Metro TV 2014
4 Sentilan
Sentilun Metro TV
25 Agustus 2014 Industri
Kreatif Menyumbang
Devisa SSDB25-
08-2014 SSNRB
25-08- 2014
5 Sentilan
Sentilun Metro TV
1 September 2014 BBM Langka Rakyat
Sengsara SSDB01-
09-2014 SSNRB
01-09- 2014
6 Sentilan
Sentilun Metro TV
8 September 2014 Calon Menteri SSDB08-
09-2014 SSNRB
08-09- 2014
7 Sentilan
Sentilun Metro TV
15 September 2014
BBM Hebat Solusi Tepat
SSDB15- 09-2014
SSNRB 15-09-
2014
8 Sentilan
Sentilun Metro TV
22 September 2014
Suara Rakyat Suara Tuhan
SSDB22- 09-2014
SSNRB 22-09-
2014
9 Sentilan
Sentilun Metro TV
29 September 2014
Ku Gadaikan Sk-Ku
SSDB29- 09-2014
SSNRB 29-09-
2014
4.2 Hasil Analisis Data
Analisis data merupakan pengklasifikasian daya bahasa dan nilai rasa bahasa ke dalam jenis-jenisnya berdasarkan unsur intralingual kalimat, klausa,
frasa, katadiksi dan bunyi dan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan serta konteks tuturan. Konteks tuturan adalah anggapan peneliti mengenai
bagaimana cara konteks itu dimunculkan dalam suatu tuturan. Ada beberapa cara untuk memunculkan konteks yang ditemukan dalam penelitian ini yakni melalui
fenomena praanggapan, tindak tutur, deiksis, inferensi, referensi, implikatur dan latar belakang penutur.
Hasil analisis data tentang penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam acara Sentilan-
Sentilun sebagai penanda kesantunan berkomunikasi akan dipaparkan sebagai berikut.
4.2.1 Analisis Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi
Daya bahasa merupakan kekuatan bahasa yang diungkapkan melalui unsur intralingual bunyi, kata dan pilihan kata, frasa, klausa, dan kalimat serta
diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan ekspresi wajah, bahasa tubuh serta selalu mengandung fenomena konteks tertentu untuk
mencapai suatu fungsi komunikatif. Pemanfaatan unsur intralingual dan ekstralingual tersebut digunakan untuk memberikan efek komunikatif lebih kuat
pada mitra tutur dengan tujuan tertentu, seperti membujuk, mengikuti pikiran, mengibur, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil pengumpulan data yang
dilakukan pada 9 episode Sentilan Sentilun yang telah ditetapkan sebagai objek penelitian, terdapat 8 penggolongan jenis daya bahasa yang ditemukan, yaitu daya
permintaan, daya ancam, daya perintah, daya kelakar, daya kabar, daya penolakan, daya pikat, dan daya dugaan. Penggolongan daya bahasa tersebut
didasarkan pada kemiripan efek komunikatif yang ada dalam unsur intralingual dan ekstralingual sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Secara terperinci,
analisis unsur intralingual dan ekstralingual yang digunakan untuk memunculkan daya bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi akan dipaparkan sebagai
berikut
4.2.1.1Daya Permintaan Daya permintaan merupakan kekuatan bahasa untuk menyatakan
keinginan penutur agar dapat diwujudkan oleh mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam suatu tuturan. Daya permintaan menuntut seseorang untuk
melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penutur. Daya permintaan ini berkadar lebih ringan daripada paksaan karena minta tutur orang
yang dimaksud dalam tuturan bebas untuk melakukan apa yang diinginkan oleh penutur ataupun tidak. Daya permintaan pada umumnya selalu dinyatakan dengan
tuturan yang santun karena penutur menginginkan sesuatu dari mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan. Daya permintaan dapat dilakukan dengan
berbagai cara, seperti mengharap dan memohon. 4.2.1.1.1 Daya Harap
Daya harap adalah bentuk permintaan yang mengharapkan mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan untuk melakukan suatu hal. Daya harap ini
biasanya muncul karena sebelumnya mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan melakukan suatu tindakan yang dianggap menyimpang perilaku dan
tugasnya dalam posisi tertentu atau pernyataan tertentu yang sudah diungkapkan sebelumnya. Perhatikan tuturan beri
kut “Jadi aku ini bener-bener berharap bahwa presiden baru kita ini benar-benar memenuhi dan menepati janjinya
” SSDB04-08-20141. Tuturan ini dikatakan oleh Chacha Federicha yang
mengetahui 9 poin pokok isi kampanye Pak Jokowi ketika pilpres 2014, yaitu meningkatkan profesionalisme guru, mensejahterakan desa, mengentaskan
kemiskinan, membuat program kepemilikan tanah pertanian, perbaikan 5.000
pasar tradisional, menurunkan pengangguran, meningkatkan layanan kesehatan, meningkatkan mutu pendidikan pesantren, serta mewujudkan pemerataan
pendidikan.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat “Jadi aku ini
bener-bener berharap bahwa presiden baru kita ini benar-benar memenuhi dan menepati janjinya
”, untuk memunculkan daya harap. Kalimat tersebut dipersepsi
sebagai harapan penutur kepada presiden Jokowi yang baru saja terpilih untuk merealisasikan janjinya selama kampanye pilpres kemarin dan tidak berlaku sama
seperti pemimpin kebanyakan yang ingkar janji saat sudah menduduki posisi yang diinginkan. Kalimat tersebut menggunakan kata
“berharap” untuk mengindikasikan harapan penutur. Daya harap juga diperkuat dengan unsur ekstralingual
berupa tanda-tanda ketubuhan yang dimunculkan
lewat gerakan kedua tangan ditangkupkan dan diangkat ke depan dada.
Gerakan tersebut dipersepsi seperti gerakan memohon sesuatu yang digunakan untuk memperkuat harapan penutur terhadap presiden untuk merealisasikan
janjinya. Unsur ekstralingual berupa konteks dalam tuturan tersebut mengandung
fenomena pranggapan atau pengetahuan awal yang dimiliki Chacha sebelumnya
mengenai isi janji Pak Jokowi ketika kampanye pilpres yang bisa kita lihat dalam
tayangan berita di televisi. Tuturan di atas termasuk santun karena sesuai dengan indikator
kesantunan Leech
1983 dalam
Pranowo,2012:103, yaitu
maksim kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan
kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Chacha memberikan
keuntungan kepada Pak Jokowi karena dia berprasangka baik terhadap beliau yang akan benar-benar menepati janjinya.
Selain itu, ada beberapa data daya harap dalam acara Sentilan Sentilun yang tidak didukung oleh unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan,
seperti dalam tuturan “Semoga pasangannya klop karena saya mendengar bisik- bisik tetangga, sekarang ini kalau mau ngurus apa-apa kecil, gampil. Kalau mau
ngurus birokrasi lancar, ngurus KTP cepet, no bayar- bayar”SSDB11-08-
201411. Tuturan tersebut dikatakan oleh Asti Ananta yang mengalami sendiri pelayanan birokrasi saat pemerintahan Pak Jokowi-Ahok yang dipermudah dan
sangat berbeda dengan pemerintahan Pak Fauzi Bowo yang terkesan dipersulit.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“semoga pasangannya klop” yang dipersepsi sebagai harapan Asti agar DPRD dan PDIP
memilihkan pasangan yang cocok untuk Pak Ahok baik dari sisi kinerjanya maupun kepribadiannya.
Klausa tersebut menggunakan kata “semoga” yang berarti mudah-mudahan KBBI,2008:925 untuk mengindikasikan harapan
penutur. Harapan penutur tersebut muncul karena melihat sistem birokrasi Jakarta yang berubah dengan mengedepankan prinsip kemudahan dan pelayanan yang
ramah semenjak kepemimpinan Pak Jokowi dan Pak Ahok. Asti berharap dengan dipilihkannya pasangan yang tepat, Pak Ahok mampu memimpin kota Jakarta
menjadi lebih baik lagi. Tuturan tersebut tidak diikuti oleh unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan karena Asti mengungkapkan tuturan tanpa ekspresi
dan tanda ketubuhan tertentu, sedangkan unsur ekstralingual berupa konteks
dalam tuturan tersebut mengandung fenomena pranggapan. Asti Ananta
memiliki pengalaman sebelumnya menganai pengurusan birokrasi pada zaman Pak Jokowi-Ahok yang dipermudah dan Pak Fauzi Bowo yang dipersulit.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102 yang memandang prinsip kesantunan
sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Di dalam konteks tuturan
tersebut, Asti menggunakan klausa berdaya harap untuk menyatakan permintaan halus kepada PDIP untuk memilihkan pasangan yang cocok bagi Pak Ahok. Asti
tidak langsung mengungkapkan permintaannya kepada PDIP, namun jika dilihat dari konteks yang menyertai tuturan jelas terlihat bahwa permintaan halus tersebut
ditujukan kepada PDIP karena hanya parpol itulah yang berhak menentukan siapa pasangan yang akan mendampingi Pak Ahok memimpin Jakarta.
Tuturan berikut juga tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda- tanda ketubuhan “Saya ya Ndoro, sangat mengharapkan anggota dewan yang
sudah terpilih dan diangkat itu bisa bekerja dengan baik. Sebagai rakyat kan saya pasti senang kalau wakil-wakil saya itu bisa bekerja sebaik-baiknya dan benar-
benar memikirkan nasib rakyat. Jadi jangan hanya memikirkan bagaimana caranya meneb
us SK yang terlanjur digadaikan” SSDB29-09-201421. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang mempunyai pengetauan awal
mengenai banyaknya anggota dewan yang menggadaikan SK kepada bank sehingga pikirannya akan terpecah antara memperbaiki nasib rakyat dan
membayar pinjaman kepada bank.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Saya ya Ndoro, sangat mengharapkan anggota dewan yang sudah terpilih dan diangkat itu bisa
bekerja dengan baik ”, untuk memunculkan daya harap. Kalimat tersebut
dipersepsi sebagai harapan Sentilun kepada anggota dewan untuk bekerja dengan baik dengan fokus memikirkan nasib rakyat dan tidak menggadaikan SK yang
dapat mengakibatkan pikirannya terpecah. Kalimat tesebut menggunakan frasa “sangat mengharapkan” untuk mengindikasikan harapan yang sangat kuat.
Tuturan tersebut mengandung unsur ekstralingual berupa konteks yang
dimunculkan melalui fenomena pranggapan atau pengetahuan awal yang
dimiliki Sentilun terhadap banyaknya anggota dewan yang menggadaikan SK kepada bank sehingga pikirannya akan terpecah antara memperbaiki nasib rakyat
dan membayar pinjaman kepada bank.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun berprasangka
baik terhadap anggota DPR bahwa mereka akan menjalankan tugasnya dengan
baik dan pikirannya tidak terpecah walaupun mereka juga harus melunasi SK yang terlanjur digadaikan.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan juga tidak muncul dalam tuturan berikut “Tapi saya ini sebagai rakyat ya saya pengennya sih
memang milihnya tuh harus langsung. Kalau milih pemimpin kayak ibarat milih jodoh, jadi benar-benar cinta, rasa bermain, ketika dapat akhirnya, gitu.
Emangnya zaman Siti Nurbaya, bisa-b isa dapat Datuk Maringgih nanti”
SSDB22-09-201423. Tuturan tersebut dikatakan oleh Asri Welas yang mengetahui dampak yang akan diterima rakyat berupa pelumpuhan demokrasi
jika RUU Pilkada melalui DPRD jadi disahkan.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa “saya pengennya
sih memang milihnya tuh haru
s langsung”, untuk memunculkan daya harap.
Klausa tersebut dipersepsi sebagai harapan Asri agar Pak Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan ketidaksetujuannya terhadap RUU Pilkada melalui
DPRD. Klausa tersebut menggunakan kata “pengennya” yang merupakan
keinginan untuk menyatakan harapan agar RUU Pilkada tidak jadi disahkan. Tuturan tersebut tidak mengandung unsur ekstralingual berupa tanda-tanda
ketubuhan yang mendukung karena Asri tidak memunculkan bahasa tubuh apapun, sedangkan unsur ekstralingual berupa konteks dalam tuturan tersebut
mengandung fenomena pranggapan. Asri mempunyai pengetahuan awal
mengenai dampak yang akan diterima rakyat jika RUU Pilkada disahkan berupa pelumpuhan demokrasi.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102 yang memandang prinsip kesantunan
sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Di dalam konteks tuturan
tersebut Asri menggunakan klausa berdaya harap untuk menyatakan permintaan halus kepada Pak SBY untuk membatalkan RUU Pilkada. Asri tidak langsung
mengungkapkan permintaannya kepada Pak SBY, namun jika dilihat dari konteks
yang menyertai tuturan jelas terlihat bahwa permintaan halus tersebut ditujukan kepada Pak SBY karena hanya beliaulah yang bisa membatalkan RUU Pilkada
melalui DPRD. Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang diambil dari Acara
Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang digunakan oleh presenter dan bintang tamu dalam acara tersebut untuk
memunculkan daya harap adalah berupa klausa dan kalimat. Walaupun ada kata dan frasa yang dominan untuk mengindikasikan daya harap seperti “berharap,
pengen, semoga, dan sangat mengharapkan ”, tetapi kata dan frasa tersebut tidak
dapat dipisahkan dari kalimat atau klausa. Kata atau frasa tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena makna dan maksudnya baru dapat diketahui setelah berada
dalam sebuah kalimat atau paling tidak suatu klausa. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan
mendukung daya harap karena hal tersebut tergantung dari keekspresifan penutur. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual berupa konteks yang selalu
menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui maksud penutur. Unsur ekstralingul berupa konteks yang memunculkan daya harap dari acara Sentilan
Sentilun hanyalah fenomena praanggapan karena sebelum mengharapkan sesuatu pasti penutur mempunyai latar belakang pengetahuan mengenai sesuatu yang
dimaksud yang diharapkan. Daya harap yang ada dalam Acara Sentilan Sentilun selalu dinyatakan
dengan santun karena penutur selalu berprasangka baik terhadap mitra tutur sesuai dengan maksim kebijakasanaan Leech dan penutur mengungkapkan
harapannya secara tidak langsung untuk mengimplikasikan maksud lain sesuai indikator kesantunan Leech yang memandang prinsip kesantunan sebagai piranti
untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya.
4.2.1.1.2 Daya Permohonan Daya permohonan adalah bentuk permintaan yang digunakan untuk
meminta dengan hormat mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan untuk melakukan suatu hal yang berkaitan dengan kewajibannya. Berdasarkan
penggolongan data daya bahasa yang dilakukan dalam acara Sentilan Sentilun 9 episode yang termasuk dalam objek penelitian, hanya terdapat satu tuturan yang
mengandung daya peromonan. Perhatikan tuturan berikut “Kalau nama saya kan
Adil Lontong nggak ada. Tapi saya mohon dipersidangan mahkamah asmara ini saya diperlakukan secara adil dong. Ini kan ada tujuan lain selain mencari
penyelesaian Ndoro ” SSDB15-09-20148. Tuturan tersebut dikatakan oleh Cak
Lontong yang mengungkapkan reaksinya atas rujukan tuntutan jaksa penuntut tidak umum yang diperankan oleh Sentilun terhadap dirinya yang dianggap tidak
masuk akal dan terkesan ingin menjatuhkannya karena ada maksud tertentu, yaitu ingin mengambil hati Chacha.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“saya mohon dipersidangan mahkamah asmara ini saya diperlakukan secara adil
” untuk memunculkan daya permohonan. Klausa tersebut menggunakan kata
“mohon” yang berarti meminta dengan hormat KBBI,2008:925. Kata
“mohon” dalam tuturan tersebut digunakan untuk mengungkapkan permintaan Cak Lontong
perihal keadilan hukum yang seharusnya memang wajib ditegakkan. Secara utuh, klausa tersebut dipersepsi sebagai permohonan Cak Lontong untuk diperlakukan
adil oleh Ndoro, selaku hakim dalam persidangan tersebut karena ia merasa diperlakukan semena-mena oleh Sentilun yang menuntutnya dengan hukuman
berat dan tidak masuk akal. Sebagai Hakim, Ndoro wajib memegang teguh prinsip keadilan dan mengambil sebuah keputusan dengan mempertimbangkan dari
berbagai aspek. Tuturan tersebut tidak mengandung unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan yang mendukung karena Cak Lontong tidak memunculkan
bahasa tubuh apapun, sedangkan unsur ekstralingual berupa konteks dalam
tuturan tersebut mengandung fenomena referensi. Cak Lontong merujuk tuturan
Sentilun sebelumnya yang mengungkapkan bahwa dirinya selaku jaksa penuntut tidak umum mengajukan tuntutan dengan hukuman maksimal dua puluh tahun
penjara dengan masa percobaan di Nusa Kambangan dan tidak ada potongan hukuman.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Pranowo 2012:104, yaitu pemakaian diksi santun. Tuturan tersebut
menggunakan kata “mohon” yang termasuk dalam salah satu diksi santun. Daya permohonan yang muncul dalam acara Sentilan Sentilun ini
mempunyai ciri khas, berupa penggunaan kata “mohon” untuk memperkuat permohonan penutur. Kata “mohon” juga tidak dapat berdiri sendiri karena
maksudnya baru tersampaikan setelah berada dalam kalimat atau paling tidak klausa. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan dalam daya
permohonan juga bersifat opsional dan kebetulan dalam data yang ditemukan
tidak ada tanda-tanda ketubuhan yang dimunculkan oleh penutur untuk mendukung daya permohonan. Unsur ekstralingual konteks dalam data yang
diperoleh hanya menggunakan fenomena referensi merujuk pada tuturan mitra tutur sebelumnya. Daya permohonan yang ditemukan dalam objek penelitian
selalu santun karena menggunakan kata “mohon” yang termasuk kata beraura santun sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo berupa penggunaan diksi
santun.
4.2.1.2 Daya Ancam Daya Ancam merupakan kekuatan bahasa untuk menyatakan ancaman
terhadap mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan. Daya ancam berusaha membuat mitra tutur atau orang yang dimakud dalam tuturan untuk
tidak melakukan sesuatu yang dianggap menyimpang atau merugikan orang lain. Bila daya ancam ini tidak diindahkan oleh mitra tutur atau orang yang dimaksud
dalam tuturan, maka dapat menimbulkan suatu akibat tertentu. Daya ancam dapat dinyatakan dengan cara memperingatkan dan mengkritik.
4.2.1.2.1 Daya Peringatan Daya peringatan adalah bentuk ancaman yang digunakan untuk
memperingatkan mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan agar tidak melakukan sesuatu yang dapat merugikan pihak lain. Daya peringatan ini
dinyatakan sebelum seseorang yang dimaksud dalam tuturan melakukan sesuatu atau mengambil sebuah keputusan. Perhatikan tuturan berikut “Begini ya Ndoro.
Menurut analisis saya. Kalau partisipasi rakyat meningkat semacam ini, yang
penting itu jangan sampai korupsinya juga ikut-ikutan meningkat ” SSDB04-08-
20146. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang mengetahui angka korupsi di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat “Kalau
partisipasi rakyat meningkat semacam ini, yang penting itu jangan sampai korupsinya juga ikut-ikutan meningkat
”, untuk memunculkan daya peringatan.
Kalimat tersebut dipersepsi sebagai peringatan bagi para petinggi negara untuk tidak melakukan korupsi. Kalimat tersebut menggunakan frasa
“jangan sampai” untuk mengindikasikan peringatan yang sangat kuat. Kalimat tersebut
mengandung analogi tentang meningkatnya partisipasi rakyat yang harus dibarengi dengan penurunan angka korupsi. Korupsi merupakan tindakan
memalukan ditengah kesadaran rakyat yang sekarang ini semakin meningkat. Selain itu untuk
mendukung daya peringatan, Sentilun juga memunculkan
unsur ektralingual
berupa
gerakan tangan membentuk tingkatan. Unsur ekstralingual tersebut
mengindikasikan bahwa korupsi tidak boleh terus meningkat dan harus dicegah. Selain itu, juga terdapat unsur ekstralingual berupa konteks yang dimunculkan
melalui fenomena pranggapan atau pengetahuan awal yang dimiliki Sentilun
sebelumnya mengenai angka korupsi di Indonesia yang meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya kasus korupsi yang
diungkap oleh KPK. Sentilun juga melihat bahwa saat ini kesadaran demokrasi
rakyat semakin meningkat, hal ini dibuktikan dengan banyaknya relawan yang mau mengawal pilpres dari awal hingga penghitungan suara.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun berusaha
memberikan keuntungan bagi rakyat dengan memperingatkan para pejabat untuk tidak melakukan korupsi. Penutur menggunakan penganalogian partisipasi rakyat
yang meningkat dan angka korupsi yang harus diturunkan untuk memperingatkan para petinggi negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan dengan melakukan
korupsi. Daya peringatan juga muncul dalam tuturan berikut
“Makannya marilah kita berlomba-lomba dalam kebaikan. Jangan hanya berlomba-lomba
memperebu tkan jabatan dan kekuasaan” SSDB04-08-201424. Tuturan
tersebut dikatakan oleh Sentilun yang mengetahui para petinggi negara yang saat ini cenderung saling memperebutkan jabatan dan kekuasaan dengan menghalalkan
segala cara.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat “Jangan hanya
berlomba-lomba mempe rebutkan jabatan dan kekuasaan”, untuk memunculkan
daya peringatan. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai peringatan bagi para petinggi negara untuk tidak berlomba dalam memperoleh jabatan dan kekuasaan seperti
fenomena yang terjadi belakangan ini. Kalimat tersebut menggunakan frasa “jangan hanya” untuk mengindikasikan peringatan bagi petinggi negara. Para
petinggi negara seharusnya bekerja bukan untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan, tetapi demi kesejahteraan rakyat. Para petinggi negara merupakan
wakil yang dipilih rakyat, oleh sebab itu mereka harus memikirkan kesejahteraan rakyat dan bukan malah semakin menyengsarakan
rakyat. Daya peringatan semakin diperkuat dengan unsur ekstralingual yang dimunculkan Sentilun
berupa dengan gerakan tangan kanan diangkat ke depan wajah kemudian digerak-gerakkan ke kiri dan ke kanan. Unsur
ekstralingual tersebut dipersepsi sebagai gerakan memperingatkan. Selain itu, juga
terdapat unsur ekstralingual berupa konteks yang dimunculkan fenomena pranggapan atau pengetahuan awal yang dimiliki Sentilun sebelumnya mengenai
para petinggi negara yang saat ini cenderung saling memperebutkan jabatan dan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Sentilun juga memiliki pengetahuan
mengenai kasus korupsi di Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo 2012:111, yaitu sikap tenggang rasa sebagai manifestasi
sifat rendah hati. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun mempunyai sikap
tenggang rasa dengan tidak menyebutkan secara langsung bahwa orang yang diperingatkan dalam tuturan adalah para para petinggi negara.
Tuturan dalam acara Sentilan Sentilun ini juga memunculkan daya peringatan yang tidak santun, seperti pada tuturan “Iih ini namanya bukan jaksa
penuntut. Ini mah Mas Sentilunnya aja, sama aja suka ngerayu. Sukanya itu janji- janji tapi nggak pernah ditepatin. Mas Sentilun tahu nggak aku itu bagaikan
rakyat dan masyarakat. Saya udah nggak dengerin janji-janji, tapi saya cuma mau melihat bukti” SSDB08-09-20146, Tuturan tersebut dikatakan oleh
Chacha Federicha yang mengetahui para petinggi negara yang terbiasa “melupakan janji” saat sudah terpilih.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat “Saya udah
nggak dengerin janji-janji, t api saya cuma mau melihat bukti”, untuk
memunculkan daya peringatan. Kalimat tersebut terdiri dari dua klausa, yaitu klausa “Saya udah nggak dengerin janji-janji” untuk mengindikasikan kebosanan
Chacha mendengarkan janji-janji palsu para calon petinggi negara sebelum terpilih, dan klausa “tapi saya cuma mau melihat bukti” mengindikasikan
peringatan untuk membuktikan janji yang telah diucapkan saat kampanye. Secara utuh, kalimat tersebut dipersepsi sebagai peringatan bagi Pak Jokowi untuk
membuktikan janjinya karena beliau telah terpilih sebagai presiden yang baru. Rakyat saat ini menginginkan pembuktian bukan
hanya sekedar janji palsu. Daya peringatan juga diperkuat
dengan unsur
ekstralingual yang
dimunculkan oleh Chacha berupa mata yang melotot sambil alis yang diangkat saat menuturkan kalimat tersebut. Unsur
ekstralingual yang dimunculkan Chacha tersebut dipersepsi sebagai peringatan keras bagi Pak Jokowi untuk meralisasikan janjinya. Selain itu, juga terdapat
unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena praanggapan
atau pengetahuan awal yang dimiliki Chacha mengenai para petinggi negara yang mempunyai kebiasaan
“melupakan janji” saat sudah terpilih. Berdasarkan
pengetahuan awal tersebut, Chacha menjadi bosan dengan janji yang diumbar, dan sekarang dia hanya ingin melihat bukti dari apa yang telah dikatakan oleh para
petinggi negara. Pada saat itu, yang sedang menjadi sorotan adalah Pak Jokowi, karena beliau baru saja terpilih menjadi presiden yang baru.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar indikator kesantunan Pranowo 2005, dalam Pranowo 2012:103, yaitu adu rasa
penutur tidak mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur. Di dalam
tuturan tersebut, Chacha merasa tidak percaya curiga terhadap para petinggi negara karena banyak melihat para petinggi negara saat ini yang melupakan
janjinya setelah terpilih. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki Chacha tentang kebiasaan para petinggi negara melupakan janji tersebut, Chacha menilai bahwa
setiap petinggi negara akan melupakan janjinya saat kampanye. Penilaian tersebut mengindikasikan bahwa Chacha selalu curiga dan menuduh petinggi negara
melupakan janji. Daya peringatan yang tidak santun juga diperlihatkan dalam tuturan
berikut “Sampean itu kan dapat amanah, wakil rakyat kok masih mau bikin usaha.
Gimana lho, waktunya terus kapan? ” SSDB29-09-20147. Tuturan tersebut
dikatakan oleh Sentilun yang mengetahui alasan Asep Rahmatullah menggadaikan SK pengangkatannya kepada bank, yaitu untuk mendapatkan modal usaha dalam
tuturan sebelumnya.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat “Gimana lho,
waktunya terus kapan? ”, untuk memunculkan daya peringatan. Kalimat tersebut
menggunakan kata tanya “gimana” yang merupakan kata tidak baku dari kata
tanya “bagaimana” yang merupakan kata tanya untuk menanyakan cara
KBBI,2008:112 dan kata “kapan” yang merupakan kata tanya untuk
menanyakan waktu KBBI,2008:621. Secara utuh, kalimat tersebut dipersepsi sebagai peringatan yang ditujukan kepada Asep Rahmatullah untuk tidak
membuat usaha karena hal tersebut mengakibatkan beliau tidak fokus dalam menjalankan tugasnya sebagai anggota dewan. Sentilun sengaja menggunakan
kalimat tanya untuk menanyakan bagaimana cara Asep Rahmatullah untuk membagi waktu ditengah kesibukannya menjadi anggota dewan untuk
mengindikasikan peringatan bahwa jika Asep Rahmatullah juga merangkap sebagai pengusaha, fokus beliau akan terbagi dan
kinerjanya sebagai anggota dewan menjadi tidak baik. Daya peringatan juga didukung unsur
ekstralingual yang dimunculkan oleh Sentilun
berupa gerakan tangan kanan menunjuk-nunjuk ke arah Asep Rahmatullah.
Unsur ekstralingual tersebut dipersepsi sebagai gerakan memperingatkan Asep Rahmatullah yang seharusnya tidak membuka usaha karena pikirannya akan
menjadi terpecah.Tuturan tersebut juga mengandung unsur ekstralingual berupa
konteks yang dimunculkan melalui fenomena referensi atau rujukan tuturan Pak
Asep sebelumnya yang menyatakan alasannya menggadaikan SK adalah untuk modal usaha.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar salah satu
indikator berupa nilai-nilai luhur pendukung kesantunan Pranowo 2008, dalam
Pranowo 2012:111, yaitu sikap tenggang rasa sebagai manifestasi sifat rendah
hati. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun sebenarnya menggunakan
kalimat pertanyaan yang dimaksudkan untuk memperingatkan Asep Rahmatullah secara tidak langsung termasuk santun, namun yang membuat tidak santun
adalah unsur ekstralingual yang dimunculkan Sentilun. Sentilun memunculkan gerakan tangan menunjuk-nunjuk ke arah Asep Rahmatulah sehingga terkesan
memojokkan mitra tutur tanpa memikirkan perasaan mitra tutur. Selain kalimat seperti keempat contoh di atas, unsur intralingual berupa
klausa juga dapat memunculkan daya peringatan, misalnya para tuturan “Ya
pemerintah yang akan datang juga berjanji to akan memperhatikan industri kreatif. Makanya jangan lupa Pak Jokowi ndak boleh ingkar janji
” SSDB25- 08-201417. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang mempunyai
pengetahuan awal mengenai salah satu janji Pak Jokowi dalam bidang industri kreatif saat kampanye kemarin, yaitu meningkatkan industri kreatif sebagai salah
satu kunci kesejahteraan masyarakat. Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa
klausa “jangan lupa Pak
Jokowi ndak boleh ingkar janji ”, untuk memunculkan daya peringatan. Klausa
tersebut menggunakan frasa “jangan lupa” mengindikasikan peringatan dan frasa
“janji” mengindikasikan pernyataan Pak Jokowi saat kampanye kemarin. Secara utuh, klausa tersebut dipersepsi sebagai peringatan bagi Pak Jokowi untuk
merialisasikan janjinya saat kampannye, yaitu memperhatikan industri kreatif. Daya peringatan
diperkuat dengan
penggunaan unsur
ekstralingual yang dimunculkan oleh Sentilun
berupa mengacugkan satu jari di depan muka sambil digerak-gerakkan ke kiri dan ke kanan. Unsur ekstralingual yang dimunculkan oleh Sentilun tersebut
dipersepsi sebagai gerakan memperingatkan. Tuturan tersebut juga mengandung
unsur ekstralingual konteks berupa fenomena praanggapan atau pengetahuan
awal yang dimiliki oleh Sentilun mengenai salah satu isi kampanye Pak Jokowi saat kampanye kemarin dalam bidang industri kreatif, yaitu meningkatkan industri
kreatif sebagai salah satu kunci kesejahteraan masyarakat.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo,2012:103, yaitu maksim
kebi jaksanaan “tact maxim” tuturan memberikan keuntungan kepada
mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun berprasangka baik
terhadap Pak Jokowi bahwa beliau tidak akan mengingkari janjinya saat kampanye untuk memperhatikan industri kreatif .
Unsur ekstralingual dalam daya peringatan ini juga sering tidak muncul dan mendukung unsur ekstralingual seperti dalam tuturan
“Itu sama dengan ketika saya di sana Ndoro, sekolah.Orang Amerika katanya bilang begini, pemilu kami
paling hebat. Hari pemilihan suara atau the polling day itu sekaligus the counting day, langsung ketahuan hasilnya. Orang Mexiko bilang, nggak lebih hebat kami.
Kami tahu hasil pemilu itu satu tahun sebelum pelaksanaan pemilu. Udah tahu duluan, tapi saya nggak mau kalah Ndoro. Waktu zaman orde baru kami sudah
tahu hasil pemilu lima tahun sebelumnya. Apa Ndoro mau begitu lagi? ”
SSDB22-09-201412. Tuturan tersebut dikatakan oleh Refly Harun yang
mengetahui praktek pemilu pada saat zaman orde baru yang banyak terdapat praktik kecurangan didalamnya yaitu praktik suap.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Apa Ndoro mau begitu lagi?”, untuk memunculkan daya peringatan. Kalimat tersebut
merupakan kalimat tanya yang bukan difungsikan untuk menanyakan, melainkan untuk memperingatkan. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai peringatan bagi
seluruh rakyat Indonesia untuk menolak RUU Pilkada karena pada prakteknya akan muncul banyak kecurangan seperti pada masa orde baru. Kita ketahui
bersama pada masa orde baru terjadi pelemahan demokrasi yang mengakibatkan rakyat makin sengsara karena pemimpinnya tidak benar-benar bekerja untuk
rakyat. Penutur menggunakan kalimat tanya tersebut untuk menimbulkan efek peringatan yang lebih kuat karena sebelumnya seluruh penonton mengingat
kekacauan pada masa orde baru melalui kalimat sebelumnya dalam tuturan tersebut.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102 yang memandang prinsip kesantunan
sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Tuturan tersebut
mengandung kalimat pertanyaan yang ditujukan kepada Ndoro, namun maksudnya adalah untuk memperingatkan rakyat Indonesia agar tidak menyetujui
RUU Pilkada. Refly harun sengaja mengungkapkan sesuatu dengan maksud berbeda agar tuturannya lebih santun dan tidak terkesan memaksa rakyat untuk
menolak RUU Pilkada.
Berdasarkan beberapa contoh tuturan yang mewakili keseluruhan data daya peringatan dalam acara Sentilan Sentilun, dapat disimpulkan bahwa daya
peringatan yang digunakan dalam acara tersebut dapat dimunculkan melalui unsur intralingual berupa klausa dan kalimat. Walaupun ada kata dan frasa yang
dominan untuk mengindikasikan daya peringatan seperti “jangan, jangan sampai,
dan jangan lupa ”, tetapi kata dan frasa tersebut tidak dapat dipisahkan dari
kalimat atau klausa. Kata atau frasa tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena makna dan maksudnya baru dapat diketahui setelah berada dalam sebuah kalimat
atau paling tidak suatu klausa. Kata “jangan” yang biasanya dipersepsi sebagai
larangan dapat menjadi peringatan karena kata tersebut dipersepsi berdasarkan konteks yang menyertai tuturan. Selain itu, klausa dan kalimat yang digunakan
sebagai unsur intralingual daya peringatan tidak selalu mengandung kata atau frasa yang dominan menunjukkan peringatan, melainkan ada juga yang
menggunakan kalimat tanya yang dimaksudkan untuk memperingatkan tanpa ada kata dan frasa yang khas mengindikasikan peringatan.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung daya peringatan karena hal tersebut tergantung dari keekspresifan
penutur. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual berupa konteks yang selalu menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui maksud penutur.
Unsur ekstralingul konteks yang memunculkan daya peringatan dalam acara Sentilan Sentilun berupa fenomena praanggapan dan referensi. Fenomena
praanggapan karena sebelum memperingatkan seseorang, tentu kita telah mempunyai pengetahuan awal mengenai apa yang hendak dilakukan oleh mitra
tutur, sedangkan fenomena referensi dapat memunculkan peringatan berdasarkan rujukan tuturan mitra tutur sebelumnya yang dianggap dapat merugikan orang
lain. Daya peringatan yang ada dalam Acara Sentilan Sentilun ada yang
dinyatakan dengan santun dan tidak santun tergantung isi tuturan serta unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan yang menyertai tuturan. Daya
peringatan santun karena penutur selalu memberikan keuntungan kepada mitra tutur sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech dan mempunyai kikap
tenggang rasa sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo, 2012:111. Sedangkan dinyatakan tidak santun karena terkesan memojokkan mitra tutur
melanggar indikator kesantunan Pranowo berupa sikap tenggang rasa. 4.2.1.2.2.Daya Kritik
Daya kritik adalah bentuk ancaman yang digunakan untuk menanggapi suatu sikap atau tindakan yang telah dilakukan oleh seseorang. Tanggapan
tersebut disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap sikap atau tindakan yang telah dilakukan. Daya kritikan ini dapat dinyatakan secara langsung maupun
tidak langsung. 4.2.1.2.2.1 Daya Kritik Langsung
Daya kritik langsung adalah bentuk kritikan yang digunakan untuk menanggapi sesuatu yang dilakukan mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam
tuturan secara langsung eksplisit. Secara langsung disini maksudnya adalah kritikan tersebut langsung diungkapkan melalui tuturan yang digunakan tanpa
menutup-nutupi orang atau lembaga tertentu yang hendak dikritik. Daya kritik ini
juga tidak mengandung unsur ejekan dalam menanggapi permasalahan yang ada. Contoh daya kritik langsung dalam acara Sentilan Sentilun terdapat dalam tuturan
“Satu hal yang kerap sekali dirasakan oleh rakyat itu, yaitu negara yang sering kali tempo hari ini. Pemerintah tidak pernah hadir pada saat rakyat
membutuhkan” SSDB04-08-201429. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang melihat sendiri kinerja pemerintah sebelumnya yang terkesan
terlambat hadir saat rakyat membutuhkan.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat “Pemerintah
tidak pernah hadir pada saat rakyat membutuhkan ”, untuk memunculkan daya
kritik. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai kritikan bagi pemerintah sebelumnya yang sering tidak ada saat rakyat membutuhkan, misalnya saat bencana alam
bantuan pemerintah selalu terlambat datang. Kritikan tersebut disampaikan agar pemerintahan Pak Jokowi tidak berlaku sama dan lebih tanggap dalam menangani
segala masalah yang berkaitan dengan rakyat. Daya kritik tersebut didukung oleh unsur ekstralingual yang dimunculkan Sentilun berupa
gerakan tangan kanan menunjuk kemudian digerak-gerakkan ke kiri ke kanan. Gerakan tersebut
dimunculkan untuk menekankan bahwa pemerintah yang tidak pernah hadir saat rakyat membutuhkan. Selai itu, tuturan tersebut juga mengandung unsur
ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena praanggapan atau
pengetahuan awal yang dimiliki oleh Sentilun mengenai pemerintah sebelumnya terkesan terlambat hadir saat rakyat membutuhkan. Contohnya saat
penanggulangan bencana yang melanda Indonesia belakangan ini, pemerintah
dianggap lambat dan kurang sigap dalam menanggulangi bencana yang sebenarnya bisa diminimalisir korbannya misalnya tanah longsor yang
sebelumnya dapat dikaji oleh para geolog karena pasti terdapat tanda-tanda sebelum tanah longsor terjadi.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo 2005, dalam Pranowo 2012:103, yaitu adu rasa penutur
mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur. Di dalam konteks tuturan
tersebut, Sentilun menyampaikan kritikannya secara umum dengan mengkritik pemerintah secara keseluruhan dan tidak menunjuk perorangan atau lembaga
tertentu padahal yang dimaksudkan adalah mengkritik Pak SBY. Daya kritik langsung juga ada yang diungkapkan secara tidak santun.
Seperti dalam tuturan “Ya, jadi yang penting ini adalah pemerintah harus punya suatu program, suatu policy yang berkesinambungan. Jadi bertahap hal sifatnya
vital dan strategis untuk negara janganlah ini dijadikan sebagai objek politik, yang menjadikan sebagai pencitraan politik, misalnya terkait dengan BBM. Jadi
pemerintah ini harus punya policy sepuluh tahun, lima belas tahun, dua puluh lima tahun ke depan BBM ini harus diapakan. Jadi jangan kemudian ketika sudah
naik, sebelumnya sudah naik diturunkan lagi supaya mendapatkan citra. Kemudian ketika kesulitan lagi, dinaikkan lagi ketika itu dituruninin lagi. Jadi ini
kan sudah berapa kali naik turun, naik turun. Harusnya ketika naik teruuuus, tapi pada satu titik yang stabil memang akan ada resiko, nah resiko itu yang
dimitigasi” SSDB01-09-201424. Tuturan tersebut dikatakan oleh Riyad Chairil seorang pengamat migas yang mengetahui Pak SBY telah menaikkan
harga BBM selama tiga kali dan menurunkannya selama tiga kali selama masa pemerintahannya.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa
kalimat “jadi jangan
kemudian ketika sudah naik, sebelumnya sudah naik diturunkan lagi supaya
mendapatkan citra”, untuk memunculkan daya kritik. Kalimat tersebut
dipersepsi sebagai kritikan bagi pemerintahan SBY untuk tidak menggunakan BBM menaik-turunkan harga untuk mendapatkan pencitraan. Pencitraan
merupakan merupakan usaha untuk menciptakan nama baik didepan seluruh rakyat Indonesia. Melalui kalimat tersebut, penutur berusaha mengkritik
pemerintah untuk menaikkan harga BBM sesuai dengan keadaan aslinya agar posisi BBM stabil walaupun harus menanggung
resiko berupa reaksi penolakan awal yang keras dari rakyat. Daya kritik juga diperkuat dengan
unsur ekstralingual yang dimunculkan oleh
Riyad Chairil berupa gerakan tangan kanan yang naik secara perlahan.
Gerakan tersebut dipersepsi sebagai gerakan untuk menekankan pemerintah harusnya menaikkan harga BBM secara terus dan bertahap. Selain itu, tuturan
tersebut juga mengandung unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui
fenomena praanggapan atau pengetahuan awal Riyad Charil mengenai kebijakan
Pak SBY selama sepuluh tahun memerintah dalam hal subsidi BBM. Sebagai pengamat migas, Riyad Chairil selalu mengikuti perkembangan kebijakan BBM
yang dilakukan oleh Pak SBY. Pak SBY telah menaikkan harga BBM selama tiga kali dan menurunkannya selama tiga kali.
Tuturan tersebut dipersepsi tidak santun karena melanggar indikator kesantunan Pranowo 2005, dalam Pranowo 2012:103, yaitu adu rasa
penutur tidak mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur. Riyad tidak
mempertemukan perasaannya
dengan Pak
SBY karena
menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur. Riyad
Chairil menuduh pemerintahan Pak SBY menaik-turunkan harga BBM untuk memperoleh pencitraan politik. Riyad menuduh atas dasar kecurigaannya terhadap
kebijakan BBM yang selalu diturunkan saat menjelang pemilihan umum. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan juga tidak selalu
muncul untuk mendukung daya kritik, misalnya dalam tuturan “Tapi secara logika politik ya sebenarnya etika publik juga memang tidak etis ya. Walaupun
menurut hukum tidak masalah. Maksudnya begini ya, kan konsekuensi dari menggadaikan SK tadi gajinya akan dipotong ya kan? Nah negara memberikan
gaji adalah supaya anggota dewan itu bekerja buat publik kan? Ya, nggak usah pusing-pusing mikirin yang lain. Kalau gajinya tinggal sepertiganya ya dia nggak
bisa bekerja maksimal untuk ngurusin rakyat kan? Jadi itu kenapa sebenarnya tidak etis memang. Nah harusnya pun sebenarnya ya nggak tahu saya apakah
bisa kedepan peraturan kita bikin Undang-Undangnya ya, memang nggak boleh menawarkan itu ke anggota dewan. Ya gaji itu harus utuh supaya ngurusin nasib
rakyat ”SSIDB29-09-201418. Tuturan tersebut dikatakan oleh Hamdi Muluk
yang mengetahui belum adanya Undang-Undang yang mengatur tentang kebijakan bank untuk tidak boleh menawarkan penggadaian SK kepada anggota
dewan.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“kedepan peraturan kita bikin Undang-Undangnya ya, memang nggak boleh menawarkan
itu ke anggota dewan
”, untuk memunculkan daya kritik. Klausa tersebut
dipersepsi sebagai kritikan kepada pemerintah yang kurang tegas dalam dalam menangani maslah etika politik berupa penggadaian SK yang sangat memalukan.
Penutur mengkritik agar pemerintah membuat Undang-Undang yang jelas untuk mengatur larangan kebijakan bank berupa penawaran gadai SK bagi anggota
dewan. Penutur menggunakan klausa tersebut untuk memunculkan efek komunikatif berupa penindakan tegas dengan menjatuhan sangsi hukum yang
dilakukan oleh pemerintah terhadap bank yang menawarkan gadai SK kepada anggota dewan. Hamdi Muluk tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa
tanda-tanda ketubuhan apapun untuk mendukung daya kritik yang disampaikan, sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui fenomena
praanggapan. Hamdi Muluk mempunyai pengetahuan mengenai belum adanya
Undang-Undang yang mengatur kebijakan bank dalam hal memberikan pinjaman kepada anggota dewan dengan menggadaikan SK. Beliau merupakan pakar
psikologi politik yang mempelajari dan mengikuti perkembangan politik di Indonesia, termasuk Undang-Undang yang mengatur tentang parpol.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan salah satu Indikator kesantunan menurut Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103 yang
mengungkapkan bahwa tuturan santun dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur maksim kebijaksanaan “tact maxim”. Tuturan tersebut
memberikan keuntungan bagi orang yang dimaksud dalam tuturan pemerintah,
yaitu dengan memberikan kritikan yang disertai cara penyelesaian mengenai masalah penurunan etika politik penggadaian SK. Penutur juga tidak langsung
menyebutkan bahwa pemerintah yang seharusnya turun tangan untuk mengatur kebijakan tersebut dalam Undang-Undang.
Berdasarkan beberapa contoh tuturan yang mewakili keseluruhan data daya kritik langsung sering juga disebut daya kritik dalam acara Sentilan
Sentilun, dapat disimpulkan bahwa daya kritik yang digunakan dalam acara tersebut dapat dimunculkan melalui unsur intralingual berupa klausa dan kalimat.
Tidak ada kata-kata khas yang digunakan untuk memunculkan daya kritik dalam acara tersebut. Hal ini dikarenakan kritikan baru dapat dipersepsi maksudnya
dalam satu klausa atau satu kalimat utuh saling berhubungan dengan beberapa kata dan frasa. Daya kritik ini pada umumnya menyediakan solusi dari hal yang
sedang dikritik. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan dalam daya kritik ini
juga tidak selalu muncul untuk mendukung daya kritik. Jika unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan muncul, gerakannya pun beragam tergantung
kritikan serta solusi apa yang ditawarkan oleh penutur tidak ada gerakan yang sama dalam setiap tuturan daya kritik seperti dalam daya peringatan. Selain itu,
unsur ekstralingual berupa konteks dalam daya kritik hanya dimunculkan melalui fenomena praanggapan atau pengetahuan awal yang dimiliki oleh penutur
mengenai suatu hal yang hendak dikritik. Tuturan dalam daya kritik ini juga dapat dinyatakan secara santun maupun
tidak santun tergantung unsur intralingual dan ekstralingual yang digunakan oleh
penutur untuk menyampaikan maksud kritikan. Kritikan santun dinyatakan karena penutur memberikan keuntungan berupa solusi dari hal yang dikritik
sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech dan memperhatikan perasaan mitra tutur sesuai indikator kesantunan pranowo, yaitu adu rasa. Sedangkan kritikan
yang tidak santun dinyatakan jika tuturan berusaha memojokkan mitra tutur melanggar prinsip adu rasa Pranowo.
4.2.1.2.2.2 Daya Kritik Tidak Langsung Daya kritik tidak langsung adalah bentuk kritikan yang digunakan untuk
menanggapi sesuatu yang dilakukan mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan secara tidak langsung implisit. Daya kritik tidak langsung ini dapat
dinyatakan dengan cara menyindir. 4.2.1.2.2.2.1 Daya Sindir
Daya sindir adalah bentuk kritik tidak langsung yang mengandung ejekan atau cemoohan secara tidak langsung sebelum menanggapi sesuatu hal yang
dilakukan, sikap, atau kebijakan yang diambil seseorang. Perhatikan contoh tuturan da
lam Acara Sentilan Sentilun berikut: “Nggak ada kampanye hitamnya to?”. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang membuat sandiwara dengan
pura-pura bertanya pada Pak Jokowi dan Pak Prabowo di dalam telepon mengenai kampanye hitam yang terjadi saat kampanye pilpres kemarin.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat tanya
“Nggak
ada kampanye hitamnya to?, untuk memunculkan daya sindir. Kalimat tersebut
merupakan kalimat tanya, namun sebenarnya bukan berfungsi untuk menanyakan, melainkan untuk menyatakan sindiran. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai
sindiran bagi kubu Prabowo Hatta yang kemarin telah melakukan kampanye hitam dengan menyebarkan isu miring tentang asal-usul Pak Jokowi melalui
majalah “Obor Rakyat”. Penutur menggunakan kalimat tersebut untuk menimbulkan efek santun karena tidak langsung mengatakan bahwa kubu
Prabowo-Hatta telah curang saat pilpres kemarin dengan melakukan kampanye hitam. Daya sindir
dalam juga diperkuat dengan unsur ektralingual yang
dimunculkan Sentilun berupa gerakan menempelkan kedua handphone di telinga sembari bertanya kalimat tanya tadi. Unsur
ekstralingual tersebut mengindikasikan mengindikasikan bahwa kedua belah pihak baik-baik saja dan tidak saling serang menggunakan kampanye hitam,
padahal kenyataannya berkebalikan. Selain itu, dalam tuturan tersebut juga terdapat unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena
implikatur. Sentilun sengaja menggunakan sandiwara keakraban Pak Jokowi dan
Pak Prabowo di dalam telepon untuk mengimpilikasikan sindiran bagi keduanya dalam keadaan sebenarnya yang terkesan tidak akur serta saling serang dengan
menggunakan kampanye hitam.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102 yang memandang prinsip kesantunan
sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Sandiwara yang
dimainkan dalam tuturan Sentilun yang menceritakan keakraban Pak Jokowi dan Pak Prabowo dalam acara tersebut dimaksudkan untuk menyindir kedua pihak
karena pasca pilpres kedua kubu ini terkesan saling bermusuhan tidak seperti yang disandiwarakan.
Daya sindir juga akan lebih mengena jika dinyatakan dengan doa seperti pada tuturan
“Ya Allah kami mudah-mudahan cepat terbebas dari suasana wani piro
” SSIDB04-08-201426. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang mempunyai pengetahuan mengenai banyaknya praktek money politik yang terjadi
di Indonesia, misalnya kasus pilihan Legislatif 2014 yang banyak menggunakan uang untuk membeli suara rakyat.
unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Ya Allahm kami mudah-mudahan cepat
terbebas dari suasana wani piro”, untuk memunculkan
daya sindir. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai doa yang bermaksud untuk
menyindir para petinggi negara yang melakuakan praktek politik uang. Doa merupakan sarana religius yang dipergunakan untuk meminta suatu hal, namun
dalam konteks tuturan tersebut tidak mungkin Allah akan mengabulkan doa Ndoro jika para petinggi negara tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan.
