Metro TV 2014
4 Sentilan
Sentilun Metro TV
25 Agustus 2014 Industri
Kreatif Menyumbang
Devisa SSDB25-
08-2014 SSNRB
25-08- 2014
5 Sentilan
Sentilun Metro TV
1 September 2014  BBM Langka Rakyat
Sengsara SSDB01-
09-2014 SSNRB
01-09- 2014
6 Sentilan
Sentilun Metro TV
8 September 2014  Calon Menteri SSDB08-
09-2014 SSNRB
08-09- 2014
7 Sentilan
Sentilun Metro TV
15 September 2014
BBM Hebat Solusi Tepat
SSDB15- 09-2014
SSNRB 15-09-
2014
8 Sentilan
Sentilun Metro TV
22 September 2014
Suara Rakyat Suara Tuhan
SSDB22- 09-2014
SSNRB 22-09-
2014
9 Sentilan
Sentilun Metro TV
29 September 2014
Ku Gadaikan Sk-Ku
SSDB29- 09-2014
SSNRB 29-09-
2014
4.2  Hasil Analisis Data
Analisis  data  merupakan  pengklasifikasian  daya  bahasa  dan  nilai  rasa bahasa    ke  dalam  jenis-jenisnya  berdasarkan  unsur  intralingual  kalimat,  klausa,
frasa, katadiksi dan bunyi dan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan serta  konteks  tuturan.  Konteks  tuturan  adalah  anggapan  peneliti  mengenai
bagaimana cara konteks itu dimunculkan dalam suatu tuturan. Ada beberapa cara untuk memunculkan  konteks yang ditemukan dalam penelitian ini yakni melalui
fenomena  praanggapan,  tindak  tutur,  deiksis,  inferensi,  referensi,  implikatur  dan latar belakang penutur.
Hasil analisis data tentang penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam acara Sentilan-
Sentilun  sebagai  penanda  kesantunan  berkomunikasi  akan  dipaparkan  sebagai berikut.
4.2.1  Analisis  Unsur  Intralingual  dan  Ekstralingual  dalam  Daya  Bahasa  sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi
Daya bahasa merupakan kekuatan bahasa yang diungkapkan melalui unsur intralingual  bunyi,  kata  dan  pilihan  kata,  frasa,  klausa,  dan  kalimat  serta
diperkuat  dengan  unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  ekspresi wajah,  bahasa  tubuh  serta  selalu  mengandung  fenomena  konteks  tertentu  untuk
mencapai  suatu  fungsi  komunikatif.  Pemanfaatan  unsur  intralingual  dan ekstralingual  tersebut  digunakan  untuk  memberikan  efek  komunikatif  lebih  kuat
pada  mitra  tutur  dengan  tujuan  tertentu,  seperti  membujuk,  mengikuti  pikiran, mengibur,  dan  lain  sebagainya.  Berdasarkan  hasil  pengumpulan  data  yang
dilakukan  pada  9  episode  Sentilan  Sentilun  yang  telah  ditetapkan  sebagai  objek penelitian, terdapat 8 penggolongan jenis daya bahasa yang ditemukan, yaitu daya
permintaan,  daya  ancam,  daya  perintah,  daya  kelakar,  daya  kabar,  daya penolakan,  daya  pikat,  dan  daya  dugaan.  Penggolongan  daya  bahasa  tersebut
didasarkan  pada  kemiripan  efek  komunikatif  yang  ada  dalam  unsur  intralingual dan  ekstralingual  sebagai  penanda  kesantunan  berkomunikasi.  Secara  terperinci,
analisis  unsur intralingual dan ekstralingual yang digunakan untuk memunculkan daya bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi akan dipaparkan sebagai
berikut
4.2.1.1Daya Permintaan Daya  permintaan  merupakan  kekuatan  bahasa  untuk  menyatakan
keinginan  penutur  agar  dapat  diwujudkan  oleh  mitra  tutur  atau  orang  yang dimaksud  dalam  suatu  tuturan.  Daya  permintaan  menuntut  seseorang  untuk
melakukan  sesuatu  sesuai  dengan  apa  yang  diinginkan  oleh  penutur.  Daya permintaan ini berkadar  lebih ringan daripada paksaan karena minta tutur orang
yang dimaksud  dalam tuturan bebas  untuk  melakukan apa  yang diinginkan oleh penutur ataupun tidak. Daya permintaan pada umumnya selalu dinyatakan dengan
tuturan  yang  santun  karena  penutur  menginginkan  sesuatu  dari  mitra  tutur  atau orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan.  Daya  permintaan  dapat  dilakukan  dengan
berbagai cara, seperti mengharap dan memohon. 4.2.1.1.1  Daya Harap
Daya harap adalah bentuk permintaan yang mengharapkan mitra tutur atau orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  untuk  melakukan  suatu  hal.  Daya  harap  ini
biasanya muncul karena sebelumnya mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan  melakukan  suatu  tindakan  yang  dianggap  menyimpang  perilaku  dan
tugasnya dalam posisi tertentu atau pernyataan tertentu yang sudah diungkapkan sebelumnya.  Perhatikan  tuturan  beri
kut  “Jadi  aku  ini  bener-bener  berharap bahwa  presiden  baru  kita  ini  benar-benar  memenuhi  dan  menepati  janjinya
” SSDB04-08-20141.  Tuturan  ini  dikatakan  oleh  Chacha  Federicha  yang
mengetahui  9  poin  pokok  isi  kampanye  Pak  Jokowi  ketika  pilpres  2014,  yaitu meningkatkan  profesionalisme  guru,  mensejahterakan  desa,  mengentaskan
kemiskinan,  membuat  program  kepemilikan  tanah  pertanian,  perbaikan  5.000
pasar  tradisional,  menurunkan  pengangguran,  meningkatkan  layanan  kesehatan, meningkatkan  mutu  pendidikan  pesantren,  serta  mewujudkan  pemerataan
pendidikan.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat “Jadi  aku  ini
bener-bener  berharap  bahwa  presiden  baru  kita  ini  benar-benar  memenuhi  dan menepati janjinya
”, untuk memunculkan daya harap. Kalimat tersebut dipersepsi
sebagai  harapan  penutur  kepada  presiden  Jokowi  yang  baru  saja  terpilih  untuk merealisasikan janjinya selama kampanye pilpres kemarin dan tidak berlaku sama
seperti pemimpin kebanyakan yang ingkar janji saat sudah menduduki posisi yang diinginkan.  Kalimat  tersebut  menggunakan  kata
“berharap” untuk mengindikasikan harapan penutur. Daya harap juga diperkuat dengan unsur ekstralingual
berupa  tanda-tanda  ketubuhan  yang  dimunculkan
lewat  gerakan  kedua  tangan  ditangkupkan  dan  diangkat  ke  depan  dada.
Gerakan  tersebut  dipersepsi  seperti  gerakan  memohon  sesuatu  yang  digunakan untuk  memperkuat  harapan  penutur  terhadap  presiden  untuk  merealisasikan
janjinya. Unsur ekstralingual berupa konteks dalam tuturan tersebut mengandung
fenomena pranggapan atau pengetahuan awal yang dimiliki Chacha sebelumnya
mengenai isi janji Pak Jokowi ketika kampanye pilpres yang bisa kita lihat dalam
tayangan berita di televisi. Tuturan  di  atas  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator
kesantunan Leech
1983 dalam
Pranowo,2012:103, yaitu
maksim kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan
kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Chacha  memberikan
keuntungan  kepada  Pak  Jokowi  karena  dia  berprasangka  baik  terhadap  beliau yang akan benar-benar menepati janjinya.
Selain  itu,  ada  beberapa  data  daya  harap  dalam  acara  Sentilan  Sentilun yang  tidak  didukung  oleh  unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan,
seperti dalam tuturan “Semoga pasangannya klop karena saya mendengar bisik- bisik tetangga, sekarang ini kalau mau ngurus apa-apa kecil, gampil. Kalau mau
ngurus  birokrasi  lancar,  ngurus  KTP  cepet,  no  bayar- bayar”SSDB11-08-
201411.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Asti  Ananta  yang  mengalami  sendiri pelayanan  birokrasi  saat  pemerintahan  Pak  Jokowi-Ahok  yang  dipermudah  dan
sangat berbeda dengan pemerintahan Pak Fauzi Bowo yang terkesan dipersulit.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“semoga pasangannya klop”  yang dipersepsi sebagai harapan Asti agar DPRD dan PDIP
memilihkan  pasangan  yang  cocok  untuk  Pak  Ahok  baik  dari  sisi  kinerjanya maupun  kepribadiannya.
Klausa  tersebut  menggunakan  kata  “semoga”  yang berarti  mudah-mudahan  KBBI,2008:925  untuk  mengindikasikan  harapan
penutur. Harapan penutur tersebut muncul karena melihat sistem birokrasi Jakarta yang  berubah  dengan  mengedepankan  prinsip  kemudahan  dan  pelayanan  yang
ramah semenjak kepemimpinan Pak Jokowi dan Pak Ahok. Asti berharap dengan dipilihkannya  pasangan  yang  tepat,  Pak  Ahok  mampu  memimpin  kota  Jakarta
menjadi  lebih  baik  lagi.  Tuturan  tersebut  tidak  diikuti  oleh  unsur  ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan karena Asti mengungkapkan tuturan tanpa ekspresi
dan  tanda  ketubuhan  tertentu,  sedangkan  unsur  ekstralingual  berupa  konteks
dalam  tuturan  tersebut  mengandung  fenomena  pranggapan.  Asti  Ananta
memiliki  pengalaman    sebelumnya  menganai  pengurusan  birokrasi  pada  zaman Pak Jokowi-Ahok yang dipermudah dan Pak Fauzi Bowo yang dipersulit.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102  yang  memandang prinsip kesantunan
sebagai  piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Di dalam konteks tuturan
tersebut,  Asti  menggunakan  klausa  berdaya  harap  untuk  menyatakan  permintaan halus kepada PDIP untuk memilihkan pasangan yang cocok bagi Pak Ahok. Asti
tidak  langsung  mengungkapkan  permintaannya  kepada  PDIP,  namun  jika  dilihat dari konteks yang menyertai tuturan jelas terlihat bahwa permintaan halus tersebut
ditujukan kepada PDIP karena hanya parpol itulah yang berhak menentukan siapa pasangan yang akan mendampingi Pak Ahok memimpin Jakarta.
Tuturan berikut juga tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda- tanda  ketubuhan  “Saya  ya  Ndoro,  sangat  mengharapkan  anggota  dewan  yang
sudah terpilih dan diangkat itu bisa bekerja dengan baik. Sebagai rakyat kan saya pasti  senang  kalau  wakil-wakil  saya  itu  bisa  bekerja  sebaik-baiknya  dan  benar-
benar  memikirkan  nasib  rakyat.  Jadi  jangan  hanya  memikirkan  bagaimana caranya  meneb
us  SK  yang  terlanjur  digadaikan”  SSDB29-09-201421. Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  yang  mempunyai  pengetauan  awal
mengenai  banyaknya  anggota  dewan  yang  menggadaikan  SK  kepada  bank sehingga  pikirannya  akan  terpecah  antara  memperbaiki  nasib  rakyat  dan
membayar pinjaman kepada bank.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Saya ya Ndoro, sangat  mengharapkan  anggota  dewan  yang  sudah  terpilih  dan  diangkat  itu  bisa
bekerja  dengan  baik ”,  untuk  memunculkan  daya  harap.  Kalimat  tersebut
dipersepsi sebagai harapan Sentilun kepada anggota dewan untuk bekerja dengan baik  dengan  fokus  memikirkan  nasib  rakyat  dan  tidak  menggadaikan  SK  yang
dapat  mengakibatkan  pikirannya  terpecah.  Kalimat  tesebut  menggunakan  frasa “sangat  mengharapkan”  untuk  mengindikasikan  harapan  yang  sangat  kuat.
Tuturan  tersebut  mengandung  unsur  ekstralingual  berupa  konteks  yang
dimunculkan  melalui  fenomena  pranggapan  atau  pengetahuan  awal  yang
dimiliki  Sentilun  terhadap  banyaknya  anggota  dewan  yang  menggadaikan  SK kepada bank sehingga pikirannya akan terpecah antara memperbaiki nasib rakyat
dan membayar pinjaman kepada bank.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Sentilun  berprasangka
baik  terhadap  anggota  DPR  bahwa  mereka  akan  menjalankan  tugasnya  dengan
baik  dan  pikirannya  tidak  terpecah  walaupun  mereka  juga  harus  melunasi  SK yang terlanjur digadaikan.
Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  juga  tidak  muncul dalam  tuturan  berikut  “Tapi  saya  ini  sebagai  rakyat  ya  saya  pengennya  sih
memang milihnya tuh  harus  langsung. Kalau  milih pemimpin kayak ibarat  milih jodoh,  jadi  benar-benar  cinta,  rasa  bermain,  ketika  dapat  akhirnya,  gitu.
Emangnya  zaman  Siti  Nurbaya,  bisa-b isa  dapat  Datuk  Maringgih  nanti”
SSDB22-09-201423.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Asri  Welas  yang mengetahui  dampak  yang  akan  diterima  rakyat  berupa  pelumpuhan  demokrasi
jika RUU Pilkada melalui DPRD jadi disahkan.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa “saya pengennya
sih  memang  milihnya  tuh  haru
s  langsung”,  untuk  memunculkan  daya  harap.
Klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai  harapan  Asri  agar  Pak  Susilo  Bambang Yudhoyono  menyatakan  ketidaksetujuannya  terhadap  RUU  Pilkada  melalui
DPRD.  Klausa  tersebut  menggunakan  kata “pengennya”  yang  merupakan
keinginan  untuk  menyatakan  harapan  agar  RUU  Pilkada  tidak  jadi  disahkan. Tuturan  tersebut  tidak  mengandung  unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda
ketubuhan  yang  mendukung  karena  Asri  tidak  memunculkan  bahasa  tubuh apapun,  sedangkan  unsur  ekstralingual  berupa  konteks  dalam  tuturan  tersebut
mengandung  fenomena  pranggapan.  Asri  mempunyai  pengetahuan  awal
mengenai  dampak  yang  akan  diterima  rakyat  jika  RUU  Pilkada  disahkan  berupa pelumpuhan demokrasi.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102  yang  memandang prinsip kesantunan
sebagai  piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Di dalam konteks tuturan
tersebut  Asri  menggunakan  klausa  berdaya  harap  untuk  menyatakan  permintaan halus  kepada  Pak  SBY  untuk  membatalkan  RUU  Pilkada.  Asri  tidak  langsung
mengungkapkan permintaannya kepada Pak SBY, namun jika dilihat dari konteks
yang  menyertai  tuturan  jelas  terlihat  bahwa  permintaan  halus  tersebut  ditujukan kepada  Pak  SBY  karena  hanya  beliaulah  yang  bisa  membatalkan  RUU  Pilkada
melalui DPRD. Berdasarkan  beberapa  contoh  data  tuturan  yang  diambil  dari  Acara
Sentilan  Sentilun  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  unsur  intralingual  yang digunakan  oleh  presenter  dan  bintang  tamu  dalam  acara  tersebut  untuk
memunculkan  daya  harap  adalah  berupa  klausa  dan  kalimat.  Walaupun  ada  kata dan  frasa  yang  dominan  untuk  mengindikasikan  daya  harap  seperti  “berharap,
pengen, semoga, dan sangat mengharapkan ”, tetapi kata dan frasa tersebut tidak
dapat  dipisahkan  dari  kalimat  atau  klausa.  Kata  atau  frasa  tersebut  tidak  dapat berdiri sendiri karena makna dan maksudnya baru dapat diketahui setelah berada
dalam sebuah kalimat atau paling tidak suatu klausa. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan
mendukung daya harap karena hal tersebut tergantung dari keekspresifan penutur. Hal  tersebut  berbeda  dengan  unsur  ekstralingual  berupa  konteks  yang  selalu
menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui maksud penutur. Unsur ekstralingul  berupa  konteks  yang  memunculkan  daya  harap  dari  acara  Sentilan
Sentilun hanyalah fenomena praanggapan karena sebelum mengharapkan sesuatu pasti  penutur  mempunyai  latar  belakang  pengetahuan  mengenai  sesuatu  yang
dimaksud yang diharapkan. Daya  harap  yang  ada  dalam  Acara  Sentilan  Sentilun  selalu  dinyatakan
dengan  santun  karena  penutur  selalu  berprasangka  baik  terhadap  mitra  tutur sesuai  dengan  maksim  kebijakasanaan  Leech  dan  penutur  mengungkapkan
harapannya  secara  tidak  langsung  untuk  mengimplikasikan  maksud  lain  sesuai indikator  kesantunan  Leech  yang  memandang  prinsip  kesantunan  sebagai  piranti
untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya.
4.2.1.1.2  Daya Permohonan Daya  permohonan  adalah  bentuk  permintaan  yang  digunakan  untuk
meminta  dengan  hormat  mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan untuk  melakukan  suatu  hal  yang  berkaitan  dengan  kewajibannya.  Berdasarkan
penggolongan data daya bahasa yang dilakukan dalam acara Sentilan Sentilun 9 episode yang termasuk dalam objek penelitian, hanya terdapat satu tuturan yang
mengandung daya peromonan. Perhatikan tuturan berikut “Kalau nama saya kan
Adil Lontong nggak ada. Tapi saya mohon dipersidangan mahkamah asmara ini saya  diperlakukan  secara  adil  dong.  Ini  kan  ada  tujuan  lain  selain  mencari
penyelesaian Ndoro ” SSDB15-09-20148. Tuturan tersebut dikatakan oleh Cak
Lontong  yang  mengungkapkan  reaksinya  atas  rujukan  tuntutan  jaksa  penuntut tidak umum yang diperankan oleh Sentilun terhadap dirinya yang dianggap tidak
masuk akal dan terkesan ingin menjatuhkannya karena ada maksud tertentu, yaitu ingin mengambil hati Chacha.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“saya  mohon dipersidangan  mahkamah  asmara  ini  saya  diperlakukan  secara  adil
”  untuk memunculkan  daya  permohonan.  Klausa  tersebut  menggunakan  kata
“mohon” yang    berarti  meminta  dengan  hormat  KBBI,2008:925.  Kata
“mohon”  dalam tuturan  tersebut  digunakan  untuk  mengungkapkan  permintaan  Cak  Lontong
perihal keadilan hukum yang seharusnya memang wajib ditegakkan. Secara utuh, klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai  permohonan  Cak  Lontong  untuk  diperlakukan
adil  oleh  Ndoro,  selaku  hakim  dalam  persidangan  tersebut  karena  ia  merasa diperlakukan  semena-mena  oleh  Sentilun  yang  menuntutnya  dengan  hukuman
berat dan tidak masuk akal. Sebagai Hakim, Ndoro wajib memegang teguh prinsip keadilan  dan  mengambil  sebuah  keputusan  dengan  mempertimbangkan  dari
berbagai  aspek.  Tuturan  tersebut  tidak  mengandung  unsur  ekstralingual  berupa tanda-tanda ketubuhan yang mendukung karena Cak Lontong tidak memunculkan
bahasa  tubuh  apapun,  sedangkan  unsur  ekstralingual  berupa  konteks  dalam
tuturan tersebut mengandung fenomena referensi. Cak Lontong merujuk tuturan
Sentilun  sebelumnya  yang  mengungkapkan  bahwa  dirinya  selaku  jaksa  penuntut tidak  umum  mengajukan  tuntutan  dengan  hukuman  maksimal  dua  puluh  tahun
penjara  dengan  masa  percobaan  di  Nusa  Kambangan  dan  tidak  ada  potongan hukuman.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator kesantunan Pranowo 2012:104, yaitu pemakaian diksi santun. Tuturan tersebut
menggunakan kata “mohon” yang  termasuk dalam salah satu diksi santun. Daya  permohonan  yang  muncul  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  ini
mempunyai  ciri  khas,  berupa  penggunaan  kata  “mohon”  untuk  memperkuat permohonan  penutur.  Kata  “mohon”  juga  tidak  dapat  berdiri  sendiri  karena
maksudnya  baru  tersampaikan  setelah  berada  dalam  kalimat  atau  paling  tidak klausa.  Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  dalam  daya
permohonan  juga  bersifat  opsional  dan  kebetulan  dalam  data  yang  ditemukan
tidak  ada  tanda-tanda  ketubuhan  yang  dimunculkan  oleh  penutur  untuk mendukung  daya  permohonan.  Unsur  ekstralingual    konteks  dalam  data  yang
diperoleh  hanya  menggunakan  fenomena  referensi  merujuk  pada  tuturan  mitra tutur  sebelumnya.  Daya  permohonan  yang  ditemukan  dalam  objek  penelitian
selalu  santun  karena  menggunakan  kata  “mohon”  yang  termasuk  kata  beraura santun  sesuai  dengan  indikator  kesantunan  Pranowo  berupa  penggunaan  diksi
santun.
4.2.1.2 Daya Ancam Daya  Ancam  merupakan  kekuatan  bahasa  untuk  menyatakan  ancaman
terhadap  mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan.  Daya  ancam berusaha  membuat    mitra  tutur  atau  orang  yang  dimakud  dalam  tuturan  untuk
tidak melakukan sesuatu yang dianggap menyimpang atau merugikan orang lain. Bila daya ancam ini tidak diindahkan oleh mitra tutur atau orang yang dimaksud
dalam tuturan, maka dapat menimbulkan suatu akibat tertentu. Daya ancam dapat dinyatakan dengan cara memperingatkan dan mengkritik.
4.2.1.2.1 Daya Peringatan Daya  peringatan  adalah  bentuk  ancaman  yang  digunakan  untuk
memperingatkan  mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  agar  tidak melakukan  sesuatu  yang  dapat  merugikan  pihak  lain.  Daya  peringatan  ini
dinyatakan  sebelum  seseorang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  melakukan  sesuatu atau mengambil sebuah keputusan. Perhatikan tuturan berikut “Begini ya Ndoro.
Menurut  analisis  saya.  Kalau  partisipasi  rakyat  meningkat  semacam  ini,  yang
penting itu jangan sampai korupsinya juga ikut-ikutan meningkat ” SSDB04-08-
20146. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang mengetahui angka korupsi di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat “Kalau
partisipasi  rakyat  meningkat  semacam  ini,  yang  penting  itu  jangan  sampai korupsinya  juga  ikut-ikutan  meningkat
”, untuk memunculkan daya peringatan.
Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  peringatan  bagi  para  petinggi  negara  untuk tidak  melakukan  korupsi.  Kalimat  tersebut  menggunakan  frasa
“jangan sampai” untuk  mengindikasikan  peringatan  yang  sangat  kuat.  Kalimat  tersebut
mengandung  analogi  tentang  meningkatnya  partisipasi  rakyat  yang  harus dibarengi  dengan  penurunan  angka  korupsi.  Korupsi  merupakan  tindakan
memalukan  ditengah  kesadaran  rakyat    yang sekarang ini semakin meningkat. Selain itu untuk
mendukung  daya  peringatan,  Sentilun  juga memunculkan
unsur ektralingual
berupa
gerakan  tangan  membentuk  tingkatan.  Unsur  ekstralingual  tersebut
mengindikasikan  bahwa  korupsi  tidak  boleh  terus  meningkat  dan  harus  dicegah. Selain  itu,  juga  terdapat  unsur  ekstralingual  berupa  konteks  yang  dimunculkan
melalui  fenomena  pranggapan  atau  pengetahuan  awal  yang  dimiliki  Sentilun
sebelumnya  mengenai  angka  korupsi  di  Indonesia  yang  meningkat  dari  tahun  ke tahun.  Hal  tersebut  dapat  dilihat  dari  semakin  banyaknya  kasus  korupsi  yang
diungkap  oleh  KPK.  Sentilun  juga  melihat  bahwa  saat  ini  kesadaran  demokrasi
rakyat  semakin  meningkat,  hal  ini  dibuktikan  dengan  banyaknya  relawan  yang mau mengawal pilpres dari awal hingga penghitungan suara.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Sentilun  berusaha
memberikan keuntungan bagi  rakyat  dengan memperingatkan para pejabat  untuk tidak melakukan korupsi. Penutur menggunakan penganalogian partisipasi rakyat
yang meningkat dan angka korupsi yang harus diturunkan untuk memperingatkan para  petinggi  negara  agar  tidak  menyalahgunakan  kekuasaan  dengan  melakukan
korupsi. Daya  peringatan  juga  muncul  dalam  tuturan  berikut
“Makannya  marilah kita  berlomba-lomba  dalam  kebaikan.  Jangan  hanya  berlomba-lomba
memperebu tkan  jabatan  dan  kekuasaan”  SSDB04-08-201424.  Tuturan
tersebut dikatakan oleh Sentilun yang mengetahui para petinggi negara yang saat ini cenderung saling memperebutkan jabatan dan kekuasaan dengan menghalalkan
segala cara.
Unsur  intralingual  dalam tuturan tersebut  berupa  kalimat “Jangan hanya
berlomba-lomba  mempe rebutkan  jabatan  dan  kekuasaan”,  untuk  memunculkan
daya peringatan. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai peringatan bagi para petinggi negara  untuk  tidak  berlomba  dalam  memperoleh  jabatan  dan  kekuasaan  seperti
fenomena  yang  terjadi  belakangan  ini.  Kalimat  tersebut  menggunakan  frasa “jangan  hanya”  untuk  mengindikasikan  peringatan  bagi  petinggi  negara.    Para
petinggi  negara  seharusnya  bekerja  bukan  untuk  mendapatkan  jabatan  dan kekuasaan,  tetapi  demi  kesejahteraan  rakyat.  Para  petinggi  negara  merupakan
wakil yang dipilih rakyat, oleh sebab itu mereka harus memikirkan kesejahteraan rakyat  dan  bukan  malah  semakin  menyengsarakan
rakyat.  Daya  peringatan  semakin  diperkuat  dengan unsur  ekstralingual  yang  dimunculkan  Sentilun
berupa dengan  gerakan tangan kanan diangkat ke depan  wajah  kemudian  digerak-gerakkan  ke  kiri  dan  ke  kanan.  Unsur
ekstralingual tersebut dipersepsi sebagai gerakan memperingatkan. Selain itu, juga
terdapat  unsur  ekstralingual  berupa  konteks  yang  dimunculkan  fenomena pranggapan atau pengetahuan awal yang dimiliki Sentilun sebelumnya mengenai
para  petinggi  negara  yang  saat  ini  cenderung  saling  memperebutkan  jabatan  dan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Sentilun juga memiliki pengetahuan
mengenai kasus korupsi di Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan Pranowo 2012:111, yaitu sikap tenggang rasa sebagai manifestasi
sifat rendah hati. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun mempunyai sikap
tenggang  rasa  dengan  tidak  menyebutkan  secara  langsung  bahwa  orang  yang diperingatkan dalam tuturan adalah para para petinggi negara.
Tuturan  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  ini  juga  memunculkan  daya peringatan yang tidak santun, seperti pada tuturan “Iih ini namanya bukan jaksa
penuntut. Ini mah Mas Sentilunnya aja, sama aja suka ngerayu. Sukanya itu janji- janji  tapi  nggak  pernah  ditepatin.  Mas  Sentilun  tahu  nggak  aku  itu  bagaikan
rakyat  dan  masyarakat.  Saya  udah  nggak  dengerin  janji-janji,  tapi  saya  cuma mau  melihat  bukti”  SSDB08-09-20146,  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh
Chacha  Federicha  yang  mengetahui  para  petinggi  negara  yang  terbiasa “melupakan janji” saat sudah terpilih.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat “Saya  udah
nggak  dengerin  janji-janji,  t api  saya  cuma  mau  melihat  bukti”,  untuk
memunculkan  daya  peringatan.  Kalimat  tersebut  terdiri  dari  dua  klausa,  yaitu klausa “Saya udah nggak dengerin janji-janji” untuk mengindikasikan kebosanan
Chacha  mendengarkan  janji-janji  palsu  para  calon  petinggi  negara  sebelum terpilih,  dan  klausa  “tapi  saya  cuma  mau  melihat  bukti”  mengindikasikan
peringatan untuk membuktikan janji yang telah diucapkan saat kampanye. Secara utuh,  kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  peringatan  bagi  Pak  Jokowi  untuk
membuktikan  janjinya  karena  beliau  telah  terpilih  sebagai  presiden  yang  baru. Rakyat  saat  ini  menginginkan  pembuktian  bukan
hanya  sekedar  janji  palsu.  Daya  peringatan  juga diperkuat
dengan unsur
ekstralingual yang
dimunculkan  oleh  Chacha  berupa  mata  yang melotot  sambil  alis  yang  diangkat  saat  menuturkan  kalimat  tersebut.  Unsur
ekstralingual  yang  dimunculkan  Chacha  tersebut  dipersepsi  sebagai  peringatan keras  bagi  Pak  Jokowi  untuk  meralisasikan  janjinya.  Selain  itu,  juga  terdapat
unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan
atau pengetahuan awal yang dimiliki Chacha  mengenai para petinggi negara yang mempunyai  kebiasaan
“melupakan  janji”  saat  sudah  terpilih.  Berdasarkan
pengetahuan awal tersebut, Chacha menjadi bosan dengan janji yang diumbar, dan sekarang  dia  hanya  ingin  melihat  bukti  dari  apa  yang  telah  dikatakan  oleh  para
petinggi  negara.  Pada  saat  itu,  yang  sedang  menjadi  sorotan  adalah  Pak  Jokowi, karena beliau baru saja terpilih menjadi presiden yang baru.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  indikator kesantunan  Pranowo  2005,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  adu  rasa
penutur tidak mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur. Di dalam
tuturan  tersebut,  Chacha  merasa  tidak  percaya  curiga    terhadap  para  petinggi negara  karena  banyak  melihat  para  petinggi  negara  saat  ini  yang  melupakan
janjinya  setelah  terpilih.  Berdasarkan  pengetahuan  yang  dimiliki  Chacha  tentang kebiasaan  para  petinggi  negara  melupakan  janji  tersebut,  Chacha  menilai  bahwa
setiap petinggi negara akan melupakan janjinya saat kampanye. Penilaian tersebut mengindikasikan  bahwa  Chacha  selalu  curiga  dan  menuduh  petinggi  negara
melupakan janji. Daya  peringatan  yang  tidak  santun  juga  diperlihatkan  dalam  tuturan
berikut “Sampean itu kan dapat amanah, wakil rakyat kok masih mau bikin usaha.
Gimana  lho,  waktunya  terus  kapan? ”  SSDB29-09-20147.  Tuturan  tersebut
dikatakan oleh Sentilun yang mengetahui alasan Asep Rahmatullah menggadaikan SK pengangkatannya kepada bank, yaitu untuk mendapatkan modal usaha dalam
tuturan sebelumnya.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat “Gimana  lho,
waktunya terus kapan? ”, untuk memunculkan daya peringatan.  Kalimat tersebut
menggunakan  kata  tanya “gimana”  yang  merupakan  kata  tidak  baku  dari  kata
tanya “bagaimana”  yang  merupakan  kata  tanya  untuk  menanyakan  cara
KBBI,2008:112  dan  kata “kapan”  yang  merupakan  kata  tanya  untuk
menanyakan  waktu  KBBI,2008:621.  Secara  utuh,  kalimat  tersebut  dipersepsi sebagai  peringatan  yang  ditujukan  kepada  Asep  Rahmatullah  untuk  tidak
membuat  usaha  karena  hal  tersebut  mengakibatkan  beliau  tidak  fokus  dalam menjalankan  tugasnya  sebagai  anggota  dewan.  Sentilun  sengaja  menggunakan
kalimat  tanya  untuk  menanyakan  bagaimana  cara  Asep  Rahmatullah  untuk membagi  waktu  ditengah  kesibukannya  menjadi  anggota  dewan  untuk
mengindikasikan  peringatan  bahwa  jika  Asep  Rahmatullah  juga  merangkap sebagai  pengusaha,  fokus  beliau  akan  terbagi  dan
kinerjanya  sebagai  anggota  dewan  menjadi  tidak baik.  Daya  peringatan  juga  didukung  unsur
ekstralingual  yang  dimunculkan  oleh  Sentilun
berupa gerakan tangan kanan menunjuk-nunjuk ke arah Asep Rahmatullah.
Unsur  ekstralingual  tersebut  dipersepsi  sebagai  gerakan  memperingatkan  Asep Rahmatullah  yang  seharusnya  tidak  membuka  usaha  karena  pikirannya  akan
menjadi  terpecah.Tuturan  tersebut  juga  mengandung  unsur  ekstralingual  berupa
konteks yang dimunculkan melalui fenomena referensi atau rujukan tuturan Pak
Asep  sebelumnya  yang  menyatakan  alasannya  menggadaikan  SK  adalah  untuk modal usaha.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  salah  satu
indikator  berupa  nilai-nilai  luhur  pendukung  kesantunan  Pranowo  2008,  dalam
Pranowo 2012:111, yaitu sikap tenggang rasa sebagai manifestasi sifat rendah
hati.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Sentilun  sebenarnya  menggunakan
kalimat pertanyaan yang dimaksudkan untuk memperingatkan Asep Rahmatullah secara  tidak  langsung  termasuk  santun,  namun  yang  membuat  tidak  santun
adalah  unsur  ekstralingual  yang  dimunculkan  Sentilun.  Sentilun  memunculkan gerakan  tangan  menunjuk-nunjuk  ke  arah  Asep  Rahmatulah  sehingga  terkesan
memojokkan mitra tutur tanpa memikirkan perasaan mitra tutur. Selain kalimat seperti keempat contoh di atas, unsur intralingual berupa
klausa  juga  dapat  memunculkan  daya  peringatan, misalnya  para  tuturan  “Ya
pemerintah  yang  akan  datang  juga  berjanji  to  akan  memperhatikan  industri kreatif.  Makanya  jangan  lupa  Pak  Jokowi  ndak  boleh  ingkar  janji
” SSDB25- 08-201417.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  yang  mempunyai
pengetahuan  awal  mengenai  salah  satu  janji  Pak  Jokowi  dalam  bidang  industri kreatif saat kampanye kemarin, yaitu meningkatkan industri kreatif sebagai salah
satu kunci kesejahteraan masyarakat. Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa
klausa “jangan lupa Pak
Jokowi  ndak  boleh  ingkar  janji ”,  untuk  memunculkan  daya  peringatan.  Klausa
tersebut menggunakan frasa “jangan lupa” mengindikasikan peringatan dan frasa
“janji” mengindikasikan pernyataan Pak Jokowi saat kampanye kemarin. Secara utuh,  klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai  peringatan  bagi  Pak  Jokowi  untuk
merialisasikan  janjinya  saat  kampannye,  yaitu memperhatikan industri  kreatif. Daya peringatan
diperkuat dengan
penggunaan unsur
ekstralingual  yang  dimunculkan  oleh  Sentilun
berupa  mengacugkan  satu  jari  di  depan  muka  sambil  digerak-gerakkan  ke kiri dan ke kanan. Unsur ekstralingual yang dimunculkan oleh Sentilun tersebut
dipersepsi  sebagai  gerakan  memperingatkan.  Tuturan  tersebut  juga  mengandung
unsur  ekstralingual  konteks  berupa  fenomena  praanggapan  atau  pengetahuan
awal  yang  dimiliki  oleh  Sentilun  mengenai  salah  satu  isi  kampanye  Pak  Jokowi saat kampanye kemarin dalam bidang industri kreatif, yaitu meningkatkan industri
kreatif sebagai salah satu kunci kesejahteraan masyarakat.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  salah  satu indikator  kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo,2012:103,  yaitu  maksim
kebi jaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  memberikan  keuntungan  kepada
mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Sentilun  berprasangka  baik
terhadap  Pak  Jokowi  bahwa  beliau  tidak  akan  mengingkari  janjinya  saat kampanye untuk memperhatikan industri kreatif .
Unsur  ekstralingual  dalam  daya  peringatan  ini  juga  sering  tidak  muncul dan mendukung unsur ekstralingual seperti dalam tuturan
“Itu sama dengan ketika saya di sana Ndoro, sekolah.Orang Amerika katanya bilang begini, pemilu kami
paling hebat. Hari pemilihan suara atau the polling day itu sekaligus the counting day, langsung ketahuan hasilnya. Orang Mexiko bilang, nggak lebih hebat kami.
Kami  tahu  hasil  pemilu  itu  satu  tahun  sebelum  pelaksanaan  pemilu.  Udah  tahu duluan,  tapi  saya  nggak  mau  kalah  Ndoro.  Waktu  zaman  orde  baru  kami  sudah
tahu  hasil  pemilu  lima  tahun  sebelumnya.  Apa  Ndoro  mau  begitu  lagi? ”
SSDB22-09-201412.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Refly  Harun  yang
mengetahui  praktek  pemilu  pada  saat  zaman  orde  baru  yang  banyak  terdapat praktik kecurangan didalamnya yaitu praktik suap.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Apa  Ndoro mau  begitu  lagi?”,  untuk  memunculkan  daya  peringatan.  Kalimat  tersebut
merupakan kalimat tanya yang bukan difungsikan untuk menanyakan, melainkan untuk  memperingatkan.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  peringatan  bagi
seluruh  rakyat  Indonesia  untuk  menolak  RUU  Pilkada  karena  pada  prakteknya akan  muncul  banyak  kecurangan  seperti  pada  masa  orde  baru.  Kita  ketahui
bersama  pada  masa  orde  baru  terjadi  pelemahan  demokrasi  yang  mengakibatkan rakyat  makin  sengsara  karena  pemimpinnya  tidak  benar-benar  bekerja  untuk
rakyat.  Penutur  menggunakan  kalimat  tanya  tersebut  untuk  menimbulkan  efek peringatan  yang  lebih  kuat  karena  sebelumnya  seluruh  penonton  mengingat
kekacauan  pada  masa  orde  baru  melalui  kalimat  sebelumnya  dalam  tuturan tersebut.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102  yang  memandang prinsip kesantunan
sebagai  piranti untuk menjelaskan  mengapa penutur sering bertutur secara tidak  langsung  dalam  mengungkapkan  maksudnya.  Tuturan  tersebut
mengandung  kalimat  pertanyaan  yang  ditujukan  kepada  Ndoro,  namun maksudnya adalah untuk memperingatkan rakyat Indonesia agar tidak menyetujui
RUU  Pilkada.  Refly  harun  sengaja  mengungkapkan  sesuatu  dengan  maksud berbeda  agar  tuturannya  lebih  santun  dan  tidak  terkesan  memaksa  rakyat  untuk
menolak RUU Pilkada.
Berdasarkan  beberapa  contoh  tuturan  yang  mewakili  keseluruhan  data daya  peringatan  dalam  acara  Sentilan  Sentilun,  dapat  disimpulkan  bahwa  daya
peringatan yang digunakan dalam acara tersebut dapat dimunculkan melalui unsur intralingual  berupa  klausa  dan  kalimat.  Walaupun  ada  kata  dan  frasa  yang
dominan untuk mengindikasikan daya peringatan seperti “jangan, jangan sampai,
dan  jangan  lupa ”,  tetapi  kata  dan  frasa  tersebut  tidak  dapat  dipisahkan  dari
kalimat  atau  klausa.  Kata  atau  frasa  tersebut  tidak  dapat  berdiri  sendiri  karena makna dan maksudnya baru dapat diketahui setelah berada dalam sebuah kalimat
atau  paling  tidak  suatu  klausa.  Kata “jangan” yang biasanya dipersepsi sebagai
larangan  dapat  menjadi  peringatan  karena  kata  tersebut  dipersepsi  berdasarkan konteks  yang  menyertai  tuturan.  Selain  itu,  klausa  dan  kalimat  yang  digunakan
sebagai  unsur  intralingual  daya  peringatan  tidak  selalu  mengandung  kata  atau frasa  yang  dominan  menunjukkan  peringatan,  melainkan  ada  juga  yang
menggunakan kalimat tanya yang dimaksudkan untuk memperingatkan tanpa ada kata dan frasa yang khas mengindikasikan peringatan.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung  daya  peringatan  karena  hal  tersebut  tergantung  dari  keekspresifan
penutur.  Hal  tersebut  berbeda  dengan  unsur  ekstralingual  berupa  konteks  yang selalu menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui maksud penutur.
Unsur  ekstralingul  konteks  yang  memunculkan  daya  peringatan  dalam  acara Sentilan  Sentilun  berupa  fenomena  praanggapan  dan  referensi.  Fenomena
praanggapan  karena  sebelum  memperingatkan  seseorang,  tentu  kita  telah mempunyai  pengetahuan  awal  mengenai  apa  yang  hendak  dilakukan  oleh  mitra
tutur, sedangkan  fenomena referensi  dapat  memunculkan peringatan berdasarkan rujukan  tuturan  mitra  tutur  sebelumnya  yang  dianggap  dapat  merugikan  orang
lain. Daya  peringatan  yang  ada  dalam  Acara  Sentilan  Sentilun  ada  yang
dinyatakan  dengan  santun  dan  tidak  santun  tergantung  isi  tuturan  serta  unsur ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  yang  menyertai  tuturan.  Daya
peringatan  santun  karena  penutur  selalu  memberikan  keuntungan  kepada  mitra tutur  sesuai  dengan  maksim  kebijaksanaan  Leech  dan  mempunyai  kikap
tenggang  rasa  sesuai  dengan  indikator  kesantunan  Pranowo,  2012:111. Sedangkan  dinyatakan  tidak  santun  karena  terkesan  memojokkan  mitra  tutur
melanggar indikator kesantunan Pranowo berupa sikap tenggang rasa. 4.2.1.2.2.Daya Kritik
Daya  kritik  adalah  bentuk  ancaman  yang  digunakan  untuk  menanggapi suatu  sikap  atau  tindakan  yang  telah  dilakukan  oleh  seseorang.  Tanggapan
tersebut disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap sikap atau tindakan yang telah dilakukan. Daya kritikan ini dapat dinyatakan secara langsung maupun
tidak langsung. 4.2.1.2.2.1 Daya Kritik Langsung
Daya  kritik  langsung  adalah  bentuk  kritikan  yang  digunakan  untuk menanggapi sesuatu yang dilakukan mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam
tuturan  secara  langsung  eksplisit.  Secara  langsung  disini  maksudnya  adalah kritikan  tersebut  langsung  diungkapkan  melalui  tuturan  yang  digunakan  tanpa
menutup-nutupi orang atau lembaga tertentu yang hendak dikritik. Daya kritik ini
juga tidak mengandung unsur ejekan dalam menanggapi permasalahan  yang ada. Contoh daya kritik langsung dalam acara Sentilan Sentilun terdapat dalam tuturan
“Satu hal yang kerap sekali dirasakan oleh rakyat itu, yaitu negara yang sering kali  tempo  hari  ini.  Pemerintah  tidak  pernah  hadir  pada  saat  rakyat
membutuhkan”    SSDB04-08-201429.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh Sentilun  yang  melihat  sendiri  kinerja  pemerintah  sebelumnya  yang  terkesan
terlambat hadir saat rakyat membutuhkan.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat “Pemerintah
tidak  pernah  hadir  pada  saat  rakyat  membutuhkan ”,  untuk  memunculkan  daya
kritik.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  kritikan  bagi  pemerintah  sebelumnya yang  sering  tidak  ada  saat  rakyat  membutuhkan,  misalnya  saat  bencana  alam
bantuan  pemerintah  selalu  terlambat  datang.  Kritikan  tersebut  disampaikan  agar pemerintahan Pak Jokowi tidak berlaku sama dan lebih tanggap dalam menangani
segala masalah yang berkaitan dengan rakyat. Daya kritik tersebut didukung oleh unsur ekstralingual  yang dimunculkan Sentilun berupa
gerakan  tangan  kanan  menunjuk  kemudian digerak-gerakkan ke kiri ke kanan. Gerakan tersebut
dimunculkan  untuk  menekankan  bahwa  pemerintah  yang  tidak  pernah  hadir  saat rakyat  membutuhkan.  Selai  itu,  tuturan  tersebut  juga  mengandung  unsur
ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan  atau
pengetahuan  awal  yang  dimiliki  oleh  Sentilun  mengenai  pemerintah  sebelumnya terkesan  terlambat  hadir  saat  rakyat  membutuhkan.  Contohnya  saat
penanggulangan  bencana  yang  melanda  Indonesia  belakangan  ini,  pemerintah
dianggap  lambat  dan  kurang  sigap  dalam  menanggulangi  bencana  yang sebenarnya  bisa  diminimalisir  korbannya  misalnya  tanah  longsor  yang
sebelumnya  dapat  dikaji  oleh  para  geolog  karena  pasti  terdapat  tanda-tanda sebelum tanah longsor terjadi.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan Pranowo 2005, dalam Pranowo 2012:103, yaitu adu rasa penutur
mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur. Di dalam konteks tuturan
tersebut,    Sentilun  menyampaikan  kritikannya  secara  umum  dengan  mengkritik pemerintah  secara  keseluruhan  dan  tidak  menunjuk  perorangan  atau  lembaga
tertentu padahal yang dimaksudkan adalah mengkritik Pak SBY. Daya  kritik  langsung  juga  ada  yang  diungkapkan  secara  tidak  santun.
Seperti dalam tuturan “Ya, jadi yang penting ini adalah pemerintah harus punya suatu program, suatu policy yang berkesinambungan. Jadi bertahap hal sifatnya
vital  dan  strategis  untuk  negara  janganlah  ini  dijadikan  sebagai  objek  politik, yang menjadikan sebagai  pencitraan politik, misalnya terkait dengan BBM. Jadi
pemerintah  ini  harus  punya  policy  sepuluh  tahun,  lima  belas  tahun,  dua  puluh lima tahun ke depan BBM ini harus diapakan. Jadi jangan kemudian ketika sudah
naik,  sebelumnya  sudah  naik  diturunkan  lagi  supaya  mendapatkan  citra. Kemudian ketika kesulitan lagi, dinaikkan lagi ketika itu dituruninin lagi. Jadi ini
kan sudah berapa kali naik turun, naik turun. Harusnya ketika naik teruuuus, tapi pada  satu  titik  yang  stabil  memang  akan  ada  resiko,  nah  resiko  itu  yang
dimitigasi”  SSDB01-09-201424.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Riyad Chairil  seorang  pengamat  migas  yang  mengetahui  Pak  SBY  telah  menaikkan
harga  BBM  selama  tiga  kali  dan  menurunkannya  selama  tiga  kali  selama  masa pemerintahannya.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa
kalimat  “jadi  jangan
kemudian  ketika  sudah  naik,  sebelumnya  sudah  naik  diturunkan  lagi  supaya
mendapatkan  citra”,  untuk  memunculkan  daya  kritik.  Kalimat  tersebut
dipersepsi  sebagai  kritikan  bagi  pemerintahan  SBY  untuk  tidak  menggunakan BBM  menaik-turunkan  harga  untuk  mendapatkan  pencitraan.  Pencitraan
merupakan  merupakan  usaha  untuk  menciptakan  nama  baik  didepan  seluruh rakyat  Indonesia.  Melalui  kalimat  tersebut,  penutur  berusaha  mengkritik
pemerintah  untuk  menaikkan  harga  BBM  sesuai  dengan  keadaan  aslinya  agar posisi  BBM  stabil walaupun harus menanggung
resiko  berupa reaksi  penolakan awal  yang keras dari  rakyat.    Daya  kritik  juga  diperkuat  dengan
unsur  ekstralingual  yang  dimunculkan  oleh
Riyad  Chairil  berupa  gerakan  tangan  kanan  yang  naik  secara  perlahan.
Gerakan  tersebut  dipersepsi  sebagai  gerakan  untuk  menekankan  pemerintah harusnya  menaikkan  harga  BBM  secara  terus  dan  bertahap.  Selain  itu,  tuturan
tersebut juga mengandung unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui
fenomena praanggapan atau pengetahuan awal Riyad Charil mengenai kebijakan
Pak  SBY  selama  sepuluh  tahun  memerintah  dalam  hal  subsidi  BBM.  Sebagai pengamat  migas,  Riyad  Chairil  selalu  mengikuti  perkembangan  kebijakan  BBM
yang dilakukan oleh Pak SBY. Pak SBY telah menaikkan harga BBM selama tiga kali dan menurunkannya selama tiga kali.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  tidak  santun  karena  melanggar  indikator kesantunan  Pranowo  2005,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  adu  rasa
penutur  tidak  mempertemukan  perasaannya  dengan  mitra  tutur.  Riyad tidak
mempertemukan perasaannya
dengan Pak
SBY karena
menyampaikan  tuduhan  atas  dasar  kecurigaan  terhadap  mitra  tutur.  Riyad
Chairil  menuduh  pemerintahan  Pak  SBY  menaik-turunkan  harga  BBM  untuk memperoleh pencitraan politik. Riyad menuduh atas dasar kecurigaannya terhadap
kebijakan BBM yang selalu diturunkan saat menjelang pemilihan umum. Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  juga  tidak  selalu
muncul  untuk  mendukung  daya  kritik,  misalnya  dalam  tuturan  “Tapi  secara logika  politik  ya  sebenarnya  etika  publik  juga  memang  tidak  etis  ya.  Walaupun
menurut  hukum  tidak  masalah.  Maksudnya  begini  ya,  kan  konsekuensi  dari menggadaikan  SK  tadi  gajinya  akan  dipotong  ya  kan?  Nah  negara  memberikan
gaji adalah  supaya anggota  dewan itu bekerja  buat  publik  kan? Ya, nggak usah pusing-pusing mikirin yang lain. Kalau gajinya tinggal sepertiganya ya dia nggak
bisa  bekerja  maksimal  untuk  ngurusin  rakyat  kan?  Jadi  itu  kenapa  sebenarnya tidak  etis  memang.  Nah  harusnya  pun  sebenarnya  ya  nggak  tahu  saya  apakah
bisa  kedepan peraturan  kita bikin Undang-Undangnya ya, memang nggak boleh menawarkan itu ke anggota dewan. Ya gaji itu harus utuh supaya ngurusin nasib
rakyat ”SSIDB29-09-201418.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Hamdi  Muluk
yang  mengetahui  belum  adanya  Undang-Undang  yang  mengatur  tentang kebijakan  bank  untuk  tidak  boleh  menawarkan  penggadaian  SK  kepada  anggota
dewan.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“kedepan peraturan  kita  bikin  Undang-Undangnya  ya,  memang  nggak  boleh  menawarkan
itu  ke  anggota  dewan
”,  untuk  memunculkan  daya  kritik.  Klausa  tersebut
dipersepsi  sebagai  kritikan  kepada  pemerintah  yang  kurang  tegas  dalam  dalam menangani maslah etika politik berupa penggadaian SK yang sangat memalukan.
Penutur  mengkritik  agar  pemerintah  membuat  Undang-Undang  yang  jelas  untuk mengatur  larangan  kebijakan  bank  berupa  penawaran  gadai  SK  bagi  anggota
dewan.  Penutur  menggunakan  klausa  tersebut  untuk  memunculkan  efek komunikatif  berupa  penindakan  tegas  dengan  menjatuhan  sangsi  hukum  yang
dilakukan  oleh  pemerintah  terhadap  bank  yang  menawarkan  gadai  SK  kepada anggota  dewan.  Hamdi  Muluk  tidak  memunculkan  unsur  ekstralingual  berupa
tanda-tanda  ketubuhan  apapun  untuk  mendukung  daya  kritik  yang  disampaikan, sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui  fenomena
praanggapan.  Hamdi  Muluk  mempunyai  pengetahuan  mengenai  belum  adanya
Undang-Undang yang mengatur kebijakan bank dalam hal memberikan pinjaman kepada  anggota  dewan  dengan  menggadaikan  SK.  Beliau  merupakan  pakar
psikologi  politik  yang  mempelajari  dan  mengikuti  perkembangan  politik  di Indonesia, termasuk Undang-Undang yang mengatur tentang parpol.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  salah  satu Indikator  kesantunan  menurut  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103  yang
mengungkapkan  bahwa  tuturan  santun  dapat  memberikan  keuntungan kepada mitra tutur maksim kebijaksanaan “tact maxim”. Tuturan tersebut
memberikan  keuntungan  bagi  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  pemerintah,
yaitu  dengan  memberikan  kritikan  yang  disertai  cara  penyelesaian  mengenai masalah  penurunan  etika  politik  penggadaian  SK.  Penutur  juga  tidak  langsung
menyebutkan  bahwa  pemerintah  yang  seharusnya  turun  tangan  untuk  mengatur kebijakan tersebut dalam Undang-Undang.
Berdasarkan  beberapa  contoh  tuturan  yang  mewakili  keseluruhan  data daya  kritik    langsung  sering  juga  disebut  daya  kritik  dalam  acara  Sentilan
Sentilun,  dapat  disimpulkan  bahwa  daya  kritik  yang  digunakan  dalam  acara tersebut dapat dimunculkan melalui unsur intralingual berupa klausa dan kalimat.
Tidak ada kata-kata khas yang digunakan untuk  memunculkan daya kritik dalam acara  tersebut.  Hal  ini  dikarenakan  kritikan  baru  dapat  dipersepsi  maksudnya
dalam  satu  klausa  atau  satu  kalimat  utuh  saling  berhubungan  dengan  beberapa kata dan frasa. Daya kritik ini pada umumnya menyediakan solusi dari hal yang
sedang dikritik. Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  dalam  daya  kritik  ini
juga  tidak  selalu  muncul  untuk  mendukung  daya  kritik.  Jika  unsur  ekstralingual berupa  tanda-tanda  ketubuhan  muncul,    gerakannya  pun  beragam  tergantung
kritikan  serta  solusi  apa  yang  ditawarkan  oleh  penutur  tidak  ada  gerakan  yang sama dalam setiap tuturan daya kritik  seperti  dalam  daya peringatan.  Selain itu,
unsur ekstralingual berupa konteks dalam daya kritik hanya dimunculkan melalui fenomena  praanggapan  atau  pengetahuan  awal  yang  dimiliki  oleh  penutur
mengenai suatu hal yang hendak dikritik. Tuturan dalam daya kritik ini juga dapat dinyatakan secara santun maupun
tidak santun tergantung unsur intralingual dan ekstralingual  yang digunakan oleh
penutur  untuk  menyampaikan  maksud  kritikan.  Kritikan  santun  dinyatakan karena  penutur  memberikan  keuntungan  berupa  solusi  dari  hal  yang  dikritik
sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech dan memperhatikan perasaan mitra tutur  sesuai  indikator  kesantunan  pranowo,  yaitu  adu  rasa.  Sedangkan  kritikan
yang  tidak  santun  dinyatakan  jika  tuturan  berusaha  memojokkan  mitra  tutur melanggar prinsip adu rasa Pranowo.
4.2.1.2.2.2 Daya Kritik Tidak Langsung Daya  kritik  tidak  langsung  adalah  bentuk  kritikan  yang  digunakan  untuk
menanggapi sesuatu yang dilakukan mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan  secara  tidak  langsung  implisit.  Daya  kritik  tidak  langsung  ini  dapat
dinyatakan dengan cara menyindir. 4.2.1.2.2.2.1 Daya Sindir
Daya sindir adalah bentuk kritik tidak langsung yang mengandung ejekan atau  cemoohan  secara  tidak  langsung  sebelum  menanggapi  sesuatu  hal  yang
dilakukan,  sikap,  atau  kebijakan  yang  diambil  seseorang.    Perhatikan  contoh tuturan  da
lam Acara Sentilan Sentilun berikut: “Nggak ada kampanye hitamnya to?”. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang membuat sandiwara dengan
pura-pura bertanya pada Pak Jokowi dan Pak Prabowo di dalam telepon mengenai kampanye hitam yang terjadi saat kampanye pilpres kemarin.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat  tanya
“Nggak
ada  kampanye  hitamnya  to?,  untuk  memunculkan  daya  sindir.  Kalimat  tersebut
merupakan kalimat tanya, namun sebenarnya bukan berfungsi untuk menanyakan, melainkan  untuk  menyatakan  sindiran.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai
sindiran  bagi  kubu  Prabowo  Hatta  yang  kemarin  telah  melakukan  kampanye hitam  dengan  menyebarkan  isu  miring  tentang  asal-usul  Pak  Jokowi  melalui
majalah  “Obor  Rakyat”.  Penutur  menggunakan  kalimat  tersebut  untuk menimbulkan  efek  santun  karena  tidak  langsung  mengatakan  bahwa  kubu
Prabowo-Hatta  telah  curang  saat  pilpres  kemarin dengan  melakukan  kampanye  hitam.  Daya  sindir
dalam  juga  diperkuat  dengan  unsur  ektralingual  yang
dimunculkan  Sentilun  berupa  gerakan  menempelkan kedua  handphone  di  telinga  sembari  bertanya  kalimat  tanya  tadi.  Unsur
ekstralingual  tersebut  mengindikasikan  mengindikasikan  bahwa  kedua  belah pihak  baik-baik  saja  dan  tidak  saling  serang  menggunakan  kampanye  hitam,
padahal  kenyataannya  berkebalikan.  Selain  itu,  dalam  tuturan  tersebut  juga terdapat  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena
implikatur. Sentilun sengaja menggunakan sandiwara keakraban Pak Jokowi dan
Pak  Prabowo  di  dalam  telepon  untuk  mengimpilikasikan  sindiran  bagi  keduanya dalam  keadaan  sebenarnya  yang  terkesan  tidak  akur  serta  saling  serang  dengan
menggunakan kampanye hitam.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102  yang  memandang prinsip kesantunan
sebagai  piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak  langsung  dalam  mengungkapkan  maksudnya.  Sandiwara  yang
dimainkan dalam tuturan Sentilun  yang menceritakan keakraban Pak Jokowi dan Pak  Prabowo  dalam  acara  tersebut  dimaksudkan  untuk  menyindir  kedua  pihak
karena  pasca  pilpres  kedua  kubu  ini  terkesan  saling  bermusuhan  tidak  seperti yang disandiwarakan.
Daya  sindir  juga  akan  lebih  mengena  jika  dinyatakan  dengan  doa  seperti pada  tuturan
“Ya Allah kami mudah-mudahan cepat terbebas dari suasana wani piro
”  SSIDB04-08-201426.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Ndoro  yang mempunyai pengetahuan mengenai banyaknya praktek money politik yang terjadi
di  Indonesia,  misalnya  kasus  pilihan  Legislatif  2014  yang  banyak  menggunakan uang untuk membeli suara rakyat.
unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Ya Allahm kami mudah-mudahan  cepat
terbebas  dari  suasana  wani  piro”,  untuk  memunculkan
daya  sindir.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  doa  yang  bermaksud  untuk
menyindir  para  petinggi  negara  yang  melakuakan  praktek  politik  uang.  Doa merupakan  sarana  religius  yang  dipergunakan  untuk  meminta  suatu  hal,  namun
dalam  konteks  tuturan  tersebut  tidak  mungkin  Allah  akan  mengabulkan  doa Ndoro  jika  para  petinggi  negara  tidak  sadar  dengan  apa  yang  mereka  lakukan.
