Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada prosa lirik Pengakuan Pariyem sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

(1)

ABSTRAK

Purwandani, Maria Retno. 2015. Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Prosa Lirik Pengakuan Pariyem sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD

Penelitian ini membahas penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi, Ag. Tujuan dari penelitian ini ialah mendeskripsikan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Obyek penelitian ini difokuskan pada kalimat-kalimat tuturan monolog yang diucapkan oleh Pariyem dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi.

Penelitian mengenai penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa termasuk dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif, karena penelitian ini menggambarkan penggunaan unsur ekstralingual dan intralingual dalam tuturan monolog di prosa lirik Pengakuan Pariyem. Metode pengumpulan data yang digunakan dengan teknik baca catat. Dalam analisis ini, peneliti mencoba memahami penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

Kesimpulan penelitian ini adalah penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa pada tuturan monolog Pengakuan Pariyem yang digunakan untuk memunculkan kesantunan yaitu daya kabar, daya imajinasi, daya retoris, daya ancam, daya paksa, daya harap, daya penolakan, dan daya tantangan. Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam nilai rasa pada tuturan monolog Pengakuan Pariyem yang digunakan untuk memunculkan kesantunan yaitu nilai rasa halus, nilai rasa kasar, nilai rasa sadar diri, nilai rasa takut-cemas, nilai rasa yakin, nilai rasa heran, nilai rasa bersalah, nilai rasa sedih, nilai rasa bahagia, nilai rasa marah, nilai rasa menerima, nilai rasa cinta, nilai rasa pesimis, nilai rasa bebas, nilai rasa benci dan nilai rasa sakit. Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa menjadi indikator kesantunan berkomunikasi. Hal ini disebabkan oleh pemilihan unsur intralingual yang tepat dapat mengefektifkan tuturan sehingga membuat komunikasi terasa lebih santun, sedangkan unsur ekstralingual dapat berupa latar atau setting terjadinya komunikasi dapat mempengaruhi tuturan yang diucapkan.


(2)

ABSTRACT

Purwandani, Maria Retno. 2015. The Use of Intralingual and Extralingual Elements within Language Power and Language Sense Value in Pengakuan Pariyem Prose Lyric as Well-mannered Communication. Thesis. Yogyakarta: Indonesia Language and Literature Education Study Program, Department of Language and Arts, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University.

The research discussed the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value in Pengakuan Pariyem lyric prose by Linus Suryadi, Ag. The purposes of the research were describing intralingual and extralingual elements within language power and language sense value. The research object was focused on the monologue discourse sentences which were spoken by Pariyen in Pengakuan Pariyem lyric prose by Linus Suryadi.

The research was about the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value, the kind of the research was qualitative descriptive research. The research described the use of intralingual and extralingual elements of monologue discourses in Pengakuan Pariyem lyric prose. The data gathering method was reading and writing techniques. In the analysis research, the researcher tried to understand the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value as well-mannered communication marker.

The conclusion of this research is the use of intralingual and ekstralingual element of language on ‘Pengakuan Pariyem’ monologue which is used to bring up the politeness, i.e. the power of news, imagination, rhetorical, threat, force, hope, rejection, and challenge. The use of intralingual and ekstralingual element in the value of feeling in ‘Pengakuan Pariyem’ monologue which is used to bring up the politeness are the value of smooth taste, flavor coarse, self-conscious sense, fear - anxiety, sense of confidence, a sense of wonder, guilt, sadness, happiness, anger, a sense of accept, love, pessimism, sense of freedom, hatred and pain. The use of intralingual and ekstralingual element in the power of language and sense of value as indicators of politeness language to communicate. This is caused by the selection of the proper intralingual element can streamline communication thus making the speech feels more mannered, whereas ekstralingual element can be either a background or setting for the occurrence of communication can affect spoken speech.


(3)

PADA PROSA LIRIK PENGAKUAN PARIYEM SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERKOMUNIKASI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Disusun oleh : Maria Retno Purwandani

111224042

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

i

PADA PROSA LIRIK PENGAKUAN PARIYEM SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERKOMUNIKASI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Disusun oleh : Maria Retno Purwandani

111224042

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(5)

(6)

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji syukur atas berkat dan karunia Allah Bapa Yang Maha Baik, Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang senantiasa menguatkan saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Karya ini saya persembahkan kepada :

Mathias Reinhard Erid Danularto dan Agnes Wijiyati yang telah memberikan kehidupan bagi saya


(8)

v MOTTO

“Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, maka kamu akan menerimanya”

(Matius 21:22)

“Berjuanglah terus hingga tidak ada yang mampu menghentikan langkahmu untuk mencapai tujuan yang kamu inginkan”


(9)

(10)

(11)

viii ABSTRAK

Purwandani, Maria Retno. 2015. Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Prosa Lirik Pengakuan Pariyem sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD

Penelitian ini membahas penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi, Ag. Tujuan dari penelitian ini ialah mendeskripsikan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Obyek penelitian ini difokuskan pada kalimat-kalimat tuturan monolog yang diucapkan oleh Pariyem dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi.

Penelitian mengenai penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa termasuk dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif, karena penelitian ini menggambarkan penggunaan unsur ekstralingual dan intralingual dalam tuturan monolog di prosa lirik Pengakuan Pariyem. Metode pengumpulan data yang digunakan dengan teknik baca catat. Dalam analisis ini, peneliti mencoba memahami penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

Kesimpulan penelitian ini adalah penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa pada tuturan monolog Pengakuan Pariyem yang digunakan untuk memunculkan kesantunan yaitu daya kabar, daya imajinasi, daya retoris, daya ancam, daya paksa, daya harap, daya penolakan, dan daya tantangan. Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam nilai rasa pada tuturan monolog Pengakuan Pariyem yang digunakan untuk memunculkan kesantunan yaitu nilai rasa halus, nilai rasa kasar, nilai rasa sadar diri, nilai rasa takut-cemas, nilai rasa yakin, nilai rasa heran, nilai rasa bersalah, nilai rasa sedih, nilai rasa bahagia, nilai rasa marah, nilai rasa menerima, nilai rasa cinta, nilai rasa pesimis, nilai rasa bebas, nilai rasa benci dan nilai rasa sakit. Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa menjadi indikator kesantunan berkomunikasi. Hal ini disebabkan oleh pemilihan unsur intralingual yang tepat dapat mengefektifkan tuturan sehingga membuat komunikasi terasa lebih santun, sedangkan unsur ekstralingual dapat berupa latar atau setting terjadinya komunikasi dapat mempengaruhi tuturan yang diucapkan.


(12)

ix ABSTRACT

Purwandani, Maria Retno. 2015. The Use of Intralingual and Extralingual Elements within Language Power and Language Sense Value in Pengakuan Pariyem Prose Lyric as Well-mannered Communication. Thesis. Yogyakarta: Indonesia Language and Literature Education Study Program, Department of Language and Arts, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University.

The research discussed the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value in Pengakuan Pariyem lyric prose by Linus Suryadi, Ag. The purposes of the research were describing intralingual and extralingual elements within language power and language sense value. The research object was focused on the monologue discourse sentences which were spoken by Pariyen in Pengakuan Pariyem lyric prose by Linus Suryadi.

The research was about the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value, the kind of the research was qualitative descriptive research. The research described the use of intralingual and extralingual elements of monologue discourses in Pengakuan Pariyem lyric prose. The data gathering method was reading and writing techniques. In the analysis research, the researcher tried to understand the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value as well-mannered communication marker.

The conclusion of this research is the use of intralingual and ekstralingual element of language on ‘Pengakuan Pariyem’ monologue which is used to bring up the politeness, i.e. the power of news, imagination, rhetorical, threat, force, hope, rejection, and challenge. The use of intralingual and ekstralingual element in the value of feeling in‘Pengakuan Pariyem’monologue which is used to bring up the politeness are the value of smooth taste, flavor coarse, self-conscious sense, fear - anxiety, sense of confidence, a sense of wonder, guilt, sadness, happiness, anger, a sense of accept, love, pessimism, sense of freedom, hatred and pain. The use of intralingual and ekstralingual element in the power of language and sense of value as indicators of politeness language to communicate. This is caused by the selection of the proper intralingual element can streamline communication thus making the speech feels more mannered, whereas ekstralingual element can be either a background or setting for the occurrence of communication can affect spoken speech.


(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan pada Allah Bapa Yang Maha Kuasa, atas berkat, bimbingan dan kuasaNya yang dilimpahkan kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul “Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Prosa Lirik Pengakuan Pariyem sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi” dapat terselesaikan dengan baik. Penyusunan penelitian dilakukan untuk memenuhi syarat mencapai gelar kesarjanaan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma yang turut memperlancarkan penulisan skripsi ini.

2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang selalu memberikan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., dan Dr. Y. Karmin, M.Pd., selaku dosen pembimbing yang selama ini bersedia meluangkan waktu dan tenaganya untuk membimbing, mendorong dan memberikan masukan yang sangat bermanfaat untuk penyusunan skripsi ini hingga terselesaikan dengan baik. 4. Para Dosen PBSI yang telah mendidik dan memberikan pengetahuan yang sangat berguna bagi penulis selama perkuliahan maupun di luar jam perkuliahan.

5. Robertus Marsidiq, selaku staff administrasi sekretariat PBSI yang telah membantu kelancaran perkuliahan dan akademik penulis.

6. Kedua orang tuaku Mathias Reinhard Erid Danularto dan Agnes Wijiyati, terima kasih atas cinta, kasih sayang, pengorbanan, doa, semangat, motivasi, materi yang tercurahkan selama perjalanan hidup anakmu ini.


