Dimsum Terakhir: keCinaan dan keperempuanan
142
bagi orang-orang Cina tanpa menyumbangkan sebuah karya yang bercerita tentang masyarakat Cina di Indonesia seperti halnya yang dilakukan penulis-penulis keturunan
Cina yang lain: Lan Fang, Hanna Fransisca, Sindhunata dll. Dimsum Terakhir
menceritakan tentang kehidupan sebuah keluarga Cina di kota besar Jakarta. Kepala keluarga bermarga Tan tersebut adalah Nung Tan Tjin Yung
yang memiliki seorang istri bernama Anas. Keluarga tersebut memiliki empat orang anak perempuan kembar yang interval kelahirannya hanya dalam hitungan menit. Ke
empat anak tersebut adalah Rosi Tan Mei Xi, yang petani mawar, Novera Tan Mei Mei, yang guru TK di Yogyakarta, Siska Tan Mei Xia, yang bekerja di sebuah
perusahaan di Singapura, dan Indah Tan Mei Yi, yang penulis sekaligus wartawan. Cerita di novel ini dimulai ketika empat orang anak perempuan yang telah memiliki
jalan hidup masing-masing tersebut harus berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang dengan keluarga, adat-istiadat dan kebiasaan tertentu. Konflik-
konflik yang terjadi bersumber dari tabrakan yang terjadi antara dunia empat perempuan tersebut dengan nilai-nilai yang mereka temui lagi di dalam keluarga inti mereka.
Novel ini ditulis oleh seorang keturunan Cina dan berkisah tentang sebuah keluarga Cina. Sehingga, dapat dikatakan,ini adalah tulisan dengan tingkat pengalaman
pribadi yang cukup mendalam. Permasalahannya, bagaimana si penulis menggambarkan keluarga yang mungkin memiliki kemiripan dengan latar belakang keluarganya sendiri?
Masalah-masalah apakah yang dihadapi masyarakat Cina di Indonesia paska-Orba? Sebelum nantinya di bab berikutnya kita lebih jauh menyisir dampak asimilasi Orba dan
multikulturalisme, pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah, terlebih dahulu, terjawab.
E.2. Dimsum Terakhir: Identitas kultural Cina Indonesia di masa Reformasi
E.2.a. Bahasa
Seperti telah diulas di Bab II, semoga dengan mencukupi, bahwa segala hal yang berbau Cina disingkirkan selama masa Orba. Sebagai usaha untuk melawannya, di masa
Reformasi hal-hal yang disingkirkan tadi coba diangkat kembali ke permukaan. Di sub-
143
bab ini saya akan terlebih dahulu membahas marjinalisasi di sisi kultural dan saya akan memulainya dari bahasa. Bahasa yang digunakan oleh keluarga ini untuk berkomunikasi
dengan orang-orang non-Cina dan Cina adalah bahasa Indonesia dengan dialek Betawi dengan lu-gue-nya. Ketika Rosi hendak ke rumah sakit mengunjungi ayahnya, Nung,
mobil yang ia kendarai bertabrakan dengan sebuah angkot yang berujung dengan keributan. Yang menarik bagi saya, meskipun keributan dengan kernet angkot tersebut
berisi dengan lontaran cacian berbau SARA, namun kedua pihak Rosi, yang Cina, dan si kernet, yang jelas bukan Cina, dapat berkomunikasi dengan lancar. Hal tersebut karena
keduanya sama-sama menggunakan bahasa Indonesia. Justru ketika salah satu dari empat anak perempuan Nung tersebut
berkomunikasi dengan tetangganya yang Cina Medan terdapat perbedaan bahasa logatnya. Siska, yang saat itu mengobrol dengan tetangganya Tante Yu Lan,
berbahasa Indonesia dengan lebih ‘baik dan benar’ seperti halnya Rosi daripada Tante Yu Lan “...dengan aksen Cina Medannya yang kental dan khas. Dia mempunyai
kesulitan ucap dalam bahasa Indonesia, khususnya menggetarkan lidah dalam pengucapan konsonan “r”.”.
138
Di sini Siska malah terkesan berbeda dengan Tante Yu Lan. Dapat dikatakan, dibanding Tante Yu Lan, ia adalah orang Cina yang telah lebih
modern dan lebih menyerupai pribumi. Dengan ini, ditilik dari sudut penggunaan bahasa tokoh-tokohnya, paling tidak, terdapat dua identitas berbeda di dalam tubuh
masyarakat Cina di Indonesia: Cina yang modern dan lebih condong pribumi dan Cina yang lebih totok.