Ndoro mengambil posisi sebagai rakyat yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah politik uang, dan hanya bisa berdoa. Kalimat tersebut sengaja
dipergunakan untuk menyentil para petinggi negara agar tidak melakukan politik uang lagi. Daya Sindir juga
diperkuat dengan unsur ekstralingual yang dimunculkan
Ndoro melalui gerakan kedua tangan menengadah seperti gerakan berdoa
untuk memperkuat efek sindiran. Unsur ekstralingual tersebut dipersepsi sebagai gerakan berdoa untuk meminta sesuatu kepada Tuhan. Selain itu, terdapat juga
unsur ekstralingual konteks dalam tuturan tersebut yang dimunculkan melalui
fenomena praangaapan atau pengetahuan awal Ndoro mengenai banyaknya
praktek money politik yang terjadi di Indonesia, misalnya kasus pilihan Legislatif 2014 yang banyak menggunakan uang untuk membeli suara rakyat. Sebagai
seorang yang beragama muslim, jika ingin memohon sesuatu Ndoro berdoa dan hanya meminta kepada Allah SWT.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102 yang memandang prinsip kesantunan
sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Tuturan tersebut
merupakan wujud dari doa Ndoro yang dimaksudkan untuk menyindir pihak- pihak yang melakukan money politik. Doa tersebut sengaja diungkapkan Ndoro
dalam Acara Sentilan Sentilun karena acara tersebut ditonton oleh banyak pihak dan mungkin juga pihak yang melakukan money politik sehingga dapat
menyentil secara tidak langsung berbagai pihak yang melakukan money politik. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan juga tidak selalu
mendukung daya sindir, seperti dalam tuturan “Baik, baik jadi tuntutan dan protes
kamu saya terima, ya kan. Sebagai hakim saya memang harus adil walaupun kamu nggak kenal sama si adil kan? Ter
uskan pembelaanmu, terus, terus” SSDB08-09-20149. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang saat itu
bersandiwara sebagai hakim mengungkapkan perihal bagaimana seharusnya dia bertindak, yaitu adil dan tidak memihak.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“sebagai hakim saya memang harus adil
”, untuk memunculkan daya sindir. Klausa tersebut
dipersepsi sebagai sindiran bagi para hakim yang mau menerima suap dan mengedepakan unsur nepotisme di dalam hukum. Penutur yang berperan sebagai
hakim dalam sandiwara mengungkapkan sikap yang harus ia dimiliki yaitu adil. Namun, sekarang ini banyak kasus yang terkuak bahwa hakim berlaku tidak adil
dengan alasan telah menerima suap dan unsur nepotisme. Ungkapan Ndoro dan kenyataan diaslinya saling berkebalikan, oleh sebab itu tuturan tersebut dapat
dipersepsi sebagai sindiran. Ndoro tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan untuk mendukung daya sindir yang diungkapkan,
sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui fenomena
implikatur. Ndoro yang saat itu bersandiwara sebagai hakim mengungkapkan
perihal bagaimana seharusnya dia bertindak, yaitu adil dan tidak memihak. Namun ungkapan tersebut mengimplikasikan sindiran. Ndoro ingin menyindir
para hakim yang saaat ini tidak bisa berlaku adil karena telah menerima suap ataupun ada unsur nepotisme.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102 yang memandang prinsip kesantunan
sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Tuturan tersebut berisi
pemberitahuan tentang sikap yang seharusnya dimilikinya sebagai seorang hakim dalam sandiwara malam itu yang dimaksudkan untuk menyindir kelakuan para
hakim saat ini yang tidak berlaku adil dengan menerima suap dan memenangkan pihak yang memberi suap tersebut walaupun pihak tersebut terbukti bersalah.
Berdasarkan beberapa contoh tuturan daya sindir yang diambil untuk mewakili keseluruhan data, dapat disimpulkan bahwa daya sindir ini dapat
muncul melalui unsur intralingual berupa klausa dan kalimat. Daya sindir ini tidak mempunyai kata-kata khas, melainkan baru dapat dipersepsi sebagai sindiran jika
kalimat atau klausa tersebut utuh. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan juga tidak selalu muncul dan mendukung daya sindir. Hal ini
tergantung dari keekspresifan penutur. Namun, dalam acara Sentilan Sentilun tanda-tanda ketubuhan ini sangat dominan muncul untuk mendukung daya sindir
agar orang yang dimaksud dalam tuturan menjadi lebih tersentil. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks dalam daya sindir
yang selalu muncul melalui fenomena implikatur. Hal ini terjadi karena suatu sindiran pasti diungkapkan dengan secara tidak langsung dalam tuturan. Daya
sindir dalam acara Sentilan Sentilun selalu dinyatakan secara santun karena penutur tidak pernah menggunakan ungkapan langsung untuk menyatakan
sindirannya sesuai indikator kesantunan Leech yang memandang prinsip kesantunan sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur
secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Daya sindir yang ada dalam acara tersebut diwujudkan melalui pemanjatan doa dan sandiwara yang
dilakukan presenter untuk mengimplikasikan sindiran.
4.2.1.3 Daya Perintah Daya perintah merupakan kekuatan bahasa untuk menyatakan perintah
bagi mitra tutur atau orang yang dimaksudkan dalam tuturan untuk melakukan sesuatu. Daya perintah menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang diperintahkan oleh penutur. Daya perintah ini harus dilakukan karena sudah ada hal yang menjadi dasar aturan. Daya perintah dapat dilakukan
dengan berbagai cara, seperti menyuruh, melarang dan mengajak. 4.2.1.3.1 Daya Suruh
Daya suruh merupakan bentuk perintah yang memaksa mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan untuk melakukan sesuatu. Dalam tuturan,
daya suruh ini biasanya ditandai dengan intonasi yang tinggi dan keras. Perhatikan tuturan berikut “Itu tuh namanya bukan kelebihan tapi kekurangan. Lagian kalau
Cak Lontong itu memang benar-benar sayang, benar-benar cinta sama aku buktiin dong Ajak aku jalan-jalan, ajak aku shopping, ajak aku hunting, ajak aku
diving, camping, ajak aku keliling- keliling dunia pokoknya” SSDB08-09-
20142. Tuturan tersebut dikatakan oleh Chacha Federicha yang mengetahui berbagai cara pasangan muda untuk membuktikan rasa cinta kepada pasangannya
misalnya dengan mengajak berbelanja, jalan-jalan, dan lain-lain.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Lagian kalau Cak Lontong itu memang benar-benar sayang, benar-benar cinta sama aku
buktiin dong
”, untuk memunculkan daya suruh. Kalimat tersebut termasuk
kalimat suruh karena ditandai oleh penggunaan tanda seru diakhir kalimat. Selain itu, kalimat tersebut menggunakan kata
“buktiin” yang berarti meyakinkan
dengan bukti KBBI,2008:218 dan termasuk salah satu dalam kata suruh. Secara utuh, kalimat tersebut dipersepsi sebagai perintah bagi Cak Lontong untuk
membuktikan perihal
keseriusan cintanya
kepada Chacha. Daya suruh juga dipekuat dengan unsur ekstralingual yang dimunculkan
oleh Chacha berupa gerakan kedua tangan diangkat kemudian dibuang ke depan
untuk menekankan kata “buktiin” yang termasuk dalam kata suruh. Unsur ekstralingual tersebut dipersepsi sebagai
gerakan yang mendukung tuturan agar Cak Lontong mau melakukan apa yang disuruhnya. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang
dimunculkan melalui fenomena praanggapan. Chacha mempunyai pengetahuan
mengenai berbagai cara pasangan muda untuk membuktikan rasa cinta kepada pasangannya misalnya dengan mengajak berbelanja, jalan-jalan, dan lain-lain.
Melalui pengetahuan awal tersebut penutur ingin pasangannya yang disandiwarakan dalam acara tersebut, yaitu Cak lontong untuk melalukan hal
yang sama.
Tuturan tersebut dipersepsi tidak santun karena melanggar salah satu indikator kesantunan Leech, 1983, dalam pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” penutur memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Chacha merugikan Cak Lontong
karena Chacha berusaha memojokkan Cak Lontong dengan secara tidak langsung mendesak untuk membuktukan cintanya. Usaha Chacha memojokkan Cak
Lontong juga dapat dilihat berdasarkan faktor non-kebahasaan yang digunakan
Chacha berupa nada penekanan saat bertutur dan gerakan unsur ekstralingual yang dimunculkan mengindikasikan suruhan yang memaksa.
Daya suruh juga dapat dimunculkan secara santun, seperti dalam tuturan “Sudah, sudah hakim meminta melepaskan tangan. Ayo semua kembali duduk”
SSDB08-09-201412. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang saat itu berperan sebagai hakim dan mempunyai wewenang untuk menyuruh perseta
persidangan diam jika terjadi kekacauan.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Ayo semua kembali duduk
”, untuk memunculkan daya suruh. Kalimat tersebut dipersepsi
sebagai perintah berupa suruhan bagi Sentilun, Chacha dan Cak Lontong untuk kembali duduk. Daya suruh juga diketahui melalui penggunaan tanda seru di
belakang kalimat serta nada penekanan saat menuturkan kalimat tersebut. Kata “ayo” dalam kalimat tersebut bukan merupakan ajakan, tetapi mengindikasikan
suruhan bagi ketiganya untuk kembali tenang lihat pada konteks yang menyertai tuturan. Sebagai hakim, Ndoro mempunyai wewenang untuk memerintahkan
peserta sidang yang disandiwarakan untuk kembali tenang dan tidak membuat kekacauan.
Daya suruh
juga diperkuat
melalui unsur
ekstralingual berupa tangan yang menggebrak- nggebrak meja. Unsur ekstralingual tersebut mengindikasikan perintah berupa
suruhan bagi ketiganya untuk tenang dan tidak membuat kekacauan. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena
praanggapan. Ndoro mempunyai pengetahuan awal mengenai tugas hakim yang
bertindak sebagai pelerai ketika terjadi kekacauan di persidangan. Saat mengeluarkan tuturan tersebut, kondisi persidangan mahkamah asmara sedang
kacau karena Sentilun dan Cak Lontong saling berseteru karena berebut untuk berpegangan tangan dengan Chacha.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan indikator kesatunan Pranowo 2012:104, yaitu empan papan. Di dalam tuturan tersebut
Ndoro mengetahui bahwa saat itu dirinya diberi peran sebagai hakim yang mempunyai wewenang meminta peserta persidangan diam saat terjadi kekacauan.
Suruhan tersebut wajar dilakukan oleh seorang hakim saat mulai terjadi kekacauan di persidangan.
Daya suruh juga dapat muncul pada tuturan “Menurut analisis saya rakyat
itu memang berhak memilih pemimpinnya sendiri secara langsung. Makanya ya Ndoro kita itu harus ikut mengawasi dan mengawal RUU pilkada ini Ndoro agar
jangan sampai rakyat dimanipulasi hak-haknya. Saya harapkan ya Ndoro, saya sangat mengharapkan pemerintahan Pak SBY ini juga mau. Please Pak SBY
jangan bikin lagu doang, cabut itu RUU pilkada Pak ” SSDB22-09-201425.
Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang menyatakan harapannya kepada Pak SBY untuk mencabut RUU Pilkada.
Unsur intralingual yang digunakan dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“saya sangat mengharapkan pemerintahan Pak SBY ini juga mau. Please Pak SBY jangan bikin lagu doang, cabut itu RUU pilkada Pak
”, untuk memunculkan daya suruh. Kalimat tersebut tersebut menggunakan kata “please” yang bersal
dari bahasa inggris yang berarti tolong untuk menyatakan suruhan halus. Secara
utuh, klausa tersebut dipersepsi sebagai perintah yang ditujukan kepada Pak SBY untuk mencabut RUU pilkada. Penutur sengaja menggunakan ungkapan tidak
langsung yang berupa harapan untuk menyatakan suruhan agar efek yang ditimbulkan menjadi lebih mengena dan Pak SBY
benar-benar mencabut RUU Pilkada. Daya suruh juga didukung oleh unsur ekstralingual yang dimunculkan
oleh Sentilun berupa gerakan kedua tangan yang diangkat sambil tubuh membungkuk
saat mengucapkan kata “please”. Unsur ekstralingual yang dimunculkan tersebut mengindikasikan perintah halus agar Pak SBY segera
bertindak. Unsur ekstralingual konteks juga muncul dalam tuturan tersebut
melalui fenomena implikatur. Sentilun menggunakan pernyataan harapan yang
mengimplikasikan perintah agar Pak SBY mencabut RUU Pilkada karena RUU pilkada dianggap mematikan kedaulatan rakyat.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102 yang memandang prinsip kesantunan
sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Sentilun menggunakan
tuturan berisi harapan yang dimaksudkan untuk memerintah Pak SBY secara halus untuk mencabut RUU Pilkada. Selain itu, penutur juga menggunakan kata
“please” yang berarti tolong termasuk dalam diksi beraura santun untuk memperhalus suruhannya.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul untuk mendukung daya suruh, seperti dalam tuturan
“Nah ini yang seperti-seperti
ini harus segera kita harmonisasi ” SSIDB25-08-2014. Tuturan tersebut
dikatakan oleh Sapta Nirwandar yang mengetahui suku bunga pinjaman bagi industri kecil sangat tinggi.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Nah ini yang seperti-seperti ini harus segera kita harmonisasi
”, untuk memunculkan daya suruh. Kalimat tersebut terdiri dari beberapa frasa dan kata yang dapat
mengindikasikan daya suruh. Frasa “harus segera” mengindikasikan perintah
bagi seluruh jajarannya untuk segera bertindak dan berusaha menyesuaikan suku bunga pinjaman agar tidak membebani pelaku industri kecil. Kata
“kita” mengindikasikan pemerintah, sedangkan kata
“harmonisasi” berarti upaya mencari keselarasan KBBI,2008:484. Secara utuh, kalimat tersebut dipersepsi
sebagai suruhan bagi pemerintah yang terlibat dalam jajaran kementrian pariwisata dan industri kreatif untuk segera melakukan tindakan penyesuaian
suku bunga pinjaman agar pelaku industri kecil tidak semakin dibebani. Tuturan tersebut tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan
untuk mendukung daya suruh, sedangkan unsur ekstralingual konteks
dimunculkan melalui fenomena praanggapan. Sapta Nirwandar mempunyai
pengetahuan awal mengenai beberapa tempat peminjaman modal yang suku bunga pinjamannya masih cukup tinggi bagi industri kecil. Pengetahuan tersebut
diperoleh melalui hasil survey yang beliau lakukan selaku wakil menteri pariwisata dan industri.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena menggunakan diksi santun
Pranowo, 2012:104. Di dalam tuturan tersebut, Sapta Nirwandar menggunakan
diksi “harmonisasi” untuk mengungkapkan suruhan kepada pemerintah untuk
segera bertindak agar suku bunga pinjaman dapat segera diturunkan. Tuturan berikut juga tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-
tanda ketubuhan “Tapi begini sebelumnya bisa review, pertama kita minta para
anggota DPR ini masih mendengarkan hati nurani rakyat. Jadi buanglah sikap untuk pilkada melalui DPRD itu Ya makanya, kalau dia tidak punya kuping kita
dorong Pak SBY” SSDB22-09-201426. Tuturan tersebut dikatakan oleh Refly Harun yang mengetahui banyaknya rakyat yang memprotes RUU Pilkada.
Unsur intralingual yang dimunculkan dalam tuturan tersebut berupa
kalimat
“Jadi buanglah sikap untuk pilkada melalui DPRD itu”, untuk
memunculkan daya suruh. Kalimat tersebut menggunakan kata
“buanglah” yang menyatakan suruhan untuk membuang sikap egois, akhiran -lah dalam KBBI
2008:771 berarti kata seru untuk memberikan penekanan. Selain itu, daya suruh juga diketahui melalui tanda seru diakhir kalimat yang mengindikasikan perintah.
Secara utuh, kalimat tersebut dipersepsi sebagai perintah bagi para anggota DPRD untuk mendengarkan hati nurani rakyat dan tidak mementingkan egonya sendiri.
Kita ketahui bersama bahwa pengajuan RUU pilkada saat ini mendatangkan pro dan kontra, namun sebagian rakyat Indonesia tidak setuju terhadap RUU tersebut.
Oleh karena itu, DPR sebaiknya mendengarkan juga keinginan rakyat. Tuturan tersebut tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan tertentu untuk mendukung
daya suruh, sedangkan unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui
fenomena inferensi. Refly Harun mempunyai kesimpulan bahwa rakyat tidak
setuju dengan RUU pilkada melalui DPRD melihat fakta yang ada terhadap banyaknya protes mengenai RUU Pilkada.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena penutur melanggar indikator kesantunan Pranowo 2012:104, yaitu penggunaan diksi santun. Daya
suruh dalam tuturan tersebut menggunakan kata “buanglah” dipersepsi kasar
karena ada kata yang lebih halus, misalnya kata “hilangkan”.
Berdasarkan beberapa data tuturan berdaya suruh yang diambil dari acara Sentilan Sentilun, dapat disimpulkan bahwa daya suruh ini muncul melalui unsur
intralingual berupa kalimat imperatif selalu diakhiri dengan tanda seru. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul untuk mendukung
daya suruh, hal ini tergantung pada keespresifan penutur dalam menyatakan suruhannya. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual konteks selalu
menyertai tuturan, karena untuk dapat melihat tuturan tersebut berdaya suruh atau tidak kita perlu memperhatikan konteksnya. Unsur ekstralingual yang digunakan
untuk memunculkan konteks berupa fenomena praanggapan, implikatur, dan inferensi.
Tuturan dalam daya suruh ini ada yang santun dan tidak santun tergantung unsur intralingual dan ekstralingual yang digunakan oleh penutur. Daya suruh
yang santun jika suruhannya dinyatakan secara tidak langsung sesuai dengan penggunaan ungkapan tidak langsung Leech dan sesuai dengan kewajiban yang
dimiliki oleh penutur sesuai dengan sikap empan papan Pranowo. Daya suruh tidak santun jika suruhannya terkesan memaksa mitra tutur melanggar maksim
kebijaksanaan Leech dan menggunakan kata-kata kasar melanggar penggunaan diksi santun Pranowo.
4.2.1.3.2 Daya Larangan Daya larangan merupakan bentuk perintah yang digunakan untuk tidak
memperbolehkan mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan melakukan sesuatu. Daya larangan ini mempunyai dasar bisa berupa hukum atau peraturan
tertentu yang kuat sehingga jika dilanggar dapat menimbulkan sangsi tertentu. Perhatikan tuturan berikut “Ih . . . Ngawur ya Mas Sentilun itu. Makanya jangan
ngawur kalau nonton film itu, matanya jang an nonton film dari DVD bajakan”
SSDB18-08-20144. Tuturan tersebut dikatakan oleh Chacha yang melihat saat ini banyak orang yang lebih memilih untuk membeli DVD bajakan karena tergiur
harga yang murah.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“jangan nonton film dari DVD bajakan
”, untuk memunculkan daya larangan. Klausa tersebut
dipersepsi sebagai larangan untuk tidak membeli DVD bajakan. Klausa tersebut menggunakan kata
“jangan” dan “menonton”. Kata “jangan” dalam KBBI 2008:564 merupakan kata yang digunakan untuk melarang, sedangkan kata
“menonton” dalam klausa tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan “membeli” karena kalau kita sudah menonton DVD bajakan secara otomatis pasti
kita telah membeli DVD itu sebelumnya. Membeli DVD bajakan sama saja merugikan dan tidak menghargai kreatifitas pencipta film tersebut. Tuturan
tersebut tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan yang mendukung daya larangan, sedangkan penanada ekstralingual berupa
konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan. Chacha prihatin karena
mengetahui saat ini banyak pembuat DVD bajakan yang merugikan para pencipta film karena DVD tersebut dijual dengan harga yang lebih murah daripada aslinya.
Chacha juga melihat saat ini banyak orang yang lebih memilih untuk membeli DVD bajakan karena tergiur harga yang murah. Padahal hal tersebut telah diatur
dalam Pasal 480 KUHP yang berisi hukuman pidana bagi penjual, pembeli, penyewa maupun penyimpan DVD bajakan karena dianggap merugikan produsen
dan melanggar hak cipta.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Chacha memberikan
keuntungan kepada Sentilun dengan melarangnya menonton DVD bajakan karena bisa mendapatkan denda hingga sangsi penjara.
Daya larangan yang muncul dalam acara Sentilan Sentilun ini mempunyai ciri khas, berupa penggunaan kata
“jangan” untuk memperkuat larangan terhadap mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan. Kata
“jangan” tidak dapat berdiri sendiri karena maksudnya baru tersampaikan setelah berada dalam kalimat
atau paling tidak klausa. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan dalam daya larangan
bersifat opsional dan kebetulan dalam data yang ditemukan tidak ada tanda-tanda ketubuhan yang dimunculkan oleh penutur untuk mendukung daya larangan.
Unsur ekstralingual berupa konteks yang ditemukan hanya menggunakan
fenomena pranggapan pengetahuan awal penutur karena sebelum melarang tentunya penutur sudah memiliki pengetahuan awal mengenai dasar hukum yang
mengatur sehingga hal tersebut tidak boleh dilakukan. Daya larangan yang ditemukan dalam objek penelitian termasuk santun karena berusaha memberikan
pengetahuan kepada mitra tutur sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech. 4.2.1.3.3 Daya Ajakan
Daya ajakan merupakan bentuk perintah yang digunakan untuk mengajak mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan untuk melakukan sesuatu.
Daya ajak ini berusaha meyakinkan penutur agar tindak perlokutif yang ditimbulkan sampai pada penutur mengikuti ajakan mitra tutur. Perhatikan tuturan
berikut “Jadi gini Ndoro, dalam perkara kreatifitas, kita ini tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain itu. Ingat Ndoro ya Borobudur itu menjadi keajaiban dunia.
Wayang, gamelan menjadi warisan dunia, batik juga diakui dunia, keris juga. Makanya Ndoro sudah saatnya kita membuktikan kalau kita ini adalah bangsa
yang besar kreatifitasny a, bukan hanya besar korupsinya” SSDB25-08-
201421. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang mengetahui Indonesia menduduki posisi sebagai 5 negara terkorup di dunia.
Unsur intraligual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“sudah saatnya kita membuktikan kalau kita ini adalah bangsa yang besar kreatifitasnya
”, untuk
memunculkan daya ajakan. Klausa tersebut menggunakan kata
“membuktikan” yang berarti meyakinkan dengan bukti KBBI,2008:218. Klausa tersebut
dipersepsi sebagai ajakan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki kreatifitas yang besar dan mematahkan
anggapan bahwa Indonesia hanya bangsa yang besar korupsinya. Daya ajakan juga diperkuat
dengan unsur ekstralingual yang dimunculkan
oleh Sentilun berupa gerakan tangan kiri mengepal sambil diangkat. unsur ekstralingual tersebut mengindikasikan ajakan
dan membangkitkan semangat seluruh rakyat Indonesia untuk membuktikan pada dunia. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual berupa konteks yang
dimunculkan melui fenomena praanggapan. Sentilun mempunyai pengetahuan
mengenai kasus korupsi di Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun yang membuat Indonesia menduduki posisi sebagai 5 negara terkorup di dunia.
Sentilun juga mempunyai pengetahuan mengenai kekayaan budaya di Indonesia yang bahkan sudah ada yang menjadi warisan dunia, yaitu batik.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012 yang memandang prinsip kesantunan
sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Tuturan tersebut
menyatakan ajakannya secara implisit, yaitu dengan menggunakan pernyataan anggapan dunia yang mengatakan bahwa Indonesia termasuk negara terkorup
untuk menyatakan ajakan agar seluruh rakyat Indonesia bekerjasama untuk membuktikan bahwa anggapan tersebut salah dan Indonesia sebenarnya
merupakan negara yang besar kreatifitasnya. Tuturan implisit tersebut juga digunakan agar tindak perlokutif rakyat Indonesia sampai pada bekerjasama untuk
membuktikan kepada dunia bahwa Indoneisa bukan termasuk negara terbesar angka korupsinya, melainkan besar kreatifitasnya.
Daya a jakan juga muncul dalam tuturan “Jadi sebetulnya dia bisa
mengatakan lho saya kan bebas, ini mobil saya kok. Saya mau pakai bensin apapun saya punya urusan. Tetapi kalau kami selaku ATPM atau yang berlindung
di bawah kami selaku agen tunggal tadi mengatakan anda sudah pakai bensin yang salah. Ya kan, sehingga garansinya gugur. Jadi memang ini sesuatu yang
harus kita lakukan bersama-sama sebetulnya. Baik kami selaku produsen kendaraan bermotornya maupun pemerintahnya mari kita sama-sama jalankan
itu semua ” SSIDB15-09-201418. Tuturan tersebut dikatakan oleh Jongkie
Sugiarto yang mempunyai kesimpulan bahwa program pencabutan garansi bagi mobil mewah yang ketahuan menggunakan BBM bersubsidi tidak akan sukses
tanpa kerja sama dari pemerintah.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“mari kita sama- sama jalankan
itu semua”, untuk memunculkan daya ajakan. Kata “mari” yang
digunakan dalam klausa tersebut merupakan kata seru untuk menyatakan ajakan KBBI,2008:879, sedangkan kata
“kita” mengindikasikan lembaga GAIKINDO dan pemerintah. Secara utuh, klausa tersebut dipersepsi sebagai ajakan kepada
pemerintah untuk bekerja sama mensukseskan realisasi kebijakan pencabutan garansi bagi mobil mewah yang ketahuan menggunakan BBM bersubsidi karena
kebijakan tersebut dianggap sebagai cara yang ampuh untuk menimbulkan efek jera. Daya ajakan diperkuat melalui unsur ekstralingual yang dimunculkan oleh
Jongkie Sugiarto berupa gerakan kedua tangan yang membentuk lingkaran
dari belakang ke depan seperti gerakan ingin memeluk. Unsur ekstralingual itu mengindikasikan
ajakan mari sama-sama mensukseskan realisasi kebijakan pencabutan garansi bagi mobil mewah yang ketahuan menggunakan BBM
bersubsidi. Selain itu, jugan terdapat unsur ekstralingual berupa konteks yang
dimunculkan melalui fenomena inferensi atau kesimpulan yang beliau miliki
sebagai ketua GAIKINDO Gabungan Industri Kendaraan Bermotor di Indonesia mengenai setiap program yang harus didukung oleh pemerintah. Di dalam hal ini
pemerintah harus bekerjasama dalam mensukseskan kebijakan pencabutan garansi bagi mobil mewah yang ketahuan menggunakan BBM bersubsidi agar kebijakan
tersebut dapat berjalan dengan lancar.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu faktor kebahasaan yang menentukan kesantunan Pranowo,2012:90, yaitu pengguaan
diksi
“mari” yang merupakan kata seru untuk menyatakan ajakan KBBI,2008:879 untuk menyatakan ajakan secara bersama-sama tidak
memojokkan satu pihak. Daya ajakan juga tidak selalu didukung oleh unsur ekstralingual berupa
tanda-tanda ketubuhan seperti pada tuturan “Makannya marilah kita berlomba-
lomba dalam kebaikan, jangan hanya berlomba-lomba memperebutkan jabatan dan kekuasaan
” SSDB04-08-201423. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang mengetahui fenomena memperbutkan jabatan dan kekuasaan yang
dilakukan oleh para petinggi negara.
Unsur intralingual yang digunakan untuk memunculkan daya ajakan dalam tuturan tersebut berupa klausa
“marilah kita berlomba-lomba dalam kebaikan
”. Klausa tersebut menggunakan kata marilah yang berarti kata seru yang digunakan untuk menyatakan ajakan KBBI,2008:879. Secara utuh, klausa
tersebut dipersepsi sebagai ajakan bagi seluruh petinggi negara untuk berlomba dalam hal memajukan kesejahteraan rakyat yang diungkapkan melalui kata
“kebaikan” dan bukan justru memperebutkan jabatan seerta kekuasaan seperti fenomena belakangan ini yang marak terjadi. Unsur ektralingual berupa konteks
dimunculkan melalui fenomena praanggapan atau pengetahuan yang dimiliki
Sentilun mengenai para petinggi negara yang saat ini cenderung saling memperebutkan jabatan dan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Sentilun juga memiliki pengetahuan mengenai kasus korupsi di Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan indikator
kesantunan Pranowo
berupa nilai-nilai
pendukung kesantunan
Pranowo,2012:117, yaitu sikap menjaga perasaan. Tuturan tersebut berusaha
menjaga perasaan para petinggi negara sebagai orang yang dimaksud dalam tuturan. Penutur tidak langsung mengatakan bahwa pemimpin negara-lah yang
diajak untuk berbuat kebaikan. Tuturan tersebut lebih ditujukan secara umum untuk menjaga perasaan orang yang dimaksud dalam tuturan petinggi negara.
Daya ajakan dalam acara Sentilan Sentilun tidak hanya muncul melalui unsur intralingual berupa klausa seperti ketiga contoh tuturan di atas, melainkan
dapat muncul melalui kalimat seperti pada tuturan “Makannya harus jadi
pelajaran bahwa ada lawan politik, ada lawan diskusi. Jadi kita semua sekarang sadar. Oh iya ya, perbedaan itu selesai tanggal sembilan. Habis itu sudah
diputuskan satu orang. Pak Jokowi menjadi presiden yang ditetapkan. Lalu kita bekerja bersama-sama memastikan presiden baru bekerja untuk seluruh rakyat
Indonesia ” SSDB04-08-20149. Tuturan tersebut dikatakan oleh Anies
Baswedan yang mengetahui pendukung kedua kubu KMP dan KIH yang masih saling bermusuhan walaupun pilpres 2014 telah selesai.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Lalu kita bekerja bersama-sama memastikan presiden baru bekerja untuk seluruh rakyat
Indonesia”, untuk memunculkan daya ajakan. Kalimat tersebut dipersepsi
sebagai ajakan agar rakyat bersatu untuk mengawasi kinerja presiden yang baru. Sekarang bukan saatnya rakyat terbagi lagi menjadi dua kubu karena pilpres
sudah selesai. Tugas rakyat sekarang adalah bersatu untuk mengawasi jalannya pemerintahan di bawah kepemimpinan presiden yang baru. Tuturan tersebut juga
tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tertentu untuk mendukung daya ajakan,sSedangkan unsur ekstralingual konteks
dimunculkan melalui fenomena praanggapan. Anies Baswedan mempunyai
pengetahuan awal mengenai pendukung kedua kubu yang masih saling terpecah dan bermusuhan walaupun pilpres 2014 telah selesai. Perpecahan tersebut
dibuktikan melalui masih banyaknya pendukung kubu Prabowo-Hatta yang melakukan aksi protes mengenai keputusan KPU yang menetapkan Pak Jokowi
sebagai presiden terpilih.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012 yang memandang prinsip kesantunan
sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Di dalam tutuan tersebut,
daya ajakan untuk berdamai dinyatakan secara tidak langsung yaitu melalui kalimat
“Lalu kita bekerja bersama-sama memastikan presiden baru bekerja untuk seluruh rakyat Indonesia
”. Kalimat tersebut berisi ajakan untuk bersama- sama bergabung mengawasi pemerintahan Pak Jokowi, namun ada ajakan implisit
jika dilihat dari konteks yang menyertai tuturan, yaitu ajakan kedua kubu untuk berdamai.
Daya Ajakan juga dapat dinyatakan secara tidak langsung agar maksudnya lebih
mengena, seperti dalam tuturan “Menurut analisis saya rakyat itu memang berhak memilih pemimpinnya sendiri secara langsung. Makanya ya Ndoro kita itu
harus ikut mengawasi dan mengawal RUU pilkada ini Ndoro agar jangan sampai rakyat dimanipulasi hak-haknya. Saya harapkan ya Ndoro, saya sangat
mengharapkan pemerintahan Pak SBY ini juga mau please Pak SBY jangan bikin lagu doang, cabut itu RUU pilkada Pak SSDB22-09-201425. Tuturan tersebut
dikatakan oleh Sentilun yang mengetahui dampak negatif RUU pilkada, yaitu rakyat akan kehilangan hak-haknya untuk memilih langsung pemimpinnya.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“kita itu harus ikut mengawasi dan mengawal RUU pilkada ini Ndoro agar jangan sampai
rakyat dimanipulasi hak-haknya
”, untuk memunculkan daya ajakan. Klausa
tersebut dipersepsi sebagai ajakan secara tidak langsung bagi seluruh rakyat
Indonesia untuk mengawasi dan mengawal mengenai RUU pilkada melalui DPRD agar RUU tersebut tidak jadi disahkan. Klausa tersebut menggunakan kata
“kita” mengindikasikan seluruh rakyat Indonesia, sedangkan frasa “harus ikut” mengindikasikan ajakan secara tidak langsung. Klausa tersebut digunakan untuk
menimbulkan efek komunikatif agar seluruh rakyat indonesia benar-benar mau ikut mengawasi dan mengawal RUU pilkada tersebut. Sentilun tidak
memunculkan tanda-tanda ketubuhan apapun untuk mendukung daya ajakan yang disampaikannya, sedangkan unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan
melalui fenomena praanggapan. Sentilun mempunyai pengetahuan mengenai
dampak negatif RUU pilkada, yaitu rakyat akan kehilangan hak-haknya untuk memilih langsung pemimpinnya.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012 yang memandang prinsip kesantunan
sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Tuturan tersebut secara
tidak langsung menyampaikan bahwa yang dimaksud dalam tuturan tersebut adalah seluruh rakyat Indonesia yang diwakili dengan kata
“kita” untuk mengawasi RUU Pilkada agar tidak jadi disahkan.
Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang diambil dari Acara Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang
digunakan oleh presenter dan bintang tamu dalam acara tersebut untuk memunculkan daya ajakan adalah berupa kalimat dan klausa. Daya ajakan ini bisa
dinyatalan secara langsung maupun tidak langsung tergantung susunan kata yang
menjadi unsur intralingual. Daya ajakan secara langsung ditandai dengan penggunaan kata
“mari”, walaupun kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena makna dan maksudnya baru dapat diketahui setelah berada dalam sebuah
kalimat atau paling tidak suatu klausa. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan
mendukung daya ajakan karena hal tersebut tergantung dari keekspresifan penutur. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual berupa konteks yang
selalu menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui maksud penutur. Unsur ekstralingul berupa konteks yang memunculkan daya ajakan dari acara
Sentilan Sentilun adalah fenomena praanggapan dan inferensi. Melalui fenomena praanggapan karena sebelum mengajak mitra tutur atau orang yang dimaksud
dalam tuturan untuk melakukan sesuatu pasti penutur mempunyai latar belakang pengetahuan mengenai hal yang dimaksud, sedangkan melalui fenomena inferensi
karena pada awalnya penutur mempunyai kesimpulan tertentu karena penutur yang bersangkutan merupakan ahli suatu bidang.
Daya ajakan yang ada dalam Acara Sentilan Sentilun selalu dinyatakan dengan santun karena ajakan tersebut dinyatakan secara tidak langsung sehingga
mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan tidak sandar bahwa mereka sedang diajak melakukan sesuatu sesuai indikator kesantunan Leech yang
memandang prinsip kesantunan sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya.
Selain itu, terdapat juga tuturan yang menggunakan diksi santun saat menyatakan ajakan sesuai dengan indikator kesantunan penggunaan diksi santun Pranowo.
4.2.1.4 Daya Kelakar Daya kelakar merupakan kekuatan bahasa untuk menghibur mitra tutur
atau khalayak umum dengan membuat lelucon mengenai suatu hal. Daya kelakar selalu menimbulkan efek perlokutif berupa tawa atau ekspresi bahagia dari mitra
tutur atau khalayak umum. Daya kelakar biasanya muncul dalam tuturan non- formal seperti dalam acara Sentilan Sentilun. Daya ini semata untuk menghibur
dan tidak ada maksud menyindir maupun menyinggung orang yang dijadikan bahan lelucon. Perhatikan tuturan berikut
“Ciri-cirinya pertama, pemimpin baru itu artinya bukan pemimpin lama. Yang kedua, pemimpin baru tidak boleh seperti
dibilang mas Anies. Terbebani oleh masa lalu, jadi harus berjalan maju ke depan, jangan mundur ke belakang. Kalau mundur namanya undur-undur
” SSDB04- 08-201415. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun selaku presnter yang
dituntut untuk menghibur penonton di rumah maupun di studio karena konteks acara tersebut adalah obrolan santai.
Unsur intralingual yang digunakan dalam tuturan tersebut berupa kalimat “Kalau mundur namanya undur-undur”, untuk memunculkan daya kelakar.
Kalimat tersebut dipersepsi sebagai lelucon yang dibuat oleh penutur untuk menghibur penonton. Penutur menggunakan kata
“undur-undur” sebutan dalam bahasa jawa yang merupakan binatang kecil yang suka membuat lubang seperti
kawah ditanah berdebu untuk menjebak semut dan berjalannya selalu mundur KBBI,2008:528 untuk mengindikasikan masa lalu. Kalimat tersebut
menimbulkan efek komunikatif berupa tawa penoton ketika Sentilun menuturkan kalimat tersebut. Daya kelakar diperkuat dengan unsur ekstralingual yang
dimunculkan oleh sentilun berupa gerakan satu tangan ditarik ke belakang untuk memperagakan jalannya hewan
undur-undur yang selalu mundur. Unsur ekstralingual tersebut mendukung daya kelakar karena selain tuturan, tawa penonton juga
muncul setelah melihat gerakan tersebut. Selain itu, terdapat juga unsur
ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena latar berlakang pekerjaan. Sebagai presenter, Sentilun dituntut untuk membuat talk show
tersebut terkesan santai dan menyuguhkan obrolan ringan. Presenter juga bertugas untuk menghibur penonton, oleh sebab itu penutur membuat lelucon berupa ciri-
ciri pemimpin baru yang dipelesetkan mirip seperti “undur-undur”. Sentilun juga
mempunyai pengetahuan lama mengenai hewan “undur-undur” yang selalu
berjalan dengan cara mundur.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Tuturan tersebut memberikan keuntungan kepada mitra
tutur, yaitu penonton di rumah maupun di studio karena penutur berusaha menghibur mitra tutur dengan lelucon yang dibuat. Rasa terhibur penonton dapat
dilihat dari tawa penonton di studio sesaat setelah Sentilun mengungkapkan tuturan berdaya kelakar tersebut.
Meskipun unsur ekstralingual yang digunakan termasuk tidak santun, namun jika dilihat dari konteks yang menyertai tuturan tetap dianggap santun,
seperti pada tuturan “Menurut analisis saya, ketika Pak Jokowi jadi gubernur kan
sudah banyak tu program yang dirasakan keberhasilannya oleh warga Jakarta betul to? Ya kalau menurut saya ya Ndoro, ada satu hal yang Pak Jokowi itu tidak
mampu mengubahnya. Mengubah status Ndoro dari jomblo ”. Tuturan tersebut
dikatakan oleh Sentilun yang membuat lelucon yang dihubungkan dengan topik pembicaraan pada malam itu, yaitu masalah gubernur baru Jakarta.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Mengubah status Ndoro dari jomblo
”, untuk memunculkan daya kelakar. Kalimat tersebut
dipersepsi sebagai lelucon yang dibuat oleh Sentilun dengan menghubungkan Kinerja Pak Jokowi yang mampu mengubah Jakarta menjadi lebih baik, namun
beliau tidak mampu mengubah status jomblo yang disandang oleh Ndoro Sentillan. Klausa tersebut mengandung efek komunikatif berupa tawa penonton
saat Sentilun mengucapkan kalimat tersebut. Daya kelakar juga diperkuat melalui unsur ekstralingual
yang dimunculkan oleh Sentilun melalui gerakan tangan kanan menunjuk-nunjuk ke arah Ndoro untuk memperkuat ungkapan
pengubahan status Ndoro dari jomblo. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual
berupa konteks dimunculkan melalui fenomena latar belakang pekerjaan.
Sebagai presenter, Sentilun dituntut untuk membuat talk show tersebut terkesan santai dan menyuguhkan obrolan ringan. Presenter juga bertugas untuk menghibur
penonton, oleh sebab itu penutur membuat lelucon yang menghubungkan topik pembicaraan pada malam itu, yaitu masalah gubernur baru Jakarta. Sentilun
sebelumnya mengetahui kinerja Pak Jokowi selama memimpin Jakarta yang dianggap bagus, kemudian membuatnya sebagai bahan lelucon karena
dihubungkan dengan ketidakmampuan Pak Jokowi mengubah status jomblo Ndoro Sentilan.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Tuturan tersebut tetap santun walaupun unsur ekstralingual
berupa tanda-tanda ketubuhan yang digunakan termasuk memojokkan Ndoro sebagai mitra tutur Sentilun. Tuturan tersebut berusaha memberikan keuntungan
kepada orang yang dimaksud dalam tuturan penonton yaitu dengan tujuan menghibur. Tuturan berdaya kelakar tersebut berhasil membuat penonton terhibur,
hal tersebut dibuktikan dengan tawa penonon di studio sesaat setelah Sentilun bertutur.
Daya kelakar yang ada dalam acara Sentilan Sentilun juga dapat dimunculkan melalui klausa dan tidak selalu memunculkan tanda-tanda ketubuhan
tertentu untuk mendukung lelucon yang dibuat. Misalnya pada tuturan “Saking
otomatisnya jadi sotomatis. Akhirnya apa, setelah harga BBM naik, harga barang kebutuhan ikut naik. Beras naik, angkot juga naik karena kalau nggak naik kan
ketinggalan. Ongkosnya angkot maksudnya itu juga. Artinya daya beli saya juga semakin turun. Padaha
l honor saya nggak naik, ya kan?” SSDB01-09- 201419. Tuturan tersebut dikatakan oleh Cak Lontong yang sengaja
menghubungkan kenaikan harga BBM dengan kenaikan ongkos angkot dan dipelesetkan menjadi ketinggalan angkot.
Unsur intralingual yang digunakan dalam tuturan tersebut berupa klausa
“angkot juga naik karena kalau nggak naik kan ketinggalan”, untuk
memunculkan daya kelakar. Klausa tersebut dipersepsi sebagai lelucon yang
dibuat oleh Cak Lontong yang membuat plesetan “angkot naik” ongkos angkot dengan ketinggalan angkot. Lelucon tersebut sengaja dibuat oleh penutur untuk
menghibur penonton. Klausa tersebut menimbulkan efek komunikatif berupa tawa para penonton yang mengindikasikan bahwa mereka terhibur oleh lelucon Cak
Lontong. Cak Lontong tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda- tanda ketubuhan untuk mendukung lelucon yang dibuatnya, sedangkan unsur
ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena latar belakang pekerjaan.
Cak Lontong
berprofesi sebagai
komedian. Ia
sengaja menghubungkan kenaikan harga BBM dengan kenaikan ongkos angkot yang
dipelesetkan menjadi ketinggalan angkot.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam tuturan berdaya kelakar tersebut, Cak Lontong
berusaha memberikan keuntungan kepada mitra tutur penonton dengan membuat penonton merasa terhibur. Rasa terhibur penonton dibuktikan dengan tawa
penonton di studio sesaat setelah Cak Lontong menuturkan tuturan berdaya kelakar tersebut.
Daya kelakar yang muncul dalam acara Sentilan Sentilun ini mempunyai ciri khas, yaitu tindak perlokutif berupa tawa penonton yang selalu muncul
sebagai tanda bahwa penonton merasa terhibur. Daya kelakar yang muncul dalam acara ini menggunakan unsur intralingual berupa klausa dan kalimat.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan dalam daya kelakar juga bersifat opsional tergantung keekspresifan penutur. Selain itu, terdapat juga
unsur ekstralingual konteks yang selalu dimunculkan melalui fenomena latar belakang pekerjaan karena baik presenter maupun bintang tamu khususnya artis
dan komedian yang diundang mempunyai profesi sebagai entertainer mempunyai tugas menghibur penonton.
Daya kelakar yang ditemukan dalam objek penelitian termasuk santun walaupun ada beberapa unsur ekstralingual yang tidak santun, namun itu semua
bertujuan untuk menghibur penonton dan tidak ada maksud sedikitpun untuk merendahkan ataupun memojokkan mitra tutur sesuai dengan maksim
kebijakanaan Leech.
4.2.1.5 Daya Kabar Daya kabar merupakan kekuatan bahasa yang berusaha untuk
menyampaikan sesuatu kepada mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan. Daya kabar dapat dinyatakan dengan cara menginformasikan,
mengungkapkan sesuatu, menjelaskan, membandingkan dan menyampaikan suatu hal yang mendasar daya dukung.
4.2.1.5. Daya Informatif Daya informatif merupakan bentuk kabar yang digunakan untuk
memberitahukan sesuatu kepada mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam
tuturan. Perhatikan tuturan “Karena ini kan negara sudah berkembang. Sudah open mind. Udah bebas ya kan, sudah reformasi. Reformasi tu sebagai sebuah
pintu gerbang menuju kebebasan berekspresi. Nah kadang-kadang penonton kita belum siap ketika kita dihadapkan dengan tokoh-tokoh pahlawan yang sudah
diapresia si secara bebas oleh si seniman” SSDB18-08-20147. Tuturan
tersebut dikatakan oleh Hanung Bramantyo yang mengetahui banyaknya film yang mengakat suatu tokoh tertentu di Indonesia sudah diapresiasi oleh seniman.
Unsur intralingual yang digunakan dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Nah kadang-kadang penonton kita belum siap ketika kita dihadapkan dengan tokoh-tokoh pahlawan yang sudah diapresia
si secara bebas oleh si seniman”,
untuk memunculkan daya informatif. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai
pemberian informasi untuk membuka pikiran publik yang banyak menentang film terbarunya saat itu, yaitu “Soekarno” karena dianggap tidak sesuai dengan cerita
aslinya. Penutur berusaha memberikan informasi bahwa pasca reformasi, seniman itu bebas mengapresiasi suatu cerita tentang tokoh yang sudah ada dan
mengemasnya menjadi suatu film yang sedikit berbeda untuk menghadirkan kesan segar. Penutur ingin agar publik memandang hal tersebut dari berbagai sisi dan
tidak melulu menyalahkan para seniman karena semua sudah sesuai dengan prodesur yang ada. Daya Informatif juga diperkuat
dengan unsur ekstralingual yang dimunculkan oleh
Hanung berupa gerakan kedua tangan diangkat ke depan dada selama memberikan informasi tersebut untuk menekankan informasi
yang sedang disampaikan. Tanda-tanda ketubuhan yang dimunculkan Hanung
Bramantyo dipersepsi sebagai gerakan penekanan penjelasan yang disampaikannya. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual berupa konteks
yang dimunculkan melalui fenomena praanggapan. Hanung Bramantyo
merupakan seorang sutradara sehingga mengetahui betul seluk-beluk perfilman. Hanung mempunyai anggapan awal mengenai mengenai film-film yang mengakat
suatu tokoh tertentu di indonesia kebanyakan sudah diapresiasi oleh seniman, karena penutur sendiri juga melakukan hal yang demikian pada film
“Soekarno”.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan
kepada mitra tutur. Hanung Bramantyo berbaik hati memberikan informasi
untuk membuka pikiran publik agar mereka mempunyai pengetahuan mengenai banyaknya film saat ini yang tidak sesuai dengan cerita aslinya karena telah
diapresiasi oleh sutradara. Daya informatif juga muncul dalam tuturan
“Gitu kan, nah itu kan harus siap dananya ya to. Kalau nggak siap kalau memaksakan diri kan ngutang to?
Semakin besar dana kampanyenya itu biasanya tu nggak dikenal publik, ya. Ongkos kampanyenya besar kan. Iklan kemana-mana, bikin spanduk itu pakai
uang semua kan? Nah itu. Nggak punya uang, ngutang. Tapi kalau orangnya sudah punya modal sosial, dia sudah dikenal masyarakat, kiprahnya di
masyarakat sudah jelas, orang sudah kenal. Nih orang bisa kerja kan ya dan itu relatif sudah aktif dia, nggak perlu keluar uang banyak
” SSDB29-09-201419. Tuturan tersebut dikatakan oleh Hamdi Muluk yang mempunyai kesimpulan
mengenai pemimpin yang dipilih oleh rakyat, yaitu yang mempunyai track record baik dan modal sosial.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Nih orang bisa kerja kan ya dan itu relatif sudah aktif dia,
nggak perlu keluar uang banyak”,
untuk memunculkan daya informatif. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai
pemberian informasi kepada calon legislatif yang ingin mengikuti pemilu untuk mempunyai track record yang baik dan modal sosial agar mereka tidak perlu
mengeluarkan uang yang besar untuk kampanye. Kita ketahui bersama bahwa saat ini banyak anggota dewan yang menggadaian SKnya untuk melunasi hutang
selama kampanye. Daya informatif juga disukung oleh unsur ekstralingual yang dimunculkan oleh Hamdi Muluk
berupa gerakan kedua tangan mengepal dan diangkat.
Gerakan tersebut mengindikasikan bahwa beliau sedang menyampaikan sesuatu.
Unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui fenomena inferensi.
Berdasarkan pengetahuannya dalam bidang implementasi pemilihan umum selama ini, Hamdi Muluk mempunyai kesimpulan mengenai pemimpin yang
dipilih oleh rakyat, yaitu yang mempunyai track record baik dan modal sosial, bila caleg tidak memiliki modal tersebut maka mereka perlu memiliki uang
banyak untuk modal kampanye.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Hamdi Muluk berbaik hati memberikan informasi kepada
calon legislatif yang ingin mengikuti pemilu. Pemberian informasi tersebut merupakan salah satu trik agar caleg dapat terpilih.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan juga tidak selalu muncul untuk mendukung daya informatif, seperti dalam tuturan “Ya
permasalahannya kalau sampai dua tahun izinnya. Karena ada enam puluh jenis, yang diurus adalah urut kacang, tidak bisa barengan. Kalau dua tahun adalah
cost ekstra tambahan. Satu perusahaan PSE adalah seratus lima puluh ribu dolar per man kali dua puluh empat adalah tiga koma enam juta selama dua belas
tahun ini. Itu ongkosnya dijumlah itu adalah enam ratus dua puluh juta USD. Itu adalah angka yang sangat besar pada oil and gas adalah high risk, high cost dan
tentu high rhyth m” SSDB01-09-201515. Tuturan tersebut dikatakan oleh
Eddy Tampi yang mempunyai pengalaman mengenai sistem perijinan di Indonesia yang terkesan tidak efisien sehingga memakan biaya yang tinggi.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Itu adalah angka yang sangat besar pada oil and gas adalah high risk, high cost dan tentu
high rhythm
”, untuk memunculkan daya informatif. Kalimat tersebut dipersepsi
sebagai pemberian informasi bagi seluruh rakyat Indonesia mengenai masalah perijinan yang memakan biaya tinggi dan dibebankan kepada perusahaan migas.
