasaan meliputi topik pembicaraan dan konteks situasi komunikasi.
Berdasarkan kedua pendapat  ahli di  atas, dapat  disimpulkan bahwa unsur ekstralingual  ini  mencakup  konteks  tuturan  serta  bahasa  non  verbal  tanda-tanda
ketubuhan yang merupakan rujukan dari bahasa verbal penutur. Konteks tuturan beserta  fenomena  yang  dapat  memunculkannya  telah  dibahas  sebelumnya  lihat
sub  bab  kajian  bahasa  secara  pragmatik,  sedangkan  bahasa  non-verbal  belum pernah dibahasa sebelumnya. Bahasa non-verbal  adalah unsur ekstralingual  yang
paling  kompleks.  Bahasa  non-verbal  mencakup  tanda-tanda  ketubuhan  serta gesture yang digunakan oleh penutur saat berkomunikasi. Unsur ekstralingual ini
pada  umumnya  selalu  menyertai  tuturan.  Peran  unsur  ekstralingual  ini  adalah untuk memberikan efek komunikatif yang lebih kuat kepada mitra tutur.
Brown  2004:117  berpendapat  bahwa  peran  bahasa  non-verbal  akan nampak jelas ketika seseorang berkomunikasi menggunakan bahasa lisan. Bahasa
non-verbal  dapat  berupa  gesture  yang  meliputi  gerakan  tubuh  atau  bagian  tubuh yang  dapat  berfungsi  penting  dalam  berkomunikasi.  Gesture  ini  dapat  berupa
kinesik,  kontak  mata  kerlingan  mata,  dan  kinestetik.  Pendapat  tersebut  sejalan dengan  Pateda  2001:48  yang  mengungkapkan  bahwa  bahasa  non  verbal  dapat
berupa  tanda  yang  menggunakan  anggota  badan,  lalu  diikuti  dengan  lambang verbal  yang  diucapkan.  Bahasa  non  verbal  ini,  biasanya  digunakan  penutur
untuk memperkuat maksud yang diucapkan melalui bahasa verbal. Liliweri 1994:89 mengungkapkan bahwa komunikasi non verbal acapkali
dipergunakan  untuk  menggambarkan  perasaan  dan  emosi.  Saat  pesan  yang disampaikan  melalui  bahasa  verbal  kurang  kuat  efeknya,  penutur  dapat
menggunakan tanda-tanda non-verbal sebagai pendukung. Di dalam suatu  situasi komunikasi  verbal,  komunikasi  non-verbal  merupakan  pelengkap  dan  penegas
unsur-unsur intralingual yang digunakan. Misalnya dalam tuturan berikut: “Maaf,  kami  sudah  melakukan  yang  terbaik.  Namun  ternyata
Tuhan bekehendak lain”. Konteks:  Dokter  baru  selesai  menangani  seorang  pasien
Ekspresi wajah: sedih.
Tuturan  tersebut  mengandung  nilai  rasa  merasa  bersalah  seorang  dokter  kepada keluarga  pasien.  Tuturan  tersebut  menggunakan  kata  „maaf‟  untuk
mengungkapkan  rasa  bersalahnya.  Selain  itu,  saat  bertutur  dokter  tersebut
memunculkan  ekspresi  wajah  bersedih  yang  semakin  memperkuat  rasa bersalahnya. Bila dokter tersebut tidak memunculkan ekspresi wajah sedih, maka
efek  rasa  bersalah  yang  dirasakan  oleh  mitra  tutur  menjadi  kurang  mengena. Melalui  contoh  tersebut,  kita  dapat  melihat  bahwa  bahasa  non-verbal  atau  unsur
ekstralingual juga mempunyai peran yang sangat penting untuk menimbulkan efek komunikatif.
Namun,  perlu  diketahui  bahwa  unsur  ekstralingual  berupa  bahasa  non- verbal  ini  tidak  selalu  menyertai  suatu  tuturan.  Hal  tersebut  sesuai  dengan
pendapat  Liliweri  1994:88  yang  mengungkapkan  bahwa  unsur  ekstralingual berupa  bahasa  non-verbal  ini  tidak  selalu  menyertai  suatu  tuturan  karena  hanya
digunakan  sebagai  penegas  dan  pelengkap.  Liliweri  juga  mengungkapkan meskipun tidak mengeluarkan suatu tuturan, namun ekspresi wajah seseorang juga
mampu  mewakili  pesan  dengan  makna  tertentu  terhadap  orang  lain.  Pada  saat seseorang  mengungkapkan  rasa  kesalnya  seringkali  menggunakan  bahasa  tubuh
berupa  menyilangkan  kedua  tangan  posisi  sedekap  dan  menunjukkan  ekspresi marah.  Melalui  tanda  yang  dibuat  tersebut,  tentu  mitra  tutur  dapat  menangkap
maksud  bahwa  orang  tersebut  kesal  dengan  pernyataan  yang  diucapkan  mitra tutur.
Tanda-tanda  non-verbal  yang  termasuk  dalam  kajian  ekstralingual  ini, disinggung dalam ilmu semiotika, khususnya semiotika non-verbal. Namun, tidak
semua  ilmu  semiotika  ini  termasuk  dalam  kajian  ekstralingual.  Peneliti  hanya mengambil beberapa tanda non-verbal yang dianggap diperlukan dalam penelitian
ini,  meliputi  ekspresi  wajah,  kontak  mata,  bahasa  tubuh,  dan  sentuhan.  Masing- masing tanda non-verbal akan dijabarkan sebagai berikut:
1 Ekspresi Wajah
Ekspresi  wajah  meliputi  pengaruh  raut  wajah  yang  digunakan  untuk berkomunikasi secara emosional atau bereaksi terhadap suatu pesan. Ekspresi
wajah manusia juga dapat bersifat sadar dan tak sadar. Ekspresi wajah setiap orang  selalu  menyatakan  hati  dan  perasaannya.  Wajah  ibarat  cermin  dari
pikiran  dan  perasaan.  Melalui  wajah  orang  juga  bisa  membaca  makna  suatu pesan Liliweri, 1994:145
Pada  tahun  1963,  ahli  psikologi  Paul  Ekman  dan  timnya  melakukan penelitian  untuk  menentukan  ekspresi-ekspresi  wajah  tertentu  sebagai  tanda
universal  bagi  emosi-emosi  spesifik.  Mereka  menunjukkan  bahwa  dengan membagi-bagi  ekspresi  wajah  menjadi  komponen-komponen  karakteristik-
posisi alis, bentuk mata, bentuk mulut, ukuran lubang hidung, dan seterusnya- dalam  pelbagai  kombinasi  akan  menentukan  bentuk  ekspresi  tertentu.