(14)

(15)

xii

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

HALAMAN MOTTO... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... vii

ABSTRAK... viii

ABSTRACK... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR BAGAN... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian... 5

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 6

1.5 Manfaat Penelitian... 6

1.6 Batasan Istilah ... 7

1.7 Sistematika Penyajian... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 10

2.1 Penelitian yang Relevan ... 10

2.2 Kerangka Teori... 11

2.2.1 Daya Bahasa ... 12

2.2.2 Nilai Rasa... 14

2.2.3 Unsur Intralingual ... 19

2.2.4 Unsur Ekstralingual... 28

2.2.5 Pragmatik ... 33

2.2.6 Semantik... 41

2.2.7 Pragma semantik ... 42

2.2.8 Fungsi Komunikatif ... 43


(16)

xiii

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 49

3.1 Jenis Penelitian ... 49

3.2 Sumber Data dan Data Penelitian... 49

3.3 Instrumen Penelitian... 50

3.4 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ... 51

3.5 Teknik Analisis Data ... 51

3.6 Triangulasi Data ... 52

BAB IV ANALISIS DATA... 53

4.1 Deskripsi Data ... 53

4.2 Analisis Data ... 54

4.2.1 Analisis Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa... 54

4.2.1.1 Daya Kabar... 55

4.2.1.2 Daya Imajinasi ... 73

4.2.1.3 Daya Retoris... 87

4.2.1.4 Daya Ancam... 92

4.2.1.5 Daya Paksa ... 97

4.2.1.6 Daya Harap... 102

4.2.1.7 Daya Penolakan... 105

4.2.1.8 Daya Tantangan ... 107

4.2.2 Analisis Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Nilai Rasa... 109

4.2.2.1 Nilai Rasa Halus... 109

4.2.2.2 Nilai Rasa Kasar... 117

4.2.2.3 Nilai Rasa Sadar Diri ... 122

4.2.2.4 Nilai Rasa Takut-Cemas ... 125

4.2.2.5 Nilai Rasa Yakin ... 128

4.2.2.6 Nilai Rasa Heran ... 136

4.2.2.7 Nilai Rasa Bersalah ... 142

4.2.2.8 Nilai Rasa Sedih... 148

4.2.2.9 Nilai Rasa Bahagia... 153

4.2.2.10 Nilai Rasa Marah... 161

4.2.2.11 Nilai Rasa Menerima... 165

4.2.2.12 Nilai Rasa Cinta ... 169


(17)

xiv

4.2.2.16 Nilai Rasa Sakit... 181

4.3 Pembahasan... 184

4.3.1 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual Daya Bahasa sebagai Penanda Kesantunan ... 184

4.3.2 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual Nilai Rasa Bahasa sebagai Penanda Kesantunan ... 193

BAB V PENUTUP... 210

5.1 Kesimpulan... 210

5.1.1 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa... 210

5.1.2 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Nilai Rasa Bahasa ... 211

5.2 Saran-Saran ... 212

DAFTAR PUSTAKA... 214

LAMPIRAN... 216


(18)

xv


(19)

xvi

Lampiran 1 Data Daya Bahasa ... 216 Lampiran 2 Data Nilai Rasa Bahasa ... 253


(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa pada hakikatnya adalah lambang bunyi yang digunakan sebagai sarana berkomunikasi, berinteraksi dalam berbagai bentuk percakapan. Bahasa digunakan untuk berbagai keperluan misalnya sebagai alat komunikasi manusia, sarana penyampaian informasi, mengutarakan pikiran, menyatakan ide, mengungkapkan pendapat dan perasaan terhadap orang lain. Jelas terlihat bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam berkomunikasi. Bahasa menjadi alat yang paling efektif dalam aktivitas komunikasi, dengan adanya bahasa setiap individu dapat menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya. Melalui bahasa, manusia dapat mengungkapkan apa yang ia lihat, yang ia dengar dan rasakan.

Karya sastra ialah suatu ungkapan pengalaman manusia dalam bentuk bahasa yang ekspresif dan mengesankan (Sumardjo, 1984:25). Karya sastra adalah media yang banyak digunakan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan bahkan untuk menunjukkan bentuk apresiasi diri. Melalui karya sastra segala bentuk imajinasi dan kreativitas manusia dalam tertuang di dalamnya. Mengapresiasi sebuah karya sastra sebagai salah satu bentuk komunikasi yang membutuhkan tingkat pemahaman yang cukup tepat. Pada dasarnya memahami komunikasi melalui karya sastra jauh lebih dapat memberikan kedalaman arti tersendiri bagi pembacanya.


(21)

Karya sastra mampu berbicara banyak mengenai bentuk komunikasi yang digunakan di dalam masyarakat. Proses kreatif untuk membuat karya sastra dapat melalui perenungan, penafsiran, penghayatan hidup terhadap realitas kehidupan sosial dan lingkungan kemasyarakatan dimana pengarang itu tumbuh, hidup dan berkembang (Sumardjo, 1984:15). Salah satu bentuk karya sastra yang unik ialah prosa lirik. Menurut Wiryosoedomo (1984:103), prosa lirik atau prosa berirama ialah bentuk sastra Indonesia yang sepintas mendekati puisi karena mempunyai irama yang agak kuat sekalipun tidak sekuat puisi. Sejalan dengan pendapat di atas, Sudjiman (1984:61) menyatakan pendapatnya bahwa prosa lirik ialah karya sastra yang ditulis dalam ragam prosa tetapi dicirikan oleh unsur-unsur puisi seperti nama yang teratur, majas, rima, asonansi, konsonansi dan citraan. Jadi prosa lirik adalah salah satu bentuk karya sastra dalam ragam prosa yang ditulis dan diungkapkan dengan menggunakan unsur-unsur puisi.

Dalam berkomunikasi, setiap orang selalu menggunakan daya bahasa dan nilai nilai rasa yang terdapat dalam tuturannya tidak terkecuali pada karya sastra. Namun, pada kenyataannya banyak orang belum menyadari bahwa daya bahasa dan nilai rasa menjadi penanda kesantunan dalam berkomunikasi. Penggunaan bahasa merupakan cerminan kepribadian seseorang, artinya melalui bahasa yang digunakan seseorang dapat diketahui bagaimana watak atau kepribadiannya. Menurut Pranowo (2012) santun tidaknya penggunaan bahasa dapat dilihat dari dua hal yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Ketepatan pemilihan kata oleh seseorang dapat menjadi salah satu penentu santun atau tidaknya bahasa yang digunakan. Pilihan kata dalam mengungkapkan makna dan maksud tertentu akan


(22)

menimbulkan efek tertentu. Selain itu, di samping memiliki makna tertentu setiap kata memiliki daya (kekuatan) bahasa tertentu pula. Daya bahasa adalah kadar kekuatan bahasa yang tersembunyi di balik kata dengan maksud untuk meningkatkan fungsi bahasa dalam berkomunikasi. Daya bahasa adalah kadar kekuatan bahasa untuk menyampaikan makna, informasi atau maksud melalui fungsi komunikatif sehingga pendengar mampu memahami dan menangkap makna, informasi atau maksud penutur/penulis (Pranowo, 2009:128).

Memanfaatkan segala daya bahasa atau kekuatan yang dimiliki oleh bahasa merupakan cara mengambil sesuatu atau nilai yang dapat dipetik dari kekuatan yang terdapat dalam sebuah bahasa (Pranowo, 2009). Dalam berbahasa dengan memanfaatkan daya yang dimiliki oleh bahasa melalui kata adalah salah satu cara seseorang mengungkapkan pikiran dan perasaan sesuai dengan maksud yang ingin dicapai. Misalnya dalam tuturan “Ayo dukung gerakan 2 anak saja cukup dari pemerintah!” dalam tuturan ini mengandung daya “persuasif” supaya setiap keluarga mengikuti upaya pemerintah membentuk keluarga berencana.

Nilai rasa bahasa ialah kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan karena penutur mengungkapkan sikapnya dalam menggunakan bahasa untuk berkomunikasi sehingga mitra tuturnya dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan. Nilai rasa dapat muncul melalui unsur intralingual seperti permainan bunyi, pilihan kata, gaya bahasa, ungkapan dan konteks bahasa. Nilai rasa ialah kadar rasa yang tercantum dalam isi kata itu. Rasa atau perasaan maksudnya ialah sekalian gerakan hati, segala yang terasa dalam batin seperti :


(23)

sedih, senang, suka, duka, benci, mengejek, menghina, hormat, segan, dll (Poerwadarminta, 1967:34)

Dalam penggunaan nilai rasa lebih menekankan pada perasaan yang dapat diungkapkan melalui berbagai ungkapan perasaan misalnya senang, sedih, marah, takut, benci, dan sebagainya. Di setiap tuturan, penutur berharap pada mitra tuturnya agar mengerti perasaan yang sedang dialami oleh penutur, sehingga mitra tutur dapat mempersepsi sesuai dengan apa yang dirasakan oleh penutur. Tidak jauh berbeda dengan daya bahasa, untuk dapat mengetahui nilai rasa dalam berkomunikasi, perlu diperhatikan pilihan kata (diksi) yang digunakan oleh penutur atau mitra tutur serta konteks pembicaraan yang menyertai di setiap tuturan. Kata-kata yang mengandung nilai rasa antara lain menggunakan kata-kata yang berkaitan dengan perasaan, kata-kata kasar ataupun lembut. Kata-kata yang mengandung nilai rasa akan terasa tidak pas apabila terdapat kesalahan dalam penggunaannya.

Misalnya dalam tuturan “Maaf, apakah Bapak melihat kunci motor di meja ini?” mengandung nilai rasa “halus” meskipun modusnya berupa pertanyaan tetapi penggunaan kata “maaf” memberikan kesan hati-hati dalam bertanya dikarenakan rasa khawatir apabila orang yang ditanya tidak berkenan dengan pertanyaan tersebut.

Menurut Gorys Keraf (1984:113), bahasa yang baik harus mengandung unsur kejujuran, sopan santun, dan menarik. Jujur memiliki pengertian bahwa penggunaan bahasa sesuai dengan aturan dan kaidah yang baik dan benar serta tidak berbelit-belit. Sopan santun dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui


(24)

kejelasan dan kesingkatan. Tidak jarang ditemukan bahasa halus saat ini digunakan untuk menyembunyikan perasaan serta emosinya si penutur. Bahasa halus yang dasarnya bertujuan untuk menjaga tata krama dan sopan santun kini beralih fungsi menjadi bahasa sindiran.

Daya bahasa dan nilai rasa dapat ditemukan dalam berbagai bentuk penggunaan bahasa. Keduanya menjadi aspek penting sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi belum banyak diteliti, padahal terdapat banyak daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang terkandung dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem ini, namun belum banyak orang yang menyadari hal ini. Berdasar latar belakang inilah maka fenomena ini layak untuk dikaji lebih dalam.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun yang menjadi fokus permasalahan yaitu :

1. Bagaimanakah penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual untuk memunculkan daya bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem sebagai penanda kesantunan berkomunikasi ?

2. Bagaimanakah penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual untuk memunculkan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem sebagai penanda kesantunan berkomunikasi ?


(25)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang mampu memunculkan daya bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

2. Mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang mampu memunculkan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah penelitian pragmatik yang mendeskripsikan daya bahasa dan nilai rasa bahasa dengan memperhatikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual bahasa.

Data penelitian ini difokuskan pada kalimat-kalimat tuturan monolog yang diucapkan oleh Pariyem dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini yaitu :  Bagi peneliti

Bagi peneliti, manfaat dari penelitian ini yakni mengetahui penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa


(26)

yang digunakan dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

 Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini dapat menyadarkan masyarakat bahwa di setiap tuturan mereka mengandung unsur intralingual dan ekstralingual baik daya bahasa maupun nilai rasa bahasa, dengan demikian masyarakat mampu memahami dan menggunakannya sebagai penanda kesantunan dalam berkomunikasi.  Bagi teori kebahasaan

Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan sumbangsih terhadap teori kebahasaan terutama di bidang kesantunan berbahasa, bahwa unsur intralingual dan ekstralingual baik itu daya bahasa maupun nilai rasa bahasa itu dapat dijadikan sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

1.6 Batasan Istilah 1. Unsur Intralingual

Unsur intralingual adalah unsur-unsur kebahasaan yang digunakan untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa. Unsur intralingual itu merupakan segala aspek bahasa baik yang berupa bunyi, kata, frasa, klausa, kalimat dan wacana yang membentuk satu kesatuan makna. (Pranowo, 2013:45).

