Acek Botak dan usaha melampaui stereotip masyarakat Cina
150
orang Cina di Indonesia sudah menjadi konsumsi publik yang lumrah. Para pembuat karya-karya tadi pun sudah tidak berbatas identitas etnik juga. Di dunia sastra Indonesia,
penulis-penulis keturunan Cina pun telah bebas menulis dan mempublikasikan karyanya tanpa harus menyembunyikan identitas kulturalnya. Bahkan, penulis-penulisnya, baik
yang menulis sastra popular maupun sastra ‘kelas berat’, juga masuk dalam jajaran penulis elit yang karyanya laku keras di Indonesia seperti yang telah saya sebutkan
sebelumnya dan bahkan sebagian menjadi bagian dari Dewan Kesenian-Dewan Kesenian yang ada di berbagai daerah. Jadi, novel dengan tema kehidupan orang Cina
selayaknya Acek Botak ini sudah bukan barang ‘berbahaya’ lagi seperti ketika Menteri
Penerangan-nya masih dijabat oleh Harmoko. Dilihat dari sisi penulisnya, Acek Botak memiliki kesamaan dengan Ca-Bau-Kan
yang memang sezaman. Kedua novel yang berkisah tentang kehidupan orang-orang Cina tersebut sama-sama ditulis oleh penulis yang bukan keturunan Cina. Penulis novel
Acek Botak adalah seorang penulis Batak bernama Idris Pasaribu. Menariknya, Idris
Pasaribu, sebelumnya keluarnya novel ini, tidak pernah menulis karya yang bercerita tentang kehidupan orang Cina. Ia juga bukan seseorang yang dianggap sebagai
‘pemerhati’, dengan definisi terluasnya, kebudayaan Cina di Indonesia. Namun, setelah membaca novel ini, saya pikir Idris Pasaribu benar-benar mengenali kehidupn
orang-orang Cina dari masa ke masa di daerah asalnya yaitu Sumatra Utara. Lebih jauh tentang Idris Pasaribu, selain sebagai seorang penulis fiksi, ia dikenal sebagai salah satu
wartawan senior untuk daerah Sumatra Utara. Ia pernah bergabung dengan berbagai macam terbitan ‘besar’ sejak tahun 1970-an. Ia mulai menulis ketika masih duduk di
bangku SMA. Ia menjadi kontributor untuk Harian Suluh Marhaen. Kemudian, di masa kuliahnya di Medan, buah tangannya mulai muncul di terbitan-terbitan nasional.
Sedangkan sebagai wartawan, namanya mulai dikenal ketika bergabung dengan Harian Analisa Medan. Dengan pengalamannya yang segudang di dunia jurnalisme, tak heran
gaya tulisnya di novel Acek Botak dekat dengan gaya tulis tulisan-tulisan jurnalistik
151
yang padat, jelas dan tak berkutat dengan berbagai bentuk majas seperti yang diungkapkan oleh Choking Soesilo Sakeh di bagian komentar dalam Acek Botak.
143
Kembali ke isu tentang hubungan latar belakang etnis penulis dengan tema novel, ada satu kesamaan antara Idris Pasaribu dengan Remy Sylado. Kedua penulis
yang menulis tentang kehidupan orang Cina di Indonesia tersebut bukan keturunan Cina. Malahan, Idris Pasaribu terkenal sebagai salah seorang penggerak kehidupan
kebudayaan batak. Akan tetapi, tampaknya menulis budaya local adalah kesenangan tersendiri bagi Idris Pasaribu. Novelnya yang lain, Pincalang, berkisah mengenai
seorang anak dari suku Pincalang dengan budaya maritimnya. Terlihat Idris Pasaribu memang getol mempelajari budaya-budaya lain selain budaya asalnya. Tapi apakah
misinya sebenarnya dengan semua tulisan tentang budaya orang lain tersebut? Katrin Bandel, di esai penutup untuk novel Acek Botak, menyebutkan bahwa novel ini adalah
novel ‘warna lokal’ dengan pendekatan baru karena tidak menceritakan budaya asal si penulis namun budaya di sekitar si penulis.
144
Dengan pengertian ‘warna lokal’ tadi, artinya, budaya Cina telah dianggap oleh Idris, dan tentu Remy Sylado dengan Ca-Bau-
Kan , sebagai budaya lokalnya dan bukan budaya asing. Masalahnya kemudian, jika di
Ca-Bau-Kan Remy Sylado masih menyisakan sebuah hal yang mengganjal tentang
stereotip orang Cina di Indonesia, bagaimana dengan Acek Botak? Dan dimana posisi orang Cina
di narasi ‘warna lokal’ ini? Sebelum membicarakan wacana di novel ini lebih jauh, berikut adalah ringkasan
novel ini. Acek Botak berkisah tentang sebuah keluarga Cina, yang menolak disebut Cina dan lebih suka disebut Tionghoa karena perkara sejarah, bermarga Tan. Si ayah
bernama Tan Bun Nyan dan si ibu bernama Tan Sui Tin. Mereka memiliki empat orang anak. Tokoh utama yang kehidupannya dibahas paling dalam adalah anak sulung
keluarga Tan tadi yaitu Tan Sui Tak alias Atak si Acek Botak.
143
Lih. Pasaribu, 2009
144
Ibid., Pasaribu, 2009, p. 354
152
Cerita dimulai ketika keluarga ini hijrah dari kampung halamannya di Cina Daratan ke Sumatra Utara. Bersama dengan imigran Cina yang lain mereka datang
dengan menumpang kapal tongkang yang kemudian berlabuh di kota Labuhan Deli, Sumatra Utara. Tidak jelas tahun pasti kedatangan mereka. Yang pasti, tampak dari
sistem administrasi dan perkebunan, Belanda sudah berkuasa dengan mapan. Jadi, kemungkinan keluarga Tan ini datang sekitar akhir 1800-an atau awal 1900-an. Satu hal
yang membedakan mereka dengan para pendatang Cina yang lain adalah bahwa keluarga Tan ini tidak memiliki sedikitpun niat untuk menjadi kuli di perkebunan-
perkebunan yang ada. Rencana mereka adalah mereka akan hidup dengan menyewa atau membeli tanah dari tuan tanah yang ada dan bertani sepertihalnya yang mereka
lakukan di kampung halamannya dahulu. Untuk mewujudkannya, Bun Nyan mendatangi seorang bangsawan Melayu bernama Tengku Chaeruddin yang memang
berencana menjual tanahnya untuk naik haji. Setelah sepakat dengan harganya, Bun Nyan membeli sepetak tanah yang terletak di pinggiran kota yang masih jarang
penduduk, sebuah lahan yang ia pikir cocok tanahnya untuk digarap. Dari sepetak tanah itu, keluarga tersebut memulai kehidupannya di tanah harapan ini.