Penelitian ini menunjukkan bahwa mungkin saja untuk menulis “gramatika” wajah  yang  mengandung  lebih  sedikit  variasi  kultural  dibanding  gramatika
dalam bahasa Danesi,2010:67-68. Empat  sketsa  ekspresi  wajah  berikut  ini  menunjukkan  cara  kita
menafsirkan komponen wajah dari segi emosi:
Terhibur                  Marah                 Terkejut                 Sedih
Keempat  ekspresi  tersebut  dapat  mewakili  persaan  seseorang  saat  sedang menyampaikan  sebuah  tuturan.  Ekspresi  wajah  penutur  dapat  mewakili
perasaan  penutur  terhadap  suatu  hal.  Ekspresi  wajah  ini  juga  dapat memunculkan  daya  bahasa  dan  nilai  rasa  bahasa.  Ekspresi  wajah  ini  selalu
menyertai tuturan. Misalnya saja pada tuturan berikut: “Akhirnya setelah empat tahun kuliah tibalah saatnya aku untuk
diwisuda”. Tuturan tersebut diucapkan dengan mata berbinar-binar dan bibir tersenyum.
Berdasarkan  ekspresi  wajah  tersebut  dapat  disimpulkan  bahwa  penutur sedang merasa senang nilai rasa bahagia karena dia dapat lulus dan menjadi
sarjana setelah kuliah selama empat tahun. 2
Kontak Mata Pola  kontak  mata  bersifat  tidak  sadar.  Melalui  kontak  mata,  seseorang
dapat  menceritakan  kepada  orang  lain  suatu  pesan  tertentu.  Misalnya, pandangan  mata  cemas  mengindikasikan  rasa  kecemasan  penutur  terhadap
suatu  hal.  Di  dalam  berbagai  kehidupan  sehari-hari,  kontak  mata  sering diartikan  sebagai  penanda  non  verbal  yang  dapat  dilihat  dalam  fakta-fakta
berikut. Danesi, 2010:69 
Menatap  sering  ditafsirkan  sebagai  tantangan;  main  mata  dengan  orang lain biasanya ditafsirkan sebagai rayuan.
 Di  dalam  banyak  kebudayaan,  ada  konsep  mata  jahat,  yang
dipersepsikan  sebagai  tatapan  jenis  tertentu  yang  dikatakan  memiliki kekuatan untuk melukai perasaan seseorang.
 Mengadakan  kontak  mata  di  awal  percakapan  verbal  atau  irama  setelah
percakapan  berlangsung  akan  mengindikasikan  jenis  hubungan  yang ingin kita miliki dengan si pembicara.
 Saat pupil berkontraksi dalam keadaan bersemangat.
 Kelopak mata yang menyempit mengomunikasikan sikap merenung.
 Mendekatkan  alis  satu  sama  lain  secara  universal  mengomunikasikan
sikap tengah berpikir; saat alis naik, yang terungkap adalah rasa terkejut. 
Memicingkan  mata  sebagai  indikasi  menatap  dengan  pandangan  sempit dan penuh selidik.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kontak mata ini sangat penting saat kita berkomunikasi. Kontak mata dapat mengindikasikan
suatu  keadaan  tertentu  penutur  yang  ingin  ditunjukkan  kepada  mitra  tutur. Misalnya saja dalam tuturan berikut:
“Benarkah  teman  SD  kita  ikut  menjadi  korban  dalam kecalakaan tersebut?”.
Tuturan  tersebut  dituturkan  dengan  mata  melotot  dan  alis  terangkat.  Kontak mata tersebut mengindikasikan bahwa penutur benar-benar terkejut nilai rasa
terkejut setelah mendapat kabar perihal kecelakaan yang terjadi tadi siang. 3
Bahasa Tubuh Bahasa  tubuh  adalah  istilah  umum  yang  digunakan  untuk
mengindikasikan komunikasi melalui tanda-tanda yang dihasilkan oleh tubuh baik  yang  sadar  maupun  tidak.  Bahasa  tubuh  mengomunikasikan  informasi
tak  terucapkan  mengenai  identitas,  hubungan,  dan  pikiran  seseorang,  juga suasana hati, motivasi, dan sikap Danesi, 2010:74
Ada  dua  jenis  sinyal  tubuh-sadar  dipancarkan  dengan  sengaja  atau tidak  sadar  dipancarkan  secara  naluriah  oleh  tubuh.  Manusia  mampu
menggunakan  sinyal  sadar  untuk  tujuan  yang  disengaja  dalam  lingkup  yang sangat  luas,  seperti  mengangguk,  menyenggol,  menendang,  mengangkat
kepala,  dan  seterusnya  Danesi,  2010:69.  Pada  dasarnya  manusia  selalu mengeluarkan  sinyal-sinyal  saat  hendak  mengungkapkan  sesuatu.  Misalnya
dalam tuturan berikut: “emmm... ya..”.
Konteks:  tuturan  yang  diucapkan  mitra  tutur  sebagai  tanda bahwa mitra tutur mengerti
Tuturan  terebut  disertai  bahasa  tubuh  berupa  anggukan  kepala  dari  penutur. Berdasarkan  contoh  tuturan  dan  bahasa  tubuh  yang  dimunculkan  penutur
pada  contoh  di  atas,  mitra  tutur  dapat  menangkap  bahwa  penutur  mengerti apa yang dibicarakan mitra tutur sebelumnya.
Sinyal kinesis dapat bersifat bawaan tak sadar, dipelajari sadar, atau campuran  keduanya.  Mengejapkan  mata,  mendehem,  dan  wajah  memerah
merupakan  sinyal  lahiriah  bawaan.  Sinyal-sinyal  ini  sering  terjadi  tanpa disengaja,  begitu  juga  dengan,  misalnya,  ekspresi  wajah  gembira,  terkejut,
marah,  jijik,  dan  emosi-emosi  dasar  lainnya  yang  dipahami  orang-orang dalam  berbagai  budaya.  Tertawa,  menangis,  dan  mengangkat  bahu  adalah
contoh  sinyal  campuran.  Isyarat  seperti  kedipan  mata,  acungan  jempol,  atau penghormatan  militer,  adalah  sinyal  yang  kita  pelajari.  Pesan-pesan  yang
dibuat  dengan  bahasa  tubuh  dapat  memberikan  tampilan  dan  kesan  pada sebuah percakapan yang akan diingat lama setelah kata-kata lisan terlupakan.