Kata “itu” merujuk kepada pengeluaran perusahaan migas dalam masalah
perijinan, kata “high risk” merupakan kata dalam bahasa inggris yang berarti
resiko tinggi, kata “high cost” merupakan kata dalam bahasa inggris yang berarti biaya tinggi, sedangkan kata “high rhythm” merupakan kata dalam bahasa inggris
yang berarti ritme tinggi. Penutur berusaha memberikan informasi agar
masyarakat umum menjadi tahu perihal mafia migas yang sedang merajalela dan mengakibatkan para investor enggan untuk menanam modalnya di Indonesia,
khususnya dalam sektor migas. Eddy Tampi tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan apapun untuk mendukung daya
informatif, sedangkan unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui
fenomena praangaapan. Sebagai praktisi migas, Eddy Tampi mempunyai
pengalaman mengenai sistem perijinan di Indonesia yang terkesan tidak efisien sehingga memakan biaya yang tinggi. Perijinan yang harus ditempuh oleh praktisi
migas untuk satu perusahaan PSE yang ingin melakukan pengeboran bisa sampai enam puluh jenis dengan mekanisme yang harus urut dan tidak boleh
berbarengan. Selain itu, setiap jenis perijinan juga mengeluarkan biaya yang tinggi.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Penutur berbaik hati memberikan informasi agar
masyarakat umum menjadi tahu perihal mafia migas yang sedang merajalela dan mengakibatkan para investor enggan untuk menanam modalnya di Indonesia,
khususnya dalam sektor migas. Selain kalimat seperti ketiga contoh di atas, unsur intralingual berupa
klausa juga dapat memunculkan daya informatif. Perhatikan tuturan berikut: “Ya kan gini, bank lebih memberikan persyaratan yang lebih mudah kearah sana, ke
SK itu. Iya banknya kan gini yang justru saya memberikan pemahaman ke kalian,
bank ini kadang-kadang memberikan kredit hanya kepada orang-orang yang memiliki kepastian bayar” SSDB29-09-201415. Tuturan tersebut dikatakan
oleh Asep Rahmatullah yang merupakan anggota DPRD Banten yang sudah menggadaikan SK pengangkatannya kepada bank.
Unsur intralingual yang digunakan dalam tuturan tersebut berupa klausa
“justru saya memberikan pemahaman ke kalian, bank ini kadang-kadang memberikan kredit hanya kepada orang-orang
yang memiliki kepastian bayar”. Klausa tersebut dipersepsi sebagai pemberian informasi kepada seluruh rakyat
Indonesia tentang kebijakan bank mengenai kriteria orang yang akan diberikan pinjaman adalah orang yang memiliki kepastian membayar mempunyai gaji
setiap bulan. Klausa tersebut menggunakan frasa “memberikan pemahaman”
untuk mengindikasikan bahwa penutur ingin memberikan informasi kepada seluruh rakyat indonesia. Klausa tersebut sengaja digunakan oleh penutur untuk
menimbulkan efek komunikatif agar masyarakat tidak terus-terusan menyalahkan anggota dewan yang menggadaikan SKnya karena mereka telah masuk dalam
kriteria peminjam yang ditetapkan oleh bank. Asep Rahmatullah tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tertentu untuk
mendukung informasi yang disampaikan, sedangkan unsur ekstralingual konteks
dimunculkan melalui fenomena praanggapan. Sebagai anggota dewan yang
sudah pernah menggadaikan SK, Asep Rahmatullah mempunyai pengetahuan awal mengenai kriteria orang yang diberikan pinjaman oleh bank adalah orang
yang mempunyai kepastian bayar setiap bulannya.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102 yang memandang prinsip kesantunan
sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Penutur menggunakan
daya informatif secara implisit yang digunakan sebagai pembelaan penutur karena beliau juga termasuk dalam anggota DPRD yang menggadaikan SK. Daya
infomatif yang disampaikan secara implisit tersebut digunakan sebagai wujud pembelaan secara tidak langsung agar tuturan lebih santun dan tidak terkesan
ngotot bahwa dirinya tidak salah karena telah menggadaikan SK. Daya informatif yang muncul dalam acara Sentilan Sentilun selalu
dinyatakan melalui unsur intralingual berupa klausa dan kalimat tidak ada kata atau frasa khas tertentu yang menandakan daya informatif karena hal tersebut
tergantung dari informasi yang hendak disampaikan penutur. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan dalam daya informatif juga bersifat opsional
tergantung keekspresifan penutur namun kebanyakan tanda-tanda tersebut kurang mendukung daya informasi. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks
yang selalu dimunculkan melalui fenomena praanggapan pengetahuan awal yang dimiliki dan inferensi kesimpulan yang diungkapkan dalam pernyataan
pendapat. Daya informatif yang ditemukan dalam objek selalu dinyatakan dengan santun karena penutur berbaik hati memberikan informasi kepada mitra tutur atau
orang yang dimaksud dalam tuturan sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.1.5.2 Daya Ungkap Daya ungkap merupakan bentuk kabar yang digunakan untuk
mengungkapkan suatu pemikiran atau pendapat berdasarkan fakta dan perasaan penutur kepada mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan. Daya ungkap
ini biasanya disertai analisis dan latar belakang tertentu mengapa penutur mengungkapkan hal tersebut. Perhatikan tuturan berikut:
“Jadi angka itu menunjukkan hasil didikan kita dulu. Bahwa pendidikan kita dulu, kan pada
waktu kita sekolah nggak banyak di tes to soal kejujuran dan lain-lain. Nah itu harus dibangun sekarang untuk Indonesia kedepan yang lebih baik. Tapi caranya
gimana? Caranya harus terfokus pada gurunya. Karena yang namanya pendidikan karakter itu tidak bisa diajarkan pakai tulisan. Nggak bisa pakai
lisan” SSDB04-08-201418. Tuturan tersebut dikatakan oleh Anies Baswedan yang menganggap banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini
dikarenakan pendidikan Indonesia yang ridak menanamkan nilai-nilai kejujuran.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Jadi angka itu menun
jukkan hasil didikan kita dulu”, untuk memunculkan daya ungkap.
Kalimat tersebut dipersepsi mengandung informasi yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia mengenai penyebab tingginya korupsi di Indonesia. Penutur
ingin membuka pikiran masyarakat agar mau mendukung penanaman karakter sejak dini. Penutur memaparkan secara jelas tentang contoh pendidikan karakter,
misalnya soal kejujuran yang merupakan kunci utama untuk terhindar dari korupsi. Daya ungkap diperkuat
dengan unsur ekstralingual yang dimunculkan oleh Anies
Baswedan berupa gerakan tangan kanan mengepal dan digerakkan kebelakang untuk memperkuat klausa
“didikan kita dulu”. Gerakan tersebut dipersepsi sebagai gerakan untuk meyakinkan ungkapan yang disampaikan Anies
Baswedan. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan
melalui fenomena inferensi. Anies Baswedan mempunyai pengetahuan mengenai
banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini. Berdasarkan fakta tersebut, Anies Baswedan mempunyai kesimpulan mengenai penyebab tingginya
angka korupsi di Indonesia, yaitu pendidikan karakter yang kurang ditanamkan sejak dini. Anies Baswedan merupakan orang yang sudah lama berkecimpung
dalam dunia pendidikan.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Anies Baswedan berbaik hati memberikan pendapatnya
mengenai penyebab tingginya angka korupsi di Indonesia agar pemerintah segera memperaiki sistem pendidikan di Indonesia. Upaya tersebut perlu dilakukan untuk
meminimalisir angka korupsi di kemudian hari. Daya Ungkap juga dapat muncul dalam unsur intralingual berupa klausa,
seperti pada tuturan “Jadi begini, ternyata kemerdekaan itu harus diartikan merdeka dari keterbelakangan. Nah ya kan. Merdeka dari kebodohan, merdeka
dari kemiskinan, merdeka dari tidak sadar bahwa kita ini negara plural SSDB18-08-201420. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang
menyimpulkan bahwa arti kemerdekaan yang sesuangguhnya merupakan
kemerdekaan terbebas dari keterbelakangan kebodohan, kemiskinan, dan kesadaran akan negara yang plural.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“merdeka dari keterbelakangan, kebodoham, kemiskinan, dan tidak sadar bahwa kita ini negara
plural”, untuk memunculkan daya ungkap. Klausa tersebut dipersepsi sebagai
pemberian informasi bagi publik mengenai arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Selama ini banyak orang yang memaknai bahwa bangsa kita sudah merdeka
karena sudah terbebas dari penjajahan. Namun hal tersebut salah, saat ini bangsa kita belum merdeka karena masih termasuk bangsa yang terbelakang sehingga
masih banyak yang harus kita benahi bersama. Daya ungkap juga diperkuat dengan unsur ekstralingual yang
dimunculkan oleh Ndoro berupa gerakan tangan seperti menghitung sesuatu saat mengucapkan masalah keterbelakangan,
kebodohan, kemiskinan, dan tidak sadar bahwa kita ini negara plural. Gerakan tangan tersebut mengindikasikan ungkapan hal yang harus dicapai suatu negara
yang dikatakan merdeka. Unsur ekstralingual konteks dalam tuturan tersebut
dimunculkan melalui fenomena inferensi. Ndoro mempunyai kesimpulan bahwa
arti kemerdekaan yang sesuangguhnya merupakan kemerdekaan terbebas dari keterbelakaan kebodohan, kemiskinan, dan kesadaran akan negara yang plural.
Negara Indonesia belum bisa dikatakan merdeka karena kita belum bisa terlepas dari masalah-masalah tersebut.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Ndoro berbaik hati memberikan ungkapan pendapatnya
berupa kesimpulan mengenai arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan juga tidak selalu
muncul dan mendukung daya ungkap, seperti dalam tuturan “Ada dua alasan. Pertama butuh dana ya agak besar, keduanya ini tidak ada pelanggaran dan
kebiasaan ini sudah berlangsung lama. Ya, karena ini adalah penawaran dari bank ada dan memang juga bank menjamin dan kita juga memiliki gaji kenapa
tidak? Ketika bank memberikan penawaran itu kebetulan saya ingin membuat modal usaha” SSDB29-08-20146. Tuturan tersebut dikatakan oleh Asep
Rahmatullah yang mengetahui kebiasaan gadai SK yang sering terjadi dan hal tersebut tidak melanggar peraturan yang ada karena tidak ada peraturan yang tegas
mengenai hal tersebut.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Pertama butuh dana ya agak besar, keduanya ini tidak ada pelanggaran dan kebiasaan ini sudah
berlangsung lama
”, untuk memunculkan daya ungkap. Kalimat tersebut
dipersepsi sebagai ungkapan pembelaan Asep Rahmatullah terhadap pertanyaan Ndoro sebelumnya yang terkesan mengejek karena beliau telah menggadaikan
SKnya kepada pihak bank. Penutur menggunakan kalimat tersebut untuk menimbulkan efek komunikatif agar Ndoro dan masyarakat tidak terus
mengejeknya karena hal tersebut tidak melanggar hukum. Asep Rahmatullah tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan apapun untuk
mendukung daya ungkap yang disampaikan, sedangkan unsur ekstralingual
konteks dimunculkan melalui fenomena inferensi. Asep Rahmatullah mempunyai
kesimpulan mengenai kebiasaan gadai SK yang sering dilakukan oleh anggota dewan karena hal tersebut tidak melanggar peraturan. Selama ini belum ada
peraturan yang tegas mengenai larangan menggadaikan SK.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Asep berbaik hati
mengungkapkan alasan para anggota DPRD menggadaikan SK. Asep mengungkapkan hal tersebut agar seluruh rakyat Indonesia menjadi tau dan tidak
melulu menyalahkan anggota DPRD. Berdasarkan beberapa contoh data di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur
intralingual yang digunakan untuk memunculkan daya ungkap adalah klausa dan kalimat. Tidak ada kata-kata khas yang digunakan untuk mengindikasikan daya
ungkap, hal tersebut dikarenakan daya tersebut baru bisa muncul efeknya setelah dalam satu susunan kalimat atau klausa. Unsur ekstralingual tanda-tanda
ketubuhan tidak selalu munucul dan mendukung daya ungkap, hal tersebut tergantung dari keekspresifan penutur. Hal tersebut berbeda dengan unsur
ekstralingual konteks yang selalu muncul karena digunakan untuk mengetahui maksud tuturan. Unsur ekstraigual konteks dalam daya ungkap hanya
dimunculkan melalui fenomena inferensi karena daya ungkap merupakan pendapat atau hasil analisa perorangan yang menarik satu kesimpulan tertentu
mengenai suatu hal. Daya ungkap ini selalu dinyatakan santun karena berusaha
memberikan sesuatu kepada mitra tutur berupa hasil pemikiran dan analisa sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.1.5.3 Daya Jelas Daya jelas merupakan bentuk kabar yang digunakan untuk menjelaskan
sesuatu kepada mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan secara terperinci dan mendetail. Perhatikan tuturan berikut: “Yang pertama di tataran
konsep kita sudah banyak itu, dan sudah ada juga blue frin yang dibuat dua, tiga tahun lalu. Dari zamannya Bu Mari di perdagangan e . . .setelah itu kita sekarang
mulai dengan sentra kreatif. Sentra kreatif itu, dimana para pemuda, para orang- orang kreatif, mereka berkumpul dan membuat satu kreatifitas dan kita dukung.
Dan kita bekerjasama dengan BUMN, swasta dan seterusnya. Ini yang memudahkan e . . . mereka bisa lebih kreatif dan langsung konkret dalam arti
divalidasi. Kita bantu untuk ter masuk pameran dan pemasarannya” SSDB25-
08-20144. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sapta Nirwandar yang mengetahui program-program pemerintah pada sektor pariwisata dan industri kreatif baik
yang sudah maupun belum direalisasikan.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Kita bantu untuk termasuk pameran dan pemasarannya
”, untuk memunculkan daya jelas.
Kalimat tersebut dipersepsi sebagai penjelasan kepada para pelaku industri kreatif agar tidak perlu cemas karena pemerintah akan membantu menyediaan tempat
pameran dan pemasaran. Klausa “kita bantu” mengindikasikan bahwa pemerintah
akan membantu industri kreatif yang ada. Penutur berusaha memberikan penjelasan agar para pelaku yang hendak berkecimpung dalam bidang industri
kreatif tidak resah dan khawatir tentang masa depan industri kecilnya. Daya jelas juga didukung oleh unsur
ekstralingual yang dimunculkan oleh Sapta Nirwandar
berupa gerakan kedua tangan yang diangkat ke depan. Gerakan tersebut
mengindikasikan bahwa beliau sedang menjelaskan sesuatu. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena
praanggapan. Sebagai wakil menteri pariwisata dan industri kreatif, Sapta
Nirwandar mengetahui program-program pemerintah yang sudah maupun yang belum direalisasikan pada sektor pariwisata dan industri kreatif.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Tuturan berdaya jelas tersebut memberikan keuntungan
terhadap para pelaku industri kreatif karena penutur berbaik hati menjelaskan program yang dimiliki oleh pemerintah untuk membantu industri kreatif.
Daya jelas juga muncul dalam tuturan berikut: “Sebetulnya dari surat keputusan mendagri melantik kita sebagai anggota DPR kan datanya semua ada
di sekertariatan dewan. Nah yang melakukan pengajuan kepada bank juga dibantu oleh kesekertariatan dewan. Jadi dialah yang melegalkan bahwa kita
punya gaji” SSDB29-09-201417. Tuturan tersebut dikatakan oleh Asep Rahmatullah yang mengetahui mekanisme pengajuan gadai SK kepada bank
karena selaku anggota DPRD Banten, beliau sudah menggadaikan SKnya.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Nah yang melakukan pengajuan kepada bank juga dib
antu oleh kesekertariatan dewan”, untuk memunculkan daya jelas. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai penjelasan
yang diberikan penutur bahwa pengajuan gadai SK kepada pihak bank juga dibantu oleh kesekertariatan dewan. Kalimat tersebut menimbulkan efek
komunikatif agar pihak lain tidak melulu menyalahkannya yang telah menggadaikan SK karena beliau tidak melanggar hukum yang ada dan hal
tersebut diketahui oleh kesekertariatan dewan dibuktikan dengan pelegalan surat bukti gaji yang merupakan salah satu syarat pengajuan gadai SK. Daya jelas
didukung oleh
unsur ekstralingual
yang dimunculkan oleh Asep Rahmatullan berupa
gerakan kedua tangan diangkat ke depan.
Gerakan tersebut mengindikasikan bahwa penutur sedang menjelaskan sesuatu. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui
fenomena praanggapan atau pengetahuan awal Asep selaku anggota DPRD Banten mengenai mekanisme pengajuan gadai SK kepada bank karena beliau
sudah menggadaikan SKnya pasca pelantikan kemarin.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Asep berusaha
memberikan informasi berupa mekanisme penggadaian SK yang juga dibantu oleh kesekertariatan dewan.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan juga tidak selalu mendukung daya jelas, seperti pada tuturan
“Nah, oleh karena itu kita buat sentra-sentra kreatif ini agar mereka bersama-sama kalau ada apa-apa bisa
dipecahkan bersama-sama tapi jualnya beda-beda karena kreatifnya kan masing- masing” SSDB25-08-201415. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sapta
Nirwandar yang mengetahui tujuan pemerintah mendirikan sentra kreatif adalah untuk memudahkan dalam pemecahan masalah karena dibentuk kelompok-
kelompok.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“kalau ada apa- apa bisa dipecahkan bersama-sama
”, untuk memunculkan daya jelas. Klausa
tersebut menggunakan frasa “ada apa-apa” mengindikasikan suatu masalah yang
muncul, sedangkan kata “dipecahkan” berarti dicari solusinya secara bersama-
sama dari masalah tersebut. Secara keseluruhan, klausa tersebut dipersepsi sebagai penjelasan bagi para pelaku industri kreatif tentang fungsi sentra-sentra kreatif
yang dibuat oleh pemerintah, yaitu sebagai tempat musyawarah untuk memecahkan suatu masalah menyangkut anggota sentra kreatif. Bila dihadapi
secara bersama-sama, maka masalah apapun yang melanda suatu sentra kreatif akan mendapatkan solusi terbaik bagi semua pihak. Sapta Nirwandar tidak
memunculkan tanda-tanda ketubuhan apapun untuk mendukung daya jelas yang diungkapkan, sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui
fenomena praanggapan. Sapta Nirwandar mengetahui tujuan sentra kreatif yang
dibuat oleh pemerintah, yaitu untuk memudahkan para pelaku industri kreatif dalam pemecahan masalah. Beliau mempunyai informasi tersebut karena beliau
merupakan salah satu bagian dari pemerintah yang bertugas mengurusi masalah industri kreatif , yaitu menempati posisi wakil menteri pariwisata dan industri
kreatif.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Penutur berbaik hati untuk memberikan penjelasan kepada
para pelaku industi kreatif mengenai fungsi sentra-sentra kreatif yang dibuat oleh pemerintah.
Berdasarkan beberapa contoh data di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang digunakan untuk memunculkan daya jelas adalah klausa dan
kalimat. Tidak ada kata-kata khas yang digunakan untuk mengindikasikan daya ungkap, hal tersebut dikarenakan daya tersebut baru bisa muncul efeknya setelah
dalam satu susunan kalimat atau klausa. Unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan tidak selalu munucul dan mendukung daya jelas, hal tersebut
tergantung dari keekspresifan penutur. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual konteks yang selalu muncul karena digunakan untuk mengetahui
maksud tuturan. Unsur ekstraigual konteks dalam daya jelas hanya dimunculkan melalui fenomena praanggapan karena daya jelas merupakan pemberian
penjelasan berdasarkan fakta. Daya jelas ini selalu dinyatakan santun karena berusaha memberikan sesuatu kepada mitra tutur berupa penjelasan mengenai
suatu hal berdasarkan kenyataan sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.1.5.4 Daya Banding Daya banding merupakan bentuk kabar yang digunakan untuk
memberikan penerangan atau berita dengan mempersamakan dua hal yang berbeda dan memiliki tujuan tertentu. Daya banding berusaha membuat mitra
tutur atau orang yang dimakud dalam tuturan mengetahui persamaan dua hal yang selama ini mereka anggap berbeda. Perhatikan tuturan berikut “Ya, ya, ya
bagaimana mengatasi, mulai dari membenahi pemerintahan, membenahi anggaran. Nah dari pembenahan itu maka lebih mudah mengatasi yang lain gitu
ya. Soal ketegasan juga. Sebetulnya sama, cuma komunikasinya yang berbeda. Yang satu ya kadang-kadang memang agak emosional gitu ya. Yang satu ya . . .ya
tunggu aja nanti juga hilang gitu SSDB11-08-20143. Tuturan tersebut dikatakan oleh Pak Andrinof yang mengetahui gaya kepemimpinan Pak Jokowi
yang terkesan tenang dan gaya kepemimpinan Pak Ahok yang terkesan emosional serta ceplas-ceplos.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Sebetulnya sama, cuma komunikasinya yang berbeda
”, untuk memunculkan daya banding.
Kalimat tersebut dipersepsi sebagai memberikan informasi kepada masyarakat luas, khususnya warga jakarta bahwa sebenarnya Pak Ahok mempunyai kinerja
yang hampir sama dengan Pak Jokowi. Kita ketahui bersama bahwa pada saat itu banyak warga Jakarta yang meragukan Pak Ahok menjadi pengganti Pak Jokowi
karena gaya kepemimpinannya yang terkesan “hobi marah-marah” dipandang
kurang cocok untuk Jakarta. Penutur ingin memberikan informasi kepada warga Jakarta bahwa sebenarnya cara bekerja Pak Jokowi dengan Pak Ahok itu sama,
yaitu bertindak tegas mengatasi permasalahan Jakarta. yang berbeda hanyalah gaya kepemimpinannya. Hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan oleh warga
Jakarta. Penutur tidak memunculkan unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan apapun untuk mendukung daya banding, sedangkan unsur ekstralingual konteks
dimunculkan melalui fenomena praanggapan. Pak Andrinof yang mengetahui
gaya kepemimpinan Pak Jokowi yang terkesan tenang dan gaya kepemimpinan Pak Ahok yang terkesan emosional serta ceplas ceplos.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator
kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan
kepada mitra tutur. Tuturan berdaya banding tersebut memberikan keuntungan
terhadap Pak Ahok karena penutur berusaha memberikan informasi bahwa Pak Ahok memiliki kinerja yang sama dengan Pak Jokowi. Melalui tuturan berdaya
banding tersebut, penutur mempunyai tujuan meyakinkan agar masyarakat Jakarta mendukung Pak Ahok sebagai gubernur Jakarta.
Daya banding juga muncul dalam tuturan “Selain malu menggunakan hak
orang lain, mobil mewah yang memiliki rasio operasi tinggi sudah wajib menggunakan bahan bakar bensin jenis pertamax. Hasilnya, kendaraan yang
menggunakan pertamax akan lebih terawat dibandingkan kendaraan
m enggunakan bensin jenis premium” SSDB15-09-20142. Tuturan tersebut
dikatakan oleh pembaca berita yang digunakan sebagai pembuka acara Sentilan Sentilun mengenai standar bahan bakar yang harus digunakan oleh mobil yang
dibuat sejak tahun 2006 keatas, yaitu pertamax.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Hasilnya, kendaraan yang menggunakan pertamax akan lebih terawat dibandingkan
kendaraan menggunakan bensin jenis premium
”, untuk memunculkan daya banding.
Kalimat tersebut
menggunakan kata
“dibandingkan” yang mengindikasikan perbandingan dua hal yang berkebalikan. Secara utuh, kalimat
tersebut dipersepsi sebagai perbandingan antara mesin mobil yang diisi dengan permium dan mesin mobil yang diisi dengan pertamax. Mesin mobil yang diisi
dengan pertamax menjadi lebih terawat daripada yang diisi dengan premium. Penutur sengaja ingin memberikan informasi melalui pembandingan dua hal agar
rakyat Indonesia lebih cerdas saat akan memilih premium sebagai bahan bakar mobil mewahnya. Penutur tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-
tanda ketubuhan apapun, sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan
melalui fenomena praanggapan. Produser acara tersebut mempunyai
pengetahuan mengenai standar bahan bakar yang harus digunakan oleh mobil yang dibuat sejak tahun 2006 keatas, yaitu bahan bakar yang beroktan sembilan
puluh satu keatas pertamax agar mesin menjadi lebih awet dan hemat bahan bakar. Hal tersebut dikarenakan mesin mobil tahun 2006 keatas sudah menganut
standar emisi euro dua. Bila mobil tersebut diisi menggunakan premium, maka mesinnya akan cepat rusak.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Tuturan berdaya banding tersebut memberikan keuntungan
terhadap rakyat Indonesia karena penutur berusaha memberikan informasi mengenai keuntungan menggunakan pertamax, yaitu membuat mesin menjadi
lebih awet. Daya banding yang dimuculkan dalam acara Sentilan Sentilun memiliki
ciri khas karena hanya menggunakan kalimat sebagai unsur intralingualnya. Kedua data daya banding yang ditemukan tidak memunculkan tanda-tanda
ketubuhan tertentu yang mendukung daya tersebut, sedangkan unsur ekstralingual konteks hanya dimunculkan melalui fenomena praanggapan karena sebelum
membandingkan dua hal tentunya penutur telah terlebih dulu memahami kedua hal tersebut. Daya banding yang ada dalam acara Sentilan Sentilun ini selalu
dinyatakan santun karena tujuan daya banding tersebut adalah memberikan suatu informasi yang menguntungkan mitra tutur sesuai dengan maksim kebijaksanaan
Leech. 4.2.1.5.5 Daya Dukung
Daya dukung merupakan bentuk kabar yang digunakan untuk mendukung pernyataan seseorang. Daya dukung ini biasanya berupa sesuatu yang sudah
dijadikan patokan pasti oleh berbagai pihak, misalnya Undang-Undang, hadist, dan lain sebagainya. Perhatikan tuturan berikut “Bisa Ndoro, karena dalam sistem
konstitusi kita presiden itu memiliki lima puluh persen kekuasaan legislatif. Ini ada pasalnya ya, pasalnya pasal dua puluh ayat dua dan ayat tiga, bahwa yang
namanya RUU itu dibahas bersama presiden dan DPR untuk mendapatkan persetujuan bersama. Ayat tiganya kalau tidak mendapatkan persetujuan
bersama, maka RUU tersebut tidak bisa dimajukan lagi pada persidangan masa
itu. Masih ada, kalau Pak SBY mau, dia cukup bilang saya tidak setuju dengan RUU yang untuk pemiliha
n kepala daerah melalui DPRD” SSDB22-09- 201427. Tuturan tersebut dikatakan oleh Refly Harun yang mengetahui Undang-
Undang mengenai pengesahan RUU yaitu pasal 20 ayat 2 dan 3 tentang pembahasan RUU Pilkada antara Presiden dan DPR untuk mendapatkan
keputusan bersama.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“pasal dua puluh ayat dua dan ayat tiga, bahwa yang namanya RUU itu dibahas bersama presiden
dan DPR untuk mendapatkan persetujuan bersama
”, untuk memunculkan daya dukung. Klausa tersebut dipersepsi sebagai dukungan atas informasi yang
diberikan oleh penutur bahwa RUU Pilkada melalui DPRD masih bisa dibatalkan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak menyetujui RUU tersebut. Daya
dukung tersebut sangat kuat karena menggunakan Undang-Undang sebagai dasarnya. Refly Harun tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan tertentu untuk
memperkuat daya dukung yang diungkapkan, sedangkan unsur ekstralingual
konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan. Sebagai ahli pakar hukum
tata negara, Refly Harun mempunyai pengetahuan awal mengenai Undang- Undang yang mengatur tentang pengesahan RUU yaitu pasal 20 ayat 2 dan 3
tentang RUU pilkada yang harus dibahas secara bersama oleh Presiden dan DPR untuk mendapatkan keputusan bersama.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan
kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Refly Harun
memberikan keuntungan berupa penyampaian Undang Undang yang mengatur RUU. Daya dukung tersebut diungkapkan untuk membuat publik sedikit tenang
karena berdasarkan Undang-Undang, RUU tersebut masih akan dibahas bersama Pak SBY sebelum benar-benar disahkan.
Daya dukung yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun hanya dimunculkan melalui unsur intralingual berupa klausa dan tidak memunculkan
tanda-tanda ketubuhan apapun untuk mendukung daya tersebut tergantung keeskpresifan penutur. Selain itu, juga terdapat unsur ekstralingual konteks yang
selalu menyertai tuturan karena untuk mengetahui tuturan tersebut mendukung suatu pernyataan atau tidak harus melihat dari konteksnya. Konteks tuturan yang
dimunculkan dalam daya dukung yang ditemukan hanya merupakan fenomena praanggapan, karena sebelum menyatakan daya tersebut pasti penutur telah
mengetahui tentang dasar hukum yang mengatur tentang suatu hal yang ingin dinyatakan. Daya dukung ini selalu dinyatakan santun karena selalu memberikan
sesuatu kepada mitra tutur sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.1.6 Daya Penolakan Daya penolakan merupakan kekuatan bahasa untuk yang menunjukkan
reaksi penolakan terhadap suatu ungkapan atau perilaku seseorang yang dimaksud dalam tuturan. Daya penolakan muncul karena penutur tidak sepaham dengan
mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan. Daya penolakan kerap muncul karena penutur merasa dirugikan oleh mitra tutur. Daya penolakan yang
muncul dalam acara Sentilan Sentilun dinyatakan dengan cara protes, bantahan dan ketidaksetujuan.
4.2.1.6.1 Daya Protes Daya protes merupakan bentuk penolakan yang digunakan untuk
menyatakan keberatan terhadap sesuatu yang diungkapkan oleh mitra tutur sebelumnya. Daya protes ini biasanya diungkapkan dengan nada yang keras
karena penutur merasa tidak terima terhadap tuturan mitra tutur sebelumnya. Perhatikan tuturan berikut:
“Interupsi Ndoro, saya mau protes lha ini ternyata sudah kelihatan arahnya Ndoro. Lha ini Sentilun membela, membela, menuntut,
menuntut ujung-ujungnya kemana? Ini nggak adil Ndoro. Makanya saya ingin diperlakukan seperti adil walaupun saya ini nggak mirip sama adil. Lho adil itu
kan biasanya cocoknya sama makmur ya kan? Adil kan adil makmur. Kalau nama saya kan Adil Lontong nggak ada. Tapi saya mohon dipersidangan mahkamah
asmara ini saya diperlakukan secara adil dong. Ini kan ada tujuan lain selain mencari penyelesaian Ndoro
” SSDB08-09-20147. Tuturan tersebut dikatakan oleh Cak Lontong yang keberatan dengan tuntutan Sentilun sebelumnya yang
dianggap tidak masuk akal dan terlalu berat.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Interupsi Ndoro, saya mau protes lha ini ternyata sudah kelihatan arahnya Ndoro
”, untuk
memunculkan daya protes. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai pengungkapan
protes Cak Lontong terhadap tuntutan Sentilun yang dianggap tidak masuk akal dan terkesan ingin
menjatuhkannya. Daya protes juga diperkuat oleh
unsur ekstralingual yang dimunculkan Cak Lontong berupa tangan kanan yang diangkat. Gerakan tersebut merupakan gerakan yang biasanya digunakan oleh
seseorang saat hendak menyatakan pendapat di suatu forum. Selain itu, terdapat
juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena referensi.
Cak Lontong merasa keberatan terhadap tuntutan Sentilun sebelumnya yang ditujukan kepada dirinya. Tuntutan tersebut dianggap tidak masuk akal sehingga
Cak Lontong protes terhadap isi tuntutan tersebut yang seolah ingin menjatuhkannya. Isi tuntutan Sentilun ialah menuntut Cak Lontong dengan
hukuman maksimal dua puluh tahun penjara dengan masa percobaan di Nusa Kambangan, tidak ada potongan hukuman, adanya langsung potong tangan.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo 2008, dalam Pranowo 2012:104, yaitu pemakaian kata-
kata tertentu sebagai pilihan kata diksi yang dapat mencerminkan rasa santun. Tuturan tersebut menggunakan diksi
“interupsi” yang biasanya digunakan sebelum seseorang memotong pembicaraan dan tanda-tanda ketubuhan
berupa tangan diangkat yang biasanya digunakan oleh seseorang saat hendak menyatakan pendapat di suatu forum. Diksi dan tanda-tanda ketubuhan tersebut
dipersepsi santun karena Cak Lontong menggunakannya saat hendak mengajukan protes dan tidak langsung memotong tuturan Ndoro sebelumnya dengan
memohon ijin terlebih dahulu menggunakan diksi dan unsur ekstralingual tersebut.
Daya protes yang muncul dalam acara Sentilan Sentilun ini mempunyai ciri khas, berupa penggunaan kata
“protes”. Namun, kata “protes” tidak dapat
berdiri sendiri karena maksudnya baru tersampaikan setelah berada dalam kalimat. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan dalam data daya
protes yang ditemukan adalah mengangkat tangan. Unsur ekstralingual konteks dalam data yang diperoleh hanya menggunakan fenomena referensi merujuk pada
tuturan mitra tutur sebelumnya, karena protes muncul berdasarkan rujukan tuturan sebelumnya yang dianggap tidak sepaham dengan penutur. Daya protes
yang ditemukan dalam objek penelitian termasuk santun karena menggunakan kata
“interupsi” dan unsur ekstralingual berupa tangan diangkat yang mengindikasikan permohonan ijin sebelum menyampaikan protes sesuai dengan
indikator kesantunan Pranowo, berupa penggunaan diksi santun. 4.2.1.6.2 Daya Bantah
Daya bantah merupakan bentuk penolakan yang digunakan untuk menyangkal pernyataan sebelumnya yang diungkapkan oleh seseorang, misalnya
pada tuturan “Ini Sentilun sebagai penuntut tidak umum. Ini sudah menurut saya melakukan sesuatu yang diluar nalar, menurut saya terlalu berat. Bayangkan
masak saya sampai dua puluh tahun, percobaan dimana tadi? Nusa Kambangan, padahal saya kan hanya melakukan tindak pidana ringan, tipiring. Tindak pidana
ringan, tipiring. Paling- paling ya Cuma tari piring” SSDB08-09-201410.
Tuturan tersebut dikatakan oleh Cak Lontong yang menganggap bahwa tuntutan yang diajukan oleh Sentilun terlalu berat dan tidak sesuai dengan apa yang dia
lakukan tidak masuk akal.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Ini sudah menurut saya melakukan sesuatu yang diluar na
lar, menurut saya terlalu berat”,
untuk memunculkan daya bantah. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai bantahan
terhadap tuntutan Sentilun sebelumnya. Cak Lontong mengungkapkan argumennya melalui frasa “menurut saya” untuk mengungkapkan bantahannya
atas apa yang telah dituntutkan Sentilun. Cak Lontong menganggap bahwa tuntutan yang dicantumkan diluar nalar dan terlalu berat untuk kasus yang telah
dilakukannya. Daya bantah juga diperkuat melalui unsur ekstralingual yang dimunculkan oleh Cak
Lontong berupa gerakan tangan kanan menunjuk- nunjuk ke arah Sentilun. Gerakan tersebut mengindikasikan bantahannya
terhadap tuntutan Sentilun yang tidak masuk akal. Selain itu, terdapat juga unsur
ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena referensi. Bantahan
Cak Lontong disebabkan oleh rujukan tuntutan yang telah dibacakan oleh jaksa penuntut tidak umum yang diperankan oleh Sentilun yang berisi hukuman
maksimal dua puluh tahun penjara dengan masa percobaan di Nusa Kambangan, tidak ada potongan hukuman, adanya langsung potong tangan. Cak lontong
menganggap bahwa tuntutan yang diajukan oleh Sentilun terlalu berat dan tidak sesuai dengan apa yang dia lakukan tidak masuk akal.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar salah satu
indikator Pranowo berupa nilai-nilai luhur pendukung kesantunan 2008, dalam
Pranowo 2012:111, yaitu sikap tenggang rasa sebagai manifestasi sifat rendah hati. Di dalam konteks tuturan tersebut, Cak Lontong secara langsung membantah
secara keras pernyataan Sentilun tanpa memikirkan perasaan Sentilun. Cak Lontong merasa emosi atas tuduhan Sentilun yang tidak masuk akal. Selain itu,
rasa emosi Cak Lontong juga diekspresikan melalui gerakan tangan menunjuk- nunjuk ke arah sentilun yang dipersepsi tidak santun.
Unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung
daya bantah, seperti pada tuturan “Tapi ya bagaimana ya, kita ini bisnis otomatis, kalau tadi masalah itu tidak bisa kita langsung serta merta
mematikan industri otomotif karena biar bagaimanapun industri otomotif kita ini menjadi salah satu penyumbang APBN negara. Ya dari segi perpajakan dan lain-
lain. Supaya diketahui saja tahun lalu kita menjual satu koma dua juta kendaraan bermotor di Indonesia. Lima puluh persen kendaraan yang dijual tadi itu adalah
yang dua ratus juta ke bawah, nah inilah yang tadi menghabiskan, yang ngisi masih pakai premium tadi. Lha inilah yang harus kita benahi sebab it
”s otomatis. Kebijakan tadi yang disebut LCGC dan lain-lain. Apa sih yang terjadi dengan
adanya LCGC dan apa kalau Indonesia tidak melakukan regulasi LCGC? Satu, tidak ada investasi yang masuk ke Indonesia, kedua tidak ada tambahan lapangan
kerja” SSDB15-09-201423. Tuturan tersebut dikatakan oleh Jongkie Sugiarto ketua GAIKINDO yang mengetahui tuturan Ndoro sebelumnya terkesan
menyalahkan GAIKINDO serta ada dampak negatif yang ditimbulkan mengenai kebijakan mobil murah tersebut.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Tapi ya bagaimana ya, kita ini bisnis otomatis, kalau tadi masalah itu tidak bisa kita
langsung serta merta mematikan industri otomotif karena biar bagaimanapun industri otomotif kita ini menjadi salah satu penyumbang APBN negara
”, untuk
memunculkan daya bantah. Kalimat tersebut menggunakan kata
“tapi” untuk
mengindikasikan bantahan terhadap pernyataan Ndoro sebelumnya yang terkesan menyalahkan GAIKINDO dengan diadakannya kebijakan mobil murah. Salin itu,
Jongkie Sugiarto juga memberikan analisa berdasarkan fakta yang ada mengenai APBN yang semakin besar yang mendukung ungkapan bantahannya. Secara
utuh, kalimat tersebut dipersepsi sebagai bantahan Jongkie Sugiarto terhadap pernyataan Ndoro mengenai kebijakan mobil murah hanya berdampak negatif.
Jongkie Sugiarto tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan apapun untuk mendukung daya bantah yang diungkapkannya,
sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui fenomena referensi.
Jongkie Sugiarto merujuk kepada pernyataan Ndoro yang terkesan menyalahkan GAIKINDO dan dampak negatif yang ditimbulkan mengenai kebijakan mobil
murah tersebut. Sebagai ketua GAIKINDO, Jongkie Sugiarto mempunyai pengetahuan awal mengenai dampak positif kebijakan mobil murah bagi APBN
negara yang tentunya akan membuat APBN semakin bertambah.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102 yang memandang prinsip kesantunan
sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Di dalam konteks tuturan
tersebut, Jongkie Sugiarto menyatakan bantahannya secara tidak langsung dengan menggunakan kata tanya bagaimana untuk mengindikasikan kebingungan
sekaligus bantahannya terhadap tuturan Ndoro yang terkesan menyalahkan GAIKINDO.
Daya bantah yang tidak didukung oleh unsur ekstralingual berupa tanda- tanda ketubuhan juga muncul dalam tuturan “Ndoro jangan asal nuduh gitu. Saya
itu tidak mengambil dompetnya Mbak Asri. Sumpah Ndoro mbok digeledah, buk
an saya yang ngambil dompetnya” SSDB22-09-20142. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang membantah tuturan Ndoro sebelumnya yang
menuduhnya mengambil dompet Asri Welas.
Unsur intralingual pada tuturan tersebut berupa kalimat
“Ndoro jangan
asal nuduh gitu”, untuk memunculkan daya bantah. Kalimat tersebut dipersepsi
sebagai bantahan Sentilun terhadap tuduhan Ndoro yang mengatakan bahwa dirinya adalah pencuri. Sentilun menggunakan kalimat tersebut untuk
menimbulkan efek komunikatif agar Ndoro tidak menuduhnya tanpa bukti yang jelas. Penutur tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan untuk mendukung daya
bantah yang diungkapkan, sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan
melalui fenomena referensi. Sentilun menyangkal tuduhan Ndoro yang ada dalam
tuturan sebelumnya. Ndoro menuduh dirinya telah mencuri dompet Asri Welas Tuturan Ndoro menuduh yang ditujuk oleh Sentilun ditunjukkan melalui klausa
“yang nyopet pasti Sentilun”.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan salah satu
indikator penggunaan bahasa santun menurut Pranowo 2005 dan 2008, dalam
Pranowo 2012:103, yaitu menjaga agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa mitra tutur diposisikan pada tempat yang lebih tinggi sikap hormat.
Di dalam tuturan tersebut, Sentilun memposisikan Ndoro sebagai orang yang dihormati dengan menyatakan bantahannya dengan cara meminta bukti kepada
Ndoro tidak mengedepankan emosi, melainkan fakta yang harus dibuktikan oleh Ndoro.
Daya bantah yang muncul dalam acara Sentilan Sentilun ini hanya dimunculkan dalam kalimat sebagai unsur intralingualnya. Daya bantah yang
ditemukan ada yang memunculkan maupun tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan tertentu sebagai pendukung bantahan terhadap pernyataan mitra tutur,
sedangkan unsur ekstralingual konteks hanya dimunculkan melalui fenomena referensi, karena sebelum menyatakan bantahan tentunya penutur merujuk tuturan
mitra tutur sebelumnya yang dianggap tidak sepaham dengannya. Daya bantah yang ditemukan dalam objek penelitian ada yang santun
maupun tidak santun tergantung unsur intralingual dan ekstralingual yang digunakan penutur. Daya bantah santun jika bantahan tersebut dinyatakan secara
tidak langsung sesuai indikator kesantunan Leech yang memandang prinsip kesantunan sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur
secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya dan menghargai posisi mitra tutur kerena memiliki kedudukan lebih tinggi sesuai dengan indikator
kesantunan Pranowo berupa sikap hormat. Sebaliknya, daya batah tidak santun jika penutur langsung menyatakan bantahannya dengan sedikit menyalahkan mitra
tutur melanggar prinsip tenggang rasa. 4.2.1.6.3 Daya Ketidaksetujuan
Daya ketidaksetujuan merupakan bentuk penolakan yang digunakan untuk menyatakan rasa tidak setuju terhadap pendapat atau pernyataan seseorang, seperti
dalam tuturan “Ya jadi gini, alasan biaya itu alasan yang menurut saya tidak
pada tempatnya, kenapa?tentu kan demokrasi itu butuh biaya. Ya masa demokrasi nggak butuh biaya? Orang rapat saja kan butuh biaya. Tetapi tentu kan kita tidak
bisa aple to aple antara pemilihan umum langsung dengan pemilihan tidak langsung” SSDB22-09-201415. Tuturan tersebut dikatakan oleh Refly Harun
yang mengetahui alasan DPR mengajukan RUU Pilkada melalui DPRD, yaitu karena dianggap berbiaya mahal.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“alasan biaya itu alasan yang menurut saya
tidak pada tempatnya”, untuk memunculkan daya ketidaksetujuan. Klausa tersebut menggunakan frasa
“menurut saya” untuk mengindikasikan pendapat penutur, dan frasa
“tidak pada tempatnya” yang berarti tidak tepat untuk mengindikasikan ketidaksetujuan penutur. Secara utuh,
klausa tersebut dipersepsi sebagai ketidaksetujuan penutur terhadap DPR yang mengajuan RUU Pilkada dengan alasan berbiaya tinggi. Setelah klausa tersebut,
penutur juga memberikan cara untuk menghemat pengeluaran saat Pilkada langsung untuk menyadarkan DPR bahwa alasan biaya merupakan alasan yang
tidak tepat. Penutur tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan tertentu untuk mendukung daya ketidaksetujuan, sedangkan unsur ekstralingual konteks
dimunculkan melalui fenomena praanggapan. Refly Harun mempunyai
pengetahuan awal mengenai alasan DPR untuk mengajukan RUU Pilkada melalui DPRD, yaitu karena dianggap berbiaya mahal. Sebagai ahli pakar hukum tata
negara, beliau mempunyai pendapat mengenai pembenahan anggaran yang dapat dilakukan sehingga biaya tidak membengkak seperti anggapan DPR.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102 yang memandang prinsip kesantunan
sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Tuturan tersebut
menggunakan klausa “tidak pada tempatnya” untuk menggantikan maksud
penutur yang ingin mengungkapkan bahwa DPR hanya membuat-buat alasan pengajuan RUU Pilkada melalui DPRD karena ingin mengambil keuntungan
praktik money politik bagi orang yang ingin terpilih sebagai anggota dewan. Daya ketidaksetujuan yang muncul dalam acara Sentilan Sentilun ini
hanya menggunakan klausa sebagai unsur intralingualnya. Daya ketidaksetujuan yang ditemukan kebetulan tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan apapun,
sedangkan unsur ekstralingual konteks hanya dimunculkan melalui fenomena praanggapan, karena sebelum menyatakan ketidaksetujuan tentunya penutur
mempunyai pengetahuan mengenai hal yang tidak sesuai dengan pendapat penutur. Daya ketidaksetujuan yang ditemukan dalam objek penelitian santun
karena menggunakan kata-kata kias untuk menyatakan ketidaksetujuannya terhadap RUU Pilkada yang diajukan oleh DPRD sesuai indikator kesantunan
Leech yang memandang prinsip kesantunan sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan
maksudnya.
4.2.1.7 Daya Pikat Daya pikat merupakan kekuatan bahasa untuk memengaruhi pikiran mitra
tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan. Daya pikat berusaha memengaruhi agar orang yang dimaksud dalam tuturan mau mengikuti apa yang kita
ungkapkan. Mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan bebas untuk mengikuti apa yang diungkapkan oleh penutur atau tidak. Daya pikat ini biasanya
didukung oleh pemikiran yang logis agar mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan mengikutinya. Daya pikat yang muncul dalam acara Sentilan
Sentilun diwujudkan dengan cara menasihati, merayu, memberikan saran dan membujuk.
4.2.1.7.1 Daya Nasihat Daya nasihat merupakan bentuk pikat yang digunakan untuk menasihati
mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan. Jika daya nasihat ini tidak diindahkan, maka akan ada dampak yang akan diterima oleh orang yang dinasihati
tersebut. Perhatikan tuturan berikut: “Menurut analisis saya, pariwisata kita ini Ndoro sebenarnya itu bisa belajar dari negara yang sudah berkembang
” SSDB25-08-201419. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang
mengetahui bahwa ada strategi khusus yang diterapkan Korea yang termasuk dalam negara berkembang sehingga sektor pariwisatanya menjadi semakin maju,
yaitu dengan cara ikut memperkenalkan budaya dan hasil bumi yang khas di Korea.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupaa klausa
“pariwisata kita ini Ndoro sebenarnya itu bisa belajar dari negara yang sudah berkembang
”,
untuk memunculkan daya nasihat. Klausa tersebut menggunakan kata
“bisa” berarti mampu melakukan sesuatu KBBI,2008:199, sedangkan kata
“belajar” berarti berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu KBBI,2008:23. Secara
keseluruhan, klausa tersebut dipersepsi sebagai nasihat agar bangsa Indonesia berusaha mencontoh strategi-strategi yang diterapkan negara berkembang seperti
Korea untuk membuat industri pariwisatanya semakin berkembang dengan cara ikut memperkenalkan budaya dan hasil bumi yang kita punya. Sentilun tidak
memunculkan unsur ekstraligual berupa tanda-tanda ketubuhan apapun untuk mendukung daya nasihat, sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan
melalui fenomena praanggapan. Sentilun mempunyai pengetahuan awal
mengenai negara-negara berkembang yang sudah unggul sektor pariwisatanya seperti Korea. Negara tersebut mempunyai strategi khusus untuk membuat sektor
pariwisata mereka lebih menarik dengan cara ikut memperkenalkan budaya dan hasil bumi yang khas di Korea.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu maxim Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kebijakasanaan
“tact maxim tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Tuturan
tersebut memberikan keuntungan kepada bangsa Indonesia karena nasihat di dalamnya semata bertujuan untuk membuat industri pariwisata Indonesia semakin
berkembang dengan mempelajari strategi yang diterapkan oleh Korea. Daya nasihat ini juga bisa didukung oleh unsur ekstralingual berupa tanda-
tanda ketubuhan tertentu tergantung dari keekspresifan penutur, seperti dalam tuturan
“Jadi, divisi migas ini harus berada di tengah. Pengusahanya happy,
rakyatnya happy, pemerintahnya dapet rejeki, bahkan ekonomi bisa-bisa bergerak. Nah ini persoalannya ini harus dipecahkan. Kedua, pertemuan di Bali
ini, harus membuat suatu skema dimana terjadi kesinambungan. Jadi, antara pemerintahannya SBY dengan pemerintahan Jokowi ini kan kesannya sekarang
saling .... ini bukan ini bukan, maksudnya kesannya saling gontok-gontokan ya untuk menaikkan harga BBM, tidak ini ada kuota, antri semuanya segala macem.