Ndoro  mengambil  posisi  sebagai  rakyat  yang  tidak  bisa  berbuat  apa-apa  untuk mencegah  politik  uang,  dan  hanya  bisa  berdoa.  Kalimat  tersebut  sengaja
dipergunakan untuk menyentil para petinggi negara agar tidak  melakukan  politik  uang  lagi.  Daya  Sindir  juga
diperkuat dengan unsur ekstralingual yang dimunculkan
Ndoro  melalui  gerakan  kedua  tangan  menengadah  seperti  gerakan  berdoa
untuk  memperkuat  efek  sindiran.  Unsur  ekstralingual  tersebut  dipersepsi  sebagai gerakan  berdoa  untuk  meminta  sesuatu  kepada  Tuhan.  Selain  itu,  terdapat  juga
unsur  ekstralingual  konteks  dalam  tuturan  tersebut  yang  dimunculkan  melalui
fenomena  praangaapan  atau  pengetahuan  awal  Ndoro  mengenai  banyaknya
praktek money politik yang terjadi di Indonesia, misalnya kasus pilihan Legislatif 2014  yang  banyak  menggunakan  uang  untuk  membeli  suara  rakyat.  Sebagai
seorang  yang  beragama  muslim,  jika  ingin  memohon  sesuatu  Ndoro  berdoa  dan hanya meminta kepada Allah SWT.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102  yang  memandang prinsip kesantunan
sebagai  piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak  langsung  dalam  mengungkapkan  maksudnya.  Tuturan  tersebut
merupakan  wujud  dari  doa  Ndoro  yang  dimaksudkan  untuk  menyindir  pihak- pihak  yang  melakukan  money  politik.  Doa  tersebut  sengaja  diungkapkan  Ndoro
dalam  Acara  Sentilan  Sentilun  karena  acara  tersebut  ditonton  oleh  banyak  pihak dan  mungkin  juga  pihak  yang  melakukan  money  politik  sehingga  dapat
menyentil secara tidak langsung berbagai pihak yang melakukan money politik. Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  juga  tidak  selalu
mendukung daya sindir, seperti dalam tuturan “Baik, baik jadi tuntutan dan protes
kamu  saya  terima,  ya  kan.  Sebagai  hakim  saya  memang  harus  adil  walaupun kamu  nggak  kenal  sama  si  adil  kan?  Ter
uskan  pembelaanmu,  terus,  terus” SSDB08-09-20149.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Ndoro  yang  saat  itu
bersandiwara  sebagai  hakim  mengungkapkan  perihal  bagaimana  seharusnya  dia bertindak, yaitu adil dan  tidak memihak.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“sebagai hakim saya  memang  harus  adil
”,  untuk  memunculkan  daya  sindir.  Klausa  tersebut
dipersepsi  sebagai  sindiran  bagi  para  hakim  yang  mau  menerima  suap  dan mengedepakan unsur nepotisme di dalam hukum. Penutur yang berperan sebagai
hakim dalam sandiwara mengungkapkan sikap yang harus ia dimiliki yaitu adil. Namun, sekarang ini banyak kasus  yang terkuak bahwa hakim berlaku tidak adil
dengan  alasan  telah  menerima  suap  dan  unsur  nepotisme.  Ungkapan  Ndoro  dan kenyataan  diaslinya  saling  berkebalikan,  oleh  sebab  itu  tuturan  tersebut  dapat
dipersepsi sebagai sindiran. Ndoro tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda  ketubuhan  untuk  mendukung  daya  sindir  yang  diungkapkan,
sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui  fenomena
implikatur.  Ndoro  yang  saat  itu  bersandiwara  sebagai  hakim  mengungkapkan
perihal  bagaimana  seharusnya  dia  bertindak,  yaitu  adil  dan    tidak  memihak. Namun  ungkapan  tersebut  mengimplikasikan  sindiran.  Ndoro  ingin  menyindir
para  hakim  yang  saaat  ini  tidak  bisa  berlaku  adil  karena  telah  menerima  suap ataupun ada unsur nepotisme.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102  yang  memandang prinsip kesantunan
sebagai  piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak  langsung  dalam  mengungkapkan  maksudnya.  Tuturan  tersebut  berisi
pemberitahuan tentang sikap yang seharusnya dimilikinya sebagai seorang hakim dalam  sandiwara  malam  itu  yang  dimaksudkan  untuk  menyindir  kelakuan  para
hakim saat ini yang tidak berlaku adil dengan menerima suap dan memenangkan pihak yang memberi suap tersebut walaupun pihak tersebut terbukti bersalah.
Berdasarkan  beberapa  contoh  tuturan  daya  sindir  yang  diambil  untuk mewakili  keseluruhan  data,  dapat  disimpulkan  bahwa  daya  sindir  ini  dapat
muncul melalui unsur intralingual berupa klausa dan kalimat. Daya sindir ini tidak mempunyai kata-kata khas, melainkan baru dapat dipersepsi sebagai sindiran jika
kalimat  atau  klausa  tersebut  utuh.  Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda ketubuhan  juga  tidak  selalu  muncul  dan  mendukung  daya  sindir.  Hal  ini
tergantung  dari  keekspresifan  penutur.  Namun,  dalam  acara  Sentilan  Sentilun tanda-tanda ketubuhan ini sangat dominan muncul untuk mendukung daya sindir
agar orang yang dimaksud dalam tuturan menjadi lebih tersentil. Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  dalam  daya  sindir
yang  selalu  muncul  melalui  fenomena  implikatur.  Hal  ini  terjadi  karena  suatu sindiran  pasti  diungkapkan  dengan  secara  tidak  langsung  dalam  tuturan.  Daya
sindir  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  selalu  dinyatakan  secara  santun  karena penutur  tidak  pernah  menggunakan  ungkapan  langsung  untuk  menyatakan
sindirannya  sesuai  indikator  kesantunan  Leech  yang  memandang  prinsip kesantunan  sebagai  piranti  untuk  menjelaskan  mengapa  penutur  sering  bertutur
secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Daya sindir  yang ada dalam  acara  tersebut  diwujudkan  melalui  pemanjatan  doa  dan  sandiwara  yang
dilakukan presenter untuk mengimplikasikan sindiran.
4.2.1.3 Daya Perintah Daya  perintah  merupakan  kekuatan  bahasa  untuk  menyatakan  perintah
bagi  mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksudkan  dalam  tuturan  untuk  melakukan sesuatu.  Daya  perintah  menuntut  seseorang  untuk  melakukan  sesuatu  sesuai
dengan  apa  yang  diperintahkan  oleh  penutur.  Daya  perintah  ini  harus  dilakukan karena  sudah  ada  hal  yang  menjadi  dasar  aturan.  Daya  perintah  dapat  dilakukan
dengan berbagai cara, seperti menyuruh, melarang dan mengajak. 4.2.1.3.1 Daya Suruh
Daya  suruh  merupakan  bentuk  perintah  yang  memaksa  mitra  tutur  atau orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  untuk  melakukan  sesuatu.  Dalam  tuturan,
daya suruh ini biasanya ditandai dengan intonasi yang tinggi dan keras. Perhatikan tuturan berikut “Itu tuh namanya bukan kelebihan tapi kekurangan. Lagian kalau
Cak  Lontong  itu  memang  benar-benar  sayang,  benar-benar  cinta  sama  aku buktiin dong Ajak aku jalan-jalan, ajak aku shopping, ajak aku hunting, ajak aku
diving,  camping,  ajak  aku  keliling- keliling  dunia  pokoknya”  SSDB08-09-
20142.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Chacha  Federicha  yang  mengetahui berbagai cara pasangan muda untuk membuktikan rasa cinta kepada pasangannya
misalnya dengan mengajak berbelanja, jalan-jalan, dan lain-lain.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Lagian kalau Cak  Lontong  itu  memang  benar-benar  sayang,  benar-benar  cinta  sama  aku
buktiin  dong
”,  untuk  memunculkan  daya  suruh.  Kalimat  tersebut  termasuk
kalimat  suruh  karena  ditandai  oleh  penggunaan  tanda  seru    diakhir  kalimat. Selain itu, kalimat tersebut menggunakan kata
“buktiin” yang berarti meyakinkan
dengan bukti KBBI,2008:218 dan termasuk salah satu dalam kata suruh. Secara utuh,  kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  perintah  bagi  Cak  Lontong  untuk
membuktikan perihal
keseriusan cintanya
kepada  Chacha.  Daya  suruh  juga  dipekuat dengan  unsur  ekstralingual  yang  dimunculkan
oleh  Chacha  berupa  gerakan  kedua  tangan diangkat  kemudian  dibuang  ke  depan
untuk menekankan kata “buktiin” yang termasuk  dalam  kata  suruh.  Unsur  ekstralingual  tersebut  dipersepsi  sebagai
gerakan  yang  mendukung  tuturan  agar  Cak  Lontong  mau  melakukan  apa  yang disuruhnya.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang
dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.  Chacha  mempunyai  pengetahuan
mengenai  berbagai  cara  pasangan  muda  untuk  membuktikan  rasa  cinta  kepada pasangannya  misalnya  dengan  mengajak  berbelanja,  jalan-jalan,  dan  lain-lain.
Melalui  pengetahuan  awal  tersebut  penutur  ingin  pasangannya  yang disandiwarakan  dalam  acara  tersebut,  yaitu  Cak  lontong  untuk  melalukan  hal
yang sama.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  tidak  santun  karena  melanggar  salah  satu indikator  kesantunan  Leech,  1983,  dalam  pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  penutur  memberikan  keuntungan  kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Chacha merugikan Cak Lontong
karena Chacha berusaha memojokkan Cak Lontong dengan secara tidak langsung mendesak  untuk  membuktukan  cintanya.  Usaha  Chacha  memojokkan  Cak
Lontong  juga  dapat  dilihat  berdasarkan  faktor  non-kebahasaan  yang  digunakan
Chacha  berupa  nada  penekanan  saat  bertutur  dan  gerakan  unsur  ekstralingual yang dimunculkan mengindikasikan suruhan yang memaksa.
Daya  suruh  juga  dapat  dimunculkan  secara  santun,  seperti  dalam  tuturan “Sudah, sudah  hakim meminta melepaskan tangan. Ayo semua kembali duduk”
SSDB08-09-201412.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Ndoro  yang  saat  itu berperan  sebagai  hakim  dan  mempunyai  wewenang  untuk  menyuruh  perseta
persidangan diam jika terjadi kekacauan.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Ayo  semua kembali  duduk
”,  untuk  memunculkan  daya  suruh.  Kalimat  tersebut  dipersepsi
sebagai  perintah  berupa  suruhan  bagi  Sentilun,  Chacha  dan  Cak  Lontong  untuk kembali  duduk.  Daya  suruh  juga  diketahui  melalui  penggunaan  tanda  seru    di
belakang  kalimat  serta  nada  penekanan  saat  menuturkan  kalimat  tersebut.  Kata “ayo”  dalam  kalimat  tersebut  bukan  merupakan  ajakan,  tetapi  mengindikasikan
suruhan bagi ketiganya untuk kembali tenang lihat pada konteks yang menyertai tuturan.  Sebagai  hakim,  Ndoro  mempunyai  wewenang  untuk  memerintahkan
peserta  sidang  yang  disandiwarakan  untuk kembali  tenang  dan  tidak  membuat  kekacauan.
Daya suruh
juga diperkuat
melalui unsur
ekstralingual  berupa  tangan  yang  menggebrak- nggebrak  meja.  Unsur  ekstralingual  tersebut  mengindikasikan  perintah  berupa
suruhan  bagi  ketiganya  untuk  tenang  dan  tidak  membuat  kekacauan.  Selain  itu, terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena
praanggapan. Ndoro mempunyai pengetahuan awal mengenai tugas hakim yang
bertindak  sebagai  pelerai  ketika  terjadi  kekacauan  di  persidangan.  Saat mengeluarkan  tuturan  tersebut,  kondisi  persidangan  mahkamah  asmara  sedang
kacau  karena  Sentilun  dan  Cak  Lontong  saling  berseteru  karena  berebut  untuk berpegangan tangan dengan Chacha.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesatunan  Pranowo  2012:104,  yaitu  empan  papan.  Di  dalam  tuturan  tersebut
Ndoro  mengetahui  bahwa  saat  itu  dirinya  diberi  peran  sebagai  hakim  yang mempunyai wewenang meminta peserta persidangan diam saat terjadi kekacauan.
Suruhan  tersebut  wajar  dilakukan  oleh  seorang  hakim  saat  mulai  terjadi kekacauan di persidangan.
Daya suruh juga dapat muncul pada tuturan “Menurut analisis saya rakyat
itu  memang  berhak  memilih  pemimpinnya  sendiri  secara  langsung.  Makanya  ya Ndoro kita itu harus ikut mengawasi dan mengawal RUU pilkada ini Ndoro agar
jangan  sampai  rakyat  dimanipulasi  hak-haknya.  Saya  harapkan  ya  Ndoro,  saya sangat  mengharapkan  pemerintahan  Pak  SBY  ini  juga  mau.  Please  Pak  SBY
jangan  bikin  lagu  doang,  cabut  itu  RUU  pilkada  Pak ” SSDB22-09-201425.
Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  yang  menyatakan  harapannya  kepada Pak SBY untuk mencabut RUU Pilkada.
Unsur intralingual yang digunakan dalam tuturan tersebut berupa  kalimat
“saya  sangat  mengharapkan  pemerintahan  Pak  SBY  ini  juga  mau.  Please  Pak SBY jangan bikin lagu doang, cabut itu RUU pilkada Pak
”, untuk memunculkan daya  suruh.  Kalimat  tersebut  tersebut  menggunakan  kata  “please”  yang  bersal
dari bahasa inggris  yang berarti tolong untuk menyatakan suruhan halus. Secara
utuh, klausa tersebut dipersepsi sebagai perintah yang ditujukan kepada Pak SBY untuk  mencabut  RUU  pilkada.  Penutur  sengaja  menggunakan  ungkapan  tidak
langsung  yang  berupa  harapan  untuk  menyatakan  suruhan  agar  efek  yang ditimbulkan  menjadi  lebih  mengena  dan  Pak  SBY
benar-benar mencabut RUU Pilkada. Daya suruh juga didukung  oleh  unsur  ekstralingual  yang dimunculkan
oleh  Sentilun  berupa  gerakan  kedua  tangan  yang  diangkat  sambil  tubuh membungkuk
saat  mengucapkan  kata  “please”.  Unsur  ekstralingual  yang dimunculkan  tersebut  mengindikasikan  perintah  halus  agar  Pak  SBY  segera
bertindak.  Unsur  ekstralingual  konteks  juga  muncul  dalam  tuturan  tersebut
melalui  fenomena  implikatur.  Sentilun  menggunakan  pernyataan  harapan  yang
mengimplikasikan  perintah  agar  Pak  SBY  mencabut  RUU  Pilkada  karena  RUU pilkada dianggap mematikan kedaulatan rakyat.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102  yang  memandang prinsip kesantunan
sebagai  piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak  langsung  dalam  mengungkapkan  maksudnya.  Sentilun  menggunakan
tuturan  berisi  harapan  yang  dimaksudkan  untuk  memerintah  Pak  SBY  secara halus  untuk  mencabut  RUU  Pilkada.  Selain  itu,  penutur  juga  menggunakan  kata
“please”  yang  berarti  tolong  termasuk  dalam  diksi  beraura  santun  untuk memperhalus suruhannya.
Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  tidak  selalu  muncul untuk mendukung daya suruh, seperti dalam tuturan
“Nah ini yang seperti-seperti
ini  harus  segera  kita  harmonisasi ”  SSIDB25-08-2014.  Tuturan  tersebut
dikatakan  oleh  Sapta  Nirwandar  yang  mengetahui  suku  bunga  pinjaman  bagi industri kecil sangat tinggi.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Nah  ini  yang seperti-seperti  ini  harus  segera  kita  harmonisasi
”,  untuk  memunculkan  daya suruh.  Kalimat  tersebut  terdiri  dari  beberapa  frasa  dan  kata  yang  dapat
mengindikasikan  daya  suruh.  Frasa “harus  segera”  mengindikasikan  perintah
bagi  seluruh jajarannya  untuk  segera bertindak dan berusaha menyesuaikan suku bunga  pinjaman  agar  tidak  membebani  pelaku  industri  kecil.  Kata
“kita” mengindikasikan  pemerintah,  sedangkan  kata
“harmonisasi”  berarti  upaya mencari  keselarasan  KBBI,2008:484.  Secara  utuh,  kalimat  tersebut  dipersepsi
sebagai  suruhan  bagi  pemerintah  yang  terlibat  dalam  jajaran  kementrian pariwisata  dan  industri  kreatif    untuk  segera  melakukan  tindakan  penyesuaian
suku  bunga pinjaman agar pelaku industri  kecil tidak semakin dibebani.  Tuturan tersebut  tidak  memunculkan  unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan
untuk  mendukung  daya  suruh,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks
dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.  Sapta  Nirwandar  mempunyai
pengetahuan  awal  mengenai  beberapa  tempat  peminjaman  modal  yang  suku bunga pinjamannya masih cukup tinggi  bagi  industri  kecil. Pengetahuan tersebut
diperoleh  melalui  hasil  survey  yang  beliau  lakukan  selaku  wakil  menteri pariwisata dan industri.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  menggunakan  diksi  santun
Pranowo,  2012:104.  Di  dalam  tuturan  tersebut,  Sapta  Nirwandar  menggunakan
diksi “harmonisasi”  untuk  mengungkapkan  suruhan  kepada  pemerintah  untuk
segera bertindak agar suku bunga pinjaman dapat segera diturunkan. Tuturan berikut juga tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-
tanda  ketubuhan “Tapi begini sebelumnya bisa review, pertama kita minta para
anggota  DPR  ini  masih  mendengarkan  hati  nurani  rakyat.  Jadi  buanglah  sikap untuk pilkada melalui DPRD itu Ya makanya, kalau dia tidak punya kuping kita
dorong Pak SBY” SSDB22-09-201426. Tuturan tersebut dikatakan oleh Refly Harun yang mengetahui banyaknya rakyat yang memprotes RUU Pilkada.
Unsur  intralingual  yang  dimunculkan  dalam  tuturan  tersebut  berupa
kalimat
“Jadi  buanglah  sikap  untuk  pilkada  melalui  DPRD  itu”,  untuk
memunculkan daya suruh. Kalimat tersebut menggunakan kata
“buanglah” yang menyatakan  suruhan  untuk  membuang  sikap  egois,  akhiran  -lah  dalam  KBBI
2008:771 berarti kata seru untuk memberikan penekanan. Selain itu, daya suruh juga diketahui melalui tanda seru diakhir kalimat yang mengindikasikan perintah.
Secara utuh, kalimat tersebut dipersepsi sebagai perintah bagi para anggota DPRD untuk  mendengarkan  hati  nurani  rakyat  dan  tidak  mementingkan  egonya  sendiri.
Kita  ketahui  bersama  bahwa  pengajuan  RUU  pilkada  saat  ini  mendatangkan  pro dan kontra, namun sebagian rakyat Indonesia tidak setuju terhadap RUU tersebut.
Oleh  karena  itu,  DPR  sebaiknya  mendengarkan  juga  keinginan  rakyat.  Tuturan tersebut  tidak  memunculkan  tanda-tanda  ketubuhan  tertentu  untuk  mendukung
daya  suruh,  sedangkan  unsur  ekstralingual  berupa  konteks  dimunculkan  melalui
fenomena  inferensi.  Refly  Harun  mempunyai  kesimpulan  bahwa  rakyat  tidak
setuju  dengan  RUU  pilkada  melalui  DPRD  melihat  fakta  yang  ada  terhadap banyaknya protes mengenai RUU Pilkada.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  penutur  melanggar indikator kesantunan Pranowo 2012:104, yaitu penggunaan diksi santun. Daya
suruh  dalam  tuturan  tersebut  menggunakan  kata “buanglah”  dipersepsi  kasar
karena ada kata yang lebih halus, misalnya kata “hilangkan”.
Berdasarkan beberapa data tuturan berdaya suruh yang diambil dari acara Sentilan Sentilun, dapat disimpulkan bahwa daya suruh ini muncul melalui unsur
intralingual  berupa  kalimat  imperatif  selalu  diakhiri  dengan  tanda  seru.  Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul untuk mendukung
daya  suruh,  hal  ini  tergantung  pada  keespresifan  penutur  dalam  menyatakan suruhannya.  Hal  tersebut  berbeda  dengan  unsur  ekstralingual  konteks  selalu
menyertai tuturan, karena untuk dapat melihat tuturan tersebut berdaya suruh atau tidak  kita  perlu  memperhatikan  konteksnya.  Unsur  ekstralingual  yang  digunakan
untuk  memunculkan  konteks  berupa  fenomena  praanggapan,  implikatur,  dan inferensi.
Tuturan dalam daya suruh ini ada yang santun dan tidak santun tergantung unsur  intralingual  dan  ekstralingual  yang  digunakan  oleh  penutur.  Daya  suruh
yang  santun  jika  suruhannya  dinyatakan  secara  tidak  langsung  sesuai  dengan penggunaan  ungkapan  tidak  langsung  Leech  dan  sesuai  dengan  kewajiban  yang
dimiliki  oleh  penutur  sesuai  dengan  sikap  empan  papan  Pranowo.  Daya  suruh tidak  santun  jika  suruhannya  terkesan  memaksa  mitra  tutur  melanggar  maksim
kebijaksanaan  Leech  dan  menggunakan  kata-kata  kasar  melanggar  penggunaan diksi santun Pranowo.
4.2.1.3.2 Daya Larangan Daya  larangan  merupakan  bentuk  perintah  yang  digunakan  untuk  tidak
memperbolehkan mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan melakukan sesuatu.  Daya  larangan  ini  mempunyai  dasar  bisa  berupa  hukum  atau  peraturan
tertentu  yang  kuat  sehingga  jika  dilanggar  dapat  menimbulkan  sangsi  tertentu. Perhatikan tuturan berikut “Ih . . . Ngawur ya Mas Sentilun itu. Makanya jangan
ngawur  kalau  nonton  film  itu,  matanya  jang an nonton film dari DVD bajakan”
SSDB18-08-20144. Tuturan tersebut dikatakan oleh Chacha yang melihat saat ini banyak orang yang lebih memilih untuk membeli DVD bajakan karena tergiur
harga yang murah.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“jangan nonton film  dari  DVD  bajakan
”,  untuk  memunculkan  daya  larangan.  Klausa  tersebut
dipersepsi  sebagai  larangan  untuk  tidak  membeli  DVD  bajakan.  Klausa  tersebut menggunakan  kata
“jangan”  dan  “menonton”.  Kata  “jangan”  dalam  KBBI 2008:564  merupakan  kata  yang  digunakan  untuk  melarang,  sedangkan  kata
“menonton”  dalam  klausa  tersebut  dimaksudkan  untuk  mengungkapkan “membeli” karena kalau kita sudah menonton DVD bajakan secara otomatis pasti
kita  telah  membeli  DVD  itu  sebelumnya.  Membeli  DVD  bajakan  sama  saja merugikan  dan  tidak  menghargai  kreatifitas  pencipta  film  tersebut.  Tuturan
tersebut  tidak  memunculkan  unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan yang  mendukung  daya  larangan,  sedangkan  penanada  ekstralingual  berupa
konteks  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.  Chacha  prihatin  karena
mengetahui saat ini banyak pembuat DVD bajakan yang merugikan para pencipta film karena DVD tersebut dijual dengan harga yang lebih murah daripada aslinya.
Chacha  juga  melihat  saat  ini  banyak  orang  yang  lebih  memilih  untuk  membeli DVD bajakan karena tergiur harga yang murah.  Padahal hal tersebut telah diatur
dalam  Pasal  480  KUHP  yang  berisi  hukuman  pidana  bagi  penjual,  pembeli, penyewa maupun penyimpan DVD bajakan karena dianggap merugikan produsen
dan melanggar hak cipta.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Chacha  memberikan
keuntungan kepada Sentilun dengan melarangnya menonton DVD bajakan karena bisa mendapatkan denda hingga sangsi penjara.
Daya larangan yang muncul dalam acara Sentilan Sentilun ini mempunyai ciri khas, berupa penggunaan kata
“jangan” untuk memperkuat larangan terhadap mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan.  Kata
“jangan” tidak dapat berdiri sendiri karena maksudnya baru tersampaikan setelah berada dalam kalimat
atau paling tidak klausa. Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  dalam  daya  larangan
bersifat opsional dan kebetulan dalam data yang ditemukan tidak ada tanda-tanda ketubuhan  yang  dimunculkan  oleh  penutur  untuk  mendukung  daya  larangan.
Unsur  ekstralingual  berupa  konteks  yang  ditemukan  hanya  menggunakan
fenomena  pranggapan  pengetahuan  awal  penutur  karena  sebelum  melarang tentunya penutur sudah memiliki pengetahuan awal mengenai dasar hukum  yang
mengatur  sehingga  hal  tersebut  tidak  boleh  dilakukan.  Daya  larangan  yang ditemukan dalam objek  penelitian termasuk santun karena  berusaha memberikan
pengetahuan kepada mitra tutur sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech. 4.2.1.3.3 Daya Ajakan
Daya ajakan merupakan bentuk perintah  yang digunakan untuk mengajak mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  untuk  melakukan  sesuatu.
Daya  ajak  ini  berusaha  meyakinkan  penutur  agar  tindak  perlokutif  yang ditimbulkan sampai pada penutur mengikuti ajakan mitra tutur. Perhatikan tuturan
berikut “Jadi gini Ndoro, dalam perkara kreatifitas, kita ini tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain itu. Ingat Ndoro ya Borobudur itu menjadi keajaiban dunia.
Wayang,  gamelan  menjadi  warisan  dunia,  batik  juga  diakui  dunia,  keris  juga. Makanya  Ndoro  sudah  saatnya  kita  membuktikan  kalau  kita  ini  adalah  bangsa
yang  besar  kreatifitasny a,  bukan  hanya  besar  korupsinya”  SSDB25-08-
201421.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  yang  mengetahui  Indonesia menduduki posisi sebagai 5 negara terkorup di dunia.
Unsur  intraligual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“sudah  saatnya kita membuktikan kalau kita ini adalah bangsa yang besar kreatifitasnya
”, untuk
memunculkan  daya  ajakan.  Klausa  tersebut  menggunakan  kata
“membuktikan” yang  berarti  meyakinkan  dengan  bukti  KBBI,2008:218.  Klausa  tersebut
dipersepsi  sebagai  ajakan  bagi  seluruh  rakyat  Indonesia  untuk  membuktikan kepada  dunia  bahwa  Indonesia  memiliki  kreatifitas  yang  besar  dan  mematahkan
anggapan  bahwa  Indonesia  hanya  bangsa  yang besar  korupsinya.  Daya  ajakan  juga  diperkuat
dengan  unsur  ekstralingual  yang  dimunculkan
oleh  Sentilun  berupa  gerakan  tangan  kiri mengepal sambil diangkat. unsur ekstralingual tersebut mengindikasikan ajakan
dan membangkitkan semangat seluruh rakyat Indonesia untuk membuktikan pada dunia.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  berupa  konteks  yang
dimunculkan  melui  fenomena  praanggapan.  Sentilun  mempunyai  pengetahuan
mengenai  kasus  korupsi  di  Indonesia  yang  terus  meningkat  dari  tahun  ke  tahun yang  membuat  Indonesia  menduduki  posisi  sebagai  5  negara  terkorup  di  dunia.
Sentilun  juga  mempunyai  pengetahuan  mengenai  kekayaan  budaya  di  Indonesia yang bahkan sudah ada yang menjadi warisan dunia, yaitu batik.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012  yang  memandang  prinsip  kesantunan
sebagai  piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak  langsung  dalam  mengungkapkan  maksudnya.  Tuturan  tersebut
menyatakan  ajakannya  secara  implisit,  yaitu  dengan  menggunakan  pernyataan anggapan  dunia  yang  mengatakan  bahwa  Indonesia  termasuk  negara  terkorup
untuk  menyatakan  ajakan  agar  seluruh  rakyat  Indonesia  bekerjasama  untuk membuktikan  bahwa  anggapan  tersebut  salah  dan  Indonesia  sebenarnya
merupakan  negara  yang  besar  kreatifitasnya.  Tuturan  implisit  tersebut  juga digunakan agar tindak perlokutif rakyat Indonesia sampai pada bekerjasama untuk
membuktikan  kepada  dunia  bahwa  Indoneisa  bukan  termasuk  negara  terbesar angka korupsinya, melainkan besar kreatifitasnya.
Daya  a jakan  juga  muncul  dalam  tuturan  “Jadi  sebetulnya  dia  bisa
mengatakan  lho  saya  kan  bebas,  ini  mobil  saya  kok.  Saya  mau  pakai  bensin apapun saya punya urusan. Tetapi kalau kami selaku ATPM atau yang berlindung
di  bawah  kami  selaku  agen  tunggal  tadi  mengatakan  anda  sudah  pakai  bensin yang  salah.  Ya  kan,  sehingga  garansinya  gugur.  Jadi  memang  ini  sesuatu  yang
harus  kita  lakukan  bersama-sama  sebetulnya.  Baik  kami  selaku  produsen kendaraan  bermotornya  maupun  pemerintahnya  mari  kita  sama-sama  jalankan
itu  semua ”  SSIDB15-09-201418.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Jongkie
Sugiarto  yang  mempunyai  kesimpulan  bahwa  program  pencabutan  garansi  bagi mobil  mewah  yang  ketahuan  menggunakan  BBM  bersubsidi  tidak  akan  sukses
tanpa kerja sama dari pemerintah.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“mari kita sama- sama jalankan
itu semua”, untuk memunculkan daya ajakan. Kata “mari” yang
digunakan  dalam  klausa  tersebut  merupakan  kata  seru  untuk  menyatakan  ajakan KBBI,2008:879, sedangkan kata
“kita” mengindikasikan lembaga GAIKINDO dan  pemerintah.  Secara  utuh,  klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai  ajakan  kepada
pemerintah  untuk  bekerja  sama  mensukseskan  realisasi  kebijakan  pencabutan garansi  bagi  mobil  mewah  yang ketahuan menggunakan BBM  bersubsidi  karena
kebijakan  tersebut  dianggap  sebagai  cara  yang  ampuh  untuk  menimbulkan  efek jera.  Daya  ajakan  diperkuat  melalui  unsur  ekstralingual  yang  dimunculkan  oleh
Jongkie  Sugiarto  berupa  gerakan  kedua  tangan  yang  membentuk  lingkaran
dari  belakang  ke  depan  seperti  gerakan  ingin memeluk.  Unsur  ekstralingual  itu  mengindikasikan
ajakan  mari  sama-sama  mensukseskan  realisasi  kebijakan pencabutan  garansi  bagi  mobil  mewah  yang  ketahuan  menggunakan  BBM
bersubsidi.  Selain  itu,  jugan  terdapat  unsur  ekstralingual  berupa  konteks  yang
dimunculkan  melalui  fenomena  inferensi  atau  kesimpulan  yang  beliau  miliki
sebagai ketua GAIKINDO Gabungan Industri Kendaraan Bermotor di Indonesia mengenai setiap program yang harus didukung oleh pemerintah. Di dalam hal ini
pemerintah harus bekerjasama dalam mensukseskan kebijakan pencabutan garansi bagi  mobil  mewah  yang ketahuan menggunakan BBM  bersubsidi agar kebijakan
tersebut dapat berjalan dengan lancar.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  faktor kebahasaan  yang  menentukan  kesantunan  Pranowo,2012:90,  yaitu  pengguaan
diksi
“mari”  yang  merupakan  kata  seru  untuk  menyatakan  ajakan KBBI,2008:879  untuk  menyatakan  ajakan  secara  bersama-sama  tidak
memojokkan satu pihak. Daya  ajakan  juga  tidak  selalu  didukung  oleh  unsur  ekstralingual  berupa
tanda-tanda  ketubuhan  seperti  pada  tuturan “Makannya  marilah  kita  berlomba-
lomba  dalam  kebaikan,  jangan  hanya  berlomba-lomba  memperebutkan  jabatan dan  kekuasaan
”  SSDB04-08-201423.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh Sentilun  yang mengetahui  fenomena memperbutkan jabatan dan kekuasaan  yang
dilakukan oleh para petinggi negara.
Unsur  intralingual  yang  digunakan  untuk  memunculkan  daya  ajakan dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“marilah  kita  berlomba-lomba  dalam kebaikan
”. Klausa tersebut menggunakan kata marilah yang berarti kata seru yang digunakan  untuk  menyatakan  ajakan  KBBI,2008:879.  Secara  utuh,  klausa
tersebut  dipersepsi  sebagai  ajakan  bagi  seluruh  petinggi  negara  untuk  berlomba dalam  hal  memajukan  kesejahteraan  rakyat  yang  diungkapkan  melalui  kata
“kebaikan”  dan  bukan  justru  memperebutkan  jabatan  seerta  kekuasaan  seperti fenomena belakangan ini yang marak terjadi.  Unsur ektralingual berupa konteks
dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan  atau  pengetahuan  yang  dimiliki
Sentilun  mengenai  para  petinggi  negara  yang  saat  ini  cenderung  saling memperebutkan  jabatan  dan  kekuasaan  dengan  menghalalkan  segala  cara.
Sentilun  juga  memiliki  pengetahuan  mengenai  kasus  korupsi  di  Indonesia  yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  indikator
kesantunan Pranowo
berupa nilai-nilai
pendukung kesantunan
Pranowo,2012:117,  yaitu  sikap  menjaga  perasaan.  Tuturan  tersebut  berusaha
menjaga  perasaan  para  petinggi  negara  sebagai  orang  yang  dimaksud  dalam tuturan.  Penutur  tidak  langsung  mengatakan  bahwa  pemimpin  negara-lah  yang
diajak  untuk  berbuat  kebaikan.  Tuturan  tersebut  lebih  ditujukan  secara  umum untuk menjaga perasaan orang yang dimaksud dalam tuturan petinggi negara.
Daya  ajakan  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  tidak  hanya  muncul  melalui unsur  intralingual  berupa  klausa  seperti  ketiga  contoh  tuturan  di  atas,  melainkan
dapat  muncul  melalui  kalimat  seperti  pada  tuturan  “Makannya  harus  jadi
pelajaran bahwa ada lawan politik, ada lawan diskusi. Jadi kita semua sekarang sadar.  Oh  iya  ya,  perbedaan  itu  selesai  tanggal  sembilan.  Habis  itu  sudah
diputuskan  satu  orang.  Pak  Jokowi  menjadi  presiden  yang  ditetapkan.  Lalu  kita bekerja  bersama-sama  memastikan  presiden  baru  bekerja  untuk  seluruh  rakyat
Indonesia ”  SSDB04-08-20149.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Anies
Baswedan yang mengetahui pendukung kedua kubu KMP dan KIH yang masih saling bermusuhan walaupun pilpres 2014 telah selesai.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Lalu  kita bekerja  bersama-sama  memastikan  presiden  baru  bekerja  untuk  seluruh  rakyat
Indonesia”,  untuk  memunculkan  daya  ajakan.  Kalimat  tersebut  dipersepsi
sebagai  ajakan agar  rakyat  bersatu  untuk  mengawasi  kinerja presiden  yang baru. Sekarang  bukan  saatnya  rakyat  terbagi  lagi  menjadi  dua  kubu  karena  pilpres
sudah  selesai.  Tugas  rakyat  sekarang  adalah  bersatu  untuk  mengawasi  jalannya pemerintahan di bawah kepemimpinan presiden yang baru. Tuturan tersebut juga
tidak  memunculkan  unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  tertentu untuk  mendukung  daya  ajakan,sSedangkan  unsur  ekstralingual  konteks
dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.  Anies  Baswedan  mempunyai
pengetahuan  awal  mengenai  pendukung  kedua  kubu  yang  masih  saling  terpecah dan  bermusuhan  walaupun  pilpres  2014  telah  selesai.  Perpecahan  tersebut
dibuktikan  melalui  masih  banyaknya  pendukung  kubu  Prabowo-Hatta  yang melakukan  aksi  protes  mengenai  keputusan  KPU  yang  menetapkan  Pak  Jokowi
sebagai presiden terpilih.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012  yang  memandang  prinsip  kesantunan
sebagai  piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Di dalam tutuan tersebut,
daya  ajakan  untuk  berdamai  dinyatakan  secara  tidak  langsung  yaitu  melalui kalimat
“Lalu  kita  bekerja  bersama-sama  memastikan  presiden  baru  bekerja untuk  seluruh  rakyat  Indonesia
”. Kalimat tersebut berisi ajakan untuk bersama- sama bergabung mengawasi pemerintahan Pak Jokowi, namun ada ajakan implisit
jika  dilihat  dari  konteks  yang  menyertai  tuturan,  yaitu  ajakan  kedua  kubu  untuk berdamai.
Daya Ajakan juga dapat dinyatakan secara tidak langsung agar maksudnya lebih
mengena, seperti dalam tuturan “Menurut analisis saya rakyat itu memang berhak memilih pemimpinnya sendiri secara langsung. Makanya ya Ndoro kita itu
harus ikut mengawasi dan mengawal RUU pilkada ini Ndoro agar jangan sampai rakyat  dimanipulasi  hak-haknya.  Saya  harapkan  ya  Ndoro,  saya  sangat
mengharapkan pemerintahan Pak SBY ini juga mau please Pak SBY jangan bikin lagu doang, cabut itu RUU pilkada Pak SSDB22-09-201425. Tuturan tersebut
dikatakan  oleh  Sentilun  yang  mengetahui  dampak  negatif  RUU  pilkada,  yaitu rakyat akan kehilangan hak-haknya untuk memilih langsung pemimpinnya.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“kita  itu  harus ikut  mengawasi  dan  mengawal  RUU  pilkada  ini  Ndoro  agar  jangan  sampai
rakyat  dimanipulasi  hak-haknya
”,  untuk  memunculkan  daya  ajakan.  Klausa
tersebut  dipersepsi  sebagai  ajakan  secara  tidak  langsung  bagi  seluruh  rakyat
Indonesia  untuk  mengawasi  dan  mengawal  mengenai  RUU  pilkada  melalui DPRD agar RUU tersebut tidak jadi disahkan. Klausa tersebut menggunakan kata
“kita” mengindikasikan seluruh rakyat Indonesia, sedangkan frasa  “harus ikut” mengindikasikan ajakan secara tidak langsung. Klausa tersebut digunakan untuk
menimbulkan  efek  komunikatif  agar  seluruh  rakyat  indonesia  benar-benar  mau ikut  mengawasi  dan  mengawal  RUU  pilkada  tersebut.  Sentilun  tidak
memunculkan tanda-tanda ketubuhan apapun untuk mendukung daya ajakan yang disampaikannya,  sedangkan  unsur  ekstralingual  berupa  konteks  dimunculkan
melalui  fenomena  praanggapan.  Sentilun  mempunyai  pengetahuan  mengenai
dampak  negatif  RUU  pilkada,  yaitu  rakyat  akan  kehilangan  hak-haknya  untuk memilih langsung pemimpinnya.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012  yang  memandang  prinsip  kesantunan
sebagai  piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak  langsung  dalam  mengungkapkan  maksudnya.  Tuturan  tersebut  secara
tidak  langsung    menyampaikan  bahwa  yang  dimaksud  dalam  tuturan  tersebut adalah  seluruh  rakyat  Indonesia  yang  diwakili  dengan  kata
“kita”  untuk mengawasi RUU Pilkada agar tidak jadi disahkan.
Berdasarkan  beberapa  contoh  data  tuturan  yang  diambil  dari  Acara Sentilan  Sentilun  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  unsur  intralingual  yang
digunakan  oleh  presenter  dan  bintang  tamu  dalam  acara  tersebut  untuk memunculkan daya ajakan adalah berupa kalimat dan klausa. Daya ajakan ini bisa
dinyatalan secara langsung maupun tidak langsung tergantung susunan kata yang
menjadi  unsur  intralingual.  Daya  ajakan  secara  langsung  ditandai  dengan penggunaan  kata
“mari”,  walaupun  kata  tersebut  tidak  dapat  berdiri  sendiri karena makna dan maksudnya baru dapat  diketahui  setelah berada dalam sebuah
kalimat atau paling tidak suatu klausa. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan
mendukung  daya  ajakan  karena  hal  tersebut  tergantung  dari  keekspresifan penutur.  Hal  tersebut  berbeda  dengan  unsur  ekstralingual  berupa  konteks  yang
selalu menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui maksud penutur. Unsur  ekstralingul  berupa  konteks  yang  memunculkan  daya  ajakan  dari  acara
Sentilan Sentilun adalah fenomena praanggapan dan inferensi. Melalui fenomena praanggapan  karena  sebelum  mengajak  mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud
dalam  tuturan  untuk  melakukan  sesuatu  pasti  penutur  mempunyai  latar  belakang pengetahuan mengenai hal yang dimaksud, sedangkan melalui fenomena inferensi
karena  pada  awalnya  penutur  mempunyai  kesimpulan  tertentu  karena  penutur yang bersangkutan merupakan ahli suatu bidang.
Daya  ajakan  yang  ada  dalam  Acara  Sentilan  Sentilun  selalu  dinyatakan dengan santun  karena  ajakan tersebut  dinyatakan secara tidak langsung sehingga
mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  tidak  sandar  bahwa  mereka sedang  diajak  melakukan  sesuatu  sesuai  indikator  kesantunan  Leech  yang
memandang  prinsip  kesantunan  sebagai  piranti  untuk  menjelaskan  mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya.
Selain itu, terdapat juga tuturan yang menggunakan diksi santun saat menyatakan ajakan sesuai dengan indikator kesantunan penggunaan diksi santun Pranowo.
4.2.1.4 Daya Kelakar Daya  kelakar  merupakan  kekuatan  bahasa  untuk  menghibur  mitra  tutur
atau khalayak umum dengan membuat lelucon mengenai suatu hal. Daya kelakar selalu menimbulkan efek perlokutif berupa tawa atau ekspresi bahagia dari mitra
tutur  atau  khalayak  umum.  Daya  kelakar  biasanya  muncul  dalam  tuturan  non- formal  seperti  dalam  acara  Sentilan  Sentilun.  Daya  ini  semata  untuk  menghibur
dan  tidak  ada  maksud  menyindir  maupun  menyinggung  orang  yang  dijadikan bahan lelucon. Perhatikan tuturan berikut
“Ciri-cirinya pertama, pemimpin baru itu artinya bukan pemimpin lama. Yang kedua, pemimpin baru tidak boleh seperti
dibilang mas Anies. Terbebani oleh masa lalu, jadi harus berjalan maju ke depan, jangan  mundur  ke  belakang.  Kalau  mundur  namanya  undur-undur
” SSDB04- 08-201415.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  selaku  presnter  yang
dituntut  untuk  menghibur  penonton  di  rumah  maupun  di  studio  karena  konteks acara tersebut adalah obrolan santai.
Unsur intralingual yang digunakan dalam tuturan tersebut berupa kalimat “Kalau  mundur  namanya  undur-undur”,  untuk  memunculkan  daya  kelakar.
Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  lelucon  yang  dibuat  oleh  penutur  untuk menghibur penonton. Penutur menggunakan kata
“undur-undur” sebutan dalam bahasa  jawa  yang  merupakan  binatang  kecil  yang  suka  membuat  lubang  seperti
kawah  ditanah  berdebu  untuk  menjebak  semut  dan  berjalannya  selalu  mundur KBBI,2008:528  untuk  mengindikasikan  masa  lalu.  Kalimat  tersebut
menimbulkan efek komunikatif berupa tawa penoton ketika Sentilun menuturkan kalimat  tersebut.  Daya  kelakar  diperkuat  dengan  unsur  ekstralingual  yang
dimunculkan  oleh  sentilun  berupa  gerakan  satu  tangan ditarik ke belakang untuk memperagakan jalannya hewan
undur-undur  yang  selalu  mundur.  Unsur  ekstralingual tersebut  mendukung  daya  kelakar  karena  selain  tuturan,  tawa  penonton  juga
muncul  setelah  melihat  gerakan  tersebut.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur
ekstralingual  berupa  konteks  dimunculkan  melalui  fenomena  latar  berlakang pekerjaan.  Sebagai  presenter,  Sentilun  dituntut  untuk  membuat  talk  show
tersebut terkesan santai dan menyuguhkan obrolan ringan. Presenter juga bertugas untuk menghibur penonton, oleh sebab itu penutur membuat lelucon berupa ciri-
ciri pemimpin baru yang dipelesetkan mirip seperti “undur-undur”. Sentilun juga
mempunyai  pengetahuan  lama  mengenai  hewan “undur-undur”  yang  selalu
berjalan dengan cara mundur.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Tuturan  tersebut  memberikan  keuntungan  kepada  mitra
tutur,  yaitu  penonton  di  rumah  maupun  di  studio  karena  penutur  berusaha menghibur mitra tutur dengan lelucon yang dibuat. Rasa terhibur penonton dapat
dilihat  dari  tawa  penonton  di  studio  sesaat  setelah  Sentilun  mengungkapkan tuturan berdaya kelakar tersebut.
Meskipun  unsur  ekstralingual  yang  digunakan  termasuk  tidak  santun, namun  jika  dilihat  dari  konteks  yang  menyertai  tuturan  tetap  dianggap  santun,
seperti pada tuturan “Menurut analisis saya, ketika Pak Jokowi jadi gubernur kan
sudah  banyak  tu  program  yang  dirasakan  keberhasilannya  oleh  warga  Jakarta betul to? Ya kalau menurut saya ya Ndoro, ada satu hal yang Pak Jokowi itu tidak
mampu  mengubahnya.  Mengubah  status  Ndoro  dari  jomblo ”.  Tuturan  tersebut
dikatakan  oleh  Sentilun  yang  membuat  lelucon  yang  dihubungkan  dengan  topik pembicaraan pada malam itu, yaitu masalah gubernur baru Jakarta.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Mengubah status Ndoro dari jomblo
”, untuk memunculkan daya kelakar. Kalimat tersebut
dipersepsi  sebagai  lelucon  yang  dibuat  oleh  Sentilun  dengan  menghubungkan Kinerja  Pak  Jokowi  yang  mampu  mengubah  Jakarta  menjadi  lebih  baik,  namun
beliau  tidak  mampu  mengubah  status  jomblo  yang  disandang  oleh  Ndoro Sentillan.  Klausa  tersebut  mengandung  efek  komunikatif  berupa  tawa  penonton
saat  Sentilun  mengucapkan  kalimat  tersebut.  Daya kelakar  juga  diperkuat  melalui  unsur  ekstralingual
yang  dimunculkan  oleh  Sentilun  melalui  gerakan tangan kanan menunjuk-nunjuk ke arah Ndoro  untuk  memperkuat  ungkapan
pengubahan status Ndoro dari jomblo. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual
berupa  konteks  dimunculkan  melalui  fenomena  latar  belakang  pekerjaan.
Sebagai  presenter,  Sentilun  dituntut  untuk  membuat  talk  show  tersebut  terkesan santai dan menyuguhkan obrolan ringan. Presenter juga bertugas untuk menghibur
penonton,  oleh  sebab  itu  penutur  membuat  lelucon  yang  menghubungkan  topik pembicaraan  pada  malam  itu,  yaitu  masalah  gubernur  baru  Jakarta.  Sentilun
sebelumnya  mengetahui  kinerja  Pak  Jokowi  selama  memimpin  Jakarta  yang dianggap  bagus,  kemudian  membuatnya  sebagai  bahan  lelucon  karena
dihubungkan  dengan  ketidakmampuan  Pak  Jokowi  mengubah  status  jomblo Ndoro Sentilan.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada mitra tutur. Tuturan tersebut tetap santun walaupun unsur ekstralingual
berupa  tanda-tanda  ketubuhan  yang  digunakan  termasuk  memojokkan  Ndoro sebagai mitra tutur Sentilun. Tuturan tersebut berusaha memberikan keuntungan
kepada  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  penonton  yaitu  dengan  tujuan menghibur. Tuturan berdaya kelakar tersebut berhasil membuat penonton terhibur,
hal  tersebut  dibuktikan  dengan  tawa  penonon  di  studio  sesaat  setelah  Sentilun bertutur.
Daya  kelakar  yang  ada  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  juga  dapat dimunculkan melalui klausa dan tidak selalu memunculkan tanda-tanda ketubuhan
tertentu  untuk  mendukung  lelucon  yang  dibuat. Misalnya  pada  tuturan  “Saking
otomatisnya jadi sotomatis. Akhirnya apa, setelah harga BBM naik, harga barang kebutuhan  ikut  naik.  Beras  naik,  angkot  juga  naik  karena  kalau  nggak  naik  kan
ketinggalan. Ongkosnya angkot maksudnya itu juga. Artinya daya beli saya juga semakin  turun.  Padaha
l  honor  saya  nggak  naik,  ya  kan?”  SSDB01-09- 201419.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Cak  Lontong  yang  sengaja
menghubungkan  kenaikan  harga  BBM  dengan  kenaikan  ongkos  angkot  dan dipelesetkan menjadi ketinggalan angkot.
Unsur  intralingual  yang  digunakan  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“angkot  juga  naik  karena  kalau  nggak  naik  kan  ketinggalan”,  untuk
memunculkan  daya  kelakar.  Klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai  lelucon  yang
dibuat oleh Cak Lontong yang membuat plesetan “angkot naik” ongkos angkot dengan  ketinggalan  angkot.  Lelucon  tersebut  sengaja  dibuat  oleh  penutur  untuk
menghibur penonton. Klausa tersebut menimbulkan efek komunikatif berupa tawa para  penonton  yang  mengindikasikan  bahwa  mereka  terhibur  oleh  lelucon  Cak
Lontong.  Cak  Lontong  tidak  memunculkan  unsur  ekstralingual  berupa  tanda- tanda  ketubuhan  untuk  mendukung  lelucon  yang  dibuatnya,  sedangkan  unsur
ekstralingual  berupa  konteks  dimunculkan  melalui  fenomena  latar  belakang pekerjaan.
Cak Lontong
berprofesi sebagai
komedian. Ia
sengaja menghubungkan  kenaikan  harga  BBM  dengan  kenaikan  ongkos  angkot  yang
dipelesetkan menjadi ketinggalan angkot.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  tuturan  berdaya  kelakar  tersebut,  Cak  Lontong
berusaha memberikan keuntungan kepada mitra tutur penonton dengan membuat penonton  merasa  terhibur.  Rasa  terhibur  penonton  dibuktikan  dengan  tawa
penonton  di  studio  sesaat  setelah  Cak  Lontong  menuturkan  tuturan  berdaya kelakar tersebut.
Daya  kelakar  yang  muncul  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  ini  mempunyai ciri  khas,  yaitu  tindak  perlokutif    berupa  tawa  penonton  yang  selalu  muncul
sebagai tanda bahwa penonton merasa terhibur.  Daya kelakar yang muncul dalam acara ini menggunakan unsur intralingual berupa klausa dan kalimat.
Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  dalam  daya  kelakar juga  bersifat  opsional  tergantung  keekspresifan  penutur.  Selain  itu,  terdapat  juga
unsur  ekstralingual  konteks  yang  selalu  dimunculkan  melalui  fenomena  latar belakang pekerjaan karena baik  presenter maupun bintang tamu khususnya artis
dan  komedian  yang  diundang  mempunyai  profesi  sebagai  entertainer mempunyai tugas menghibur penonton.
Daya  kelakar  yang  ditemukan  dalam  objek  penelitian  termasuk  santun walaupun  ada  beberapa  unsur  ekstralingual  yang  tidak  santun,  namun  itu  semua
bertujuan  untuk  menghibur  penonton  dan  tidak  ada  maksud  sedikitpun  untuk merendahkan  ataupun  memojokkan  mitra  tutur  sesuai  dengan  maksim
kebijakanaan Leech.
4.2.1.5 Daya Kabar Daya  kabar  merupakan  kekuatan  bahasa  yang  berusaha  untuk
menyampaikan  sesuatu  kepada  mitra  tutur    atau  orang  yang  dimaksud  dalam tuturan.  Daya  kabar  dapat  dinyatakan  dengan  cara  menginformasikan,
mengungkapkan sesuatu, menjelaskan, membandingkan dan menyampaikan suatu hal yang mendasar daya dukung.
4.2.1.5. Daya Informatif Daya  informatif  merupakan  bentuk  kabar  yang  digunakan  untuk
memberitahukan  sesuatu  kepada  mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam
tuturan.  Perhatikan  tuturan  “Karena  ini  kan  negara  sudah  berkembang.  Sudah open  mind.  Udah  bebas  ya  kan,  sudah  reformasi.  Reformasi  tu  sebagai  sebuah
pintu gerbang menuju kebebasan berekspresi. Nah kadang-kadang penonton kita belum  siap  ketika  kita  dihadapkan  dengan  tokoh-tokoh  pahlawan  yang  sudah
diapresia si  secara  bebas  oleh  si  seniman”  SSDB18-08-20147.  Tuturan
tersebut  dikatakan  oleh  Hanung  Bramantyo  yang  mengetahui  banyaknya  film yang mengakat suatu tokoh tertentu di Indonesia sudah diapresiasi oleh seniman.
Unsur intralingual yang digunakan dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Nah  kadang-kadang  penonton  kita  belum  siap  ketika  kita  dihadapkan  dengan tokoh-tokoh  pahlawan  yang  sudah  diapresia
si  secara  bebas  oleh  si  seniman”,
untuk  memunculkan  daya  informatif.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai
pemberian informasi untuk membuka pikiran publik yang banyak menentang film terbarunya saat itu, yaitu “Soekarno” karena dianggap tidak sesuai dengan cerita
aslinya. Penutur berusaha memberikan informasi bahwa pasca reformasi, seniman itu  bebas  mengapresiasi  suatu  cerita  tentang  tokoh  yang  sudah  ada  dan
mengemasnya menjadi suatu film yang sedikit berbeda untuk menghadirkan kesan segar.  Penutur    ingin  agar  publik  memandang  hal  tersebut  dari  berbagai  sisi  dan
tidak  melulu  menyalahkan  para  seniman  karena  semua  sudah  sesuai  dengan prodesur  yang  ada.  Daya  Informatif  juga  diperkuat
dengan  unsur  ekstralingual  yang  dimunculkan  oleh
Hanung  berupa  gerakan  kedua  tangan  diangkat  ke depan dada selama memberikan informasi tersebut untuk menekankan informasi
yang  sedang  disampaikan.  Tanda-tanda  ketubuhan  yang  dimunculkan  Hanung
Bramantyo  dipersepsi  sebagai    gerakan  penekanan  penjelasan  yang disampaikannya.    Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  berupa  konteks
yang  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.    Hanung  Bramantyo
merupakan  seorang  sutradara  sehingga  mengetahui  betul  seluk-beluk  perfilman. Hanung mempunyai anggapan awal mengenai mengenai film-film yang mengakat
suatu  tokoh  tertentu  di  indonesia  kebanyakan  sudah  diapresiasi  oleh  seniman, karena penutur sendiri juga melakukan hal yang demikian pada film
“Soekarno”.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan
kepada  mitra  tutur.  Hanung  Bramantyo  berbaik  hati  memberikan  informasi
untuk  membuka  pikiran  publik  agar  mereka  mempunyai  pengetahuan  mengenai banyaknya  film  saat  ini  yang  tidak  sesuai  dengan  cerita  aslinya  karena  telah
diapresiasi oleh sutradara. Daya informatif juga muncul  dalam tuturan
“Gitu kan, nah itu kan harus siap  dananya  ya  to.  Kalau  nggak  siap  kalau  memaksakan  diri  kan  ngutang  to?
Semakin  besar  dana  kampanyenya  itu  biasanya  tu  nggak  dikenal  publik,  ya. Ongkos  kampanyenya  besar  kan.  Iklan  kemana-mana,  bikin  spanduk  itu  pakai
uang  semua  kan?  Nah  itu.  Nggak  punya  uang,  ngutang.  Tapi  kalau  orangnya sudah  punya  modal  sosial,  dia  sudah  dikenal  masyarakat,  kiprahnya  di
masyarakat sudah jelas, orang sudah kenal. Nih orang bisa kerja kan ya dan itu relatif sudah aktif dia, nggak perlu keluar uang banyak
” SSDB29-09-201419. Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Hamdi  Muluk  yang  mempunyai  kesimpulan
mengenai pemimpin yang dipilih oleh rakyat, yaitu yang mempunyai track record baik dan modal sosial.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa  kalimat
“Nih orang bisa kerja  kan  ya  dan  itu  relatif  sudah  aktif  dia,
nggak  perlu  keluar  uang  banyak”,
untuk  memunculkan  daya  informatif.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai
pemberian  informasi  kepada  calon  legislatif  yang  ingin  mengikuti  pemilu  untuk mempunyai  track  record  yang  baik  dan  modal  sosial  agar  mereka  tidak  perlu
mengeluarkan uang yang besar untuk kampanye. Kita ketahui bersama bahwa saat ini  banyak  anggota  dewan  yang  menggadaian  SKnya  untuk  melunasi  hutang
selama  kampanye.  Daya  informatif  juga  disukung  oleh unsur  ekstralingual  yang  dimunculkan  oleh  Hamdi  Muluk
berupa  gerakan  kedua  tangan  mengepal  dan  diangkat.
Gerakan  tersebut  mengindikasikan  bahwa  beliau  sedang  menyampaikan  sesuatu.
Unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui  fenomena  inferensi.
Berdasarkan  pengetahuannya  dalam  bidang  implementasi  pemilihan  umum selama  ini,  Hamdi  Muluk  mempunyai  kesimpulan  mengenai  pemimpin  yang
dipilih  oleh  rakyat,  yaitu  yang  mempunyai  track  record  baik  dan  modal  sosial, bila  caleg  tidak  memiliki  modal  tersebut  maka  mereka  perlu  memiliki  uang
banyak untuk modal kampanye.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Hamdi  Muluk  berbaik  hati  memberikan  informasi  kepada
calon  legislatif  yang  ingin  mengikuti  pemilu.  Pemberian  informasi  tersebut merupakan salah satu trik agar caleg dapat terpilih.
Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  juga  tidak  selalu muncul  untuk  mendukung  daya  informatif,  seperti  dalam  tuturan  “Ya
permasalahannya kalau sampai dua tahun izinnya. Karena ada enam puluh jenis, yang  diurus  adalah  urut  kacang,  tidak  bisa  barengan.  Kalau  dua  tahun  adalah
cost ekstra tambahan. Satu perusahaan PSE adalah seratus lima puluh ribu dolar per  man  kali  dua  puluh  empat  adalah  tiga  koma  enam  juta  selama  dua  belas
tahun ini. Itu ongkosnya dijumlah itu adalah enam ratus dua puluh juta USD. Itu adalah angka yang sangat besar pada oil and gas adalah high risk, high cost dan
tentu  high  rhyth m”  SSDB01-09-201515.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh
Eddy  Tampi  yang  mempunyai  pengalaman  mengenai  sistem  perijinan  di Indonesia yang terkesan tidak efisien sehingga memakan biaya yang tinggi.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Itu  adalah angka yang sangat besar pada oil and gas adalah high risk, high cost dan tentu
high rhythm
”, untuk memunculkan daya informatif. Kalimat tersebut dipersepsi
sebagai  pemberian  informasi  bagi  seluruh  rakyat  Indonesia  mengenai  masalah perijinan  yang  memakan  biaya  tinggi  dan  dibebankan  kepada  perusahaan  migas.
Kata “itu”  merujuk  kepada  pengeluaran  perusahaan  migas  dalam  masalah
perijinan,  kata “high  risk”  merupakan  kata  dalam  bahasa  inggris  yang  berarti
resiko tinggi, kata “high cost” merupakan kata dalam bahasa inggris yang berarti biaya tinggi, sedangkan kata “high rhythm” merupakan kata dalam bahasa inggris
yang  berarti  ritme  tinggi.  Penutur  berusaha  memberikan  informasi  agar
masyarakat umum menjadi tahu perihal mafia migas  yang sedang merajalela dan mengakibatkan  para  investor  enggan  untuk  menanam  modalnya  di  Indonesia,
khususnya  dalam  sektor  migas.  Eddy  Tampi  tidak  memunculkan  unsur ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  apapun  untuk  mendukung  daya
informatif,  sedangkan  unsur  ekstralingual  berupa  konteks  dimunculkan  melalui
fenomena  praangaapan.  Sebagai  praktisi  migas,  Eddy  Tampi  mempunyai
pengalaman  mengenai  sistem  perijinan  di  Indonesia  yang  terkesan  tidak  efisien sehingga memakan biaya yang tinggi. Perijinan yang harus ditempuh oleh praktisi
migas untuk satu perusahaan PSE yang ingin melakukan pengeboran bisa sampai enam  puluh  jenis  dengan  mekanisme  yang  harus  urut  dan  tidak  boleh
berbarengan.  Selain  itu,  setiap  jenis  perijinan  juga  mengeluarkan  biaya  yang tinggi.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Penutur  berbaik  hati  memberikan  informasi  agar
masyarakat umum menjadi tahu perihal mafia migas  yang sedang merajalela dan mengakibatkan  para  investor  enggan  untuk  menanam  modalnya  di  Indonesia,
khususnya dalam sektor migas. Selain  kalimat  seperti  ketiga  contoh  di  atas,  unsur  intralingual  berupa
klausa juga dapat memunculkan daya informatif. Perhatikan tuturan berikut: “Ya kan gini, bank lebih memberikan persyaratan yang lebih mudah kearah sana, ke
SK itu. Iya banknya kan gini yang justru saya memberikan pemahaman ke kalian,
bank  ini  kadang-kadang  memberikan  kredit  hanya  kepada  orang-orang  yang memiliki  kepastian  bayar”  SSDB29-09-201415.  Tuturan  tersebut  dikatakan
oleh  Asep  Rahmatullah  yang  merupakan  anggota  DPRD  Banten  yang  sudah menggadaikan SK pengangkatannya kepada bank.
Unsur  intralingual  yang  digunakan  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“justru  saya  memberikan  pemahaman  ke  kalian,  bank  ini  kadang-kadang memberikan  kredit  hanya  kepada  orang-orang
yang memiliki kepastian bayar”. Klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai  pemberian  informasi  kepada  seluruh  rakyat
Indonesia  tentang  kebijakan  bank  mengenai  kriteria  orang  yang  akan  diberikan pinjaman  adalah  orang  yang  memiliki  kepastian  membayar  mempunyai  gaji
setiap  bulan.  Klausa  tersebut  menggunakan  frasa “memberikan  pemahaman”
untuk  mengindikasikan  bahwa  penutur  ingin  memberikan  informasi  kepada seluruh  rakyat  indonesia.  Klausa  tersebut  sengaja  digunakan  oleh  penutur  untuk
menimbulkan efek komunikatif agar masyarakat tidak terus-terusan menyalahkan anggota  dewan  yang  menggadaikan  SKnya  karena  mereka  telah  masuk  dalam
kriteria  peminjam  yang  ditetapkan  oleh  bank.  Asep  Rahmatullah  tidak memunculkan  unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  tertentu  untuk
mendukung  informasi  yang  disampaikan,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks
dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.  Sebagai  anggota  dewan  yang
sudah  pernah  menggadaikan  SK,  Asep  Rahmatullah  mempunyai  pengetahuan awal  mengenai  kriteria  orang  yang  diberikan  pinjaman  oleh  bank  adalah  orang
yang mempunyai kepastian bayar setiap bulannya.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102  yang  memandang prinsip kesantunan
sebagai  piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak  langsung  dalam  mengungkapkan  maksudnya.  Penutur  menggunakan
daya informatif secara implisit yang digunakan sebagai pembelaan penutur karena beliau  juga  termasuk  dalam  anggota  DPRD  yang  menggadaikan  SK.  Daya
infomatif  yang  disampaikan  secara  implisit  tersebut  digunakan  sebagai  wujud pembelaan  secara  tidak  langsung  agar  tuturan  lebih  santun  dan  tidak  terkesan
ngotot bahwa dirinya tidak salah karena telah menggadaikan SK. Daya  informatif  yang  muncul  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  selalu
dinyatakan  melalui  unsur  intralingual  berupa  klausa  dan  kalimat  tidak  ada  kata atau  frasa  khas  tertentu  yang  menandakan  daya  informatif  karena  hal  tersebut
tergantung dari informasi yang hendak disampaikan penutur. Unsur ekstralingual berupa  tanda-tanda  ketubuhan  dalam  daya  informatif  juga  bersifat  opsional
tergantung keekspresifan penutur namun kebanyakan tanda-tanda tersebut kurang mendukung daya informasi. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks
yang selalu dimunculkan melalui fenomena praanggapan pengetahuan awal yang dimiliki  dan  inferensi  kesimpulan  yang  diungkapkan  dalam  pernyataan
pendapat. Daya informatif yang ditemukan dalam objek selalu dinyatakan dengan santun karena penutur berbaik hati memberikan informasi kepada mitra tutur atau
orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  sesuai  dengan  maksim  kebijaksanaan Leech.
4.2.1.5.2 Daya Ungkap Daya  ungkap  merupakan  bentuk  kabar  yang  digunakan  untuk
mengungkapkan  suatu  pemikiran  atau  pendapat  berdasarkan  fakta  dan  perasaan penutur kepada mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan. Daya ungkap
ini  biasanya  disertai  analisis  dan  latar  belakang  tertentu  mengapa  penutur mengungkapkan  hal  tersebut.  Perhatikan  tuturan  berikut:
“Jadi  angka  itu menunjukkan  hasil  didikan  kita  dulu.  Bahwa  pendidikan  kita  dulu,  kan  pada
waktu  kita  sekolah  nggak  banyak  di  tes  to  soal  kejujuran  dan  lain-lain.  Nah  itu harus dibangun sekarang untuk Indonesia kedepan yang lebih baik. Tapi caranya
gimana?  Caranya  harus  terfokus  pada  gurunya.  Karena  yang  namanya pendidikan  karakter  itu  tidak  bisa  diajarkan  pakai  tulisan.  Nggak  bisa  pakai
lisan” SSDB04-08-201418. Tuturan tersebut dikatakan oleh Anies Baswedan yang  menganggap  banyaknya  kasus  korupsi  yang  terjadi  di  Indonesia  saat  ini
dikarenakan pendidikan Indonesia yang ridak menanamkan nilai-nilai kejujuran.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa  kalimat
“Jadi angka itu menun
jukkan  hasil  didikan  kita  dulu”,  untuk  memunculkan  daya  ungkap.
Kalimat tersebut dipersepsi mengandung informasi yang ditujukan kepada seluruh rakyat  Indonesia  mengenai  penyebab  tingginya  korupsi  di  Indonesia.  Penutur
ingin  membuka  pikiran  masyarakat  agar  mau  mendukung  penanaman  karakter sejak dini. Penutur memaparkan secara jelas tentang contoh pendidikan karakter,
misalnya  soal  kejujuran  yang  merupakan  kunci  utama untuk  terhindar  dari  korupsi.  Daya  ungkap  diperkuat
dengan  unsur  ekstralingual  yang  dimunculkan  oleh  Anies
Baswedan  berupa  gerakan  tangan  kanan  mengepal  dan  digerakkan kebelakang  untuk  memperkuat  klausa
“didikan  kita  dulu”.  Gerakan  tersebut dipersepsi sebagai gerakan untuk meyakinkan ungkapan yang disampaikan Anies
Baswedan. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan
melalui fenomena inferensi. Anies Baswedan mempunyai pengetahuan mengenai
banyaknya  kasus  korupsi  yang  terjadi  di  Indonesia  saat  ini.  Berdasarkan  fakta tersebut, Anies Baswedan  mempunyai kesimpulan mengenai penyebab tingginya
angka  korupsi  di  Indonesia,  yaitu  pendidikan  karakter  yang  kurang  ditanamkan sejak  dini.  Anies  Baswedan  merupakan  orang  yang  sudah  lama  berkecimpung
dalam dunia pendidikan.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Anies  Baswedan  berbaik  hati  memberikan  pendapatnya
mengenai penyebab tingginya angka korupsi di Indonesia agar pemerintah segera memperaiki sistem pendidikan di Indonesia. Upaya tersebut perlu dilakukan untuk
meminimalisir angka korupsi di kemudian hari. Daya  Ungkap  juga  dapat  muncul  dalam  unsur  intralingual  berupa  klausa,
seperti  pada  tuturan  “Jadi  begini,  ternyata  kemerdekaan  itu  harus  diartikan merdeka  dari  keterbelakangan.  Nah  ya  kan.  Merdeka  dari  kebodohan,  merdeka
dari  kemiskinan,  merdeka  dari  tidak  sadar  bahwa  kita  ini  negara  plural SSDB18-08-201420.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Ndoro  yang
menyimpulkan  bahwa  arti  kemerdekaan  yang  sesuangguhnya  merupakan
kemerdekaan  terbebas  dari  keterbelakangan  kebodohan,  kemiskinan,  dan kesadaran akan negara yang plural.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“merdeka  dari keterbelakangan, kebodoham, kemiskinan, dan tidak sadar bahwa kita ini negara
plural”,  untuk  memunculkan  daya  ungkap.  Klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai
pemberian informasi bagi publik mengenai arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Selama  ini  banyak  orang  yang  memaknai  bahwa  bangsa  kita  sudah  merdeka
karena sudah terbebas dari penjajahan. Namun hal tersebut salah, saat ini bangsa kita  belum  merdeka  karena  masih  termasuk  bangsa  yang  terbelakang  sehingga
masih  banyak  yang  harus  kita  benahi  bersama.  Daya ungkap  juga  diperkuat  dengan  unsur  ekstralingual  yang
dimunculkan  oleh  Ndoro  berupa  gerakan  tangan seperti  menghitung  sesuatu  saat  mengucapkan  masalah  keterbelakangan,
kebodohan,  kemiskinan,  dan  tidak  sadar  bahwa  kita  ini  negara  plural.  Gerakan tangan  tersebut  mengindikasikan  ungkapan  hal  yang  harus  dicapai  suatu  negara
yang  dikatakan  merdeka.  Unsur  ekstralingual  konteks  dalam  tuturan  tersebut
dimunculkan  melalui  fenomena  inferensi.  Ndoro  mempunyai  kesimpulan  bahwa
arti  kemerdekaan  yang  sesuangguhnya  merupakan  kemerdekaan  terbebas  dari keterbelakaan  kebodohan,  kemiskinan,  dan  kesadaran  akan  negara  yang  plural.
Negara  Indonesia  belum  bisa  dikatakan  merdeka  karena  kita  belum  bisa  terlepas dari masalah-masalah tersebut.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Ndoro  berbaik  hati  memberikan  ungkapan  pendapatnya
berupa kesimpulan mengenai arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  juga  tidak  selalu
muncul  dan  mendukung  daya  ungkap,  seperti  dalam  tuturan  “Ada  dua  alasan. Pertama  butuh  dana  ya  agak  besar,  keduanya  ini  tidak  ada  pelanggaran  dan
kebiasaan  ini  sudah  berlangsung  lama.  Ya,  karena  ini  adalah  penawaran  dari bank  ada  dan  memang  juga  bank  menjamin  dan  kita  juga  memiliki  gaji  kenapa
tidak?  Ketika  bank  memberikan  penawaran  itu  kebetulan  saya  ingin  membuat modal  usaha”  SSDB29-08-20146.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Asep
Rahmatullah  yang  mengetahui  kebiasaan  gadai  SK  yang  sering  terjadi  dan  hal tersebut tidak melanggar peraturan yang ada karena tidak ada peraturan yang tegas
mengenai hal tersebut.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Pertama butuh dana ya agak besar, keduanya ini tidak ada pelanggaran dan kebiasaan ini sudah
berlangsung  lama
”,  untuk  memunculkan  daya  ungkap.  Kalimat  tersebut
dipersepsi  sebagai  ungkapan  pembelaan  Asep  Rahmatullah  terhadap  pertanyaan Ndoro  sebelumnya  yang  terkesan  mengejek  karena  beliau  telah  menggadaikan
SKnya  kepada  pihak  bank.  Penutur  menggunakan  kalimat  tersebut  untuk menimbulkan  efek  komunikatif  agar  Ndoro  dan  masyarakat  tidak  terus
mengejeknya karena hal tersebut tidak melanggar hukum. Asep Rahmatullah tidak memunculkan  unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  apapun  untuk
mendukung  daya  ungkap  yang  disampaikan,  sedangkan  unsur  ekstralingual
konteks dimunculkan melalui fenomena inferensi. Asep Rahmatullah mempunyai
kesimpulan  mengenai  kebiasaan  gadai  SK  yang  sering  dilakukan  oleh  anggota dewan  karena  hal  tersebut  tidak  melanggar  peraturan.  Selama  ini  belum  ada
peraturan yang tegas mengenai larangan menggadaikan SK.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Asep  berbaik  hati
mengungkapkan  alasan  para  anggota  DPRD  menggadaikan  SK.  Asep mengungkapkan hal tersebut agar seluruh rakyat Indonesia menjadi tau dan tidak
melulu menyalahkan anggota DPRD. Berdasarkan beberapa contoh data di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur
intralingual  yang digunakan untuk memunculkan daya ungkap adalah klausa dan kalimat.  Tidak  ada  kata-kata  khas  yang  digunakan  untuk  mengindikasikan  daya
ungkap, hal tersebut dikarenakan daya tersebut baru bisa muncul efeknya setelah dalam  satu  susunan  kalimat  atau  klausa.  Unsur  ekstralingual  tanda-tanda
ketubuhan  tidak  selalu  munucul  dan  mendukung  daya  ungkap,  hal  tersebut tergantung  dari  keekspresifan  penutur.  Hal  tersebut  berbeda  dengan  unsur
ekstralingual  konteks  yang  selalu  muncul  karena  digunakan  untuk  mengetahui maksud  tuturan.  Unsur  ekstraigual  konteks  dalam  daya  ungkap  hanya
dimunculkan  melalui  fenomena  inferensi  karena  daya  ungkap  merupakan pendapat  atau  hasil  analisa  perorangan  yang  menarik  satu  kesimpulan  tertentu
mengenai  suatu  hal.  Daya  ungkap  ini  selalu  dinyatakan  santun  karena  berusaha
memberikan sesuatu kepada mitra tutur berupa hasil pemikiran dan analisa sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.1.5.3 Daya Jelas Daya  jelas  merupakan  bentuk  kabar  yang  digunakan  untuk  menjelaskan
sesuatu  kepada  mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  secara terperinci  dan  mendetail.  Perhatikan  tuturan  berikut:  “Yang  pertama  di  tataran
konsep kita sudah banyak itu, dan sudah ada juga blue frin yang dibuat dua, tiga tahun lalu. Dari zamannya Bu Mari di perdagangan e . . .setelah itu kita sekarang
mulai dengan sentra kreatif. Sentra kreatif itu, dimana para pemuda, para orang- orang  kreatif,  mereka  berkumpul  dan  membuat  satu  kreatifitas  dan  kita  dukung.
Dan  kita  bekerjasama  dengan  BUMN,  swasta  dan  seterusnya.  Ini  yang memudahkan  e  .  .  .  mereka  bisa  lebih  kreatif  dan  langsung  konkret  dalam  arti
divalidasi.  Kita  bantu  untuk  ter masuk pameran dan pemasarannya” SSDB25-
08-20144.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sapta  Nirwandar  yang  mengetahui program-program  pemerintah  pada  sektor  pariwisata  dan  industri  kreatif    baik
yang sudah maupun belum direalisasikan.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Kita  bantu untuk  termasuk  pameran  dan  pemasarannya
”,  untuk  memunculkan  daya  jelas.
Kalimat tersebut dipersepsi sebagai penjelasan kepada para pelaku industri kreatif agar  tidak  perlu  cemas  karena  pemerintah  akan  membantu  menyediaan  tempat
pameran dan pemasaran. Klausa “kita bantu” mengindikasikan bahwa pemerintah
akan  membantu  industri  kreatif  yang  ada.  Penutur  berusaha  memberikan penjelasan  agar  para  pelaku  yang  hendak  berkecimpung  dalam  bidang  industri
kreatif  tidak  resah  dan  khawatir  tentang  masa  depan industri kecilnya. Daya jelas juga didukung oleh unsur
ekstralingual  yang  dimunculkan  oleh  Sapta  Nirwandar
berupa  gerakan  kedua  tangan  yang  diangkat  ke  depan.  Gerakan  tersebut
mengindikasikan  bahwa  beliau  sedang  menjelaskan  sesuatu.  Selain  itu,  terdapat juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena
praanggapan.  Sebagai  wakil  menteri  pariwisata  dan  industri  kreatif,  Sapta
Nirwandar  mengetahui  program-program  pemerintah  yang  sudah  maupun  yang belum direalisasikan pada sektor pariwisata dan industri kreatif.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Tuturan  berdaya  jelas  tersebut  memberikan  keuntungan
terhadap  para  pelaku  industri  kreatif  karena  penutur  berbaik  hati  menjelaskan program yang dimiliki oleh pemerintah untuk membantu industri kreatif.
Daya  jelas  juga  muncul  dalam  tuturan  berikut:  “Sebetulnya  dari  surat keputusan mendagri melantik kita sebagai anggota DPR  kan datanya semua ada
di  sekertariatan  dewan.  Nah  yang  melakukan  pengajuan  kepada  bank  juga dibantu  oleh  kesekertariatan  dewan.  Jadi  dialah  yang  melegalkan  bahwa  kita
punya  gaji”  SSDB29-09-201417.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Asep Rahmatullah  yang  mengetahui  mekanisme  pengajuan  gadai  SK  kepada  bank
karena selaku anggota DPRD Banten, beliau sudah menggadaikan SKnya.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Nah  yang melakukan  pengajuan  kepada  bank  juga  dib
antu  oleh  kesekertariatan  dewan”, untuk  memunculkan  daya  jelas.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  penjelasan
yang  diberikan  penutur  bahwa  pengajuan  gadai  SK  kepada  pihak  bank  juga dibantu  oleh  kesekertariatan  dewan.  Kalimat  tersebut  menimbulkan  efek
komunikatif  agar  pihak  lain  tidak  melulu  menyalahkannya  yang  telah menggadaikan  SK  karena  beliau  tidak  melanggar  hukum  yang  ada  dan  hal
tersebut diketahui oleh kesekertariatan dewan dibuktikan dengan pelegalan surat bukti  gaji  yang  merupakan  salah  satu  syarat  pengajuan  gadai  SK.  Daya  jelas
didukung oleh
unsur ekstralingual
yang dimunculkan  oleh  Asep  Rahmatullan  berupa
gerakan  kedua  tangan  diangkat  ke  depan.
Gerakan  tersebut  mengindikasikan  bahwa  penutur  sedang  menjelaskan  sesuatu. Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui
fenomena  praanggapan  atau  pengetahuan  awal  Asep  selaku  anggota  DPRD Banten  mengenai  mekanisme  pengajuan  gadai  SK  kepada  bank  karena  beliau
sudah menggadaikan SKnya pasca pelantikan kemarin.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada mitra tutur. Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Asep  berusaha
memberikan  informasi  berupa  mekanisme  penggadaian  SK  yang  juga  dibantu oleh kesekertariatan dewan.
Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  juga  tidak  selalu mendukung  daya  jelas,  seperti  pada  tuturan
“Nah,  oleh  karena  itu  kita  buat sentra-sentra  kreatif  ini  agar  mereka  bersama-sama  kalau  ada  apa-apa  bisa
dipecahkan bersama-sama tapi jualnya beda-beda karena kreatifnya kan masing- masing”  SSDB25-08-201415.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sapta
Nirwandar  yang  mengetahui  tujuan  pemerintah  mendirikan  sentra  kreatif  adalah untuk  memudahkan  dalam  pemecahan  masalah  karena  dibentuk  kelompok-
kelompok.
Unsur intralingual  dalam tuturan tersebut  berupa  klausa
“kalau ada apa- apa  bisa  dipecahkan  bersama-sama
”,  untuk  memunculkan  daya  jelas.  Klausa
tersebut menggunakan frasa “ada apa-apa” mengindikasikan suatu masalah yang
muncul,  sedangkan  kata “dipecahkan”  berarti  dicari  solusinya  secara  bersama-
sama dari masalah tersebut. Secara keseluruhan, klausa tersebut dipersepsi sebagai penjelasan  bagi  para  pelaku  industri  kreatif  tentang  fungsi  sentra-sentra  kreatif
yang  dibuat  oleh  pemerintah,  yaitu  sebagai  tempat  musyawarah  untuk memecahkan  suatu  masalah  menyangkut  anggota  sentra  kreatif.  Bila  dihadapi
secara  bersama-sama,  maka  masalah  apapun  yang  melanda  suatu  sentra  kreatif akan  mendapatkan  solusi  terbaik  bagi  semua  pihak.  Sapta  Nirwandar  tidak
memunculkan  tanda-tanda  ketubuhan  apapun  untuk  mendukung  daya  jelas  yang diungkapkan,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui
fenomena praanggapan. Sapta Nirwandar mengetahui  tujuan sentra kreatif yang
dibuat  oleh  pemerintah,  yaitu  untuk  memudahkan  para  pelaku  industri  kreatif dalam  pemecahan  masalah.  Beliau  mempunyai  informasi  tersebut  karena  beliau
merupakan  salah  satu  bagian  dari  pemerintah  yang  bertugas  mengurusi  masalah industri  kreatif  ,  yaitu  menempati  posisi  wakil  menteri  pariwisata  dan  industri
kreatif.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada mitra tutur. Penutur berbaik hati untuk memberikan penjelasan kepada
para pelaku industi kreatif mengenai fungsi sentra-sentra kreatif yang dibuat oleh pemerintah.
Berdasarkan beberapa contoh data di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual  yang  digunakan  untuk  memunculkan  daya  jelas  adalah  klausa  dan
kalimat.  Tidak  ada  kata-kata  khas  yang  digunakan  untuk  mengindikasikan  daya ungkap, hal tersebut dikarenakan daya tersebut baru bisa muncul efeknya setelah
dalam  satu  susunan  kalimat  atau  klausa.  Unsur  ekstralingual  tanda-tanda ketubuhan  tidak  selalu  munucul  dan  mendukung  daya  jelas,  hal  tersebut
tergantung  dari  keekspresifan  penutur.  Hal  tersebut  berbeda  dengan  unsur ekstralingual  konteks  yang  selalu  muncul  karena  digunakan  untuk  mengetahui
maksud  tuturan.  Unsur  ekstraigual  konteks  dalam  daya  jelas  hanya  dimunculkan melalui  fenomena  praanggapan  karena  daya  jelas  merupakan  pemberian
penjelasan  berdasarkan  fakta.  Daya  jelas  ini  selalu  dinyatakan  santun  karena berusaha  memberikan  sesuatu  kepada  mitra  tutur  berupa  penjelasan  mengenai
suatu hal berdasarkan kenyataan sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.1.5.4 Daya Banding Daya  banding  merupakan  bentuk  kabar  yang  digunakan  untuk
memberikan  penerangan  atau  berita  dengan  mempersamakan  dua  hal  yang berbeda  dan  memiliki  tujuan  tertentu.  Daya  banding  berusaha  membuat    mitra
tutur atau orang yang dimakud dalam tuturan mengetahui persamaan dua hal yang selama  ini  mereka  anggap  berbeda.  Perhatikan  tuturan  berikut  “Ya,  ya,  ya
bagaimana  mengatasi,  mulai  dari  membenahi  pemerintahan,  membenahi anggaran. Nah dari pembenahan itu maka lebih mudah mengatasi yang lain gitu
ya.  Soal  ketegasan  juga.  Sebetulnya  sama,  cuma  komunikasinya  yang  berbeda. Yang satu ya kadang-kadang memang agak emosional gitu ya. Yang satu ya . . .ya
tunggu  aja  nanti  juga  hilang  gitu  SSDB11-08-20143.  Tuturan  tersebut dikatakan  oleh  Pak  Andrinof  yang  mengetahui  gaya  kepemimpinan  Pak  Jokowi
yang terkesan tenang dan gaya kepemimpinan Pak Ahok yang terkesan emosional serta ceplas-ceplos.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Sebetulnya sama,  cuma  komunikasinya  yang  berbeda
”, untuk memunculkan daya banding.
Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  memberikan  informasi  kepada  masyarakat luas,  khususnya  warga  jakarta  bahwa  sebenarnya  Pak  Ahok  mempunyai  kinerja
yang hampir sama dengan Pak Jokowi. Kita ketahui bersama bahwa pada saat itu banyak warga Jakarta yang meragukan Pak Ahok menjadi pengganti Pak Jokowi
karena  gaya  kepemimpinannya  yang  terkesan “hobi  marah-marah”  dipandang
kurang  cocok  untuk  Jakarta.  Penutur  ingin  memberikan  informasi  kepada  warga Jakarta  bahwa  sebenarnya  cara  bekerja  Pak  Jokowi  dengan  Pak  Ahok  itu  sama,
yaitu  bertindak  tegas  mengatasi  permasalahan  Jakarta.  yang  berbeda  hanyalah gaya  kepemimpinannya.  Hal  tersebut  tidak  perlu  dikhawatirkan  oleh  warga
Jakarta.  Penutur  tidak  memunculkan  unsur  ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan apapun  untuk  mendukung  daya  banding,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks
dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.  Pak  Andrinof  yang  mengetahui
gaya  kepemimpinan  Pak  Jokowi  yang  terkesan  tenang  dan  gaya  kepemimpinan Pak Ahok yang terkesan emosional serta ceplas ceplos.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator
kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan
kepada mitra tutur. Tuturan berdaya banding tersebut memberikan keuntungan
terhadap  Pak  Ahok  karena  penutur  berusaha  memberikan  informasi  bahwa  Pak Ahok  memiliki  kinerja  yang  sama  dengan  Pak  Jokowi.  Melalui  tuturan  berdaya
banding tersebut, penutur mempunyai tujuan meyakinkan agar masyarakat Jakarta mendukung Pak Ahok sebagai gubernur Jakarta.
Daya banding juga muncul dalam tuturan “Selain malu menggunakan hak
orang  lain,  mobil  mewah  yang  memiliki  rasio  operasi  tinggi  sudah  wajib menggunakan  bahan  bakar  bensin  jenis  pertamax.  Hasilnya,  kendaraan  yang
menggunakan  pertamax akan  lebih  terawat  dibandingkan  kendaraan
m enggunakan  bensin  jenis  premium”  SSDB15-09-20142.  Tuturan  tersebut
dikatakan  oleh  pembaca  berita  yang  digunakan  sebagai  pembuka  acara  Sentilan Sentilun  mengenai  standar  bahan  bakar  yang  harus  digunakan  oleh  mobil  yang
dibuat sejak tahun 2006 keatas, yaitu pertamax.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Hasilnya, kendaraan  yang  menggunakan  pertamax  akan  lebih  terawat  dibandingkan
kendaraan  menggunakan  bensin  jenis  premium
”,  untuk  memunculkan  daya banding.
Kalimat tersebut
menggunakan kata
“dibandingkan”  yang mengindikasikan  perbandingan  dua  hal  yang  berkebalikan.  Secara  utuh,  kalimat
tersebut  dipersepsi  sebagai  perbandingan  antara  mesin  mobil  yang  diisi  dengan permium  dan  mesin  mobil  yang  diisi  dengan  pertamax.  Mesin  mobil  yang  diisi
dengan  pertamax  menjadi  lebih  terawat  daripada  yang  diisi  dengan  premium. Penutur sengaja ingin memberikan informasi melalui pembandingan dua hal agar
rakyat  Indonesia  lebih  cerdas  saat  akan  memilih  premium  sebagai  bahan  bakar mobil  mewahnya.  Penutur  tidak  memunculkan  unsur  ekstralingual  berupa  tanda-
tanda  ketubuhan  apapun,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan
melalui  fenomena  praanggapan.  Produser  acara  tersebut  mempunyai
pengetahuan    mengenai  standar  bahan  bakar  yang  harus  digunakan  oleh  mobil yang  dibuat  sejak  tahun  2006  keatas,  yaitu  bahan  bakar  yang  beroktan  sembilan
puluh  satu  keatas  pertamax  agar  mesin  menjadi  lebih  awet  dan  hemat  bahan bakar. Hal tersebut dikarenakan mesin mobil tahun 2006 keatas sudah  menganut
standar  emisi  euro  dua.  Bila  mobil  tersebut  diisi  menggunakan  premium,  maka mesinnya akan cepat rusak.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada mitra tutur. Tuturan berdaya banding tersebut memberikan keuntungan
terhadap  rakyat  Indonesia  karena  penutur  berusaha  memberikan  informasi mengenai  keuntungan  menggunakan  pertamax,  yaitu  membuat  mesin  menjadi
lebih awet. Daya  banding  yang  dimuculkan  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  memiliki
ciri  khas  karena  hanya  menggunakan  kalimat  sebagai  unsur  intralingualnya. Kedua  data  daya  banding  yang  ditemukan  tidak  memunculkan  tanda-tanda
ketubuhan tertentu yang mendukung daya tersebut, sedangkan unsur  ekstralingual konteks  hanya  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan  karena  sebelum
membandingkan  dua  hal  tentunya  penutur  telah  terlebih  dulu  memahami  kedua hal  tersebut.  Daya  banding  yang  ada  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  ini  selalu
dinyatakan santun karena tujuan daya banding tersebut adalah memberikan suatu informasi yang menguntungkan mitra tutur sesuai dengan maksim kebijaksanaan
Leech. 4.2.1.5.5 Daya Dukung
Daya dukung merupakan bentuk kabar yang digunakan untuk mendukung pernyataan  seseorang.  Daya  dukung  ini  biasanya  berupa  sesuatu  yang  sudah
dijadikan  patokan  pasti  oleh  berbagai  pihak,  misalnya  Undang-Undang,  hadist, dan lain sebagainya. Perhatikan tuturan berikut “Bisa Ndoro, karena dalam sistem
konstitusi  kita  presiden  itu  memiliki  lima  puluh  persen  kekuasaan  legislatif.  Ini ada pasalnya ya, pasalnya pasal dua puluh ayat dua dan ayat tiga, bahwa yang
namanya  RUU  itu  dibahas  bersama  presiden  dan  DPR  untuk  mendapatkan persetujuan  bersama.  Ayat  tiganya  kalau  tidak  mendapatkan  persetujuan
bersama, maka RUU tersebut  tidak bisa  dimajukan lagi pada persidangan masa
itu.  Masih  ada,  kalau  Pak  SBY  mau,  dia  cukup  bilang  saya  tidak  setuju  dengan RUU  yang  untuk  pemiliha
n  kepala  daerah  melalui  DPRD”  SSDB22-09- 201427. Tuturan tersebut dikatakan oleh Refly Harun yang mengetahui Undang-
Undang  mengenai  pengesahan  RUU  yaitu  pasal  20  ayat  2  dan  3  tentang pembahasan  RUU  Pilkada  antara  Presiden  dan  DPR  untuk  mendapatkan
keputusan bersama.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“pasal dua puluh ayat dua dan ayat tiga, bahwa yang namanya RUU itu dibahas bersama presiden
dan  DPR  untuk  mendapatkan  persetujuan  bersama
”, untuk memunculkan daya dukung.  Klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai  dukungan  atas  informasi  yang
diberikan oleh penutur bahwa RUU Pilkada melalui DPRD masih bisa dibatalkan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak menyetujui RUU tersebut. Daya
dukung  tersebut  sangat  kuat  karena  menggunakan  Undang-Undang  sebagai dasarnya. Refly Harun tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan tertentu untuk
memperkuat  daya  dukung  yang  diungkapkan,  sedangkan  unsur  ekstralingual
konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan. Sebagai ahli pakar hukum
tata  negara,  Refly  Harun  mempunyai  pengetahuan  awal  mengenai  Undang- Undang  yang  mengatur  tentang  pengesahan  RUU  yaitu  pasal  20  ayat  2  dan  3
tentang  RUU pilkada yang harus dibahas secara bersama oleh Presiden dan DPR untuk mendapatkan keputusan bersama.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan
kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Refly  Harun
memberikan  keuntungan  berupa  penyampaian  Undang  Undang  yang  mengatur RUU.  Daya  dukung  tersebut  diungkapkan  untuk  membuat  publik  sedikit  tenang
karena berdasarkan Undang-Undang, RUU tersebut  masih  akan dibahas  bersama Pak SBY sebelum benar-benar disahkan.
Daya  dukung  yang  ditemukan  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  hanya dimunculkan  melalui  unsur  intralingual  berupa  klausa  dan  tidak  memunculkan
tanda-tanda  ketubuhan  apapun  untuk  mendukung  daya  tersebut  tergantung keeskpresifan penutur. Selain itu, juga terdapat unsur ekstralingual konteks yang
selalu  menyertai  tuturan  karena  untuk  mengetahui  tuturan  tersebut  mendukung suatu pernyataan atau tidak harus melihat dari konteksnya.  Konteks tuturan yang
dimunculkan  dalam  daya  dukung  yang  ditemukan  hanya  merupakan  fenomena praanggapan,  karena  sebelum  menyatakan  daya  tersebut  pasti  penutur  telah
mengetahui  tentang  dasar  hukum  yang  mengatur  tentang  suatu  hal  yang  ingin dinyatakan. Daya dukung ini selalu dinyatakan santun karena selalu memberikan
sesuatu kepada mitra tutur sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.1.6 Daya Penolakan Daya  penolakan  merupakan  kekuatan  bahasa  untuk  yang  menunjukkan
reaksi penolakan terhadap suatu ungkapan atau perilaku seseorang yang dimaksud dalam  tuturan.  Daya  penolakan  muncul  karena  penutur  tidak  sepaham  dengan
mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan.  Daya  penolakan  kerap muncul  karena  penutur  merasa  dirugikan  oleh  mitra  tutur.  Daya  penolakan  yang
muncul  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  dinyatakan  dengan  cara  protes,  bantahan dan ketidaksetujuan.
4.2.1.6.1 Daya Protes Daya  protes  merupakan  bentuk  penolakan  yang  digunakan  untuk
menyatakan  keberatan  terhadap  sesuatu  yang  diungkapkan  oleh  mitra  tutur sebelumnya.  Daya  protes  ini  biasanya  diungkapkan  dengan  nada  yang  keras
karena  penutur  merasa  tidak  terima  terhadap  tuturan  mitra  tutur  sebelumnya. Perhatikan  tuturan  berikut:
“Interupsi  Ndoro,  saya  mau  protes  lha  ini  ternyata sudah  kelihatan  arahnya  Ndoro.  Lha  ini  Sentilun  membela,  membela,  menuntut,
menuntut  ujung-ujungnya  kemana?  Ini  nggak  adil  Ndoro.  Makanya  saya  ingin diperlakukan seperti adil walaupun saya ini nggak mirip sama adil. Lho adil itu
kan biasanya cocoknya sama makmur ya kan? Adil kan adil makmur. Kalau nama saya  kan  Adil  Lontong  nggak  ada.  Tapi  saya  mohon  dipersidangan  mahkamah
asmara  ini  saya  diperlakukan  secara  adil  dong.  Ini  kan  ada  tujuan  lain  selain mencari penyelesaian Ndoro
” SSDB08-09-20147. Tuturan tersebut dikatakan oleh  Cak  Lontong  yang  keberatan  dengan  tuntutan  Sentilun  sebelumnya  yang
dianggap tidak masuk akal dan terlalu berat.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Interupsi Ndoro, saya mau protes lha ini ternyata sudah kelihatan arahnya Ndoro
”, untuk
memunculkan  daya  protes.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  pengungkapan
protes  Cak  Lontong  terhadap  tuntutan  Sentilun yang dianggap tidak masuk akal dan terkesan ingin
menjatuhkannya.  Daya  protes  juga  diperkuat  oleh
unsur  ekstralingual  yang  dimunculkan  Cak  Lontong  berupa  tangan  kanan  yang diangkat.  Gerakan  tersebut  merupakan  gerakan  yang  biasanya  digunakan  oleh
seseorang  saat  hendak  menyatakan  pendapat  di  suatu  forum.  Selain  itu,  terdapat
juga unsur ekstralingual  konteks  yang dimunculkan melalui fenomena  referensi.
Cak  Lontong  merasa  keberatan  terhadap  tuntutan  Sentilun  sebelumnya  yang ditujukan  kepada  dirinya.  Tuntutan  tersebut  dianggap  tidak  masuk  akal  sehingga
Cak  Lontong  protes  terhadap  isi  tuntutan  tersebut  yang  seolah  ingin menjatuhkannya.  Isi  tuntutan  Sentilun  ialah  menuntut  Cak  Lontong  dengan
hukuman  maksimal  dua  puluh  tahun  penjara  dengan  masa  percobaan  di  Nusa Kambangan, tidak ada potongan hukuman, adanya langsung potong tangan.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Pranowo  2008,  dalam  Pranowo  2012:104,  yaitu  pemakaian  kata-
kata  tertentu  sebagai  pilihan  kata  diksi  yang  dapat  mencerminkan  rasa santun.  Tuturan  tersebut  menggunakan  diksi
“interupsi”  yang  biasanya digunakan sebelum seseorang memotong pembicaraan dan tanda-tanda ketubuhan
berupa  tangan  diangkat  yang  biasanya  digunakan  oleh  seseorang  saat  hendak menyatakan  pendapat  di  suatu  forum.  Diksi  dan  tanda-tanda  ketubuhan  tersebut
dipersepsi santun karena Cak Lontong menggunakannya saat hendak mengajukan protes  dan  tidak  langsung  memotong  tuturan  Ndoro  sebelumnya  dengan
memohon  ijin  terlebih  dahulu  menggunakan  diksi  dan  unsur  ekstralingual tersebut.
Daya  protes  yang  muncul  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  ini  mempunyai ciri  khas,  berupa  penggunaan  kata
“protes”.  Namun,  kata  “protes”  tidak  dapat
berdiri  sendiri  karena  maksudnya  baru  tersampaikan  setelah  berada  dalam kalimat.  Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  dalam  data  daya
protes  yang  ditemukan  adalah  mengangkat  tangan.  Unsur  ekstralingual  konteks dalam data yang diperoleh hanya menggunakan fenomena referensi merujuk pada
tuturan  mitra  tutur  sebelumnya,  karena  protes  muncul  berdasarkan  rujukan tuturan  sebelumnya  yang  dianggap  tidak  sepaham  dengan  penutur.  Daya  protes
yang  ditemukan  dalam  objek  penelitian  termasuk  santun  karena  menggunakan kata
“interupsi”  dan  unsur  ekstralingual  berupa  tangan  diangkat  yang mengindikasikan permohonan ijin  sebelum menyampaikan protes  sesuai  dengan
indikator kesantunan Pranowo, berupa penggunaan diksi santun. 4.2.1.6.2 Daya Bantah
Daya  bantah  merupakan  bentuk  penolakan  yang  digunakan  untuk menyangkal  pernyataan  sebelumnya  yang diungkapkan oleh seseorang, misalnya
pada tuturan  “Ini Sentilun sebagai penuntut tidak umum. Ini sudah menurut saya melakukan  sesuatu  yang  diluar  nalar,  menurut  saya  terlalu  berat.  Bayangkan
masak saya sampai dua puluh tahun, percobaan dimana tadi? Nusa Kambangan, padahal saya kan hanya melakukan tindak pidana ringan, tipiring. Tindak pidana
ringan,  tipiring.  Paling- paling  ya  Cuma  tari  piring”  SSDB08-09-201410.
Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Cak  Lontong  yang  menganggap  bahwa  tuntutan yang  diajukan  oleh  Sentilun  terlalu  berat  dan  tidak  sesuai  dengan  apa  yang  dia
lakukan tidak masuk akal.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Ini  sudah menurut saya melakukan sesuatu yang diluar na
lar, menurut saya terlalu berat”,
untuk  memunculkan  daya  bantah.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  bantahan
terhadap  tuntutan  Sentilun  sebelumnya.  Cak  Lontong  mengungkapkan argumennya melalui frasa “menurut saya” untuk mengungkapkan bantahannya
atas  apa  yang  telah  dituntutkan  Sentilun.  Cak  Lontong  menganggap  bahwa tuntutan  yang  dicantumkan  diluar  nalar  dan  terlalu  berat  untuk  kasus  yang  telah
dilakukannya.  Daya  bantah  juga  diperkuat  melalui unsur  ekstralingual  yang  dimunculkan  oleh  Cak
Lontong  berupa  gerakan  tangan  kanan  menunjuk- nunjuk  ke  arah  Sentilun.  Gerakan  tersebut  mengindikasikan  bantahannya
terhadap tuntutan Sentilun yang tidak masuk akal. Selain itu, terdapat juga unsur
ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena  referensi.    Bantahan
Cak  Lontong  disebabkan  oleh  rujukan  tuntutan  yang  telah  dibacakan  oleh  jaksa penuntut  tidak  umum  yang  diperankan  oleh  Sentilun  yang  berisi  hukuman
maksimal dua puluh tahun penjara dengan masa percobaan di  Nusa Kambangan, tidak  ada  potongan  hukuman,  adanya  langsung  potong  tangan.  Cak  lontong
menganggap  bahwa  tuntutan  yang  diajukan  oleh  Sentilun  terlalu  berat  dan  tidak sesuai dengan apa yang dia lakukan tidak masuk akal.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  salah  satu
indikator  Pranowo  berupa  nilai-nilai  luhur  pendukung  kesantunan  2008,  dalam
Pranowo 2012:111, yaitu sikap tenggang rasa sebagai manifestasi sifat rendah hati. Di dalam konteks tuturan tersebut, Cak Lontong secara langsung membantah
secara  keras  pernyataan  Sentilun  tanpa  memikirkan  perasaan  Sentilun.  Cak Lontong  merasa  emosi  atas  tuduhan  Sentilun  yang  tidak  masuk  akal.  Selain  itu,
rasa  emosi  Cak  Lontong  juga  diekspresikan  melalui  gerakan  tangan  menunjuk- nunjuk ke arah sentilun yang dipersepsi tidak santun.
Unsur  ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  tidak  selalu  muncul  dan mendukung
daya  bantah,  seperti  pada  tuturan  “Tapi  ya  bagaimana  ya,  kita  ini bisnis  otomatis,  kalau  tadi  masalah  itu  tidak  bisa  kita  langsung  serta  merta
mematikan industri otomotif karena biar bagaimanapun industri otomotif kita ini menjadi salah satu penyumbang APBN negara. Ya dari segi perpajakan dan lain-
lain. Supaya diketahui saja tahun lalu kita menjual satu koma dua juta kendaraan bermotor di Indonesia. Lima puluh persen kendaraan yang dijual tadi itu adalah
yang  dua  ratus  juta  ke  bawah,  nah  inilah  yang  tadi  menghabiskan,  yang  ngisi masih pakai premium tadi. Lha inilah yang harus kita benahi sebab it
”s otomatis. Kebijakan  tadi  yang  disebut  LCGC  dan  lain-lain.  Apa  sih  yang  terjadi  dengan
adanya  LCGC  dan  apa  kalau  Indonesia  tidak  melakukan  regulasi  LCGC?  Satu, tidak ada investasi yang masuk ke Indonesia, kedua tidak ada tambahan lapangan
kerja” SSDB15-09-201423. Tuturan tersebut dikatakan oleh Jongkie Sugiarto ketua  GAIKINDO  yang  mengetahui  tuturan  Ndoro  sebelumnya  terkesan
menyalahkan GAIKINDO serta ada dampak negatif  yang ditimbulkan mengenai kebijakan mobil murah tersebut.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Tapi  ya bagaimana  ya,  kita  ini  bisnis  otomatis,  kalau  tadi  masalah  itu  tidak  bisa  kita
langsung  serta  merta  mematikan  industri  otomotif  karena  biar  bagaimanapun industri  otomotif  kita  ini  menjadi  salah  satu  penyumbang  APBN  negara
”, untuk
memunculkan  daya  bantah.  Kalimat  tersebut  menggunakan  kata
“tapi”  untuk
mengindikasikan bantahan terhadap pernyataan Ndoro sebelumnya yang terkesan menyalahkan GAIKINDO dengan diadakannya kebijakan mobil murah. Salin itu,
Jongkie Sugiarto juga memberikan analisa berdasarkan fakta yang ada mengenai APBN  yang  semakin  besar  yang  mendukung  ungkapan  bantahannya.  Secara
utuh,  kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  bantahan  Jongkie  Sugiarto  terhadap pernyataan  Ndoro    mengenai  kebijakan  mobil  murah  hanya  berdampak  negatif.
Jongkie  Sugiarto  tidak  memunculkan  unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda ketubuhan  apapun  untuk  mendukung  daya  bantah  yang  diungkapkannya,
sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui fenomena referensi.
Jongkie  Sugiarto  merujuk  kepada  pernyataan  Ndoro  yang  terkesan  menyalahkan GAIKINDO  dan  dampak  negatif  yang  ditimbulkan  mengenai  kebijakan  mobil
murah  tersebut.  Sebagai  ketua  GAIKINDO,  Jongkie  Sugiarto  mempunyai pengetahuan  awal  mengenai  dampak  positif  kebijakan  mobil  murah  bagi  APBN
negara yang tentunya akan membuat APBN semakin bertambah.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102  yang  memandang prinsip kesantunan
sebagai  piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Di dalam konteks tuturan
tersebut, Jongkie Sugiarto menyatakan bantahannya secara tidak langsung dengan menggunakan  kata  tanya  bagaimana  untuk  mengindikasikan  kebingungan
sekaligus  bantahannya  terhadap  tuturan  Ndoro  yang  terkesan  menyalahkan GAIKINDO.
Daya  bantah  yang  tidak  didukung  oleh  unsur  ekstralingual  berupa  tanda- tanda ketubuhan juga muncul dalam tuturan “Ndoro jangan asal nuduh gitu. Saya
itu  tidak  mengambil  dompetnya  Mbak  Asri.  Sumpah  Ndoro  mbok  digeledah, buk
an  saya  yang  ngambil  dompetnya”  SSDB22-09-20142.  Tuturan  tersebut dikatakan  oleh  Sentilun  yang  membantah  tuturan  Ndoro  sebelumnya  yang
menuduhnya mengambil dompet Asri Welas.
Unsur  intralingual  pada  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Ndoro  jangan
asal nuduh gitu”, untuk memunculkan daya bantah. Kalimat tersebut dipersepsi
sebagai  bantahan  Sentilun  terhadap  tuduhan  Ndoro  yang  mengatakan  bahwa dirinya  adalah  pencuri.  Sentilun  menggunakan  kalimat  tersebut  untuk
menimbulkan  efek  komunikatif  agar  Ndoro  tidak  menuduhnya  tanpa  bukti  yang jelas. Penutur tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan untuk mendukung daya
bantah  yang  diungkapkan,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan
melalui fenomena referensi. Sentilun menyangkal tuduhan Ndoro yang ada dalam
tuturan  sebelumnya.  Ndoro  menuduh    dirinya  telah  mencuri  dompet  Asri  Welas Tuturan  Ndoro  menuduh  yang  ditujuk  oleh  Sentilun  ditunjukkan  melalui  klausa
“yang nyopet pasti Sentilun”.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  salah  satu
indikator  penggunaan  bahasa  santun  menurut  Pranowo  2005  dan  2008,  dalam
Pranowo  2012:103,  yaitu  menjaga  agar  tuturan  selalu  memperlihatkan bahwa mitra tutur diposisikan pada tempat yang lebih tinggi sikap hormat.
Di  dalam  tuturan  tersebut,  Sentilun  memposisikan  Ndoro  sebagai  orang  yang dihormati  dengan  menyatakan  bantahannya  dengan  cara  meminta  bukti  kepada
Ndoro tidak mengedepankan emosi, melainkan fakta yang harus dibuktikan oleh Ndoro.
Daya  bantah  yang  muncul  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  ini  hanya dimunculkan  dalam  kalimat  sebagai  unsur  intralingualnya.  Daya  bantah  yang
ditemukan  ada  yang  memunculkan  maupun  tidak  memunculkan  tanda-tanda ketubuhan tertentu sebagai  pendukung bantahan terhadap pernyataan mitra tutur,
sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  hanya  dimunculkan  melalui  fenomena referensi, karena sebelum menyatakan bantahan tentunya penutur merujuk tuturan
mitra tutur sebelumnya yang dianggap tidak sepaham dengannya. Daya  bantah  yang  ditemukan  dalam  objek  penelitian  ada  yang  santun
maupun  tidak  santun  tergantung  unsur  intralingual  dan  ekstralingual  yang digunakan penutur.  Daya bantah santun  jika bantahan tersebut  dinyatakan secara
tidak  langsung  sesuai  indikator  kesantunan  Leech  yang  memandang  prinsip kesantunan  sebagai  piranti  untuk  menjelaskan  mengapa  penutur  sering  bertutur
secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya dan menghargai posisi mitra  tutur  kerena  memiliki  kedudukan  lebih  tinggi  sesuai  dengan  indikator
kesantunan  Pranowo  berupa  sikap  hormat.  Sebaliknya,  daya  batah  tidak  santun jika penutur langsung menyatakan bantahannya dengan sedikit menyalahkan mitra
tutur melanggar prinsip tenggang rasa. 4.2.1.6.3 Daya Ketidaksetujuan
Daya ketidaksetujuan merupakan bentuk penolakan yang digunakan untuk menyatakan rasa tidak setuju terhadap pendapat atau pernyataan seseorang, seperti
dalam  tuturan  “Ya  jadi  gini,  alasan  biaya  itu  alasan  yang  menurut  saya  tidak
pada tempatnya, kenapa?tentu kan demokrasi itu butuh biaya. Ya masa demokrasi nggak butuh biaya? Orang rapat saja kan butuh biaya. Tetapi tentu kan kita tidak
bisa  aple  to  aple  antara  pemilihan  umum  langsung  dengan  pemilihan  tidak langsung” SSDB22-09-201415. Tuturan tersebut dikatakan oleh Refly Harun
yang  mengetahui  alasan  DPR  mengajukan  RUU  Pilkada  melalui  DPRD,  yaitu karena dianggap berbiaya mahal.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“alasan biaya itu alasan  yang  menurut  saya
tidak  pada  tempatnya”,  untuk  memunculkan  daya ketidaksetujuan.  Klausa  tersebut  menggunakan  frasa
“menurut  saya”  untuk mengindikasikan  pendapat  penutur,  dan  frasa
“tidak  pada  tempatnya”  yang berarti  tidak  tepat  untuk  mengindikasikan  ketidaksetujuan  penutur.  Secara  utuh,
klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai  ketidaksetujuan  penutur  terhadap  DPR  yang mengajuan  RUU  Pilkada  dengan  alasan  berbiaya  tinggi.  Setelah  klausa  tersebut,
penutur  juga  memberikan  cara  untuk  menghemat  pengeluaran  saat  Pilkada langsung  untuk  menyadarkan  DPR  bahwa  alasan  biaya  merupakan  alasan  yang
tidak  tepat.  Penutur  tidak  memunculkan  tanda-tanda  ketubuhan  tertentu  untuk mendukung  daya  ketidaksetujuan,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks
dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.  Refly  Harun  mempunyai
pengetahuan awal mengenai alasan DPR untuk mengajukan RUU Pilkada melalui DPRD,  yaitu  karena  dianggap  berbiaya  mahal.  Sebagai  ahli  pakar  hukum  tata
negara, beliau mempunyai pendapat mengenai pembenahan anggaran  yang dapat dilakukan sehingga biaya tidak membengkak seperti anggapan DPR.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102  yang  memandang prinsip kesantunan
sebagai  piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering  bertutur secara tidak  langsung  dalam  mengungkapkan  maksudnya.  Tuturan  tersebut
menggunakan  klausa “tidak  pada  tempatnya”  untuk  menggantikan  maksud
penutur  yang  ingin  mengungkapkan  bahwa  DPR  hanya  membuat-buat  alasan pengajuan  RUU  Pilkada  melalui  DPRD  karena  ingin  mengambil  keuntungan
praktik money politik bagi orang yang ingin terpilih sebagai anggota dewan. Daya  ketidaksetujuan  yang  muncul  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  ini
hanya  menggunakan  klausa  sebagai  unsur  intralingualnya.  Daya  ketidaksetujuan yang  ditemukan  kebetulan  tidak  memunculkan  tanda-tanda  ketubuhan  apapun,
sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  hanya  dimunculkan  melalui  fenomena praanggapan,  karena  sebelum  menyatakan  ketidaksetujuan  tentunya  penutur
mempunyai  pengetahuan  mengenai  hal  yang  tidak  sesuai  dengan  pendapat penutur.    Daya  ketidaksetujuan  yang  ditemukan  dalam  objek  penelitian  santun
karena  menggunakan  kata-kata  kias  untuk  menyatakan  ketidaksetujuannya terhadap  RUU  Pilkada  yang  diajukan  oleh  DPRD  sesuai  indikator  kesantunan
Leech  yang  memandang  prinsip  kesantunan  sebagai  piranti  untuk  menjelaskan mengapa  penutur  sering  bertutur  secara  tidak  langsung  dalam  mengungkapkan
maksudnya.
4.2.1.7 Daya Pikat Daya pikat merupakan kekuatan bahasa untuk memengaruhi pikiran mitra
tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan. Daya pikat berusaha memengaruhi agar  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  mau  mengikuti  apa  yang  kita
ungkapkan.  Mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  bebas  untuk mengikuti apa yang diungkapkan oleh penutur atau tidak. Daya pikat ini biasanya
didukung  oleh  pemikiran  yang  logis  agar  mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud dalam  tuturan  mengikutinya.  Daya  pikat  yang  muncul  dalam  acara  Sentilan
Sentilun  diwujudkan  dengan  cara  menasihati,  merayu,  memberikan  saran  dan membujuk.
4.2.1.7.1 Daya Nasihat Daya  nasihat  merupakan  bentuk  pikat  yang  digunakan  untuk  menasihati
mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan.  Jika  daya  nasihat  ini  tidak diindahkan, maka akan ada dampak yang akan diterima oleh orang yang dinasihati
tersebut.  Perhatikan  tuturan  berikut:  “Menurut  analisis  saya,  pariwisata kita  ini Ndoro  sebenarnya  itu  bisa  belajar  dari  negara  yang  sudah  berkembang
” SSDB25-08-201419.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  yang
mengetahui  bahwa  ada  strategi  khusus  yang  diterapkan  Korea  yang  termasuk dalam negara berkembang sehingga sektor pariwisatanya menjadi semakin maju,
yaitu  dengan  cara  ikut  memperkenalkan  budaya  dan  hasil  bumi  yang  khas  di Korea.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupaa klausa
“pariwisata kita ini  Ndoro  sebenarnya  itu  bisa  belajar  dari  negara  yang  sudah  berkembang
”,
untuk  memunculkan  daya  nasihat.  Klausa  tersebut  menggunakan  kata
“bisa” berarti  mampu  melakukan  sesuatu  KBBI,2008:199,  sedangkan  kata
“belajar” berarti  berusaha  memperoleh  kepandaian  atau  ilmu  KBBI,2008:23.  Secara
keseluruhan,  klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai  nasihat  agar  bangsa  Indonesia berusaha  mencontoh  strategi-strategi  yang  diterapkan  negara  berkembang  seperti
Korea  untuk  membuat  industri  pariwisatanya  semakin  berkembang  dengan  cara ikut  memperkenalkan  budaya  dan  hasil  bumi  yang  kita  punya.  Sentilun  tidak
memunculkan  unsur  ekstraligual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  apapun  untuk mendukung  daya  nasihat,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan
melalui  fenomena  praanggapan.  Sentilun  mempunyai  pengetahuan  awal
mengenai  negara-negara  berkembang  yang  sudah  unggul  sektor  pariwisatanya seperti Korea. Negara tersebut mempunyai strategi khusus untuk membuat sektor
pariwisata  mereka  lebih  menarik  dengan  cara  ikut  memperkenalkan  budaya  dan hasil bumi yang khas di Korea.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  maxim Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  kebijakasanaan
“tact maxim tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Tuturan
tersebut  memberikan  keuntungan  kepada  bangsa  Indonesia  karena  nasihat  di dalamnya semata bertujuan untuk membuat industri pariwisata Indonesia semakin
berkembang dengan mempelajari strategi yang diterapkan oleh Korea. Daya nasihat ini juga bisa didukung oleh unsur ekstralingual berupa tanda-
tanda  ketubuhan  tertentu  tergantung  dari  keekspresifan  penutur,  seperti  dalam tuturan
“Jadi,  divisi  migas  ini  harus  berada  di  tengah.  Pengusahanya  happy,
rakyatnya  happy,  pemerintahnya  dapet  rejeki,  bahkan  ekonomi  bisa-bisa bergerak. Nah ini persoalannya ini  harus dipecahkan. Kedua, pertemuan di Bali
ini,  harus  membuat  suatu  skema  dimana  terjadi  kesinambungan.  Jadi,  antara pemerintahannya  SBY  dengan  pemerintahan  Jokowi  ini  kan  kesannya  sekarang
saling  ....  ini  bukan  ini  bukan,  maksudnya  kesannya  saling  gontok-gontokan  ya untuk menaikkan harga BBM, tidak ini ada kuota, antri semuanya segala macem.
