Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur koran tempo edisi September - Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

(1)

ABSTRAK

Utami, Agnes Devi. 2015. Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual

dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Karikatur Koran Tempo Edisi September-Desember 2014 sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa

Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini mengkaji tentang penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan daya bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi, (2) mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah karikatur pada Koran Tempo edisi September – Desember 2014. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data penelitian ini adalah teknik observasi (teknik baca-catat). Selain itu, pencatatan observasi dilakukan untuk mengetahui konteks tuturan, makna tanda, dan tanda-tanda ketubuhan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) unsur intralingual dalam daya bahasa pada Karikatur Koran Tempo yang dijadikan sebagai penanda kesantunan berkomunikasi dapat dimunculkan melalui diksi, frasa, klausa, dan kalimat, sedangkan unsur ekstralingual daya bahasa dapat dimunculkan melalui konteks, tanda-tanda ketubuhan, ekspresi wajah, dan tanda-tanda visual. (2) Unsur intralingual dalam nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo yang dijadikan sebagai penanda kesantunan berkomunikasi dapat dimunculkan melalui diksi, frasa, klausa, dan kalimat, sedangkan unsur ekstralingual nilai rasa bahasa dapat dimunculkan melalui konteks, tanda-tanda ketubuhan, ekspresi wajah, dan tanda-tanda visual. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa dapat memunculkan tuturan yang santun dan tidak santun.


(2)

ABSTRACT

Utami, Agnes Devi. 2015. The use of Intralingual and Extralingual Elements

within Language Power and Language Sense Value in Caricatures of Tempo Newspaper on September December 2014 Edition as a Sign of Mannared Communicate. Thesis. Yogyakarta: language Study Program,

Indonesian Literature, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University in Yogyakarta.

This study examines the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value in caricatures of Tempo Newspaper as a sign of mannared communicate. The purpose of this study was (1) to describe the use of intralingual and extralingual to bring out the language power in caricatures of Tempo Newspaper as a sign of mannared communicate. (2) describe the use of intralingual and extralingual to bring out the sense of language in caricatures of Tempo Newspaper as a sign of mannared communicate.

The research is descriptive qualitative. The source of data research is the caricatures of Tempo Newspaper for September – December 2014 edition. Data collecting techniques used to obtain the data of this study is observational technique (read-note). This research instrument is the researcher herself armed with the knowledge of the theory of semantic and pragmatic. Besides, the researcher write the observation to know the discourse contexts, meaning of sign, and body signs. Validation is done with consulting to the pragmatic experts and having subject conversation with colleagues.

The results of research are (1) the intralingual elemens of language power in caricatures of tempo newspaper as a sign of mannared communicate which appear are diction, phrase, clause, and sentence, meanwhile extralingual elemens can appear are contexts, body signs, facial expression, and visual signs. (2) The intralingual elemens of language sense value in caricatures of tempo newspaper as a sign of mannared communicate which appear are diction, phrase, clause, and sentence, meanwhile extralingual elemens can appear are contexts, body signs, facial expression, and visual signs. The conclusion of this research is that the intralingual and extralingual elements of language power and the value of language sense could bring out the mannered and not mannered discourse. The conclusion of this research is that the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value in caricatures of tempo newspaper could bring out the mannered and not mannered discourse.


(3)

1

PENGGUNAAN UNSUR INTRALINGUAL DAN EKSTRALINGUAL DALAM DAYA BAHASA DAN NILAI RASA BAHASA

PADA KARIKATUR KORAN TEMPO EDISI SEPTEMBER - DESEMBER 2014

SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERKOMUNIKASI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh: Agnes Devi Utami

111224065

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

PENGGUNAAN UNSUR INTRALINGUAL DAN EKSTRALINGUAL DALAM DAYA BAHASA DAN NILAI RASA BAHASA

PADA KARIKATUR KORAN TEMPO EDISI SEPTEMBER - DESEMBER 2014

SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERKOMUNIKASI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh : Agnes Devi Utami

111224065

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(5)

(6)

(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada Tuhan Yesus, Orang tuaku, Kakakku tercinta, serta keluarga besarku.


(8)

MOTO

Bersyukur itu tidak berhenti pada suatu keadaan menerima saja, tetapi berusahalah bekerja keras untuk menciptakan yang terbaik.


(9)

(10)

(11)

ABSTRAK

Utami, Agnes Devi. 2015. Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual

dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Karikatur Koran Tempo Edisi September-Desember 2014 sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa

Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini mengkaji tentang penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan daya bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi, (2) mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah karikatur pada Koran Tempo edisi September – Desember 2014. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data penelitian ini adalah teknik observasi (teknik baca-catat). Selain itu, pencatatan observasi dilakukan untuk mengetahui konteks tuturan, makna tanda, dan tanda-tanda ketubuhan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) unsur intralingual dalam daya bahasa pada Karikatur Koran Tempo yang dijadikan sebagai penanda kesantunan berkomunikasi dapat dimunculkan melalui diksi, frasa, klausa, dan kalimat, sedangkan unsur ekstralingual daya bahasa dapat dimunculkan melalui konteks, tanda-tanda ketubuhan, ekspresi wajah, dan tanda-tanda visual. (2) Unsur intralingual dalam nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo yang dijadikan sebagai penanda kesantunan berkomunikasi dapat dimunculkan melalui diksi, frasa, klausa, dan kalimat, sedangkan unsur ekstralingual nilai rasa bahasa dapat dimunculkan melalui konteks, tanda ketubuhan, ekspresi wajah, dan tanda-tanda visual. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa dapat memunculkan tuturan yang santun dan tidak santun.


(12)

ABSTRACT

Utami, Agnes Devi. 2015. The use of Intralingual and Extralingual Elements

within Language Power and Language Sense Value in Caricatures of Tempo Newspaper on September December 2014 Edition as a Sign of Mannared Communicate. Thesis. Yogyakarta: language Study Program,

Indonesian Literature, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University in Yogyakarta.

This study examines the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value in caricatures of Tempo Newspaper as a sign of mannared communicate. The purpose of this study was (1) to describe the use of intralingual and extralingual to bring out the language power in caricatures of Tempo Newspaper as a sign of mannared communicate. (2) describe the use of intralingual and extralingual to bring out the sense of language in caricatures of Tempo Newspaper as a sign of mannared communicate. The research is descriptive qualitative. The source of data research is the caricatures of Tempo Newspaper for September – December 2014 edition. Data collecting techniques used to obtain the data of this study is observational technique (read-note). This research instrument is the researcher herself armed with the knowledge of the theory of semantic and pragmatic. Besides, the researcher write the observation to know the discourse contexts, meaning of sign, and body signs. Validation is done with consulting to the pragmatic experts and having subject conversation with colleagues.

The results of research are (1) the intralingual elemens of language power in caricatures of tempo newspaper as a sign of mannared communicate which appear are diction, phrase, clause, and sentence, meanwhile extralingual elemens can appear are contexts, body signs, facial expression, and visual signs. (2) The intralingual elemens of language sense value in caricatures of tempo newspaper as a sign of mannared communicate which appear are diction, phrase, clause, and sentence, meanwhile extralingual elemens can appear are contexts, body signs, facial expression, and visual signs. The conclusion of this research is that the intralingual and extralingual elements of language power and the value of language sense could bring out the mannered and not mannered discourse. The conclusion of this research is that the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value in caricatures of tempo newspaper could bring out the mannered and not mannered discourse.


(13)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa

dan Nilai Rasa Bahasa pada Karikatur Koran Tempo Edisi Septeber – Desember 2014 sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi” dengan lancar. Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa selama penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan semua pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan lancar. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang selama ini memberikan bantuan, bimbingan, nasihat, motivasi, doa, dan kerja sama yang tidak ternilai harganya dari awal sampai akhir penulisan skripsi ini. Sehubungan dengan hal itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D. selaku Dekan FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 2. Dr. Yuliana Setiyaningsih selaku Kaprodi PBSI yang telah memberikan

motivasi kepada penulis selama menyelesaikan skripsi.

3. Prof. Dr. Pranowo,M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah banyak mengorbankan waktu, pikiran, kesabaran, tenaga dan motivasi selama membimbing penulis.

4. Seluruh dosen PBSI yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan serta wawasan kepada penulis selama belajar di Prodi PBSI sehingga penulis mempunyai bekal menjadi pengajar yang cerdas, humanis, dan profesional. 5. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah menyediakan buku-buku

penunjang selama penulis menyelesaikan skripsi. x


(14)

6. Karyawan sekretariat PBSI yang telah membantu penulis dalam hal menyelesaikan skripsi.

7. Orang tua saya tercinta, Agustinus Sumarno dan Christina Sagiyem yang telah memberikan doa, semangat, dan motivasi kepada penulis.

8. Kedua kakakku, Daniel Wawan Joko Susilo dan Susanti yang telah memberikan doa dan motivasinya.

9. Teman-teman kelompok payung hibah bersaing, Maria Retno Purwandani, Wahyu Nurasih, Sofylia Melati, Veranita Ragil Sagita, Antonia Andari, dan Sr. Elisabeth Desi F.D Radja yang telah memberikan semangat, motivasi, serta kekompakan yang luar biasa selama menyelesaikan skripsi.

10.Sahabat-sahabatku, Nency Putri Damayanti, Risti Anggraeni, Stevani Meilia Dheritama, Bella Nurmalasari yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.

11.Teman-teman PBSI angkatan 2011 yang banyak memberikan informasi, motivasi, serta dukungan kepada penulis.

12.Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.