Nah, sekarang harus semuanya legowo. Semuanya diturunkan ke bawah, lupakan semua kepentingan-kepentingan politik. Bagaimana caranya kita memikirkan
rakyat. Nah, harusnya kalau saya berpendapat. Mbok ya, apa ada lah sedikit apa steram buat pemerintah kedepan ini bisa bergerak lebih cepat daripada semuanya
itu bebannya diberikan kepada pemerintah ke depan untuk menaikkan BBM, jadi ini mesti semua SSDB01-09-201412. Tuturan tersebut dikatakan oleh Riyad
Chairil yang mengetahui kinerja pemerintahan Pak SBY selama ini kurang tegas dalam menghadapi masalah kebijakan BBM dengan maksud memperoleh
pencitraan politik.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“sekarang harus semuanya legowo
”, untuk memunculkan daya nasihat. Klausa tersebut
menggunakan kata “sekarang” mengindikasikan saat masa pergantian presiden,
kata “harus” berarti patut atau mesti KBBI,2008:486 yang mengindikasikan
suatu nasihat, kata “semuanya” berarti sekalian KBBI,2008:1265 yang
mengindikasikan Pak SBY dan parpolnya penutur tidak menggunakan penyebutan langsung untuk memperhalus tuturan, sedangkan kata
“legowo” berasal dari bahasa jawa yang berarti ikhlas KJIIJ: 184. Secara utuh, klausa
dipersepsi sebagai nasihat bagi Pak SBY dan parpolnya untuk bekerja ikhlas demi rakyat dan tidak menggunakan masalah kebijakan BBM untuk menimbulkan
pencitraan partai politiknya. Daya nasihat diperkuat melalui unsur ekstralingual yang dimunculkan Riyad
Chairil berupa gerakan kedua tangan diangkat dan diturunkan pelan-pelan. Gerakan tersebut digunakan untuk menekankan nasihat
bahwa sekarang semuanya harus legowo. Selain itu, terdapat juga unsur
ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena praanggapan atau
pengetahuan Riyad Chairil mengenai kinerja pemerintahan Pak SBY selama ini kurang tegas dalam menghadapi masalah kebijakan BBM. Kita ketahui bersama
bahwa selama sepuluh tahun pemerintahan Pak SBY, Indonesia telah mengalami tiga kali kenaikan harga dan 3 kali penurunan harga. Melalui pengetahuan awal
tersebut, penutur dapat melihat bahwa pemerintahan Pak SBY kurang serius menangani masalah BBM dan mengindikasikan adanya kepentingan politik
didalamnya.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu maxim Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kebijakasanaan
“tact maxim tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Tuturan
tersebut memberikan keuntungan kepada Pak SBY karena penutur memberikan nasihat kepada beliau di akhir masa jabatannya. Kita ketahui bersama saat itu
sedang terjadi polemik tentang pembatasan kuota BBM dengan alasan menjaga agar subsidi BBM dapat diberikan sampai akhir tahun. Keadaan tersebut hanya
dapat diantisipasi dengan menaikkan harga BBM karena trend minyak dunia pada saat itu mengalami kenaikan.
Daya nasihat yang muncul dalam acara Sentilan Sentilun ini dinyatakan dengan menggunakan unsur intralingual berupa klausa. Unsur ekstralingual
berupa tanda-tanda ketubuhan dalam daya nasihat juga bersifat opsional tergantung keekspresifan penutur. Unsur ekstralingual konteks dalam data yang
diperoleh hanya menggunakan fenomena praanggapan pengetahuan awal yang dimiliki penutur, karena sebelum menasihati seseorang pasti terlebih dahulu
penutur mempunyai pengetahuan mengenai hal tersebut. Daya nasihat yang ditemukan dalam objek penelitian selalu dinyatakan santun karena memberikan
keuntungan kepada penutur melalui nasihat yang diberikan sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.1.7.2 Daya Rayuan Daya rayuan merupakan bentuk pikat yang digunakan untuk membuat
mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan tersanjung dan merasa bahwa penutur menghargainya, misalnya pada tuturan “Tadi nunggu ya? Giliran datang
menggerutu. Jangan ngambek gitu dong dek Chacha. Kamu tahu nggak kalau kamu ngambek, ta
mbah cantik” SSDB08-09-20141. Tuturan tersebut dikatakan oleh Cak Lontong yang mengetahui bahwa Chacha marah kepadanya
karena dia tidak datang tepat waktu pada episode itu disandiwarakan bahwa Cak Lontong dan Chacha adalah sepasang kekasih.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Kamu tahu nggak kalau kamu ngambek, tambah cantik
”, untuk memunculkan daya rayuan.
Kalimat tersebut dipersepsi sebagai rayuan agar Chacha tidak marah lagi kepada Cak Lontong. Biasanya orang yang marah menunjukkan ekspresi cemberut dan
tidak enak dilihat, namun untuk membuat Chacha tidak marah lagi, Cak Lontong malah mengungkapkan pujian atas ekspresi tersebut.
Daya rayuan juga diperkuat oleh unsur ekstralingual
berupa tangan Cak Lontong yang membawakan bunga untuk Chacha. Membawakan bunga adalah wujud kasih sayang dan juga
dapat menjadi tanda permintaan maaf Cak Lontong karena datang terlambat. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui
fenomena praanggapan atau pengetahuan awal Cak Lontong bahwa Chacha
marah kepadanya karena dia tidak datang tepat waktu. Melalui pengetahuan awal tersebut, Cak Lontong berusaha merayu Chacha agar mau memaafkannya.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu maxim
Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur maksim pujian “praise maxim”. Daya rayuan
yang ada dalam tuturan tersebut berusaha memberikan pujian kepada Chacha agar ia memaafkan Cak Lontong yang telah membiarkannya menunggu lama.
Daya rayuan yang muncul dalam acara Sentilan Sentilun ini dinyatakan dengan menggunakan satu rangkaian utuh bisa berupa klausa maupun kalimat
dan tidak ada kata-kata khas yang digunakan. Unsur ekstralingual berupa tanda- tanda ketubuhan dalam daya rayuan juga bersifat opsional dan kebetulan dalam
data yang ditemukan ada tanda-tanda ketubuhan yang dimunculkan oleh penutur untuk mendukung daya rayuan. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual
konteks yang hanya menggunakan fenomena referensi karena rayuan muncul akibat sebelumnya mitra tutur merasa kesal. Daya rayuan yang ditemukan dalam
objek penelitian termasuk santun karena menyatakan pujian kepada mitra tutur sesuai dengan maksim pertimbangan Leech.
4.2.1.7.3 Daya Saran Daya saran merupakan bentuk pikat yang digunakan untuk memberikan
pertimbangan kepada mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan sebelum mereka melakukan atau mengambil suatu keputusan. Daya saran ini
hanya sekedar memberikan gambaran kepada mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan mengenai dampak positif dan negatif mengenai suatu hal,
misalnya pada tuturan “Memang perlu dipertimbangkan daya dukung kota Jakarta ini ke depan ya. Karena kalau kita lihat kecenderungan sekarang, tingkat
urbanisasi itu makin tinggi. Memang mereka tidak menjadi penghuni kota Jakartanya, tapi penghuni pinggiran Jakarta. Nah, bertumpuknya orang di
pinggiran Jakarta itu menjadi beban untuk jakarta. Kenapa? Karena nyari duitnya di Jakarta. Karena nyari duit di jakarta maka butuh tambahan pelayanan
transportasi di Jakarta. Butuh tambahan sumber air bersih di kota jakarta. Butuh tambahan tempat buang sampah di Jakarta, dan lain-lain. Artinya tambahan
penduduk itu menimbulkan banyak tambahan urusan pelayanan publik, termasuk tambahan lahan makam” SSDB11-08-201420. Tuturan tersebut dikatakan
oleh Andrinof yang mengetahui tingkat urbanisasi menuju Jakarta sangat tinggi.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“Artinya tambahan penduduk itu menimbulkan banyak tambahan urusan pelayanan
publik
”, untuk memunculkan daya saran. Klausa tersebut dipersepsi sebagai
hasil analisa berupa kesimpulan dari apa yang telah dituturkan sebelumnya mengenai daya dukung kota jakarta. Melihat realita yang ada pemerintah harus
menambah pelayanan publik. Klausa tersebut menggunakan kata “artinya”, yang
dalam KBBI 2008:87 berarti maksud yang terkandung. Jadi, maksud yang terkandung dalam tuturan tersebut adalah memberikan informasi tentang
pentingnya penambahan daya dukung kota Jakarta. Penutur tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan apapun yang mendung daya
saran, sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui fenomena
praanggapan. Pak Andrinof mempunyai pengetahuan mengenai kenyataan yang
ada saat ini bahwa tingkat urbanisasi menuju Jakarta sangat tinggi. Banyak orang yang berbondong-bondong pergi ke Jakarta untuk mencari pekerjaan, walaupun
mereka tidak tinggal di Jakarta melainkan di pinggiran Jakarta.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu maxim Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kebijakasanaan
“tact maxim tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Tuturan
tersebut memberikan keuntungan berupa saran yang diungkapkan oleh penutur berdasarkan hasil analisanya dengan melihat kenyataan yang ada bahwa
pemerintah harus memikirkan tambahan pelayanan pubik karena penduduk di Jakarta semakin banyak.
Daya saran juga muncul dalam tuturan “Nah itu dia makannya memang perlu dipertimbangkan soal apakah memindahkan kota pemerintahan. Ibu kota
pemerintahan ya ke luar jawa, misalnya ke Kalimantan atau membikin pusat-
pusat pertumbuhan di luar jawa sehingga arah pergerakan penduduk yang dari desa-desa di Jawa Tengah, Jawa Timur itu ini kebanyakan dari Jawa Tengah,
Jawa Timur. Yang karena itu kelihatan dari pertumbuhan penduduk Jawa Tengah itu yang rendah sementara Jabodetabek itu tinggi sekali. Lima persen itu
mengindikasikan penduduk ini bergerak dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat ke
Jakarta. Jakarta ini bukan Jakarta, pinggir Jakarta” SSDB11-08-201421. Tuturan tersebut dikatakan oleh Andrinof yang
mengetahui penyebab kepadatan kota Jakarta adalah tingkat urbanisasi yang semakin tinggi dari tahun ke tahun.
Unsur intralingual yang digunakan untuk memunculkan daya saran adalah berupa klausa
“perlu dipertimbangkan soal apakah memindahkan kota pemerintahan
”. Klausa tersebut dipersepsi sebagai saran terhadap pemerintah untuk mulai memikirkan pemindahan kota pemerintahan. Hal ini perlu dilakukan
melihat tingkat urbanisasi penduduk yang semakin tinggi di Jakarta setiap tahun dan lahan yang semakin sempit. Padahal, sebenarnya ada wilayah di Indonesia
yang masih mempunyai lahan luas dan memiliki berbagai potensi, sehingga dapat dijadikan pertimbangan sebagai alternatif pemindahan kota pemerintahan,
misalnya di Kalimatan. Pak Andrinof juga tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tertentu untuk mendukung daya saran
yang disampaikan, sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui
fenomena praanggapan. Pak Andrinof mempunyai pengetahuan mengenai
padatnya kota Jakarta yang disebabkan oleh tingkat urbanisasi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Orang-orang yang melakukan urbanisasi ke
Jakarta kebanyakan berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pak Andrinof juga mempunyai pengetahuan mengenai potensi daerah Kalimantan
yang dari segi geologi dan pertimbangan beberapa aspek luas wilayah, daya dukung, jarang terjadi gempa memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai tempat
pemindahan ibu kota.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu maxim Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kebijakasanaan
“tact maxim tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Tuturan
tersebut memberikan
keuntungan kepada
pemerintah karena
penutur menyampaikan hasil analisanya berupa saran untuk memindahkan ibu kota
pemerintahan ke tempat lain yang memiliki potensi lebih baik dari pada Jakarta, yaitu Kalimatan. Kita ketahui bersama bahwa Jakarta adalah sebuah provinsi yang
kecil dan sudah terlalu penuh untuk menampung penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya. Penutur berbaik hati dengan memberikan pendapatnya
berdasarkan pengetahuan yang ia miliki bahwa Kalimantan memenuhi kriteria untuk dijadikan sebagai pemindahan pusat pemerintahan.
Daya saran juga dapat muncul dalam unsur intralingual berupa kalimat, seperti pada tuturan “Sebetulnya gitu ya, yang orang kaya yang mobil mewah itu
dia kan pasti merawat mobilnya di bengkel resmi. Kenapa nggak dicabut aja garansi mobilnya?
”SSDB15-09-201417. Tuturan tersebut dikatakan oleh Bambang Sugiarto yang mengetahui beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah dan GAIKINDO yang tidak dapat memberikan efek jera bagi para
pemilik mobil mewah, misalnya kebijakan stikerisasi dan pemasangan spanduk di pom bensin.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Kenapa nggak dicabut aja garansi mobilnya?
”, untuk memunculkan daya saran. Kalimat
tersebut dipersepsi sebagai saran yang ditujukan kepada lembaga GAIKINDO untuk memberlakukan kebijakan pencabutan garansi bagi mobil yang ketahuan
menggunakan BBM bersubsidi. Penutur menggunakan kalimat tanya agar Bambang Sugiarto mempertimbangkan saran yang dikemukakan. Pernyataan
tersebut dimaksudkan untuk memengaruhi pemikiran ketua GAIKINDO untuk memberlakukan saran tersebut. Bambang Sugiarto tidak memunculkan unsur
ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tertentu untuk mendukung daya saran yang disampaikan, sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui
fenomena praanggapan. Sebagai akademisi teknik mesin UI, Bambang Sugiarto
mempunyai pengetahuan lama mengenai beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan GAIKINDO yang tidak dapat memberikan efek jera bagi
para pemilik mobil mewah, misalnya kebijakan stikerisasi dan pemasangan spanduk di pom bensin.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu maxim Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kebijakasanaan
“tact maxim tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Tuturan
tersebut memberikan keuntungan kepada pemerintah dan GAIKINDO dengan memberikan saran mengenai pencabutan garansi bagi mobil mewah yang
ketahuan menggunakan BBM bersubsidi. Penutur berbaik hati memberikan saran
karena ia melihat selama ini kebijakan yang di ambil oleh pemerintah dan GAIKINDO kurang efektif untuk menimbukan efek jera bagi para pemilik mobil
mewah yang menggunakan BBM bersubsidi Daya saran yang muncul dalam acara Sentilan Sentilun ini dinyatakan
dengan menggunakan satu rangkaian utuh bisa berupa klausa maupun kalimat dan tidak ada kata-kata khas yang digunakan tergantung saran yang
disampaikan. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan dalam daya saran yang digunakan dalam acara Sentilan Sentilun tidak muncul. Selain itu
terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang hanya dimunculkan melalui fenomena praanggapan karena saran yang diberikan tentu didasari oleh
pengetahuan penutur mengenai suatu hal dampak baik dan buruknya. Daya saran yang ditemukan dalam objek penelitian selalu dinyatakan santun karena
memberikan keuntungan kepada mitra tutur dalam wujud saran sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.1.7.4 Daya Bujuk Daya bujuk merupakan bentuk pikat yang digunakan untuk meyakinkan
mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan bahwa apa yg dikatakan oleh penutur benar. Daya bujuk ini biasanya disertai alasan logis agar mitra tutur atau
orang yang dimaksud dalam tuturan bisa memercayai dan mengikuti bujukan penutur, misalnya pada tuturan
“Kalau saya pribadi, saya nggak mempersoalkan. Gubernur kita itu dari suku apa, kalangan apa, dari apalah gitu. Yang penting
betul-betul mau bekerja untuk Jakarta. Jadi memperbaiki kota Jakarta agar kita, masyarakatnya semakin aman. Penduduknya juga nggak was-was kalau kemana-
mana. Karena kita bisa lihat kenyataannya, Jakarta milik orang banyak bukan hanya milik satu golongan SSDB11-08-20145. Tuturan tersebut dikatakan
oleh Asti Ananta yang menyetujui Pak Ahok menjadi gubernur karena sebelumnya dia sudah melihat kinerja beliau yang dianggap baik ketika menjadi
wakil gubernur.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Karena kita bisa lihat kenyataannya, Jakarta milik orang banyak bukan hanya milik satu
golongan
”, untuk memunculkan daya bujuk. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai
pendapat penutur yang berfungsi meyakinkan khalayak umum untuk mendukung Pak Ahok menjadi Gubernur Jakarta fungsi direktif. Kalimat tersebut
mengandung maksud bahwa yang bisa kita lihat sekarang, warga Jakarta terdiri dari berbagai suku dan agama. Kita tidak boleh mencurigai Pak Ahok dengan
alasan berasal dari etnis Tionghoa. Seluruh warga Jakarta hendaknya juga melihat kenyataan yang ada bahwa selama menjadi wakil gubernur, beliau menunjukkan
kinerja yang baik untuk memperbaiki Jakarta. Daya Bujuk juga diperkuat dengan penggunaan unsur
ekstralingual berupa gerakan kedua tangan diangkat membentuk lingkaran. Gerakan tersebut mengindikasikan bahwa Jakarta milik
orang banyak yang memperkuat keyakinan penutur terhadap tidak pentingnya asal golongan seorang pemimpin. Unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui
fenomena tindak tutur. Di dalam tuturan Asti Ananta tersebut mengandung
tindak lokusi berupa pernyataan pendapat, tindak lokusi agar masyarakat yakin mengenai kinerja Pak Ahok yang telah dibuktikan selama menjadi wakil gubernur
tidak hanya memandang bahwa Pak Ahok keturunan Tionghoa, dan tindak ilokusi agar warga Jakarta benar-benar mendukung Pak Ahok menjadi gubernur
Jakarta.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam tuturan tersebut, Asti Ananta memberikan
keuntungan kepada Pak Ahok dengan mengatakan sesuatu yang positif berdasarkan apa yang ia lihat dan tidak ikut-ikutan pihak yang menentang Pak
Ahok sebagai gubernur. Prasangka baik yang diutarakan oleh Asti mempunyai maksud untuk membujuk seluruh warga Jakarta agar mendukung Pak Ahok
sebagai gubernur. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan yang digunakan untuk
mendukung daya b ujuk juga muncul dalam tuturan “Jadi pariwisata itu sekarang
gini, kedatangan di kita ya? Walaupun kita banding-bandingkan setelah cukup bagus sudah sembilan juta hampir. Bayangin kalau dia satu aja beli souvenir
saking medite satu aja, kali tujuh hari, kali tiga kali makan berapa tu? Belum lagi kalau kita juga lihat kita ini juga sudah banyak yang berwisata dalam negeri.
Dan wisata dalam negeri juga tidak kalah. Mereka juga beli souvenir. Umpamanya ke Cirebon beli batik” SSDB15-08-20149. Tuturan tersebut
dikatakan oleh Sapta Nirwandar yang mengetahui bahwa sektor pariwisata semakin berkembang dari tahun ke tahun, hal ini dapat dilihat dari peningkatan
jumlah wisatawan asing dan domestik yang mengunjungi objek-objek wisata tertentu.
Tuturan tersebut mengandung daya bujuk yang ditunjukkan melalui unsur intralingual berupa kalimat
“Bayangin kalau dia satu aja beli souvenir saking medite satu aja, kali tujuh hari, kali tiga kali makan berapa tu?
”. Kalimat tersebut merupakan kalimat tanya namun bukan dimaksudkan untuk menanyakan,
melainkan agar seluruh rakyat Indonesia tertarik untuk membuat industri kreatif. Kalimat tersebut menggunakan kata
“bayangin” agar rakyat Indonesia dapat membayangkan keuntungan yang akan diperoleh bila mereka mendirikan industri
kreatif. Secara utuh, kalimat tersebut dipersepsi sebagai bujukan secara halus dengan cara diberikan gambaran mengenai keuntungan yang akan didapat.
Bujukan tersebut dilakukan agar rakyat Indonesia mendirikan industri kreatif. Daya bujuk juga diperkuat dengan unsur
ekstralingual yang dimunculkan oleh Sapta
Nirwandar berupa gerakan tangan kanan diangkat dan mengacukan satu jari. Gerakan ini digunakan untuk menekankan
pengimajinasian mengenai satu orang membeli satu souvenir. Unsur ekstralingual
konteks dalam tuturan tersebut dimunculkan melalui fenomena praanggapan.
Sebagai wakil menteri pariwisata dan industri kreatif, Sapta Nirwandar mempunyai pengalaman serta analisa yang tepat untuk melihat peluang kedepan.
Beliau mempunyai pengetahuan mengenai sektor pariwisata yang terus meningkat dari tahun ke tahun dan mendatangkan wisatawan baik domestik maupun luar
negeri. Hal tersebut merupakan peluang bagi industri kreatif terutama industri pembuatan souvenir.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan salah satu
Indikator kesantunan menurut Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103 yang
mengungkapkan bahwa tuturan santun dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur
maksim kebijaksanaan “tact maxim”. Tuturan tersebut
memberikan keuntungan bagi orang yang dimaksud dalam tuturan rakyat Indonesia, yaitu berupa bujukan untuk membuat industri kreatif dalam bidang
souvenir karena dapat mendatangkan laba yang besar. Sapta Nirwandar berbaik hati memberikan pengetahuan tersebut karena beliau mampu membaca peluang ke
depan bahwa industri kreatif berupa souvenir ini akan banyak diminati seiring terus bertambahnya jumlah wisatawan dari tahun ke tahun.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan ini tidak selalu muncul dan mendukung daya bujuk, seperti pada tuturan “Jadi pemimpin itu yang dipilih
siapa yang paling layak dari segi kemampuan maupun dari segi kepribadiannya, ya. Bukan untuk memimpin satu kepentingan golongan, kepentingan sempit,
bukan ” SSDB11-08-20146. Tuturan tersebut dikatakan oleh Andrinof yang
mengetahui kinerja Pak Ahok selama menjadi wakil gubernur yang dinilainya cukup baik dan tidak pernah melakukan sesuatu yang merugikan warga Jakarta.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Jadi pemimpin itu yang dipilih siapa yang paling layak dari segi kemampuan maupun dari segi
kepribadiannya, ya
”, untuk memunculkan daya bujuk. Kalimat tersebut
dipersepsi sebagai pendapat penutur yang berfungsi memengaruhi pandangan
khalayak umum untuk mendukung Pak Ahok menjadi Gubernur Jakarta fungsi direktif. Kalimat tersebut bermaksud mengubah padangan publik mengenai isu
yang berdar bahwa jika Pak Ahok diangkat sebagai gubernur, maka beliau akan mendahulukan kepentingan golongannya etnis Tionghoa. Isu tersebut tidak
benar, karena Pak Ahok dipilih karena memang kemampuan dan kepribadiannya baik dan dianggap layak untuk memimpin Jakarta dilihat berdasarkan
pengetahuan lama Pak Andrinof. Pak Andrinof tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan untuk mendukung daya bujuk,
sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui fenomena
praanggapan. Sebagai pengamat kebijakan publik, Pak Andrinof mempunyai
pengetahuan mengenai kepribadian seseorang yang layak untuk dijadikan pemimpin seperti mempunyai rasa tanggung jawab tinggi, tegas, dan mau bekerja
untuk rakyat. Pak Andrinof juga mempunyai pengetahuan mengenai kinerja Pak Ahok selama menjadi wakil gubernur yang dinilainya cukup baik dan tidak
pernah melakukan sesuatu yang merugikan warga Jakarta.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Pak Andrinof
memberikan keuntungan kepada Pak Ahok dengan cara membujuk warga Jakarta untuk mendukung Pak Ahok dengan berbicara sesuatu yang positif mengenai
kinerja Pak Ahok selama ini.
Daya bujuk yang muncul dalam acara Sentilan Sentilun ini dinyatakan dengan menggunakan satu rangkaian utuh bisa berupa klausa maupun kalimat
dan tidak ada kata-kata khas yang digunakan tergantung bujukan yang disampaikan. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan dalam daya
bujuk yang digunakan dalam acara Sentilan Sentilun bisa muncul atau tidak sesuai dengan keekspresifan penutur. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual
konteks yang hanya menggunakan fenomena praanggapan karena bujukan didasarkan pada sesuatu yang diketahui penutur sebelumnya dan tindak tutur
karena bujukan dapat dinyatakan secara tidak langsung. Daya bujuk yang ditemukan dalam objek penelitian selalu santun karena bujukan merupakan usaha
untuk memengaruhi mitra tutur dengan mengatakan sesuatu yang positif mengenai suatu hal sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.1.8 Daya Dugaan Daya dugaan merupakan kekuatan bahasa untuk memperkirakan sesuatu
yang sedang terjadi. Perkiraan ini menyangkut pendapat subjektif penutur terhadap fenomena yang sedang terjadi. Daya dugaan ini muncul didasarkan
kepada kecurigaan penutur terhadap suatu hal, misalnya dalam tuturan “Begini,
begini jadi menteri itu harus saling berkoordinasi. Jangan-jangan sering apa itu namanya, sering ke luar negeri apa namanya, study banding. Nah . . . buat apa,
nggak zamannya lagi” SSDB08-09-201422. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang menganggap studi banding yang dilakukan para pejabat lalu hanya
merupakan wujud pemborosan.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Jangan-jangan sering apa itu namanya, sering ke luar negeri apa namanya, study banding”,
untuk memunculkan daya dugaan. Kalimat tersebut menggunakan kata ulang
“jangan-jangan” yang mengindikasikan kecurigaan. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai dugaan terhadap menteri yang studi banding ke luar negeri memiliki
kepentingan lain, yaitu jalan-jalan. Studi banding sebenarnya hanya merupakan pemborosan uang negara dan kadang dianggap tidak efektif serta mubadzir.
Tuturan tersebut tidak didukung oleh unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tertentu, sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui
fenomena praanggapan. Ndoro menganggap studi banding yang dilakukan para
pejabat lalu hanya merupakan wujud pemborosan. Studi banding hanya dijadikan dalih bagi mereka untuk jalan-jalan keluar negeri menggunakan uang negara.
Ndoro melihat kenyataan yang ada berdasarkan berita ditelevisi yang banyak meliput kegiatan pejabat diluar negeri saat study banding. Mereka cenderung
mempunyai kepentingan lain, yaitu sekedar jalan-jalan dan berbelanja.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar indikator kesantunan Pranowo 2005, dalam Pranowo 2012:103, yaitu adu rasa
penutur tidak mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur. Daya
dugaan yang muncul dalam tuturan tersebut didasarkan pada kecurigaan Ndoro terhadap adanya modus tertentu di balik studi banding yang dilakukan para
pejabat, yaitu jalan-jalan ke luar negeri dengan menggunakan uang negara. Daya dugaan tersebut secara tidak langsung menuduh para pejabat hanya menghabiskan
uang negara dengan dalih studi banding tanpa ada bukti yang jelas sehingga dapat membuat orang yang dimaksud dalam tuturan tersinggung.
Daya dugaan yang muncul dalam acara Sentilan Sentilun ini mempunyai ciri khas, berupa penggunaan kata ulang
“jangan-jangan” untuk mengindikasikan dugaan penutur. Namun kata
“jangan-jangan” tidak dapat berdiri sendiri karena maksudnya baru tersampaikan setelah berada dalam kalimat atau paling tidak
klausa. Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian, kebetulan hanya ditemukkan satu daya dugaan. Daya dugaan tersebut
menggunakan unsur intralingual berupa kalimat dan tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan. Hal ini dikarenakan unsur
ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan dalam daya dugaan juga bersifat opsional dan tergantung pada keespresifan penutur.
Selain itu, ditemukan juga unsur ekstralingual konteks yang hanya menggunakan fenomena praanggapan karena sebelum menyampaikan dugaan
mengenai suatu hal tentunya penutur telah mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut. Daya dugaan yang ada dalam acara Sentilan Sentilun tidak santun karena
didasarkan pada perasaan curiga terhadap mitra tutur tanpa didasari bukti melanggar indikator kesantunan Pranowo, yaitu adu rasa.
4.2.2 Analisis Unsur Intralingual dan Ekstralingual Nilai Rasa Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi
Nilai rasa bahasa merupakan kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan karena penutur mengungkapkan domain afektifnya menggunakan bahasa
dalam berkomunikasi sehingga mitra tutur dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan. Nilai rasa bahasa ini dapat diungkapkan melalui unsur
intralingual bunyi, kata dan pilihan kata, frasa, klausa, dan kalimat dan diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan ekspresi wajah, bahasa
tubuh serta selalu mengandung fenomena konteks tertentu yang digunakan untuk mengetahui kadar rasa suatu tuturan.
Pemanfaatan unsur intralingual dan ekstralingual tersebut digunakan agar mitra tutur dapat menyerap kadar perasaan tuturan yang diucapkan oleh penutur.
Ada berbagai macam kadar perasaan yang ingin disampaikan oleh penutur dengan perantara bahasa yang digunakan baik verbal maupun non verbal, seperti rasa
takut, simpati, sedih, gembira dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan pada 9 episode Sentilan Sentilun yang telah
ditetapkan sebagai objek penelitian, terdapat 15 penggolongan jenis nilai rasa bahasa yang ditemukan, yaitu: nilai rasa takut, nilai rasa sedih, nilai rasa gembira,
nilai rasa marah, nilai rasa halus, nilai rasa yakin, nilai rasa simpatik, nilai rasa cengang, nilai rasa merasa bersalah, nilai rasa ikhlas, nilai rasa religius, nilai rasa
sombong, nilai rasa serius, nilai rasa kasar dan nilai rasa malu. Penggolongan tersebut didasarkan pada unsur intralingual yang digunakan
maupun unsur ekstralingual yang menyertai suatu tuturan baik tanda-tanda ketubuhan maupun konteks yang dapat memunculkan nilai rasa bahasa. Secara
terperinci, penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa bahasa akan dibahas sebagai berikut.
4.2.2.1 Nilai Rasa Takut Nilai rasa takut merupakan kadar perasaan tuturan yang mengandung rasa
gentar ngeri karena akan menghadapi sesuatu yang dianggap merugikan. Nilai rasa takut selalu muncul karena penutur mempunyai pengetahuan mengenai hal
atau tindakan yang dianggap dapat merugikan diri sendiri maupun pihak lain. Nilai rasa takut dapat ditunjukkan melalui berbagai perasaan seperti khawatir,
ragu, sia-sia dan curiga. 4.2.2.1.1 Nilai Rasa Khawatir
Nilai rasa khawatir adalah bentuk ketakutan berupa perasaan gelisah dan cemas terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti kebenarannya. Nilai
rasa khawatir ini biasanya muncul ketika banyak isu yang beredar mengenai suatu hal atau sudah ada orang yang pernah mengalami hal yang dikhawatirkan.
Perhatikan tuturan berikut: “Saya ini, saya ini khawatir sebenarnya, ini berkaitan
dengan nanti kalau subsidi BBM dikurangi, artinya kan terjadi kenaikan harga BBM” SSNRB01-09-201417. Tuturan tersebut dikatakan oleh Cak Lontong
yang mengetahui dampak yang akan terjadi jika subsidi BBM dikurangi, yaitu akan terjadinya kenaikan harga BBM dan berimbas pada kenaikan harga bahan-
bahan pokok.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Saya ini, saya ini khawatir sebenarnya, ini berkaitan dengan nanti kalau subsidi BBM
dikurangi, artinya
kan terjadi kenaikan harga BBM”, untuk memunculkan nilai rasa khawatir. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai kekhawatiran Cak Lontong
terhadap wacana kenaikan harga BBM yang akan berimbas pada kenaikan harga
bahan pokok. Bila hal tersebut terjadi, maka beban rakyat kecil akan semakin berat karena daya beli mereka semakin rendah. Rakyat kecil harus bekerja lebih
keras lagi untuk mendapatkan uang agar kebutuhan pokok mereka tercukupi. Nilai rasa khawatir didukung oleh unsur ekstralingual tanda-
tanda ketubuhan berupa gerakan tangan kanan diangkat ke samping pelipis sambil mata terpejam. Gerakan tersebut mengindikasikan
bahwa Cak Lontong sedang berpikir mengenai dampak kenaikan harga BBM yang membuatnya khawatir. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks
yang dimunculkan melalui fenomena praanggapan atau pengetahuan awal Cak
Lontong mengenai dampak yang akan terjadi jika subsidi BBM dikurangi, yaitu akan terjadinya kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM tersebut akan
berimbas pada kenaikan harga bahan-bahan pokok yang nantinya juga akan memberatkan rakyat miskin.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983 dalam Pranowo, 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam tuturan tersebut, Cak Lontong berusaha
memberikan keuntungan kepada seluruh rakyat Indonesia sebagai orang yang dimaksud dalam tuturan berupa pemberian informasi mengenai wacana kenaikan
harga BBM yang dapat memyababkan harga kebutuhan pokok meningkat. Nilai rasa khawatir juga muncul dalam tuturan
“Yah maksud saya begini lho Pakde, jadi nanti kalau Cak Lontong bener-bener jadi menteri e . . .saya sih
tapi takut gitu e.kira-kira Cak Lontong akan tetap sayang nggak ya sama saya
SSNRB08-09-201423. Tuturan tersebut dikatakan oleh Chacha yang mengetahui banyaknya kasus lelaki yang melupakan wanita yang selalu
mendukung dan mendoakannya saat sudah menjadi orang yang sukses.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“saya sih tapi takut gitu e.kira-kira Cak Lontong akan tetap sayan
g nggak ya sama saya”, untuk
memunculkan nilai rasa khawatir. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai ungkapan
kekhawatiran Chacha terhadap sikap Cak Lontong yang akan berubah jika sudah resmi menjadi menteri. Rasa khawatir Chacha mencul akibat pengetahuannya
mengenai banyaknya laki-laki yang melupakan wanita yang selalu mendukung dan mendoakannya setelah sukses. Nilai rasa
khawatir juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan yang dimunculkan oleh
Chacha berupa gerakan kedua tangan diangkat ke depan dada sambil memunculkan ekspresi wajah khawatir. Gerakan tersebut
mengindikasikan ketakutannya terhadap Cak Lontong yang akan berubah tidak menyayanginya lagi saat sudah resmi menjadi menteri. Selain itu, terdapat juga
unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena praanggapan.
Chacha mempunyai pengetahuan mengenai banyaknya kasus lelaki yang melupakan wanita yang selalu mendukung dan mendoakannya saat sudah menjadi
orang yang sukses. Chacha khawatir Cak Lontong akan meninggalkannya setelah menjadi menteri seperti lelaki kebanyakan.
Tuturan tersebut dipersepsi tidak santun karena melanggar salah satu maxim Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kebijaksanaan
“tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur.
Tuturan tersebut menimbulkan kerugian terhadap Cak Lontong sebagai mitra tutur karena Chacha berprasangka buruk bahwa dirinya akan meninggalkan
Chacha seperti lelaki kebanyakan.
Nilai rasa khawatir juga dapat muncul karena sebelumnya penutur telah mempunyai anggapan tentang suatu sikap yang akan diambil oleh seseorang
karena latar belakang tertentu, seperti pada tuturan “Kelihatannya problem yang akan datang ini, DPRnya...he....
” SSNRB01-09-201419. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang mengetahui KMP merupakan kubu oposisi Pak
Jokowi dan saat ini banyak anggota DPR yang berasal dari KMP.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Kelihatannya problem yang akan datang ini, DPRnya...he....
”, untuk memuncukan nilai rasa khawatir. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai rasa khawatir Ndoro terhadap DPR
yang akan mencekal setiap kebijakan pemerintahan Jokowi. Ndoro khawatir karena melihat saat ini anggota DPR banyak berasal dari koalisi merah putih. Kita
ketahui bersama bahwa KMP dan KIH saat ini terkesan saling bermusuhan. Ndoro takut nantinya DPR yang berasal dari KMP akan
mempersulit setiap kebijakan yang diambil oleh Pak Jokowi. Nilai rasa khawatir juga didukung oleh
unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan berupa
gerakan tangan kanan Ndoro yang menggaruk-garuk pipi. Gerakan tersebut
menandakan bahwa beliau sedang berpikir mengenai dampak yang akan terjadi ke depan melihat nggota DPR banyak yang berasal dari KMP, pikiran tersebut
memunculkan rasa khawatir Ndoro mengenai DPR yang akan mencekal kebijakan Pak Jokowi. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang
dimunculkan melalui fenomena praanggapan. Ndoro memiliki pengetahuan
mengenai anggota DPR yang kebanyakan berasal dari Koalisi Merah Putih. Kita ketahui bersama bahwa Koalisi Merah Putih merupakan koalisi oposisi Pak
Jokowi saat pilpres. Penutur menduga berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki bahwa DPR tidak akan mendukung kebijakan pemerintahan Pak Jokowi
dengan alasan dendam politik.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar salah satu maxim Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kebijaksanaan
“tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur.
Tuturan tersebut menimbulkan kerugian terhadap DPR sebagai orang yang dimaksud dalam tuturan karena Ndoro berprasangka buruk dengan memastikan
bahwa anggota DPR yang berasal dari KMP akan mencekal kebijakan Pak Jokowi. Prasangka buruk tersebut muncul karena didasarkan fakta yang ada
bahwa KMP merupakan kubu oposisi Pak Jokowi. Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang diambil dari Acara
Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang digunakan oleh presenter dan bintang tamu dalam acara tersebut untuk
memunculkan nilai rasa khawatir adalah berupa kalimat. Walaupun ada satu kata yang dominan untuk mengindikasikan nilai rasa khawatir seperti kata
“khawatir”, tetapi kata tersebut tidak dapat dipisahkan dari kalimat. Kata tersebut tidak dapat
berdiri sendiri karena makna dan kadar rasanya baru dapat diketahui setelah berada dalam sebuah kalimat.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan selalu muncul dan mendukung nilai rasa khawatir karena untuk menunjukkan kekhawatiran
diperlukan ekspresi tertentu untuk mengungkapkannnya. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang selalu menyertai tuturan karena dipergunakan
untuk mengetahui kadar rasa yang ada dalam tuturan. Unsur ekstralingul konteks yang memunculkan nilai rasa khawatir dari acara Sentilan Sentilun hanyalah
fenomena praanggapan karena sebelum muncul kekhawatiran mengenai suatu hal pasti penutur mempunyai latar belakang pengetahuan mengenai sesuatu yang
dikhawatirkan karena pernah mengalami sendiri ataupun pernah dialami oleh orang lain.
Nilai rasa khawatir yang ada dalam Acara Sentilan Sentilun ada yang dinyatakan santun maupun tidak santun tergantung tuturan yang digunakan. Nilai
rasa khawatir yang santun biasanya karena selalu memberikan keuntungan kepada mitra tutur berupa pemberian informasi tertentu maksim kebijaksanaan Leech.
Sebaliknya, nilai rasa khawatir yang tidak santun dikarenakan penutur berprasangka buruk terhadap mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan
melanggar maksim kebijaksanaa Leech. Prasangka buruk tersebut muncul berdasarkan fakta yang ada sebelumnya.
4.2.2.1.2 Nilai Rasa Ragu Nilai rasa ragu adalah bentuk ketakutan berupa perasaan tidak mantap
dalam mengambil keputusan, menentukan pilihan, memercayai sesuatu dan lain
sebagainya. Perasaan tidak mantap tersebut muncul akibat mitra tutur takut bahwa keputusan diambil atau pernyataan yang dibuat oleh penutur akan menimbulkan
penyesalan dan kerugian dikemudian hari. Perhatikan tuturan berikut: “Mengurangi impor?Kok enak ya itung-itungannya? Bener nggak sih Mas?”
SSNRB01-09-201418. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang ragu dengan analisa Eddy Tampi yang mengatakan bahwa kita bisa mengurangi impor
jika 250 sumur development diberi syarat mudah perijinanannya dan digarap dengan serius karena resiko kegagalannya hanya dua puluh persen.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat tanya
“Bener nggak sih Mas?
”, untuk memunculkan nilai rasa ragu. Kalimat tersebut
mengandung pertanyaan klarifikasi mengenai pernyataan Eddy Tampi sebelumnya terhadap Riyad Chairil selaku pengamat migas. Sentilun menganggap
bahwa Riyad Chairil dapat mengklarifikasi pernyataan Eddy Tampi tersebut karena beliau merupakan pengamat migas yang tentu mengetahui seluk-beluk
migas. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai keraguan Sentilun terhadap pernyataan Eddy Tampi mengenai pengurangan impor yang bisa kita lakukan
dengan cara mengekfektifkan 250 sumur yang development karena resiko kegagalannya hanya dua puluh persen. Sentilun menganggap hal tersebut sangat
sederhana sehingga ia perlu klarifikasi penjelasan dari orang lain yang memang ahli dalam bidang tersebut Riyad Chairil. Sentilun tidak memunculkan tanda-
tanda ketubuhan apapun untuk mendukung nilai rasa ragu yang ada dibenaknya,
sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui fenomena referensi.
Sentilun ragu dengan analisa Eddy Tampi dalam tuturan sebelumnya yang
mengatakan bahwa bila perijinan terus dipersulit, maka negara akan semakin rugi karena kita harus mengimpor minyak dari luar negeri. Sebenarnya kita bisa
mengurangi impor jika 250 sumur yang development diberi syarat perijinan yang mudah dan digarap dengan serius karena resiko kegagalannya hanya dua puluh
persen.
Tururan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar salah satu maksim Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kebijaksanaan
“tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur.
Tuturan tersebut menimbulkan kerugian terhadap Eddy Tampi sebagai orang yang dimaksud dalam tuturan karena Sentilun menyampaikan rasa kurang
percayanya terhadap pernyataan Eddy yang sudah lama berkecimpung dalam dunia Migas. Di dalam tuturan tersebut, Eddy merasa dirugikan karena Sentilun
tidak memercayainya dan malah mengajukan pertanyaan klarifikasi kepada Riyad Chairil mengenai kebenaran pernyataan Eddy tampi.
Nilai rasa ragu juga muncul dalam tuturan “Cak Lontong emang beneran mau jadi menteri?
” SSNRB08-09-201418. Tuturan tersebut dikatakan oleh Chacha yang mengetahui profesi Cak Lontong sebagai komedian dan tidak pernah
merambah dunia politik.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
tanya “Cak Lontong emang beneran mau jadi menteri?
”, untuk memunculkan nilai rasa ragu. Kalimat tanya tersebut dipersepsi sebagai pernyataan klarifikasi atas dasar
rasa ketidakpercayaan Chacha terhadap ungkapan Cak Lontong yang menyatakan bahwa dirinya akan diangkat menjadi menteri. Chacha ragu pada ungkapan Cak
Lontong tersebut karena sebelumnya ia mengetahui bahwa profesi Cak Lontong adalah sebagai komedian dan tidak pernah merambah ke dunia politik. Rasa ragu
Chacha juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-
tanda ketubuhan yang dimunculkan berupa lirikan mata ke arah Cak Lontong saat menanyakan
pertanyaan konfirmasi tersebut. Gerakan tersebut mengindikasikan bahwa Chacha ragu Cak Lontong akan diangkat menjadi menteri. Selain itu, terdapat juga unsur
ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena referensi atau rujukan
tuturan mitra tutur sebelumnya. Chacha ragu dengan pernyataan Cak Lontong sebelumnya yang mengungkapkan bahwa ia akan menjadi menteri dalam era
pemerintahan Pak Jokowi. Rasa ragu Chacha didasarkan pada pengetahuan lamanya mengenai Cak Lontong yang selama ini berprofesi sebagai komedian dan
tidak pernah merambah ke dunia politik.
Tuturan tersebut dipersepsi tidak santun karena melanggar salah satu maksim Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kebijaksanaan
“tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur.
Tuturan tersebut menimbulkan kerugian kepada Cak Lontong sebagai orang yang dimaksud dalam tuturan karena Chacha merasa ragu bahwa terhadap perkataan
Cak Lontong yang akan diangkat menjadi menteri. Tuturan berikut juga mengandung nilai rasa ragu:
“Yaampun, kok bisa? Kok bisa?
” SSNRB15-09-20147. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang ragu dengan ungkapan Cak Lontong yang mengatakan dengan 20 liter bisa
menempuh jarak Madura-Jakarta.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat tanya “Yaampun, kok bisa” , untuk memunculkan nilai rasa ragu. Kalimat tanya
tersebut dipersepsi sebagai rasa ragu Sentilun terhadap ungkapan Cak Lontong yang mengatakan bahwa tetangganya hanya menggunakan bensin sebanyak 20
liter untuk menempuh jarak Madura-Jakarta. Sentilun ragu karena jarak Madura- Jakarta sangat jauh dan mustahil cukup hanya menggunakan bensin 20 liter.
Berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki Sentilun, ia beranggapan paling tidak untuk menempuh jarak Madura-Jakarta diperlukan bensin sebanyak 452,5
liter. Nilai rasa ragu juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan berupa gerakan
tangan kiri Sentilun yang menunjuk-nunjuk ke arah Cak Lontong sambil beranjak berdiri dari duduknya awalnya Sentilun
duduk. Unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan tersebut dipersepsi sebagai
rasa ragu Sentilun terhadap tuturan Cak Lontong dengan menunjuk ke arah Cak Lontong. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan
melalui fenomena referensi atau rujukan tuturan mitra tutur sebelumnya. Sentilun
ragu dengan ungkapan Cak Lontong sebelumnya yang mengatakan bahwa tetangganya ada yang merupakan sopir bus pariwisata dan hanya menggunakan
bensin 20 liter dari Madura sampai Jakarta. Sentilun mempunyai pengetahuan awal bahwa kendaraan umum bus hanya dapat menempuh jarak 2 km liter,
sedangkan jarak antara Madura ke Jakarta adalah 905 km.
Tuturan tersebut dipersepsi tidak santun karena melanggar salah satu maksim Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kebijaksanaan
“tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur.
Tuturan tersebut menimbulkan kerugian kepada Cak Lontong sebagai orang yang dimaksud dalam tuturan karena Sentilun berprasangka buruk terhadapnya dengan
secara tidak langsung menganggap Cak Lontong berbohong saat mengatakan dengan bensin 20 liter bisa menempuh jarak Madura-Jakarta. Cak Lontong merasa
dirugikan karena keraguan tersebut dapat diartikan bahwa Sentilun tidak percaya dengan apa yang dikatakan.
Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang diambil dari Acara Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang
digunakan oleh presenter dan bintang tamu dalam acara tersebut untuk memunculkan nilai rasa ragu hanyalah berupa kalimat tanya. Kalimat tanya
tersebut bertujuan untuk mengklairifikasi pernyataan mitra tutur sebelumnya yang dianggap janggal kepada mitra tutur sendiri atau orang lain yang sedang terlibat
dalam tuturan. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan
mendukung nilai rasa ragu karena hal tersebut tergantung keekspresifan penutur saat menyatakan keraguannya. Hal ini berbeda dengan unsur ekstralingual konteks
yang selalu menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa yang ada dalam tuturan. Unsur ekstralingul konteks yang memunculkan nilai rasa
ragu dari acara Sentilan Sentilun hanyalah fenomena referensi rujukan tuturan sebelumnya karena keraguan yang ada di benak seseorang muncul akibat tuturan
orang lain mitra tutur yang dianggap janggal atau kurang masuk akal.
Nilai rasa ragu yang ada dalam Acara Sentilan Sentilun selalu dinyatakan secara tidak santun karena sebelumnya penutur selalu berprasangka buruk kepada
mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan melanggar maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.2.1.3 Nilai Rasa Sia-sia Nilai rasa sia-sia adalah bentuk ketakutan berupa perasaan bahwa apa yang
dilakukan percuma dan tidak ada hasilnya, seperti pada tuturan “Kita punya ASEAN free treat agreement, jadi mobil yang diproduksi di Thailand, di Malaysia
masuk ke Indonesia bebas bea. Kalau kami berani melanggar itu, kami kena sangsi dari WTO kan. Oh kalau memang tidak boleh investasi di Indonesia ya
kami inves di Thailand saja. Nanti kami kirim mobilnya ke Indonesia mobilnya, kan sami mawon Pak” SSNRB15-09-201417. Tuturan tersebut dikatakan oleh
Jongkie Sugiarto yang mengetahui dampak negatif yang tetap terjadi jika kebijakan mobil murah yang diproduksi di Indonesia tidak dijalankan, yaitu tetap
akan masuknya mobil murah melalui pasar bebas dan tetap akan membuat jalanan menjadi macet.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“kan sami mawon
”, untuk memunculkan nilai rasa sia-sia. Klausa tersebut menggunakan
frasa “sami mawon” yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti sama saja.
Secara utuh, klausa tersebut dipersepsi sebagai rasa sia-sia yang diungkapkan oleh Jongkie walaupun kebijaakan mobil murah nantinya tidak disetujui oleh
pemerintah. Tindakan pemerintah untuk tidak menyetujui kebijakan mobil murah dianggap hanya akan sia-sia karena walaupun langkah tersebut diambil, mobil
murah tetap bisa masuk ke Indonesia melalui pasar bebas. Akibatnya dampak negatif berupa kemacetan yang semakin parah dan masalah subsidi BBM akan
tetap ada walaupun pemerintah menyetujui atau menolak kebijakan mobil murah tersebut. Jongkie Sugiarto tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan tertentu
untuk mendukung nilai rasa sia-sia, sedangkan unsur ekstralingual konteks
dimunculkan melalui fenomena inferensi kesimpulan penutur. Sebagai ketua
GAIKINDO, Jongkie Sugiarto mempunyai kesimpulan mengenai dampak negatif yang tetap terjadi jika kebijakan mobil murah yang diproduksi di Indonesia tidak
dijalankan, yaitu tetap akan masuknya mobil murah melalui pasar bebas dan tetap akan membuat jalanan menjadi macet. Devisa negara juga akan jebol karena
mobil-mobil yang masuk ke Indonesia melalui pasar bebas diberlakukan
kebijakan bebas bea.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan indikator
kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan
kepada mitra tutur. Di dalam tuturan tersebut, Jongkie Sugiarto berusaha
memberikan keuntungan berupa pemberian informasi kepada seluruh rakyat Indonesia mengenai sulitnya mengambil keputusan bagi pemerintah untuk
menolak atau menerima kebijakan mobil murah karena ujung-ujungnya sama- sama menimbulkan dampak negatif.
