3. Drama di Boven Digul dan peleburan identitas melalui narasi politik

109 menyadari betul kenyataan tersebut. Karenanya ia mencoba mengangkat satu wacana yang menurutnya dapat digunakan untuk mengaitkan dan menyatukan semua golongan: Pemberontakan PKI. Pemberontakan PKI tahun 1926 adalah sebuah isu nasional karena memang PKI beroperasi di tingkatan Hindia Belanda. Pemberontakan tersebut bukanlah isu kedaerahan atau golongan bangsa tertentu. Itulah kenapa pihak Pemerintah Kolonial mengatasinya dengan cukup serius baca: sadis. 119 Dengan mengangkat cerita pemberontakan PKI, KTH, yang merupakan seorang Cina Peranakan dan termasuk dalam golongan Vreemde Oosterlingen, ingin menyatukan diri ke dalam identitas Indonesier pribumi. Dengan menuliskan novel DBD, ia membuat pemberontakan PKI sebagai hal yang perlu ia cermati juga meskipun diposisikan sebagai sebuah entitas asing. Dengan begitu, ia mencoba menerobos dinding-dinding tiga golongan masyarakat. Ia menjadikan paling tidak membuat dua golongan besar Indonesier dan Vreemde Oosterlingen luruh dalam satu identitas. Tapi, bagaimana sesungguhnya perdebatan tersebut disajikan dalam DBD? Perdebatan seputar baik tidaknya pemberontakan di tahun 1926 tersebut muncul, pada awalnya, hanya sebatas di ruang-ruang pribadi Moestari dan Noerani. Perdebatan ini muncul semenjak awal novel. Saat itu Moestari tidak mengetahui apa yang akan terjadi di Hindia Belanda. Noerani yang mengetahui akan terjadi pemberontakan dari ayahnya mengabari Moestari dengan cara yang metaforis. Ketika Noerani melanjutkan ceritanya dengan lebih gamblang, perdebatan diantara keduanya pun memanas. Masing- masing mengemukakan apa yang didapat dari lingkungannya. Hingga pertengahan novel hanya terdapat dua sudut pandang ini. Kemudian, di pertengahan novel, saat Noerani pergi menyepi untuk menenangkan diri, bertemulah ia dengan sepasang ayah- anak yang penulis: Tjoe Tat Mo dan Dolores. Walhasil, Tjoe Tat Mo dan Dolores ikut dalam perdebatan seputar Pemberontakan 1926. 119 Sekitar 13.000 anggota PKI dibunuh dan lebih dari 1.000 orang diasingkan ke Boven Digul. 110 Setelah pertemuan Noerani dengan dua orang dari kelompok Bangsa Asia Asing ini, terdapat tiga golongan masyarakat yang masing-masing memiliki sudut pandang tersendiri terkait dengan PKI dan pemberontakannya. Yang pertama adalah Moestari. Moestari adalah pemuda pribumi yang merupakan “Assistant-Wedana yang lagi belajar di Bestuur school dan ada putra dari Bupati di Sukabuwana”. 120 Yang kedua adalah Noerani. Noerani adalah seorang pemudi pribumi yang merupakan anak dari seorang pemimpin PKI, yang mantan guru, bernama Mas Boekarim. Yang ketiga adalah Tjoe Tat Mo dan anaknya yang merupakan keluarga Cina dengan latar belakang pendidikan otodidak yang di atas rata-rata. Ternyata dari tiga golongan ‘resmi’ hasil kebijakan Pemerintah Kolonial di masa itu, hanya dua yang terlibat dalam perdebatan: Pribumi dan Cina Bangsa Asia Asing. DBD tidak menghadirkan tokoh, sekaligus sudut pandang, kulit putih terkait dengan masalah ini. Moestari, yang, menggunakan istilah sekarang, pegawai negeri jelas menentang keras pemberontakan PKI. Saat pertama kali mendengar rencana pemberontakan dari Noerani, ia hendak melaporkannya pada polisi. Saat itu dengan tegas ia berkata: “ [i]ni perkara ada terlalu penting, Noer, Kau musti tau yang aku ini ada satu bestuur ambtenaar yang sudah mengangkat sumpah aken bersetia pada gouvernement, hingga tida boleh tinggal diam