(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTO ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Ruang Lingkup... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.6 Batasan Istilah ... 6

1.7 Sistematika Penyajian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1 Penelitian yang Relevan ... 9

2.2 Kajian Teoretis ... 10

2.2.1 Kajian Bahasa secara Semiotika ... 11

2.2.2 Kajian Bahasa secara Pragmatik ... 13

2.2.3 Unsur Intralingual ... 18

2.2.4 Unsur Ekstralingual ... 25


(16)

2.2.5 Kajian Daya Bahasa ... 28

2.2.6 Kajian Nilai Rasa Bahasa ... 30

2.2.7 Fungsi Komunikatif Bahasa ... 35

2.2.8 Karikatur ... 37

2.2.9 Kesantunan Berbahasa ... 40

2.3 Kerangka Berpikir ... 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 47

3.1 Jenis Penelitian... 47

3.2 Sumber Data dan Data Penelitian ... 48

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 48

3.4 Instrumen Penelitian ... 49

3.5 Teknik Analisis Data... 50

3.6 Triangulasi Data ... 50

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 52

4.1 Deskripsi Data Penelitian ... 52

4.2 Analisis Data ... 53

4.2.1 Analisis Analisis Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi ... 53

4.2.1.1 Daya Ancam... 54

4.2.1.1.1 Daya Sindir ... 54

4.2.1.1.2 Daya Kritik... 63

4.2.1.1.3 Daya Ejek ... 69

4.2.1.1.4 Daya Peringatan ... 74

4.2.1.2 Daya Paksa ... 75

4.2.1.2.1 Daya Ajak ... 76

4.2.1.2.2 Daya Meminta ... 80

4.2.1.2.3 Daya Imbauan ... 83

4.2.1.2.4 Daya Larangan ... 86

4.2.1.2.2 Daya Suruh... 88

4.2.1.3 Daya Kabar ... 89 xiii


(17)

4.2.1.3.1 Daya Penegasan ... 89

4.2.1.4.2 Daya Informatif ... 94

4.2.1.4 Daya Penolakan ... 96

4.2.1.4.1 Daya Ketidaksetujuan ... 96

4.2.1.4.2 Daya Protes ... 99

4.2.1.5 Daya Harap ... 101

4.2.1.6 Daya Ungkap ... 104

4.2.1.7 Daya Pikat ... 106

4.2.2 Analisis Analisis Unsur Intralingual dan Ekstralingual Nilai Rasa Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi ... 109

4.2.2.1 Nilai Rasa Halus ... 109

4.2.2.2 Nilai Rasa Kasar ... 117

4.2.2.3 Nilai Rasa Marah (kecewa, kesal, sebal) ... 122

4.2.2.4 Nilai Rasa Yakin (mantap, pasti, optimistis) ... 127

4.2.2.5 Nilai Rasa Heran (kaget, merasa terkejut) ... 133

4.2.2.6 Nilai Rasa Takut-Cemas (cemas, ragu, khawatir, bingung, pesimistis, curiga) ... 138

4.2.2.7 Nilai Rasa Bahagia (senang, bahagia, gembira, puas).. ... 145

4.2.2.8 Nilai Rasa Sombong (sombong, bangga)... 149

4.2.2.9 Nilai Rasa Benci (dendam, iri)... 152

4.2.2.10 Nilai Rasa Egoistis ... 154

4.2.2.11 Nilai Rasa Sedih ... 156

4.2.2.12 Nilai Rasa Tertekan ... 158

4.2.2.13 Nilai Rasa Munafik ... 161

4.2.2.14 Nilai Rasa Plintat-Plintut ... 164

4.2.2.16 Nilai Rasa Simpatik ... 165

4.2.2.16 Nilai Rasa Merasa Bersalah ... 167

4.2.2.17 Nilai Rasa Salah Paham ... 168

4.3 Pembahasan... 170

4.3.1 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi ... 170


(18)

4.3.2 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Nilai Rasa

Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi ... 175

BAB V PENUTUP ... 187

5.1 Kesimpulan ... 187

5.2 Saran ... 188

DAFTAR PUSTAKA ... 190

LAMPIRAN - LAMPIRAN ... 192

BIOGRAFI PENELITI ... 280


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Media cetak merupakan jenis media massa yang akan melibatkan komunikasi antara penulis dengan pembaca. Salah satu jenis media cetak yang sering dijumpai ialah surat kabar. Surat kabar atau biasa disebut sebagai koran merupakan jenis media cetak yang menampilkan berita mau pun opini. Isi berita yang disajikan berupa kejadian-kejadian politik, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Berita dalam surat kabar mempunyai lingkup yang sangat luas, yaitu berita daerah, berita nasional, bahkan berita internasional. Fungsi umum dari surat kabar ialah memberikan informasi yang up to date, aktual, dan terpercaya. Selain itu, surat kabar juga berfungsi sebagai sarana hiburan, karena di dalam surat kabar juga terdapat rubrik opini yang sifatnya menghibur.

Salah satu pengisi rubrik opini dalam surat kabar ialah karikatur. Wijana (2003:xx) menyebutkan bahwa karikatur adalah gambar bermuatan humor atau satir dalam berbagai media massa dengan mengambil tokoh-(tokoh) orang yang terkenal atau orang-orang biasa yang karena peristiwa tertentu menjadi terkenal. Karikatur dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk menyampaikan kritik yang sehat, karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar-gambar yang lucu dan menarik. Secara khusus, media karikatur ini diciptakan sebagai cermin yang dapat memantulkan tingkah laku setiap orang, baik secara pribadi mau pun secara sosial dalam masyarakat luas.


(20)

Untuk dapat mengetahui pesan yang terkandung dalam karikatur, pembaca harus mampu mengenali dan mengerti tanda-tanda visual yang ada dalam karikatur tersebut, karena tampilan umum karikatur hanyalah gambar-gambar, dan disisipkan sedikit kata-kata agar mempermudah pembaca untuk memahaminya. Pemilihan bahasa dalam karikatur juga harus diperhatikan, jangan sampai menyinggung hati orang lain. Sekarang ini, banyak masyarakat yang sering bersikap kasar dan tidak santun ketika menulis sesuatu hal untuk orang lain, sehingga tingkat kesantunan dalam berkomunikasi menjadi berkurang. Untuk dapat mengefektifkan kesantunan dalam berkomunikasi, seorang penutur harus mampu memanfaatkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Pada tampilan karikatur, kita dapat melihat bagaimana permainan kata-kata dan gambar-gambar yang digunakan untuk dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

Daya bahasa adalah kadar kekuatan bahasa yang tersembunyi di balik kata dengan maksud untuk meningkatkan fungsi bahasa dalam berkomunikasi, sedangkan nilai rasa bahasa merupakan kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan karena penutur mengungkapkan domain afektifnya menggunakan bahasa dalam berkomunikasi sehingga mitra tutur dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan. Daya bahasa dan nilai rasa bahasa dapat muncul melalui unsur yang terkandung dalam bahasa itu sendiri atau bisa disebut sebagai unsur intralingual, dan unsur dari luar bahasa itu, yang bisa disebut sebagai unsur ekstralingual.


(21)

Banyak masyarakat yang kurang memahami adanya unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa, khususnya pada karikatur, sehingga kadang kala proses terjadinya komunikasi tidak berjalan dengan lancar. Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur memiliki peran yang sangat penting sebagai penanda kesantunan dalam berkomunikasi. Seorang karikaturis harus pandai dalam mempermainkan kata-kata dan gambar, sehingga kolaborasi yang dihasilkan dapat dimaknai oleh pembaca. Pemanfaatan berbagai unsur bahasa seperti pilihan kata (diksi), frasa, klausa, dan kalimat dapat dijadikan sebagai penanda penggunaan unsur intralingual untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Komunikasi yang baik tidak hanya mengandalkan unsur intralingual saja, tetapi juga unsur ekstralingual. Unsur ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur dapat dimunculkan melalui konteks, sinyal (tanda-tanda ketubuhan), ekspresi wajah, dan tanda visual (simbol, ikon, indeks).

Kajian yang dapat digunakan untuk mengetahui penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi ialah kajian pragmatik dan semiotika. Kajian pragmatik digunakan untuk menerangjelaskan maksud ujaran yang terkandung dalam unsur ekstralingualnya. Kajian semiotikaa digunakan untuk menerangjelaskan makna tanda-tanda sebelum dan sesudah digunakan di dalam suatu tuturan. Dengan demikian, penelitian unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa


(22)

bahasa pada karikatur sebagai penanda kesantunan berkomunikasi sangat penting untuk dilakukan. Jika hal ini dapat terselesaikan dengan baik, maka kekasaran dan ketidaksantunan dalam berkomunikasi, khususnya secara tertulis akan dapat berkurang dan secara perlahan akan terbentuk masyarakat yang santun.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah “Bagaimanakah penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam

daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo edisi

September-Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi?”.

Berdasarkan rumusan masalah di atas, disusun sub rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan daya bahasa pada Karikatur Koran Tempo edisi September-Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi?

2. Bagaimanakah penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo edisi September-Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada


(23)

Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi, sedangkan tujuan khususnya adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan daya bahasa pada Karikatur Koran Tempo edisi September-Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. 2. Mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual

untuk memunculkan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo edisi September-Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

1.4 Ruang Lingkup

Penelitian ini memiliki tiga ruang lingkup di antaranya:

1. Penelitian ini adalah penelitian pragmatik yang mendeskripsikan daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi dengan memperhatikan unsur intralingual dan unsur ekstralingual bahasa.

2. Data penelitian difokuskan pada Karikatur Koran Tempo.

3. Waktu penelitian dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu dari bulan September sampai Desember 2014.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan pembaca dalam memahami unsur intralingual dan unsur ekstralingual dalam daya bahasa


(24)

dan nilai rasa bahasa, sehingga kekasaran dan ketidaksantunan dalam berkomunikasi akan semakin berkurang, dan secara perlahan akan terbentuk masyarakat yang santun. Selain itu, melalui penelitian ini, peneliti dapat belajar untuk lebih memahami unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang dapat dijadikan penanda santun tidaknya suatu tuturan. Pemahaman mengenai unsur intralingual dan ekstralingual dalam berkomunikasi ini dapat mengoptimalkan kata-kata dan ekspresi yang digunakan agar tuturan lebih santun. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan inspirasi dan rujukan kepada peneliti lain yang ingin meneliti unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada objek lain, mengingat penelitian tentang hal tersebut masih sangat minim. 2. Teoretis

Penelitian ini akan mampu memberikan kontribusi terhadap teori kesantunan berbahasa, terutama yang berkaitan dengan penanda kesantunan dalam komunikasi dari perspektif pragmatik dan semantik, karena saat ini belum ada buku yang secara spesifik membahas tentang unsur intralingual dan ektralingual sebagai penanda kesantunan dalam berkomunikasi.

