Ca-Bau-Kan: narasi tentang orang Cina di antara stereotip, trauma pada
124
masuk ke dalam golongan sastrawan 80-an yang artinya wacana besar tentang Cina di sekitarnya saat itu adalah wacana rasis a la Orba dan Remy bukanlah seorang keturunan
Cina. Adalah sebuah fakta sosial bahwa ada segudang stereotip terhadap kaum minoritas Cina dan begitu juga sebaliknya. Bagaimana Remy Sylado menghadapinya?
Sudut pandang macam apa yang dipakainya untuk menceritakan masyarakat Cina Indonesia?
Secara garis besar Ca-Bau-Kan bercerita tentang kehidupan Tinung dan Tan Peng Liang yang hidup di awal abad ke-20 di Hindia Belanda. Narator novel ini adalah
nyonya G. P. A. Dijkhoff alias Giok Lan, anak dari Tinung dan Tan Peng Liang. Setelah berpuluh tahun tak kembali ke Indonesia, setelah diadopsi oleh sebuah keluarga
Belanda, ia kembali ke Indonesia dan, pelan-pelan, mencari asal-usul. Cerita tentang kedua orangtuanya, Tinung dan Tan Peng Liang, muncul dan menjadi cerita utama
dalam kerangka pencarian jati diri tersebut. Di Indonesia, Giok Lan menemukan bahwa kisah cinta ayah-ibu-nya tak seindah
yang dibayangkan. Tinung, alias Siti Noehaijati, adalah perempuan betawi miskin yang, karena tuntutan ekonomi dan dorongan orang tuanya,menjadi seorang pelacur
cabo’an di Kali Jodo. Ia kemudian dijadikan nyai oleh Tan Peng Liang, yang asal Bogor dan
bukan ayah Giok Lan si narator. Setelah melarikan diri, ia belajar ke Njoo Tek Hong agar dapat bekerja sebagai penyanyi cokek di orkes milik Njoo Tek Hong. Ketika
menyanyi di sebuah acara yang menyewa jasa Tek Hong, Tinung kemudian bertemu Tan Peng Liang yang lain, asal Semarang bapak dari Giok Lan si narrator. Dari sana
lah, naik-turunnya konflik novel ini benar-benar dimulai.
C.2. Ca-Bau-Kan dan identitas kultural Cina
C.2.a. Bahasa
Adalah sebuah kenyataan bahwa identitas para pemukim Cina di Hindia Belanda sebagai sebuah bangsa yang satu merupakan bagian dari politik segregasi pemerintah
kolonial Belanda. Karena Ca-Bau-Kan ditulis berpuluh tahun setelah masa jaya politik segregasi, penulisnya, Remy Sylado, tentu memiliki cara yang berbeda dengan KTH
yang hidup di zaman pemisah-misahan berdasar bangsa tersebut. Remy Sylado hidup di
125
zaman dengan ideologi yang berbeda tentu menanggapi politik segregasi menggunakan kacamata ideologi zamannya. Di novel ini, Remy Sylado, alih-alih berfokus untuk
menyatukan pribumi dengan bangsa Asia asing seperti KTH, mencoba memecah apa yang oleh pihak pemerintah kolonial sebagai Bangsa Cina. Di novel ini ia tidak percaya
bahwa memang, secara kultural, semua orang yang bermata sipit dan berkulit lebih terang berada di bawah satu payung identitas.
Bahasa adalah salah satu sisi kultural yang dapat membuat orang-orang Cina tidak dapat, dengan begitu saja, diletakkan dalam satu kotak identitas. Yang dimaksud
Remy Sylado dengan bahasa yang memecah identitas orang-orang Cina adalah dialek lokal yang diserap orang-orang Cina. Di novel ini, paling tidak, terdapat empat dialek
berbeda tergantung asal daerah orang-orang Cina tersebut di Hindia Belanda. Dialek- dialek tersebut adalah dialek Semarangan, Betawi, Sunda dan yang ke empat adalah
dialek yang masih kental dengan bahasa Cina Daratannya atau Kou-Yo. Jadi, sekarang, mari kita lihat satu per satu. Sebagai representasi orang Cina
yang lahir dan besar di daerah Jawa Tengah, dengan dialek Semarangan, adalah Tan Peng Liang yang ayah dari Giok Lan. Ia berasal dari Semarang dan pindah ke Batavia
untuk berdagang. Ia tidak dapat berbahasa Kou-Yo. Bahasa yang digunakannya adalah bahasa campuran antara Bahasa Melayu Lingua Franca, Bahasa Jawa dan Bahasa
Hokkian. Remy Sylado bahkan di dalam novelnya memberii beberapa contoh istilah- istilah yang sering digunakan: “[j]ika ia berkata “dia”, yang diucapkannya adalah “diak-
e; kata “di mana” menjadi “ada mana” atau “dah mana”; “ambilkan” jadi “ambik-ke”; “tidak dapat” jadi “ndak isa”; “lihat” jadi “liak”; “cantik” jadi “ciamik”; “sial” jadi
“cialat”; dan seterusnya”.