Keluarga Tan tersebut mencari penghidupan dengan bertani sekaligus berdagang. Hasil pertanian yang mereka dapat dijual ke pasar. Selain itu, Atak juga
berdagang keliling kampung dan keluar-masuk perkebunan. Ia berkeliling menjajakan kebutuhan sehari-hari yang pembayarannya dapat dicicil. Dari hari ke hari, penghidupan
keluarga ini semakin membaik namun pergolakan pun terjadi ketika Jepang masuk Nusantara. Singkat kata, Atak dan sahabatnya semenjak dari Cina Daratan, A Hong,
memutuskan untuk ikut berjuang melawan Jepang dan Sekutu dengan bergabung dengan milisi yang terdiri dari rakyat jelata dari berbagai macam etnis. Setelah merdeka,
Atak pensiun dari ketentaraan dengan pangkat lumayan tinggi. Ia kemudian menikahi seorang gadis Jawa dan membuka sebuah warung kopi. Sayangnya, andil Atak dan
beberapa temannya yang non-pribumi tidak diakui oleh pemerintah. Mereka diharuskan terlebih dahulu mengurus Surat Keterangan Berkewarganegaraan Republik Indonesia
153
SKBRI sebelum dapat dianggap sebagai veteran dan mendapatkan uang pensiun. Novel ini kemudian ditutup dengan keberhasilan perjuangan Atak dan teman-temannya
untuk diakui sebagai orang Indonesia.
F.2. Acek Botak dan identitas kultural orang Cina
F.2.a. Asal-usul
Acek Botak adalah novel kedua yang dibahas di tesis ini yang bercerita tentang
masyarakat Cina di Indonesia dari awal kedatangannya setelah Putri Cina. Perbedaannya, Keluarga Tan pertama kali datang di Labuhan Deli dan si Putri Cina
datang di Jawa Timur. Namun tidak hanya hal tersebut yang membuat dua novel ini berbeda. Yang lebih mendasar adalah pendekatannya. Yang saya sebut sebagai
pendekatan di sini adalah kegunaan dari cerita tentang asal-usul ini. Di Putri Cina cerita tentang asal-usul si Putri Cina digunakan oleh si penulis
untuk membuat dasar tindakan-tindakan kejam atas orang-orang Cina yang terjadi di Nusantara menjadi sebuah hal yang tidak masuk akal. Menurut Putri Cina, salah satu
penyebab orang-orang Cina di Nusantara sering di-kambinghitam-kan karena mereka bukan dari daerah manapun di Nusantara alias bukan pribumi. Karenanya, untuk
membongkar pandangan non-pribumi itu, di Putri Cina digambarkan bahwa si Putri Cina dan orang-orang Cina yang datang ke Nusantara adalah keturunan Jaka
Prabangkara yang berasal dari Jawa. Artinya, orang-orang Cina seharusnya dianggap bukan sebagai orang asing karena di dalam diri mereka mengalir darah Jawa. Karenanya
mereka tak layak dijadikan kambing hitam di setiap pergolakan yang terjadi. Di Acek Botak, cerita tentang asal-usul keluarga Tan ini, berbanding terbalik
dengan di Putri Cina, menempatkan mereka para pendatang Cina termasuk keluarga Tan sebagai orang asing yang datang untuk mencari penghidupan baru di Nusantara.
Bahkan Bun Nyan mengakui bahwa mereka memang pendatang dan orang asing.
154
Kesadaran itu muncul dalam bentuk bertamu ke Sultan Chaerudin yang merupakan bangsawan setempat. Ia meminta ijin sekaligus membeli tanah darinya untuk ditinggali.
Dari dua wacana di atas terlihat adanya perbedaan yang mencolok. Putri Cina membenarkan tindakan orang Cina yang tinggal di Nusantara dengan alasan bahwa
Tanah Jawa adalah juga tanah airnya karena asal-usul biologisnya hubungan darahnya dengan Jaka Prabangkara. Sedangkan di Acek Botak, cerita tentang asal-usul ini murni
hanya untuk menceritakan asal-usul para pendatang Cina dan menelusuri latar belakang imigrasi mereka. Dengan sudut pandang yang ada di dalam Putri Cina, masalah selesai
ketika disadari bahwa orang-orang Cina adalah saudara jauh orang pribumi minimal orang Jawa karena Jaka Prabangkara berasal dari Jawa dan bukan orang asing. Dengan
begitu, kasus pembantaian atas orang-orang Cina di Nusantara bisa ditutup. Hal tersebut bukanlah kasusnya di Acek Botak. Dilihat dari serita tentang asal-usul ini, Acek Botak
melatakkan orang Cina memang sebagai orang asing. Sebagai orang asing artinya orang-
orang tersebut adalah sasaran empuk labelasi stereotip karena mereka ‘berbeda’ dan ‘asing’ dari orang-orang lain yang ada di Sumatra Utara yang menjadi latar cerita
Acek Botak . Dengan cerita semacam itu, Acek Botak menghadirkan stereotip ke dalam
permainan non-pribumi-pribumi yang ada. Hal tersebut makin kentara karena cerita kemudian dilanjutkan dengan cerita naik-turunnya kehidupan ekonomi keluarga Tan
dan ekonomi merupakan salah satu lahan stereotip Cina di Indonesia. Untuk menjabarkan dan melampaui segala stereotip yang ada, cerita tentang bahwa mereka
tadinya orang asing diperlukan. Hal ini berbeda dengan wacana di Putri Cina yang meniadakan perihal stereotip ini karena di dalamnya permasalahan terletak pada
dilupakannya ‘kenyataan’ bahwa orang Cina adalah anak-anak dari Jaka Prabangkara. Karenanya, Putri Cina malah terjebak dalam stereotip yang ada ketika bercerita tentang
orang-orang Cina yang serakah dan gila harta karena meletakkannya sebagai sebuah kenyataan berdasarkan hasil pengamatan si Putri Cina yang mampu melihat dari masa
ke masa. Karena ia tidak melihat relasi kekuasaan yang ada atas wacana orang Cina adalah kaum yang gila harta dan labelisasi, ia cenderung mempersalahkan, dengan nada
155
lamentatif, orang-orang Cina ini yang dianggapnya tak patuh dengan pandangan- pandangan hidup a la Tao ataupun Buddha. Yang mengerikan, bukankah itu berarti ada
sisi dimana si Putri Cina menganggap orang-orang Cina yang gila harta ini mendapatkan apa yang pantas bagi mereka?