sesudahnya mendapet dengan resia besar. Aku musti kasih tau pada politie aken ambil aturan buat menangkis ini bahaya. ” 121 Jelas bahwa Moestari di sini membela kepentingan Pemerintah Kolonial karena ia adalah golongan pribumi yang diuntungkan dengan pendidikan dan jabatan. Kembali ke percakapan Moestari dan Noerani di suatu sore di Wilhelmina Park, reaksi Noerani atas pernyataan Moestari di atas tentu sebuah ketidaksetujuan. Ia tidak ingin Moestari membeberkan rencana ayahnya yang PKI karena ia tidak ingin sesuatu terjadi dengan ayahnya bukan karena, secara ideologis, mengamini komunisme dan PKI. Akan tetapi, meskipun ia bukan seorang komunis, seperti ayahnya, tetap ia berada 120 Benedanto, Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 3, 2001, p. 22 121 Ibid., hal. 33 111 di golongan pribumi yang berbeda dengan Moestari. Noerani melihat ayahnya Mas Boekarim sebagai ayahnya yang meskipun PKI tetap satu manusia, berbeda dengan Moestari yang melihat Mas Boekarim sebagai pemberontak semata. Selain itu, Noerani juga mengungkapkan bahwa memang negeri ini butuh perubahan dengan semua penderitaan yang ditimpakan atas rakyat Hindia-Belanda. Moestari melihat pemberontakan hanya semata-mata sebagai aksi kekerasan. Singkatnya, Noerani masih melihat adanya kebaikan arah dari PKI, satu hal yang tak dilihat Moestari. Bagaimana dengan Tjoe Tat Mo dan Dolores di perkara ini? Kembali ke pernyataan awal saya di sub-bab ini, menariknya DBD, yang ditulis di masa kuatnya wacana segregasi adalah sudut pandang Cina yang diberikan atas perkara politik di Hindia-Belanda. Secara umum, Pemberontakan PKI sangat sedikit kaitannya dengan Bangsa Asia Asing di Hindia-Belanda. Di masa sebelum pemberontakan hingga pemberontakan, sangat sedikit Bangsa Asia Asing yang menjadi anggotanya. Di titik ini terlihat keberhasilan politik segregasi yang dijalankan oleh Pemerintah Kolonial. Bagi Pemerintah Kolonial hal ini tentu sangat membantu apabila Bangsa Asia Asing tidak bergabung dengan PKI karena, tentu saja, mengurangi jumlah pemberontak dan kekuatannya. Mereka ingin urusan politik semata-mata urusan kulit putih dan pribumi karena kepentingan mereka terhadap golongan Asia Asing hanyalah kepentingan ekonomis seperti telah saya jabarkan di Bab II. Hadirnya Tjoe Tat Mo dan Dolores di arena politik Hindia-Belanda menandakan bahwa golongan Cina adalah bagian dari Hindia-Belanda dan dengan memasukki arena politik ini golongan Cina dianggap satu identitas dengan pribumi. DBD adalah sebuah penolakkan KTH atas larangan membicarakan perkara-perkara yang dianggap perkara pribumi seperti Pemberontakan PKI; sebuah penolakkan atas segregasi dan pengasingan antara Bangsa Asia Asing dan pribumi. 112 A.4. Wacana Peleburan Identitas dan politik segregasi di masa kolonial Dapat dipastikan, jika dilihat dari beberapa fakta di atas, bahwa KTH adalah seorang penulis yang tidak berada di arus utama ideologi masanya. Ia menolak menulis dengan Bahasa Melayu Resmi. Ia bercerita tentang permasalahan pribumi dan Hindia- Belanda Pemberontakan PKI. Ia juga mengajukan sebuah ide yang tak terbayang subversifnya di masa tersebut: peleburan identitas orang-orang Hindia-Belanda. Melalui penggunaan Bahasa Melayu Pasar, ia merangkul seluruh khalayak agar dapat membaca karyanya tanpa mengenal batas bangsa seperti yang ditekankan sistem politik segregasi. Dengan berbicara lebih mengenai agama yang dianutnya Buddha, ia ingin orang-orang lebih mengerti tentang agama-agama yang