Bahasa  tubuh  juga  dapat  dibangun  untuk  berbohong  atau  menutupi sesuatu. Misalnya, mengatupkan bibir dapat mengindikasikan ketidaksetujuan
atau  keraguan,  bahkan  jika  pernyataan  verbal  orang  tersebut  menyampaikan persetujuan.  Saat  pernyataan  verbal  dan  bahasa  tubuh  saling  berbenturan,
pendengar akan cenderung lebih memercayai bahasa tubuh. 4
Sentuhan Sentuhan  atau  perabaan  menjelaskan  bentuk  atau  cara  lain  untuk
menyatakan  diri  dalam  komunikasi  non-verbal  Liliweri,  1994:135.  Banyak orang  menggunakan  tangan  karena  senang,  menampar,  mecubit,  memukul,
memegang, dan memeluk untuk menyatakan suatu maksud tertentu. Di dalam kebanyakan  budaya,  bentuk  dasar  pemberian  salam  mencakup  jabat  tangan,
yang merupakan contoh tepat dari perilaku sosial yang diatur oleh kode taktil sentuhan,  yang  artinya  kode  yang  mengatur  pola  sentuhan  dalam  situasi
antarpribadi Danesi, 2010:77. Dari dulu hingga sekarang, kita kenal bahwa berjabat  tangan  ini  merupakan  simbol  kesetaraan  antar  individu,  dan
digunakan  untuk  mengesahkan  berbagai  jenis  persetujuan.  Makna  dan maksud  yang  ada  dalam  sentuhan  ini  tergantung  pada  budaya  dimana
sentuhan tersebut digunakan.
2.2.5 Daya Bahasa
Daya  bahasa  merupakan  kekuatan  bahasa  yang  muncul  sebagai  akibat dari  suatu  tuturan.  Menurut  Pranowo  2012:128,  daya  bahasa  adalah  kekuatan
yang dimiliki oleh bahasa untuk mengefektifkan pesan yang disampaikan kepada
mitra  tutur.  Pernyataan  tersebut  sejalan  dengan  pendapat  Fitra  Yuni  2009:17 yang  mengungkapkan  daya  bahasa  adalah  kadar  kekuatan  bahasa  untuk
menyampaikan  makna,  informasi,  atau    maksud  melalui  fungsi  komunikatif sehingga  pendengar  mampu  memahami  dan  menangkap  makna,  informasi,  atau
maksud penuturpenulis. Penyampaian pesan dengan memperhatikan daya bahasa
akan membuat komunikasi terhadap mitra tutur menjadi lebih efektif. Daya bahasa dapat digali melalui berbagai aspek bahasa meliputi bunyi,
bentuk  kata,  kalimat,  pilihan  kata,  struktur,  maupun  aspek  pemakaian  bahasa seperti  tindak  tutur,  praanggapan,  dan  sebagainya  Pranowo,  2012:129.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa daya bahasa dapat muncul melalui  unsur  intralingual  dalam  bahasa  dan  ekstralingual  luar  bahasa.  Daya
bahasa tidak akan muncul tanpa adanya pemaknaan dari setiap unsur intralingual yang  digunakan  dalam  suatu  tuturan.  Makna  menjadi  sangat  penting  saat  kita
hendak menentukan suatu tuturan memiliki daya bahasa atau tidak. Selain makna, unsur  penting  yang  tidak  boleh  dilupakan  adalah  konteks  serta  gesture  penutur.
Konteks  digunakan  untuk  memahami  maksud  tuturan,  sedangkan  gesture digunakan  untuk  memperkuat  daya  bahasa  yang  ada  dalam  suatu  tuturan.
Perhatikan contoh tuturan berikut: “Perlu kita selidiki, kalau perlu kita tumpas hingga akarnya”
Konteks: Kasus korupsi sedang merebak di suatu perusahaan. Apabila  kita  lihat,  kalimat  tersebut  mengandung  pilihan  kata  yang  khas  untuk
memunculkan  efek  yang  lebih  kuat pada  pendengarnya.  Klausa    “kita  tumpas
hingga  akarnya”  memiliki  daya  bahasa  yang  lebih  kuat  daripada  penutur mengatakan  kita  “selesaikan  hingga  seluruhnya  terungkap”  padahal  secara
semantik,  keduanya  memiliki  makna  yang  sama.  Namun,  jika  mitra  tutur  tidak memahami  konteks yang menyertai kalimat tersebut, maka kalimat tersebut juga
tidak  akan  ada  artinya.  Jadi,  dapat  dikatakan  bahwa  unsur  intralingual  dan ekstralingual ini saling berhubungan. Selain konteks, unsur ekstralingual lain yang
dapat  memunculkan  daya  bahasa  dan  nilai  rasa  bahasa  yang  kuat  dalam  kalimat tersebut  adalah  ekspresi  wajah  saat  mengucapkan  kalimat.  Bila  kalimat  tersebut
dituturkan dengan ekspresi wajah yang serius, maka mitra tutur dapat menangkap bahwa  tuturan  itu  merupakan  ancaman  keras  dan  si  penutur  sedang  tidak  main-
main dengan ancamannya. Selain pilihan kata atau diksi, daya bahasa juga dapat mucul pada tataran
bunyi. Sudaryanto 1989 yang mengidentifikasikan bahwa bunyi memiliki makna tertentu.  Pada  tataran  bunyi,  bunyi  i  memiliki  makna  yang  dapat
menggambarkan  keadaan  yang  dipersepsi  sebagai  sesuatu  yang  kecil  pada  suatu benda  s
eperti pada kata  “kerikil, kutil, kerdil, dan sebagainya. Namun, sebelum kata-kata yang mengandung bunyi i dipakai dalan suatu konteks tuturan tertentu,
daya bahasanya belum muncul. Misalnya pada kata kerdil. Kata kerdil saat belum tergabung  dalam  suatu  kalimat  tertentu  tidak  akan  dapat  memunculkan  daya
bahasa.  Namun,  setelah  berada  dalam  suatu  kalimat  kata  kerdil  mampu memunculkan daya bahasa seperti pada tuturan berikut:
“Janganlah kita mau dianggap menjadi bangsa yang kerdil”. Tuturan tersebut mengandung daya ajakan yang ditujukan kepada mitra tutur agar
tidak  mau  dianggap  menjadi  bangsa  yang  „kerdil‟.  Makna  dari  „kerdil‟  dalam tuturan  tersebut  adalah  bangsa  yang  kecil  dan  bodoh.  Penutur  berusaha
membangkitkan semangat mitra tutur agar tidak mau begitu saja dilecehkan oleh negara lain.