Nilai rasa sia-sia yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian hanya terdiri dari satu tuturan. Unsur
intralingual yang ditemukan untuk memunculkan nilai rasa sia-sia hanya berupa
klausa yang tidak didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan apa pun. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang hanya
menggunakan fenomena inferensi kesimpulan penutur karena sebelum mengungkapkan bahwa apa yang akan dilakukan sia-sia tentunya penutur telah
menarik kesimpulan sendiri berdasarkan apa yang ia ketahui. Nilai rasa sia-sia ini selalu dinyatakan santun karena penutur berusaha memberikan informasi kepada
mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan karena sebelumnya ia telah mengetahui bahwa apa yang dilakukan akan sia-sia sesuai dengan maksim
kebijaksanaan Leech. 4.2.2.1.4 Nilai Rasa Curiga
Nilai rasa curiga adalah bentuk ketakutan berupa perasaan sangsi terhadap pendapat, perilaku, atau kejujuran s
eseorang. Perhatikan tuturan berikut: “Woh kalau rakyat, saya percaya memang betul itu. Yaaa sedikit agak berbeda lah.
Kalau mereka baik kan memang karena tulus, ya kan? Wah kalau kamu mend
adak baik itu pasti ada maunya” SSNRB11-08-20145. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang memiliki pengalaman jika sikap Sentilun mendadak
baik pasti ada maksud ingin meminta sesuatu kepadanya.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Wah kalau kamu men
dadak baik itu pasti ada maunya”, untuk memunculkan nilai rasa curiga. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai rasa curiga Ndoro terhadap sikap
Sentilun yang tidak biasa dan mendadak menjadi baik. Melalui klausa tersebut, Ndoro mempersepsi bahwa setiap Sentilun tiba-tiba menjadi baik pasti ia ingin
meminta sesuatu. Nilai rasa curiga juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-
tanda ketubuhan berupa tangan kanan Ndoro yang menunjuk ke arah Sentilun sambil
tersenyum. Gerakan tersebut mengindikasikan
bahwa Ndoro sudah hafal dengan sikap Sentilun yang mendadak baik karena mempunyai maksud tertentu. Selain itu, terdapat juga
unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena praanggapan.
Ndoro mempunyai anggapan berdasarkan pengalaman yang pernah dialami mengenai sikap Sentilun yang mendadak baik karena ingin meminta sesuatu
darinya.
Tuturan tersebut dipersepsi tidak santun karena melanggar indikator kesantunan Pranowo 2005, dalam Pranowo 2012:103, yaitu adu rasa
penutur tidak mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur. Di dalam
tuturan tersebut, Ndoro tidak mempertemukan perasaannya dengan Sentilun karena Ndoro langsung menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaannya
terhadap Sentilun. Ndoro menuduh dan mencurigai bahwa perbuatan baik Sentilun karena menginginkan sesuatu dari Ndoro. Tuduhan dan rasa curiga
tersebut tentu tidak santun karena Ndoro tidak memikirkan perasaan Sentilun sehingga ia merasa dipojokkan.
Tuturan berikut juga mengandung nilai rasa curiga “Ini Hanung
Bramantyo beneran atau yang gadungan ya? Woh iya, KW duanya baru beredar di facebook lho. Jangan-jangan ini Hanung yang ngaku-ngaku Hanung
Bramantyo” SSNRB18-08-20148. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun
yang mengetahui ada seorang pengguna facebook yang foto-fotonya mirip dengan Hanung Bramantyo.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Jangan-jangan ini Hanung yang ngaku-
ngaku Hanung Bramantyo”, untuk memunculkan nilai rasa curiga. Kalimat tersebut menggunakan kata ulang
“jangan-jangan” yang berarti barangkali atau mungkin KBBI,2008:564 untuk mengindikasikan
kecurigaan. Secara utuh, kalimat tersebut dipersepsi sebagai kecurigaan Sentilun terhadap orang yang datang di studio sebagai Hanung Bramantyo yang asli atau
orang yang mirip Hanung Bramantyo. Rasa curiga Sentilun muncul karena adanya orang yang mirip sekali dengan Hanung Bramantyo dan foto orang tersebut saat
ini banyak beredar di facebook. Nilai rasa curiga juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda
ketubuhan yang dimunculkan oleh Sentilun berupa
tangan yang menunjuk-nunjuk ke arah Hanung Bramantyo. Gerakan tersebut mengindikasikan bahwa sentilun merasa curiganya
terhadap orang yang saat itu datang ke studio Hanung Bramantyo.Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena
praanggapan atau pengetahuan awal Sentilun tentang orang yang sangat mirip
dengan Hanung Bramantyo dan fotonya beredar di facebook.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar indikator kesantunan Pranowo 2005, dalam Pranowo 2012:103, yaitu adu rasa
penutur tidak mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur. Sentilun
langsung mencurigai Hanung Bramantyo aebagai Hanung Bramantyo palsu tanpa
memikirkan perasaannya. Tuturan tersebut dinyatakan Sentilun secara eksplisit sehingga tuturannya menjadi tidak santun karena terkesan menuduh atas dasar
kecurigaan yang belum bisa dibuktikan tidak ada fakta yang mendasari. Nilai rasa curiga dalam acara Sentilan Sentilun kebanyakan dinyatakan
melalui unsur intralingual kalimat, seperti dalam tuturan “Politik itu” SSNRB01-09-201413. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang
mengetahui kebijakan naik-turunnya harga BBM pada era pemerintahan SBY.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat “Politik itu”,
untuk memunculkan nilai rasa curiga. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai
kecurigaan Sentilun terhadap Pak SBY yang sengaja menaik-turukan harga BBM untuk mendapatkan pencitraan politik. Sentilun menduga bahwa kebijakan yang
tidak tegas tersebut diambil oleh Pak SBY agar dirinya dapat terpilih lagi menjadi presiden pada periode berikutnya. Kecurigaan tersebut berdasarkan kenyataan
yang ada bahwa saat mendekati pilpres 2009, Pak SBY justru menurunkan harga BBM. Nilai rasa curiga
didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda
ketubuhan berupa gerakan tangan menunjuk-nunjuk
untuk lebih menekankan rasa curiganya terhadap pemerintahan era Pak SBY. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui
fenomena praanggapan. Sentilun mempunyai pengetahuan mengenai kebijakan
naik-turunnya harga BBM yang sering terjadi pada pemerintahan SBY. Selama dua periode menjabat, Pak SBY telah menaikkan harga BBM selama 3 kali dan
menurunkannya selama 3 kali. Penutur menganggap ini pencitraan karena saat
menjelang pemilu 2009, SBY justru menurunkan harga BBM dari 5.000 per liter menjadi 4.500 per liter. Penutur menduga bahwa ini merupakan siasat politik
untuk membuat Pak SBY dapat terpilih lagi menjadi presiden di perode berikutnya.
Tuturan tersebut dipersepsi tidak santun karena melanggar indikator kesantunan Pranowo 2005, dalam Pranowo 2012:103, yaitu adu rasa
penutur tidak mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur. Di dalam
konteks tuturan tersebut, Sentilun tidak mempertemukan perasaannya dengan Pak SBY sebagai orang yang dimaksud dalam tuturan karena ia secara langsung
menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaannya terhadap Pak SBY yang menaik-turunkan harga BBM. Sentilun langsung mencurigai Pak SBY melakukan
hal tersebut karena salah satu strategi politik tanpa memberikan alasan yang kuat berupa sehingga hal tersebut bisa saja menjadi tidak berkenan di hati Pak SBY.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung nilai rasa curiga, seperti pada tuturan
“Begini, begini jadi menteri itu harus saling berkoordinasi. Jangan-jangan sering apa itu namanya, sering ke
luar negeri apa namanya? Study banding. Nah . . . buat apa, nggak zamannya lagi” SSNRB08-09-201424. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang
menganggap study banding pejabat hanya merupakan wujud pemborosan anggaran negara.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Jangan-jangan sering apa itu namanya, sering ke luar negeri apa namanya? Study banding
”,
untuk memunculkan nilai rasa curiga. Kalimat tersebut menggunakan kata ulang
“jangan-jangan” yang mengindikasikan kecurigaan. Secara utuh, kalimat tersebut dipersepsi sebagai kecurigaan Ndoro terhadap menteri yang studi banding ke luar
negeri memiliki kepentingan lain, yaitu jalan-jalan. Kecurigaan Ndoro muncul melihat fenomena yang terjadi saat ini dalam berita di televisi yang banyak
meliput kegiatan pejabat diluar negeri saat study banding. Mereka cenderung mempunyai kepentingan lain, yaitu sekedar jalan-jalan dan berbelanja. Ndoro
tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan apapun untuk mendukung nilai rasa curiga yang ada dibenaknya. Selain itu, terdapat juga
unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena praanggapan.
Ndoro mempunyai anggapan mengenai studi banding yang dilakukan para pejabat lalu hanya merupakan wujud pemborosan. Studi banding hanya dijadikan dalih
bagi mereka untuk jalan-jalan keluar negeri menggunakan uang negara. Ndoro melihat kenyataan yang ada berdasarkan berita di televisi yang banyak meliput
kegiatan pejabat diluar negeri saat study banding. Mereka cenderung mempunyai kepentingan lain, yaitu sekedar jalan-jalan dan berbelanja.
Tuturan tersebut dipersepsi tidak santun karena melanggar indikator kesantunan Pranowo 2005, dalam Pranowo 2012:103, yaitu adu rasa
penutur tidak mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur. Ndoro
tidak mempertemukan perasaannya dengan para pejabat yang melakukan study banding sebagai orang yang dimaksud dalam tuturan karena langsung
mengungkapkan tuduhan atas dasar kecurigaannya terhadap mereka. Ndoro langsung menyatakan kecurigaannya karena beliau berprasangka buruk kepada
para pejabat yang melakukan study banding hanyalah sebagai kedok. Ndoro tidak
memikirkan perasaan para pejabat yang bisa saja tersinggung karena tuduhan atas dasar kecurigaan tersebut.
Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang diambil dari Acara Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang
digunakan oleh presenter dan bintang tamu dalam acara tersebut untuk memunculkan nilai rasa curiga adalah hanya berupa kalimat. Walaupun ada satu
kata yang dominan untuk mengindikasikan nilai rasa curiga seperti kata ulang “jangan-jangan”, tetapi kata tersebut tidak dapat dipisahkan dari kalimat. Kata
ulang tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena makna dan kadar rasanya baru dapat diketahui setelah berada dalam sebuah kalimat.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung nilai rasa curiga, hal tersebut tergantung pada ekekspresifan penutur.
Hal ini berbeda dengan unsur ekstralingual konteks yang selalu muncul menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa yang ada dalam tuturan.
Unsur ekstralingul konteks yang memunculkan nilai rasa curiga dalam acara Sentilan Sentilun hanyalah fenomena praanggapan karena sebelum muncul
kecurigaan mengenai suatu hal pasti penutur mempunyai pengetahuan tertentu mengenai sesuatu yang dicurigai karena dianggap tidak biasa dan menyimpang.
Nilai rasa curiga dalam Acara Sentilan Sentilun selalu dinyatakan tidak santun karena melanggar salah satu indikator kesantunan menurut Pranowo, yaitu adu
rasa. Tuturan yang mengandung nilai rasa curiga selalu menyatakan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan.
4.2.2.2 Nilai Rasa Sedih Nilai rasa sedih merupakan kadar perasaan tuturan yang mengandung rasa
duka dl hati karena suatu sebab tertentu
.
Nilai rasa sedih selalu muncul karena seseorang mengalami atau mengetahui sendiri sesuatu yang memilukan.
Terkadang nilai rasa sedih yang berkadar sangat kuat dapat menyebabkan penutur atau mitra tutur yang mendengarkan tuturan bernilai rasa sedih tersebut sampai
meneteskan air mata. Nilai rasa sedih dapat ditunjukkan melalui berbagai perasaan, seperti rasa prihatin, rasa iba, dan rasa susah.
4.2.2.2.1 Nilai Rasa Prihatin Nilai rasa prihatin adalah bentuk kesedihan yang muncul karena melihat
fenomena tertentu yang mengakibatkan kerugian dan menyangkut hajat hidup orang banyak, misalnya dalam tuturan “Ehm . . .ehm . . .kalau saya prinsipnya
gini, berharapnya Jakarta itu semakin indah, semakin nyaman dan aman untuk warganya, terutama wanita-wanita, perempuan-perempuan yang cantik-cantik
ini. Jadi jangan sampai ada pelecehan. Dimana aja lah. Mau di angkot, mau di kereta KRL itu, mau dimana aja lah, bis kota, jangan. Ada, makanya saya sedih.
Aku sedih hmmm. Iya, terus . .ter us satu lagi” SSNRB11-08-201421. Tuturan
tersebut dikatakan oleh Asti Ananta yang mengetahui masih banyaknya kasus pelecehan seksual terhadap wanita di berbagai fasilitas umum yang marak terjadi
belakangan ini di Jakarta.
Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat
“Aku sedih hmmm
”, untuk memunculkan nilai rasa prihatin. Kalimat tersebut
menggunakan kata “sedih” yang berarti menimbulkan rasa susah dihati
KBBI,2008:1238. Berdasarkan konteks yang menyertai tuturan, kalimat tersebut dipersepsi sebagai rasa prihatin Asti Ananta yang juga merupakan seorang wanita,
melihat pelecehan seksual yang marak terjadi di Jakarta, bahkan didalam fasilitas- fasilitas umum. Nilai rasa prihatin juga didukung
oleh unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan
berupa ekspresi termangu sambi kedua tangan menopang
kepala. Ekspresi
dan gerakan
tersebut mengindikasikan
keprihatinannya terhadap fenomena pelecehan seksual yang marak saat ini. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui
fenomena praanggapan. Asti mempunyai pengetahuan mengenai masih
banyaknya kasus pelecehan seksual terhadap wanita di berbagai fasilitas umum yang marak terjadi belakangan ini di Jakarta. Hal tersebut membuktikan bahwa
tingkat keamanan di daerah Jakarta masih sangat rendah.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim simpati
“sympathy maxim” tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Asti Ananta
mengungkapkan rasa simpatinya dalam bentuk keprihatinan melihat banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi di Jakarta. Sebagai seorang perempuan, Asti turut
merasakan kesedihan karena rendahnya tingkat keamanan di Jakarta.
Nilai rasa prihatin juga tidak selalu didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan tertentu seperti pada tuturan
“Kalangan ekonomi menengah kebawahlah yang pantas menggunakan BBM bersubsidi. Akan sangat
menyedihkan melihat mobil-mobil mewah berjajar antri di SPBU bertuliskan premium” SSNRB15-09-20141. Tuturan tersebut merupakan pembukaan
acara Sentilan Sentilun berupa pembacaan berita mengenai fenomena kelangkaan BBM bersubsidi yang saat ini dan mengakibatkan antrian kendaraan
di sejumlah SPBU, termasuk kendaraan mewah.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Akan sangat menyedihkan melihat mobil-mobil mewah berjajar antri di SPBU bertuliskan
premium”, untuk memunculkan nilai rasa prihatin. Kalimat tersebut dipersepsi
sebagai keprihatinan produser yang melihat banyaknya mobil mewah yang ikut mengantri di pos pengisian premium. Hal tersebut sangat memprihatinkan,
mengingat bila mereka mempunyai uang untuk membeli mobil mewah, mereka termasuk orang yang mampu dan tidak layak menggunakan premium. Kita
ketahui bersama bahwa premium sebenarnya diperuntukkan bagi golongan masyarakat menengah ke bawah dan bukan untuk orang mampu seperti mereka.
Produser merasa prihatin karena masih banyak orang mampu yang mau dianggap tidak mampu dan menggunakan hak rakyat miskin. Tuturan tersebut tidak
memunculkan tanda-tanda ketubuhan apaun untuk mendukung nilai rasa prihatin karena tuturan tersebut terdapat dalam pembacaan berita di awal acara, sedangkan
unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan. produser Sentilan Sentilun mempunyai pengetahuan mengenai fenomena yang
saat ini terjadi, yaitu kelangkaan BBM yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah membatasi jumlah BBM agar kuota subsidi dapat sampai pada akhir
tahun. Saat ini dalam antrian di pom bensin juga banyak mobil-mobil mewah yang ikut berjajar dalam pos pengisian premium.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim simpati
“sympathy maxim” tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, produser
turut merasakan kesedihan rakyat yang kurang mampu karena banyaknya orang kaya yang justru mengambil hak mereka dengan menggunakan BBM bersubsidi.
Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang diambil dari Acara Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang
digunakan oleh presenter dan bintang tamu dalam acara tersebut untuk memunculkan nilai rasa prihatin hanya berupa kalimat. Tidak ada kata-kata khas
yang mengindikasikan nilai rasa prihatin dalam acara tersebut karena rasa keprihatinan baru bisa dirasakan dalam satu kalimat utuh.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung nilai rasa prihatin, hal tersebut tergantung pada ekekspresifan
penutur. Hal ini berbeda dengan unsur ekstralingual konteks yang selalu muncul menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa yang ada
dalam tuturan. Unsur ekstralingul konteks yang memunculkan nilai rasa curiga dalam acara Sentilan Sentilun hanyalah fenomena praanggapan karena sebelum
muncul keprihatinan mengenai suatu hal pasti penutur mempunyai pengetahuan mengenai fenomena tertentu yang membuat penutur merasa prihatin. Nilai rasa
prihatin dalam Acara Sentilan Sentilun selalu dinyatakan santun karena sesuai
dengan salah satu indikator kesantunan Leech, yaitu maksim simpati ikut merasakan kesedihan mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan
berdasarkan fenomena yang sedang mereka alami. 4.2.2.2.2 Nilai Rasa Iba
Nilai rasa iba adalah bentuk kesedihan yang muncul karena rasa belas kasihan dan terharu melihat keadaan yang dialami orang lain, seperti dalam
tuturan “Ya kan kasihan, umurnya berapa, lha nanti keluar udah tua” SSNRB08-09-201413. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang
menganggap tuntutan Sentilun yang berperan sebagai jaksa penuntut terlalu berat dan lama erhadap Cak Lontong yang berperan sebagai terdakwa.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Ya kan kasihan, umurnya berapa, lha nanti keluar udah tua
”, untuk memunculkan nilai rasa iba. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai rasa iba Ndoro terhadap Cak
Lontong yang dituntut hukuman penjara selama dua puluh tahun oleh Sentilun atas tindak pidana ringan yang dilakukan menyakiti hati Chacha. Ndoro merasa
iba karena hukuman tersebut terlalu lama, dan jika Cak Lontong menjalaninya maka saat keluar dari penjara, umurnya sudah tua 65 tahun. Ndoro kebetulan
tidak memunculkan unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan untuk mendukung nilai rasa iba tersebut, sedangkan unsur ekstralingual konteks dalam tuturan
tersebut dimunculkan melalui fenomena praanggapan. Ndoro mempunyai
pengetahuan mengenai tuntutan Sentilun yang diajukan kepada Cak Lontong yang dianggapnya berat, yaitu hukuman maksimal dua puluh tahun penjara, dengan
masa percobaan di Nusa Kambangan, tidak ada potongan hukuman, adanya
langsung potong tangan. Ndoro juga mengetahui usia Cak Lontong yang sudah tidak muda lagi, yaitu berumur 45 tahun.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim simpati
“sympathy maxim” tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Ndoro ikut
merasakan kesedihan Cak Lontong jika harus menerima hukuman sesuai yang dituntutkan oleh Sentilun selaku jaksa penuntut.
Nilai rasa iba juga dapat didukung oleh tanda-tanda ketubuhan tertentu seperti pada tuturan
“Udah, kasihan Mbak Asri itu udah dari tadi mau ngomong” SSNRH22-09-201411. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang merasa
kasihan melihat Asri Welas yang dari tadi ingin berbicara, tetapi selalu dipotong oleh Refly Harun.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Udah, kasihan Mbak Asri i
tu udah dari tadi mau ngomong”, untuk memunculkan nilai rasa iba.
Kalimat tersebut berisi perintah halus bagi Refly Harun dan Sentilun agarberhenti berbicara dan memberikan kesempatan kepada Asri Welas untuk gantian
berbicara karena dari tadi saat Asri hendak berbicara selalu dipotong. Kalimat perintah tersebut muncul karena rasa iba Ndoro melihat ekspresi Asri Welas yang
dari tadi ingin berbicara, tetapi selalu dipotong oleh Refly Harun. Nilai rasa iba juga didukung
oleh unsur ekstralingual yang dimunculkan
Ndoro berupa gerakan tangan seperti
berenang dan mulut yang menganga untuk menirukan ekspresi Asri Welas saat
hendak berbicara tapi selalu dipotong. Selain itu, juga terdapat unsur ekstralingual
yang dimunculkan melalui fenomena referensi atau rujukan Ndoro berupa
ekspresi Asri Welas yang memelas karena saat ia berbicara selalu dipotong oleh Refly Harun.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim simpati
“sympathy maxim” tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur. Dalam konteks tuturan tersebut, Ndoro turut
berbelas kasih kepada Asri Welas yang dari tadi tidak diberikan kesempatan untuk berbicara. Ndoro ikut merasakan kesedihan Asri yang sedari tadi selalu disela
pembicaraannya oleh Refly Harun. Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang diambil dari Acara
Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa iba hanya berupa kalimat. Terdapat
kata-kata khas yang mengindikasikan nilai rasa iba dalam kedua data yang ditemukan, yaitu kata
“kasihan”. Namun, kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena kadar rasanya baru dapat diketahui setelah berada dalam kalimat.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung nilai rasa iba, hal tersebut tergantung pada kekspresifan penutur. Hal
ini berbeda dengan unsur ekstralingual konteks yang selalu muncul menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa yang ada dalam tuturan.
Unsur ekstralingul konteks yang memunculkan nilai rasa iba dalam acara Sentilan
Sentilun adalah fenomena praanggapan dan referensi. Melalui fenomena praanggapan karena rasa iba muncul saat penutur sebelumnya mengetahui apa
yang dialami oleh mitra tutur perihal kemalangan mitra tutur. Sedangkan melalui fenomena referensi karena rasa iba muncul saat mitra tutur
mengungkapkan kemalangannya yang dirujuk melalui tuturan mitra tutur sebelumnya.
Nilai rasa iba dalam acara Sentilan Sentilun selalu dinyatakan santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech, yaitu maksim simpati
ikut merasakan kesedihan mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan berdasarkan kejadian yang mereka alami.
4.2.2.2.3 Nilai Rasa Susah Nilai rasa susah adalah bentuk kesedihan yang muncul karena penutur atau
mitra tutur menghadapi sesuatu yang sukar, sulit dan berat untuk dijalani. Perhatikan tuturan berikut : “Tapi Ndoro, gini Pak yang repot itu kayak kita ini,
pelawak, komedian ini. Mikir sendiri, nglawak sendiri, ditonton sendiri, tertawa sendiri, masuk rumah sakit jiwa sendiri nanti
” SSNRB25-08-201410. Tuturan tersebut dikatakan oleh Cak Lontong yang mengetahui bahwa profesi pelawak
seperti dirinya memiliki resiko tinggi seperti kegilaan.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“yang repot itu
kayak kita ini, pelawak”, untuk memunculkan nilai rasa susah. Klausa tersebut
dipersepsi sebagai ungkapan rasa susah Cak Lontong terhadap profesi yang sedang digelutinya, yaitu menjadi seorang pelawak. Cak Lontong merasa susah
karena pekerjaan yang digelutinya ternyata sangat berat dan dapat beresiko
menimbulkan kegilaan. Berdasarkan pengalaman yang ia miliki, Cak Lontong merasa pekerjaannya sangat berat karena ia harus berpikir keras untuk
menghasilkan lelucon, kadang-kadang harus tertawa sendiri, dan beresiko menimbulkan kegilaan. Klausa tersebut menggunakan kata
“repot” untuk memperkuat nilai rasa susah yang diungkapkan oleh Cak Lontong. Cak Lontong
tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan apa pun untuk mendukung nilai rasa susah yang hedak ia sampaikan, sedangkan unsur ekstralingual konteks dalam
tuturan tersebut dimunculkan melalui fenomena praanggapan. Cak Lontong
mempunyai pengetahuan awal mengenai profesinya sebagai pelawak yang mengandung banyak resiko. Berdasarkan pengalamannya, Cak Lontong
menganggap bahwa seorang pelawak merupakan perkerjaan yang merepotkan karena untuk menghasilkan sebuah lelucon mereka harus berpikir sendiri, bila
lelucon yang dihasilkan tidak lucu mereka harus tertawa sendiri, dan jika mereka tidak dapat menguasi pikiran, maka mereka akan terbawa dalam lawakan yang
mereka mainkan sehingga dapat mengakibatkan kegilaan.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Cak Lontong berusaha
memberikan informasi kepada para komedian sebagai orang yang dimaksud dalam tuturan perihal bahaya yang setiap saat mengintai komedian jika mereka
tidak bisa menguasai diri saat membuat lelucon, yaitu menyebabkan kegilaan. Cak
Lontong berbaik hati memberikan informasi agar para komedian dapat kontrol diri saat membuat lelucon.
Nilai rasa susah juga muncul dalam tuturan “Bukan minyak tanah, minyak telon. Kamu jangan banyak ngomong. Saya ini pusing tujuh keliling, mumet,
muter-muter kepala c ari bensin nggak dapet ini lho” SSNRB01-09-20143.
Tuturan tersebut dikatakan oleh Cak Lontong yang sudah mengelilingi berbagai tempat namun tidak mendapatkan premium.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Saya ini pusing tujuh keliling, mumet, muter-muter kepala cari bensin nggak dapet ini lho
”, untuk
memunculkan nilai rasa susah. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai rasa susah
Cak Lontong karena wacana kenaikan BBM mengakibatkan kelangkaan sehingga rakyat harus mengantri bahkan menyisir tempat-tempat terpencil yang menjual
bensin eceran untuk mendapatkannya. Fenomena kelangkaan BBM ini bahkan dimanfaatkan oleh pedagang eceran yang masih mempunyai persediaan bensin
untuk menjualnya dalam harga yang sangat tinggi. Kalimat tersebut menggunakan klausa
“pusing tujuh keliling, mumet, muter-muter kepala” untuk menekankan rasa susah akibat BBM yang semakin langka. Nilai
rasa susah juga didukung oleh unsur ekstralingual
tanda-tanda ketubuhan berupa ekspresi sedih serta tangan kanan Cak Lontong yang diangkat dan diayunkan ke kiri dan ke
kanan saat mengucapkan kalimat tersebut untuk mengindikasikan kepusingannya
mencari bensin kata “muter-muter”. Selain itu, juga terdapat unsur ekstralingual
konteks yang dimunculkan melalui fenomena praanggapan atau pengetahuan
Cak Lontong karena sudah mengalami sendiri susahnya mencari BBM bersubsidi. Saat itu sedang terjadi fenomena kelangkaan premium yang disebabkan oleh
wacana kenaikan harga BBM. Masyarakat menjadi panik dan mengakibatkan mengularnya antrian di SPBU. Selain itu, fenomena ini digunakan oleh orang
tidak bertanggungjawab untuk menimbun BBM sehingga BBM menjadi semakin langka.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Cak Lontong
memberikan keuntungan kepada rakyat Indonesia berupa pengungkapan kritikan tidak langsung kepada pemerintah untuk segera mengatasi kelangkaan BBM agar
rakyat tidak terus-terusan dibuat susah. Cak Lontong berbaik hati menyampaikan kritikan kepada pemerintah melalui acara tersebut karena melalui media televisi,
maka kritikan yang disampaikan akan lebih mengena. Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang diambil dari Acara
Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa susah adalah berupa kalimat dan klausa.
Tidak ada kata-kata khas yang mengindikasikan nilai rasa susah dalam acara tersebut karena rasa susah baru bisa dirasakan dalam satu kalimat atau paling
tidak satu klausa. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan
mendukung nilai rasa susah, hal tersebut tergantung pada keekspresifan penutur.
Hal ini berbeda dengan unsur ekstralingual konteks yang selalu muncul menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa yang ada dalam tuturan.
Unsur ekstralingul konteks yang memunculkan nilai rasa susah dalam acara Sentilan
Sentilun hanyalah
fenomena praanggapan
karena sebelum
mengungkapkan kesusahannya penutur mengetahui suatu hal atau mengalami sendiri hal tersebut. Nilai rasa susah dalam acara Sentilan Sentilun selalu
dinyatakan santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech, yaitu maksim kebijaksanaan karena tuturan bernilai rasa susah selalu memberikan
informasi kepada mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan
4.2.2.3 Nilai Rasa Gembira Nilai rasa gembira merupakan kadar perasaan tuturan yang mengandung
rasa senang karena suatu sebab tertentu
.
Nilai rasa gembira dapat muncul karena seseorang mengalami sendiri kesenangan itu atau bahkan turut merasakan
kesenangan orang lain. Nilai rasa gembira dapat ditunjukkan melalui berbagai perasaan, seperti rasa berbahagia, rasa bangga dan rasa puas.
4.2.2.3.1 Nilai Rasa Berbahagia Nilai rasa berbahagia adalah bentuk kegembiraan yang muncul akibat
penutur mengalami sendiri atau mengetahui suatu kejadian yang membuat hatinya merasa senang. Nilai rasa berbahagia ini juga dapat dirasakan oleh orang yang
turut merasa senang atas kebaikan yang diterima orang lain. Perhatikan tuturan berikut: “Pakdemu ini lagi bahagia. Bahagia, siapa yang nggak bahagia punya
pemimpin baru. . .waha. . .” SSNRB04-08-20143. Tuturan tersebut dikatakan
oleh Ndoro yang mengetahui hasil Pilpres 2014 yang dimenangkan oleh pasangan pilihannya, yaitu Jokowi-JK.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Pakdemu ini lagi bahagia
”, untuk memunculkan nilai rasa berbahagia. Kalimat tersebut
menggunakan kata “bahagia” yang berarti keadaan atau perasaan senang dan
tenteram KBBI,2008:114. Secara utuh, kalimat tersebut dipersepsi sebagai perasaan senang Ndoro karena Pak Jokowi telah menang dalam pilpres 2014.
Ndoro merasa senang karena Pak Jokowi merupakan capres pilihannya. Nilai rasa berbahagia juga
didukung oleh unsur ekstralingual yang dimunculkan
oleh Ndoro berupa ekspresi wajah bahagia. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimuculkan melalui fenomena praanggapan atau
pengetahuan lama Ndoro mengenai hasil pilpres 2014 yang dimenangkan oleh pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Pak Jokowi merupakan capres pilihan Ndoro saat
pilpres 2014 kemarin.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim simpati
“sympathy maxim” tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Ndoro
mengungkapkan rasa simpatinya dengan wujud merasakan bahagia karena Pak Jokowi sebagai orang yang dimaksud dalam tuturan terpilih sebagai Presiden.
Nilai rasa berbahagia juga muncul dalam tuturan 19 “Saya senang waktu
ngomong mbelgedes ” SSNRB04-08-201438. Tuturan tersebut dikatakan oleh
Anies Baswedan yang merasa senang saat mendengar kata “Mbelgedes” dalam
tuturan Ndoro sebelumnya yang mengejek pernyataan Sentilun karena ingin memeluk Chacha.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Saya senang waktu ngomong mbelgedes
”, untuk memunculkan nilai rasa berbahagia. Kalimat
tersebut menggunakan kata “senang” yang berarti suka atau gembira
KBBI,2008:1267. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai perasaan senang penutur terhadap kata
“mbelgedes” yang digunakan oleh Ndoro dalam tuturan sebelumnya untuk mengejek pernyataan Sentilun yang ingin
memeluk Chacha. Nilai rasa berbahagia juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda
ketubuhan berupa ekspresi bahagia Anies Baswedan tertawa yang
mengindikasikan bahwa ia senang. Selain itu, juga terdapat unsur ekstralingual
konteks dimunculkan melalui fenomena referensi atau rujukan tuturan Ndoro
sebelumnya yang menggunakan kata “mbelgedes” saat mengejek pernyataan
Sentilun karena ingin memeluk Chacha.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim perimbangan
“consideration maxim” tuturan dapat mengungkapkan sebanyak- banyaknya rasa senang kepada mitra tutur. Di dalam tuturan tersebut, Anies
Baswedan mengungkapkan kesenangannya terhadap Ndoro sebagai orang yang dimaksud dalam tuturan karena ungkapan “mbelgedes” yang digunakan untuk
mengejek Sentilun.
Unsur intralingual yang memunculkan nilai rasa berbahagia tidak hanya berupa kalimat seperti kedua contoh di atas, melainkan ada pula yang ditandai
oleh klausa, seperti pada tuturan “Ndoro pokoknya sekarang ini saya senang banget. Saya ingin memberikan selamat kepada pemimpin yang baru. Selamat
menjalankan amanat yang mungkin memang berat, maka jadilah pemimpin yang dicintai rakyat, buka
n pemimpin yang ditakuti rakyat” SSNRB04-08-201439. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang mengetahui hasil pilpres yang
dimenangkan oleh capres pilihannya, yaitu Pak Jokowi.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“pokoknya sekarang ini saya senang banget
”, untuk memunculkan nilai rasa berbahagia.
Klausa tersebut menggunakkan kata “senang” yang berarti suka atau gembira
KBBI,2008:1267. Secara utuh, klausa tersebut dipersepsi sebagai perasaan senang Sentilun karena presiden yang baru saja terpilih dalam pilpres kemarin
sesuai dengan pilihannya, yaitu Pak Jokowi. Nilai rasa berbahagia didukung oleh unsur ekstralingual
tanda-tanda ketubuhan yang dimunculkan Sentilun
berupa gerakan kedua tangan ditangkupkan ke depan dada dan mata yang terpejam untuk mengekspresikan rasa senangnya karena Pak Jokowi terpilih
menjadi presiden. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang
dimuculkan melalui fenomena praanggapan atau pengetahuan awal Sentilun
mengenai Pak Jokowi yang baru saja memenangkan pilpres 2014. Pak Jokowi merupakan capres pilihan Sentilun.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim simpati
“sympathy maxim” tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur. Di dalam tuturan tersebut, Sentilun
mengungkapkan rasa simpatinya dengan cara ikut merasakan kebahagiaan Pak Jokowi yang terpilih sebagai Presiden RI. Pak Jokowi juga merupakan capres
pilihan Sentilun.
Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang diambil dari Acara Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang
digunakan untuk memunculkan nilai rasa berbahagia adalah berupa kalimat dan klausa. Di dalam nilai rasa berbahagia pada acara ini menggunakan kata-kata khas
yang mengindikasikan nilai rasa berbahagia, seperti kata “bahagia” dan
“senang”. Walaupun demikian, namun kata-kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena kadar rasanya baru diketahui setelah berada dalam kalimat atau
paling tidak klausa. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan selalu muncul dan
mendukung nilai rasa berbahagia, yaitu ekspresi wajah bahagia. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks juga selalu muncul menyertai tuturan
karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa yang ada dalam tuturan. Unsur ekstralingul konteks yang memunculkan nilai rasa berbahagia dalam acara
Sentilan Sentilun adalah fenomena praanggapan dan referensi. Melalui fenomena praanggapan karena sebelum mengungkapkan kebahagiaannya tentunya penutur
mempunyai pengetahuai mengenai suatu kejadian yang membuatnya merasa
senang, sedangkan melalui fenomena referensi karena rujukan tuturan mitra tutur sebelumnya dapat menimbulkan rasa senang pada diri penutur.
Nilai rasa berbahagia dalam acara Sentilan Sentilun selalu dinyatakan santun karena memenuhi dua indikator kesantunan Leech, yaitu maksim simpati
ikut merasakan kebahagiaan mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan dan maksim pertimbangan mengungkapkan kesenangannya atas apa yang
diungkapkan mitra tutur. 4.2.2.3.2 Nilai Rasa Bangga
Nilai rasa bangga adalah bentuk kegembiraan yang muncul akibat penutur turut merasa senang atas keberhasilan atau hasil karya orang lain seperti pada
tuturan “Menurut analisis saya, setiap kita itu bicara karya kreatif, karya seni kita itu lalu jadi bangga dengan warisan nenek moyang kita. Lho, lha Borobudur itu
kan warisan nenek moyang kita ” SSNRB25-08-20147. Tuturan tersebut
dikatakan oleh Sentilun yang mengetahui banyaknya warisan kebudayaan dan situs budaya Indonesia seperti borobudur, batik, wayang dan lain-lain.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“setiap kita itu bicara karya kreatif, karya seni kita itu lalu jadi bangga dengan warisan nenek
moyang kita
”, untuk memunculkan nilai rasa bangga. Klausa tersebut dipersepsi
sebagai ungkapan rasa bangga Sentilun terhadap warisan kebudayaan kita yang sangat banyak dan bahkan sudah mendunia. Sentilun merasa bangga karena karya
kreatif dan karya seni yang diciptakan nenek moyang dulu mampu bertahan dan diperkenalkan sampai dunia internasional. Klausa tersebut menggunakan kata
“bangga” untuk lebih memperkuat rasa bangga yang dimiliki oleh Sentilun. Nilai
rasa bangga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda
ketubuhan yang
dimunculkan
Sentilun berupa gerakan kedua tangan diangkat ke depan sambil menyentuh dada
untuk mengindikasikan kebanggan penutur terhadap warisan nenek moyang. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui
fenomena praanggapan atau pengetahuan Sentilun mengenai warisan
kebudayaan dan situs budaya yang diwariskan oleh nenek moyang sangat banyak seperti borobudur, batik, wayang dan lain-lain. Bahkan warisan kebudayaan
tersebut sudah ada yang mendunia, misalnya batik.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun memberikan
keuntungan berupa pemberian informasi kepada seluruh rakyat Indonesia mengenai warisan kebudayaan dan situs budaya yang dimiliki oleh Indonesia
cukup banyak serta membanggakan karena ada yang sampai dikenal oleh dunia, yaitu batik.
Nilai rasa bangga yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian hanya terdiri dari satu tuturan. Unsur
intralingual yang ditemukan untuk memunculkan nilai rasa bangga hanya berupa klausa yang terdapat kata-kata khas untuk mengindikasikan kebanggan, yaitu kata
“bangga”. Walaupun demikian, kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena kadar rasanya baru dapat dirasakan setelah berada dalam klausa.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan selalu muncul dan mendukung nilai rasa bangga. Unsur ekstralingual konteks yang digunakan untuk
memunculkan nilai rasa bangga hanya fenomena peraanggapan karena sebelum mengungkapkan kebanggannya terlebih dahulu penutur memiliki latar belakang
pengetahuan mengenai apa yang dibanggakan. Nilai rasa bangga ini selalu dinyatakan santun karena penutur berusaha memberikan informasi kepada mitra
tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan perihal prestasi yang wajib dibanggakan sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.2.3.3 Nilai Rasa Puas Nilai rasa puas adalah bentuk kegembiraan yang muncul karena harapan
atau hasrat hati seseorang telah terpenuhi. Nilai rasa puas ini merupakan wujud kelegaan hati, seperti dalam tuturan “Semoga pasangannya klop karena saya
mendengar bisik-bisik tetangga, sekarang ini kalau mau ngurus apa-apa kecil, gampil, kalau mau ngurus birokrasi lancar, ngurus KTP cepet, no bayar-
bayar” SSNRB11-08-201419. Tuturan tersebut dikatakan oleh Asti Ananta yang
mengetahui layanan birokrasi di Jakarta sebelum pemerintahan Pak Jokowi yang dipersulit dan layanan setelah pemerintahan Pak Jokowi yang lebih cepat,
nyaman, dan tanpa mengeluarkan biaya.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“sekarang ini kalau mau ngurus apa-apa kecil, gampil, kalau mau ngurus birokrasi lancar,
ngurus KTP cepet, no bayar-bayar
”, untuk memunculkan nilai rasa puas. Klausa
tersebut dipersepsi sebagai ungkapan kepuasan Asti Ananta sebagai warga Jakarta terhadap sistem birokrasi yang diperbaiki saat pemerintahan Pak Jokowi. Asti
ananta menilai saat ini dalam urusan pelayanan birokrasi, warga Jakarta lebih dimudahkan daripada saat pemerintahan Pak Fauzi
Bowo. Nilai rasa puas juga didukung oleh unsur ekstralingual
tanda-tanda ketubuhan
berupa
gerakan tangan kanan diangkat dan jari telunjuk dan jempol di satukan
untuk mengindikasikan kata ”kecil, gampil”. Selain
itu, Asti juga memunculkan gerakan tangan kanan diangkat dengan jempol disatukan dengan jari
tengah dan telunjuk kemudian digerak-gerakan untuk mengindikasikan kata
“no bayar-bayar”. Kedua unsur ekstralingual tersebut dimunculkan asti sebagai wujud rasa puasnya terhadap pelayanan birokrasi saat pemerintahan Pak Jokowi.
Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui
fenomena praanggapan atau pengetahuan lama asti mengenai layanan birokrasi
di Jakarta sebelum pemerintahan Pak Jokowi dan setelah pemerintahan Pak Jokowi. Asti Ananta merasa setelah pemerintahan Pak Jokowi, pelayanan
birokrasi di Jakarta menjadi lebih cepat, nyaman, dan tanpa mengeluarkan biaya.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
pertimbangan “considerate maxim” tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang kepada mitra tutur. Di dalam konteks
tuturan tersebut, Asti Ananta mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang
kepada Pak Jokowi yang mampu ngubah sistem pelayanan birokrasi di Jakarta yang semula dipersulit menjadi dipermudah sehingga membuat warga semakin
nyaman. Nilai rasa puas yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun yang
dijadikan sebagai objek penelitian hanya terdiri dari satu tuturan. Unsur intralingual yang ditemukan untuk memunculkan nilai rasa puas hanya berupa
klausa dan tidak ada kata-kata khas apapun yang mengindikasikan perasaan puas karena rasa puas yang ada dalam tuturan tersebut baru terlihat dalam satu klausa
untuh. Nilai rasa puas yang ditemukan didukung oleh unsur ekstralingual berupa tanda tanda ketubuhan.
Unsur ekstralingual konteks yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa puas hanyalah fenomena praanggapan karena sebelum mengungkapkan
kepuasannya tentunya penutur telah mengetahui hal yang membuatnya merasa puas dalam konteks tuturan ini berupa perbandingan pelayanan birokrasi. Nilai
rasa puas ini selalu dinyatakan santun karena penutur berusaha mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang kepada mitra tutur karena harapan dan
keinginannya telah dipenuhi sesuai dengan maksim pertimbangan Leech.
4.2.2.4 Nilai Rasa Marah Nilai rasa marah merupakan kadar perasaan tuturan yang mengandung rasa
sangat tidak senang karena dihina, diperlakukan tidak sepantasnya dan lain sebagainya. Nilai rasa marah dapat ditunjukkan melalui berbagai perasaan, seperti
rasa jengkel, rasa tersinggung, rasa kecewa, rasa cemburu, dan rasa sakit hati.
4.2.2.4.1 Nilai Rasa Jengkel Nilai rasa jengkel adalah bentuk kemarahan yang muncul karena perasaan
kesal terhadap perilaku atau perkataan seseorang yang tidak sesuai dengan keinginan serta
melanggar suatu aturan tertentu, misalnya pada tuturan “Yang kemarin itu dalam kampanye orang-orang pandai malah merusak sendi-sendi
demokrasi. Asem tenan ” SSNRB04-08-201424. Tuturan tersebut dikatakan
oleh Sentilun yang mengetahui banyaknya kecurangan yang dilakukan oleh orang-orang pandai dalam pilpres 2014 kemarin, misalnya dengan menerbitkan
majalah Obor Rakyat.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Asem tenan”,
untuk memunculkan nilai rasa jengkel. Kalimat tersebut berasal dari ungkapan
bahasa jawa yang termasuk dalam umpatan untuk mengindikasikan kejengkelan penutur terhadap orang pintar yang justru merusak demokrasi dengan
menyebarkan isu demi menjatuhkan salah satu pihak. Selain itu, kalimat tersebut diakhiri dengan tanda seru yang mengindikasikan penekanan keras saat Sentilun
mengucapkan kalimat tersebut. Nilai rasa jengkel didukung
oleh unsur
ekstralingual tanda-tanda
ketubuhan yang dimunculkan Sentilun berupa bibir yang dimonyongkan dan nada tinggi saat mengucapkan kalimat tersebut. Selain
itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui
fenomena praanggapan atau pengetahuan awal Sentilun mengenai banyak
praktek kecurangan yang dilakukan oleh orang-orang pandai dalam pilpres 2014
kemarin. Misalnya saja majalah obor rakyat yang menjelek-jelekkan Pak Jokowi. Majalah tersebut tentunya dibuat oleh orang yang pandai dan ahli dibidangnya.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
puian “praise maxim” tuturan dapat memberikan pujian pada mitra tutur.
Dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun telah melanggar maksim pujian dengan mengungkapkan umpatan dalam bahasa Jawa Asem tenan kepada orang-orang
pintar sebagai orang yang dimaksud dalam tuturan yang merusak demokrasi dengan menyebarkan kampanye hitam.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan juga beragam dan bisa saja terdapat lebih dari unsur ekstralingual yang digunakan untuk mendukung
nilai rasa jengkel, misalnya dalam tuturan “Huh, aku udah sebel ah, aku udah ngambek, aku marah, aku nggak suka, pokoknya aku kesel
”SSNRB08-09- 20142. Tuturan tersebut dikatakan oleh Chacha yang merasa jengkel karena
telah menunggu Cak Lontong dari jam dua belas sampai jam lima sore.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Huh, aku udah sebel ah, aku udah ngambek, aku marah, aku nggak suka, pokoknya aku kesel
”,
untuk memunculkan nilai rasa jengkel. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai
ungkapan kejengkelan Chacha terhadap Cak Lontong yang tidak menepati janjinya dengan datang terlambat. Chacha jengkel karena harus menunggu lama
kedatangan Cak Lontong. Kalimat tersebut menggunakan kata “huh” yang berarti
kata seru untuk menyatakan rasa kesal hati KBBI,2008:508 dan kata “sebel”,
“ngambek”, “marah”, “nggak suka”, “kesal” untuk memperkuat ungkapan
kejengkelan yang dirasakan oleh Chacha. Nilai rasa jengkel juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan yang dimunculkan oleh Chacha berupa
gerakan membalikan tubuh saat Cak Lontong datang sambil kedua tangan bersedekap. Chacha juga memunculkan ekspresi wajah marah, nada bicara
yang tinggi dan kedua tangan diangkat kemudian dihempaskan ke bawah
saat menuturkan kalimat tersebut untuk memperlihatkan kejengkelannya.
Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui
fenomena pranggapan atau pengetahuan lama Chacha mengenai janji Cak
Lontong kemarin yang akan datang pada pukul dua belas.Chacha sudah menunggu Cak Lontong dari jam dua belas hingga jam lima sore. Cak Lontong
ingkar janji kepada Chacha karena ia terlambat datang dan membiarkan Chacha menunggu lama.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar salah satu
indikator Pranowo berupa nilai-nilai luhur pendukung kesantunan 2008, dalam
Pranowo 2012:111, yaitu sikap tenggang rasa. Sikap tenggang rasa adalah
manifestasi dari sikap rendah hati. Dalam konteks tuturan tersebut, Chacha tidak menghargai perasaan Cak Lontong tenggang rasa karena ia langsung meluapkan
kejengkelannya tanpa mau mendengarkan alasan mengapa Cak Lontong datang terlambat. Chacha hanya mengedepankan emosi dan tidak bisa kontrol diri
sehingga tuturannya terkesan tidak menghargai perasaan Cak Lontong.
Unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan juga tidak selalu dimunculkan untuk mendukung nilai rasa jengkel seperti pada tuturan “Mas Sentilun itu suka
ngawur tau nggak. Ini filmnya tu film tentang perjuangan. Saya akan jadi suster yang ikut membantu menolong pejuang-pejuang kemerdekaan yang terluka di
medan perang, keren kan? ” SSNRB18-08-20145. Tuturan tersebut dikatakan
oleh Chacha yang merasa jengkel terhadap peringatan bernanda menuduh yang diberikan oleh Sentilun agar tidak bermain dalam film porno.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Mas Sentilun itu suka ngawur tau nggak”, untuk memunculkan nilai rasa jengkel. Kalimat
tersebut dipersepsi sebagai ungkapan kejengkelan Chacha terhadap Sentilun yang memperingatkan dengan nada menuduh bahwa ia hendak bermain film porno.
Kalimat tersebut menggunakan kata “ngawur” yang mengindikasikan perkataan
Sentilun tidak berdasar dan hanya asal bicara. Chacha tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan apa pun untuk mendukung nilai rasa
kesal yang diungkapkannya. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks
dimunculkan melalui fenomena referensi atau rujukan tuturan Sentilun
sebelumnya yang berisi peringatan kepada dirinya untuk tidak bermain film porno bersama Miyabi yang merupakan akttof film porno. Padahal kenyataannya
Chacha akan menjadi aktor yang berperan sebagai suster dalam film Soekarno garapan Hanung Bramantyo.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar salah satu
indikator Pranowo berupa nilai-nilai luhur pendukung kesantunan 2008, dalam
Pranowo 2012:111, yaitu sikap tenggang rasa. Sikap tenggang rasa adalah
manifestasi dari sikap rendah hati. Dalam konteks tuturan tersebut, Chacha langsung mengungkapkan rasa jengkelnya tanpa memikirkan perasaan Sentilun.
Chacha mengedepankan emosi saat bertutur sehingga tuturannya menjadi tidak santun.