Nah, sekarang harus semuanya legowo. Semuanya diturunkan ke bawah, lupakan semua  kepentingan-kepentingan  politik.  Bagaimana  caranya  kita  memikirkan
rakyat. Nah, harusnya kalau saya berpendapat. Mbok ya, apa ada lah sedikit apa steram buat pemerintah kedepan ini bisa bergerak lebih cepat daripada semuanya
itu bebannya diberikan kepada pemerintah ke depan untuk menaikkan BBM, jadi ini  mesti  semua  SSDB01-09-201412.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Riyad
Chairil  yang mengetahui kinerja pemerintahan Pak SBY selama ini kurang tegas dalam  menghadapi  masalah  kebijakan  BBM  dengan  maksud  memperoleh
pencitraan politik.
Unsur  intralingual  dalam tuturan tersebut  berupa  klausa
“sekarang harus semuanya  legowo
”,  untuk  memunculkan  daya  nasihat.  Klausa  tersebut
menggunakan  kata “sekarang”  mengindikasikan  saat  masa  pergantian  presiden,
kata “harus”  berarti  patut  atau  mesti  KBBI,2008:486  yang  mengindikasikan
suatu  nasihat,  kata “semuanya”  berarti  sekalian  KBBI,2008:1265  yang
mengindikasikan  Pak  SBY  dan  parpolnya  penutur  tidak  menggunakan penyebutan  langsung  untuk  memperhalus  tuturan,  sedangkan  kata
“legowo” berasal  dari  bahasa  jawa  yang  berarti  ikhlas  KJIIJ:  184.  Secara  utuh,  klausa
dipersepsi sebagai nasihat bagi Pak SBY dan parpolnya untuk bekerja ikhlas demi rakyat  dan  tidak  menggunakan  masalah  kebijakan  BBM  untuk  menimbulkan
pencitraan  partai  politiknya.  Daya  nasihat  diperkuat melalui  unsur  ekstralingual  yang  dimunculkan  Riyad
Chairil  berupa  gerakan  kedua  tangan  diangkat  dan diturunkan pelan-pelan. Gerakan tersebut digunakan untuk menekankan nasihat
bahwa  sekarang  semuanya  harus  legowo.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur
ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui    fenomena  praanggapan  atau
pengetahuan  Riyad  Chairil  mengenai  kinerja  pemerintahan  Pak  SBY  selama  ini kurang  tegas  dalam  menghadapi  masalah  kebijakan  BBM.  Kita  ketahui  bersama
bahwa selama sepuluh tahun pemerintahan Pak SBY, Indonesia telah mengalami tiga  kali  kenaikan  harga  dan  3  kali  penurunan  harga.  Melalui  pengetahuan  awal
tersebut,  penutur  dapat  melihat  bahwa  pemerintahan  Pak  SBY  kurang  serius menangani  masalah  BBM  dan  mengindikasikan  adanya  kepentingan  politik
didalamnya.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  maxim Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  kebijakasanaan
“tact maxim tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Tuturan
tersebut  memberikan  keuntungan  kepada  Pak  SBY  karena  penutur  memberikan nasihat  kepada  beliau  di  akhir  masa  jabatannya.  Kita  ketahui  bersama  saat  itu
sedang  terjadi  polemik  tentang  pembatasan  kuota  BBM  dengan  alasan  menjaga agar  subsidi  BBM  dapat  diberikan  sampai  akhir  tahun.  Keadaan  tersebut  hanya
dapat diantisipasi dengan menaikkan harga BBM karena trend minyak dunia pada saat itu mengalami kenaikan.
Daya  nasihat  yang  muncul  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  ini  dinyatakan dengan  menggunakan  unsur  intralingual  berupa  klausa.  Unsur  ekstralingual
berupa  tanda-tanda  ketubuhan  dalam  daya  nasihat  juga  bersifat  opsional tergantung  keekspresifan  penutur.  Unsur  ekstralingual  konteks  dalam  data  yang
diperoleh  hanya  menggunakan  fenomena  praanggapan  pengetahuan  awal  yang dimiliki  penutur,  karena  sebelum  menasihati  seseorang  pasti  terlebih  dahulu
penutur  mempunyai  pengetahuan  mengenai  hal  tersebut.  Daya  nasihat  yang ditemukan  dalam  objek  penelitian  selalu  dinyatakan  santun  karena  memberikan
keuntungan  kepada  penutur  melalui  nasihat  yang  diberikan  sesuai  dengan maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.1.7.2 Daya Rayuan Daya  rayuan  merupakan  bentuk  pikat  yang  digunakan  untuk  membuat
mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan tersanjung dan merasa bahwa penutur menghargainya, misalnya pada tuturan “Tadi nunggu ya? Giliran datang
menggerutu.  Jangan  ngambek  gitu  dong  dek  Chacha.  Kamu  tahu  nggak  kalau kamu  ngambek,  ta
mbah  cantik”  SSDB08-09-20141.  Tuturan  tersebut dikatakan  oleh  Cak  Lontong  yang  mengetahui  bahwa  Chacha  marah  kepadanya
karena dia tidak datang tepat waktu pada episode itu disandiwarakan bahwa Cak Lontong dan Chacha adalah sepasang kekasih.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Kamu  tahu nggak kalau kamu ngambek, tambah cantik
”, untuk memunculkan daya rayuan.
Kalimat tersebut  dipersepsi  sebagai  rayuan agar Chacha tidak marah lagi kepada Cak  Lontong.  Biasanya  orang  yang  marah  menunjukkan  ekspresi  cemberut  dan
tidak enak dilihat, namun untuk membuat Chacha tidak marah lagi, Cak Lontong malah  mengungkapkan  pujian  atas  ekspresi  tersebut.
Daya  rayuan  juga  diperkuat  oleh  unsur  ekstralingual
berupa  tangan  Cak  Lontong  yang  membawakan bunga untuk Chacha. Membawakan bunga adalah wujud kasih sayang dan juga
dapat  menjadi  tanda  permintaan  maaf  Cak  Lontong  karena  datang  terlambat. Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui
fenomena  praanggapan  atau  pengetahuan  awal  Cak  Lontong  bahwa  Chacha
marah kepadanya karena dia tidak datang tepat waktu. Melalui pengetahuan awal tersebut, Cak Lontong berusaha merayu Chacha agar mau memaafkannya.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  maxim
Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  tuturan  dapat  memberikan pujian  kepada  mitra  tutur  maksim  pujian  “praise  maxim”.  Daya  rayuan
yang ada dalam tuturan tersebut berusaha memberikan pujian kepada Chacha agar ia memaafkan Cak Lontong yang telah membiarkannya menunggu lama.
Daya  rayuan  yang  muncul  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  ini  dinyatakan dengan  menggunakan  satu  rangkaian  utuh  bisa  berupa  klausa  maupun  kalimat
dan  tidak  ada  kata-kata  khas  yang  digunakan.  Unsur  ekstralingual  berupa  tanda- tanda  ketubuhan  dalam  daya  rayuan  juga  bersifat  opsional  dan  kebetulan  dalam
data  yang ditemukan ada tanda-tanda ketubuhan  yang dimunculkan oleh penutur untuk  mendukung  daya  rayuan.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual
konteks  yang  hanya  menggunakan  fenomena  referensi  karena  rayuan  muncul akibat sebelumnya mitra tutur merasa kesal.  Daya rayuan  yang ditemukan dalam
objek  penelitian  termasuk  santun  karena  menyatakan  pujian  kepada  mitra  tutur sesuai dengan maksim pertimbangan Leech.
4.2.1.7.3 Daya Saran Daya  saran  merupakan  bentuk  pikat  yang  digunakan  untuk  memberikan
pertimbangan  kepada    mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan sebelum  mereka  melakukan  atau  mengambil  suatu  keputusan.  Daya  saran  ini
hanya  sekedar  memberikan  gambaran  kepada  mitra  tutur  atau  orang  yang dimaksud dalam tuturan mengenai dampak positif dan negatif mengenai suatu hal,
misalnya  pada  tuturan  “Memang  perlu  dipertimbangkan  daya  dukung  kota Jakarta ini ke depan ya. Karena kalau kita lihat kecenderungan sekarang, tingkat
urbanisasi  itu  makin  tinggi.  Memang  mereka  tidak  menjadi  penghuni  kota Jakartanya,  tapi  penghuni  pinggiran  Jakarta.  Nah,  bertumpuknya  orang  di
pinggiran  Jakarta  itu  menjadi  beban  untuk  jakarta.  Kenapa?  Karena  nyari duitnya di Jakarta. Karena nyari duit di jakarta maka butuh tambahan pelayanan
transportasi di Jakarta. Butuh tambahan sumber air bersih di kota jakarta. Butuh tambahan  tempat  buang  sampah  di  Jakarta,  dan  lain-lain.  Artinya  tambahan
penduduk itu menimbulkan banyak tambahan urusan pelayanan publik, termasuk tambahan  lahan  makam”  SSDB11-08-201420.  Tuturan  tersebut  dikatakan
oleh Andrinof yang mengetahui tingkat urbanisasi menuju Jakarta sangat tinggi.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“Artinya tambahan  penduduk  itu  menimbulkan  banyak  tambahan  urusan  pelayanan
publik
”,  untuk  memunculkan  daya  saran.  Klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai
hasil  analisa  berupa  kesimpulan  dari  apa  yang  telah  dituturkan  sebelumnya mengenai  daya  dukung  kota  jakarta.  Melihat  realita  yang  ada  pemerintah  harus
menambah pelayanan publik. Klausa tersebut  menggunakan kata “artinya”, yang
dalam  KBBI  2008:87  berarti  maksud  yang  terkandung.  Jadi,  maksud  yang terkandung  dalam  tuturan  tersebut  adalah  memberikan  informasi  tentang
pentingnya  penambahan  daya  dukung  kota  Jakarta.    Penutur  tidak memunculkan unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  apapun  yang  mendung  daya
saran,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui  fenomena
praanggapan. Pak Andrinof mempunyai pengetahuan mengenai kenyataan yang
ada saat ini bahwa tingkat urbanisasi menuju Jakarta sangat tinggi. Banyak orang yang  berbondong-bondong  pergi  ke  Jakarta  untuk  mencari  pekerjaan,  walaupun
mereka tidak tinggal di Jakarta melainkan di pinggiran Jakarta.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  maxim Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  kebijakasanaan
“tact maxim tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Tuturan
tersebut  memberikan  keuntungan  berupa  saran  yang  diungkapkan  oleh  penutur berdasarkan  hasil  analisanya  dengan  melihat  kenyataan  yang  ada  bahwa
pemerintah  harus  memikirkan  tambahan  pelayanan  pubik  karena  penduduk  di Jakarta semakin banyak.
Daya  saran  juga  muncul  dalam  tuturan  “Nah  itu  dia  makannya  memang perlu  dipertimbangkan  soal  apakah  memindahkan  kota  pemerintahan.  Ibu  kota
pemerintahan  ya  ke  luar  jawa,  misalnya  ke  Kalimantan  atau  membikin  pusat-
pusat  pertumbuhan  di  luar  jawa  sehingga  arah  pergerakan  penduduk  yang  dari desa-desa  di  Jawa  Tengah,  Jawa  Timur  itu  ini  kebanyakan  dari  Jawa  Tengah,
Jawa Timur. Yang karena itu kelihatan dari pertumbuhan penduduk Jawa Tengah itu  yang  rendah  sementara  Jabodetabek  itu  tinggi  sekali.  Lima  persen  itu
mengindikasikan  penduduk  ini  bergerak  dari  Jawa  Tengah,  Jawa  Timur  dan sebagian  Jawa  Barat  ke
Jakarta.  Jakarta  ini  bukan  Jakarta,  pinggir  Jakarta” SSDB11-08-201421.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Andrinof  yang
mengetahui  penyebab  kepadatan  kota  Jakarta  adalah  tingkat  urbanisasi  yang semakin tinggi dari tahun ke tahun.
Unsur  intralingual  yang  digunakan  untuk  memunculkan  daya  saran adalah  berupa  klausa
“perlu  dipertimbangkan  soal  apakah  memindahkan  kota pemerintahan
”.  Klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai  saran  terhadap  pemerintah untuk mulai memikirkan pemindahan kota pemerintahan. Hal ini perlu dilakukan
melihat  tingkat  urbanisasi  penduduk  yang  semakin  tinggi  di  Jakarta  setiap  tahun dan  lahan  yang  semakin  sempit.  Padahal,  sebenarnya  ada  wilayah  di  Indonesia
yang masih mempunyai lahan luas dan memiliki berbagai potensi, sehingga dapat dijadikan  pertimbangan  sebagai  alternatif  pemindahan  kota  pemerintahan,
misalnya  di  Kalimatan.  Pak  Andrinof    juga  tidak  memunculkan  unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tertentu untuk mendukung daya saran
yang  disampaikan,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui
fenomena  praanggapan.  Pak  Andrinof  mempunyai  pengetahuan  mengenai
padatnya  kota  Jakarta  yang  disebabkan  oleh  tingkat  urbanisasi  yang  semakin meningkat  dari  tahun  ke  tahun.  Orang-orang  yang  melakukan  urbanisasi  ke
Jakarta  kebanyakan  berasal  dari  daerah  Jawa  Tengah  dan  Jawa  Timur.  Pak Andrinof  juga  mempunyai  pengetahuan  mengenai  potensi  daerah  Kalimantan
yang  dari  segi  geologi  dan  pertimbangan  beberapa  aspek  luas  wilayah,  daya dukung,  jarang  terjadi  gempa  memenuhi  syarat  untuk  dijadikan  sebagai  tempat
pemindahan ibu kota.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  maxim Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  kebijakasanaan
“tact maxim tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Tuturan
tersebut memberikan
keuntungan kepada
pemerintah karena
penutur menyampaikan  hasil  analisanya  berupa  saran  untuk  memindahkan  ibu  kota
pemerintahan ke tempat  lain  yang memiliki potensi  lebih baik  dari pada  Jakarta, yaitu Kalimatan. Kita ketahui bersama bahwa Jakarta adalah sebuah provinsi yang
kecil dan sudah terlalu penuh untuk menampung penduduk yang terus meningkat setiap  tahunnya.  Penutur  berbaik  hati  dengan  memberikan  pendapatnya
berdasarkan  pengetahuan  yang  ia  miliki  bahwa  Kalimantan  memenuhi  kriteria untuk dijadikan sebagai pemindahan pusat pemerintahan.
Daya  saran  juga  dapat  muncul  dalam  unsur  intralingual  berupa  kalimat, seperti pada tuturan “Sebetulnya gitu ya, yang orang kaya yang mobil mewah itu
dia  kan  pasti  merawat  mobilnya  di  bengkel  resmi.  Kenapa  nggak  dicabut  aja garansi  mobilnya?
”SSDB15-09-201417.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh Bambang  Sugiarto  yang  mengetahui  beberapa  kebijakan  yang  dikeluarkan  oleh
pemerintah  dan  GAIKINDO  yang  tidak  dapat  memberikan  efek  jera  bagi  para
pemilik mobil mewah, misalnya kebijakan stikerisasi dan pemasangan spanduk di pom bensin.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa  kalimat
“Kenapa nggak dicabut  aja  garansi  mobilnya?
”,  untuk  memunculkan  daya  saran.  Kalimat
tersebut  dipersepsi  sebagai  saran  yang  ditujukan  kepada  lembaga  GAIKINDO untuk  memberlakukan  kebijakan  pencabutan  garansi  bagi  mobil  yang  ketahuan
menggunakan  BBM  bersubsidi.  Penutur  menggunakan  kalimat  tanya  agar Bambang  Sugiarto  mempertimbangkan  saran  yang  dikemukakan.  Pernyataan
tersebut  dimaksudkan  untuk  memengaruhi  pemikiran  ketua  GAIKINDO  untuk memberlakukan  saran  tersebut.  Bambang  Sugiarto  tidak  memunculkan  unsur
ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tertentu untuk mendukung daya saran yang  disampaikan,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui
fenomena praanggapan. Sebagai akademisi teknik mesin UI, Bambang Sugiarto
mempunyai  pengetahuan  lama  mengenai  beberapa  kebijakan  yang  dikeluarkan oleh  pemerintah  dan  GAIKINDO  yang  tidak  dapat  memberikan  efek  jera  bagi
para  pemilik  mobil  mewah,  misalnya  kebijakan  stikerisasi  dan  pemasangan spanduk di pom bensin.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  maxim Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  kebijakasanaan
“tact maxim tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Tuturan
tersebut  memberikan  keuntungan  kepada  pemerintah  dan  GAIKINDO  dengan memberikan  saran  mengenai  pencabutan  garansi  bagi  mobil  mewah  yang
ketahuan menggunakan BBM bersubsidi. Penutur berbaik hati memberikan saran
karena  ia  melihat  selama  ini  kebijakan  yang  di  ambil  oleh  pemerintah  dan GAIKINDO kurang efektif untuk menimbukan efek jera bagi para pemilik mobil
mewah yang menggunakan BBM bersubsidi Daya  saran  yang  muncul  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  ini  dinyatakan
dengan  menggunakan  satu  rangkaian  utuh  bisa  berupa  klausa  maupun  kalimat dan  tidak  ada  kata-kata  khas  yang  digunakan  tergantung  saran  yang
disampaikan.  Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  dalam  daya saran  yang  digunakan  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  tidak  muncul.  Selain  itu
terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  hanya  dimunculkan  melalui fenomena  praanggapan  karena  saran  yang  diberikan  tentu  didasari  oleh
pengetahuan  penutur  mengenai  suatu  hal  dampak  baik  dan  buruknya.  Daya saran  yang  ditemukan  dalam  objek  penelitian  selalu  dinyatakan  santun  karena
memberikan  keuntungan  kepada  mitra  tutur  dalam  wujud  saran  sesuai  dengan maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.1.7.4 Daya Bujuk Daya  bujuk  merupakan  bentuk  pikat  yang  digunakan  untuk  meyakinkan
mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan bahwa apa yg dikatakan oleh penutur benar. Daya bujuk ini biasanya disertai alasan logis agar mitra tutur atau
orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  bisa  memercayai  dan  mengikuti  bujukan penutur, misalnya pada tuturan
“Kalau saya pribadi, saya nggak mempersoalkan. Gubernur  kita  itu  dari  suku  apa,  kalangan  apa,  dari  apalah  gitu.  Yang  penting
betul-betul mau bekerja untuk Jakarta. Jadi memperbaiki kota Jakarta agar kita, masyarakatnya semakin aman. Penduduknya juga nggak was-was kalau kemana-
mana.  Karena  kita  bisa  lihat  kenyataannya,  Jakarta  milik  orang  banyak  bukan hanya  milik  satu  golongan  SSDB11-08-20145.  Tuturan  tersebut  dikatakan
oleh  Asti  Ananta  yang  menyetujui  Pak  Ahok  menjadi  gubernur  karena sebelumnya  dia  sudah  melihat  kinerja  beliau  yang  dianggap  baik  ketika  menjadi
wakil gubernur.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Karena  kita bisa  lihat  kenyataannya,  Jakarta  milik  orang  banyak  bukan  hanya  milik  satu
golongan
”, untuk memunculkan daya bujuk. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai
pendapat penutur  yang berfungsi meyakinkan khalayak umum untuk mendukung Pak  Ahok  menjadi  Gubernur  Jakarta  fungsi  direktif.  Kalimat  tersebut
mengandung  maksud  bahwa  yang  bisa  kita  lihat  sekarang,  warga  Jakarta  terdiri dari  berbagai  suku  dan  agama.  Kita  tidak  boleh  mencurigai  Pak  Ahok  dengan
alasan berasal dari etnis Tionghoa. Seluruh warga Jakarta hendaknya juga melihat kenyataan  yang  ada  bahwa  selama  menjadi  wakil  gubernur,  beliau  menunjukkan
kinerja  yang  baik  untuk  memperbaiki  Jakarta.  Daya Bujuk  juga  diperkuat  dengan  penggunaan  unsur
ekstralingual berupa gerakan kedua tangan diangkat membentuk  lingkaran.  Gerakan  tersebut  mengindikasikan  bahwa  Jakarta  milik
orang banyak yang memperkuat keyakinan penutur terhadap tidak pentingnya asal golongan  seorang  pemimpin.  Unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui
fenomena  tindak  tutur.  Di  dalam  tuturan  Asti  Ananta  tersebut  mengandung
tindak  lokusi  berupa  pernyataan  pendapat,  tindak  lokusi  agar  masyarakat  yakin mengenai kinerja Pak Ahok yang telah dibuktikan selama menjadi wakil gubernur
tidak  hanya  memandang  bahwa  Pak  Ahok  keturunan  Tionghoa,  dan  tindak ilokusi  agar  warga  Jakarta  benar-benar  mendukung  Pak  Ahok  menjadi  gubernur
Jakarta.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  salah  satu indikator  kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  tuturan  tersebut,  Asti  Ananta  memberikan
keuntungan  kepada  Pak  Ahok  dengan  mengatakan  sesuatu  yang  positif berdasarkan  apa  yang  ia  lihat  dan  tidak  ikut-ikutan  pihak  yang  menentang  Pak
Ahok  sebagai  gubernur.  Prasangka  baik  yang  diutarakan  oleh  Asti  mempunyai maksud  untuk  membujuk  seluruh  warga  Jakarta  agar  mendukung  Pak  Ahok
sebagai gubernur. Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  yang  digunakan  untuk
mendukung daya b ujuk juga muncul dalam tuturan “Jadi pariwisata itu sekarang
gini,  kedatangan  di  kita  ya?  Walaupun  kita  banding-bandingkan  setelah  cukup bagus  sudah  sembilan  juta  hampir.  Bayangin  kalau  dia  satu  aja  beli  souvenir
saking medite satu aja, kali tujuh hari, kali tiga kali makan berapa tu? Belum lagi kalau  kita  juga  lihat  kita  ini  juga  sudah  banyak  yang  berwisata  dalam  negeri.
Dan  wisata  dalam  negeri  juga  tidak  kalah.  Mereka  juga  beli  souvenir. Umpamanya  ke  Cirebon  beli  batik”  SSDB15-08-20149.  Tuturan  tersebut
dikatakan  oleh  Sapta  Nirwandar  yang  mengetahui  bahwa  sektor  pariwisata semakin  berkembang  dari  tahun  ke  tahun,  hal  ini  dapat  dilihat  dari  peningkatan
jumlah  wisatawan  asing  dan  domestik  yang  mengunjungi  objek-objek  wisata tertentu.
Tuturan tersebut mengandung daya bujuk yang ditunjukkan melalui unsur intralingual  berupa  kalimat
“Bayangin  kalau  dia  satu  aja  beli  souvenir  saking medite  satu  aja,  kali  tujuh  hari,  kali  tiga  kali  makan  berapa  tu?
”.  Kalimat tersebut merupakan kalimat tanya namun bukan dimaksudkan untuk menanyakan,
melainkan agar seluruh rakyat  Indonesia tertarik  untuk  membuat  industri kreatif. Kalimat  tersebut  menggunakan  kata
“bayangin”  agar  rakyat  Indonesia  dapat membayangkan keuntungan yang akan diperoleh bila mereka mendirikan industri
kreatif.  Secara  utuh,  kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  bujukan  secara  halus dengan  cara  diberikan  gambaran  mengenai  keuntungan  yang  akan  didapat.
Bujukan  tersebut  dilakukan  agar  rakyat  Indonesia  mendirikan  industri  kreatif. Daya  bujuk  juga  diperkuat  dengan  unsur
ekstralingual  yang  dimunculkan  oleh  Sapta
Nirwandar  berupa  gerakan  tangan  kanan diangkat dan mengacukan satu jari. Gerakan ini digunakan untuk menekankan
pengimajinasian mengenai satu orang membeli satu souvenir. Unsur ekstralingual
konteks  dalam  tuturan  tersebut  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.
Sebagai  wakil  menteri  pariwisata  dan  industri  kreatif,  Sapta  Nirwandar mempunyai pengalaman serta analisa  yang tepat untuk melihat peluang kedepan.
Beliau mempunyai pengetahuan mengenai sektor pariwisata yang terus meningkat dari  tahun  ke  tahun  dan  mendatangkan  wisatawan  baik  domestik  maupun  luar
negeri.  Hal  tersebut  merupakan  peluang  bagi  industri  kreatif  terutama  industri pembuatan souvenir.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  salah  satu
Indikator  kesantunan  menurut  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103  yang
mengungkapkan  bahwa  tuturan  santun  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur
maksim kebijaksanaan “tact  maxim”. Tuturan tersebut
memberikan  keuntungan  bagi  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  rakyat Indonesia,  yaitu  berupa  bujukan  untuk  membuat  industri  kreatif  dalam  bidang
souvenir  karena  dapat  mendatangkan  laba  yang  besar.  Sapta  Nirwandar  berbaik hati memberikan pengetahuan tersebut karena beliau mampu membaca peluang ke
depan  bahwa  industri  kreatif  berupa  souvenir  ini  akan  banyak  diminati  seiring terus bertambahnya jumlah wisatawan dari tahun ke tahun.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan ini tidak selalu muncul dan mendukung daya bujuk, seperti pada tuturan “Jadi pemimpin itu yang dipilih
siapa yang paling layak dari segi kemampuan maupun dari segi kepribadiannya, ya.  Bukan  untuk  memimpin  satu  kepentingan  golongan,  kepentingan  sempit,
bukan ”  SSDB11-08-20146.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Andrinof  yang
mengetahui  kinerja  Pak  Ahok  selama  menjadi  wakil  gubernur  yang  dinilainya cukup baik dan tidak pernah melakukan sesuatu yang merugikan warga Jakarta.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Jadi pemimpin itu yang dipilih siapa yang paling layak dari segi kemampuan maupun dari segi
kepribadiannya,  ya
”,  untuk  memunculkan  daya  bujuk.  Kalimat  tersebut
dipersepsi  sebagai  pendapat  penutur  yang  berfungsi  memengaruhi  pandangan
khalayak  umum  untuk  mendukung  Pak  Ahok  menjadi  Gubernur  Jakarta  fungsi direktif.  Kalimat  tersebut  bermaksud  mengubah  padangan  publik  mengenai  isu
yang  berdar  bahwa  jika  Pak  Ahok  diangkat  sebagai  gubernur,  maka  beliau  akan mendahulukan  kepentingan  golongannya  etnis  Tionghoa.  Isu  tersebut  tidak
benar, karena Pak Ahok dipilih karena memang kemampuan dan kepribadiannya baik  dan  dianggap  layak  untuk  memimpin  Jakarta  dilihat  berdasarkan
pengetahuan  lama  Pak  Andrinof.  Pak  Andrinof  tidak  memunculkan  unsur ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  untuk  mendukung  daya  bujuk,
sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui  fenomena
praanggapan.  Sebagai  pengamat  kebijakan  publik,  Pak  Andrinof  mempunyai
pengetahuan  mengenai  kepribadian  seseorang  yang  layak  untuk  dijadikan pemimpin seperti mempunyai rasa tanggung jawab tinggi, tegas, dan mau bekerja
untuk  rakyat.  Pak  Andrinof  juga  mempunyai  pengetahuan  mengenai  kinerja  Pak Ahok  selama  menjadi  wakil  gubernur  yang  dinilainya  cukup  baik  dan  tidak
pernah melakukan sesuatu yang merugikan warga Jakarta.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  salah  satu indikator  kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Pak  Andrinof
memberikan keuntungan kepada Pak Ahok dengan cara membujuk warga Jakarta untuk  mendukung  Pak  Ahok  dengan  berbicara  sesuatu  yang  positif  mengenai
kinerja Pak Ahok selama ini.
Daya  bujuk  yang  muncul  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  ini  dinyatakan dengan  menggunakan  satu  rangkaian  utuh  bisa  berupa  klausa  maupun  kalimat
dan  tidak  ada  kata-kata  khas  yang  digunakan  tergantung  bujukan  yang disampaikan.  Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  dalam  daya
bujuk yang digunakan dalam acara Sentilan Sentilun bisa muncul atau tidak sesuai dengan  keekspresifan  penutur.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual
konteks  yang  hanya  menggunakan  fenomena  praanggapan  karena  bujukan didasarkan  pada  sesuatu  yang  diketahui  penutur  sebelumnya  dan  tindak  tutur
karena  bujukan  dapat  dinyatakan  secara  tidak  langsung.  Daya  bujuk  yang ditemukan dalam objek penelitian selalu santun karena bujukan merupakan usaha
untuk  memengaruhi  mitra  tutur  dengan  mengatakan  sesuatu  yang  positif mengenai suatu hal sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.1.8 Daya Dugaan Daya  dugaan  merupakan  kekuatan  bahasa  untuk  memperkirakan  sesuatu
yang  sedang  terjadi.  Perkiraan  ini  menyangkut  pendapat  subjektif  penutur terhadap  fenomena  yang  sedang  terjadi.  Daya  dugaan  ini  muncul  didasarkan
kepada  kecurigaan  penutur  terhadap  suatu  hal,  misalnya  dalam  tuturan “Begini,
begini jadi menteri itu harus saling berkoordinasi. Jangan-jangan sering apa itu namanya, sering ke luar negeri apa namanya, study banding. Nah . . . buat apa,
nggak zamannya lagi” SSDB08-09-201422. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro  yang  menganggap  studi  banding  yang  dilakukan  para  pejabat  lalu  hanya
merupakan wujud pemborosan.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Jangan-jangan sering  apa  itu  namanya,  sering  ke  luar  negeri  apa  namanya,  study  banding”,
untuk  memunculkan  daya  dugaan.  Kalimat  tersebut  menggunakan  kata  ulang
“jangan-jangan”  yang  mengindikasikan  kecurigaan.  Kalimat  tersebut  dipersepsi sebagai  dugaan  terhadap  menteri  yang  studi  banding  ke  luar  negeri  memiliki
kepentingan  lain,  yaitu  jalan-jalan.  Studi  banding  sebenarnya  hanya  merupakan pemborosan  uang  negara  dan  kadang  dianggap  tidak  efektif  serta  mubadzir.
Tuturan  tersebut  tidak  didukung  oleh  unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda ketubuhan  tertentu,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui
fenomena  praanggapan.  Ndoro  menganggap  studi  banding  yang  dilakukan  para
pejabat lalu hanya merupakan wujud pemborosan. Studi banding hanya dijadikan dalih  bagi  mereka  untuk  jalan-jalan  keluar  negeri  menggunakan  uang  negara.
Ndoro  melihat  kenyataan  yang  ada  berdasarkan  berita  ditelevisi  yang  banyak meliput  kegiatan  pejabat  diluar  negeri  saat  study  banding.  Mereka  cenderung
mempunyai kepentingan lain, yaitu sekedar jalan-jalan dan berbelanja.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  indikator kesantunan  Pranowo  2005,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  adu  rasa
penutur  tidak  mempertemukan  perasaannya  dengan  mitra  tutur.  Daya
dugaan  yang  muncul  dalam  tuturan  tersebut  didasarkan  pada  kecurigaan  Ndoro terhadap  adanya  modus  tertentu  di  balik  studi  banding  yang  dilakukan  para
pejabat,  yaitu jalan-jalan ke luar negeri dengan menggunakan uang negara. Daya dugaan tersebut secara tidak langsung menuduh para pejabat hanya menghabiskan
uang  negara  dengan  dalih  studi  banding  tanpa  ada  bukti  yang  jelas  sehingga dapat membuat orang yang dimaksud dalam tuturan tersinggung.
Daya  dugaan  yang  muncul  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  ini  mempunyai ciri khas, berupa penggunaan kata ulang
“jangan-jangan” untuk mengindikasikan dugaan penutur. Namun  kata
“jangan-jangan” tidak dapat berdiri sendiri karena maksudnya  baru  tersampaikan  setelah  berada  dalam  kalimat  atau  paling  tidak
klausa. Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian, kebetulan  hanya  ditemukkan  satu  daya  dugaan.  Daya  dugaan  tersebut
menggunakan  unsur  intralingual  berupa  kalimat  dan  tidak  memunculkan  unsur ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan.  Hal  ini  dikarenakan  unsur
ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  dalam  daya  dugaan  juga  bersifat opsional dan tergantung pada keespresifan penutur.
Selain  itu,  ditemukan  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  hanya menggunakan  fenomena  praanggapan  karena  sebelum  menyampaikan  dugaan
mengenai  suatu  hal  tentunya  penutur  telah  mempunyai  pengetahuan  tentang  hal tersebut. Daya dugaan yang ada dalam acara Sentilan Sentilun tidak santun karena
didasarkan  pada  perasaan  curiga  terhadap  mitra  tutur  tanpa  didasari  bukti melanggar indikator kesantunan Pranowo, yaitu adu rasa.
4.2.2 Analisis Unsur Intralingual dan Ekstralingual Nilai Rasa Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi
Nilai rasa bahasa merupakan kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan  karena  penutur  mengungkapkan  domain  afektifnya  menggunakan  bahasa
dalam  berkomunikasi  sehingga  mitra  tutur  dapat  menyerap  kadar  perasaan  yang terdapat  dalam  tuturan.  Nilai  rasa  bahasa  ini  dapat  diungkapkan  melalui  unsur
intralingual bunyi, kata dan pilihan kata, frasa, klausa, dan kalimat dan diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan ekspresi wajah, bahasa
tubuh serta selalu mengandung fenomena konteks tertentu yang digunakan untuk mengetahui kadar rasa suatu tuturan.
Pemanfaatan unsur intralingual dan  ekstralingual  tersebut  digunakan  agar mitra tutur dapat menyerap kadar perasaan tuturan yang diucapkan oleh penutur.
Ada berbagai macam kadar perasaan yang ingin disampaikan oleh penutur dengan perantara  bahasa  yang  digunakan  baik  verbal  maupun  non  verbal,  seperti  rasa
takut,  simpati,  sedih,  gembira  dan  lain  sebagainya.  Berdasarkan  hasil pengumpulan  data  yang  dilakukan  pada  9  episode  Sentilan  Sentilun  yang  telah
ditetapkan  sebagai  objek  penelitian,  terdapat  15  penggolongan  jenis  nilai  rasa bahasa yang ditemukan, yaitu: nilai rasa takut, nilai rasa sedih, nilai rasa gembira,
nilai  rasa  marah,  nilai  rasa  halus,  nilai  rasa  yakin,  nilai  rasa  simpatik,  nilai  rasa cengang, nilai rasa merasa bersalah, nilai rasa ikhlas, nilai rasa religius, nilai rasa
sombong, nilai rasa serius, nilai rasa kasar dan nilai rasa malu. Penggolongan tersebut didasarkan pada unsur intralingual yang digunakan
maupun  unsur  ekstralingual  yang  menyertai  suatu  tuturan  baik  tanda-tanda ketubuhan  maupun  konteks  yang  dapat  memunculkan  nilai  rasa  bahasa.  Secara
terperinci, penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa bahasa akan dibahas sebagai berikut.
4.2.2.1 Nilai Rasa Takut Nilai rasa takut merupakan kadar perasaan tuturan yang mengandung rasa
gentar  ngeri  karena  akan  menghadapi  sesuatu  yang  dianggap  merugikan.  Nilai rasa  takut  selalu  muncul  karena  penutur  mempunyai  pengetahuan  mengenai  hal
atau  tindakan  yang  dianggap  dapat  merugikan  diri  sendiri  maupun  pihak  lain. Nilai  rasa  takut  dapat  ditunjukkan  melalui  berbagai  perasaan  seperti  khawatir,
ragu, sia-sia dan curiga. 4.2.2.1.1 Nilai Rasa Khawatir
Nilai  rasa  khawatir  adalah  bentuk  ketakutan  berupa  perasaan  gelisah  dan cemas terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti kebenarannya. Nilai
rasa khawatir ini biasanya muncul ketika banyak isu yang beredar mengenai suatu hal  atau  sudah  ada  orang  yang  pernah  mengalami  hal  yang  dikhawatirkan.
Perhatikan tuturan berikut: “Saya ini, saya ini khawatir sebenarnya, ini berkaitan
dengan  nanti  kalau  subsidi  BBM  dikurangi,  artinya  kan  terjadi  kenaikan  harga BBM”  SSNRB01-09-201417.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Cak  Lontong
yang  mengetahui  dampak  yang  akan  terjadi  jika  subsidi  BBM  dikurangi,  yaitu akan  terjadinya  kenaikan  harga  BBM  dan  berimbas  pada  kenaikan  harga  bahan-
bahan pokok.
Unsur intralingual  dalam tuturan tersebut  berupa  kalimat
“Saya ini, saya ini  khawatir  sebenarnya,  ini  berkaitan  dengan  nanti  kalau  subsidi  BBM
dikurangi,  artinya
kan terjadi kenaikan harga BBM”, untuk memunculkan nilai rasa  khawatir.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  kekhawatiran  Cak  Lontong
terhadap wacana kenaikan harga BBM  yang akan berimbas  pada kenaikan harga
bahan  pokok.  Bila  hal  tersebut  terjadi,  maka  beban  rakyat  kecil  akan  semakin berat  karena  daya  beli  mereka  semakin  rendah.  Rakyat  kecil  harus  bekerja  lebih
keras lagi untuk mendapatkan uang agar kebutuhan pokok mereka tercukupi. Nilai rasa  khawatir  didukung  oleh  unsur  ekstralingual    tanda-
tanda ketubuhan berupa gerakan tangan kanan diangkat ke  samping  pelipis  sambil  mata  terpejam.    Gerakan  tersebut  mengindikasikan
bahwa  Cak  Lontong  sedang  berpikir  mengenai  dampak  kenaikan  harga  BBM yang membuatnya khawatir. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual  konteks
yang  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan  atau  pengetahuan  awal  Cak
Lontong  mengenai  dampak  yang  akan  terjadi  jika  subsidi  BBM  dikurangi,  yaitu akan  terjadinya  kenaikan  harga  BBM.  Kenaikan  harga  BBM  tersebut  akan
berimbas  pada  kenaikan  harga  bahan-bahan  pokok  yang  nantinya  juga  akan memberatkan rakyat miskin.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983  dalam  Pranowo,  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  tuturan  tersebut,  Cak  Lontong  berusaha
memberikan  keuntungan  kepada  seluruh  rakyat  Indonesia  sebagai  orang  yang dimaksud dalam tuturan  berupa pemberian informasi mengenai wacana kenaikan
harga BBM yang dapat memyababkan harga kebutuhan pokok meningkat. Nilai  rasa  khawatir  juga  muncul  dalam  tuturan
“Yah maksud saya begini lho Pakde, jadi nanti kalau Cak Lontong bener-bener jadi menteri e . . .saya sih
tapi  takut  gitu  e.kira-kira  Cak  Lontong  akan  tetap  sayang  nggak  ya  sama  saya
SSNRB08-09-201423.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Chacha  yang mengetahui  banyaknya  kasus  lelaki  yang  melupakan  wanita  yang  selalu
mendukung dan mendoakannya saat sudah menjadi orang yang sukses.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa    kalimat
“saya sih tapi takut gitu e.kira-kira Cak Lontong akan tetap sayan
g nggak ya sama saya”, untuk
memunculkan nilai rasa khawatir. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai ungkapan
kekhawatiran Chacha terhadap sikap Cak Lontong yang akan berubah jika sudah resmi  menjadi  menteri.  Rasa  khawatir  Chacha  mencul  akibat  pengetahuannya
mengenai  banyaknya  laki-laki  yang  melupakan  wanita  yang  selalu  mendukung dan  mendoakannya  setelah  sukses.  Nilai  rasa
khawatir  juga  didukung  oleh  unsur    ekstralingual tanda-tanda  ketubuhan  yang  dimunculkan  oleh
Chacha  berupa  gerakan  kedua  tangan  diangkat  ke depan dada sambil memunculkan ekspresi wajah khawatir. Gerakan tersebut
mengindikasikan  ketakutannya  terhadap  Cak  Lontong  yang  akan  berubah  tidak menyayanginya  lagi  saat  sudah  resmi  menjadi  menteri.  Selain  itu,  terdapat  juga
unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.
Chacha  mempunyai  pengetahuan  mengenai  banyaknya  kasus  lelaki  yang melupakan wanita yang selalu mendukung dan mendoakannya saat sudah menjadi
orang yang sukses. Chacha khawatir Cak Lontong akan meninggalkannya setelah menjadi menteri seperti lelaki kebanyakan.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  tidak  santun  karena  melanggar  salah  satu maxim  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  kebijaksanaan
“tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur.
Tuturan  tersebut  menimbulkan  kerugian  terhadap  Cak  Lontong  sebagai  mitra tutur  karena  Chacha  berprasangka  buruk  bahwa  dirinya  akan  meninggalkan
Chacha seperti lelaki kebanyakan.
Nilai  rasa  khawatir  juga  dapat  muncul  karena  sebelumnya  penutur  telah mempunyai  anggapan  tentang  suatu  sikap  yang  akan  diambil  oleh  seseorang
karena latar belakang tertentu, seperti pada tuturan “Kelihatannya problem yang akan  datang  ini,  DPRnya...he....
”  SSNRB01-09-201419.  Tuturan  tersebut dikatakan  oleh  Ndoro  yang  mengetahui  KMP  merupakan  kubu  oposisi  Pak
Jokowi dan saat ini banyak anggota DPR yang berasal dari KMP.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Kelihatannya problem  yang  akan  datang  ini,  DPRnya...he....
”,  untuk  memuncukan  nilai  rasa khawatir. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai rasa khawatir Ndoro terhadap DPR
yang  akan  mencekal  setiap  kebijakan  pemerintahan  Jokowi.  Ndoro  khawatir karena melihat saat ini anggota DPR banyak berasal dari koalisi merah putih. Kita
ketahui bersama bahwa KMP dan KIH saat ini terkesan saling bermusuhan. Ndoro takut  nantinya  DPR  yang  berasal  dari  KMP  akan
mempersulit setiap kebijakan yang diambil oleh Pak Jokowi.  Nilai  rasa  khawatir  juga  didukung  oleh
unsur  ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  berupa
gerakan  tangan  kanan  Ndoro  yang  menggaruk-garuk  pipi.  Gerakan  tersebut
menandakan bahwa beliau sedang berpikir mengenai dampak yang akan terjadi ke depan  melihat  nggota  DPR  banyak  yang  berasal  dari  KMP,  pikiran  tersebut
memunculkan rasa khawatir Ndoro mengenai DPR yang akan mencekal kebijakan Pak  Jokowi.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang
dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.  Ndoro  memiliki  pengetahuan
mengenai  anggota DPR yang kebanyakan berasal dari Koalisi  Merah Putih. Kita ketahui  bersama  bahwa  Koalisi  Merah  Putih  merupakan  koalisi  oposisi  Pak
Jokowi  saat  pilpres.  Penutur  menduga  berdasarkan  pengetahuan  awal  yang dimiliki bahwa DPR  tidak akan mendukung kebijakan pemerintahan Pak Jokowi
dengan alasan dendam politik.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  salah  satu maxim  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  kebijaksanaan
“tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur.
Tuturan  tersebut  menimbulkan  kerugian  terhadap  DPR  sebagai  orang  yang dimaksud  dalam  tuturan  karena  Ndoro  berprasangka  buruk  dengan  memastikan
bahwa  anggota  DPR  yang  berasal  dari  KMP  akan  mencekal  kebijakan  Pak Jokowi.  Prasangka  buruk  tersebut  muncul  karena  didasarkan  fakta  yang  ada
bahwa KMP merupakan kubu oposisi Pak Jokowi. Berdasarkan  beberapa  contoh  data  tuturan  yang  diambil  dari  Acara
Sentilan  Sentilun  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  unsur  intralingual  yang digunakan  oleh  presenter  dan  bintang  tamu  dalam  acara  tersebut  untuk
memunculkan nilai rasa khawatir adalah berupa kalimat. Walaupun ada satu kata yang dominan untuk mengindikasikan nilai rasa khawatir seperti kata
“khawatir”, tetapi kata tersebut tidak dapat dipisahkan dari kalimat. Kata tersebut tidak dapat
berdiri  sendiri  karena  makna  dan  kadar  rasanya  baru  dapat  diketahui  setelah berada dalam sebuah kalimat.
Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  selalu  muncul  dan mendukung  nilai  rasa  khawatir  karena  untuk  menunjukkan  kekhawatiran
diperlukan ekspresi tertentu untuk mengungkapkannnya. Selain itu, terdapat juga unsur  ekstralingual  konteks  yang  selalu  menyertai  tuturan  karena  dipergunakan
untuk mengetahui kadar rasa yang ada dalam tuturan. Unsur ekstralingul konteks yang  memunculkan  nilai  rasa  khawatir  dari  acara  Sentilan  Sentilun  hanyalah
fenomena praanggapan karena sebelum muncul kekhawatiran mengenai suatu hal pasti  penutur  mempunyai  latar  belakang  pengetahuan  mengenai  sesuatu  yang
dikhawatirkan  karena  pernah  mengalami  sendiri  ataupun  pernah  dialami  oleh orang lain.
Nilai  rasa  khawatir  yang  ada  dalam  Acara  Sentilan  Sentilun  ada  yang dinyatakan santun maupun tidak santun tergantung tuturan yang digunakan. Nilai
rasa khawatir yang santun biasanya karena selalu memberikan keuntungan kepada mitra  tutur  berupa  pemberian  informasi  tertentu  maksim  kebijaksanaan  Leech.
Sebaliknya,  nilai  rasa  khawatir  yang  tidak  santun  dikarenakan  penutur berprasangka buruk terhadap mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan
melanggar  maksim  kebijaksanaa  Leech.  Prasangka  buruk  tersebut  muncul berdasarkan fakta yang ada sebelumnya.
4.2.2.1.2 Nilai Rasa Ragu Nilai  rasa  ragu  adalah  bentuk  ketakutan  berupa  perasaan  tidak  mantap
dalam  mengambil  keputusan,  menentukan  pilihan,  memercayai  sesuatu  dan  lain
sebagainya. Perasaan tidak mantap tersebut muncul akibat mitra tutur takut bahwa keputusan diambil atau pernyataan  yang dibuat oleh penutur  akan menimbulkan
penyesalan  dan  kerugian  dikemudian  hari.  Perhatikan  tuturan  berikut: “Mengurangi  impor?Kok  enak  ya  itung-itungannya?  Bener  nggak  sih  Mas?”
SSNRB01-09-201418.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  yang  ragu dengan analisa Eddy Tampi yang mengatakan bahwa kita bisa mengurangi impor
jika  250  sumur  development  diberi  syarat  mudah  perijinanannya  dan  digarap dengan serius karena resiko kegagalannya hanya dua puluh persen.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat  tanya
“Bener nggak  sih  Mas?
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  ragu.  Kalimat  tersebut
mengandung  pertanyaan  klarifikasi  mengenai  pernyataan  Eddy  Tampi sebelumnya terhadap Riyad Chairil selaku pengamat migas. Sentilun menganggap
bahwa  Riyad  Chairil  dapat  mengklarifikasi  pernyataan  Eddy  Tampi  tersebut karena  beliau  merupakan  pengamat  migas  yang  tentu  mengetahui  seluk-beluk
migas.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai    keraguan  Sentilun  terhadap pernyataan  Eddy  Tampi  mengenai  pengurangan  impor  yang  bisa  kita  lakukan
dengan  cara  mengekfektifkan  250  sumur  yang  development  karena  resiko kegagalannya  hanya  dua  puluh  persen.  Sentilun  menganggap  hal  tersebut  sangat
sederhana sehingga ia perlu klarifikasi penjelasan dari orang lain yang memang ahli  dalam  bidang  tersebut  Riyad  Chairil.  Sentilun  tidak  memunculkan  tanda-
tanda  ketubuhan  apapun  untuk  mendukung  nilai  rasa  ragu  yang  ada  dibenaknya,
sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui fenomena referensi.
Sentilun  ragu  dengan  analisa  Eddy  Tampi  dalam  tuturan  sebelumnya  yang
mengatakan bahwa bila perijinan terus dipersulit, maka negara akan semakin rugi karena  kita  harus  mengimpor  minyak  dari  luar  negeri.  Sebenarnya  kita  bisa
mengurangi impor jika 250 sumur yang development diberi syarat perijinan yang mudah  dan  digarap  dengan  serius  karena  resiko  kegagalannya  hanya  dua  puluh
persen.
Tururan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  salah  satu maksim  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  kebijaksanaan
“tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur.
Tuturan  tersebut  menimbulkan  kerugian  terhadap  Eddy  Tampi  sebagai  orang yang  dimaksud  dalam  tuturan  karena  Sentilun  menyampaikan  rasa  kurang
percayanya  terhadap  pernyataan  Eddy  yang  sudah  lama  berkecimpung  dalam dunia  Migas.  Di  dalam  tuturan  tersebut,  Eddy  merasa  dirugikan  karena  Sentilun
tidak memercayainya dan malah mengajukan pertanyaan klarifikasi kepada Riyad Chairil mengenai kebenaran pernyataan Eddy tampi.
Nilai rasa ragu juga muncul dalam tuturan “Cak Lontong emang beneran mau  jadi  menteri?
”  SSNRB08-09-201418.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh Chacha yang mengetahui profesi Cak Lontong sebagai komedian dan tidak pernah
merambah dunia politik.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
tanya  “Cak Lontong  emang  beneran  mau  jadi  menteri?
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa ragu.  Kalimat  tanya  tersebut  dipersepsi  sebagai  pernyataan  klarifikasi  atas  dasar
rasa ketidakpercayaan Chacha terhadap ungkapan Cak Lontong yang menyatakan bahwa  dirinya  akan  diangkat  menjadi  menteri.  Chacha  ragu  pada  ungkapan  Cak
Lontong  tersebut  karena  sebelumnya  ia  mengetahui  bahwa  profesi  Cak  Lontong adalah sebagai komedian dan tidak pernah merambah ke dunia politik. Rasa ragu
Chacha juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-
tanda  ketubuhan  yang  dimunculkan  berupa  lirikan mata  ke  arah  Cak  Lontong  saat  menanyakan
pertanyaan konfirmasi tersebut. Gerakan tersebut mengindikasikan bahwa Chacha ragu Cak Lontong akan diangkat menjadi menteri. Selain itu, terdapat juga unsur
ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena referensi atau rujukan
tuturan  mitra  tutur  sebelumnya.  Chacha  ragu  dengan  pernyataan  Cak  Lontong sebelumnya  yang  mengungkapkan  bahwa  ia  akan  menjadi  menteri  dalam  era
pemerintahan  Pak  Jokowi.  Rasa  ragu  Chacha  didasarkan  pada  pengetahuan lamanya mengenai Cak Lontong yang selama ini berprofesi sebagai komedian dan
tidak pernah merambah ke dunia politik.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  tidak  santun  karena  melanggar  salah  satu maksim  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  kebijaksanaan
“tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur.
Tuturan tersebut menimbulkan kerugian kepada Cak Lontong sebagai orang yang dimaksud  dalam  tuturan  karena  Chacha  merasa  ragu  bahwa  terhadap  perkataan
Cak Lontong yang akan diangkat menjadi menteri. Tuturan  berikut  juga  mengandung  nilai  rasa  ragu:
“Yaampun,  kok  bisa? Kok  bisa?
”  SSNRB15-09-20147.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun yang ragu dengan ungkapan Cak  Lontong  yang  mengatakan dengan 20 liter bisa
menempuh jarak Madura-Jakarta.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat  tanya “Yaampun,  kok  bisa”  ,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  ragu.  Kalimat  tanya
tersebut  dipersepsi  sebagai  rasa  ragu  Sentilun  terhadap  ungkapan  Cak  Lontong yang  mengatakan  bahwa  tetangganya  hanya  menggunakan  bensin  sebanyak  20
liter untuk menempuh jarak Madura-Jakarta. Sentilun ragu karena jarak Madura- Jakarta  sangat  jauh  dan  mustahil  cukup  hanya  menggunakan  bensin  20  liter.
Berdasarkan  pengetahuan  awal  yang  dimiliki  Sentilun,  ia  beranggapan  paling tidak  untuk  menempuh  jarak  Madura-Jakarta  diperlukan  bensin  sebanyak  452,5
liter.  Nilai  rasa  ragu  juga  didukung  oleh  unsur ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  berupa  gerakan
tangan  kiri  Sentilun  yang  menunjuk-nunjuk  ke arah Cak Lontong sambil beranjak berdiri dari duduknya awalnya Sentilun
duduk.  Unsur  ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  tersebut  dipersepsi  sebagai
rasa ragu Sentilun terhadap tuturan Cak Lontong dengan menunjuk ke arah Cak Lontong. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan
melalui fenomena referensi atau rujukan tuturan mitra tutur sebelumnya. Sentilun
ragu  dengan  ungkapan  Cak  Lontong  sebelumnya  yang  mengatakan  bahwa tetangganya  ada  yang  merupakan  sopir  bus  pariwisata  dan  hanya  menggunakan
bensin  20  liter  dari  Madura  sampai  Jakarta.  Sentilun  mempunyai  pengetahuan awal  bahwa  kendaraan  umum  bus  hanya  dapat  menempuh  jarak  2  km  liter,
sedangkan jarak antara Madura ke Jakarta adalah 905 km.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  tidak  santun  karena  melanggar  salah  satu maksim  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  kebijaksanaan
“tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur.
Tuturan tersebut menimbulkan kerugian kepada Cak Lontong sebagai orang yang dimaksud dalam tuturan karena Sentilun berprasangka buruk terhadapnya dengan
secara  tidak  langsung  menganggap  Cak  Lontong  berbohong  saat  mengatakan dengan bensin 20 liter bisa menempuh jarak Madura-Jakarta. Cak Lontong merasa
dirugikan karena keraguan tersebut dapat diartikan bahwa Sentilun tidak percaya dengan apa yang dikatakan.
Berdasarkan  beberapa  contoh  data  tuturan  yang  diambil  dari  Acara Sentilan  Sentilun  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  unsur  intralingual  yang
digunakan  oleh  presenter  dan  bintang  tamu  dalam  acara  tersebut  untuk memunculkan  nilai  rasa  ragu  hanyalah  berupa  kalimat  tanya.  Kalimat  tanya
tersebut bertujuan untuk mengklairifikasi pernyataan mitra tutur sebelumnya yang dianggap janggal kepada mitra tutur sendiri atau orang lain yang sedang terlibat
dalam tuturan. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan
mendukung  nilai  rasa  ragu  karena  hal  tersebut  tergantung  keekspresifan  penutur saat menyatakan keraguannya. Hal ini berbeda dengan unsur ekstralingual konteks
yang selalu menyertai  tuturan karena dipergunakan untuk  mengetahui kadar rasa yang ada dalam tuturan. Unsur ekstralingul konteks yang memunculkan nilai rasa
ragu  dari  acara  Sentilan  Sentilun  hanyalah  fenomena  referensi  rujukan  tuturan sebelumnya karena keraguan yang ada di benak seseorang muncul akibat tuturan
orang lain mitra tutur yang dianggap janggal atau kurang masuk akal.
Nilai rasa ragu yang ada dalam Acara Sentilan Sentilun selalu dinyatakan secara tidak santun karena sebelumnya penutur selalu berprasangka buruk kepada
mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  melanggar  maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.2.1.3 Nilai Rasa Sia-sia Nilai rasa sia-sia adalah bentuk ketakutan berupa perasaan bahwa apa yang
dilakukan  percuma  dan  tidak  ada  hasilnya,  seperti  pada  tuturan  “Kita  punya ASEAN free treat agreement, jadi mobil yang diproduksi di Thailand, di Malaysia
masuk  ke  Indonesia  bebas  bea.  Kalau  kami  berani  melanggar  itu,  kami  kena sangsi  dari  WTO  kan.  Oh  kalau  memang  tidak  boleh  investasi  di  Indonesia  ya
kami  inves  di  Thailand  saja.  Nanti  kami  kirim  mobilnya  ke  Indonesia  mobilnya, kan sami mawon Pak” SSNRB15-09-201417. Tuturan tersebut dikatakan oleh
Jongkie  Sugiarto  yang  mengetahui  dampak  negatif  yang  tetap  terjadi  jika kebijakan mobil murah yang diproduksi di Indonesia tidak dijalankan, yaitu tetap
akan masuknya mobil murah melalui pasar bebas dan tetap akan membuat jalanan menjadi macet.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“kan  sami mawon
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  sia-sia.  Klausa  tersebut  menggunakan
frasa “sami  mawon”  yang  berasal  dari  bahasa  Jawa  yang  berarti  sama  saja.
Secara utuh, klausa tersebut dipersepsi sebagai rasa sia-sia yang diungkapkan oleh Jongkie  walaupun  kebijaakan  mobil  murah  nantinya  tidak  disetujui  oleh
pemerintah. Tindakan pemerintah untuk tidak menyetujui kebijakan mobil murah dianggap  hanya  akan  sia-sia  karena  walaupun  langkah  tersebut  diambil,  mobil
murah  tetap  bisa  masuk  ke  Indonesia  melalui  pasar  bebas.  Akibatnya  dampak negatif  berupa  kemacetan  yang  semakin  parah  dan  masalah  subsidi  BBM  akan
tetap ada walaupun pemerintah menyetujui atau menolak kebijakan mobil murah tersebut.  Jongkie  Sugiarto  tidak  memunculkan  tanda-tanda  ketubuhan  tertentu
untuk  mendukung  nilai  rasa  sia-sia,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks
dimunculkan  melalui  fenomena  inferensi  kesimpulan  penutur.  Sebagai  ketua
GAIKINDO, Jongkie Sugiarto mempunyai kesimpulan mengenai dampak negatif yang tetap terjadi jika kebijakan mobil murah yang diproduksi di Indonesia tidak
dijalankan, yaitu tetap akan masuknya mobil murah melalui pasar bebas dan tetap akan  membuat  jalanan  menjadi  macet.  Devisa  negara  juga  akan  jebol  karena
mobil-mobil  yang  masuk  ke  Indonesia  melalui  pasar  bebas  diberlakukan
kebijakan bebas bea.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  indikator
kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan
kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  tuturan  tersebut,  Jongkie  Sugiarto  berusaha
memberikan  keuntungan  berupa  pemberian  informasi  kepada  seluruh  rakyat Indonesia  mengenai  sulitnya  mengambil  keputusan  bagi  pemerintah  untuk
menolak  atau  menerima  kebijakan  mobil  murah  karena  ujung-ujungnya  sama- sama menimbulkan dampak negatif.