Berdasarkan pendapat
beberapa ahli
tersebut, penulis
dapat menyimpulkan daya bahasa merupakan kekuatan suatu bahasa yang diungkapkan
melalui bunyi, kata dan pilihan kata, frasa, klausa, dan kalimat unsur intralingual dan  diperkuat  dengan  unsur  ekstralingual  ekspresi  wajah,  bahasa  tubuh  serta
disertai  dengan  konteks  tertentu  untuk  mencapai  suatu  fungsi  komunikatif. Melalui  pemanfaatan  daya  bahasa  ini,  penutur  bisa  lebih  menekankan  maksud
yang ingin disampaikan kepada mitra tutur.
2.2.6 Nilai Rasa Bahasa
Nilai  rasa  bahasa  adalah  kadar  perasaan  yang  terkandung  dalam  suatu tuturan  karena  penutur  mengungkapkan  domain  afektifnya  menggunakan  bahasa
dalam  berkomunikasi  sehingga  mitra  tutur  dapat  menyerap  kadar  perasaan  yang terdapat  dalam  tuturan.  Menurut  Poerwadarminta  1967:34-35,  nilai  rasa  adalah
kadar rasa yang ada dalam isi suatu kata. Rasa atau perasaan merupakan gerakan hati dan segala  yang terasa didalam batin, seperti rasa sedih, senang, suka, duka,
benci, menghina, hormat, segan, kecewa, malu, dan sebagainya. Nilai rasa bersifat subjektif.  Mungkin  saja  untuk  menghadapi  suatu  permasalahan  yang  sama  satu
orang  dan  orang  lainnya  memiliki  sikap  yang  berbeda.  Terdapat  kata-kata  yang sudah  umum  dianggap  bernilai  rasa  dan  ada  kata  yang  sengaja  diberi  nilai  rasa.
Kata-kata yang sudah umum dianggap bernilai rasa seperti konyol, mampus, tolol,
dan sebagainya, sedangkan kata-kata yang sengaja diberi nilai rasa seperti gugur, wafat, beliau, dan sebagainya.
Berkaitan  dengan  nilai  rasa  bahasa,  hingga  kini  belum  dapat  ditemukan hasil penelitian yang komprehensif, kecuali hanya uraian bahwa nilai rasa bahasa
dapat muncul melalui permainan bunyi, kata, gaya bahasa, ungkapan, dan konteks bahasa  Pradopo,2002.  Meskipun  demikian,  jika  nilai  rasa  bahasa  dapat
dideskripsikan  secara  komprehensif  dan  dioptimalkan  pemakaiannya  akan  dapat meningkatkan kesantunan dalam berkomunikasi.
Saat  berkomunikasi,  pikiran  maupun  perasaan  diungkapkan  dengan bahasa  yang  berbeda.    Jika  bahasa  itu  dipakai  untuk  mengungkapkan  pikiran,
unsur  yang  dominan  dalam  bahasa  adalah  aspek  kognitif,  seperti  pola  pikir, argumentasi,  hubungan  sebab  akibat,  cara  menarik  kesimpulan,  dan  evaluasi.
Dengan  demikian,  ketika  seseorang  mengungkapkan  pikirannya  modus  yang muncul adalah modus berita atau pernyataan, pertanyaan, perintah, dan seruan.
Sebaliknya,  jika  bahasa  digunakan  untuk  mengungkapkan  perasaan, unsur yang dominan adalah aspek afektif, seperti ekspresi jiwa, persepsi perasaan,
dan  tafsiran  maksud.  Aspek  afektif  ini  akan  memunculkan  berbagai  modus, seperti  rasa  senang,  benci,  gembira,  bahagia,  simpati,  empati,  terharu,  dan
sebagainya.  Kadar  nilai  rasa  bahasa  sebenarnya  dapat  muncul  dalam  berbagai tindak  tutur,  seperti  membujuk,  mempengaruhi,  menghujat,  memuji,  menantang,
dan sebagainya.  Seperti dalam tuturan berikut: “Untuk  apa  kamu  berkarya  jika  hasilnya  tidak  mampu
menebar kebajikan buat orang banyak?”
Tuturan  tersebut mengandung  nilai  rasa  „halus‟  dalam  menyampaikan
pesan  atau  maksud  “mengingatkan”  meskipun  modusnya  berupa pertanyaan.  Perhatikan  contoh  lain  ketika  seseorang  mengatakan  hal
berikut: “Maaf,  berapa  banyak  orang  yang  datang  dalam  seminar
minggu lalu? ”
Meskipun  kalimat  itu  modusnya  berupa  pertanyaan,  tetapi  tetap  ada  kandungan nilai rasa bahasanya. Hal itu nampak dengan digunakannya kata “maaf” terkesan
ada  unsur  perasaan  berhati-hati  karena  khawatir  jika  orang  yang  ditanya  tidak berkenan dengan pertanyaan itu.
Berdasarkan  beberapa  pendapat  diatas  dapat  disimpulkan  bahwa  nilai  rasa bahasa  merupakan  kadar  perasaan  yang  muncul  dalam  benak  mitra  tutur  lewat
suatu  tuturan  tertentu.  Kata-kata  yang  diucapkan  mewakili  perasaan  penutur terhadap  mitra  tutur.  Dalam  memahami  nilai  rasa  bahasa,  kita  tidak  boleh
melupakan  unsur  non  kebahasaan  seperti  konteks  dan  gesture  atau  gerak-gerik tubuh.
Poerwadarminta  1967:35-36,  mengungkapkan  ada  3  ciri-ciri  kata  yang memiliki nilai rasa, yaitu yang menggunakan:
a. Kata rasa perasaan
Kata  rasa  perasaan  mencakup  kata-kata  yang  berisi  kadar  rasa  seperti  rasa senang, benci, menghina, belas kasihan, dan sebagainya.
b. Kata pelembut
a Sopan santun
Kata hormat  : anda, beliau, dan sebagainya.
Kata halus : gugur, tuna netra, dan sebagainya.
b Perasaan kemasyarakaan
Kata-kata  bentukan  baru  :  wanita  untuk  menyebutkan  perempuan, asisten rumah tangga untuk menyebut pembantu
c Adat kepercayaan
Kata pantang, misalnya: kata „akar‟ untuk menyebut ular di malam hari c.