Selain itu, perasaan jengkel juga dapat muncul karena rasa tidak terima penutur akibat ada seseorang yang membicarakan hal tidak benar tentang dirinya
merasa difitnah tanpa bukti yang jelas. Misalnya dalam tuturan “Ini ngawur, ini ngacau ini, ini fitnah ini Pak. Siapa bilang seprei?
” SSNRB25-08-20146. Tuturan tersebut dikatakan oleh Cak Lontong yang merasa kesal dengan
pernyataan Sentilun karena menuduh bahwa bajunya terbuat dari kain seprei. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai ungkapan kejengkelan Cak Lontong terhadap
Sentilun yang telah menuduhnya membuat baju dari kain seprei. Kalimat tersebut menggunakan kata
“ini” untuk menekankan kata “ngawur”, “ngacau”, dan “fitnah” yang dipergunakan Cak Lontong sebagai ungkapan kejengkelannya. Cak
Lontong tidak terima dengan pernyataan Sentilun karena bajunya merupakan batik berkualitas dan bukan berasal dari kain seprei seperti tuduhan Sentilun. Nilai
rasa jengkel juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan yang dimunculkan oleh Cak
Lontong berupa gerakan tangan kiri menunjuk- nunjuk ke arah Sentilun sebagai wujud kejengkelannya terhadap Sentilun yang
telah menuduhnya membuat baju dari kain seprei. Selain itu, terdapat juga unsur
ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena referensi atau rujukan
tuturan Sentilun sebelumnya yang berisi tuduhan bahwa baju Cak Lontong terbuat
dari kain seprei. Cak lontong jengkel dengan pernyataan Sentilun tersebut karena bajunya merupakan batik berkualitas dan bukan berasal dari kain seprei seperti
tuduhan Sentilun.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar salah satu
indikator berupa nilai-nilai luhur pendukung kesantunan Pranowo 2008, dalam
Pranowo 2012:111, yaitu sikap tenggang rasa. Sikap tenggang rasa adalah
manifestasi dari sikap rendah hati. Dalam konteks tuturan tersebut, Cak Lontong langsung mengungkapkan kekesalannya kepada Sentilun tanpa memikirkan
perasaannya. Hal tersebut dikarenakan Cak Lontong mengedepankan emosi saat bertutur sehingga tutturannya menjadi tidak santun. Selain itu, Cak Lontong juga
memunculkan gerakan menunjuk-nunjuk langung ke arah Sentilun yang mengindikasikan bahwa ia tidak menghargai Sentilun dengan berusaha
memojokkannya. Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang dipaparkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa unsur intralingual yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa jengkel dapat berupa klausa dan kalimat. Di dalam nilai rasa jengkel ini tidak
ada kata-kata khas yang menandainya, hal tersebut dikarenakan rasa jengkel dalam suatu tuturan baru dapat dirasakan dalam satu susunan klausa maupun
kalimat utuh. Unsur intralingual yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa jengkel dalam acara Sentilan Sentilun dapat berisi umpatan maupun tuturan yang
dianggap mampu memberikan efek jera bagi orang yang dimaksud dalam tuturan orang yang membuat jengkel.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul untuk mendukung nilai rasa jengkel yang ingin disampaikan. Hal tersebut
tergantung dari keekspresifan penutur. Namun ada hal yang khas dari nilai rasa jengkel ini, yaitu penggunaan nada yang tinggi untuk mengindikasikan
kejengkelan penutur. Sedangkan unsur ekstralingual konteks selalu menyertai tuturan bernilai rasa jengkel karena hal tersebut digunakan untuk mengetahui
kadar rasa suatu tuturan. unsur ekstralingual konteks yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa jengkel adalah fenomena praanggapan dan referensi.
Fenomena praanggapan digunakan apabila nilai rasa jengkel dilatarbelakangi oleh kejadian atau perilaku tertentu yang tidak berkenan di hati, sedangkan fenomena
praanggapan digunakan apabila nilai rasa jengkel dilatarbelakangi oleh perkataan mitra tutur sebelumnya yang tidak berkenan di hati penutur.
Pengungkapan nilai rasa jengkel ini selalu dinyatakan secara tidak santun. karena pada umumnya tuturan hanya mengedepankan emosi sehingga tuturannya
dapat berupa umpatan melanggar maksim pujian Leech. Selain itu, tuturan juga tidak menghargai perasaan mitra tutur melanggar indikator kesantunan Pranowo
berupa sikap tenggang rasa atau menghargai perasaan mitra tutur karena kejengkelan diungkapkan secara langsung.
4.2.2.4.2 Nilai Rasa Tersinggung Nilai rasa tersinggung adalah bentuk kemarahan yang muncul karena
penutur merasa dihina melalui perkataan mitra tutur sebelumnya, misalnya pada tuturan “Kok pakai garis bawah?” SSNRB04-08-201420. Tuturan tersebut
dikatakan oleh Ndoro yang mengetahui tuturan Sentilun sebelumnya yang menggunakan frasa “laki-laki tua” bermaksud menghinanya.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Kok pakai garis bawah?
”, untuk memunculkan nilai rasa tersinggung. Kalimat tersebut
merupakan kalimat tanya yang bukan dimaksudkan untuk menanyakan, melainkan untuk mengungkapkan bahwa penekanan dan lirikan mata yang
dilakukan oleh Sentilun telah menyinggungnya. Kalimat tersebut menggunakan frasa
“garis bawah” yang mengindikasikan penekanan Sentilun terhadap frasa “laki-laki tua” yang dibuktikan melalui nada yang ditekankan saat mengucapkan
frasa tersebut disertai dengan lirikan mata yang mengarah kepadanya. Nilai rasa tersinggung juga diperkuat melalui unsur ekstralingual tanda-tanda letubuhan
yang dimunculkan oleh Ndoro berupa gerakan tangan kanan diangkat ke depan perut dan
membentuk garis dari kiri ke kanan. Selain itu,
terdapat juga unsur ekstralingual konteks dalam tuturan tersebut yang
dimunculkan melalui fenomena referensi atau rujukan tuturan Sentilun
sebelumnya yang menggunakan nada penuh penekanan dan melirik padanya saat mengucapkan frasa
“laki-laki tua” ketika memberikan nasihat kepada Chacha.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan salah satu
indikator kesantunan Pranowo berupa nilai-nilai pendukung kesantunan 2008,
dalam Pranowo 2012, yaitu sikap menjaga perasaan. Di dalam konteks tuturan
tersebut, Ndoro berusaha menjaga perasaan Sentilun dengan menggunakan kalimat tanya untuk menyatakan rasa tersinggungnya. Ndoro tidak langsung
mengungkapkan bahwa dirinya merasa tersinggung, namun terlebih dahulu beliau bertanya kepada Sentilun apa maksud nada penekanan yang diberikannya pada
frasa “laki-laki tua” dalam tuturan sebelumnya. Ndoro masih berusaha menjaga
perasaan Sentilun walaupun sebenarnya belau merasa tersindir dengan tuturan Sentilun sebelumnya.
Nilai rasa tersinggung yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun yang ditetapkan sebagai objek penelitian hanya satu tuturan. Unsur intralingual
yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa tersinggung dalam acara tersebut hanya berupa kalimat. Terdapat unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan yang
mendukung nilai rasa tersinggung. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang selalu muncul menyertai tuturan karena dipergunakan untuk
mengetahui kadar rasa yang ada dalam tuturan. Unsur ekstralingul konteks yang memunculkan nilai rasa tersinggung dalam acara Sentilan Sentilun hanyalah
fenomena referensi. Hal tersebut dikarenakan rasa tersinggung muncul karena disebabkan tuturan mitra tutur sebelumnya. Nilai rasa tersinggung dalam acara
tersebut selalu dinyatakan santun karena menjaga perasaan mitra tutur dengan menggunakan kalimat tanya untuk menyatakan rasa tersinggung sesuai dengan
indikator kesantunan pranowo berupa sikap menjaga perasaan. 4.2.2.4.3 Nilai Rasa Kecewa
Nilai rasa kecewa adalah bentuk kemarahan yang muncul karena apa yang diinginkan tidak sesuai dengan kenyataan. Nilai rasa kecewa ini pada awalnya
menuntut mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan yang diinginkan penutur, namun dalam kenyataannya hal
tersebut tidak dapat diwujudkan. Perhatikan tuturan berikut: “Lucunya ini lho ndoro, kok pemerintah nggak turun?
” SSNRB01-09-201412. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang mengritik pemerintah kerena terkesan tidak perduli
saat harga-harga barang kebutuhan naik pasca kenaikan harga BBM bersubsidi.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Lucunya ini lho ndoro, k
ok pemerintah nggak turun?”, untuk memunculkan nilai rasa kecewa.
Kalimat tersebut dipersepsi sebagai ungkapan rasa kecewa Sentilun terhadap pemerintah yang terkesan tidak perduli saat harga-harga barang kebutuhan naik
pasca kenaikan harga BBM bersubsidi. Pemerintah seharusnya melakukan sesuatu agar rakyat yang sudah miskin tidak semakin
sengsara. Nilai rasa kecewa juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan
berupa gelengan kepala yang mengindikasikan
bahwa Sentilun tidak habis pikir dengan sikap pemerintah tersebut. Sentilun mengekspresikan kekecewaannya melalui unsur ekstralingual yang ia munculkan.
Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui
fenomena praanggapan atau pengetahuan Sentilun sebelumnya mengenai sikap
pemerintah yang terkesan cuek dengan tidak mengeluarkan kebijakan apapun saat terjadi kenaikan harga bahan pokok pasca kenaikan harga BBM bersubsidi.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102 yang memandang prinsip kesantunan
sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Di dalam konteks tuturan
diatas, Sentilun menggunakan ungkapan pertanyaan yang ditujukan kepada Ndoro yang dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa kecewanya terhadap pemerintah
yang tidak turun tangan saat harga-harga melambung pasca kenaikan harga BBM. Nilai rasa kecewa juga muncul dalam tuturan “Katanya Cak Lontong itu
mau setia sama saya. Dia nggak akan meninggalkan saya. Ibaratnya koalisi, dia berjanji mau koalisi permanen dengan saya, nyatanya dia ingkar janji
” SSNRB08-09-20149. Tuturan tersebut dikatakan oleh Chacha yang ingat janji
Cak Lontong kepadanya saat itu diceritakan Chacha sebagai kekasih Cak Lontong bahwa ia tidak akan meninggalkannya dan selalu setia kepadanya.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“nyatanya dia ingkar janji
”, untuk memunculkan nilai rasa kecewa. Klausa tersebut dipersepsi
sebagai kekecewaan Chacha terhadap Cak Lontong yang tidak menepati janjinya untuk setia dan tidak meninggalkannya. Chacha menganggap Cak Lontong ingkar
janji karena kemarin Chacha mengetahui bahwa Cak Lontong pergi ke ragunan bersama seseorang. Klausa tersebut menggunakan kata
“nyatanya” untuk mengindikasikan keadaan yang berkebalikan dengan kenyataan. Nilai rasa kecewa
juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda- tanda ketubuhan yang dimunculkan Chacha
berupa lirikan mata ke arah Cak Lontong dan nada
penuh penekanan
saat mengucapkan
klausa tersebut
untuk mengindikasikan kekecewaanya terhadap Cak Lontong yang telah ingkat janji.
Selain itu, terdapat juga unsur eksralingual konteks yang dimunculkan melalui
fenomena praanggapan atau pengetahuan lama Chacha mengenai janji Cak
Lontong kepadanya saat itu diceritakan Chacha sebagai kekasih Cak Lontong yang tidak akan meninggalkannya dan selalu setia kepadanya. Namun
kenyataannya kemarin ia mengetahui Cak Lontong pergi ke ragunan bersama seseorang.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102 yang memandang prinsip kesantunan
sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Dalam konteks tuturan
diatas, Chacha mengungkapkan janji Cak Lontong sebelumnya terhadap dirinya yang diakhiri dengan pernyataan bahwa janji tersebut tidak ditepati untuk
menyatakan kekecewaannya. Nilai rasa kecewa juga tidak selalu didukung unsur ekstralingual tanda-
tanda ketubuhan seperti pada tuturan “Nah, itu makannya kalau seandainya pemerintah kita ini tulus, ikhlas, jujur melihat bagaimana nasib bangsa ke depan.
Jadi dalam waktu sepuluh tahun ini kan bisa diatur pelan-pelan sehingga sekarang ini harga BBMnya itu pas´SSNRB01-09-201414. Tuturaan tersebut
dikatakan oler Riyad Chairil yang mengetahui pemerintahan SBY telah menjabat selama dua periode dengan total masa jabatan sepuluh tahun, namun dalam
sepuluh tahun tersebut Pak SBY tidak mengatur pelan-pelan harga BBM disesuaikan dengan trend minyak dunia sehingga saat ini hal tersebut menjadi
beban bagi pemerintahan yang baru.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebt berupa klausa
“seandainya pemerintah kita ini tulus, ikhlas, jujur melihat bagaimana nasib bangsa ke
depan
”, untuk memunculkan nilai rasa kecewa. Klausa tersebut menggunakan
kata “seandainya” yang berarti peristiwa yang dianggap mungkin terjadi
KBBI,2008:60. Kata “seandainya” dalam tuturan tersebut mengindikasikan hal
yang berkebalikan dengan kenyataan mengenai keseriusan pemerintah menghadapi masalah BBM yang ditunjukkan melalui kata tulus, ikhlas, dan
jujur. Klausa tersebut dipeserpsi sebagai kekecewaan Riyad Chairil terhadap pemerintahan SBY karena terkesan tidak tegas menyikapi permasalahan BBM.
Riyad Chairil tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan tertentu yang mendukung ungkapan nilai rasa kecewanya, sedangkan unsur ekstralingual
konteks dalam tuturan tersebut dimunculkan melalui fenomena praanggapan.
atau pengetahuan lama Riyad mengenai pemerintahan SBY yang telah menjabat selama dua periode dengan total masa jabatan sepuluh tahun, namun dalam
sepuluh tahun tersebut Pak SBY tidak mengatur pelan-pelan harga BBM disesuaikan dengan trend minyak dunia sehingga saat ini hal tersebut menjadi
beban bagi pemerintahan yang baru.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:102 yang memandang prinsip kesantunan
sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Di dalam konteks tuturan
diatas, Riyad menggunakan kata seandainya sebagai ungkapan tidak langsung yang berarti pengandaian berupa sesuatu yang tidak pernah terjadi untuk
mengindikasikan kekecewaannya terhadap kinerja pemerintah.
Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang digunakan untuk memunculkan nilai
rasa kecewa dalam acara Sentilan Sentilun dapat berupa klausa dan kalimat. Di dalam nilai rasa kecewa ini tidak ada kata-kata khas yang menandainya, hal
tersebut dikarenakan rasa kecewa dalam suatu tuturan baru dapat dirasakan dalam satu susunan klausa maupun kalimat utuh.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul untuk mendukung nilai rasa kecewa yang ingin disampaikan. Hal tersebut
tergantung dari keekspresifan penutur. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual konteks selalu menyertai tuturan bernilai rasa kecewa karena hal
tersebut digunakan untuk mengetahui kadar rasa suatu tuturan. Unsur ekstralingual konteks yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa kecewa
hanyalah fenomena praanggapan karena sebelum menyatakan kekecewaannya terlebih dahulu penutur mengetahui hal yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Pengungkapan nilai rasa kecewa ini selalu dinyatakan secara santun. karena pada umumnya penutur dalam acara Sentilan Sentilun selalu menyatakan
rasa kecewanya secara tidak langsung sesuai indikator kesantunan Leech yang memandang prinsip kesantunan sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa
penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. 4.2.2.4.4 Nilai Rasa Cemburu
Nilai rasa cemburu adalah bentuk kemarahan yang muncul karena perasaan tidak senang ketika melihat orang lain beruntung. Nilai rasa cemburu ini
biasanya dikaitkan juga dengan masalah percintaan, misalnya pada tuturan “Eh . .
.eh . . . ngapain Cak Lontong? Eh, eh, eh jangan pegang-pegang gitu dong Enak aja, nggak bisa. Lho terdakwa kok pegang-pegang. Nggak bisa, nggak boleh, Itu
menya lahi aturan persidangan, batasi” SSNRB08-09-201415. Tuturan
tersebut dikatakan oleh Sentilun yang merasa cemburu karena Cak Lontong berusaha memegang tangan Chacha untuk meminta maaf perihal kesalahannya
yang telah menyakiti dan tidak menepati janji
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Enak aja, nggak bisa
”, untuk memunculkan nilai rasa cemburu. Kalimat tersebut
dipersepsi sebagai kecemburuan Sentilun karena Cak Lontong berusaha memegang tangan Chacha untuk meminta maaf perihal kesalahan yang ia lakukan
karena telah menyakiti dan ingkar janji. Sentilun cemburu karena Chacha merupakan gadis yang disukainya yang disandiwarakan dalam acara tersebut
dan ia tidak rela Cak Lontong memegang tangan Chacha untuk minta maaf. Nilai rasa cemburu juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan yang
dimunculkan Sentilun berupa perpindahan tempat yang tadinya disebelah Ndoro menjadi
berada diantara Chacha dan Sentilun sambil mengayun-ngayunkan kain serbet yang dibawa agar ke arah tangan Cak
Lontong dan Chacha agar mereka tidak jadi berpegangan tangan. Selain itu,
terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena
referensi atau rujukan tuturan Cak Lontong sebelumnya yang berusaha minta
maaf kepada Chacha perihal kesalahannya yang telah menyakiti dan tidak menepati janji sambil berusaha memegang tangan Chacha. Dalam episode
tersebut, Chacha berperan sebagai seorang gadis yang disukai oleh Sentilun, namun Chacha terlah berpacaran dengan Cak Lontong.
Tuturan tersebut dipersepsi tidak santun karena melanggar satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
pertimbangan “consideration maxim” tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang pada mitra tutur. Dalam konteks tuturan
tersebut, Sentilun menunjukkan rasa tidak senangnya terhadap Cak Lontong yang berusaha minta maaf kepada Chacha dikarenakan ia merasa cemburu dan
menginginkan hubungan Chacha dan Cak Lontong berakhir. Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian,
hanya ditemukan satu data tuturan yang mengandung nilai rasa cemburu. Kebetulan dalam data yang ditemukan, unsur intralingual yang digunakan untuk
memunculkan nilai rasa cemburu hanyalah berupa kalimat. Terdapat unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan yang mendukung nilai rasa tersinggung.
Selain itu, ditemukan juga unsur ekstralingual konteks yang selalu muncul menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa yang ada
dalam tuturan. Unsur ekstralingul konteks yang memunculkan nilai rasa cemburu
dalam acara Sentilan Sentilun hanyalah fenomena referensi. Hal tersebut
dikarenakan rasa cemburu muncul karena disebabkan tuturan mitra tutur sebelumnya yang dianggap merupakan rival dalam memperebutkan cinta Chacha.
Nilai rasa tersinggung dalam acara tersebut dinyatakan tidak santun karena
penutur mengungkapkan rasa tidak sukanya pada mitra tutur melalui tuturan dan tanda-tanda ketubuhan yang digunakan melanggar maksim pertimbangan Leech.
4.2.2.4.5 Nilai Rasa Sakit Hati Nilai rasa sakit hati adalah bentuk kemarahan yang muncul karena merasa
dihina atau dilukai hatinya. Nilai rasa sakit hati ini bisa disebabkan oleh perkataan seseorang yang keras maupun perilaku yang tidak berkenan di hati. Perhatikan
tuturan berikut: “Pakde Ndoro, jadi gimana nih aku sakit hati nih” SSNRB08- 09-20148. Tuturan tersebut dikatakan oleh Chacha yang mengetahui Cak
Lontong telah membohonginya dan selalu tidak menepati janjinya untuk setia.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Pakde Ndoro, jad
i gimana nih aku sakit hati nih”, untuk memunculkan nilai rasa sakit hati.
Kalimat tersebut dipersepsi sebagai rasa sakit hati Chacha yang diungkapkan kepada Ndoro perihal sikap Cak Lontong selama ini yang selalu membohonginya
dan mengingkari janji. Chacha merasa sakit hati atas sikap Cak Lontong yang selalu membohongi dan mengingkari janji karena dalam episode tersebut Chacha
diceritakan sebagai kekasih Cak Lontong. Chacha tidak memunculkan unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan apa pun untuk mendukung rasa sakit hati
yang diungkapkannya, sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan
melalui fenomena praanggapan. Chacha mempunyai pengetahuan lama
mengenai Cak Lontong yang membohonginya dan selalu tidak menepati janji. Chacha menganggap Cak Lontong berbohong karena kemarin dia melihat Cak
Lontong pergi ke ragunan bersama seseorang. Selain itu, saat Cak Lontong
membuat janji dengannya, ia selalu datang terlambat dan membiarkan Chacha menunggu lama.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar salah satu maxim Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kebijaksanaan
“tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur.
Tuturan tersebut menimbulkan kerugian terhadap Cak Lontong sebagai orang yang dimaksud dalam tuturan karena Chacha berusaha memojokkannya dengan
cara bercerita kepada Ndoro yang berperan sebagai hakim tentang rasa sakit hati yang dialami. Cak Lontong merasa dirugikan karena pengaduan tersebut dapat
memberatkannya dalam persidangan mahkamah asmara. Nilai rasa sakit hati yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun yang
dijadikan sebagai objek penelitian hanya satu data tuturan. Unsur intralingual yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa sakit hati hanyalah berupa kalimat
dan ada frasa khas yang mengindikasikannya, yaitu frasa “sakit hati”. Namun
frasa tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena kadar rasanya baru dapat dirasakan setelah berada dalam klausa.
Nilai rasa sakit hati yang ditemukan dalam acara tersebut tidak didukung oleh tanda-tanda ketubuhan apapun. Hal tersebut berbeda dengan unsur
ekstralingual konteks yang selalu muncul karena digunakan untuk mengetahui kadar rasa dalam tuturan. Unsur ekstralingual konteks hanya dimunculkan melalui
fenomena praanggapan karena sebelum menyatakan rasa sakit hati terhadap seseorang tentunya penutur telah mempunyai pengetahuan lama mengenai sesuatu
yang tidak berkenan dihati. Nilai rasa sakit hati dalam acara tersebut dinyatakan
tidak santun karena berusaha memojokkan orang yang dimaksud dalam tuturan sehingga orang yang dimaksud dalam tuturan merasa dirugikan melanggar
indikator kesantunan Leech, yaitu maksim kebijaksanaan.
4.2.2.5 Nilai Rasa Halus Nilai rasa halus merupakan kadar perasaan tuturan untuk menunjukkan
kehalusan budi pekerti seseorang. Nilai rasa halus merupakan manifestasi sikap santun penutur terhadap mitra tutur. Nilai rasa halus dapat ditunjukkan melalui
rasa hormat, rasa sopan, rasa terima kasih, rasa syukur dan rasa sungkan. 4.2.2.5.1 Nilai Rasa Hormat
Nilai rasa hormat merupakan bentuk kehalusan budi pekerti terhadap mitra tutur dengan menggunakan kata-kata bernilai rasa hormat seperti bapak, ibu, mas,
mbak, dan lain sebagainya. Nilai rasa hormat berupa kata ganti persona atau kata bernilai rasa hormat yang digunakan sebelum memanggil nama seseorang. Nilai
rasa hormat ini merupakan wujud penghormatan karena mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan memiliki usia lebih tua atau memiliki jabatan yang
lebih tinggi daripada penutur. Perhatikan tuturan berikut: “Ndoro, saya pijitin mau nggak? Ah Ndoro ini ada orang baik kaya aku kok malah nggak suka
” SSNRB11-08-20141. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang
memanggil Sentilan dengan sebutan Ndoro karena dalam acara tersebut Sentilun merupakan pembantu Sentilan.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa diksi
“Ndoro”, untuk
memunculkan nilai rasa hormat. Diksi
“Ndoro” dalam KBBI 2008:955 berarti
kata sapaan kepada orang bangsawan atau majikan. Dikisi “Ndoro” dalam tuturan
tersebut dipersepsi sebagai rasa hormat Sentilun kepada Sentilan yang dalam acara tersebut berperan sebagai majikannya. Sentilun menggunakan diksi
“Ndoro” karena acara tersebut berlatarbelakangkan kebudayaan jawa Kata Ndoro biasanya digunakan untuk menyebut majikan dalam budaya jawa. Unsur
ekstralingual konteks yang dimunculkan dalam tuturan tersebut berupa fenomena
deiksis sosial atau penyebutan kata ganti orang tertentu yang berkaitan dengan
status sosial yang dimiliki. Di dalam tuturan tersebut, Sentilun memanggil Sentilan dengan sebutan Ndoro. Sentilun menggunakan kata ganti berupa sebutan
Ndoro saat memanggil Sentilan karena dalam acara tersebut beliau merupakan majikan dari Sentilun.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo 2008, dalam Pranowo 2012:104, yaitu pemakaian kata-
kata tertentu sebagai pilihan kata diksi yang dapat mencerminkan rasa santun. Dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun menggunakan diksi Ndoro
sebagai wujud rasa hormat Sentilun karena Sentilan merupakan majikannya. Diksi Ndoro merupakan salah satu kata yang beraura santun.
Nilai rasa hormat juga muncul pada tuturan “Nah gitu kan. Nah kalau sekarang Pak Jokowi sudah jadi presiden, bagaimana dengan Pak Ahok? Kan
beliau itu keras ya. Hmmm . . .Marah- marah mulu ya” SSNRB11-08-201412.
Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang menggunakan kata “Pak” sebagai
rujukan sebelum memanggil nama Pak Jokowi dan Pak Ahok untuk menghormati mereka yang mempunyai jabatan tinggi presiden dan wakil gubernur.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa diksi
“Pak” yang
digunakan sebelum menyebutkan nama untuk memunculkan nilai rasa hormat.
Kata “Pak” dalam KBBI 2008:1000 merupakan panggilan untuk orang yang
dipandang sebagai orang tua atau orang yang dihormati. Kata “Pak” dalam
tuturan tersebut dipersepsi sebagai wujud rasa hormat Ndoro terhadap Pak Jokowi yang merupakan presiden RI dan Pak Ahok yang merupakan wagub DKI yang
sebentar lagi akan dilantik menjadi gubernur. Sebenarnya dari segi usia, Ndoro jauh lebih tua daripada kedua tokoh yang disebutkan di atas Pak Jokowi dan Pak
Ahok, namun karena Ndoro menghormati keduanya oleh sebab itu beliau menggunakan kata
“Pak” sebelum menyebut nama kedua tokoh tersebut. Unsur
ekstralingual dalam tuturan tersebut diminculkan melalui fenomena deiksis sosial
atau penyebutan kata ganti orang tertentu rujukan sebelum memanggil nama orang yang berkaitan dengan status sosial yang dimiliki. Dalam tuturan tersebut,
Ndoro menggunakan diksi “Pak” sebelum memanggil Pak Jokowi dan Pak Ahok karena mereka mempunyai jabatan yang tinggi. Pak Jokowi telah terpilih sebagai
Presiden RI dan Pak Ahok yang sebentar lagi akan dilantik menjadi Gubernur Jakarta.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo 2008, dalam Pranowo 2012:104, yaitu pemakaian kata-
kata tertentu sebagai pilihan kata diksi yang dapat mencerminkan rasa santun. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun menggunakan diksi Ndoro
sebagai wujud rasa hormat Sentilun karena Sentilan merupakan majikannya. Diksi Ndoro merupakan salah satu kata yang beraura santun. Dalam konteks tuturan
tersebut, Ndoro menghormati Pak Jokowi dan Pak Ahok sebagai Presiden dan calon Gubernur DKI dengan menggunakan diksi “Pak” sebelum memanggil nama
mereka Nilai rasa hormat ini juga dapat muncul karena penutur merasa umurnya
jauh lebih muda dari pada mitra tutur, seperti pada tuturan “Terus kan aku pake
mbak-mbak yang pembantu infal, sekarang pada anfal. Jadi kepikiran nih kalau Mas Sentilun jadi pembantu di rumah aku, mau nggak ya?
” SSNRB11-08- 201428. Tuturan tersebut dikatakan oleh Asti Ananta yang menggunakan kata
“Mas” sebagai rujukan sebelum memanggil Sentilun untuk menimbulkan kesan hormat karena dari segi umur Asti Ananta jauh lebih muda daripada Sentilun.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa diksi “Mas” yang
digunakan sebelum memanggil nama Sentilun untuk memunculkan nilai rasa hormat. Kata
“Mas” dalam KBBI 2008:881 berarti kata sapaan hormat untuk laki-
laki yang dianggap lebih tua. Kata “Mas” dalam tuturan tersebut dipersepsi sebagai rasa hormat Asti Ananta terhadap Sentilun yang dalam acara tersebut
berkedudukan sebagai host. Selain itu, apabila dilihat dari segi umur, Sentilun jauh lebih tua dibandingkan mitra tutur, oleh sebab itu mitra tutur menggunakan
kata tersebut untuk menimbulkan kesan hormat terhadap Sentilun. Unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan dalam tuturan tersebut berupa fenomena
deiksis persona atau kata ganti orang rujukan sebelum memanggil nama orang
yang berkaitan dengan usia mitra tutur. Asti Ananta menggunakan kata “Mas”
yang digunakan sebagai rujukan sebelum memanggil Sentilun untuk menimbulkan kesan hormat karena dari segi umur Asti Ananta jauh lebih muda
daripada Sentilun. Asti Ananta juga mengetahui bahwa Sentilun merupaka salah satu host dalam acara tersebut.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo 2008, dalam Pranowo 2012:104, yaitu pemakaian kata-
kata tertentu sebagai pilihan kata diksi yang dapat mencerminkan rasa santun. Di dalam konteks tuturan tersebut, Asti Ananta menggunakan diksi Mas
sebelum memanggil Sentilun sebagai wujud rasa hormat karena dari segi umur, Asti jauh lebih muda daripada Sentilun.
Nilai rasa hormat juga muncul dalam tuturan “Pakde Ndoro” SSNRB08-09-20145. Tuturan tersebut dikatakan oleh Chacha yang
menggunakan rujukan berupa sebutan Pakde Ndoro untuk memanggil Sentilan karena ia merasa umurnya jauh lebih muda. Unsur intralingual dalam tuturan
tersebut berupa diksi “Pakde”, untuk memunculkan nilai rasa hormat. Diksi
tersebut dipersepsi sebagai penghormatan Chacha terhadap Ndoro karena dari segi umur, penutur jauh lebih muda dari pada mitra tutur. Kata
“Pakde” dalam KBBI 2008:1001 berarti sapaan kakak laki-laki ibu atau ayah. Sebenarnya, Chacha
bukan merupakan saudara dari Sentilan dan juga bukan pembantu Sentilan. Sentilan biasa dipanggil dengan sebutan
“Ndoro” dalam acara tersebut. Chacha menggunakan penyebutan tersebut untuk menimbulkan kesan hormat dan akrab
pada Sentilan. Unsur ekstralingual konteks dalam tuturan tersebut dimunculkan
melalui fenomena deiksis persona Diksi tersebut dipersepsi sebagai
penghormatan Chacha terhadap Ndoro karena dari segi umur, penutur jauh lebih muda dari pada mitra tutur. Kata
“Pakde” dalam KBBI 2008:1001 berarti sapaan
kakak laki-laki ibu atau ayah. Sebenarnya, Chacha bukan merupakan saudara dari Sentilan dan juga bukan pembantu Sentilan. Sentilan biasa dipanggil dengan
sebutan “Ndoro” dalam acara tersebut. Chacha menggunakan penyebutan tersebut
untuk menimbulkan kesan hormat dan akrab pada Sentilan.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo 2008, dalam Pranowo 2012:104, yaitu pemakaian kata-
kata tertentu sebagai pilihan kata diksi yang dapat mencerminkan rasa santun. Di dalam konteks tuturan tersebut, Chacha menggunakan diksi Pakde
sebagai wujud rasa hormat Chacha karena Sentilan berumur lebih tua darinya. Selain itu, diksi tersebut juga dipergunakan untuk menimbulkan kesan akrab
karena Chacha sering diundang dalam acara tersebut. Nilai rasa hormat juga muncul karena mitra tutur merupakan bintang tamu,
walaupun dari segi umur mitra tutur lebih muda daripada penutur. Perhatikan tuturan: “Wah Ndoro ini nggak ngerti ya? Biar Mbak Asti tu tahu kalau statusku
jomblo. Siapa tahu lalu Mbak Asti berbaik ha ti memilih aku jadi pasangannya”
SSNRB11-08-201434. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang menggunakan kata “Mbak” sebagai rujukan sebelum memanggil Asti Ananta
untuk menimbulkan kesan hormat karena saat itu Asti merupakan bintang tamu dalam acara tersebut.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa diksi
“Mbak” yang digunakan sebagai rujukan sebelum memanggil nama Asti Ananta untuk
memunculkan nilai rasa hormat. Kata
“Mbak” dalam KBBI 2008:892 berarti kata sapaan untuk prempuan yang lebih tua didaerah Jawa. Kata
“Mbak” dalam
tuturan tersebut dipersepsi sebagai rasa hormat Sentilun terhadap Asti Ananta yang saat itu merupakan bintang tamunya. Sebenarnya dari segi usia, Asti Lebih
muda daripada Sentilun, namun untuk menimbulkan kesan hormat, Sentilun tetap menggunakan
kata “Mbak” sebelum menyebutkan namanya tanpa
memperhatikan usia Asti untuk menimbulkan kesan hormat. Unsur ekstralingual
konteks yang dimunculkan dalam tuturan tersebut berupa fenomena deiksis sosial
atau penyebutan kata ganti orang tertentu yang berkaitan dengan status sosial yang dimiliki. Di dalam tuturan tersebut, Sentilun memanggil Asti dengan sebutan
Mbak walaupun dari segi umur, Sentilun jauh lebih tua daripada Asti. Sentilun menggunakan penyebutan tersebut karena dalam acara Sentilan Sentilun episode
itu, Asti merupakan bintang tamu.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo 2008, dalam Pranowo 2012:104, yaitu pemakaian kata-
kata tertentu sebagai pilihan kata diksi yang dapat mencerminkan rasa santun. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun menggunakan diksi Mbak
sebagai wujud rasa hormat kepada Asti Ananta yang saat itu menjadi bintang tamu. Walaupun dari segi umur Asti lebih muda daripada Sentilun, namun diksi
tersebut tetap digunakan sebagai wujud penghormatan. Nilai rasa hormat juga tidak selalu dinyatakan dengan penyebutan kata
ganti orang atau kata ganti persona karena status sosial dalam bahasa Indonesia, namun juga bisa menggunakan kata ganti orang yang ada di daerah tertentu,
seperti pada tuturan “Emang Cak Lontong itu kelebihannya apa coba? Dibandingkan dengan mantan-
mantan pacarku yang dulu” SSNRB08-09-
20143. Tuturan tersebut dikatakan oleh Chacha yang menggunakan kata “Cak”
sebelum memanggil nama Cak Lontong karena ia berasal dari Jawa Timur yang lazim menggunakan kata tersebut yang berfungsi sama dengan kata
“Pak” dalam bahasa Indonesia.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa diksi
“Cak” sebelum
memanggil nama Cak Lontong untuk memunculkan nilai rasa hormat. Diksi
“Cak” merupakan panggilan kepada laki-laki yang dianggap lebih tua atau yang dituakan di daerah Jawa Timur KBBI,2008:236. Berdasarkan konteks yang
menyertai tutura n, diksi “Cak” dalam tuturan tersebut dipersepsi sebagai wujud
rasa hormat Chacha terhadap Cak Lontong yang saat itu diceritakan sebagai kekasihnya. Cak Lontong merupakan komedian yang berasal dari daerah Jawa
Timur sehingga dirinya biasa dipanggil menggunakan sebutan Cak. Unsur ekstralingual konteks dalam tuturan tersebut dimunculkan melalui fenomena
deiksis persona atau kata ganti orang rujukan sebelum memanggil nama orang
yang berkaitan dengan usia mitra tutur. Chacha menggunakan kata “Cak”
sebelum memanggil Cak Lontong karena ia berasal dari Jawa Timur yang lazim menggunakan kata tersebut yang berfungsi sama dengan kata
“Pak” dalam bahasa Indonesia.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo 2008, dalam Pranowo 2012:104, yaitu pemakaian kata-
kata tertentu sebagai pilihan kata diksi yang dapat mencerminkan rasa santun. Di dalam konteks tuturan tersebut, Chacha menggunakan diksi Cak
sebagai wujud rasa hormat terhadap Cak Lontong yang diketahui berasal dari
daerah Jawa Timur. Diksi Cak merupakan panggilan hormat seperti halnya diksi Pak dalam bahasa Indonesia.
Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang digunakan untuk memunculkan nilai
rasa hormat dalam acara Sentilan Sentilun hanya berupa diksi atau pilihan kata. Nilai rasa hormat yang ada dalam acara Sentilan Sentilun mempunyai diksi khas
yang mengindikasikan penghormatan seperti Ndoro, Pakde, Pak, Mbak, Mas dan Cak yang semuanya merupakan kata ganti atau rujukan sebelum memanggil nama
seseorang. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak pernah muncul
dan mendukung nilai rasa hormat karena yang digunakan dalam nilai rasa ini hanyalah diksi hormat dalam wujud kata ganti atau rujukan sebelum memanggil
nama seseorang. Hal ini berbeda dengan unsur ekstralingual konteks yang selalu menyertai tuturan bernilai rasa hormat karena hal tersebut digunakan untuk
mengetahui kadar rasa hormat suatu tuturan. Unsur ekstralingual konteks yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa kecewa hanyalah fenomena deiksis
persona dan deiksis sosial. Fenomena deiksis persona digunakan jika diksi memiliki maksud menghormati mitra tutur tanpa dilatarbelakangi status sosial
tertentu hanya dilihat berdasarkan umur. Sedangkan fenomena deiksis sosial digunakan jika diksi memiliki maksud menghormati mitra tutur karena mitra tutur
memiliki status sosial yang lebih tinggi daripada penutur. Diksi yang digunakan dalam nilai rasa hormat ini selalu santun karena
diksi tersebut termasuk dalam diksi penghormatan atau diksi beraura santun
sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo yaitu pemakaian kata-kata tertentu
sebagai pilihan kata diksi yang dapat mencerminkan rasa santun.
4.2.2.5.2 Nilai Rasa Sopan Nilai rasa sopan adalah bentuk kehalusan budi pekerti penutur yang
ditunjukkan dengan cara memperlakukan mitra tutur sesuai dengan adab atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Nilai rasa sopan ini menyangkut adab yang
baik dalam memperlakukan orang lain, misalnya ketika bertamu, menerima tamu, memperkenalkan nara sumber pada forum resmi, dan lain sebagainya. Perhatikan
tuturan berikut: “Selamat datang Pak Andrinof, silahkan, silahkan, silahkan Pak Andrinof” SSNRB11-08-20149. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilu yang
mengetahui budaya masyarakat Indonesia yang selalu mengucapkan selamat datang kepada tamu dan mempersilahkannnya untuk duduk.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Selamat datang Pak Andrinof, silahkan, s
ilahkan, silahkan Pak Andrinof”, untuk memunculkan
nilai rasa sopan. Kalimat tersebut menggunakan frasa
“selamat datang” yang berarti pemberian salam KBBI,2008:1248 dan kata
“silahkan” yang berarti sudilah kiranya perintah yang halus untuk duduk KBBI,2008:1305. Secara
utuh kalimat tersebut dipersepsi sebagai kesopanan Sentilun selaku tuan rumah untuk menyambut dan mempersilahkan tamunya untuk duduk. Frasa
“selamat datang
” digunakan sebagai wujud rasa sopan Penutur karena Pak Andrinof selaku tamu mau hadir di studio. Kata
“silahkan” merupakan wujud kesopanan berupa perintah halus agar Pak Andrinof berkenan untuk duduk di kursi yang
telah disediakan. Nilai rasa sopan juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-
tanda ketubuhan yang dimunculkan oleh
Sentilun berupa tangan kanan diulurkan untuk bersalaman yang biasanya dilakukan
tuan rumah terhadap tamunya sebagai wujud kesopanan. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang
dimunculkan melalui fenomena latar belakang budaya. Sentilun menganut latar
belakang budaya masyarakat Indonesia yang selalu mengucapkan selamat datang kepada tamu dan mempersilahkannnya untuk duduk. Budaya tersebut merupakan
bagian dari etika kesopanan ketika ada orang yang bertamu dirumah.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan salah satu
indikator kesantunan Pranowo berupa nilai-nilai pendukung kesantunan
Pranowo,2012:111, yaitu rasa hormat sebagai manifestasi sifat rendah hati.
Dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun menunjukkan rasa hormatnya kepada Pak Andrinof sebagai tamu dengan mengucapkan selamat datang dan
mempersilahkannya untuk duduk. Nilai rasa sopan juga muncul pada tuturan
“Oke Ndoro, mari” SSNRB11-08-201414. Tuturan tersebut dikatakan oleh Asti Ananta yang
berpamitan kepada Ndoro karena dia beranggapan bahwa tuturan Ndoro sebelumnya meminta dia untuk pulang padahal tuturan tersebut bermaksud
menirukan gaya kepemimpinan Pak Ahok.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Oke Ndoro, mari
”, untuk memunculkan nilai rasa sopan. Kalimat tersebut menggunakan kata
“mari” yang berarti kata seru untuk menyatakan ajakan KBBI,2008:879.
Kalimat tersebut merupakan ungkapan berpamitan yang termasuk dalam adab kesopanan ketika hendak berpamitan pulang. Kalimat tersebut lazim digunakan
ketika seorang tamu hendak berpamitan pulang kepada tuan rumah. Nilai rasa sopan juga didukung oleh unsur ekstralingual
tanda-tanda ketubuhan yang dimunculkan oleh
Asti berupa tubuh yang hendak beranjak untuk berdiri sambil menganggukkan kepala saat mengucapkan kata
“mari”. Gerakan tersebut dipersepsi sebagai rasa sopan penutur terhadap tuan rumah
sebelum berpamitan pulang. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks
yang dimunculkan melalui fenomena latar belakang budaya. Asti ananta
memiliki latar belakang budaya yang mengajarkan kesopanan ketika hendak berpamitan pulang yaitu menggunakan kata-kata tertentu seperi mari, permisi, dan
lain-lain.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan salah satu
indikator kesantunan Pranowo berupa nilai-nilai pendukung kesantunan
Pranowo,2012:111, yaitu rasa hormat sebagai manifestasi sifat rendah hati.
Di dalam konteks tuturan tersebut, Asti menunjukkan sikap menghormatinya kepada Ndoro selaku tuan rumah dengan berpamitan sebelum hendak pulang.
Nilai rasa sopan juga dapat muncul saat penutur hendak menolak sesuatu yang ditawarkan oleh mitra tutur dan menggunakan kata-kata khas agar
penolakannya tersebut tidak menyinggung mitra tutur, misalnya pada tuturan “Sorry ya, terima kasih Mbak Asti tawarannya. Maaf ya, saya tidak boleh
rangkap jabatan. Woh, kalau saya jadi pembantunya di Ndoro lalu rangkap
jabatan di tempatnya Mbak Asti itu melanggar kode etik pembantu ” SSNRB11-
08-201429. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang mengetahui adab kesopanan ketika menolak tawaran dari seseorang salah satunya yaitu
menggunakan ungkapan terima kasih sebelum hendak menolak sesuatu.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Sorry ya, terima kasih Mbak Asti tawarannya
”, untuk memunculkan nilai rasa sopan.
Kalimat tersebut menggunakan diksi “sorry” yang berasal dari bahasa inggris
yang dalam bahasa indonesia berarti maaf dan kata “terima kasih” yang berarti
rasa syukur KBBI,2008:1451. Kedua kata dlam kalimat tersebut termasuk dalam adab kesopanan ketika menolak suatu tawaran. Secara utuh, kalimat tersebut
dipersepsi sebagai adab kesopanan Sentilun untuk menolak tawaran Asti Ananta secara halus. Kalimat tersebut menggunakan kata
“sorry” untuk mengungkapkan permintaan maaf penutur karena tidak bisa menerima tawaran mitra tutur, dan
kata “terima kasih” untuk mengungkapkan rasa terima kasih penutur karena telah
ditawari pekerjaan oleh mitra tutur. Nilai rasa sopan juga didukung oleh unsur ekstralingual
tanda-tanda ketubuhan
yang
dimunculkan oleh Sentilun berupa gerakan tubuh yang langsung beranjak untuk berdiri pada saat
itu Sentilun sedang duduk untuk mengindikasikan kesopanannya ketika hendak menolak tawaran Asti Ananta. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual
konteks dalam tuturan tersebut yang dimunculkan melalui fenomena latar belakang budaya. Sentilun memiliki adab kesopanan ketika menolak tawaran
dari seseorang salah satunya yaitu menggunakan ungkapan terima kasih sebelum
hendak menolak sesuatu. Sentilun sudah mempunyai pemahaman mengenai hal tersebut, oleh sebab itu ia mengucapkan terima kasih sebelum menolak tawaran
Asti Ananta.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator
kesantunan Pranowo berupa nilai-nilai pendukung kesantunan Pranowo
2012:117, yaitu sikap menjaga perasaan. Di dalam konteks tuturan tersebut,
Sentilun berusaha menjaga perasaan Asti Ananta dengan mengucapkan terima kasih dan kata maaf sebelum menolak tawarannya. Sentilun melakukan hal
tersebut agar Asti tidak merasa tersinggung karena tawarannya ditolak. Tuturan basa-basi juga merupakan bagian dari nilai rasa sopan, seperti
dalam tuturan “Halo, selamat malam. Iya Pak Prabowo, saya Chacha. Iya. Apa kabar Pak? aduh saya doakan semoga Bapak baik-baik saja dan sehat selalu ya
Pak. Ya . . .Iya” SSNRB04-08-201413. Tuturan tersebut dikatakan oleh Chacha yang mempunyai latar belakang budaya mengenai sopan-santun dalam
bertelepon dengan menggunakan kalimat basa-basi terlebih dahulu sebelum masuk pada pokok pembicaraan.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Halo, selamat malam
” dan “Apa kabar Pak?”, untuk memunculkan nilai rasa sopan. Kalimat tersebut dipersepsi mengandung kesopanan yang biasanya diucapkan sebelum
memasuki pokok pembicaraan didalam telepon. Biasanya dalam budaya Indonesia saat bertelepon terlebih dahulu seseorang akan mengungkapkan kalimat basa-basi
untuk menimbulkan efek santun dan menghargai mitra tutur yang diajak bertelepon. Nilai rasa sopan juga diperkuat melalui unsur ekstralingual tanda-
tanda ketubuhan yang dimunculkan oleh
Chacha berupa wajah yang tersenyum dan ekspresi bahagia saat mengucapkan kalimat
tersebut untuk menimbulkan efek santun terhadap mitra tutur walaupun tidak secara langsung diketahui oleh mitra tutur,
namun lewat nada bicara bisa diketahui bahwa penutur ikhlas mengucapkan kalimat basa-basi tersebut sebagai penanda kesopanan. Selain itu, unsur
ekstralingual konteks juga dimunculkan melalui fenomena latar belakang budaya yang dimiliki Chacha. Chacha mempunyai latar belakang budaya
mengenai sopan-santun dalam bertelepon dengan menggunakan kalimat basa-basi terlebih dahulu sebelum masuk pada pokok pembicaraan. Basa-basi dalam
bertelepon sebelum masuk pada inti pembicaraan merupakan budaya yang selama ini ada dalam masyarakat Indonesia, khususnya daerah Jawa.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan salah satu
indikator kesantunan Pranowo berupa nilai-nilai pendukung kesantunan
Pranowo,2012:111, yaitu rasa hormat sebagai manifestasi sifat rendah hati.
Dalam konteks tuturan tersebut, Chacha menghormati Pak Prabowo dengan mengucapkan selamat malam dan menanyakan kabar sebelum masuk pada inti
pembicaraan. Sikap tersebut merupakan wujud sifat rendah hati karena Penutur mau melakukan hal tersebut secara lebih dulu karena ia menyadari bahwa dia lah
yang menelepon. Nilai rasa sopan juga tidak selalu didukung oleh unsur ekstralingual
berupa tanda- tanda ketubuhan, misalnya pada tuturan “Namanya Pak Anies
Baswedan, betul? Yah, kita tahu. Monggo- monggo” SSNRB04-08-20148.
Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang mengetahui sopan-santun dalam menerima tamu dengan mempersilahkan tamunya untuk duduk.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Monggo- monggo
”. Kalimat tersebut teridiri dari satu kata bahasa Jawa, yaitu kata “monggo”. Ndoro menggunakan pilihan kata “monggo” dalam bahasa jawa
untuk menyambut tamunya. Ndoro sengaja menggunakan bahasa aslinya bahasa jawa untuk menimbulkan efek yang lebih sopan. Kata
“monggo” dalam KJIIJ 2006:199 berarti mempersilahkan untuk melakukan sesuatu. Dalam budaya
jawa, kata tersebut lazim diucapkan oleh tuan rumah kepada tamunya sebagai ucapan selamat datang dan mempersilahkan duduk. Secara utuh, kalimat tersebut
dipersepsi sebagai wujud kesopanan Ndoro selaku tuan rumah untuk mempersilhakan Anies Baswedan selaku tamunya untuk duduk. Unsur
ekstralingual konteks dalam tuturan tersebut dimunculkan melalui fenomena latar belakang budaya yang dimiliki Ndoro. Ndoro mempunyai latar belakang budaya
mengenai sopan-santun dalam menerima tamu dengan mempersilahkannya duduk.
Tuturan tersebut dipersepsi santun karena sesuai dengan salah satu
indikator kesantunan Pranowo berupa nilai-nilai pendukung kesantunan
Pranowo,2012:111, yaitu rasa hormat sebagai manifestasi sifat rendah hati.
Dalam konteks tuturan tersebut, Ndoro menunjukkan rasa hormatnya kepada Anies Baswedan sebagai tamu dengan mempersilahkannya untuk duduk.
Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang diambil dari acara Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai sopan hanya dimunculkan melalui
kalimat. Terdapat kata-kata khas yang mengindikasikan nilai rasa sopan, seperti kata selamat datang, monggo, mari, silahkan, dan apa kabar khusus kalimat
basa-basi, namun kata-kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena kadar rasanya baru diketahui setelah berada dalam kalimat. Nilai rasa sopan ini dapat
dinyatakan dalam bahasa daerah dan juga kalimat basa-basi yang memiliki kadar rasa sopan.
Unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung nilai rasa sopan karena hal tersebut tergantung dari keeksresifan
penutur. Unsur ekstralingual konteks yang ada dalam nilai rasa sopan hanya dimunculkan melalui fenomena latar belakang kebudayaang karena rasa sopan
sangat berkaitan dengan budaya yang ada di masyarakat mengenai suatu hal yang seharusnya dilakukan. Nilai rasa sopan selalu dinyatakan santun karena penutur
selalu berusaha menghormati mitra tutur dengan berlaku sesuai kebiasaan yang berlaku di masyarakat sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo, yaitu sikap
hormat dan mempertemukan perasaan penutur dengan mitra tutur agar tidak ada pihak yang tersinggung sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo, yaitu
menjaga perasaan. 4.2.2.5.3 Nilai Rasa Merasa Terima Kasih
Nilai rasa merasa terima kasih adalah bentuk kehalusan budi pekerti yang ditunjukkan dengan cara mengucapkan terima kasih karena telah diberikan
kebaikan oleh orang lain. Nilai rasa merasa terima kasih ini merupakan wujud syukur yang ditujukan kepada sesama manusia karena sebelumnya telah
diperlakukan dengan baik, diberi sebuah barang, dan lain sebagainya. Perhatikan
tuturan berikut: “Terima kasih banyak Pak Ndoro” SSNRB01-09-201410. Tuturan tersebut dikatakan oleh Riyad Chairil yang mengucapkan terima kasih
karena Ndoro sebelumnya telah mengucapkan selamat datang kepadanya dan mempersilahkan untuk duduk.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Terima kasih banyak Pak Ndoro
”, untuk memunculkan nilai rasa merasa terima kasih.
Kalimat tersebut menggunakan frasa “terima kasih” yang mengindikasikan rasa
sangat bersyukur setelah menerima kebaikan dari seseorang. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai wujud rasa terima kasih Riyad Chairil karena telah disambut
dengan baik dan dipersilahkan untuk duduk oleh Ndoro sebagai tuan rumah. Penutur tidak memunculkan unsur ektralingual tanda-tanda ketubuhan untuk
mendukung nilai rasa terimakasih. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual
konteks yang dimunculkan melalui fenomena referensi atau rujukan tuturan
Ndoro sebelumnya yang berisi ucapan selamat datang dan gesture yang dipersepsi sebagai gerakan tangan mempersilahkan duduk.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
pertimbangan “consideration maxim” tuturan mengungkapkan sebanyak- banyaknya rasa senang pada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut,
Riyad Chairil mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang kepada Ndoro karena telah diberikan kebaikan berupa sambutan selamat datang dan
dipersilahkan duduk.
Rasa terima kasih juga muncul karena mitra tutur berkenan menghadiri undangan penutur sekaligus berbagi pengetahuan pada publik, seperti dalam
tuturan “Menarik sekali, terima kasih sekali sama Pak Eddy, sama Pak Riyad. Supaya mas Jokowi denger ya, bahwa kita ini mikirnya serius. Dan diusulkan
menteri yang akan datan g itu profesional lah, ahli lah” SSNRB01-09-
201421. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang berterima kasih kepada Eddy Tampi dan Riyad Chairil karena sudah berkenan hadir dalam acara Sentilan
Sentilun sebagai bintang tamu sekaligus berbagi pengetahuan kepada seluruh rakyat Indonesia
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“terima kasih sekali sama Pak Eddy, sama Pak Riyad
”, untuk memunculkan nilai rasa merasa terimakasih.
Klausa tersebut menggunakan frasa “terima kasih” yang berarti melahirkan rasa syukur atau membalas budi setelah menerima kebaikan
KBBI,2008:1451 untuk meperkuat rasa terima kasih Ndoro kepada kedua narasumber. Klausa tersebut dipersepsi sebagai ungkapan terima kasih Ndoro
kepada dua narasumber malam itu yang berkenan untuk hadir dan berbagi pengetahuan mengenai penyebab fenomena yang saat ini terjadi, yaitu kelangkaan
BBM. Ndoro tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan apapun untuk mendukung nilai rasa merasa terima kasih yang diungkapkan, sedangkan unsur
ekstralingual konteks dimunculkan melalui fenomena referensi. Ndoro merujuk
tuturan Riyad dan Eddy sebelumnya yang memberikan pengetahuan serta informasi kepada seluruh rakyat Indonesia mengenai penyebab kelangkaan BBM
yang terjadi saat ini.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
pertimbangan “consideration maxim” tuturan mengungkapkan sebanyak- banyaknya rasa senang pada mitra tutur. Dalam konteks tuturan tersebut,
Ndoro mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang kepada Riyad dan Eddy karena mereka berkenan memberikan informasi terkait penyebab fenomena
kelangkaan BBM. Nilai rasa merasa terima kasih ini juga dapat dinyatakan dalam bahasa
daerah, seperti dalam tuturan “Maturnuwun . . .maturnuwun” SSNRB04-08- 20149. Tuturan tersebut dikatakan oleh Anies Baswedan yang mengucapkan
terima kasih karena Ndoro sebelumnya telah mengucapkan selamat datang kepadanya dan mempersilahkan untuk duduk.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Maturnuwun .
. .maturnuwun”, untuk memunculkan nilai rasa terimakasih. Kalimat tersebut
terdiri dari satu diksi yang berasal dari bahasa jawa, yaitu diksi “maturnuwun”
yang berarti terima kasih. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai wujud rasa terima kasih penutur karena telah disambut dengan baik dan dipersilahkan untuk duduk.
Penutur sengaja menggunakan kalimat yang mengandung pilihan kata bahasa Jawa untuk menimbulkan kadar rasa yang lebih kuat terhadap Ndoro dan Sentilun
karena mereka berlatarbelakangkan budaya Jawa kosep dalam acara tersebut.
Anies tidak memunculkan unsur ektralingual tanda-tanda ketubuhan untuk mendukung nilai rasa terimakasih, sedangkan unsur ekstralingual konteks
dimunculkan melalui fenomena referensi. Anies merujuk tuturan Ndoro
sebelumnya yang berisi ucapan selamat datang dan mempersilahkannya untuk duduk.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
pertimbangan “consideration maxim” tuturan mengungkapkan sebanyak-
banyaknya rasa senang pada mitra tutur. Dalam konteks tuturan tersebut,
Anies Basedan mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang kepada Ndoro dan Sentilun karena telah diberikan kebaikan berupa sambutan selamat datang dan
dipersilahkan duduk.
Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang diambil dari acara Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai rasa merasa terima kasih dapat
dimunculkan melalui unsur intralingual kalimat dan klausa. Terdapat kata-kata khas yang mengindikasikan nilai rasa terima kasih seperti kata terima kasih dan
maturnuwun. Unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung nilai rasa merasa terima kasih karena hal tersebut tergantung dari
keeksresifan penutur. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual konteks yang selalu
menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahu kadar rasa suatu tuturan. Unsur ekstralingual konteks dalam nilai rasa merasa terima kasih selalu
dimunculkan melalui fenomena referensi karena rasa terima kasih muncul akibat rujukan tuturan atau perilaku mitra tutur sebelumnya yang memberikan kebaikan
kepada penutur. Nilai rasa merasa terima kasih selalu dinyatakan santun karena
penutur selalu menyatakan sebanyak-banyaknya rasa senang kepada mitra tutur karena telah diberikan kebaikan sesuai dengan maksim pertimbangan Leech.
4.2.2.5.4 Nilai Rasa Merasa Bersyukur Nilai rasa merasa bersyukur adalah bentuk kehalusan budi pekerti penutur
yang muncul karena sebelumnya telah diberi kebaikan oleh Sang Pencipta. Nilai rasa merasa bersyukur ini merupakan wujud terima kasih penutur kepada Allah
karena telah diberikan pertolongan dalam kesusahan yang sedang dihadapi dengan perantara bantuan orang lain, telah dikabulkan doanya, dan lain
sebagainya. Perhatikan contoh tuturan nilai rasa merasa bersyukur berikut: “Tapi alhamdulillah Ndoro. Saya bahagia menjadi jongosnya Ndoro
” SSNRB11-08- 201425. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang merasa berterimaksih
kepada Allah karena diberi majikan yang baik seperti Ndoro.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa diksi
“Alhamdulillah”,
untuk memunculkan nilai rasa merasa bersyukur. Kata
“alhamdulillah” dalam KBBI 2008:39 berarti ungkapan untuk menyatakan rasa syukur karena
menerima karunia Allah. Berdasarkan konteks yang menyertai tuturan, kata “alhamdulillah” dipersepsi sebagai ungkapan rasa terima kasih Sentilun kepada
Allah karena bisa menjadi pembantu dirumah Ndoro Sentilan. Kata “alhamdulillah” merupakan ungkapan rasa terima kasih yang bisanya diucapkan
oleh kaum muslim untuk menyatakan rasa syukurnya atas karunia yang diterima dari Allah. Kata
“alhamdulillah” termasuk juga dalam diksi karena kata tersebut jarang digunakan oleh orang awam dan biasanya hanya digunakan oleh orang
muslim. Sentilun tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan apapun untuk
mendukung rasa syukur yang diungkapkan, sedangkan unsur ekstralingual
konteks dimunculkan melalui fenomena inferensi atau kesimpulan penutur
mengenai suatu hal yang dialami. Berdasarkan apa yang telah dialaminya sebagai pembantu di rumah Ndoro Sentilan, Sentilun berkesimpulan bahwa ia harus
bersyukur karena ia diperlakukan dengan oleh majikannya selama ini.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
pertimbangan “consideration maxim” tuturan mengungkapkan sebanyak- banyaknya rasa senang pada mitra tutur. Dalam konteks tuturan tersebut,
Sentilun mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang kepada Allah salam wujud syukur karena telah diberikan pekerjaan menjadi pembantu di rumah
Ndoro.
Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian, kebetulan hanya ditemukan satu data tuturan nilai rasa merasa bersyukur. Nilai
rasa merasa bersyukur yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun hanya dimunculkan melalui unsur intralingual diksi
“alhamdulillah”. Penutur tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan yang mendukung nilai
rasa merasa bersyukur yang diungkapkan. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual konteks yang selalu menyertai tuturan karena digunakan untuk
mengetahui kadar rasa tuturan. Unsur ekstralingual konteks dalam nilai rasa
merasa bersyukur hanya muncul melalui fenomena inferensi karena sebelum
bersyukur mengenai suatu hal, tentunya penutur sudah mengalami sendiri dan menarik kesimpulan dari apa yang dialami. Nilai rasa merasa bersyukur dalam
acara tersebut selalu dinyatakan santun karena penutur mengungkapkan sebanyak- banyaknya rasa senang karena telah diberikan kebaikan oleh Tuhan sesuai
dengan maksim Leech, yaitu maksim pertimbangan. 4.2.2.5.5 Nilai Rasa Sungkan
Nilai rasa sungkan adalah bentuk kehalusan budi pekerti penutur yang muncul karena sebelumnya ada kekhawatiran di benak penutur bahwa apa yang
akan diungkapkan bisa melukai perasaan orang lain. Tuturan bernilai rasa sungkan ini biasanya diungkapkan dalam sebelum penutur menyampaikan
maksud tuturan yang sebenarnya, misalnya pada tuturan “Kita itu sudah dikenal. Karya-karya kreatif, karya-karya adiluhung. Kita ini mempunyai banyak potensi
kreatif itu lho yang penting ya. Tapi, lha ini malu saya ngomongnya nih. Kayak nggak keurus ya? SSNRB25-08-20145. Tuturan tersebut dikatakan oleh
Ndoro yang mengetahui bahwa mitra tutur adalah seorang wamen pariwisata dan industri kreatif.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Tapi, lha ini malu saya ngomongnya nih
”, untuk memunculkan nilai rasa sungkan. Kalimat
tersebut dipersepsi sebagai rasa sungkan Ndoro terhadap Sapta Nirwandar karena beliau ingin menanyakan masalah yang seharusnya ikut ditangani mitra tutur.
Ndoro merasa sungkan karena secara langsung beliau harus menanyakan masalah pemerintah yang tidak serius menangani industri kreatif kepada salah satu
penanggungjawab pemerintahan yang mengurusi hal tersebut. Kalimat tersebut menggunakan kata
“tapi”.........”malu” untuk memperkuat nilai rasa sungkan yang dimiliki oleh Ndoro. Nilai rasa sungkan juga didukung oleh unsur
ekstralingual tanda-tanda
ketubuhan berupa
gerakan tangan kanan Ndoro yang menggaruk- garuk
kepala bagian
belakang untuk
mengindikasikan rasa sungkannya untuk bertanya secara langsung kepada Sapta Nirwandar. Selain itu, terdapat juga unsur
ekstralingual konteks yang diketahui melalui fenomena praanggapan atau
pengetahuan lama penutur mengenai suatu hal. Ndoro mempunyai pengetahuan awal mengenai karya kreatif di Indonesia yang tidak ditangani secara serius oleh
pemerintah. Selain itu, Ndoro juga mempunyai pengetahuan mengenai latar belakang pekerjaan mitra tutur Sapta Nirwandar, yaitu sebagai wakil menteri
pariwisata dan industri kreatif. Berdasarkan latar belakang pekerjaan yang diketahui oleh Ndoro, munculah rasa sungkan karena beliau termasuk orang yang
seharusnya mengurus karya kreatif tersebut. Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator
kesantunan Pranowo 2012:103, yaitu adu rasa mempertemukan perasaan penutur dengan mitra tutur sehingga isi komunikasi sama-sama
dikehendaki. Di dalam konteks tuturan tersebut, Ndoro terlebih dahulu
mengenali kesiapan hati Sapta Nirwandar sebelum beliau mengungkapkan suatu hal yang mungkin bisa menyinggung perasaannya.
Nilai rasa sungkan muncul dalam tuturan “Ngomong mesin aja kok. Mohon maaf Pak ya.
Saya ini juga ahli mesin Ndoro” SSNRB15-09-201413. Tuturan tersebut dikatakan oleh Cak Lontong yang mengetahui bahwa kedua
bintang tamu pada malam itu merupakan orang yang ahli dalam bidang mesin
Jonkie Sugiarto merupakan ketua GAIKINDO dan Bambang Sugiarto merupakan seorang Profesor Teknik yang mengajar di Universitas Indonesia.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Mohon maaf Pak ya
”, untuk memunculkan nilai rasa sungkan. Kalimat tersebut dipersepsi
sebagai rasa sungkan Cak Lontong karena hendak membuat lelucon mengenai bidang permesinan padahal ia mengetahui bahwa didepannya ada dua orang yang
ahli dalam bidang mesin. Cak Lontong menggunakan kalimat tersebut untuk meminta izin sebelum ia membuat lelucon mengenai bidang tersebut agar tidak
ada pihak yang tersinggung atas lelucon yang dibuat. Cak Lontong tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan apa pun untuk mendukung rasa sungkan
yang hendak diungkapkan, sedangkan unsur ekstrlingual konteks dimunculkan
melalui fenomena praanggapan atau pengetahuan awal penutur mengenai suatu hal. Cak Lontong merasa sungkan karena ia hendak membuat lelucon mengenai
bidang permesinan. Rasa sungkan Cak Lontong muncul karena ia sebelumnya mengetahui bahwa kedua bintang tamu pada malam itu merupakan orang yang
ahli dalam bidang mesin Jonkie Sugiarto merupakan ketua GAIKINDO dan Bambang Sugiarto merupakan seorang Profesor Teknik yang mengajar di
Universitas Indonesia.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo 2012:103, yaitu adu rasa mempertemukan perasaan
penutur dengan mitra tutur sehingga isi komunikasi sama-sama dikehendaki. Di dalam konteks tuturan tersebut, Cak Lontong berusaha
mengenali kesiapan hati Jonkir Sugiarto dan Bambang Sugiarto sebelum ia
mengungkapkan lelucon yang sesuai dengan bidang kedua narasumber tersebut. Cak Lontong melakukan hal tersebut karena khawatir tuturannya akan
menyinggung narasumber. Berdasarkan contoh data tuturan nilai rasa sungkan yang diambil dalam
acara Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa sungkan hanya berupa kalimat. Tidak
ada kata-kata khas tertentu yang mengindikasikan nilai rasa sungkan karena kadar rasa sungkan baru diketahui dalam satu susunan kalimat utuh.
Unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung nilai rasa sungkan kerena hal tersebut tergantung keekspresifan
penutur. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual konteks yang selalu menyertai tuturan karena digunakan untuk mengetahui kadar rasa suatu tuturan.
Unsur ekstralingual konteks dalam nilai rasa sungkan hanya dimunculkan melalui fenomena praanggapan karena sebelum penutur merasa sungkan terhadap
seseorang pasti ia mengetahui latar belakang orang tersebut entah pekerjaan atau yang lain sehingga penutur takut menyinggungnya. Nilai rasa sungkan selalu
dinyatakan santun karena terlebih dahulu menjajaki kesiapan hati mitra tutur sebelum mengungjkapkan sesuatu yang mungkin menyinggung mitra tutur sesuai
dengan indikator kesantunan Pranowo, yaitu adu rasa.
4.2.2.6 Nilai Rasa Yakin Nilai rasa yakin merupakan kadar perasaan tuturan untuk menyatakan rasa
kepastian penutur bahwa apa yang dikatakan oleh mitra tutur akan menjadi
kenyataan. Nilai rasa yakin ini dilatarbelakangi oleh keyakinan penutur mengenai janji, ungkapan atau pendapat mengenai suatu hal tertentu. Nilai rasa yakin dapat
ditunjukkan melalui rasa optimis dan rasa mantap. 4.2.2.6.1 Nilai Rasa Optimistis
Nilai rasa opimistis merupakan bentuk keyakinan yang muncul karena sebelumnya penutur mempunyai pengharapan baik dalam menghadapi segala hal,
misalnya dalam tuturan “Ya . . .kalau saya sih Ndoro ya semoga saja industri kreatif kita ini semakin maju. Ya pemerintah yang akan datang juga berjanji to
akan memp erhatikan industri kreatif kita” SSNRB25-08-201417. Tuturan
tersebut dikatakan oleh Sentilun yang mengetahui salah satu janji Pak Jokowi dalam bidang industri kreatif saat kampanye kemarin, yaitu meningkatkan industri
kreatif sebagai salah satu kunci kesejahteraan masyarakat
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“semoga saja industri kreatif kita ini semakin maju
”, untuk memunculkan nilai rasa optimistis.
Klausa tersebut menggunakan kata “semoga” yang berarti mudah-mudahan
KBBI,2008:925 untuk mengindikasikan harapan penutur. Secara utuh, klausa tersebut dipersepsi sebagai keoptimisan Sentilun terhadap perkembangan industri
kreatif yang akan semakin maju pasca kepemimpinan Pak Jokowi. Rasa optimis Sentilun muncul karena ia mempunyai pengetahuan lama mengenai janji Pak
Jokowi saat kampanye yang akan memperhatikan industri kreatif. Sentilun menganggap bahwa bila janji Pak Jokowi sudah dibuktikan, maka industri kreatif
di Indonseia akan semakin berkembang karena pemerintah akan membantu kesulitan-kesulitan yang dialami oleh para pelaku industri kreatif selama ini. Nilai
rasa optimististis juga didukung
oleh unsur
ekstralingual tanda-tanda ketubuhan berupa gerakan
tangan menunjuk-nunjuk ke arah penonton sambil badan menghadap ke penonton untuk mengindikasikan keoptimisan
Sentilun yang ditunjukkan kepada seluruh penonton yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual yang dimunculkan
melalui fenomena praanggapan. Sentilun mempunyai pengetahuan lama
mengenai salah satu janji Pak Jokowi dalam bidang industri kreatif saat kampanye kemarin, yaitu meningkatkan industri kreatif sebagai salah satu kunci
kesejahteraan masyarakat.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaa n “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan
kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun memberikan
keuntungan kepada Pak Jokowi karena dia berprasangka baik terhadap beliau yang akan benar-benar menepati janjinya untuk memajukan industri kreatif.
Nilai rasa optimistis tidak selalu didukung oleh unsur ekstralingual tanda- tanda ketubuhan, misalnya pada tuturan “Jadi aku ini bener-bener berharap
bahwa presiden baru kita ini benar-benar memenuhi dan menepati janjinya”
SSNRB04-08-20144. Tuturan ini dikatakan oleh Chacha Federicha yang mengetahui 9 poin pokok isi kampanye Pak Jokowi ketika pilpres 2014, yaitu
meningkatkan profesionalisme guru, mensejahterakan desa, mengentaskan kemiskinan, membuat program kepemilikan tanah pertanian, perbaikan 5.000
pasar tradisional, menurunkan pengangguran, meningkatkan layanan kesehatan, meningkatkan mutu pendidikan pesantren, serta mewujudkan pemerataan
pendidikan.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat “Jadi aku ini
bener-bener berharap bahwa presiden baru kita ini benar-benar memenuhi dan menepati janjinya
”, untuk memunculkan nilai rasa optimistis. Kalimat tersebut
menggunakan kata berharap yang dipersepsi sebagai pengharapanrasa optimis. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai rasa optimis Chacha terhadap presiden Jokowi
yang benar-benar akan merealisasikan janjinya selama kampanye pilpres kemarin. Nilai rasa optimistis juga diperkuat dengan unsur
ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan yang dimunculkan
lewat gerakan
kedua tangan
ditangkupkan dan diangkat ke depan dada. Gerakan tersebut dipersepsi seperti
gerakan memohon sesuatu yang digunakan untuk memperkuat rasa optmis penutur bahwa presiden benar-benar merealisasikan janjinya. Selain itu, terdapat
juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena
praanggapan. Chacha mempunyai pengetahuan mengenai isi kampanye Pak
Jokowi ketika pilpres 2014 kemarin yang terdiri dari 9 poin pokok, yaitu meningkatkan profesionalisme guru, mensejahterakan desa, mengentaskan
kemiskinan, membuat program kepemilikan tanah pertanian, perbaikan 5.000 pasar tradisional, menurunkan pengangguran, meningkatkan layanan kesehatan,
meningkatkan mutu pendidikan pesantren, serta mewujudkan pemerataan pendidikan.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Chacha memberikan
keuntungan kepada Pak Jokowi karena dia berprasangka baik terhadap beliau yang akan benar-benar menepati janjinya.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan juga tidak selalu muncul dan mendukung nilai rasa optimistis, seperti pada tuturan “Sebenarnya
masalah kita itu banyak, karena itu yang diperlukan di fase ini adalah pemimpin yang mau membereskan masalah implementasi. Bukan sekedar bicara ke hulunya,
tapi hilirnya. Nah itu sebabnya saya berharap ni model seperti Pak JK dulu waktu di pemerintahan
juga sama, bekerjanya di hilir” SSNRB04-08-201428. Tuturan tersebut dikatakan oleh Anies Baswedan yang mengetahui kinerja Jusuf
Kalla ketika menjadi Wakil Presiden pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang banyak menangani masalah implementasi.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Nah itu sebabnya saya berharap ni model seperti Pak JK dulu waktu di pemerintahan
juga sama, bekerjanya di hilir
”, untuk memunculkan nilai rasa optimististis.
Kalimat tersebut dipersepsi sebagai rasa optimis Pak Anies terhadap Pak JK yang akan mempunyai kinerja sama seperti saat berpasangan dengan Pak SBY. Kita
ketahui bersama bahwa pada masa pemerintahan Pak SBY, Pak JK lebih banyak menyelesaikan masalah implementasi. Anies Baswedan tidak memunculkan
tanda-tanda ketubuhan apapun untuk mendukung nilai rasa optimistis yang
diungkapkan, sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui
fenomena praanggapan. Pak Anies mempunyai pengetahuan awal mengenai
kinerja Jusuf Kalla ketika menjadi Wakil Presiden pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Jusuf Kalla banyak mengerjakan masalah implementasi
pada masa pemerintahannya bersama Pak SBY, misalnya saat beliau terjun langsung untuk mendamaikan berbagai kasus kerusuhan di Maksar dan Papua.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Refly Harun
memberikan keuntungan kepada Pak Jusuf Kalla dengan mengungkapkan prasangka baiknya bahwa beliau akan memiliki kinerja sama seperti pemerintahan
Pak SBY. Berdasarkan beberapa contoh data tuturan nilai rasa optimististis yang
ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai rasa optimistis dapat dimunculkan melalui klausa dan kalimat. Terdapat kata-kata
khas yang digunakan untuk mengindikasikan nilai rasa optimistis, seperti kata semoga dan berharap, namun kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena
kadar rasanya baru diketahui setelah berada dalam kalimat atau paling tidak klausa.
Unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung nilai rasa optimistis karena hal tersebut tergantung dari keeksresifan
penutur. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual konteks yang selalu
menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa dalam tuturan. Unsur ekstralingual konteks dalam nilai rasa optimistis hanya
dimunculkan melalu fenomena praanggapan karena sebelum menyatakan keoptimisannya, penutur pasti mempunyai pengetahuan lama mengenai suatu hal
yang membuatnya merasa optimis. Nilai rasa optimis selalu dinyatakan santun karena penutur selalu memberikan keuntugan kepada mitra tutur dengan
berprasangka baik terhadap mitra tutur sesuai dengan indikator kesantunan Leech, yaitu maksim kebijaksanaan
4.2.2.6.2 Nilai Rasa Mantap Nilai rasa mantap merupakan bentuk keyakinan yang muncul karena rasa
ketetapan atau keteguhan hati terhadap s uatu hal, misalnya dalam tuturan “Nggak
usah dikenalkan orang se-Indonesia ya tahu. Ini orang penting dan bakal jadi orang penting” SSNRB04-08-20148. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun
yang mengetahui isu terhangat saat ini, yaitu mengenai Pak Anies yang akan diangkat menjadi menteri pendidikan oleh Pak Jokowi.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Ini orang pentin
g dan bakal jadi orang penting”, untuk memunculkan nilai rasa mantap.
Kalimat tersebut menggunakan kata “bakal” yang berarti sesuatu yang akan
menjadi KBBI,2008:121 untuk mengindikasikan keyakinan Sentilun. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai kemantapan hati Sentilun bahwa Pak Anies akan
diangkat menjadi menteri pendidikan. Kemantapan hati Sentilun muncul karena praanggapan yang ada dibenaknya mengenai Anies Baswedan yang merupakan
salah satu orang keparcayaan Pak Jokowi. Nilai rasa mantap juga didukung oleh
unsur ekstralingual yang dimunculkan oleh
Sentilun berupa gerakan tangan kanan diangkat dan menunjuk-nunjuk sambil dinaik-turunkan
untuk mengindikasikan penekanan pentingnya posisi Pak Anies kelak di kabinet Pak Jokowi. Selain itu, terdapat juga unsur
ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena praanggapan.
Sentilun mempunyai pengetahuan lama mengenai Anies Baswedan yang merupakan salah satu orang kepercayaan Pak Jokowi yang saat itu dipercaya
menempati posisi sebagai juru bicara Jokowi-JK saat pilpres 2014. Pasca dinyatakan memenangkan pemilu, Pak Jokowi meminta Pak Anies untuk menjadi
salah satu staf deputi rumah transisi yang bertugas mempersiapkan kabinetnya. Pak Anies merupakan seorang yang profesional dalam bidang pendidikan
sehingga dia layak diangkat menjadi menteri pendidikan.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun memberikan
keuntungan kepada Pak Anies dengan mengungkapkan kemantapan hatinya terhadap Pak Anies yang akan diangkat sebagai menteri pendidikan oleh Pak
Jokowi. Nilai rasa mantap juga muncul dalam tuturan “Ini memang sebagai apa ya,
saya ini pelaku usaha di industri kreatif ini memang masih banyak kendala dan masalah. Tapi saya yakin wong masala
hnya pasti bisa kita selesaikan”
SSNRB25-08-201416. Tuturan tersebut dikatakan oleh Cak Lontong yang merupakan salah satu pelaku industri kreatif dan merasakan sendiri masih banyak
kendala yang dihadapi.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Tapi saya yakin wong masalahnya pasti bisa kita selesaikan
”, untuk memunculkan nilai rasa mantap. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai kemantapan hati Cak Lontong
terhadap setiap masalah dalam industri kreatif yang bisa diselesaikan. Rasa mantap Cak Lontong muncul karena sebagai pelaku industri kreatif komedian, ia
pernah mengalami sendiri situasi tersebut dan ia berhasil menyelesainya. Nilai rasa mantap juga didukung oleh unsur
ekstralingual tanda-tanda ketubuhan yang dimunculkan oleh Cak Lontong berupa
gerakan tangan kanan diangkat dan mengepal untuk menekankan kemantapan hatinya bahwa setiap masalah pasti ada
solusinya. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan
melalui fenomena praanggapan atau pengetahuan awal penutur mengenai suatu
hal. Cak Lontong merupakan pelaku industri keratif karena beliau bekerja sebagai komedian. Kita ketahui bersama bahwa komedian merupakan salah satu pekerjaan
dalam bidang industri kreatif dalam bidang seni. Selama menjadi komedian, Cak Lontong banyak mengalami kendala misalnya ia harus berpikir secara cepat untuk
menghasilkan humor yang segar dan dapat menghibur penonton.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Cak Lontong berbaik
hati mengungkapkan kemantapan hatinya bahwa setiap masalah dalam industri kreatif pasti bisa diselesaikan.
Nilai rasa mantap tidak hanya ditandai oleh unsur intralingual berupa kalimat seperti kedua contoh di atas, melainkan dapat pula ditandai oleh klausa
seperti pada tuturan “Nggak, tapi kalau menurut saya sebenarnya kalau calon kepala daerah itu benar-benar dikenal rakyat dengan baik. Terus dicintai
masyarakat dengan baik itu kan pasti suaranya nggak harus bayar to? Kita pasti milih langsung. Terus orangnya yang mengayomi, udah pasti kita milih nggak
pakai duit ya” SSNRB22-09-201415. Tuturan tersebut dikatakan oleh Asri Welas yang mengetahui banyaknya kepala daerah yang terpilih berdasarkan
kinerjanya seperti Pak Jokowi.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“udah pasti kita milih nggak pakai duit ya
”, untuk memunculkan nilai rasa mantap. Klausa
tersebut dipersepsi sebagai kemantapan hati Asri bahwa rakyat pasti akan memilih kepala daerah yang memiliki kinerja yang baik tanpa harus ada money politik.
Klausa tersebut menggunakan kata “pasti” yang berarti sudah tetap
KBBI,2008:1028 untuk mengindikasikan kemantapan hati Asri Welas. Nilai rasa
mantap juga
didukung oleh
unsur ekstralingual
tanda-tanda ketubuhan
yang
dimunculkan Asri Welas berupa alis kanan diagkat dan mata yang membelalak saat
mengucapkan klausa tersebut. Unsur ekstralingual yang dimunculkan oleh Asri mengindikasikan keyakinannya terhadap rakyat yang pasti memilih pemimpin
yang memiliki kinerja baik. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks
yang dimunculkan melalui fenomena praanggapan atau pengetahuan lama Asri
mengenai banyaknya kepala daerah yang dipih berdasarkan kinerjanya seperti Pak Jokowi. Asri mengetahui hasil pemerolehan suara Pak Jokowi dalam pemilihan
umum mulai dari saat menjadi wali kota Solo, guberbur DKI Jakarta, hingga menjadi Presiden yang terus meningkat.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Asti berbaik hati
menyampaikan kemantapan hatinya sebagai rakyat untuk mempertahankan Pilkada langsung.
Unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan juga tidak selalu muncul untuk mendukung nilai rasa mantap, misalnya dalam tuturan
“Pasti ora nganggo duit yo Mas?
Nah kayak gitu” SSNRB22-09-201420. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang mengetahui hasil pemerolehan suara Pak Jokowi dalam pemilihan
umum mulai dari saat menjadi wali kota Solo, guberbur DKI Jakarta, hingga menjadi Presiden yang terus meningkat.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Pasti ora
nganggo duit yo Mas?, untuk memunculkan nilai rasa mantap. Kalimat tersebut
dipersepsi sebagai kemantapan hati Ndoro terhadap hasil pemerolehan suara Pak
Jokowi yang mengindikasikan bahwa beliau dipilih kerena kinerjanya. Hal tersebut terlihat dari semakin meningkatnya pemerolehan suara bagi Pak Jokowi
dari mulai pemilihan wali kota Solo hingga Presiden tidak ada yang menggunakan politik uang. Ndoro yakin bahwa rakyat memberikan suaranya kepada Pak Jokowi
berdasarkan kinerjanya yang selama ini dianggap bagus. Kalimat tersebut menggunakan kata
“pasti” yang berarti sudah tetap atau tentu KBBI,2008:1208 untuk mengindikasikan kemantapan hati Ndoro. Selain itu, kalimat tersbeut
merupakan kalimat tanya yang ditujukan kepada Refly Harun untuk mengonfirmasi perihal dugaan Ndoro untuk menimbulkan efek kemantapan hati
yang semakin kuat. Ndoro tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda- tanda ketubuhan apapun untuk mendukung nilai rasa mantap yang
diungkapkannya, sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui
fenomena praanggapan. Ndoro mempunyai pengetahuan awal mengenai hasil
pemerolehan suara Pak Jokowi dalam pemilihan umum mulai dari saat menjadi wali kota Solo, guberbur DKI Jakarta, hingga menjadi Presiden yang terus
meningkat. Hal tersebut membuktikan bahwa kinerja Pak Jokowi memang bagus sehingga banyak rakyat yang percaya kepada beliau dengan memberikan
suaranya.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Dalam konteks tuturan tersebut, Ndoro berbaik hati
menyampaikan kesimpulannya kepada seluruh rakyat indonesia mengenai banyaknya pemimpin yang dipilih justru karena kinerjanya.
Berdasarkan beberapa contoh data tuturan nilai rasa mantap di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai rasa mantap dapat muncul melalui unsur intralingual
klausa dan kalimat. Terdapat kata-kata khas yang mengindikasikan nilai rasa mantap, seperti kata pasti, bakal dan yakin, namun kata-kata tersebut tidak dapat
berdiri sendiri karena kadar rasanya baru dapat dirasakan setelah berada di dalam kalimat atau paling tidak klausa.
Unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung nilai rasa mantap karena hal tersebut tergantung keekspresifan
penutur. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual konteks yang selalu menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa suatu
tuturan. Unsur ekstralingual konteks dalam nilai rasa mantap hanya dimunculkan melalui fenomena praanggapan karena sebelum penutur menyatakan kemantapan
hatinya mengenai sesuatu pasti terlebih dahulu penutur mempunyai pengetahuan yang banyak sehingga muncul rasa mantap dalam dirinya. Nilai rasa mantap
selalu dinyatakan santun karena selalu memberikan keuntungan kepada mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan karena penutur merasa mantap
terhadapnya sesuai dengan maksim kebijaksanaan Leech.
4.2.2.7 Nilai Rasa Simpatik
Nilai rasa simpatik merupakan kadar perasaan tuturan untuk menyatakan rasa kasih, rasa setuju,rasa suka kepada seseorang. Nilai rasa simpatik ini juga
dapat berupa keikutsertaan merasakan perasaan senang, susah, dan lain sebagainya yang dialami orang lain. Nilai rasa simpatik dapat ditunjukkan
melalui rasa setuju, kagum dan peduli. 4.2.2.7.1 Nilai Rasa Merasa Setuju
Nilai rasa setuju adalah bentuk rasa simpatik yang muncul karena penutur merasa berkenan atau sependapat dengan apa yang diungkapkan oleh mitra tutur.
Perhatikan tuturan berikut: “Wah cocok ni . . .” SSNRB04-08-201416. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang menyetujui tuturan Pak Anies
Baswedan sebelumnya yang menyatakan bahwa perbedaan sudah selesai tanggal 9 dan sekarang saatnya kita bersama-sama mengawasi pemerintah agar
menjalankan tugasnya dengan baik.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Wah cocok ni”,
untuk memunculkan nilai rasa merasa setuju. Kalimat tersebut menggunakan
kata “cocok” yang berarti berarti setuju atau sepakat KBBI,2008:271. Kalimat
tersebut dipersepsi sebagai rasa setuju Ndoro terhadap pernyataan Pak Anies yang menyatakan bahwa perbedaan sudah selesai tanggal 9 dan sekarang saatnya kita
bersama-sama mengawasi pemerintah agar menjalankan tugasnya dengan baik. Sekarang ini saatnya seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu dan tidak terbagi
menjadi dua kubu lagi karena kita sudah memiliki presiden yang baru. Nilai rasa setuju juga didukung oleh unsur ekstralingual
tanda-tanda ketubuhan yang dimunculkan oleh
Ndoro berupa gerakan tangan kanan yang ditepukkan ke bagian paha untuk menekankan
kata “cocok” sebagai ungkapan setuju. Selain itu, terdapat juga unsur
ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena referensi atau
rujukan tuturan Pak Anies Baswedan sebelumnya yang menyatakan bahwa perbedaan sudah selesai tanggal 9 dan sekarang saatnya kita bersama-sama
mengawasi pemerintah agar menjalankan tugasnya dengan baik. Sebelumnya Ndoro mengetahui mengenai fenomena perpecahan yang terjadi di masyarakat
karena membela kubu masing-masing dan kedua pendukung kubu terkesan saling bermusuhan.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kesetujuan
“agreement maxim” tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur. Dalam konteks tuturan tersebut, Ndoro mengungkapkan rasa setujunya
terhadap pernyataan Pak Anies yang mengajak seluruh rakyat berdamai karena
pilpres telah selesai.
Nilai rasa setuju juga muncul dalam tuturan “Saya setuju, kesamaan berpikir tapi bukan kesamaan gaya. Jangan sampai meniru gaya Pak Jokowi,
padahal nggak cocok. Ndoro, yang penting itu mau bekerja melayani rakyatnya itu Ndoro” SSNRB11-08-201434. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun
yang menyetujui pernyataan Pak Andrinof sebelumnya mengenai pendamping Pak Ahok yang sebaiknya mempunyai kesamaan berpikir dan cara-cara
menyelesaikan masalah seperti Pak Jokowi.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Saya setuju, kesamaan be
rpikir tapi bukan kesamaan gaya”, untuk memunculkan nilai rasa
merasa setuju. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai pernyataan sepakat yang
diutarakan oleh Sentilun terhadap pernyataan Pak Andrinof sebelumnya mengenai pendamping Pak Ahok yang sebaiknya mempunyai kesamaan berpikir dan cara-
cara menyelesaikan masalah seperti Pak Jokowi. Sentilun mempunyai persamaan pendapat dengan Pak Andrinof bahwa yang harus mendampingi Pak Ahok
sebaiknya yang memiliki kesamaan bepikir seperti Pak Jokowi, namun bukan kesamaan gaya sengaja menirukan gaya Pak Jokowi.
Nilai rasa setuju juga didukung oleh unsur ekstralingual
tanda-tanda ketubuhan
yang
dimunculkan oleh Sentilun berupa gerakan tangan kanan menunjuk ke arah Pak Andrinof saat mengucapkan frasa tersebut. Unsur ekstralingual tersebut
mengindikasikan kesetujuan Sentilun terhadap pernnyataan Pak Andrinof sebelumnya. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang
dimunculkan melalui fenomena referensi atau rujukan tuturan Pak Andrinof
sebelumnya yang mengungkapkan bahwa pendamping Pak Ahok yang sebaiknya mempunyai kesamaan berpikir dan cara-cara menyelesaikan masalah seperti Pak
Jokowi.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kesetujuan
“agreement maxim” tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur. Dalam konteks kalimat tersebut, Sentilun menyatakan kesetujuannya
terhadap pendapat Pak Andrinof mengenai kesamaan berpikir antara Pak Jokowi dengan pendamping Pak Ahok kelak agar terjadi sinergi yang baik.
Nilai rasa merasa setuju juga tidak selalu didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan, misalnya dalam tuturan
“Betul sekali” SSNRB11-08-201431. Tuturan tersebut dikatakan oleh Pak Andrinof yang
menyetujui pendapat Sentilun mengenai Kalimantan yang cocok dijadikan sebagai ibu kota negara karena daerah tersebut bebas gempa.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“betul sekali”,
untuk memunculkan nilai rasa merasa setuju. Kalimat tersebut menggunakan
kata “betul” yang mengindikasikan pembenaran atas apa yang disampaikan oleh
Sentilun. Secara utuh kalimat tersebut dipersepsi sebagai kesetujuan penutur terhadap pendapat Sentilun dalam tuturan sebelumnya mengenai Kalimantan yang
cocok dijadikan sebagai ibu kota negara karena daerah tersebut bebas gempa. Pak Andrinof tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan
apa pun untuk mendukung nilai rasa setuju yang diungkapkan, sedangkan unsur
ekstralingual konteks dimunculkan melalui fenomena referensi. Pak Andrinof
merujuk tuturan Sentilun sebelumnya mengenai Kalimantan yang cocok dijadikan sebagai ibu kota negara karena daerah tersebut bebas gempa. Pak Andrinof setuju
dengan pernyataan Sentilun karena beliau telah mengetahui hal tersebut sebelumnya dari berbagai media informasi.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kesetujuan
“agreement maxim” tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Pak Andrinof membenarkan ungkapan
Sentilun sebelumnya yang mengatakan bahwa Kalimantan cocok dijadikan sebagai alternatif tempat pemindahan Ibu Kota.
Unsur intralingual dalam nilai rasa setuju tidak selalu berupa kalimat, seperti dalam tuturan “Untuk saya, saya sepakat pemilihan langsung oleh rakyat.
Karena rakyat yang memiliki kedaulatan, rakyat yang memiliki hak suara untuk menentukan siapa pemimpinnya” SSNRB29-09-201414. Tuturan tersebut
dikatakan oleh Asep Rahmatullah yang menyetujui pertanyaan Ndoro sebelumnya yang menolak RUU Pilkada melalui DPRD.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa
klausa “saya sepakat
pemilihan langsung oleh rakyat ”. Klausa tersebut dipersepsi sebagai ungkapan
rasa setuju Asep Rahmatullah terhadap pendapat Ndoro sebelumnya yang menyatakan penolakan terhadap RUU Pilkada yang diajukan oleh DPRD. Asep
merasa bahwa kedaulatan rakyat tetap harus ditegakkan. Di dalam tuturan tersebut, Asep Rahmatullah tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan apa pun
untuk mendukung rasa setuju yang diungkapkan, sedangkan unsur ekstralingual
konteks dimunculkan melalui fenomena referensi. Asep Rahmatullah merujuk tuturan Ndoro sebelumnya yang menolak RUU Pilkada melalui DPRD yang
diusulkan oleh DPR. Kita ketahui bersama saat itu yang sedang hangat adalah RUU Pilkada melalui DPRD yang banyak memunculkan pro dan kontra di
masyarakat.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kesetujuan
“agreement maxim” tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra
tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Asep Rahmatullah menyatakan
kesetujuannya dengan pendapat Ndoro sebelumnya yang menolak RUU Pilkada melalui DPRD karena dianggap mematikan demokrasi rakyat.
Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang diambil dari Acara Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang
digunakan dalam acara tersebut untuk memunculkan nilai rasa merasa setuju adalah berupa kalimat dan klausa. Walaupun ada satu kata yang dominan untuk
mengindikasikan nilai rasa merasa setuju seperti kata setuju, cocok dan sepakat, tetapi kata tersebut tidak dapat dipisahkan dari kalimat atau klausa. Kata tersebut
tidak dapat berdiri sendiri karena makna dan kadar rasanya baru dapat diketahui setelah berada dalam sebuah kalimat atau paling tidak suatu klausa.
Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung nilai rasa khawatir karena hal tersebut tergntung keekspresifan
penutur. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual konteks yang selalu muncul menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa yang
ada dalam tuturan. Unsur ekstralingul konteks yang memunculkan nilai rasa merasa setuju dalam acara Sentilan Sentilun hanyalah fenomena referensi karena
sebelum menyatakan persetujuan mengenai suatu hal pasti penutur merujuk tuturan orang lain sebelumnya. Nilai rasa merasa setuju yang ada dalam Acara
Sentilan Sentilun selalu dinyatakan santun karena selalu memberikan persetujuan terhadap mitra tutur sesuai dengan maksim kesetujuan Leech.
4.2.2.7.2 Nilai Rasa Kagum Nilai rasa kagum adalah bentuk rasa simpatik yang muncul karena penutur
takjub dengan kelebihan, pendapat, atau hasil analisis yang dimiliki oleh mitra tutur. Nilai rasa kagum ini biasanya disertai dengan pujian terhadap sesuatu yang
dianggap hebat oleh penutur. Perhatikan tuturan berikut: “Pak Anies juara, berarti saya tahu jawabannya setelah sekian lama. Kenapa Mas Sentilun tidak bisa
menjabat dan tidak bisa menjadi pemimpin negara, karena terlalu banyak masalah dalam hidupnya” SSNRB04-08-201422. Tuturan tersebut dikatakan
Chacha Federicha yang kagum dengan ungkapan Anies Baswedan sebelumnya mengenai penegakan hukum di Indonesia yang kurang tegas sehingga orang
seperti Pak Prabowo bisa tetap bebas walaupun beliau diduga terlibat dalam kasus penculikan aktivis tahun 1997-1998.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“Pak Anies juara
”, untuk memunculkan nilai rasa kagum. Klausa tersebut menggunakan
kata “juara” yang berarti orang yang dapat kemenangan dalam pertandingan
KBBI,2008:590 untuk mengindikasikan rasa kagum penutur. Kata “juara” dalam
klausa tersebut bukan mengandung arti yang sebenarnya bila kata tersebut berdiri sendiri, melainkan setelah bergabung dalam klausa kata
“juara” dapat dipersepsi sebagai kekaguman. Secara utuh, klausa tersebut dipersepsi sebagai ungkapan
rasa kagum Chacha kepada analisa Pak Anies Baswedan. Nilai rasa kagum juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda
ketubuhan yang dimuculkan Chacha berupa
acungan jempol. Acungan jempol tersebut
digunakan untuk mengekspresikan kekaguman Chacha terhadap analisa Anies baswedan. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan
melalui fenomena referensi. Ndoro merujuk tuturan Anies Baswedan sebelumnya
mengenai penegakan hukum di Indonesia yang kurang tegas sehingga orang seperti Pak Prabowo bisa tetap bebas walaupun beliau diduga terlibat dalam kasus
penculikan aktivis tahun 1997-1998.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim perimbangan
“consideration maxim” tuturan dapat mengungkapkan sebanyak- banyaknya rasa senang kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut,
Chacha mengungkapkan rasa senangnya terhadap pernyataan Pak Anies Baswedan sebelumnya yang menurutnya memang benar dan sesuai dengan
pemikiran Chacha. Tuturan tersebut juga mengandung nilai rasa kagum “Ada gunanya juga ya
orang Palembang belajar di Jogja. Nomor piro wani piro. . .hahaha. Ini hebat, hebat” SSNRB22-09-201419. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang
merujuk tuturan Refly Harus sebelumnya mengenai akronin NPWP, Nomor Piro Wani Piro.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Ini hebat, hebat
”, untuk memunculkan nilai rasa kagum. Kalimat tersebut menggunakan
kata “hebat” yang berarti amat sangat atau terlampau KBBI,2008:488 untuk
mengindikasikan kekaguman Ndoro. Secara utuh, kalimat tersebut dipersepsi sebagai rasa kagum Ndoro terhadap Refly Harun yang mampu membuat
ungkapan dalam bahasa jawa untuk menyindir anggota DPR yang mengusulkan RUU pilkada melalui DPRD. Ndoro kagum karena Refly mahir menggunakan
bahasa jawa, padahal ia berasal dari palembang. Nilai rasa kagum juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan
yang dimunculkan Ndoro berupa gerakan tangan kanan mengacungkan jempol sambil badan
menghadap ke arah Refy Harun. Unsur ekstralingual tersebut dipersepsi sebagai wujud kekaguman Ndoro. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual
konteks yang dimunculkan melalui fenomena referensi. Ndoro merujuk tuturan
Refly Harun sebelumnya yang menggunakan akronim dalam bahasa Jawa NPWP, Nomor Piro Wani Piro untuk mengungkapkan kecurigaannya bila RUU Pilkada
jadi disahkan.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim perimbangan
“consideration maxim” tuturan dapat mengungkapkan sebanyak- banyaknya rasa senang kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan
tersebut, Ndoro merasa senang dengan akronim bahasa jawa yang dibuat oleh
Refly Harun tentang dampak yang akan terjadi jika RUU Pilkada disahkan.
Unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan juga tidak selalu muncul untuk mendukung nilai rasa kagum, seperti dalam tuturan “Makin melek demokrasi dan
makin sadar bahwa mereka punya peluang menentukan pemimpinnya yang sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Jadi masyarakat itu sekarang dimobilisasi,
tapi berpartisipasi. Kalau mobilisasi itu artinya dari atas diberikan dorongan
baru bergerak. Kalau partisipasi artinya memang panggilan dan ini gerakan relawan yang luar biasa” SSNRB04-08-201415. Tuturan tersebut dikatakan
oleh Anies Baswedan yang mengetahui partisipasi rakyat Indonesia terus meningkat, hal tersebut dibuktikan melalui gerakan para relawan Jokowi-JK saat
mengawasi pilpres 2014 dari awal hingga akhir.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa “Kalau
partisipasi artinya memang panggilan dan ini gerakan relawan yang luar biasa”,
untuk memunculkan nilai rasa kagum. Klausa tersebut menggunakan frasa
“luar biasa
” yang berarti berati tidak seperti biasa atau istimewa KBBI,2008:844. Secara utuh, klausa tersebut dipersepsi sebagai kekaguman penutur melihat
partisipasi rakyat Indonesia yang mengawasi pilpres dari awal hingga akhir karena mereka sangat perduli terhadap masa depan bangsa Indonesia. Anies tidak
memunculkan tanda-tanda ketubuhan tertentu yang mendukung nilai rasa kagum, sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui fenomena
praanggapan. Anies Baswedan mempunyai pengetahuan awal mengenai
partisipasi rakyat Indonesia terus meningkat, hal tersebut dibuktikan melalui gerakan para relawan Jokowi-JK saat mengawasi pilpres 2014 dari awal hingga
akhir.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim perimbangan
“consideration maxim” tuturan dapat mengungkapkan sebanyak- banyaknya rasa senang kepada mitra tutur. Dalam konteks tuturan tersebut,
Anies Baswedan mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang terhadap
rakyat yang partisipasinya terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut dapat dilihat dari gerakan para relawan Jokowi JK yang mengawasi pilpres dari awal
hingga akhir. Nilai rasa kagum dalam tuturan berikut ini juga tidak didukung oleh unsur
ekstralingual tanda-tanda ketubuhan “Mantap. . .mantap . . .” SSNRB04-08-
201432. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro kagum terhadap para relawan Pak Jokowi-JK berdasarkan ungkapan Pak Anies Baswedan sebelumnya
mengenai fakta pengalamannya kemarin saat ikut mengawasi pilpres dan melihat langsung para relawan yang bekerja dengan ikhlas.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Mantap. . .mantap. . .