125
Berikutnya adalah Tan Peng Liang yang merupakan orang Cina pertama yang mengangkat Tinung menjadi nyai-nya. Ia adalah seorang Hokkian yang lahir dan besar
di Bogor sehingga Bahasa Sunda sangatlah dekat dengan dirinya. Kenyataan tersebut
125
Sylado, 2001, p. 65
126
membuatnya berbahasa yang hasil campuran antara Bahasa Sunda dan Bahasa Hokkian.
Yang ketiga adalah Njoo Tek Hong. Ia adalah seniman yang besar di Batavia sehingga sudah menggunakan Bahasa Betawi untuk keperluan sehari-hari. Kutipan ini
adalah contohnya, “Njoo Tek Hong senang. “Bagus” kata dia. Lalu dia ketawa keras. Melengking. “Nah, sekarang gue terima lu jadi murid. Gua jadiin lu cokek paling hebat
di ini Betawi. Cokek nyang jagoan nyanyi lagu klasik Cina. Cokek yang bakalan jadi lu punya yeh, ngarti kagak, lu?”.
126
Dari kutipan tersebut terlihat bagaimana Tek Hong dengan luwesnya menggunakan kata ganti seperti “lu” dan “gue” namun laki-laki tua,
yang selalu mengakhiri kalimat-kalimatnya dengan kata- kata “ngarti kagak lu?” itu,
juga tetap memakai istilah- istilah dalam Bahasa Hokkian seperti “yeh”.
Yang ke empat adalah orang-orang Cina, yang jadi antagonis di Ca-Bau-Kan kecuali Lie Kok Pien, yang tergabung dalam Kong-koan bentukan Belanda. Kelompok
ini adalah kelompok elit di kalangan Cina yang memiliki pengaruh politik dan ekonomi. Mereka ini, antara lain, adalah Oey Eng Goan ketua, Timothy Wu, Lie Kok Pien, Thio
Boen Hiap dll. Sebagian besar dari mereka besar di Batavia, kecuali Timothy Wu yang lulusan Singapura. Rata-rata dari mereka memiliki jaringan orang-orang Cina di
berbagai Negara. Sehingga mereka masih lancar memakai Bahasa Kou-Yo atau Hokkian. Berikut adalah contohnya, yang saya ambil ketika mereka membicarakan
tanggapan Liem Koen Hien atas pidato Bung Karno di Donkoritsu Zunbi Chosakai,
“…“[b]agaimanapun Wo tidak suka pernyataan Liem Koen Hien terhadap pidato Bung Karno di Donkoritsu Zunbi Chosakai. Tidak seharusnya Liem omong begitu. Apa-apaan dia meralat
yang kepalang dia ucapkan?” Lie Kok Pien, yang selalu tak sejalan dengan Oey Eng Goan, meremehkannya. Katanya,
“Itu urusan dia. Urusan kita bukan itu, tapi apa sikap kita di depan seandainya Indonesia betul-betul
menerima kemerdekaannya dari Jepang.”
“Tidak,” kata Oey Eng Goan. “Omongan Liem di Donkoritsu Zunbi Chosakai tidak taktis. Itu
bisa dianggap generalisasi terhadap semua Tionghoa. Harusnya dia tak perlu meralat. Sebab dia harus tahu, semua Tionghoa di seluruh dunia, memiliki satu kebangsaan, yaitu Tionghoa,
dan dua kewarganegaraan, yaitu Tiongkok dan negeri di mana dia berdiri untuk sementara.”
“Itu betul. Seratus persen betul,” kata Thio Boen Hiap mendukung Oey Eng Goan. “Sebentar,” kata Lie Kok Pien, merasa nasteng. “Wo memang tidak bilang itu salah.