Nilai  rasa  sia-sia  yang  ditemukan  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  yang dijadikan  sebagai  objek  penelitian  hanya  terdiri  dari  satu  tuturan.  Unsur
intralingual  yang  ditemukan  untuk  memunculkan  nilai  rasa  sia-sia  hanya  berupa
klausa  yang  tidak  didukung  oleh  unsur  ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  apa pun.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  hanya
menggunakan  fenomena  inferensi  kesimpulan  penutur  karena  sebelum mengungkapkan  bahwa  apa  yang  akan  dilakukan  sia-sia  tentunya  penutur  telah
menarik kesimpulan sendiri berdasarkan apa yang ia ketahui. Nilai rasa sia-sia ini selalu  dinyatakan  santun  karena  penutur  berusaha  memberikan  informasi  kepada
mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  karena  sebelumnya  ia  telah mengetahui  bahwa  apa  yang  dilakukan  akan  sia-sia  sesuai  dengan  maksim
kebijaksanaan Leech. 4.2.2.1.4 Nilai Rasa Curiga
Nilai rasa curiga adalah bentuk ketakutan berupa perasaan sangsi terhadap pendapat,  perilaku,  atau  kejujuran  s
eseorang.  Perhatikan  tuturan  berikut:  “Woh kalau  rakyat,  saya  percaya  memang  betul  itu.  Yaaa  sedikit  agak  berbeda  lah.
Kalau  mereka  baik  kan  memang  karena  tulus,  ya  kan?  Wah  kalau  kamu mend
adak baik itu pasti ada maunya” SSNRB11-08-20145. Tuturan tersebut dikatakan  oleh  Ndoro  yang  memiliki  pengalaman  jika  sikap  Sentilun  mendadak
baik pasti ada maksud ingin meminta sesuatu kepadanya.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Wah  kalau kamu  men
dadak  baik  itu  pasti  ada  maunya”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa curiga.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  rasa  curiga  Ndoro  terhadap  sikap
Sentilun  yang  tidak  biasa  dan  mendadak  menjadi  baik.  Melalui  klausa  tersebut, Ndoro  mempersepsi  bahwa  setiap  Sentilun  tiba-tiba  menjadi  baik  pasti  ia  ingin
meminta sesuatu. Nilai rasa curiga juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-
tanda  ketubuhan  berupa  tangan  kanan  Ndoro yang  menunjuk  ke  arah  Sentilun  sambil
tersenyum.  Gerakan  tersebut  mengindikasikan
bahwa  Ndoro  sudah  hafal  dengan  sikap  Sentilun yang mendadak baik karena mempunyai maksud tertentu. Selain itu, terdapat juga
unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.
Ndoro  mempunyai  anggapan  berdasarkan  pengalaman  yang  pernah  dialami mengenai  sikap  Sentilun  yang  mendadak  baik  karena  ingin  meminta  sesuatu
darinya.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  tidak  santun  karena  melanggar  indikator kesantunan  Pranowo  2005,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  adu  rasa
penutur tidak mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur. Di dalam
tuturan  tersebut,  Ndoro  tidak  mempertemukan  perasaannya  dengan  Sentilun karena  Ndoro  langsung  menyampaikan  tuduhan  atas  dasar  kecurigaannya
terhadap  Sentilun.  Ndoro  menuduh  dan  mencurigai  bahwa  perbuatan  baik Sentilun  karena  menginginkan  sesuatu  dari  Ndoro.  Tuduhan  dan  rasa  curiga
tersebut  tentu  tidak  santun  karena  Ndoro  tidak  memikirkan  perasaan  Sentilun sehingga ia merasa dipojokkan.
Tuturan  berikut  juga  mengandung  nilai  rasa  curiga “Ini  Hanung
Bramantyo beneran atau yang gadungan ya? Woh iya, KW duanya baru beredar di  facebook  lho.  Jangan-jangan  ini  Hanung  yang  ngaku-ngaku  Hanung
Bramantyo”  SSNRB18-08-20148.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun
yang mengetahui ada seorang pengguna facebook yang foto-fotonya mirip dengan Hanung Bramantyo.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Jangan-jangan ini  Hanung  yang  ngaku-
ngaku  Hanung  Bramantyo”,  untuk  memunculkan  nilai rasa  curiga.  Kalimat  tersebut  menggunakan  kata  ulang
“jangan-jangan”  yang berarti  barangkali  atau  mungkin  KBBI,2008:564  untuk  mengindikasikan
kecurigaan.  Secara  utuh,  kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  kecurigaan  Sentilun terhadap  orang  yang  datang  di  studio  sebagai  Hanung  Bramantyo  yang  asli  atau
orang yang mirip Hanung Bramantyo. Rasa curiga Sentilun muncul karena adanya orang  yang  mirip  sekali dengan  Hanung  Bramantyo  dan  foto  orang  tersebut  saat
ini banyak beredar di facebook. Nilai rasa curiga juga didukung  oleh  unsur    ekstralingual  tanda-tanda
ketubuhan  yang  dimunculkan  oleh  Sentilun  berupa
tangan  yang  menunjuk-nunjuk  ke  arah  Hanung Bramantyo. Gerakan tersebut mengindikasikan bahwa sentilun merasa curiganya
terhadap  orang  yang  saat  itu  datang  ke  studio  Hanung  Bramantyo.Selain  itu, terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena
praanggapan  atau  pengetahuan  awal  Sentilun  tentang  orang  yang  sangat  mirip
dengan Hanung Bramantyo dan fotonya beredar di facebook.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  indikator kesantunan  Pranowo  2005,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  adu  rasa
penutur  tidak  mempertemukan  perasaannya  dengan  mitra  tutur.  Sentilun
langsung mencurigai Hanung Bramantyo aebagai Hanung Bramantyo palsu tanpa
memikirkan  perasaannya.  Tuturan  tersebut  dinyatakan  Sentilun  secara  eksplisit sehingga  tuturannya  menjadi  tidak  santun  karena  terkesan  menuduh  atas  dasar
kecurigaan yang belum bisa dibuktikan tidak ada fakta yang mendasari. Nilai  rasa  curiga  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  kebanyakan  dinyatakan
melalui  unsur  intralingual  kalimat,  seperti  dalam  tuturan  “Politik  itu” SSNRB01-09-201413.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  yang
mengetahui kebijakan naik-turunnya harga BBM pada era pemerintahan  SBY.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat “Politik  itu”,
untuk  memunculkan  nilai  rasa  curiga.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai
kecurigaan Sentilun terhadap Pak SBY yang sengaja menaik-turukan harga BBM untuk  mendapatkan  pencitraan  politik.  Sentilun  menduga  bahwa  kebijakan  yang
tidak tegas tersebut diambil oleh Pak SBY agar dirinya dapat terpilih lagi menjadi presiden  pada  periode  berikutnya.  Kecurigaan  tersebut  berdasarkan  kenyataan
yang  ada  bahwa  saat  mendekati  pilpres  2009,  Pak SBY justru menurunkan harga BBM. Nilai rasa curiga
didukung  oleh  unsur  ekstralingual  tanda-tanda
ketubuhan berupa gerakan tangan menunjuk-nunjuk
untuk  lebih  menekankan  rasa  curiganya  terhadap  pemerintahan  era  Pak  SBY. Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui
fenomena  praanggapan.  Sentilun  mempunyai  pengetahuan  mengenai  kebijakan
naik-turunnya  harga  BBM  yang  sering  terjadi  pada  pemerintahan  SBY.  Selama dua  periode  menjabat,  Pak  SBY  telah  menaikkan  harga  BBM  selama  3  kali  dan
menurunkannya  selama  3  kali.  Penutur  menganggap  ini  pencitraan  karena  saat
menjelang pemilu 2009, SBY justru menurunkan harga BBM dari 5.000 per liter menjadi  4.500  per  liter.  Penutur  menduga  bahwa  ini  merupakan  siasat  politik
untuk  membuat  Pak  SBY  dapat  terpilih  lagi  menjadi  presiden  di  perode berikutnya.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  tidak  santun  karena  melanggar  indikator kesantunan  Pranowo  2005,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  adu  rasa
penutur tidak mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur. Di dalam
konteks tuturan tersebut, Sentilun tidak mempertemukan perasaannya dengan Pak SBY  sebagai  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  karena  ia  secara  langsung
menyampaikan  tuduhan  atas  dasar  kecurigaannya  terhadap  Pak  SBY  yang menaik-turunkan harga BBM. Sentilun langsung mencurigai Pak SBY melakukan
hal tersebut karena salah satu strategi politik tanpa memberikan alasan yang kuat berupa sehingga hal tersebut bisa saja menjadi tidak berkenan di hati Pak SBY.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung nilai rasa curiga, seperti pada tuturan
“Begini, begini jadi menteri itu harus  saling  berkoordinasi.  Jangan-jangan  sering  apa  itu  namanya,  sering  ke
luar  negeri  apa  namanya?  Study  banding.  Nah  .  .  .  buat  apa,  nggak  zamannya lagi”    SSNRB08-09-201424.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Ndoro  yang
menganggap  study  banding  pejabat  hanya  merupakan  wujud  pemborosan anggaran negara.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Jangan-jangan sering  apa  itu  namanya,  sering  ke  luar  negeri  apa  namanya?  Study  banding
”,
untuk memunculkan nilai rasa curiga. Kalimat tersebut menggunakan kata ulang
“jangan-jangan” yang mengindikasikan kecurigaan. Secara utuh, kalimat tersebut dipersepsi sebagai kecurigaan Ndoro terhadap menteri yang studi banding ke luar
negeri  memiliki  kepentingan  lain,  yaitu  jalan-jalan.  Kecurigaan  Ndoro  muncul melihat  fenomena  yang  terjadi  saat  ini  dalam  berita  di  televisi  yang  banyak
meliput  kegiatan  pejabat  diluar  negeri  saat  study  banding.  Mereka  cenderung mempunyai  kepentingan  lain,  yaitu  sekedar  jalan-jalan  dan  berbelanja.  Ndoro
tidak  memunculkan  unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  apapun untuk mendukung nilai rasa curiga yang ada dibenaknya. Selain itu, terdapat juga
unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.
Ndoro mempunyai anggapan mengenai studi banding yang dilakukan para pejabat lalu  hanya  merupakan  wujud  pemborosan.  Studi  banding  hanya  dijadikan  dalih
bagi  mereka  untuk  jalan-jalan  keluar  negeri  menggunakan  uang  negara.  Ndoro melihat  kenyataan  yang  ada  berdasarkan  berita  di  televisi  yang  banyak  meliput
kegiatan pejabat diluar negeri saat study banding. Mereka cenderung mempunyai kepentingan lain, yaitu sekedar jalan-jalan dan berbelanja.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  tidak  santun  karena  melanggar  indikator kesantunan  Pranowo  2005,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  adu  rasa
penutur  tidak  mempertemukan  perasaannya  dengan  mitra  tutur.  Ndoro
tidak  mempertemukan  perasaannya  dengan  para  pejabat  yang  melakukan  study banding  sebagai  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  karena  langsung
mengungkapkan  tuduhan  atas  dasar  kecurigaannya  terhadap  mereka.  Ndoro langsung  menyatakan  kecurigaannya  karena  beliau  berprasangka  buruk  kepada
para pejabat yang melakukan study banding hanyalah sebagai kedok. Ndoro tidak
memikirkan perasaan para pejabat yang bisa saja tersinggung karena tuduhan atas dasar kecurigaan tersebut.
Berdasarkan  beberapa  contoh  data  tuturan  yang  diambil  dari  Acara Sentilan  Sentilun  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  unsur  intralingual  yang
digunakan  oleh  presenter  dan  bintang  tamu  dalam  acara  tersebut  untuk memunculkan nilai  rasa  curiga  adalah hanya berupa kalimat. Walaupun  ada satu
kata  yang  dominan  untuk  mengindikasikan  nilai  rasa  curiga  seperti  kata  ulang “jangan-jangan”,  tetapi  kata  tersebut  tidak  dapat  dipisahkan  dari  kalimat.  Kata
ulang  tersebut  tidak  dapat  berdiri  sendiri  karena  makna  dan  kadar  rasanya  baru dapat diketahui setelah berada dalam sebuah kalimat.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung nilai rasa curiga, hal tersebut tergantung pada ekekspresifan penutur.
Hal ini berbeda dengan unsur ekstralingual konteks yang selalu muncul menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa yang ada dalam tuturan.
Unsur  ekstralingul  konteks  yang  memunculkan  nilai  rasa  curiga  dalam  acara Sentilan  Sentilun  hanyalah  fenomena  praanggapan  karena  sebelum  muncul
kecurigaan  mengenai  suatu  hal  pasti  penutur  mempunyai    pengetahuan  tertentu mengenai  sesuatu  yang  dicurigai  karena  dianggap  tidak  biasa  dan  menyimpang.
Nilai  rasa  curiga  dalam  Acara  Sentilan  Sentilun  selalu  dinyatakan  tidak  santun karena  melanggar  salah  satu  indikator  kesantunan  menurut  Pranowo,  yaitu  adu
rasa. Tuturan yang mengandung nilai rasa curiga selalu menyatakan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan.
4.2.2.2 Nilai Rasa Sedih Nilai rasa sedih merupakan kadar perasaan tuturan yang mengandung rasa
duka  dl  hati  karena  suatu  sebab  tertentu
.
Nilai  rasa  sedih  selalu  muncul  karena seseorang  mengalami  atau  mengetahui  sendiri  sesuatu  yang  memilukan.
Terkadang nilai rasa sedih yang berkadar sangat kuat dapat menyebabkan penutur atau  mitra  tutur  yang  mendengarkan  tuturan  bernilai  rasa  sedih  tersebut  sampai
meneteskan  air  mata.  Nilai  rasa  sedih  dapat  ditunjukkan  melalui  berbagai perasaan, seperti rasa prihatin, rasa iba, dan rasa susah.
4.2.2.2.1 Nilai Rasa Prihatin Nilai  rasa  prihatin  adalah  bentuk  kesedihan  yang  muncul  karena  melihat
fenomena  tertentu  yang  mengakibatkan  kerugian  dan  menyangkut  hajat  hidup orang banyak, misalnya  dalam tuturan  “Ehm . . .ehm . . .kalau saya prinsipnya
gini,  berharapnya  Jakarta  itu  semakin  indah,  semakin  nyaman  dan  aman  untuk warganya,  terutama  wanita-wanita,  perempuan-perempuan  yang  cantik-cantik
ini. Jadi  jangan  sampai  ada pelecehan. Dimana  aja  lah.  Mau di  angkot,  mau di kereta KRL itu, mau dimana aja lah, bis kota, jangan. Ada, makanya saya sedih.
Aku sedih hmmm. Iya, terus . .ter us satu lagi”  SSNRB11-08-201421. Tuturan
tersebut  dikatakan  oleh  Asti  Ananta  yang  mengetahui  masih  banyaknya  kasus pelecehan seksual terhadap wanita di berbagai fasilitas umum yang marak terjadi
belakangan ini di Jakarta.
Tuturan  tersebut  menggunakan  unsur  intralingual  berupa  kalimat
“Aku sedih  hmmm
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  prihatin.  Kalimat  tersebut
menggunakan  kata “sedih”  yang  berarti  menimbulkan  rasa  susah  dihati
KBBI,2008:1238. Berdasarkan konteks yang menyertai tuturan, kalimat tersebut dipersepsi sebagai rasa prihatin Asti Ananta yang juga merupakan seorang wanita,
melihat pelecehan seksual yang marak terjadi di Jakarta, bahkan didalam fasilitas- fasilitas  umum.  Nilai  rasa  prihatin  juga  didukung
oleh    unsur  ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan
berupa  ekspresi  termangu  sambi  kedua  tangan menopang
kepala. Ekspresi
dan gerakan
tersebut mengindikasikan
keprihatinannya terhadap fenomena pelecehan seksual yang marak saat ini. Selain itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui
fenomena  praanggapan.  Asti  mempunyai  pengetahuan  mengenai  masih
banyaknya  kasus  pelecehan  seksual  terhadap  wanita  di  berbagai  fasilitas  umum yang  marak  terjadi  belakangan  ini  di  Jakarta.  Hal  tersebut  membuktikan  bahwa
tingkat keamanan di daerah Jakarta masih sangat rendah.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  simpati
“sympathy  maxim”  tuturan  dapat  mengungkapkan  rasa  simpati  terhadap yang dialami oleh mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Asti Ananta
mengungkapkan rasa simpatinya dalam bentuk keprihatinan melihat banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi di Jakarta. Sebagai seorang perempuan, Asti turut
merasakan kesedihan karena rendahnya tingkat keamanan di Jakarta.
Nilai  rasa  prihatin  juga  tidak  selalu  didukung  oleh  unsur  ekstralingual tanda-tanda  ketubuhan  tertentu  seperti  pada  tuturan
“Kalangan  ekonomi menengah kebawahlah  yang pantas menggunakan BBM bersubsidi. Akan sangat
menyedihkan  melihat  mobil-mobil  mewah  berjajar  antri  di  SPBU  bertuliskan premium”  SSNRB15-09-20141.  Tuturan  tersebut  merupakan  pembukaan
acara  Sentilan  Sentilun  berupa  pembacaan  berita  mengenai  fenomena kelangkaan  BBM  bersubsidi  yang  saat  ini  dan  mengakibatkan  antrian  kendaraan
di sejumlah SPBU, termasuk kendaraan mewah.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Akan  sangat menyedihkan  melihat  mobil-mobil  mewah  berjajar  antri  di  SPBU  bertuliskan
premium”, untuk memunculkan nilai rasa prihatin. Kalimat tersebut dipersepsi
sebagai  keprihatinan  produser  yang  melihat  banyaknya  mobil  mewah  yang  ikut mengantri  di  pos  pengisian  premium.  Hal  tersebut  sangat  memprihatinkan,
mengingat  bila  mereka  mempunyai  uang  untuk  membeli  mobil  mewah,  mereka termasuk  orang  yang  mampu  dan  tidak  layak  menggunakan  premium.  Kita
ketahui  bersama  bahwa  premium  sebenarnya  diperuntukkan  bagi  golongan masyarakat  menengah  ke  bawah  dan  bukan  untuk  orang  mampu  seperti  mereka.
Produser merasa prihatin karena masih banyak orang mampu yang mau dianggap tidak  mampu  dan  menggunakan  hak  rakyat  miskin.  Tuturan  tersebut  tidak
memunculkan tanda-tanda ketubuhan apaun untuk  mendukung nilai  rasa prihatin karena tuturan tersebut terdapat dalam pembacaan berita di awal acara, sedangkan
unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan. produser  Sentilan  Sentilun    mempunyai  pengetahuan  mengenai  fenomena  yang
saat  ini  terjadi,  yaitu  kelangkaan  BBM  yang  disebabkan  oleh  kebijakan pemerintah  membatasi  jumlah  BBM  agar  kuota  subsidi  dapat  sampai  pada  akhir
tahun.  Saat  ini  dalam  antrian  di  pom  bensin  juga  banyak  mobil-mobil  mewah yang ikut berjajar dalam pos pengisian premium.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  simpati
“sympathy  maxim”  tuturan  dapat  mengungkapkan  rasa  simpati  terhadap yang  dialami  oleh  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  produser
turut  merasakan  kesedihan  rakyat  yang  kurang  mampu  karena  banyaknya  orang kaya yang justru mengambil hak mereka dengan menggunakan BBM bersubsidi.
Berdasarkan  beberapa  contoh  data  tuturan  yang  diambil  dari  Acara Sentilan  Sentilun  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  unsur  intralingual  yang
digunakan  oleh  presenter  dan  bintang  tamu  dalam  acara  tersebut  untuk memunculkan nilai rasa prihatin hanya berupa kalimat. Tidak ada kata-kata khas
yang  mengindikasikan  nilai  rasa  prihatin  dalam  acara  tersebut  karena  rasa keprihatinan baru bisa dirasakan dalam satu kalimat utuh.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung  nilai  rasa  prihatin,  hal  tersebut  tergantung  pada  ekekspresifan
penutur.  Hal ini berbeda dengan unsur ekstralingual konteks yang selalu muncul menyertai  tuturan  karena  dipergunakan  untuk  mengetahui  kadar  rasa  yang  ada
dalam  tuturan.  Unsur  ekstralingul  konteks  yang  memunculkan  nilai  rasa  curiga dalam  acara  Sentilan  Sentilun  hanyalah  fenomena  praanggapan  karena  sebelum
muncul  keprihatinan  mengenai  suatu  hal  pasti  penutur  mempunyai    pengetahuan mengenai  fenomena  tertentu  yang  membuat  penutur  merasa  prihatin.  Nilai  rasa
prihatin  dalam  Acara  Sentilan  Sentilun  selalu  dinyatakan  santun  karena  sesuai
dengan  salah  satu  indikator  kesantunan  Leech,  yaitu  maksim  simpati  ikut merasakan  kesedihan  mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan
berdasarkan fenomena yang sedang mereka alami. 4.2.2.2.2 Nilai Rasa Iba
Nilai  rasa  iba  adalah  bentuk  kesedihan  yang  muncul  karena  rasa  belas kasihan  dan  terharu  melihat  keadaan  yang  dialami  orang  lain,  seperti  dalam
tuturan  “Ya  kan  kasihan,  umurnya  berapa,  lha  nanti  keluar  udah  tua” SSNRB08-09-201413.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Ndoro  yang
menganggap  tuntutan  Sentilun  yang  berperan  sebagai  jaksa  penuntut  terlalu berat dan lama erhadap Cak Lontong yang berperan sebagai terdakwa.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Ya  kan kasihan, umurnya berapa, lha nanti keluar udah tua
”, untuk memunculkan nilai rasa  iba.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  rasa  iba  Ndoro  terhadap  Cak
Lontong  yang  dituntut  hukuman  penjara  selama  dua  puluh  tahun  oleh  Sentilun atas tindak pidana ringan yang dilakukan menyakiti hati Chacha. Ndoro merasa
iba  karena  hukuman  tersebut  terlalu  lama,  dan  jika  Cak  Lontong  menjalaninya maka  saat  keluar  dari  penjara,  umurnya  sudah  tua  65  tahun.  Ndoro  kebetulan
tidak memunculkan unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan untuk mendukung nilai  rasa  iba  tersebut,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dalam  tuturan
tersebut  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.  Ndoro  mempunyai
pengetahuan mengenai tuntutan Sentilun yang diajukan kepada Cak Lontong yang dianggapnya  berat,  yaitu  hukuman  maksimal  dua  puluh  tahun  penjara,  dengan
masa  percobaan  di  Nusa  Kambangan,  tidak  ada  potongan  hukuman,  adanya
langsung  potong  tangan.  Ndoro  juga  mengetahui  usia  Cak  Lontong  yang  sudah tidak muda lagi, yaitu berumur 45 tahun.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  simpati
“sympathy  maxim”  tuturan  dapat  mengungkapkan  rasa  simpati  terhadap yang  dialami  oleh  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Ndoro  ikut
merasakan  kesedihan  Cak  Lontong  jika  harus  menerima  hukuman  sesuai  yang dituntutkan oleh Sentilun selaku jaksa penuntut.
Nilai  rasa  iba  juga  dapat  didukung  oleh  tanda-tanda  ketubuhan  tertentu seperti pada tuturan
“Udah, kasihan Mbak Asri itu udah dari tadi mau ngomong” SSNRH22-09-201411.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Ndoro  yang  merasa
kasihan melihat Asri Welas yang dari tadi ingin berbicara, tetapi selalu dipotong oleh Refly Harun.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Udah, kasihan Mbak Asri i
tu udah dari tadi mau ngomong”, untuk memunculkan nilai rasa iba.
Kalimat tersebut berisi perintah halus bagi Refly Harun dan Sentilun agarberhenti berbicara  dan  memberikan  kesempatan  kepada  Asri  Welas  untuk  gantian
berbicara  karena  dari  tadi  saat  Asri  hendak  berbicara  selalu  dipotong.  Kalimat perintah tersebut muncul karena rasa iba Ndoro melihat ekspresi Asri Welas yang
dari tadi ingin berbicara, tetapi selalu dipotong oleh Refly Harun. Nilai rasa iba juga didukung
oleh  unsur  ekstralingual  yang  dimunculkan
Ndoro  berupa  gerakan  tangan  seperti
berenang dan mulut yang menganga untuk menirukan ekspresi Asri Welas saat
hendak berbicara tapi selalu dipotong. Selain itu, juga terdapat unsur ekstralingual
yang  dimunculkan  melalui  fenomena  referensi  atau  rujukan  Ndoro  berupa
ekspresi  Asri  Welas  yang  memelas  karena  saat  ia  berbicara  selalu  dipotong  oleh Refly Harun.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  simpati
“sympathy  maxim”  tuturan  dapat  mengungkapkan  rasa  simpati  terhadap yang  dialami  oleh  mitra  tutur.  Dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Ndoro  turut
berbelas kasih kepada Asri Welas yang dari tadi tidak diberikan kesempatan untuk berbicara.  Ndoro  ikut  merasakan  kesedihan  Asri  yang  sedari  tadi  selalu  disela
pembicaraannya oleh Refly Harun. Berdasarkan  beberapa  contoh  data  tuturan  yang  diambil  dari  Acara
Sentilan  Sentilun  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  unsur  intralingual  yang digunakan  untuk  memunculkan  nilai  rasa  iba  hanya  berupa  kalimat.  Terdapat
kata-kata  khas  yang  mengindikasikan  nilai  rasa  iba  dalam  kedua  data  yang ditemukan, yaitu kata
“kasihan”. Namun, kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena kadar rasanya baru dapat diketahui setelah berada dalam kalimat.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung nilai rasa iba, hal tersebut tergantung pada kekspresifan penutur.  Hal
ini  berbeda  dengan  unsur  ekstralingual  konteks  yang  selalu  muncul  menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa yang ada dalam tuturan.
Unsur ekstralingul konteks yang memunculkan nilai rasa iba dalam acara Sentilan
Sentilun  adalah  fenomena  praanggapan  dan  referensi.  Melalui  fenomena praanggapan  karena  rasa  iba  muncul  saat  penutur  sebelumnya  mengetahui  apa
yang  dialami  oleh  mitra  tutur  perihal  kemalangan  mitra  tutur.  Sedangkan melalui  fenomena  referensi  karena  rasa  iba  muncul  saat  mitra  tutur
mengungkapkan  kemalangannya  yang  dirujuk  melalui  tuturan  mitra  tutur sebelumnya.
Nilai  rasa  iba  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  selalu  dinyatakan  santun karena  memenuhi  salah  satu  indikator  kesantunan  Leech,  yaitu  maksim  simpati
ikut  merasakan  kesedihan  mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan berdasarkan kejadian yang mereka alami.
4.2.2.2.3 Nilai Rasa Susah Nilai rasa susah adalah bentuk kesedihan yang muncul karena penutur atau
mitra  tutur  menghadapi  sesuatu  yang  sukar,  sulit  dan  berat  untuk  dijalani. Perhatikan tuturan berikut : “Tapi Ndoro, gini Pak yang repot itu kayak kita ini,
pelawak,  komedian  ini.  Mikir  sendiri,  nglawak  sendiri,  ditonton  sendiri,  tertawa sendiri, masuk rumah sakit jiwa sendiri nanti
” SSNRB25-08-201410. Tuturan tersebut  dikatakan  oleh  Cak  Lontong  yang  mengetahui  bahwa  profesi  pelawak
seperti dirinya memiliki resiko tinggi seperti kegilaan.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“yang repot itu
kayak kita ini, pelawak”, untuk memunculkan nilai rasa susah. Klausa tersebut
dipersepsi  sebagai  ungkapan  rasa  susah  Cak  Lontong  terhadap  profesi  yang sedang  digelutinya,  yaitu  menjadi  seorang  pelawak.  Cak  Lontong  merasa  susah
karena  pekerjaan  yang  digelutinya  ternyata  sangat  berat  dan  dapat  beresiko
menimbulkan  kegilaan.  Berdasarkan  pengalaman  yang  ia  miliki,  Cak  Lontong merasa  pekerjaannya  sangat  berat  karena  ia  harus  berpikir  keras  untuk
menghasilkan  lelucon,  kadang-kadang  harus  tertawa  sendiri,  dan  beresiko menimbulkan  kegilaan.  Klausa  tersebut  menggunakan  kata
“repot”  untuk memperkuat  nilai  rasa susah  yang diungkapkan  oleh Cak  Lontong.  Cak  Lontong
tidak  memunculkan  tanda-tanda  ketubuhan  apa  pun  untuk  mendukung  nilai  rasa susah  yang  hedak  ia  sampaikan,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dalam
tuturan  tersebut  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.  Cak  Lontong
mempunyai  pengetahuan  awal  mengenai  profesinya  sebagai  pelawak  yang mengandung  banyak  resiko.  Berdasarkan  pengalamannya,  Cak  Lontong
menganggap  bahwa  seorang  pelawak  merupakan  perkerjaan  yang  merepotkan karena  untuk  menghasilkan  sebuah  lelucon  mereka  harus  berpikir  sendiri,  bila
lelucon yang dihasilkan tidak lucu mereka harus tertawa sendiri, dan jika mereka tidak  dapat  menguasi  pikiran,  maka  mereka  akan  terbawa  dalam  lawakan  yang
mereka mainkan sehingga dapat mengakibatkan kegilaan.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  salah  satu indikator  kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada mitra  tutur. Di  dalam konteks tuturan  tersebut,  Cak  Lontong  berusaha
memberikan  informasi  kepada  para  komedian  sebagai  orang  yang  dimaksud dalam  tuturan  perihal  bahaya  yang  setiap  saat  mengintai  komedian  jika  mereka
tidak bisa menguasai diri saat membuat lelucon, yaitu menyebabkan kegilaan. Cak
Lontong berbaik hati memberikan informasi agar para komedian dapat kontrol diri saat membuat lelucon.
Nilai rasa susah juga muncul dalam tuturan “Bukan minyak tanah, minyak telon.  Kamu  jangan  banyak  ngomong.  Saya  ini  pusing  tujuh  keliling,  mumet,
muter-muter  kepala  c ari  bensin  nggak  dapet  ini  lho”  SSNRB01-09-20143.
Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Cak  Lontong  yang  sudah  mengelilingi  berbagai tempat namun tidak mendapatkan premium.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Saya ini pusing tujuh keliling, mumet, muter-muter kepala cari bensin nggak dapet ini lho
”, untuk
memunculkan  nilai  rasa  susah.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  rasa  susah
Cak Lontong karena wacana kenaikan BBM mengakibatkan kelangkaan sehingga rakyat  harus  mengantri  bahkan  menyisir  tempat-tempat  terpencil  yang  menjual
bensin  eceran  untuk  mendapatkannya.  Fenomena  kelangkaan  BBM  ini  bahkan dimanfaatkan  oleh  pedagang  eceran  yang  masih  mempunyai  persediaan  bensin
untuk menjualnya dalam harga yang sangat tinggi. Kalimat tersebut menggunakan klausa
“pusing  tujuh  keliling,  mumet,  muter-muter  kepala”  untuk  menekankan rasa susah akibat BBM  yang semakin langka. Nilai
rasa  susah  juga  didukung  oleh  unsur  ekstralingual
tanda-tanda ketubuhan berupa ekspresi sedih serta tangan  kanan  Cak  Lontong  yang  diangkat  dan  diayunkan  ke  kiri  dan  ke
kanan saat mengucapkan kalimat tersebut untuk mengindikasikan kepusingannya
mencari bensin kata “muter-muter”. Selain itu, juga terdapat unsur ekstralingual
konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan  atau  pengetahuan
Cak Lontong karena sudah mengalami sendiri susahnya mencari BBM bersubsidi. Saat  itu  sedang  terjadi  fenomena  kelangkaan  premium  yang  disebabkan  oleh
wacana  kenaikan  harga  BBM.  Masyarakat  menjadi  panik  dan  mengakibatkan mengularnya  antrian  di  SPBU.  Selain  itu,  fenomena  ini  digunakan  oleh  orang
tidak bertanggungjawab untuk menimbun BBM  sehingga BBM menjadi semakin langka.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  salah  satu indikator  kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Cak  Lontong
memberikan  keuntungan  kepada  rakyat  Indonesia  berupa  pengungkapan  kritikan tidak langsung kepada pemerintah untuk segera mengatasi kelangkaan BBM agar
rakyat tidak terus-terusan dibuat susah. Cak Lontong berbaik hati menyampaikan kritikan  kepada  pemerintah  melalui  acara  tersebut  karena  melalui  media  televisi,
maka kritikan yang disampaikan akan lebih mengena. Berdasarkan  beberapa  contoh  data  tuturan  yang  diambil  dari  Acara
Sentilan  Sentilun  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  unsur  intralingual  yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa susah adalah berupa kalimat dan klausa.
Tidak  ada  kata-kata  khas  yang  mengindikasikan  nilai  rasa  susah  dalam  acara tersebut  karena  rasa  susah  baru  bisa  dirasakan  dalam  satu  kalimat  atau  paling
tidak satu klausa. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan
mendukung  nilai  rasa  susah,  hal  tersebut  tergantung  pada  keekspresifan  penutur.
Hal ini berbeda dengan unsur ekstralingual konteks yang selalu muncul menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa yang ada dalam tuturan.
Unsur  ekstralingul  konteks  yang  memunculkan  nilai  rasa  susah  dalam  acara Sentilan
Sentilun hanyalah
fenomena praanggapan
karena sebelum
mengungkapkan  kesusahannya  penutur  mengetahui  suatu  hal  atau  mengalami sendiri  hal  tersebut.  Nilai  rasa  susah  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  selalu
dinyatakan santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech, yaitu maksim  kebijaksanaan  karena  tuturan  bernilai  rasa  susah  selalu  memberikan
informasi kepada mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan
4.2.2.3 Nilai Rasa Gembira Nilai  rasa  gembira  merupakan  kadar  perasaan  tuturan  yang  mengandung
rasa senang karena suatu sebab tertentu
.
Nilai rasa gembira dapat muncul karena seseorang  mengalami  sendiri  kesenangan  itu  atau  bahkan  turut  merasakan
kesenangan  orang  lain.  Nilai  rasa  gembira  dapat  ditunjukkan  melalui  berbagai perasaan, seperti rasa berbahagia, rasa bangga dan rasa puas.
4.2.2.3.1 Nilai Rasa Berbahagia Nilai  rasa  berbahagia  adalah  bentuk  kegembiraan  yang  muncul  akibat
penutur mengalami sendiri atau mengetahui suatu kejadian yang membuat hatinya merasa  senang.  Nilai  rasa  berbahagia  ini  juga  dapat  dirasakan  oleh  orang  yang
turut  merasa  senang  atas  kebaikan  yang  diterima  orang  lain.  Perhatikan  tuturan berikut: “Pakdemu ini lagi bahagia. Bahagia, siapa yang nggak bahagia punya
pemimpin baru. . .waha. . .” SSNRB04-08-20143. Tuturan tersebut dikatakan
oleh Ndoro yang mengetahui hasil Pilpres 2014 yang dimenangkan oleh pasangan pilihannya, yaitu Jokowi-JK.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Pakdemu  ini lagi  bahagia
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  berbahagia.  Kalimat  tersebut
menggunakan  kata “bahagia”  yang  berarti  keadaan  atau  perasaan  senang  dan
tenteram  KBBI,2008:114.  Secara  utuh,  kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai perasaan  senang  Ndoro  karena  Pak  Jokowi  telah  menang  dalam  pilpres  2014.
Ndoro merasa senang karena Pak Jokowi merupakan capres  pilihannya.  Nilai  rasa  berbahagia  juga
didukung oleh unsur ekstralingual yang dimunculkan
oleh  Ndoro  berupa  ekspresi  wajah  bahagia.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur ekstralingual  konteks  yang  dimuculkan  melalui  fenomena  praanggapan  atau
pengetahuan  lama  Ndoro  mengenai  hasil  pilpres  2014  yang  dimenangkan  oleh pasangan  Jokowi-Jusuf  Kalla.  Pak  Jokowi  merupakan  capres  pilihan  Ndoro  saat
pilpres 2014 kemarin.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  simpati
“sympathy  maxim”  tuturan  dapat  mengungkapkan  rasa  simpati  terhadap yang  dialami  oleh  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Ndoro
mengungkapkan  rasa  simpatinya  dengan  wujud  merasakan  bahagia  karena  Pak Jokowi sebagai orang yang dimaksud dalam tuturan terpilih sebagai Presiden.
Nilai rasa berbahagia juga muncul dalam tuturan 19 “Saya senang waktu
ngomong mbelgedes ” SSNRB04-08-201438. Tuturan tersebut dikatakan oleh
Anies  Baswedan  yang  merasa  senang  saat  mendengar  kata “Mbelgedes”  dalam
tuturan  Ndoro  sebelumnya  yang  mengejek  pernyataan  Sentilun  karena  ingin memeluk Chacha.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Saya  senang waktu ngomong mbelgedes
”, untuk memunculkan nilai rasa berbahagia. Kalimat
tersebut  menggunakan  kata “senang”  yang  berarti  suka  atau  gembira
KBBI,2008:1267. Kalimat  tersebut dipersepsi sebagai perasaan senang penutur terhadap kata
“mbelgedes” yang digunakan oleh Ndoro dalam tuturan sebelumnya untuk  mengejek  pernyataan  Sentilun  yang  ingin
memeluk  Chacha.  Nilai  rasa  berbahagia  juga didukung  oleh  unsur  ekstralingual  tanda-tanda
ketubuhan  berupa  ekspresi  bahagia  Anies  Baswedan  tertawa  yang
mengindikasikan  bahwa  ia  senang.  Selain  itu,  juga  terdapat  unsur  ekstralingual
konteks  dimunculkan  melalui  fenomena  referensi  atau  rujukan  tuturan  Ndoro
sebelumnya  yang  menggunakan  kata “mbelgedes”  saat  mengejek  pernyataan
Sentilun karena ingin memeluk Chacha.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim perimbangan
“consideration  maxim”  tuturan  dapat  mengungkapkan  sebanyak- banyaknya rasa senang kepada mitra tutur. Di dalam tuturan tersebut, Anies
Baswedan  mengungkapkan  kesenangannya  terhadap  Ndoro  sebagai  orang  yang dimaksud  dalam  tuturan  karena  ungkapan  “mbelgedes”  yang  digunakan  untuk
mengejek Sentilun.
Unsur  intralingual  yang  memunculkan  nilai  rasa  berbahagia  tidak  hanya berupa  kalimat  seperti  kedua  contoh  di  atas,  melainkan  ada  pula  yang  ditandai
oleh  klausa,  seperti  pada  tuturan  “Ndoro  pokoknya  sekarang  ini  saya  senang banget.  Saya  ingin  memberikan  selamat  kepada  pemimpin  yang  baru.  Selamat
menjalankan amanat yang mungkin memang berat, maka jadilah pemimpin yang dicintai rakyat, buka
n pemimpin yang ditakuti rakyat” SSNRB04-08-201439. Tuturan  tersebut  dikatakan    oleh  Sentilun  yang  mengetahui  hasil  pilpres  yang
dimenangkan oleh capres pilihannya, yaitu Pak Jokowi.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“pokoknya sekarang  ini  saya  senang  banget
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  berbahagia.
Klausa  tersebut  menggunakkan  kata “senang”  yang  berarti  suka  atau  gembira
KBBI,2008:1267.  Secara  utuh,  klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai  perasaan senang  Sentilun  karena  presiden  yang  baru  saja  terpilih  dalam  pilpres  kemarin
sesuai  dengan  pilihannya,  yaitu  Pak  Jokowi.  Nilai rasa  berbahagia  didukung  oleh  unsur  ekstralingual
tanda-tanda  ketubuhan  yang  dimunculkan  Sentilun
berupa  gerakan  kedua  tangan  ditangkupkan  ke  depan  dada  dan  mata  yang terpejam  untuk  mengekspresikan  rasa  senangnya  karena  Pak  Jokowi  terpilih
menjadi  presiden.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang
dimuculkan  melalui  fenomena  praanggapan  atau  pengetahuan  awal  Sentilun
mengenai  Pak  Jokowi  yang  baru  saja  memenangkan  pilpres  2014.  Pak  Jokowi merupakan capres pilihan Sentilun.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  simpati
“sympathy  maxim”  tuturan  dapat  mengungkapkan  rasa  simpati  terhadap yang  dialami  oleh  mitra  tutur.  Di  dalam  tuturan  tersebut,  Sentilun
mengungkapkan  rasa  simpatinya  dengan  cara  ikut  merasakan  kebahagiaan  Pak Jokowi  yang  terpilih  sebagai  Presiden  RI.  Pak  Jokowi  juga  merupakan  capres
pilihan Sentilun.
Berdasarkan  beberapa  contoh  data  tuturan  yang  diambil  dari  Acara Sentilan  Sentilun  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  unsur  intralingual  yang
digunakan  untuk  memunculkan  nilai  rasa  berbahagia  adalah  berupa  kalimat  dan klausa. Di dalam nilai rasa berbahagia pada acara ini menggunakan kata-kata khas
yang  mengindikasikan  nilai  rasa  berbahagia,  seperti  kata “bahagia”  dan
“senang”.  Walaupun  demikian,  namun  kata-kata  tersebut  tidak  dapat  berdiri sendiri  karena  kadar  rasanya  baru  diketahui  setelah  berada  dalam  kalimat  atau
paling tidak klausa. Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  selalu  muncul  dan
mendukung  nilai  rasa  berbahagia,  yaitu  ekspresi  wajah  bahagia.  Selain  itu, terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  juga  selalu  muncul  menyertai  tuturan
karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa yang ada dalam tuturan. Unsur ekstralingul  konteks  yang  memunculkan  nilai  rasa  berbahagia  dalam  acara
Sentilan Sentilun adalah fenomena praanggapan dan referensi. Melalui fenomena praanggapan  karena  sebelum  mengungkapkan  kebahagiaannya  tentunya  penutur
mempunyai  pengetahuai  mengenai  suatu  kejadian  yang  membuatnya  merasa
senang, sedangkan melalui fenomena referensi karena rujukan tuturan mitra tutur sebelumnya dapat menimbulkan rasa senang pada diri penutur.
Nilai  rasa  berbahagia  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  selalu  dinyatakan santun  karena  memenuhi  dua  indikator  kesantunan  Leech,  yaitu  maksim  simpati
ikut merasakan kebahagiaan mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan dan  maksim  pertimbangan  mengungkapkan  kesenangannya  atas  apa  yang
diungkapkan mitra tutur. 4.2.2.3.2 Nilai Rasa Bangga
Nilai rasa bangga adalah bentuk kegembiraan yang muncul akibat penutur turut  merasa  senang  atas  keberhasilan  atau  hasil  karya  orang  lain  seperti  pada
tuturan “Menurut analisis saya, setiap kita itu bicara karya kreatif, karya seni kita itu lalu jadi bangga dengan warisan nenek moyang kita. Lho, lha Borobudur itu
kan  warisan  nenek  moyang  kita ”  SSNRB25-08-20147.  Tuturan  tersebut
dikatakan  oleh  Sentilun  yang  mengetahui  banyaknya  warisan  kebudayaan  dan situs budaya Indonesia seperti borobudur, batik, wayang dan lain-lain.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“setiap  kita  itu bicara  karya  kreatif,  karya  seni  kita  itu  lalu  jadi  bangga  dengan  warisan  nenek
moyang kita
”, untuk memunculkan nilai rasa bangga. Klausa tersebut dipersepsi
sebagai  ungkapan  rasa  bangga  Sentilun  terhadap  warisan  kebudayaan  kita  yang sangat banyak dan bahkan sudah mendunia. Sentilun merasa bangga karena karya
kreatif  dan  karya  seni  yang  diciptakan  nenek  moyang  dulu  mampu  bertahan  dan diperkenalkan  sampai  dunia  internasional.  Klausa  tersebut  menggunakan  kata
“bangga” untuk lebih memperkuat rasa bangga yang dimiliki oleh Sentilun. Nilai
rasa  bangga  didukung  oleh  unsur  ekstralingual tanda-tanda
ketubuhan yang
dimunculkan
Sentilun  berupa  gerakan  kedua  tangan diangkat  ke  depan  sambil  menyentuh  dada
untuk  mengindikasikan  kebanggan  penutur  terhadap  warisan  nenek  moyang. Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui
fenomena  praanggapan  atau  pengetahuan  Sentilun  mengenai  warisan
kebudayaan dan situs budaya yang diwariskan oleh nenek moyang sangat banyak seperti  borobudur,  batik,  wayang  dan  lain-lain.  Bahkan  warisan  kebudayaan
tersebut sudah ada yang mendunia, misalnya batik.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  salah  satu indikator  kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  memberikan  keuntungan  kepada mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Sentilun  memberikan
keuntungan  berupa  pemberian  informasi  kepada  seluruh  rakyat  Indonesia mengenai  warisan  kebudayaan  dan  situs  budaya  yang  dimiliki  oleh  Indonesia
cukup  banyak  serta  membanggakan  karena  ada  yang  sampai  dikenal  oleh  dunia, yaitu batik.
Nilai  rasa  bangga  yang  ditemukan  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  yang dijadikan  sebagai  objek  penelitian  hanya  terdiri  dari  satu  tuturan.  Unsur
intralingual  yang ditemukan untuk memunculkan nilai rasa bangga hanya berupa klausa yang terdapat kata-kata khas untuk mengindikasikan kebanggan, yaitu kata
“bangga”.  Walaupun  demikian,  kata  tersebut  tidak  dapat  berdiri  sendiri  karena kadar rasanya baru dapat dirasakan setelah berada dalam klausa.
Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  selalu  muncul  dan mendukung nilai rasa bangga. Unsur  ekstralingual konteks yang digunakan untuk
memunculkan  nilai  rasa  bangga  hanya  fenomena  peraanggapan  karena  sebelum mengungkapkan  kebanggannya  terlebih  dahulu  penutur  memiliki  latar  belakang
pengetahuan  mengenai  apa  yang  dibanggakan.  Nilai  rasa  bangga  ini  selalu dinyatakan  santun  karena  penutur  berusaha  memberikan  informasi  kepada  mitra
tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  perihal  prestasi  yang  wajib dibanggakan sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.2.3.3 Nilai Rasa Puas Nilai  rasa  puas  adalah  bentuk  kegembiraan  yang  muncul  karena  harapan
atau  hasrat  hati  seseorang  telah  terpenuhi.  Nilai  rasa  puas  ini  merupakan  wujud kelegaan  hati,  seperti  dalam  tuturan  “Semoga  pasangannya  klop  karena  saya
mendengar  bisik-bisik  tetangga,  sekarang  ini  kalau  mau  ngurus  apa-apa  kecil, gampil, kalau mau ngurus birokrasi lancar, ngurus KTP cepet, no bayar-
bayar” SSNRB11-08-201419.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Asti  Ananta  yang
mengetahui layanan birokrasi  di Jakarta sebelum pemerintahan Pak Jokowi  yang dipersulit  dan  layanan  setelah  pemerintahan  Pak  Jokowi  yang  lebih  cepat,
nyaman, dan tanpa mengeluarkan biaya.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“sekarang  ini kalau  mau  ngurus  apa-apa  kecil,  gampil,  kalau  mau  ngurus  birokrasi  lancar,
ngurus KTP cepet, no bayar-bayar
”, untuk memunculkan nilai rasa puas. Klausa
tersebut dipersepsi sebagai ungkapan kepuasan Asti Ananta sebagai warga Jakarta terhadap  sistem  birokrasi  yang  diperbaiki  saat  pemerintahan  Pak  Jokowi.  Asti
ananta  menilai  saat  ini  dalam  urusan  pelayanan  birokrasi,  warga  Jakarta  lebih dimudahkan  daripada  saat  pemerintahan  Pak  Fauzi
Bowo.  Nilai  rasa  puas  juga  didukung  oleh  unsur ekstralingual
tanda-tanda ketubuhan
berupa
gerakan  tangan  kanan  diangkat  dan  jari  telunjuk  dan  jempol  di  satukan
untuk  mengindikasikan  kata ”kecil,  gampil”.  Selain
itu,  Asti  juga  memunculkan  gerakan  tangan  kanan diangkat  dengan  jempol  disatukan  dengan  jari
tengah  dan  telunjuk  kemudian  digerak-gerakan  untuk  mengindikasikan  kata
“no bayar-bayar”. Kedua unsur ekstralingual tersebut dimunculkan asti  sebagai wujud rasa puasnya terhadap pelayanan birokrasi saat pemerintahan Pak Jokowi.
Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui
fenomena  praanggapan  atau  pengetahuan  lama  asti  mengenai  layanan  birokrasi
di  Jakarta  sebelum  pemerintahan  Pak  Jokowi  dan  setelah  pemerintahan  Pak Jokowi.  Asti  Ananta  merasa  setelah  pemerintahan  Pak  Jokowi,  pelayanan
birokrasi di Jakarta menjadi lebih cepat, nyaman, dan tanpa mengeluarkan biaya.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  salah  satu indikator  kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
pertimbangan  “considerate  maxim”  tuturan  dapat  mengungkapkan sebanyak-banyaknya  rasa  senang  kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks
tuturan  tersebut,  Asti  Ananta  mengungkapkan  sebanyak-banyaknya  rasa  senang
kepada  Pak  Jokowi  yang  mampu  ngubah  sistem  pelayanan  birokrasi  di  Jakarta yang  semula  dipersulit  menjadi  dipermudah  sehingga  membuat  warga  semakin
nyaman. Nilai  rasa  puas  yang  ditemukan  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  yang
dijadikan  sebagai  objek  penelitian  hanya  terdiri  dari  satu  tuturan.  Unsur intralingual  yang  ditemukan  untuk  memunculkan  nilai  rasa  puas  hanya  berupa
klausa dan tidak ada kata-kata khas apapun yang mengindikasikan perasaan puas karena rasa puas  yang ada dalam tuturan tersebut baru terlihat dalam satu klausa
untuh. Nilai rasa puas  yang ditemukan didukung oleh unsur ekstralingual berupa tanda tanda ketubuhan.
Unsur  ekstralingual  konteks  yang  digunakan  untuk  memunculkan  nilai rasa  puas  hanyalah  fenomena  praanggapan  karena  sebelum  mengungkapkan
kepuasannya  tentunya  penutur  telah  mengetahui  hal  yang  membuatnya  merasa puas  dalam  konteks  tuturan  ini  berupa  perbandingan  pelayanan  birokrasi.  Nilai
rasa  puas  ini  selalu  dinyatakan  santun  karena  penutur  berusaha  mengungkapkan sebanyak-banyaknya  rasa  senang  kepada  mitra  tutur  karena  harapan  dan
keinginannya telah dipenuhi sesuai dengan maksim pertimbangan Leech.
4.2.2.4 Nilai Rasa Marah Nilai rasa marah merupakan kadar perasaan tuturan yang mengandung rasa
sangat  tidak  senang  karena  dihina,  diperlakukan  tidak  sepantasnya  dan  lain sebagainya. Nilai rasa marah dapat ditunjukkan melalui berbagai perasaan, seperti
rasa jengkel, rasa tersinggung, rasa kecewa, rasa cemburu, dan rasa sakit hati.
4.2.2.4.1 Nilai Rasa Jengkel Nilai rasa jengkel adalah bentuk kemarahan yang muncul karena perasaan
kesal  terhadap  perilaku  atau  perkataan  seseorang  yang  tidak  sesuai  dengan keinginan  serta
melanggar  suatu  aturan  tertentu,  misalnya  pada  tuturan  “Yang kemarin  itu  dalam  kampanye  orang-orang  pandai  malah  merusak  sendi-sendi
demokrasi.  Asem  tenan ”  SSNRB04-08-201424.  Tuturan  tersebut  dikatakan
oleh  Sentilun  yang  mengetahui  banyaknya  kecurangan  yang  dilakukan  oleh orang-orang  pandai  dalam  pilpres  2014  kemarin,  misalnya  dengan  menerbitkan
majalah Obor Rakyat.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Asem tenan”,
untuk  memunculkan  nilai  rasa  jengkel.  Kalimat  tersebut  berasal  dari  ungkapan
bahasa  jawa  yang  termasuk  dalam  umpatan  untuk  mengindikasikan  kejengkelan penutur  terhadap  orang  pintar  yang  justru  merusak  demokrasi  dengan
menyebarkan isu demi menjatuhkan salah satu pihak. Selain itu, kalimat tersebut diakhiri  dengan  tanda  seru  yang  mengindikasikan  penekanan  keras  saat  Sentilun
mengucapkan  kalimat  tersebut.  Nilai  rasa  jengkel didukung
oleh unsur
ekstralingual tanda-tanda
ketubuhan  yang  dimunculkan  Sentilun  berupa  bibir yang dimonyongkan dan nada tinggi saat mengucapkan kalimat tersebut. Selain
itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui
fenomena  praanggapan  atau  pengetahuan  awal  Sentilun  mengenai  banyak
praktek  kecurangan  yang  dilakukan  oleh  orang-orang  pandai  dalam  pilpres  2014
kemarin. Misalnya saja majalah obor rakyat yang menjelek-jelekkan Pak Jokowi. Majalah tersebut tentunya dibuat oleh orang yang pandai dan ahli dibidangnya.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  salah  satu indikator  kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
puian “praise maxim” tuturan dapat memberikan pujian pada mitra tutur.
Dalam konteks tuturan  tersebut, Sentilun telah melanggar maksim pujian dengan mengungkapkan umpatan dalam bahasa Jawa Asem tenan kepada orang-orang
pintar  sebagai  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  yang  merusak  demokrasi dengan menyebarkan kampanye hitam.
Unsur ekstralingual  berupa tanda-tanda ketubuhan juga beragam  dan bisa saja  terdapat  lebih  dari  unsur  ekstralingual  yang  digunakan  untuk  mendukung
nilai  rasa  jengkel,  misalnya  dalam  tuturan  “Huh,  aku  udah  sebel  ah,  aku  udah ngambek,  aku  marah,  aku  nggak  suka,  pokoknya  aku  kesel
”SSNRB08-09- 20142.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Chacha  yang  merasa  jengkel  karena
telah menunggu Cak Lontong dari jam dua belas sampai jam lima sore.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Huh, aku udah sebel  ah, aku udah ngambek, aku marah, aku nggak suka, pokoknya aku kesel
”,
untuk  memunculkan  nilai  rasa  jengkel.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai
ungkapan  kejengkelan  Chacha  terhadap  Cak  Lontong  yang  tidak  menepati janjinya  dengan  datang  terlambat.  Chacha  jengkel  karena  harus  menunggu  lama
kedatangan Cak Lontong. Kalimat tersebut menggunakan kata “huh” yang berarti
kata  seru  untuk  menyatakan  rasa  kesal  hati  KBBI,2008:508  dan  kata “sebel”,
“ngambek”,  “marah”,  “nggak  suka”,  “kesal”  untuk  memperkuat  ungkapan
kejengkelan  yang  dirasakan  oleh  Chacha.  Nilai  rasa  jengkel  juga  didukung  oleh unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan yang dimunculkan oleh Chacha berupa
gerakan  membalikan  tubuh  saat  Cak  Lontong  datang  sambil  kedua  tangan bersedekap.  Chacha  juga  memunculkan  ekspresi  wajah  marah,  nada  bicara
yang  tinggi  dan  kedua  tangan  diangkat  kemudian  dihempaskan  ke  bawah
saat menuturkan kalimat tersebut untuk memperlihatkan kejengkelannya.
Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui
fenomena  pranggapan  atau  pengetahuan  lama  Chacha  mengenai  janji  Cak
Lontong  kemarin  yang  akan  datang  pada  pukul  dua  belas.Chacha  sudah menunggu  Cak  Lontong  dari  jam  dua  belas  hingga  jam  lima  sore.  Cak  Lontong
ingkar  janji  kepada  Chacha  karena  ia  terlambat  datang  dan  membiarkan  Chacha menunggu lama.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  salah  satu
indikator  Pranowo  berupa  nilai-nilai  luhur  pendukung  kesantunan  2008,  dalam
Pranowo  2012:111,  yaitu  sikap  tenggang  rasa.  Sikap  tenggang  rasa  adalah
manifestasi  dari sikap rendah hati. Dalam konteks tuturan tersebut,  Chacha tidak menghargai perasaan Cak Lontong tenggang rasa karena ia langsung meluapkan
kejengkelannya  tanpa  mau  mendengarkan  alasan  mengapa  Cak  Lontong  datang terlambat.  Chacha  hanya  mengedepankan  emosi  dan  tidak  bisa  kontrol  diri
sehingga tuturannya terkesan tidak menghargai perasaan Cak Lontong.
Unsur ekstralingual  tanda-tanda ketubuhan juga tidak selalu dimunculkan untuk mendukung nilai rasa jengkel seperti pada tuturan “Mas Sentilun itu suka
ngawur tau nggak. Ini filmnya tu film tentang perjuangan. Saya akan jadi suster yang  ikut  membantu  menolong  pejuang-pejuang  kemerdekaan  yang  terluka  di
medan perang, keren kan? ” SSNRB18-08-20145. Tuturan tersebut dikatakan
oleh  Chacha  yang  merasa  jengkel  terhadap  peringatan  bernanda  menuduh  yang diberikan oleh Sentilun agar tidak bermain dalam film porno.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Mas  Sentilun itu  suka  ngawur  tau  nggak”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  jengkel.  Kalimat
tersebut dipersepsi sebagai ungkapan kejengkelan Chacha terhadap Sentilun yang memperingatkan  dengan  nada  menuduh  bahwa  ia  hendak  bermain  film  porno.