2. Unsur Ekstralingual

Unsur ekstralingual adalah unsur bahasa yang berada di luar unsur internal bahasa. Unsur ekstralingual merupakan unsur yang berada di luar bahasa atau di luar unsur internal. Unsur ekstralingual dapat berupa konteks tuturan


(27)

yang selalu menyertai tuturan dan konteks situasi komunikasi (Pranowo, 2009:97-98).

3. Daya bahasa

Daya bahasa adalah kadar kekuatan bahasa untuk menyampaikan makna, informasi atau maksud melalui fungsi komunikatif sehingga pendengar mampu memahami dan menangkap makna, informasi atau maksud penutur atau penulis (Pranowo, 2009).

4. Nilai rasa

Nilai rasa bahasa ialah kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan karena penutur mengungkapkan sikapnya dalam menggunakan bahasa untuk berkomunikasi sehingga mitra tuturnya dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan. Nilai rasa ialah kadar rasa yang tercantum dalam isi kata itu. Rasa atau perasaan maksudnya ialah sekalian gerakan hati, segala yang terasa dalam batin seperti : sedih, senang, suka, duka, benci, mengejek, menghina, hormat, segan, dll (Poerwadarminta, 1967:34). 5. Prosa Lirik

Prosa lirik adalah salah satu bentuk karya sastra dalam ragam prosa yang ditulis dan diungkapkan dengan menggunakan unsur-unsur puisi. Menurut Wiryosoedomo (1984:103), prosa lirik atau prosa berirama ialah bentuk sastra Indonesia yang sepintas mendekati puisi karena mempunyai irama yang agak kuat sekalipun tidak sekuat puisi. Prosa lirik ialah perpaduan antara prosa dan puisi.


(28)

Bahasa yang santun adalah bahasa yang dapat mencerminkan perilaku penutur sebagai manusia yang mempunyai harkat dan martabat (Pranowo, 2009). Penggunaan bahasa yang santun terlihat dari penggunaan prinsip kesantunan berkomunikasi yang terlihat dari tuturan yang diucapkan.

1.7 Sistematika Penyajian

Sistematika pembahasan penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah dan sistematika penyajian. Bab II studi kepustakaan yang berisi tinjauan kepustakaan (penelitian yang relevan), kajian teori dan kerangka berpikir. Bab III adalah metodologi penelitian yang berisi jenis penelitian, sumber data dan data penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, teknik analisis data dan triangulasi data. Bab IV adalah hasil analisis data dan pembahasan. Bab V berisi kesimpulan dan saran.


(29)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini akan diuraikan penelitian yang relevan dengan masalah yang akan diteliti serta landasan teori yang dipakai penulis sebagai dasar dalam melakukan penelitian.

2.1 Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan topik ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Qonita Fitra Yuni yang berjudul Pemanfaatan Daya Bahasa pada Diksi Pidato Politik (Yuni, Qonita Fitra : 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Qonita mendeskripsikan penggunaan daya bahasa apa saja, jenis-jenis, manfaat dan ciri-ciri daya bahasa yang digunakan dalam pidato politik para tokoh-tokoh politik. Persamaan penelitian ini yakni mengkaji pemanfaatan daya bahasa yang terdapat dalam ujaran, sedangkan perbedaannya terdapat pada obyek yang diteliti. Penelitian Qonita bersumber pada pidato politik sedangkan penelitian saya bersumber pada prosa lirik Pengakuan Pariyem. Hal yang membedakan lagi, penelitian Qonita hanya terfokus pada penggunaan pilihan kata atau diksi sehingga penelitian yang dilakukannya cenderung lebih sempit ruang lingkupnya.

Penelitian yang lain adalah penelitian dari Dini Suryani yang berjudul Nilai Rasa pada Diksi Dialog Interaktif di Mata Najwa, Metro TV Bulan Oktober dan November 2012 (Suryani, Dini : 2013). Penelitian ini mendeskripsikan jenis-jenis dan ciri-ciri nilai rasa yang terdapat pada dialog interaktif Mata Najwa. Persamaan dari penelitian ini ialah sama-sama mengkaji nilai rasa, sedangkan perbedaannya


(30)

terletak pada obyek penelitiannya. Penelitian yang dilakukan Dini Suryani bersumber pada dialog interaktif Mata Najwa, Metro TV, sedangkan penelitian saya bersumber pada prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi.

Penelitian yang relevan selanjutnya ialah Sridarni yang berjudul Sikap Pasrah Tokoh Utama Wanita Jawa dalam Novel Prosa Lirik Pengakuan Pariyem Karya Linus Suryadi Ag Suatu Tinjauan Sosiologis (Sridarni, 1999). Penelitian ini mendeskripsikan struktur intrinsik, sikap pasrah wanita Jawa, dan relevansinya di bidang pembelajaran sastra. Persamaan penelitian ini dengan penelitian saya yakni obyek kajiannya sama-sama mengkaji prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag. Adapun perbedaan penelitian saya dari penelitian Sridarni yaitu mengkaji mengenai unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa.

Dari uraian di atas membuktikan bahwa penelitian yang mengkaji tentang unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa pada prosa lirik Pengakuan Pariyem belum pernah dikaji. Penelitian tersebut layak untuk diangkat sebagai penelitian.

2.2 Kerangka Teori

Di bawah ini diuraikan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Pendekatan teoritis penelitian ini menggunakan teori pragmatik dan teori semantik, kedua teori tersebut digunakan sebagai ancangan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan dalam berkomunikasi.


(31)

2.2.1 Daya bahasa

Memanfaatkan segala daya atau kekuatan yang dimiliki oleh bahasa merupakan mengambil sesuatu atau nilai yang dapat dipetik dari kekuatan yang terdapat dalam sebuah bahasa (Pranowo, 2009). Daya bahasa adalah kadar kekuatan bahasa untuk menyampaikan makna, informasi atau maksud melalui fungsi komunikatif sehingga pendengar mampu memahami dan menangkap makna, informasi atau maksud penutur/penulis (Pranowo, 2009:128-129). Daya bahasa adalah kadar kekuatan bahasa yang tersembunyi di balik kata dengan maksud untuk meningkatkan fungsi bahasa dalam berkomunikasi. Misalnya dalam tuturan “Ayo dukung gerakan 2 anak saja cukup dari pemerintah!” dalam tuturan ini mengandung daya “persuasif” supaya setiap keluarga mengikuti upaya atau anjuran dari pemerintah membentuk keluarga berencana. Tuturan dapat dikatakan santun jika daya bahasa yang digunakan dapat dioptimalkan fungsinya melalui aspek semantik dan pragmatik.

Memanfaatkan segala daya yang dimiliki oleh bahasa adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh seseorang dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan sesuai dengan maksud yang ingin dicapai dalam berkomunikasi. Namun, hal ini terkadang tidak mudah untuk dilakukan oleh setiap orang karena tidak semua orang memiliki kemampuan untuk mengenali kekuatan yang dimiliki oleh setiap bahasa. Pemanfaatan daya bahasa dapat dilihat melalui tataran bentukan kata-kata. Kata-kata yang tidak berafiks terkadang memiliki daya bahasa yang lebih kuat daripada kata yang menggunakan afiks. Misalnya, kata “babat” lebih kuat daya bahasanya dibandingkan dengan kata “membabat” dalam konteks kalimat


(32)

“Perambah hutan itu babat habis semua pohon yang berdiameter 10 cm ke atas” (Pranowo, 2009:135). Kekuatan yang dimiliki oleh bahasa dapat dimanfaatkan oleh seseorang untuk mengefektifkan penyampaian pesan atau menciptakan kesantunan dalam komunikasi.

Daya bahasa secara linguistik dapat diidentifikasi melalui berbagai aspek kebahasaan seperti bunyi, kata, kalimat, leksikon (terutama pada pilihan kata). Daya bahasa dapat dilihat secara pragmatik dapat diidentifikasi melalui pemakaian bahasa yang dibangun oleh penutur dengan tujuan tertentu, seperti praanggapan, tindak tutur, deiksis dan implikatur (Pranowo, 2009). Daya bahasa dapat juga digali melalui tataran pembentukan kata. Kata yang satu dengan yang lain akan memiliki daya bahasa yang berbeda-beda. Daya bahasa dapat ditemukan dalam hampir seluruh pemakaian bahasa. Salah satu pemakaian bahasa yang sangat produktif dalam memanfaatkan daya bahasa ialah karya sastra. Hampir seluruh seniman dalam menghasilkan karya sastra menggunakan daya bahasa yang terdapat dalam seluruh tataran bahasa untuk membangun keindahan dan mengungkapkan amanat agar dapat dinikmati dan dipahami oleh pembacanya. Daya bahasa dapat dipergunakan untuk :

a. meningkatkan efek komunikasi,

b. mengurangi kesenjangan antara apa yang dipikirkan dengan apa yang diungkapkan, dan

c. memperindah pemakaian bahasa, dan sebagainya.

Apapun fungsi komunikatif, setiap komunikasi pasti ingin agar pendengar atau pembaca dapat memahami apa yang dikomunikasikan. Untuk dapat mencapai


(33)

tujuan komunikasi itu, seseorang dapat memanfaatkan bahasa dengan segala kekuatan bahasa agar komunikasi dapat mencapai tujuan yang sesuai dengan harapannya.

2.2.2 Nilai rasa

Menurut Poerwadarminta (1967 dalam Pranowo, 2013) nilai rasa adalah kadar rasa yang tercantum dalam isi kata itu. Nilai rasa adalah kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan karena penutur mengungkapkan domain afektifnya menggunakan bahasa dalam berkomunikasi sehingga mitra tutur dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan.

Pemakaian nilai rasa bahasa dalam setiap tuturan yang digunakan dalam berkomunikasi dapat meningkatkan kesantunan dalam berkomunikasi. Dalam berkomunikasi, pikiran dan perasaan diungkapkan secara berbeda dalam penggunaan bahasanya. Apabila dalam menggunakan bahasa lebih cenderung mengungkapkan pikiran maka yang terlihat dalam bahasanya yaitu aspek kognitifnya saja. Namun berbeda halnya dengan bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan maka yang terlihat lebih dominan adalah aspek afektifnya. Aspek afektif ini akan memunculkan modus seperti rasa senang, sedih, bahagia, empati, dll.