F.2.b. Agama dan adat
Setelah tidak diakuinya oleh Negara selama kurang lebih 30 tahun, Konghucu yang merupakan agama sebagian masyarakat Cina di Indonesia. Agama kemudian
menjadi isu menarik yang sepertinya ‘harus’ diangkat di novel-novel yang menceritakan kehidupan masyarakat Cina. Di masa reformasi, setelah tiga novel yang telah dibahas di
atas, Acek Botak juga mengikuti corak yang sama. Novel ini tidak lupa menceritakan sisi agama dari masyarakat Cina.
Novel Acek Botak jika dibandingkan dengan novel dari masa reformasi yang lain di atas berada di antara Ca-Bau-Kan dan Dimsum Terakhir. Seperti telah dibahas
terlebih dahulu, Dimsum Terakhir dengan dalam membahas sisi agama keluarga Nung. Perdebatan tentangnya muncul ketika salah satu anak Nung Novera memutuskan
untuk pindah agama. Dari perdebatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Konghucu adalah bagian penting dari identitas orang Cina. Karenanya keluarga Nung tidak
menyetujui tindakan yang diambil Novera walaupun, di akhir cerita, setelah Nung meninggal, semuanya menerima kenyataan tersebut. Wacana seputar agama di Acek
Botak tidak sampai sedalam itu. Namun, bagi saya, tetap menjadi sebuah titik yang
layak didiskusikan. Di hari pertamanya di Sumatera, sebelum memulai kehidupannya di tanah
tersebut, keluarga Bun Nyan terlebih dahulu mendatangi sebuah kelenteng. Di kelenteng tersebut, mereka disambut oleh si penjaga kelenteng. Kemudian, Bun Nyan menyatakan
maksudnya untuk tinggal dan berdagang di daerah tersebut. Saran yang ia dapat dari si penjaga kelenteng adalah ia harus menemui Tengku Chaerudin untuk mendapatkan
tanah. Dari cerita tersebut dapat ditangkap bahwa kelenteng sebagai tempat ibadah
156
Konghucu yang dianut sebagian besar orang Cina di masa tersebut merupakan pusat dari komunitas Cina yang ada dan yang baru tiba. Kelenteng menjadi semacam pusat
informasi yang berguna terutama bagi mereka yang baru saja datang dan mencari arah penghidupan seperti Bun Nyan. Bisa jadi, tidak berhenti hingga titik tersebut, mungkin
saja, kelenteng menjadi tempat bertukar pengalaman antara mereka yang telah terlebih dahulu sampai dengan mereka yang baru saja tiba. Si penjaga kelenteng menjawab
pertanyaan Bun Nyan dengan lugas. Mungkin saja itu bukanlah saran pertama yang ia berikan. Mungkin saja ia telah berkali-kali mendapat pertanyaan serupa dari mereka
yang baru saja tiba sehingga, dengan mudah, ia dapat memberii acuan pada Bun Nyan. Tapi, satu hal yang harus dicatat di sini adalah bahwa kelenteng bukan saja menjadi
tempat ibadah namun juga tempat mencari saran. Di sini, kelenteng memiliki peran yang besar di tubuh komunitas masyarakat Cina.
Dengan kenyataan tersebut, dekatnya mereka dengan tempat ibadah, tentu saja agama memainkan peranan penting. Setelah mendapatkan tanah dari Tengku Chaerudin,
Bun Nyan sekeluarga langsung memberisihkan tanah tersebut. Di atasnya kemudian didirikan beberapa bangunan. Salah satu bangunan awal, setelah rumah, yang dibangun
mereka adalah altar penyembahan Dewa Bumi. Altar tersebut kemudian menjadi bagian penting yang tak terpisahkan dari kehidupan keluarga Bun Nyan. Setiap hari, pada pagi
hari, sebelum memulai aktifitas keseharian seperti menggarap ladang dan berjualan, mereka terlebih dahulu memanjatkan doa di altar tersebut.
Pentingnya sisi relijius orang-orang Cina di Acek Botak adalah Konghucu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari identitas orang Cina. Karenanya sisi relijius
ini digambarkan hanya ada di wilayah keseharian semata. Tidak ada diskusi lebih jauh tentang Konghucu, apalagi dalam perbandingan dengan agama dan kepercayaan lain,
seperti dalam DBD. Identitas masing-masing pihak orang-orang yang ada di tanah Sumatra yang dihargai adalah pendekatan utama di Acek Botak. Tidak ada imajinasi
Tjoe Tat Mo tentang bersatunya identitas dan agama dalam novel Acek Botak. Dengan sisi relijius yang hanya muncul dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Cina, terutama
157
Bun Nyan, Acek Botak ingin mengatakan bahwa orang Cina harus dipandang dan dihargai berikut dengan segala hal yang turut membentuk identitas seperti agamanya;
sebuah pendekatan yang sama dengan yang ada di Dimsum Terakhir yang juga hanya menceritakan agama sebagai praktik keseharian semata. Karenanya di Acek Botak,
masing-masing orang dihargai agamanya walaupun tidak ada pembahasan lebih lanjut. Kartinah dan Iyem adalah dua orang perempuan yang ditolong keluarga Bun Nyan dan,
kemudian, tinggal bersama mereka setelah melarikan diri dari kamp kuli perkebunan. Yang satu beragama Islam dan yang lain beragama Kristen Katolik. Wacana tentang
hidup berdampingan yang damai antar umat beragama lantas menjadi wacana yang tak terelakkan dengan pendekatan yang mencoba menghargai masing-masing pihak dengan
identitasnya. Tampaknya inilah wacana terkuat tentang agama di Acek Botak.