ada di Hindia-Belanda. Melalui masukan- masukannya terhadap kondisi politik Hindia-Belanda, ia memasukkan diri dan bangsanya ke perdebatan yang ‘seharusnya’ jadi perdebatan di kalangan pribumi semata. Semua hal tersebut diperkuatnya dengan bagian akhir novel yang menceritakan komunitas yang dibentuk Noerani dan Moestari; sebuah komunitas yang dibentuk pasangan yang tidak berangkat dari dari sebuah landasan kultural tertentu; komunitas yang dibentuk oleh orang-orang yang menanggalkan atribut-atribut konstrusi sosial yang ada di diri mereka dan berusaha hidup berdampingan dengan damai sekaligus menyelaraskan diri dengan alam. Akan tetapi, biar bagaimanapun, KTH tetap tak dapat lepas dari jaringan kekuasaan dan kungkungan wacana segregasi kolonial yang ada. Apakah peleburan identitas yang diajukan oleh KTH adalah jalan keluar terbaik dari politik segregasi? Apakah ia, dengan tepat telah memetakan pemasalahan yang ditimbulkan oleh politik segregasi? Apakah segregasi hanya terkait dengan pemisahan semata? Pertanyaan- pertanyaan ini akan dibahas di bab selanjutnya.

B. Lucy Mei Ling dan Politik Asimilasi Orde baru

Politik asimilasi a la Orba adalah politik yang mendorong persamaan di dalam masyarakat dengan menghilangkan fitur-fitur kultural identitas-identitas yang ada. Salah 113 satu dampaknya yang masih terasa hingga saat ini adalah politik SARA; sebuah politik yang mengharamkan segala pembicaraan yang terkait dengan suku, ras dan agama. Pemerintah Orba secara serius mempopulerkan pandangannya dengan membentuk serangkaian birokrasi rumit, namun efektif, karena hingga menyentuh atom-atom elemen masyarakat Indonesia. Maksudnya tidak lain untuk menghilangkan elemen- elemen etnis, terutama Cina, di komunikasi keseharian masyarakat. Walhasil, ekspresi- ekspresi kultural masyarakat Cina terpaksa berubah bentuk namun, sesungguhnya, tetap distinct . Sebagai contoh, nama-nama masyarakat keturunan Cina, yang katanya telah di- Indonesia-kan, tetap terlihat, katakanlah, khas Cina. Ketika pertama kali mendapatkan novel Lucy Mei Ling karya Motinggo Busye, yang sebelumnya belum pernah saya dengar karena kalah terkenal dengan karya- karyanya yang lain seperti Malam Jahanam, saya cukup terkejut. Keterkejutan saya ini tentu saja terkait dengan judul novel ini dan masa diterbitkannya masa yang sedikit disinggung di paragraf sebelumnya. Novel ini diterbitkan pada tahun 1977 yang mana, seperti banyak di buku- buku yang dikutip di Bab II, merupakan masa ‘keemasan’ Orba. Akan tetapi, judul novel ini dengan jelas menggunakan nama khas etnis yang selama masa Orba dianggap tidak ada. Bagi saya ini sebuah nilai tambah di sisi keberanian si penulis untuk mendobrak zamannya karena karya sastra yang bercerita tentang etnis Cina hampir tidak ada. Kita mengetahui bahwa ada penulis-penulis dari kalangan etnis Cina seperti Marga T. yang cukup produktif, akan tetapi di karya-karyanya hampir tidak muncul tokoh-tokoh dengan penjelasan latar belakang etnisnya. Hal-hal seperti nama, agama, adat-istiadat yang biasanya dapat menjadi penanda etnis tertentu selalu absen. Lantas, bagaimana dengan karya Motinggo Busye ini yang memakai nama yang, saya yakin, di benak orang Indonesia, merupakan nama dari kalangan etnis Cina? Sebelum ke sana, berikut adalah ringkasan cerita novel Lucy Mei Ling. Lucy Mei Ling bercerita tentang seorang dokter asal Indonesia bernama Sanjaya yang dikirim untuk belajar di Taiwan University. Di Taiwan, ia bertemu dengan dua