Daya bahasa dan nilai rasa bahasa banyak digunakan dalam semua tindakan komunikasi, baik bahasa secara lisan maupun tertulis. Menurut Poerwadarminta (1967: 34-35), nilai rasa adalah kadar rasa yang tercantum dalam isi kata itu. Rasa di sini maksudnya adalah gerakan hati atau segala yang terasa dalam batin; seperti


(34)

sedih, senang, suka, duka, benci, menghina, mengejek, hormat, dan sebagainya. Nilai rasa dalam tuturan itu sendiri dapat diketahui dengan memperhatikan pilihan kata atau diksinya, karena kata-kata emosi merupakan manifestasi perasaan penutur. Selain itu juga harus memperhatikan bahasa nonverbalnya dan konteks tuturan untuk mengetahui nilai rasa yang disampaikan penutur karena kata-kata emosi jumlahnya terbatas sehingga perasaan tidak selalu disampaikan melalui kata-kata. Menurut Poerwadarminta (1967: 35-36), ciri-ciri kata yang memiliki nilai rasa yaitu menggunakan:

a. Kata Kasar (Perasaan)

Mencakup kata-kata yang berisi kadar rasa, seperti : rasa senang, benci, menghina, mencemoohkan.

b. Kata Pelembut

Adanya sopan santun dan perasaan kemasyarakatan, seperti kata hormat dan kata-kata bentukan baru.

c. Kata Kasar

Kata kasar seperti kata bangsat, sialan, dan lain sebagainya.

Suatu kata memiliki makna dan maksud. Makna kata yaitu arti kata tersebut, sedangkan maksudnya itu sendiri terdapat pada isi tersebut. Arti katanya tidak selalu sama dengan isi kata. Dalamnya isi kata tersebutlah yang dapat menemukan maksud dan nilai rasanya.

Untuk mengetahui perasaan seseorang, kita perlu menganalisis emosi yang dikeluarkan melalui tingkah laku maupun kata-katanya. Suprapti, dkk dalam Kaswanti Purwo (1992:110-112), mengelompokkan kata emosi pada manusia ke


(35)

dalam 28 macam, yaitu malas, kelelahan, kesedihan, pesimis, takut, heran, tertekan, marah, benci, bersalah, malu, muak, bosan, sunyi, kekosongan, kedamaian-kebahagiaan, bebas, cinta, kangen, terasing, dipaksa-dibohongi, dicintai, yakin-optimis, sehat, perasaan terhadap makanan, keinginan, menerima, dan rasa kecil.

1. Malas-acuh:

Acuh, ogah, ogah-ogahan, segan, wegah, males, enggan. 2. Kelelahan:

Letih, cape, penat, lemes, pegal, pusing, pucat, sakit, perih, kesemutan, gatal,ngantuk, lesu, pening, nyeri, dan getir.

3. Kesedihan:

Pilu, sedih, haru, terharu, trenyuh, kasihan, ngenes, tergugah, prihatin,syahdu, susah, pedih, sendu, duka, iba, dan masygul.

4. Perasaan pesimis depresif:

Nelangsa, merana, malang, sial, sia-sia, putus asa, pesimis, kehilangan pegangan, hina, kalah, apes, putus harapan, dan patah semangat.

5. Takut-cemas:

Kacau, bingung, gugup, gemetaran, tegang, cemas, gelisah, risau, was-was, khawatir, bimbang, ragu-ragu, sangsi, panik, takut, ngeri, gentar, curiga, ruwet, senewen, berdebar-debar, resah, ragu, seram, dan nanar.

6. Heran:

Kaget, heran, tercengang, terpukau, takjub, kagum, seperti mimpi, terkejut, dan terpaku.


(36)

7. Tertekan:

Terdorong, terdesak, terpaksa, terkekang, terhambat, tertindas, terinjak, terpukul, tersinggung, tersindir, tersudut, terancam, terikat, terbanting, dan terhina.

8. Marah:

Sakit hati, jengkel, keki, kesal, dongkol, gedeg, geram, sebal, cape hati, kecewa, marah, pitam, darah pendidih, kelap, sengit, panas, mangkel, gondok, naik darah, dan amarah.

9. Benci:

Dendam, cemburu, iri, benci, antipati, sentimen, dan tidak menghargai. 10. Bersalah:

Bersalah, salah, dosa, menyesal, dan sesal. 11. Malu:

Malu, sungkan, kikuk, kaku,risi, dan jengah. 12. Muak:

Gilo,jijik, enak, mual, muak, dansenep. 13. Bosan:

Jeleh, jenuh, jemu, dan bosan. 14. Sunyi:

Kesepian, sepi, dan kehilangan. 15. Kekosongan:

Hampa, kosong, hambar, dan dingin. 16. Kedamaian-kebahagiaan:


(37)

Adhem, nyaman, aman, tentram,selamat, terlindungi, enak, nikmat, asyik, betah, rileks, santai, gembira, riang, senang, besar hati, bangga, bahagia, ayem, tenang, damai, dan girang.

17. Bebas:

Lega, plong,lapang, puas, untung, ringan, dan terlepas. 18. Cinta:

Suka, simpati, tertarik, cinta, sayang,dhemen,dan kasih. 19. Kangen:

Rindu, kangen, dan terkenang. 20. Terasing:

Terasing, terkucil, tak dihiraukan, diabaikan, dan asing. 21. Dipaksa-dibohongi:

Dipaksa, diburu-buru, diadu domba, ditipu, dikibuli, dininabobokan, dan dibodohi,

22. Dicintai:

Terbelai, tersanjung, diperhatikan, disayangi, dibutuhkan, dipercaya, dan dicintai.

23. Yakin optimis:

Yakin, optimis, kuat, cukup, danmantep. 24. Sehat:

Segar, sehat, dan sadar. 25. Perasaan terhadap makanan:


(38)

26. Keinginan:

Bernafas,ngantuk,dan ingin. 27. Menerima

Ikhlas, rela, pasrah, dan bersyukur. 28. Rasa kecil:

Sempit dan kecil.

2.2.3 Unsur Intralingual

Unsur intralingual adalah unsur-unsur kebahasaan yang digunakan untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa, sedangkan unsur ekstralingual adalah unsur bahasa yang berada di luar unsur internal bahasa (Pranowo, 2009). Unsur intralingual itu merupakan segala aspek bahasa baik yang berupa bunyi, kata, frasa, klausa, kalimat dan wacana yang membentuk satu kesatuan makna maupun aspek pemakaian bahasa seperti implikatur, tindak tutur, praanggapan, dsb (Pranowo, 2013:45). Misalnya dalam pilihan kata, ungkapan khas, kata seru, kata tutur, kata asing, kata basa-basi, kata honorifics (bentuk yang dipergunakan untuk mengungkapkan suatu penghormatan), sapaan mesra “ayang, papi, bunda, diajeng”, umpatan, pujian, dan lain sebagainya.

Unsur intralingual yang dimaksud adalah unsur-unsur kebahasaan yang digunakan untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Teori semantik digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat intralingual. Menurut pandangan para linguis, makna bahasa selalu melekat pada unsur-unsur segmental bahasa yang membentuknya. Dengan demikian, pemaknaan suatu bahasa tidak


(39)

terkait dengan konteks tetapi ditentukan oleh ko-teks. Adapun unsur intralingual di dalamnya memuat beberapa unsur yakni :

a. Kata dan Pilihan Kata

Istilah kata seringkali kita dengar dan kita gunakan. Menurut para ahli kata didefinisikan sebagai satuan bahasa yang memiliki satu pengertian, kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua spasi dan memiliki satu arti. Bloomfield (dalam Chaer, 2012:163) menyatakan bahwa kata ialah satuan bebas terkecil (a minimal free from), sedangkan Chomsky berpendapat bahwa kata adalah dasar dari analisis kalimat, hanya kata disajikan dengan simbol V untuk kata verba, N untuk kata nomina, A untuk kata adjektiva, dan sebagainya. Batasan tentang kata yang sering dijumpai yakni kata merupakan bentuk yang ke dalam mempunyai susunan fonologis yang stabil dan tidak dapat berubah dan ke luar mempunyai kemungkinan mobilitas di dalam kalimat. Batasan ini menimbulkan dua hal yakni (1) setiap kata mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah serta tidak dapat diselipi atau diselang oleh fonem lainnya; (2) setiap kata mempunyai kebebasan berpindah tempat di dalam kalimat atau juga dapat dipisahkan dari kata lainnya.

Pengertian kata menurut Gorys Keraf (1984:21), kata adalah suatu unit dalam bahasa yang memiliki stabilitas intern dan mobilitas posisional, yang berarti ia memiliki komposisi tertentu (entah fonologis entah morfologis) dan secara relatif memiliki distribusi yang bebas. Dalam berkomunikasi kata-kata dijadikan satu ke dalam suatu konstruksi yang dibangun berdasarkan


(40)

kaidah-kaidah sintaksis yang ada dalam suatu bahasa. Pengertian yang tersirat dibalik kata-kata itulah yang menjadi hal yang paling penting dalam serangkaian kata.

Pengertian tersebut menyatakan bahwa di setiap kata pasti mengandung suatu ide atau gagasan. Dengan kata lain, kata-kata ialah penyalur gagasan dari pikiran kita yang disampaikan kepada orang lain. Seseorang yang mempunyai banyak ide atau gagasan dapat dipastikan orang tersebut akan dapat menguasai banyak kata atau luas kosakatanya. Dengan begitu ia dapat dengan mudah dan lancar dalam berkomunikasi dengan orang lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan kosakata sangatlah penting dalam berkomunikasi.

Jadi kata dapat didefinisikan sebagai sebuah rangkaian bunyi atau simbol tertulis yang menyebabkan orang akan berpikir tentang sesuatu hal dan makna dari sebuah kata itu (referensinya).

Persoalan pilihan kata tidak dapat dianggap sebagai persoalan yang sederhana. Dalam kehidupan bermasyarakat, tidak jarang kita menemui orang yang kesulitan mengungkapkan maksud pikirannya dan miskin dalam perbendaharaan kosakata. Setiap orang seharusnya dapat memahami betapa pentingnya peranan kata dalam berkomunikasi, sehingga seseorang dapat menggunakan kata-kata yang tepat sesuai dengan pengertiannya bukan hanya kata-kata yang hebat tanpa isi di dalamnya. Berkomunikasi tidak terlepas dari penggunaan bahasa sebagai alat vital bagi manusia, sehingga mereka pun harus memenuhi persyaratan tertentu dalam jaringan komunikasi. Salah satu


(41)

persyaratannya yakni seseorang harus menguasai sejumlah besar perbendaharaan kata (kosakata), kemudian ia mampu mengaplikasikannya menjadi kalimat yang jelas dan efektif sesuai dengan kaidah sintaksis yang berlaku, sehingga ia dapat menyampaikan ungkapan pikiran dan perasaannya kepada orang lain.