F.2.c. Penyebutan: antara Cina, Tionghoa, Pribumi dan Huanna
Di Tanah Harapan ini Keluarga Tan ini jelas bertemu dengan sekian orang asing. Mereka juga adalah orang-orang asing bagi orang-orang yang kemudian disebut
pribumi. Dengan hubungan sosial yang terus terjalin diantara orang-orang ini, mereka kemudian, mau tidak mau, saling menamai dengan referensi yang ada di kepala masing-
masing. Kemudian mucullah beberapa istilah dalam novel ini: Cina, tionghoa, pribumi dan huanna.
Acek Botak adalah novel pertama yang dibahas di tesis ini yang menggali
permasalahan pemanggilan ini lebih jauh. Memang di novel Dimsum Terakhir terdapat satu adegan ketika Rosy bertabrakan dengan angkot di jalan menuju rumah sakit untuk
menjenguk Nung, ia marah- marah karena dipanggil ‘Cina pelit’ oleh si kondektur
angkot tapi tidak ada pembahasan lebih lanjut di sana. Si Putri Cina juga mengesankan hal yang sama. Ia menolak disebut Cina dan ingin disebut pribumi saja. Namun, kedua
novel tersebut hanya menceritakan dari sudut pandang orang Cina saja yang berkomentar tentang pemanggilan pada diri mereka. Di Acek Botak, masalah
158
pemanggilan ini dibahas lebih lanjut dengan dua sudut pandang yaitu Cina dan pribumi dan masing-masing pihak berkomentar tentangnya.
Ketika keluarga Tan sampai di Sumatra, mereka dipanggil dengan sebutan ‘Cina’ karena mereka datang dari negeri Cina. Namun, kemudian, Bun Nyan
menjelaskan bahwa mereka sebenarnya tidak menyukai panggilan tersebut. Mereka lebih senang disebut Tionghoa. Alasannya, mereka bukanlah orang Qin, yang
merupakan kata asal dari kata ‘Cina’. Mereka adalah orang Tionghoa, yang kata dasarnya adalah Tang, yang merupakan dinasti pertama yang menyatukan daerah-
daerah yang sekarang dikenal sebagai RRC. Bahkan, menurut Bun Nyan. “[m]ereka harus meninggalkan kampong halaman mereka beribu mil jauhnya karena dikejar-kejar
akan dibunuh oleh Cina, atau orang-orang bekas Dinasti Qin atau pengikut Cin. Orang-orang Cin itulah yang mereka sebut Cina.
”
145
Bahkan isu tentang pemanggilan ini juga ada di obrolan atar pribumi yang tidak melibatkan orang Cina seperti ketika
Kartinah dan Iyem membicarakan bagaimana mereka seharusnya memanggil keluarga Bun Nyan. Di obrolan tersebut, Kartinah mengacu pada omongan Bun Nyan tentang
identitas mereka walaupun Kartinah cukup kebingungan dengannya. Dengan kenyataan tersebut, artinya, isu identitas dan pemanggilan ini adalah hal yang penting di Acek
Botak karena isu ini nyaris tidak hadir di novel-novel sebelumnya di bab III ini.
Dari sisi pemanggilan pada orang Cina, penjelasan Bun Nyan menyatakan bahwa panggilan ‘Cina’ adalah panggilan yang menyinggung karena hal tersebut adalah
asil pukul rata dan tidak sesuai dengan identitas mereka sendiri yang sebenarnya. Lantas, bagaimana panggilan orang Cina terhadap orang pribumi? Di bagian menjelang
akhir cerita, di bagian ketika Atak mengalami diskriminasi karena tidak mendapat pension sebagai tentara pejuang kemerdekaan, muncul cerita tentang asal-muasal
diskriminasi tersebut. Dikisahkan bahwa untuk merebut kembali Hindia-Belanda setelah lepas dari Jepang, Belanda membentuk milisi-milisi. Salah satu milisi tersebut adalah
145
Lih. Pasaribu, 2009, p. 30
159
milisi yang beranggotakan orang Cina, Poh An Tui. Poh An Tui ini banyak melakukan kekejaman terhadap penduduk. Bahkan, kekejaman mereka ini mencakup kekejaman
bahasawi. Mereka menghidupkan sentimen anti-pribumi dengan panggilan huanna pada orang pribumi yang berarti primitif. Hal tersebut tidak lain untuk mengembalikan
tatanan masyarakat segregatif yang dijalankan Pemerintah Kolonial Belanda sebelum kedatangan Jepang yang mana, dalam tatanan masyarakat tersebut, orang Cina berada
satu tingkat lebih tinggi dibandingan pribumi yang merupakan golongan masyarakat terbawah. Tentu saja hal tersebut memancing sentimen di dalam diri masyarakat
pribumi. Mereka menolak disebut huanna karena pengertiannya yang merendahkan diri mereka: “mereka lebih suka disebut pribumi”.
146
Dibandingkan dengan DBD, novel pertama yang dibahas di Bab III ini, Acek Botak
memiliki pendekatan yang berbeda ketika bercerita tentang identitas orang-orang di Hindia-Belanda. Wacana DBD adalah wacana yang menganjurkan untuk meleburkan
identitas-identitas yang ada di Hindia-Belanda; sebuah peleburan atas segala jenis identitas mulai dari bangsa, agama hingga orientasi politik. Hampir mirip dengan Ca-
Bau-Kan yang merayakan identitas-identitas yang ada dengan menceritakan berbagai
macam identitas orang Cina yang melebur dengan beragam lokalitas di Hindia-Belanda, Acek Botak
mengedepankan identitas-identitas yang ada di Hindia-Belanda. Acek Botak ingin menghidupi identitas-identitas di Hindia-Belanda yang ada dengan membaca lebih
lanjut pemanggilan-pemanggilan yang ada. Novel ini ingin agar masing-masing golongan diacu sesuai dengan sejarahnya masing-masing dan bukan berdasarkan
stereotip-stereotip yang bermunculan dari berbagai pihak. Ia ingin masing-masing pihak, pribumi maupun Cina, bercerita tentang identitasnya sehingga menghasilkan
perdebatan tentang identitas yang adil pada kedua belah pihak. Di titik ini, wacana di Acek Botak
satu langkah lebih maju dibanding Ca-Bau-Kan yang hanya merayakan idenitas-identitas Cina di Hindia-Belanda semata baca: sepihak.