126
Ibid., hal. 49
127
Yang Wo pikirkan, seandainya, nah, perhatikan, Wo bilang ‘seandainya nanti Indonesia dapat kemerdekaannya, apa tatanan status quo masih bisa bertahan? Maksud Wo, kenapa kita tidak
fleksibel. Ingat pepatah kita, ‘qianli zhi xing, shi yu xia’. Di dalam pidato Bung Karno itu, tergambar dengan jelas tentang cita-cta satu kebangsaan yang
– seperti katanya ‘bhineka tunggal ika’ – artinya inter-rasial dan inter-tribal”…”
127
Ciri khas yang paling terlihat di kelompok ini adalah kata ganti orang yang masih menggunakan Bahasa Kou-
Yo yaitu “wo”, atau “saya”, dan “ni” yang berarti anda. Artinya, pengaruh Bahasa Kou-Yo di dalam diri mereka sangat kuat. Lebih jauh,
bahasa Melayu mereka adalah Melayu TInggi. Tentu ini dikarenakan kedekatan organisasi ini dengan penguasa kolonial.
Dengan ragam bahasa ini, menurut Ca-Bau-Kan, terdapat empat identitas orang- orang Cina yang mana membuat konsep Vreemde Oosterlingen menjadi absurd. Lebih
jauh, orang-orang Cina ini telah terpecah ke dalam banyak identitas sesuai dengan wilayah mereka dibesarkan di Hindia Belanda. Melalui pendalaman di sisi bahasa,
Remy melawan penyatuan identitas orang-orang Cina karena baginya orang-orang Cina tersebut juga asing satu dengan lainnya.
C.3. Ca-Bau-Kan dan identitas sosial-ekonomi-politik Cina
C.3.a. Ekonomi
Adalah sebuah fakta sejarah bahwa sebagian besar orang Cina yang datang ke tanah Hindia-Belanda, dan bahkan sebelum bernama Hindia-Belanda, memiliki latar
belakang dan tujuan ekonomis, entah yang sebagai tauke pedagang besar atau sebagai kuli perkebunan. Baru di awal abad ke-20, latar belakang lain, seperti politik,
mendorong orang Cina datang ke Hindia-Belanda. Artinya memang orang-orang Cina ini di Hindia-Belanda kehidupannya ada di arena ekonomi atau perdagangan. Hal
tersebut tentu juga berkaitan dengan kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap orang-orang tersebut walaupun tidak selalu dalam artian yang menyenangkan. Saking
kuatnya basis ekonomi orang-orang ini, di bukunya, Lea Williams bahkan menggunakan istilah ‘trading minority’ untuk menyebut orang-orang Cina ini; sebuah
penamaan di luar kebangsaan yang dikedepankan oleh Belanda di masa Kolonial.
127
Ibid., hal. 321-322
128
Novel Ca-Bau-Kan tampaknya sulit untuk tidak mengamini sejarah tersebut. Hampir seluruh tokoh-tokoh Cina di dalamnya ada di lingkaran perdagangan berskala
besar. Tan Peng Liang, yang berlogat Semarangan, adalah seorang pedagang tembakau. Karenanya ia bersitegang dengan Oey Eng Goan, yang anggota Kong-koan, yang juga
pedagang tembakau. Jika dilihat lebih jauh, cara mereka saling menjatuhkan adalah cara-cara khas dunia perdagangan seperti membakar gudang, memamerkan kekayaan,
menjatuhkan nama dan penipuan. Keduanya melakukan hal tersebut. Artinya meskipun Tan Peng Liang ad
alah ‘orang baik’-nya di novel ini namun ia tetaplah seorang Cina yang pedagang dengan semua triknya. Di sisi yang sama ada Tan Peng Liang yang asal
Bogor. Ia merupakan pemilik perkebunan pisang di Sewan. Ia juga membuka usaha rentenir atau ‘Tien Terug Twaalf’ ‘sepuluh kembali duabelas’ yang memakan banyak
korban. Di lain pihak ada Njoo Tek Hong yang pemilik sebuah kelompok musik. Tek
Hong sedikit berbeda wilayah perdagangannya karena skalanya jelas tak sebesar Tan Peng Liang maupun orang-orang di Kong-koan. Namun tidak itu saja perbedaannya,
Tek Hong digambarkan lebih sebagai seorang seniman aneh yang dengan hampir cuma- cuma mengajari Tinung menyanyi cokek. Ia bukanlah seorang Cina dengan mental
pedagang seperti kelompok sebelumnya. Di kelompok Tek Hong, hampir-hampir tidak ada yang lain kecuali petani-petani Cina di Sewan yang korban Tan Peng Liang si
rentenir. Namun, baik Tek Hong maupun para petani tersebut tidak memiliki perang vital di keseluruhan cerita Ca-Bau-Kan.