Kata kasar Kata  kasar  merupakan  kata-kata  yang  kurang  lazim  digunakan  dalam
kehidupan  sehari-hari  dan  cenderung  mengarah  kepada  kata  umpatan, misalnya: bangsat, pecundang, dan lain sebagainya.
Nilai  rasa  bahasa  juga  dapat  dilihat  melalui  kata-kata  perasaan  yang digunakan  oleh  penutur  dalam  suatu  tuturan.  Perasaan  manusia  dapat  wujudkan
dalam  kata-kata  emosi  yang  digunakan.  Suprapti,  dkk  dalam  Kaswanti  Purwo 1992:110-112  mengelompokkan  kata-kata  emosi  kedalam  28  macam,  yaitu
malas,  kelelahan,  kesedihan,  pesimis,  takut,  heran,  tertekan,  marah,  benci,  rasa bersalah,  malu,  muak,  bosan,  sunyi,  kekosongan,  kebahagiaan,  bebas,  cinta,
kangen,  terasing,  dipaksa,  dicintai,  yakin,  sehat,  perasaan  terhadap  makanan, keinginan, menerima, dan rasa kecil.
Suatu kata maupun tuturan memiliki makna dan maksud tertentu. Maksud bisa  saja  berbeda  dengan  makna.  Melalui  makna  tuturan,  kita  dapat  menemukan
maksud dan nilai rasa bahasa.
2.2.7 Fungsi Komunikatif Berbahasa
Bahasa  merupakan  alat  utama  manusia  untuk  berkomunikasi.  Kata-kata yang  dikeluarkan  seseorang  melalui  sebuah  tuturan  tentu  selalu  mengandung
makna  dan  maksud  tertentu.  Sebuah  tuturan  selalu  mengandung  tiga  tindakan, yaitu tindak lokusi sesuatu yang diucapkan, ilokusi makna atau arti dari sebuah
tuturan,  dan  perlokusi  maksud  yang  ingin  disampaikan  dari  sebuah  tuturan. Ketiga tindakan tersebut saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan.
Fungsi  pada  dasarnya  merupakan  tujuan  yang  ingin  kita  capai  saat berbahasa,  misalnya  menyatakan,  meminta,  menanggapi,  memberi  salam,  dan
sebagainya.  Fungsi  komunikatif  bahasa  tentu  tidak  bisa  dipenuhi  tanpa  bentuk bahasa  yang  meliputi  bunyi,  kata,  frasa,  klausa,  kalimat,  wacana  dan
organisasional  lainnya.  Brown,  2008:245.  Bahasa  merupakan  manifestasi lahiriah,  sedangkan  fungsi  merupakan  perwujudan  bentuk-bentuk  bahasa  itu
sendiri.  Lewat  kata-kata  yang  kita  gunakan  dalam  berkomunikasi  tersebut,  dapat memunculkan daya bahasa maupun nilai rasa bahasa pada benak mitra tutur.
Leech 2003:63-66 membagi fungsi komunikatif bahasa menjadi 5, yaitu fungsi  informasional,  fungsi  ekspresif,  fungsi  direktif,  fungsi  phatik,  dan  fungsi
estetik. Kelima fungsi tersebut akan dijabarkan sebagai berikut. a.
Fungsi Informasional Fungsi  inforasional  menempatkan  makna  yang  disampaikan  oleh  penutur
hendak  menyampaikan  suatu  informasi,  pandangan,  pengetahuan,  dan penjelasan  kepada  mitra  tutur  berdasarkan  fakta-fakta  yang  sebenarnya.
Misalnya  saat  seseorang mengatakan  “Presiden  Joko  Widodo  mengunjungi
pengungsi  letusan  Gunung  Sinabung  pekan  lalu”.  Tuturan  tersebut  ingin menyampaikan  informasi  kepada  mitra  tutur  bahwa  presiden  Joko  Widodo
melakukan  kunjungan  untuk  melihat  langsung  keadaan  pengungsi  Letusan Gunung Sinabung. Informasi yang disampaikan oleh penutur ini berdasarkan
oleh fakta yang sebenarnya. b.
Fungsi ekspresif Fungsi  ekspresif  digunakan  untuk  mengungkapkan  perasaan,  sikap,  emosi,
reaksi-reaksi  terhadap  suatu  permasalahan.  Fungsi  ekspresif  ini  bersifat personal  dan  muncul  berbeda-beda  setiap  orang.  Kata-kata  sumpah-serapah
dan  kata  seru  merupakan  contoh  yang  paling  jelas  dalam  hal  ini.  Misalnya saat  tuturan  seseorang  kakak  yang  berusaha  melindungi  adiknya
“awas kau berani  membu
atnya  menangis”.  Tuturan  tersebut  menyatakan  perasaan emosi  dan  untuk  mengungkapkan  ancamannya  kepada  orang  tersebut,
digunakan kata seru. c.
Fungsi Direktif Fungsi  direktif  digunakan  untuk  mempengaruhi  perilaku  atau  sikap  orang
lain.  Contoh  paling  nyata  dalam  fungsi  direktif  adalah  penggunaan  kalimat perintah.  Fungsi  kontrol  sosial  ini  dalam  hal  pesannya  lebih  memberikan
tekan  pada  sisi  penerima  dan  bukan  pada  penutur.  Misalnya  saat  seorang mahasiswa  yang  menjadi  profokator  demo  berusaha  mempengaruhi  pikiran
mahasiswa  lain  untuk  melaksanakan  demo  kenaikan  harga  BBM.  Orang tersebut  menggunakan  kata-kata  berdaya  bujuk  dan  berusaha  meyakinkan
masa agar dapat menggalang pendemo yang lebih banyak.
d. Fungsi Phatik
Fungsi phatik ialah fungsi yang mrnjaga agar garis komunikasi tetap terbuka, dan  untuk  terus  menjaga  hubungan  sosial  secara  baik.  Tugas  komunikasi
bahasa  pada  fungsi  ini  adalah  yang  paling  ringan.  Misalnya  sekedar mengatakan
“selamat pagi” untuk mengawali suatu percakapan. e.
Fungsi Estetik Fungsi estetik merupakan penggunaan bahasa demi hasil karya itu sendiri dan
tanpa  maksud  yang  tersembunyi.  Namun  dalam  memunculkan  daya  bahasa, sebenarnya  dapat  menggunakan  fungsi  estetik  ini  untuk  maksud  tertentu
seperti menyindir. Fungsi estetik ini dapat diwujudkan dengan menggunakan gaya  bahasa  dan  majas  tertentu.  Misalnya  penggunaan  majas  simile  dalam
tuturan berikut: “Rapi sekali kamarmu seperti kapal pecah”.