146
Ibid., hal. 303
160
F.3. Acek Botak dan identitas sosial-politik dan ekonomi orang Cina
F.3.a. Identitas sosial-politik: menelusuri posisi orang Cina di masa kolonial
Seperti telah dijelaskan sebelumnya di Bab II, Hindia-Belanda memiliki strata masyarakat dengan tiga strata sosial yang berbeda. Strata yang pertama, yang paling
diuntungkan, adalah orang kulit putih. Di bawahnya, yang kedua, adalah mereka yang disebut vreemde oosterlingen yang mana orang Cina berada di dalamnya. Strata
terbawah, pihak yang paling tidak diuntungkan, adalah pribumi. Sub-bab ini akan membahas bagaimana perkara ini dinarasikan dalam sebuah novel yang ditulis di masa
Reformasi. Dilihat dari interaksi sosial yang terjadi di dalam Acek Botak, orang-orang Cina
digambarkan lebih dekat dengan pribumi daripada dengan orang Belanda. Interaksi orang Cina-orang kulit putih hampir-hampir tidak diperlihatkan. Sedangkan interaksi
pribumi-kulit putih, sebaliknya, cukup banyak diceritakan terutamanya di adegan- adegan yang berlatar perkebunan: pribumi diambil sebagai nyai, pengawas perkebunan
yang memarahi mandor etcetera. Di antara ketiga jenis interaksi tersebut terdapat sebuah perbedaan yang mendasar dari segi retorika. Interaksi pribumi-kulit putih
menggambarkan sebuah arena kekuasaan yang timpang. Kulit memberi perintah dan pribumi mererimanya. Sedangkan, di sisi lain, interaksi sosial pribumi-orang Cina
berjalan cenderung setara seakan keduanya berada dalam strata sosial yang sama. Memang, di beberapa ranah, seperti hukum peradilan, pribumi dan orang Cina
ditempatkan dalam satu bentuk peradilan yang sama: Landraad. Namun, di ranah-ranah yang lain, keduanya dengan tegas dipisahkan.
Kontradiksi hubungan pribumi-Cina dalam strata sosial kolonial yang segregatif itu dengan lugas dibicarakan dalam Acek Botak. Di satu sisi, Acek Botak bercerita, di
kehidupan sehari-hari, keluarga Bun Nyan, terutama Atak, berinteraksi secara setara dengan orang-orang pribumi. Atak sehari-harinya, setelah bekerja di ladang, berkeliling
ke kamp-kamp kuli perkebunan untuk menjajakan barangnya. Di masa-masa
161
perjuangan, Atak bergabung dengan ketentaraan dan bukan milisi khusus orang Cina. Di masa tuanya, Atak membuka kedai dengan pelanggan yang tentu saja kebanyakan
adalah pribumi dan kenalannya selama turut berjuang. Di tiga masa tersebut, dengan kondisi sekitar yang berbeda, pola komunikasinya tidak berubah. Mereka tetap setara.
Kalaupun Atak dihormati, hal tersebut karena pangkatnya di ketentaraan. Di luar itu, tidak ada panggilan kehormatan seperti ‘tuan’ yang lazim muncul ketika pribumi
mengacu pada orang kulit putih. Panggilan yang merendahkan yang biasa dipakai tuan- tuan kulit putih di perkebunan pada kuli juga tidak tampak di pergaulan pribumi-orang
Cina. Di dalam interaksi sosial pribumi-Cina tersebut yang membedakan hanyalah corak produksi pekerjaan keduanya. Atak dibesarkan dan bekerja sebagai seorang
pedagang. Sebagian besar teman pribuminya sangat jarang yang menjadi pedagang. Hal tersebut akan dibahas lebih jauh di sub-bab berikutnya.
Apabila dibandingkan dengan novel dengan latar waktu yang sama, namun dari masa yang berbeda DBD, kita akan mendapati cerita yang sama sekali berbeda.
Sepintas kita melihat interaksi antara Dolores, Tat Mo, Moestari dan Noerani sangatlah dekat namun, seperti telah diungkap di awal bab ini, ada jarak yang jauh di interaksi
pribumi-orang Cina ini yang mana Tat Mo menjadi sumber pengetahuan dari Noerani dan Moestari dan menciptakan hubungan yang hampir-hampir seperti guru dan murid
tidak setara: sebuah hal yang menunjukkan bahwa mereka berada di kelompok sosial yang berbeda. Ketimpangan tersebut muncul secara tidak sadar di DBD. Kasus yang
hampir serupa saya dapati di Ca-Bau-Kan. Ketimpangan muncul secara tidak sadar melalui cerita yang dirangkai seperti centeng selalu pribumi, semua tokoh Cina di sana
memiliki pembantu pribumi dan tokoh-tokoh Cina yang muncul sebagian besar adalah pengusaha-
pengusaha besar yang biasa dipanggil ‘tuan’. Tidak ada cerita gamblang tentang konstelasi kehidupan sosial segregatif yang jelas merupakan sumber
ketimpangan tersebut. Di dalam Acek Botak, meskipun memiliki wacana tentang Cina yang inklusif, dengan penggambaran interaksi sosial yang setara, sumber ketimpangan
tadi diceritakan dengan lugas terutama kebijakan-kebijakan kolonial.
162
. Terkait dengan kebijakan segregatif tersebut, di awal kedatangan keluara Bun Nyan diceritakan kondisi Sumatra yang berisi perkebunan-perkebunan milik Pemerintah
Kolonial Belanda. Di dalam perkebunan-pekebunan tersebut, kuli-kulinya diberi tempat tinggal yang terpisah-pisah berdasarkan bangsa. Kuli-kuli Cina memiliki tempat tinggal
dan lahan bekerja yang berbeda dengan kuli-kuli pribumi yang sebagian besar didatangkan dari Jawa. Lebih jauh, terkait dengan segregasi yang memiliki
keuntungannya tersendiri bagi para pendatang Cina adalah kebebasan orang Cina dalam hal perjalanan. Hal tersebut ketika Atak menjemput A Lin yang melarikan diri dari
tempat pelacuran. Hal tersebut terjadi ketika malam hari. Beberapa hari sebelum Jepang masuk Sumatra. Mereka, Atak dan A Lin, sempat diberhentikan di sebuah pos
penjagaan namun segera dilepaskan setelah diketahui bahwa mereka orang Cina dan mengaku dari sebuah keluarga terpandang. Hal yang serupa diceritakan kembali pada
masa Agresi Militer Belanda. Saat itu, di beberapa wilayah, dibagi-bagi antara wilayah Belanda dan Indonesia. Namun, yang menarik, “[o]rang-orang Tionghoa, dibebaskan
memasuki kedua wilayah. Bagi orang Tionghoa, tidak ada batas embarkasi .