Kalimat  tersebut  menggunakan  kata “ngawur” yang mengindikasikan perkataan
Sentilun  tidak berdasar  dan hanya asal  bicara.  Chacha tidak memunculkan unsur ekstralingual  berupa tanda-tanda ketubuhan  apa  pun untuk  mendukung nilai  rasa
kesal  yang diungkapkannya. Selain itu, terdapat  juga unsur ekstralingual  konteks
dimunculkan  melalui  fenomena  referensi  atau  rujukan  tuturan  Sentilun
sebelumnya yang berisi peringatan kepada dirinya untuk tidak bermain film porno bersama  Miyabi  yang  merupakan  akttof  film  porno.  Padahal  kenyataannya
Chacha  akan  menjadi  aktor  yang  berperan  sebagai  suster  dalam  film  Soekarno garapan Hanung Bramantyo.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  salah  satu
indikator  Pranowo  berupa  nilai-nilai  luhur  pendukung  kesantunan  2008,  dalam
Pranowo  2012:111,  yaitu  sikap  tenggang  rasa.  Sikap  tenggang  rasa  adalah
manifestasi  dari  sikap  rendah  hati.  Dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Chacha langsung  mengungkapkan  rasa  jengkelnya  tanpa  memikirkan  perasaan  Sentilun.
Chacha  mengedepankan  emosi  saat  bertutur  sehingga  tuturannya  menjadi  tidak santun.
Selain  itu,  perasaan  jengkel  juga  dapat  muncul  karena  rasa  tidak  terima penutur akibat ada seseorang yang membicarakan hal tidak benar tentang dirinya
merasa difitnah tanpa bukti yang jelas. Misalnya dalam tuturan “Ini ngawur, ini ngacau  ini,  ini  fitnah  ini  Pak.  Siapa  bilang  seprei?
”  SSNRB25-08-20146. Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Cak  Lontong  yang  merasa  kesal  dengan
pernyataan  Sentilun  karena  menuduh  bahwa  bajunya  terbuat  dari  kain  seprei. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai ungkapan kejengkelan Cak Lontong terhadap
Sentilun yang telah menuduhnya membuat baju dari kain seprei. Kalimat tersebut menggunakan  kata
“ini”  untuk  menekankan  kata  “ngawur”,  “ngacau”,  dan “fitnah” yang dipergunakan Cak Lontong sebagai ungkapan kejengkelannya. Cak
Lontong  tidak  terima  dengan  pernyataan  Sentilun  karena  bajunya  merupakan batik berkualitas dan bukan berasal dari kain seprei seperti tuduhan Sentilun. Nilai
rasa  jengkel  juga  didukung  oleh  unsur  ekstralingual tanda-tanda  ketubuhan  yang  dimunculkan  oleh  Cak
Lontong  berupa  gerakan  tangan  kiri  menunjuk- nunjuk ke arah Sentilun sebagai wujud kejengkelannya terhadap Sentilun yang
telah menuduhnya membuat baju dari kain seprei.  Selain itu, terdapat juga unsur
ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena referensi atau rujukan
tuturan Sentilun sebelumnya yang berisi tuduhan bahwa baju Cak Lontong terbuat
dari kain seprei. Cak lontong jengkel dengan pernyataan Sentilun tersebut karena bajunya  merupakan  batik  berkualitas  dan  bukan  berasal  dari  kain  seprei  seperti
tuduhan Sentilun.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  salah  satu
indikator  berupa  nilai-nilai  luhur  pendukung  kesantunan  Pranowo  2008,  dalam
Pranowo  2012:111,  yaitu  sikap  tenggang  rasa.  Sikap  tenggang  rasa  adalah
manifestasi  dari sikap rendah hati. Dalam konteks tuturan tersebut,  Cak Lontong langsung  mengungkapkan  kekesalannya  kepada  Sentilun  tanpa  memikirkan
perasaannya.  Hal  tersebut  dikarenakan  Cak  Lontong  mengedepankan  emosi  saat bertutur sehingga tutturannya menjadi tidak santun. Selain itu, Cak Lontong juga
memunculkan  gerakan  menunjuk-nunjuk  langung  ke  arah  Sentilun  yang mengindikasikan  bahwa  ia  tidak  menghargai  Sentilun  dengan  berusaha
memojokkannya. Berdasarkan  beberapa  contoh  data  tuturan  yang  dipaparkan  di  atas,  dapat
disimpulkan  bahwa  unsur  intralingual  yang  digunakan  untuk  memunculkan  nilai rasa jengkel dapat berupa klausa dan kalimat. Di dalam nilai rasa jengkel ini tidak
ada  kata-kata  khas  yang  menandainya,  hal  tersebut  dikarenakan  rasa  jengkel dalam  suatu  tuturan  baru  dapat  dirasakan  dalam  satu  susunan  klausa  maupun
kalimat  utuh.  Unsur  intralingual  yang  digunakan  untuk  memunculkan  nilai  rasa jengkel dalam acara Sentilan Sentilun dapat berisi umpatan maupun tuturan yang
dianggap mampu memberikan efek jera bagi orang yang dimaksud dalam tuturan orang yang membuat jengkel.
Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  tidak  selalu  muncul untuk  mendukung  nilai  rasa  jengkel  yang  ingin  disampaikan.  Hal  tersebut
tergantung  dari  keekspresifan  penutur.  Namun  ada  hal  yang  khas  dari  nilai  rasa jengkel  ini,  yaitu  penggunaan  nada  yang  tinggi  untuk  mengindikasikan
kejengkelan  penutur.  Sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  selalu  menyertai tuturan  bernilai  rasa  jengkel  karena  hal  tersebut  digunakan  untuk  mengetahui
kadar  rasa  suatu  tuturan.  unsur  ekstralingual  konteks  yang  digunakan  untuk memunculkan  nilai  rasa  jengkel  adalah  fenomena  praanggapan  dan  referensi.
Fenomena praanggapan digunakan apabila nilai rasa jengkel dilatarbelakangi oleh kejadian atau perilaku tertentu  yang tidak berkenan di  hati, sedangkan fenomena
praanggapan digunakan apabila nilai rasa jengkel dilatarbelakangi oleh perkataan mitra tutur sebelumnya yang tidak berkenan di hati penutur.
Pengungkapan nilai rasa jengkel ini selalu dinyatakan secara tidak santun. karena pada umumnya tuturan hanya mengedepankan emosi sehingga tuturannya
dapat berupa umpatan melanggar maksim pujian Leech. Selain itu, tuturan juga tidak menghargai perasaan mitra tutur melanggar indikator kesantunan Pranowo
berupa  sikap  tenggang  rasa  atau  menghargai  perasaan  mitra  tutur  karena kejengkelan diungkapkan secara langsung.
4.2.2.4.2 Nilai Rasa Tersinggung Nilai  rasa  tersinggung  adalah  bentuk  kemarahan  yang  muncul  karena
penutur  merasa  dihina  melalui  perkataan  mitra  tutur  sebelumnya,  misalnya  pada tuturan  “Kok  pakai  garis  bawah?”  SSNRB04-08-201420.  Tuturan  tersebut
dikatakan  oleh  Ndoro  yang  mengetahui  tuturan  Sentilun  sebelumnya  yang menggunakan frasa “laki-laki tua” bermaksud menghinanya.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Kok  pakai garis  bawah?
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  tersinggung.  Kalimat  tersebut
merupakan  kalimat  tanya  yang  bukan  dimaksudkan  untuk  menanyakan, melainkan  untuk  mengungkapkan  bahwa  penekanan  dan  lirikan  mata  yang
dilakukan  oleh  Sentilun  telah  menyinggungnya.  Kalimat  tersebut  menggunakan frasa
“garis  bawah”  yang  mengindikasikan  penekanan  Sentilun  terhadap  frasa “laki-laki tua” yang dibuktikan melalui nada yang ditekankan saat mengucapkan
frasa  tersebut  disertai  dengan  lirikan  mata  yang  mengarah  kepadanya.  Nilai  rasa tersinggung  juga  diperkuat  melalui  unsur  ekstralingual  tanda-tanda  letubuhan
yang  dimunculkan  oleh  Ndoro  berupa  gerakan tangan  kanan  diangkat  ke  depan  perut  dan
membentuk  garis  dari  kiri  ke  kanan.  Selain  itu,
terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  dalam  tuturan  tersebut  yang
dimunculkan  melalui  fenomena  referensi  atau  rujukan  tuturan  Sentilun
sebelumnya yang menggunakan nada penuh penekanan dan melirik padanya saat mengucapkan frasa
“laki-laki tua” ketika memberikan nasihat kepada Chacha.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  salah  satu
indikator  kesantunan  Pranowo  berupa  nilai-nilai  pendukung  kesantunan  2008,
dalam Pranowo 2012, yaitu sikap menjaga perasaan. Di dalam konteks tuturan
tersebut,  Ndoro  berusaha  menjaga  perasaan  Sentilun  dengan  menggunakan kalimat  tanya  untuk  menyatakan  rasa  tersinggungnya.  Ndoro  tidak  langsung
mengungkapkan bahwa dirinya merasa tersinggung, namun terlebih dahulu beliau bertanya  kepada  Sentilun  apa  maksud  nada  penekanan  yang  diberikannya  pada
frasa “laki-laki tua” dalam tuturan sebelumnya. Ndoro masih berusaha menjaga
perasaan  Sentilun  walaupun  sebenarnya  belau  merasa  tersindir  dengan  tuturan Sentilun sebelumnya.
Nilai  rasa  tersinggung  yang  ditemukan  dalam  acara  Sentilan  Sentilun yang ditetapkan sebagai objek penelitian hanya satu tuturan. Unsur intralingual
yang  digunakan  untuk  memunculkan  nilai  rasa  tersinggung  dalam  acara  tersebut hanya  berupa  kalimat.  Terdapat  unsur  ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  yang
mendukung  nilai  rasa  tersinggung.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual konteks  yang  selalu  muncul  menyertai  tuturan  karena  dipergunakan  untuk
mengetahui  kadar  rasa  yang  ada  dalam  tuturan.  Unsur  ekstralingul  konteks  yang memunculkan  nilai  rasa  tersinggung  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  hanyalah
fenomena  referensi.  Hal  tersebut  dikarenakan  rasa  tersinggung  muncul  karena disebabkan  tuturan  mitra  tutur  sebelumnya.  Nilai  rasa  tersinggung  dalam  acara
tersebut  selalu  dinyatakan  santun    karena  menjaga  perasaan  mitra  tutur  dengan menggunakan  kalimat  tanya  untuk  menyatakan  rasa  tersinggung  sesuai  dengan
indikator kesantunan pranowo berupa sikap menjaga perasaan. 4.2.2.4.3 Nilai Rasa Kecewa
Nilai rasa kecewa adalah bentuk kemarahan yang muncul karena apa yang diinginkan  tidak  sesuai  dengan  kenyataan.  Nilai  rasa  kecewa  ini  pada  awalnya
menuntut  mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  untuk  melakukan sesuatu  sesuai  dengan  yang  diinginkan  penutur,  namun  dalam  kenyataannya  hal
tersebut  tidak  dapat  diwujudkan.  Perhatikan  tuturan  berikut:  “Lucunya  ini  lho ndoro, kok pemerintah nggak turun?
” SSNRB01-09-201412. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang mengritik pemerintah kerena terkesan tidak perduli
saat harga-harga barang kebutuhan naik pasca kenaikan harga BBM bersubsidi.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Lucunya ini lho ndoro,  k
ok  pemerintah  nggak  turun?”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  kecewa.
Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  ungkapan  rasa  kecewa  Sentilun  terhadap pemerintah  yang  terkesan  tidak  perduli  saat  harga-harga  barang  kebutuhan  naik
pasca kenaikan harga BBM bersubsidi. Pemerintah seharusnya melakukan sesuatu agar  rakyat  yang  sudah  miskin  tidak  semakin
sengsara. Nilai rasa kecewa juga didukung oleh unsur  ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan
berupa gelengan kepala yang mengindikasikan
bahwa  Sentilun  tidak  habis  pikir  dengan  sikap  pemerintah  tersebut.  Sentilun mengekspresikan kekecewaannya melalui unsur ekstralingual yang ia munculkan.
Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui
fenomena  praanggapan  atau  pengetahuan  Sentilun  sebelumnya  mengenai  sikap
pemerintah yang terkesan cuek dengan tidak mengeluarkan kebijakan apapun saat terjadi kenaikan harga bahan pokok pasca kenaikan harga BBM bersubsidi.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102  yang  memandang prinsip kesantunan
sebagai  piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Di dalam konteks tuturan
diatas, Sentilun menggunakan ungkapan pertanyaan yang ditujukan kepada Ndoro yang  dimaksudkan  untuk  mengungkapkan  rasa  kecewanya  terhadap  pemerintah
yang tidak turun tangan saat harga-harga melambung pasca kenaikan harga BBM. Nilai rasa kecewa juga muncul dalam tuturan “Katanya Cak Lontong itu
mau setia sama saya. Dia nggak akan meninggalkan saya. Ibaratnya koalisi, dia berjanji  mau  koalisi  permanen  dengan  saya,  nyatanya  dia  ingkar  janji
” SSNRB08-09-20149. Tuturan tersebut dikatakan oleh Chacha yang ingat janji
Cak  Lontong  kepadanya  saat  itu  diceritakan  Chacha  sebagai  kekasih  Cak Lontong bahwa ia tidak akan meninggalkannya dan selalu setia kepadanya.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“nyatanya  dia ingkar janji
”, untuk memunculkan nilai rasa kecewa. Klausa tersebut dipersepsi
sebagai kekecewaan Chacha terhadap Cak Lontong yang tidak menepati janjinya untuk setia dan tidak meninggalkannya. Chacha menganggap Cak Lontong ingkar
janji  karena  kemarin  Chacha  mengetahui  bahwa  Cak  Lontong  pergi  ke  ragunan bersama  seseorang.  Klausa  tersebut  menggunakan  kata
“nyatanya”  untuk mengindikasikan keadaan yang berkebalikan dengan kenyataan. Nilai rasa kecewa
juga  didukung  oleh  unsur  ekstralingual  tanda- tanda  ketubuhan  yang  dimunculkan  Chacha
berupa lirikan mata ke arah Cak Lontong dan nada
penuh penekanan
saat mengucapkan
klausa tersebut
untuk mengindikasikan  kekecewaanya  terhadap  Cak  Lontong  yang  telah  ingkat  janji.
Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  eksralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui
fenomena  praanggapan  atau  pengetahuan  lama  Chacha  mengenai  janji  Cak
Lontong  kepadanya  saat  itu  diceritakan  Chacha  sebagai  kekasih  Cak  Lontong yang  tidak  akan  meninggalkannya  dan  selalu  setia  kepadanya.  Namun
kenyataannya  kemarin  ia  mengetahui  Cak  Lontong  pergi  ke  ragunan  bersama seseorang.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102  yang  memandang prinsip kesantunan
sebagai  piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak  langsung  dalam  mengungkapkan  maksudnya.  Dalam  konteks  tuturan
diatas,  Chacha  mengungkapkan  janji  Cak  Lontong  sebelumnya  terhadap  dirinya yang  diakhiri  dengan  pernyataan  bahwa  janji  tersebut  tidak  ditepati  untuk
menyatakan kekecewaannya. Nilai  rasa  kecewa  juga  tidak  selalu  didukung  unsur  ekstralingual  tanda-
tanda  ketubuhan  seperti  pada  tuturan  “Nah,  itu  makannya  kalau  seandainya pemerintah kita ini tulus, ikhlas, jujur melihat bagaimana nasib bangsa ke depan.
Jadi  dalam  waktu  sepuluh  tahun  ini  kan  bisa  diatur  pelan-pelan  sehingga sekarang ini harga BBMnya itu pas´SSNRB01-09-201414. Tuturaan tersebut
dikatakan oler Riyad Chairil yang mengetahui pemerintahan SBY telah menjabat selama  dua  periode  dengan  total  masa  jabatan  sepuluh  tahun,  namun  dalam
sepuluh  tahun  tersebut  Pak  SBY  tidak  mengatur  pelan-pelan  harga  BBM disesuaikan  dengan  trend  minyak  dunia  sehingga  saat  ini  hal  tersebut  menjadi
beban bagi pemerintahan yang baru.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebt  berupa  klausa
“seandainya pemerintah  kita  ini  tulus,  ikhlas,  jujur  melihat  bagaimana  nasib  bangsa  ke
depan
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  kecewa.  Klausa  tersebut  menggunakan
kata “seandainya”  yang  berarti  peristiwa  yang  dianggap  mungkin  terjadi
KBBI,2008:60. Kata “seandainya” dalam tuturan tersebut  mengindikasikan hal
yang  berkebalikan  dengan  kenyataan  mengenai  keseriusan  pemerintah menghadapi  masalah  BBM  yang  ditunjukkan  melalui  kata  tulus,  ikhlas,  dan
jujur.  Klausa  tersebut  dipeserpsi  sebagai  kekecewaan  Riyad  Chairil  terhadap pemerintahan  SBY  karena  terkesan  tidak  tegas  menyikapi  permasalahan  BBM.
Riyad  Chairil  tidak  memunculkan  tanda-tanda  ketubuhan  tertentu  yang mendukung  ungkapan  nilai  rasa  kecewanya,  sedangkan  unsur  ekstralingual
konteks  dalam  tuturan  tersebut  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.
atau  pengetahuan  lama  Riyad  mengenai  pemerintahan  SBY  yang  telah  menjabat selama  dua  periode  dengan  total  masa  jabatan  sepuluh  tahun,  namun  dalam
sepuluh  tahun  tersebut  Pak  SBY  tidak  mengatur  pelan-pelan  harga  BBM disesuaikan  dengan  trend  minyak  dunia  sehingga  saat  ini  hal  tersebut  menjadi
beban bagi pemerintahan yang baru.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102  yang  memandang prinsip kesantunan
sebagai  piranti untuk menjelaskan  mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Di dalam konteks tuturan
diatas,  Riyad  menggunakan  kata  seandainya  sebagai  ungkapan  tidak  langsung yang  berarti  pengandaian  berupa  sesuatu  yang  tidak  pernah  terjadi  untuk
mengindikasikan kekecewaannya terhadap kinerja pemerintah.
Berdasarkan  beberapa  contoh  data  tuturan  yang  dipaparkan  di  atas,  dapat disimpulkan  bahwa  unsur  intralingual  yang  digunakan  untuk  memunculkan  nilai
rasa  kecewa  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  dapat  berupa  klausa  dan  kalimat.  Di dalam  nilai  rasa  kecewa  ini  tidak  ada  kata-kata  khas  yang  menandainya,  hal
tersebut dikarenakan rasa kecewa dalam suatu tuturan baru dapat dirasakan dalam satu susunan klausa maupun kalimat utuh.
Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  tidak  selalu  muncul untuk  mendukung  nilai  rasa  kecewa  yang  ingin  disampaikan.  Hal  tersebut
tergantung  dari  keekspresifan  penutur.  Hal  tersebut  berbeda  dengan  unsur ekstralingual  konteks  selalu  menyertai  tuturan  bernilai  rasa  kecewa  karena  hal
tersebut  digunakan  untuk  mengetahui  kadar  rasa  suatu  tuturan.  Unsur ekstralingual  konteks  yang  digunakan  untuk  memunculkan  nilai  rasa  kecewa
hanyalah  fenomena  praanggapan  karena  sebelum  menyatakan  kekecewaannya terlebih dahulu penutur mengetahui hal yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Pengungkapan  nilai  rasa  kecewa  ini  selalu  dinyatakan  secara  santun. karena  pada  umumnya  penutur  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  selalu  menyatakan
rasa  kecewanya  secara  tidak  langsung  sesuai  indikator  kesantunan  Leech  yang memandang  prinsip  kesantunan  sebagai  piranti  untuk  menjelaskan  mengapa
penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. 4.2.2.4.4 Nilai Rasa Cemburu
Nilai  rasa  cemburu  adalah  bentuk  kemarahan  yang  muncul  karena perasaan tidak senang ketika melihat orang lain beruntung. Nilai rasa cemburu ini
biasanya dikaitkan juga dengan masalah percintaan, misalnya pada tuturan “Eh . .
.eh . . . ngapain Cak Lontong? Eh, eh, eh jangan pegang-pegang gitu dong Enak aja, nggak bisa. Lho terdakwa kok pegang-pegang. Nggak bisa, nggak boleh, Itu
menya lahi  aturan  persidangan,  batasi”  SSNRB08-09-201415.  Tuturan
tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  yang  merasa  cemburu  karena  Cak  Lontong berusaha  memegang  tangan  Chacha  untuk  meminta  maaf  perihal  kesalahannya
yang telah menyakiti dan tidak menepati janji
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Enak  aja, nggak  bisa
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  cemburu.  Kalimat  tersebut
dipersepsi  sebagai  kecemburuan  Sentilun  karena  Cak  Lontong  berusaha memegang tangan Chacha untuk meminta maaf perihal kesalahan yang ia lakukan
karena  telah  menyakiti  dan  ingkar  janji.  Sentilun  cemburu  karena  Chacha merupakan  gadis  yang  disukainya  yang  disandiwarakan  dalam  acara  tersebut
dan ia tidak rela Cak Lontong memegang tangan Chacha untuk minta maaf. Nilai rasa cemburu juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan yang
dimunculkan  Sentilun  berupa  perpindahan tempat yang tadinya disebelah Ndoro menjadi
berada  diantara  Chacha  dan  Sentilun  sambil mengayun-ngayunkan  kain  serbet  yang  dibawa  agar  ke  arah  tangan  Cak
Lontong  dan  Chacha  agar  mereka  tidak  jadi  berpegangan  tangan.  Selain  itu,
terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena
referensi  atau  rujukan  tuturan  Cak  Lontong  sebelumnya  yang  berusaha  minta
maaf  kepada  Chacha  perihal  kesalahannya  yang  telah  menyakiti  dan  tidak menepati  janji  sambil  berusaha  memegang  tangan  Chacha.  Dalam  episode
tersebut,  Chacha  berperan  sebagai  seorang  gadis  yang  disukai  oleh  Sentilun, namun Chacha terlah berpacaran dengan Cak Lontong.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  tidak  santun  karena  melanggar  satu indikator  kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
pertimbangan  “consideration  maxim”  tuturan  dapat  mengungkapkan sebanyak-banyaknya  rasa  senang  pada  mitra  tutur.  Dalam  konteks  tuturan
tersebut, Sentilun menunjukkan rasa tidak senangnya terhadap Cak Lontong yang berusaha  minta  maaf  kepada  Chacha  dikarenakan  ia  merasa  cemburu  dan
menginginkan hubungan Chacha dan Cak Lontong berakhir. Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian,
hanya  ditemukan  satu  data  tuturan  yang  mengandung  nilai  rasa  cemburu. Kebetulan dalam data yang ditemukan, unsur  intralingual  yang digunakan untuk
memunculkan  nilai  rasa  cemburu  hanyalah  berupa  kalimat.  Terdapat  unsur ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  yang  mendukung  nilai  rasa  tersinggung.
Selain  itu,  ditemukan  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  selalu  muncul menyertai  tuturan  karena  dipergunakan  untuk  mengetahui  kadar  rasa  yang  ada
dalam tuturan. Unsur ekstralingul konteks yang memunculkan nilai rasa cemburu
dalam  acara  Sentilan  Sentilun  hanyalah  fenomena  referensi.  Hal  tersebut
dikarenakan  rasa  cemburu    muncul  karena  disebabkan  tuturan  mitra  tutur sebelumnya yang dianggap merupakan rival dalam memperebutkan cinta Chacha.
Nilai  rasa  tersinggung  dalam  acara  tersebut  dinyatakan  tidak  santun    karena
penutur mengungkapkan rasa tidak sukanya pada mitra tutur melalui tuturan dan tanda-tanda ketubuhan yang digunakan melanggar maksim pertimbangan Leech.
4.2.2.4.5 Nilai Rasa Sakit Hati Nilai rasa sakit hati adalah bentuk kemarahan yang muncul karena merasa
dihina atau dilukai hatinya. Nilai rasa sakit hati ini bisa disebabkan oleh perkataan seseorang  yang  keras  maupun  perilaku  yang  tidak  berkenan  di  hati.  Perhatikan
tuturan berikut: “Pakde Ndoro, jadi gimana nih aku sakit hati nih” SSNRB08- 09-20148.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Chacha  yang  mengetahui  Cak
Lontong telah membohonginya dan selalu tidak menepati janjinya untuk setia.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Pakde Ndoro, jad
i  gimana  nih  aku  sakit  hati  nih”,  untuk memunculkan  nilai  rasa sakit  hati.
Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  rasa  sakit  hati  Chacha  yang  diungkapkan kepada Ndoro perihal sikap Cak Lontong selama ini yang selalu membohonginya
dan  mengingkari  janji.  Chacha  merasa  sakit  hati  atas  sikap  Cak  Lontong  yang selalu membohongi dan mengingkari janji karena dalam episode tersebut Chacha
diceritakan  sebagai  kekasih  Cak  Lontong.  Chacha  tidak  memunculkan  unsur ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  apa  pun  untuk  mendukung  rasa  sakit  hati
yang  diungkapkannya,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan
melalui  fenomena  praanggapan.  Chacha  mempunyai  pengetahuan  lama
mengenai  Cak  Lontong  yang  membohonginya  dan  selalu  tidak  menepati  janji. Chacha  menganggap  Cak  Lontong  berbohong  karena  kemarin  dia  melihat  Cak
Lontong  pergi  ke  ragunan  bersama  seseorang.  Selain  itu,  saat  Cak  Lontong
membuat  janji  dengannya,  ia  selalu  datang  terlambat  dan  membiarkan  Chacha menunggu lama.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  salah  satu maxim  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  kebijaksanaan
“tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur.
Tuturan  tersebut  menimbulkan  kerugian  terhadap  Cak  Lontong  sebagai  orang yang  dimaksud  dalam  tuturan  karena  Chacha  berusaha  memojokkannya  dengan
cara bercerita kepada Ndoro yang berperan sebagai hakim tentang rasa sakit hati yang  dialami.  Cak  Lontong  merasa  dirugikan  karena  pengaduan  tersebut  dapat
memberatkannya dalam persidangan mahkamah asmara. Nilai  rasa  sakit  hati  yang  ditemukan  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  yang
dijadikan  sebagai  objek  penelitian  hanya  satu  data  tuturan.  Unsur  intralingual yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa sakit hati hanyalah berupa kalimat
dan  ada  frasa  khas  yang  mengindikasikannya,  yaitu  frasa “sakit  hati”.  Namun
frasa  tersebut  tidak  dapat  berdiri  sendiri  karena  kadar  rasanya  baru  dapat dirasakan setelah berada dalam klausa.
Nilai rasa sakit hati  yang ditemukan dalam acara tersebut  tidak didukung oleh  tanda-tanda  ketubuhan  apapun.  Hal  tersebut  berbeda  dengan  unsur
ekstralingual  konteks  yang  selalu  muncul  karena  digunakan  untuk  mengetahui kadar rasa dalam tuturan. Unsur ekstralingual konteks hanya dimunculkan melalui
fenomena  praanggapan  karena  sebelum  menyatakan  rasa  sakit  hati  terhadap seseorang tentunya penutur telah mempunyai pengetahuan lama mengenai sesuatu
yang  tidak  berkenan  dihati.  Nilai  rasa  sakit  hati  dalam  acara  tersebut  dinyatakan
tidak  santun  karena  berusaha  memojokkan  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan sehingga  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  merasa  dirugikan  melanggar
indikator kesantunan Leech, yaitu maksim kebijaksanaan.
4.2.2.5 Nilai Rasa Halus Nilai  rasa  halus  merupakan  kadar  perasaan  tuturan  untuk  menunjukkan
kehalusan  budi  pekerti  seseorang.  Nilai  rasa  halus  merupakan  manifestasi  sikap santun  penutur  terhadap  mitra  tutur.  Nilai  rasa  halus  dapat  ditunjukkan  melalui
rasa hormat, rasa sopan, rasa terima kasih, rasa syukur dan rasa sungkan. 4.2.2.5.1 Nilai Rasa Hormat
Nilai rasa hormat merupakan bentuk kehalusan budi pekerti terhadap mitra tutur dengan menggunakan kata-kata bernilai rasa hormat seperti bapak, ibu, mas,
mbak, dan lain sebagainya. Nilai rasa hormat berupa kata ganti persona atau kata bernilai  rasa  hormat  yang  digunakan  sebelum  memanggil  nama  seseorang.  Nilai
rasa  hormat  ini  merupakan  wujud  penghormatan  karena  mitra  tutur  atau  orang yang dimaksud dalam tuturan memiliki usia lebih tua atau memiliki jabatan yang
lebih tinggi daripada penutur. Perhatikan tuturan berikut: “Ndoro, saya pijitin mau nggak?  Ah  Ndoro  ini  ada  orang  baik  kaya  aku  kok  malah  nggak  suka
” SSNRB11-08-20141.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  yang
memanggil Sentilan  dengan sebutan  Ndoro  karena dalam  acara tersebut  Sentilun merupakan pembantu Sentilan.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  diksi
“Ndoro”,  untuk
memunculkan nilai rasa hormat. Diksi
“Ndoro” dalam KBBI 2008:955 berarti
kata sapaan kepada orang bangsawan atau majikan. Dikisi “Ndoro” dalam tuturan
tersebut  dipersepsi  sebagai  rasa  hormat  Sentilun  kepada  Sentilan  yang  dalam acara  tersebut  berperan  sebagai  majikannya.  Sentilun  menggunakan  diksi
“Ndoro”  karena  acara  tersebut  berlatarbelakangkan  kebudayaan  jawa  Kata Ndoro  biasanya  digunakan  untuk  menyebut  majikan  dalam  budaya  jawa.  Unsur
ekstralingual konteks yang dimunculkan dalam tuturan tersebut berupa fenomena
deiksis  sosial  atau  penyebutan  kata  ganti  orang  tertentu  yang  berkaitan  dengan
status  sosial  yang  dimiliki.  Di  dalam  tuturan  tersebut,  Sentilun  memanggil Sentilan dengan sebutan Ndoro.  Sentilun menggunakan kata ganti berupa sebutan
Ndoro  saat    memanggil  Sentilan  karena  dalam  acara  tersebut  beliau  merupakan majikan dari Sentilun.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Pranowo  2008,  dalam  Pranowo  2012:104,  yaitu  pemakaian  kata-
kata  tertentu  sebagai  pilihan  kata  diksi  yang  dapat  mencerminkan  rasa santun.  Dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Sentilun  menggunakan  diksi  Ndoro
sebagai wujud rasa hormat Sentilun karena Sentilan merupakan majikannya. Diksi Ndoro merupakan salah satu kata yang beraura santun.
Nilai  rasa  hormat  juga  muncul  pada  tuturan  “Nah  gitu  kan.  Nah  kalau sekarang  Pak  Jokowi  sudah  jadi  presiden,  bagaimana  dengan  Pak  Ahok?  Kan
beliau itu keras ya. Hmmm . . .Marah- marah mulu ya” SSNRB11-08-201412.
Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Ndoro  yang  menggunakan  kata “Pak”  sebagai
rujukan sebelum memanggil nama Pak Jokowi dan Pak Ahok untuk menghormati mereka yang mempunyai jabatan tinggi presiden dan wakil gubernur.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  diksi
“Pak”  yang
digunakan  sebelum  menyebutkan  nama  untuk  memunculkan  nilai  rasa  hormat.
Kata “Pak”  dalam  KBBI  2008:1000  merupakan  panggilan  untuk  orang  yang
dipandang  sebagai  orang  tua  atau  orang  yang  dihormati.  Kata “Pak”  dalam
tuturan tersebut dipersepsi sebagai wujud rasa hormat Ndoro terhadap Pak Jokowi yang  merupakan  presiden  RI  dan  Pak  Ahok  yang  merupakan  wagub  DKI  yang
sebentar  lagi  akan  dilantik  menjadi  gubernur.  Sebenarnya  dari  segi  usia,  Ndoro jauh lebih tua daripada kedua tokoh yang disebutkan di atas Pak Jokowi dan Pak
Ahok,  namun  karena  Ndoro  menghormati  keduanya  oleh  sebab  itu  beliau menggunakan  kata
“Pak” sebelum menyebut nama kedua tokoh tersebut. Unsur
ekstralingual  dalam tuturan tersebut diminculkan melalui fenomena deiksis sosial
atau  penyebutan  kata  ganti  orang  tertentu  rujukan  sebelum  memanggil  nama orang yang berkaitan dengan status sosial yang dimiliki. Dalam tuturan tersebut,
Ndoro menggunakan diksi “Pak” sebelum memanggil Pak Jokowi dan Pak Ahok karena mereka mempunyai jabatan yang tinggi. Pak Jokowi telah terpilih sebagai
Presiden  RI  dan  Pak  Ahok  yang  sebentar  lagi  akan  dilantik  menjadi  Gubernur Jakarta.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Pranowo  2008,  dalam  Pranowo  2012:104,  yaitu  pemakaian  kata-
kata  tertentu  sebagai  pilihan  kata  diksi  yang  dapat  mencerminkan  rasa santun.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Sentilun  menggunakan  diksi  Ndoro
sebagai wujud rasa hormat Sentilun karena Sentilan merupakan majikannya. Diksi Ndoro  merupakan  salah  satu  kata  yang  beraura  santun.  Dalam  konteks  tuturan
tersebut,  Ndoro  menghormati  Pak  Jokowi  dan  Pak  Ahok  sebagai  Presiden  dan calon Gubernur DKI dengan menggunakan diksi “Pak” sebelum memanggil nama
mereka Nilai  rasa  hormat  ini  juga  dapat  muncul  karena  penutur  merasa  umurnya
jauh  lebih  muda  dari  pada mitra tutur, seperti pada tuturan “Terus kan aku pake
mbak-mbak  yang  pembantu  infal,  sekarang  pada  anfal.  Jadi  kepikiran  nih  kalau Mas  Sentilun  jadi  pembantu  di  rumah  aku,  mau  nggak  ya?
”  SSNRB11-08- 201428.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Asti  Ananta  yang  menggunakan  kata
“Mas” sebagai rujukan sebelum memanggil Sentilun untuk menimbulkan kesan hormat karena dari segi umur Asti Ananta jauh lebih muda daripada Sentilun.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  diksi “Mas”  yang
digunakan  sebelum  memanggil  nama  Sentilun  untuk  memunculkan  nilai  rasa hormat.  Kata
“Mas” dalam KBBI 2008:881 berarti kata sapaan hormat untuk laki-
laki yang dianggap lebih tua. Kata “Mas” dalam tuturan tersebut dipersepsi sebagai  rasa  hormat  Asti  Ananta  terhadap  Sentilun  yang  dalam  acara  tersebut
berkedudukan  sebagai  host.  Selain  itu,  apabila  dilihat  dari  segi  umur,  Sentilun jauh lebih tua dibandingkan mitra tutur, oleh sebab itu mitra tutur menggunakan
kata  tersebut  untuk  menimbulkan  kesan  hormat  terhadap  Sentilun.  Unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan dalam tuturan tersebut berupa fenomena
deiksis persona atau kata ganti orang rujukan sebelum memanggil nama orang
yang  berkaitan  dengan  usia  mitra  tutur.  Asti  Ananta  menggunakan  kata “Mas”
yang  digunakan  sebagai  rujukan  sebelum  memanggil  Sentilun  untuk menimbulkan  kesan  hormat  karena  dari  segi  umur  Asti  Ananta  jauh  lebih  muda
daripada  Sentilun.  Asti  Ananta  juga  mengetahui  bahwa  Sentilun  merupaka  salah satu host dalam acara tersebut.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Pranowo  2008,  dalam  Pranowo  2012:104,  yaitu  pemakaian  kata-
kata  tertentu  sebagai  pilihan  kata  diksi  yang  dapat  mencerminkan  rasa santun. Di dalam konteks tuturan tersebut, Asti Ananta menggunakan diksi Mas
sebelum  memanggil  Sentilun  sebagai  wujud  rasa  hormat  karena  dari  segi  umur, Asti jauh lebih muda daripada Sentilun.
Nilai  rasa  hormat  juga  muncul  dalam  tuturan  “Pakde  Ndoro” SSNRB08-09-20145.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Chacha  yang
menggunakan  rujukan  berupa  sebutan  Pakde  Ndoro  untuk  memanggil  Sentilan karena  ia  merasa  umurnya  jauh  lebih  muda.  Unsur  intralingual  dalam  tuturan
tersebut  berupa  diksi “Pakde”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  hormat.  Diksi
tersebut dipersepsi sebagai penghormatan Chacha terhadap Ndoro karena dari segi umur, penutur jauh lebih muda dari pada mitra tutur. Kata
“Pakde” dalam KBBI 2008:1001  berarti  sapaan  kakak  laki-laki  ibu  atau  ayah.  Sebenarnya,  Chacha
bukan  merupakan  saudara  dari  Sentilan  dan  juga  bukan  pembantu  Sentilan. Sentilan  biasa  dipanggil  dengan  sebutan
“Ndoro” dalam acara tersebut.  Chacha menggunakan  penyebutan  tersebut  untuk  menimbulkan  kesan  hormat  dan  akrab
pada  Sentilan.  Unsur  ekstralingual  konteks  dalam  tuturan  tersebut  dimunculkan
melalui  fenomena  deiksis  persona  Diksi  tersebut  dipersepsi  sebagai
penghormatan Chacha terhadap Ndoro karena dari  segi  umur, penutur jauh lebih muda dari pada mitra tutur. Kata
“Pakde” dalam KBBI 2008:1001 berarti sapaan
kakak laki-laki ibu atau ayah. Sebenarnya, Chacha bukan merupakan saudara dari Sentilan  dan  juga  bukan  pembantu  Sentilan.  Sentilan  biasa  dipanggil  dengan
sebutan “Ndoro” dalam acara tersebut. Chacha menggunakan penyebutan tersebut
untuk menimbulkan kesan hormat dan akrab pada Sentilan.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Pranowo  2008,  dalam  Pranowo  2012:104,  yaitu  pemakaian  kata-
kata  tertentu  sebagai  pilihan  kata  diksi  yang  dapat  mencerminkan  rasa santun.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Chacha  menggunakan  diksi  Pakde
sebagai  wujud  rasa  hormat  Chacha  karena  Sentilan  berumur  lebih  tua  darinya. Selain  itu,  diksi  tersebut  juga  dipergunakan  untuk  menimbulkan  kesan  akrab
karena Chacha sering diundang dalam acara tersebut. Nilai rasa hormat juga muncul karena mitra tutur merupakan bintang tamu,
walaupun  dari  segi  umur  mitra  tutur  lebih  muda  daripada  penutur.  Perhatikan tuturan: “Wah Ndoro ini nggak ngerti ya? Biar Mbak Asti tu tahu kalau statusku
jomblo.  Siapa  tahu  lalu  Mbak  Asti  berbaik  ha ti memilih aku jadi pasangannya”
SSNRB11-08-201434.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  yang menggunakan  kata  “Mbak”  sebagai  rujukan  sebelum  memanggil  Asti  Ananta
untuk  menimbulkan  kesan  hormat  karena  saat  itu  Asti  merupakan  bintang  tamu dalam acara tersebut.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  diksi
“Mbak”  yang digunakan  sebagai  rujukan  sebelum  memanggil  nama  Asti  Ananta  untuk
memunculkan nilai  rasa hormat.  Kata
“Mbak” dalam KBBI 2008:892 berarti kata  sapaan  untuk  prempuan  yang  lebih  tua  didaerah  Jawa.  Kata
“Mbak” dalam
tuturan  tersebut  dipersepsi  sebagai  rasa  hormat  Sentilun  terhadap  Asti  Ananta yang saat  itu merupakan bintang tamunya. Sebenarnya dari segi  usia, Asti  Lebih
muda daripada Sentilun, namun untuk menimbulkan kesan hormat, Sentilun tetap menggunakan
kata “Mbak”  sebelum  menyebutkan  namanya  tanpa
memperhatikan  usia  Asti  untuk  menimbulkan  kesan  hormat.  Unsur  ekstralingual
konteks yang dimunculkan dalam tuturan tersebut berupa fenomena deiksis sosial
atau  penyebutan  kata  ganti  orang  tertentu  yang  berkaitan  dengan  status  sosial yang dimiliki. Di dalam tuturan tersebut, Sentilun memanggil Asti dengan sebutan
Mbak  walaupun  dari  segi  umur,  Sentilun  jauh  lebih  tua  daripada  Asti.    Sentilun menggunakan  penyebutan  tersebut  karena  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  episode
itu, Asti merupakan bintang tamu.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Pranowo  2008,  dalam  Pranowo  2012:104,  yaitu  pemakaian  kata-
kata  tertentu  sebagai  pilihan  kata  diksi  yang  dapat  mencerminkan  rasa santun.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Sentilun  menggunakan  diksi  Mbak
sebagai  wujud  rasa  hormat  kepada  Asti  Ananta  yang  saat  itu  menjadi  bintang tamu.  Walaupun  dari  segi  umur  Asti  lebih  muda  daripada  Sentilun,  namun  diksi
tersebut tetap digunakan sebagai wujud penghormatan. Nilai  rasa  hormat  juga  tidak  selalu  dinyatakan  dengan  penyebutan  kata
ganti  orang  atau  kata  ganti  persona  karena  status  sosial  dalam  bahasa  Indonesia, namun  juga  bisa  menggunakan  kata  ganti  orang  yang  ada  di  daerah  tertentu,
seperti  pada  tuturan  “Emang  Cak  Lontong  itu  kelebihannya  apa  coba? Dibandingkan  dengan  mantan-
mantan  pacarku  yang  dulu”  SSNRB08-09-
20143. Tuturan tersebut dikatakan oleh Chacha yang menggunakan kata “Cak”
sebelum  memanggil  nama  Cak  Lontong  karena  ia  berasal  dari  Jawa  Timur  yang lazim menggunakan kata tersebut yang berfungsi sama dengan kata
“Pak” dalam bahasa Indonesia.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  diksi
“Cak”  sebelum
memanggil  nama  Cak  Lontong  untuk  memunculkan  nilai  rasa  hormat.  Diksi
“Cak” merupakan panggilan kepada laki-laki yang dianggap lebih tua atau yang dituakan  di  daerah  Jawa  Timur  KBBI,2008:236.  Berdasarkan  konteks  yang
menyertai  tutura n,  diksi  “Cak”  dalam  tuturan  tersebut  dipersepsi  sebagai  wujud
rasa  hormat  Chacha  terhadap  Cak  Lontong  yang  saat  itu  diceritakan  sebagai kekasihnya.  Cak  Lontong  merupakan  komedian  yang  berasal  dari  daerah  Jawa
Timur  sehingga  dirinya  biasa  dipanggil  menggunakan  sebutan  Cak.  Unsur ekstralingual  konteks  dalam  tuturan  tersebut  dimunculkan  melalui  fenomena
deiksis persona atau kata ganti orang rujukan sebelum memanggil nama orang
yang  berkaitan  dengan  usia  mitra  tutur.  Chacha  menggunakan  kata “Cak”
sebelum  memanggil  Cak  Lontong  karena  ia  berasal  dari  Jawa  Timur  yang  lazim menggunakan  kata  tersebut  yang  berfungsi  sama  dengan  kata
“Pak”  dalam bahasa Indonesia.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Pranowo  2008,  dalam  Pranowo  2012:104,  yaitu  pemakaian  kata-
kata  tertentu  sebagai  pilihan  kata  diksi  yang  dapat  mencerminkan  rasa santun.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Chacha  menggunakan  diksi  Cak
sebagai  wujud  rasa  hormat  terhadap  Cak  Lontong  yang  diketahui  berasal  dari
daerah Jawa Timur. Diksi  Cak merupakan panggilan hormat  seperti  halnya diksi Pak dalam bahasa Indonesia.
Berdasarkan  beberapa  contoh  data  tuturan  yang  dipaparkan  di  atas,  dapat disimpulkan  bahwa  unsur  intralingual  yang  digunakan  untuk  memunculkan  nilai
rasa  hormat  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  hanya  berupa  diksi  atau  pilihan  kata. Nilai rasa hormat  yang ada dalam acara Sentilan Sentilun mempunyai diksi khas
yang mengindikasikan penghormatan seperti Ndoro, Pakde, Pak, Mbak, Mas dan Cak yang semuanya merupakan kata ganti atau rujukan sebelum memanggil nama
seseorang. Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  tidak  pernah  muncul
dan  mendukung  nilai  rasa  hormat  karena  yang  digunakan  dalam  nilai  rasa  ini hanyalah  diksi  hormat  dalam  wujud  kata  ganti  atau  rujukan  sebelum  memanggil
nama seseorang. Hal  ini berbeda dengan unsur ekstralingual  konteks  yang selalu menyertai  tuturan  bernilai  rasa  hormat  karena  hal  tersebut  digunakan  untuk
mengetahui  kadar  rasa  hormat  suatu  tuturan.  Unsur  ekstralingual  konteks  yang digunakan  untuk  memunculkan  nilai  rasa  kecewa  hanyalah  fenomena  deiksis
persona  dan  deiksis  sosial.  Fenomena  deiksis  persona  digunakan  jika  diksi memiliki  maksud  menghormati  mitra  tutur  tanpa  dilatarbelakangi  status  sosial
tertentu  hanya  dilihat  berdasarkan  umur.  Sedangkan  fenomena  deiksis  sosial digunakan jika diksi memiliki maksud menghormati mitra tutur karena mitra tutur
memiliki status sosial yang lebih tinggi daripada penutur. Diksi  yang  digunakan  dalam  nilai  rasa  hormat  ini  selalu    santun  karena
diksi  tersebut  termasuk  dalam  diksi  penghormatan  atau  diksi  beraura  santun
sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo  yaitu  pemakaian kata-kata  tertentu
sebagai pilihan kata diksi yang dapat mencerminkan rasa santun.
4.2.2.5.2 Nilai Rasa Sopan Nilai  rasa  sopan  adalah  bentuk  kehalusan  budi  pekerti  penutur  yang
ditunjukkan  dengan  cara  memperlakukan  mitra  tutur  sesuai  dengan  adab  atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Nilai rasa sopan ini menyangkut adab yang
baik dalam memperlakukan orang lain, misalnya ketika bertamu, menerima tamu, memperkenalkan nara sumber pada forum resmi, dan lain sebagainya. Perhatikan
tuturan berikut: “Selamat datang Pak Andrinof, silahkan, silahkan, silahkan Pak Andrinof” SSNRB11-08-20149. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilu yang
mengetahui  budaya  masyarakat  Indonesia  yang  selalu  mengucapkan  selamat datang kepada tamu dan mempersilahkannnya untuk duduk.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Selamat datang Pak  Andrinof,  silahkan,  s
ilahkan,  silahkan  Pak  Andrinof”,  untuk  memunculkan
nilai  rasa  sopan.  Kalimat  tersebut  menggunakan  frasa
“selamat  datang”  yang berarti  pemberian  salam  KBBI,2008:1248  dan  kata
“silahkan”  yang  berarti sudilah  kiranya  perintah  yang  halus  untuk  duduk  KBBI,2008:1305.  Secara
utuh  kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  kesopanan  Sentilun  selaku  tuan  rumah untuk  menyambut  dan  mempersilahkan  tamunya  untuk  duduk.  Frasa
“selamat datang
”  digunakan  sebagai  wujud  rasa  sopan  Penutur  karena  Pak  Andrinof selaku tamu mau hadir di studio. Kata
“silahkan” merupakan wujud kesopanan berupa  perintah  halus  agar  Pak  Andrinof  berkenan  untuk  duduk  di  kursi  yang
telah  disediakan.  Nilai  rasa  sopan  juga  didukung  oleh  unsur  ekstralingual  tanda-
tanda  ketubuhan  yang  dimunculkan  oleh
Sentilun  berupa  tangan  kanan  diulurkan untuk  bersalaman  yang  biasanya  dilakukan
tuan  rumah  terhadap  tamunya  sebagai  wujud kesopanan.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang
dimunculkan melalui fenomena latar belakang budaya. Sentilun menganut latar
belakang budaya masyarakat Indonesia yang selalu mengucapkan selamat datang kepada tamu dan mempersilahkannnya untuk duduk. Budaya tersebut merupakan
bagian dari etika kesopanan ketika ada orang yang bertamu dirumah.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  salah  satu
indikator  kesantunan  Pranowo  berupa  nilai-nilai  pendukung  kesantunan
Pranowo,2012:111,  yaitu  rasa  hormat  sebagai  manifestasi  sifat  rendah  hati.
Dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Sentilun  menunjukkan  rasa  hormatnya  kepada Pak  Andrinof  sebagai  tamu  dengan  mengucapkan  selamat  datang  dan
mempersilahkannya untuk duduk. Nilai  rasa  sopan  juga  muncul  pada  tuturan
“Oke  Ndoro,  mari” SSNRB11-08-201414.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Asti  Ananta  yang
berpamitan  kepada  Ndoro  karena  dia  beranggapan  bahwa  tuturan  Ndoro sebelumnya  meminta  dia  untuk  pulang  padahal  tuturan  tersebut  bermaksud
menirukan gaya kepemimpinan Pak Ahok.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Oke  Ndoro, mari
”, untuk memunculkan nilai rasa sopan. Kalimat tersebut menggunakan kata
“mari”    yang  berarti  kata  seru  untuk  menyatakan  ajakan  KBBI,2008:879.
Kalimat  tersebut  merupakan  ungkapan  berpamitan  yang  termasuk  dalam  adab kesopanan  ketika  hendak  berpamitan  pulang.  Kalimat  tersebut  lazim  digunakan
ketika  seorang  tamu  hendak  berpamitan  pulang  kepada  tuan  rumah.  Nilai  rasa sopan  juga  didukung  oleh  unsur  ekstralingual
tanda-tanda  ketubuhan  yang  dimunculkan  oleh
Asti  berupa  tubuh  yang  hendak  beranjak untuk  berdiri  sambil  menganggukkan  kepala  saat  mengucapkan  kata
“mari”. Gerakan  tersebut  dipersepsi  sebagai  rasa  sopan  penutur  terhadap  tuan  rumah
sebelum berpamitan pulang.  Selain itu, terdapat  juga unsur  ekstralingual  konteks
yang  dimunculkan  melalui  fenomena  latar  belakang  budaya.  Asti  ananta
memiliki  latar  belakang  budaya  yang  mengajarkan  kesopanan  ketika  hendak berpamitan pulang yaitu menggunakan kata-kata tertentu seperi mari, permisi, dan
lain-lain.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  salah  satu
indikator  kesantunan  Pranowo  berupa  nilai-nilai  pendukung  kesantunan
Pranowo,2012:111,  yaitu  rasa  hormat  sebagai  manifestasi  sifat  rendah  hati.
Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Asti  menunjukkan  sikap  menghormatinya kepada Ndoro selaku tuan rumah dengan berpamitan sebelum hendak pulang.
Nilai rasa sopan juga dapat  muncul saat  penutur hendak menolak sesuatu yang  ditawarkan  oleh  mitra  tutur  dan  menggunakan  kata-kata  khas  agar
penolakannya  tersebut  tidak  menyinggung  mitra  tutur,  misalnya  pada  tuturan “Sorry  ya,  terima  kasih  Mbak  Asti  tawarannya.  Maaf  ya,  saya  tidak  boleh
rangkap  jabatan.  Woh,  kalau  saya  jadi  pembantunya  di  Ndoro  lalu  rangkap
jabatan di tempatnya Mbak Asti itu melanggar kode etik pembantu ” SSNRB11-
08-201429.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  yang  mengetahui  adab kesopanan  ketika  menolak  tawaran  dari  seseorang  salah  satunya  yaitu
menggunakan ungkapan terima kasih sebelum hendak menolak sesuatu.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Sorry  ya, terima  kasih  Mbak  Asti  tawarannya
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  sopan.
Kalimat  tersebut  menggunakan  diksi “sorry” yang berasal dari bahasa  inggris
yang  dalam  bahasa  indonesia  berarti  maaf  dan  kata “terima kasih” yang berarti
rasa syukur KBBI,2008:1451. Kedua kata dlam kalimat tersebut termasuk dalam adab  kesopanan  ketika  menolak  suatu  tawaran.  Secara  utuh,  kalimat  tersebut
dipersepsi  sebagai  adab  kesopanan  Sentilun  untuk  menolak  tawaran  Asti  Ananta secara halus.  Kalimat tersebut  menggunakan kata
“sorry” untuk mengungkapkan permintaan  maaf  penutur  karena  tidak  bisa  menerima  tawaran  mitra  tutur,  dan
kata “terima kasih” untuk mengungkapkan rasa terima kasih penutur karena telah
ditawari  pekerjaan  oleh  mitra  tutur.  Nilai  rasa  sopan  juga  didukung  oleh  unsur ekstralingual
tanda-tanda ketubuhan
yang
dimunculkan  oleh  Sentilun  berupa  gerakan  tubuh yang langsung beranjak untuk berdiri pada saat
itu  Sentilun  sedang  duduk  untuk  mengindikasikan  kesopanannya  ketika  hendak menolak  tawaran  Asti  Ananta.    Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual
konteks  dalam  tuturan  tersebut  yang  dimunculkan  melalui  fenomena  latar belakang  budaya.  Sentilun  memiliki  adab  kesopanan  ketika  menolak  tawaran
dari seseorang salah satunya  yaitu menggunakan ungkapan terima kasih sebelum
hendak  menolak  sesuatu.  Sentilun  sudah  mempunyai  pemahaman  mengenai  hal tersebut,  oleh  sebab  itu  ia  mengucapkan  terima  kasih  sebelum  menolak  tawaran
Asti Ananta.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator
kesantunan  Pranowo  berupa  nilai-nilai  pendukung  kesantunan  Pranowo
2012:117,  yaitu  sikap  menjaga  perasaan.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,
Sentilun  berusaha  menjaga  perasaan  Asti  Ananta  dengan  mengucapkan  terima kasih  dan  kata  maaf  sebelum  menolak  tawarannya.  Sentilun  melakukan  hal
tersebut agar Asti tidak merasa tersinggung karena tawarannya ditolak. Tuturan  basa-basi  juga  merupakan  bagian  dari  nilai  rasa  sopan,  seperti
dalam tuturan “Halo, selamat malam. Iya Pak Prabowo, saya Chacha. Iya. Apa kabar Pak? aduh saya doakan semoga Bapak baik-baik saja dan sehat selalu ya
Pak.  Ya  .  .  .Iya”  SSNRB04-08-201413.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh Chacha  yang  mempunyai  latar  belakang  budaya  mengenai  sopan-santun  dalam
bertelepon  dengan  menggunakan  kalimat  basa-basi  terlebih  dahulu  sebelum masuk pada pokok pembicaraan.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa  kalimat
“Halo, selamat malam
”  dan  “Apa  kabar  Pak?”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  sopan.  Kalimat tersebut  dipersepsi  mengandung  kesopanan  yang  biasanya  diucapkan  sebelum
memasuki pokok pembicaraan didalam telepon. Biasanya dalam budaya Indonesia saat bertelepon terlebih dahulu seseorang akan mengungkapkan kalimat basa-basi
untuk  menimbulkan  efek  santun  dan  menghargai  mitra  tutur  yang  diajak bertelepon.  Nilai  rasa  sopan  juga  diperkuat  melalui  unsur  ekstralingual  tanda-
tanda  ketubuhan  yang  dimunculkan  oleh
Chacha  berupa  wajah  yang  tersenyum  dan ekspresi  bahagia  saat  mengucapkan  kalimat
tersebut  untuk  menimbulkan  efek  santun terhadap  mitra  tutur  walaupun  tidak  secara  langsung  diketahui  oleh  mitra  tutur,
namun  lewat  nada  bicara  bisa  diketahui  bahwa  penutur  ikhlas  mengucapkan kalimat  basa-basi  tersebut  sebagai  penanda  kesopanan.  Selain  itu,  unsur
ekstralingual  konteks  juga  dimunculkan  melalui  fenomena  latar  belakang budaya  yang  dimiliki  Chacha.  Chacha  mempunyai  latar  belakang  budaya
mengenai sopan-santun dalam bertelepon dengan menggunakan kalimat basa-basi terlebih  dahulu  sebelum  masuk  pada  pokok  pembicaraan.  Basa-basi  dalam
bertelepon sebelum masuk pada inti pembicaraan merupakan budaya yang selama ini ada dalam masyarakat Indonesia, khususnya daerah Jawa.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  salah  satu
indikator  kesantunan  Pranowo  berupa  nilai-nilai  pendukung  kesantunan
Pranowo,2012:111,  yaitu  rasa  hormat  sebagai  manifestasi  sifat  rendah  hati.
Dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Chacha  menghormati  Pak  Prabowo  dengan mengucapkan  selamat  malam  dan  menanyakan  kabar  sebelum  masuk  pada  inti
pembicaraan.  Sikap  tersebut  merupakan  wujud  sifat  rendah  hati  karena  Penutur mau melakukan hal tersebut secara lebih dulu karena ia menyadari bahwa dia lah
yang menelepon. Nilai  rasa  sopan  juga  tidak  selalu  didukung  oleh  unsur  ekstralingual
berupa  tanda- tanda  ketubuhan,  misalnya  pada  tuturan  “Namanya  Pak  Anies
Baswedan,  betul?  Yah,  kita  tahu.  Monggo- monggo”  SSNRB04-08-20148.
Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Ndoro  yang  mengetahui  sopan-santun  dalam menerima tamu dengan mempersilahkan tamunya untuk duduk.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Monggo- monggo
”.  Kalimat  tersebut  teridiri  dari  satu  kata  bahasa  Jawa,  yaitu  kata “monggo”.  Ndoro  menggunakan  pilihan  kata  “monggo”  dalam  bahasa  jawa
untuk menyambut tamunya. Ndoro sengaja menggunakan bahasa aslinya bahasa jawa  untuk  menimbulkan  efek  yang  lebih  sopan.  Kata
“monggo”  dalam  KJIIJ 2006:199  berarti  mempersilahkan  untuk  melakukan  sesuatu.  Dalam  budaya
jawa,  kata  tersebut  lazim  diucapkan  oleh  tuan  rumah  kepada  tamunya  sebagai ucapan selamat datang dan mempersilahkan duduk. Secara utuh, kalimat tersebut
dipersepsi  sebagai  wujud  kesopanan  Ndoro  selaku  tuan  rumah  untuk mempersilhakan  Anies  Baswedan  selaku  tamunya  untuk  duduk.  Unsur
ekstralingual konteks dalam tuturan tersebut dimunculkan melalui fenomena latar belakang budaya yang dimiliki Ndoro. Ndoro mempunyai latar belakang budaya
mengenai sopan-santun dalam menerima tamu dengan mempersilahkannya duduk.
Tuturan  tersebut  dipersepsi  santun  karena  sesuai  dengan  salah  satu
indikator  kesantunan  Pranowo  berupa  nilai-nilai  pendukung  kesantunan
Pranowo,2012:111,  yaitu  rasa  hormat  sebagai  manifestasi  sifat  rendah  hati.
Dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Ndoro  menunjukkan  rasa  hormatnya  kepada Anies Baswedan sebagai tamu dengan mempersilahkannya untuk duduk.
Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang diambil dari acara Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai sopan hanya dimunculkan melalui
kalimat.  Terdapat  kata-kata  khas  yang  mengindikasikan  nilai  rasa  sopan,  seperti kata  selamat  datang,  monggo,  mari,  silahkan,  dan  apa  kabar  khusus  kalimat
basa-basi,  namun  kata-kata  tersebut  tidak  dapat  berdiri  sendiri  karena  kadar rasanya  baru  diketahui  setelah  berada  dalam  kalimat.  Nilai  rasa  sopan  ini  dapat
dinyatakan dalam bahasa daerah dan juga kalimat basa-basi  yang memiliki kadar rasa sopan.
Unsur  ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  tidak  selalu  muncul  dan mendukung  nilai  rasa  sopan  karena  hal  tersebut  tergantung  dari  keeksresifan
penutur.  Unsur  ekstralingual  konteks  yang  ada  dalam  nilai  rasa  sopan  hanya dimunculkan  melalui  fenomena  latar  belakang  kebudayaang  karena  rasa  sopan
sangat berkaitan dengan budaya yang ada di masyarakat mengenai suatu hal yang seharusnya  dilakukan.  Nilai  rasa  sopan  selalu  dinyatakan  santun  karena  penutur
selalu  berusaha  menghormati  mitra  tutur  dengan  berlaku  sesuai  kebiasaan  yang berlaku di  masyarakat  sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo,  yaitu sikap
hormat dan mempertemukan perasaan penutur dengan mitra tutur agar tidak ada pihak  yang  tersinggung  sesuai  dengan  indikator  kesantunan  Pranowo,  yaitu
menjaga perasaan. 4.2.2.5.3 Nilai Rasa Merasa Terima Kasih
Nilai rasa merasa terima kasih adalah bentuk kehalusan budi pekerti yang ditunjukkan  dengan  cara  mengucapkan  terima  kasih  karena  telah  diberikan
kebaikan  oleh  orang  lain.  Nilai  rasa  merasa  terima  kasih  ini  merupakan  wujud syukur  yang  ditujukan  kepada  sesama  manusia  karena  sebelumnya  telah
diperlakukan dengan baik, diberi sebuah barang, dan lain sebagainya. Perhatikan
tuturan  berikut:  “Terima  kasih  banyak  Pak  Ndoro”  SSNRB01-09-201410. Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Riyad  Chairil  yang  mengucapkan  terima  kasih
karena  Ndoro  sebelumnya  telah  mengucapkan  selamat  datang  kepadanya  dan mempersilahkan untuk duduk.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Terima  kasih banyak  Pak  Ndoro
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  merasa  terima  kasih.
Kalimat tersebut menggunakan frasa “terima kasih” yang mengindikasikan rasa
sangat  bersyukur  setelah  menerima  kebaikan  dari  seseorang.  Kalimat  tersebut dipersepsi  sebagai  wujud  rasa  terima  kasih  Riyad  Chairil  karena  telah  disambut
dengan  baik  dan  dipersilahkan  untuk  duduk  oleh  Ndoro  sebagai  tuan  rumah. Penutur  tidak  memunculkan  unsur  ektralingual  tanda-tanda  ketubuhan  untuk
mendukung  nilai  rasa  terimakasih.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual
konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena  referensi  atau  rujukan  tuturan
Ndoro sebelumnya yang berisi ucapan selamat datang dan gesture yang dipersepsi sebagai gerakan tangan mempersilahkan duduk.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
pertimbangan  “consideration  maxim”  tuturan  mengungkapkan  sebanyak- banyaknya  rasa  senang  pada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,
Riyad  Chairil  mengungkapkan  sebanyak-banyaknya  rasa  senang  kepada  Ndoro karena  telah  diberikan  kebaikan  berupa  sambutan  selamat  datang  dan
dipersilahkan duduk.
Rasa  terima  kasih  juga  muncul  karena  mitra  tutur  berkenan  menghadiri undangan  penutur  sekaligus  berbagi  pengetahuan  pada  publik,  seperti  dalam
tuturan  “Menarik  sekali,  terima  kasih  sekali  sama  Pak  Eddy,  sama  Pak  Riyad. Supaya  mas  Jokowi  denger  ya,  bahwa  kita  ini  mikirnya  serius.  Dan  diusulkan
menteri  yang  akan  datan g  itu  profesional  lah,  ahli  lah”  SSNRB01-09-
201421.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Ndoro  yang  berterima  kasih  kepada Eddy Tampi dan Riyad Chairil karena sudah berkenan hadir dalam acara Sentilan
Sentilun  sebagai  bintang  tamu  sekaligus  berbagi  pengetahuan  kepada  seluruh rakyat Indonesia
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“terima  kasih sekali sama Pak Eddy, sama Pak Riyad
”, untuk memunculkan nilai rasa merasa terimakasih.
Klausa  tersebut  menggunakan  frasa  “terima  kasih”  yang  berarti melahirkan  rasa  syukur  atau  membalas  budi  setelah  menerima  kebaikan
KBBI,2008:1451  untuk  meperkuat  rasa  terima  kasih  Ndoro  kepada  kedua narasumber.  Klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai  ungkapan  terima  kasih  Ndoro
kepada  dua  narasumber  malam  itu  yang  berkenan  untuk  hadir  dan  berbagi pengetahuan mengenai penyebab fenomena yang saat ini terjadi, yaitu kelangkaan
BBM.  Ndoro  tidak  memunculkan  tanda-tanda  ketubuhan  apapun  untuk mendukung  nilai  rasa  merasa  terima  kasih  yang  diungkapkan,  sedangkan  unsur
ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui  fenomena  referensi.  Ndoro  merujuk
tuturan  Riyad  dan  Eddy  sebelumnya  yang  memberikan  pengetahuan  serta informasi kepada seluruh rakyat  Indonesia mengenai penyebab kelangkaan BBM
yang terjadi saat ini.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
pertimbangan  “consideration  maxim”  tuturan  mengungkapkan  sebanyak- banyaknya  rasa  senang  pada  mitra  tutur.  Dalam  konteks  tuturan  tersebut,
Ndoro mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang kepada Riyad dan Eddy karena  mereka  berkenan  memberikan  informasi  terkait  penyebab  fenomena
kelangkaan BBM. Nilai  rasa  merasa  terima  kasih  ini  juga  dapat  dinyatakan  dalam  bahasa
daerah,  seperti  dalam  tuturan  “Maturnuwun  .  .  .maturnuwun”  SSNRB04-08- 20149.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Anies  Baswedan  yang  mengucapkan
terima  kasih  karena  Ndoro  sebelumnya  telah  mengucapkan  selamat  datang kepadanya dan mempersilahkan untuk duduk.
Unsur  intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Maturnuwun .
.  .maturnuwun”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  terimakasih.  Kalimat  tersebut
terdiri  dari  satu    diksi  yang  berasal  dari  bahasa  jawa,  yaitu  diksi “maturnuwun”
yang  berarti  terima  kasih.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  wujud  rasa  terima kasih penutur karena telah disambut dengan baik dan dipersilahkan untuk duduk.
Penutur  sengaja  menggunakan  kalimat  yang  mengandung  pilihan  kata  bahasa Jawa untuk menimbulkan kadar rasa yang lebih kuat terhadap Ndoro dan Sentilun
karena  mereka  berlatarbelakangkan  budaya  Jawa  kosep  dalam  acara  tersebut.
Anies  tidak  memunculkan  unsur  ektralingual  tanda-tanda  ketubuhan  untuk mendukung  nilai  rasa  terimakasih,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks
dimunculkan  melalui  fenomena  referensi.  Anies  merujuk  tuturan  Ndoro
sebelumnya  yang  berisi  ucapan  selamat  datang  dan  mempersilahkannya  untuk duduk.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
pertimbangan “consideration  maxim”  tuturan  mengungkapkan  sebanyak-
banyaknya  rasa  senang  pada  mitra  tutur.  Dalam  konteks  tuturan  tersebut,
Anies  Basedan  mengungkapkan  sebanyak-banyaknya  rasa  senang  kepada  Ndoro dan Sentilun karena telah diberikan kebaikan berupa sambutan selamat datang dan
dipersilahkan duduk.
Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang diambil dari acara Sentilan Sentilun  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  nilai  rasa  merasa  terima  kasih  dapat
dimunculkan  melalui  unsur  intralingual  kalimat  dan  klausa.  Terdapat  kata-kata khas  yang  mengindikasikan  nilai  rasa  terima  kasih  seperti  kata  terima  kasih  dan
maturnuwun. Unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung  nilai  rasa  merasa  terima  kasih  karena  hal  tersebut  tergantung  dari
keeksresifan penutur. Hal  tersebut  berbeda  dengan  unsur  ekstralingual  konteks  yang  selalu
menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahu kadar rasa suatu tuturan. Unsur  ekstralingual  konteks  dalam  nilai  rasa  merasa  terima  kasih  selalu
dimunculkan melalui fenomena referensi  karena rasa terima kasih  muncul akibat rujukan tuturan atau perilaku mitra tutur sebelumnya yang memberikan kebaikan
kepada  penutur.  Nilai  rasa  merasa  terima  kasih  selalu  dinyatakan  santun  karena
penutur  selalu  menyatakan  sebanyak-banyaknya  rasa  senang  kepada  mitra  tutur karena telah diberikan kebaikan sesuai dengan maksim pertimbangan Leech.
4.2.2.5.4 Nilai Rasa Merasa Bersyukur Nilai rasa merasa bersyukur adalah bentuk kehalusan budi pekerti penutur
yang muncul karena sebelumnya telah diberi  kebaikan oleh Sang Pencipta. Nilai rasa  merasa  bersyukur  ini  merupakan  wujud  terima  kasih  penutur  kepada  Allah
karena  telah  diberikan  pertolongan  dalam  kesusahan  yang  sedang  dihadapi dengan  perantara  bantuan  orang  lain,  telah  dikabulkan  doanya,  dan  lain
sebagainya. Perhatikan contoh tuturan nilai rasa merasa bersyukur berikut: “Tapi alhamdulillah Ndoro. Saya bahagia  menjadi jongosnya Ndoro
” SSNRB11-08- 201425.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  yang  merasa  berterimaksih
kepada Allah karena diberi majikan yang baik seperti Ndoro.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  diksi
“Alhamdulillah”,
untuk memunculkan nilai rasa  merasa bersyukur. Kata
“alhamdulillah” dalam KBBI  2008:39  berarti  ungkapan  untuk  menyatakan  rasa  syukur  karena
menerima  karunia  Allah.  Berdasarkan  konteks  yang  menyertai  tuturan,  kata “alhamdulillah” dipersepsi sebagai ungkapan rasa terima kasih Sentilun kepada
Allah  karena  bisa  menjadi  pembantu  dirumah    Ndoro  Sentilan.  Kata “alhamdulillah” merupakan ungkapan rasa terima kasih yang bisanya diucapkan
oleh kaum  muslim untuk  menyatakan  rasa syukurnya atas  karunia  yang  diterima dari  Allah.  Kata
“alhamdulillah” termasuk juga dalam diksi karena kata tersebut jarang  digunakan  oleh  orang  awam  dan  biasanya  hanya  digunakan  oleh  orang
muslim.  Sentilun  tidak  memunculkan  tanda-tanda  ketubuhan  apapun  untuk
mendukung  rasa  syukur  yang  diungkapkan,  sedangkan  unsur  ekstralingual
konteks  dimunculkan  melalui  fenomena  inferensi  atau  kesimpulan  penutur
mengenai suatu hal yang dialami. Berdasarkan apa yang telah dialaminya sebagai pembantu  di  rumah  Ndoro  Sentilan,  Sentilun  berkesimpulan  bahwa  ia  harus
bersyukur karena ia diperlakukan dengan oleh majikannya selama ini.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
pertimbangan  “consideration  maxim”  tuturan  mengungkapkan  sebanyak- banyaknya  rasa  senang  pada  mitra  tutur.  Dalam  konteks  tuturan  tersebut,
Sentilun  mengungkapkan  sebanyak-banyaknya  rasa  senang  kepada  Allah  salam wujud  syukur  karena  telah  diberikan  pekerjaan  menjadi  pembantu  di  rumah
Ndoro.
Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian, kebetulan  hanya  ditemukan  satu  data  tuturan  nilai  rasa  merasa  bersyukur.  Nilai
rasa  merasa  bersyukur  yang  ditemukan  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  hanya dimunculkan melalui unsur intralingual diksi
“alhamdulillah”. Penutur tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan yang mendukung nilai
rasa  merasa  bersyukur  yang  diungkapkan.  Hal  tersebut  berbeda  dengan  unsur ekstralingual  konteks  yang  selalu  menyertai  tuturan  karena  digunakan  untuk
mengetahui  kadar  rasa  tuturan.  Unsur  ekstralingual  konteks  dalam  nilai  rasa
merasa  bersyukur  hanya  muncul  melalui  fenomena  inferensi  karena  sebelum
bersyukur  mengenai  suatu  hal,  tentunya  penutur  sudah  mengalami  sendiri  dan menarik  kesimpulan  dari  apa  yang  dialami.  Nilai  rasa  merasa  bersyukur  dalam
acara tersebut selalu dinyatakan santun karena penutur mengungkapkan sebanyak- banyaknya  rasa  senang  karena  telah  diberikan  kebaikan  oleh  Tuhan  sesuai
dengan maksim Leech, yaitu maksim pertimbangan. 4.2.2.5.5 Nilai Rasa Sungkan
Nilai  rasa  sungkan  adalah  bentuk  kehalusan  budi  pekerti  penutur  yang muncul  karena  sebelumnya  ada  kekhawatiran  di  benak  penutur  bahwa  apa  yang
akan  diungkapkan  bisa  melukai  perasaan  orang  lain.  Tuturan  bernilai  rasa sungkan  ini  biasanya  diungkapkan  dalam  sebelum  penutur  menyampaikan
maksud tuturan yang sebenarnya, misalnya pada tuturan “Kita itu sudah dikenal. Karya-karya  kreatif,  karya-karya adiluhung. Kita ini mempunyai  banyak potensi
kreatif  itu  lho  yang  penting  ya.  Tapi,  lha  ini  malu  saya  ngomongnya  nih.  Kayak nggak  keurus  ya?  SSNRB25-08-20145.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh
Ndoro yang mengetahui bahwa mitra tutur adalah seorang wamen pariwisata dan industri kreatif.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Tapi,  lha  ini malu  saya  ngomongnya  nih
”, untuk memunculkan nilai rasa sungkan. Kalimat
tersebut dipersepsi sebagai rasa sungkan Ndoro terhadap Sapta Nirwandar karena beliau  ingin  menanyakan  masalah  yang  seharusnya  ikut  ditangani  mitra  tutur.
Ndoro merasa sungkan karena secara langsung beliau harus menanyakan masalah pemerintah  yang  tidak  serius  menangani  industri  kreatif  kepada  salah  satu
penanggungjawab  pemerintahan  yang  mengurusi  hal  tersebut.  Kalimat  tersebut menggunakan  kata
“tapi”.........”malu”  untuk  memperkuat  nilai  rasa  sungkan yang  dimiliki  oleh  Ndoro.  Nilai  rasa  sungkan  juga  didukung  oleh  unsur
ekstralingual tanda-tanda
ketubuhan berupa
gerakan tangan kanan Ndoro yang  menggaruk- garuk
kepala bagian
belakang untuk
mengindikasikan  rasa  sungkannya  untuk  bertanya secara  langsung  kepada  Sapta  Nirwandar.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur
ekstralingual  konteks  yang  diketahui  melalui  fenomena  praanggapan  atau
pengetahuan  lama  penutur  mengenai  suatu  hal.  Ndoro  mempunyai  pengetahuan awal mengenai karya kreatif di  Indonesia  yang tidak ditangani secara serius oleh
pemerintah.  Selain  itu,  Ndoro  juga  mempunyai  pengetahuan  mengenai  latar belakang  pekerjaan  mitra  tutur  Sapta  Nirwandar,  yaitu  sebagai  wakil  menteri
pariwisata  dan  industri  kreatif.  Berdasarkan  latar  belakang  pekerjaan  yang diketahui oleh Ndoro, munculah rasa sungkan karena beliau termasuk orang yang
seharusnya mengurus karya kreatif tersebut. Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator
kesantunan  Pranowo  2012:103,  yaitu  adu  rasa  mempertemukan  perasaan penutur  dengan  mitra  tutur  sehingga  isi  komunikasi  sama-sama
dikehendaki.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Ndoro  terlebih  dahulu
mengenali  kesiapan  hati  Sapta  Nirwandar  sebelum  beliau  mengungkapkan  suatu hal yang mungkin bisa menyinggung perasaannya.
Nilai  rasa  sungkan  muncul  dalam  tuturan  “Ngomong  mesin  aja  kok. Mohon maaf Pak ya.
Saya ini juga ahli mesin Ndoro” SSNRB15-09-201413. Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Cak  Lontong  yang  mengetahui  bahwa  kedua
bintang  tamu  pada  malam  itu  merupakan  orang  yang  ahli  dalam  bidang  mesin
Jonkie  Sugiarto  merupakan  ketua  GAIKINDO  dan  Bambang    Sugiarto merupakan seorang Profesor Teknik yang mengajar di Universitas Indonesia.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Mohon  maaf Pak  ya
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  sungkan.  Kalimat  tersebut  dipersepsi
sebagai  rasa  sungkan  Cak  Lontong  karena  hendak  membuat  lelucon  mengenai bidang permesinan padahal ia mengetahui bahwa didepannya ada dua orang yang
ahli  dalam  bidang  mesin.  Cak  Lontong  menggunakan  kalimat  tersebut  untuk meminta  izin  sebelum  ia  membuat  lelucon  mengenai  bidang  tersebut  agar  tidak
ada  pihak  yang  tersinggung  atas  lelucon  yang  dibuat.  Cak  Lontong  tidak memunculkan  tanda-tanda  ketubuhan  apa  pun  untuk  mendukung  rasa  sungkan
yang  hendak  diungkapkan,  sedangkan  unsur  ekstrlingual  konteks  dimunculkan
melalui  fenomena  praanggapan  atau  pengetahuan  awal  penutur  mengenai  suatu hal.  Cak  Lontong  merasa  sungkan  karena  ia  hendak  membuat  lelucon  mengenai
bidang  permesinan.  Rasa  sungkan  Cak  Lontong  muncul  karena  ia  sebelumnya mengetahui  bahwa  kedua    bintang  tamu  pada  malam  itu  merupakan  orang  yang
ahli  dalam  bidang  mesin  Jonkie  Sugiarto  merupakan  ketua  GAIKINDO  dan Bambang    Sugiarto  merupakan  seorang  Profesor  Teknik  yang  mengajar  di
Universitas Indonesia.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Pranowo  2012:103,  yaitu  adu  rasa  mempertemukan  perasaan
penutur  dengan  mitra  tutur  sehingga  isi  komunikasi  sama-sama dikehendaki.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Cak  Lontong  berusaha
mengenali  kesiapan  hati  Jonkir  Sugiarto  dan  Bambang  Sugiarto  sebelum  ia
mengungkapkan  lelucon  yang  sesuai  dengan  bidang  kedua  narasumber  tersebut. Cak  Lontong  melakukan  hal  tersebut  karena  khawatir  tuturannya  akan
menyinggung narasumber. Berdasarkan  contoh  data  tuturan  nilai  rasa  sungkan  yang  diambil  dalam
acara Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual  yang digunakan  untuk  memunculkan  nilai  rasa  sungkan  hanya  berupa  kalimat.  Tidak
ada kata-kata khas tertentu yang mengindikasikan nilai rasa sungkan karena kadar rasa sungkan baru diketahui dalam satu susunan kalimat utuh.
Unsur  ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  tidak  selalu  muncul  dan mendukung  nilai  rasa  sungkan  kerena  hal  tersebut  tergantung  keekspresifan
penutur.  Hal  tersebut  berbeda  dengan  unsur  ekstralingual  konteks  yang  selalu menyertai  tuturan  karena  digunakan  untuk  mengetahui  kadar  rasa  suatu  tuturan.
Unsur ekstralingual konteks dalam nilai rasa sungkan hanya dimunculkan melalui fenomena  praanggapan  karena  sebelum  penutur  merasa  sungkan  terhadap
seseorang pasti ia mengetahui latar belakang orang tersebut entah pekerjaan atau yang  lain  sehingga  penutur  takut  menyinggungnya.  Nilai  rasa  sungkan  selalu
dinyatakan  santun  karena  terlebih  dahulu  menjajaki  kesiapan  hati  mitra  tutur sebelum mengungjkapkan sesuatu yang mungkin menyinggung mitra tutur sesuai
dengan indikator kesantunan Pranowo, yaitu adu rasa.
4.2.2.6 Nilai Rasa Yakin Nilai rasa yakin merupakan kadar perasaan tuturan untuk menyatakan rasa
kepastian  penutur  bahwa  apa  yang  dikatakan  oleh  mitra  tutur  akan  menjadi
kenyataan. Nilai rasa yakin ini dilatarbelakangi oleh keyakinan penutur mengenai janji, ungkapan atau pendapat mengenai suatu hal tertentu. Nilai rasa yakin dapat
ditunjukkan melalui rasa optimis dan rasa mantap. 4.2.2.6.1 Nilai Rasa Optimistis
Nilai  rasa  opimistis  merupakan  bentuk  keyakinan  yang  muncul  karena sebelumnya penutur mempunyai pengharapan baik dalam menghadapi segala hal,
misalnya  dalam  tuturan  “Ya  .  .  .kalau  saya  sih  Ndoro  ya  semoga  saja  industri kreatif  kita  ini  semakin  maju.  Ya  pemerintah  yang  akan  datang  juga  berjanji  to
akan  memp erhatikan  industri  kreatif  kita”  SSNRB25-08-201417.  Tuturan
tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  yang  mengetahui  salah  satu  janji  Pak  Jokowi dalam bidang industri kreatif saat kampanye kemarin, yaitu meningkatkan industri
kreatif sebagai salah satu kunci kesejahteraan masyarakat
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“semoga  saja industri kreatif kita ini semakin maju
”, untuk memunculkan nilai rasa optimistis.
Klausa  tersebut  menggunakan  kata “semoga”  yang  berarti  mudah-mudahan
KBBI,2008:925  untuk  mengindikasikan  harapan  penutur.    Secara  utuh,  klausa tersebut dipersepsi sebagai keoptimisan Sentilun terhadap perkembangan industri
kreatif  yang  akan  semakin  maju  pasca  kepemimpinan  Pak  Jokowi.  Rasa  optimis Sentilun  muncul  karena  ia  mempunyai  pengetahuan  lama  mengenai  janji  Pak
Jokowi  saat  kampanye  yang  akan  memperhatikan  industri  kreatif.  Sentilun menganggap bahwa bila janji Pak Jokowi sudah dibuktikan, maka industri kreatif
di  Indonseia  akan  semakin  berkembang  karena  pemerintah  akan  membantu kesulitan-kesulitan yang dialami oleh para pelaku industri kreatif selama ini. Nilai
rasa  optimististis juga  didukung
oleh unsur
ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  berupa  gerakan
tangan  menunjuk-nunjuk  ke  arah  penonton sambil  badan  menghadap  ke  penonton  untuk  mengindikasikan  keoptimisan
Sentilun  yang  ditunjukkan  kepada  seluruh  penonton  yang  mewakili  seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual yang dimunculkan
melalui  fenomena  praanggapan.  Sentilun  mempunyai  pengetahuan  lama
mengenai salah satu janji Pak Jokowi dalam bidang industri kreatif saat kampanye kemarin,  yaitu  meningkatkan  industri  kreatif  sebagai  salah  satu  kunci
kesejahteraan masyarakat.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaa n  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan
kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Sentilun  memberikan
keuntungan  kepada  Pak  Jokowi  karena  dia  berprasangka  baik  terhadap  beliau yang akan benar-benar menepati janjinya untuk memajukan industri kreatif.
Nilai rasa optimistis tidak selalu didukung oleh unsur ekstralingual tanda- tanda  ketubuhan,  misalnya  pada  tuturan  “Jadi  aku  ini  bener-bener  berharap
bahwa  presiden  baru  kita  ini  benar-benar memenuhi  dan  menepati  janjinya”
SSNRB04-08-20144.  Tuturan  ini  dikatakan  oleh  Chacha  Federicha  yang mengetahui  9  poin  pokok  isi  kampanye  Pak  Jokowi  ketika  pilpres  2014,  yaitu
meningkatkan  profesionalisme  guru,  mensejahterakan  desa,  mengentaskan kemiskinan,  membuat  program  kepemilikan  tanah  pertanian,  perbaikan  5.000
pasar  tradisional,  menurunkan  pengangguran,  meningkatkan  layanan  kesehatan, meningkatkan  mutu  pendidikan  pesantren,  serta  mewujudkan  pemerataan
pendidikan.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat “Jadi  aku  ini
bener-bener  berharap  bahwa  presiden  baru  kita  ini  benar-benar  memenuhi  dan menepati  janjinya
”, untuk memunculkan nilai rasa optimistis. Kalimat tersebut
menggunakan  kata  berharap  yang  dipersepsi  sebagai  pengharapanrasa  optimis. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai rasa optimis Chacha terhadap presiden Jokowi
yang benar-benar akan merealisasikan janjinya selama kampanye pilpres kemarin. Nilai  rasa  optimistis  juga  diperkuat  dengan  unsur
ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  yang dimunculkan
lewat gerakan
kedua tangan
ditangkupkan dan diangkat ke depan dada. Gerakan tersebut dipersepsi seperti
gerakan  memohon  sesuatu  yang  digunakan  untuk  memperkuat  rasa  optmis penutur  bahwa  presiden  benar-benar  merealisasikan  janjinya.  Selain  itu,  terdapat
juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena
praanggapan.  Chacha  mempunyai  pengetahuan  mengenai  isi  kampanye  Pak
Jokowi  ketika  pilpres  2014  kemarin  yang  terdiri  dari  9  poin  pokok,  yaitu meningkatkan  profesionalisme  guru,  mensejahterakan  desa,  mengentaskan
kemiskinan,  membuat  program  kepemilikan  tanah  pertanian,  perbaikan  5.000 pasar  tradisional,  menurunkan  pengangguran,  meningkatkan  layanan  kesehatan,
meningkatkan  mutu  pendidikan  pesantren,  serta  mewujudkan  pemerataan pendidikan.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Chacha  memberikan
keuntungan  kepada  Pak  Jokowi  karena  dia  berprasangka  baik  terhadap  beliau yang akan benar-benar menepati janjinya.
Unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan  juga  tidak  selalu muncul  dan  mendukung  nilai  rasa  optimistis,  seperti  pada  tuturan  “Sebenarnya
masalah kita itu banyak, karena itu yang diperlukan di fase ini adalah pemimpin yang mau membereskan masalah implementasi. Bukan sekedar bicara ke hulunya,
tapi hilirnya. Nah itu sebabnya saya berharap ni model seperti Pak JK dulu waktu di  pemerintahan
juga  sama,  bekerjanya  di  hilir”  SSNRB04-08-201428. Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Anies  Baswedan  yang  mengetahui  kinerja  Jusuf
Kalla  ketika  menjadi  Wakil  Presiden  pada  masa  pemerintahan  Susilo  Bambang Yudhoyono yang banyak menangani masalah implementasi.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Nah  itu sebabnya  saya  berharap  ni  model  seperti  Pak  JK  dulu  waktu  di  pemerintahan
juga  sama,  bekerjanya  di  hilir
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  optimististis.
Kalimat tersebut dipersepsi sebagai rasa optimis Pak Anies terhadap Pak JK yang akan  mempunyai  kinerja  sama  seperti  saat  berpasangan  dengan  Pak  SBY.  Kita
ketahui bersama bahwa pada masa pemerintahan Pak SBY, Pak JK lebih banyak menyelesaikan  masalah  implementasi.  Anies  Baswedan  tidak  memunculkan
tanda-tanda  ketubuhan  apapun  untuk  mendukung  nilai  rasa  optimistis  yang
diungkapkan,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui
fenomena  praanggapan.  Pak  Anies  mempunyai  pengetahuan  awal  mengenai
kinerja Jusuf Kalla ketika menjadi Wakil Presiden pada masa pemerintahan Susilo Bambang  Yudhoyono.  Jusuf  Kalla  banyak  mengerjakan  masalah  implementasi
pada  masa  pemerintahannya  bersama  Pak  SBY,  misalnya  saat  beliau  terjun langsung untuk mendamaikan berbagai kasus kerusuhan di Maksar dan Papua.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Refly  Harun
memberikan  keuntungan  kepada  Pak  Jusuf  Kalla  dengan  mengungkapkan prasangka baiknya bahwa beliau akan memiliki kinerja sama seperti pemerintahan
Pak SBY. Berdasarkan  beberapa  contoh  data  tuturan  nilai  rasa  optimististis  yang
ditemukan  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  nilai rasa optimistis dapat dimunculkan melalui klausa dan kalimat. Terdapat kata-kata
khas  yang  digunakan  untuk  mengindikasikan  nilai  rasa  optimistis,  seperti  kata semoga  dan  berharap,  namun  kata  tersebut  tidak  dapat  berdiri  sendiri  karena
kadar  rasanya  baru  diketahui  setelah  berada  dalam  kalimat  atau  paling  tidak klausa.
Unsur  ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  tidak  selalu  muncul  dan mendukung  nilai  rasa  optimistis  karena  hal  tersebut  tergantung  dari  keeksresifan
penutur.  Hal  tersebut  berbeda  dengan  unsur  ekstralingual  konteks  yang  selalu
menyertai  tuturan  karena  dipergunakan  untuk  mengetahui  kadar  rasa  dalam tuturan.  Unsur  ekstralingual  konteks  dalam  nilai  rasa  optimistis  hanya
dimunculkan  melalu  fenomena  praanggapan  karena  sebelum  menyatakan keoptimisannya, penutur pasti mempunyai pengetahuan lama mengenai suatu hal
yang  membuatnya  merasa  optimis.  Nilai  rasa  optimis  selalu  dinyatakan  santun karena  penutur  selalu  memberikan  keuntugan  kepada  mitra  tutur  dengan
berprasangka  baik  terhadap  mitra  tutur  sesuai  dengan  indikator  kesantunan Leech, yaitu maksim kebijaksanaan
4.2.2.6.2 Nilai Rasa Mantap Nilai rasa mantap merupakan bentuk  keyakinan  yang muncul karena rasa
ketetapan atau keteguhan hati terhadap s uatu hal, misalnya dalam tuturan “Nggak
usah  dikenalkan  orang  se-Indonesia  ya  tahu.  Ini  orang  penting  dan  bakal  jadi orang penting” SSNRB04-08-20148. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun
yang  mengetahui  isu  terhangat  saat  ini,  yaitu  mengenai  Pak  Anies  yang  akan diangkat menjadi menteri pendidikan oleh Pak Jokowi.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Ini  orang pentin
g dan bakal jadi orang penting”, untuk memunculkan nilai rasa mantap.
Kalimat  tersebut  menggunakan  kata “bakal”  yang  berarti  sesuatu  yang  akan
menjadi  KBBI,2008:121  untuk  mengindikasikan  keyakinan  Sentilun.  Kalimat tersebut  dipersepsi  sebagai  kemantapan  hati  Sentilun  bahwa  Pak  Anies  akan
diangkat  menjadi  menteri  pendidikan.  Kemantapan  hati  Sentilun  muncul  karena praanggapan  yang  ada  dibenaknya  mengenai  Anies  Baswedan  yang  merupakan
salah satu  orang keparcayaan Pak Jokowi. Nilai rasa mantap juga didukung  oleh
unsur  ekstralingual  yang  dimunculkan  oleh
Sentilun  berupa  gerakan  tangan  kanan  diangkat dan  menunjuk-nunjuk  sambil  dinaik-turunkan
untuk  mengindikasikan  penekanan  pentingnya posisi  Pak  Anies  kelak  di  kabinet  Pak  Jokowi.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur
ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.
Sentilun  mempunyai  pengetahuan  lama  mengenai  Anies  Baswedan  yang merupakan  salah  satu  orang  kepercayaan  Pak  Jokowi  yang  saat  itu  dipercaya
menempati  posisi  sebagai  juru  bicara  Jokowi-JK  saat  pilpres  2014.  Pasca dinyatakan memenangkan pemilu, Pak Jokowi meminta Pak Anies untuk menjadi
salah  satu  staf  deputi  rumah  transisi  yang  bertugas  mempersiapkan  kabinetnya. Pak  Anies  merupakan  seorang  yang  profesional  dalam  bidang  pendidikan
sehingga dia layak diangkat menjadi menteri pendidikan.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Sentilun  memberikan
keuntungan  kepada  Pak  Anies  dengan  mengungkapkan  kemantapan  hatinya terhadap  Pak  Anies  yang  akan  diangkat  sebagai  menteri  pendidikan  oleh  Pak
Jokowi. Nilai rasa mantap juga muncul dalam tuturan “Ini memang sebagai apa ya,
saya  ini  pelaku  usaha  di  industri  kreatif  ini  memang  masih  banyak  kendala  dan masalah.  Tapi  saya  yakin  wong  masala
hnya  pasti  bisa  kita  selesaikan”
SSNRB25-08-201416.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Cak  Lontong  yang merupakan salah satu pelaku industri kreatif dan merasakan sendiri masih banyak
kendala yang dihadapi.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Tapi saya yakin wong  masalahnya  pasti  bisa  kita  selesaikan
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa mantap.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  kemantapan  hati  Cak  Lontong
terhadap  setiap  masalah  dalam  industri  kreatif  yang  bisa  diselesaikan.  Rasa mantap Cak Lontong muncul karena sebagai pelaku industri kreatif komedian, ia
pernah  mengalami  sendiri  situasi  tersebut  dan  ia  berhasil  menyelesainya.  Nilai rasa  mantap  juga  didukung  oleh  unsur
ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  yang dimunculkan  oleh  Cak  Lontong  berupa
gerakan  tangan  kanan  diangkat  dan mengepal untuk menekankan kemantapan hatinya bahwa setiap masalah pasti ada
solusinya. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan
melalui  fenomena  praanggapan  atau  pengetahuan  awal  penutur  mengenai  suatu
hal. Cak Lontong merupakan pelaku industri keratif karena beliau bekerja sebagai komedian. Kita ketahui bersama bahwa komedian merupakan salah satu pekerjaan
dalam bidang industri kreatif dalam bidang seni. Selama menjadi komedian, Cak Lontong banyak mengalami kendala misalnya ia harus berpikir secara cepat untuk
menghasilkan humor yang segar dan dapat menghibur penonton.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Cak  Lontong  berbaik
hati  mengungkapkan  kemantapan  hatinya  bahwa  setiap  masalah  dalam  industri kreatif pasti bisa diselesaikan.
Nilai  rasa  mantap  tidak  hanya  ditandai  oleh  unsur  intralingual  berupa kalimat  seperti  kedua  contoh  di  atas,  melainkan  dapat  pula  ditandai  oleh  klausa
seperti  pada  tuturan  “Nggak,  tapi  kalau  menurut  saya  sebenarnya  kalau  calon kepala  daerah  itu  benar-benar  dikenal  rakyat  dengan  baik.  Terus  dicintai
masyarakat dengan baik itu kan pasti suaranya nggak harus bayar to? Kita pasti milih  langsung.  Terus  orangnya  yang  mengayomi,  udah  pasti  kita  milih  nggak
pakai  duit  ya”  SSNRB22-09-201415.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Asri Welas  yang  mengetahui  banyaknya  kepala  daerah  yang  terpilih  berdasarkan
kinerjanya seperti Pak Jokowi.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“udah pasti kita milih  nggak  pakai  duit  ya
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  mantap.  Klausa
tersebut dipersepsi sebagai kemantapan hati Asri bahwa rakyat pasti akan memilih kepala  daerah  yang  memiliki  kinerja  yang  baik  tanpa  harus  ada  money  politik.
Klausa  tersebut  menggunakan  kata “pasti”  yang  berarti  sudah  tetap
KBBI,2008:1028  untuk  mengindikasikan  kemantapan  hati  Asri  Welas.  Nilai rasa
mantap juga
didukung oleh
unsur ekstralingual
tanda-tanda ketubuhan
yang
dimunculkan  Asri  Welas  berupa  alis  kanan diagkat  dan  mata  yang  membelalak  saat
mengucapkan  klausa  tersebut.  Unsur  ekstralingual  yang  dimunculkan  oleh  Asri mengindikasikan  keyakinannya  terhadap  rakyat  yang  pasti  memilih  pemimpin
yang  memiliki  kinerja  baik.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks
yang  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan  atau  pengetahuan  lama  Asri
mengenai banyaknya kepala daerah yang dipih berdasarkan kinerjanya seperti Pak Jokowi.  Asri  mengetahui  hasil  pemerolehan  suara  Pak  Jokowi  dalam  pemilihan
umum  mulai  dari  saat  menjadi  wali  kota  Solo,  guberbur  DKI  Jakarta,  hingga menjadi Presiden yang terus meningkat.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Asti  berbaik  hati
menyampaikan  kemantapan  hatinya  sebagai  rakyat  untuk  mempertahankan Pilkada langsung.
Unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan juga tidak selalu muncul untuk mendukung nilai rasa mantap, misalnya dalam tuturan
“Pasti ora nganggo duit yo Mas?
Nah kayak gitu” SSNRB22-09-201420. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro  yang  mengetahui  hasil  pemerolehan  suara  Pak  Jokowi  dalam  pemilihan
umum  mulai  dari  saat  menjadi  wali  kota  Solo,  guberbur  DKI  Jakarta,  hingga menjadi Presiden yang terus meningkat.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Pasti  ora
nganggo duit yo Mas?, untuk memunculkan nilai rasa mantap. Kalimat tersebut
dipersepsi  sebagai  kemantapan hati Ndoro terhadap hasil pemerolehan suara Pak
Jokowi  yang  mengindikasikan  bahwa  beliau  dipilih  kerena  kinerjanya.  Hal tersebut  terlihat  dari  semakin  meningkatnya  pemerolehan  suara  bagi  Pak  Jokowi
dari mulai pemilihan wali kota Solo hingga Presiden tidak ada yang menggunakan politik uang. Ndoro yakin bahwa rakyat memberikan suaranya kepada Pak Jokowi
berdasarkan  kinerjanya  yang  selama  ini  dianggap  bagus.  Kalimat  tersebut menggunakan kata
“pasti” yang berarti sudah tetap atau tentu KBBI,2008:1208 untuk  mengindikasikan  kemantapan  hati  Ndoro.  Selain  itu,  kalimat  tersbeut
merupakan  kalimat  tanya  yang  ditujukan  kepada  Refly  Harun  untuk mengonfirmasi  perihal  dugaan  Ndoro  untuk  menimbulkan  efek  kemantapan  hati
yang semakin kuat. Ndoro tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda- tanda  ketubuhan  apapun  untuk  mendukung  nilai  rasa  mantap  yang
diungkapkannya,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui
fenomena  praanggapan.  Ndoro  mempunyai  pengetahuan  awal  mengenai  hasil
pemerolehan  suara  Pak  Jokowi  dalam  pemilihan  umum  mulai  dari  saat  menjadi wali  kota  Solo,  guberbur  DKI  Jakarta,  hingga  menjadi  Presiden  yang  terus
meningkat. Hal tersebut membuktikan bahwa kinerja Pak Jokowi memang bagus sehingga  banyak  rakyat  yang  percaya  kepada  beliau  dengan  memberikan
suaranya.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Ndoro  berbaik  hati
menyampaikan  kesimpulannya  kepada  seluruh  rakyat  indonesia  mengenai banyaknya pemimpin yang dipilih justru karena kinerjanya.
Berdasarkan beberapa contoh data tuturan nilai rasa mantap di atas, dapat disimpulkan  bahwa  nilai  rasa  mantap  dapat  muncul  melalui  unsur  intralingual
klausa  dan  kalimat.  Terdapat  kata-kata  khas  yang  mengindikasikan  nilai  rasa mantap, seperti kata pasti, bakal dan yakin, namun kata-kata tersebut tidak dapat
berdiri sendiri karena kadar rasanya baru dapat dirasakan setelah berada di dalam kalimat atau paling tidak klausa.
Unsur  ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  tidak  selalu  muncul  dan mendukung  nilai  rasa  mantap  karena  hal  tersebut  tergantung  keekspresifan
penutur.  Hal  tersebut  berbeda  dengan  unsur  ekstralingual  konteks  yang  selalu menyertai  tuturan  karena  dipergunakan  untuk  mengetahui  kadar  rasa  suatu
tuturan. Unsur ekstralingual konteks dalam nilai rasa mantap hanya dimunculkan melalui fenomena praanggapan karena sebelum penutur menyatakan kemantapan
hatinya  mengenai  sesuatu  pasti  terlebih  dahulu  penutur  mempunyai  pengetahuan yang  banyak  sehingga  muncul  rasa  mantap  dalam  dirinya.  Nilai  rasa  mantap
selalu  dinyatakan  santun  karena  selalu  memberikan  keuntungan  kepada  mitra tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  karena  penutur  merasa  mantap
terhadapnya sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.2.7 Nilai Rasa Simpatik
Nilai  rasa  simpatik  merupakan  kadar  perasaan  tuturan  untuk  menyatakan rasa  kasih,  rasa  setuju,rasa  suka  kepada  seseorang.  Nilai  rasa  simpatik  ini  juga
dapat  berupa  keikutsertaan  merasakan  perasaan  senang,  susah,  dan  lain sebagainya  yang  dialami  orang  lain.  Nilai  rasa  simpatik  dapat  ditunjukkan
melalui rasa setuju, kagum dan peduli. 4.2.2.7.1 Nilai Rasa Merasa Setuju
Nilai rasa setuju adalah bentuk rasa simpatik yang muncul karena penutur merasa berkenan atau sependapat dengan apa yang diungkapkan oleh mitra tutur.
Perhatikan  tuturan  berikut:  “Wah  cocok  ni  .  .  .”  SSNRB04-08-201416. Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Ndoro  yang  menyetujui  tuturan  Pak  Anies
Baswedan  sebelumnya yang menyatakan bahwa perbedaan sudah selesai tanggal 9  dan  sekarang  saatnya  kita  bersama-sama  mengawasi  pemerintah  agar
menjalankan tugasnya dengan baik.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Wah cocok ni”,
untuk  memunculkan  nilai  rasa  merasa  setuju.  Kalimat  tersebut  menggunakan
kata “cocok” yang berarti  berarti setuju atau sepakat KBBI,2008:271. Kalimat
tersebut dipersepsi sebagai rasa setuju Ndoro terhadap pernyataan Pak Anies yang menyatakan  bahwa  perbedaan  sudah  selesai  tanggal  9  dan  sekarang  saatnya  kita
bersama-sama  mengawasi  pemerintah  agar  menjalankan  tugasnya  dengan  baik. Sekarang  ini  saatnya  seluruh  rakyat  Indonesia  untuk  bersatu  dan  tidak  terbagi
menjadi dua kubu lagi karena kita sudah memiliki presiden yang baru. Nilai rasa setuju  juga  didukung  oleh  unsur  ekstralingual
tanda-tanda  ketubuhan  yang  dimunculkan  oleh
Ndoro  berupa  gerakan  tangan  kanan  yang ditepukkan ke bagian paha untuk menekankan
kata “cocok”  sebagai  ungkapan  setuju.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur
ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan    melalui  fenomena  referensi  atau
rujukan  tuturan  Pak  Anies  Baswedan  sebelumnya  yang  menyatakan  bahwa perbedaan  sudah  selesai  tanggal  9  dan  sekarang  saatnya  kita  bersama-sama
mengawasi  pemerintah  agar  menjalankan  tugasnya  dengan  baik.    Sebelumnya Ndoro  mengetahui  mengenai  fenomena  perpecahan  yang  terjadi  di  masyarakat
karena membela kubu masing-masing dan kedua pendukung kubu terkesan saling bermusuhan.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  kesetujuan
“agreement maxim” tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur.  Dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Ndoro  mengungkapkan  rasa  setujunya
terhadap  pernyataan  Pak  Anies  yang  mengajak  seluruh  rakyat  berdamai  karena
pilpres telah selesai.
Nilai  rasa  setuju  juga  muncul  dalam  tuturan  “Saya  setuju,  kesamaan berpikir  tapi  bukan  kesamaan  gaya.  Jangan  sampai  meniru  gaya  Pak  Jokowi,
padahal  nggak  cocok.  Ndoro,  yang  penting  itu  mau  bekerja  melayani  rakyatnya itu  Ndoro”  SSNRB11-08-201434.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun
yang  menyetujui  pernyataan  Pak  Andrinof  sebelumnya  mengenai  pendamping Pak  Ahok  yang  sebaiknya  mempunyai  kesamaan  berpikir  dan  cara-cara
menyelesaikan masalah seperti Pak Jokowi.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Saya  setuju, kesamaan  be
rpikir tapi bukan kesamaan gaya”, untuk memunculkan  nilai rasa
merasa  setuju.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  pernyataan  sepakat  yang
diutarakan oleh Sentilun terhadap pernyataan Pak Andrinof sebelumnya mengenai pendamping  Pak  Ahok  yang  sebaiknya  mempunyai  kesamaan  berpikir  dan  cara-
cara menyelesaikan masalah seperti Pak Jokowi. Sentilun mempunyai persamaan pendapat  dengan  Pak  Andrinof  bahwa  yang  harus  mendampingi  Pak  Ahok
sebaiknya  yang  memiliki  kesamaan  bepikir  seperti  Pak  Jokowi,  namun  bukan kesamaan gaya sengaja menirukan gaya Pak Jokowi.
Nilai  rasa  setuju  juga  didukung  oleh  unsur ekstralingual
tanda-tanda ketubuhan
yang
dimunculkan  oleh  Sentilun  berupa  gerakan  tangan  kanan  menunjuk  ke  arah Pak  Andrinof  saat  mengucapkan  frasa  tersebut.  Unsur  ekstralingual  tersebut
mengindikasikan  kesetujuan  Sentilun  terhadap  pernnyataan  Pak  Andrinof sebelumnya.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang
dimunculkan  melalui  fenomena  referensi  atau  rujukan  tuturan  Pak  Andrinof
sebelumnya yang mengungkapkan bahwa pendamping Pak Ahok yang sebaiknya mempunyai kesamaan berpikir dan  cara-cara menyelesaikan masalah seperti  Pak
Jokowi.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  kesetujuan
“agreement maxim” tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur.  Dalam  konteks  kalimat  tersebut,  Sentilun  menyatakan  kesetujuannya
terhadap pendapat  Pak Andrinof mengenai  kesamaan berpikir antara Pak Jokowi dengan pendamping Pak Ahok kelak agar terjadi sinergi yang baik.
Nilai  rasa  merasa  setuju  juga  tidak  selalu  didukung  oleh  unsur ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan,  misalnya  dalam  tuturan
“Betul  sekali” SSNRB11-08-201431.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Pak  Andrinof  yang
menyetujui pendapat Sentilun mengenai Kalimantan yang cocok dijadikan sebagai ibu kota negara karena daerah tersebut bebas gempa.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“betul sekali”,
untuk  memunculkan  nilai  rasa  merasa  setuju.  Kalimat  tersebut  menggunakan
kata “betul” yang mengindikasikan pembenaran atas apa yang disampaikan oleh
Sentilun.  Secara  utuh  kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  kesetujuan  penutur terhadap pendapat Sentilun dalam tuturan sebelumnya mengenai Kalimantan yang
cocok dijadikan sebagai ibu kota negara karena daerah tersebut bebas gempa.  Pak Andrinof  tidak  memunculkan  unsur  ekstralingual  berupa  tanda-tanda  ketubuhan
apa  pun  untuk  mendukung  nilai  rasa  setuju  yang  diungkapkan,  sedangkan  unsur
ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui  fenomena  referensi.  Pak  Andrinof
merujuk tuturan Sentilun sebelumnya mengenai Kalimantan yang cocok dijadikan sebagai ibu kota negara karena daerah tersebut bebas gempa. Pak Andrinof setuju
dengan  pernyataan  Sentilun  karena  beliau  telah  mengetahui  hal  tersebut sebelumnya dari berbagai media informasi.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  kesetujuan
“agreement maxim” tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Pak Andrinof membenarkan ungkapan
Sentilun  sebelumnya  yang  mengatakan  bahwa  Kalimantan  cocok  dijadikan sebagai alternatif tempat pemindahan  Ibu Kota.
Unsur  intralingual  dalam  nilai  rasa  setuju  tidak  selalu  berupa  kalimat, seperti dalam tuturan “Untuk saya, saya sepakat pemilihan langsung oleh rakyat.
Karena  rakyat  yang  memiliki  kedaulatan,  rakyat  yang  memiliki  hak  suara  untuk menentukan  siapa  pemimpinnya”  SSNRB29-09-201414.  Tuturan  tersebut
dikatakan oleh Asep Rahmatullah yang menyetujui pertanyaan Ndoro sebelumnya yang menolak RUU Pilkada melalui DPRD.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa
klausa  “saya  sepakat
pemilihan  langsung  oleh  rakyat ”.  Klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai  ungkapan
rasa  setuju  Asep  Rahmatullah  terhadap  pendapat  Ndoro  sebelumnya  yang menyatakan  penolakan  terhadap  RUU  Pilkada  yang  diajukan  oleh  DPRD.  Asep
merasa  bahwa  kedaulatan  rakyat  tetap  harus  ditegakkan.  Di  dalam  tuturan tersebut,  Asep  Rahmatullah  tidak  memunculkan  tanda-tanda  ketubuhan  apa  pun
untuk  mendukung  rasa  setuju  yang  diungkapkan,  sedangkan  unsur  ekstralingual
konteks  dimunculkan  melalui  fenomena  referensi.  Asep  Rahmatullah  merujuk tuturan  Ndoro  sebelumnya  yang  menolak  RUU  Pilkada  melalui  DPRD  yang
diusulkan  oleh  DPR.  Kita  ketahui  bersama  saat  itu  yang  sedang  hangat  adalah RUU  Pilkada  melalui  DPRD  yang  banyak  memunculkan  pro  dan  kontra  di
masyarakat.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  kesetujuan
“agreement maxim” tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra
tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Asep  Rahmatullah  menyatakan
kesetujuannya  dengan  pendapat  Ndoro  sebelumnya  yang  menolak  RUU  Pilkada melalui DPRD karena dianggap mematikan demokrasi rakyat.
Berdasarkan  beberapa  contoh  data  tuturan  yang  diambil  dari  Acara Sentilan  Sentilun  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  unsur  intralingual  yang
digunakan  dalam  acara  tersebut  untuk  memunculkan  nilai  rasa  merasa  setuju adalah  berupa  kalimat  dan  klausa.  Walaupun  ada  satu  kata  yang  dominan  untuk
mengindikasikan  nilai  rasa  merasa  setuju  seperti  kata  setuju,  cocok  dan  sepakat, tetapi kata tersebut tidak dapat dipisahkan dari kalimat atau klausa. Kata tersebut
tidak  dapat  berdiri  sendiri  karena  makna  dan  kadar  rasanya  baru  dapat  diketahui setelah berada dalam sebuah kalimat atau paling tidak suatu klausa.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung  nilai  rasa  khawatir  karena  hal  tersebut  tergntung  keekspresifan
penutur.  Hal  tersebut  berbeda  dengan  unsur  ekstralingual  konteks  yang  selalu muncul menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa yang
ada  dalam  tuturan.  Unsur  ekstralingul  konteks  yang  memunculkan  nilai  rasa merasa setuju dalam acara Sentilan Sentilun hanyalah fenomena referensi karena
sebelum  menyatakan  persetujuan  mengenai  suatu  hal  pasti  penutur  merujuk tuturan  orang  lain  sebelumnya.  Nilai  rasa  merasa  setuju  yang  ada  dalam  Acara
Sentilan Sentilun selalu dinyatakan santun karena selalu memberikan persetujuan terhadap mitra tutur sesuai dengan maksim kesetujuan Leech.
4.2.2.7.2 Nilai Rasa Kagum Nilai rasa kagum adalah bentuk rasa simpatik yang muncul karena penutur
takjub  dengan  kelebihan,  pendapat,  atau  hasil  analisis  yang  dimiliki  oleh  mitra tutur. Nilai rasa kagum ini biasanya disertai dengan pujian terhadap sesuatu yang
dianggap hebat oleh penutur. Perhatikan tuturan berikut: “Pak Anies juara, berarti saya  tahu  jawabannya  setelah  sekian  lama.  Kenapa  Mas  Sentilun  tidak  bisa
menjabat  dan  tidak  bisa  menjadi  pemimpin  negara,  karena  terlalu  banyak masalah dalam hidupnya” SSNRB04-08-201422. Tuturan tersebut dikatakan
Chacha  Federicha  yang  kagum  dengan  ungkapan  Anies  Baswedan  sebelumnya mengenai  penegakan  hukum  di  Indonesia  yang  kurang  tegas  sehingga  orang
seperti Pak Prabowo bisa tetap bebas walaupun beliau diduga terlibat dalam kasus penculikan aktivis tahun 1997-1998.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“Pak  Anies juara
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  kagum.  Klausa  tersebut  menggunakan
kata “juara”  yang  berarti  orang  yang  dapat  kemenangan  dalam  pertandingan
KBBI,2008:590 untuk mengindikasikan rasa kagum penutur. Kata “juara” dalam
klausa tersebut bukan mengandung arti yang sebenarnya bila kata tersebut berdiri sendiri, melainkan setelah bergabung dalam klausa kata
“juara” dapat dipersepsi sebagai  kekaguman.  Secara  utuh,  klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai  ungkapan
rasa  kagum  Chacha  kepada  analisa  Pak  Anies  Baswedan.  Nilai  rasa  kagum  juga didukung  oleh  unsur  ekstralingual  tanda-tanda
ketubuhan  yang  dimuculkan  Chacha  berupa
acungan  jempol.  Acungan  jempol  tersebut
digunakan  untuk  mengekspresikan  kekaguman  Chacha  terhadap  analisa  Anies baswedan. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan
melalui fenomena referensi. Ndoro merujuk tuturan Anies Baswedan sebelumnya
mengenai  penegakan  hukum  di  Indonesia  yang  kurang  tegas  sehingga  orang seperti Pak Prabowo bisa tetap bebas walaupun beliau diduga terlibat dalam kasus
penculikan aktivis tahun 1997-1998.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim perimbangan
“consideration  maxim”  tuturan  dapat  mengungkapkan  sebanyak- banyaknya rasa senang kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut,
Chacha  mengungkapkan  rasa  senangnya  terhadap  pernyataan  Pak  Anies Baswedan  sebelumnya  yang  menurutnya  memang  benar  dan  sesuai  dengan
pemikiran Chacha. Tuturan tersebut juga mengandung nilai rasa kagum “Ada gunanya juga ya
orang  Palembang  belajar  di  Jogja.  Nomor  piro  wani  piro.  .  .hahaha.  Ini  hebat, hebat”  SSNRB22-09-201419.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Ndoro  yang
merujuk  tuturan Refly  Harus sebelumnya mengenai  akronin  NPWP, Nomor Piro Wani Piro.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Ini  hebat, hebat
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  kagum.  Kalimat  tersebut  menggunakan
kata “hebat”  yang    berarti  amat  sangat  atau  terlampau  KBBI,2008:488  untuk
mengindikasikan  kekaguman  Ndoro.  Secara  utuh,  kalimat  tersebut  dipersepsi sebagai  rasa  kagum  Ndoro  terhadap  Refly  Harun  yang  mampu  membuat
ungkapan  dalam  bahasa  jawa  untuk  menyindir  anggota  DPR  yang  mengusulkan RUU  pilkada  melalui  DPRD.  Ndoro  kagum  karena  Refly  mahir  menggunakan
bahasa jawa, padahal ia berasal dari palembang. Nilai rasa kagum juga didukung oleh  unsur  ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan
yang  dimunculkan  Ndoro  berupa  gerakan  tangan kanan  mengacungkan  jempol  sambil  badan
menghadap  ke  arah  Refy  Harun.  Unsur  ekstralingual  tersebut  dipersepsi sebagai  wujud  kekaguman  Ndoro.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual
konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena  referensi.  Ndoro  merujuk  tuturan
Refly Harun sebelumnya yang menggunakan akronim dalam bahasa Jawa NPWP, Nomor  Piro  Wani  Piro  untuk  mengungkapkan  kecurigaannya  bila  RUU  Pilkada
jadi disahkan.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim perimbangan
“consideration  maxim”  tuturan  dapat  mengungkapkan  sebanyak- banyaknya  rasa  senang  kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan
tersebut,  Ndoro  merasa  senang  dengan  akronim  bahasa  jawa  yang  dibuat  oleh
Refly Harun tentang dampak yang akan terjadi jika RUU Pilkada disahkan.
Unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan juga tidak selalu muncul untuk mendukung nilai rasa kagum, seperti dalam tuturan “Makin melek demokrasi dan
makin sadar bahwa mereka punya peluang menentukan pemimpinnya yang sesuai dengan  apa  yang  mereka  inginkan.  Jadi  masyarakat  itu  sekarang  dimobilisasi,
tapi  berpartisipasi.  Kalau  mobilisasi  itu  artinya  dari  atas  diberikan  dorongan
baru  bergerak.  Kalau  partisipasi  artinya  memang  panggilan  dan  ini  gerakan relawan yang luar biasa”  SSNRB04-08-201415. Tuturan tersebut dikatakan
oleh  Anies  Baswedan  yang  mengetahui  partisipasi  rakyat  Indonesia  terus meningkat, hal tersebut  dibuktikan melalui gerakan para relawan Jokowi-JK saat
mengawasi pilpres 2014 dari awal hingga akhir.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa “Kalau
partisipasi artinya memang panggilan dan ini gerakan relawan yang luar biasa”,
untuk memunculkan nilai rasa kagum. Klausa tersebut menggunakan frasa
“luar biasa
”  yang  berarti  berati  tidak  seperti  biasa  atau  istimewa  KBBI,2008:844. Secara  utuh,  klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai  kekaguman  penutur  melihat
partisipasi rakyat Indonesia yang mengawasi pilpres dari awal hingga akhir karena mereka  sangat  perduli  terhadap  masa  depan  bangsa  Indonesia.  Anies  tidak
memunculkan  tanda-tanda  ketubuhan  tertentu  yang  mendukung  nilai  rasa kagum,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui  fenomena
praanggapan.  Anies  Baswedan  mempunyai  pengetahuan  awal  mengenai
partisipasi  rakyat  Indonesia  terus  meningkat,  hal  tersebut  dibuktikan  melalui gerakan  para  relawan  Jokowi-JK  saat  mengawasi  pilpres  2014  dari  awal  hingga
akhir.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim perimbangan
“consideration  maxim”  tuturan  dapat  mengungkapkan  sebanyak- banyaknya  rasa  senang  kepada  mitra  tutur.  Dalam  konteks  tuturan  tersebut,
Anies  Baswedan  mengungkapkan  sebanyak-banyaknya  rasa  senang  terhadap
rakyat yang partisipasinya terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut dapat dilihat  dari  gerakan  para  relawan  Jokowi  JK  yang  mengawasi  pilpres  dari  awal
hingga akhir. Nilai rasa kagum dalam tuturan berikut ini juga tidak didukung oleh unsur
ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan “Mantap.  .  .mantap  .  .  .”  SSNRB04-08-
201432.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Ndoro  kagum  terhadap  para  relawan Pak  Jokowi-JK  berdasarkan  ungkapan  Pak  Anies  Baswedan  sebelumnya
mengenai fakta pengalamannya kemarin saat ikut mengawasi pilpres dan melihat langsung para relawan yang bekerja dengan ikhlas.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Mantap.  . .mantap.  .  .