1.6 Batasan Istilah 1. Unsur Intralingual

Unsur intralingual adalah unsur-unsur kebahasaan yang digunakan untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa, seperti diksi, frasa, klausa, dan kalimat (Pranowo, 2013).


(25)

2. Unsur Ekstralingual

Bahasa nonverbal (unsur ekstralingual) adalah bahasa yang diungkapkan melalui mimik, gerakan tubuh, sikap, dan perilaku (Pranowo, 2012:3).

3. Daya Bahasa

Daya bahasa adalah kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk mengefektifkan komunikasi (Pranowo, 2012:128).

4. Nilai Rasa Bahasa

Nilai rasa bahasa merupakan kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan sehingga mitra tutur dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan tersebut (Joko Pradopo, 2002).

5. Karikatur

Karikatur adalah kartun opini yang merupakan visualisasi dari tajuk rencana dalam surat kabar yang tidak sekedar menyajikan fakta, melainkan fakta dalam kaitan sosialnya (Sudarta, 1987).

6. Kesantunan Berbahasa

Kesantunan berbahasa adalah sikap, perilaku, ujaran, tulisan, maupun penampilan dalam kehidupan sehari-hari yang dapat mencerminkan kepribadian yang baik (Pranowo, 2012:4).

1.7 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian penelitian ini terdiri dari Bab I, Bab II, Bab III, Bab IV, Bab V, dan Daftar Pustaka. Bab I dalam penelitian ini berisi pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah, tujuan


(26)

penelitian, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian.

Bab II dalam penelitian ini berisi kajian pustaka. Pada bab ini, akan menguraikan tinjauan pustaka dan kajian teoretis.

Bab III dalam penelitian ini berisi metodologi penelitian. Pada bab ini, akan diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan metode dalam penelitian, yaitu (1) jenis penelitian, (2) sumber data dan data penelitian, (3) teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) teknik analisis data, dan (6) triangulasi data.

Bab IV dalam penelitian ini berisi hasil penelitian dan pembahasan. Pada bab ini, akan diuraikan mengenai deskripsi data dan pembahasan hasil penelitian. Pada bab ini juga disajikan deskripsi data, hasil analisis, dan pembahasan hasil analisis data sesuai dengan rumusan masalah yang sudah ditentukan.

Bab V dalam penelitian ini berisi bagian penutup. Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan penelitian dan saran untuk peneliti selanjutnya.


(27)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang daya bahasa ini sebelumnya telah diteliti oleh Cicilia Verlit Warasinta tahun 2013 dengan judul “Daya Bahasa pada Iklan Surat Kabar Harian Kompas Edisi November-Desember 2012”. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan daya bahasa dipengaruhi oleh diksi dan konteks. Penulis iklan harus mampu menyusun atau merangkai diksi dengan memanfaatkan daya bahasa agar terbentuk kalimat yang efektif, sehingga dapat membujuk atau mempengaruhi pikiran pembaca.

Penelitian tentang nilai rasa bahasa sebelumnya juga telah diteliti oleh Dini Suryani tahun 2013 dengan judul “Nilai Rasa Bahasa pada Diksi dalam Dialog Interaktif di Mata Najwa, Metro TV Bulan Oktober dan November 2012”. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata-kata yang halus dianggap mengandung nilai rasa halus, sedangkan kata-kata yang bermakna kasar mengandung nilai rasa kasar. Selain itu, kata-kata perasaan juga digunakan untuk menunjuk kadar perasaan penutur.

Penelitian lain yang relevan ialah penelitian dengan judul “Karikatur Karya G.M. Sudarta di Surat Kabar Kompas Kajian Pragmatik” oleh Slamet Supriyadi pada tahun 2011. Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam aspek kebahasaan teks karikatur, karikaturis melanggar prinsip kerja sama maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan maksim pelaksanaan/cara. Prinsip


(28)

kesopanan yang diterapkan ialah maksim kebijaksanaan, kecocokan, kesimpatian, dan maksim kerendahan hati, sehingga wacana atau teks yang ada dalam karikatur mampu memperjelas dan menyatukan teks dan gambar dalam satu makna yang utuh.

Perbedaan ketiga penelitian di atas dengan penelitian ini terletak pada bidang kajian. Penelitian ini akan mengkaji tentang penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang ada dalam karikatur sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Sebelumnya belum ada penelitian yang membahas mengenai kajian dalam objek tersebut secara spesifik.

2.2 Kajian Teoretis

Penelitian penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo merupakan penelitian bidang semiotika dan pragmatik. Teori pragmatik digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat ekstralingual, terutama yang berkaitan dengan konteks pemakaian bahasa. Teori semiotikaa digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat intralingual maupun ekstralingual. Teori semiotika yang digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat intralingual yaitu makna tanda-tanda sebelum digunakan di dalam suatu tuturan, sedangkan teori semiotika yang digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat ekstralingual yaitu maksud tanda-tanda sesudah digunakan di dalam suatu tuturan.

Kedua teori tersebut digunakan sebagai pedoman untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya


(29)

bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Kajian teoritis yang digunakan adalah sebagai berikut.

2.2.1 Kajian Bahasa secara Semiotika

Semiotika merupakan ilmu tentang tanda-tanda. Budiman (2011:9) mengungkapkan bahwa semiotika visual merupakan studi semiotika yang secara khusus menaruh minat pada penyelidikan terhadap segala jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra lihatan. Charles Morris (dalam Budiman, 2011:4) juga mengungkapkan bahwa semiotika sebagai ilmu tentang tanda-tanda dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Di dalam hubungannya dengan objek kajian karikatur, maka teori semiotika yang sesuai ialah penyelidikan semantik dan pragmatik.

1. Semantik : suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan designata atau objek yang diacunya. Bagi Morris, yang dimaksudkan dengan designata adalah makna tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.

2. Pragmatik : suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakainya. Pragmatik secara khusus berhubungan dnegan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.

Tanda diartikan sebagai perwakilan dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria, seperti nama, peran, fungsi, tujuan, dan makna. Tanda merupakan sesuatu yang menandai suatu hal untuk menerangkan sebuah objek. Di dalam hal ini,


(30)

tanda selalu menunjuk pada suatu hal yang nyata, misalnya benda, kejadian, tulisan, bahasa, tindakan, peristiwa, dan lain-lain. Misalnya, kalau kita melihat orang menangis, maka itu menjadi tanda bahwa orang tersebut sedang sedih. Danesi (2010:38) mengidentifikasi tiga jenis tanda yang lazim digunakan pelbagai karya semiotika, diantaranya ikon, indeks, dan simbol.

a) Ikon

Ikon adalah tanda yang didasarkan atas “keserupaan” atau “kemiripan”. Gambar-gambar figur sederhana yang sering dijumpai di depan toilet umum merupakan objek yang dipandang menyerupai manusia. Gambar-gambar kecil yang terdapat di layar komputer juga disebut sebagai ikon yang mewakili sebuah perintah.

b) Indeks

Budiman (2011:79) mengartikan indeks sebagai tanda yang memiliki kaitan fisik. Misalnya, sebuah tiang penunjuk jalan merupakan indeks dari arah atau nama jalan. Sebuah penunjuk angin merupakan indeks dari keberadaan angin atau indeks dari arah tiupan angin.

c) Simbol

Lambang atau symbol adalah sesuatu hal atau keadaan yang membimbing pemahaman subjek kepada objek. Lambang selalu dikaitkan dengan adanya tanda-tanda yang sudah diberi sifat-sifat kultural, situasional, dan kondisional. Misalnya warna merah pada bendera Indonesia melambangkan semangat yang tidak mudah dipadamkan, dan warna putih secara kultural, situasional, mau pun kondisional bermakna suci dan bersih.


(31)

Dengan demikian, lambang dapat dimaknai sebagai tanda yang bermakna dinamis, khusus, subjektif, kias, dan majas.

2.2.2 Kajian Bahasa secara Pragmatik

Pragmatik merupakan ilmu tentang bahasa yang membahas tentang maksud yang ingin disampaikan penutur kepada mitra tutur. Studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya. Sejalan dengan Yule (2006:3) yang mengungkapkan bahwa pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Studi ini melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang terhadap apa yang dikatakannya. Kajian yang paling penting dalam pragmatik ialah konteks.

Daya pragmatik sangat bergantung pada konteks yang berlangsung pada waktu tuturan diujarkan dalam sebuah peristiwa tutur (Warasinta, 2013:14). Di dalam karikatur, konteks sangat memengaruhi bentuk bahasa yang digunakan oleh penulis atau karikaturis. Gagasan tentang konteks sebenarnya merupakan salah satu pisau analisis dalam bidang pragmatik. Tanpa adanya konteks, analisis pragmatik sangatlah sulit. Teori mengenai konteks ini dapat digunakan oleh peneliti untuk menjawab fenomena yang berhubungan dengan mengapa dan bagaimana sebuah tuturan atau kalimat itu muncul. Konteks situasi tuturan menunjuk pada aneka macam kemungkinan latar belakang pengetahuan yang muncul dan dimiliki oleh penulis mau pun pembaca, serta aspek nonkebahasaan yang melatarbelakangi hadirnya sebuah tuturan. Yule sedikit menyinggung teori tentang konteks, yaitu lingkungan fisik di mana sebuah kata itu dipergunakan.