”
147
Sedangkan untuk pribumi, mereka tidak boleh memasuki wilayah yang termasuk ke dalam wilayah Belanda.
Sekarang kita akan memasuki masa pergolakan politik; perebutan kekuasaan politik antara kekuatan republik dan Belanda. Bagaimana posisi orang Cina yang
posisinya mendua sebagai warga kelas dua? Di Acek Botak diceritakan seluruh warga Hindia-Belanda gembira ketika mendengar Jepang akan memasuki Hindia-Belanda dan
mengusir Belanda. Hal yang sama juga dirasakan keluarga Bun Nyan terutama Atak dan kawan-kawannya baik yang pribumi maupun yang Cina. Setelah kekalahan Belanda,
mereka memanfaatkan momen tersebut untuk membumihanguskan kantor-kantor perkebunan beserta dengan arsip-arsip di dalamnya agar nama-nama kuli dan catatan-
catatan yang terkait hilang sehingga para kuli menjadi orang bebas termasuk keluarga A Hong dan A Lin. Bersatunya pribumi dan Cina ini kemudian dimanfaatkan oleh Jepang
147
Ibid., hal. 238
163
dengan membentuk Heiho. Atak dan kawan-kawannya seperti A Hong, Darsono, Asiong, Tek Gan dan Supri lantas bergabung dengan paramiliter bentukan Jepang
tersebut. ”
Mereka latihan setiap pagi sampai sore. Pukul 16 mereka baru pulang ke rumah masing- masing…latihan terasa berat dan penuh dengan disiplin tentara...empat bulan lamanya
mereka latihan dengan tekun. Setelah selesai latihan, mereka dilantik. Kemudian dibagi dalam peleton tertentu. Ternyata keenam sahabat itu, tidak berada dalam satu peleton, justru
berlainan peleton.
”
148
Begitulah kehidupan kehidupan orang-orang di daerah Atak pada masa awal pendudukan Jepang. Dari sana tampak bahwa hampir seluruh warga baik yang pribumi
maupun yang Cina berpihak pada Jepang yang mereka pikir akan membawa kemerdekaan bagi mereka. Tampaknya kehadiran Jepang tidak hanya mengusir Belanda
namun juga segregasi yang selama pendudukan Belanda dihidupi. Di masa berikutnya, saat Jepang telah kalah, pelatihan ketentaraan yang didapat
keenam sahabat tadi digunakan untuk bergerilya melawan Belanda yang mencoba kembali. Sebelum mereka bergabung dengan tentara Republik, mereka masing-masing
mencari orang dan membentuk regu yang masing-masing dipimpin oleh keenam sahabat tadi ditambah regu milik Sami, seorang India Tamil, yang bersikeras anak buahnya
harus berada di bawah pimpinannya. Pasukan milisi tersebut kemudian menamai dirinya sebagai Pasukan Alap-alap. Dari sana lah Atak dan kawan-kawannya merintis karir
militernya. Atak kemudian pensiun dengan pangkat sersan. Hal yang mengenaskan kemudian justru terjadi di masa kemerdekaan karena Atak dan kawan-kawannya yang
bukan pribumi seperti Sami, Asiong dan A Hong tidak tidak diakui kewarganegaraannya sehingga dianggap tidak layak mendapatkan pensiun sebagai
veteran. Akan tetapi, yang jelas, di masa-masa tersebut digambarkan sekat-sekat yang dibentuk Belanda memudar dan orang Cina memiliki keberpihakan politik yang sama
dengan pribumi. Akan tetapi, permasalahan segregasi ini, tidak hilang sama sekali
148
Ibid., hal. 178
164
karena ada sekelompok orang Cina yang ingin tetap hidup di alam segregasi karena, seperti telah diungkapkan sebelumnya, mereka memiliki keuntungan lebih
dibandingkan dengan pribumi. Orang-orang Cina ini diwadahi oleh Belanda, yang tentu ingin mempertahankan kekuasaannya di Hindia-Belanda, dalam Poh An Tui; sebuah
kelompok milisi yang beranggotakan orang-orang Cina. Apabila dibandingkan dengan DBD, yang lahir di masa yang menjadi latar novel
tersebut, pandangan politik orang Cina di Acek Botak jelas lebih tegas. Meskipun Tat Mo menunjukkan ketidaksenangannya dengan Belanda namun ia juga sangat sinis
dengan pergerakan PKI yang ia kritik habis-habisan dan dianggapnya sebagai kumpulan orang yang tidak mengerti secara mendalam tentang Komunisme. Di DBD juga tak
terlihat adanya tokoh Cina yang dengan jelas memihak salah satu pihak di pergolakan politik yang terjadi. Acek Botak, selain lebih tegas, juga berhasil menangkap dampak
dari segregasi yang paling tidak memecah orang Cina menjadi dua kelompok: pro- kemerdekaan dan pro-Belanda. Bagaimana jika Acek Botak disandingkan dengan Ca-
Bau-Kan yang se-zaman kemunculannya dan berlatar waktu sama? Di kedua novel
tersebut, orang-orang Cina digambarkan terpecah juga. Di Ca-Bau-Kan ada para anggota Kongkoan yang pro-Belanda dan Tan Peng Liang yang pro-kemerdekaan dan
menjadi pemasok senjata. Namun ada perbedaan yang menurut saya perlu diperhatikan yaitu gaya perjuangannya. Atak, A Hong, Asiong dan Tek Gan menjadi tentara.
Sedangkan Tan Peng Liang memberii sokongan ekonomi. Padahal Atak dan A Hong juga pedagang. Artinya, seperti ditekankan di pembahasan novel Ca-Bau-Kan, novel
tersebut yang terbit di awal masa Reformasi memang belum lepas dari stereotip orang Cina sebagai orang kaya dan hanya berkecimpung di dunia bisnis bahkan keculasannya
yang terus mengikuti kemanapun orang Cina pergi juga hadir di tokoh-tokoh Cinanya. Di sisi lain Acek Botak telah mengkritisi stereotip tersebut.