”, untuk memunculkan nilai rasa kagum. Kalimat tersebut
menggunakan “mantap” dalam KBBI 2008:876 berarti kukuh atau kuat. Kata
“mantap” dalam tuturan tersebut bukan mengandung makna yang sebenarnya, melainkan mengandung makna kontekstual tergantung pada konteks tuturannya.
Secara utuh, klausa tersebut dipersepsi sebagai ungkapan kekaguman Ndoro terhadap para relawan yang bekerja secara ikhlas dan tanpa mengharapkan
imbalan apapun. Penutur tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan apapun untuk mendukung nilai rasa kagum yang diungkapkan, sedangkan unsur
ekstralingual konteks dimunculkan melalui fenomena referensi. Ndoro kagum
dengan para relawan Pak Jokowi-JK berdasarkan ungkapan Pak Anies Baswedan sebelumnya mengenai fakta pengalamannya kemarin saat ikut mengawasi pilpres
dan melihat langsung para relawan yang bekerja dengan ikhlas.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim perimbangan
“consideration maxim” tuturan dapat mengungkapkan sebanyak- banyaknya rasa senang kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan
tersebut, Ndoro memengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang terhadap para relawan Jokowi JK yang mengawasi pilpres dari awal hingga akhir tanpa
mengharapkan imbalan apapun. Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang diambil dari Acara
Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang digunakan dalam acara tersebut untuk memunculkan nilai rasa kagum adalah
berupa kalimat dan klausa. Walaupun ada satu kata yang dominan untuk mengindikasikan nilai rasa merasa setuju seperti kata juara, hebat, luar biasa dan
mantap, tetapi kata tersebut tidak dapat dipisahkan dari kalimat atau klausa. Kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena makna dan kadar rasanya baru dapat
diketahui setelah berada dalam sebuah kalimat atau paling tidak suatu klausa. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan
mendukung nilai rasa kagum karena hal tersebut tergantung keekspresifan penutur. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual konteks yang selalu
muncul menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa yang ada dalam tuturan. Unsur ekstralingul konteks yang memunculkan nilai rasa
kagum dalam acara Sentilan Sentilun adalah fenomena referensi dan praanggapan. Fenomena referensi karena kekaguman penutur muncul karena tuturan mitra tutur
sebelumnya yang dianggap tepat dan bagus, sedangkan fenomena praanggapan
karena sebelumnya penutur mempunyai pengetahuan mengenai suatu hal yang membuatnya bangga. Nilai rasa merasa setuju yang ada dalam Acara Sentilan
Sentilun selalu dinyatakan santun karena selalu mengungkapkan sebanyak- banyaknya rasa senang terhadap mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam
tuturan sesuai dengan maksim pertimbangan Leech. 4.2.2.7.3 Nilai Rasa Merasa Peduli
Nilai rasa merasa peduli adalah bentuk rasa simpatik yang muncul karena penutur memperhatikan keadaan mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam
tuturan. Perhatikan tuturan berikut: “Saya setuju, kesamaan berpikir tapi bukan kesamaan gaya. Jangan sampai meniru gaya Pak Jokowi, padahal nggak cocok.
Ndoro, yang penting itu mau beker ja melayani rakyatnya itu Ndoro”
SSNRB11-08-201435. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang merasa bahwa pendamping Pak Ahok harus orang yang mau melayani rakyat secara tulus.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“yang penting itu mau bekerja melayani rakyatnya
”, untuk memunculkan nilai rasa peduli. Klausa
tersebut dipersepsi sebagai keperdulian Sentilun terhadap kriteria pemimpin yang seharusnya dipilih untuk mendamping Pak Ahok. Sentilun menganggap orang
yang mendampingi Pak Ahok harus mau bekerja untuk rakyat karena hal tersebut dianggap penting dan merupakan syarat utama agar mampu membenahi kota
Jakarta. Nilai rasa perduli juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan berupa
tangan Sentilun yang menunjuk-nunjuk untuk
mengindikasikan pentingnya memilih wakil gubernur yang benar-benar mau
bekerja mewujudkan Jakarta yang lebih baik. Selain itu, terdat juga unsur
ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena inferensi atau
kesimpulan mengenai suatu hal. Melihat kinerja Pak Jokowi dan Pak Ahok selama ini yang saling mendukung dan keduanya mau bekerja keras untuk memperbaiki
kota Jakarta, Sentilun mempunyai kesimpulan bahwa pendamping Pak Ahok juga harus mempunyai semangat kerja yang sama agar Jakarta menjadi semakin lebih
baik.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim simpati
“sympathy maxim” tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun ikut
merasa simpati dalam wujud keperdulian terhadap kriteria orang yang akan mendampingi Pak Ahok karena efeknya juga secara tidak langsung akan ia
rasakan sebagai warga Jakarta. Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian,
kebetulan hanya ditemukan satu data tuturan nilai rasa peduli. Nilai rasa merasa peduli yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun hanya dimunculkan melalui
unsur intralingual klausa dan tidak ditandai oleh kata-kata khas yang mengindikasikannya karena nilai rasa tersebut baru dapat dirasakan dalam satu
klausa. Penutur memunculkan tanda-tanda ketubuhan yang mendukung nilai rasa
peduli yang diungkapkan, sedangkan ynsyr ekstralingual konteks hanya muncul
melalui fenomena inferensi karena rasa peduli muncul berdasarkan kesimpulan
yang ditarik penutur mengenai suatu hal yang dianggap harus diperhatikan. Nilai rasa peduli dalam acara tersebut selalu dinyatakan santun karena penutur
mengungkapkan rasa pedulinya terhadap suatu keadaan sesuai dengan maksim Leech, yaitu maksim simpati.
4.2.2.8 Nilai Rasa Cengang
Nilai rasa cengang merupakan kadar perasaan tuturan untuk menyatakan perasaan ganjil atau aneh ketika melihat atau mendengar sesuatu. Nilai rasa
cengang ini biasanya muncul karena mitra tutur atau rang yang dimaksud dalam tuturan melakukan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan kebiasaan, aturan
yang berlaku atau kewajiban yang dimiliki. Nilai rasa cengang dapat ditunjukkan melalui rasa kaget dan rasa heran.
4.2.2.8.1 Nilai Rasa Kaget Nilai rasa kaget merupakan bentuk rasa cengang yang disebabkan karena
ada sesuatu dan tidak diduga oleh penutur sebelumnya datang secara tiba-tiba, misalnya dalam tuturan
“Kok fitnah sih, bener” SSNRB04-08-20142. Tuturan tersebut dikatakan oleh Chacha yang dituduh memfitnah Ndoro karena
sebelumnya memuji Ndoro dengan mengatakan bahwa dirinya kelihatan jauh lebih muda.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat “Kok fitnah sih,
bener
”., untuk memunculkan nilai rasa kaget. Kalimat tersebut menggunakan
kata “sih” dalam KBBI 2008:1303 merupakan kata yang menyatakan masih
bimbang atau belum pasti benar. Secara utuh, kalimat tersebut dipersepsi sebagai
ungkapan kekagetan Chacha karena dirinya dianggap berbohong oleh Ndoro dengan mengatakan Ndoro kelihatan jauh lebih muda. Nilai rasa kaget juga
didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda
ketubuhan berupa gerakan tangan kanan menunjuk ke arah Ndoro dan ekspresi wajah
kaget yang mengindikasikan kekagetan Chacha atas tuduhan Ndoro yang
menganggapnya berbohong. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks
yang dimunculkan melalui fenomena referensi. Chacha merujuk tuturan Ndoro
sebelumnya yang menuduh Chacha memfitnahnya dengan mengatakan dirinya kelihatan jauh lebih muda. Berdasarkan tuduhan tersebut Chacha menganggap
bahwa Ndoro tidak percaya dengan pujiannya. Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar salah satu
indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kesetujuan “agreement maxim” tuturan dapat memberikan persetujuan
kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Chacha membantah
tuduhan Ndoro yang mengatakan bahwa dirinya mengatakan fitnah karena memuji Ndoro yang kelihatan jauh lebih muda. Chacha tidak setuju dengan apa
yang dikatakan oleh Ndoro, oleh sebab itu ia membantahnya. Nilai rasa kaget juga muncul dalam tuturan “Ha di dunia?” SSNRB04-
08-201425. Tuturan tersebut dikatakan oleh Chacha yang merasa kaget mendengarkan tuturan Anies baswedan sebelumnya mengenai angka korupsi di
Indonesia yang termasuk tertinggi di dunia.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat tanya
“Ha di dunia?
”, untuk memunculkan nilai rasa kaget. Kalimat tersebut menggunakan
kata “ha” yang berarti kata seru yang menyatakan terkejut KBBI,2008:471.
Secara utuh, kalimat tersebut dipersepsi sebagai ungkapan kekagetan Chacha terhadap angka korupsi di Indonesia yang termasuk tertinggi di dunia. Kalimat
tersebut merupakan kalimat tanya namun bukan difungsikan untuk menanyakan melalinkan sebagai ungkapan kaget Chacha karena sebelumnya ia tidak tahu
bahwa angka korupsi di Indonesia separah itu. Nilai rasa kaget juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan yang dimunculkan Chacha berupa
ekspresi wajah kaget dan tangan kanan menahan dagu untuk
mengindikasikan kekagetannya. Selain ittu, terdapat juga unsur ekstralingual
konteks yang dimunculkan melalui fenomena referensi. Chacha merujuk tuturan
Anies baswedan sebelumnya mengenai angka korupsi di Indonesia yang termasuk tertinggi di dunia. Chacha sebelumnya tidak mengetahui mengenai angka korupsi
tersebut sehingga ia terkejut saat mendengarkan informasi dari Anies Baswedan.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator
kesantunan Leech 1983 dalam Pranowo 2012:103,
yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Chacha berusaha
memberikan keuntungan kepada Pak Anies dengan merespon pemberian informasinya. Chacha memberikan keuntungan kepada Pak Anies agar beliau
merasa bahwa apa yang disampaikan memang benar-benar memberikan informasi bagi orang yang belum mengetahui.
Nilai rasa kaget juga dapat muncul karena penutur sengaja mengagetkan mitra tutur, misalnya dalam tuturan
“Ha, ada apa?” SSNRB18-08-20142. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang merasa kaget karena Chacha
memanggilnya dengan nada yang keras sambil menepuk punggungnya dari belakang.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Ha, ada apa?”,
untuk memunculkan nilai rasa kaget. Kalimat tersebut menggunakan kata
“ha” merupakan kata seru yang menyatakan terkejut KBBI,2008:471 dan klausa
tanya yang mengindikasikan ketidaktahuan Sentilun mengenai Chacha yang tiba- tiba memasuki panggung lalu memanggil namanya dengan keras. Secara utuh
kalimat tersebut dipersepsi sebagai kekagetan Sentilun terhadap panggilan dan tepukan punggung Chacha yang dilakukan
secara tiba-tiba. Nilai rasa kaget juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan
yang dimunculkan oleh Sentilun berupa ekspresi kaget memegang kepala dengan kedua tangan sambil satu kaki diangkat.
Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui
fenomena referensi atau rujukan tuturan dan gerakan menepuk punggung yang
dilakukan Chacha secara tiba-tiba tanpa sepengetahuan Sentilun.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator
kesantunan Leech 1983 dalam Pranowo 2012:103,
yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun memberikan
keuntungan kepada Chacha karena karena berhasil membuat Sentilun merasa kaget sehingga apa yang direncanakan Chacha sebelumnya untuk mengagetkan
Sentilun dari belakang berhasil. Berdasarkan beberapa contoh data nilai rasa kaget di atas, dapat
disimpulkan bahwa unsur intralingual yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa kaget dalam acara Sentilan Sentilun hanya berupa kalimat. Kalimat tersebut
dapat berupa kalimat pernyataan dan kalimat pertanyaan. Tidak ada kata-kata khas tertentu untuk memunculkan nilai rasa kaget, hal tersebut dikarenakan kadar rasa
kaget baru dapat dirasakan dalam satu susunan kalimat utuh. Nilai rasa kaget dalam acara tersebut selalu didukung oleh unsur
ekstralingual tanda-tanda ketubuhan dan unsur ekstralingual konteks. Unsur ekstraligual konteks ini digunakan untuk mengetahui kadar rasa yang ada dalam
suatu tuturan. Unsur ekstralingual konteks dalam nilai rasa kaget hanya dimunculkan melalui fenomena referensi karena rasa kaget muncul akibat tuturan
atau perilaku mitra tutur sebelumnya. Nilai rasa kaget dalam acara tersebut ada yang dinyatakan secara santun
maupun tidak santun. Dipersepsi santun karena penutur memberikan keuntungan kepada mitra tutur dengan menunjunjukkan kekagetan atas informasi atau perilaku
penutur sebagai reaksi bahwa penutur memperhatikan mitra tutur sesuai maksim kebijaksanaan Leech. Dipersepsi tidak santun karena kekagetan muncul akibat
penutur merasa tertuduh sehingga membantah pernyataan mitra tutur sebelumnya melanggar maksim kesetujuan Leech.
4.2.2.8.2 Nilai Rasa Heran Nilai rasa heran merupakan bentuk rasa cengang yang disebabkan karena
penutur menganggap ada sesuatu yang menyimpang atau ganjil terhadap perilaku atau perkataan mitra tutur, misalnya dalam tuturan “Kok hebat? Ya malu-maluin”
SSNRB04-08-201427. Tuturan tersebut dikatakan oleh Chacha yang merasa heran dengan pendapat Ndoro yang menyatakan bahwa beliau bangga karena
Indonesia termasuk negara terkorup didunia.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Kok hebat?”,
untuk memunculkan nilai rasa heran. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai
keheranan penutur terhadap cara pandang Ndoro yang bangga terhadap angka korupsi di Indonesia. Kalimat tersebut merupakan kalimat pertanyaan yang
dimaksudkan untuk mengkonfirmasi pernyataan bangga Ndoro karena Indonesia dinyatakan termasuk dalam negara terkorup di dunia. Konfirmasi tersebut
mengindikasikan keheranan penutur terhadap pernyataan Ndoro yang harusnya merasa malu bukannya merasa bangga. Nilai rasa
heran diperkuat melalui unsur ekstralingual tanda- tanda ketubuhan yang dimunculkan oleh Chacha
berupa ekspresi wajah heran mata melotot dan alis mengernyit yang disertai gerakan tangan menunjuk ke arah Ndoro
untuk mengindikasikan keheranannya terhadap pernyataan Ndoro. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena
referensi atau tuturan Ndoro sebelumnya yang menyatakan bahwa beliau bangga
karena Indonesia termasuk negara terkorup didunia.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar indikator kesantunan Pranowo 2005, dalam Pranowo 2012:103, yaitu adu rasa
penutur tidak mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur. Di dalam
konteks tuturan tersebut, Chacha tidak mempertemukan perasannya dengan Ndoro karena ia langsung menyatakan keheranannya mengenai pemikiran Ndoro yang
dianggap menyimpang. Chacha tidak memperdulikan apakan hal tersebut akan menyinggung perasaan Ndoro atau tidak.
Nilai rasa heran juga muncul dalam tuturan “Eh malu kok nggak punya, ya kan, heran saya
” SSNRB15-09-20145. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang merasa heran dengan tuturan Cak Lontong sebelumnya mengenai mobil
mewahnya yang tidak pernah ikut mengantri di pos pengisian premium kerena ia membeli bensin eceran.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Eh malu kok nggak punya, ya kan, heran saya
”, untuk memunculkan nilai rasa heran.
Kalimat tersebut dipersepsi sebagai keheranan Ndoro terhadap Cak Lontong yang memakai premium untuk mengisi mobil mewahnya padahal dari segi ekonomi,
Cak Lontong termasuk orang yang mampu. Lebih parahnya lagi Cak Lontong justru membeli premium eceran dipinggir jalan. Ndoro heran karena Cak Lontong
seharusnya malu, namun yang terjadi justru sebaliknya. Kalimat tersebut juga menggunakan kata
“eh” yang merupakan kata seru untuk menyatakan heran KBBI,2008:353 dan frasa
“heran saya” untuk memperkuat nilai rasa heran yang ingin disampaikan kepada Cak Lontong. Nilai rasa heran juga didukung oleh
unsur ekstralingual berupa tangan kanan Ndoro yang menggaruk-garuk
kepala saat menuturkan klausa tersebut untuk
mengindikasikan keheranannya terhadap kelakuan Cak Lontong dianggap memalukan. Selain itu,
terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang
dimunculkan melalui fenomena referensi atau rujukan tuturan Cak Lontong
sebelumnya yang menyatakan bahwa mobil mewahnya tidak pernah ikut mengantri di pos pengisian premium kerena ia membeli bensin eceran. Pada
awalnya Ndoro mempunyai asumsi sebelum Cak lontong mengatakan hal tersebut bahwa Cak Lontong tidak menggunakan premium, melainkan pertamax karena
dari segi ekonomi Cak Lontong termasuk orang yang mampu.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar indikator kesantunan Pranowo 2005, dalam Pranowo 2012:103, yaitu adu rasa
penutur tidak mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur. Ndoro
langsung menyatakan keheranannya kepada Cak Lontong dengan mengatakan Cak Lontong tidak punya malu tanpa memilirkan perasaan Cak Lontong yang
tersinggung atau tidak dengan ucapan Ndoro tersebut. Nilai rasa heran juga tidak selalu ditandai oleh unsur intralingual berupa
kalimat seperti kedua contoh di atas, melainkan dapat pula ditandai oleh klausa seperti pada tuturan “Aneh ini,ini aneh ini” SSNRB15-09-20143. Tuturan
tersebutdikatakan oleh Ndoro yang heran ketika melihat Cak Lontong memasuki panggung dengan membawa kunci mobil yang sangat besar.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“Aneh ini”, untuk
memunculkan nilai rasa heran. Klausa tersebut dipersepsi sebagai ungkapan
keheranan Ndoro melihat Cak Lontong datang dengan membawa kunci mobil yang sangat besar. Ndoro heran karena sebelumnya beliau tidak pernah melihat
kunci mobil seukuran itu. Nilai rasa heran juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda
ketubuhan berupa gerakan tangan kanan Ndoro yang disembunyikan di belakang
pinggang untuk mengindikasikan Ndoro sedang berpikir dan membayangkan
kunci apa yang sedang dibawa Cak Lontong. Unsur ekstralingual yang dimunculkan Ndoro tersebut merupakan gerakan yang biasanya digunakan
seseorang saat memikirkan sesuatu dalam konteks tersebut dipersepsi sebagai keheranan Ndoro. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang
dimunculkan melalui fenomena referensi atau rujukan gerak-gerik Cak Lontong
sebelumnya yang memasuki panggung dengan membawa kunci mobil besar. Ndoro mempunyai pengetahuan bahwa kunci mobil biasanya berukuran kecil dan
tidak sebesar seperti yang dibawa oleh Cak Lontong.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar indikator kesantunan Pranowo 2005, dalam Pranowo 2012:103, yaitu adu rasa
penutur tidak mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur. Ndoro
langsung menyatakan bahwa Cak Lontong aneh karena membawa kunci besar. Ndoro mengungkapkan kejanggalannya tersebut secara langsung tanpa
memikirkan perasaan Cak Lontong bisa saja merasa tersinggung
Berdasarkan beberapa contoh data tuturan nilai rasa heran yang diambil dari Acara Sentilan Sentilun di atas dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual
untuk memunculkan nilai rasa heran dapat berupa klausa dan kalimat. Terrdapat kata-kata khas untuk mengindikasikan nilai rasa heran dalam acara tersebut, yaitu
kata heran dan aneh. Namun kata-kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena kadar rasanya baru dapat dirasakan setelah berada dalam kalimat atau paling tidak
klausa. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan
mendukung nilai rasa heran karena hal tersebut tergantung keekspresifan penutur. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual konteks selalu muncul menyertai
tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui kadar rasa yang ada dalam tuturan. Unsur ekstralingual konteks dalam nilai rasa heran selalu dimunculkan melalui
fenomena referensi karena rasa heran muncul karena keanehan penutur terhadap sikap atau ucapan mitra tutur. Nilai rasa heran selalu dinyatakan tidak santun
karena terkesan menaruh rasa tidak percayanya kepada mitra tutur secara langsung melanggar indikator kesantunan Pranowo, yaitu adu rasa.
4.2.2.9 Nilai Rasa Merasa Bersalah Nilai rasa merasa bersalah merupakan kadar perasaan tuturan untuk
menyatakan rasa sesal terhadap perilaku, perkataan, atau bahkan sikap yang dianggap merugikan orang lain. Perhatikan tuturan berikut “Lagi telepon Ndoro,
maaf bentar ya. Nih bawa. Aku nggak bisa, ka lau telepon sekali pakai, buang”
SSNRB11-08-20147. Tuturan tersebut dikatakan oleh Asti Ananta yang merasa bersalah karena telah memasuki panggung tanpa permisi dan malah asyk
menelepon.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Lagi telepon Ndoro, maaf bentar ya
”, untuk memunculkan nilai rasa merasa bersalah.
Kalimat tersebut menggunakan kata “maaf” yang berarti ungkapan permintaan
ampun atau penyesalan KBBI,2008:852. Kalima tersebut dipersepsi sebagai ungkapan rasa bersalah penutur karena dia tidak mengucap salam saat memasuki
panggung dan justru asyik bertelepon dengan temannya. Asti Ananta merasa bersalah karena saat memasuki panggung dalam acara tersebut memasuki rumah
Ndoro dirinya yang saat itu merupakan bintang tamu seharusnya mengucapkan salam dan menunjukkan etiket baik. Unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan
tidak dimunculkan oleh Asti untuk mendukung rasa bersalah yang ingin disampaikan, sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui
fenomena referensi. Asti merujuk tuturan Ndoro sebelumnya yang menegurnya
karena tidak mengucapkan salam ketika memasuki panggung. Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator
kesantunan Pranowo
berupa nilai-nilai
pendukung kesantunan
Pranowo,2012:121, yaitu sikap mawas diri. Di dalam konteks tuturan tersebut,
Asti Ananta merasa mawas diri dengan meminta maaf karena menyadari bahwa sebelumnya sikap yang dimunculkan saat memasuki panggung tidak sopan dan
terkesan tidak menghargai pembawa acara. Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian,
kebetulan hanya ditemukan satu data tuturan nilai rasa merasa bersalah. Nilai rasa merasa berselah yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun hanya
dimunculkan melalui unsur intralingual kalimat dan ditandai oleh kata-kata khas
yang mengindikasikannya, yaitu kata “maaf”. Namun, kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena kadar rasanya baru diketahui setelah berada dalam kalimat.
Penutur kebetulan tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan yang mendukung nilai rasa merasa bersalah yang diungkapkan, sedangkan unsur ekstralingual
konteks hanya muncul melalui fenomena referensi karena rasa bersalah penutur
muncul setelah sebelumnya ditegur oleh mitra tutur. Nilai rasa merasa bersalah dalam acara tersebut selalu dinyatakan santun karena penutur menyadari
kesalahan yang dibuatnya dan berusaha meminta maaf sesuai indikator kesantunan Pranowo berupa sifat mawas diri.
4.2.2.10 Nilai Rasa Ikhlas Nilai rasa ikhlas merupakan kadar perasaan tuturan untuk menyatakan rasa
menerima terhadap suatu hal yang dianggap merugikan dirinya, misalnya pada tuturan “Alhamdulillah” SSNRB11-08-201418. Tuturan tersebut dikatakan
oleh Sentilun yang menrima segala ungkapan Ndoro yang seolah menempatkannya pada posisi yang rendah, sedangkan beliau ditempatkan dalam
posisi yang tinggi. Unsur
intralingual dalam
tuturan tersebut
berupa kalimat
“Alhamdulillah”, untuk memunculkan nilai rasa ikhlas. Kalimat tersebut terdiri
dari satu kata “alhamdulillah” yang berarti ungkapan untuk menyatakan rasa
syukur karena menerima karunia Allah KBBI, 2008:39. Berdasarkan konteks yang menyertai tuturan, kata
“alhamdulillah” dipersepsi sebagai ungkapan rasa ikhlas Sentilun terhadap apa yang diungkapkan oleh Ndoro sebelumnya yang
terkesan menempatkannya pada posisi yang rendah, sedangkan Ndoro ditempatkan dalam
posisi yang tinggi. Nilai rasa ikhlas juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda
ketubuhan yang dimunculkan oleh Sentilun
berupa kepala yang menunduk saat mengucapkan kalimat tersebut untuk
mengindikasikan rasa ikhlasnya terhadap ungkapan Ndoro yang terkesan menempatkannnya pada posisi yang rendah. Selain itu, terdapat juga unsur
ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena referensi. Sentilun merujuk tuturan Ndoro sebelumnya yang seolah menempatkan Sentilun pada
posisi yang rendah, sedangkan beliau ditempatkan dalam posisi yang tinggi.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator
kesantunan Pranowo
berupa nilai-nilai
pendukung kesantunan
Pranowo,2012:120, yaitu sikap mau berkorban. Di dalam konteks tuturan
tesebut, Sentilun rela berkorban dengan menerima tuturan Ndoro sebelumnya yang terkesan menempatkannya dalam posisi rendah. Penerimaan tanpa membalas
tuturan Ndoro tersebut mengindikasikan bahwa Sentilun mempunyai sikap mau berkorban.
Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian, kebetulan hanya ditemukan satu data tuturan nilai rasa ikhlas. Nilai rasa ikhlas
yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun hanya dimunculkan melalui unsur intralingual kalimat dan ditandai oleh kata-kata khas yang mengindikasikannya,
yaitu kata alhamdulillah. Penutur kebetulan memunculkan tanda-tanda ketubuhan
yang mendukung nilai rasa ikhlas yang diungkapkan, sedangkan unsur
ekstralingual konteks hanya muncul melalui fenomena referensi karena rasa
ikhlas muncul setelah mendengar suatu tuturan tertentu dari mitra tutur yang sebenarnya tidak mengenakkan terkesan merendahkan. Nilai rasa ikhlas dalam
acara tersebut selalu dinyatakan santun karena keikhlasan tersebut merupakan manifestasi sikap rela berkorban daripada menimbulkan perpecahan sesuai
dengan indikator kesantunan Pranowo, yaitu sikap rela berkorban.
4.2.2.11 Nilai Rasa Religius Nilai rasa religius merupakan kadar perasaan tuturan untuk menyatakan
rasa percaya terhadap kebesaran Tuhan. Nilai rasa religius ini biasanya menggunakan kata-kata khas yang jarang digunakan oleh orang awam, misalnya
dalam tuturan “Kita mesti berdoa ini. Ya Allah, kami mudah-mudahan cepat terbe
bas dari suasana wani piro” SSNRB04-08-201437. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang berdoa agar Indonesia segera terbebas dari praktek
politik uang.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa frasa
“Ya Allah”, untuk
memunculkan nilai rasa religius. Frasa tersebut biasanya diucapkan sebelum
umat muslim memanjatkan doa tertentu dalam bahasa Indonesia. Frasa tersebut dipersepsi mengandung nilai rasa religius karena tuturan tersebut merupakan doa
Ndoro agar Indonesia terbebas dari praktek politik uang. Tuturan tersebut menggunakan nilai rasa religius untuk memunculkan sindiran terhadap para
petinggi negara yang melakukan politik uang. Nilai rasa religius didukung oleh
unsur ekstralingual yang dimunculkan Ndoro berupa gerakan
kedua tangan
menengadah untuk
mengindikasikan bahwa Ndoro sedang berdoa. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks
yang dimunculkan melalui fenomena pranggapan. Ndoro mempunyai
pengetahuan lama mengenai cara meminta sesuatu kepada Tuhan dalam agama Islam, yaitu dengan cara berdoa.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dakam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Ndoro memberikan keuntungan
kepada orang yang dimaksud dalam tuturan para petinggi negara berupa sindiran secara tidak langsung agar mereka yang melakukan politik uang segera sadar dan
tidak melakukan hal tersebut lagi. Nilai rasa religius juga muncul saat seseorang menyatakan salam yang
dimaksudkan untuk mendoakan, misalnya pada tuturan “Assalamualaikum” SSNRB29-09-20149. Tuturan tersebut dikatakan oleh Asep Rahmatullah yang
beragama muslim dan mengetahui kebiasaan umat muslim jika bertamu mengucapkan salam dengan mengatakan assalamualaikum.
Unsur intralingual
dalam tuturan
tersebut berupa
diksi “Assalamualaikum”, untuk memunculkan nilai rasa religius. Diksi
“assalamualaikum” dalam KBBI 2008:95 berarti keselamatan untukmu. Diksi tersebut biasanya diucapkan pada awal dan akhir pidato atau saat bertemu dengan
seseorang. Diksi tersebut dipersepsi sebagai rasa religius penutur sebagai umat muslim yang mengucapkan salam yang bermaksud
mendoakan kepada pembawa acara dan seluruh penonoton di studio. Nilai rasa religius juga
didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda
ketubuhan berupa gerakan kedua tangan ditangkupkan ke depan dada untuk
mengindikasikan bahwa beliau sedang memberikan salam. Selain itu, terdapat
juga unsur ekstralingual konteks yang dimucnulkan melalui fenomena praanggapan. Asep Rahmatullah merupakan seorang muslim yang mempunyai
pengetahuan mengenai kebiasaan umat muslim jika bertamu mengucapkan salam dengan mengatakan assalamualaikum.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dakam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Asep Rahmatullah berbaik hati
memberikan salam yang dimaksudkan untuk mendoakan pembawa acara dan penonton di studio agar diberikan keselamatan oleh Allah.
Nilai rasa religius juga muncul saat seseorang menjawab salam mitra tutur, seperti dalam tuturan “Waalaikumsalam” SSNRB29-09-201410. Tuturan
tersebut dikatakan oleh Chacha yang menjawab salam Asep Rahmatullah sebelumnya.
Unsur intralingual
dalam tuturan
tersebut berupa
diksi “waalaikumsalam”, untuk memunculkan nilai rasa religius. Diksi
“waalaikumsalam” biasanya digunakan oleh umat muslim untuk menjawab salam yang sebelumnya diucapkan oleh tamu assalamualaikum. Di dalam konteks
tuturan, diksi tersebut dipersepsi sebagai rasa religius Chacha yang mengetahui bahwa jika ada yang mengucapkan salam assalamualaikum maka harus dibaas
dengan waalaikumsalam karena arti salam tersebut adalah doa bagi yang diberi salam. Chacha tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan apa pun untuk
mendukung nilai rasa religius yang disampaikan, sedangkan unsur ekstralingual
konteks dimunculkan melalui fenomena referensi. Chacha merujuk tuturan Asep
Rahmatullah sebelumnya
yang mengucapkan
salam dengan
diksi “assalamualaikum”.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dakam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, Chacha berbaik hati kepada
mitra tutur Asep Rahmatullah dengan menjawab salam yang diucapkan assalamualaikum. Menjawab salam berarti Chacha juga mendoakan Pak Asep
agar diberi keselamatan juga oleh Allah waalaikumsalam=keselamatan untukmu juga.
Berdasarkan beberapa contoh data uturan nilai rasa religius dalam acara Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual dalam nilai
rasa ini dimunculkan melalui diksi atau pilihan kata dan frasa yang biasanya jarang digunakan oleh orang awam biasanya menyangkut agama tertentu seperti
ya Allah, assalamualaikum dan waalaikumsalam.
Unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan nilai rasa religius yang ada didalam acara Sentilan Sentilun juga tidak selalu muncul, hal tersebut tergantung
oleh keekspresifan penutur. Unsur ekstralingual konteks dalam nilai rasa religius dimunculkan melalui fenomena praanggapan dan referensi. Fenomena
praanggapan digunakan karena sebelumnya penutur mempunyai pengetahuan mengenai cara agama yang dianutnya untuk menyikapi sesuatu, sedangkan
fenomena referensi digunakan karena sebelumnya penutur menggunakan diksi bernilai rasa religius karena menjawab tuturan mitra tutur sebelumnya. Nilai rasa
religius ini selalu dinyatakan santun karena selalu memberikan kebaikan kepada penutur sendiri, mitra tutur, atau orang yang dimaksud dalam tuturan sesuai
dengan indikator kesantunan Leech, yaitu maksim kebijaksanaan.
4.2.2.12 Nilai Rasa Sombong Nilai rasa sombong merupakan kadar perasaan tuturan untuk menyatakan
rasa menghargai diri sendiri secara berlebihan sehingga terkesan merendahkan pihak lain. Perhatikan tuturan berikut
“Nggak bakalan cowok secakep saya nggodain dia, justru saya yang biasa digoda cewek-
cewek cantik” SSNRB29- 09-20144. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang menyombongkan diri
bahwa dirinyalah yang biasanya digoda oleh perempuan cantik dan tidak mungkin menggoda Chacha Federicha.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa
kalimat “Nggak bakalan
cowok secakep saya nggodain dia, justru saya yang biasa digoda cewek-cewek
cantik”, untuk memunculkan nilai rasa sombong. Kalimat tersebut dipersepsi
sebagai kesombongan Sentilun yang berkata tidak sesuai dengan kenyataan bahwa dirinya yang biasanya digoda perempuan cantik. Penyombongan diri berupa
perkataan yang tidak benar tersebut dilatarbelakangi oleh tuturan Ndoro sebelumnya yang menuduh
dirinya menggoda Chacha. Nilai rasa sombong juga didukung oleh unsur ekstralingual tanda-tanda
ketubuhan berupa gerakan tangan kanan menunjuk-nunjuk ke arahnya saat mengatakan
kalimat tersebut.
Gerakan tersebut
dipersepsi sebagai
kesombongan Sentilun yang membanggakan dirinya sendiri. Selain itu, terdapat juga unsur ekstralingual konteks yang dimunculkan melalui fenomena referensi
atau rujukan tuturan Ndoro sebelumnya yang menuduh Sentilun menggoda
Chacha sehingga ia menjadi kesal dan menyombongkan diri.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar salah satu
indikator kesantunan Pranowo berupa nilai-nilai prndukung kesantunan
2012:111, yaitu sifat rendah hati. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun
merasa bahwa dirinya tidak mungkin menggoda Chacha karena dirinya biasa digoda oleh gadis cantik, melalui ungkapan tersebut secara tidak langsung
Sentilun menyombongkan dirinya dan merendahkan Chacha. Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian,
kebetulan hanya ditemukan satu data tuturan nilai rasa sombong. Nilai rasa sombong yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun hanya dimunculkan
melalui unsur intralingual kalimat dan tidak ditandai oleh kata-kata khas yang mengindikasikannya. Nilai rasa sombong baru bisa dirasakan dalam satu kesatuan
kalimat yang utuh. Penutur kebetulan memunculkan tanda-tanda ketubuhan yang mendukung nilai rasa sombong yang diungkapkan, sedangkan unsur ekstralingual
konteks hanya muncul melalui fenomena referensi karena kesombongan penutur
muncul karena tuduhan tuturan mitra tutur sebelumnya yang terkesan menuduh dan merendahkannya. Nilai rasa sombong dalam acara tersebut selalu dinyatakan
tidak santun karena kesombongan tersebut merupakan pertanda bahwa penutur merasa tinggi hati melanggar indikator kesantunan Pranowo berupa sifat rendah
hati.
4.2.2.13 Nilai Rasa Serius Nilai rasa serius merupakan kadar perasaan tuturan untuk menyatakan rasa
sungguh-sungguh terhadap sesuatu yang sedang dikerjakan atau dikatakan, misalnya pada tuturan “Serius nih, saya berpikirnya gini. Duduk sayang. Saya
berpikirnya gini, kalau masyarakat kemana-mana jalannya lancar pasti kan produktifitasnya lebih baik, apa pun. Belajar, pekerjaan juga demikian,
sosialisasi juga baik dan untuk pemerintahan juga begitu. Kalau misalnya jalannya lancar, kemana-kemana kan kalau mau rapat disana, disini, seperti tadi
public hearing itu kan lebih nyaman. Cuman yang saya pikirkan juga, kalau memang Jakarta ini ternyata sudah kepenuhan orangnya. Kemudian kalau kita
lihat mungkin pertumbuhan percepatan pembangunan jalan tidak bisa seiring dengan pertumbuhan percepatan kepemilikan kendaraan
” SSNRB11-08- 201430. Tuturan tersebut dikatakan oleh Asti yang mengetahui masalah
kemacetan di Jakarta yang selama ini sangat menggangu aktifitas penduduk.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa
“serius nih”,
untuk memunculkan nilai rasa serius. Klausa tersebut menggunakan kata
“serius” yang berarti sungguh-sungguh KBBI,2008:1288 dan kata “nih” yang berarti kata yang digunakan untuk menegaskan KBBI,2008:962. Berdasarkan
konteks yang menyertai tuturan, kalimat tersebut dipersepsi sebagai keseriusan Asti Ananta untuk menyampaikan analisanya. Keseriusan Asti Ananta lebih
terlihat dengan penggunaan kata “nih” yang berfungsi untuk menegaskan keseriusan penutur terhadap apa yang akan disampaikan. Asti Ananta tidak
memunculkan tanda-tanda ketubuhan apapun untuk mendukung keseriusan yang hendak ditunjukkan, sedangkan unsur ekstralingual konteks dimunculkan melalui
fenomena praanggapan. Asti mempunyai pengetahuan lama mengenai masalah
kemacetan di Jakarta yang selama ini sangat menggangu aktifitas warga Jakarta. Berdasarkan pengetahuan awal tersebut, Asti Ananta mengajak untuk mulai
memikirkan alternatif pemecahan masalah kemaceta di Jakarta agar tidak semakin berlarut-larut.
Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, rasa serius yang
diungkapkan Asti muncul karena Asti hendak memberikan analisanya mengenai pembenahan kemacetan kota jakarta yang dapat memperlancar produktivitas
penduduknya.
Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian, kebetulan hanya ditemukan satu data tuturan nilai rasa serius. Nilai rasa serius
yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun hanya dimunculkan melalui unsur intralingual klausa dan ditandai oleh kata
“serius” sebagai kata yang mengindikasikannya. Namun kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan kadar
rasanya baru diketahui setelah berada dalam kalimat. Penutur tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan tertentu untuk mendukung nilai rasa serius yang
diungkapkan, sedangkan unsur ekstralingual konteks hanya muncul melalui
fenomena praanggapan karena keseriusan penutur didasarkan kepada hasil analisa
yang ingin diungkapkan. Nilai rasa serius dalam acara tersebut selalu dinyatakan santun karena keseriusan tersebut muncul saat penutur hendak memberikan hasil
analisanya sesuai dengan maxim kebijaksanaan Leech.
4.2.2.14 Nilai Rasa Kasar Nilai rasa kasar merupakan kadar perasaan tuturan untuk menunjukkan
keburukan budi pekerti seseorang. Nilai rasa kasar merupakan manifestasi sikap tidak santun penutur terhadap mitra tutur, misalnya dalam tuturan “Kamu ini
bagus ya, tapi berhenti mau nggak? Hahahaha . . .Nggak enak ya. Hahahaha . . .kenapa? loe pulang, loe pulang, loe pulang
” SSNRB11-08-201412. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang mengetahui gaya kepemimpinan Pak Jokowi
dan Pak Ahok yang berbeda, yaitu Pak Jokowi mempunyai gaya kepemimpinan yang halus, sedangkan Pak Ahok terkesan ceplas-ceplos.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa diksi
“loe” , untuk memunculkan nilai rasa kasar. Kata
“loe” termasuk dalam ragam bahasa gaul yang sama artinya dengan kata kamu. Di dalam tuturan tersebut, kata
“loe” memiliki nilai rasa kasar karena Ndoro sebenarnya mempraktekkan pemecatan
yang dilakukan oleh Pak Ahok. Pemecatan yang dilakukan secara lisan hendaknya menggunakan ragam bahasa baku dan bukan ragam bahasa gaul yang mungkin
bisa menyinggung mitra tutur yang akan dipecat. Unsur ekstralingual konteks
dalam tuturan tersebut dimunculkan melalui fenomena praanggapan. Ndoro
mempunyai pengetahuan awal mengenai gaya kepemimpinan Pak Jokowi dan Pak Ahok yang berbeda. Pak Jokowi mempunyai gaya kepemimpinan yang halus,
sedangkan Pak Ahok terkesan ceplas-ceplos.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar indikator kesantunan Pranowo 2008, dalam Pranowo 2012:104, yaitu pemakaian kata-
kata tertentu sebagai pilihan kata diksi yang dapat mencerminkan rasa santun.
Di dalam konteks tuturan tersebut, Ndoro menggunakan kata “loe” yang dipersepsi lebih kasar daripada kata
“kamu”. Kata “loe” yang digukan dapat menyinggung perasaan mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan
sehingga termasuk dalam kata beraura tidak santun. Nilai rasa kasar juga dapat muncul dalam ejekan misalnya dalam tuturan
“Modiar” SSNRB25-08-201411. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang mengejek Profesi Cak Lontong sebagai pelawak yang mempunyai resiko
kegilaan.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa diksi
“Modiar”. Diksi “modiar” sama maknanya dengan kata “modar” merupakan ungkapan dalam
bahasa jawa. Kata “modar” dalam bahasa indonesia berarti mati. Kata tersebut
dipersepsi kasar karena biasanya digunakan untuk mengumpat dan ejekan keras yang bermaksud membuat mitra tutur menjadi kapok jera. Unsur ekstralingual
konteks dalam tuturan tersebut dimunculkan melalui fenomena referensi atau
rujukan tuturan Cak Lontong sebelumnya yang mengungkapkan kerepotan dan resiko menjadi seorang pelawak yang bisa sampai menjadi gila.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar indikator kesantunan Pranowo 2008, dalam Pranowo 2012:104, yaitu pemakaian kata-
kata tertentu sebagai pilihan kata diksi yang dapat mencerminkan rasa santun. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun menggunakan kata
“modiar” yang bernilai rasa lebih kasar dari pada kata
“mati”. Kata tersebut digunakan untuk mengejek Cak Lontong sehingga termasuk dalam kata beraura tidak santun.
Nilai rasa kasar juga dapat muncul dengan maksud merendahkan profesi tertentu, misalnya dalam tuturan “Pembantu jongos itu namanya, selevel sama
aku” SSNRB08-09-201419. Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang menyimpulkan bahwa Cak Lontong hanya akan dipekerjakan sebagai pembantu
oleh Pak Jokowi, seperti dirinya yang menjadi pembantu di rumah Ndoro.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa diksi
“jongos”, untuk
memunculkan nilai rasa kasar. Kata
“jongos” dalam KBBI 2008:588 berarti pembantu rumah tangga laki-laki. Kata
“jongos” dipersepsi kasar karena kata tersebut tidak lazim digunakan dan biasanya hanya digunakan saat sesorang
merasa emosi kepada pembantunya. Kata “jongos” termasuk kasar dan
sebenarnya dapat digantikan dengan kata yang lebih santun, namun mempunyai arti yang sama, misalnya pembantu atau asisten rumah tangga. Unsur
ekstralingual konteks dalam tuturan tersebut dimunculkan melalui fenomena
inferensi atau kesimpulan Sentilun bahwa Cak Lontong hanya akan dipekerjakan
sebagai pembantu oleh Pak Jokowi, seperti dirinya yang menjadi pembantu di rumah Ndoro.
Tuturan tersebut termasuk tidak santun karena melanggar indikator kesantunan Pranowo 2008, dalam Pranowo 2012:104, yaitu pemakaian kata-
kata tertentu sebagai pilihan kata diksi yang dapat mencerminkan rasa santun.
Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun menggunkan kata “gongos” yang bernilai rasa lebih kasar d
aripada kata “pembantu”. Kata tersebut digunakan untuk menyatakan profesi Cak Lontong yang akan dijalaninya dalam kabinet Pak
Jokowi. Kata tersebut dapat menyinggung perasaan mitra tutur sehingga termasuk dalam kata beraura tidak santun.
Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang diambil dalam acara Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang
digunakan untuk
memunculkan nilai
rasa kasar
hanya beru
pa diksi. Diksi yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa kasar dalam acara tersebut yaitu kata “jongos”, “loe” dan “modiar”. Kata-kata tersebut
termasuk kasar karena sebenarnya ada kata yang halus dan memiliki arti yang sama seperti kata “pembantu”, “kamu” dan “mati”.
Unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan tidak pernah muncul untuk mendukung nilai rasa kasar karena yang digunakan dalam nilai rasa ini hanyalah
berupa diksi bernilai rasa kasar. Hal ini berbeda dengan unsur ekstralingual konteks yang selalu menyertai tuturan bernilai rasa kasar karena hal tersebut
digunakan untuk mengetahui kadar rasa kasar suatu tuturan. Unsur ekstralingual konteks yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa kasar dimunculkan
melalui fenomena praanggapan, referensi dan inferensi. Fenomena praanggapan digunakan karena sebelumnya penutur hanya menirukan gaya berbicara
seseorang, fenomena referensi digunakan karena penutur hendak mengejek mitra tutur dan fenomena inferensi karena penutur mempunyai kesimpulan tertentu
yang menumbulkan pemakaian diksi tidak santun dalam tuturan. Diksi yang digunakan dalam nilai rasa kasar ini selalu tidak santun karena
diksi tersebut termasuk dalam diksi beraura tidak santun melanggar indikator kesantunan Pranowo yaitu pemakaian kata-kata tertentu sebagai pilihan kata
diksi yang dapat mencerminkan rasa santun.
4.2.2.15 Nilai Rasa Malu Nilai rasa malu merupakan kadar perasaan tuturan untuk menyatakan rasa
sangat tidak enak hati karena telah berbuat sesuatu yang kurang baik terhadap mitra tutur atau orang yang dimasud dalam tuturan. Perhatikan contoh tuturan
“Nggak, gini-gini lho. Jangan bikin malu di depan Pak Wamen to aduh” SSNRB25-08-20144. Tuturan tersebut dikatakan oleh Ndoro yang
memperingatkan Cak Lontong untuk tidak meminta sumbangan kepada Sapta
Nirwandar Wamen pariwisata dan industri kereatif karena hal tersebut membuatnya malu.
Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat
“Jangan bikin malu di depan Pak Wamen to aduh
”, untuk memunculkan nilai rasa malu.
Kalimat tersebut merupakan kalimat peringatan yang ditujukan kepada Cak Lontong untuk tidak meminta sumbangan pada Pak Sapta. Kalimat peringatan
tersebut dipersepsi mengandung nilai rasa malu karena kejadian tersebut sudah terjadi, sehingga membuat Ndoro sebagai tuan rumah merasa malu akibat
kelakuan Cak Lontong yang meminta sumbangan saat acara Sentilan Sentilun sedang berlangsung. Kalimat tersebut menggunakan kata
“aduh” yang mengindikasikan penyesalan Ndoro terhadap perbuatan Cak Lontong yang sudah
membuatnya malu didepan wakil menteri pariwisata dan industri kreatif, yaitu Sapta Nirwandar. Ndoro tidak memunculkan tanda-tanda ketubuhan apa pun
untuk mendukung nilai rasa malu yang hendak di ungkapkan, sedangkan unsur
ekstralingual konteks dimunculkan melalui fenomena referensi. Ndoro merujuk
tuturan Cak Lontong sebelumnya yang meminta sumbangan dengan menyodorkan map kepada Sentilun dan Pak Sapta. Ndoro menganggap bahwa kelakuan Cak
Lontong tersebut sangat memalukan karena Pak Wamen merupakan bintang tamu dan tidak sepantasnya Cak Lontong meminta sumbangan dalam acara tersebut.
Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator
kesantunan Pranowo 2012:112 berupa nilai-nilai pendukung kesantunan, yaitu
sikap malu sebagai manifestasi sifat rendah hati. Di dalam konteks tuturan
tersebut, penutur menunjukkan sikap malu atau tidak enak hati kepada Pak Sapta
karena kelakuan Cak Lontong yang meminta sumbangan. Ndoro dengan rendah hati memperingatkan Cak Lontong karena kelakuannya dianggap tidak pantas
dimunculkan di depan orang penting seperti Pak Sapta Nirwandar.
Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian, kebetulan hanya ditemukan satu data tuturan nilai rasa malu. Nilai rasa malu yang
ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun hanya dimunculkan melalui unsur intralingual kalimat dan ditandai oleh kata “malu” sebagai kata yang
mengindikasikannya. Namun kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan kadar rasanya baru diketahui setelah berada dalam kalimat. Penutur tidak memunculkan
tanda-tanda ketubuhan tertentu untuk mendukung nilai rasa malu yang diungkapkan, sedangkan unsur ekstralingual konteks hanya muncul melalui
fenomena referensi karena penutur merasa malu atas perilaku mitra tutur
sebelumnya sehingga mencoba memperingatkannya. Nilai rasa malu selalu dinyatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo berupa
sikap malu sebagai manifestasi sifat rendah hati.
4.3 Pembahasan