Kasus lain dari sisi bahasa yang ada adalah masalah proper name. Di wilayah tempat tinggal Nung dan keluarganya yang sebagian besar merupakan Cina peranakan
terdapat kebiasaan untuk memanggil seseorang dengan nama Cinanya meskipun semuanya memiliki nama Indonesia. Pada sebuah obrolan di rumahnya, Nung
dikomentari oleh tetangganya Qian Xen karena tidak memanggil anak-anaknya dengan nama Cina mereka; sebuah komentar yang ternyata sudah puluhan kali ditodongkan
138
Lih., Ng, 2006, hal. 94
144
pada dirinya. Jawaban Nung pun tetap sama dari waktu ke waktu yaitu bahwa mereka adalah orang Indonesia dan, meskipun, mereka tidak dipanggil menggunakan nama
Cinanya, toh darah Cina mengalir di darah mereka.
139
Artinya, Nung meletakkan identitas Indonesia di atas identitas Cina keluarganya. Hal tersebut jelas berseberangan
dengan orang-orang Cina di sekitarnya. Di sini Nung mengambil posisi yang lebih modern sedangkan orang-orang di sekitarnya lebih memilih untuk memegang teguh
adat-istiadat. Lebih jauh, dapat disimpulkan, keluarga Nung adalah keluarga Cina yang telah lebih modern dan lebih mengakui dirinya sebagai orang Indonesia sehingga
menganggap dirinya sama seperti orang Indonesia lainnya yang, katakanlah, pribumi.
E.2.b. Adat-istiadat dan agama
Adat-istiadat dan agama adalah sisi kehidupan keluarga Nung dengan ke empat anaknya yang mendapat sorotan paling dalam oleh Clara. Penggambarannya sangat
mendalam. Tak dapat dipungkiri bahwa pengetahuan Clara soal agama orang-orang Cina di Indonesia, tentu dengan segala rintangannya, sangat mumpuni.
Keluarga Nung adalah seorang penganut Konghucu dan tradisi Cina yang taat. Di rumah mereka terdapat patung Dewi Kwan Im yang sangat dihormati
keberadaannya, juga altar leluhur, milik Akong kakek, yang didoakan dengan hio setiap harinya, dan perangkat-perangkat doa lainnya. Mereka juga dengan rutin
mengadakan acara-acara peringatan khas masyarakat Cina seperti Imlek bahkan hingga memiliki tradisi khusus keluarga. Penanggalan-penanggalan penting bagi masyarakat
Cina juga, termasuk kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan, digambarkan, dengan rinci, oleh Clara.
Sepintas, Dimsum Terakhir terlihat memiliki pendekatan yang sama dengan DBD dengan penjelasan tentang agama orang-orang Cina yang rinci, namun,
sebenarnya, memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Di DBD, pandangan hidup orang-orang Cina, yang diwakili oleh Tjoe Tat Mo yang tentu berangkat dari dalamnya
139
Ibid., hal. 205
145
ia mempelajari agamanya Buddha serta agama-agama lain, menjadi pusatnya. Sedangkan di Dimsum Terakhir, perayaan-perayaan adalah pusat ceritanya. Contohnya
adalah penjelasan mengenai penanggalan seperti ce it dan cap go atau perayaan kue bulan. Meskipun ketika di penjelasan atas filosofi di balik perayaan kue bulan terdapat
pandangan orang-orang Cina terhadap keluarga yang harus tetap utuh namun hal tersebut bersifat internal; internal dalam artian ia tidak memberii masukan ke luar
komunitas Cina seperti halnya yang dilakukan oleh Tjoe Tat Mo pada Noerani dan gerakan perlawanan pribumi meskipun secara tak langsung.
Kembali ke perkara dua golongan Cina seperti di bagian bahasa, hal tersebut muncul ketika salah satu anak perempuan Nung, Novera, yang bermaksud untuk pindah agama
menjadi seorang Katolik:
“...“Kenapa dibaptis?” “Karena saya ingin menjadi Katolik,” jawab Novera tenang. Ketenangan itu hasil
mengumpulkan keberanian selama berminggu- minggu. “Menjadi Katolik harus dibaptis.”
“Katolik adalah agama. Agama bisa menyelamatkan kita, jawab Novera, tetap tenang. Dalam hati dia mengagumi ketenangan dirinya yang luar biasa, hasil latihan di depan cermin.
“kan kita sudah punya agama? Kenapa harus ganti agama lagi?” Nah. Ini dia. Pertanyaan ala Siska yang tajam dan menyengat. Taktik Siska untuk
mengalihkan perhatian. To the point. Untung Novera sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelumnya. “Yang dimaksud dengan agama kita…,” jawab Novera, “…adalah menghormati
leluhur dan patuh terhadap tradisi Cina. Sejujurnya, ini tidak dapat disebut sebagai agama, Siska. Ini adalah…”
“Mama tidak setuju kamu dibaptis.” Kali ini seluruh kepala menoleh ke arah Anas, lalu terdiam seakan-akan dia mengatakan pernyataan maha
penting yang turun dari langit. “Kalau mau ke gereja pergi saja ke gereja. Tidak perlu baptis-baptisan segala. Mama dengar, kalau
kamu sudah dibaptis, kamu tidak boleh pegang hio.”...