Dengan penggambaran kondisi dan interaksi sosial-politik yang ada, Acek Botak merekam dan mengkritisi kontradiksi-kontradiksi yang hadir di masa kolonial terutama
ketimpangan yang muncul pada hubungan pribumi-orang Cina. Dengan menceritakan
165
ketimpangan-ketimpangan di masa kolonial tersebut, novel Acek Botak menyediakan sebuah latar yang dapat mengubah cara pandang pada pada yang terjadi kemudian hari
seperti tidak diakuinya kewarganegaraan orang-orang Cina meskipun mereka adalah veteran perang kemerdekaan seperti Atak. Dengan kata lain, dengan lugas, Acek Botak
menunjuk hidung Pemerintah Kolonial Belanda, dengan politik segregasinya, sebagai akar permasalahan dan hanya dengan menceritakannya dengan adil masalah hubungan
pribumi-Cina dan stereotip yang muncul di dalamnya ini dapat diselesaikan.
F.3.b. Identitas ekonomi: menelusuri sebuah stereotip
Ditilik dari sekian penjelasan di atas, tak pelak akan terbesit pemikiran bahwa novel Acek Botak adalah novel yang adil melihat orang Cina. Benarkah begitu? Tunggu
dulu sampai kita melihat penjabaran sisi ekonomis orang Cina di novel ini. Membicarakan perihal ekonomi apa lagi tentang orang Cina tentu bukan perkara mudah
mengingat stereotip terkuat orang Cina ada di sisi ini; sebuah sisi yang cenderung tidak ingin dibahas lebih lanjut apabila dilihat dari novel-novel lain yang ada di tesis ini. Jadi,
bagaimana wacana ekonomi di Acek Botak? Kehidupan perdagangan memang tak pernah jauh dari keluarga Bun Nyan
karena sejak awal kedatangannya mereka memang berniat untuk berdagang. Atak dan saudara-saudara memang dididik untuk hidup sebagai seorang pedagang. Hal tersebut
terlihat dari nasehat-nasehat dan petuah-petuah yang diberikan Bun Nyan kepada anak- anaknya. Salah satu nasehat Bun Nya pada Atak, yang ia dapat dari ayahnya, di awal
kehidupan mereka di Tanah Harapan adalah sebagai berikut: “
Jadi, pedagang selain harus benar-benar hemat, juga harus licik. Tipu dalam dagang, sesuatu yang
lumrah. Sungguh luar biasa jika ada pedagang yang hanya sedikit menipu,” ayah Bun Nyan terhenti sejenak meneruskan batuknya. Dengan bersusah payah, kemudian melanjutkan
nasihatnya, “Jika ingin hidup jadi pedagang yang jujur dan tenang, harus pandai mencari dan menjaga pelanggan dan bekerja keras. Hidup jujur dan tulus, membuat hidup menjadi tenteram
dan damai, tak perlu takut dikejar-kejar. ”
149 149
Ibid., Hal. 14
166
Kutipan tersebut menunjukkan pedoman hidup keluarga Bun Nyan dalam hal berdagang untuk dijadikan pegangan hidup. Nasehat turun-temurun ini terus dipegang oleh Atak
sedari awal hingga memiliki usahanya sendiri di kemudian hari. Cerita yang dirangkai di Acek Botak bukanlah semata-mata cerita tentang orang
Cina di perjuangan kemerdekaan Indonesia. Cerita-cerita tersebut juga merupakan cerita tentang naik-turunnya kehidupan ekonomi orang-orang Cina yang datang ke Sumatra
yang diwakilkan melalui kehidupan keluarga Bun Nyan. Sedari awal kedatangannya, keluarga Bun Nyan memang tidak berniat untuk bekerja di perkebunan, tidak seperti
keluarga A Hong dan A Lin. Mereka memilih untuk bertani karenanya mereka membuka lahan di pinggiran. Semua anggota keluarga dilibatkan di perkejaan di ladang.
Hany Atak yang dilatih secara khusus, karena ia adalah anak tertua, dan diajak berdagang hasil panen di pasar. Setelah Atak memasukki usia dewasa, ia meminta
modal ayahnya untuk memulai usaha sendiri. Modal tersebut ia belikan barang-barang kebutuhan sehari-hari yang lantas ia jajakan dengan berkeliling ke pondok-pondok
perkebunan. Ia menjadi seorang mindring.
150
Ketika, ia telah memiliki usahanya sendiri, setiap hari, setelah membantu ayahnya di ladang, ia berkeliling ke pondok-pondok dan
kampung-kampung. Panggilan Acek Botak ia dapat dari interaksinya dengan kuli-kuli di perkebunan. Selang beberapa waktu, Ahong bergabung dengan keluarga Atak setelah
melarikan diri. Oleh Bun Nyan ia diajari dan diberi modal untuk berdagang. Ia memulai dengan berternak bebek. Dari bebek-bebek tersebut, ia mendapatkan telur yang
kemudian ia jual di pasar setelah sebelumnya sebagian dijadikan telur asin. Dengan berjualan telur ini juga ia menghidupi A Lin setelah menikah. Seiring dengan waktu,
usaha mereka semua pun mengalami kemajuan. Namun, itu tidak berjalan dengan lama. Dengan goyahnya kekuasaan Belanda di Sumatra, Atak tak dapat lagi pemasukan lagi
150
Mindring adalah seseorang yang menjajakan barang dagangannya dengan berkeliling kampung dengan sistem pembayaran yang dapat dicicil. Jadi, selain berkeliling untuk menjajakan barang
dagangannya, seorang mindring juga menagih cicilan-cicilan dari pembeli-pembeli di hari-hari yang lalu. Segala cicilan dicatat di sebuah buku. Buku tersebut berisikan daftar hutang yang ditandatangani si
penghutang setiap kali mencicil hutangnya.
167
dari usaha mindring-nya. Hal tersebut dikarenakan banyak pondok-pondok kuli yang kosong ditinggalkan para kuli yang melarikan diri. Kehidupan ekonomi secara
menyeluruh di Sumatra juga terganggu. Puncak kemacetan ekonomi keluarga tersebut adalah ketika mereka diikutkan ke dalam Heiho.