(32)

Mey (2001) mendefinisikan konteks sebagai konsep dinamis yang harus dipahami sebagai lingkungan yang senantiasa berubah. Jadi, konteks merupakan sebuah pemahaman.

Yule (2006:13) mengungkapkan bahwa konteks dapat diketahui melalui berbagai aspek pragmatik yang meliputi (1) praanggapan, (2) tindak tutur, (3) implikatur, dan (4) deiksis. Secara terperinci, keempat aspek pragmatik yang digunakan untuk memunculkan konteks akan diuraikan sebagai berikut.

a. Praanggapan

Satu kategori fenomena-fenomena pragmatik lebih lanjut yang signifikan adalah praanggapan. Secara umum, praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Namun, tidak semua inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu merupakan pranggapan-praanggapan yang tepat terhadap suatu ujaran. Sebuah tuturan dapat dikatakan mempraanggapan tuturan yang lain apabila ketidakbenaran tuturan yang dipresuposisikan mengakibatkan kebenaran atau ketidakbenaran tuturan yang mempresuposisikan tidak dapat dikatakan (Rahardi, 2006:42). Singkatnya, praanggapan adalah anggapan penutur mengenai kejadian sebelum menghasilkan tuturan. Tuturan yang berbunyi Siswa tercantik di sekolah

itu sangat malas. Tuturan tersebut mempraanggapkan adanya seorang siswa yang

berwajah cantik. Tuturan itu dapat dinilai benar atau salahnya, apabila pada kenyataannya memang ada seorang wanita yang berwajah cantik. Namun, apabila di sekolah itu tidak ada seorang siswa yang berwajah cantik, tuturan tersebut tidak dapat ditentukan benar atau salahnya.


(33)

b. Tindak Tutur

Tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan disebut tindak tutur. Istilah diskriptif untuk tindak tutur yang berlainan digunakan untuk maksud komunikatif penutur dalam menghasilkan tuturan. Penutur biasanya berharap maksud komunikatifnya akan dimengerti oleh mitra tutur.

Austin (dalam Cumming, 2007:9) mengklasifikasikan rangkap tiga terhadap tindak tutur, yaitu ketika seseorang bertutur, seseorang melakukan tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. (1) Tindak lokusi, merupakan pengujaran kalimat tertentu dengan pengertian dan acuan tertentu, yang sama dengan makna suatu kalimat atau ujaran tersebut. (2) Tindak ilokusi ialah ujaran-ujaran yang memiliki daya tertentu. Berbagai tindak ilokusi misalnya memberi tahu, memerintah, mengingatkan, melaksanakan, dan sebagainya. (3) Tindak perlokusi ialah efek atau apa yang dihasilkan dari tuturan tersebut, seperti membujuk, meyakinkan, dan sebagainya. Di antara ketiga dimensi tersebut, yang paling banyak dibahas adalah tekanan ilokusi. Tekanan ilokusi suatu tuturan adalah apa yg diperhitungkan tekanan itu.

c. Implikatur

Ketika bertutur, penutur dan mitra tutur dapat secara lancar berkomunikasi karena keduanya memiliki semacam kesamaan latar belakang pengetahuan tentang sesuatu yang dipertuturkan itu. Di antara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak percakapan tidak tertulis bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu saling dimengerti. Grice dalam Rahardi (2006:43) menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari


(34)

tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan itu dapat disebut dengan implikatur percakapan. Sementara Yule (2006:62) menjelaskan bahwa implikatur adalah contoh utama dari banyaknya informasi yang disampaikan daripada yang dikatakan. Jadi, implikatur adalah sesuatu yang dinyatakan secara tersirat, sehingga apa yang dikatakan bukanlah yang dimaksudkan.

Tuturan yang berbunyi Ayah pulang, cepat belajar! Tidak semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa ayah sudah kembali ke rumah. Si penutur bermaksud memperingatkan mitra tutur bahwa sang ayah yang bersikap keras itu akan marah apabila melihat ia bermain dan tidak belajar. Dengan kata lain, tuturan itu diimplikasikan bahwa sang ayah adalah seorang yang keras, disiplin, dan sering marah-marah apabila melihat anaknya tidak belajar. Di dalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud yang tidak dituturkan itu bersifat tidak mutlak. Inferensi maksud tuturan itu harus didasarkan pada konteks situasi tutur yang mewadahi munculnya tuturan tersebut. d. Deiksis

Deiksis adalah istilah atau ungkapan mendasar yang dilakukan dengan tuturan. Ungkapan deiksis merupakan bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan “penunjukan”. Dengan demikian, deiksis berarti „penunjukan‟ melalui bahasa (Yule, 2006:13). Ketika seseorang bertemu dengan objek asing, maka ia akan bertanya, “benda apa itu?”, maka orang tersebut menggunakan

ungkapan deiksis, yaitu kata “itu” untuk menunjuk sesuatu.

Deiksis juga mengacu pada bentuk yang terkait dengan konteks penutur, yaitu ungkapan deiksis yang dekat dari penutur (ini, di sini, sekarang), dan


(35)

ungkapan deiksis yang jauh dari penutur (itu, di sana, pada saat itu). Jenis deiksis ada lima, yaitu deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu deiksis sosial, dan deiksis wacana.

a) Deiksis Persona

Dengan cara menyebut penutur („saya‟) dan mitra tutur („kamu‟), maka perbedaan tersebut melibatkan deiksis persona. Deiksis persona menerapkan tiga pembagian dasar, yaitu kata ganti orang pertama (“saya” dan “kami”), orang kedua (“kamu” dan “anda”), dan kata ganti orang ketiga (“dia” dan “mereka”). Salah satu contoh tentang perbedaan sosial yang dikodekan dalam deiksis persona adalah perbedaan antara bentuk yang dipakai untuk lawan tutur yang sudah dikenal dibandingkan dengan bentuk yang dipakai untuk lawan tutur yang belum dikenal dalam beberapa bahasa.

b) Deiksis tempat

Konsep yang berhubungan erat dengan deiksis tempat, yaitu tempat hubungan antara orang dan benda yang ditunjukkan. Dalam mempertimbangkan deiksis tempat, perlu diingat bahwa tempat, dari sudut pandang penutur, dapat ditetapkan baik secara mental mau pun fisik. Penutur juga dapat membayangkan dirinya berada di tempat sebelum dia berada di tempat tersebut. Deiksis tempat dapat dibagi menjadi tiga, yaitu yang dekat dengan penutur (“di sini”), yang tidak dekat dengan penutur tetapi dekat dengan mitra tutur (“di situ”), dan yang tidak dekat dengan penutur dan mitra tutur (“di sana”).


(36)

Deiksis waktu adalah pemberian bentuk pada rentang waktu. Deiksis

waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala”. Misalnya: Saya lupa membaca

majalah kemarin. Kata kemarin merupakan deiksis waktu.

d) Deiksis wacana

Cummings (2007:46), mengungkapkan bahwa dalam deiksis wacana, ungkapan linguistik digunakan untuk mengacu pada suatu bagian tertentu dari wacana yang lebih luas (baik teks tertulis mau pun teks lisan) tempat terjadinya ungkapan-ungkapan tersebut. Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu adalah kata/frasa: ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah,

ialah, yaitu, dan sebagainya.

e) Deiksis sosial

Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran penutur dan mitra tutur. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Deiksis sosial ini rujukannya berpindah-pindah sesuai dengan tataran sosial masyarakat. Misalnya kata aku digunakan untuk berbicara kepada yang seumuran, kata saya untuk berbicara kepada yang lebih tua, dan kata beliau untuk orang yang lebih tua dan dihormati.

2.2.3 Unsur Intralingual

Unsur intralingual merupakan segala unsur di dalam bahasa yang dapat berupa bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Unsur intralingual sering disebut juga dengan bahasa verbal. Pemakaian bahasa verbal memiliki unsur utama


(37)

berupa kata, frasa, klausa, dan kalimat. Pendapat tersebut sejalan dengan Pranowo (2013), yang mengungkapkan bahwa kajian intraingual meliputi bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Kajian intralingual tersebut tidak hanya sebatas pada aspek kebahasaan saja, melainkan sampai pada makna. Aspek-aspek bahasa tersebut tanpa dimaknai tidak akan ada artinya.

Di dalam hubungannya dengan kajian daya bahasa dan nilai rasa bahasa, bahasa verbal digunakan untuk menganalisis unsur intralingual. Menurut Pranowo (2012:3), bahasa verbal adalah bahasa yang diungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk ujaran atau tulisan. Daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam bahasa verbal (unsur intralingual) biasanya akan memiliki efek yang sangat kuat jika didukung oleh bahasa nonverbal. Jika bahasa verbal yang dimaksud adalah bahasa tulis, penanda jeda pendek, sedang, panjang, dan panjang sekali diwujudkan berupa pemisahan kata, tanda koma, tanda titik, pergantian paragraf, dan pergantian wacana. Sementara itu, jika bahasa verbal yang dimaksud adalah bahasa lisan, penanda jeda diwujudkan berupa intonasi, tekanan, dan irama. Di samping itu, bahasa verbal lisan juga memanfaatkan permainan bunyi, permainan kata, gaya bahasa, idiom dapat memberi efek komunikatif bagi mitra tutur. Jadi, daya bahasa dan nilai rasa bahasa dapat terjadi dalam bahasa lisan mau pun bahasa tulis tetapi cara memasukkannya berbeda-beda.