”
140
Perdebatan sengit dalam keluarga Nung terpicu setelah Novera mengutarakan maksudnya untuk pindah agama atau lebih tepatnya, berdasarkan logika Novera,
memiliki agama. Tidak ada satu pun anggota keluarga yang menyetujuinya atau menerimanya dengan baik-baik saja. Bagi saya, perdebatan yang terjadi adalah
perdebatan dua kubu yang sama dengan saat kita membahas pemakaian bahasa. Novera sekarang bertindak sebagai pihak yang lebih modern dan lebih pribumi. Kini ia lebih
dekat dengan pribumi dengan agama Katolik. Anggota keluarga lainnya adalah pihak
140
Ibid., hal. 70-71
146
yang lebih totok yang menganggap diri mereka lebih teguh memegang keCinaannya seperti Tante Yu Lan pada kasus sebelumnya.
Pertarungan antara pihak dengan sudut pandang yang lebih modern dengan yang, katakanlah, lebih kuno juga terjadi di banyak tempat lain dalam Dimsum
Terakhir . Ada satu kejadian saat Imlek ketika Rosi menolak memakai rok dan
berpakaian berwarna merah yang menandakan kebahagiaan dan khas Imlek. Di lain tempat, ada Siska yang membenci hujan karena merusak segala kegiatan. Di kedua
kasus tersebut, Anas, sang ibu, meluruskan mereka berdua agar tidak melenceng dari sudut pandang Cina
seperti bahwa hujan membawa berkah karena “para dewa sedang bersukacita”.
141
Pertarungan dua identitas Cina di Indonesia ini menjadi poros utama alur cerita yang dibangun di Dimsum Terakhir. Tampaknya, bagi Clara, inilah
permasalahan utama masyarakat Cina di Indonesia paska-Orba.
E.3. Identitas sosial-politik-ekonomi Cina di Indonesia
Di sub-bab di atas telah banyak digambarkan bagaimana konflik dan tarik ulur yang terjadi terkait dengan adat-istiadat masyarakat Cina dengan nilai-nilai yang
dipandang lebih modern. Permasalahan modern yang masuk ke dalam perdebatan dalam keluarga Nung masuk melalui ke empat anaknya. Jadi, paling tidak, ada empat masalah
di sini. Masalah pertama adalah masalah Siska. Siska adalah seorang wanita karir yang
gila kerja. Ia bekerja sebuah perusahaan besar kelas internasional. Ia adalah anak yang paling sukses secara ekonomi. Akan tetapi, oleh saudari-saudarinya, ia dianggap pihak
yang paling egois, tidak sensitif dan keras kepala. Menurutnya, ia adalah perempuan mandiri yang tak mau menggantungkan hidupnya di pundak laki-laki. Ia tak suka
dengan konsep pernikahan. Ia lebih suka dengan hubungan yang cenderung kasual tanpa ikatan pernikahan; sebuah tingkah laku yang lazim dihardik di Indonesia.
141
Ibid., hal. 59
147
Masalah kedua adalah masalah Rosi. Masalah Rosi adalah orientasi seksualnya. Ia adalah penyuka sesama jenis yang merasa dirinya adalah laki-laki yang lahir di tubuh
perempuan. Bukan isapan jempol bahwa di Indonesia kondisi Rosi, yang kemudian berganti nama menjadi Rony, belum dapat diterima dengan baik oleh khalayak umum.
Ia sadar akan kenyataan tersebut karena ia cukup gugup ketika mengajak Dharma, pacarnya, untuk ke rumah sakit mengunjungi Nung.
Masalah ketiga adalah masalah Novera. Masalahnya adalah masalah wacana kewanitaan gender. Ketika masih remaja, rahim Novera diangkat sehingga ia tidak
akan mungkin memiliki anak. Wacana umum di masyarakat Indonesia, perempuan akan lebih dihargai apabila ia dapat menjadi seorang ibu; sebuah kenyataan yang
membuatnya cenderung rendah diri dan pendiam. Hal tersebut menjadi masalah karena ia tidak seperti Rosi yang lesbi dan tomboy. Ia adalah perempuan yang feminin dan
penyayang anak-anak karenanya ia bekerja sebagai guru taman kanak-kanak. Masalah keempat adalah masalah Indah. Ada dua masalah yang dibawa dalam
tokoh Indah: pilihan pekerjaan dan kehamilan di luar pernikahan. Indah memilih bekerja sebagai penulis dan wartawan; pekerjaan yang, di Indonesia, belum begitu dihargai
karena dianggap tidak memberii jaminan untuk masa depan. Di beberapa bagian di novel ini, terlihat Indah beberapa kali direndahkan oleh Siska yang mapan ekonominya.