Tuturan  tersebut  menggunakan  kata  „seperti‟  sebagai  penanda  penggunaan majas  simile.  Tuturan  tersebut  menggunakan  fungsi  estetik,  namun
sebenarnya  ingin  mengungkapkan  bahwa  kamar  tersebut  benar-benar berantakan.  Dengan  kata  lain,  tuturan  tersebut  mempunyai  maksud  tertentu,
yaitu menyindir. Kelima fungsi komunikatif dalam berbahasa ini saling berhubungan dan
tidak  dapat  berdiri  sendiri.  Satu  kalimat  atau  percakapan  bisa  menggabungkan banyak fungsi berlainan secara bersamaan Brown 2008:247. Fungsi komunikatif
ini  selalu  berhubungan  dengan  lima  situasi  komunikasi  Leech.  2003:65,  yaitu 1 pokok persoalan, 2  sumber yaitu penutur dan penulis, 3 penerima yaitu
pendengar atau pembaca, 4 sarana komunikasi, dan 5 pesan bahasa. hubungan kelima  fungsi  komunikatif  dengan  situasi  komunikasi  dapat  dilihat  dalam  bagan
berikut.
SALURAN tentang
Fungsi: ekspresif     phatik informasional            estetik     direktif
Berdasarkan  bagan  tersebut  dapat  dilihat  bahwa  saat  kita  mengucapkan  sesuatu, terdapat  beberapa  fungsi  komunikatif  bahasa  yang  lagsung  muncul  dengan
sendirinya. Seperti  yang  telah  dikatakan  diatas,  bahwa  fungsi  komunikatif  dalam
berbahasa  dapat  memunculkan  daya  bahasa  dan  nilai  rasa  bahasa.  Daya  bahasa dan  nilai  rasa  bahasa  dapat  dimunculkan  melalui  bunyi,  kata,  frasa,  klausa,
kalimat, wacana dan organisasional lainnya yang digunakan dalam suatu tutruran. Misalnya  fungsi  ekspresif  dapat  memunculkan  perasaan  sedih,  marah,  kecewa,
dan  lain  sebagainya.  Perhatikan  contoh  tuturan  di  bawah  ini  yang  menggunakan fungsi  ekspresif  dan  dapat  memunculkan  daya  bahasa  dan  nilai  rasa  bahasa
berikut. “Sebagai rakyat, kita ini sudah capek harus prihatin terus. Tidak
ada  tindakan  yang  real  tetapi  hanya  ngomong  prihatin-prihatin saja”.
PESAN PENDENGAR
atau PEMBACA
PENUTUR atau
PEMBACA
POKOK PERMASALAHAN
Tuturan tersebut mengandung fungsi ekspresif, yaitu rasa bosan dan kesal dengan pemerintahan  Susilo  Bambang  Yudhoyono  berkaitan  dengan  Rangcangan
Undang-Undang pilkada melalui DPRD. Pada saat itu, dalam pidatonya, presiden SBY  menyatakan  rasa  prihatinnya  tanpa  melakukan  suatu  hal  apa  pun.  Tuturan
diatas  mengandung  nilai  rasa  kecewa,  dan  juga  daya  bahasa  kritikan  terhadap pemerintahan SBY.
Kandungan nilai rasa bahasa yang terdapat diberbagai penggunaan bahasa dapat  digali  melalui  berbagai  cara.  Tentu,  penggalian  daya  bahasa  dan  nilai  rasa
bahasa seperti itu sangat bergantung kepekaan, kreativitas, dan kemahiran peneliti tentang pemakaian bahasa. Makna selalu terkandung di  dalam kata atau  kalimat,
sedangkan  nilai  rasa  atau  maksud  terkandung  dalam  benak  penutur  atau  mitra tutur. Nilai rasa bukan hanya terdapat dalam kata sifat ajektiva tetapi juga pada
kata  benda  nomina,  kata  kerja  verba  dan  juga  kata  ganti  pronomina.  Jika digunakan secara tepat dalam komunikasi, nilai rasa bahasa dapat mencerminkan
watak  dan  kepribadian  seseorang  atau  menimbulkan  kesan  tertentu  pada  mitra tutur.  Persepsi  seorang  penutur  terhadap  tuturan  yang  dihasilkan  akan
mencerminkan watak dan kepribadiannya.  Misalnya: “Waktu  ujian,  dia  pernah  saya  tolong  dengan  memberikan  kunci
jawaban saya, dan akhirnya dia bisa lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Namun setelah masuk dalam dunia kerja, kami saling
bersaing  dan  dia  berusaha  menjerumuskan  saya  dengan  cara
menfitnah saya di depan bosSungguh tidak tahu diuntung”. Kata
„menjerumuskan‟  dan  frasa  „tidak  tahu  diuntung‟  bagi  penutur  adalah ungkapan  untuk  melampiaskan  kekecewaan  pada  subjek  yang  dibicarakan.  Jika
mitra  tutur  mampu  menangkap  pesan  yang  dimaksud  oleh  penutur,  kata-kata
tersebut  mengandung nilai rasa yang kasar karena ada unsur kekecewaan penutur kepada  subjek  yang  dibicarakan.  Disamping  itu,  nilai  rasa  bahasa  juga  dapat
dipersepsi oleh mitra tutur atas maksud penutur. Misalnya pada tuturan berikut: “Kalau  memperhatikan penampilan  kamu  hari  ini,  rasanya  kamu
lebih segar dan tampak cantik ”.
Meskipun kata kamu digunakan dengan makna yang sama dengan contoh di atas, tetapi dengan digunakannya kata segar dan cantik, mitra tutur mempersepsi bahwa
tuturan itu  merupakan pujian penutur kepada mitra tutur. Makna dan maksud dalam suatu tuturan ada yang berbeda tetapi ada pula
yang  sama.  Makna  dan  maksud  yang  sama  biasanya  terdapat  pada  tuturan  atau komunikasi  formal,  seperti  dalam  seminar,  dosen  memberi  kuliah,  atau  bawahan
yang  sedang  berbicara  kepada  atasan  karena  ingin  menyampaikan  informasi. Misalnya pada contoh berikut:
“Berapa orang koruptor yang tertangkap dalam operasi intelejen kemarin malam?