Unsur intralingual merupakan unsur bahasa tertulis yang menjadi penanda suatu tuturan, misalnya pilihan kata, ungkapan khas, kata seru, kata tutur, kata asing, kata basa-basi, kata honorifik, sapaan mesra “ayang, papi, bunda, diajeng”, umpatan, pujian, dan sebagainya. Unsur intralingual dalam hubungannya dengan


(38)

penelitian ini mengacu pada unsur-unsur kebahasaan yang digunakan untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Teori semantik digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat intralingual. Dengan kata lain, unsur intralingual adalah unsur bahasa yang ada di dalam bahasa itu sendiri. Unsur intralingual dapat terlihat jelas apabila dikaji dengan memperhatikan aspek-aspek berikut.

a. Kata (Pilihan Kata)

Kata merupakan satuan gramatikal bebas terkecil. Menurut Chaer (2012:162), kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi, dan mempunyai satu arti. Contoh kata ialah : ayah, minum, kopi, dan sekarang. Poerwadarminta (1967:43) menambahkan, ketika berbicara, kita perlu memilih kata-kata yang tepat, seksama, dan lazim. Tepat yaitu sesuai dengan arti dan tempatnya. Seksama yaitu sesuai dengan apa yang hendak dituturkan. Lazim yaitu sesuai dengan kata umum. Unsur intralingual daya bahasa mau pun nilai rasa bahasa dapat diketahui dengan mangamati diksi atau pilihan katanya.

Kata dan pilihan kata dapat digunakan untuk memunculkan daya bahasa. Misalnya pada tuturan:

“Para tikus negara harus segera dimusnahkan!”.

(Konteks: pimpinan KPK sedang menginstruksikan kepada para anggotanya untuk segera menindak tegas para koruptor).

Penggunaan kata „tikus‟ dan „musnah‟ dalam tuturan tersebut mengandung

perintah. Koruptor diibaratkan dengan kata „tikus‟ yang merupakan hama yang


(39)

harus ditangkap dan diberantas seluruhnya. Kata „tikus‟ dan „musnah‟ mempunyai daya bahasa yang lebih kuat daripada tuturan berikut:

“Para koruptor negara harus segera kita tangkap dan diberantas!”

Bila tuturan diubah menjadi seperti itu, maka daya bahasa yang dihasilkan kurang kuat, sehingga kemungkinan pesan yang ingin disampaikan kepada mitra tutur kurang mengena. Selain mengandung daya bahasa, ternyata tuturan tersebut juga mengandung nilai rasa bahasa. Penutur merasa kesal dengan ulah para koruptor yang telah banyak merugikan negara.

Berdasarkan beberapa pengertian dan contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa kata dan pilihan kata merupakan satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna tertentu. Dalam memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa, penggunaan kata menjadi sangat penting. Penggunaan pilihan kata atau diksi yang tepat akan mampu memperkuat daya bahasa mau pun nilai rasa bahasa. b. Frasa

Chaer (2012:222), frasa lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Frasa terdiri lebih dari satu kata, hal ini berarti frasa merupakan satu tingkat di atas kata. Jadi, pembentuk frasa harus berupa morfem bebas, bukan berupa morfem terikat. Contoh frasa ialah : adik saya, sedang bermain,boneka sapi, dan di kamar tidur. Ciri frasa ialah adanya kemungkinan diselipi unsur lain. Misalnya, frasa adik saya bisa diselipi kata dari, sehingga menjadi adik dari saya; frasa sedang bermain bisa diselipi kata senang, sehingga menjadi sedang senang bermain; frasa boneka


(40)

sapi bisa diselipi kata seperti, sehingga menjadi boneka seperti sapi, frasa

merupakan satu kesatuan jadi tidak dapat dipindahkan secara sendirian. Frasa dapat memunculkan daya bahasa, seperti pada tuturan berikut:

“Tikus berdasi itu harus kita basmi”.

(Konteks: pimpinan KPK sedang menginstruksikan kepada para anggotanya untuk segera menindak tegas para koruptor).

„Tikus berdasi‟ dapat disebut sebagai frasa, karena merupakan satu kesatuan dan bisa diselipi kata lain, misalnya yang, menjadi „tikus yang berdasi‟.

Frasa „tikus berdasi‟ merupakan objek dan predikat pada tuturan tersebut. Frasa

„tikus berdasi‟ mempunyai makna koruptor yang merupakan pejabat negara yang selalu mengenakan dasi. Frasa tersebut mempunyai daya perintah, yaitu perintah KPK kepada anggotanya untuk segera menindak tegas para koruptor.

c. Klausa

Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan kata-kata berkonstruksi predikat. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen, berupa kata atau frasa, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagai keterangan (Chaer, 2012:231). Unsur inti klausa ialah subjek dan predikat (Ramlan, 2005:79). Jadi, unsur atau fungsi yang lain tidaklah bersifat wajib.

Konstruksi ibu memasak merupakan klausa, karena hubungan komponen

ibu dan komponen memasak bersifat predikatif; ibu adalah pengisi fungsi subjek

dan memasak adalah pengisi fungsi predikat. Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa klausa dapat berpotensi menjadi kalimat tunggal karena di


(41)

dalamnya sudah ada fungsi sintaksis wajib, yaitu subjek dan predikat. Klausa ini juga dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Misalnya pada tuturan di bawah ini:

“Terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi”.

(Konteks: Tuturan diucapkan oleh hakim kepada terdakwa yang terlibat kasus korupsi).

Klausa „terdakwa terbukti secara sah‟ terdiri dari unsur subjek dan predikat. Klausa tersebut mengandung daya penegasan bahwa mitra tutur telah bersalah. Selain daya penegasan, tuturan tersebut juga mengandung kepastian bahwa orang yang didakwa telah terbukti melakukan tindak korupsi.

d. Kalimat

Kalimat umumnya berwujud rentetan kata yang disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku (Alwi,dkk, 2010:35). Ramlan (2005:23) menambahkan bahwa kalimat adalah satuan gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Chaer (2012:240) juga menambahkan bahwa kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa. Jadi, apabila sebuah klausa diberi intonasi final (intonasi deklaratif/tanda titik, intonasi interogatif/tanda tanya, dan intonasi seru/tanda seru), maka akan terbentuk menjadi kalimat.

Ramlan (2005:26) membedakan jenis kalimat berdasarkan fungsinya dan hubungan situasinya menjadi kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah.


(42)

a) Kalimat berita

Kalimat berita berfungsi untuk memberitahukan informasi kepada orang lain, sehingga menimbulkan tanggapan atau respon dari orang lain, yang dapat berupa anggukan kepala atau pun pandangan mata. Kalimat berita selalu diakhiri dengan tanda titik (.). Misalnya: Jalan itu sangat licin. Kalimat tersebut termasuk kalimat berita, karena tidak terdapat kata-kata tanya, ajakan, mau pun larangan.

b) Kalimat tanya

Fungsi dari kalimat tanya adalah untuk menanyakan sesuatu. Kalimat tanya selalu diakhiri dengan tanda tanya (?). Misalnya: Kapan kamu wisuda? Kalimat tersebut merupakan kalimat tanya, karena menanyakan sesuatu dan diakhiri dengan tanda tanya. Kata-kata tanya meliputi: apa, siapa, kapan, mengapa, kenapa, bagaimana,

mana, bila, dan berapa.

c) Kalimat suruh

Kalimat suruh berfungsi untuk mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan dari orang yang diajak berbicara. Ramlan (2005:40), menggolongkan kalimat suruh berdasarkan strukturnya menjadi empat golongan, yaitu kalimat suruh yang sebenarnya, kalimat persilahan, kalimat ajakan, dan kalimat larangan. Kalimat suruh selalu diakhiri dengan tanda perintah (!). Misalnya: Ayo kita belajar

matematika!. Kalimat tersebut merupakan kalimat suruh, yang termasuk dalam

golongan kalimat ajakan, karena menimbulkan tanggapan yang berupa tindakan dari mitra tutur dan juga penuturnya.


(43)

2.2.4 Unsur Ekstralingual

Unsur ekstralingual merupakan unsur bahasa yang berada di luar bahasa. Pranowo (2012:90) mengungkapkan bahwa unsur kebahasaan mencakup bahasa verbal dan nonverbal, sedangkan unsur nonkebahasaan meliputi topik pembicaraan dan konteks situasi komunikasi. Jadi, unsur ekstralingual ini mencakup konteks tuturan dan bahasa nonverbal berupa tanda-tanda ketubuhan. Konteks tuturan beserta fenomena yang dapat memunculkannya telah dibahas sebelumnya (lihat sub bab kajian bahasa secara pragmatik).

Sebagai cermin kepribadian bangsa, kita harus mampu menerapkan tindak bahasa itu dalam kehidupan sehari-harinya, bukan hanya tindak bahasa yang bersifat verbal, tetapi juga tindak bahasa yang bersifat nonverbal. Menurut Pranowo (2012:3), bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak gerik tubuh, sikap, atau perilaku. Dalam hubungannya dengan kajian daya bahasa dan nilai rasa bahasa, bahasa nonverbal digunakan untuk menganalisis unsur ekstralingual.

Bahasa nonverbal (unsur ekstralingual) mempunyai peranan penting dalam tindak komunikasi. Seseorang berkomunikasi tidak selalu dalam bahasa lisan. Banyak orang yang memanfaatkan media bahasa tulis sebagai media komunikasi, seperti halnya karikatur dalam surat kabar. Peran bahasa nonverbal akan nampak jelas ketika seseorang mengamati gambar yang ada dalam karikatur. Bahasa nonverbal dapat berupa gesture. Gesture ini dapat berupa kinesik, mimik, dan kontak mata (mata melotot). Pendapat tersebut sejalan dengan Danesi (2010:64) yang mengungkapkan bahwa kedipan mata, isyarat tangan, ekspresi wajah, postur,


(44)

dan tindakan badaniah lainnya mengomunikasikan sesuatu yang relevan dengan budaya dalam situasi-situasi sosial tertentu. Bahasa nonverbal ini, biasanya digunakan penutur untuk memperkuat maksud yang diucapkan melalui bahasa verbal.