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  kagum.  Kalimat  tersebut
menggunakan “mantap” dalam KBBI 2008:876 berarti kukuh atau kuat.  Kata
“mantap”  dalam  tuturan  tersebut  bukan  mengandung  makna  yang  sebenarnya, melainkan mengandung makna kontekstual tergantung pada konteks tuturannya.
Secara  utuh,  klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai  ungkapan  kekaguman  Ndoro terhadap  para  relawan  yang  bekerja  secara  ikhlas  dan  tanpa  mengharapkan
imbalan  apapun.  Penutur  tidak  memunculkan  tanda-tanda  ketubuhan  apapun untuk  mendukung  nilai  rasa  kagum  yang  diungkapkan,  sedangkan  unsur
ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui  fenomena  referensi.  Ndoro  kagum
dengan para relawan Pak Jokowi-JK berdasarkan ungkapan Pak Anies Baswedan sebelumnya mengenai fakta pengalamannya kemarin saat ikut mengawasi pilpres
dan melihat langsung para relawan yang bekerja dengan ikhlas.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim perimbangan
“consideration  maxim”  tuturan  dapat  mengungkapkan  sebanyak- banyaknya  rasa  senang  kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan
tersebut,  Ndoro  memengungkapkan  sebanyak-banyaknya  rasa  senang  terhadap para  relawan  Jokowi  JK  yang  mengawasi  pilpres  dari  awal  hingga  akhir  tanpa
mengharapkan imbalan apapun. Berdasarkan  beberapa  contoh  data  tuturan  yang  diambil  dari  Acara
Sentilan  Sentilun  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  unsur  intralingual  yang digunakan  dalam  acara  tersebut  untuk  memunculkan  nilai  rasa  kagum  adalah
berupa  kalimat  dan  klausa.  Walaupun  ada  satu  kata  yang  dominan  untuk mengindikasikan nilai rasa merasa setuju seperti kata juara, hebat, luar biasa dan
mantap, tetapi kata tersebut tidak dapat dipisahkan dari kalimat atau klausa. Kata tersebut  tidak  dapat  berdiri  sendiri  karena  makna  dan  kadar  rasanya  baru  dapat
diketahui setelah berada dalam sebuah kalimat atau paling tidak suatu klausa. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan
mendukung  nilai  rasa  kagum  karena  hal  tersebut  tergantung  keekspresifan penutur.  Hal  tersebut  berbeda  dengan  unsur  ekstralingual  konteks  yang  selalu
muncul menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa yang ada  dalam  tuturan.  Unsur  ekstralingul  konteks  yang  memunculkan  nilai  rasa
kagum dalam acara Sentilan Sentilun adalah fenomena referensi dan praanggapan. Fenomena referensi karena kekaguman penutur muncul karena tuturan mitra tutur
sebelumnya  yang  dianggap  tepat  dan  bagus,  sedangkan  fenomena  praanggapan
karena  sebelumnya  penutur  mempunyai  pengetahuan  mengenai  suatu  hal  yang membuatnya  bangga.  Nilai  rasa  merasa  setuju  yang  ada  dalam  Acara  Sentilan
Sentilun  selalu  dinyatakan  santun  karena  selalu  mengungkapkan  sebanyak- banyaknya  rasa  senang  terhadap  mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam
tuturan sesuai dengan maksim pertimbangan Leech. 4.2.2.7.3 Nilai Rasa Merasa Peduli
Nilai rasa merasa peduli adalah bentuk rasa simpatik yang muncul karena penutur  memperhatikan  keadaan  mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam
tuturan.  Perhatikan  tuturan  berikut:  “Saya  setuju,  kesamaan  berpikir  tapi  bukan kesamaan gaya. Jangan sampai meniru gaya Pak Jokowi, padahal nggak cocok.
Ndoro,  yang  penting  itu  mau  beker ja  melayani  rakyatnya  itu  Ndoro”
SSNRB11-08-201435.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  yang  merasa bahwa pendamping Pak Ahok harus orang yang mau melayani rakyat secara tulus.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“yang penting itu mau bekerja melayani rakyatnya
”, untuk memunculkan nilai rasa peduli. Klausa
tersebut dipersepsi sebagai keperdulian Sentilun terhadap kriteria pemimpin yang seharusnya  dipilih  untuk  mendamping  Pak  Ahok.  Sentilun  menganggap  orang
yang mendampingi Pak Ahok harus mau bekerja untuk rakyat karena hal tersebut dianggap  penting  dan  merupakan  syarat  utama  agar  mampu  membenahi  kota
Jakarta.  Nilai  rasa  perduli  juga  didukung  oleh unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan berupa
tangan  Sentilun  yang  menunjuk-nunjuk  untuk
mengindikasikan  pentingnya  memilih  wakil  gubernur  yang  benar-benar  mau
bekerja  mewujudkan  Jakarta  yang  lebih  baik.    Selain  itu,  terdat  juga  unsur
ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena  inferensi  atau
kesimpulan mengenai suatu hal. Melihat kinerja Pak Jokowi dan Pak Ahok selama ini  yang saling mendukung dan keduanya mau bekerja keras  untuk  memperbaiki
kota Jakarta, Sentilun mempunyai kesimpulan bahwa pendamping Pak Ahok juga harus mempunyai semangat kerja  yang sama agar Jakarta menjadi semakin lebih
baik.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim  simpati
“sympathy  maxim”  tuturan  dapat  mengungkapkan  rasa  simpati  terhadap yang dialami oleh mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun ikut
merasa  simpati  dalam  wujud  keperdulian  terhadap  kriteria  orang  yang  akan mendampingi  Pak  Ahok  karena  efeknya  juga  secara  tidak  langsung  akan  ia
rasakan sebagai warga Jakarta. Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian,
kebetulan  hanya  ditemukan  satu  data  tuturan  nilai  rasa  peduli.  Nilai  rasa  merasa peduli yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun hanya dimunculkan melalui
unsur  intralingual  klausa  dan  tidak  ditandai  oleh  kata-kata  khas  yang mengindikasikannya  karena  nilai  rasa  tersebut  baru  dapat  dirasakan  dalam  satu
klausa. Penutur memunculkan tanda-tanda ketubuhan  yang mendukung nilai  rasa
peduli  yang  diungkapkan,  sedangkan  ynsyr  ekstralingual  konteks  hanya  muncul
melalui  fenomena  inferensi  karena  rasa  peduli  muncul  berdasarkan  kesimpulan
yang ditarik penutur mengenai suatu hal  yang dianggap harus diperhatikan. Nilai rasa  peduli  dalam  acara  tersebut  selalu  dinyatakan  santun  karena  penutur
mengungkapkan  rasa  pedulinya  terhadap  suatu  keadaan  sesuai  dengan  maksim Leech, yaitu maksim simpati.
4.2.2.8 Nilai Rasa Cengang
Nilai  rasa  cengang  merupakan  kadar  perasaan  tuturan  untuk  menyatakan perasaan  ganjil  atau  aneh  ketika  melihat  atau  mendengar  sesuatu.  Nilai  rasa
cengang  ini  biasanya  muncul  karena  mitra  tutur  atau  rang  yang  dimaksud  dalam tuturan  melakukan  suatu  tindakan  yang  tidak  sesuai  dengan  kebiasaan,  aturan
yang berlaku atau kewajiban yang dimiliki. Nilai rasa cengang dapat ditunjukkan melalui rasa kaget dan rasa heran.
4.2.2.8.1 Nilai Rasa Kaget Nilai rasa  kaget  merupakan bentuk  rasa  cengang  yang disebabkan karena
ada  sesuatu  dan  tidak  diduga  oleh  penutur  sebelumnya  datang  secara  tiba-tiba, misalnya dalam tuturan
“Kok fitnah sih, bener” SSNRB04-08-20142. Tuturan tersebut  dikatakan  oleh  Chacha  yang  dituduh  memfitnah  Ndoro  karena
sebelumnya  memuji  Ndoro  dengan  mengatakan  bahwa  dirinya  kelihatan  jauh lebih muda.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat “Kok fitnah sih,
bener
”.,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  kaget.  Kalimat  tersebut  menggunakan
kata “sih”  dalam  KBBI  2008:1303  merupakan  kata  yang  menyatakan  masih
bimbang atau belum pasti benar. Secara utuh, kalimat tersebut dipersepsi sebagai
ungkapan  kekagetan  Chacha  karena  dirinya  dianggap  berbohong  oleh  Ndoro dengan  mengatakan  Ndoro  kelihatan  jauh  lebih  muda.  Nilai  rasa  kaget  juga
didukung  oleh  unsur  ekstralingual  tanda-tanda
ketubuhan  berupa  gerakan  tangan    kanan menunjuk  ke  arah  Ndoro  dan  ekspresi  wajah
kaget  yang  mengindikasikan  kekagetan  Chacha  atas  tuduhan  Ndoro  yang
menganggapnya  berbohong.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks
yang  dimunculkan  melalui  fenomena  referensi.  Chacha  merujuk  tuturan  Ndoro
sebelumnya  yang  menuduh  Chacha  memfitnahnya  dengan  mengatakan  dirinya kelihatan  jauh  lebih  muda.  Berdasarkan  tuduhan  tersebut  Chacha  menganggap
bahwa Ndoro tidak percaya dengan pujiannya. Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  salah  satu
indikator  kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim kesetujuan  “agreement  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  persetujuan
kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Chacha  membantah
tuduhan  Ndoro  yang  mengatakan  bahwa  dirinya  mengatakan  fitnah  karena memuji  Ndoro  yang  kelihatan  jauh  lebih  muda.  Chacha  tidak  setuju  dengan  apa
yang dikatakan oleh Ndoro, oleh sebab itu ia membantahnya. Nilai rasa kaget juga muncul dalam tuturan “Ha di dunia?” SSNRB04-
08-201425.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Chacha  yang  merasa  kaget mendengarkan  tuturan  Anies  baswedan  sebelumnya  mengenai  angka  korupsi  di
Indonesia yang termasuk tertinggi di dunia.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat  tanya
“Ha  di dunia?
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  kaget.  Kalimat  tersebut  menggunakan
kata “ha”  yang  berarti  kata  seru  yang  menyatakan  terkejut  KBBI,2008:471.
Secara  utuh,  kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  ungkapan  kekagetan  Chacha terhadap  angka  korupsi  di  Indonesia  yang  termasuk  tertinggi  di  dunia.  Kalimat
tersebut  merupakan  kalimat  tanya  namun  bukan  difungsikan  untuk  menanyakan melalinkan  sebagai  ungkapan  kaget  Chacha  karena  sebelumnya  ia  tidak  tahu
bahwa angka korupsi di Indonesia separah itu. Nilai rasa kaget juga didukung oleh unsur  ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  yang  dimunculkan  Chacha  berupa
ekspresi  wajah  kaget  dan  tangan  kanan  menahan  dagu  untuk
mengindikasikan  kekagetannya.  Selain  ittu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual
konteks  yang dimunculkan melalui fenomena  referensi.  Chacha merujuk  tuturan
Anies baswedan sebelumnya mengenai angka korupsi di Indonesia yang termasuk tertinggi di dunia. Chacha sebelumnya tidak mengetahui mengenai angka korupsi
tersebut sehingga ia terkejut saat mendengarkan informasi dari Anies Baswedan.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator
kesantunan Leech  1983  dalam  Pranowo  2012:103,
yaitu maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Chacha  berusaha
memberikan  keuntungan  kepada  Pak  Anies  dengan  merespon  pemberian informasinya.  Chacha  memberikan  keuntungan  kepada  Pak  Anies  agar  beliau
merasa bahwa apa yang disampaikan memang benar-benar memberikan informasi bagi orang yang belum mengetahui.
Nilai  rasa  kaget  juga  dapat  muncul  karena  penutur  sengaja  mengagetkan mitra  tutur,  misalnya  dalam  tuturan
“Ha,  ada  apa?”  SSNRB18-08-20142. Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  yang  merasa  kaget  karena  Chacha
memanggilnya  dengan  nada  yang  keras  sambil  menepuk  punggungnya  dari belakang.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Ha, ada apa?”,
untuk  memunculkan  nilai  rasa  kaget.  Kalimat  tersebut  menggunakan  kata
“ha” merupakan  kata  seru  yang  menyatakan  terkejut  KBBI,2008:471  dan  klausa
tanya yang mengindikasikan ketidaktahuan Sentilun mengenai Chacha yang tiba- tiba  memasuki  panggung  lalu  memanggil  namanya  dengan  keras.  Secara  utuh
kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai  kekagetan  Sentilun  terhadap  panggilan  dan tepukan  punggung  Chacha  yang  dilakukan
secara  tiba-tiba.  Nilai  rasa  kaget  juga  didukung oleh  unsur    ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan
yang dimunculkan oleh Sentilun berupa ekspresi kaget  memegang  kepala  dengan  kedua  tangan  sambil  satu  kaki  diangkat.
Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui
fenomena  referensi  atau  rujukan  tuturan  dan  gerakan  menepuk  punggung  yang
dilakukan Chacha secara tiba-tiba tanpa sepengetahuan Sentilun.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator
kesantunan Leech  1983  dalam  Pranowo  2012:103,
yaitu maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Sentilun  memberikan
keuntungan  kepada  Chacha  karena  karena  berhasil  membuat  Sentilun  merasa kaget  sehingga  apa  yang  direncanakan  Chacha  sebelumnya  untuk  mengagetkan
Sentilun dari belakang berhasil. Berdasarkan  beberapa  contoh  data  nilai  rasa  kaget  di  atas,  dapat
disimpulkan  bahwa  unsur  intralingual  yang  digunakan  untuk  memunculkan  nilai rasa kaget  dalam acara  Sentilan Sentilun  hanya  berupa kalimat. Kalimat tersebut
dapat berupa kalimat pernyataan dan kalimat pertanyaan. Tidak ada kata-kata khas tertentu untuk memunculkan nilai rasa kaget, hal tersebut dikarenakan kadar rasa
kaget baru dapat dirasakan dalam satu susunan kalimat utuh. Nilai  rasa  kaget  dalam  acara  tersebut  selalu  didukung  oleh  unsur
ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  dan  unsur  ekstralingual  konteks.  Unsur ekstraligual  konteks  ini  digunakan  untuk  mengetahui  kadar  rasa  yang  ada  dalam
suatu  tuturan.  Unsur  ekstralingual  konteks  dalam  nilai  rasa  kaget  hanya dimunculkan melalui fenomena referensi karena rasa kaget muncul akibat tuturan
atau perilaku mitra tutur sebelumnya. Nilai  rasa  kaget  dalam  acara  tersebut  ada  yang  dinyatakan  secara  santun
maupun tidak santun.  Dipersepsi  santun  karena penutur memberikan keuntungan kepada mitra tutur dengan menunjunjukkan kekagetan atas informasi atau perilaku
penutur sebagai reaksi bahwa penutur memperhatikan mitra tutur sesuai maksim kebijaksanaan  Leech.  Dipersepsi  tidak  santun  karena  kekagetan  muncul  akibat
penutur merasa tertuduh sehingga membantah pernyataan mitra tutur sebelumnya melanggar maksim kesetujuan Leech.
4.2.2.8.2 Nilai Rasa Heran Nilai rasa heran merupakan bentuk  rasa cengang  yang disebabkan karena
penutur menganggap ada sesuatu yang menyimpang atau ganjil terhadap perilaku atau perkataan mitra tutur, misalnya dalam tuturan “Kok hebat? Ya malu-maluin”
SSNRB04-08-201427.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Chacha  yang  merasa heran  dengan  pendapat  Ndoro  yang  menyatakan  bahwa  beliau  bangga  karena
Indonesia termasuk negara terkorup didunia.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Kok hebat?”,
untuk  memunculkan  nilai  rasa  heran.  Kalimat  tersebut  dipersepsi  sebagai
keheranan  penutur  terhadap  cara  pandang  Ndoro  yang  bangga  terhadap  angka korupsi  di  Indonesia.  Kalimat  tersebut  merupakan  kalimat  pertanyaan  yang
dimaksudkan  untuk  mengkonfirmasi  pernyataan  bangga  Ndoro  karena  Indonesia dinyatakan  termasuk  dalam  negara  terkorup  di  dunia.    Konfirmasi  tersebut
mengindikasikan  keheranan  penutur  terhadap  pernyataan  Ndoro  yang  harusnya merasa malu bukannya merasa bangga. Nilai rasa
heran diperkuat melalui unsur ekstralingual tanda- tanda  ketubuhan  yang  dimunculkan  oleh  Chacha
berupa ekspresi wajah heran mata melotot dan alis  mengernyit  yang  disertai  gerakan  tangan  menunjuk  ke  arah  Ndoro
untuk  mengindikasikan  keheranannya  terhadap  pernyataan  Ndoro.  Selain  itu, terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena
referensi atau tuturan Ndoro sebelumnya yang menyatakan bahwa beliau bangga
karena Indonesia termasuk negara terkorup didunia.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  indikator kesantunan  Pranowo  2005,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  adu  rasa
penutur tidak mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur. Di dalam
konteks tuturan tersebut, Chacha tidak mempertemukan perasannya dengan Ndoro karena  ia  langsung  menyatakan  keheranannya  mengenai  pemikiran  Ndoro  yang
dianggap  menyimpang.  Chacha  tidak  memperdulikan  apakan  hal  tersebut  akan menyinggung perasaan Ndoro atau tidak.
Nilai rasa heran juga muncul dalam tuturan “Eh malu kok nggak punya, ya kan, heran saya
” SSNRB15-09-20145. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang  merasa  heran  dengan  tuturan  Cak  Lontong  sebelumnya  mengenai  mobil
mewahnya yang tidak pernah ikut mengantri di pos pengisian premium kerena ia membeli bensin eceran.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Eh  malu  kok nggak  punya,  ya  kan,  heran  saya
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  heran.
Kalimat tersebut dipersepsi sebagai keheranan Ndoro terhadap Cak Lontong yang memakai  premium  untuk  mengisi  mobil  mewahnya  padahal  dari  segi  ekonomi,
Cak  Lontong  termasuk  orang  yang  mampu.  Lebih  parahnya  lagi  Cak  Lontong justru membeli premium eceran dipinggir jalan. Ndoro heran karena Cak Lontong
seharusnya  malu,  namun  yang  terjadi  justru  sebaliknya.  Kalimat  tersebut  juga menggunakan  kata
“eh”  yang  merupakan  kata  seru  untuk  menyatakan  heran KBBI,2008:353  dan  frasa
“heran  saya”  untuk  memperkuat  nilai  rasa  heran yang ingin disampaikan kepada Cak Lontong. Nilai rasa heran juga didukung oleh
unsur  ekstralingual  berupa  tangan  kanan  Ndoro  yang  menggaruk-garuk
kepala  saat  menuturkan  klausa  tersebut  untuk
mengindikasikan  keheranannya  terhadap  kelakuan Cak  Lontong  dianggap  memalukan.  Selain  itu,
terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang
dimunculkan  melalui  fenomena  referensi  atau  rujukan  tuturan  Cak  Lontong
sebelumnya  yang  menyatakan  bahwa  mobil  mewahnya  tidak  pernah  ikut mengantri  di  pos  pengisian  premium  kerena  ia  membeli  bensin  eceran.  Pada
awalnya Ndoro mempunyai asumsi sebelum Cak lontong mengatakan hal tersebut bahwa  Cak  Lontong  tidak  menggunakan  premium,  melainkan  pertamax  karena
dari segi ekonomi Cak Lontong termasuk orang yang mampu.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  indikator kesantunan  Pranowo  2005,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  adu  rasa
penutur  tidak  mempertemukan  perasaannya  dengan  mitra  tutur.  Ndoro
langsung  menyatakan  keheranannya  kepada  Cak  Lontong  dengan  mengatakan Cak  Lontong  tidak  punya  malu  tanpa  memilirkan  perasaan  Cak  Lontong  yang
tersinggung atau tidak dengan ucapan Ndoro tersebut. Nilai  rasa  heran  juga  tidak  selalu  ditandai  oleh  unsur  intralingual  berupa
kalimat  seperti  kedua  contoh  di  atas,  melainkan  dapat  pula  ditandai  oleh  klausa seperti  pada  tuturan  “Aneh  ini,ini  aneh  ini”  SSNRB15-09-20143.  Tuturan
tersebutdikatakan oleh Ndoro  yang heran ketika  melihat Cak Lontong  memasuki panggung dengan membawa kunci mobil yang sangat besar.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“Aneh ini”, untuk
memunculkan  nilai  rasa  heran.  Klausa  tersebut  dipersepsi  sebagai  ungkapan
keheranan  Ndoro  melihat  Cak  Lontong  datang  dengan  membawa  kunci  mobil yang  sangat  besar.  Ndoro  heran  karena  sebelumnya  beliau  tidak  pernah  melihat
kunci mobil seukuran itu. Nilai rasa heran juga didukung  oleh  unsur  ekstralingual  tanda-tanda
ketubuhan  berupa  gerakan  tangan  kanan Ndoro  yang  disembunyikan  di  belakang
pinggang  untuk  mengindikasikan  Ndoro  sedang  berpikir  dan  membayangkan
kunci  apa  yang  sedang  dibawa  Cak  Lontong.  Unsur  ekstralingual  yang dimunculkan  Ndoro  tersebut  merupakan  gerakan  yang  biasanya  digunakan
seseorang  saat  memikirkan  sesuatu  dalam  konteks  tersebut  dipersepsi  sebagai keheranan  Ndoro.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang
dimunculkan  melalui  fenomena  referensi  atau  rujukan  gerak-gerik  Cak  Lontong
sebelumnya  yang  memasuki  panggung  dengan  membawa  kunci  mobil  besar. Ndoro mempunyai pengetahuan bahwa kunci mobil biasanya berukuran kecil dan
tidak sebesar seperti yang dibawa oleh Cak Lontong.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  indikator kesantunan  Pranowo  2005,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  adu  rasa
penutur  tidak  mempertemukan  perasaannya  dengan  mitra  tutur.  Ndoro
langsung  menyatakan  bahwa  Cak  Lontong  aneh  karena  membawa  kunci  besar. Ndoro  mengungkapkan  kejanggalannya  tersebut  secara  langsung  tanpa
memikirkan perasaan Cak Lontong bisa saja merasa tersinggung
Berdasarkan  beberapa  contoh  data  tuturan  nilai  rasa  heran  yang  diambil dari  Acara  Sentilan  Sentilun  di  atas  dapat  disimpulkan  bahwa  unsur  intralingual
untuk  memunculkan  nilai  rasa  heran  dapat  berupa  klausa  dan  kalimat.  Terrdapat kata-kata khas untuk mengindikasikan nilai rasa heran dalam acara tersebut, yaitu
kata heran dan aneh. Namun kata-kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena kadar rasanya baru dapat dirasakan setelah berada dalam kalimat atau paling tidak
klausa. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan
mendukung nilai rasa heran karena hal tersebut tergantung keekspresifan penutur. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual konteks selalu muncul menyertai
tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa yang ada dalam tuturan. Unsur  ekstralingual  konteks  dalam  nilai  rasa  heran  selalu  dimunculkan  melalui
fenomena  referensi  karena  rasa  heran  muncul  karena  keanehan  penutur  terhadap sikap  atau  ucapan  mitra  tutur.  Nilai  rasa  heran  selalu  dinyatakan  tidak  santun
karena  terkesan  menaruh  rasa  tidak  percayanya  kepada  mitra  tutur  secara langsung melanggar indikator kesantunan Pranowo, yaitu adu rasa.
4.2.2.9 Nilai Rasa Merasa Bersalah Nilai  rasa  merasa  bersalah  merupakan  kadar  perasaan  tuturan  untuk
menyatakan  rasa  sesal  terhadap  perilaku,  perkataan,  atau  bahkan  sikap  yang dianggap merugikan orang lain. Perhatikan tuturan berikut “Lagi telepon Ndoro,
maaf  bentar  ya.  Nih  bawa.  Aku  nggak  bisa,  ka lau telepon sekali pakai, buang”
SSNRB11-08-20147.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Asti  Ananta  yang merasa bersalah karena telah memasuki panggung tanpa permisi dan malah asyk
menelepon.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Lagi  telepon Ndoro,  maaf  bentar  ya
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  merasa  bersalah.
Kalimat  tersebut  menggunakan  kata “maaf”  yang  berarti  ungkapan  permintaan
ampun  atau  penyesalan  KBBI,2008:852.  Kalima  tersebut  dipersepsi  sebagai ungkapan rasa bersalah penutur karena dia tidak mengucap salam saat memasuki
panggung  dan  justru  asyik  bertelepon  dengan  temannya.  Asti  Ananta  merasa bersalah karena saat memasuki panggung dalam acara tersebut memasuki rumah
Ndoro  dirinya  yang  saat  itu  merupakan  bintang  tamu  seharusnya  mengucapkan salam  dan  menunjukkan  etiket  baik.  Unsur  ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan
tidak  dimunculkan  oleh  Asti  untuk  mendukung  rasa  bersalah  yang  ingin disampaikan,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui
fenomena  referensi.  Asti  merujuk  tuturan  Ndoro  sebelumnya  yang  menegurnya
karena tidak mengucapkan salam ketika memasuki panggung. Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator
kesantunan Pranowo
berupa nilai-nilai
pendukung kesantunan
Pranowo,2012:121, yaitu sikap mawas diri. Di dalam konteks tuturan tersebut,
Asti  Ananta  merasa  mawas  diri  dengan  meminta  maaf  karena  menyadari  bahwa sebelumnya  sikap  yang  dimunculkan  saat  memasuki  panggung  tidak  sopan  dan
terkesan tidak menghargai pembawa acara. Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian,
kebetulan hanya ditemukan satu data tuturan nilai rasa merasa bersalah. Nilai rasa merasa  berselah  yang  ditemukan  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  hanya
dimunculkan melalui unsur intralingual  kalimat  dan ditandai  oleh kata-kata khas
yang  mengindikasikannya,  yaitu  kata  “maaf”.  Namun,  kata  tersebut  tidak  dapat berdiri sendiri karena kadar rasanya baru diketahui setelah berada dalam kalimat.
Penutur  kebetulan  tidak  memunculkan  tanda-tanda  ketubuhan  yang  mendukung nilai  rasa  merasa  bersalah  yang  diungkapkan,  sedangkan  unsur  ekstralingual
konteks  hanya  muncul  melalui  fenomena  referensi  karena  rasa  bersalah  penutur
muncul  setelah  sebelumnya  ditegur  oleh  mitra  tutur.  Nilai  rasa  merasa  bersalah dalam  acara  tersebut  selalu  dinyatakan  santun  karena  penutur  menyadari
kesalahan  yang  dibuatnya  dan  berusaha  meminta  maaf  sesuai  indikator kesantunan Pranowo berupa sifat mawas diri.
4.2.2.10 Nilai Rasa Ikhlas Nilai rasa ikhlas merupakan kadar perasaan tuturan untuk menyatakan rasa
menerima  terhadap  suatu  hal  yang  dianggap  merugikan  dirinya,  misalnya  pada tuturan  “Alhamdulillah”  SSNRB11-08-201418.  Tuturan  tersebut  dikatakan
oleh  Sentilun  yang  menrima  segala  ungkapan  Ndoro  yang  seolah menempatkannya  pada  posisi  yang  rendah,  sedangkan  beliau  ditempatkan  dalam
posisi yang tinggi. Unsur
intralingual dalam
tuturan tersebut
berupa kalimat
“Alhamdulillah”, untuk memunculkan nilai rasa ikhlas. Kalimat tersebut terdiri
dari  satu  kata “alhamdulillah”  yang  berarti  ungkapan  untuk  menyatakan  rasa
syukur  karena  menerima  karunia  Allah  KBBI,  2008:39.  Berdasarkan  konteks yang  menyertai  tuturan,  kata
“alhamdulillah” dipersepsi sebagai ungkapan rasa ikhlas  Sentilun  terhadap  apa  yang  diungkapkan  oleh  Ndoro  sebelumnya  yang
terkesan  menempatkannya  pada  posisi  yang rendah,  sedangkan  Ndoro  ditempatkan  dalam
posisi  yang  tinggi.  Nilai  rasa  ikhlas  juga didukung  oleh  unsur  ekstralingual  tanda-tanda
ketubuhan  yang  dimunculkan  oleh  Sentilun
berupa  kepala  yang  menunduk  saat  mengucapkan  kalimat  tersebut  untuk
mengindikasikan  rasa  ikhlasnya  terhadap  ungkapan  Ndoro  yang  terkesan menempatkannnya  pada  posisi  yang  rendah.  Selain  itu,  terdapat  juga  unsur
ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena  referensi.  Sentilun merujuk  tuturan  Ndoro  sebelumnya  yang  seolah  menempatkan  Sentilun  pada
posisi yang rendah, sedangkan beliau ditempatkan dalam posisi yang tinggi.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator
kesantunan Pranowo
berupa nilai-nilai
pendukung kesantunan
Pranowo,2012:120,  yaitu  sikap  mau  berkorban.  Di  dalam  konteks  tuturan
tesebut,  Sentilun  rela  berkorban  dengan  menerima  tuturan  Ndoro  sebelumnya yang terkesan menempatkannya dalam posisi rendah. Penerimaan tanpa membalas
tuturan  Ndoro  tersebut  mengindikasikan  bahwa  Sentilun  mempunyai  sikap  mau berkorban.
Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian, kebetulan  hanya  ditemukan  satu  data  tuturan  nilai  rasa  ikhlas.  Nilai  rasa  ikhlas
yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun hanya dimunculkan melalui unsur intralingual  kalimat  dan  ditandai  oleh  kata-kata  khas  yang  mengindikasikannya,
yaitu kata alhamdulillah. Penutur kebetulan memunculkan tanda-tanda ketubuhan
yang  mendukung  nilai  rasa  ikhlas  yang  diungkapkan,  sedangkan  unsur
ekstralingual  konteks  hanya  muncul  melalui  fenomena  referensi  karena  rasa
ikhlas  muncul  setelah  mendengar  suatu  tuturan  tertentu  dari  mitra  tutur  yang sebenarnya  tidak  mengenakkan  terkesan  merendahkan.  Nilai  rasa  ikhlas  dalam
acara  tersebut  selalu  dinyatakan  santun  karena  keikhlasan  tersebut  merupakan manifestasi  sikap  rela  berkorban  daripada  menimbulkan  perpecahan  sesuai
dengan indikator kesantunan Pranowo, yaitu sikap rela berkorban.
4.2.2.11 Nilai Rasa Religius Nilai  rasa  religius  merupakan  kadar  perasaan  tuturan  untuk  menyatakan
rasa  percaya  terhadap  kebesaran  Tuhan.  Nilai  rasa  religius  ini  biasanya menggunakan kata-kata  khas  yang jarang digunakan oleh orang  awam,  misalnya
dalam  tuturan  “Kita  mesti  berdoa  ini.  Ya  Allah,  kami  mudah-mudahan  cepat terbe
bas  dari  suasana  wani  piro”  SSNRB04-08-201437.  Tuturan  tersebut dikatakan  oleh  Ndoro  yang  berdoa  agar  Indonesia  segera  terbebas  dari  praktek
politik uang.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa frasa
“Ya Allah”, untuk
memunculkan  nilai  rasa  religius.  Frasa  tersebut  biasanya  diucapkan  sebelum
umat muslim memanjatkan doa tertentu dalam bahasa Indonesia.   Frasa tersebut dipersepsi mengandung nilai rasa religius karena tuturan tersebut merupakan doa
Ndoro  agar  Indonesia  terbebas  dari  praktek  politik  uang.  Tuturan  tersebut menggunakan  nilai  rasa  religius  untuk  memunculkan  sindiran  terhadap  para
petinggi  negara  yang  melakukan    politik  uang.  Nilai  rasa  religius  didukung  oleh
unsur ekstralingual yang dimunculkan Ndoro berupa gerakan
kedua tangan
menengadah untuk
mengindikasikan  bahwa  Ndoro  sedang  berdoa. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks
yang  dimunculkan  melalui  fenomena  pranggapan.  Ndoro  mempunyai
pengetahuan  lama  mengenai  cara  meminta  sesuatu  kepada  Tuhan  dalam  agama Islam, yaitu dengan cara berdoa.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dakam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  memberikan  keuntungan  kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Ndoro memberikan keuntungan
kepada orang yang dimaksud dalam tuturan para petinggi negara berupa sindiran secara tidak langsung agar mereka yang melakukan politik uang segera sadar dan
tidak melakukan hal tersebut lagi. Nilai  rasa  religius  juga  muncul  saat  seseorang  menyatakan  salam  yang
dimaksudkan  untuk  mendoakan,  misalnya  pada  tuturan  “Assalamualaikum” SSNRB29-09-20149. Tuturan tersebut dikatakan oleh Asep Rahmatullah yang
beragama  muslim  dan  mengetahui  kebiasaan  umat  muslim  jika  bertamu mengucapkan salam dengan mengatakan assalamualaikum.
Unsur intralingual
dalam tuturan
tersebut berupa
diksi “Assalamualaikum”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  religius.  Diksi
“assalamualaikum” dalam KBBI 2008:95 berarti keselamatan untukmu. Diksi tersebut biasanya diucapkan pada awal dan akhir pidato atau saat bertemu dengan
seseorang.  Diksi  tersebut  dipersepsi  sebagai  rasa  religius  penutur  sebagai  umat muslim  yang  mengucapkan  salam  yang  bermaksud
mendoakan  kepada  pembawa  acara  dan  seluruh penonoton  di  studio.  Nilai  rasa  religius  juga
didukung  oleh  unsur  ekstralingual  tanda-tanda
ketubuhan berupa  gerakan kedua tangan ditangkupkan ke depan dada  untuk
mengindikasikan  bahwa  beliau  sedang  memberikan  salam.  Selain  itu,  terdapat
juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimucnulkan  melalui  fenomena praanggapan.  Asep  Rahmatullah  merupakan  seorang  muslim  yang  mempunyai
pengetahuan mengenai kebiasaan umat muslim jika bertamu mengucapkan salam dengan mengatakan assalamualaikum.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dakam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  memberikan  keuntungan  kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut,  Asep Rahmatullah berbaik  hati
memberikan  salam  yang  dimaksudkan  untuk  mendoakan  pembawa  acara  dan penonton di studio agar diberikan keselamatan oleh Allah.
Nilai rasa religius juga muncul saat seseorang menjawab salam mitra tutur, seperti  dalam  tuturan  “Waalaikumsalam”  SSNRB29-09-201410.  Tuturan
tersebut  dikatakan  oleh  Chacha  yang  menjawab  salam  Asep  Rahmatullah sebelumnya.
Unsur intralingual
dalam tuturan
tersebut berupa
diksi “waalaikumsalam”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  religius.  Diksi
“waalaikumsalam” biasanya digunakan oleh umat muslim untuk menjawab salam yang  sebelumnya  diucapkan  oleh  tamu  assalamualaikum.  Di  dalam  konteks
tuturan,  diksi  tersebut  dipersepsi  sebagai  rasa  religius  Chacha  yang  mengetahui bahwa  jika  ada  yang  mengucapkan  salam  assalamualaikum  maka  harus  dibaas
dengan waalaikumsalam karena arti salam tersebut adalah doa bagi  yang diberi salam.  Chacha  tidak  memunculkan  tanda-tanda  ketubuhan  apa  pun  untuk
mendukung  nilai  rasa  religius  yang  disampaikan,  sedangkan  unsur  ekstralingual
konteks dimunculkan melalui fenomena referensi. Chacha merujuk tuturan Asep
Rahmatullah sebelumnya
yang mengucapkan
salam dengan
diksi “assalamualaikum”.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dakam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  memberikan  keuntungan  kepada mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  Chacha  berbaik  hati  kepada
mitra  tutur  Asep  Rahmatullah  dengan  menjawab  salam  yang  diucapkan assalamualaikum.  Menjawab  salam  berarti  Chacha  juga  mendoakan  Pak  Asep
agar diberi keselamatan juga oleh Allah waalaikumsalam=keselamatan untukmu juga.
Berdasarkan  beberapa  contoh  data  uturan  nilai  rasa  religius  dalam  acara Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual dalam nilai
rasa  ini  dimunculkan  melalui  diksi  atau  pilihan  kata  dan  frasa  yang  biasanya jarang digunakan oleh orang awam biasanya menyangkut agama tertentu seperti
ya Allah, assalamualaikum dan waalaikumsalam.
Unsur  ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  nilai  rasa  religius  yang  ada didalam acara Sentilan Sentilun juga tidak selalu muncul, hal tersebut tergantung
oleh keekspresifan penutur. Unsur ekstralingual konteks dalam nilai rasa religius dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan  dan  referensi.  Fenomena
praanggapan  digunakan  karena  sebelumnya  penutur  mempunyai  pengetahuan mengenai  cara  agama  yang  dianutnya  untuk  menyikapi  sesuatu,  sedangkan
fenomena  referensi  digunakan  karena  sebelumnya  penutur  menggunakan  diksi bernilai rasa religius karena menjawab tuturan mitra tutur sebelumnya. Nilai rasa
religius  ini  selalu  dinyatakan  santun  karena  selalu  memberikan  kebaikan  kepada penutur  sendiri,  mitra  tutur,  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan  sesuai
dengan indikator kesantunan Leech, yaitu maksim kebijaksanaan.
4.2.2.12 Nilai Rasa Sombong Nilai rasa sombong merupakan  kadar perasaan  tuturan untuk menyatakan
rasa  menghargai  diri  sendiri  secara  berlebihan  sehingga  terkesan  merendahkan pihak  lain.  Perhatikan  tuturan  berikut
“Nggak  bakalan  cowok  secakep  saya nggodain  dia,  justru saya yang  biasa digoda  cewek-
cewek cantik” SSNRB29- 09-20144.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  yang  menyombongkan  diri
bahwa dirinyalah yang biasanya digoda oleh perempuan cantik dan tidak mungkin menggoda Chacha Federicha.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa
kalimat “Nggak bakalan
cowok  secakep  saya  nggodain  dia,  justru  saya  yang  biasa  digoda  cewek-cewek
cantik”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  sombong.  Kalimat  tersebut  dipersepsi
sebagai kesombongan Sentilun yang berkata tidak sesuai dengan kenyataan bahwa dirinya  yang  biasanya  digoda  perempuan  cantik.  Penyombongan  diri  berupa
perkataan yang tidak benar tersebut dilatarbelakangi oleh  tuturan  Ndoro  sebelumnya  yang  menuduh
dirinya menggoda Chacha. Nilai rasa sombong juga didukung  oleh  unsur  ekstralingual  tanda-tanda
ketubuhan  berupa  gerakan  tangan  kanan  menunjuk-nunjuk  ke  arahnya  saat mengatakan
kalimat tersebut.
Gerakan tersebut
dipersepsi sebagai
kesombongan  Sentilun  yang  membanggakan  dirinya  sendiri.  Selain  itu,  terdapat juga  unsur  ekstralingual  konteks  yang  dimunculkan  melalui  fenomena  referensi
atau  rujukan  tuturan  Ndoro  sebelumnya  yang  menuduh  Sentilun  menggoda
Chacha sehingga ia menjadi kesal dan menyombongkan diri.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  salah  satu
indikator  kesantunan  Pranowo  berupa  nilai-nilai  prndukung  kesantunan
2012:111,  yaitu  sifat rendah hati.  Di  dalam konteks tuturan tersebut,  Sentilun
merasa  bahwa  dirinya  tidak  mungkin  menggoda  Chacha  karena  dirinya  biasa digoda  oleh  gadis  cantik,  melalui  ungkapan  tersebut  secara  tidak  langsung
Sentilun menyombongkan dirinya dan merendahkan Chacha. Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian,
kebetulan  hanya  ditemukan  satu  data  tuturan  nilai  rasa  sombong.  Nilai  rasa sombong  yang  ditemukan  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  hanya  dimunculkan
melalui  unsur  intralingual  kalimat  dan  tidak  ditandai  oleh  kata-kata  khas  yang mengindikasikannya. Nilai rasa sombong baru bisa dirasakan dalam satu kesatuan
kalimat yang utuh. Penutur kebetulan memunculkan tanda-tanda ketubuhan yang mendukung nilai rasa sombong yang diungkapkan, sedangkan unsur ekstralingual
konteks hanya muncul melalui fenomena referensi karena kesombongan penutur
muncul  karena  tuduhan  tuturan  mitra  tutur  sebelumnya  yang  terkesan  menuduh dan merendahkannya. Nilai rasa sombong dalam acara tersebut selalu dinyatakan
tidak  santun  karena  kesombongan  tersebut  merupakan  pertanda  bahwa  penutur merasa tinggi hati melanggar indikator kesantunan Pranowo berupa sifat rendah
hati.
4.2.2.13 Nilai Rasa Serius Nilai rasa serius merupakan kadar perasaan tuturan untuk menyatakan rasa
sungguh-sungguh  terhadap  sesuatu  yang  sedang  dikerjakan  atau  dikatakan, misalnya  pada  tuturan  “Serius  nih,  saya  berpikirnya  gini.  Duduk  sayang.  Saya
berpikirnya  gini,  kalau  masyarakat  kemana-mana  jalannya  lancar  pasti  kan produktifitasnya  lebih  baik,  apa  pun.  Belajar,  pekerjaan  juga  demikian,
sosialisasi  juga  baik  dan  untuk  pemerintahan  juga  begitu.  Kalau  misalnya jalannya lancar, kemana-kemana kan kalau mau rapat disana, disini, seperti tadi
public  hearing  itu  kan  lebih  nyaman.  Cuman  yang  saya  pikirkan  juga,  kalau memang  Jakarta  ini  ternyata  sudah  kepenuhan  orangnya.  Kemudian  kalau  kita
lihat  mungkin  pertumbuhan  percepatan  pembangunan  jalan  tidak  bisa  seiring dengan  pertumbuhan  percepatan  kepemilikan  kendaraan
”  SSNRB11-08- 201430.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Asti  yang  mengetahui  masalah
kemacetan di Jakarta yang selama ini sangat menggangu aktifitas penduduk.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  klausa
“serius  nih”,
untuk  memunculkan  nilai  rasa  serius.  Klausa  tersebut  menggunakan  kata
“serius” yang berarti sungguh-sungguh KBBI,2008:1288 dan kata “nih” yang berarti  kata  yang  digunakan  untuk  menegaskan  KBBI,2008:962.  Berdasarkan
konteks  yang  menyertai  tuturan,  kalimat    tersebut  dipersepsi  sebagai  keseriusan Asti  Ananta  untuk  menyampaikan  analisanya.  Keseriusan  Asti  Ananta  lebih
terlihat  dengan  penggunaan  kata  “nih”  yang  berfungsi  untuk  menegaskan keseriusan  penutur  terhadap  apa  yang  akan  disampaikan.  Asti  Ananta  tidak
memunculkan  tanda-tanda  ketubuhan  apapun  untuk  mendukung  keseriusan  yang hendak ditunjukkan, sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui
fenomena  praanggapan.  Asti  mempunyai  pengetahuan  lama  mengenai  masalah
kemacetan di  Jakarta  yang selama ini sangat  menggangu aktifitas warga  Jakarta. Berdasarkan  pengetahuan  awal  tersebut,  Asti  Ananta  mengajak  untuk  mulai
memikirkan alternatif pemecahan masalah kemaceta di Jakarta agar tidak semakin berlarut-larut.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  sesuai  dengan  indikator kesantunan  Leech  1983,  dalam  Pranowo  2012:103,  yaitu  maksim
kebijaksanaan  “tact  maxim”  tuturan  dapat  memberikan  keuntungan kepada  mitra  tutur.  Di  dalam  konteks  tuturan  tersebut,  rasa  serius  yang
diungkapkan  Asti  muncul  karena  Asti  hendak  memberikan  analisanya  mengenai pembenahan  kemacetan  kota  jakarta  yang  dapat  memperlancar  produktivitas
penduduknya.
Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian, kebetulan  hanya  ditemukan  satu  data  tuturan  nilai  rasa  serius.  Nilai  rasa  serius
yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun hanya dimunculkan melalui unsur intralingual  klausa  dan  ditandai  oleh  kata
“serius”  sebagai  kata  yang mengindikasikannya.  Namun  kata  tersebut  tidak  dapat  berdiri  sendiri  dan  kadar
rasanya baru diketahui setelah berada dalam kalimat. Penutur tidak memunculkan tanda-tanda  ketubuhan  tertentu  untuk  mendukung  nilai  rasa  serius  yang
diungkapkan,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  hanya  muncul  melalui
fenomena praanggapan karena keseriusan penutur didasarkan kepada hasil analisa
yang ingin diungkapkan. Nilai rasa serius dalam acara tersebut selalu dinyatakan santun karena keseriusan tersebut muncul saat penutur hendak memberikan hasil
analisanya sesuai dengan maxim kebijaksanaan Leech.
4.2.2.14 Nilai Rasa Kasar Nilai  rasa  kasar  merupakan  kadar  perasaan  tuturan  untuk  menunjukkan
keburukan  budi  pekerti  seseorang.  Nilai  rasa  kasar  merupakan  manifestasi  sikap tidak  santun  penutur  terhadap  mitra  tutur,  misalnya  dalam  tuturan  “Kamu  ini
bagus ya, tapi berhenti mau nggak? Hahahaha . . .Nggak enak ya. Hahahaha . . .kenapa? loe pulang,  loe pulang,  loe pulang
” SSNRB11-08-201412. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang mengetahui gaya kepemimpinan Pak Jokowi
dan  Pak  Ahok  yang  berbeda,  yaitu  Pak  Jokowi  mempunyai  gaya  kepemimpinan yang halus, sedangkan Pak Ahok terkesan ceplas-ceplos.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  diksi
“loe”  ,  untuk memunculkan  nilai  rasa  kasar.  Kata
“loe”  termasuk  dalam  ragam  bahasa  gaul yang  sama  artinya  dengan  kata  kamu.  Di  dalam  tuturan  tersebut,  kata
“loe” memiliki  nilai  rasa  kasar  karena  Ndoro  sebenarnya  mempraktekkan  pemecatan
yang dilakukan oleh Pak Ahok. Pemecatan yang dilakukan secara lisan hendaknya menggunakan  ragam  bahasa  baku  dan  bukan  ragam  bahasa  gaul  yang  mungkin
bisa  menyinggung  mitra  tutur  yang  akan  dipecat.  Unsur  ekstralingual  konteks
dalam  tuturan  tersebut  dimunculkan  melalui  fenomena  praanggapan.  Ndoro
mempunyai pengetahuan awal mengenai gaya kepemimpinan Pak Jokowi dan Pak Ahok  yang  berbeda.  Pak  Jokowi  mempunyai  gaya  kepemimpinan  yang  halus,
sedangkan Pak Ahok terkesan ceplas-ceplos.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  indikator kesantunan  Pranowo  2008,  dalam  Pranowo  2012:104,  yaitu  pemakaian  kata-
kata  tertentu  sebagai  pilihan  kata  diksi  yang  dapat  mencerminkan  rasa santun.
Di dalam konteks tuturan tersebut, Ndoro menggunakan kata “loe” yang dipersepsi  lebih  kasar  daripada  kata
“kamu”.  Kata  “loe”  yang  digukan  dapat menyinggung  perasaan  mitra  tutur  atau  orang  yang  dimaksud  dalam  tuturan
sehingga termasuk dalam kata beraura tidak santun. Nilai  rasa  kasar  juga  dapat  muncul  dalam  ejekan  misalnya  dalam  tuturan
“Modiar”  SSNRB25-08-201411.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun yang  mengejek  Profesi  Cak  Lontong  sebagai  pelawak  yang  mempunyai  resiko
kegilaan.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  diksi
“Modiar”.  Diksi “modiar”  sama  maknanya  dengan  kata  “modar”  merupakan  ungkapan  dalam
bahasa  jawa.  Kata “modar” dalam bahasa indonesia berarti mati. Kata tersebut
dipersepsi  kasar  karena  biasanya  digunakan  untuk  mengumpat  dan  ejekan  keras yang  bermaksud  membuat  mitra  tutur  menjadi  kapok  jera.  Unsur  ekstralingual
konteks  dalam  tuturan  tersebut  dimunculkan  melalui  fenomena  referensi  atau
rujukan  tuturan  Cak  Lontong  sebelumnya  yang  mengungkapkan  kerepotan  dan resiko menjadi seorang pelawak yang bisa sampai menjadi gila.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  indikator kesantunan  Pranowo  2008,  dalam  Pranowo  2012:104,  yaitu  pemakaian  kata-
kata  tertentu  sebagai  pilihan  kata  diksi  yang  dapat  mencerminkan  rasa santun. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun menggunakan kata
“modiar” yang  bernilai  rasa  lebih  kasar  dari  pada  kata
“mati”.  Kata  tersebut  digunakan untuk mengejek Cak Lontong sehingga termasuk dalam kata beraura tidak santun.
Nilai  rasa  kasar  juga  dapat  muncul  dengan  maksud  merendahkan  profesi tertentu,  misalnya  dalam  tuturan  “Pembantu  jongos  itu  namanya,  selevel  sama
aku”  SSNRB08-09-201419.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Sentilun  yang menyimpulkan  bahwa  Cak  Lontong  hanya  akan  dipekerjakan  sebagai  pembantu
oleh Pak Jokowi, seperti dirinya yang menjadi pembantu di rumah Ndoro.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  diksi
“jongos”,  untuk
memunculkan  nilai  rasa  kasar.  Kata
“jongos”  dalam KBBI 2008:588 berarti pembantu  rumah  tangga  laki-laki.  Kata
“jongos”  dipersepsi  kasar  karena  kata tersebut  tidak  lazim  digunakan  dan  biasanya  hanya  digunakan  saat  sesorang
merasa  emosi  kepada  pembantunya.  Kata “jongos”  termasuk  kasar  dan
sebenarnya  dapat  digantikan  dengan  kata  yang  lebih  santun,  namun  mempunyai arti  yang  sama,  misalnya  pembantu  atau  asisten  rumah  tangga.  Unsur
ekstralingual  konteks  dalam  tuturan  tersebut  dimunculkan  melalui  fenomena
inferensi atau kesimpulan Sentilun bahwa Cak Lontong hanya akan dipekerjakan
sebagai  pembantu  oleh  Pak  Jokowi,  seperti  dirinya  yang  menjadi  pembantu  di rumah Ndoro.
Tuturan  tersebut  termasuk  tidak  santun  karena  melanggar  indikator kesantunan  Pranowo  2008,  dalam  Pranowo  2012:104,  yaitu  pemakaian  kata-
kata  tertentu  sebagai  pilihan  kata  diksi  yang  dapat  mencerminkan  rasa santun.
Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun menggunkan kata “gongos” yang bernilai rasa lebih kasar d
aripada kata “pembantu”. Kata tersebut digunakan untuk menyatakan profesi Cak Lontong yang akan dijalaninya dalam kabinet Pak
Jokowi. Kata tersebut dapat menyinggung perasaan mitra tutur sehingga termasuk dalam kata beraura tidak santun.
Berdasarkan  beberapa  contoh  data  tuturan  yang  diambil  dalam  acara Sentilan  Sentilun  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  unsur  intralingual  yang
digunakan untuk
memunculkan nilai
rasa kasar
hanya beru
pa diksi. Diksi yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa kasar dalam acara  tersebut  yaitu  kata  “jongos”,  “loe”  dan  “modiar”.  Kata-kata  tersebut
termasuk  kasar  karena  sebenarnya  ada  kata  yang  halus  dan  memiliki  arti  yang sama seperti kata “pembantu”, “kamu” dan “mati”.
Unsur  ekstralingual  tanda-tanda  ketubuhan  tidak  pernah  muncul  untuk mendukung nilai rasa kasar karena yang digunakan dalam nilai rasa ini hanyalah
berupa  diksi  bernilai  rasa  kasar.  Hal  ini  berbeda  dengan  unsur  ekstralingual konteks  yang  selalu  menyertai  tuturan  bernilai  rasa  kasar  karena  hal  tersebut
digunakan  untuk  mengetahui  kadar  rasa  kasar  suatu  tuturan.  Unsur  ekstralingual konteks  yang  digunakan  untuk  memunculkan  nilai  rasa  kasar  dimunculkan
melalui  fenomena  praanggapan,  referensi  dan  inferensi.  Fenomena  praanggapan digunakan  karena  sebelumnya  penutur  hanya  menirukan  gaya  berbicara
seseorang, fenomena referensi digunakan karena penutur hendak mengejek mitra tutur  dan  fenomena  inferensi  karena  penutur  mempunyai  kesimpulan  tertentu
yang menumbulkan pemakaian diksi tidak santun dalam tuturan. Diksi yang digunakan dalam nilai rasa kasar ini selalu tidak santun karena
diksi  tersebut  termasuk  dalam  diksi  beraura  tidak  santun  melanggar  indikator kesantunan  Pranowo  yaitu  pemakaian  kata-kata  tertentu  sebagai  pilihan  kata
diksi yang dapat mencerminkan rasa santun.
4.2.2.15 Nilai Rasa Malu Nilai rasa malu merupakan kadar perasaan tuturan untuk menyatakan rasa
sangat  tidak  enak  hati  karena  telah  berbuat  sesuatu  yang  kurang  baik  terhadap mitra  tutur  atau  orang  yang  dimasud  dalam  tuturan.  Perhatikan  contoh  tuturan
“Nggak,  gini-gini  lho.  Jangan  bikin  malu  di  depan  Pak  Wamen  to  aduh” SSNRB25-08-20144.  Tuturan  tersebut  dikatakan  oleh  Ndoro  yang
memperingatkan  Cak  Lontong  untuk  tidak  meminta  sumbangan  kepada  Sapta
Nirwandar  Wamen  pariwisata  dan  industri  kereatif    karena  hal  tersebut membuatnya malu.
Unsur  intralingual  dalam  tuturan  tersebut  berupa  kalimat
“Jangan  bikin malu  di  depan  Pak  Wamen  to  aduh
”,  untuk  memunculkan  nilai  rasa  malu.
Kalimat  tersebut  merupakan  kalimat  peringatan  yang  ditujukan  kepada  Cak Lontong  untuk  tidak  meminta  sumbangan  pada  Pak  Sapta.  Kalimat  peringatan
tersebut  dipersepsi  mengandung  nilai  rasa  malu  karena  kejadian  tersebut  sudah terjadi,  sehingga  membuat  Ndoro  sebagai  tuan  rumah  merasa  malu  akibat
kelakuan  Cak  Lontong  yang  meminta  sumbangan  saat  acara  Sentilan  Sentilun sedang  berlangsung.  Kalimat  tersebut  menggunakan  kata
“aduh”  yang mengindikasikan penyesalan Ndoro terhadap perbuatan Cak Lontong yang sudah
membuatnya  malu  didepan  wakil  menteri  pariwisata  dan  industri  kreatif,  yaitu Sapta  Nirwandar.  Ndoro  tidak  memunculkan  tanda-tanda  ketubuhan  apa  pun
untuk  mendukung  nilai  rasa  malu  yang  hendak  di  ungkapkan,  sedangkan  unsur
ekstralingual  konteks  dimunculkan  melalui  fenomena  referensi.  Ndoro  merujuk
tuturan Cak Lontong sebelumnya yang meminta sumbangan dengan menyodorkan map  kepada  Sentilun  dan  Pak  Sapta.  Ndoro  menganggap  bahwa  kelakuan  Cak
Lontong  tersebut sangat memalukan karena Pak Wamen merupakan bintang tamu dan tidak sepantasnya Cak Lontong meminta sumbangan dalam acara tersebut.
Tuturan  tersebut  termasuk  santun  karena  memenuhi  salah  satu  indikator
kesantunan  Pranowo  2012:112  berupa  nilai-nilai  pendukung  kesantunan,  yaitu
sikap  malu  sebagai  manifestasi  sifat  rendah  hati.  Di  dalam  konteks  tuturan
tersebut, penutur menunjukkan sikap malu atau tidak enak hati kepada Pak Sapta
karena  kelakuan  Cak  Lontong  yang  meminta  sumbangan.  Ndoro  dengan  rendah hati  memperingatkan  Cak  Lontong  karena  kelakuannya  dianggap  tidak  pantas
dimunculkan di depan orang penting seperti Pak Sapta Nirwandar.
Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian, kebetulan hanya ditemukan satu data tuturan nilai rasa malu. Nilai rasa malu yang
ditemukan  dalam  acara  Sentilan  Sentilun  hanya  dimunculkan  melalui  unsur intralingual  kalimat  dan  ditandai  oleh  kata  “malu”  sebagai  kata  yang
mengindikasikannya.  Namun  kata  tersebut  tidak  dapat  berdiri  sendiri  dan  kadar rasanya baru diketahui setelah berada dalam kalimat. Penutur tidak memunculkan
tanda-tanda  ketubuhan  tertentu  untuk  mendukung  nilai  rasa  malu  yang diungkapkan,  sedangkan  unsur  ekstralingual  konteks  hanya  muncul  melalui
fenomena  referensi  karena  penutur  merasa  malu  atas  perilaku  mitra  tutur
sebelumnya  sehingga  mencoba  memperingatkannya.  Nilai  rasa  malu  selalu dinyatakan  santun  karena  sesuai  dengan  indikator  kesantunan  Pranowo  berupa
sikap malu sebagai manifestasi sifat rendah hati.
4.3 Pembahasan