Di sisi pribumi yang berperan banyak secara keseluruhan di Ca-Bau-Kan, orang- orang pribumi ini tidak dapat dikelompokkan ke dalam sebuah corak ekonomis tertentu.
Tinung adalah perempuan Betawi yang gonta-ganti pekerjaan; mulai dari pelacur hingga penyanyi cokek. Max Awuy yang selalu hadir dari adegan pertama Tinung adalah
seorang wartawan yang di kemudian hari menjadi pejuang. Kakak sepupu Tan Peng Liang asal Semarang, Soetardjo Rahardjo, adalah seorang aktivis yang ikut perang. Jeng
Tut adalah seorang komunis yang pedagang senjata juga. Dari empat tokoh tersebut
129
tampak bahwa mereka tidak dapat disatukan secara ekonomis dan, secara ekonomis, tidak ada satupun yang sesukses tokoh-tokoh Cina.
C.3.b. Sosial dan Politik
Di sub-bab bagian ini yang dimaksud dengan politik adalah orientasi politik orang-orang Cina. Yang dilihat adalah cara pandang mereka atas kemerdekaan Hindia-
Belanda serta loyalitas politiknya. Di masa yang dijadikan latar novel tersebut orang- orang Cina di Hindia Belanda dikelompokkan ke dalam sebuah golongan yang bukan
pribumi namun juga bukan orang kulit putih. Mereka dianggap warga negara Cina Daratan, yang orang asing, namun di beberapa sisi dianggap setara dengan pribumi.
Dengan begitu, orientasi politik mereka menjadi menarik karena keberadaannya yang serba tidak jelas. Bagaimana Ca-Bau-Kan menanggapinya?
Di Ca-Bau-Kan, orang-orang Cina di Hindia Belanda kembali dipecah menjadi beberapa faksi politik yang masing-masing memiliki loyalitasnya sendiri; sebuah
pendekatan yang mirip dengan yang terjadi di sub bab bahasa. Di awal cerita hanya terdapat dua faksi saja yaitu, kelompok yang mendukung kemerdekaan Hindia Belanda
dan yang masih ragu-ragu. Hal tersebut terkait dengan status mereka di Hindia Belanda nantinya setelah merdeka. Ini terjadi di dalam obrolan di Kong-koan yang telah dikutip
di bagian Bahasa. Di satu pihak, yang masih gamang, yang diwakili Oey Eng Goan dan Thio Boen Hiap, menyatakan keinginannya agar tetap memiliki kewarganegaraan Cina
juga selain Hindia Belanda. Pihak lainnya, yang diwakili Lie Kok Pien, menginginkan untuk mendukung sepenuhnya usaha kemerdekaan Hindia Belanda dan menjadi orang
Indonesia karena ia percaya pada konsep Bhineka Tunggal Ika. Yang menarik, obrolan yang dengan terbuka membicarakan masalah kewarganegaraan ini hanya terjadi di
Kong-koan saja. Orang- orang yang telah ‘lebih pribumi’, dari sisi bahasa, seperti dua
Tan Peng Liang dan Njoo Tek Hong tidak pernah membicarakannya dengan terbuka. Orang-orang di luar Kong-koan ini tampaknya telah menerima identitasnya sebagai
orang Hindia Belanda semata. Itu terbukti dengan tindakan Tan Peng Liang yang bersedia membantu perjuangan dengan membiayai pergerakan dan, di kemudian hari,
menyelundupkan senjata dari Jeng Tut.
130
Di akhir cerita, baru kemudian bermunculan faksi-faksi yang lebih kecil hingga titik partai. Mr. Liem Kiem Jang dan Timothy Wu cenderung pada Kuo Min Tang dan
memasang foto Chang Kai Shek di dinding rumah mereka, sementara Oey Eng Goan dan Kwee Tjwie Sien berkiblat ke RRT Republik Rakyat Tiongkok yang komunis,
dan memasang foto Mao Tse Tung di dinding rumah mereka. Oey Eng Goan belakangan menjadi pendukung PKI melalui partai golongan Tionghoa komunis
BAPERKI Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia.