Di masa awal kemerdekaan, Atak membuka warung kelontong bersama istrinya, Sutinah. Kedai tersebut oleh para pelanggannya diberi julukan ‘Kedai Sampah’ karena
hampir tak ada barang kebutuhan sehari-hari yang tidak dijual di sana. Usaha tersebut lantas dikembangkannya menjadi kedai kopi yang menjadi tempat pertemuan non-
formal di daerah tersebut tidak terkecuali oleh teman-teman seperjuangan Atak di perang kemerdekaan. Di kedai kopi tersebut, mereka bertukar berita dan cerita termasuk
saling bantu-membantu permasalahan yang dialami Atak dan veteran non-pribumi lainnya. Untuk menarik pelanggan dan komunikasi kultural antar kelompok masyarakat,
ia sering mengadakan acara-acara kebudayaan berbasis kultur tertentu seperti opera Batak, wayang dan opera Cina.
Cerita yang lengkap dari awal perjalanan di sisi ekonomi ini adalah sisi menarik lainnya dari Acek Botak. Cerita dari awal inilah yang absen dari semua novel yang
dibahas di tesis ini. Bagi saya, novel ini berani memasuki stereotip orang Cina dan berusaha melampauinya. Ketika berhadapan dengan sebuah stereotip kita jarang sekali
tahu tentang darimana asalnya stereotip tersebut. Acek Botak berusaha memberiikan jawabannya dengan menceritakan proses perjalanan kehidupan ekonomi orang Cina.
Acek Botak mengungkap bahwa kedekatan orang Cina dengan dunia perdagangan
bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada dengan begitu saja. Walaupun tidak mendalam namun Acek Botak cukup memberii pencerahan
bagaimana para pendatang Cina memang dibentuk untuk hanya berada di wilayah ekonomi dengan beberapa keuntungan selain mereka memang dididik untuk menjadi
pekerja keras nan tekun. Ketika datang ke tanah Sumatra, orang Cina, tidak seperti pribumi khususnya orang Jawa yang ‘diculik’, memiliki pilihan untuk mandiri secara
168
ekonomi dengan diperbolehkan membuka usahanya sendiri. Menjadi kuli hanyalah salah satu pilihan untuk hidup bagi pendatang Cina. Tapi, bagi orang Jawa, tidak ada
pilihan karena mereka khusus didatangkan untuk menjadi kuli perkebunan.
F.4. Wacana sejarah sebagai jalan keluar melampaui stereotip ekonomi masyarakat Cina
Novel Acek Botak adalah novel yang paling sadar tentang identitas dan stereotip orang Cina di Indonesia yang berada di titik ekonomi. Karenanya Idris Pasaribu
memfokuskan narasinya di kehidupan keluarga Bun Nyan yang datang ke Sumatra hampir dengan tangan kosong dan, di akhir cerita, memiliki usaha yang telah jauh
berkembang. Di sana, ia menekankan bahwa kekayaan yang dimiliki orang Cina adalah hasil usaha kerasnya yang panjang dan tidak datang begitu saja. Sehingga, kenyataan
tersebut, jika dikaitkan dengan kejadian tragis seperti penjarahan dan pembunuhan di tahun 1998, membuat mereka tidak patut mendapatkan perlakuan di masa yang telah
lalu. Sejarah keluarga Bun Nyan dijadikan ujung untuk membongkar cara pandang orang-orang terhadap kekayaan yang dimiliki masyarakat Cina.
Yang menjadi lubang sehingga menyisakan masalah adalah sejarah yang disajikan di Acek Botak membuat identitas orang Cina tetap berada di lingkaran
ekonomi dan tetap terkesan terberi begitu saja taken-for-granted dan esensialis. Bahkan, mungkin secara tak sadar, dampak dari pendekatan sejarah yang jadi garis
besar Acek Botak ini ditampakkan, menariknya, oleh tokoh pribumi Kartinah yang menyebut orang Cina sebagai kaum yang tekun, pekerja keras dan pandai berhemat.
Yang artinya, cara pandang orang lain pribumi terhadap Cina tidak berubah karena tiga fitur tersebut adalah fitur-fitur yang ranahnya ada di ranah ekonomi. Sehingga,
sesungguhnya, pendekatan Acek Botak tidak menghilangkan stereotip yang ada. Kenyataan tersebut membuat seakan-akan orang Cina seakan-akan memang sejak awal
adalah orang-orang yang tekun, pekerja keras dan pandai berhemat. Terlebih, dengan
169
pendekatan sejarah tersebut, seakan-akan orang-orang Cina yang datang ke Indonesia lepas dari relasi kekuasaan kolonial yang ada di masa kedatangan mereka. Jadi, alih-alih
menghilangkan posisi korban masyarakat Cina karena stereotip yang ada, sejarah yang dimunculkan justru membenarkan stereotip yang ada. Fitur-fitur yang ada dan
membangun identitas Cina baca: stereotip malah dibaca sebagai sesuatu yang inheren dalam tubuh masyarakat Cina dan bukan bentukan, katakanlah, rezim kolonial atau
Orde Baru. Hal tersebut hadir karena fitur-fitur seperti rajin dan pandai berhemat diposisikan sebagai kultur khas milik masyarakat Cina yang dibawa kemanapun mereka
pergi dan tinggal termasuk di Indonesia. Selain karena penempatab fitur-fitur di atas sebagai bawaan kultural masyarakat
Cina, sejarah atas stereotip yang disajikan novel ini memberi kesan bahwa stereotip hanya terdapat pada masyarakat Cina karenanya sejarah yang dihadirkan hanyalah
sejarah masyarakat Cina dan tidak bersentuhan dengan stereotip-stereotip kelompok masyarakat lain. Tentu identitas pribumi, apapun etnisnya, di kepala masyarakat Cina
juga kental dengan nuansa stereotipikal, yang sesungguhnya samar-samar terasa dan mungkin tak disengaja oleh si pengarang kemunculannya, sebagai hasil dari hubungan
sosial yang timpang. Namun hal tersebut tak mendapat ruang di narasi novel ini. Serupa dengan novel-novel dari masa Reformasi sebelumnya, novel Acek Botak masih berkutat
dengan penempatan masyarakat Cina sebagai korban saja. Jadi, kenyataan ini – setelah
diperhatikan dengan lebih seksama - sesungguhnya bukanlah hal yang aneh di masa Reformasi.
170