Drama di Boven Digul: Kolonialisme dan masyarakat Cina

100 kaum peranakan Cina karenanya ia menjadi tokoh penting di dalam tubuh Tiong Hoa Hwe Koan dan pergerakan kaum peranakan secara umum. Terkait dengan bidang tersebut, KTH banyak menulis mengenai kebangkitan dan pergerakan kaum peranakan Cina di awal abad ke-20. Salah satu tulisannya yang termashyur adalah Atsal Moelahnja Timboel Pergerakan Tionghoa jang Modern di Indonesia 111 yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh seorang Sinolog asal Amerika yang bukunya telah dijadikan salah satu sumber penulisan di Bab II penelitian ini, Lea Williams. Lebih jauh, pentingnya KTH di pergerakan kaum peranakan dikarenakan keterlibatannya dalam berbagai macam pergerakan jurnalistik baik yang dimotori kaum pribumi maupun peranakan. Tulisan-tulisannya tersebar di media-media tersebut. Di samping itu, ia pernah menjabat sebagai pemred majalah Moestika Panorama yang kemudian berubah wujud menjadi Moestika Romans. Dari dunia jurnalistik inilah karir kepenulisannya sebagai seorang sastrawan dimulai. Sebagai seorang sastrawan, KTH dapat dibilang sebagai seorang sastrawan yang produktif. Ia mulai menulis karya sastra di pertengahan tahun 1920-an hingga masa- masa menjelang kemerdekaan Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut, ia menghasilkan sembilan karya drama dan empat belas karya prosa. Jumlah yang terbilang tidak sedikit. Karirnya dimulai dengan terbitnya novel pertamanya Boenga Roos dari Tjikembang tahun 1927. DBD sendiri adalah novel ketiganya 1938. Dengan kenyataan tersebut dapat dipastikan bahwa KTH adalah penulis yang benar-benar berkarya di masa segregasi Politik Etis. Bagi DBD, lahir di masa Politik Etis berarti lahir di dunia sastra yang mulai digalakkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pada tahun 1920, Pemerintah Kolonial 111 Seperti halnya DBD, esai panjang ini, yang bercerita tentang hubungan antara gerakan nasionalis Sun Yat Sen dengan Kuomintang-nya di Cina Daratan dan gerakan kaum peranakan Cina di Indonesia Tiong Hoa Hwe Koan, terbit pertama kali di mingguan Panorama sebagai tulisan bersambung. Esai ini muncul di Panorama mulai edisi Agustus 1936 hingga Januari 1939. Esai ini lantas diterbitkan kembali, bersama esai KTH yang lain tentang zaman Malaise, dalam seri Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia jilid keempat yang terbit pada tahun 2001 oleh KPG.