Seseorang yang memiliki kosakata yang luas akan memiliki kemampuan yang tinggi untuk dapat memilih kata yang paling tepat untuk mewakili maksud atau gagasannya. Maka seseorang akan berusaha dengan cermat memilih kata yang harus ia gunakan dalam konteks tertentu. Pilihan kata tidak hanya mempersoalkan tentang ketepatan pemakaian kata, tetapi juga mempersoalkan apakah kata yang digunakan itu dapat diterima atau tidak dalam suatu suasana yang ada.

Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa diksi ialah (1) pemilihan kata-kata yang tepat dalam mengungkapkan gagasan, (2) kemampuan melihat suasana tutur sehingga mampu menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkan gagasan, dan (3) pemilihan kata yang tepat dan sesuai dengan pengertiannya hanya dapat dimungkinkan oleh orang yang menguasai kosakata yang luas.

Persoalan pada pendayagunaan kata hanya meliputi dua aspek, yakni ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan gagasan dan kesesuaian dalam menggunakannya. Ketepatan diksi mempermasalahkan kesanggupan kata untuk dapat menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh


(42)

penulis atau pembicara. Ketepatan dalam memilih kata tidak akan menimbulkan salah paham.

Supaya kata-kata yang digunakan tidak mengganggu suasana dan tidak menimbulkan ketegangan antara penulis/pembicara dengan pembaca atau pendengar maka harus memenuhi syarat kesesuaian diksi (Keraf, 1984:103) sebagai berikut :

1) Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandar dalam suatu situasi yang formal.

2) Gunakanlah kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja. Dalam situasi yang umum hendaknya penulis atau pembicara menggunakan kata-kata populer.

3) Hindarilah jargon dalam tulisan untuk pembaca umum.

4) Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian kata slang.

5) Dalam penulisan jangan menggunakan kata percakapan. 6) Hindarilah ungkapan-ungkapan yang usang (idiom yang mati). 7) Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artifisial.

b. Frasa

Frasa ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 2005:138). Dalam frasa selalu terdapat satu fungsi unsur klausa, bisa berupa subjek, predikat, obyek, pelengkap atau keterangan. Frasa dapat dijadikan penunjuk adanya nilai rasa bahasa dan daya bahasa dalam suatu kalimat. Misalnya :


(43)

Aku tidak melihat kejujuran di matamu !

(kKonteks : seorang bos marah terhadap anak buahnya karena ia telah berbohong)

Penggunaan frasadi matamusebagai keterangan terasa bernilai rasa sangat kasar. Penyebutan mata untuk menyatakan keseluruhan tubuh seseorang cukup tidak sopan, apalagi ditambah dengan gerakan tangan menunjuk kedua bola mata mitra tutur. Dalam konsep Jawa, menggunakan kata-kata bagian tubuh di atas leher termasuk tidak sopan. Ada baiknya apabila contoh kalimat di atas diganti menggunakan kalimat aku tidak melihat kejujuran dalam dirimu !akan terasa lebih halus dibandingkan dengan contoh kalimat di atas. c. Klausa

Dalam hierarki bahasa klausa berada di atas tataran frasa. Ramlan (2005: 79) mengatakan bahwa klausa ialah satuan gramatik yang terdiri dari fungsi subjek, predikat baik disertai obyek, pelengkap atau keterangan maupun tidak. Jadi unsur inti klausa ialah adanya subjek dan predikat, namun yang perlu diingat unsur wajib suatu klausa ialah adanya predikat yang lain bersifat manasuka artinya boleh ada boleh tidak. Sebagaimana dengan frasa, klausa pun dapat dijadikan sebagai penanda adanya nilai rasa dan daya bahasa dalam suatu kalimat.

d. Kalimat

Bentuk bahasa terdiri dari dua satuan, yaitu satuan fonologik dan satuan gramatik. Satuan fonologik meliputi fonem dan suku, sedangkan satuan gramatik meliputi wacana, kalimat, klausa, frase, kata dan morfem.

Kalimat adalah susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap (Chaer, 2012:240). Hal ini berarti di dalam kalimat memuat maksud


(44)

atau pikiran dari pembaca atau penulis yang dirangkai melalui susunan kata-kata. Kalimat bisa saja hanya terdiri dari satu atau dua kata saja. Menurut Ramlan (2005:21-23) sesungguhnya yang menentukan satuan kalimat bukanlah banyaknya kata di dalamnya yang menjadi unsur kalimat tetapi intonasinya. Setiap satuan kalimat dibatasi dengan adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Jadi dengan kata lain kalimat ialah satuan gramatik yang dibatasi dengan jeda panjang yang disertai dengan nada akhir turun atau naik.

Definisi mengenai kalimat tentunya sudah banyak dikemukakan oleh para ahli, dari paparan mengenai definisi kalimat di atas dapat disimpulkan bahwa kalimat yaitu rangkaian kata-kata yang disusun untuk mengungkapkan pikiran yang dibatasi dengan adanya nada atau intonasi.

e. Bahasa Verbal

Pemakaian bahasa verbal memiliki unsur utama berupa kata, kalimat, paragraf, dan wacana. Daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam bahasa verbal (unsur intralingual) akan memiliki efek yang sangat kuat apabila didukung oleh penggunaan bahasa nonverbal. Jika bahasa verbal itu bahasa tulis, penanda jedanya berupa pemisah kata, koma, titik, pergantian paragraf dan pergantian wacana. Apabila bahasa verbal yang dimaksud adalah bahasa lisan maka penanda jeda dapat berupa intonasi, tekanan, dan irama. Dalam penggunaan bahasa verbal lisan menggunakan permainan bunyi, permainan kata, gaya bahasa dan idiom yang dapat memberikan efek komunikatif bagi mitra tutur. Bahasa verbal adalah bahasa yang diungkapkan dengan kata-kata


(45)

dalam bentuk ujaran atau tulisan (Pranowo, 2012:3). Komunikasi verbal adalah komunikasi yang medium pengucapan kata-kata kepada orang lain dapat melalui bentuk lisan atau tulisan. Komunikasi verbal baik itu yang lisan ataupun tertulis tergantung pada penguasaan “kata” dan tatabahasa (Liliweri,1994:5-7).

Sistem simbol dalam komunikasi verbal menurut Verdeber (dalam Liliweri, 1994:42) terdiri dari (1) kata-kata yang diketahui (vocabulary) yang dipelajari dengan cara tertentu dan (2) tata bahasa (grammar) dan sintaksis. Unsur-unsur penting dari komunikasi terdiri dari : sumber, saluran, pesan, kode (tanda atau simbol), penerima dan kerangka rujukan. Setiap unsur komunikasi memberikan dukungan pada komunikasi verbal.

f. Makna

Setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur itu adalah unsur dalam bahasa (intralingual) yang biasanya mengacu atau merujuk kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar (ekstralingual). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:864) makna adalah arti, maksud pembicara atau penulis, pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Makna terdapat dalam suatu ujaran, makna dapat berarti maksud yang terdapat dalam sebuah ujaran. Menurut Poerwadarminto (dalam Tarigan, 1985:9) makna memiliki pengertian arti atau maksud (sesuatu kata); mengandung arti yang penting, menerangkan arti (maksud) sesuatu kata dan sebagainya. Hornby berpendapat bahwa makna ialah apa yang kita artikan atau apa yang kita maksud, sedangkan Ullman mengatakan


(46)

bahwa ada hubungan antara nama dan pengertian; apabila seseorang mendengar kata ia tentu membayangkan bendanya dan apabila seseorang membayangkan suatu benda ia akan segera mengatakan benda tersebut. Inilah hubungan timbal-balik antara bunyi dan pengertian, dan inilah makna kata tersebut (dalam Pateda, 1986:45). Bentuk-bentuk kebahasaan seperti morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana memiliki konsep bersifat mental dalam pikiran manusia yang disebut dengan makna (sense). Makna menurut Wijana dan Rohmadi (2011:3) ialah konsep abstrak pengalaman manusia tetapi bukanlah pengalaman orang per orang. Bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan konsep dalam pikiran manusia inilah yang disebut dengan makna (sense), dan konsep berhubungan dengan sesuatu atau hal yang ada di luar bahasa yang disebut dengan referen (referent). Makna berbeda dengan maksud dan informasi, karena maksud dan informasi bersifat luar bahasa. Maksud adalah elemen di luar bahasa yang bersumber dari pembicara dan bersifat subjektif, sedangkan informasi ialah elemen luar bahasa yang bersumber dari isi tuturan dan bersifat obyektif.

Sejalan dengan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa makna ialah maksud atau arti yang terdapat dibalik setiap kata atau ujaran yang memiliki arti penting.

Ujaran manusia dapat dilihat dari 4 segi yaitu : pengertian (sense), perasaan (feeling), nada (tone), dan maksud (intention). Pengertian disebut juga dengan tema pembicaraan, pengertian adalah upaya untuk dapat menghubung-hubungkan pemahaman kita sehingga pembicaraan tidak akan


(47)

salah. Pengertian dapat dicapai apabila antara pembicara/penulis dengan pembaca/pendengar mempunyai kesamaan bahasa. Perasaan berhubungan dengan sikap pembicara/penulis terhadap apa yang sedang dibicarakan. Maka dari itu kita harus menggunakan kata-kata yang mempunyai makna sesuai dengan perasaan apa yang akan kita ungkapkan. Aspek nada dalam ujaran dapat berarti sikap pembicara terhadap kawan bicara. Dalam karya sastra nada berhubungan dengan sikap penyair atau penulis dengan pembacanya. Misalnya dalam penggunaan nada, apabila kita sedang kesal atau jengkel nada pembicaraan yang kita gunakan ialah nada tinggi, sedangkan ketika minta sesuatu nada yang digunakan pasti rendah atau mengiba-iba. Tujuan merupakan maksud, apabila kita mengatakan sesuatu pasti ada maksud atau tujuan di dalamnya.

2.2.4 Unsur Ekstralingual

Unsur ekstralingual merupakan suatu unsur yang berada dalam luar bahasa atau di luar unsur internal, misalnya gerakan anggota tubuh, cara berbicara, sikap sinis, lirikan mata, peristiwa lain, dan tuturan katanya (implikatur). Unsur ekstralingual dapat berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dan konteks situasi komunikasi (Pranowo, 2009:97-98).

Aspek non kebahasaan yang lainnya ialah konteks situasi komunikasi. Konteks situasi komunikasi ialah segala keadaan yang melingkupi terjadinya komunikasi. Hal ini dapat berhubungan dengan tempat, waktu, kondisi psikologis penutur, respons lingkungan terhadap tuturan, dan sebagainya. Konteks situasi


(48)

komunikasi dapat mempengaruhi tingkat kesantunan pemakaian bahasa. Sebab, konteks situasi komunikasi yang melingkupi terjadinya berbagai peristiwa dapat memancing emosi penutur sehingga tuturannya terkesan keras dan tidak santun.