128
Dengan temuan- temuan ini, artinya Ca-Bau-Kan ingin memecah identitas orang-orang Cina yang sering
kali sikap sosial-politiknya dipukul rata secara keseluruhan. Sepertinya ini adalah politik Ca-Bau-Kan agar serangan membabi-buta terhadap orang-orang Cina di tahun
1998 tidak terulang kembali. Itu adalah sebuah kemungkinan mengingat dekatnya peluncuran novel ini dengan hari-hari gelap Mei 1998.
C.4. Ca Bau Kan sebagai sebuah perayaan kultural
Yang terlihat sangat membekas di benak Remy Sylado ketika menyusun narasi novelnya ini adalah penindasan kultural masyarakat Cina selama masa Orde Baru.
Meskipun tidak disebutkan dengan terang hanya di bagian sekapur sirih di narasinya - karena memang latarnya yang berada jauh di belakang masa Orde Baru
– namun titik berat narasinya yang ‘merayakan’ ekspresi kultural masyarakat Cina menunjukkan hal
tersebut. ‘Perayaan’ bahasa, nama, hari besar dan lain-lain adalah jalan yang diambil
oleh Remy Sylado untuk mengatasi permasalahan dengan identitas Cina di Indonesia yang ditinggalkan Orde Baru. Ca Bau Kan, bagi saya, adalah sebuah tanggapan atas
kebijakan-kebijakan diskriminatif Orde Baru. Di masa Orde Baru, sebagaimana telah saya jabarkan di bab sebelumnya,
menganut pendekatan asimilatif untuk mengatasi permasalahan pribumi-non-pribumi yang ditinggalkan rezim-rezim sebelumya. Dengan pendekatan semacam itu,
masyarakat Cina Cina tidak diberi ruang gerak di wilayah kultural dan hanya
128
Ibid., hal. 380
131
diperbolehkan untuk berkembang bebas di wilayah ekonomis. Hilangnya identitas kultural masyarakat Cina di masa Orde Baru tersebutlah yang mendorong Remy Sylado
untuk menghidupkan kembali identitas tersebut. Contoh terbaik yang digunakan untuk memberi gambaran tersebut adalah pengelompokkan masyarakat Cina berdasarkan
ekspresi kulturalnya. Tokoh-tokoh Cina di novel ini dibagi, dan dibedakan satu dengan lainnya, berdasarkan kebudayaan yang paling mempengaruhinya; ada yang memiliki
dialek Sunda, Jawa, Betawi dan lain-lain. Perayaan semacam itu saya lihat memiliki kedekatan dengan pendekatan
multikulturalisme yang mengedepankan identitas kultural sebuah kelompok masyarakat. Dalam teori multikulturalisme, ekspresi kultural setiap kelompok masyarakat harus
dihargai dan memiliki tempat yang sama dengan ekspresi kelompok-kelompok lain karena semua bentuk kebudayaan bersifat setara satu sama lain. Di kasus masyarakat
Cina di Indonesia, ekspresi kultural masyarakat Cina tidak mendapatkan ruang hidup terutamanya di masa Orde Baru. Karenanya, jika menggunakan logika
multikulturalisme yang digunakan Remy Sylado, ekspresi-ekspresi kultural tersebut harus mulai dimunculkan ke kesadaran publik lagi agar terjadi kesetaraan. Kesetaraan
dengan memberi ruanh hidup bagi ekspresi kultural masyarakat Cina inilah yang menjadi titik yang ingin dituju oleh Remy Sylado melalui Ca Bau Kan. Akan tetapi, ada
sebuah permasalahan yang tak dibahas dengan mendalam oleh Remy Sylado dan menjadi sebuah ganjalan di narasi ciptaannya: permasalahan ekonomi. Secara
ekonomis, tokoh-tokoh Cinanya tampak tidak setara dengan tokoh-tokoh pribumi karena hampir semua tokoh Cina merupakan pemilik usaha besar dan mapan secara
ekonomis. Fenomena ini juga melupakan salah satu masalah terkait dengan identitas Cina yang merupakan warisan dari rezim-rezim pemerintahan yang lalu. Kenapa hal
tersebut tidak tersentuh? Kenapa narasi jalan keluar terkait dengan masyarakat Cina di Indonesia
hanya menempatkan
mereka sebagai
korban semata?
Apakah multikulturalisme tidak memiliki metode untuk melihat hal tersebut?
132