Liliweri (1994:89) mengungkapkan bahwa komunikasi nonverbal acapkali dipergunakan untuk menggambarkan perasaan dan emosi. Saat pesan yang disampaikan melalui bahasa verbal kurang kuat efeknya, penutur dapat menggunakan tanda-tanda nonverbal sebagai pendukung. Di dalam suatu situasi komunikasi verbal, komunikasi nonverbal merupakan pelengkap dan penegas unsur-unsur intralingual yang digunakan. Namun, unsur ekstralingual berupa bahasa nonverbal ini tidak selalu menyertai suatu tuturan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Liliweri (1994:88) yang mengungkapkan bahwa unsur ekstralingual berupa bahasa nonverbal ini tidak selalu menyertai suatu tuturan karena hanya digunakan sebagai penegas dan pelengkap. Liliweri juga mengungkapkan meskipun tidak mengeluarkan suatu tuturan, namun ekspresi wajah seseorang juga mampu mewakili pesan dengan makna tertentu terhadap orang lain.

Tanda-tanda nonverbal yang termasuk dalam kajian ekstralingual ini, disinggung dalam ilmu semiotikaa, khususnya semiotikaa visual. Namun, tidak semua ilmu semiotikaa ini termasuk dalam kajian ekstralingual. Peneliti hanya mengambil beberapa tanda nonverbal yang dianggap diperlukan dalam penelitian ini, meliputi ekspresi wajah, sinyal (tanda-tanda ketubuhan), dan tanda visual (simbol, ikon, indeks). Masing-masing akan diuraikan sebagai berikut.


(45)

a. Ekspresi Wajah

Tubuh adalah sarana utama bagi manusia untuk mengekspresikan rasa yang terkandung dalam diri sebagai perwujudan yang tengah dirasakan. Tubuh juga sebagai sarana untuk memahami hubungan antara alam dan budaya dalam kehidupan manusia. Bagian tubuh untuk mengekspresikan hal tersebut salah satunya diungkapkan melalui ekspresi wajah. Ekspresi wajah yang bersifat universal yang diprogram pada diri kita sendiri, senantiasa diubah menjadi bentuk penanda dalam diri untuk mananggapi sesuatu.

Ekspresi wajah manusia juga dapat bersifat sadar dan tidak sadar (Danesi,2014:69). Jenis ekspresi sadar pada efeknya merupakan jenis sinyal khusus. Ekspresi wajah akan terlihat jelas dengan memperhatikan posisi alis, bentuk mata, bentuk mulut, bentuk hidung, dan lain-lain. Contoh ekspresi wajah manusia ialah ekspresi wajah terhibur. Ekspresi wajah terhibur dapat terlihat dengan posisi bibir ditarik ke belakang dan mata berbinar-binar. Pada efeknya, ekspresi wajah adalah penanda tidak sadar universal yang menciptakan suasana hati seperti terhibur, sedih, marah, heran, dan lain sebagainya. Melalui wajah, orang juga bisa membaca makna suatu pesan (Liliweri, 1994:145).

b. Sinyal (Bahasa Tubuh)

Isyarat atau sinyal adalah suatu hal atau keadaan yang diberikan oleh

subjek kepada objek melalui bahasa nonverbal. Umumnya, isyarat tampil dalam bentuk bahasa tubuh, seperti isyarat tangan dan isyarat muka. Bahasa tubuh mengomunikasikan informasi tak terucapkan mengenai identitas, hubungan, dan pikiran seseorang, juga suasana hati, motivasi, dan sikap (Danesi, 2010:74). Cara


(46)

berpakaian dan berpenampilan juga merupakan bagian perwujudan dari bahasa tubuh. Danesi juga menambahkan bahwa studi ilmiah tentang bahasa tubuh disebut kinesika. Sinyal kinesis dapat bersifat sadar, tak sadar, dan campuran (sadar-tak sadar). Isyarat kedipan mata, acungan jempol merupakan sinyal yang bersifat sadar, sedangkan sinyal-sinyal yang terjadi tanpa disengaja merupakan sinyal bawaan (sadar), misalnya wajah memerah. Gabungan antara sinyal yang bersifat sadar dan sinyal tak sadar disebut sebagai sinyal campuran. Misalnya menangis, tertawa, dan mengangkat bahu. Pesan-pesan yang ditunjukkan melalui bahasa tubuh dapat memberikan tampilan dan kesan ketika bertutur.

2.2.5 Kajian Daya Bahasa

Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling efektif. Berbahasa yang baik dapat mewujudkan hasil pemikiran yang baik pula. Setiap orang dapat berbahasa, tetapi tidak setiap orang dapat memanfaatkan daya bahasa untuk mengefektifkan komunikasi.

Daya bahasa adalah kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk mengefektifkan pesan yang disampaikan kepada mitra tutur (Pranowo, 2012:128). Menyampaikan pesan menggunakan daya bahasa dapat meningkatkan efektivitas komunikasi. Penyampaian pesan dapat dilakukan dengan cara menolak, membujuk, mengkritik, memberi tanggapan, menyindir, dan sebagainya. Pranowo (2012:129) menyebutkan agar pesan yang disampaikan dapat sampai kepada pembaca atau pendengar secara efektif, penutur atau penulis dapat memanfaatkan daya bahasa seefektif mungkin. Efektivitas komunikasi ini bersifat positif dan


(47)

negatif. Jika daya bahasa dimanfaatkan secara positif, maka komunikasi dapat berjalan secara lancar dan santun. Namun, apabila daya bahasa digunakan secara negatif, maka komunikasi dapat menimbulkan ketidaksantunan.

Sama halnya dengan Quanita Fitri (2009) menambahkan bahwa daya bahasa adalah kadar kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk menyampaikan makna, informasi, atau maksud melalui fungsi komunikatif sehingga pendengar atau pembaca mampu memahami dan menangkap segala makna, informasi, atau maksud yang disampaikan penutur atau penulis. Daya bahasa pada wacana dapat muncul ketika kesatuan makna mengungkapkan kesatuan pesan.

Sudaryanto dalam Pranowo (2012:138) menggali daya bahasa dari aspek linguistik. Hasilnya, hampir seluruh tataran bahasa mampu memunculkan daya bahasa. Daya bahasa akan terlihat dari tataran bunyi, bentuk kata, struktur, leksikon (terutama pilihan kata), dan wacana.

Daya bahasa dapat digali melalui sinonim kata. Kata satu dengan kata yang lain tentunya memiliki daya bahasa yang berbeda-beda. Misalnya kata „mati‟ atau „meninggal‟ memiliki daya bahasa yang bersifat netral. Beda halnya dengan kata mampus, gugur, wafat, dan sebagainya memiliki daya bahasa yang berbeda-beda. Kata „mampus‟ memiliki daya bahasa negatif yang di daalamnya mengandung rasa dendam dan penuh kepuasan karena orang yang dibencinya tidak lagi dapat berbuat apa-apa seperti ketika masih berdaya atau hidup. Kata „gugur‟ memiliki daya bahasa yang hormat terhadap subjek karena kematiannya terjadi untuk membela kebenaran sehingga perlu mendapat penghargaan/penghormatan. Kata „wafat‟ memiliki daya bahasa yang hormat


(48)

terhadap subjek karena yang meninggal dunia biasanya orang-orang besar ternama.

2.2.6 Kajian Nilai Rasa Bahasa

Nilai rasa bahasa merupakan kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan karena penutur mengungkapkan domain afektifnya menggunakan bahasa dalam berkomunikasi sehingga mitra tutur dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan. Joko Pradopo (2002) menyinggung sedikit tentang nilai rasa bahasa. Nilai rasa bahasa dapat muncul melalui unsur intralingual seperti permainan bunyi, kata, gaya bahasa, ungkapan, dan konteks bahasa. Singkatnya, nilai rasa bahasa ialah kadar perasaan dalam berkomunikasi. Perasaan itu bisa berupa rasa senang, sedih, kecewa, marah, bingung, dan lain-lain. Perasaan seseorang dapat terlihat dari bahasa verbal, bahasa nonverbal, dan konteksnya. Bahasa verbal dapat terlihat dari diksi atau pilihan katanya, bahasa nonverbal dapat terlihat dari ekspresi wajah, sedangkan konteks dapat terlihat setelah kita mengetahui maksud suatu tuturan dengan memperhatikan berbagai aspek pragmatik, seperti praanggapan, tindak tutur, dan implikatur.

Nilai rasa adalah kadar rasa yang tercantum dalam isi kata itu (Poerwadarminta, 1967:34). Rasa maksudnya ialah sekalian gerakan hati, segala yang terasa dalam batin; seperti sedih, senang, suka, duka, benci, mengejek, menghina, hormat, segan, dan sebagainya. Kata-kata umum yang sudah dianggap bernilai rasa, misalnya: mampus, wafat, gugur. Jadi, nilai rasa bahasa seseorang dapat dilihat dari diksi atau pilihan katanya.


(49)

Menurut Poerwadarminta (1967:35-36), ciri-ciri kata yang memiliki nilai rasa yaitu menggunakan:

1. Kata rasa (perasaan)

Kata-kata yang bernilai rasa (perasaan) memiliki ciri menggunakan kata-kata perasaan, seperti senang, sedih, benci, marah, kecewa, jengkel, belas kasihan, menghina, dan sebagainya.

2. Kata pelembut

Kata-kata yang bernilai rasa halus atau lembut dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: a. Nilai rasa hormat

Kata-kata yang bernilai rasa hormat memiliki ciri menggunakan kata-kata hormat, misalnya: Anda, beliau, dan sebagainya.

b. Nilai rasa menghargai

Kata-kata yang bernilai rasa menghargai memiliki ciri menggunakan kata-kata halus, misalnya: istri, mengandung, jenazah, dan sebagainya.

c. Nilai rasa khawatir terjadi sesuatu

Kata-kata yang bernilai rasa khawatir terjadi sesuatu memiliki ciri menggunakan kata pantang, misalnya: akar untuk menyebut ular di malam hari. 3. Nilai rasa kasar

Kata-kata yang bernilai rasa kasar adalah kata-kata yang pada umumnya dianggap kasar. Kata-kata ini umumnya adalah sebagai ungkapan perasaan marah, benci, sakit hati, mendongkol, dan sebagainya. Misalnya kata tolol. Kata tolol memiliki makna dan maksud. Makna yaitu arti kata tersebut, sedangkan maksud terdapat


(50)

pada isi kata tersebut. Maksud dan nilai rasa (kadar perasaan) dapat ditemukan dalam isi kata.