”. Makna  dari  ujaran  di  atas  adalah  berupa  pertanyaan,  sedangkan  maksud  yang
ingin  ditanyakan  adalah  informasi  mengenai  “berapa  banyak  jumlah  koruptor yang  ditangkap”.  Dengan  demikian,  makna  dan  maksud  dalam  tuturan  di  atas
adalah  sama.  Namun,  ada  pula  makna  dan  maksud  yang  terdapat  dalam  tuturan bisa berbeda. Perhatikan contoh berikut:
“Wah rajin benar kamu, kertas berserakan di mana-mana”. Contoh  tersebut  seakan  bermakna  pujian  karena  diawali  dengan  “rajin  benar
kamu”.  Namun,  setelah  dirangkai  dengan  “kertas  berserakan  di  mana-mana”
penutur  jelas  tidak  bermaksud  memberi  pujian  tetapi  fungsi  komunikatif  yang terkandung justru berupa sindiran atau ejekan kepada mitra tutur.
2.2.8 Dialog Interaktif
Dialog interaktif sering juga disebut dengan talk show. Program talk show menurut  Darmanto  1998:100  adalah  perbincangan  dengan  tukar  menukar
pendapat,  dimana  pemimpin  acara  dapat  mengatur  dan  bertindak  mengambil peranan  aktif  tanpa  menarik  kesimpulan,  terkadang  acaranya  diselingi  hiburan
oleh  peserta  atau  pemimpin  acara  itu  sendiri.  Pendapat  tersebut  sejalan  dengan Masduki 2004:80 yang mengungkapkan talk show merupakan kategori program
special atau program wawancara sebagai acara, karena mengacu pada arti katanya sendiri  yaitu talk obrolan dan show gelaran.Program talk show adalah sebuah
show yang di udarakan secara global sebagai hiburan entertainment. Karena itu, talk show harus menghibur para pendengar dan seorang pewawancara karenanya
harus memiliki skill sebagai penghibur. Dari  beberapa  pendapat  diatas,  dapat  dipahami  bahwa  program  interaktif
atau  talk  show  adalah  perbincangan  yang  menghadirkan  narasumber  ke  dalam studio  dan  melibatkan  peran  serta  dari  pendengar  sehingga  dapat  terjadi  suatu
interaksi  antara  narasumber  dan  pembawa  acara  juga  antara  pendengar  dan narasumber.
Acara  Sentilan  Sentilun  merupakan  salah  satu  contoh  talk  show  yang disiarkan  oleh  metro  TV  setiap  hari  Senin,  pukul  22.30  sampai  23.30.  Acara
tersebut  selalu  membahas  topik-topik  yang  up  to  date  dengan  menghadirakan bintang  tamu  berupa  pakar-pakar  yang  sesuai  dengan  bidangnya.  Acara  tersebut
diselingi  dengan  humor ringan  sehingga  terkesan  segar  dan  tidak  membosankan. Di  dalam  acara  tersebut  banyak  terdapat  daya  bahasa  dan  nilai  rasa  bahasa  yang
digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. 2.2.9   Kesantunan Berbahasa
Bahasa merupakan ceriminan kepribadian seseorang. Melalui bahasa yang digunakan,  kita  dapat  mengetahui  kepribadian  orang  tersebut.  Bahasa  yang
dimaksud  dapat  berupa  bahasa  verbal  dan  bahasa  non-verbal.  Bahasa  verbal adalah  bahasa  yang  dimuculkan  melalui  kata-kata  bisa  dalam  bentuk  ujaran
maupun  tulisan,  sedangkan  bahasa  non-verbal  ialah  bahasa  yang  diungkapkan melalui mimik, gerakan tubuh, sikap, dan perilaku Pranowo,2012:3.
Bahasa  santun  adalah  penggunaan  bahasa  baik  verbal  maupun  non- verbal  yang  mencerminkan  sikap  halus  dan  budi  baik  seorang  penutur  terhadap
mitra  tutur  sehingga  komunikasi  dapat  berjalan  dengan  baik.  Kesantunan berbahasa ini sangat penting untuk menentukan keberhasilan komunikasi sehingga
maksud suatu ujaran dapat tersampaikan tanpa menyinggung perasaan mitra tutur. Penggolongan  suatu  tuturan  termasuk  santun  atau  tidak  santun  dapat  dilihat  dari
indikator  kesantunan.  Indikator  kesantunan  adalah  penanda  yang  dapat  dijadikan penentu  apakah  pemakaian  bahasa  Indonesia  penutur  santun  atau  tidak
Pranowo,2012:100.  Penanda  tersebut  dapat  berupa  unsur  kebahasaan  dan  non kebahasaan.  Di  dalam  penelitian  ini,  peneliti  hanya  menggunakan  dua  indikator
kesantunan,  yaitu menurut  Leech 1983 dan Pranowo 2005. Penutur menganggap bahwa  kedua  pendapat  ahli  tersebut  dapat  mewakili  pendapat-pendapat  ahli
sebelumnya  karena  isi  indikator  keduanya  saling  melengkapi.  Masing-masing
indikator  kesantunan  menurut  Leech  dan  Pranowo  akan  dijelaskan  sebagai berikut.
a. Indikator kesantunan menurut Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103.
Di  dalam  penelitian  sebelumnya,  Leech  memandang  bahwa  prinsip kesantunan  sebagai  piranti  untuk  menjelaskan  mengapa  penutur  sering
bertutur  secara  tidak  langsung  untuk  mengungkapkan  maksudnya.  Prinsip kesantunan  tersebut  biasanya  menggunakan  fenomena  implikatur  untuk
memunculkannya. Misalnya dalam contoh tuturan berikut: “Siang ini sangat panas ya?”
Konteks  tuturan:  tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  seorang tamu yang tidak diberi minum oleh tuan rumah
Di  dalam  tuturan  tersebut  penutur  menggunakan  kalimat  tanya  untuk mengimplikasikan sindiran bagi mitra tutur tuan rumah karena dirinya tidak
disuguhi minuman saat bertamu. Namun,  meskipun  tidak  harus  menggunakan  implikatur,  Leech  juga
berpendapat  bahwa    indikator  kesantunan  berbahasa  dapat  di  ungkapkan  ke dalam tujuh maksim, yaitu:
a Tuturan  dapat  memberikan  keuntungan  kepada  mitra  tutur  maksim
kebijaksanaan “tact maxim”. b
Tuturan lebih  baik  menimbulkan  kerugian  pada  penutur  maksim
kedermawanan “generosity maxim”. c
Tuturan  dapat  memberikan  pujian  kepada  mitra  tutur  maksim  pujian “praise maxim”.
d Tuturan tidak memuji diri sendiri maksim kerendahan hati.
e Tuturan  dapat  memberikan  persetujuan  kepada  mitra  tutur  maksim
kesetujuan “agreement maxim”. f
Tuturan  dapat  mengungkapkan  rasa  simpati  terhadap  yang  dialami  oleh mitra tutur maksim simpati “sympathy maxim”.
g Tuturan  dapat  mengungkapkan  sebanyak-banyaknya  rasa  senang  pada
mitra tutur maksim pertimbangan “consideration maxim”. b.