Yang kedua, ia hamil di luar pernikahan dengan seorang pastor yang jelas-jelas tak mungkin menikahinya. Ia mewakili fenomena single-parent yang kini kerap dijumpai di
kota-kota besar di Indonesia dan seringkali dipandang sebagai sebuah ketidakwajaran. Jika di sub-bab sebelumnya Clara memecah identitas Cina, secara kultural,
menjadi dua golongan, kini, ia memecah identitas Cina yang ada di diri ke empat anak perempuan Nung berdasarkan perkara hidup masing-masing. Sehingga, tak tampak lagi
sisi ‘Cina’ mereka. Perkara-perkara yang mereka hadapi adalah perkara masyarakat perkotaan di Indonesia saat ini; sebuah permasalahan lintas-etnis. Wacana tersebut
membuat permasalahan pribumi-non-pribumi tidak relevan lagi karena permasalahan tersebut hilang, atau minimal tak kasat mata, ditumpuki masalah-masalah gender
tersebut. Masalah-masalah yang dihadapi keempatnya memang semuanya ke dalam
148
wacana gender; konstruk sosial perempuan yang berlaku di masyarakat kekinian Indonesia. Yang menarik, kesimpulannya, ke-Cina-an bukanlah satu-satunya
permasalahan yang dihadapi masyarakat Cina saat ini. Menjadi orang Indonesia dan tinggal di Indonesia berarti memiliki masalah yang juga dimiliki orang-orang Indonesia
lainnya.
E.4. Dimsum Terakhir dan kegalauan identitas Cina di Indonesia
Dari sub-bab sebelumnya, kita dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Cina dalam Dimsum Terakhir memiliki masalah dengan identitasnya. Di satu sisi, mereka
harus mereka harus menjaga identitas Cina-nya dengan memegang teguh adat- istiadatnya. Di sisi lain, mereka seusungguhnya memiliki masalah dengan lain yang
oleh sebagian dari mereka dianggap berada di atas masalah etnisitas: gender keperempuanan. Masalah ini, dengan dua kutubnya, membuat identitas orang-orang
Cina di narasi novel ini terjebak dalam kegalauan. Namun, justru di titik tersebut novel ini menarik.
Melalui novel ini, Clara ingin menyatakan bahwa masalah orang Cina tidak selalu terkait dengan posisinya sebagai orang Cina. Masalah yang dihadapi komunitas
Cina ikut berkembang seiring dengan perkembangan Indonesia. Artinya, di banyak sisi masalah orang Cina, tidak ubahnya adalah masalah orang Indonesia seperti yang
digambarkan Clara melalui tokoh empat anak kembar Nung. Melalui empat masalah di diri empat anak kembar Nung, Clara menggambarkan bagaimana seringkali masalah
seorang keturunan Cina bukanlah karena ia seorang keturunan Cina meskipun terkadang tercampur dan memperparah keadaan seperti komentar dalam hati Rosi:
“[l]ebih gawat lagi, dia dapat menyandang predikat teraneh di antara yang aneh. Paling minoritas diantara yang minoritas. Sudah Cina, transgender pula. Mana yang lebih gawat
daripada itu? Katanya, orang Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena terlalu tertekan di Negara ini. Di dalam kasus Rosi, lebih mengerikan lagi. Mungkin ini
nerakanya neraka
. ”
142
Melalui penambahan masalah khas perkotaan yang dialami keluarga Nung, Clara berhasil memecah identitas komunitas Cina yang selama ini, yang terlihat terutama
142
Ibid., hal. 45
149
ketika kerusuhan semacam Mei 1998, dianggap sebagai sebuah entitas yang utuh dan khas. Clara membuat penyerangan atas orang-orang Cina di berbagai tempat di
Indonesia selama bulan Mei 1998 makin absurd dan tak beralasan. Kesimpulannya, Clara menyampaikan wacana bahwa orang-orang Cina juga
memiliki masalah terhadap keperempuanan dan lingkup perkotaannya yang mana mereka juga harus hadapi dengan sesamanya, semisal Rosi bersama dengan komunitas
lesbinya. Clara mengintegrasikan orang Cina ke dalam masyarakat melalui permasalahan sosial lain di luar etnisitas. Di sini, Clara dekat dengan wacana integrasi
yang muncul di masa Orla dan Orba dan wacana multikulturalisme di masa Reformasi. Meskipun, ia memiliki pendekatan yang berbeda karena tidak bertumpu pada sisi
kultural semata.