4. Kata Bunyi

Kata ini hanya berkadar bunyi seperti: desis, dentang, sir, dan sebagainya. Untuk mengetahui perasaan seseorang, kita perlu menganalisis emosi yang dikeluarkan melalui tingkah laku mau pun kata-katanya. Suprapti,dkk dalam Kaswanti Purwo (1992:110-112), mengelompokkan kata emosi pada manusia menjadi 28 macam, yaitu malas, kelelahan, kesedihan, pesimis, takut, heran, tertekan, marah, benci, bersalah, malu, muak, bosan, sunyi, kekosongan, kedamaian-kebahagiaan, bebas, cinta, kangen, terasing, dipaksa-dibohongi, dicintai, yakin-optimis, sehat, perasaan terhadap makanan, keinginan, menerima, dan rasa kecil.

1. Malas-acuh:

Acuh, ogah, ogah-ogahan, segan, wegah, males, enggan. 2. Kelelahan:

Letih, cape, penat, lemes, pegal, pusing, pucat, sakit, perih, kesemutan, gatal,

ngantuk, lesu, pening, nyeri, dan getir.

3. Kesedihan:

Pilu, sedih, haru, terharu, trenyuh, kasihan, ngenes, tergugah, prihatin, syahdu, susah, pedih, sendu, duka, iba, dan masygul.

4. Perasaan pesimis depresif:

Nelangsa, merana, malang, sial, sia-sia, putus asa, pesimis, kehilangan pegangan, hina, kalah, apes, putus harapan, dan patah semangat.


(51)

5. Takut-cemas:

Kacau, bingung, gugup, gemetaran, tegang, cemas, gelisah, risau, was-was, kuatir, bimbang, ragu-ragu, sangsi, panik, takut, ngeri, gentar, curiga, ruwet, sewen, berdebar-debar, resah, ragu, seram, dan nanar.

6. Heran:

Kaget, heran, tercengang, terpukau, takjub, kagum, seperti mimpi, terkejut, dan terpaku.

7. Tertekan:

Terdorong, terdesak, terpaksa, terkekang, terhambat, tertindas, terinjak, terpukul, tersinggung, tersindir, tersudut, terancam, terikat, terbanting, dan terhina.

8. Marah:

Sakit hati, jengkel, keki, kesal, dongkol, gedeg, geram, sebal, cape hati, kecewa, marah, pitam, darah pendidih, kelap, sengit, panas, mangkel, gondok, naik darah, dan amarah.

9. Benci:

Dendam, cemburu, iri, benci, antipati, sentimen, dan tidak menghargai. 10. Bersalah:

Bersalah, salah, dosa, menyesal, dan sesal. 11. Malu:

Malu, sungkan, kikuk, kaku, risi, dan jengah. 12. Muak:


(52)

13. Bosan:

Jeleh, jenuh, jemu, dan bosan. 14. Sunyi:

Kesepian, sepi, dan kehilangan. 15. Kekosongan:

Hampa, kosong, hambar, dan dingin. 16. Kedamaian-kebahagiaan:

Adhem, nyaman, aman, tentram, selamat, terlindungi, enak, nikmat, asyik,

betah, rileks, santai, gembira, riang, senang, besar hati, bangga, bahagia, ayem, tenang, damai, dan girang.

17. Bebas:

Lega, plong, lapang, puas, untung, ringan, dan terlepas.

18. Cinta:

Suka, simpati, tertarik, cinta, sayang, dhemen, dan kasih. 19. Kangen:

Rindu, kangen, dan terkenang. 20. Terasing:

Terasing, terkucil, tak dihiraukan, diabaikan, dan asing. 21. Dipaksa-dibohongi:

Dipaksa, diburu-buru, diadu domba, ditipu, dikibuli, dininabobokan, dan dibodohi.


(53)

22. Dicintai:

Terbelai, tersanjung, diperhatikan, disayangi, dibutuhkan, dipercaya, dan dicintai.

23. Yakin optimis:

Yakin, optimis, kuat, cukup, dan mantep. 24. Sehat:

Segar, sehat, dan sadar. 25. Perasaan terhadap makanan:

Kenyang, lapar, dan haus. 26. Keinginan:

Bernafas, ngantuk, dan ingin. 27. Menerima

Ikhlas, rela, pasrah, dan bersyukur. 28. Rasa kecil:

Sempit dan kecil.

2.2.7 Fungsi Komunikatif Bahasa

William,dkk (2004:26) mendefinisikan bahwa komunikasi adalah salah satu kegiatan dasar manusia dan proses sosial yang dijalaninya. Hal ini berarti dalam berbagai keadaan, proses komunikasi merupakan hal yang benar-benar mendasar. Sebagai dasar kehidupan, komunikasi terjadi melalui penyampaian atau pertukaran pesan. Melalui komunikasi, seseorang dapat mempengaruhi orang lain baik secara langsung mau pun tidak langsung. Fungsi komunikatif bahasa tentu


(54)

tidak bisa dipenuhi tanpa bentuk bahasa yang meliputi bunyi, kata, frasa, klausa, kalimat, wacana dan organisasional lainnya (Brown, 2008:245). Bahasa merupakan manifestasi lahiriah, sedangkan fungsi merupakan perwujudan bentuk-bentuk bahasa itu sendiri. Tanpa komunikasi kehidupan manusia tentu akan tidak berjalan dengan baik, karena komunikasi itulah yang menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan yang tentram. Daya bahasa dan nilai rasa bahasa dapat muncul lewat kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi.

Leech (2003:63) memaparkan ada lima fungsi bahasa dalam komunikasi, meliputi (a) fungsi informasional, (b) fungsi ekspresif, (c) fungsi direktif, (d) fungsi phatik, (e) fungsi estetik.

(a) Fungsi informasional biasa digunakan untuk menginformasikan sesuatu, misalnya melaporkan, mendeskripsikan, dan menjelaskan sesuatu. Fungsi ini dianggap sebagai fungsi yang sangat penting.

(b) Fungsi ekspresif biasa digunakan untuk mengungkapkan perasaan penuturnya, dan mengekspresikan emosi, keinginan, atau perasaan penyampaian pesan. Kata seru adalah contoh yang paling jelas dalam hal ini, misalnya : Aduh...perutku sakit!. Contoh tersebut menggunakan fungsi ekspresif yang mengungkapkan keluhan rasa sakit.

(c) Fungsi direktif biasa digunakan untuk mempengaruhi orang lain, baik emosinya, mau pun tingkah lakunya. Selain itu, juga dapat digunakan untuk memberi keterangan, mengundang, memerintah, memesan, mengingatkan, mengancam, dan lain sebagainya. Contoh fungsi direktif adalah: Masuk,


(55)

duduklah!. Contoh tersebut menggunakan fungsi direktif pada kata kerja yang

memiliki makna perintah.

(d) Fungsi phatik digunakan untuk menjaga agar garis komunikasi tetap terbuka, dan untuk terus menjaga hubungan sosial secara baik.

(e) Fungsi estetik, yang paling penting adalah bahwa seseorang mengatakan sesuatu, bukan apa yang dikatakan.

Kelima fungsi komunikatif dalam berbahasa tersebut saling berhubungan dan tidak dapat berdiri sendiri. Brown (2008:247) mengungkapkan bahwa satu kalimat atau percakapan bisa menggabungkan banyak fungsi berlainan secara bersamaan. Fungsi komunikatif ini selalu berhubungan dengan lima situasi komunikasi (Leech, 2003:65), yaitu (1) pokok persoalan, (2) sumber (yaitu penutur dan penulis), (3) penerima (yaitu pendengar atau pembaca), (4) sarana komunikasi, dan (5) pesan bahasa.

2.2.8 Karikatur

Karikatur merupakan salah satu rubrik yang terdapat dalam surat kabar. Keberadaan karikatur dalam surat kabar ini diharapkan mampu melahirkan dinamika. Kata karikatur berasal dari bahasa Italia caricature (dari caricare) yang berarti memberi muatan atau beban tambahan. Yang direka adalah tokoh-tokoh politik atau orang-orang yang karena peristiwa tertentu menjadi pusat perhatian masyarakat (Wijana, 2003:7). Di dalam hal ini, tokoh-tokoh tidak selamanya dimaksudkan sebagai sindiran, melainkan dapat juga untuk menampilkannya secara humoristik. Wijana (2003:xx) mengungkapkan bahwa karikatur adalah


(56)

gambar bermuatan humor atau satir dalam berbagai media massa dengan mengambil tokoh-(tokoh) orang yang terkenal atau orang-orang biasa yang karena peristiwa tertentu menjadi terkenal. Untuk menampilkannya secara lebih humoristis tokoh-tokoh itu digambarkan dalam bentuk tubuh dan wajah. Menurut Sudarta (1967:49) kartun adalah semua gambar humor, termasuk karikatur itu, lahiriahnya untuk tujuan mengejek. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Pramono (dalam Slamet, 2011:67) yang mengatakan bahwa sebetulnya karikatur adalah bagian dari kartun opini. Karikatur yang sudah diberi beban pesan, kritik, dan sebagainya berarti telah menjadi kartun opini. Dengan kata lain, kartun yang membawa pesan kritik sosial yang muncul di setiap penerbitan surat kabar adalah

political cartoon atau editorial cartoon, yakni merupakan visualisasi dari bentuk

tajuk rencana sebuah surat kabar. Inilah yang biasa disebut karikatur (Sudarta, 1987).