Bahasa dan konteks merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain, bahasa membutuhkan suatu konteks tertentu dalam pemakaiannya begitu pula sebaliknya konteks akan bermakna apabila terdapat tindak bahasa di dalamnya. Konteks merupakanbackground knowledge assumed to be shared by s and h and which contributes to h‟s interpretation of what s means by a given utterance (latar belakang pemahaman yang dimiliki oleh penutur maupun lawan tutur sehingga lawan tutur dapat membuat interpretasi mengenai apa yang dimaksud oleh penutur pada waktu membuat tuturan tertentu (s berarti speaker : penutur ; h berarti hearer: lawan tutur) (Leech, 1983: 13). Konteks lebih sulit dibedakan dari teks, informasi kontekstual ialah informasi yang diidentifikasi dalam hubungannya satu dengan yang lainnya. Isi komunikasi dalam suatu tuturan dapat diperoleh melalui kombinasi makna linguistik dan konteks sehingga pesan yang ada dalam teks dapat dipahami.

Schiffrin dalam bukunya Ancangan Kajian Wacana (2007:549) banyak berpendapat bahwa konteks dalam pembicaraan ialah “pengetahuan” dan “situasi” dalam suatu tuturan. Konteks ialah situasi tutur atau latar terjadi suatu peristiwa komunikasi, dapat dianggap bahwa konteks sebagai sebab dan alasan terjadinya pembicaraan (Mulyana, 2005: 10).

Jadi konteks adalah latar belakang pengetahuan (informasi lain yang tidak terdapat dalam teks) dan situasi dalam pembicaraan yang dapat mendukung atau


(49)

menambah kejelasan makna sehingga memudahkan kita untuk memahami makna. Pemberian konteks dalam suatu teks akan memudahkan orang untuk dapat memahami makna.

Menurut Pateda (2004: 228-229) konteks adalah situasi yang terbentuk oleh karena adanya setting, kegiatan dan relasi. Interaksi atau tindak bahasa didasarkan pada ketiga komponen tersebut. Ketiganya diuraikan sebagai berikut : a. Setting meliputi waktu dan tempat situasi itu terjadi, yang termasuk unsur setting yaitu : unsur-unsur material yang ada di sekitar interaksi berbahasa, tempat (tata letak dan tata atur barang dan orang) dan waktu (tata runtun atau pengatursn urutan waktu dalam peristiwa interaksi berbahasa.

b. Kegiatan merupakan semua tingkah laku yang terjadi dalam interaksi berbahasa.

c. Relasi meliputi hubungan antara penutur dan mitra tutur. Hubungan ini meliputi : jenis kelamin, umur, kedudukan (status, peran, prestasi, prestise), hubungan kekeluargaan, hubungan kedinasan.

Konteks baru muncul jika terjadi interaksi berbahasa yang sesuai dengan setting, kegiatan dan relasi.

Konteks menurut Supardo (1988: 48-50) dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni konteks bahasa (konteks linguistik atau konteks kode) dan konteks nonbahasa (konteks nonlingustik) :


(50)

a. Konteks bahasa (konteks linguistik atau konteks kode), konteks ini berupa unsur yang secara langsung membentuk struktur lahir, yakni kata, kalimat, dan bangun ujaran atau teks.

b. Konteks nonbahasa (konteks nonlingustik), diklasifikasikan menjadi tiga, yakni sebagai berikut.

(1) Konteks dialektal yang meliputi usia, jenis kelamin, daerah (regional), dan spesialisasi. Spesialisasi adalah identitas seseorang atau sekelompok orang dan menunjuk profesi orang yang bersangkutan.

(2) Konteks diatipik mencakup setting, yakni konteks yang berupa tempat, jarak interaksi, topik pembicaraan, dan fungsi. Setting meliputi waktu, tempat, panjang, dan besarnya interaksi.

(3) Konteks realisasi merupakan cara dan saluran yang digunakan orang untuk menyampaikan pesannya.

Bahasa nonverbal merupakan salah satu unsur ekstralingual. Bahasa nonverbal (unsur ekstralingual) juga tidak kalah penting dalam berkomunikasi. Peran bahasa nonverbal akan nampak pada penggunaan bahasa lisan dalam berkomunikasi. Bahasa nonverbal dapat berupa gesture yaitu gerakan tubuh atau bagian tubuh yang berfungsi penting dalam berkomunikasi. Gesture dapat berupa berupa kinestetik, kontak mata dan kinestetik sedangkan bahasa verbal dapat berupa proksemik, artefak, maupun olfaktori (Brown,2004). Pranowo (2012:3) menyatakan bahwa bahasa non-verbal ialah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak-gerik tubuh, sikap atau perilaku.


(51)

Pada dasarnya komunikasi ialah jalan yang menghubungkan manusia yang satu dengan yang lainnya. Tidak hanya melalui kata-kata namun lewat diam atau gerakan tubuh yang lain itu adalah bentuk komunikasi pula. Diam adalah salah satu bentuk komunikasi antarpribadi, ketika kita berdiam diri maka kita telah melakukan komunikasi non-verbal. Komunikasi non-verbal seringkali digunakan untuk menggambarkan perasaan atau emosi seseorang. Apabila suatu pesan tidak menunjukkan kekuatan pesan maka kita dapat menggunakan tanda-tanda non-verbal sebagai pendukungnya. Komunikasi non-non-verbal disebut juga komunikasi tanpa kata karena tidak berkata-kata dalam berkomunikasi hanya menggunakan gerakan tubuh atau anggota tubuh bahkan tanpa suara (berdiam diri) (Liliweri, 1994:89). Komunikasi tidak hanya sekedar mengalihkan pesan dari pembicara ke pendengar, namun dukungan tanda non-verbal dapat melengkapi kekurangan dari komunikasi verbal. Knapp (dalam Liliweri, 1994:103-105) membedakan antara komunikasi verbal dan non-verbal sebagai berikut :

a. Komunikasi verbal mempunyai ciri yang terpisah-pisah sedangkan komunikasi verbal selalu berkesinambungan. Dalam komunikasi non-verbal seseorang tidak dpat menghentikan gerakan anggota tubuh atas perintah tanda baca, namun dalam komunikasi verbal kita berhenti membaca atas perintah tanda-tanda baca (koma, titik, tanda tanya, tanda seru, dsb). b. Komunikasi verbal merupakan saluran tunggal sedangkan komunikasi

non-verbal bersaluran banyak. Seringkali komunikasi non-non-verbal memberikan tekanan tertentu pada komunikasi verbal. Komunikasi non-verbal lebih


(52)

banyak variasinya dibandingkan komunikasi verbal maka dari itulah disebut sebagai saluran banyak.

c. Komunikasi verbal selalu di bawah pengawasan (kontrol) setiap manusia secara sadar maupun sukarela, sedangkan komunikasi non-verbal tidak dapat diawasi dengan baik apalagi sempurna. Sebagian besar komunikasi non-verbal terjadi secara otomatis di setiap situasi.

2.2.5 Pragmatik

Pragmatik sebagai salah satu bidang ilmu linguistik, mengkhususkan pengkajian pada hubungan antara bahasa dan konteks tuturan. Kajian ini menempatkan bahasa dalam pemakaiannya atau pemakaian bahasa dalam konteksnya. Pragmatik adalah suatu studi yang mempelajari tentang makna yang disampaikan oleh penutur (penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (pembaca). Menurut Yule (2006:5) pragmatik ialah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk-bentuk-bentuk itu. Studi mengenai pragmatik tidak terlepas dari bagaimana cara orang saling memahami satu sama lain secara linguistik tetapi kita juga harus memahami orang lain dan apa yang ada dalam pikirannya. Cruse (dalam Cumming, 2007:2) mendefinisikan pragmatik sebagi berikut :

“Pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun yang (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut [penekanan ditambahkan].”


(53)

Sejalan dengan dua pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik berkaitan dengan informasi yang melalui bentuk-bentuk linguistik oleh penuturnya. Penggunaan bentuk linguistiknya pun dapat berbeda-beda, ada yang penggunaannya secara konvensi yang telah diterima masyarakat umum maupun makna yang dikodekan sesuai dengan konteks pembicaraan.

Ruang lingkup pragmatik untuk memahami konteks tuturan dapat dilihat dari berbagai aspek (Cummings, 2007:8-42), diantaranya tindak tutur, praanggapan, implikatur, deiksis, yang akan dijabarkan di bawah ini :

a. Tindak tutur

Tindakan-tindakan yang ditampilkan melalui tuturan disebut dengan tindak tutur (Yule,2006:82). Istilah-istilah deskriptif untuk tindak tutur yang berlainan digunakan untuk maksud komunikatif penutur dalam menghasilkan tuturan. Searle (dalam Schiffrin, 2007:70) menyatakan tindak tutur ialah unit dasar dari komunikasi. Tindak tutur ialah peristiwa tutur yang dilakukan oleh penutur kepada mitra tuturnya. J.L Austin (dalam Nababan, 1987:18) menyatakan tiga hal yang terdapat dalam tindak tutur, yaitu :

(1) Tindak lokusi (locutionary act)

Adalah tindak tutur yang mengaitkan suatu topik dengan sesuatu keterangan dalam suatu ungkapan. Memandang suatu kalimat/ ujaran sebagai suatu “proposisi” yang terdiri dari subjek/topik dan predikat/komentar.


(54)

Pengucapan apa yang dirasakan atau dipikirkan yang diwujudkan dalam ungkapan. Memandang suatu kalimat atau ujaran sebagai tindakan bahasa, seperti : menyuruh, memanggil, menyatakan persetujuan, dan sebagainya.

(3) Tindak perlokusi

Efek atau apa yang dihasilkan dari kalimat/ujaran pada pendengar atas ujaran itu sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan ujaran tersebut. Dalam suatu tuturan mengandung setidaknya 3 tindakan yang saling berhubungan (Yule, 2006:83) yaitu : tindak lokusi yaitu tindakan dasar tuturan yang menghasilkan suatu ungkapan linguistik yang bermakna, tindak ilokusi merupakan bentuk tuturan dengan beberapa fungsi, penekanan ilokusi terdapat pada komunikatif suatu tuturan. Tindak perlokusi adalah akibat apa yang ditimbulkan dari ujaran itu. Menurut Yule, ada lima fungsi tindak tutur yaitu :

1) Deklaratif

Berfungsi untuk menyatakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Misalnya pernyataan setuju atau menyetujui : Saya nyatakan sidang kali ini ditutup.

2) Representatif

Tindak tutur yang dipakai untuk menjelaskan, menyatakan, memberitahukan, menolak, dan sebagainya. Misalnya : Saya tidak mau menuruti perintahmu !


(55)

Tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan perasaan dan sikap penutur. Mencerminkan pernyataan kegembiraan, kesedihan, kebencian, kesenangan, dan sebagainya. Misalnya :Selamat ulang tahun !

4) Direktif

Tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pendengar untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur ini berupa perintah, permohonan, pemesanan, dll. Misalnya :Buatkan aku kopi pahit !