Indikator  kesantunan  menurut  Pranowo  2005  dan  2008,  dalam  Pranowo 2012:103.
Indikator kesantunan menurut Pranowo 2005 terdiri dari enam butir pokok, yaitu:
a Perhatikan  suasana  perasaan  mitra  tutur  sehingga  ketika  bertutur  dapat
membuat hati mitra tutur berkenan angon rasa. b
Pertemukan  perasaan  Anda  dengan  perasaan  mitra  tutur  sehingga  isi komunikasi  sama-sama  dikehendaki  karena  sama-sama  diinginkan  adu
rasa. c
Jagalah  agar  tuturan  dapat  diterima  oleh  mitra  tutur  karena  mitra  tutur sedang berkenan di hati empan papan.
d Jagalah
agar tuturan
memperlihatkan memperlihatkan
rasa ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur sifat rendah hari.
e Jagalah
agar  tuturan  selalu  memperlihatkan  bahwa  mitra  tutur diposisikan pada tempat yang lebih tinggi sikap hormat.
f Jagalah  agar  tuturan  selalu  memperlihatkan  bahwa  apa  yang  dikatakan
kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur sikap tepa selira.
Selain itu, indikator di atas juga dapat dilihat melalui pemakaian kata- kata  tertentu  sebagai  pilihan  kata  diksi  yang  dapat  mencerminkan  rasa
santun, misalnya: a
Gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan orang lain. b
Gunakan frasa “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain.
c Gunakan
kata  “maaf”  untuk  tuturan  yang  diperkirakan  dapat menyinggung perasaan orang lain.
d Gunakan
kata  “berkenan”  untuk  meminta  kesediaan  orang  lain melakukan sesuatu.
e Gunakan  kata  “beliau”  untuk  menyebut  orang  ketiga  yang  dinilai  lebih
dihormati. f
Gunakan kata “BapakIbu” untuk menyebut orang kedua dewasa. Di  dalam  penelitian  lanjutan  Pranowo,2008  menemukan  indikator
kesantunan  tambahan  berupa  nilai-nilai  luhur  yang  dapat  mendukung kesantunan.  Nilai-nilai  tersebut  yaitu  sifat  rendah  hati,  sikap  empan  papan,
sikap  menjaga  perasaan,  sikap  mau  berkorban,  dan  sikap  mawas  diri Pranowo 2008 dalam Pranowo 2012:111-121. Secara ringkas, kelima nilai-
nilai luhur pendukung kesantunan akan dijabarkan sebagai berikut. a
Sifat rendah hati Rendah  hati  sebenarnbya  merupakan  sifat  hakiki  manusia  untuk
menjaga harkat  dan martabat  dirinya  yang berefek pada penghormatan dan  penghargaan  terhadap  orang  lain.  Sifat  rendah  hati  merupakan
produk dari kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri agar tidak sombong  dengan  menjaga  kerukunan  hubungan  dan  memberi
penghormatan  kepada  orang  lain.  Sifat  rendah  hati  dapat dimanifestasikan  melalui  sikap  tenggang  rasa,  malu,  rasa  hormat,
rukun, dan mau mengalah. b
Sikap empan papan Empan  papan  adalah  kesanggupan  seseorang  untuk  menyesuaikan
diri dengan tempat dan waktu dalam berbicara kepada mitra tutur. Sikap ini  dianggap  nilai  luhur  karena  seseorang  mampu  mengendalikan  diri
untuk tidak mengganggu orang lain dalam situasi tertentu yang berbeda dengan situasi normal.
c Sikap menjaga perasaan
Di dalam bertutur kata, hendaknya kita tidak hanya mengandalkan pikiran,
melainkan juga
perasaan. Meskipun
yang akan
dikomunikasikan  adalah  buah  pikiran,  tetapi  ketika  akan  menyapaikan maksud  kepada  mitra  tutur,  biasanya  terlebih  dahulu  berusaha
menjajagi  kondisi  prikologis  mitra  tutur  njaga  rasa.  Hal  ini dimaksudkan agar komunikasi selalu terjaga kesantunannya. Penjajakan
kondisi  psikologis mitra tutur ini dilakukan dengan mengenali suasana hati mitra tutur ini dilakukan dengan mengenali suasana hati mitra tutur
angon rasa. Jika penutur sudah berhasil mengenali suasana hati mitra tutur, penjajakan selanjutnya adalah mengenali kesiapan hati mitra tutur
adu  rasa.  Jika  suasana  dan  kesiapan  hati  mitra  tutur  sudah  berhasil
dikenali, penutur baru berusaha menyampaikan maksud tuturan dengan cara yang sesuai dengan kesiapan hati mitra tutur.
d Sikap mau berkorban
Sikap  mau  berkorban  ialah  kesanggupan  seseorang  untuk  mau berkorban dengan mengesampingkan lepentingan diri sendiri dan tetap
mau  bekerja  untuk  kepentingan  orang  lain.  Sikap  mau  berkorban  ini menjadi  salah  satu  nilai  luhur  pendukung  kesantunan  karena  penutur
berusaha memberikan keuntungan kepada mitra tutur walaupun dirinya sendiri dirugikan.
e Sikap mawas diri
Setiap  orang  hendaknya  mampu  mawas  diri  terhadap  segala  yang pernah  diakukannya.  Mawas  diri  adalah  sikap  menyadari  semua
perbuatan  yang  dilakukan  untuk  dijadikan  sebagai  refleksi  dan pegangan  penilaian  terhadap  perilaku  orang  lain  yang  dianggap  sama
dengan  perilakunya.  Sikap  mawas  diri  ini  merupakan  salah  satu  nilai luhur pendukung kesantunan karena saat mitra tutur melakukan sesuatu
atau berkata sesuatu mengenai hal yang kurang berkenan dihati, penutur dapat  memaklumninya  dan  tidak  berusaha  menyalahkan  mitra  tutur.
2.3 Kerangka Berpikir