Pendapat di atas berlawanan dengan pendapat Noerhadi (1989:189) dalam artikelnya yang berjudul Kartun dan Karikatur sebagai Wahana Kritik Sosial yang mendefinisikan kartun sebagai suatu bentuk tanggapan lucu dalam citra visual. Konsep kartun dan karikatur dalam artikel tersebut dipisahkan secara tegas. Tokoh-tokoh kartun bersifat fiktif yang dikreasikan untuk menyajikan komedi-komedi sosial serta visualisasi jenaka. Sementara itu, tokoh-tokoh karikatur adalah tokoh-tokoh tiruan lewat pemiuhan (distortion) untuk memberikan persepsi tertentu kepada pembaca.

Peneliti menyimpulkan bahwa karikatur adalah bagian dari kartun yang biasanya digambarkan dalam bentuk fisik atau deformasi dari tokoh tertentu.


(1)

Penanda tuturan:

Unsur intralingual ditandai oleh diksi : auwwww untuk memunculkan nilai rasa tertekan. Diksi tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa merasa tertekan karena penutur merasa terbebani dengan semakin merosotnya nilai tukar

rupiah terhadap Dollar AS.

Nilai rasa tertekan tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gesture penutur sebagai warga Indonesia yang terlihat tidak kuat mengangkat beban nilai Dollar AS yang semakin meningkat.

96. Data tuturan:

“Khusus motor, dilarang melintas!” (NR.KKT,18/12/014) Konteks tuturan :

Kemacetan di Jakarta semakin parah. Pada waktu itu, muncul larangan bagi pengendara sepeda motor untuk tidak melintas dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) – Jalan MH Thamrin – Jalan Medan Merdeka Barat.

Penanda tuturan:

Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Khusus motor, dilarang melintas untuk memunculkan nilai rasa heran. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa heran karena mitra tutur dikagetkan dengan adanya larangan bagi pengguna sepada motor untuk tidak melintasi jalan MH Thamrin.

Nilai rasa heran tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi mitra tutur yang tercengang dengan memelototkan matanya dan menggigit jarinya.

97. Data tuturan:

“Diskon gede-gedean enggak, bu?” (NR.KKT,19/12/014) Konteks tuturan :

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno berbiat menjual gedung kantor kementeriannya yang terletak di jalan Merdeka Selatan, Jakarta.

Penanda tuturan:

Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Diskon gede-gedean enggak, bu untuk memunculkan nilai rasa halus. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena mengandung sindiran secara tidak langsung bagi Rini Soemarno yang hendak menjual gedung kementeriannya. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa mata yang membelalak dan berdekap.

98. Data tuturan:


(2)

Konteks tuturan :

Kasus lumpur Lapindo di Jawa Timur tidak kunjung tuntas, dan penyelesaian ganti rugi juga belum ada kepastian. Presiden Jokowi pun turun tangan. Penanda tuturan:

Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Lari dari tanggung jawab, pak untuk memunculkan nilai rasa kasar. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa kasar karena mengandung sindiran secara langsung bagi Aburizal Bakrie yang tidak membayar ganti rugi korban Lapindo, sehingga presiden Jokowi yang langsung turun tangan, dengan menyiapkan anggaran sebesar Rp 781 Miliar sebagai dana talangan bagi para korban Lapindo.

Nilai rasa kasar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa jejak kaki Aburizal Bakrie yang pergi begitu saja tanpa ada beban atas kasus Lapindo sambil bernyanyi, tanpa ada rasa tanggung jawab berupa ganti rugi bagi para korban Lapindo.

99. Data tuturan:

“Itu namanya mencuri tahu!!! Bisa dihukum berat nanti...” (NR.KKT,21/12/014)

Konteks tuturan :

Ada nelayan asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia tanpa menggunakan izin.

Penanda tuturan:

Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Itu namanya mencuri tahu!!! Bisa dihukum berat nanti untuk memunculkan nilai rasa marah. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa marah karena penutur merasa kesal dengan adanya nelayan asing yang menangkap ikan di laut Indonesia. Nilai rasa marah tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi marah penutur, sambil melotot, dan menunjuk-nunjuk di depan wajah mitra tutur, yaitu nelayan asing.

100. Data tuturan:

“Saya pilih yang paling gendut. Siapa tahu nanti saya jadi pejabat.

Hehehe...” (NR.KKT,22/12/014)

Konteks tuturan :

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memberikan data sepuluh kepala daerah, yang terdiri dari gubernur dan bupati yang memiliki harta tidak wajar atau rekening gendut.

Penanda tuturan:

Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Saya pilih yang paling gendut. Siapa tahu nanti saya jadi pejabat untuk memunculkan nilai rasa kasar. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa kasar karena mengandung sindiran secara langsung bagi para gubernur dan bupati yang masuk daftar


(3)

pemilik harta tak wajar atau tabungan yang membengkak, salah satunya Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Nilai rasa kasar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa penutur yang berbadan gemuk dengan gaya berbicara sambil tertawa, dan menunjuk celengan babi yang paling gendut.

101. Data tuturan:

“Damai di bumi damai di hati...” (NR.KKT,24/12/014) Konteks tuturan :

Banyak umat yang merasa tidak nyaman ketika mengikuti perayaan natal di gereja, dikarenakan sering terjadi aksi pengeboman di gereja-gereja oleh para teroris.

Penanda tuturan:

Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Damai di bumi damai di hati untuk memunculkan nilai rasa optimistis. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa optimistis karena mengandung harapan penuh umat Kristiani yang hendak merayakan natal agar tidak terjadi aksi pengeboman, sehingga sukacita dan damai natal dapat dirasakan oleh semua umat.

Nilai rasa optimistis yang berpengharapan penuh tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual dengan menggenggam kedua tangan yang diletakkan di depan dada, sambil menundukkan kepala dan memejamkan mata, seakan-akan penutur berharap dengan sungguh-sunggung agar kejadian itu tidak terjadi lagi.

102. Data tuturan:

“Yahhh.. sudah penuh!” (NR.KKT,26/12/014)

Konteks tuturan :

Tingkat hunian hotel pada libur Natal 2014 dan tahun baru 2015 mengalami peningkatan, yaitu terjadi di Bali, Yogyakarta, dan Jakarta.

Penanda tuturan:

Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Yahhh.. sudah penuh untuk memunculkan nilai rasa kecewa. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa kecewa karena penutur merasa berkecil hati sebab hotel-hotel yang mereka kunjungi sudah penuh, atau sudah tidah ada kamar kosong lagi. Nilai rasa kecewa tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang melongo.

103. Data tuturan:


(4)

Konteks tuturan :

Banyaknya lahan sawah di Indonesia yang dijadikan sebagai perumahan, sehingga import beras semakin meningkat.

Penanda tuturan:

Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Harus ada peraturan tanah peruntukan ya bu untuk memunculkan nilai rasa halus. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena mengandung kritikan secara tidak langsung bagi pemerintah agar mempertegas peraturan penggunaan lahan, agar nantinya tidak perlu mengimport beras lagi. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi santai dari penutur sambil tersenyum manis.

104. Data tuturan:

“Siap memberantas!!” (NR.KKT,29/12/014) Konteks tuturan :

Negara Islam dan Suriah (ISIS) sudah menyebar ke Indonesia. Semakin banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang pergi ke Timur Tengah untuk bergabung dengan ISIS.

Penanda tuturan:

Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Siap memberantas untuk memunculkan nilai rasa marah. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa marah karena penutur merasa kesal dengan semakin banyaknya orang Indonesia yang hendak bergabung dengan organisasi ISIS. Nilai rasa marah tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi penutur yang terlihat serius, dengan lirikan mata yang tajam, sambil membawa senjata untuk memberantas penyebaran ISIS di Indonesia. 105. Data tuturan:

“Semoga lebih baik dari hari-hari kemarin!” (KKT,31/12/014) Konteks tuturan :

Pada tahun 2014, di Indonesia banyak terjadi peristiwa atau masalah, seperti masuknya nelayan asing, jatuhnya pesawat Air Asia, bencana longsor di Banjarnegara, pemilihan presiden baru, dan lain sebagainya.

Penanda tuturan:

Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Semoga lebih baik dari hari-hari kemarin untuk memunculkan nilai rasa optimistis. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa optimistis karena penutur hendak menyambut tahun yang baru dengan harapan agar tahun 2015 menjadi tahun yang lebih baik dari tahun sebelumnya, sehingga tidak terjadi lagi bencana dan masalah politik yang


(5)

berkepanjangan. Nilai rasa optimistis tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa langkah mantap penutur sambil tertawa ketika melintasi jembatan dari tahun 2014 menuju 2015, sebagai tanda bahwa ia siap menyambut tahun 2015 dengan harapan yang lebih baik.


(6)

BIODATA PENELITI

Agnes Devi Utami lahir di Gunungkidul, pada tanggal 13 April 1993. Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SDN Kelor dari tahun 1999-2005, Sekolah Menengah Pertama di SMP Kanisius Wonosari dari tahun 2005-2008, Sekolah Menengah Atas di SMA Dominikus Wonosari selama tiga tahun dari tahun 2008-2011. Selain itu, penulis menempuh pendidikan S1 program studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.


Dokumen yang terkait

Unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada ``Catatan Pinggir`` Majalah Tempo Edisi Januari - September 2013 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 2 2

Fenomena deiksis pada rubrik opini di harian koran Tempo edisi September-Desember 2015.

0 11 383

Unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi pada top news di Metro TV bulan November-Desember 2014.

3 49 352

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV periode Agustus dan September 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 1 391

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada dialog interaktif Indonesia Lawyers Club Tv One periode November 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 1 317

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada prosa lirik Pengakuan Pariyem sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 0 315

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada tuturan berita politik koran Kompas edisi September - Oktober 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 7 307

Daya bahasa pada iklan dalam majalah Tempo November dan Desember 2012.

0 0 155

Kesantunan Mahasiswa Dalam Berkomunikasi bahasa

0 0 6

B 02 Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa Sebagai Penanda Kesantunan Dalam Berkomunikasi

0 0 20