5) Komisif

Tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan kesanggupan atau kesediaan penutur. Tindak ini dapat berupa berjanji, bernasar, bersumpah, mengancam, dll. Misalnya : Aku berjanji akan membelikan boneka itu.

b. Praanggapan

Ruang lingkup pragmatik untuk memahami konteks tuturan dapat dilihat dari berbagai aspek (Cummings, 2007:42), salah satunya praanggapan.

Praanggapan ialah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Tidak semua inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu merupakan praanggapan yang tepat terhadap suatu ujaran. Praanggapan ialah sikap penutur yang menganggap bahwa mitra tutur telah mengetahui apa yang dibicarakan oleh penutur. Karena informasi tertentu dianggap sudah diketahui maka informasi itu tidak akan dikatakan tetapi tetap menjadi bagian dari apa yang disampaikan. Menurut Yule (2006:46-51) jenis praanggapan dibedakan menjadi beberapa yaitu : praanggapan potensial,


(56)

praanggapan leksikal, praanggapan struktural, praanggapan faktif, praanggapan non-faktif, praanggapan counter-factual.

c. Implikatur

Implikatur adalah efek yang ditimbulkan melalui ujaran, jadi penutur tidak bermaksud menyebabkan efek tertentu melalui penggunaan ujarannya. Efek hanya dapat dicapai dengan tepat apabila maksud untuk menghasilkan efek diketahui oleh pendengarnya. Menurut Yule (2006:61) implikatur adalah informasi tambahan yang tentunya lebih banyak memiliki makna daripada sekedar kata-kata. Makna ini merupakan makna tambahan yang disampaikan melalui ujaran.

Dengan kata lain, implikatur adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dari yang diucapkan. Maksud pembicaraan terdapat di balik tuturan, maksud implikatur merujuk pada bukan makna. Makna akan selalu berada dalam tuturan tetapi maksud itu dibawa oleh penutur bukan terdapat dalam tuturan. Apabila dalam sebuah kalimat memiliki maksud dan makna yang sama maka kalimat itu tidak mengandung implikatur. Namun semua itu tergantung pada konteks pembicaraannya.

Jenis-jenis implikatur : 1) Implikatur Konvensional

Implikatur yang maksud yang ingin disampaikan penutur sudah dimengerti oleh mitra tutur. Misalnya :Maaf Pak, saya mau minta ijin ke belakang. 2) Implikatur Conversation (Percakapan)

Implikatur yang hanya dapat dipahami oleh orang yang terlibat dalam percakapan itu.


(57)

 Implikatur umum, tidak memerlukan pengetahuan khusus untuk memahami maksudnya.

 Implikatur khusus, diperlukan pengetahuan yang khusus untuk menangkap maksud penutur.

 Implikatur berskala, implikatur yang diambil dari daftar skala. d. Deiksis

Deiksis ialah kata, frase, atau ungkapan yang referensinya dapat berubah atau berganti-ganti. Istilah deiksis mengacu pada ungkapan dari kategori gramatikal yang memiliki keragaman sama banyaknya dengan kata ganti dan kata kerja yang menerangkan berbagai entitas dalam konteks sosial, linguistik atau ruang dan waktu ujaran yang lebih luas.

George Yule dalam bukunya Pragmatik (2006:13) mengatakan deiksis berasal dari bahasa Yunani yang berarti “penunjukan” melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyatakan penunjukan disebut ungkapan deiksis, ungkapan-ungkapan deiksis disebut juga dengan indeksikal. Deiksis mengacu pada bentuk yang terkait dengan konteks penutur, yang dibedakan secara mendasar antara ungkapan-ungkapan deiksis yang “dekat” dan “jauh” dari penutur. Istilah “dekat penutur” disebut dengan proksimal, misalnya : ini, di sini, sekarang. Sebaliknya istilah “jauh dari penutur” disebut dengan distal, misalnya itu, di sana, pada saat itu, dan sebagainya. Bentuk deiksis menurut Yule dapat diperinci lagi menjadi deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu. Berbeda dengan yang diutarakan oleh Nababan, beliau membagi deiksis menjadi 5 jenis, yakni deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis sosial, dan deiksis wacana.


(58)

1) Deiksis Persona

Menurut Yule, deiksis persona dengan jelas menerapkan 3 pembagian dasar, yaitu :

a) Kata ganti orang pertama, yaitu rujukan pembicara pada dirinya sendiri (saya, kami).

b) Kata ganti orang kedua, yaitu rujukan pembicara kepada seseorang atau lebih (kamu, anda).

c) Kata ganti orang ketiga, rujukan pembicara kepada orang atau benda yang bukan pembicara ataupun pendengar ( dia, mereka). Dalam istilah deiksis, orang ketiga ialah orang yang bukan terkait secara langsung dalam pembicaraan.

Kategori deiksis penutur, kategori deiksis lawan tutur, dan kategori deiksis lainnya diuraikan panjang lebar dengan tanda status sosial kekerabatan. Ungkapan-ungkapan yang menunjukkan status lebih tinggi dideskripsikan sebagai honorifics (bentuk yang digunakan untuk mengungkapkan penghormatan).

2) Deiksis Tempat

Deiksis tempat yaitu tempat hubungan antara orang dan bendanya ditunjukkan. Misalnya : di sini, di situ , di sana (Yule,2006:19). Sejalan dengan pendapat Yule, Nababan (1987:41), deiksis tempat yaitu pemberian bentuk pada lokasi ruang dipandang dari lokasi orang atau pemeran dalam peristiwa bahasa itu. Deiksis tempat dibagi menjadi 3, yaitu :


(59)

b) Yang bukan dekat dengan pembicara dan dekat dengan pendengar, misalnya:di situ

c) Yang bukan dengan pembicara maupun pendengar, misalnya:di sana 3) Deiksis Waktu

Deiksis waktu adalah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan oleh penutur di dalam peristiwa bahasa. Dalam hal ini, deiksis atau rujukan waktu diungkapkan dalam bentuk “kala” (tense) (Nababan,1987:41).

Contoh :

Pekan inisaya sedang berada di Yogyakarta. Dulusaya pernah tinggal di rumah itu.

Semua pemahaman ungkapan deiksis waktu (temporal) sangat tergantung pada pemahaman seseorang tentang pengetahuan waktu tuturan yang relevan. Waktu yang menunjukkan keadaan sekarang disebut dengan bentuk proksimal, sedangkan waktu yang lampau adalah bentuk distal (Yule, 2006:22).

4) Deiksis sosial

Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan status kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Dalam beberapa bahasa, perbedaan tingkat sosial di masyarakat antara pembicara dan pendengar diwujudkan dalam sistem morfologi tertentu yang sering disebut dengan tingkatan bahasa. Misalnya dalam bahasa Jawa terdapat tingkatan bahasa atau pembagian bahasa, penggunaan kata mangan-nedha-dhahar akan berbeda-beda walaupun memiliki kesamaan arti “makan”.


(60)

Aspek bahasa seperti ini disebut dengan kesopanan berbahasa atau etiket berbahasa. Sistem penggunaan bahasa seperti ini yang mendasari sopan santun berbahasa atau honorifics.

5) Deiksis wacana

Deiksis wacana ini merujuk pada bagian-bagian tertentu yang terdapat dalam wacana yang telah ada atau yang sedang dikembangkan. Deiksis ini mencakup anafora dan katafora. Bentuk yang digunakan untuk menyatakan deiksis ini ialah ini, itu berikut ini, begitulah, dan sebagainya. Ditinjau dari segi referennya, deiksis terdiri dari :

a) Deiksis Eksofora

Deiksis eksofora adalah deiksis yang memiliki acuan atau referen di luar tuturan itu sendiri.

b) Deiksis Endofora

Deiksis endofora ialah deiksis yang memiliki acuan atau referen di dalam tuturan itu sendiri. Deiksis ini dibagi menjadi dua, yaitu :

 Anafora : merujuk pada apa yang telah disebutkan sebelumnya. Misalnya : Vina gemar bermain basket. Ia sering berlatih di lapangan basket sepulang sekolah.

 Katafora : merujuk pada yang akan disebutkan. Misalnya: Syarat-syarat untuk mengambil dana bantuan ialah sebagai berikut :


(61)

Kajian bahasa secara semantik menempatkan bahasa dalam pemakaian yang bebas dari konteks. Semantik adalah ilmu yang mempelajari mengenai makna, makna dan maksud bahasa diinterpretasi dari unsur-unsur lingual yang membentuk wacana. Makna dan maksud dapat dipahami dari unsur-unsur bahasa yang digunakan untuk menyusun satuan makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya dan perubahannya (Tarigan, 1985:7).

Jadi semantik adalah ilmu yang mempelajari tentang makna sebuah kata. Objek studi semantik adalah makna bahasa. Lebih tepat lagi, makna dari satuan-satuan bahasa seperti kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Bahasa memiliki tataran-tataran analisis, yaitu fonologi, morfologi, dan sintaksis. Bagian-bagian yang mengandung masalah semantik adalah leksikon dan morfologi (Chaer, 1990:61). Chaer menyatakan bahwa jenis-jenis makna itu adalah makna leksikal, gramatikal, konstektual, referensial dan non referensial, denotatif, konotatif, konseptual, asosiatif, kata, istilah, idiom, serta makna peribahasa.

2.2.7 Pragma semantik

Leech (1983: 6) mengatakan pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik berkaitan erat dengan kajian bidang semantik. Hubungan keterkaitan ini disebut dengan semantisisme yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik dan pragmatisisme yaitu melihat semantik sebagai bagian dari


(1)

karena ia harus diungsikan di dusun asalnya dulu Wonosari, Gunung Kidul selama kehamilannya hingga ia melahirkan. Nilai rasa sedih diperkuat penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem bebas mengutarakan pendapat dan perasaannya pada mas Paiman.

Bagian 57

96. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 156

Data tuturan :

Kelap-kelip lampu pelita tertiup angin gunung yang dingin Dalam musim-musim bedhidhing

Saya kangen saya dhemen! (NRPP.156)

Konteks tuturan :

Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan mas Paiman bahwa ia merasa rindu pada Den Baguse setelah ia berada di Wonosari, Gunung Kidul.

Penanda tuturan :

Tuturan mengandung nilai rasa rindu yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Saya kangen saya dhemen!”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasakan kerinduan akan Den Baguse walaupun Den Baguse setiap bulan mengunjunginya untuk mengobati kerinduan mereka satu sama lainnya. Nilai rasa rindu diperkuat penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan di malam hari dalam musim dingin hawa pegunungan dan situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem bebas mengutarakan pendapat dan perasaan rindunya terhadap Den Baguse pada mas Paiman.

Bagian 59

97. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 161

Data tuturan :

Ya, ya, saya hanya berharap kelak

Semoga thuyul yang saya kandung ini tidak nakal dan tidak manja (NRPP.161

Konteks tuturan :

Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang harapan apa yang diinginkan Pariyem setelah ngidhamnya telah terpenuhi.

Penanda tuturan :

Tuturan mengandung nilai rasa harapan yang ditandai penanda intralingual melalui pilihan kata “semoga”. Penggunaan kata ini memperlihatkan adanya harapan yang dipanjatkan oleh Pariyem untuk buah hatinya supaya kelak anaknya tidak nakal dan tidak manja. Nilai rasa harapan diperkuat penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat Pariyem memakan makanan yang ia inginkan saat ngidham sehingga setelah terpenuhi ngidhamnya ia berharap pada Tuhan akan sifat anaknya supaya tidak manja dan tidak nakal.

98. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 163

Data tuturan :

Betapa mrinding saya dengar suaranya! Lha baru sepisan ini dia nembang baru sepisan ini saya mendengarnya


(2)

(NRPP.163) Konteks tuturan :

Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan saat Den Baguse didaulat menyanyikan lagu macapatan dalam acara mitoni kandungan Pariyem pada mas Paiman

Penanda tuturan :

Tuturan mengandung nilai rasa terpesona yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Betapa mrinding saya dengar suaranya!”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem takjub ketika mendengar pertama kalinya Den Baguse menyanyikan tembang macapat. Nilai rasa terpesona diperkuat penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan di malam hari saat Pariyem mengingat Den Baguse menyanyikan beberapa pupuh tembang macapat dalam acara mitoni kandungannya dan situasi percakapan yang santai membuat Pariyem leluasa mengungkapkan perasaan dan pendapatnya pada mas Paiman.

Bagian 60

99. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 164

Data tuturan :

“Betapa senangnya ati saya nDoro Putri tidur seamben dengan saya Dia betah dan krasan di desa dan O, makan dan jajan apa adanya Tak pernah mencacat, dia nrima saja betapa senangnya ati saya (NRPP.164)

Konteks tuturan :

Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan pada mas Paiman saat nDoro Putri berlibur di dusun Wonosari setelah ia mengikuti ujian

Penanda tuturan :

Tuturan mengandung nilai rasa senang yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Betapa senangnya ati saya nDoro Putri tidur seamben dengan saya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem senang nDoro Putri mau tidur dengannya padahal nDoro Putri merupakan putri majikannya, nDoro Putri tidak pernah mengeluh dengan kondisi rumah di dusun yang serba terbatas itulah yang membuat Pariyem senang akan nDoro Putri. Nilai rasa senang diperkuat penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan pagi hari setelah acara mitoni kandungan Pariyem usai, situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman untuk bercerita pada mas Paiman dengan leluasa.

100. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 165

Data tuturan :

Masya Allah! Mas dan adik idem (NRPP.165)

Konteks tuturan :

Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan pada mas Paiman tentang kelakuan nDoro Putri dan Den Baguse tidaklah berbeda dalam hal kenakalan anak muda yang sudah melampaui batas

Penanda tuturan :

Tuturan mengandung nilai rasa kaget yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Masya Allah! Mas dan adik idem”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kekagetan Pariyem akan kelakuan nDoro Putri yang menelan pil anti kehamilan, ternyata kelakuan kakak adik putra majikannya tidaklah berbeda. Nilai rasa kaget diperkuat penanda


(3)

ekstralingual yang berupa waktu percakapan di pagi hari saat Pariyem bercerita dengan mas Paiman kemudian terlintas ingatan saat ia melihat nDoro Putri menelan pil anti kehamilan

Bagian 62

101. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 170

Data tuturan :

Simboklah yang sibuk merawatnya Sungguh! Dia penuh pengalaman (NRPP.170)

Konteks tuturan :

Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang yang mengurus anakya ketika tubuh Pariyem masih lemah setelah melahirkan

Penanda tuturan :

Tuturan mengandung nilai rasa bangga yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Sungguh! Dia penuh pengalaman”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kebanggaan Pariyem akan ibunya yang masih terampil merawat bayi yang baru lahir walaupun sudah lama tidak merawat bayi mungil yang baru saja dilahirkan. Nilai rasa bangga diperkuat penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem mampu mengingat saat ia masih lemas setelah melahirkan sehingga bayinya diurus oleh ibunya Pariyem.

Bagian 63

102. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 170

Data tuturan :

“BETAPA rasanya ati saya O, betapa menjadi simbok muda (NRPP.170)

Konteks tuturan :

Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang perasaan Pariyem setelah melahirkan seorang anak

Penanda tuturan :

Tuturan mengandung nilai rasa bahagia yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “O, betapa menjadi simbok muda”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kebahagiaan Pariyem menjadi seorang ibu muda yangbaru saja melahirkan seorang bayi membuat hatinya penuh dengan sukacita, sehingga tiap hari kasih sayangnya tercurah pada anaknya. Nilai rasa bahagia diperkuat penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman mengutarakan perasaannya pada mas Paiman.

103. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 174

Data tuturan :

Endang Sri Setianingsih menangis Ah, suara dan namanya bagus benar Ya, ya namanya menjunjung keluarga Tangisnya, O, Allah, tangisnya! (NRPP.174)


(4)

Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan pada mas Paiman tentang kebanggaannya akan putrinya Endang Sri Setianingsih yang membuat Pariyem akan melalukan apapun untuk anaknya

Penanda tuturan :

Tuturan mengandung nilai rasa bangga yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Ah, suara dan namanya bagus benar”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kebanggaan Pariyem akan nama dan suara bayinya, baginya nama buah hatinya ialah doa yang dipanjatkan dan nama itulah yang menjadi kebanggaan bagi keluarganya. Nilai rasa bangga diperkuat penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman mengutarakan perasaannya pada mas Paiman.

Bagian 64

104. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 174

Data tuturan :

O, tawa bocah selalu mempesona (NRPP.174)

Konteks tuturan :

Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang alasan Pariyem suka mendengar suara tawa bayi

Penanda tuturan :

Tuturan mengandung nilai rasa senang yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “O, tawa bocah selalu mempesona”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem senang saat mendengarkan suara tawa bayi yang senantiasa polos. Suara tawa bayi yang jernih, tidak dibuat-buat itulah yang membuat Pariyem senang mendengar suara tawa bayi. Nilai rasa senang diperkuat penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem teringat ketika anaknya dihibur oleh keluarga Suryamentaraman sehingga ia dapat mengutarakan alasannya menyukai tawa bayi pada mas Paiman.

Bagian 65

105. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 178

Data tuturan :

Ya, ya Den Baguse telah mengalirkan darah ke dalam rahim saya Ya, ya Den Baguse pahlawan pujaan saya tak ada yang menandinginya (NRPP.178)

Konteks tuturan :

Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang seberapa besarnya cinta Pariyem akan Den Baguse

Penanda tuturan :

Tuturan mengandung nilai rasa cinta yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Ya, ya Den Baguse pahlawan pujaan saya tak ada yang menandinginya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem sungguh mencintai Den Baguse sehingga bagi dirinya tidak ada yang dapat menandingi keberadaan Den Baguse dalam hidupnya. Nilai rasa cinta diperkuat penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem teringat akan anaknya yang mirip dengan bapaknya Den Baguse sehingga Pariyem dapat mengungkapkan perasaannya akan Den Baguse pada mas Paiman..


(5)

106. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 179

Data tuturan :

Demi anak segala rintangan saya tempuh mati pisan saya lakoni (NRPP.179)

Konteks tuturan :

Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang bukti cintanya akan Endang Sri Setianingsih

Penanda tuturan :

Tuturan mengandung nilai rasa cinta yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Demi anak segala rintangan saya tempuh mati pisan saya lakoni”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem akan mempertaruhkan apapun demi anaknya, hal ini membuktikan bahwa cinta seorang ibu pada anaknya dapat mengalahkan segalanya. Nilai rasa cinta diperkuat penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang nyaman sehingga membuat Pariyem teringat anaknya yang ditinggal di Wonosari, Gunung kidul bersama bapak, ibu dan adik-adiknya namun dalam waktu sebulan sekali pasti ia mengunjungi putri semata wayangnya itu.

107. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 179

Data tuturan :

Mas Paiman, O, mas Paiman

Saya tetap tinggal sebagai sedia kala Saya tetaplah sebagai babu yang setia Tak kurang suatu apa saya sudah bahagia (NRPP.180)

Konteks tuturan :

Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang seberapa besarnya cinta Pariyem akan Den Baguse

Penanda tuturan :

Tuturan mengandung nilai rasa puas yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Tak kurang suatu apa saya sudah bahagia”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem sudah puas dengan apa yang ia miliki saat ini, karena menurutnya ia telah menemukan kebahagiaan dalam hidup walaupun ia tetap bekerja sebagi seorang babu tetapi ia telah merasakan kebahagiaan hidup yang sesunggguhnya. Nilai rasa puas diperkuat penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman dan leluasa untuk mengungkapkan perasaan serta pikirannya pada mas Paiman yang setia mendengarkan pengakuan hidupnya


(6)

295

BIODATA PENULIS

Maria Retno Purwandani lahir di Bumirejo, Kebumen, Jawa Tengah, pada tanggal 28 Februari 1994. Ia menyelesaikan pendidikan tingkat sekolah dasar di SD Kanisius Jetis Depok, Sendang Sari, Minggir, Sleman, Yogyakarta pada tahun 2005. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya di SMP Pangudi Luhur Mergan, Sumberagung, Moyudan, Yogyakarta dan tamat tahun 2008. Pendidikan tingkat atas ditempuhnya di SMA Pangudi Luhur Sedayu, Bantul, Yogyakarta dan tamat pada tahun 2011. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat atasnya ia melanjutkan pendidikan S1 di Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Sanata Dharma. Masa pendidikan S1nya berakhir di tahun 2015 dengan menyelesaikan skripsi yang berjudul Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Prosa Lirik Pengakuan Pariyem sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi.


Dokumen yang terkait

Unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada ``Catatan Pinggir`` Majalah Tempo Edisi Januari - September 2013 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 2 2

Unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi pada top news di Metro TV bulan November-Desember 2014.

3 49 352

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV periode Agustus dan September 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 1 391

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada dialog interaktif Indonesia Lawyers Club Tv One periode November 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 1 317

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada tuturan berita politik koran Kompas edisi September - Oktober 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 7 307

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur koran tempo edisi September - Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 4 298

MAKNA SATUAN LINGUAL BERBAHASA JAWA DALAM PROSA LIRIK PENGAKUAN PARIYEM KARYA LINUS SURYADI AG.

0 0 1

IMPERATIF DALAM BAHASA INDONESIA : PENANDA-PENANDA KESANTUNAN LINGUISTIKNYA

0 0 8

Kesantunan Mahasiswa Dalam Berkomunikasi bahasa

0 0 6

B 02 Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa Sebagai Penanda Kesantunan Dalam Berkomunikasi

0 0 20